Anda di halaman 1dari 11

Fuyu no Asyafijisaki proudly present

~Letter Of Breaking Dawn~


Naruto © Masashi Kishimoto

Warning : AU, OOC (maybe), typo, plotless dan teman-temannya

Rated : T

Don’t like don’t read and please be easy on me

“Aku suka padamu…!”

Suara bariton seseorang memecah kesunyian pagi itu. Setelah berdiri sekian lama dibawah
sebuah pohon sakura yang tengah tertimbun salju, akhirnya salah seorang dari dua manusia yang
tengah berdiri di sana mengeluarkan suaranya juga. Ia berkata seraya berusaha menekan detak
jantungnya yang tengah berdetak cepat, dua kali lebih cepat dari biasanya. Ia melihat kedalam
mata emerald seorang gadis manis di hadapannya. Berusaha menunjukkan keseriusan kata-
katanya. Gadis manis berambut pink sebahu tersebut hanya menatapnya balik dengan tatapan
menilai, tapi kemudian berubah biasa kembali. Ia terlihat berpikir sesaat, menimbang-nimbang
jawaban dengan bahasa seperti apa yang akan ia gunakan. Selama sesaat, hening kembali
menyelip diantara dua insan tersebut. Angin berhembus pelan, membawa serta hawa dingin yang
berusaha menembus pertahanan yang diberikan sang baju hangat. Sang gadis akhirnya
menghembuskan napas pelan. Sebuah senyum manis terbit diwajah putihnya. Sebelum akhirnya
ia berkata

“Maaf tapi aku tidak menyukaimu….! Jadi sekali lagi maaf ”

Gadis tersebut membungkuk perlahan sebelum akhirnya berjalan meninggalkan pria tersebut.

****
Derap langkah pelan terdengar menghampiri seorang gadis yang tengah duduk diam di sebuah
kursi panjang kayu. Gadis yang tengah hanyut dalam bacaannya tersebut seakan tidak menyadari
keberadaan seseorang yang mendekatinya. Ketika akhirnya orang tersebut mendekat dan
menepuk pelan bahu sang gadis, ia hanya mengangguk singkat pertanda kalau ia membalas
sapaan orang tersebut. Hening kembali menyapa. Tidak ada kontak lain yang terjadi anatara dua
manusia tersebut selain tepukan bahu dan anggukan kepala singkat. Seorang penepuk yang
diketahui seorang gadis berambut panjang sebahu menghela napas singkat. Ia terlihat lelah
menghadapi temannya yang satu ini. Ia kemudian menghela napas lagi sebelum memulai
percakapan.

“Hai, Serius amat !” sapanya singkat.

“Hn…!” jawabnya singkat.

Setelahnya gadis tersebut akhirnya mengangkat wajahnya dari buku yang sedari tadi menghisap
kesadarannya. Bola mata Lavendernya menatap emerald di hadapannya.

“Ah, nolak lagi…?” kata gadis indigo sambil meletakkan buku bacaanya.

“Eeh, kok tahu? Ngintip ya?” tanya gadis berambut pink tersebut dengan nada yang dibuat
seolah menuduh.

“Dibilang ngintip sebenarnya tidak, tapi dibilang tidak ngintip yah tidak juga…!” kata gadis
indigo seraya mengangkat bahunya cuek.

“Yah sudah, oh ya dari pada itu, bagaimana ? apa kau sudah mau cerita siapa dia?”tanya gadis
itu bersemangat.

“Dia? Siapa?” jawab gadis indigo mengernyitkan dahi tak mengerti.

“Oh ayolah Hinata…! Dia itu loh, someone who takes your attention for a long time…!”ucap
gadis itu dengan nada sedikit menggoda.

Warna merah muda terlihat menjalar di wajah putih sang gadis indigo yang diketahui bernama
Hinata. Tapi kemudian warna itu menghilang seiring perubahan ekspresi Hinata. Ia kini terlihat
dingin. Hal ini juga diperkuat dengan perkataan Hinata kemudian.
“Dari pada membahas masalah itu, apa pr biologi mu sudah selesai Sakura~chan? Tugas itu akan
dikumpul pada jam ke-4”

“WAAA, benarkah tugas tersebut dikumpul hari ini?? Aku bahkan belum menulis satu kata pun
” Gadis bernama Sakura tersebut berteriak frustrasi, kemudian menarik tangan Hinata untuk
berdiri. Mengajaknya untuk beranjak dari tempat itu.

