Anda di halaman 1dari 43

Collected Term Paper

Emil Right Now

Sekedar Kata Pengantar

Dalam buku ini, saya ingin keluar dari pakem-pakem


saya sebagai pengarang, maka saya pun menjelma jadi
juru tulis. Atau peneliti. Atau ilmuwan. Apapun. Mau
bagaimana pun namanya, saya akan tetap berusaha
keluar dari ruang zona nyaman. Meski saya juga tidak
terlalu keluar, jadi bisa juga disebutlah saya sebagai
pengarang. Pengarang buku non-fiksi! Saya akan
berjalan mengitari bagian paragraf yang sedang Anda
baca ini, berbelok ke bab demi bab yang berisi paragraf
yang menuju ke paragraf-paragraf selanjutnya.
Kemudian setelah sampai ke bagian akhir buku ini—
yang bakal memakan waktu bertahun-tahun demi
sampai ke tujuan, apalagi terdapat kabut yang
menempel di beberapa hurufnya—saya akan
menyajikan ucapan terimakasih, dan kata pengantar ini
pun akan saya selesaikan dengan simbol titik berikut
ini.

1. Komik Gong
Komik berjudul Gong, seingat saya adalah buku
pertama yang saya baca. Komik ini tanpa dialog di
balon kata sedikitpun, dan tetap masih tanpa dialog.
Bercerita tentang seekor anak T-Rex yang masih hidup
di bumi setelah planet ini sempat ditabrak oleh meteor
raksasa dan memusnahkan nyaris setiap spesies yang
ada, kecuali mungkin, serangga-serangga seperti
kecoak raksasa yang bisa bersembunyi dan memang
gampang menggunakan ilmu ninja.
Adalah Masashi Tanaka, seorang komikus Jepang
atau bisa disebut secara khusus yaitu mangaka, yang
menciptakan karakter Gong, yang waktu saya riset
pustaka dan bertanya ke Mbah Google, saya pun
mendapati nama lain Gong, yaitu Gon, yang sangat
terkenal setelah tahun 1991 sewaktu Masashi Tanaka
menerbitkan komik bisu ini, dan mungkin lantaran
Gong adalah komik bisu—dan para mangaka lainnya
tidak menggunakan cara ini untuk bercerita—komik ini
pun menjadi terkenal dan sukses di pasaran. Buktinya,
pada tahun 1998, komik ini pun diterbitkan oleh Buku
Elex Media Komputindo.
Masashi Tanaka lahir pada tanggal 10 Juni yang
mengingatkan saya kepada film Janji Joni, yang
mengingatkan saya pada masa-masa sewaktu masih
menjadi junior di lembaga pendidikan. Saya yang
seringkali berpindah-pindah sekolah, malah selalu
mengenal orang-orang sepintas lalu.
Saya merasa kerdil, merasa kecil dan merasa
kesepian. Merasa sendiri seperti Gong yang merupakan
dinosaurus yang ditinggal mati oleh keluarganya
setelah bencana meteor raksasa yang sebelumnya
sempat saya cantumkan di paragraf pertama, di
potongan kata ke-24 dan ke-25. Saya kesulitan mencari
teman, sampai seorang pelajar lain mengajak saya
bermain petak-umpet, kejar-kejaran, main sepakbola
dan berbagai permainan yang tidak pernah lagi saya
lihat semenjak sekitar tahun 2012.
Jika ramalan kiamat itu benar, sudah pasti itu
kiamat bagi permainan-permainan tradisional yang
selalu dilakukan di luar ruangan yang sudah saya
terangkan di paragraf sebelum paragraf ini.
Pengarang besar dari Turki bernama Orhan Pamuk
yang dikenal atas ide-idenya yang orisinil dan bekerja
sebaga penulis penuh waktu, pernah membuat novel
berjudul The New Life (1994), yang menceritakan
bagaimana seseorang yang terpesona kepada sebuah
buku, yang akhirnya mengubah hidupnya. Tokoh itu
seakan-akan dilahirkan ulang, dan saya pun berpikir;
apakah komik Gong yang telah membuat saya begitu
kesepian?
Agam, 24 Desember 2022

