Anda di halaman 1dari 8

"Sialan, ilang lagi pulpen mahal gue"

"Punya gue kemaren juga ilang, spidol sepaket alias dua belas biji, ilang semua, ya walau balik ih"

"Setan sih ini, kalo manusia mesti ketangkep soalnya, mana bisa balik lagi gitu, prik"

Lintang mendengarnya, namun ia tetap berjalan lurus. Konstan, ia bahkan tak mencoba mempercepat
langkahnya.

Dug

Langkahnya terhenti ketika sebuah bola orange sebesar semangka menghantam kepalanya. Sakit,
Lintang sempat dibuat mundur dua langkah karenanya. Tapi yang pasti, Lintang bukan anak lemah yang
akan pingsan atau terjatuh setelah terhantam bola.

"WOY! BEGO, KENA ORANG!"

"EH! SORRY!"

Seorang pemuda—yang agaknya teman satu seangkatannya, berlari mendekatinya.

Wajahnya terlihat seperti blasteran Amerika. Mata hazel itu jelas bukan milik orang Indonesia asli.
Namanya Janaka, kalau Lintang tidak salah ingat.

Dengan napas terengah, pemuda dengan hoodie abu-abu melekat ditubuhnya itu menepuk pundak
Lintang.

"Lo gapapa?" Tanyanya.

Lintang menggeleng, "harusnya gue yang nanya, lo gapapa?"

Janaka mengangkat satu alisnya, heran, "maksud lo?"

"Hoodie plus basket di siang hari dengan kondisi cuaca yang ga berawan sama sekali" sahut Lintang
menatap netra hazel itu, "lo pinter nyembunyiin sesuatu, ya?"

Janaka kemudian tersenyum, "ah enggak, enggak sebisa elo kok, btw" ia kemudian mengambil sesuatu
di samping kaki Lintang, "jatuh tadi pas lo kena bola" katanya menyodorkan pulpen bermerk ke depan
wajah Lintang.
Lintang tersenyum, "thanks" ia mengambilnya, kemudian berlalu dari sana. Meninggalkan Janaka dan
bola basketnya.

"JAN! BOLANYA!"

"oh? YAA!"

--

"Kapan mau gue balikin ya?" Lintang bertanya pada langit-langit kamarnya yang penuh dengan sarang
laba-laba. Ditangannya, sebuah pulpen dengan harga pasaran cukup mahal sedang ia mainkan. Iya, itu
milik teman sekelasnya, dan ya, Lintang mencurinya.

Lintang bukannya mencuri untuk keperluan uang jajannya, tidak. Ia hanya mengidap kleptomania, itu
saja. Selebihnya, bukanlah hal yang penting. Selama ini ia tak pernah ketahuan (atau mungkin belu saja),
dan selalu mengembalikan apa yang di curinya.

"Mas!"

"Apa?!"

Lintang berdecak kesal, "mulai lagi", ia kemudian menyumpal telinganya dengan earphone yang sudah ia
sambungkan dengan handphonenya, menarik selimutnya sampai menutupi kepalanya.

"Kalo ga bisa akur tuh, cerai kek, dikira gue ga capek apa denger tiap malem ributt terus" gerutunya
sembari menutup matanya.

--

"Baru pulang kamu Janaka?"

Janaka berbalik sebentar, menutup pintu rumahnya. Lalu melirik pada meja makan dimana ada sang
Ayah, yang baru saja menanyainya, sang Ibu, dan adik lelakinya.

"Kaya yang ayah lihat aja, gimana?" Tanyanya balik engan nada suara malas.

Ayahnya nampak mengerutkan keningnya tak suka, "kamu tuh masih kelas 11 SMA, jangan aneh-aneh
deh, pulang sekolah ya langsung pulang, kaya adik kamu ini" ujar sang Ayah mengelus surai hitam adik
Janaka yang berada di sebelahnya.

"Iya" balas Janaka tanpa menatap ayahnya.