“Ayo kembali ke kelas, aku liat pr mu yah…!”

Gadis tersebut hanya mengangkat bahunya cuek, membereskan buku-bukunya yang tergeletak di
atas meja, kemudian melangkahkan kakinya menjauh dari tempat tersebut.

****

Pukul 07.15, keadaan sekolah masih tetap sama pada beberapa menit yang lalu. Pelajar yang
melintasi koridor putih ini masih terlihat legang. Belum nampak keramaian yang biasanya
tercipta dari celotehan para siswi yang bergosip ria. Yang ada hanyalah segelintir orang yang
berdiri bergerombol ataukah berkelompok dua-dua, saling membagi pengalaman ataukah
kejadian yang mereka alami sehari sebelumya. Maklum saja hari ini adalah hari senin yang
berarti baru saja melewati akhir pekan dan memulai hari baru. Diantara segelintir orang tersebut,
seorang gadis berambut indigo tengah beridiri mengahadap jendela koridor. Kelihatannya dia
tidak sedang melihat keluar jendela, melainkan menatap sebuah buku dalam genggamannya. Ia
terlihat cuek dengan sekelilingnya, dia juga tidaklah peduli suasana disekitarnya bising ataukah
tidak, karena sebuah earphone berwarna ungu lavender telah melekat pasti di kedua pasang
telingannya. Ia benar-benar kelihatan tidak peduli, sampai sebuah suara membangkitkan
minatnya.

“Eh, liat deh, itu kan si Ice queen. Sombong sekali gayanya…!” seseorang berkata pelan

“Hm, yang mana ?” jawab sebuah suara yang agak ngebass, yang diyakini adalah suara pria

“Itu, yang lagi menghadap jendela sambil megang buku.!” Suara yang akhirnya diketahui adalah
seorang gadis, karena suaranya yang kekanak-kanakan. ‘Ah, Karin~san rupanya…!’ pikir Hinata
dalam hati
“Ah, yang lagi pake earphone? Manis ya” Jawab sang pria, sukses membuat sang gadis mendelik
kemudian mendengus kesal. ‘Kalau yang ini, mungkin Suigetsu~san….!’ Lanjut Hinata, masih
tetap dalam pikirannya.

“Tapi menakutkan. Selalu berwajah dingin tanpa ekspresi, terlalu datar.” Lanjut pria tadi tergesa-
gesa, menyadari bahwa gadisnya tidak suka.

“Manis ? ya ya harus kuakui tapi aku tak yakin kalau ia pernah merasakan. Apalagi yang
namanya cinta liat saja wajahnya, sungguh tak berekspresi” ucap sang gadis seraya memandang
Hinata.

“Hm, entahlah. Ngapain dibahas. Ayo pergi..!”sang pria mengangkat bahunya cuek kemudian
menarik tangan sang gadis untuk menjauh dari tempat tersebut, menyudahi obrolan singkat
mereka tentang Hinata. Tanpa mereka sadari semua obrolan singkat tadi didengar oleh si Obyek.
Gadis itu tersenyum miris mendengar penuturan mereka.

‘‘Tidak berprasaan’ yah’ ucapnya, lagi, dalam hati.

Kemudian tangannya dengan aktif membolak-balik halaman buku yang tadi ia baca, mencari-cari
sesuatu. Kemudian sebuah senyum miris kembali terbit diwajah putih pualamnya. Sebuah surat
dengan amplop biru tergenggam pasti ditangan kirinya, amplop surat tersebut masih polos, ia
belum menuliskan nama si penerima di sana. Mata lavendernya memandang lekat benda biru
tersebut selama beberapa saat, kemudian mengalihkan pandangannya keluar jendela, ketika
mendengar suara ramai beberapa orang yang sedang latihan pagi. Pandangannya tertumbuk pada
sosok seseorang yang tengah memasang posisi start pendek, bersiap untuk lari. Wajahnya serius
menatap kedepan. Rambutnya yang agak panjang berwarna kuning-keemasan terlihat sedikit
acak-acakan karena tertiup angin. Mata lavender Hinata tak pernah lepas dari sosok tersebut, ia
begitu intens memerhatikannya. Sehingga ia tak sadar sebuah senyum manis terkembang di
wajahnya.

“Naruto~kun melepas kacamatanya hari ini!” gumam Hinata pelan, seraya tersenyum kecil.