2. Puisi dan Fotografi


Awalnya mendengar judul yang disebutkan Rangga
yang diperankan Nicholas Saputra ke Cinta yang
diperankan Dian Sastrowardoyo, waktu Cinta bertanya
apakah Rangga masih menulis puisi, di film besutan
Miles Film dan disutradarai oleh pendatang baru yang
bukan sutradara edisi pertama Ada Apa Dengan Cinta?
yaitu Ada Apa Dengan Cinta? 2.
Nicholas Saputra menjawab kalau dia sedang
mengerjakan buku, judulnya Puisi dan Fotografi.
Awalnya saya malah membayangkan kalau Rangga
benar-benar menulis buku, bukannya mengumpulkan
sajak-sajaknya untuk dijadikan kumpulan puisi. Tapi,
benarkah kalau saya menyebutkan kumpulan puisi itu
bukan buku?
Sebetulnya saya lebih ingin membaca buku dengan
bentuk kajian dialektika antara puisi-fotografi,
bukannya kumpulan puisi. Ya, mungkin saya agak
berlebihan. Tapi kalau masyarakat Indonesia sudah
ditanamkan benih berpikir kritis dan bersikap idealis,
maka sudah pasti Miles Film akan bekerjasama dengan
seorang atau sekelompok peneliti demi membuat
kajian yang saya idam-idamkan, terlebih lagi sosok
Rangga yang sangat digemari Kaum Hawa, maupun
saya sendiri, meski puisi-puisi Rangga memang keren,
tapi apa salahnya jika menanamkan cara berpikir kritis
secara populer, atau buku kajian filsafat yang dijadikan
pop culture?
Demi membalaskan dendam atas kekecewaan ini,
saya pun berinisiatif untuk mencoba-coba menulis
kajian ilmiah antara fotografi dan puisi, tentu saja pakai
bermain dialektika. Hubung-menghubung, mengikat
tali satu ke tali lainnya, kalau bisa pakai teori para
pemikir terkenal.
Tapi, berdekatan dengan itu, terjadi gerakan anak
muda lepas SMA yang mendaftarkan diri ke Jurusan
Filsafat. Mereka mungkin berpikir seperti saya, kecewa
dengan karya Rangga yang dijadikan terlampau mudah
dinikmati, bukan untuk dipelajari. Meski akhirnya, saya
yang baru berusia 19 tahun waktu itu, selain belum
menguasai teknik riset lapangan maupun riset pustaka,
tetap saja gagal membalaskan dendam atas
kekecewaan saya ini.
Saya berharap, di lain kesempatan, buku Tidak Ada
New York Hari Ini hasil duet penyair M Aan Mansyur
dengan street-photographer Mo Riza disambung-
dilanjutkan dengan buku telaah pemikiran antara
konsep seni fotografi dengan seni bersajak.
Tentunya, sekali lagi, selain membuat sosok
Rangga tampak sangat profesional, juga membuat
tokoh fiksi ini jadi sangat kharismatik lantaran
kecerdasannya yang sudah teruji, walaupun mesti
melibatkan para peneliti di bidang kebudayaan,
misalnya. Misalnya.
Salah satu cara peneliti menggarap buku ini, bisa
jadi, dengan meneliti budaya baca anak-anak yang
melahap karya hibrida antara novel-komik seperti yang
pernah diterbitkan penerbit Zikrul Kids, salah satunya
buku masa kecil saya yang berjudul Jendral Jerko.
Agam, 25 Desember 2022
3. Pendidikan Equal Rights

