Anda di halaman 1dari 112

Si Puja, Si Puji, di Negeri Puja-puji

Emil Right Now

Buku Satu: Catatan si Merah

Dari barat menuju timur, kau lihat tanda koma sebelum akhirnya berjumpa dengan
tanda titik setelah ini. Setelah tanda titik, kuungkap sebuah kisah panjang tentang Gliese,
tentang Bisapel dan tentang Negeri Puja-puji. Itu pun kalau kau mau tenggelam dalam
ceritanya, yang akan kupersembahkan setelah tanda garis melintang setelah ini—

Prolog

Aku berdiri di depan cermin. Kutatap wajah itu dan bertanya-tanya apakah ia berasal dari
dimensi lain. Saat aku menyapanya, di saat yang sama dia juga menyapaku. "Halo," kataku,
atau yang lebih tepatnya itu perkataan kami berdua. Aku merasa bingung, tapi kemudian
berusaha agar orang di dalam cermin itu tidak menirukan tingkah-lakuku. Namun tampaknya
ini usaha yang agak sia-sia. Orang di dalam cermin itu dengan tangkas menirukan semua
gerakanku. Aku tak tahu ilmu apa yang ia pakai sehingga mampu mengopi semua yang
kulakukan. Hingga Ibu memanggilku, "Merah! Ayo sarapan,"

Aku pun segera memilih untuk meninggalkan cermin, dan orang di dalam cermin itu
pun juga ikut meninggalkan cermin. Aku bertanya-tanya, Untuk apa dia melakukan semua
yang kulakukan? Apakah dia tidak punya teman lain selain aku? Perlahan, aku mulai berpikir
bahwa ia merasa kesepian. Dan kesepian memanglah sebuah masalah dan penderitaan bagi
semua orang. Jauh di lubuk hatiku, aku merasa tidak tega membiarkan siapa pun kesepian.

Ini hari pertama aku masuk SD. Sejak beberapa hari lalu Ayah sudah sibuk mencarikan baju
seragam untuk kupakai ke sekolah. Pria berkacamata ini selalu memperhatikanku, mungkin
karena aku anak tunggal yang tidak punya kakak atau adik. Aku sering iri kepada kawan-
kawanku yang punya saudara kandung. Mereka mungkin saja bisa bermain setiap saat dan
setiap hari di rumah mereka masing-masing. Aku cuma punya sepupu, tapi mereka tinggal
jauh di luar kota. Terkadang, aku juga iri pada para sepupuku. Mereka punya adik dan kakak
yang selalu bisa diajak bermain, kuperhatikan itu sewaktu Ibu dan Ayah mengajakku datang
ke rumah mereka.

Sewaktu Ayah mengantarku ke sekolah dengan sepeda ontelnya, aku masih bertanya-tanya
tentang anak di dalam cermin. Tapi aku memilih untuk tidak bertanya pada Ayah. Bisa-bisa
Ayah melarangku untuk berteman dengan anak itu. Atau ayahku akan berkata bahwa anak itu
adalah hantu atau alien, dan cermin memang benda yang sangat canggih sebab bisa
menghubungkanku dengan alam lain tempat alien atau hantu itu tinggal.

"Anak-anak, hari ini kita akan belajar membaca, ya." Kata Bu Guru, hingga anak-anak
lain selain aku mengiyakan. Sedangkan aku masih termenung menatap jendela yang ditembus
oleh cahaya matahari.

Bagian Satu: Gadis di Ujung Senja

Ketika aku baru masuk SMP, aku teringat kembali pada kejadianku bersama cermin—yang
sejujurnya, membuat aku malu—yang agak aneh dan absurd untuk dijelaskan. Barangkali jika
kuceritakan pada teman-temanku, mereka akan langsung menertawakanku dan menganggap
bahwa aku sudah tidak waras. Bahwa aku ini idiot atau orang gila. Jadi kupilih untuk tutup mulut
dan tidak lagi mengusik kenangan masa lalu yang sangat konyol seperti itu.

Namun, pertemuanku dengan alien pun terjadi. Ketika aku sedang pulang kampung ke
rumah Nenek di pedesaan, aku bertemu dengannya. Tepat ketika aku sedang berjalan-jalan di
pematang sawah pada suatu sore di bulan April. Sebuah piring terbang seperti di film-film
tentang alien, mendarat tepat di atas persawahan.
Begitu pintunya terbuka, seorang perempuan—yang kutulis di sini sebagai Gadis di
Ujung Senja—menyapaku dengan senyumannya. Dia adalah perempuan dengan rambut ikal
berwarna pirang keemasan, berkulit putih dan mengenakan pakaian ketat yang tampaknya
berbahan karet atau semacamnya. Dia berkata padaku dalam bahasa Inggris, "Hello."

"Ya?"

"Oh. You're Indonesian?" Katanya, kemudian mengutak-atik sebuah alat yang terpasang
di pergelangan tangannya. Sebuah suara terdengar, Bahasa Indonesia active. Lantas ia berkata
lagi, "Saya baru tahu kalau kami mendarat di Indonesia."

"Jadi tujuanmu ke Amerika?" Tanyaku, agak iseng daripada biasanya.

"Bukan. Tujuan kami ke Planet Bumi. Kami datang dengan damai," ujar Gadis di Ujung
Senja.

Aku mau tertawa mendengarnya. Perkataannya seperti dicomot begitu saja dari film-film
Hollywood. Tapi, mungkin saja orang-orang di sana memproduksi film-film
tentang extraterrestrial juga dari kisah nyata. Bisa saja, kan? Kalau cerita tidak berasal dari
kehidupan sebenarnya, cerita itu tidak akan tampak nyata dan hidup.

"Jadi, Anda ingin berjalan-jalan di sini, Nona?" Tanyaku sambil berlagak seperti laki-laki
sejati.
"Ya. Saya ingin meneliti tentang Planet Bumi." Katanya, kemudian menceritakan bahwa
mereka sudah merencanakan ekspedisi ini sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka menyusun
proposal, merakit pesawat dan menyiapkan stok bahan bakar untuk perjalanan pulang-balik
antara planet mereka dengan planet ini.

Gadis di Ujung Senja pun kembali mengutak-atik peralatannya. Kali ini ikat pinggangnya.
Pakaiannya kemudian berubah menjadi pakaian para penduduk bumi pada umumnya. Topi pet,
selendang warna krem, jaket parasut merah dan celana jins. Dia meminta tolong padaku agar
dibawa berjalan-jalan ke permukiman penduduk. Jadi, apa boleh buat? Mengingat bahwa
rencana mengunjungi planet bumi ini sudah dijadwalkan sejak ratusan tahun lalu, aku pun
mengiyakan ajakannya.

Maka aku pun membawanya ke rumah Nenek untuk mengajaknya berkenalan dengan
keluargaku. Kami berjalan melalui pematang sawah, jarak dari tempat kami sampai ke rumah
Nenek kurang-lebih memakan waktu sampai setengah jam.

"Apa itu keluarga?" Tanya Gadis di Ujung Senja di tengah perjalanan.

Aku pun agak kaget begitu ia melontarkan pertanyaan ini. Lantas kutanya balik,
"Memangnya di planetmu tidak ada keluarga?"

"Tidak." Gadis di Ujung Senja menjawab, "Tapi kami pernah mempelajarinya. Kalau
enggak salah, itu semacam komunitas seperti kerajaan, ya?"

Aku berusaha menahan tawaku, tapi kemudian memilih untuk menjelaskan. "Tidak
terlalu seperti kerajaan, sih. Meski pun di dalam kerajaan ada juga sistem keluarganya,"

“Kamu laki-laki?” tanya Gadis di Ujung Senja.

“Bukan, aku hermafrodit.”

“Wah! Aku baru dengar soal itu,” komentarnya, kemudian menceritakan bahwa di
planetnya dulu pernah ditinggali oleh penduduk yang berjenis kelamin laki-laki, meski tak
pernah ada laki-laki yang hermafrodit. Tapi mereka melakukan pertempuran dengan kaum hawa
yang dipimpin oleh Putri Salju. Sengketa politik antara Pangeran Malam yang didukung oleh
semua laki-laki, berhasil dimenangkan oleh Putri Salju, dengan sihirnya yang mampu
menjadikan udara atau air menjadi beku, serta membuat pisau-pisau berbahan es. Pangeran
Malam yang hanya bisa menguasai bayangan pun dikalahkan oleh Putri Salju. Dan para
pendukung Pangeran Malam yang semuanya adalah laki-laki, dimusnahkan hingga hanya tersisa
kaum perempuan di planetnya.

Sewaktu aku membawa Gadis di Ujung Senja ke rumah, Ibu dan Ayah menyambutnya dengan
ramah. Nenek bahkan menyiapkan empat cangkir teh manis untuk kami. Tapi tanpa kuduga,
Gadis di Ujung Senja malah berkata, “Sebenarnya aku alien dari Pleaides. Kami ingin meneliti
Bumi, sudah ratusan tahun kami mempersiapkannya.”

Ibu tertawa terbahak-bahak, mengatakan kalau perempuan di hadapannya ini sudah tidak
waras. Ayah masih tenang, hingga Gadis di Ujung Senja pun mengutak-atik ikat pinggangnya
dan kembali ke wujud aslinya. Aku yang sedang mempersiapkan gulai ikan dan seperiuk nasi
bersama Nenek, melihat Ibu tiba-tiba pingsan dan Ayah menjerit-jerit. Nenek tampak biasa saja,
seolah sudah pernah makan asam garam yang tak tanggung banyaknya.

Bagian Dua: Setelah Ibu Terjaga

Ibu terjaga sewaktu malam, sekitar jam delapan. Sementara Ayah tampaknya sudah mulai
terbiasa dengan Gadis di Ujung Senja, dan aku pun memutuskan untuk berbincang-bincang
dengan keduanya di kursi ruang tamu. Ayah benar-benar nyaris tidak percaya kalau sosok di
hadapannya adalah alien yang datang dari luar angkasa. Sedangkan aku merasa bahwa kami
memang seperti berada di dalam film Hollywood.

Aku tertawa melihat wajah Ayah, lantas kukatakan padanya, "Dia enggak berbohong,
kan?"

"Justru itulah ibumu pingsan."

Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki dari kamar tempat Ibu dibaringkan.
Wanita itu langsung menatap Gadis di Ujung Senja dan malah mewawancarainya. Dan seperti
yang perempuan alien ini bilang padaku di hari pertama kami bertemu, ia menceritakan bahwa
di planetnya hanya ada kaum wanita. "Kami hidup sampai berabad-abad lamanya. Umurku
pun baru beranjak seribu sembilan ratus delapan tahun,"

Ibuku terbelalak, "Bagaimana kamu bisa hidup selama itu?"

"Kami menjalani hidup sehat. Makan sayuran dan berolahraga," jawab Gadis di Ujung
Senja, "Kami juga melakukan terapi dengan mesin yang dirancang oleh arsitek kami. Di sana
merk mesinnya macam-macam; ada Nampo, Tugris dan Inkom."

Aku tertawa geli mendengarnya, sambil bertanya-tanya dari mana datangnya ide untuk
memberi nama-nama mesin itu.

Gadis di Ujung Senja lanjut bercerita, "Beberapa klan di planet kami juga ada yang
berbicara hanya dengan telepati, ada juga bahasa isyarat, tapi tidak ada bahasa asli. Kami
mengadopsi bahasa-bahasa dari planet lain untuk berkomunikasi,"

Ibu manggut-manggut, sedangkan Ayah menggaruk-garuk kepalanya dan menyisir


rambutnya dengan ujung jari.

"Aku mendengar di planet bumi, ada dimensi lain yang disebut Alam Feminix. Kira-
kira seperti itulah kehidupan di planet kami," kata Gadis di Ujung Senja melanjutkan.

Aku termangu mendengarnya, belum pernah sama sekali aku mengetahui tentang Alam
Feminix. Dan tampaknya kedua orangtuaku juga tidak mengerti. Tapi tiba-tiba Nenek datang
dan ikut berbicara, "Alam Feminix? Aku rasa aku pernah membacanya,"

"Ya, seorang dari planet ini pernah berkomunikasi dengan kami lewat radio." Imbuh
Gadis di Ujung Senja. "Kalau enggak salah, namanya Pelesetupat."

Baru kali ini aku mendengar nama aneh itu.

"Dia dosen di Fakultas Tak Terlihat, juga penemu mesin waktu. Kadangkala orang
menjulukinya Doktor Waktu," jelas Gadis di Ujung Senja.

Fakultas macam apa itu? Tanyaku dalam hati. Mungkin kalau aku sudah tamat SMA,
aku bisa melanjutkan pendidikan di sana.
"Itu kampus non-formal, dibangun khusus untuk para pelajar yang ingin melakukan
penelitian dan penemuan benda-benda dan teknologi baru." Jelas Gadis di Ujung Senja, seolah
mendengarkan isi pikiranku.

"Kamu bisa telepati?" Tanyaku ke Gadis di Ujung Senja.

"Yang tidak kubisa hanya bahasa isyarat," jawabnya.

Tiba-tiba terdengar suara alarm yang berasal dari gelang di tangannya. Dia memencet
salah satu tombol di sana dan berkata, "Ya?"

"Bebagaimanakah keperjalananmoe di bumi?" Suara seseorang dari gelang itu.

"Sesudah-sudah bebaik-baikan sahaja," jawab Gadis di Ujung Senja.

"Kekamu-kamui bebukanlah di Amerika, ya?" Tanya gelang itu lagi.

"Bebukan. Aku-akui di Indonesia." Jawab Gadis di Ujung Senja.

"Oh, pas-pas itu-semi begitu-itu. Bebahasa-bahasai kita nyenyaris sesama semi-dengan


orang-rang Indonesia, nih." Kata gelang itu kembali.

"Ya," sahut Gadis di Ujung Senja.

"Oke semi-okelah, itu. Aku-akui mahu-memahu henti-berhentikan perkecakapan kita-


kitai dahulu-dulu, ya?"

"Oke semi-okelah itu,"

"Dah-sudah."

"Dah-sudah."

Aku terheran-heran, begitu juga Ibu dan Ayah. Sedangkan Nenek tampaknya tenang-
tenang saja. Aku berbisik ke Nenek, "Bahasa apa itu, Nek?"

"Itu bahasa Alam Feminix," jawabnya, kemudian tersenyum tenang.


"Oh," ujarku, kemudian semakin penasaran dengan tempat yang disebut-sebut sebagai
Alam Feminix ini.

"Boleh aku ikut denganmu?" Tanyaku ke Gadis di Ujung Senja.

"Ke mana?" Tanya wanita ini.

"Alam Feminix,"

Ibu menoleh ke arahku. Matanya melotot. Ayah menghela nafas dan menyandarkan
badannya di punggung kursi.

"Boleh."

Bagian Tiga: Alam Feminix

Aku tidak bisa tidur malam ini, sebab Gadis di Ujung Senja sudah berjanji akan mengajakku
ke Alam Feminix besok pagi. Katanya, portal menuju dimensi itu akan mudah dilacak di
dalam kabut yang beredar di dalam hutan. Jadi kusiapkan beberapa stel pakaian dan sebotol
air minum, dan mungkin aku bisa mendapat makanan dari hutan yang ada di dimensi itu. Jadi
kuputuskan untuk tidak membawa makanan.

Tiba-tiba pintu kamarku dibuka dan Nenek masuk, ia langsung bisa tahu kalau aku
masih terjaga. Jadi Nenek mengajakku berbicara. "Merah, ini rahasia yang harus kamu jaga
rapat-rapat. Bahkan ibu dan ayahmu juga tidak tahu. Sebelum Nenek bilang, tolong
rahasiakan ini, ya?"

"Ya, Nek. Apa itu?" Tanyaku.

"Nenek dulu juga berasal dari Alam Feminix. Setelah menikah dengan kakekmu,
Nenek diusir dari sana. Jadi jangan sebut nama Nenek kalau ketemu orang di sana, ya?"

"Kenapa begitu, Nek?"

"Penduduk di sana juga dilarang menikah. Semuanya perempuan, mereka mengandung


janin setelah minum dari Sungai Bayi," kata Nenek, "Tapi Nenek sudah terlanjur jatuh cinta
ke kakekmu, jadi Nenek tidak bisa kembali ke sana."
"Lalu?"

"Sebaiknya namamu diganti mulai sekarang,"

"Lah? Kok begitu, Nek?"

"Kalau mereka tahu kamu itu laki-laki, kamu bisa dalam bahaya."

"Tapi kan aku memang laki-laki?"

"Ya, tapi kamu masih belum masuk masa remaja."

"Lalu? Namaku diganti jadi siapa?"

"Nenek sudah persiapkan. Mulai sekarang namamu Merah Jambu,"

Aku melongo, lantas kemudian mengiyakan nasehatnya. Berganti nama sedikit juga
tak masalah. Namaku tinggal ditambah kata jambu di belakangnya.

Pagi datang dengan cepat. Begitu fajar menyingsing dan matahari mewarnai langit dengan
warna yang masih redup, Gadis di Ujung Senja masuk ke kamarku dan bertanya apakah aku
sudah siap.

"Sudah," jawabku.

"Ayo."

Lantas kuambil ranselku yang berisi pakaian dan botol air minum, kemudian
mengikutinya berjalan keluar kamar. Ibu dan Ayah sudah ada di ruang tamu, rasa sedih
bercampur khawatir di wajah mereka sekilas berkelebat di pandanganku. Nenek berkata pada
mereka bahwa aku akan baik-baik saja, lantas memberiku sebuah kalung batu yang
dipasangkannya ke leherku. Kalung itu berwarna merah jambu, persis seperti namaku saat ini.

Setelah pamit, aku pergi bersama Gadis di Ujung Senja. Tapi ternyata kami bukan
masuk ke hutan, melainkan ke sebuah masjid dan dia menuntunku masuk ke kamar mandi
khusus wanita. Tapi sebelum aku mengomel tentang kebohongannya, bahwa kami malah
bukan pergi ke kabut di dalam hutan, dia malah menyuruhku masuk ke dalam salah satu toilet.
Kemudian dia ikut masuk ke dalamnya, lantas mematikan lampu toilet itu. Kemudian
mendorongku jatuh ke dalam bak. Aku memang terjatuh, tapi justru tidak kukira bahwa aku
akan jatuh terlalu jauh hingga jatuhku sampai memakan waktu sekitar dua menit lamanya.

Setelah seluruh pakaianku kuyup semua, aku tersedak dan batuk-batuk, air keluar dari
hidungku dan rasanya sakit sekali. Kemudian aku tersadar bahwa kami sudah berada di tengah
hutan dengan pepohonan yang sangat aneh. Justru pohon-pohon itu lebih bisa dikatakan jamur
raksasa daripada pohon. Sedikit pun tidak ada desir angin sama sekali di sini, namun aroma
hutan ini mengingatkanku pada rasa stroberi. Langitnya pun berwarna merah jambu, yang
semakin membantuku untuk mengingat nama baruku yang sudah diganti oleh Nenek
sebelumnya.

Gadis di Ujung Senja menyeretku dari perairan, kemudian memasangkan sebuah ikat
pinggang ke tubuhku. Setelah diutak-atiknya, penampilanku pun berubah menjadi seorang
perempuan yang, ketika kulihat pantulannya di air, aku menjadi seorang wanita yang lumayan
cantik.
"Jadi bagaimana, Merah Jambu? Sudah siap dengan ekspedisi kita kali ini?" Tanya
Gadis di Ujung Senja.

Aku tersenyum untuk menyembunyikan rasa khawatirku, kemudian mengangguk.

"Istana Balqis tidak jauh dari sini," kata Gadis di Ujung Senja sambil melihat peta
hologram miliknya, "Kita bisa sampai ke sana dalam waktu setengah jam."

"Kita ke sana?" Tanyaku, ragu apakah aku bisa benar-benar menyembunyikan identitas
asliku.

"Ya, kita akan sowan ke Sang Ratu. Kembaran Putri Salju di kampung halamanku."
Jawabnya.

Kami tiba di istana Ratu Balqis, yang anehnya, sama sekali tidak dipasangkan gerbang atau
tembok untuk melindungi penghuni istana. Ada banyak ukiran yang sempat kulihat dari komik-
komik shoujo—komik Jepang khusus perempuan—yang terpasang di dinding istana. Aku
merasa mereka terlalu seksis dalam memandang perbedaan dari laki-laki dan perempuan. Tapi
kuurungkan niat berkomentar sebab masih ingin selamat.

Para pengawalnya langsung menyambut kami dengan ramah, memelukku dan memeluk
Gadis di Ujung Senja. Dan begitu rekan seperjalananku ini berkata bahwa ia hendak menemui
sang ratu, mereka langsung memberitahu seluruh istana untuk mengabarkan kedatangan kami.

Ratu Balqis mengajak kami berjalan-jalan, mengobrol seputar kehidupan para wanita di alam
semesta yang sama sekali belum pernah kudengar. Beliau juga meresahkan kehidupan para
wanita di dimensi tetangga—dimensi tempat aku berasal, maksudnya—bahwa perjuangan
feminisme harus terus diperjuangkan dan jalannya masih panjang.

"Satu-satunya cara untuk sampai ke tahap akhir adalah memperlakukan para pria seperti
kita memperlakukan saudari-saudari kita," katanya, "Tapi masih banyak para lelaki yang tidak
mau diperlakukan seperti itu. Kalaupun mereka mau, biasanya mereka berpura-pura, mereka
malah mengkhianati kita dan melakukan hal-hal yang buruk,"

"Anda fasih juga ya, berbicara seperti penghuni dimensi tetangga?" Kataku bermaksud
memujinya.

Ratu Balqis tersenyum, "Beberapa waktu ini ada seekor burung yang mengajariku. Aku
sangat berterimakasih padanya,"

Aku manggut-manggut, kemudian Gadis di Ujung Senja mengobrol dengan Ratu Balqis
dalam bahasa mereka. Aku kurang lebih sedikit mengerti dengan bahasa itu, meski tidak bisa
menguasainya untuk ikut berbicara dalam bahasa itu.

"Pertahanan di dimensi ini semakin melemah, ada beberapa laki-laki yang datang entah dari
mana. Kemudian terpikir olehku, mengapa tidak jadikan saja mereka sebagai penghibur kami?"
Kata Ratu Balqis, sewaktu kami bertiga sedang duduk di ruang makan sambil minum teh
ditemani beberapa potong kue cokelat.

"Jadi penghibur?" Tanyaku.

"Ya, misalnya kami jadikan mereka tukang pijit dan tukang bersih-bersih." Jawab beliau.

"Hanya itu? Ayahku pun biasa melakukannya." Sahutku.

"Wah, kamu gadis yang beruntung. Biasanya anak dari dimensi tetangga memang lebih
dekat ke ayahnya. Tapi kalau kamu mau menikah, kelak, pilihlah pemuda yang seperti ayahmu."
Komentarnya sambil tersenyum.

Aku tidak bisa menyahut sedikit pun, sebab aku tidak mau menikah dengan sesama jenis.

"Ada apa? Kamu tidak mau menikah?" Tanya sang ratu.

"Bukan itu. Aku kan masih kecil?"

Ratu Balqis tertawa, "Oh, iya juga ya? Aku sampai tak sadar kalau kamu masih belum
cukup umur,"
"Anda pernah jatuh cinta?" Tanyaku kemudian.

"Ya, tentu saja."

Jangan-jangan dia janda dari Nabi Sulaiman! Pikirku.

"Ada seorang biksu yang pernah datang ke mari. Dia seorang pendeta Buddha bernama
Tong San Chong," kata beliau menjelaskan, "Tapi waktu itu aku masih belum dewasa, meski dia
cinta pertamaku."

Aku manggut-manggut. "Apa Anda juga seorang immortal?"

"Ya, kami hidup abadi. Sebab hanya perempuan yang menikahlah yang bisa menjadi tua
dan wafat," kata Ratu Balqis, "Dulu aku pernah punya seorang bibi, ia jatuh cinta dan kawin lari
ke dimensi tetangga. Aku tahu dia sudah punya cucu sekarang, aku mendengarnya dari kabar
angin."

Kabar angin? Sedangkan angin sedikit pun tidak terasa di sini. Kataku dalam hati.

"Bebagaimanakah kekabar semi-kabar Putri Salju? Sehat?" Tanya Ratu Balqis kepada
Gadis di Ujung Senja.

"Ya, dedia semi-dia sehat-menyehatkan." Jawab Gadis di Ujung Senja.

"Sesampaikanlah sedalam demi-salamku untuknya, ya." Kata beliau tersenyum.

"Ya. Sesudah-sudahi urusan demi-urusan-urusanku di dimensi tetangga," jawab wanita


alien ini.

Ratu Balqis tersenyum dan mengangguk pelan, "Ada apa semi-apa urusan demi-
urusanmu di sana-sanai? Masih-memasih sama Doktor Waktu?"

"Ya, begitu semi-begitulah."

"Menginap semi-nginap sesajalah di sini-sini beberapa demi-berapa hehari lagi, kekalau


bisa."

"Ya,"
Bagian Empat: Bul-bul

Entah bagaimana ceritanya, aku sempat bertemu dengan burung yang mengajari Ratu Balqis
berbicara normal—maksudku, bicara dengan bahasa dari duniaku—burung itu ternyata
memang bisa berbicara. Lalu ketika kutanya, "Kamu punya nama?"

"Punya." Jawabnya dengan tegas.

Ketegasan seekor burung membuatku tertawa geli, aku sampai membayangkan bahwa
dia salah satu dari anggota pasukan burung ababil yang memporak-porandakan pasukan
Abrahah. "Siapa namamu?"

Dengan polos dia menjawab, "Bul-bul."

Aku langsung mengerti kalau dia memang datang dari kerajaan Nabi Sulaiman. Tapi,
aku yang jarang mempelajari agama malah kurang mengerti situasinya. Apakah Nabi
Sulaiman masih hidup? Tanyaku dalam hati.

Tapi kuputuskan saja untuk bertanya, "Kamu anggota kerajaan Nabi Sulaiman?"

Bul-bul menggeleng, "Bukan."

"Lalu?"

"Itu nenek moyangku, bukan aku. Lagipula namanya Hud-hud. Aku cuma mahluk
yang tersesat di dunia ini,"

"Oh, begitu. Kenapa bisa sampai ke sini?"

"Panjang ceritanya. Kalau pun aku cerita, bisa makan waktu seminggu tanpa putus."

"Oh. Ya sudahlah." Kataku, "Tapi kita memang dari dunia yang sama, kan?"

"Mungkin,"

Hanya itu sekilas ingatanku yang bisa kusampaikan, aku juga tak ingat sempat
mengobrol di mana.

Bagian Lima: Adu Tinju


"Memasyarakat-kat di sini-sini jejuga suka-menyukai pertonton-tontonan gulat-gegulat dari
para-para lelaki yang ujung-menunjuk kebolehan mereka-mereka ini," kata Ratu Balqis ke
Gadis di Ujung Senja.

"Mengadu-adu tetinju?" Tanya Gadis di Ujung Senja.

"Ya, seperti-sepemerti itulah," jawab sang ratu, kemudian mengantar kami berjalan
menuju pasar.

Di pasar, orang-orang sibuk berdagang. Ada yang menjual seekor kucing yang telah
mereka bakar. Ada juga sate kepiting yang kurasa lebih mirip kalajengking daripada kepiting
—meski di toko itu penjualnya mengaku bahwa itu memang sate kepiting—dan masih banyak
lagi makanan aneh-aneh di pasar ini. Sang ratu menjelaskan bahwa jika ada satu orang
penduduknya yang miskin, akan ia modali untuk membuka usaha sendiri. Tapi tak masalah
apakah hanya satu atau jutaan penduduk, sang ratu akan tetap membiayai mereka.

Tak lama kemudian, sampailah kami di dekat arena tinju. Beberapa orang laki-laki
tampak mempersiapkan diri mereka untuk masuk ke dalam kandang tinju,
dengan host seorang wanita cantik berpenampilan elegan dan memesona serta penuh wibawa.
Begitu wanita ini selesai berbicara di hadapan hadirin, tahap satu pun dimulai.