Ia, dengan tiba-tiba menutup mulutnya, surat yang tadi ia genggam telah ia selip kembali di
dalam buku, pipi putihnya dihinggapi rona merah muda. Selain itu ia juga dapat merasakan
wajahnya yang agak memanas dan detak jantungnya yang berdebar sedikit lebih kencang dari
biasanya. Ia menggeleng kuat-kuat, berusaha menghilangkan jejak merah muda tersebut, dan
kembali memasang wajah tanpa ekspresi.Tapi hal itu lumayan sulit. Akhirnya, ia memutuskan
untuk melangkahkan kakinya menjauh dari tempat itu, sebelum topengnya hancur sepenuhnya.

*****

Hinata melangkahkan sepasang kaki mungilnya cepat-cepat. Ia terlihat seperti orang yang
sedang diburu waktu. Ketika Hinata hendak berbelok ke perpustakaan, sebuah suara sopran nan
halus memanggilnya, ia berbalik menghadap sang pemanggil seraya memasang wajah tenangnya
kembali. Seseorang tersebut mendekat kemudian memulai percakapan.

“Nih bukunya, makasih yah…!” ucap sang gadis pemilik suara sopran tersebut dibarengi dengan
sebuah senyuman.

“Hn..” balas Hinata singkat

“Buru-buru amat sih, ada apa?” ucap sang gadis sedikit mengerutkan dahi

“Eeh, tidak apa-apa! Sakura-chan juga ada apa? Bukankah bukunya bisa dibalikin di tas saja..!”
ucap Hinata gugup, berusaha mengalihkan perhatian.

“Oh, itu. Ehmm.. ano.. eto, ee.. gini aku mau nunjukin sesuatu, alasan kenapa selama ini aku
nolak cowok yang datang” jawab Sakura malu-malu dengan rona merah muda di pipi mulusnya.

“Oh, kapan? Sekarang?” jawab Hinata sedikit terkejut.

“Setelah istirahat, bisa?” tanya Sakura bersemangat, karena mendapat respon posiif dari Hinata.

“Baiklah, aku juga mau minta tolong, tapi nanti saja. Apa hanya itu? Kalau sudah aku mau ke
perpus sebentar..! aku tinggal yah..!”ucap Hinata terburu-buru.

“Oh ya sudah, aku tunggu di ruang seni pada saat istirahat yah…!” ucap Sakura

“Hn” balas Hinata singkat kemudian meneruskan langkahnya ke perpustakaan

*****
Di perpustakaan, Hinata memilih tempat lumayan tertutup, menjauh dari tempat yang biasa
disinggahi oleh pengunjung, rak-rak yang berlabelkan ‘Sejarah Pemerintahan’. Tempat ini adalah
tempat favorit Hinata, ditempat ini pula tangannya menulis surat tersebut. Surat yang akan
menjadi awal yang baru. Menjadi awal dari Hinata yang dingin tak berekspresi menjadi Hinata
yang lebih terbuka dan bisa tersenyum di depan orang lain. Jemarinya yang lentur membuka
halaman per halaman buku yang sedari tadi berada digenggamanya, mencari surat yang tadi ia
selipkan. Setelah menemukannya, ia tersenyum untuk kesekian kalinya hari ini, dan
memantapkan hati, ia akan menyerahkannya sekarang atau tidak sama sekali. Hinata menarik
napas dalam dan menghembuskannya perlahan, kemudian berkata pelan,

“Yosh, Ganbatte yo..!”

Ia kemudian melangkahkan kakinya menjauh dari rak tersebut, menuju kekelasnya, bersamaan
dengan bunyi bel pertama yang mulai berdering.

*****

Waktu berjalan tanpa terasa. Pelajaran pertama dan kedua telah usai, para guru juga telah
meninggalkan kelas karena bel tanda istirahat pertama telah berbunyi. Para siswa keluar kelas,
membanjiri koridor yang tadi sepi. Sang gadis berambut Indigo bermata lavender tengah
memandangi sebuah lukisan di sebuah ruang seni. Lukisan tersebut abstrak dengan campuran
warna biru, kuning, dan merah yang mendominasi. Gadis itu mengalihkan pandangannya, ketika
ia mendengar suara halus pintu digeser. Ia melihat seorang gadis berambut pink sebahu
melangkah mendekatinya. Sebuah senyum tidak tergambar diwajahnya, sepertinya ia gugup, tapi
mata emeraldnya menggambarkan kegembiraan, pertanda kalau ia sedang senang saat itu. Hinata
memerhatikan temannya tersebut dengan dahi sedikit berkerut.