Jumlah universitas meningkat pesat, begitu juga


dengan mahasiswanya. Perguruan tinggi satu bersaing
dengan perguruan tinggi lainnya. Namun sesuai kata
Deddy Arsya, seorang akademisi yang mengkritik dunia
akademisi itu sendiri, “.. sebagai ilmuwan, mereka
tidak memproduksi penemuan-penemuan yang
mencengangkan. Hasil-hasil riset belum ada yang
monumental dan menjadi tonggak bagi suatu zaman,
atau layak jadi patokan.” (Padangkita, 18-03-2022)
kampus-kampus itu malah tidak menjanjikan ilmu-ilmu
yang sebetulnya diidam-idamkan oleh calon
mahasiswanya.
Barangkali, ada tiga hal yang menjadi masalah
begitu seorang mahasiswa berkecimpung di dunia
perguruan tinggi;
1. Mahasiswa tidak dibekali ilmu atau
pengetahuan tentang kehidupan sehari-hari. Tidak
seberuntung Rocky Gerung yang setelah lulus
sarjana langsung bisa jadi dosen.
2. Mereka umumnya ingin kejar target, setelah
selesai skripsi langsung bisa dapat kerja. Tapi
begitu ada pekerjaan yang tidak sesuai minatnya,
apalagi gajinya kecil, mereka langsung
membiarkannya lewat begitu saja.
3. Menginginkan dua jenis kemapanan, yaitu:
• kemapanan idealis
• kemapanan finansial
Tentu saja mereka menginginkan kedua jenis
kemapanan ini, yakni bekerja sesuai minat atau jurusan
yang telah mereka tempuh, misalnya kuliah lagi dan
menjadi dosen. Namun, sewaktu hanya kemapanan
finansial yang bisa mereka peroleh, mereka akan
bekerja keras demi menghidupi kecukupan finansial
saja.
Namun, kembali lagi ke perkataan Deddy Arsya
tadi, kaum intelektual belakangan ini masih belum
menemukan suatu kebaruan di dunia akademisi
mereka. Cenderung membahas isu-isu yang sudah
lapuk. Lantas, bagaimana jika kampus-kampus
melakukan gerakan revolusi lonjakan jumlah
mahasiswa mereka (tentu juga dana yang masuk ke
kampus-kampus jumlahnya juga akan bertambah,
meski poin ini tidak begitu penting) dengan menerima
para pemuda potensial seperti fenomena Ramanujan,
seorang matematikawan otodidak—tanpa sekolah
formal sedikit pun seperti SD, SMP, SMA—yang
mampu meraih gelar PhD berkat temuannya yang
prestisius?
Saya secara pribadi, sewaktu duduk di
Sekolahalam Minangkabau di Padang, sempat
disarankan oleh Kepala Sekolah untuk ikut ke Khan
Academy. Di lembaga ini setiap orang bisa mempelajari
berbagai cabang keilmuan seperti History of
Arts hingga Mathematics dari tingkat dasar hingga S1.
Namun, belum ada pelajar dari Khan Academy yang
menjadi dosen.
Selanjutnya, saya menjadikan
sebuah website arsip kesusastraan dunia yang dinamai
Fiksi Lotus—yang dikelola oleh Maggie Tiojackin,
seorang penulis, penerjemah dan wartawan--
sebagai fakultas sastra yang saya dipelajari sendiri.
Lantas di tahun 2018, perkenalan saya dengan Forum
Studi Ladang Rupa di Bukittinggi merebut perhatian
saya, para anggota komunitas ini umumnya mahasiswa
atau lulusan dari perguruan tinggi di Jurusan
Pendidikan Seni Rupa, dan melakukan penelitian
terhadap seorang tokoh seni rupa Indonesia, Oesman
Effendi.
Saya tidak menyangka bahwa salah satu anggota
yang ikut ke dalam penelitian ini, Hanivan Bagus, bukan
seorang mahasiswa atau lulusan kampus, namun ia
membuahkan hasil penelitiannya di jurnal Oesman
Effendi dan Kampung yang diterbitkan oleh Ladang
Rupa.
Saya sering berkata padanya, kalau seandainya
Hanivan Bagus ini mengirim surat ke York University di
Kanada, barangkali ia tak perlu jauh-jauh atau berlama-
lama melanjutkan Paket C yang setara SMA.
Namun, di Indonesia negara tercinta ini,
mahasiswa baru diterima secara resmi setelah mereka
memiliki ijazah SMA. Tidak juga ada akademisi yang
memiliki gelar, yang berasal dari pendidikan non-
formal atau otodidak. Sebab equal rights di tanah air
ini masih tersandung oleh feminisme, yang bahkan
seorang para penggerak feminisme yang menjunjung
kesetaraan pun masih belum kunjung membahas
fenomena pendidikan equal rights ini, sebab masih
berada di awal yang sangat terlambat, sebab
gerakan blue stocking sudah ada sejak Era Victoria.
Itulah yang dipersoalkan Deddy Arsya, bahwa
akademisi yang kita miliki masih belum menemukan
ide-ide segar ataupun brilian sebagai seorang
intelektual.
Jika ada banyak pemuda potensial seperti
Ramanujan di Indonesia ini, yang diberikan fasilitas dan
profit untuk berpartisipasi seperti Hanivan Bagus, tentu
saja perkara apakah ide-ide segar atau baru itu akan
bisa kita lihat di hari depan.
Bukittinggi, 2 Juli 2022
4. Memandang Matematika dalam Alternativisme