Seorang laki-laki kurus tinggi semampai berhadapan dengan seorang pria berjambang
dan penuh lekuk otot, mereka pun saling menerkam dan terjadi beberapa bantingan dan
pukulan. Laki-laki kurus itu memukul lawannya, tapi pria berjambang itu tak sedikit pun
tampak kesakitan. Mungkin karena otot di tubuhnya membuat ia kebal akan rasa sakit. Lalu
pria itu pun langsung membanting laki-laki kurus itu hingga jatuh terjerembab, kemudian
diimpitnya sambil memelintir tangannya.

Feminis macam apa ini, yang mendukung kekerasan di wilayah mereka? Tanyaku
dalam hati.

Tak lama kemudian, Gadis di Ujung Senja menepuk bahuku dan mengajakku yang
penuh perasaan campur aduk, pergi meninggalkan arena. Kami berjalan sampai ke tempat
yang agak sepi yang bisa kami gunakan untuk mengobrol empat mata.
"Kamu enggak papa?" Tanya dia berbisik.

"Entahlah. Aku agak sakit kepala," jawabku.

"Jangan bohong. Aku tahu kamu merasa kami terlalu seksis," ujarnya sambil
memegang kedua bahuku.

"Nah! Kamu tahu sendiri, kan?" Sahutku pelan.

"Tapi ini memang wilayah kekuasaan wanita, mereka berhak mengatur seluruh yang
ada di daerah ini." Jelasnya sambil meremas kedua bahuku.

"Iya, tapi aku enggak suka kalau kaumku diperlakukan seperti ini." Bantahku.

"Kalau kamu enggak tahan, kita bisa kembali ke rumahmu." Katanya sambil menatap
mataku lekat-lekat.

"Ya, aku mau pulang."

"Ya, kita akan pulang. Tapi kamu mesti bersabar sampai sang ratu mengizinkan kita
pergi,"

Aku menghela nafas panjang, lantas menjawab, "Baiklah,"

Bagian Enam: Apel dan Pengkhianat

Sewaktu sang ratu menggelar pesta perpisahan kami, ia menghidangkan beragam masakan
yang sangat lezat. Dan sepertinya ia sengaja menyiapkan koki yang bisa memasak makanan
dari dimensi tempatku tinggal. Ada sushi, mi ramen, es krim, onigiri, dan berbagai masakan
khas Jepang lainnya. Kumakan dengan lahap dan rasanya memang enak. Begitu kami selesai
makan, Gadis di Ujung Senja berkata padaku bahwa Ratu Balqis memang keturunan Jepang,
aku langsung mengerti mengapa ada ukiran-ukiran khas Shoujo nyaris di tiap dinding
istana. Hingga seekor burung masuk lewat jendela istana dan hinggap di meja makan. Dia
menaruh sebuah apel emas di sana, di apel itu tertera tulisan:

Untuk yang Tercantik


Hal ini tentu membuat seisi ruangan menjadi heboh dan akhirnya semua penghuni
istana rusuh dan terjadilah kekacauan. Ratu Balqis yang berusaha menenangkan semuanya,
malah diabaikan dan terjadilah perkelahian antara sesama penghuni istana. Para wanita di sana
saling melempar piring, menusuk satu dengan lainnya menggunakan pisau makan atau garpu.

Hingga akhirnya seorang laki-laki petugas kebersihan yang ketampanannya


mengingatkanku pada Nabi Yusuf, dipanggil oleh sang ratu untuk menunjuk kepada siapa
apel emas ini harus diserahkan. Ternyata dia memilihku, hingga membuat semua wanita di
sana memilih untuk menyerang dan mencoba melukai wajahku dengan pisau pemotong apel.

"Berhenti!" Kata sang ratu sambil menghadang semua penghuni istana, kemudian
menarikku masuk ke dalam kamarnya. Pintu ditutup dan dikunci rapat-rapat.

"Maafkan kekacauan ini, ya." Katanya sekali lagi.

"Tidak apa-apa," jawabku pelan.

"Aku benar-benar malu," ujarnya, "Sekali lagi aku minta maaf."

"Tidak masalah." Jawabku lagi.

"Itu pasti burung yang mengajariku bicara. Dia sering datang ke sini dan juga sering
iseng,"

"Enggak masalah, Tuan Ratu." Jawabku, kali ini dengan lebih tegas.

"Benar tidak papa? Wajah cantikmu nyaris terluka,"

"Iya. Tidak papa."

Malamnya, sebelum aku dan Gadis di Ujung Senja tengah bersiap-siap untuk pulang, Ratu
Balqis langsung menghampiri kamar kami. Dia membawa selembar selendang warna ungu
dan sepucuk surat. Selendang ini diberikannya padaku, sedangkan surat itu diberikannya
untuk Gadis di Ujung Senja.
"Terimakasih, Tuan Ratu." Ujarku sambil menerimanya, "Tapi kok ungu? Bukankah
ungu untuk perempuan yang sudah bercerai?" aku pun mesti memperbaiki kata-kataku,
“Maksudku, bukankah aku belum menikah?”

Beliau tertawa dan menggeleng, "Bukan. Ungu justru warna kerajaan,"

Aku manggut-manggut, "Terimakasih."

"Sama-sama. Terimakasih juga karena sudah mampir," katanya dan menoleh ke Gadis
di Ujung Senja, "Itu-tu sehanya sekedar semi-kadar titipan untuk Tuan Putri,"

Hm. Pasti yang dimaksud 'Tuan Putri' itu memang Putri Salju. Pikirku dalam hati.

"Keterimakasih ya, Tuan Ratu." Ujar Gadis di Ujung Senja.

Beliau mengangguk, "Daku sesenang demi-senang akhir-berakhirnya bisa-bisai


terhubungkeun dengan semi-dengan saudariku."

Setelah tidur aku bermimpi. Di dalam mimpi itu Bul-bul tampak bersedih dengan wajahnya
yang murung. Aku malah mencoba ramah padanya, bahkan sekali pun dia nyaris membuat
wajahku terluka.

"Bukan aku," katanya, "Bukan aku yang melakukannya."

Bagian Tujuh: Gerilya dari Kerajaan Tetangga

Di suatu malam buta sebelum aku pulang ke dimensiku, terjadi penyerbuan dari sekelompok
pasukan misterius. Mereka mengendarai kuda dengan pakaian berjubah hitam dan beberapa
ada yang menggunakan pedang dan panah, mereka membunuh satu demi satu penghuni istana.
Saat itu aku sedang keluar dari kamarku untuk buang air kecil.

Ratu Balqis mengumumkan ke para penghuni untuk tetap tenang dan jangan gegabah,
ia pun mengeluarkan pedangnya yang bercahaya. Ini membuatku teringat film Star Wars.

Beliau juga menyuruhku untuk membawa alat tempur, tapi kukatakan padanya, "Aku
enggak mau berperang."
"Sekedar untuk jaga diri," katanya, kemudian melemparkan sebuah tongkat seukuran
pensil padaku.

"Apa ini?" Tanyaku.

"Tongkat sihir," jawabnya, "Cukup kau bayangkan saja dan kekuatannya akan keluar
dari ujung tongkat."

"Seperti Green Lantern?"

"Apa itu Green Lantern?"


"Sudah. Lupakan saja." Lantas kuacungkan tongkat ini ke arah salah satu prajurit
lawan yang masuk ke istana, dan secara tiba-tiba keluar sinar yang membuatku tersentak ke
belakang. Sinar itu membuat lawanku hangus dan tumbang. "Oh, yang benar saja!"

Aku pun juga memutuskan untuk mencari Gadis di Ujung Senja, entah di mana dia
berada. Mungkin juga sedang ikut bertempur. Tapi tiba-tiba aku malah melihat seorang
berpenampilan seperti Kamen Rider sedang menghajar beberapa prajurit musuh dan
menghabisi semua yang mengeroyoknya.

"Siapa kau?" Tanyaku.

"Kawanmu dari Pleiades." Jawabnya, "Awas di belakangmu!"

Sebuah pukulan mendarat ke kepala lawan di belakangku. Aku pun langsung tersadar,
bahwa semua lawan yang berdatangan ini juga para prajurit wanita. Barangkali datang dari
negeri tetangga. Aku juga tidak tahu, aku tidak punya pengetahuan tentang itu.

Ratu Balqis tampak sangat tangguh sewaktu menghadapi para lawannya, bersama beberapa
prajuritnya yang tersisa, ia tidak tampak sedikit pun terluka atau tergores serangan lawan.
"Hehabisi kesemua lelawan-lawan kelian!" Ujarnya.

Sementara sekelompok tambahan prajurit berkuda menerobos dari depan istana, aku
sibuk menyemprot berbagai cahaya sihir ke beberapa lawan yang sudah masuk. Hingga
akhirnya, salah seorang prajurit musuh di detik terakhirnya hidup berkata lirih, "Hidoep
Sultana."

Wanita ini mati beberapa saat kemudian, disusul sekitar puluhan prajurit lawan yang
kembali berdatangan dengan menggunakan pedang maupun panah. Hingga sebatang anak
panah berhasil melukai bahu kananku. Selain darah yang mengucur deras, aku merasakan
nyeri dan ngilu begitu hebatnya.

Sekitar sepuluh orang mengepungku, membuatku tak berkutik hingga mereka nyaris
meringkusku, jika seandainya Gadis di Ujung Senja bertopeng Kamen Rider tidak
membantuku menghadapi mereka. Dia langsung menghajar semuanya dan menyuruhku
bersembunyi di belakang singgasana ratu.

Pertempuran berlangsung beberapa jam, aku pun langsung tersadar bahwa ada juga kerajaan
lain yang berdiri di dimensi ini—itu berarti bukan hanya Ratu Balqis—mereka barangkali
datang hanya untuk merebut kekuasaan dan memperluas wilayah. Biasanya jika kerajaan itu
tergolong kerajaan yang kuat, mereka akan langsung memberi keputusan untuk berperang.
Misalnya Presiden Bush yang senang berperang dengan Afghanistan, sebab pria itu sudah
tahu bahwa kekuatan negaranya lebih dari cukup untuk membobol pertahanan negeri di Timur
Tengah itu.

Paginya, aku diberi obat untuk menyembuhkan luka di bahu kananku. Seorang tabib wanita—
tentu saja semuanya wanita, kecuali beberapa laki-laki pesuruh atau penghibur yang tidak
dianggap penting, para wanita di sini seringkali mendapat tugas-tugas kehormatan—yang
melakukannya. Ratu Balqis menyuruhku untuk beristirahat dulu dan tidak usah buru-buru
untuk pulang. Namun, perihal siapa yang tercantik di istana ini pun tidak jadi masalah, sebab
masalah lain baru saja datang tadi malam.

Kurasa ini semacam karma, sebab di kerajaan Ratu Balqis mereka mangadu-domba
para lelaki untuk dijadikan tukang pukul dan bertarung di arena. Tak lama kemudian, saat aku
selesai melamun, Gadis di Ujung Senja datang menjengukku.

"Kamu enggak papa?" Tanya dia, kemudian duduk di kursi sebelah tempat tidurku.
Biasanya kalau cewek yang ditanya seperti ini, mereka akan menjawab, aku enggak papa,
meskipun mereka tetap saja masih bermasalah.

"Aku baik-baik saja. Mungkin hanya butuh beberapa hari sampai benar-benar pulih,"
jawabku tersenyum.

Tak lama kemudian, Ratu Balqis datang dengan semangkuk bubur berwarna putih,
uapnya mengepul di atas mangkuk. "Makanlah," katanya.
"Apa tidak merepotkan?" Tanyaku.

"Tentu saja tidak," jawabnya, "Aku tinggal dulu, ya."

Setelah Ratu Balqis pergi, aku berkata pada Gadis di Ujung Senja, "Mungkin serangan
tadi malam itu karma, sebab kalian mengadu para lelaki untuk bertarung."

"Aku tidak percaya karma," jawabnya, "Itu pasti karena negeri ini rawan untuk
diserang, mungkin sebab mereka menilai negeri ini masih lemah."

Aku manggut-manggut, "Enggak ada salahnya juga, sih, pendapatmu itu."

Kemudian aku pun memutuskan untuk melihat pemandangan di jendela, warna


langitnya masih sama, masih seperti namaku yang diberikan Nenek.

Bagian Delapan: Komputer

Begitu semangkuk bubur dari sang ratu selesai kuhabiskan, kusadari bahwa semua laki-laki
yang tadinya bertugas sebagai tukang pukul atau pelayan istana, sudah tidak tampak lagi
batang hidungnya. Mereka tampaknya sudah kabur melarikan diri. Dan aku yang masih
berpenampilan seperti perempuan ditambah dengan nama pemberian Nenek, merasa agak
gelisah dan tidak bisa tidur malam ini.

Gadis di Ujung Senja yang biasanya terlelap di tempat tidur sebelah, tampak sedang
menikmati suhu dingin dan menatap langit merah jambu di lantai balkon istana. Hm,
barangkali warna langitlah yang selama ini dapat mengingatkanku untuk tidak membuka
rahasia bahwa namaku sebenarnya adalah Merah yang bukan Merah Jambu.

Aku pun beringsut dari tempat tidur dan berjalan menghampiri Gadis di Ujung Senja,
kutanyakan padanya, "Kapan kita bisa pulang? Aku rindu ibuku, ayahku dan nenekku."

Dia tersenyum tenang dan berkata, "Berapa umurmu sekarang?"

"12 tahun," jawabku, "Tahun ini mau masuk 13 tahun."


"Di usiamu yang sekarang, memang wajar kamu masih di bawah bayang-bayang
orangtuamu. Tapi ini tak bakal lama. Toh, nanti mereka pun akan wafat dan
meninggalkanmu." Ujarnya.

Ini membuatku kesal sekaligus cemas. Sepasang mataku basah. Air mata berlinang
sampai pipi dan daguku. "Kamu mendoakan orangtuaku cepat mati, ya?"

"Ah, sudah kubilang aku tidak percaya Tuhan." Sanggahnya kemudian melipat kedua
lengannya di depan dada.

Aku bingung, "Maksudmu?"

"Kau bilang aku berdoa, padahal kau tahu di planet kami tidak ada agama."

"Oh," aku tersadar suaraku mulai serak. "Jadi siapa orang pertama di planetmu?"

"Tidak ada orang pertama. Semua penghuni di planet kami umurnya sama,"

"Sama sekali tidak ada orangtua? Kakek? Nenek?"

Dia tersenyum dan menatapku dengan santai, "Itulah yang akan kami pelajari di
planetmu. Kami ingin mempelajari bagaimana logika di sini bekerja, juga kaitannya dengan
apa yang terjadi di planet kami. Dan untungnya, aku sudah dapat banyak data. Apalagi kalian
juga menggunakan Google di komputer,"

"Ha?"

"Tidak sia-sia koresponden kami membagikan ilmu teknologi kepada kalian, kan?"
Tanya Gadis di Ujung Senja sambil menyibakkan rambutnya.

"Maksudmu? Komputer bukan ciptaan orang bumi?" Tanyaku, mau protes.

"Resepnya memang dari kami, tapi yang merakitnya itu kalian. Walaupun ada juga
yang menginovasi, tapi kami yang mengirim resep pertamanya ke manusia menggunakan
telepati." Jawabnya enteng.

Aku pun tersadar, bahwa sebagian kecil penghuni bumi pun ada yang seperti ini.
Misalnya, hal-hal yang menjadi trend di media sosial, pastilah ada orang yang memulainya
terlebih dahulu. Bukan serta-merta muncul begitu saja. Kecuali, jika polanya sama dengan
bangsa Gadis di Ujung Senja yang memiliki usia serupa satu dengan yang lainnya. Tapi itu
tidaklah mungkin, sebab kami diajarkan adanya manusia pertama di bumi, namanya Nabi
Adam.

Di saat bahuku mulai sembuh, Ratu Balqis pun memberiku tongkat sihir yang sebelumnya
kupakai untuk kusimpan. “Mana tahu kau membutuhkannya di waktu-waktu yang lain.”
Katanya.

Kemudian kami berpisah, aku dan Gadis di Ujung Senja kembali ke alam tempatku
berasal. Kami berjalan masuk ke sebuah menara yang tampaknya tembus sampai ke langit
merah jambu. Sesampainya di dalam menara, kami pun memanjat tangga yang membuat
kakiku pegal-pegal. Keadaan di dalam menara itu tampak gelap dan seolah tak ada cahaya
sama sekali.

Begitu kami hampir sampai, secercah cahaya membuat pandanganku agak silau dan
akhirnya kami keluar dari sebuah sumur di pinggir hutan berkabut. Inilah yang sempat
dimaksudkan Gadis di Ujung Senja waktu itu, pikirku.

"Ya, kau benar. Tapi kalau kita lewat sini, kamu bisa saja terjatuh dan sudah patah
tulang waktu sampai ke bawah," kata Gadis di Ujung Senja.

"Hei! Kau membaca pikiranku lagi!" Gerutuku, aku mulai jengah atas sikapnya
membaca pikiran. Bisa-bisa semua rahasiaku diketahui olehnya.

"Ini membuktikan kami punya ilmu yang lebih maju daripada penduduk bumi,"
sahutnya, "Dan kamu mulai percaya, kan? Kalau komputer memang dari bangsa kami?"
"Dulu sesudah zaman Perang Salib, ada juga kok, pertukaran budaya dan bangsa Eropa
yang malah datang ke Timur untuk belajar ilmu pengetahuan." Kataku, mulai kesal atas
sikapnya yang bagiku agak sombong. Apalagi, ia pernah berkata bahwa tidak ada bahasa asli
di planetnya.

"Iya, tapi teknologi tetaplah dari kami. Bahkan manusia pertama di bumi pun
datangnya dari planet kami," imbuh Gadis di Ujung Senja dengan tenang, seolah tak ada
masalah sama sekali atas kelakuannya.

Jadi planet mereka itu surga? Pikirku mulai bertanya-tanya. Tapi kenapa mereka
malah tidak percaya Tuhan? Mungkin memang benar, nanti di surga ada banyak bidadari,
tapi kok mereka tetap tidak percaya Tuhan?

"Tidak semua pertanyaan ada jawabannya. Itulah pekerjaan para filsuf di planetmu,"
kata Gadis di Ujung Senja.

"Aku tahu filsuf, itu kan yang di novel Dunia Sophie, kan?" Tanyaku memastikan,
sambil menahan kekesalanku atas ilmu telepatinya.

"Ya, peradaban eksotis kalianlah yang membuat kami tertarik." Jawabnya seolah tidak
menjawab, justru menjawab seperti berkomentar.
"Nah, kita sudah sampai." Kataku sambil melihat ke arah rumah nenekku yang sudah
tak jauh dari sini.

Bagian Sembilan: Gadis di Ujung Senja Pamit

Gadis di Ujung Senja mengantarku sampai ke rumah Nenek. Tapi sesampainya di situ, justru
sedang tidak ada orang. Pintu dan semua jendela ditutup, dan rerumputan di halaman juga
sudah tampak semakin tinggi. Salah satu pohon yang dulunya masih berupa bibit sudah
tumbuh sampai ke atas, dan area persawahan milik Nenek sudah penuh dengan gulma. Para
tetangga yang tadinya juga merupakan petani, atau anak-anak mereka yang biasanya bermain
kelereng atau petak-umpet, seperti menghilang begitu saja. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Gadis di Ujung Senja berkata, "Tampaknya tidak ada orang di sini,"

"Ke mana harus kucari?" Tanyaku agak cemas, barangkali ucapan yang pernah
dikatakan Gadis di Ujung Senja menjadi benar.

Tapi dia malah tidak menjawab sedikit pun, justru memeriksa sesuatu dengan gelang di
tangannya. "Wah, ini sudah lewat dua puluh tahun!"

"Ha?" Seketika air mataku berlinang, Bagaimana keadaan Ayah, Ibu dan Nenek?
Apakah mereka sudah wafat?

"Eh, iya. Aku pamit dulu, ya." Kata Gadis di Ujung Senja, "Tapi sebelum itu, aku mau
kasih kamu sesuatu."

Kemudian dia mengeluarkan sebuah gelang yang mirip dengan gelangnya, tapi entah
di mana ia menyimpan benda itu dan tiba-tiba saja keluar seperti sulap. Gadis di Ujung Senja
memasangkan gelang itu ke tangan kiriku, "Sebagai kenang-kenangan,"

Lantas dia pun mengajariku menggunakannya, "Di sini ada tombol touch-screen, kamu
bisa lihat di bagian Tutorial dan kalau lupa cara memakainya, bisa tinggal lihat di sana."

Aku terdiam. Emosiku campur-aduk. Sahabatku ini akan segera pergi meninggalkanku,
dan aku juga baru saja kehilangan keluargaku. Bagaimana dengan keadaanku nantinya?
"Aku akan hubungi Doktor Waktu, kamu bisa tinggal di asramanya dan belajar di
Fakultas Tak Terlihat," ujar Gadis di Ujung Senja.

Aku manggut-manggut, meski perasaanku masih campur aduk.

Doktor Waktu datang dari balik kabut di pinggir hutan, Gadis di Ujung Senja menyambutnya
dengan senyuman yang tampaknya agak dipaksakan. Entah mengapa. Mungkin sebab mereka
berdua pernah terlibat pertikaian, dan mungkin pertikaian itu terjadi ketika Putri Salju
diangkat jadi pimpinan.

"Sudah lama menungguku?" Tanya Doktor Waktu.

"Tidak terlalu," jawab Gadis di Ujung Senja, kemudian melipat tangannya. "Ini Merah.
Dia mau jadi anggota Fakultas Tak Terlihat,"

Doktor Waktu mengelus-elus cambang yang tumbuh lebat di pipinya, tampaknya ia


sedang memikirkan sesuatu. "Boleh, tapi organisasi kami agak tertutup. Dia bisa jaga
rahasia?"

Gadis di Ujung Senja menoleh menatapku. Kemudian balik menatap Doktor Waktu,
"Bisa. Dia selama ini menyamar sewaktu di Alam Feminix,"

Tapi, tiba-tiba kami berdua pun mulai menyadari sesuatu. Lantas Gadis di Ujung Senja
pun menekan salah satu tombol di ikat pinggangku. Seketika penampilanku pun kembali dari
seorang perempuan cantik yang pernah dipanggil Merah Jambu, menjadi seorang laki-laki
bernama Merah.

Doktor Waktu tampak terkejut. Sepasang matanya terbuka lebar dan ia pun berkata,
"Jadi kamu laki-laki? Bukan perempuan?"

"Hanya untuk berkunjung ke Alam Feminix," sahut Gadis di Ujung Senja


berkomentar.

Pria itu manggut-manggut, "Tidak diragukan lagi bangsamu punya teknologi yang
lebih dari kami."
Jadi, mungkin ada benarnya juga kalau komputer dan teknologi di bumi berasal dari
planet mereka. Kataku dalam hati.

Gadis di Ujung Senja tersenyum, "Aku pergi dulu, ya. Nanti kalau ada kesempatan
untuk bertemu lagi, akan kukabari."

Doktor Waktu mengangguk sambil tersenyum, kemudian menepuk-nepuk pundakku


dan kami pun berjalan menembus kabut ke dalam hutan, meninggalkan Gadis di Ujung Senja
yang tampaknya juga sudah mulai pergi dari tempat perpisahan kami.

Bagian Sepuluh: Mesin Kalkulasi

Tempat ini memang tak kasat mata. Aku pun juga tidak bisa melihat apa-apa, kecuali
mendengar suara-suara orang berbicara, ceramah dosen dan sewaktu berdiskusi. Barangkali
tempat ini—seperti namanya, Fakultas Tak Terlihat—memang dirancang khusus untuk sebuah
perkumpulan rahasia. Saking rahasianya, tempat ini juga tidak menyediakan bahan bacaan
atau dokumen-dokumen yang bisa membantu anggotanya untuk memahami ilmu. Mungkin
supaya tidak ada yang menyalin data-data dan menyebarkannya secara ilegal. Namun, entah
mengapa, daya ingat justru berkembang pesat di tempat ini. Para anggota dapat dengan mudah
mengingat apa pun yang sempat dikatakan oleh kawan-kawan maupun staf di tempat ini.

"Kau tahu, Kawan? Doktor Waktu tak sembarang orang. Dia disebut begitu karena dia satu-
satunya lulusan SMA yang bisa mengerjakan Mesin Kalkulasi." Kata suara seorang laki-laki
kepadaku. "By the way, namaku Biru."

"Mesin Kalkulasi?" Tanyaku tidak mengerti.

"Itu lho, mesin yang bisa membuat kita berpindah-pindah tempat ke zona waktu yang
berbeda. Termasuk kembali ke masa lalu,"

Tiba-tiba aku teringat keluargaku. Apakah mungkin aku bisa menggunakan Mesin
Kalkulasi untuk bertemu lagi dengan mereka? Tanyaku dalam hati.
"Pernah ada yang mencobanya, tapi orang tak pernah kembali lagi ke sini." Kata
seseorang lagi, tampaknya itu suara perempuan.

Lantas suara Biru terdengar lagi, "Tapi kali ini Doktor Waktu membuat implant yang
bisa mendeteksi keberadaan Para Pengelana,"

"Apa aku bisa mencobanya?" Tanyaku, berharap aku bisa menemukan lagi Ibu, Ayah
dan Nenek.

"Tentu saja bisa. Tapi setelah aku memasang implant ke tubuhmu." Kata seorang lagi,
sepertinya itu suara Doktor Waktu.

"Baiklah. Aku mau mencobanya," jawabku.

"Tapi pemasangannya akan sedikit lebih sakit dari pemasangan infus," jelas Doktor
Waktu.

"Enggak papa. Asalkan aku bisa mencobanya," kataku.

"Baiklah." Sahut Doktor Waktu.

Tiba-tiba, terasa nyeri dan ngilu yang teramat pedih di bagian lengan kiriku. Ini
membuatku pingsan seketika. Dan yang kulihat hanya hitam, tidak ada hal lain selain hitam.
#

Perlu makan waktu beberapa detik hingga aku tersadar, bahwa aku sedang berada di Alam
Feminix. Tepatnya di Sungai Bayi pada malam hari. Meskipun malam, langitnya tetap
berwarna merah jambu dan seisi hutan tampak gelap. Sekujur tubuhku basah kuyup akibat
perairan di sungai ini. Tapi aku justru bertanya-tanya, Mengapa saat ini aku berada di Alam
Feminix?

Dengan agak takut, aku mulai melihat penampilanku di atas air. Masih berwujud laki-
laki, namun dengan ikat pinggang dan gelang yang telah diberikan oleh Gadis di Ujung Senja.
Buru-buru kuubah diriku dengan sistem penyamaran kembali menjadi perempuan, dengan
nama Merah Jambu.
Samar-samar, dari kejauhan kulihat sekelompok pasukan berkuda sedang berduyun-
duyun menuju ke arah Istana Ratu Balqis. Dengan pakaian basah kuyup yang membuat
pergerakanku menjadi lambat sebab basah terkena air, aku langsung berlari ke Istana Ratu
Balqis untuk memperingatkannya tentang serangan yang akan berlangsung malam ini. Aku
menyesal mengapa tidak merubah penampilan sewaktu sudah keluar dari sungai.

Aku tiba justru setelah sekelompok pasukan berkuda itu datang dan menyerang serta
mengacaukan seisi istana. Ratu Balqis tampak dengan lihai berbaku-hantam dengan semua
prajurit musuh yang melawannya, dan Gadis di Ujung Senja yang berwujud Kamen Rider
terlihat sedang berusaha melindungi seorang perempuan—aku! Aku di masa lalu, dan
tersadarlah aku bahwa saat ini sudah terlambat untuk kembali ke alam tempatku berasal.

Beberapa orang laki-laki terlihat melarikan diri dari istana, dan sebagian dari mereka
sudah lolos masuk ke dalam hutan. Aku jadi teringat bahwa aku sempat berkata pada Gadis di
Ujung Senja, bahwa penyerangan mendadak ini merupakan akibat dari memperlakukan para
laki-laki itu sebagai budak dan tukang pukul di arena tinju. Tidak ada asap kalau tidak ada
api, begitulah karma.