“Mana ?” tanya Hinata to the point.

“Hm, oh, Hinata sendiri, apa yang ingin kau katakan?”

Hinata menghela napas pendek,

“Jangan mengalihkan pembicaraan Sakura~chan…! Jadi mana? Katanya ada yang mau
ditunjukkin?”
Sakura menghela napas, berusaha menghilangkan kegugupannya.

“Maaf kalau selama ini aku tidak pernah bilang” Sakura berkata seraya keluar, sepertinya ingin
menarik seseorang masuk.

Beberapa saat setelah “seseorang” tersebut ditarik masuk, seketika itu juga mata Hinata
membulat sempurana, ia benar-benar kaget melihat sesuatu di depannya. Ia tidak dapat berkata
apa-apa seolah-olah mulutnya terkunci begitu saja, dadanya terasa berat sehingga membuatnya
sedikit sulit bernapas, volume udara yang masuk ke paru-parunya seakan berkurang drastis.
Yang membuatnya bingung adalah ujung matanya sedikit memanas. Ia tampak berusaha
menahan genangan air dimatanya. Sakura terus berkata panjang lebar, bermula dari
memperkenalkan orang tersebut sampai bercerita ke hal-hal lain. Hinata yang menjadi pendengar
seolah tidak dapat mendengar ataupun menangkap apapun yang keluar dari bibir mungil gadis
manis itu. Perkataannya seolah angin lalu yang membelai kasar wajahnya. Membuatnya
berusaha keras menjaga ekspresinya agar tidak terlihat terluka.

“Inilah alasan aku menolak semua pria yang datang padaku, karena aku berpacaran dengannya”

Sakura mengatakannya dengan senyuman paling manis, ia benar-benar terlihat bahagia.


Sementara Hinata, ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Ia hanya bisa tersenyum,
menghargai kebahagiaan temannya. Mengucapkan selamat yang tulus.

“Oh ya Hinata~chan, bukankah tadi kau ingin minta tolong, apaan?” tanya Sakura semangat.

“Ah, bukan, bukan apa-apa kok..!” jawab Hinata buru-buru, kemudian mengalihkan
pandangannya kepada cowok yang memilih berdiri dibelakang Sakura.

“Selamat, kau cowok yang beruntung kurasa, Naruto~kun” Hinata berusaha tersenyum manis,
menahan segala perih yang tiba-tiba muncul.

“Aah, kurasa begitu, aku juga merasa beruntung bisa melihat si Ice queen tersenyum manis pada
ku..!” ucap suara yang terkesan dalam tersebut.

Sakura mendelik mendengarnya, begitupula Hinata. Dalam hati ia tersenyum miris.

“Apa maksudnya itu…!” tanya Sakura sengit, sepertinya tidak suka Hinata dikatai seperti itu.
“Tidak…tidak bukan apa-apa, Sakura~chan…!”lanjutnya seraya memasang sebuah cengiran
khasnya, karena melihat Sakura yang memandangnya tajam. “Aku hanya merasa, kau tahu,
beruntung karena melihat seorang Hyuuga Hinata yang dikenal “kurang” memberikan ekspresi,
malah tersenyum manis dihadapanku, maksud ku, wow bukan…? Ne? Sakura~chan..?

“Apa-apaan kata-kata mu itu, Naruto~san..? Aku benar-benar tidak menangkap satupun maksud
baik dari kata-kata mu tadi….! ucap Sakura dengan nada sengit.

“Gini Sakura~chan, tidak, tidak dengar dulu, okay..?! Kau tahu, kurasa dengan ini aku jadi bisa
merubah pandangan ku bahwa Hinata~chan bukanlah orang yang tanpa ekpresi itu saja…!
jawabanya disertai sebuah senyum manis, menoleh ke arah Hinata. Kemudian melanjutkan, “Ne?
benarkan Hinata~chan?” Sakura hanya memalingkan wajahnya, yang sedikit memerah, entah
karena malu, ataukah terpesona melihat kekasihnya tersebut tersenyum begitu manis. Sedangkan
Hinata, sepertinya sudah tidak kuat lagi melihat ini semua. Tangisnya sudah benar-benar hampir
pecah melihat pasangan ini. Ia akhirnya meminta diri untuk beranjak dari tempat tersebut.
Sempat mendapat pandangan bertanya dari Sakura, tapi ia abaikan. Dan, sang Gadis yang tengah
berbahagia itu hanya bisa tersenyum dan mengiyakan permintaan temannya itu. Hinata menarik
langkahnya menjauh dari tempat tersebut dan ketika jemarinya telah bersiap menggeser pintu, ia
terdiam sejenak ketika si cowok berkata,