Apa yang dimaksud sebagai Memandang Matematika


dalam Alternativisme, ialah dialektika antara angka-
angka yang saling terhubung. Misalnya saja angka-
angka yang saya lampirkan di atas, dengan mengambil
contoh dari akun Instagram saya pribadi.
Saya menyenangi angka-angka seperti ini. Di
jumlah postingan sebanyak 81, terhubung dengan
pengikut sebanyak 367 dan orang yang mengikuti
berjumlah 610. Dialektika angka-angka yang saling
berjalin-kelindan ini, terdapat dua jumlah angka 6 dan
dua jumlah angka 1.
Angka 6 akan menjadi 8 jika ditambah 1 sebanyak
dua kali. Di sini juga terdapat angka 3 yang jika
dijumlahkan dengan menambah angka 1 yang
ditambah juga dengan angka 1; yakni 2 dikali 3 akan
menjadi 6.
Begitupun dengan angka 7, jika angka 6 ditambah
angka 1 akan menjadi 7. Dan disebabkan terdapat
angka 3, dan kemudian ditambahkan dengan angka 7,
maka akan menjadi 10 yang terdapat setelah angka 6
di jumlah orang yang mengikuti.
Setelah esai kali ini, akan saya lanjutkan dengan
egalitaritma yang merupakan salah satu titik
keberangkatan menuju equal rights meskipun masih
dalam teori. Tapi mau bagaimanapun, Alternativisme
yang merupakan filsafat dualisme (dan dualisme lebih
cenderung ke arah idealisme), bukanlah aliran sekuat
Marxisme yang bisa menggerakkan masyarakat secara
masif.
Alternativisme hanyalah kelanjutan dari
generalisasi Post-Modernisme yang bersifat rakus dan
maruk, yang menjadikan semuanya berakhir pada
tebing Post-Modernisme. Alternativisme merupakan
pemberontakan pada Post-Modernisme yang
mendaku-daku sebagai keseluruhan ideologi yang ada
sejak ia tercipta. Mudah-mudahan, setelah adanya
Alternativisme, akan lahir lagi aliran baru yang lebih
segar dan semakin membuka pikiran dan wawasan
masyarakat dalam berfilsafat.
Agam, 2020-2022

5. Egalitaritma: Sebuah Contoh dari Kajian Equal


Rights

Ini adalah sebuah sistem dari rumus sederhana, di


mana satu angka yang berbeda, disebut sebagai satu
angka yang sama, meski di dalam matematika klasik
angka 9 bukanlah angka yang sama dengan angka yang
lain, artinya angka 9 bukanlah angka 8, misalnya.
Tapi di dalam egalitaritma, angka 9 tersebut bisa
saja menjadi angka 8—di gambar ini angka-angka mulai
dari 1 hingga 9, sekalipun ditambahkan akan tetap
menjadi angka 1—sebuah kajian ulang dari konsep
equal rights yang saya pegang teguh.
Untuk memperjelasnya, angka 1 jika ditambahkan
sampai sembilan kali, akan menjadi 0, dan angka 0 jika
ditambahkan akan menjadi angka 0.
Sebuah konsep nihilistik di bidang filsafat
Alternativisme yang sedang saya dirikan sejak menulis
kitab filsafat berjudul Emil’s Mentation yang dipublikasi
secara underground tahun 2016.
Padang-Bukittinggi-Agam, 2019-2022

6. Multiverse Datang Sebelum Doctor Strange

Dalam novel remaja berjudul InterWorld karangan Neil


Gaiman dan Michael Reaves, disebutkan tokoh
utamanya--Joseph Harker--memiliki banyak versi
alternatif dari dirinya seperti Jai Harker, J/o/e Harker
dan nama-nama yang berbau Harker. Mungkin kalau
Neil Gaiman atau Michael Reaves lebih peka, juga akan
dibikin salah satu kembarannya dengan nama Yusuf
Harker.
Tapi mungkin saat itu kedua pengarang ini belum
tahu seluk-beluk Islam, jadi mereka tidak punya ide
untuk menulis tokoh bernama Yusuf Harker. Kini,
bangsa Barat kembali mencoba menelusuri Islam
seperti di masa-masa Renaisans. Saya sempat
menuturkan di salah satu akun Instagram saya
mengenai perjalanan takdir dengan bentuk seperti ini;