Aku memilih untuk tidak memasuki istana, takut dikira yang bukan-bukan oleh pihak Ratu
Balqis. Lagipula, aku tidak suka bertempur, berperang maupun berkelahi. Aku juga jadi
teringat perkara apel yang nyaris melukai wajahku, jadi kuputuskan saja untuk menyusul para
pelarian yang merupakan sekelompok laki-laki yang tadinya merupakan budak atau tukang
pukul ke dalam hutan.

Tak sampai beberapa menit, Gadis di Ujung Senja mengontakku melalui gelang yang
terpasang di tanganku. Dia bertanya, "Kamu kembali ke Alam Feminix?"

"Iya," jawabku, "Sebetulnya aku mau bertemu lagi dengan orangtuaku. Tapi aku malah
tersesat di sini,"
"Masih tahu, kan, jalan keluar Alam Feminix?" Tanya dia lagi.

"Iya. Aku tahu," sahutku, "Tapi ini sudah terlambat. Aku tak bisa bertemu lagi dengan
mereka,"

"Ini salahku. Akan kucoba melacak keberadaan orangtuamu." Perkataannya


membuatku tersenyum, agak lega rasanya.

Tapi kemudian dia berkata lagi, "Tapi, kamu harus membantuku menyelidiki siapa
pihak yang menyerang Ratu Balqis."

"Baiklah,"

Bagian Sebelas: Sultana

Sebelum kuputuskan untuk menyelidiki pihak penyerang, aku pun mengaktifkan mode
penyamaran dalam bentuk salah satu prajurit Sultana. Kudapatkan dari salah satu jasad di
antara mereka yang baru-baru ini dicampakkan ke dalam hutan, sesaat sebelum serangga dan
binatang-binatang lain seperti burung atau kelelawar menggerogotinya. Lantas, secara
sembunyi-sembunyi kuambil salah satu kuda dan mengutak-atik gelang di tanganku agar bisa
berbicara dalam bahasa kuda. Kukatakan pada kuda ini agar mengantarku ke kerajaan Sultana.

Sekitar dua jam, aku sampai di depan sebuah halaman yang sangat luas. Kuaktifkan mode
bahasa yang sudah menjadi paket komplit dari mode penyamaranku. Dengan tembok dan
gerbang, yang dijaga oleh empat orang pengawal dengan baju zirah lengkap. Aku juga melihat
sebuah menara yang sebegitu tingginya, dan tampaknya juga merupakan pengawas yang akan
membunyikan lonceng jika ada pihak lawan mendekati kerajaan ini.
Istana Sultana tampak seperti masjid raksasa berwarna hitam legam, dan salah satu
dari keempat pengawalnya menyapaku. "Bagaimana keadaannja?"

"Kami gagal. Semoea pradjoerit selain akoe tewas diboenoeh Ratu Balqis," jawabku,
kemudian memperlihatkan beberapa luka palsu yang kukopi dari jasad pemilik penampilan
ini. "Akoe haroes menemoei Sultana oentoek beroending,"

"Masoek," katanya, dan membukakan pintu gerbang hingga aku dan kuda
tungganganku melewati gerbang dan berjalan menuju Istana Hitam itu.

Setelah turun dari kuda di halaman Istana Hitam, aku pun langsung masuk dan menghadap di
depan singgasana Sultana. Wanita itu tampak seperti seorang dari keturunan campuran bangsa
Arab, Mesir dan India. Sultana tampak sangat cantik, sebuah kecantikan yang sepertinya
melebihi kecantikan Ratu Balqis.

"Djadi hanja kaoe jang tersisa?" Tanya Sultana.

"Ja, Sultana." Jawabku sebisa mungkin meyakinkannya.

"Ratu Balqis terkoetoek!" Umpatnya, kemudian menyuruhku untuk pergi ke asrama


agar diobati oleh tabib.
#

Sesaat sebelum seorang tabib datang untuk mengobati luka palsuku, kuhubungi Gadis di
Ujung Senja, "Aku berhasil masuk. Tak diragukan lagi, penguasa bernama Sultana itu
memang berambisi untuk meluaskan daerah kekuasaannya."

"Aku berhasil menemukan keberadaan orangtuamu." Kata Gadis di Ujung Senja,


seolah tidak menanggapi kata-kataku. "Tapi nenekmu sudah wafat,"

Aku tidak terkejut. Aku justru sudah menduganya sejak awal, tapi mengingat bahwa
Nenek sempat memberikan kalung merah jambu kepadaku, kurogoh bagian dalam bajuku dan
menggenggamnya erat-erat. Sepasang mataku terasa basah dan dadaku terasa nyeri.

Tak lama kemudian, seorang wanita kurus berpakaian putih datang dan berkata bahwa
ia adalah tabib yang akan mengobati luka-luka di tubuhku, yang meskipun luka palsu.

"Loekamoe tidak terlaloe serioes," katanya, sambil membersihkan luka-luka palsu di tubuhku
"Sakit?"

Aku menggeleng, tapi mengingat bahwa aku harus mengesankannya bahwa ini luka
asli, aku berkata, "Sedikit."

"Istirahatlah," kata wanita ini, "Perloe beberapa hari oentoek menyemboehkannja."

Bagian Dua Belas: Strategi Penyerangan Kedua

Setelah luka palsu di tubuhku pulih, aku pun diajak ikut serta ke dalam rapat strategi
penyerangan kedua yang dipimpin langsung oleh Sultana. Kali ini, Sultana akan mengerahkan
seluruh pasukannya untuk melakukan penyerangan ke Istana Ratu Balqis. Berbagai senjata
pun disiapkan, termasuk mesin pelontar bola api untuk membumihanguskan Istana Ratu
Balqis. Dan setelah rapat selesai, aku pun kembali ke kamarku dan memberi kabar kepada
Gadis di Ujung Senja tentang semua rencana yang akan dilakukan Sultana sewaktu
penyerangan.
Tiba-tiba, pintu kamarku diketuk dan seseorang di baliknya membuka pintu ini tanpa
izin. Seorang wanita yang merupakan tabib, yang pernah mengobatiku membuatku ketahuan
sedang melakukan komunikasi jarak jauh. Tapi sebelum dia berteriak melaporkannya kepada
pengawal, aku langsung menembaknya dengan tongkat sihirku. Kuseret tubuhnya ke bawah
tempat tidur, dan kuputuskan untuk kabur dari Istana Hitam.

Kupacu salah satu kuda untuk kembali ke Istana Ratu Balqis, dan di tengah perjalanan,
kuubah mode samaranku kembali ke wujud Merah Jambu—tentu saja versi diriku di masa lalu
sedang berada di Fakultas Tak Terlihat saat ini—Gadis di Ujung Senja ternyata sudah
menungguku di istana, dan segera dilaporkannya pada Ratu Balqis bahwa aku sudah datang.
Ratu Balqis datang menyambutku, tersenyum ramah dan berkata, "Kamu baik-baik saja, kan?"

"Ya, Tuan Ratu." Jawabku memaksakan senyum.

Ratu Balqis menoleh ke Gadis di Ujung Senja, "Kekita-kita ini-ni masih-memasih-


masihi kemempunyai kesempat-sempatan untuk-peruntuk mengenyiapkan semua-muanya,"

Gadis di Ujung Senja tersenyum, "Ya, aku-akui tahu-menahu Itu-tu."

Kemudian Ratu Balqis bertanya padaku, "Apakah kamu masih menyimpan


tongkatnya?"

"Masih, Tuan Ratu."

"Tidak terlalu sulit, kan?"

"Ya,"

"Itu jenis senjata yang paling mudah digunakan di antara pasokan senjata lain di sini,"

Aku manggut-manggut.

"Meskipun jumlah prajurit kita tidak terlalu banyak, aku tahu kita masih bisa melawan
mereka. Apalagi, jika mereka menggunakan semua prajurit mereka, kita tinggal mengurus
semuanya. Dan setelah itu, tumbanglah kekuasaan Sultana." Kata Ratu Balqis, baru kusadari
bahwa ia selalu berpandangan baik ke semua hal.

Lantas, tiba-tiba ia berkata lagi, "Sini, mau kuperkenalkan kamu ke anggota-anggota


kita."

Selama beberapa hari, aku langsung hafal dengan para anggota pertahanan Ratu Balqis. Ada
nenek tua bernama Marylin Brando yang merupakan penyihir paling sakti di Alam Feminix.
Ada Puan Naga yang sudah berlatih kungfu selama lebih dari satu abad. Kunoichi, seorang
asasin yang mempunyai ratusan jurus rahasia mulai dari perkelahian jarak jauh hingga jarak
dekat. Serta Robot, seorang manusia setengah mesin yang tak diketahui apakah laki-laki atau
perempuan, dan barangkali bisa mengobrol dengan seru terkait teknologi dengan Gadis di
Ujung Senja.

Keempatnya, jika ditambah dengan aku dan Gadis di Ujung Senja, hanya akan
berjumlah enam orang. Tujuh jika Ratu Balqis ikut dalam pertempuran ini, seperti yang
pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, tidak ada penghuni Istana Ratu Balqis yang ikut, sebab
mereka tidak terlatih untuk bertempur.

Marylin Brando bertugas untuk menghalau lemparan bola api jika diperlukan. Puan
Naga dan Robot akan mengurus pasukan berkuda yang nantinya menyerang istana. Kunoichi
bertugas untuk melindungi area halaman istana. Sementara itu, aku masih belum tahu di mana
posisiku bersama Gadis di Ujung Senja. Ratu Balqis mungkin hanya akan berjaga-jaga di
dalam istana. Barangkali tugasku dan Gadis di Ujung Senja adalah menemani Ratu Balqis
yang berada di dalam istana.

Bagian Tiga Belas: Melawan Sultana

Kunoichi sudah memasang berbagai jebakan seperti ranjau peledak dan lubang yang diisi oleh
bambu-bambu runcing. Puan Naga masih bermeditasi untuk mengumpulkan tenaga dalamnya.
Robot sedang mengisi baterainya sampai penuh. Sedangkan Marylin Brando mengawasi dari
balik awan, wanita tua itu duduk di sana tanpa sedikitpun takut jatuh. Dari kejauhan, Gadis di
Ujung Senja memperhatikan prajurit berkuda degan Sultana yang berada di atas kereta kuda,
“Jumlahnya ada lebih dari 1000 orang,”

“Ya, seperti yang kukatakan—atau sudah kukatakan kemaren?” kataku.

“Sudah,” jawab Gadis di Ujung Senja sambil mengutak-atik gelangnya.

“Apa yang kau lakukan?”

“Sekedar berjaga-jaga saja,”

Meskipun tidak mengerti, aku tetap memperhatikannya mengutak-atik peralatannya


itu. Hingga Marylin Brando berujar, “Kita-kitai diserang-serangikan!” sambil menahan bola-
bola api yang dilontarkan ke arah Istana Ratu Balqis, kemudian membalikkan bola-bola api
itu ke arah lawan, mereka tampak seperti tepung yang dilemparkan ke dinding. Robot
langsung melepaskan kabel pengisi baterainya, dan melesat ke arah sekelompok prajurit
Sultana dan keluar pedang katana dari kedua lengannya, Robot pun berputar seperti gasing,
merobek setiap perut dan leher sejumlah prajurit Sultana.

Pertempuran berlangsung selama tiga belas jam, dan setelah itu Robot mulai
kehilangan dayanya. Masih ada sebagian prajurit lawan yang menerobos halangan Robot.
Puan Naga membuka sepasang matanya, kemudian meluncur ke arah para prajurit itu dengan
kecepatan angin. Kunoichi menembakkan busur yang diisi oleh panah dan mesiu, hingga
panah-panah itu melesat ribuan kali lipat ke arah prajurit Sultana.

Hingga ketika tidak ada lagi prajurit Sultana yang tersisa, Sultana pun merapal
semacam jampi-jampi yang dapat memperbanyak jumlah dirinya. Aku teringat jurus bunshin
dari serial Naruto yang sempat kubaca di komik-komik sepupuku. Tiba-tiba saja Gadis di
Ujung Senja ikut meningkatkan jumlah dirinya, kemudian terjadilah pertempuran sengit
antara wanita alien ini dengan manusia supranatural alam lain itu. Pertempuran ini memakan
waktu empat malam, hingga Sultana pun merasa letih dan kehilangan tenaganya untuk
merapalkan jampi-jampi selanjutnya. Dua orang kloning Gadis di Ujung Senja pun mencegat
Sultana dan membawanya ke hadapan Ratu Balqis.
Ratu Balqis pun bertanya tentang alasan Sultana menyerang kerajaan ini. Tapi Sultana
malah membuang ludah dan berkata bahwa ia tidak akan memberitahunya. Gadis di Ujung
Senja pun menyuntikkan serum yang membuat Sultana berbicara terus-terang, hingga
didapatilah bahwa Sultana cemburu akibat Biksu Tong San Chong lebih memilih Ratu Balqis
ketimbang dirinya, sekalipun Sultana pernah menculik biksu itu. Kemudian, dengan mantra
Marylin Brando, dikurunglah Sultana ke dalam sebuah kertas hingga Sultana menjadi sebuah
lukisan di atas kertas itu.

Bagian Empat Belas: Teknologi Pleiades

Setelah Sultana dikurung dalam lukisan dan Ratu Balqis memperbolehkan semua anggota
tempur pergi berlibur. Gadis di Ujung Senja mengajakku berjalan-jalan di hutan, di luar Istana
Ratu Balqis. Dia berkata padaku, bahwa daerah perkampungan mendiang Nenek sedang diisolasi
akibat pesawat luar angkasa yang ditinggalkannya begitu saja. Seluruh aparat seperti polisi dan
Badan Intelijen Negara diperintahkan untuk memeriksa pesawat itu. Aku merasa geli dan
sekaligus lega, meski kurasa aku sudah kehilangan salah satu orang yang kucintai.

"Di mana mereka?" Tanyaku padanya.

"Kemungkinan besar mereka kembali ke rumah kalian di Ibukota," Jawab Gadis di Ujung
Senja tersenyum.

"Alhamdulillah." Ucapku begitu saja.

Dia tersenyum, "Tampaknya kau memang percaya Tuhan, ya?"

"Tentu saja. Tuhanlah yang memberiku pertolongan di setiap waktu, langsung ataupun
tidak langsung." Jelasku, sambil berpikir-pikir kalau Gadis di Ujung Senja juga tertarik
menjadi mualaf.

"Di planetku, pertolongan ada dari hasil usaha yang dilakukan semua penduduknya."
Ujarnya, "Aku tidak bisa percaya Tuhan dengan begitu saja,"

Kami sampai di Sungai Bayi. Tampak beberapa penghuni Istana Ratu Balqis meminum
air dan seketika perut mereka membesar, dan sekitar kurang dari lima belas menit kemudian
keluar seorang bayi dari perut mereka masing-masing. Bayi itu tidak menangis, justru mereka
saling bertanya kepada masing-masing single parent mereka. "Sesiapa-siapakah nama-menama
namai daku?"

Setelah itu para single parent mereka pun saling memberi nama untuk para putrinya. Dan
setelah nama itu diberikan, bayi-bayi itu pun langsung tumbuh menjadi balita yang mulai bisa
berjalan. Para ibu itu langsung memberikan mereka permen lolipop, biskuit Marie Regal dan
sebotol susu yang entah di mana mereka simpan sebelumnya.

"Mereka mendapatkan barang-barang itu dari tumbuhan-tumbuhan gompang-i di dekat


sini." Jelas Gadis di Ujung Senja, "Kecuali biskuit, mereka sudah menyiapkannya sebelumnya.
Lihat, di sekitar gompang-i tumbuh beberapa batang lolipop yang bisa dicabut."

Aku melihat beberapa jamur raksasa yang disebutnya sebagai gompang-i, di bawahnya
memang tumbuh berbagai permen lolipop yang saling mengitari jamur-jamur raksasa itu.

"Sedangkan susu, mereka dapatkan dari cairan gompang-i yang sudah disayat
batangnya." Jelas Gadis di Ujung Senja, "Seperti getah dari pohon karet di duniamu."

Aku manggut-manggut, "Kau bilang mau melakukan penelitian di sini, tapi kenapa tidak
merekam atau mencatatnya?"

"Setiap pasang mata dari penduduk di duniaku saling terhubung, kami menyebutnya
Tatapan Jaring Laba-laba." Jawabnya tersenyum santai, kemudian mengibas rambut
keemasannya dengan kedua tangan, seolah ingin memancarkan auranya. Mungkin ia ingin
tampak kharismatik di hadapanku, meski kekonyolan meninggalkan pesawatnya membuatku
berpikir sebaliknya.

"Selanjutnya aku akan pergi ke Negeri Tsar-tars. Kamu mau ikut?" Tanya Gadis di Ujung
Senja.

"Apakah Negeri Tsar-tars juga bermusuhan dengan Ratu Balqis?" Tanyaku sambil
menggigit bibir.

"Aku belum tahu pasti. Tapi menurut informan yang kudapat dari Para Pelancong,
mereka hidup damai. Mereka hanya akan menggunakan senjata untuk berburu," jawabnya.
"Sebetulnya aku mau pulang, tapi aku juga tertarik untuk pergi ke sana." Kataku.
Kemudian Gadis di Ujung Senja pun mengambil sebutir kapsul yang entah di mana ia simpan,
lantas melemparnya seperti petasan yang membuatku ingat akan malam Ramadhan.

Setelah terdengar sebuah suara letusan kecil, dari kapsul itu keluar kabut yang sangat
pekat. Setelah kabut itu mulai menipis, terlihat sebuah sepeda motor yang berdiri gagah dengan
berbagai tombol layar sentuh. Motor yang sangat canggih, bahkan kendaraan ini tidak memiliki
roda dan melayang sekitar 50 sentimeter di atas tanah. "Ini namanya Graviton, sebab tunggangan
ini mengandalkan sistem anti-gravitasi sebagai medianya. Selain itu, Graviton juga
mengandalkan gravitasi sebagai daya mesin." Kata Gadis di Ujung Senja dengan bangga,
kemudian naik dan menggenggam kedua kemudi. Diberinya kode padaku untuk ikut naik, aku
pun duduk di belakangnya.

Di tengah perjalanan yang melewati bukit-bukit pasir yang cukup terjal dan pemandangan
sebuah gunung yang membuatku agak takut, Gadis di Ujung Senja menjelaskan bahwa daerah ini
disebut Bukit Korhat dan gunung yang menggetarkan itu dinamai oleh Bangsa Tsar-tars sebagai
Gunung Alpem. Bukan hanya mengerikan, justru di sini banyak sekali ghoul hasil mutasi dari
Bangsa Sakrain yang melakukan uji coba terhadap manusia. "Bangsa Sakrain ini adalah
pembelot dari penduduk Planet Gliese, yang merupakan musuh bebuyutan Pleiades. Tapi,
walaupun membelot dari Gliese, mereka juga berlawanan dengan Pleiades. Sulit ditebak kenapa
mereka tidak mencari dukungan dari kami. Padahal kalaupun iya, Pleiades akan lebih mudah
mengetahui kelemahan Gliese,"

"Apakah mereka juga seperti Sultana?" Tanyaku sambil mengamati perbukitan gersang
yang hanya ditumbuhi sedikit jamur-jamur amanita vera raksasa, pernah kubaca di salah satu
buku ensiklopia bahwa ini jenis jamur beracun.

"Mungkin. Mungkin juga tidak," jawab Gadis di Ujung Senja, "Salah satu dari Para
Pelancong berkata bahwa mereka lebih tertarik mengembangkan ilmu pengetahuan."

"Ada hubungannya dengan Fakultas Tak Terlihat?"

"Entahlah. Tidak ada catatan tentang itu,"

"Mungkin, suatu saat, aku akan pergi ke sana dan juga tercatat sebagai Pelancong."
Kataku sambil berandai-andai menulis sebuah catatan dan menerbitkannya.

"Tapi mungkin itu agak sulit. Bangsa Sakrain menutup dan mengunci perbatasan
Kerajaan Sakrian," komentar Gadis di Ujung Senja sambil sekilas menatap kaca spion untuk
memperhatikanku.

Meski begitu, kurasa pekerjaan ini cukup menantang. Dan aku memang akan sungguh-
sungguh mengerjakannya.

Bagian Lima Belas: Ghoul

Ketika kami belum kunjung sampai di daerah Tsar-tars, seekor monster berbentuk manusia
raksasa menyembul dari dalam gundukan pasir. Aku melihatnya seolah sedang menonton
rekaman sebatang bibit tumbuhan dengan setting video berkecepatan tinggi hingga bibit itu
tampak tumbuh dalam hitungan detik. Tentu aku terkejut, namun tidak punya ide untuk
mengandalkan tongkat sihirku untuk melawan.
Gadis di Ujung Senja langsung menarik tuas kemudi untuk menghindari serangan
monster raksasa ini. "Itu yang kusebut ghoul," katanya kepadaku, "Lebih baik
menghindarinya. Karena kalau tidak, ia akan memanggil teman-temannya dan mereka cukup
sulit untuk dilawan."

"Bukannya kamu punya sistem Kamen Rider?" Tanyaku dengan detak jantung yang
saling berkejaran.

"Tapi mereka itu mayat hidup, hanya sihirlah yang bisa menaklukannya." Jawab Gadis
di Ujung Senja sambil mempercepat sepeda motor. "Mayat hidup tidak bisa dibunuh, karena
mereka memang sudah mati."

"Tapi, bukankah mereka hasil dari teknologi?" Tanyaku tidak mengerti.

"Justru hanya teknologi Bangsa Sakrain yang bisa menghadapinya." Jawabnya, "Tapi
ini masih kemungkinan, karena Bangsa Sakrain malah tidak menggunakan mereka untuk
senjata perang. Bisa jadi mereka dibuang ke sini karena Bangsa Sakrain pun kewalahan,"

"Perang dengan Ratu Balqis?" Tanyaku, kali ini aku mungkin tampak goblok.
"Kamu sungguh naif! Cuma Sultana yang menginginkan kekuasaan di Alam Feminix."
Jawab Gadis di Ujung Senja, "Sakrain justru ingin menguasai Gliese dan Pleiades."

Setelah kami berhasil melewati ghoul itu, yang sudah tertinggal sekitar enam belas meter dari
belakang, Gadis di Ujung Senja pun bertanya padaku, "Sebenarnya bagaimana kehidupanmu
sebagai hermafrodit?"

"Ya, kira-kira seperti kuda laut. Begitu aku jatuh cinta pada seseorang, aku menuliskan
puisi untuknya. Setelah puisinya selesai, orang itu pergi dan tinggalah aku sebagai orang yang
sudah melahirkan karya." Jawabku, "Tidak pernah ada yang menetap bersamaku, sebab puisi
ibaratnya bagian akhir dari hubunganku dengan orang itu."

"Kamu pernah mencintai laki-laki?" Tanya dia lagi. Kuanggap itu hanya pertanyaan
iseng dan kujawab dengan tertawa saja.

Tapi Gadis di Ujung Senja bertanya lagi, "Ini serius. Kamu pernah jatuh cinta ke laki-
laki?"

"Pernah. Tapi tidak secara seksual. Plato menyebutnya cinta platonik." Jawabku, kali
ini aku mulai menganggapnya berpikir bahwa aku seorang gay.

"Siapa Plato?" Tanya dia lagi.

"Filsuf Yunani, dia orang yang pertamakali menggagas konsep feminisme." Jelasku,
meski mungkin aku salah. Mungkin feminisme berawal dari Mary Wollstonecraft, bukan
Plato. Tapi aku juga masih belum menelusurinya lebih jauh.

"Selain naif, kamu juga pintar, ya?" Kata Gadis di Ujung Senja, mungkin dia
menggodaku.

Tiba-tiba dia melanjutkan, "Hei! Jangan kau pikir aku sedang menggodamu, ya! Aku
hanya kagum, bukan cinta."
"Ah, kamu pikir cinta itu hanya sebatas hubungan seksual? Justru cinta lebih dari itu.
Cinta kepada Tuhan juga ada." Bantahku, sambil mengingat seorang wanita sufi yang
menolak untuk menikah.

"Tapi, bukannya ada ya, orang yang menikah dengan Tuhan?" Tanya Gadis di Ujung
Senja kemudian.

"Kamu bilang kamu enggak percaya Tuhan," ujarku mengomentarinya. Atau mungkin
mengkritik.

Dia malah tertawa sambil menatap ke depan. Kemudian berkata, "Aku hanya
mengujimu. Mana mungkin dunia ada tanpa Tuhan? Bahkan bangsa kami sudah lebih dulu
mengenal Tuhan daripada penduduk bumi yang waktu itu masih pithecanthropus erectus."

"Lalu agamamu apa?" Tanyaku, seakan berada di tengah-tengah dinding antara


kebohongan dan kejujurannya.

"Jangan bicarakan agama, lah." Jawabnya malas, kemudian kembali melirik kaca spion
dan menatap lagi ke depan.

Bagian Enam Belas: Daerah Tsar-tars

Kami sampai di sebuah daerah yang membuatku teringat dengan film-film Winnetou. Sebuah
negeri yang lebih mirip dengan perkampungan dengan sejumlah tenda-tenda mirip rumah
suku Indian Amerika, berdiri di balik sebuah dinding dari bebatuan yang tinggi menjulang
sekitar tujuh meter. Mungkin sengaja dibangun oleh penduduknya untuk melindungi mereka
dari serangan ghoul. Dan aku mengerti kenapa Sultana tidak menyerang daerah ini, sebab
lokasinya tidak memungkinkan. Sungguh berbahaya jika melakukan perjalanan seperti tadi.
Lagipula, jika mereka memang melakukan serangan, tembok ini akan membuat mereka
terjepit di antara jalan tertutup dengan monster raksasa yang akan menyantap mereka.

Kami diizinkan masuk setelah seorang dari mereka berbicara pada Gadis di Ujung
Senja dengan bahasa yang tidak kumengerti. Sahabatku ini kemudian menjelaskan padaku,
bahwa dulu ada seorang raja yang membantu mereka untuk membangun tembok demi
menghalangi serangan dari luar. Raja? Pikirku, Bukannya ini dunia khusus perempuan?
Meski begitu Gadis di Ujung Senja tidak mengomentari isi pikiranku. Dia
mengabaikannya—seperti berdalih—dengan tetap berbicara dengan salah satu penjaga
tembok Negeri Tsar-tars.

Setelah itu, mereka menuntun kami untuk bertemu dengan pimpinan mereka. Seorang
kepala suku bernama Bengis Kan. Saat aku melihatnya, aku menyadari bahwa nyaris semua
penduduk di sini adalah laki-laki yang sudah dikebiri. Aku pun juga tersadar bahwa semua
penduduk di Alam Feminix merupakan mahluk immortal. "Semua penduduk di Alam Feminix
akan mati jika mereka menikah," jelas Gadis di Ujung Senja kepadaku.

"Nahk, bisak beriktahuk akuk tukjuan kaklian daktang kekmarik?" Tanya Bengis Kan,
yang rupanya bisa berbicara dengan bahasa yang sedikit mudah kucerna.

"Kami ingin berkunjung untuk mempererat rasa persaudaraan," jawab Gadis di Ujung
Senja.

Bengis Kan kemudian menjelaskan sesuatu kepada orang-orangnya dalam bahasa


mereka. Lantas, salah satu dari mereka mengangguk dan menjawab Bengis Kan, juga dalam
bahasa yang tidak kumengerti.

Kami dihidangkan angsa bakar dan ikan tumbuk, yang kuperhatikan sendiri proses
pembuatannya. Seekor angsa yang mereka pelihara di kandang, ditangkap dan disembelih,
lantas dibumbui dengan rempah-rempah seperti merica, oregano, rosemary, garam dan jintan;
kemudian dibakar di atas api unggun. Sedangkan ikan tumbuk hanya diberi garam dengan
lada hitam, kemudian dihaluskan sampai menjadi bubur dan dimasak di atas panci.