"Janaka Adiwangsa, yang sopan sama ayahnya" tegur ibunya.

"Janaka ga sopan dari mananya, Ibu?" Tanya Janaka lelah, "Jana bahkan ga bentak ayah ataupun ibu,
bahkan adek" sambungnya membela diri, untuk kesekian kalinya.

"Itu tadi lo diajak ngomong ayah melengos" kata adiknya bersuara.


"Ya, maaf" kata Janaka sembari melepas sepatunya. Ia letakkan sepatu hitam itu di rak sepatu.
Kemudian berlalu. Membuat Ibunya mengerutkan keningnya bingung.

"Makan dulu, Janaka" kata sang Ibu menegur si sulung.

"Ibu bikinin sea food, kesukaan lo kan?" Tanya adiknya menyuapkan udang kedalam mulutnya sendiri.

"Ck, itu kesukaan lu, gue alergi sea food" balas Janaka dengan tatapan tajam, "oh iya, Jana tadi habis
bimbingan, mau ikut olim Biologi, terus lanjut latihan karate, makanya pulang telat" sambungnya
sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya menuju kamarnya.

Membiarkan orang-orang yang sedang makan tadi tercenung.

Sampai di kamarnya, Janaka langsung merebahkan tubuhnya pada ranjang. Ia kemudian meraih
smartphone nya, membuka aplikasi twitter, sekedar ingin tahu apa yang sedang terjadi di dunia maya
saja. Namun yang ia temukan malah—

Jadi anak sulung itu memang harus kuat. Semangat anak sulung!

"Bajingaannnn" ia kemudian melemparkan smartphone tersebut sembarangan. Walau kemudian


dipungutnya lagi, sayang, "kuat kuat tai anjing" umpatnya sembari mengelus smartphone nya.

Janaka kemudian mengubah posisinya menjadi tengkurap, memposisikan wajahnya pada bantal.
Mengadu pada benda tersebut, apa saja yang sudah ia lalui hari ini.

--

"Dasar pencuri!"

"Muka doang cakep! Akhlak nya nol!"

"Tukang nyolong!"

Janaka menghentikan langkahnya. Sepasang netra hazel itu menoleh ke asal suara. Tepat dari ruangan di
sebelahnya, gudang lama sekolah, yang kebetulan dekat dengan tujuannya, kamar mandi.

"Setan ga mungkin ada di siang bolong kan?" Janaka kembali bermonolog.

Karena penasaran, pemuda dengan mata rubah itu memutuskan untuk mengecek.

Perlahan, ia membuka pintu gudang lama itu. Matanya membulat terkejut kala menemukan sosok yang
baru saja mengobrol dengannya kemarin, dipukuli, diinjak-injak, disiksa, oleh beberapa siswa lainnya.
Singkatnya, Lintang dibully.

"WOY SINTING KALIAN! BERHENTI!" Janaka kemudian mendekat. Menghentikan para bajingan kecil itu
menghancurkan Lintang.

"Elu temennya ya?! Woy! Temen lu demen nyolong!" Salah satu diantara mereka berteriak nyolot.
Janaka tidak kaget. Jelas, percakapannya dengan Lintang kemarin sudah cukup membuatnya paham.
Namun, Janaka tentu tidak akan membiarkan pembullyan terjadi, verbal maupun non verbal.

"Ga gini! Selesain baik-baik!" Bentak Janaka memasang badannya di depan Bintang.

Di belakangnya, Lintang berkata pelan, "pergi lo, gausah bantuin, I'm deserve"

"No one deserves to be bullied, lo hampir mati Lintang" jawab Janaka tanpa menolehkan kepalanya. Ia
kemudian menatap para tukang pukul yang masih ad di depan mereka, "lo semua mukulin dia, tau
alasan dia melakukan perbuatan itu gak?"

Gelagapan, salah satu diantara mereka menjawab, "y-ya.. pencuri tetep pencuri!"