123454321
Seorang manusia yang terlahir dan mengalami
peristiwa-peristiwa tertentu, pada angka 5 akan
mengalami puncak peristiwa dalam hidupnya.
Kemudian peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi,
akan terjadi lagi di hidupnya seperti yang pernah
didapatinya di masa lalu.
Ini juga terjadi pada eskatologi Islam, yakni ilmu
tentang akhir zaman, yang mana Imam Mahdi bernama
asli Muhammad bin Abdullah. Kemudian akan datang
Isa Al-Masih, lalu datang lagi seseorang yang serupa
dengan Nabi Yahya, Nabi Zakaria, Nabi Yunus hingga
sampailah pada Nabi Adam sebagai satu-satunya
manusia yang terakhir berada di bumi.
Kemudian bumi akan tiada, nihil dan tanpa
eksistensi lagi. Lantas semua orang yang pernah hidup
akan menyaksikan dunia baru dalam bentuk seperti ini;

abcdedcba

Ketika saya jatuh cinta untuk pertama kalinya dengan


seorang gadis bernama Anra sewaktu playgroup, saya
juga bertemu dengan gadis lain bernama Azura
sewaktu pindah sekolah ke Taman Kanak-kanak.
Mereka sungguh mirip, baik penampilan maupun
tingkah laku.
Saya merasa kalau dia mengikuti saya sampai ke
Taman Kanak-kanak, tapi rupanya saya salah. Mereka
dua orang yang berbeda.
Itu jugalah yang saya temui ketika jatuh cinta ke
Deka Andriani, yang mirip sekali dengan sepupu saya,
yang sudah menikah dan sama-sama pernah menjalani
pendidikan beladiri. Usianya terpaut jauh, sepupu saya
yang bernama Nelly ini sudah punya 3 orang anak,
sedangkan Deka Andriani masih kuliah saat itu.
Keduanya pun mirip dengan seorang musisi bernama
Melly Goeslaw, dan juga pemeran Oh Ri Jin di serial
korea berjudul Kill Me, Heal Me. Oh Ri Jin bisa
dipelesetkan jadi origin, dan buku pertama saya yang
terbit secara resmi juga terinspirasi dari Deka Andriani
yang mirip dengan Oh Ri Jin ini.
Ketika saya melangkah lebih jauh, saya
menemukan sejenis pengelanaan antar-waktu.
Meskipun saya tidak pernah bertemu dengan versi lain
saya secara pribadi.