“Terimakasih karena telah menyetujui hubungan kami” kemudian tersenyum

Hinata dengan satu kali sentakan menggeser pintu tersebut dan beranjak dari tempat itu, dengan
tetap berusaha menahan tangis dan perih di hatinya.

*****

Di perpustakaan, tempat yang sama ketika ia menulis surat tak tersampaikan itu, ia
menyandarkan tubuhnya yang lemas tak berdaya. Entah kenapa, ia benar-benar merasa sakit, dan
sakit ini begitu mempengaruhi tubuhnya. Ia seakan kehilangan tenaganya begitu saja. Bel tanda
istirahat berakhir telah berdegung, tapi gadis indigo tersebut tetap tidak bergeming. Matanya
menatap nanar surat beramplop biru tersebut. Bulir-bulir air tengah jatuh membasahi pipi
pualamnya bersamaan dengan tubuhnya yang jatuh terperosot, terduduk di lantai. Ia menutup
mulutnya dengan sebelah tangan, berusaha menekan isakan yang keluar. Hatinya benar-benar
sakit sekarang. Ia tidak tahu, kalau menaruh hati pada seseorang akan begini sakitnya. Ia
berusaha menahan air matanya agar tidak keluar, tapi semakin ia tahan, maka yang terjadi adalah
sebaliknya. Sekali lagi ia menatap surat beramplop biru tersebut, dengan sekali gerakan ia
meremas amplop tersebut hingga mulai tak berbentuk. Surat malang tersebut menjadi
pelampiasan Hinata, ia ingin sekali merobek surat itu. Tapi kemudian matanya kembali menatap
nanar surat polos itu. Ia bahkan belum menuliskan namanya. Sebuah kesadaran tiba-tiba
menyergapnya. Bukankah ia menulis surat ini untuk sebuah perubahan, apakah gara-gara
“penolakan” menyakitkan ini, ia akan mundur? Merubah tujuannya? Batin Hinata benar-benar
kacau saat ini. Tiba-tiba ia teringat kata-kata orang “itu”, kata-kata yang “memberinya” sebuah
keberanian untuk menghasilkan surat beramplop biru tersebut.

Flashback :

Seminggu yang lalu, koridor putih sekolah terlihat sangat tenang dan damai, hal ini mungkin
dikarenakan hampir seluruh penghuninya sedang sibuk berkutat dengan guru yang tengah
mengajar di setiap kelas. Tiap-tiap kelas terdengar tenang, dari obrolan siswa, yang didominasi
oleh suara seorang guru menjelaskan mata pelajaran yang tengah ia ajarkan, tapi ada pula
kelas yang terlihat benar-benar hening, bebas dari semua suara, karena para siswa tengah
berkutat dengan kertas dan pulpen ditangan, yah mereka sedang menghadapi ulangan. Tapi
dari semua itu, ada seorang gadis berambut indigo sedang berdiri menghadap sebuah jendela
koridor. Gadis tersebut menggengam sebuah buku yang tengah terbuka ditangan kanannya,
sekilas ia terlihat seperti anak yang sedang membaca, tapi kalau diperhatikan dengan saksama,
bola mata lavendernya, tidak sedang fokus pada buku bacaan yang kini tengah digenggamnya,
lavendernya sedang memperhatikan seseorang di bawah, di sebuah lintasan lari, tengah
melakukan sebuah start pendek, bersiap untuk lari. Matanya menatap orang tersebut tanpa
berkedip sedikitpun, dengan sedikit senyuman yang kadang terkembang, sampai pada akhirnya
perhatiannya teralih, karena mendengar sebuah suara berkata,

“Wah..wah…apa yang kau lakukan di sini, Miss Ice Queen..?”

Hinata hanya memandang orang tersebut dengan pandangan terkejut tapi sedetik kemudian
dapat mengendalikan ekspresinya kembali.