"Mereka memang dibantu oleh seorang raja untuk membangun tembok batu itu," kata
Gadis di Ujung Senja sambil menatap ke arah perbatasan Bukit Korhat dengan Negeri Tsar-
tars. "Kalau tidak salah, raja itu bernama Arogan."

Aku malah terkekeh mendengarnya. Kenapa tidak dinamai saja laki-laki itu Iskandar
Zulkarnain? Kataku dalam hati.
Gadis di Ujung Senja bercerita, sebelum jumlah penghuni Alam Feminix berjumlah
jutaan penduduk, seorang laki-laki bernama Wiji Thukul adalah orang pertama di alam ini.
Kemudian, ia yang merasa kesepian didatangi oleh seorang perempuan bernama Afrodit. Wiji
Thukul terpesona oleh kecantikan yang belum pernah dilihatnya, dan Afrodit juga terpikat
lantaran Wiji Thukul pandai menulis puisi cinta untuknya.

Dari hubungan keduanya, lahirlah dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Laki-
laki tertua diberi nama Amin, sedangkan laki-laki termuda diberi nama Kabul. Perempuan
tertua diberi nama Iklim dan perempuan termuda diberi nama Labu. Namun, begitu
keempatnya memasuki masa remaja, Wiji Thukul dan Afrodit meninggal dunia. Sebagai
gantinya, Amin menjadi penanggung jawab semua adik-adiknya hingga entah setan dari mana
yang membuat Kabul menghamili Iklim.

Amin merasa kecewa pada adik-adiknya, tapi justru menikahkan Kabul dengan Iklim.
Kedua adiknya ini pun dianugerahi seorang bayi yang diberi nama Arogan. Setelah Arogan
beranjak remaja, Kabul dan Iklim pun akhirnya wafat mengikuti ibu dan ayah mereka.
Akhirnya, Amin pun mengerti bahwa di dunia mereka ini, tidak boleh ada hubungan seksual
sebab orang yang melakukannya bisa mati.

Demi berjaga-jaga agar setan tidak berhasil mempengaruhinya untuk berhubungan


seksual, Amin pun mengebiri kemaluannya, dan upayanya memang berhasil. Setelah itu,
Amin pun menemukan cara bagaimana supaya jumlah penduduk di dunia mereka bertambah.
Bukan hanya tiga orang di antara mereka saja. Tepatnya di sebuah sungai, saat Amin
kehausan dan ia minum dari airnya, Amin pun mengandung seorang anak dan sembilan menit
setelahnya ia pun melahirkan bayi laki-laki dari lubang bekas kemaluannya yang sudah
disingkirkan. Labu pun mengikuti cara Amin agar bisa meningkatkan jumlah keturunan dan
melahirkan bayi perempuan. Begitu terus hingga akhirnya terdapat sekitar lima ratus anak
perempuan dan sembilan ratus anak laki-laki yang akhirnya tumbuh dewasa lebih cepat
daripada usia Arogan.

Namun, setan kembali membuat onar seperti setan-setan lainnya di alam semesta.
Terjadi konflik di antara anak-anak Amin dan anak-anak Labu. Mereka berperang dan
tewaslah Amin dan sebagian anak-anaknya, begitu pula Labu serta seluruh anak-anaknya.
Arogan saat itu entah di mana, ia mengembara ke tempat-tempat yang belum pernah dijelajahi
siapa pun di dunia ini. Lantas, ketika ia kembali, ia sudah membawa beberapa kitab catatan
yang dikumpulkannya dan diberinya judul Alam Feminix.

Semenjak saat itu, ia dan anak-anak Amin yang tersisa membangun sebuah peradaban.
Sebuah kerajaan dengan Arogan sebagai rajanya.

"Lantas, dari mana datangnya para penghuni lain seperti Ratu Balqis, Sultana, Tsar-tars dan
Sakrain?" Tanyaku setengah protes.

"Ratu Balqis datang dari tempat yang sama denganku," jawab Gadis di Ujung Senja,
"Aku tidak tahu dari mana Sultana, tapi berdasarkan catatan-catatan dari Para Pelancong, ia
dan pengikutnya berasal dari Timur Tengah. Sedangkan Tsar-tars bermula dari campuran
Mongolia dan Persia. Dan Sakrain, tentu saja sudah kukatakan kalau mereka dari Gliese."

"Bukan itu. Maksudku, dari mana mereka bisa datang ke sini? Keempat bangsa yang
berbeda-beda itu?" Tanyaku dengan sedikit kesal. Meski bisa membaca pikiran, Gadis di
Ujung Senja tampaknya tidak menanggapi pertanyaanku dengan serius.

"Sebagian pengikut Arogan yang menjelajahi duniamu membawa beberapa orang yang
ditemuinya untuk tinggal di sini," jawabnya, "Tapi yang jelas, Bangsa Tsar-tars memiliki
hubungan khusus dengan Arogan."

"Tapi kenapa Ratu Balqis membuat para laki-laki di negerinya menjadi budak?"
Tanyaku protes. Tapi sebelum Gadis di Ujung Senja menjawab, Bengis Kan sudah memanggil
kami untuk menyantap angsa bakar dan ikan tumbuk.

Bagian Tujuh Belas: Cerita dari Bengis Kan

Menurut cerita dari Bengis Kan, Arogan memberi judul Alam Feminix untuk catatan
perjalanannya disebabkan pengetahuannya yang cukup luas tentang dunia tempat kami berada
saat ini. Diberi judul begitu lantaran tidak peduli laki-laki atau perempuan, semua
penghuninya selalu dapat melahirkan jika minum air di Sungai Bayi. Selain itu, setiap laki-
laki—yang tentu saja sudah dikebiri—juga akan mengalami menstruasi hingga usia 71 tahun.
Di dalam catatan itu tertulis, bahwa perairan di Sungai Bayi berkaitan erat dengan jamur-
jamur atau gompang-i yang memiliki efek serupa dengan sperma dari kemaluan para lelaki
normal. Hanya saja, gompang-i tidak sampai membunuh, justru menyehatkan dan membuat
orang yang minum di Sungai Bayi menjadi awet muda.

Setelah Bangsa Tsar-tars mulai bermigrasi ke Alam Feminix, mereka pun menyadari
bahwa ada marabahaya yang mengancam mereka. Sekumpulan monster berbentuk manusia
raksasa yang sangat menakutkan membuat kehidupan mereka tidak aman dan nyaman. Ketika
Arogan datang ke daerah Bangsa Tsar-tars, mereka memohon untuk dibangunkan sebuah
tembok yang dapat melindungi mereka dari sekumpulan monster-monster itu.

Bangsa Tsar-tars percaya, gangguan yang mengancam mereka ini berasal dari Langit
Merah Jambu. Para dewa yang tinggal di sana tidak menyukai mereka sebab mereka tidak
tahu-menahu apa yang harus dilakukan untuk menyembah para dewa. Maka, selain meminta
dibangunkan tembok, mereka juga bertanya kepada Arogan tentang tata cara ibadah yang
harus mereka lakukan.

Alih-alih mengajarkan mereka beribadah, Arogan malah mengajarkan mereka untuk


bercocok-tanam. Menanam rempah-rempah dan juga memelihara hewan untuk persediaan
makanan. Sang raja juga mengajari mereka memasak berbagai makanan, mulai dari pastel
daging khusur, dimsum domba, kebab, pilaf, lokum, steik, angsa bakar dan masakan lainnya.
Arogan juga memerintahkan agar setiap anggota Bangsa Tsar-tars dikebiri sambil
menceritakan bahwa setiap orang yang berhubungan seksual akan mati di dunia ini. Dan
begitu mereka bertanya lagi tentang ibadah, Arogan memilih pergi dan sejak saat itu ia tak
pernah kembali.

Semenjak kepergian Arogan, seluruh masyarakat Bangsa Tsar-tars berunding


mengenai siapa yang akan memimpin mereka. Dipilihlah satu per satu dari mereka yang
mengajukan diri, diuji dengan berbagai rintangan seperti penggunaan senjata, balap kuda,
gulat dan catur. Catur bagi Bangsa Tsar-tars dibuat dari batu yang diukir dengan bentuk dewa-
dewa yang tinggal di Langit Merah Jambu.

Hingga pada tahap akhir, seorang anak bernama Finjin terpilih dan diberi gelar dengan
sebutan Bengis Kan. Meski Finjin sudah terpilih, ia malah dikirim ke Republik Mabob—
sebuah sekolah seperti Akademia yang pernah ada di zaman Yunani Kuno—untuk
melanjutkan pendidikan di sana agar memiliki kualitas yang mampu bertanggung jawab atas
orang-orangnya. Tentu para calon yang sebelumnya gagal tidak merasa iri atau dengki, sebab
mereka semua mengetahui kondisi di perjalanan yang sangat berbahaya dengan berbagai
monster raksasa dan kemungkinan tersesat dari jalur akan membuat calon pemimpin terpilih
ini hanya tinggal nama.

Finjin, sebelum resmi mendapatkan gelar Bengis Kan, memilih melewati jalan
berputar. Dia berjalan di sepanjang pantai hingga berhadapan dengan Laut Medina. Dari jauh,
ia melihat sebuah peradaban yang juga baru dibangun oleh sejumlah penduduk yang
berpenampilan seperti orang Timur Tengah—yang bahkan belum pernah dilihatnya selama ini
—rumah-rumah mereka didirikan dari tanah liat dan susunan batu-batu. Saat itu Istana Sultana
belum ada, dan barangkali kerajaan itu masih belum didirikan secara sempurna. Hingga
akhirnya Finjin tiba di Dataran Rohan, yang tanahnya ditumbuhi oleh rerumputan segar
berwarna biru metalik. Dan akhirnya, ia sampai di depan gerbang Republik Mabob. Sebuah
bangunan berbentuk lingkaran dengan empat gerbang masing-masing di satu penjuru mata
angin.

Finjin masuk ke Republik Mabob, dan ia pun segera diterima sebagai pelajar di sana.
Saat itu jumlah anggotanya masih terbilang jari. Di sana ia mempelajari filsafat, ilmu alam,
astrologi, kedokteran dan kesusastraan. Sebagian pelajar di sana juga mempelajari sihir, tapi
entah kenapa Finjin tidak tertarik. Namun ia mulai mengenal konsep Tuhan dan cara
beribadah dari kelas filsafat. Selama sembilan tahun ia belajar di sana, dan semakin
merindukan kampung halamannya di dekat Gunung Alpem. Akhirnya, setelah ia menguasai
seluruh pelajaran kecuali sihir, Finjin pun kembali ke Tsar-tars dan disambut oleh seluruh
anggota Bangsa Tsar-tars.

Demikianlah yang diceritakan oleh Bengis Kan, kisahnya sebelum dipilih menjadi
pemimpin di permukiman dekat Gunung Alpem.
Bagian Delapan Belas: Nasib Para Bekas Budak

Dua orang laki-laki tampak berlari masuk ke dalam perkampungan Tsar-tars, mereka tampak
terluka cukup berat dan beberapa anggota Bangsa Tsar-tars berinisiatif untuk menolong. Dua
orang ini diistirahatkan di atas dua kursi yang terbuat dari anyaman rotan, darah mengalir
melewati kaki-kaki kursi dan menggenangi tanah. Mereka tampak kehabisan banyak darah.
Orang-orang yang membantu mereka mengobatinya dengan memasukkan daun-daun yang sudah
dihancurkan ke dalam tiap-tiap luka yang menganga, kemudian mengikatnya dengan kain.
"Mereka pasti baru saja berhadapan dengan ghoul," Kata Gadis di Ujung Senja sambil
menatap kedua orang laki-laki itu, "Dan mereka ini pelarian dari Istana Ratu Balqis."

"Kukira ada benarnya juga." Sahutku, kemudian memilih untuk menghampiri mereka,
"Kalian cuma berdua?"

"Ada yang lain," jawab salah satunya sambil terengah-engah. Seorang pria yang tampak
berusia empat puluh tahun.

"Mereka sudah mati." Kata satunya lagi. Seorang laki-laki paling tampan di antara
mereka.

Kukira mereka tersesat di belantara jamur-jamur, kemudian karena tidak tahu harus pergi
ke mana, mereka menemukan jalan keluar dari hutan jamur yang justru membuat mereka berada
di Bukit Korhat. Dan setelah itu berhadapan dengan sekelompok orang ghoul. Awalnya mungkin
mereka berjumlah sekitar lebih dari sepuluh orang, hingga akhirnya satu per satu terbunuh dan
hanya menyisakan dua di antara mereka. Aku kembali berpikir untuk membuat sebuah catatan
yang sebelumnya sudah kubahas dengan Gadis di Ujung Senja, bahwa aku juga akan menjadi
salah satu di antara Para Pelancong.

Dua orang budak ini tampaknya tertarik dan jatuh cinta ke Gadis di Ujung Senja. Aku tak mau
banyak ikut campur, sebab di sisi lain, aku yang menganggap Gadis di Ujung Senja sebagai
sahabat dan rekan seperjuangan, meski aku juga tidak ingin dia mati lantaran berhubungan
seksual di Alam Feminix. Lagipula, Gadis di Ujung Senja yang datang dari Pleiades di mana
hanya ada penduduk perempuan di sana, barangkali dia juga menjaga jarak dari siapa pun laki-
laki yang ingin menggodanya. Namun, dua orang laki-laki yang belum dikebiri ini juga masih
dalam tahap penyembuhan, mereka tak mungkin mencoba untuk berhubungan seksual, atau
bahkan memperkosa Gadis di Ujung Senja. Apalagi sahabatku ini memiliki kemampuan tempur
yang cukup baik dan bahkan melebihi mereka berdua.

Suatu sore ketika mereka masih belum pulih dan masih duduk di kursi batu, salah satu
dari mereka bertanya apakah aku ini pacarnya Gadis di Ujung Senja. "Bukan, ah!" Jawabku.
Lantas mereka pun tersenyum. Aku bisa membaca gelagatnya, yang mungkin berpikir
bisa mendapatkan hati Gadis di Ujung Senja. Pria empat puluh tahun itu menggenggam kedua
tangannya dengan jari-jemari yang digerak-gerakkan. Dia kemudian berbisik kepada lelaki
paling tampan, entah apa yang dibicarakannya. Tiba-tiba, Gadis di Ujung Senja memanggilku.

"Ya?" Sahutku sambil berjalan ke arahnya.

"Aku akan berkelana lagi. Kali ini aku akan mengunjungi Republik Mabob," ujarnya
tersenyum, "Mau ikut?"

"Tentu saja," jawabku tersenyum, "Apakah selanjutnya kamu mau mengantarku pulang?"

"Mungkin," katanya. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Aku merasa ada yang
aneh mengenai dua laki-laki itu."

"Memang. Mereka belum dikebiri," jelasku singkat.

"Dan mereka tertarik denganku?" Tanya Gadis di Ujung Senja dengan mengangkat salah
satu alisnya.

"Ya. Bukankah kau bisa membaca pikiran?" Tanyaku, sedikit kesal.

"Aku kasihan pada mereka. Mereka tidak tahu bahaya yang mereka hadapi," ujarnya,
kemudian melipat kedua lengannya di depan dada.

"Sebaiknya enggak usah dikasihani. Beri tahu saja ke mereka tentang hal ini," imbuhku
dan kemudian bertanya, "Kapan kita pergi?"

"Besok pagi," jawab Gadis di Ujung Senja, "Tidur cukup malam ini, ya."

"Oke."

Aku terbangun oleh suara-suara ribut yang mengganggu ketenanganku. Rupanya dua orang pria
bekas budak itu berusaha untuk memperkosa Gadis di Ujung Senja. Meski begitu, sahabatku
yang berubah menjadi Kamen Rider ini segera melumpuhkan keduanya dengan sangat mudah.
Kedua orang itu pun langsung terjerembab dan salah satu di antara mereka pun tewas lantaran
kepalanya dihantam oleh pukulan Gadis di Ujung Senja.

Beberapa anggota Bangsa Tsar-tars pun berdatangan, dari bentuk suara mereka, aku bisa
mengerti bahwa mereka sedang bertanya mengenai keadaan. Gadis di Ujung Senja menjelaskan,
bahwa kedua orang ini berniat untuk mencelakainya. Dan seorang pria paling tampan di antara
dua orang ini, yang masih hidup, diputuskan untuk dibuang dari Negeri Tsar-tars. Tak peduli
apakah ghoul akan menghabisinya atau tidak.

Tinggal beberapa menit lagi sebelum pagi datang, dan seisi pemandangan yang awalnya
gelap meski langit tetap berwarna merah jambu, perlahan-lahan menjadi terang dengan
sendirinya.

Bagian Sembilan Belas: Republik Mabob

Graviton mulai bergerak menuju Republik Mabob. Gadis di Ujung Senja yang
mengendarainya berkata padaku, "Kalau kamu memang ingin jadi Pelancong, inilah
kesempatanmu."

"Jadi Republik Mabob itu benar-benar sekolah?" Tanyaku memastikan, mengingat


cerita dari Bengis Kan yang saat itu masih dipanggil Finjin.

"Ya, seperti itulah." Jawabnya, "Tapi aku belum pernah ke sana. Aku juga
mendapatkan informasinya dari catatan-catatan Para Pelancong."

Aku sempat membaca tulisan-tulisan Para Pelancong, sebagian besar catatan memiliki
empat aksara yang khas. Pertama, dari catatan-catatan Bangsa Tsar-tars yang berbentuk
seperti ini;
Aku cukup sulit mengartikannya dalam bahasaku, tapi Gadis di Ujung Senja berusaha
menjelaskannya kepadaku bahwa tulisan ini menceritakan tentang kehidupan para dewa yang
ada sebelum dunia ini diciptakan. Bengis Kan yang menulisnya. Ia menyadurnya dari
catatan Alam Feminix yang ditulis oleh Arogan di masa lalu.

Kedua, aksara Sultana yang kudapatkan ketika menyusup ke perpustakaan di Istana


Hitam;

Tapi kali ini aku memilih untuk tidak menanyakannya ke Gadis di Ujung Senja, sebab
peristiwa pertempuran yang sudah terjadi di antara Sultana dan kerabat Putri Salju yang
merupakan pemimpin Pleiades tempat sahabatku ini tinggal, memiliki kesan yang agak buruk
untuk diungkit-ungkit lagi.

Ketika kuteliti lebih lanjut sewaktu mengamatinya sendirian, aku jadi teringat tulisan-
tulisan Arab yang agaknya juga berbentuk seperti bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan.

Lalu, aksara Sakrain yang kelak kutemukan di perpustakaan Republik Mabob;


Di masa depan itu, seorang pengajar di kelas kesusastraan yang kami panggil Tuan
Rekursi menerjemahkannya di depan kelas, "Huruf ini dibaca menjadi Aksara Sakrain."
Kemudian menjelaskan bahwa Sakrain menggunakan campuran antara huruf dan angka-
angka. Huruf yang digunakan juga merupakan huruf bayangan yang kurang lazim digunakan
oleh orang-orang selain Sakrain.

Kemudian aksara Ratu Balqis;

Tulisan ini sengaja diperlihatkan Gadis di Ujung Senja kepadaku, dari selembar surat
yang dititipkan Ratu Balqis untuk Putri Salju. Namun, begitu kutanyakan untuk apa ia
memperlihatkannya, sedangkan umumnya surat-surat itu bersifat rahasia, dia berkata,
"Bukannya sudah kukatakan padamu tentang Tatapan Jaring Laba-laba? Tidak ada informasi
sedikit pun yang kami sembunyikan, bahkan dari Gliese meski mereka memang musuh
bebuyutan kami,"

"Kenapa begitu? Bukankah Gliese akan lebih mudah menyerang jika mereka
menemukan kelemahan kalian?" Tanyaku, merasa agak janggal dengan perilakunya yang
seperti ini.

Gadis di Ujung Senja kembali menatap kaca spion dan tersenyum, "Kaum yang
membenci Gliese banyak sekali, kami hanya satu dari seperseratus musuh dari mereka.
Ibaratnya seperti Malaysia dengan Indonesia sewaktu Presiden Soekarno memimpin,"
"Seperti perang dingin?" Tanyaku, mengingat sejarah hubungan Uni Soviet dengan
Amerika Serikat.

"Kira-kira seperti itu." Jawabnya, "Tapi jelas, Pleiades bukan musuh utama dari
Gliese. Justru beberapa lembaga Pleiades sempat mengekspor berbagai temuan kami untuk
dimanfaatkan Gliese. Namun, meski niat itu kami tujukan untuk perdamaian, Gliese tetap
memusuhi kami."

"Egois, ya." Komentarku dengan suara pelan, seperti berbisik.

Gadis di Ujung Senja hanya tersenyum tanpa melanjutkan kata-katanya. Hingga ketika
kami hampir sampai di depan Republik Mabob, sekelompok ghoul muncul di hadapan kami.
Entah bagaimana, Gadis di Ujung Senja pun malah tidak memprediksi kedatangan mereka.

Kami dikepung oleh sekitar sepuluh ghoul yang menyerang kami dengan ganas. Bahkan
Graviton yang kami tunggangi pun diangkat oleh salah satu dari mereka. Gadis di Ujung
Senja bertransformasi jadi Kamen Rider dengan memencet salah satu tombol di ikat
pinggangnya, kemudian mendaratkan sebuah pukulan ke arah ghoul ini. Monster itu
mengerang kesakitan, tapi lima ekor yang lain dan ghoul yang merintih ini pun segera
mengobrak-abrik Graviton.

Mesin kendaraan ini pun berdenyut-denyut dengan suara yang membuatku berpikir
bahwa mesin ini rusak. Gadis di Ujung Senja pun segera mengutak-atik tombol-tombol yang
ada pada Graviton, dan suara denyut-denyut itu pun tak lagi berbunyi. Lima ekor lainnya
segera melakukan aksi pengeroyokan kepada kami, hingga akhirnya, sebuah cahaya biru yang
menyilaukan membuat mereka hangus seketika. Kulihat dari kejauhan sana, seseorang yang
tampak kami kenal pun memacu kudanya hingga sampai ke tempat kami.

"Marylin Brando?" Kata Gadis di Ujung Senja, kemudian orang ini pun tersenyum dan
mengangguk.

"Sudah lama?" Tanya wanita penyihir ini.


"Tidak juga. Sewaktu kami baru sampai, mereka tiba-tiba saja ada di sini." Jawab
Gadis di Ujung Senja.

"Oke, ikuti saya." Kata Marylin Brando, mengarahkan kudanya berjalan ke Republik
Mabob. Kalau kuperhatikan, kuda itu berjalan seolah sedang memamerkan pantatnya dengan
seutas ekornya yang diayunkan ke kiri dan ke kanan.

Republik Mabob justru lebih tampak seperti sebuah stadion jika dilihat dari luar sini. Namun
begitu kami masuk ke dalam, ruangannya sungguh tampak sangat besar. Tampak berbagai
pintu yang bisa dimasuki dan aku juga melihat berbagai mahluk aneh yang sempat kubaca di
dalam novel-novel fantasi. Ada kurcaci dengan jenggot tebalnya yang panjang dan tubuhnya
yang pendek dan gemuk sedang menggenggam palu dan arit, ada faun—sejenis manusia
setengah kambing—memegang beberapa buku yang dijepit di lengan kirinya, ada
juga elves yang melebihi tinggi manusia normal serta bertelinga lancip dengan ukuran sedikit
lebih panjang dari ukuran telinga manusia normal. "Mereka itu Bangsa Sakrain," ujar Marylin
Brando, membaca pikiranku yang bertanya-tanya dari mana semua mahluk aneh ini berasal.

"Bangsa mereka disebut Sakrain, sedangkan nama negerinya Sakrian. Pemimpinnya


Perdana Menteri Enkidu dan Sebelas Ksatria Sakray. Mereka sangat mengutamakan
kesetaraan di atas segalanya," katanya melanjutkan, "Jadi karena Alam Feminix hanya
mendukung eksistensi kaum wanita dan hanya wanita yang boleh berpolitik, mereka menutup
Sakrian dari pengaruh luar."

Aku menoleh ke Gadis di Ujung Senja, tapi dia sudah menghilang entah ke mana.
Kemudian, karena baru saja mendengar sebuah istilah baru, kupilih bertanya, "Apa itu
Sakrian?"

"Itu nama dari Kerajaan Sakrain," jawab Marylin Brando.

"Anda sendiri berasal dari mana?" Tanyaku, sebuah intuisi membuatku bertanya.
Intuisi yang mengatakan bahwa wanita ini bukan penduduk tetap Alam Feminix.
Wanita penyihir ini tersenyum dan menjawab, "Saya warga Indonesia, keturunan
Inggris dari masa penjajahan. Nenek buyut saya memilih untuk tetap di Indonesia, sebab
keluarga saya tidak suka dengan apa yang dilakukan Inggris ke Indonesia."

"Jadi kalian mengabdi ke Indonesia?" Tanyaku setengah tidak percaya. Jarang-jarang


kutemui bangsa keturunan penjajah kecuali para ekspatriat Jepang yang tinggal di Jakarta.

"Kami memang orang Indonesia." Jawabnya tegas, "Sama seperti orang Tionghoa yang
tidak mau dibilang Cina."

Aku terkagum-kagum, apalagi dia bisa berbahasa Indonesia dengan fasih. Tapi, tiba-
tiba aku teringat Mama Lauren. Bukannya mendiang nenek tua itu juga warga Indonesia?
Meski begitu, aku juga tidak begitu tahu tentang wanita peramal itu, dia sudah wafat beberapa
tahun sebelum aku dilahirkan.

Marylin Brando membantuku untuk mengurus administrasi di Republik Mabob. Beliau


mengurus keperluan itu selama satu hari penuh, dan menyuruhku untuk menginap di Asrama
Antara yang merupakan tempat dari para calon transmigran yang akan menimba ilmu di
Republik Mabob. Malam harinya, aku tidur di salah satu tempat tidur di antara dua ratus yang
digunakan para calon pelajar di ruangan Asrama Antara. Pada malam harinya, kulihat dari
jendela pemandangan hujan turun dari langit merah jambu. Airnya sangat bening seperti
permata, dan menggenangi rerumputan biru metalik yang memancarkan cahaya biru muda
yang membuatku teringat pada warna langit dari dimensi kampung halamanku. Baru
kuketahui istilah onsil adalah penamaan yang digunakan untuk menyebut dimensi kampung
halamanku, dan mulai saat ini di kisahku ini akan kutulis dimensi itu sebagai Alam Onsil.

Setelah pagi datang, Marylin Brando datang ke Asrama Antara dan berkata padaku
bahwa ia sudah selesai mengurus surat-suratku untuk tinggal dan belajar di Republik Mabob.
"Jangan lupa, ya. Pemilihan Kepala Sekolah akan dilangsungkan tiga hari lagi," katanya.

Aku tersenyum dan mengangguk. "Terimakasih," kataku.

Bagian Dua Puluh: Tuan Rekursi


Saat aku memulai hari pertamaku di Republik Mabob, aku bingung mau masuk ke kelas yang
mana. Aku teringat masa-masaku di awal semester ketika aku baru saja masuk SMP, saat itu
aku cukup mudah untuk mencari tahu sebab banyak juga siswa-siswi yang baru mendaftar di
sekolah itu. Namun kali ini lain, sangat-sangat lain.

Marylin Brando juga tidak tampak hari ini. Padahal jika wanita itu ada, tentu perihal
mencari kelas cukup mudah bagiku. Hingga akhirnya, terdengar sebuah suara pria tua dari
kejauhan. Dia tampaknya memanggilku, meski aku tak tahu siapa sebenarnya laki-laki itu.
Mau tak mau, aku pun berjalan melewati lorong yang di tiap dindingnya tersedia berbagai
pintu. Tampaknya pintu itu digunakan untuk kelas-kelas tingkat lanjutan, sebab aku
mendengar istilah-istilah aneh yang sepertinya disebutkan oleh para pengajarnya.