Agam, 13 Oktober 2022


7. #MensToo dan Semua Manusia Pasti Punya Dosa

Gerakan #MeToo semakin mewabah di kalangan


masyarakat internasional, apalagi sewaktu novel Kim Ji-
Yeoung, Lahir Tahun 1982 yang dikarang oleh Cho Nam
Joo. Meski namanya #MeToo, gerakan ini cenderung
bersifat satu pihak saja, yakni Kaum Hawa.
Di lingkaran ini terjadi pembahasan isu-isu Efek
Wanita Hebat; yang merupakan kecenderungan, baik
kelompok laki-laki maupun perempuan lebih menaruh
simpati dan dukungan untuk kaum wanita saja. Alih-
alih membahas equal rights, masyarakat cenderung
mewarnainya dengan feminisme.
Bahkan, untuk orang seperti Rocky Gerung yang
mengaku, bahwa tidak ada dosen yang mampu
membimbingnya untuk lebih memperdalam ilmu,
malah berputar-putar di zona feminisme ini. Sebab,
feminisme memang tidak akan berhenti, sesuai
dengan Feminisme Tanpa Batas: Dekolonisasi Teori dan
Praktik Solidaritas, perjalanan kaum perempuan masih
panjang dan itulah yang dibahas oleh Rocky Gerung di
tiap-tiap jadwal mengajarnya, meskipun tidak semua,
tapi justru seringkali Rocky Gerung terjebak dalam isu
ini.
Di tulisan kali ini, saya akan memberi sudut
pandang baru yang disebut #MensToo, dengan
berbagai fenomena yang terjadi pada kaum pria. Para
pemuda yang tidak dikenali publik, atau yang sampai
menghamba-hamba kepada selebritis wanita idolanya,
adalah satu dari sekian #MensToo apalagi jumlah
selebgram yang umumnya Kaum Hawa, pengikutnya
lebih banyak dan juga lebih didukung oleh para
netizen.
Apakah kita ingat ketika para selebgram atau
pengguna TikTok atau selebritis itu bergoyang sambil
melambai-lambaikan tangannya di depan
payudaranya?
Ini semakin membuat para suporter mereka
tambah mendukung, apalagi frasa Efek Wanita Hebat,
yang memiliki sejarah kalau perempuan lebih dapat
menaklukkan laki-laki ketimbang Kaum Adam itu
sendiri.
Kita kenal Don Juan, kita juga kenal Cassanova.
Tapi itu hanya sedikit saja para laki-laki yang bisa
seperti mereka. Agama sempat mengajarkan bahwa
mahluk paling besar ciptaan Tuhan adalah tipu daya
wanita, kita cukup tahu kalau perempuan lebih pandai
memainkan emosinya atau perasaannya ketimbang
laki-laki yang lebih mengutamakan pikiran atau logika.
Sebab tipu daya wanita, laki-laki bisa terjerumus
dan berakhir pada kehancuran hidupnya. Karena laki-
laki tak pandai mengontrol emosi atau perasaannya,
sedangkan perempuan sangat lihai di bidang itu.
Di dalam kitab-kitab suci agama samawi, kita kenal
kisah Nabi Yusuf. Dan meskipun Nabi Yusuf tidak
bersalah, malah ia yang masuk penjara. Tapi, keadilan
tetaplah keadilan. Tuhan mengangkat derajat Nabi
Yusuf yang difitnah hingga ia pun diangkat jadi orang
nomer dua di Negeri Mesir.
Saya pun kalau ditanya apakah saya memihak laki-
laki dengan maskulinismenya atau lebih ke perempuan
dengan feminismenya, saya akan lebih hati-hati.
Di Minangkabau, laki-lakilah yang lebih banyak
menderita ketimbang perempuan. Banyak leluhur saya
yang dianiaya oleh istrinya, lantaran sumando mesti
tinggal di rumah keluarga istri, kecuali mereka punya
rumah sendiri yang dibangun oleh suami.
Namun, fenomena Rabi'ah Al-Adawiyah yang
menolak menikahi siapapun dan lebih mencintai
Tuhan, perlu dipertimbangkan lagi. Tentu saja sufi
wanita ini berbeda dari para perempuan kebanyakan,
yang juga memiliki hasrat libido lebih tinggi ketimbang
pria.
Hal ini tentu dapat dibuktikan dari kisah Nabi
Yusuf. Mau bagaimanapun riset menyatakan kalau
perempuan jarang membayangkan fantasi seksual,
tetap saja banyak sejarah yang menyatakan sebaliknya,
contohnya Dewi Isthar yang merupakan dewi para
pelacur di Mesopotamia.
Tidak pernah ada dewa gigolo, kecuali Dewa Zeus
yang suka berpoligami atau memerkosa para dewi
maupun para mahluk di bumi, itupun hanya sedikitnya
tokoh di mitologi Yunani yang dikisahkan seperti itu.

Agam, 13 Oktober 2022


8. Antropologi Mitos

Suatu kali seorang anak kecil yang lugu bertanya ke


bapaknya, "Kenapa hujan bisa turun, Ayah?"

Bapaknya tidak tahu-menahu soal cuaca, dan karena


teringat perkataan Sukarno, "Jawab saja dulu. Kalau
salah, nanti saja dipikirkan."

Maka bapaknya pun menjawab, "Itu karena Tuhan


sedang bersedih. Dia menangis karena mahluknya tidak
bisa mencapai cita-citanya,"

"Cita-cita itu apa, Yah?"

"Keinginan untuk jadi apa. Nah, kamu mau jadi apa?"

Anak yang sempat menonton film


kartun Aladin dan Tarzan produksi Disney Pictures di
rumah kawannya, mengira cita-cita itu ibarat jin yang
bisa mengabulkan permintaannya seperti di
film Aladin dan karena dia terkagum-kagum ke para
gorila di film Tarzan, maka ia menjawab, "Aku mau jadi
monyet."

Ayahnya menyumpah dalam hati dan menyesali pilihan


perkataannya. Semestinya dia berkata pekerjaan yang
akan dilakukan sewaktu dewasa, bukan "Mau jadi
apa?" Lantas di bapak bertanya, "Kenapa mau jadi
monyet?"

