Anda di halaman 1dari 14

Putri dan anak ayam

ANTAS. Bukan semata singkatan nama


unversitas biasa, Antanogis Unversity-lebih lengkapnya,
menampung pelajar sastra terbanyak di penjuru negri.
Singkatnya, sebuah pilihan primer bagi para peminat
sastra maupun yang bukan untuk melanjutkan
pendidikan ke tahap selanjutnya. Di bawah
kepemimpinan dekan Andes yang tegas beserta
parajajarannya. Dosen-dosen berkualitas, kemampuan
dalam berkomunikasi, pengalaman? Jangan ditanya!
Mereka adalah orang-orang yang gila akan pengalaman,
mendapatkannya lalu menyimpan kedalam saku
kemudian mencarinya kembali. Tetapi, itu semua
ternyata belum cukup memenuhi alasan kenapa ANTAS
sebegitu favorit nya di kalangan para semi-mahasiswa-
siswi

Sebenarnya ini sudah menjadi rahasia umum


unversitas ini. Dengan sukarelanya para pelajar yang
sudah merasakan bangku ANTAS, membagi pengalaman
menarik mereka selama menggerogoti hidup di sana.
Sebuah kegiatan menarik sebagai tugas akhir wajib bagi
mahasiswa-siswi di sana, termasuk kedua anak hadam
dan hawa yang tengah terlarut dalam sebuah sesi saling
lontar argumen. Duduk bersebelahan sambil sesekali
tertawa lalu terdiam.

“Surya, kamu jadinya mau cari riset kemana?”

Gadis berponi rata sedang menyelipkan sehelai


anak rambutnya ke sela daun telinga, kemudian kembali
menatap pemuda di sampingnya menunggu jawaban.
Pemuda berambut gondrong-bahkan rambut nya itu
mengalahkan panjang rambut gadis di sebelahnya-
Surya, menaruh dagu di atas tumpuan telapak tangan
yang terbalik, berdengung tidak jelas.

“Gimana kalau pergi ke Sibatu, Ntang?”

Lawan bicaranya mengerutkan alis. Sibatu


merupakan sebuah daerah perbukitan yang tidak tenar
keberadaanya. Salah satu alasan, mungkin karena icon
dari kawasan Sibatu hanya sebuah patung dua batu
lonjong yang bertumpuk-pikir Lintang kembali.
Mengulas kembali ingatannya tentang daerah yang
diusulkan oleh Surya.

“Kamu yakin mau ke sana? Secara aku rasa, di sana


tidak ada hal bagus untuk di jadikan objek riset
kita,’Ya.” Lintang membalas dengan deretan kata-kata
hasil analisisnya.

Surya melirik, menuai tatapan menanti dari


Lintang. “Apa kamu tertarik dengan Danar Badura?”
Ucapnya tiba-tiba. Lintang cukup peka untuk
menangkap maksut Surya, gadis itu memainkan mimik
mengutarakan perasaannya. Surya tersenyum mendapati
bahwa Lintang dapat menangkap-walaupun belum
sepenuhnya- apa yang sedang ia coba ungkapkan.

“Aku kenal dengan keturunan Danar Badura.


Dan kebetulan, Sibatu merupakan tempat ia tinggal.”

Kini, Lintang melotot secara sempurna. Apa


katanya tadi, keturunan Danar Badura? Seorang
sastrawan legenda yang meninggalkan wasiat ‘rahasia’
itu? Memandang ngeri kearah pemuda gondrong di
sebelahnya, Lintang sekarang merasa beruntung
memiliki rekan seperti Surya. Bukan tipe mahasiswa
yang jenius, mendapatkan nilai di atas 80 saja hampir
mustahil untuk di capai Surya.

Lantas apakah Ia merupakan pelajar beruang?


Tidak juga. Lintang dapat memahami, Surya yang
merupakan anak rantau harus mengatur pengeluarannya
dengan sebaik mungkin.

“Baiklah, aku setuju.”

“Kalau begitu nanti jam 4 sore bisa ke café depan


sana? Kita bicarakan lebih lanjut di sana,” Sekilas laki-
laki itu menengok ke arah jam dinding. Lintang
mengangguk mengiyakan, kemudian membereskan satu-
dua buku beserta pena nya, masuk ke dalam tas. Anak
rambutnya kembali terurai, menutupi jangkaun
penglihatan samping kanannya. Retinanya menangkap
secara samar-samar pergerakkan Surya,

“Sudah jam 12, lepas ini aku ada kelas Pak Bram,
aku duluan ya!” Pamit Surya meninggalkan Lintang di
rengkuh sepinya kelas.

Mata gadis itu menerawang langit-langit dari


ruangan yang sedang ia isi dengan eksistensi nya.
Pikirannya melintangi dataran memori tersusun rapi,
mengingat sesuatu. Sebentar lagi dirinya ada jadwal
dengan Bu Tari. Ia menegang, buru-buru menoleh
kearah jam-pukul 12.10, pikir nya lega.