Aku sampai tepat di depan pria tua itu; seorang laki-laki yang tak terbaca usianya,
memiliki rambut kelabu nyaris dipenuhi uban, namun tidak berkeriput. Aku melihat semangat
juang yang tinggi di kedalaman sepasang matanya. Dia mengenakan jaket biru tua dengan
motif huruf-huruf yang tersusun rapi meskipun dalam alfabet acak.

"Merah Jambu, kan?" Tanya pria ini.


"Ya, saya Merah Jambu, Pak." Jawabku sambil agak bingung mengapa ia
memanggilku. Semoga pria tua ini sengaja ingin memberitahu di mana kelasku.

"Saya bertanya Merah Jambu, kan? Kemudian kamu menjawab, Ya, saya Merah
Jambu, Pak. Maka akan saya menyahut dengan kalimat; saya Tuan Rekursi." Kata pria itu.

"Maksud Anda, Pak?" Tanyaku agak gugup sekaligus bingung.

"Saya menyahut, saya Tuan Rekursi. Lalu kamu bertanya, Maksud Anda, Pak? Dan
saya jelaskan; kamu di jam kelas saya sekarang." Katanya lagi.

"Baiklah, Pak." Sahut saya.

"Saya jelaskan, kamu di jam kelas saya sekarang. Lalu kamu balas menyahut, Baiklah,
Pak. Hingga kamu ikutilah saya ke kelas." Pungkasnya. Aku memang berharap ini memang
pungkasnya.

Kami pun berjalan menelusuri lorong-lorong yang merupakan tempat-tempat ketika di


kepalaku semakin bertambah istilah-istilah asing. Tuan Rekursi menaiki tangga, aku pun
menaiki tangga. Tuan Rekursi masuk ke kelas, maka aku juga masuk ke kelas itu.

Sewaktu di kelas, ada banyak mata pelajaran yang tertinggal dan belum pernah kukuasai
sepenuhnya. Tiga orang pelajar juga tampak mengalami hal yang sama, di antara keempat
puluh pelajar lainnya. Mereka sibuk bertanya ke Tuan Rekursi seperti; apa itu frasa, apa
itu subjek, kata-kata predikatif dan lain-lain. Tuan Rekursi menjelaskan dengan gaya
bicaranya yang khas. Aku kebanyakan melamun menatap jendela, lalu membulak-balikkan
halaman per halaman. Menghayati kata per kata, kalimat per kalimat, memahami koneksi dari
paragraf satu ke paragraf berikutnya, bab satu hingga bab dua. Menggoyang-goyangkan kaki
seolah ingin pergi saja dari sini. Namun, seorang gadis yang duduk di sebelahku membuatku
terkagum akan cara belajarnya yang giat. Gadis ini lumayan cantik, tapi aku justru tersadar
bahwa aku bukanlah Merah yang dulu. Sebab kini aku Merah Jambu.

Gadis ini bernama Nue, dia memiliki potongan rambut hitam sebahu, berkulit putih
dan berwajah oriental. Ketika berdiri, dia memiliki tinggi yang sama dengan bahuku. Di luar
Pelajaran Kesusastraan, Nue lebih sering berada di kantin, tempat tersaji kopi gratis yang bisa
diminum kapan pun. Kuduga ia mengantuk atau lelah karena belajar, dan untuk itu dia
memerlukan kafein di tubuhnya. Dia lebih sering terlihat menyendiri, dan ketika aku sedang
mencari dokumen-dokumen di perpustakaan untuk kelas di Pelajaran Filsafat, kusempatkan
mengenal dia lebih jauh. Sebab aku hanya mengenal namanya lewat teman-teman lain di
kelas, karena di kelas ia tak pernah mengobrol dan lebih fokus ke mata pelajaran.

"Nue, ya?" Kataku memulai obrolan.

"Iya," jawabnya pelan. Setenang dirinya ketika membaca buku.

"Kita sekelas, kan?" Ujarku lagi, sebab ingin mengenalnya lebih dalam. "Aku sering
kesulitan memahami pelajaran. Kamu bisa bantu aku?"

Dia terkekeh, "Jangan jadikan pelajaran itu kewajiban, jadikan saja sebagai
permainan."

Aku manggut-manggut, meski pun tetap tidak mengerti.

Di suatu malam, ketika aku baru pindah dari Asrama Antara ke Asrama Perempuan, aku
bermimpi kembali ke duniaku. Alam Onsil. Nenek tampak sedang mengisap sebatang Dji Sam
Soe, seperti biasa ketika beliau sedang tidak sibuk di sawah atau membereskan rumah. Gulai
ikan tersaji di atas meja, bersama satu periuk nasi dan tumis kangkung. Piring-piring makan
sudah diletakkan di atas meja. Ayah sedang membaca koran sambil menyesap secangkir teh
manis, sedangkan Ibu tampak asyik dengan sebuah buku kumpulan esai. Aku tidak tahu
apakah aku ada di sana atau tidak, mereka juga tampaknya tak peduli. Aku berjalan ke
kamarku, untuk memastikan penampilanku di cermin. Namun, tidak ada siapa pun di cermin
itu. Justru aku seolah sedang berhadapan dengan televisi yang berhenti begitu saja di salah
satu adegan. Kudatangi Ayah, lalu ia berteriak, "Hantu! Hantu!"

Aku pun tersadar. Terjaga dari mimpi aneh yang membuatku menjadi hantu. Pagi
datang dengan lambat, langit mendung dan cahaya belum benar-benar menerangi langit merah
jambu. Kusibakkan selimutku dan berjalan ke kantin untuk mendapatkan secangkir kopi.
Ruangan ini masih sepi, dan aku baru tersadar bahwa hari ini adalah hari terakhir Kepala
Sekolah menjabat dan akan diadakan pemilu untuk menggantikannya. Aku teringat Marylin
Brando sempat berkata agar aku memilih salah satu dari calon kepala sekolah selanjutnya.

Bagian Dua Puluh Satu: Setelah Pemilu

Tak perlu kupusingkan acara-acara pemilu itu, sebab tidak ada gunanya juga. Aku juga tidak
melakukan pemilihan, sebagai gantinya kuambil tinta biru dari Laboratorium agar orang-
orang selain diriku menyangka aku juga ikut memilih calon kepala sekolah. Aku baru tahu
kepala sekolah sebelumnya bernama Baba Yaga, yang pernah kudengar namanya tapi entah di
mana. Konon, Baba Yaga adalah seorang penyihir buruk rupa yang selalu menatap sinis ke
semua orang, tapi aku tak tahu kenapa dia justru sebelumnya bisa terpilih jadi kepala sekolah.

#
Marylin Brando menggantikan jabatan itu secara resmi, dan baru sadarlah aku bahwa ia
mengingatkanku untuk mengikuti pemilu. Aku tak mau berpikir yang bukan-bukan, sebab dia
sudah mau berbaik hati menolongku hingga terdaftar di sekolah ini. Tempat dididiknya para
calon ahli sihir, sebab Republik Mabob memang dirancang untuk itu. Aku sendiri masih
menyimpan tongkat sihir seukuran pensil yang sempat diberikan Ratu Balqis.

Di kelas sihir yang merupakan sebuah aula yang cukup luas, dengan berbagai jendela penuh
lukisan-lukisan kaca aliran abstrak, Baba Yaga yang beralih menjadi guru sihir berkata ia
akan mengajari kami berbagai mantra. Dan mantra paling mendasar adalah angan-angan.
Meski merupakan mantra paling dasar, mantra ini cukup untuk melumpuhkan lawan dalam
satu detik. Namun, kali ini Baba Yaga mengajarkan Mantra Pelindung. Mantra ini adalah
mantra yang harus dirapal untuk mengaktifkannya. Dan ternyata merapal sebuah mantra
adalah teknik sederhana, sesederhana netizen mengejek tokoh papan atas.

Satu per satu pelajar diuji dalam sebuah Duel Sihir, kami harus menggunakan Mantra
Pelindung itu untuk menangkis serangan yang berasal dari angan-angan. Saat giliranku tiba,
aku malah berhadapan dengan Nue. Kisah buah simalakama pun terjadi. Haruskah aku
membunuh seseorang, seperti yang sudah kulakukan sebelumnya di masa lalu, masa di mana
pertempuran Sultana dan Ratu Balqis terjadi? Namun, tak sedikit pun kulihat keraguan di
wajah Nue. Dia tampak sudah siap secara total untuk menghadapiku. Dan dimulailah duel di
antara kami.

Nue dengan tangkas melancarkan cahaya-cahaya perak dari tongkatnya, sementara aku
sibuk merapal Mantra Pelindung berulang kali, berkali-kali. Hingga Nue tampak letih dengan
nafasnya yang terengah-engah. Dalam kesempatan yang seharusnya kulakukan untuk
menyerangnya, keluar seekor monster berbentuk macan dari mulutnya yang menganga. Tak
kukira bahwa Nue menyimpan roh jahat di dalam tubuhnya, hingga kuputuskan untuk
melancarkan serangan-serangan yang memancarkan cahaya. Namun roh jahat itu tampak
seperti tidak terluka sedikit pun, bahkan ia nyaris menerkamku seandainya Baba Yaga tidak
merapal salah satu mantra yang membuat roh jahat itu masuk ke dalam ujung tongkatnya. Nue
pingsan, dan teman-teman sekelas kami pun mengantarnya ke Klinik Mabob.
#

Malamnya, sebelum tidur kuputuskan untuk menghubungi Gadis di Ujung Senja lewat gelang
pemberiannya. "Kamu ke mana?" Tanyaku, "Kok setelah kita sampai, kamu malah
menghilang?"

"Ada yang mesti kukerjakan. Bukankah kau tahu aku hanya mengantarmu ke Republik
Mabob?" Jelasnya di ujung sana. Barangkali ia mengurus pesawatnya yang membuat orang-
orang di kampung Nenek menjadi ketakutan.

"Lalu bagaimana aku bisa pulang?" Tanyaku agak cemas. Aku membayangkan Ayah
dan Ibu yang sudah menua, sudah penuh keriput dan putih rambutnya.

"Republik Mabob mengharuskan siswanya belajar selama 9 tahun. Tidak boleh


kurang," katanya lagi.

"Lalu aku hidup selamanya di Alam Feminix?" Tanyaku, lagi-lagi ketakutan akan
kehilangan keluargaku pun menjadi-jadi. Kuraba kalung merah jambu pemberian Nenek,
sepasang mataku basah.

"Bukankah katamu kau ingin jadi Pelancong?" Tanya Gadis di Ujung Senja seolah
tidak ada masalah apa-apa.

"Ya, tapi.." kataku. Tapi belum selesai aku bicara, dia malah meneruskan;

"Sudah, ya. Aku mau kerja dulu."

Koneksi terputus. Kututup seluruh tubuhku dengan selimut, berkelumun sambil


menangis.

Bagian Dua Puluh Dua: Kelas Ilmu Alam

Pagi datang dan aku langsung pergi ke kantin. Seorang pria tua berkacamata dengan kopiah di
kepalanya, tampak sedang duduk di kantin sambil minum kopi dan beberapa potong roti. Ia
bertanya padaku, "Kamu Merah Jambu, kan?"
"Iya." Jawabku singkat. Aku sedang tidak tahu ingin mengobrol apa, pikiranku sedang
terpaku pada keadaan Ibu dan Ayah di Alam Onsil.

"Nanti kita belajar Ilmu Alam," ujarnya sambil menyeruput kopi, "Kamu asalnya dari
mana?"

"Indonesia,"

Dia terkekeh, "Ya, aku tahu. Karena itu aku bicara pakai Bahasa Indonesia," katanya
dan melanjutkan, "Maksudku, daerah kampung halamanmu."

"Sumatera Barat," jawabku.

"Wah, ternyata kita


sekampung." Ujarnya sambil
menepuk pahanya.

Aku terkejut, "Bapak di


daerah mana?"

"Solok," jawabnya, "Aku


dipanggil Tales si Tukang Cerita
bukan tanpa alasan. Tradisi cerita
lisan dari kampung kita sudah jadi
keahlianku bertahun-tahun."

"Lalu, kenapa Bapak


mengajar Ilmu Alam?" Tanyaku
sambil menyeduh secangkir kopi.
Meski pun aku mau mengatakan
bahwa Ayah berasal dari Mentawai,
dan bukannya dari Minangkabau.
Sedangkan Ibu asli dari Sunda. Ayah
yang menganut agama leluhur kami, memilih masuk Islam semenjak menikah dengan Ibu.
Mungkin karena Ayah berpikir itu satu-satunya cara agar bisa mendapatkan perempuan
secantik ibuku.

"Karena alam takambang jadi guru," jawabnya sambil mengunyah roti.

Aku tertawa kecil dan bergumam, "Oh,"

Sewaktu berada di kelas Ilmu Alam, Tales si Tukang Cerita menceritakan awal mula
terciptanya Alam Feminix. Beliau mengutip beberapa catatan dari Para Pelancong, yang
menjelaskan tiga teori.

Teori pertama; Alam Feminix berasal dari darah haid seorang wanita yang diikuti
keajaiban-keajaiban para dewa, yang terinspirasi menciptakan Alam Feminix dari darah haid
itu. Teori ini diyakini oleh kalangan internasional dan antar-galaksi yang terhubung dengan
Alam Feminix.

Teori kedua; Alam Feminix berasal dari kutukan seorang ibu yang marah lantaran anak
lelakinya diculik Nyi Roro Kidul. Sedikit jumlah orang yang setuju dengan teori ini.

Teori ketiga; Alam Feminix ini sudah ada sebelum Alam Onsil diciptakan. Di Alam
Onsil, Alam Feminix dikenal sebagai Kampung Orang Bunian. Beberapa pakar mitologi
seperti Joseph Campbell pernah berkunjung ke Pulau Sumatera dan mencatat tentang
fenomena ini.

Aku mengangkat tangan untuk bertanya.

"Ya?" Sahut Tales si Tukang Cerita.

"Rumput di Alam Onsil berwarna hijau karena klorofil. Tapi kenapa di Dataran Rohan
warnanya biru?"

"Sama dengan bunga telang, rumput di sini berwarna biru karena delpinidin glikosida.
Nah, pasti ada juga yang Ada juga yang bertanya kenapa warna birunya metalik, kan?" Sahut
Tales si Tukang Cerita.
Aku mengangguk.

"Dataran Rohan memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Dan karena matahari di
Alam Feminix tidak begitu panas—seperti yang kita ketahui, Bukit Korhat dan Gunung
Alpem yang sekitar sembilan puluh persen dipenuhi pasir tapi tidak membuat Para Pelancong
dehidrasi—embun yang melekat di rerumputan membuatnya tampak berwarna metalik.
Sampai di sini sudah jelas?" Ujar Tales si Tukang Cerita.

Seseorang bertanya lagi, seorang pemuda yang panjang rambutnya tumbuh sampai
bahu. Memiliki postur tubuh yang tinggi dan tegap, "Kenapa langit Alam Onsil berwarna
biru? Sedangkan di Alam Feminix berwarna pink,"

Tales si Tukang Cerita menjelaskan bahwa di Alam Onsil, cahaya matahari yang
berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu bercampur menjadi warna putih.
Dan warna biru lebih dominan, serta sistem di bagian mata para penduduk Alam Onsil lebih
peka ke warna biru. Sedangkan, langit merah jambu di Alam Feminix yang tampaknya tak
berujung ini sebetulnya memiliki semacam plafon yang membuat langit di Alam Feminix
memiliki ketinggian yang terbatas. Para dewa yang terinspirasi oleh haid, dulu bermaksud
menciptakan dunia khusus wanita di sini memberi warna merah jambu yang mewakili kaum
perempuan. Sebab mereka melihat ketimpangan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan,
kaum laki-laki di Alam Onsil cenderung lebih berkuasa dan tak jarang yang menindas kaum
perempuan. Karena itulah diciptakannya dunia lain, yakni Alam Feminix. Setelah banyak
imigran masuk ke Alam Feminix—Bangsa Ratu Balqis penyembah matahari datang dari
Jepang, Bangsa Tsar-tars yang datang dari campuran Mongolia dan Persia, Bangsa Sultana
yang datang dari campuran Timur Tengah, serta Bangsa Sakrain yang datang dari Gliese—
para dewa pun meninggalkan mereka.

Sebetulnya banyak versi cerita tentang sejarah Alam Feminix; Bangsa Tsar-tars lebih
percaya bahwa Wiji Thukul adalah manusia pertama di Alam Feminix, Bangsa Ratu Balqis
percaya bahwa tidak pernah ada Wiji Thukul dalam sejarah Alam Feminix dan memilih
percaya bahwa Alam Feminix diciptakan dari darah haid, Bangsa Sultana percaya bahwa
tempat ini dulu merupakan tempat tinggal Nabi Khidir, dan Bangsa Sakrain percaya bahwa
Alam Feminix sudah ada jauh sebelum Alam Onsil diciptakan.
#

Setelah kelas Ilmu Alam berakhir, seorang faun datang ke mejaku. Dia berkata, "K1t4 2ud4h
l4m4 s3k3l4s. T4p1 4ku b3lum t4hu n4m4mu."

"Ha?" Sahutku tidak mengerti. Lantas, pelajar ini pun berkata melalui telepati.
Menjelaskan apa yang baru saja dikatakannya.

"Oh, namaku Merah Jambu." Jawabku tersenyum. Agak risih berhadapan dengan
mahluk yang belum pernah kutemui. Namun, lain dengan Nue. Selain cantik, gadis oriental itu
tampak seperti manusia biasa yang pernah kutemui di Alam Onsil. Tapi kuputuskan untuk
balik bertanya, "Namamu siapa?"

Panggil saja aku Kambing. Jawabnya melalui telepati.

Aku manggut-manggut, kemudian dia mengajakku ke kantin. Kambing berkata ia ingin


mentraktirku makan siang. Aku menolak dengan sopan, kubilang kalau aku punya uang.
Meski aku berbohong. Tak pernah kubawa sepeser pun uang semenjak pertamakali masuk ke
Alam Feminix. Namun, ternyata dia bisa membaca pikiranku.

Oh, ayolah! Kamu pasti lapar, kan? Katanya lagi.

Aku tersenyum kikuk, dan karena aku memang sedang lapar, kuterima saja ajakannya.
Meski kupikir mungkin saja Bangsa Sakrain memiliki selera makan yang aneh. Kami pun
pergi keluar kelas dan bertandang ke kantin. Kuseduh secangkir kopi dan menunggu Kambing
untuk mengambil dua porsi makan siang.

Beberapa menit kemudian, Kambing datang dengan dua mangkuk makanan yang
tampak seperti butiran-butiran kaca. Aku heran melihat masakan ini. Apakah ini patut disebut
masakan? Batinku dalam hati.

"Ini masakan khas kami, garam beryodium." Ujar Kambing tersenyum, kemudian
mengambil dua buah gelas kaca dari gelas-gelas yang tersedia di meja makan, dan
menuangkannya dengan air.
Aku tersenyum risih, meski aku tak mau menganggapnya aneh. Bisa-bisa dia merasa
terhina jika aku bermaksud seperti itu. Maka kuambil sebatang sendok dan mulai
melahap masakan ini. Kambing tersenyum dan ikut menikmatinya, dia seolah biasa saja
dengan menu makan siang kali ini.

Kudengar, kamu mau jadi Pelancong, ya? Tanya Kambing di sela-sela waktu makan
siang kami. Makanan ini membuatku sangat haus, aku sampai kembung karena kebanyakan
minum air putih.

"Iya," jawabku. "Tapi aku lebih tertarik meneliti Sakrian."

Kambing tersenyum. Tampak ia senang sekali dengan perkataanku. Mungkin, sebagai


Bangsa Sakrain, ia ingin sekali mengajakku ke Sakrian. Lalu ia berkata, Tapi kamu harus
belajar bahasa kami, dan akan kubantu kamu mempelajarinya.

Aku pun membalas senyumannya, "Dengan senang hati."

Bagian Dua Puluh Tiga: Rocky Gerung dan Pembusukan Filsafat

Pagi ini aku bangun agak terlambat, dan karena masih mengantuk, aku pun pergi ke kantin untuk
menyeduh secangkir kopi dan langsung menyeruputnya dengan cepat. Lantas, aku pergi
menelusuri lorong-lorong melewati beberapa pintu kelas yang sedang dihadiri oleh para pengajar
dan berbagai pelajar. Tampaknya, kegiatan hari ini cukup terasa antusias. Lagipula hari ini
adalah hari pertamaku belajar di kelas Filsafat. Aku masuk ketika Needsea, pengajar di kelas
kami yang mengingatkanku ke poster Albert Einstein, sedang membahas fenomena Rocky
Gerung—rupanya komentator politik itu juga sedang hangat-hangatnya diperbincangkan di Alam
Feminix—Needsea berkata bahwa Rocky Gerung bukanlah filsuf, melainkan hanya guru filsafat
di perguruan tinggi. Needsea menjelaskan bahwa jika ingin menjadi filsuf, haruskah menuliskan
sebuah karya yang orisinil dari pemikiran sendiri.
"Bahkan orang yang tidak kuliah filsafat pun bisa menjadi filsuf, kalau dia bisa menulis
buku berdasarkan ideologinya sendiri." Kata Needsea.

"Tapi, bukankah Rocky Gerung juga pernah menulis beberapa karya dari pemikirannya?
Contohnya buku Mengaktifkan Politik?" Tanya seorang pelajar yang tampaknya merupakan
seorang elves. Pelajar ini, kalau diperhatikan baik-baik, adalah elves yang lumayan tampan dan
pintar. Meski aku tak tahu ia laki-laki atau perempuan. Disitulah letak khasnya Bangsa Sakrain,
mereka seolah-olah berbeda dengan kesamaan yang ada di antara mereka, tidak terlalu tampak
apakah orang ini laki-laki atau bukan. Bahkan, untuk jenis suara perempuan atau laki-laki, cukup
sulit mencari celahnya.

"Ya, tapi dia tetap belum patut disebut filsuf. Simone de Beauvoir saja, yang sudah
dikenal luas dan lebih mapan secara intelektual dari Rocky Gerung, malah menulis bahwa ia
belum patut disebut filsuf." Jawab Needsea menjelaskan.

"Anda seperti mau menghabisi Rocky Gerung!" Kata elves itu, memukul mejanya dan
berdiri, "Anda sendiri sudah melahirkan karya atau tidak?"
Needsea tertawa, "Sama statusnya dengan Rocky Gerung, saya hanya pengajar filsafat."

"Lantas, kenapa di kelas hari ini kita malah membahas Rocky Gerung? Seharusnya kita
bahas saja teori eksistensialisme Jean Paul-Sartre!" kata elves ini, kemudian menoleh ke seluruh
isi kelas, "Kawan-kawan, sebaiknya kita tinggalkan saja kelas tak berguna ini!"

Pelajar itu pun pergi meninggalkan kelas, diikuti oleh beberapa pelajar lain termasuk
Kambing. Sehingga yang tersisa di kelas ini hanya lima belas orang pelajar, termasuk aku
sendiri.

"Tampaknya sikap equal rights yang sudah tertanam di kebudayaan Sakrain membuat
mereka tidak lagi mengkotak-kotakkan filsuf atau pengajar filsafat," ujar Needsea sambil
mengelus-elus kumisnya. "Nah, apakah ada lagi yang mau meninggalkan kelas ini?"

Kelima belas pelajar di antara kami hanya diam dan tidak menjawab sepatah kata apa
pun. Lantas, Needsea pun menjelaskan bahwa Rocky Gerung telah mencoreng nama filsafat
dengan melakukan pembusukan filsafat. Semestinya, filsafat menjadi penengah dan berada di
posisi netral dan tidak terjerumus memihak ke salah satu pelaku politik, dan Rocky Gerung
selama ini sudah menyeleweng dari sikap netral seorang ilmuwan. "Sebagaimana sains, filsafat
haruslah bersikap objektif dan tidak mengikuti satu pihak politik saja." Kata Needsea
menjelaskan, "Bahkan untuk orang seperti Rocky Gerung, ia mestinya mempertanyakan hal-hal
yang ada di dunia politik secara detail, jika memang benar adanya bahwa ia seorang filsuf.
Bukannya mengomentari saja,"

Nue yang rupanya masih ikut di kelas ini, menimpali ceramah Needsea, "Ya. Saya setuju,
Pak. Seharusnya di lingkungan filsafat ada diskusi dan bukannya mengambil keputusan
langsung. Filsuf yang objektif akan selalu menelusuri dan mempertanyakan hal-hal yang ia
geluti."

"Ya. Saya di sini sebetulnya ingin memberi pengantar untuk memberi arahan di bidang
eksistensialisme. Mungkin kalau Negolast masih di sini dan menyimak cara kerja kelas saya, ia
akan tahu bahwa saya sedang menjelaskan ideologi ini dari hal-hal di sekitar, supaya mata
pelajaran kita lebih mudah dicerna." Ujar Needsea, kemudian kembali mengelus-elus kumisnya
dan berkata, "Untuk hari ini kelas kita sudah cukup. Lain waktu kita lanjutkan,"
Needsea pun berjalan ke mejanya, merapikan kertas-kertasnya dan keluar dari kelas.

Sewaktu Kambing sedang duduk di kantin sambil minum kopi, aku bertanya-tanya apakah ia
menyeduh kopinya dengan garam. Seperti sebelumnya yang pernah ia lakukan sewaktu
mentraktirku makan siang. Tidak, ini kopi pakai gula. Jawabnya dengan telepati.

"Nah, kamu mulai normal, ya." Ujarku terkekeh.

Maksudmu normal itu apa? Tanya Kambing sambil mengaduk-aduk kopi dengan
tangannya yang dipenuhi rambut.

"Ya, kamu minum kopi seperti manusia." Jawabku tersenyum, kemudian memilih duduk
di depannya. "Kukira kamu mencampurnya lagi dengan garam,"

Normal atau tidak, itu tergantung kondisi budaya setempat. Orang dikatakan gila karena
dia tidak sesuai dengan masyarakatnya. Kata Kambing, Lagipula, aku mau mengajarimu bahasa
kami supaya kamu dianggap wajar sewaktu di Sakrian.

Aku manggut-manggut sambil menggigit bibir. "Aku enggak menyangka kalau di sini
Rocky Gerung juga mendapat perhatian,"

Alam Feminix ini juga bisa dibilang ada di wilayah Indonesia, jadi itu juga hal yang
wajar. Jelas Kambing, kemudian mulai menyeruput kopinya.

Aku pun ikut menyeduh kopi, tapi tidak pakai gula. Konon, kopi pahit dapat membuat
ingatan menjadi kuat. Setelah itu, kutatap sepasang mata Kambing dan bertanya-tanya apakah ia
jenis jantan atau betina.

Tidak ada gender di negeri kami. Kata Kambing.

Kemudian, aku pun merasakan sedikit kerinduan ke Gadis di Ujung Senja. Dia sering
membaca pikiranku dan meresponnya dalam Bahasa Indonesia. Dulu aku sering kesal karena itu,
tapi begitu mengenal Kambing yang menjadi kesempatanku untuk pergi ke Sakrian, kekesalan
ini pun hilang dengan sendirinya.
Bagian Dua Puluh Empat: Bahasa Sakrain

Disebabkan aku tidur di Asrama Perempuan, aku tidak melihat Kambing di sini. Barangkali ia
tidur di ruangan lain yang tidak pernah kuketahui. Mungkin semacam asrama yang hanya
dihuni oleh orang-orang yang tidak memiliki gender, seperti yang pernah ia katakan
sebelumnya. Tapi susah juga untuk dinalar; jika tidak ada gender di Sakrian, lantas negeri itu
bagaimana bentuknya?

Tapi aku memang pernah membaca di salah satu website, bahwa tidak dapat diketahui
sama sekali Enkidu itu laki-laki atau perempuan—jantan atau betina. Dan dari sana aku juga
pernah mendengar kalau Enkidu adalah manusia setengah binatang, jadi mungkin Perdana
Menteri Enkidu dan Sebelas Ksatria Sakray, serta semua penduduknya seperti kurcaci, faun,
elves, serta mahluk-mahluk yang baru kuketahui seperti orc, vampir, cyborg—yang
mengingatkanku pada Robot—serta berbagai mahluk lain yang tak dapat kudefinisikan:
semuanya tidak menggunakan sistem gender, sebab mereka sudah terlanjur berbeda-beda dan
melampaui persoalan gender itu sendiri.