"Tetep aja salah, kalian lebih buruk dari dia kalo kalian main hakim sendiri kaya gini" kata Janaka tenang.

Para siswa tadi nampak tak bergeming. Janaka lalu menghadap Lintang, mulai mengangkat anak lelaki
itu, memapahnya perlahan, keluar dari gudang.

"Mau lo bawa kemana dia?!" Tanya salah satu anak pemukul tadi. Mereka yang berjumlah tiga orang itu
masih berada di dalam gudang.

Janaka menoleh sekian, sebelum akhirnya menjawab sembari berlalu, "ke UKS, ngapa? Mau ikut kah?"
Tanyanya jenaka.

Perlahan tubuh dua pemuda itu hilang di belokan koridor. Menghilang dari pandangan tiga pemuda
yang masih saja bergeming di dalam gudang.

--

"Kenapa lo bantuin gue?" Tanya Lintang kala Janaka mendudukkan tubuhnya pada ranjang UKS.

UKS saat itu terlihat kosong. PMR yang seharusnya berjaga di sana nampaknya sedang absen.

"Udah gue bilang Lintang, no one deserves to be bullied" jawab Janaka yang nampak sibuk mencari
kapas, alkohol, serta obat merah.

Lintang menggeleng pelan. Arjuna itu naif, sangat, pikirnya.

"Lo tadi nanya ke mereka, alasan gue nyuri, lo emang tau?" Tanya Lintang saat Janaka mulai mendekat
dengan kotak obat di tangannya.

"Lo kleptomania, kan?" Tanya Janaka tepat sasaran.

"Lo tuh, selain pinter nyembunyiin sesuatu, juga pinter nebak penyakit orang ya?" Tanya pemuda
Lintang, dibuat heran.
Janaka terkekeh, "nebak aja sebenernya, eh taunya bener" katanya, "nih, bersihin sendiri luka lo, nanti
kalo udah ngomong, ditembel pake kasa sama plester" tambahnya menyerahkan sebuah kapas dan
sebotol alkohol pada Lintang, "btw, lo kok ketangkep dah, tumben?" Tanya Janaka.

Lintang tersenyum, ia menerima pemberian Janaka, kemudian mulai membersihkan luka-lukanya.

"Lagi ga hoki kali" jawab Lintang mengendikkan bahunya, "thanks ya Jan" ucapnya kemudian mulai sibuk
dengan lukanya.

Janaka hanya mengangguk. Lalu ruangan menjadi hening. Dan Lintang tak suka akan itu. Jadi ia mulai
bertanya pada Janaka,

"Jana, lo hari ini ga luka ya? Ga pake hoodie?" Tanya Lintang sembari membersihkan luka di pelipisnya.

Janaka menoleh sebentar sebelum menatap kedua lengannya. Bekas luka itu masih di sana. Terpampang
walau tak begitu jelas.

"Bukan ga luka, gue tiap hari emang ga luka, cuma nutupin ini bekas luka aja, njelek-njelekin tangan
soalnya" katanya mengelus lengannya, "lagian kok lo tau gue luka?"

"Indonesia negara tropis kali, dilewati garis khatulistiwa, musim panas gini ya mesti panas kalo make
hoodie siang-siang kaya kemaren, mau gosong apa ya lo?" Tanya Lintang sewot.

Janaka tertawa. Lintang sendiri mendekat ke arah Janaka. Janaka yang sadar kemudian kembali tertawa.

"Mau liat luka gue ya lo?" Tanyanya.

Sementara Lintang hanya menunjukkan cengiran nya, sembari mengangguk.

Setelahnya Janaka menyodorkan dua lengannya ke hadapan Lintang, membuat Lintang langsung
mengalihkan perhatiannya kepada lengan Janaka. Kalau tidak teliti, mana tahu Lintang kalau Janaka
punya banyak luka, luka cambuk pula. Bekasnya mulai memudar, menyatu dengan warna kulit Janaka.