“Kurasa itu bukan urusan mu, kan Uchiha~san..?”


“Huh..”laki-laki itu mendengus, kemudian melanjutkan, “Kau itu kelihatan seperti seorang
stalker, kau tahu..?” ia memandang Hinata sekilas kemudian kembali melihat hal lain. “Lalu
apa peduli mu kalau aku seorang stalker? Sedangkan kau sendiri apa? Tiba-tiba muncul dan
menanyai ku hal seperti itu…! Kalau fangirl mu tau, wah..wah image mu bisa jatuh..!”
Terkembang senyum meremehkan dari wajah putih Hinata setelah ia menyelesaikan kalimatnya.
Mata onyx Sasuke menatap Hinata lama sampai kemudian berkata,”Bisa kah kau
mengungkapkan perasaan mu itu..?”

“eh..?” Hinata menatap Sasuke dengan kening berkerut.

“Taruhan kau pasti tidak berani melakukannya, iya kan? Huh, dasar..! sebenarnya kau itu
hanyalah seorang gadis pemalu yang bersembunyi dibalik wajah tanpa ekspresi mu saja
bukan…??”Sasuke mendengus kesal tapi dapat terlihat sebuah seringai kemenangan di wajah
stoicnya, melihat ekspresi kaget Hinata.

“Benarkan kau tidak be…”

“Siapa bilang aku tidak berani, liat saja aku pasti akan mengungkapkannya…!” jawab Hinata
cepat memotong ucapan Sasuke.

“Buktikan, Senin ini, kau harus sudah mengatakannya. Bagaimana?”

“Baiklah, Senin ini..! tapi kalau aku bisa, apa untungnya bagiku dan kalau tidak bisa memang
kenapa…?” jawab serta tanya Hinata seraya membalikkan badan bersiap untuk pergi.

“Aku tidak akan menggangu mu lagi, bagaimana kalau itu? dan kalau tidak bisa…”Sasuke
terlihat berpikir sejenak, kemudian berkata, “kau yang harus datang mencari ku dan
memberitahu ku...bagaimana…?” Hinata terlihat bingung dengan persyaratan Sasuke, tapi
akhirnya ia menjawab,

“Hmm, baiklah ku terima. Bener ya, kau harus berhenti menggangu ku setelah ini…!” balas
Hinata seraya membalikkan badan untuk melihat ekspresi wajah pemuda di hadapannya itu.

“Hn.” Jawab Sasuke singkat


“Baiklah kalau begitu, tapi….(Hinata membalikkan badan lagi dan memunggungi Sasuke,
kemudian meliriknya sekilas) kenapa kau melakukan hal ini..?kenapa kau peduli dengan apa
yang ku lakukan…?!”

“……….”

Hening menyapa kedua siswa tersebut. Tidak ada yang membuka mulut setelah pertanyaan
terakhir Hinata. Bahkan saling pandang pun tidak. Hinata menunggu seraya membelakangi
Sasuke, kemudian Sasuke hanya memandang langit kala itu, pikirannya tengah menerawang.

“Haah, sudahlah…..! aku pergi…!” Sesaat kemudian akhirnya salah satu dari mereka membuka
suara. Hinata menghela napas kemudian melangkah pergi. Seandainya Hinata berbalik atau
setidaknya melirik ke arah Sasuke, ia pasti dapat melihat, sebuah senyuman, bukan seringaian,
lumayan lembut terpampang di wajah putih sang Uchiha.

End of flashback

Entah mengapa ingatan tersebut tiba-tiba terlintas di pikiran Hinata. Tapi pikiran tersebut
jugalah yang mengekuhkan pendiriannya kembali. Walau begitu, pada awalnya ia sempat terlihat
ragu sesaat tapi setelahnya, dengan mantap ia menulis pada kertas polos, tak berbentuk tersebut.
Sebuah kalimat yang akhirnya membangkitkan senyum di wajah putih pualamnya yang masih
terjajah air mata. Ia perlahan bangkit, menghapus jejak air matanya dengan telapak tangan,
kemudian melangkah pergi, membawa surat yang kini tak lagi polos yang tengah terselip rapih di
sela halaman buku yang selalu ia bawa. Ia ingin menemui pemuda stoic yang pernah
“memaksanya”. Ia ingin membayar taruhan waktu itu.

“To : Sebuah awal yang baru..”

Owari

Anda mungkin juga menyukai