"Supaya kalau sudah besar bisa jadi gorila."

Agam, 12 Oktober 2022


9. Tanduk Kerbau dan Yahudi

Sebagaimana yang kita tahu, bahwa salah satu


pengikut Nabi Musa yang bernama Samiri, pernah
membuat sebuah patung kerbau yang sempat
dijadikan sesembahan oleh Bani Israil yang notabene
menjadi Yahudi dalam tempo dewasa ini. Kerbau pun
juga dijadikan simbol bagi orang Minangkabau sebagai
kehormatan.

Apakah "adat basandi syarak, syarak basandi


kitabullah" yang selama ini dipegang oleh orang
Minang itu kuat, jika seandainya kelak, banyak orang
menemukan kaitan erat Minangkabau dengan Yahudi?
Sementara banyak ulama di Minangkabau gencar-
gencarnya menghujat Yahudi, apakah mereka akan
menjilat ludah mereka sendiri jika bagian di kalimat
pertanyaan saya memang benar adanya?

Ulama-ulama di masa kini cenderung membuat


peraturan beragama menjadi kaku, dan itulah yang
dikonsumsi anak muda zaman sekarang yang fantasi
seksual mereka tak tertahankan dan ingin segera
menikah hanya karena dorongan syahwat.
Saya juga pernah mendengar lagu "Cinta Monyet" dan
menganggap diri sebagai salah satu bagian dari
mereka, tapi ternyata saya salah besar.

Lagu itu justru berkisah tentang anak belasan tahun


yang berdebar-debar saat berada di dekat pujaan
hatinya. Sebab, saya kan lebih dulu dan melampaui
perencanaan menikah itu sejak usia 4 tahun.

Jika memang suatu hari nanti saya menikah, saya tidak


ingin ada pesta dengan embel-embel Minangkabau di
acara saya (ini juga menantang para pemuda yang
otaknya dangkal, menolak Islam Nusantara padahal di
hari pernikahan mereka dilangsungkan acara adat).

Sejujurnya, bertahun-tahun yang lalu saya sering


merasa malu menggunakan bahasa Minang di daerah
Sumatera Barat, meski ketika di perantauan saya justru
semakin mencintai bahasa Minang karena hanya itu
yang bisa mengobati kerinduan saya kepada kampung
halaman ibu saya.

Meski begitu, untuk saat ini saya tetap akan memilih


Bahasa Indonesia jika memang harus memilih,
mengingat Ayah di Acara Ulangtahun Bung Hatta ke-
120 berkata bahwa para pemuda-pemudi Indonesia
menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
10. Kekuatan Kata-kata, Metafisika Sastra

Seringkali, setiap saya membaca novel, kisah di cerita


fiktif itu menjelma jadi kenyataan. Misalnya, seorang
tokoh jarinya berdarah terkena pecahan kaca, dan
setelah membaca bagian itu, jari saya pun terluka
akibat stepler. Satu kisah lain, ketika si tokoh utama
jatuh cinta ke seseorang dengan prilaku atau
penampilan tertentu, maka saya pun dihadapkan juga
ke kondisi ini: jatuh cinta.

Saya sempat merasa takut membaca, sebab buku-buku


seperti itu cenderung menenggelamkan tokoh
utamanya ke berbagai konflik, berbagai penderitaan
dan kesialan. Memang ada buku-buku yang tidak
berdampak banyak, tapi itu hanya tidak berdampak
banyak, justru dampaknya ada meskipun sebagian
kecil.

Tapi, lambat-laun saya mengerti, seperti yang


dikatakan salah satu surat di Al-Qur'an tentang relasi
antara satu orang yang masuk ke dalam sebuah
kelompok. Meski begitu, saya juga jadi dapat
menganalisa atau membuat hipotesa atau prediksi-
prediksi apa yang akan terjadi selanjutnya di hidup
saya. Serta jiwa saya terasah juga untuk merasakan
penderitaan orang lain, hingga bisa tahu bagaimana
rasanya jika saya di posisi orang bersangkutan.

Dan umumnya, orang-orang yang tidak membaca


buku-buku sastra, akan bersikap sinis dan hanya
melihat sesuatu dari segi ukuran materiil. Mereka
nyaris tak menghayati suatu kondisi atau atmosfer atau
fenomena tertentu. Mereka akan bilang, "Ya, memang
begitu. Harusnya hal ini memang begini."