"Itu luka lama? Dicambuk pake apaan?" Tanya Lintang.

Janaka mengangguk, "semesteran kemarin, gue ga dapet ranking soalnya, ga kaya adek gue, jadi
dicambuknya ya pake sabuk celana sekolah adek gue"

Jawaban Janaka tak lantas membuat Lintang terkejut. Pemuda itu malah terkekeh.

"Orang rumah tuh, huft, rumah katanya, rumah mah buat istirahat, bukan malah mendatangkan
masalah gini" Lintang berhenti mengurusi lukanya. Pemuda itu kemudian menidurkan dirinya di ranjang.

Janaka menatapnya, "lo sejak kapan?" Tanyanya

Lintang yang langsung paham konteks yang tanyakan Janaka itu menggeleng, "ga inget dah, pokok sejak
mereka tuduh-tuduhan itu, gue jadi sering aja keluar malem, biar ga suntuk, terus tiba-tiba, pas di jalan
ada barang punya orang, otak gue kaya selalu bilang, ambil aja ambil" jelasnya seperti tanpa beban.
Namun bisa Janaka lihat, tangan kirinya bergetar.

"Nangis mah nangis aja, lo juga manusia, Tang" ucap Janaka.

Lantas Lintang tertawa, mulai menutup kedua netranya dengan tangan kanannya, "gue ga mau gini, tapi
keadaan yang bikin gue kaya gini"

"Iya, gue paham, banget Tang" jawab Janaka menatap ubin. Menatap sepatu usangnya. Hadiah dari
Ayahnya, dahulu. Kala ia mendapatkan juara satu olimpiade Matematika Nasional.

"Gue mau berubah anjir Jan, tapi ga bisa" Lintang mulai menangis, "orang tua gue ga tau, atau mungkin
malah ga peduli kalo gue kaya gini"

Janaka diam. Tidak tau harus apa. Lintang jauh lebih malang darinya, tapi itu artinya Janaka juga malang.
Walau bebannya mungkin tidak seberat Lintang.

Tok tok tok

Pintu UKS diketuk dari luar. Janaka berdiri, berinisiatif membukakan pintu karena Lintang masih sibuk
mengelapi air matanya.

Ternyata, pengetuk pintu itu adalah tiga pemuda yang menjotosi Lintang di gudang tadi.

"Mau apa bang? Njenguk? Bawa buah tangan gak tuh?" Janaka yang sudah terlanjur red flag dengan tiga
pemuda ini mulai melancarkan sarkasme nya.

Lalu, tak dinyana atau disangka, anak dengan rambut paling gondrong di sana menjawab, "mau minta
maaf, sama Lintang" katanya.

Janaka kaget sebenarnya, namun kemudian kembali masuk ke UKS. Keningnya mengernyit kala tiga
pemuda tadi masih berdiam diri di luar.

"Kok ga masuk? Mau minta maaf ama Lintang kan? Ini Lintangnya di dalem" katanya.

Lalu tiga pemuda tadi berebutan masuk.

"Mau apa kalian? Gebukin gue lagi?" Tanya Lintang dengan air mata yang sudah mengering. Ia
menyedot ingusnya, menimbulkan bunyi srot yang agak panjang.

"Jijik dodol" tegur Janaka, "mau minta maaf nih tiga bocah" lanjutnya.

"Ngapain? Gue kan salah?" Tanya Lintang.

"Enggak, lo sakit" kata salah satunya, "maaf tapi, tadi kuta nguping, dari lo berdua masuk UKS"

"Dih, ga sopan" sela Janaka


"Diem lu bego" Lintang menoyor kepala Janaka. Membuat emounya kepala langsung diam. Tak mau
memperpanjang hal sepele.

"Maaf ya Tang, kita ga tau, kita salah main hakim sendiri" ujar satu yang lain, "barangnya udah lo balikin,
tapi kita tetep marah"

"Gapapa sih, gue juga salah, gue juga minta maaf" ujar Lintang. Hening sebentar.