Paginya langsung kudatangi Kambing, dan dia berkata bahwa jika libur sudah tiba,
akan diajarinya satu per satu bahasa negerinya. Aku menunggu hari libur dengan mengunjungi
perpustakaan setiap jam istirahat. Di kelas Kesusastraan umumnya aku belajar menulis kreatif,
di Ilmu Alam aku mempelajari Geografi dan ilmu sebab-akibat, berbagai mantra baru di Kelas
Sihir, dan Kelas Filsafat masih tetap mempelajari eksistensialisme dan belum ada aliran
filsafat lain. Hingga sebelum libur benar-benar datang, Marylin Brando mendatangiku dan
berkata bahwa setelah libur kelasku akan diisi mata pelajaran baru; yakni Astrologi dan
Kedokteran.

Hari libur datang begitu cepat, seakan-akan aku telah menyelesaikan seluruh mata pelajaran
meskipun terasa sedikit membosankan. Aku ingin kembali berpetualang seperti yang pernah
kulakukan sebelumnya dengan Gadis di Ujung Senja. Dan Kambing pun mengajakku ke
perpustakaan. Sesampainya di sana, dia mengambil beberapa dokumen dan beberapa catatan
—meski dulu Gadis di Ujung Senja berkata bahwa belum pernah ada Pelancong yang datang
ke Sakrian—dan Kambing pun berkata melalui telepati, lagi, Memang belum pernah ada
Pelancong yang datang ke negeri kami, tapi catatan-catatan ini datang dari teman-teman
yang dulu pernah tinggal di Sakrian.

"Lalu, mereka pergi ke mana?" Tanyaku sambil memandang beberapa catatan dan
dokumen-dokumen itu.

Gliese, jawabnya, mereka pulang untuk mengabdikan diri di sana.

Aku pun jadi bingung, sebab Gadis di Ujung Senja berkata bahwa Bangsa Sakrain
merupakan pembelot dari Gliese. Seolah cerita pengkhianatan itu hanyalah gosip yang tidak
punya fakta, yang dituturkan serampangan dari sahabatku itu.
Itu tidak sepenuhnya salah, kata Kambing, Sebagian dari kami memang membelot.
Tapi tidak sedikit juga yang kembali.

Aku manggut-manggut, mulai mengerti. Mungkin ada beban kepentingan di antara


mereka, dan mungkin tidak semuanya yang setuju pada prinsip equal rights yang sudah
mendarah daging di Sakrian. Tapi, setelah aku berpikir seperti itu, Kambing pun berkata lagi;

Bukan begitu. Justru prinsip kesetaraan yang kami pegang memberikan kebebasan
untuk teman-teman kami.

"Oke." Kataku, "Jadi kapan kita mulai pelajarannya?"

Oh, iya. Aku lupa. Sahut Kambing, kemudian mulai membacakan satu per satu aksara
Sakrain. Secara perlahan-lahan, aku mulai bisa membacanya sepatah dan dua patah kata,
kalimat per kalimat, hingga satu paragraf utuh. Aku mempelajarinya dari Kambing selama
masa liburan yang berlangsung satu bulan. Hingga aku pun menguasainya.

Ketika masa liburan berakhir, aku masuk ke kelas Kesusastraan di mana Tuan Rekursi
membahas bahasa Sakrain. Aku dapat menjalaninya dengan mudah, dan karena itu, aku pun
semakin menyukai kelas ini. Di luar jam pelajaran pun, aku pergi ke perpustakaan untuk
membaca catatan-catatan yang ditulis oleh orang-orang bekas penghuni Sakrian, di sana
kudapatkan keterkaitan kisah Perdana Menteri Enkidu dengan mitologi Bangsa Sumeria di
Irak, diceritakan bahwa Enkidu diciptakan dari tanah liat dan air oleh Aruru, salah satu dari
tujuh dewa utama. Aruru menciptakan Enkidu untuk mengalahkan Raja Uruk yang kejam dan
suka menindas rakyatnya, memberi pengajaran moral kepada Raja Uruk melalui persahabatan
dan akhirnya wafat dan membuat Raja Uruk itu insyaf.

Namun yang kudapatkan di catatan Sakrain ini mungkin Enkidu yang lain, atau
mungkin faktor sejarah yang cenderung subjektif. Lagipula, dalam wiracarita Sumeria itu,
Enkidu malah terpikat oleh kecantikan seorang wanita penghibur dan melakukan hubungan
seks. Jadi, mungkin memang ada dua macam Enkidu. Enkidu yang mungkin memiliki jenis
kelamin jantan dan Perdana Menteri Enkidu yang tidak jelas gendernya, disebabkan memiliki
kesamaan nama saja. Atau bisa jadi ini salah satu ulah Doktor Waktu, yang juga membuatku
sempat melihat diriku sendiri—meski sesaat, dan itu pun dari kejauhan—setelah melakukan
perjalanan menggunakan Mesin Kalkulasi.

Setelah membaca banyak dokumen dan catatan-catatan Sakrain, serta juga membaca berbagai
catatan dari Pelancong, kuputuskan untuk mendatangi Marylin Brando di Ruang Kepala
Sekolah. Wanita ini menyambutku dengan ramah, meski saat itu sepertinya ia sedang duduk
di kursi di belakang meja, sibuk dengan berbagai pekerjaan surat-menyurat dengan berbagai
folder dan tumpukan kertas. Beberapa helai kertas itu bahkan berserakan di lantai. Marylin
Brando tampak mengisap tembakau di pipanya yang terbuat dari gading. "Aku mau pinjam
uang," ujarku kepadanya.

"Untuk apa?" Tanya wanita ini, "Bukankah beasiswamu cukup?"

Aku malah baru tahu kalau aku punya beasiswa, dan selama ini aku hanya minum kopi
gratis atau makan ditraktir kawan atau menyuruh petugas di kantin untuk mencatat bon yang
akan kubayar kapan-kapan. "Aku malah enggak tahu kalau ada beasiswa,"

"Oh, ya?" Marylin Brando tampak terkejut, dan menggaruk-garuk kepalanya.


Kemudian berdiri dan memeriksa salah satu lemari dengan berbagai folder yang mungkin
berisi data-data dari para pelajar sambil bergumam, "Mungkin ada di sekitar sini,"

Aku menunggunya seperti anak kecil minta uang jajan.

"Nah, dapat!" Katanya dan menarik salah satu folder berwarna biru. "Kalau tidak
salah, kamu punya beasiswa semenjak menjadi pelajar di sini."

Marylin Brando tampak memeriksa berbagai berkas dan akhirnya tersenyum. Wanita
ini menyerahkan selembar surat dan berkata bahwa aku harus menyerahkannya ke
Administrator. Kuambil surat itu dan mengucapkan terimakasih, kemudian pergi dari ruangan
itu.

#
Dengan berbekal beberapa keping uang logam yang kudapat dari beasiswa—kupesankan ke
Administrator untuk menyimpannya selebihnya—aku pergi ke toko fotokopi dan membeli
sebuah buku catatan, kupilih yang berwarna merah. Selain itu aku juga membeli sebuah
balpoin bermerk MyGel. Lantas aku kembali ke perpustakaan untuk menyalin beberapa data
dari catatan-catatan dari Para Pelancong dan beberapa dokumen untuk membuat abstraksi dari
tulisan yang akan kujadikan catatan.

Setelah itu aku pergi ke kantin dan membayar semua hutangku, kemudian meneruskan
pengerjaan calon catatanku ini.

Bagian Dua Puluh Lima: Mengatasi Rasa Bosan

Aku mulai jenuh berada di Republik Mabob; dengan berbagai kelasnya yang kupikir, meski ada
gunanya, aku tetap saja kesulitan di beberapa mata pelajaran. Jadi, kuhabiskan saja waktuku di
perpustakaan dengan membaca berbagai kamus. Mulai dari kamus Bahasa Sakrain, kamus
Bahasa Sultana, kamus Bahasa Ratu Balqis—yang ini lebih mudah, selain Bahasa Sultana yang
cenderung seperti Bahasa Indonesia ejaan lama—dan yang paling sulit: kamus Bahasa Tsar-tars.

Meski agak sulit, kumulai menulis calon catatanku dengan pengalaman semasa hidupku
di Alam Onsil, bertemu Gadis di Ujung Senja, awal mula memijakkan kaki di Alam Feminix,
penyerangan Sultana, bagaimana aku sampai di Fakultas Tak Terlihat, kembali ke Alam
Feminix, menyusup ke Istana Hitam dan memata-matai Sultana, kembali ke Istana Ratu Balqis
dan memenangkan pertempuran dari penyerangan Sultana, berkunjung ke Negeri Tsar-tars, dan
sampai di sini di Republik Mabob.

Hingga aku bertemu lagi dengan Robot, ia menjadi pengajar di kelas Kedokteran. Di sini
aku belajar lebih giat mengenai kesehatan dan obat-obatan, mulai dari anatomi tubuh manusia
beserta fungsi-fungsinya, dan apa yang mesti dilakukan jika fungsi-fungsi anatomi manusia itu
terganggu.

Kami mempelajari kardiovaskuler, yakni sistem organ jantung dan sistem pembuluh
darah dengan pemutaran video-video yang diproduksi dan diimport dari para ahli di Alam Onsil.
Selain itu kami juga mempelajari sistem reproduksi dan penyakit kelamin—meski pelajaran ini
tidak bersifat aktual di Alam Feminix—kemudian belajar penyakit saluran pernafasan dan cara
mengobatinya, yang disebut respiratori, serta ilmu bedah—dengan melakukan praktek
membedah seekor katak—ilmu penyakit dalam seperti psikosomatik dan kardiologi, dan
gastrointestinal yang salah satunya membahas tentang berbagai makanan berbahaya seperti mi
instan.

Meski mata pelajaran ini menarik, Robot ternyata bukanlah seorang pengajar yang
ramah, Robot cenderung kaku dan hanya memberikan tugas berupa soal-soal yang harus diisi
tanpa memberikan arahan dari dirinya sendiri sewaktu di kelas. Aku berharap kelas ini disudahi
dengan cepat, dan berlalu begitu saja.

#
Aku kembali ke perpustakaan dan menemukan sebuah kitab sastra berjudul Hikayat
Raja-raja yang ditulis oleh seorang pengarang bernama Neiklot. Aku tenggelam dalam kisahnya;
di suatu daerah yang disebut Kerajaan Karton Pelajaran, hiduplah seorang pangeran bernama
Bestari yang memiliki kesaktian tiada banding dengan ketampanan yang juga tak pernah
dikalahkan. Pangeran Bestari dilahirkan oleh salah satu selir dari Prabu Parfum yang bernama
Cincinlarang, seorang wanita yang konon tidak diperbolehkan menggunakan perhiasan di
tubuhnya demi menikahi Prabu Parfum, juga atas nama Pangeran Bestari yang suatu saat akan
diangkat menjadi penerus Prabu Parfum.
Pangeran Bestari dilahirkan pada saat gerhana matahari terjadi di sekitar abad ke-17,
pemuda ini semenjak kecil telah dianugerahi kepintaran yang luar biasa. Dalam satu hari saja ia
bisa menamatkan dua puluh lima kitab, dan dapat menguasainya tanpa terlupakan sedikit pun apa
yang menjadi isi kitab-kitab tersebut. Dia pun tumbuh menjadi laki-laki yang sakti dengan penuh
wibawa dan kharismatik, Pangeran Bestari konon juga kebal senjata tajam, sorot matanya
menggetarkan hati lawan. Namun, ia merasa kesepian sebab tak ada satu pun yang dapat
mengalahkannya.

Pangeran ini meminta kepada ayahnya, Prabu Parfum untuk mencarikan orang yang
dapat menyainginya. Prabu Parfum pun berusaha untuk mencarinya, namun setelah selama dua
puluh enam tahun menelusuri seluruh daerah yang bahkan bukan daerah kerajaannya sendiri, ia
masih tidak menemukannya. Bahkan ketika Prabu Parfum meminta para pakar astrologi untuk
mencarikan di mana mereka bisa menemukannya, namun orang-orang itu tetap tidak bisa
menemukan dan menyerah di hadapan Prabu Parfum.

Hingga seorang kakek tua datang ke Kerajaan Karton Pelajaran dan berkata bahwa di
Kerajaan Gurun hidup seorang pangeran bernama Syahid Ala. Dan mengembaralah Pangeran
Bestari menuju Kerajaan Gurun, berbekal seekor kuda dan sebilah senjata yang disebut Kejang
Petir. Hingga bertemulah Pangeran Bestari dengan seorang yang tampaknya merupakan
penduduk asli setempat. Seorang fakir bernama Hari. Pangeran Bestari pun bertanya kepadanya,
di mana ia bisa menemukan Pangeran Syahid Ala.

Fakir Hari pun mengajaknya ke suatu tempat, namun setelah dua puluh enam kilometer
berjalan, Fakir Hari pun berkata bahwa tongkatnya tertinggal di tempat mereka bertemu
sebelumnya. Maka kembalilah mereka berdua, berjalan selama dua puluh tujuh kilometer dan
sampailah di tempat yang dimaksud, dan tampaklah sebatang tongkat yang terhujam di gundukan
pasir. Fakir Hari meminta tolong kepada Pangeran Bestari untuk mengambil tongkatnya. Namun
Pangeran Bestari merasa agak terhina, sebab ia seorang bangsawan sedangkan ini tongkat milik
seorang rakyat jelata yang miskin. Namun, sebab Pangeran Bestari ingin bertemu dengan
Pangeran Syahid Ala, ia pun menyanggupinya.

Dicabutnya tongkat itu dengan sebelah tangan. Namun, semakin ia berusaha mencabut,
semakin kuat dan kokoh tongkat itu hingga tak dapat dicabut. Maka Pangeran Bestari
mencabutnya dengan kedua tangan dan sekuat tenaga, tapi tetap saja tongkat ini tidak bisa
dicabut. Kemudian dikerahkannya seluruh tenaga dalam yang biasanya dia gunakan untuk
berduel atau memenangkan berbagai pertempuran sewaktu masih di Kerajaan Karton Pelajaran,
tapi tetap saja tongkat itu masih tidak bisa dicabut. Malah kedua kaki Pangeran Bestari ikut
tertarik ke dalam pasir, Pangeran Bestari kesal bukan main. Ia marah sebab tenaga dalam yang
biasa digunakannya untuk memenangkan pertarungannya selama ini tidak bisa dia andalkan.
Tenaga dalamnya terkuras habis, dan ia pun mengalami dehidrasi.

Karena Fakir Hari melihat Pangeran Bestari kesulitan, ia pun mengambil tindakan untuk
mencabut tongkatnya sendiri. Dan ia melakukannya dengan mudah dan tanpa jerih payah sedikit
pun. Pangeran Bestari pun heran, ia merasa bahwa Fakir Hari tengah mempermainkannya. Dia
pun juga menduga bahwa Fakir Hari bukanlah orang biasa, dan bisa jadi Fakir Hari inilah yang
dimaksud kakek tua itu sebagai Pangeran Syahid Ala.

Pangeran Bestari bertanya kepada Fakir Hari, apakah Fakir Hari sebetulnya adalah
Pangeran Syahid Ala. Maka Fakir Hari pun menjawab bahwa ia memang Pangeran Syahid Ala.
Pangeran Bestari pun menjadi takut, niatnya yang semula ingin mengajak Pangeran Syahid Ala
untuk berduel pun musnah. Dia juga bertanya mengapa Pangeran Syahid Ala tampak terlihat
lebih seperti orang miskin daripada bangsawan. Lantas dijelaskan oleh Pangeran Syahid Ala,
bahwa di dalam agamanya, harta bukanlah hal yang penting—melainkan ridho dari Allah Tuhan
Semesta Alam, dan karena ridho itulah ia bisa dengan mudah mencabut tongkatnya.

Setelah itu, Pangeran Bestari pun masuk Islam dan berguru kepada Pangeran Syahid Ala.
Dia mengganti namanya menjadi Sunan Jamal, dan setelah selesai berguru, ia pun kembali ke
kampung halamannya untuk berdakwah. Menyebarluaskan ajaran Islam di Kerajaan Karton
Pelajaran dan sekitarnya. Setelah Prabu Parfum wafat, Sunan Jamal pun diangkat menjadi
penerus ayahnya dan mengubah Kerajaan Karton Pelajaran menjadi Kesultanan Sujatayum.
Sunan Jamal menikah dengan Sabai Nan Aluih, seorang putri dari salah satu ulama yang juga
ikut menyebarluaskan agama Islam di daerah Barat Laut dari Kesultanan Sujatayum. Mereka
dianugerahi seorang bayi laki-laki yang kelak akan menyebarluaskan daerah Kesultanan
Sujatayum hingga sampai ke seluruh pelosok dunia.

#
Di masa akhir pembelajaran Kesusastraan, kami ditugaskan untuk membuat Tugas Akhir yang
bisa dipilih, antara lain; mengkaji proses kreatif dari kitab sastra atau karya-karya monumental
seperti novel atau puisi epik, menciptakan novel dengan teknik menulis kreatif, atau kritik sastra.
Aku memilih mengkaji proses kreatif dengan mengambil Hikayat Raja-raja yang sebelumnya
telah kutamatkan. Kugunakan ilmu sastra bandingan yang dipelopori oleh para pemikir Prancis,
kukeluarkan semua simbol-simbol dan penggunaan nama serta makna-manka dari kitab
sastra Hikayat Raja-raja dengan cerita rakyat berjudul Raden Kian Santang. Lantas kususun
semuanya di dalam tabel, dan kusampaikan kemiripan serta perbedaan di antara keduanya. Inilah
proses kreatif Hikayat Raja-raja yang menyadur cerita Raden Kian Santang!

Setelah itu, kuberikan Tugas Akhir yang sudah kuselesaikan ini kepada Tuan Rekursi,
yang sebelumnya telah kuberi judul; Dialektika Raden Kian Santang dengan Pangeran Bestari
dari Hikayat Raja-raja.

Bagian Dua Puluh Enam: Ramalan Kekacauan

Sewaktu aku hadir di Kelas Astrologi, rupanya pengajar di kelas kami adalah Puan Naga.
Meski begitu para pelajar selain diriku memanggilnya Nona Mei. Aku cukup ragu apakah
yang mengajar kami kali ini memang betul-betul Puan Naga, atau orang lain yang dipanggil
Nona Mei. Kelas berlangsung cukup seru, kami mempelajari Kartu Tarot dan penafsiran dari
berbagai kartu-kartu ini. Masing-masing di antara kami diberikan kumpulan kartu yang
lengkap. Hanya saja, kupikir Kartu Tarot ini bukanlah kartu tarot yang biasa digunakan di
Alam Onsil, sebab gambar-gambarnya lebih berupa lukisan Tiongkok seperti ilustrasi Sun Go
Kong, Dewi Kwan Im atau Erlang Shen.

Di saat aku memilih salah satu kartu, aku mendapatkan kartu bergambar Siluman Ular
Putih yang sangat cantik. Aku bahkan jatuh cinta kepada sosok ini, sambil berkhayal bahwa
suatu saat aku akan bertemu dengannya. Ketika Nona Mei mendatangi mejaku dan
memeriksa, seketika ia tampak ketakutan dan menyuruhku berhati-hati. "Ini pertanda ada
Kuasa Jahat yang mengincarmu," katanya menjelaskan.
Aku tercenung menatap kartu itu, kemudian bertanya, "Jadi, apa yang mesti
kulakukan?"

Nona Mei mengangkat pandangannya dari kartu, kemudian menatapku. Dan seperti
berusaha menenangkan dirinya, ia pun menjawab, "Perbanyak mendekatkan dirimu dengan
Tuhan."

Aku manggut-manggut, kemudian tersadar bahwa selama di Alam Feminix aku tak
pernah sholat sama sekali. Mungkin karena itulah aku diincar oleh Kuasa Jahat, namun, alasan
mengapa aku tidak pernah sholat disebabkan oleh tidak pernah ada azan di sini. Dan
pergantian dari siang ke malam hanya dapat diketahui dari suasana gelap yang datang sewaktu
malam. Matahari pun juga tidak bergerak dari Timur ke Barat, matahari di sini ibarat lampu
yang terus-menerus berada di lokasi yang sama di bagian tengah langit merah jambu.

#
Aku lebih setuju dengan istilah 'Kuasa Jahat' ketimbang menyebutnya sebagai 'Kuasa Gelap',
sebab 'gelap' bukan berarti 'jahat'. Dan para pengarang kisah fantasi cenderung menggunakan
kata gelap untuk menunjukkan sisi dari pihak antagonis di dalam novel-novel mereka,
contohnya J.R.R. Tolkien yang merupakan salah satu penggagas novel fantasi. Di dalam
karya-karyanya, J.R.R. Tolkien kerap menyebutkan istilah gelap atau bayang-bayang sebagai
antagonis, dan mungkin inilah yang semakin membuat orang kulit hitam ditindas, atau
mungkin penindasan atas mereka juga dicampuri oleh tulisan-tulisan dari novel The
Hobbit atau Lord of the Rings.

Kisah-kisah fantasi dari Tolkien pun kemudian menciptakan tradisi di kisah-kisah


fantasi bahwa yang gelap atau hitam itu jahat, apalagi sewaktu Eropa mengalami krisis
kemajuan, mereka menyebutnya Abad Kegelapan. Meski tak bisa kupungkiri bahwa Istana
Hitam yang merupakan wilayah kekuasaan Sultana juga ikut andil dalam memberi citra bahwa
yang kelam berarti jahat. Namun, kurasa Istana Hitam berwarna gelap mungkin hanyalah
sebuah kebetulan.

Aku baru sadar bahwa Nue juga tidur di Asrama Perempuan, dan dia pun menghampiriku
sebelum jam tidur, di saat semua pelajar perempuan sedang bersiap-siap untuk istirahat. Nue
berkata padaku, "Maafkan aku, ya. Kemaren aku lepas kontrol,"

"Enggak papa, aku tidak mempermasalahkannya." Jawabku dan tersenyum simpul.

Nue juga tersenyum, kemudian memilih untuk duduk di tempat tidurku. "Jadi kamu
memang dari Alam Onsil?"

"Ya, begitulah." Jawabku sambil menggaruk-garuk kepala.

"Bagaimana duniamu itu? Apakah menyenangkan?" Tanya Nue lagi.

"Di sana laki-laki dan perempuan hidup berdampingan, menikah dan punya anak."
Jawabku, "Di waktu pernikahan mereka, digelar pesta dan semua tamu undangan makan
masakan enak. Kemudian berfoto,"

"Wah! Apakah mereka tidak takut mati?" Pertanyaan Nue membuatku geli.
"Ya, enggaklah. Kematian mereka tidak semudah itu," jawabku, "Umumnya hanya
orang di atas usia 60 yang mati."

"Oh, tentu saja karena itu penduduk Alam Feminix hidup abadi." Komentarnya sambil
tertawa kecil.

"Mereka mati bukan karena hubungan seks, tapi karena sudah ajalnya. Seperti penyakit
parah atau kecelakaan," jelasku sambil menatap sepasang mata Nue lekat-lekat.

Nue manggut-manggut, kemudian menguap dan berkata bahwa ia sudah mengantuk


dan ingin tidur. "Silakan," kataku.

Kemudian dia berjalan ke tempat tidurnya dan menghempaskan tubuhnya di sana.

Paginya, aku bertemu lagi dengan Nue di kantin. Kuseduh lagi secangkir kopi dan
menghirupnya dalam-dalam. Nue sedang menikmati satu porsi sushi berupa beraneka ragam
ikan mentah yang sudah dipisahkan tulang dari bagian dagingnya. Terlintas di benakku bahwa
ia berasal dari Istana Ratu Balqis. Lantas kutanyakan saja untuk memastikannya, "Kamu
asalnya dari mana?"

Dan benar, ia berkata bahwa ia berasal dari Istana Ratu Balqis. "Tapi sewaktu
kudengar berita tentang pertempuran itu, aku tidak sedang berada di sana."

Aku manggut-manggut, "Lantas, kamu ke mana?"

"Jakarta." Jawabnya singkat.

"Jadi kamu Pelancong?" Tanyaku setengah tidak percaya. Sebab, mana ada Pelancong
yang bukan dari lulusan Republik Mabob. Lagipula, ia pernah bertanya mengenai Alam Onsil,
seolah ia tak pernah pergi ke sana. Mungkin semalam ia hanya berbasa-basi.

"Ya, aku Pelancong." Jawabannya membuatku terpesona, "Aku ditugaskan Ratu Balqis
untuk menjelajahi Alam Onsil."
Aku mengangguk mengerti. Tapi dari mana kemampuannya untuk mengolah data-data
menjadi catatan? Tanyaku dalam hati.

Seolah mendengar suara di pikiranku, Nue pun berkata, "Ratu Balqis juga lulusan dari
Republik Mabob, tapi tidak mempelajari sihir. Aku ditugaskan untuk menjadi Pelancong di
Alam Onsil, dan sebagai gantinya beliau mendaftarkanku di sekolah ini."

"Setelah lulus nanti, kamu mau ke mana?" Tanyaku, sebab aku sedang tidak ada
pembahasan lain.

"Mungkin aku akan ke Jakarta lagi, dan menikah di sana." Jawabnya tersenyum.

Aku merasa sedih. Namun jika aku lulus nanti dan selesai menuliskan catatan tentang
Sakrian, mungkin aku akan menyusulnya dan berkenalan lagi dengannya untuk kali kedua.

Bagian Dua Puluh Tujuh: Korupsi

Pemerintahan Republik Mabob entah mengapa tiba-tiba mengumumkan bahwa para pelajar
sudah diperbolehkan libur selama dua puluh delapan bulan, itu berarti kami tidak bisa
menghadiri kelas sekitar dua tahun ditambah empat bulan. Selain itu, semasa liburan para
pengajar tidak meminta para pelajar untuk mengerjakan tugas. Jadi, aku bisa berkunjung ke
Kerajaan Sakrian, apalagi Kambing malah mengajakku tanpa diminta.

Kami berjalan keluar dari salah satu di antara Empat Gerbang Republik Mabob yang
mengarah ke selatan. Aku sempat berpikir bagaimana arah mata angin yang berada di bagian
peta itu disebut selatan, mungkin sebab Pulau Jawa dikenal sebagai daerah yang terdiri
dari selat, yaitu laut yang berada di antara pulau-pulau.

Kambing sudah menyiapkan dua botol besar air minum untuk keperluan kami di
perjalanan, yang memakan waktu dua puluh sembilan jam tanpa istirahat. Ketika aku berjalan
mengikutinya selama satu hari penuh ditambah lima jam tanpa istirahat ini, aku merasa lelah,
kering tanpa tenaga seperti orang yang baru begadang berminggu-minggu.

Bukan karena suhunya yang panas, sebab di Alam Feminix matahari bersinar dengan
cahaya lembutnya dan tidak pernah terik sama sekali, persis seperti cahaya lampu. Tapi aku
merasa haus, jadi kuminta air kepada Kambing, dan dia menyodorkanku salah satu botol
kemudian berkata, "M1numny4 s3d1k1t s4j4, j4ng4n d1h4b1sk4n."

Aku minum sesedikit mungkin, tapi air di dalam botol itu sudah habis olehku
seperempat. Dengan wajah agak kesal, Kambing langsung menarik botol ini begitu
kukembalikan padanya. Dia mulai mengomel bahwa jika persediaan air habis, kami akan
tewas di tengah jalan. Tapi kemudian dia berujar, "L1h4t 1tu!"

Kambing menunjuk ke arah sejenis bukit—dan memang tampak seperti bukit—yang


dari satu sisi menampakkan sebuah lubang yang gelap dan terkesan angker. Aku pun bertanya,
"4p4 1tu?"