Tubuhnya kembali meringsut tenang, sebelum akhirnya


ia berdiri lagi dan bergegas meninggalkan kelas.
Mengejar sebelum pukul 12.30, Lintang harus berada di
kelas dosen perempuan galak itu.

Anak kaki nya ia biarkan melangkah cepat,


berbeda dengan pikirannya. Seakan tidak mau dilarutkan
sebentar, pikirannya melambat. Mengingat percakapan
antara dirinya dengan pemuda jangkung yang berambut
gondrong tadi. Tidak bisa Lintang pungkiri, Pertemuan
dengan Pemuda itu menjadi salah satu panggilan takdir
yang ia tunggu.

“Kira-kira, orangtua mu bisa memberikan izin?


Soalnya ini sedikit jauh tempatnya,” Tanya Surya sambil
memindahkan foam dari hot chocolate-nya ke lepek di
bawah cangkir. Yang di tanya malah menghela nafas
gundah, memikirkan pertanyaan yang diajukan pemuda
itu. Lintang mengaduk asal white latte di depannya, tak
kunjung menjawab santunan pertanyaan dari Surya. Apa
yang ditanyakan oleh Surya merupakan sebuah
ketakutan nyata Lintang, tentang passport perginya.

Merasa tidak diindahkan pertanyaanya, Surya


kembali menegur, “Ntang? Kok malah diam. Apa kamu
takut orangtua mu melarang kamu untuk pergi?”

Tepat menusuk pemikirannya. Lintang


mengangguk. “Kamu benar Surya. Kamu tau, papa sama
mamaku adalah tipikal raja dan ratu yang tidak
membiarkan sang putri pergi berpetualang.” Ia
mengetuk-ngetuk pena sendoknya ke tepian cangkir,
menyesuaikan ritme bicaranya,

“Bagaimana ini? Bahkan ketika tugas ku jadikan alasan,


mereka tetap tidak akan memberikan izin. Rasanya aku
ingin menjadi semut dan pergi diam-diam!” Gadis itu
mendengus frustasi, mengundang tawa dari yang di
depannya. “Jangan tertawa! Mentang-mentang kamu
anak rantau.”
Tawa makin jelas terdengar di telinga Lintang, Surya
semakin tidak bisa menahan tawanya. Pemuda yang
sudah selesai tertawa kemudian menjawab,

“Aku tidak sedang mentertawakan nasib mu,


‘Ntang. Aku hanya menfokuskan tawa ku pada kalimat
mu yang mengatakan aku adalah pemuda rantau.” Surya
membenarkan posisi duduknya, ia menatap Lintang yang
balik menatap dirinya dengan raut wajah bertanya-tanya.
Alis Surya terangkat, “Kenapa?”

“Menunggu mu bercerita,” Lintang menjawab ala


kadarnya. Memang benar gadis itu penasaran dengan
alasan pemuda di hadapannya ini tertawa untuk
percakapan tadi.

Sedangkan sang pria, tersenyum jahil, “Jadi kamu


penasaran dengan ceritaku ya? Padahal tidak ada alasan
khusus aku tertawa ,” Surya melirik ke depan menatap
Lintang yang hanya terdiam.

“Sudahlah, aku hanya bercanda. Aku hanya


tertawa ketika secara tidak langsung kamu mengatakan
bahwa “anak rantau” adalah bebas.” Lintang
mengangguk-angguk meresapi perkataan Surya.

“Jika di fikirkan kembali tafsiran itu tidak salah.


Hanya saja, jika kamu adalah tuan puteri yang terkurung
maka aku adalah anak ayam kampung pada saat baru
menetas langsung mengintili induknya. Namun perlahan,
aku akan hidup berpisah dengan indukku dan menempuh
sebuah perjalanan ku sendiri. Kelihatannya saja bebas
padahal kan hidup sendiri itu tidak enak, apalagi jauh
dari orangtua.” Keduanya kemudian sama-sama terdiam.
Saling menunduk menghindari tatapan satu sama lain.

“Aku tidak bilang bahwa hidupku lebih susah


darimu. Semua orang memiliki forsirannya masing-
masing.” Surya memecahkan keheningan lalu di sambut
kekehan Lintang. Membuat Surya menatap paras ayu
sang gadis.

“Aku tidak tersinggung, aku menerima dan


malah setuju dengan metafora mu, ‘Ya.” Surya
tersenyum mendengar balasan lawan bicaranya. Lintang
kembali berseru, “Daripada memulai sesi perbincangan
dalam lebih baik kita memikirkan cara mendapatkan izin
orang tuaku! Dan menyusun schedule jika sudah sampai
di Sibatu.”