"Kalian temenan ga sih?" Tanya yang dari tadi diam saja kepada Janaka dan Lintang.

Janaka tergelak, "gue aja kaga tau nama panjang dia nyet, wkwk" katanya.

"Kenalan kalo begitu" ujar Lintang, "nama gue Lintang Surya Sabiru, panggil aja Lintang, gue dari SEPATU
SEbelas miPA saTU"

"Nama gue Janaka Adiwangsa, dari SAMAWA, SebelAs MipA duWA" sambung Janaka, "oh iya, panggil
Jana aja"

"Gue mau ikut kenalan" kata si ambut gondrong, "gue anak SEMATI, SEbelas MipA TIga Iandika
Gempala, panggil aja Gempa, soalnya gue lahirnya pas Gempa"

"Gue juga kali ya? Gue Adeno Febian Tirtayasa, panggil aja Tirta, sekelas sama Gempa" kata seorang
yang matanya besar.

"Gue ngikut nih ya, nama gue Hardan Kemalio, panggil gue Kemal aja, anak SEMATI jaga" anak dengan
hidung mancung ikut memperkenalkan dirinya.

Gempa tiba-tiba bertepuk tangan, "ayo kita temenan" ajaknya semangat.

"Kita?" Beo Lintang.

"Gue, Lo, Tirta, Kemal, Jana, kita berlima keren" kata Gempa dengan mata berbinar.

Lintang nampak ragu, "gue problematik" katanya.

"Gue juga" sambar Janaka cepat.

"Dikira kita bertiga ayem tentrem idupnya apa ya?" Kemal menyerocos.

Tirta tergelak, "kita ga jauh beda dari kalian, gue ini pengidap OCD"

"Ga mau cerita kisah gue, ntar aja kalo udah temenan" kata Gempa diangguki Kemal.

"Yauds, temenan mah temenan" kata Lintang.

"Bagaimana bapak Janaka?" Tanya Kemal.

Janaka mengernyitkan dahi, "apaan bapak, bukan bapak lo" katanya, "temenan ya temenan aja anjir, ga
ngapa"
"Nah" kata Gempa bertepuk tangan sekali lagi, "karna ini pertemanan kita diisi orang sakit jiwa semua,
ayo saling nyembuhin!" Katanya.

"Yauda, bolehlah" sahut Lintang meniru nada suara Meimei di serial Upin&Ipin.

Tirta tersenyum, ia kemudian melirik jam di sudut ruangan, "udah mau masuk, kalian ga da pelajaran
kah?" Tanyanya.

"Bolos aja udah, kelas gue nanti pelajarannya si Sabar" kata Janaka.

"Nama doang Sabar anjir" komentar Lintang, "gue juga bolos, abis ini Eko peminatan, gue ga suka
ngitung duit pake rumus PE PE" katanya merebahkan dirinya di ranjang UKS.

"Kita abis ini jamkos, bolos sekalian aja dah Ta" saran Gempa.

Kemal mengangguk, "hooh, mubazir banget masuk, udah mau pulang" katanya.

Kedua pemuda itu kemudian bergabung dengan Lintang, rebahan dengan si jangkung di kasur yang
sama.

Mengamati sejenak Janaka yang sibuk membereskan kotak P3K, Tirta kemudian merebahkan dirinya di
samping Kemal, "Jan, lo kalo mau rebahan di lantai ya?" Akhirnya dia memilih untuk ikut membolos.

"Kurang ajar" Janaka mengumpat, namun kemudian tersenyum menatap empat orang yang baru saja
masuk dalam lembar kehidupannya.

Teman ya? Baiklah, mari kita coba. Saling menyembuhkan dari tali yang satu ini. Janaka tak berpikir ini
akan jadi hal buruk.

Iya, semoga.

Anda mungkin juga menyukai