Kambing pun menceritakan bahwa dulu, jauh sebelum Alam Feminix berkembang
seperti saat ini dan Republik Mabob belum didirikan, sekelompok pendahulu manusia baik di
Alam Onsil maupun Alam Feminix, memilih menetap di sana. Lubang yang gelap dan
terkesan angker itu disebut Gua Orang Tua, sebab tempat ini dihuni oleh para dewa pencipta
manusia yang disebut Anunnaki. Mereka berasal dari sebuah planet yang jauh bernama
Nibiru, bahkan penduduk Pleiades pun menyembahnya sebagai Tuhan.

Aku yang sempat ditipu oleh Gadis di Ujung Senja—meskipun akhirnya ia mengaku
bahwa Bangsa Pleiades percaya Tuhan—menjadi mengerti dengan agama yang dianut oleh
mereka. Namun, mungkin saja Gadis di Ujung Senja termasuk pemberontak yang tidak ingin
mempercayai agama. Meskipun dia juga pernah berkata bahwa ia tidak mengerti dengan
istilah dari atheis. Tapi aku percaya pada Kambing, walau aku tahu bahwa dengan ini aku
termasuk berkhianat kepada Gadis di Ujung Senja. Aku pun berpikir, mungkin dia tidak
percaya Tuhan sebab ia meragukan Anunnaki yang juga memiliki kelemahan: mereka tidak
dapat menciptakan sesuatu dari ketiadaan.

Aku bertanya kepada Kambing, apakah ada Pelancong dari Sakrian yang memilih
untuk meninggalkan catatan di Republik Mabob dan tidak kembali ke Gliese ataupun Sakrian,
"S3b4b s4l4h s4tu k4w4nku p3rn4h b3rk4t4 b4hw4 4d4 c4t4t4n y4ng m3mb4h4s t3n4ng
S4kr14n."
Kambing pun bercerita bahwa dulu memang ada Para Pelancong yang berdatangan ke
Sakrian. Mereka juga melakukan penelitian di negeri itu, namun ternyata mereka berkhianat.
Para Pelancong itu ternyata datang dari Pleiades dan menyamar menjadi manusia dari Alam
Onsil. Begitu mereka mendapat informasi dari Sakrian, mereka malah menyerang Planet
Gliese dan menghancurkan kota-kota besar yang sudah dibangun sejak milyaran tahun lalu.

Aku masuk ke Sakrian, didahului oleh Kambing


yang melapor ke seorang petugas untuk membuka
gerbang dan menutupnya kembali. Setelah gerbang
di belakangku ditutup, aku merasa sedang berada di
dalam sebuah kota yang sangat megah dengan
bangunan-bangunan penuh cahaya dan berbagai
kendaraan canggih—sejenis cyberpunk city yang
sempat kulihat di Google. Hanya saja, langit tak lagi terlihat berwarna merah jambu,
melainkan hitam dan gelap.

Mungkin langit sudah menyerah menampakkan dirinya dengan warna yang aneh
itu. Kataku dalam hati.

"Buk4n. K1t4 b3r4d4 d1 b4w4h 4t4p y4ng m3l1ndung1 k1t4 d4r1 s3r4ng4n ud4r4,
k4l4u k4u m4u t4hu," jelas Kambing seperti biasa, membaca pikiranku.

Beberapa elves tampak berjalan dengan tergesa-gesa di trotoar yang berkerlap-kerlip


penuh cahaya merah, biru dan ungu. Sekelompok kurcaci terdengar tertawa terbahak-bahak di
salah satu kedai yang menjual bir—atau mungkin bukan bir, aku tak tahu—dan sebagian
vampir tampak menyeruput segelas plastik berisi cairan berwarna merah, sementara Kambing
menyuruhku untuk mengikutinya terus.

Kami sampai di depan sebuah gedung dengan pendaran-pendaran cahaya biru gelap
dengan tulisan seperti ini;
L4B0RT0R1UM

Kambing menyuruhku masuk sementara ia masih di halaman yang dipenuhi bunga-


bunga mawar dan melati. Ketika kutanya mengapa ia tidak ikut masuk, Kambing malah
berkata bahwa ia sedang menunggu temannya. Aku pun masuk.

Dan selanjutnya, adalah peristiwa yang tidak pernah kuduga.

Bagian Dua Puluh Delapan: Si Mata Satu

Lelaki itu—jika dia memang bisa disebut lelaki—tampak tua dan botak, wajahnya kotor dan
basah oleh keringat. Dia menggunakan kacamata hitam dan di kemejanya yang juga hitam,
terdapat simbol yang menyerupai angka 65. Dia menoleh begitu aku memasuki ruangan, satu-
satunya ruangan di L4b0r4t0r1um. Barusan aku sudah melewati lorong-lorong penuh lemari
yang berisi tumpukan kertas, hingga sampai ke tempat ini.

"4d4 4p4?" Tanya pria tua itu tampak kesal.

"4ku 1ng1n m3nul1s c4t4t4n t3nt4n9 S4kr14n," jawabku terus terang, berusaha
tersenyum ramah meski aku agak gugup dan takut.
Bayangan tentang uji coba manusia hingga merubah mereka menjadi ghoul berkelebat
di pikiranku. Takut, sebab barangkali aku juga akan dijadikan tikus percobaan oleh
mereka. Apakah aku harus lari dari sini? Sedangkan pintu gerbang sudah ditutup rapat-
rapat?

"Enggak usah berpikir yang macam-macam! Kau kira kami ini alien jahat?" Bentak
pria tua berkacamata hitam itu kepadaku. "Lagipula, temanmu itu cuma mengada-ada! Sebab
mereka itu pihaknya Putri Salju!"

Aku tersentak mendengarnya. Tersadar bahwa aku telah bersalah, menganggap mereka
akan melakukan sesuatu yang buruk padaku, mencelakaiku sebab aku manusia biasa dan
bukan Superman. Namun aku bisa saja menggunakan tongkat sihirku, atau mencari aplikasi
untuk berubah menjadi mode Kamen Rider.

"Monster yang kau lihat itu merekalah yang ciptakan, bukan kami!" Sembur lelaki tua
itu lagi.

"Baiklah," kuatur nafas, "Aku ke sini mau membuat catatan tentang Sakrian,"

Lantas pria tua berkacamata hitam ini duduk dan menghela nafas, kemudian ia
menceritakan, bahwa dulu ada beberapa orang dari Bangsa Pleiades yang menyamar menjadi
manusia dan datang untuk mengorek informasi, dan akibatnya fatal bagi Planet Gliese. Sesuai
dengan yang sudah diceritakan Kambing kepadaku. Lantas, aku pun bertanya, "Anda laki-laki,
Pak?"

"Di sini enggak ada gender!" Bentaknya seolah ingin dilihat tegas.

"Anda pendatang dari Alam Onsil?" Tanyaku kembali, aku tidak mau terkesan takut di
hadapannya.

Pria itu menghela nafas, kemudian mengangguk. Lantas ia bercerita bahwa di Alam
Onsil, dia tidak mendapatkan tempat untuk bekerja, dan karena itulah dia memilih tinggal di
sini. Di Alam Feminix, di Negeri Sakrian. Dia malah mengabdikan dirinya untuk mengurus
berkas-berkas yang ada di ruangan ini, sebagai gantinya, ia diakui sebagai warga negara
Sakrian dan mendapat fasilitas yang sama dengan para penduduk di sini.
"Kenapa Anda tidak mendapat tempat kerja?" Tanyaku lagi, sambil menyandarkan
telapak tanganku di atas meja kerjanya.

"Karena mereka enggak paham equal rights!" Jawabnya, masih membentak.

"Kebetulan saya juga dari Alam Onsil," ujarku, tapi memilih untuk merahasiakan
pekerjaan Ayah.

Kemudian pria itu menatapku dengan serius, menatap dengan lekat-lekat hingga
akhirnya dia tersenyum. Mungkin tersenyum malu atau tersenyum senang, aku tak tahu, sebab
kacamata itu menyembunyikan ekspresinya.

Pria ini melepaskan kacamata hitamnya dan tampak olehku ia hanya memiliki sebuah mata
kanan. Aku tak bertanya ke mana mata kirinya, sebab ia mengajakku berjalan-jalan ke luar
gedung untuk mencari makanan. Kupikir kami akan pergi ke restoran tempat masakan-
masakan aneh yang seperti ditraktir oleh Kambing. Setelah kami sampai ke rumah makan
yang dimaksud, aku baru tersadar bahwa Kambing sudah menghilang entah ke mana. Padahal
ia berkata ingin menunggu temannya di pekarangan penuh bunga mawar dan melati di gedung
tadi, tapi sewaktu aku lewat ia sudah tidak ada di sana.

"Mau makan apa?" Tanya pria ini. Duduk di salah satu kursi dengan meja berbentuk
lingkaran. Di atas meja ini ada sebuah buku tipis berukuran kertas A4.

"Apa saja menu di sini?" Tanyaku sambil ikut duduk.

Dia menyerahkan buku tipis itu kepadaku, lantas berkata, "Pilih saja."

Aku mendapati berbagai menu yang tertera di sana: masakan Tsar-tars, masakan
Sultana, masakan Ratu Balqis dan masakan khas Sakrian. Aku memilih rogan josh, hidangan
domba berbumbu pedas yang merupakan masakan khas Sultana. Pria itu pun memesan menu
yang sama.

#
Sebisa mungkin kusembunyikan perasaan risihku sewaktu berhadapan dengan pria bermata
satu ini. Ada getaran rasa takut dan aneh, sebab aku belum pernah berhadapan dengan
manusia dari Alam Onsil yang berpenampilan seperti dia. Kutahan pikiran-pikiran itu,
menumpahkannya di calon catatanku agar perasaanku ini tidak muncul sewaktu-waktu.
Apalagi dia bisa dengan mudah membaca pikiranku.

Tapi tampaknya pria ini—yang selanjutnya kutulis sebagai Si Mata Satu—tidak dapat
membaca pikiranku, atau dia memang tak peduli. Mungkin dia bisa membacanya tapi tidak
peduli, dugaanku yang ini sangatlah kuat dan agak membuatku takut. Dan setelah kami makan
dan rasa pedas daging domba ini masih terasa dan menyengat lidahku, kutuangkan dua gelas
air. Satu untukku dan satu lagi untuk Si Mata Satu. Kutenggak air ini dan mengisinya lagi,
lantas kutenggak lagi. Kulakukan ini sampai perutku kembung.

Setelah itu kami berdiri meninggalkan meja makan. Si Mata Satu mengeluarkan
sebuah kartu dan menempelkannya di sebuah papan metalik di meja kasir. Sebuah robot
dengan kabel yang terhubung dengan papan ini bertanya, "4d4 l4g1?"

Si Mata Satu menggeleng, "T1d4k,"

"T3r1m4 k4s1h. S1l4k4n b3rkunjun9 l4g1 k4p4n-k4p4n," ujar robot ini. Aku jadi
teringat salah satu dari keempat anggota tempur Ratu Balqis.

Kami berjalan di antara sekelompok faun dan vampir. Umumnya vampir mengenakan
jubah hitam legam, dan juga ada simbol angka 65 di baju mereka. Kebanyakan faun tidak
mengenakan baju, dan umumnya mereka hanya melilitkan syal merah di leher mereka, atau
beberapa gelang aksesoris di tangan kiri. Kemudian aku bertanya kepada Si Mata Satu, "Anda
membayarnya dengan kartu?"

"Bukan. Itu tandanya kita sudah berkunjung ke sana. Perdana Menteri Enkidu yang
membayarnya," jawab Si Mata Satu.

Aku manggut-manggut kemudian mengerti. Sistem pemerintahan di Sakrian mungkin


lebih bersifat komunisme, sebab selain tidak ada kelas sosial, uang juga tidak digunakan. Si
Mata Satu kemudian bertanya, "Apa saja yang mau kau tulis di catatanmu?"
"Aku ingin membahas khususnya bagaimana sistem equal rights bekerja di sini,"
jawabku, "Sebab aku kurang setuju dengan Ayah, yang hanya mengajarkan feminisme tanpa
melihat bagian pendewaan masyarakat ke kaum perempuan."

"Maksudmu pendewaan?" Tanya Si Mata Satu sambil tersenyum sambil mengeluarkan


sebungkus rokok kretek, menyalakannya dan menghembuskannya di udara. Mungkin ia tidak
bermaksud menanyakan, tapi ia mau tahu pendapatku tentang feminisme.

"Orang-orang menyebutnya Efek Wanita Hebat." Jawabku, sambil melirik ke arah


kreteknya.

"Mau?" Tanya pria ini lagi, menawarkan rokok kretek kepadaku.

Meskipun aku belum pernah merokok, kuambil sebatang darinya dan menyalakannya.
Aku terbatuk.

"Baru pertama kali?" Tanya Si Mata Satu sambil terkekeh.

"Begitulah," jawabku, kemudian mengisapnya lagi dan terbatuk lagi.

Di tengah perjalanan kami ke L4b0r4t0r1um, aku bertemu dengan Robot. Aku bisa
mengenalinya meski ia mengenakan jaket panjang yang hanya menyisakan wajahnya.

"Hai!" Kataku setengah berteriak.

Robot pun tersentak, agak kaget. Dia berusaha seperti tidak mengenaliku, namun
upayanya sia-sia. Kuberitahu Si Mata Satu bahwa aku sedang ada urusan, kemudian aku pergi
mengejar Robot.

Bagian Dua Puluh Sembilan: Robot Bercerita

Begitu kujegal Robot dengan menarik jaketnya, ia langsung membalikkan badannya dan
berhadapan denganku. Sepasang tatapannya berwarna merah dan ia berkata dengan suara
mesin yang berat, "K3n4p4 k4u m3n994n99uku? 4d4 4p4? 4ku b4hk4n t1d4k m3ng3n4lmu,"
"Apa kau tak ingat dengan pertempuran dulu?" Tanyaku, "Sewaktu kita berhadapan
dengan Sultana?" Aku juga ingin mengingatkannya bahwa di Republik Mabob ia pernah
membimbingku di kelas Kedokteran.

"H4?" Robot tampak tidak mengerti, tapi kuduga ia memang pura-pura tidak mengerti.
Bahkan ia mungkin berbicara bahasa Sakrain, mungkin agar tidak tampak seperti penghuni
luar.
"Aku Merah Jambu. Apa kau tak ingat?" Tanyaku lagi, berusaha meyakinkannya. Atau
mungkin berusaha memastikan bahwa aku tidak salah orang.

"T1d4k. 4ku t1d4k m3ng3n4lmu, m44f." Jawabnya, kemudian memilih melanjutkan


perjalanan. Aku hanya bisa diam dan tidak melanjutkan pembicaraan.

Sebuah pesan masuk ke dalam gelangku, berbunyi seperti suara ponsel yang baru saja
dikirimkan SMS. Rupanya ini pesan dari Robot. Di sana ia berkata bahwa ia sedang tidak
ingin berurusan dengan siapa pun yang pernah terkait dengan Ratu Balqis ataupun Sultana.
Robot ingin mengasingkan diri dari perkara-perkara semacam itu, dan ingin memulai hidup
baru di Sakrian. Dia berkata bahwa tempat ini surga baginya, dan ia tak ingin menghilangkan
kesempatan ini begitu saja. Dia juga meminta maaf sebab sudah berpura-pura tidak
mengenaliku, dan pesan itu pun diakhiri oleh pembacaan salam yang bisa kucerna dalam
bahasa Arab.

Setelah itu, kuputuskan untuk kembali ke L4b0r4t0r1um. Sesampainya di sana, tempat


itu masih sepi tanpa pengunjung maupun pekerja di sana—jika memang ada para pekerja yang
secara rutin hadir di sana—kembali kumasuki gedung ini, melewati lorong-lorong panjang
yang berisi lemari-lemari dengan tumpukan kertas.

Si Mata Satu tampak sedang memungut kertas-kertas yang berserakan di ruang kerjanya. Dia
kembali mengenakan kacamata hitam dan mulai memeriksa satu demi satu lembaran-lembaran
yang terjatuh, lantas menyusunnya lagi di antara folder-folder di atas meja. Kemudian aku
meminta izin untuk melihat-lihat kertas-kertas itu, dan mulai menyalin beberapa yang
kuanggap penting di calon catatanku.

Umumnya kertas-kertas itu berisikan sejarah Bangsa Sakrain, biografi Perdana Menteri
Enkidu dan Sebelas Ksatria Sakray, serta berbagai rancangan untuk mengembangkan
teknologi. Hanya sedikit yang bisa kudapatkan mengenai prinsip equal rights yang menjadi
prinsip utama Bangsa Sakrain.
Si Mata Satu yang langsung membaca pikiranku pun bercerita bahwa sewaktu orang-
orang dari Pleiades datang ke sini, mereka sempat mencuri data-data mengenai equal
rights itu. Mereka menghilangkannya, mungkin membawa kabur berkas-berkas itu. Sebab
setelah Si Mata Satu memeriksanya kembali, ia tidak dapat menemukan berkas-berkas itu
kembali.

"Apa benar, merekalah yang membuat teknologi di bumi semakin canggih?" Tanyaku,
mengingat percakapanku dengan Gadis di Ujung Senja.

"Bukan! Tentu bukan. Mereka hanya sekumpulan pencuri data dan malah mengaku-
ngaku sebagai penemu!" Ujar Si Mata Satu, mukanya memerah. Tampak sekali ia sedang
marah, bahkan mungkin murka.

Tiba-tiba pesan dari Robot kembali terdengar, aku merasa gugup sebab jika Si Mata Satu
mengetahui bahwa aku mengenakan peralatan dari Pleiades, ia akan marah kepadaku. Atau
kecewa dan kemudian marah. Jadi segera kuhindari Si Mata Satu dengan pergi keluar dari
ruangan, kemudian membuka isi pesan. Pesan itu ternyata dikirim oleh Robot, ia berkata
bahwa aku harus cepat-cepat melarikan diri dari Sakrian, sebab aku sedang berada dalam
incaran Sebelas Ksatria Sakray.

Aku tak tahu apa yang mesti kulakukan, lagipula aku tak tahu bagaimana caranya
menghubungi Kambing, orang yang paling bertanggungjawab atas kehadiranku di sini. Jadi
kuputuskan saja untuk kembali dan menemui Si Mata Satu.

Begitu aku sampai di ruang kerja Si Mata Satu, aku malah tidak mendapatinya di sana. Aku
merasakan takut yang amat sangat, jadi kuputuskan untuk berlari ke Gerbang Sakrian yang
jaraknya setengah jam dari L4b0r4t0r1um. Namun tempat itu malah tertutup, sesuai
dugaanku, bahwa gerbang ini ditutup dan dibuka sesuai dengan izin dari petugas Gerbang
Sakrian. Dan begitu kulihat petugas pembuka gerbang, ia tampak langsung menghubungi
seseorang dengan berkata, "D14 d1 s1n1!
Langsung kuutak-atik ikat pinggangku, lantas berubah menjadi Kamen Rider—aku
memang tak tahu padanan kata yang pas untuk ini—seluruh tubuhku terasa diikat dengan kuat
oleh mode seperti ini. Sebelas orang yang berpakaian seperti ksatria di zaman Victoria
lengkap dengan pedang laser yang mengingatkanku pada senjata Ratu Balqis, yang
mengingatkanku ke film Star Wars. "B3rh3nt1 0r4n9 Pl314d3s!" Kata salah satu dari mereka.

Kesebelas orang ini langsung mengepungku dari berbagai arah, dan begitu salah
satunya berusaha mendekatiku, mode Kamen Rider ini bergerak dengan sendirinya.
Menghajar ksatria itu hingga ia pingsan—atau mati? Aku tak tahu—lantas kesepuluh ksatria
yang tersisa langsung mengeroyokku, namun tetap saja mode Kamen Rider ini membuatku
bertahan. Menghabisi kesepuluh ksatria ini, tanpa terluka atau tergores sedikit pun.

Lemah juga pertahanan mereka, pikirku dalam hati.

Namun seluruh warga Sakrian langsung menyerbuku dari berbagai arah, kuharap mode
Kamen Rider ini masih bisa berfungsi. Namun, ternyata aku salah.

Bagian Tiga Puluh: Misandri

Seluruh penduduk Sakrian menangkapku, yang sudah kehilangan mode Kamen Rider sebab
mungkin jangka waktunya sudah habis. Aku kembali ke wujud Merah Jambu—yang entah
kenapa mode ini bisa bertahan lebih dari dua puluh tahun di Alam Onsil—sekelompok elves,
vampir, orc, cyborg dan jenis mahluk-mahluk lain yang tidak kuketahui mengikat seluruh
tubuhku dengan tali yang berpijar-pijar dengan cahaya hijau. Aku teringat Green Lantern
meski pun seharusnya aku tak memikirkannya saat ini. Kambing yang tidak ada di sana
membuatku ingin mengumpat.

Aku dibawa ke sebuah gedung dengan cahaya hijau yang tak sempat kulihat
tulisannya. Kalau tidak salah ada aksara 4 atau 0, tapi karena aku digiring paksa, aku jadi
tidak bisa melihat semuanya. Kemudian aku disuruh duduk di kursi di dalam sebuah ruangan
yang dipenuhi cermin, tanpa sedikit pun dinding atau tembok. Di sana ada suara yang
menggema di seluruh ruangan cermin ini;

Apa tujuanmu ke mari, Mahluk Pleiades?


Aku terdiam. Barangkali mereka menyangka aku salah satu pengikut Putri Salju
lantaran mengenakan peralatan-peralatan ini. Aku harus menjelaskan sebisa mungkin bahwa
aku bukanlah salah satu di antara penduduk Pleiades.

"4ku buk4n b4g14n m3r3k4, Tu4n." Jawabku dalam bahasa Sakrain.

Tidak usah berkelit! Apalagi dengan menggunakan bahasa kami. Kami tahu kalian
pintar sekali berbohong!

Kemudian kugunakan bahasaku sendiri, "Tuan pasti punya serum yang bisa
disuntikkan supaya aku berterus-terang."

Ya, tapi sekali pun kami menggunakannya, kalian pasti dapat mengelak!

Setelah itu aku kehabisan kata-kata. Apakah kalau kuceritakan bahwa Sultana bisa
berterus-terang dengan serum itu, mereka percaya? Kutatap cermin di depanku, yang
memantulkan wajahku, kemudian juga memantulkan bagian belakang diriku, lantas
memantulkan wajahku dan memantulkan bagian belakangku, begitu seterusnya.

"Anda bisa menyita semua perlengkapanku. Kenapa Tuan tidak melakukannya?"


Tanyaku, semoga mereka bisa percaya. "Aku ini asli dari Alam Onsil."

Semakin berkelit, semakin yakin kami bahwa Anda salah satu penyusup dari Pleiades.
Apalagi melihat kemampuanmu mengalahkan kesebelas ksatria kami.

Aku menghela nafas, kemudian tak tahu harus bagaimana lagi. Apa yang harus
kukatakan untuk mengiyakan kecurigaan mereka? Bahwa aku bercita-cita ingin jadi salah
satu Para Pelancong?

Mereka mungkin takkan percaya.

Aku dibawa ke salah satu di antara beberapa sel yang gelap dan basah. Selain gelap dan
basah, tempat ini juga kotor. Aku bergabung bersama beberapa tahanan lain. Di antaranya ada
sesosok alien pendek yang berkulit kelabu dengan sepasang mata besar berdiri melamun.
Seorang elves yang membuatku terlihat lebih pendek—tinggiku hanya sampai ke pinggangnya
—bertelinga lancip berambut panjang dengan sebuah busur panah menyelempang di
punggungnya duduk dan bermenung. Seorang pria—apakah ia mau disebut pria?—botak
berwajah oriental dan berkulit kuning langsat dengan pakaian seorang biksu sedang duduk
bersila dan memejamkan mata. Dan seorang kurcaci berjanggut lebat kemerahan yang tampak
penuh lekuk otot menendang-nendang pintu sel.

"Aku terjebak di sini. Seharusnya aku enggak datang ke Sakrian," ujarku, berbicara
pada diriku sendiri.

"Kau Merah Jambu, kan? Aku pernah melihatmu di Republik Mabob," kata seseorang,
kulihat asal suara itu. Elves.

"Ya, namamu Negolast, kan?" Tanyaku, "Kamu yang protes soal Rocky Gerung itu.
Ya, kan?"

"Begitulah. Aku juga terjebak di sini." Jawabnya pelan.

"Si Enkidu itu tidak adil kepada kita," geram kurcaci, dia berhenti menendang. "Dia
menyuruhku untuk menyusup ke Istana Ratu Balqis, tapi setelah itu langsung menuduhku
berkhianat."

"Kenapa kau terjebak?" Tanyaku ke Negolast.

"Aku menuduh Needsea sebagai pendukung misandri," jawab Negolast, "Tapi dia
menang di pengadilan."

Aku bertanya-tanya pengadilan seperti apa yang digelar antara Negolast dan Needsea,
apakah seperti Johnny Depp dan Amber Heard dalam posisi terbalik? tapi kuputuskan untuk
menceritakan kisah hidupku. Dan untungnya, calon catatanku sudah lumayan panjang.
Kubacakan beberapa, tapi mereka tampak tidak begitu tertarik. Mungkin masih memikirkan
nasib mereka, yang mungkin akan berubah sewaktu-waktu.

Hingga akhirnya, biksu yang sedang bermeditasi itu membuka suara. "Aku yakin kamu
tidak bersalah. Seperti halnya kami di sini,"
"Anda pendatang dari Alam Onsil juga?" Tanyaku, sebab belum pernah kulihat
seorang biksu. Kecuali dari cerita yang pernah dituturkan sedikit dari Ratu Balqis dan
kecemburuan Sultana.

"Apa itu Alam Onsil?" Tanya biksu ini.

Aku tercenung. Aku tidak tahu apa istilah yang dipakainya untuk menjelaskan dunia
asalku, atau dunia asalnya juga. Biksu itu pun bertanya, "Dunia kita, ya?"

Aku tersenyum. Meski dihadapkan ke situasi seperti ini, aku masih bisa tersenyum.
"Ya,"

"Aku tidak tahu istilah Alam Onsil, tapi aku tahu kita berasal dari dunia yang sama."
Jawab biksu itu tersenyum.

Aku manggut-manggut, "Dari mana Anda mengetahuinya?"

"Meditasi zen membuatku mudah untuk memusatkan perhatian. Aku tidak melihat ciri-
ciri mahluk dunia ini darimu," jawab si biksu.

"Ya. Sebenarnya aku laki-laki. Tapi mode penyamaran ini membuatku terlihat seperti
perempuan yang utuh," jelasku, "Di dunia asalku aku dipanggil Merah. Tapi nenekku
mengganti namaku jadi Merah Jambu,"

Biksu ini tersenyum, "Pernah ada ramalan yang menceritakan tentang seorang penerus
raja di dunia ini. Dia akan menyelamatkan dunia ini dan dunia kita dari Kuasa Jahat,"

Aku tersentak. Kembali berkelebat di pikiranku, bayangan mengenai Kartu Siluman


Ular Putih. "Ya, tapi Kuasa Jahat seperti apa?"

Biksu itu tidak menjawab, dia malah diam dan kembali bermeditasi.

"Meski pun Sakrian negara yang kuat, intrik dari para petinggi negerinya membuat
Sakrian menjadi goyah dan nyaris rapuh." Ujar Negolast, "Seandainya Republik Mabob tidak
ada, tidak mungkin para anggota di sana ikut campur dalam politik di negeri ini. Republik
Mabob punya andil yang kuat untuk mempengaruhi Sakrian,"
Aku manggut-manggut, meskipun tidak mengerti semuanya.

Bagian Tiga Puluh Satu: Konon

Menurut desas-desus yang beredar di Sakrian, konon Biksu Tong San Chong berkelana
sampai ke Alam Feminix. Pria itu sampai ke Istana Kaisarina dengan ketiga muridnya; Kera
Sakti, Babi Gendut dan Si Bungsu. Saat itu masih banyak petaka dan mahluk-mahluk
mengerikan selain ghoul. Kelak, hanya ghoul merupakan jenis monster yang tersisa di Alam
Feminix. Dikisahkan Biksu Tong San Chong dan ketiga muridnya tersesat di sini, membuat
perjalanan mereka menjadi agak terlambat.