Pemuda di depannya tengah menyesap


minumannya sembari berpikir, Lintang pun juga turut
menyelami pikirannya. Tidak ada yang tau persis isi
dunia satu sama lain, hanya pasti mereka sedang sibuk
meninjau topik yang sama.

“Bagaimana, sudah ketemu?” tanya Lintang


lantaran tidak ada gagasan bagus yang muncul di
benaknya, balik kepada Surya yang menaik-turunkan
kepalanya secara intens.

“Aku tidak tahu berapa presentase dari alasan ini


akan berhasil. Tapi coba sajalah ‘Ntang.” Lintang
mencondongkan dirinya lebih dekat ke arah Surya,
mendengar baik-baik kata demi kata keluar dari mulut
pemuda itu. Mengangguk serta menambahkan saran
beberapa kali, sebuah rencana “mari bujuk orangtua
Lintang” telah selesai terbentuk.
Tampang Lintang menjadi cerah. Rona merah
muncul di lesung yang terbit akibat tersenyum lebar,
“Aku akan melaksanakannya nanti malam. Nanti aku
kabari hasilnya.”

Selanjutnya, mereka memulai dialog senja-nya.


Berbincang terkait kegiatan apa saja yang nanti akan
nanti dilakukan saat sudah sampai di lokasi riset mereka.
Sepanjang waktu berjalan, matahari di luar sudah mulai
merasakan kantuk. Alunan Musik klasik menemani
nuansa sore hari, suasana pun juga semakin ramai.

Kopi di cangkir mereka mulai menyurut,


menyisakan noda kehitaman di dinding-dinding keramik
putih. Garis pada jam mengarahkan dirinya pada angka
5, dan yang satu pada angka 12. Pada Lintang
menyeruput lagi kopinya, ponsel yang tergeletak di atas
meja, tiba-tiba begetar. Layarnya menyala menampilkan
sebuah panggilan dari “mama”.

“Aku izin mengangkatnya,” tanpa menunggu


balasan dari Surya, sang gadis sudah berlalu pergi.
Gemericik bel terdengar ketika pimtu kaca terbuka lalu
menutup kembali, gadis itu mengarahkan ponselnya ke
dekat lubang telinganya.

“Halo ma?”

“………….”

“Lintang lagi di café depan kampus ma, sedang


membahas tugas.”

“…………..”

“Astaga! Sudah jam 5. Maaf, Ma, Lintang tidak


memperhatikan jam.”

“……………”

“Iya mama. Lintang akan pulang saat ini juga. Mama


tidak usah khawatir! Baik, Lintang juga sayang mama.
Lintang tutup ya.”

Terputus sambungannya. Lintang kembali masuk


ke dalam dan bergegas menuju ke mejanya, "Surya, aku
akan pulang sekarang,"
Kedua matanya menangkap pemuda itu juga
membereskan beberapa kertas putih dan pena,

“ Hm? ku lihat kau juga hampir selesai beberes,”

“Prediksi kau juga akan pulang, melihat mu


mendapatkan sebuah panggilan dari mama mu.” Mata
Surya memandang kearah ponsel yang berada di
genggaman gadis yang baru saja kembali. Gadis berponi
rata itu hanya diam kemudian melenggang melewati
Surya.

“Ayo.” Ajak Lintang setelah mencangklongkan


tas kain percanya itu ke bahu. Mereka menuju kasir dan
menyerahkan sejumlah uang kepada penjaga, mengambil
kertas putih kecil. Kertas itu ditelusupkan masuk ke
dalam kantong kemejanya. Kini, mereka berdua sudah di
luar. Membawa barang bawaan sembari saling
mengucapkan selamat tinggal sementara.

“Sampai jumpa, ‘Ya. Terimakasih untuk hari


ini.”
Surya mengangguk, “Sama-sama, Jangan lupa
untuk rencananya.” Ia melambai membalas kepunyaan
Lintang, “Hati-hati di jalan.”

Keduanya berpisah, melangkah dan dengan


sengaja membuat jarak, perlahan semakin jauh. Lintang
berjalan sembari menatap awan yang diam, angin
berderu menerpa rambutnya. Insan tuhan ini
memejamkan kelopak matanya. Ia biarkan sang angin
memenuhi permukaan wajah, menjadikannya seperti
sebuah suak. Gadis itu mendengus geli merasakan gelitik
angin kemudian berkata,

“Kalau kau ingin mencoba berteman dengan ku,


maka bawalah aku turun dari menara itu.”

Terbayang di benaknya percakapan dirinya


dengan pemuda tadi. Benar, Lintang adalah seorang putri
yang terkurung sedangkan Surya adalah anak ayam yang
bebas.

“Oh gawat, sepertinya aku harus bergegas atau


mama akan marah!”
Lintang berlari dengan cepat di iringi oleh daun-
daun terbang, akibat sapuan angin yang cukup kencang.
Seolah sedang terkekeh, menertawakan gadis itu.

Anda mungkin juga menyukai