Saat itu, Ratu Balqis belum menjadi ratu. Gadis remaja ini memiliki saudara bernama
Hurem, yang merupakan kakak perempuan dari Balqis. Mereka berdua terpesona oleh
ketampanan dan kebijaksanaan Biksu Tong San Chong. Namun pria itu tampaknya lebih
tertarik kepada Balqis ketimbang Hurem. Dia pun menjalin hubungan cinta dengan Balqis.
Namun sewaktu Balqis ingin melakukan hubungan seks dengannya, Biksu Tong San Chong
menolak. Barangkali Balqis tidak tahu bahaya apa yang akan ada di depannya jika mereka
melakukan hubungan seks. Selain itu, lelaki ini berkata bahwa seorang biksu tak mungkin
menikah.

Hurem yang hanya tahu sedikit soal hubungan cinta kedua orang itu, menjadi cemburu
dan pergi meninggalkan Istana Kaisarina. Bersama pengikutnya yang hanya berjumlah tiga
puluh dua orang, dia mendirikan Istana Hitam dan menggunakan sihirnya untuk memindahkan
Biksu Tong San Chong ke Istana Hitam. Namun, terlihat jelas biksu ini tidak memiliki
ketertarikan kepada Hurem, yang saat itu sudah mengganti namanya menjadi Sultana.

Sultana membujuk Biksu Tong San Chong bahkan menggunakan sihirnya lagi agar
pria itu luluh dan beralih mencintainya. Namun usahanya sia-sia. Sebagai biksu, ia tidak
mampu dipelet, dan hanya sedikit mantra yang bisa mempengaruhinya. Kera Sakti dengan
Jurus Awan Kinton berkelana di langit, mencari keberadaan gurunya hingga tibalah ia di
Istana Hitam. Sewaktu ingin menjemput Biksu Tong San Chong, Sultana kembali
menggunakan mantra-mantranya untuk menghabisi Kera Sakti.
Pertarungan itu semakin sengit dan Kera Sakti pun berubah wujud menjadi King Kong.
Sultana merapal sihirnya agar King Kong terpengaruh dan tunduk di bawah kakinya, namun
usahanya sia-sia. King Kong mengamuk hingga Istana Hitam nyaris runtuh. Namun Sultana
merapal mantranya dengan mengubah Istana Hitam menjadi hologram. Sultana juga merapal
Mantra Portal yang akan membuat King Kong berpindah ke dimensi lain, namun justru
Mantra Portal itu mendatangkan Bangsa Tsar-tars ke Alam Feminix.

Sultana berhasil mempengaruhi Bangsa Tsar-tars untuk ikut berpihak padanya dan
berusaha mengalahkan King Kong. Namun para laki-laki itu malah ketakutan menatap
sepasang mata King Kong yang berwarna merah saga. Mereka pun kabur ke timur laut.

Bangsa Tsar-tars menghadapi berbagai bahaya dari berbagai jenis monster berupa
siluman, hantu dan ghoul. Namun mereka berhasil diselamatkan oleh Arogan dan pasukannya,
meski Arogan harus kehilangan dua per tiga prajuritnya demi menyelamatkan Bangsa Tsar-
tars. Dengan sisa pasukannya serta Bangsa Tsar-tars, Arogan pun mendirikan tembok
pelindung dari ancaman monster-monster itu.

Di Istana Hitam, Sultana merapal Mantra Pemanggil untuk mendapat bantuan dari
berbagai monster demi mengalahkan King Kong. Mantra ini berhasil, kecuali
sekelompok ghoul yang merupakan mamalia primata, mereka tidak terpengaruh sebab mereka
bukan jenis dari mahluk-mahluk supranatural. Ghoul memang hasil rekayasa teknologi yang
sebetulnya bukan dari proyek uji coba Bangsa Gliese, melainkan Anunnaki yang tinggal di
Gua Orang Tua. Anunnaki sendiri mengerjakan proyek itu di sana.

King Kong pun, dengan kesaktiannya yang tak tertandingi, berhasil mengalahkan
semua monster yang berada di pihak Sultana. Wanita ini pun menjadi murka dan merapal
mantra-mantra lain secara membabi-buta. Salah satu mantra pun berhasil membuat King Kong
berpindah tempat ke dunia asalnya, sementara ia mengurung Biksu Tong San Chong ke
sebuah penjara dan menunggu hingga biksu ini menyerah dan memutuskan untuk
mencintainya.

Babi Gendut dan Si Bungsu yang masih berada di Istana Kaisarina, merisaukan
keberadaan gurunya. Meski begitu, Babi Gendut malah tidak terlalu peduli dan merasa senang
sebab di istana ini hanya dihuni oleh para wanita yang cantik dan menarik, Babi Gendut
merasa bahwa ia tidak harus pergi mencari gurunya. Lain kakak lain adiknya, Si Bungsu yang
secara serius menganggap Biksu Tong San Chong sebagai guru sejatinya, memendam
kemarahan kepada Babi Gendut. Namun ia memutuskan untuk pergi berkelana mencari
keberadaan gurunya, meninggalkan Babi Gendut tanpa berujar sepatah kata pun.

Si Bungsu sampai ke Negeri Tsar-tars, namun tidak menemukan gurunya di sana.


Namun karena letih setelah melakukan perjalanan dengan hanya berjalan kaki, ia memutuskan
untuk tinggal lebih lama di sana, sambil memperkirakan ke mana Biksu Tong San Chong
berada. Si Bungsu bertemu dengan Arogan, dan meminta tolong untuk mencari keberadaan
gurunya. Arogan memenuhi permintaannya dengan syarat catatannya yang berjudul Alam
Feminix harus disalin oleh Si Bungsu, agar kelak ketika kembali ke Alam Onsil, catatan itu
juga dikenal di kalangan penghuni Alam Onsil.

Si Bungsu dan Arogan yang juga membawa seluruh sisa-sisa dari para prajuritnya pun
memilih mengarungi lautan hingga sampai di Laut Medina. Sesampainya di sana Si Bungsu
pun menengok ke arah daratan menggunakan teropong, ia pun melihat Sultana dan
mencurigainya sebagai dalang dari lenyapnya Biksu Tong San Chong. Pertempuran antara
pasukan Arogan dan pengikut Sultana pun berkobar.

Namun, pasukan Arogan kalah telak sebab tidak ada satu pun yang menguasai ilmu
sihir. Si Bungsu yang lemah pun tewas dalam pertempuran itu, dan Arogan malah lenyap
tanpa jejak. Demikianlah cerita yang dituturkan oleh biksu yang bertemu denganku ini di
penjara, aku tak tahu apakah ini memang kisah asli atau bukan. Sebab di dunia ini—maupun
Alam Onsil—terdapat banyak sekali saduran dari karya-karya pendahulu. Sebut saja
novel Harimau! Harimau! Mochtar Lubis yang sempat direspon beberapa bagiannya oleh Eka
Kurniawan di novel Lelaki Harimau. Kudapatkan salinan kedua novel ini di Republik Mabob,
tanpa mengetahui siapa yang telah menyumbangkannya di sana.

Namun, perkataan dari biksu yang menyebutkan tentang Kuasa Jahat, sangat relevan
dengan kisah Akhir Zaman di dalam hadist dari Nabi Muhammad. Sekali lagi aku tersadar
bahwa aku belum pernah sholat sekalipun selama berada di Alam Feminix. Maka kuperiksa
aplikasi waktu di gelang pemberian Gadis di Ujung Senja, dan segera bersuci dengan debu-
debu di dinding penjara dan sholat tanpa menimbang ke arah mana Kakbah berdiri.
Setelah itu aku berdoa, berharap bisa keluar dari sini. Atau, sekalipun tidak bisa
keluar, aku bisa aman dari Kuasa Jahat itu.

Bagian Tiga Puluh Dua: Sebagaimana Novel Orhan Pamuk, dan Tinjauan Tentang
Kritik Sastra Dunia

Aku pernah membaca novel Interworld yang ditulis oleh Neil Gaiman dan Michael Reaves,
novel ini menceritakan tentang grup kembaran tokoh utamanya yang berasal dari dunia-dunia
yang berbeda. Kalau tidak salah, Neil Gaiman adalah seorang novelis buku-buku fantasi,
cerita pendek dan juga penulis skenario film—meski ia tidak terlalu dikenal di Indonesia
sebab di negeriku hanya dua kubu dari aliran pencinta buku:

Buku-buku dengan bobot filsafat (seperti novel Orang Aneh yang ditulis Albert Camus
pada tahun 1942 yang memiliki aliran absurdisme, atau novel-novel dengan filosofi Jawa
seperti Anak Bajang Menggiring Angin oleh Sindhunata pada 1983, cerita-cerita dari daerah-
daerah terpinggir seperti Burung Kayu yang diterbitkan Niduparas Erlang pada tahun 2020,
atau yang paling digemari banyak orang; novel-novel Sabda Armandio Alif seperti Dekat dan
Nyaring yang ditulis pada 2019 dan 24 Jam Bersama Gaspar: sebuah cerita detektif—karya
keduanya yang dilirik juri dalam sebuah kontes sastra di tahun 2017, menjadikan dirinya
disorot oleh para pembaca nasional dan cerita detektif ini sudah difilmkan oleh seorang
sutradara film independen. Sedangkan Dekat dan Nyaring membahas soal daerah fiktif yang
dihuni oleh orang-orang marjinal, buku ini termasuk salah satu finalis Kusala Sastra
Khatulistiwa).

Secara ringkasnya, novel berbobot filsafat ini adalah novel yang membuat pembacanya
merenungkan kembali kisah hidup maupun kenyataan yang ada di sekitarnya, umumnya novel
ini dibaca dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, novel-novel berbobot filsafat ini
kusebut berbobot filsafat bukan lantaran memiliki kesamaan dengan karya-karya filsafat
dalam bentuk buku ilmiah, melainkan buku-buku ini lebih mengedepankan idealisme
pengarangnya, di mana idealisme itulah yang dibela mati-matian oleh penciptanya.

Sedangkan buku-buku ringan seperti Remember When: ketika kau dan aku jatuh
cinta (2011) karya Winna Efendi, Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi (1979) dari Mira W,
atau novel-novel Tere Liye seperti Bidadari-bidadari Surga (2008), atau novel-novel
Habiburrahman El Shirazy seperti Ayat-ayat Cinta (2003), hingga tulisan-tulisan Boy Candra
yang memulai pekerjaannya sebagai penulis dengan novel Origami Hati (2013). Novel-novel
ringan umumnya berisikan kisah cinta di antara tokoh laki-laki dan tokoh perempuan di
dalamnya, tak pernah ditemukan novel ringan yang tidak dihadirkan bumbu-bumbu kisah
asmara di dalamnya.

Disebut ringan disebabkan pada umumnya novel-novel ini diperuntukkan bagi para
remaja yang lebih menjamur di dunia, dan ditulis secara sederhana dengan kisah romansa
percintaan yang hanya bertujuan untuk menghibur para pembacanya. Di dalam sejarahnya,
novel-novel ringan atau novel pop berasal dari aliran pop art yang mulai menjamur di Inggris
di sekitar tahun '50-an. Kalau tidak salah, pop art dimulai dari gerakan seni lukis—seperti
pada umumnya aliran estetika, seperti aliran romantis maupun surrealis awalnya juga berasal
dari lukisan—yang merespon berbagai aliran pendahulunya, salah satunya abstrak-
ekspresionis.

Namun, sepertinya kurang pas untuk mengkotak-kotakkan antara novel berbobot


filsafat dengan novel-novel ringan—jika tidak ingin disebut novel pop—sebab novel debut
Andrea Hirata yang berjudul Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, juga memuat tema-tema
penting untuk menjadi kajian di ilmu Kesusastraan, selain karyanya sebagai orang dari latar
belakang lulusan universitas di Eropa ini menceritakan realitas yang ada selama hidupnya
dalam Tetralogi Laskar Pelangi ini—jurang antara orang terpinggir dan kaum borjuis, lantas
hidup sebagai mahasiswa di Paris dan menulis Edensor, kemudian dilanjutkan
dengan Maryamah Karpov: Mimpi-mimpi Lintang—tanpa latar belakang pendidikan sastra
sedikit pun, dan untungnya laris di pasaran. Meski begitu, Andrea Hirata berhasil
mendapatkan penghargaan sastra internasional di New York Book Festival 2013 sebagai
pemenang pertama, juga Buchawards 2013 di peringkat nomer satu.

Kurang pas, sebab melihat kondisi era Post-Modern yang kualami semenjak kejadian
di depan cermin—sudah kucatat di Prolog—novel-novel di mancanegara pun tidak terlihat
memilah atau membuat batas antara novel-novel berbobot filsafat, dengan novel-novel yang
sebagian pengamat mengkategorikannya sebagai novel pop. Memang, mereka pada awalnya
memilah-milah antara literary fiction dengan commercial fiction, namun pada akhirnya
mereka menyerah dan mencampur-baurkan begitu saja semenjak kehadiran catatan-catatan
dari Para Pelancong dari Alam Feminix.

Lagipula, 24 Jam Bersama Gaspar: sebuah cerita detektif yang tergolong ringan tetap
mendapat sambutan hangat dari para sastrawan Indonesia, apalagi jika dilihat dari karya awal
pengarangnya—judulnya Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya—meski sampulnya
tampak seperti novel teenlit, tetap saja buku ini berbobot dan sarat perenungan. Aku rasa
pengkotak-kotakan ini hanya bersifat politik domestik, di mana para sastrawan yang sudah
mapan berusaha menekankan eksistensi dirinya dengan memandang enteng atau menganggap
remeh para pendatang baru yang karyanya langsung terjual habis di pasaran. Aku merasa,
setiap karya seni pastilah tak ternilai harganya, perlu kerja keras dan ketekunan di balik itu
semua.

Banyak buku-buku sastra berbobot filsafat telah mengubah jalan hidupku, jika tidak
disebut sebagai pengubah pola pikir. Ini terjadi semenjak aku masih duduk di Sekolah Dasar,
aku diam-diam mengambil buku-buku koleksi Ibu dan membacanya sambil bersembunyi.
Entah mengapa, aku tak ingat alasan dilarangnya buku-buku itu dibaca oleh orang
seumuranku waktu itu. Aku mengalami keasyikan tersendiri dan percaya, bahwa jika aku
membaca novel-novel seperti ini, kelak aku akan menjadi pengarang hebat.

Oke, kembali lagi ke Interworld. Neil Gaiman merupakan seorang pengarang yang
menghasilkan karya-karya berbau klasik—atau sebut saja sebagai dongeng—yang memilih
caranya bercerita secara populis, sedangkan Michael Reaves lebih cenderung menulis
skenario atau komik dengan genre fiksi-ilmiah (mungkin sebab aku tak pernah menemui karya
tunggalnya dalam bentuk novel) dan sering bekerja di perfilman. Novel duet ini
dipersembahkan Neil Gaiman untuk putranya, Mike. Sedangkan Michael Reaves
memperuntukkan novel ini untuk Steve Saffel, tapi entah siapa Steve Saffel itu, aku tak tahu.

Di Interworld tepatnya di bagian akhir Bab 2, diceritakan bahwa tokoh utamanya


mendapati dirinya terhubung ke portal dimensi paralel, bertemu dengan versi lain dirinya yang
muncul di portal itu. Novel Interworld ini pun terhubung entah bagaimana dengan dunia nyata
tempatku berpijak saat ini. Dinding penjara itu tampak mencair seperti es krim yang terkena
panas matahari, lantas terciptalah lubang yang cukup besar yang seolah-olah sesaat lagi
seseorang yang mirip denganku akan menjemputku, sebagaimana di novel InterWorld tokoh
utamanya dijemput oleh kembarannya dari dimensi lain. Menyelamatkanku dari penjara
jahanam ini.

Ya, mungkin sebagaimana novel Orhan Pamuk yang berjudul The New Life, buku
dapat mempengaruhi jalan hidup, jalan pikiran, maupun mempengaruhi apa yang akan terjadi
kepada pembacanya. Sesosok perempuan yang tampak berusia tiga puluhan
mengenakan trench-coat berwarna krem datang. Awalnya aku tak bisa menahan perasaan
bahwa aku tengah jatuh cinta padanya, dan juga aku tidak sadar.

Bahwa dia adalah aku.

Bagian Tiga Puluh Tiga: Penjelasan Tentang Teori-teori Multiverse

Sudah dijelaskan oleh produk Marvel yang lengkap dengan berbagai pahlawan super maupun
para penjahat yang sangat sulit dikalahkan, bahwa Multiverse merupakan Teori Dunia Paralel;
di mana setiap mahluk yang hidup di Dimensi 1, juga memiliki kembaran di Dimensi 2, juga
memiliki kembaran di Dimensi 3, dan begitulah seterusnya hingga angka-angka tak terhingga
yang tak terbilang atau terjumlah atau terhitung banyaknya. Inilah yang mungkin
dimanfaatkan Doktor Waktu saat ia tengah mengerjakan Mesin Kalkulasi demi melakukan
perjalanan antar-waktu.
Poin pertama datang dari tahun 1848, seorang sastrawan terkenal dari Amerika
bernama Edgar Allan Poe, yang menulis prosa dengan frasa, "Rangkaian semesta tak
terbatas."

Poin kedua dari seorang fisikawan Amerika, Hugh Everett yang menulis Many Worlds
Interpretations serta The Theory of the Universal Wave Function. Pada tahun 1957, Hugh
Everett mengusulkan teori Kehadiran Cabang-cabang Garis Waktu; yakni realitas alternatif di
mana keputusan subjek menciptakan hasil yang sangat berbeda.

Sedangkan poin ketiga, penulis buku The Number of the Heaven: a History of the
Multiverse and the Quest to Understand the Cosmos (2009), Tom Siegfried berpendapat
bahwa kita hanyalah salah satu dari banyaknya alam semesta yang berbeda.

Dan poin keempat, menurut pengalaman Arogan dalam catatannya—tanpa tanggal atau
tahun penulisan—yang berjudul Perjalananku, sewaktu ia melakukan petualangan di Alam
Onsil, ia menemukan tujuh orang yang memiliki kemiripan wajah, suara dan bahkan masa lalu
yang sempat dialami oleh orang-orang di Alam Onsil. Tujuh orang ini diberinya julukan 7
Siklus, yang bisa ditemui di Bab Tiga—Bab Pertama menjelaskan pertemuannya dengan Alam
Onsil beserta penyesuaian dan bagaimana ia beradaptasi di sana, dan Bab Dua menceritakan
tentang leluhurnya yang, konon, berasal dari Alam Onsil—catatan Perjalananku menjadi
salah satu referensi penting di Perpustakaan Republik Mabob.

Perempuan berusia sekitar 19 tahun ini mengajakku masuk ke dinding itu, yang sudah benar-
benar bukan terdiri dari benda padat yang keras. Aku melihat ke sekeliling, kawan-kawanku
semasa kami ditahan di penjara ini. "Pergilah," kata Negolast.

"Tapi aku enggak mau meninggalkan kalian di sini," kataku menyanggah. Aku tahu
mereka orang-orang baik yang tidak bersalah.

"Kami tidak apa-apa di sini, Merah." Ujar biksu itu, dia masih duduk bersila meskipun
sepasang matanya menatapku dengan lembut.

"Tapi.." ujarku, kemudian tidak bisa berkata apa-apa.


Perempuan yang mirip denganku itu pun menarik tanganku, kurasakan genggaman
tangannya yang hangat membawaku melewati dinding ini.

Aku mendapati diriku di sebuah alam—mungkin semacam Medan-Antara jika kau membaca
novel InterWorld—yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Di seluruh sisi terdapat benda-
benda aneh berbentuk geometri, kadang mereka berubah menjadi petak, bujur sangkar, jajar
genjang, bulat; dengan warna-warna yang tak pernah kulihat sebelumnya. Kulihat ke arah
perempuan yang membawaku, namun ia tidak ada dan entah di mana. Lantas seluruh
pemandangan di sekitarku berubah menjadi pemandangan yang dipenuhi mandelbrot fractal,
dan aku masih kehilangan perempuan itu.

Hingga akhirnya aku pun dihisap—atau seperti dihisap—oleh sebuah lubang yang
dipenuhi oleh cahaya, seluruh benda di dalamnya, seperti buku-buku, lemari, meja, pintu,
sendok dan benda-benda lain berputar-putar mengelilingi lubang ini dengan kecepatan luar
biasa. Tubuhku dan benda-benda itu juga bergetar hebat hingga aku tersadar bahwa aku
sedang berada di sebuah alam yang tampak seperti pemandangan di Alam Onsil; sebuah hutan
dengan pepohonan lebat, batu-batuan beraneka ragam dan ukuran, jamur-jamur kecil yang
melekat di batang-batang kayu dan sebuah sungai—namun pemandangan ini konturnya lebih
seperti coretan balpoin hitam di atas kertas putih.

Segaris cahaya merah melesat dari jauh, dan berhenti di depanku. Perempuan itu tadi,
dengan kondisi yang tampak seperti terbakar oleh cahaya merah, namun tidak tampak sedikit
pun ada yang hangus di tubuhnya. Tidak juga ada sedikit pun asap yang terlihat. Beberapa
detik kemudian cahaya itu menghilang dari tubuhnya, dan ia berkata padaku, "Ayo, perjalanan
kita masih panjang."

Kami berjalan di antara pohon-pohon yang masih tampak seperti gambar coretan pena hitam
di kertas putih. Namun penampilan perempuan ini tetap tidak terlihat seperti menyatu dengan
konturnya, ia masih terlihat berwarna; dengan jaket trench-coat di tubuhnya. Selama satu jam
kami melewati hutan ini. Kemudian kami sampai di sebuah sungai dengan air terjun—hanya
saja tidak terlihat seperti air terjun, sebab tidak ada aliran air yang jatuh ke sungai—dan
perempuan ini pun menyuruhku masuk melewati air terjun itu.

"Bagaimana caranya? Menyobek air terjun itu?" Ujarku terkekeh.

"Bukan. Ke sini!" Sahutnya, dan kami pun melangkah melewati sungai yang bukan
seperti sungai, kami hanya berjalan di atas gambar air di atas sungai ini.

Dia menyibakkan air terjun itu dengan enteng, seperti membuka kain yang menutupi
jendela. Lantas tampak sebuah bidang hitam yang teramat gelap. Ditariknya tanganku,
menuntunku di dalam kegelapan yang membuatku tidak bisa melihat apa-apa.

Hanya dalam beberapa detik, kami sampai di sebuah pulau dengan pemandangan yang
nyaris terlupakan olehku. Kalau tidak salah, ini Pulau Sokotra yang berada di daerah Yaman,
sempat kulihat di salah satu buku-buku ensiklopedia. Ada berbagai pohon dracaena
cinnabari, sejenis pohon berbentuk jamur dengan dedaunan yang berkumpul di atasnya seperti
payung, dorstenia gigas yang bagian bawahnya seperti perut buncit dan memiliki batang-
batang dengan daun yang menjalar ke atas, aloe perryi dengan bunga-bunga yang berbentuk
seperti ledakan petasan, dan berbagai jenis tumbuhan aneh yang tak pernah kulihat di tempat
lain.

"Ada bungker di ujung sana. Cepat, Mister Red menunggu kita." Kata perempuan ini
sambil menarik tanganku dan berjalan ke tempat yang ia maksud.

Epilog

Perempuan ini memperkenalkan namanya, Akai—kelak ia menjelaskan bahwa namanya


adalah bahasa Jepang untuk merah—ia membawaku ke sebuah bangunan berbentuk gundukan
pasir dengan satu pintu kayu, berisi berbagai komputer dan mesin-mesin yang tak kukenali. Di
tempat ini aku menemui berbagai versi-versi alternatif dari diriku. Wajah-wajah yang serupa,
tapi beda usia dengan identitas yang juga berbeda.

Aku diantar masuk oleh Akai ke salah satu ruangan. Ruangan itu terdiri dari meja
dengan komputer dan seorang laki-laki di belakangnya, serta tiga lemari di tiga sisi dinding di
bagian kiri, kanan dan di belakang punggung laki-laki itu. Lemari-lemari itu penuh dengan
buku-buku. Mister Red, pimpinan dari orang-orang ini, dia bangkit dari mejanya dan
berkenalan denganku. Dia berbicara dalam bahasa Inggris, dan tidak terlalu fasih dalam
bahasa Indonesia. Maka kutekan mode bahasa yang terdapat di gelangku untuk berkomunikasi
dengannya.

"So, you're Merah or Merah Jambu?" Tanya Mister Red.

"Merah, Sir." Jawabku.

"You're connected to Pleiades. What your business?" Tanya pria ini lagi.

"I just guide her in this planet, but then she bring me to Feminix." Jelasku sambil
menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"This planet? You're wrong. This place is not earth territory." Ujarnya. Sepasang
matanya membuatku bergidik.
Aku semakin tersesat dan mulai berpikir bahwa aku takkan lagi bertemu dengan Ibu,
takkan lagi bertemu Ayah. Mungkin saat ini mereka merindukanku, sebab aku pun
merindukannya.

Buku calon catatanku hampir habis, tinggal setengah halaman lagi. Mungkin, kalau
masih bisa dan masih sanggup atau masih hidup untuk menulisnya lagi, akan kulanjutkan
dengan menulis catatan lain. Kini, buku ini bukan lagi calon catatan. Melainkan sebuah
catatan yang utuh dan sudah jadi. Kututup kisah ini setelah tanda titik berikut ini.

Tentang Emil Right Now

Emil Reza Maulana lahir tahun 1997, seorang kawannya dari University of New South Wales
bernama Prof. David Reeve, menjulukinya freedom-intellectualist, Emil menyenangi
matematika, fisika-terapan, seni rupa, seni teater, pseudosains, biofisika dan fotografi. Emil juga
seorang mitolog yang hobi mencocokkan karakter-karakter mitologis atau cerita rakyat ke tiap-
tiap orang yang ditemuinya, termasuk mitologi-kontemporer seperti keberadaan alien, mahluk
hasil mutasi, dan film-film yang ia yakini terinspirasi dari kisah nyata. Buku pertamanya Emil’s
Mentation (2016), memantik banyak diskusi dan pergerakan kembali ke arah filsafat untuk
semua orang, seperti yang tertulis di Senjakala Berhala dan Anti-Krist, “.. Selama ini nama
Nietzsche tidak banyak disebut-sebut dalam wacana intelektual masyarakat cendekia Indonesia.
Selama lima puluh tahun nama Nietzsche tidak dikenal kecuali dalam lingkungan yang sangat
terbatas..”1 dalam filsafat, Emil lebih condong ke arah eksistensialis dan absurdis, Emil
memaknai ubermensch yang dipaparkan dalam filsafat Nietzschean sebagai wujud insan kamil,
manusia yang melampaui manusia. Buku keduanya, Narasi-narasi Episodik yang Bikin Baper
Gadis Siput: After Yos Sudarso (Visigraf, 2019) menjadi gerakan gaya hidup skala internasional
yang dinamai #SnailGirlEra dan bukunya yang paling mutakhir, Love in the Time of Kalera
(Diandra Kreatif, 2023), adalah representasi dari segala bentuk pemikiran dan persinggungan
peradaban masa kini, yang dapat sekaligus membawa ke masa depan dan masa silam. Buku-
bukunya yang lain berupa buku elektronik di KaryaKarsa sekitar 27 judul, sebagian ada yang
gratis. Emil bisa dikontak lewat Instagram: @emilrightnow tempat Emil menulis dan mendesain
komik-komiknya, juga surel: emilrightnow@gmail.com

1
Hlm. v (kata pengantar penerbit dalam buku Nietzsche: Senjakala Berhala dan Anti-Krist terbitan Penerbit Narasi
tahun 2017)

Anda mungkin juga menyukai