Bukankah itu termasuk pandangan sempit yang kolot?


Sejak menulis kitab filsafat dengan nama samaran, saya
selalu memegang prinsip "Mengebiri rasa percaya diri
dan mengkultuskan keraguan." Saya tidak bisa serta-
merta menyimpulkan segala sesuatu, dan melihat
dunia ini dengan penuh rasa kekaguman.

Meskipun tantangan untuk menjaga jiwa anak kecil


saya, yang merupakan bekal dari jalan filsafat yang
saya tempuh, saya berusaha untuk menjadi jurnalis
amatir. Bertanya dan bertanya, mencoba dan
mencoba, bahkan untuk hal-hal yang dinilai orang
kurang waras, seperti di tengah malam ketika saya
masih terjaga di kantor perusahaan minyak serai dan
memutuskan untuk menumpahkan sebagian besar
minyak serai dan melihat akibatnya.
Dasar saya menumpahkan minyak serai, ingin
mengubah kontur dunia menjadi tampak seperti dunia
animasi secara realitas. Tapi ini memang ide gila, saya
lepas kendali dan saat itu lupa pada prinsip filsafat saya
yang mengkultuskan keraguan itu. Lantas saya berakhir
di rumah sakit jiwa, bertemu berbagai perawat
perempuan yang memperebutkan saya. Tapi, ah, itu
cuma hal sepele. Diperebutkan atau tidak, iklim di
rumah sakit jiwa sungguh membosankan dan membuat
saya ingin segera keluar dari sana.

Saya bersajak semenjak tahun 2012 akhir. Saat itu saya


terpicu mengetik sajak-sajak di Facebook, sebab jatuh
cinta ke orang asing yang cuma saya tahu nama SMA
tempatnya belajar. Sebuah sekolah Katolik yang
membuat saya merasakan romantisme masa lalu,
bahkan lagu Gereja Tua dari Panbers seringkali
membuat saya kembali mengenangnya. Sampai satu
kali, ketika saya menyebarluaskan surat Al-Kahfi di
Facebook dan menolak minum obat sambil berujar ke
orang yang bertanya tentang obat, "Aku tidak
menyembah apa yang kamu sembah."

Kemudian saya kembali dirawat dan menemukan


orang asing itu di sana. Dan ketika perpisahan kami
tiba, ia menyuruh saya untuk menyanyikan lagu
padanya. Saya pilih lagi Di Ujung Pertemuan dari The
Rain, dan ia pun hujan air mata. Saya genggam
lengannya, sebab selain lengan perempuan adalah hal
utama yang membuat saya tertarik, saya juga ingin
menghentikan kesedihannya. Bukan menghentikan
tangisnya, ya. Menangis itu hak semua orang.

Hingga ia berkata, "Aku sudah tunangan sama Mas


Herry."

Mas Herry yang jadi jodohnya Milea di serial Dilan itu?


Saya terkekeh, tapi tetap tidak menyatakan kelucuan
nama itu.

Pertanyaannya sederhana, "Apakah karya sastra yang


mengubah seseorang, ataukah orang itulah yang
membuat karya sastra mengubahnya?"

Agam, 13 Oktober 2022


11. Mengapa Dunia Ini Diciptakan?

Dalam surat di Al-Qur'an (Al-Baqarah ayat 30), malaikat


pernah bertanya ke Allah, "Mengapa Engkau ciptakan
manusia, padahal mereka nanti akan melakukan
kerusakan-kerusakan di bumi?"

Allah menjawab, "Sesungguhnya Aku lebih tahu


darimu."

Sejauh saya berpikir, tersirat di benak


saya; mungkinkah Tuhan menciptakan dunia ini untuk
manusia? Dan memang, Allah menciptakan manusia
untuk menjadi khalifah di bumi ini, untuk menjadi
pemimpin--tapi bukan semata-mata memimpin seperti
presiden atau sultan atau kaisar atau raja,
melainkan berperan di atas bumi ini, menjadi berarti
bagi bumi ini. Dan Allah juga menciptakan manusia
untuk menyembah-Nya, sebab Allah memiliki
kesombongan, yang merupakan pakaian yang hanya
pantas untuk-Nya.

Sewaktu saya
menelusuri wiracarita berjudul Mahabharata, atau
epik Gilgamesh, saya tersadar; apakah Tuhan sengaja
menciptakan kisah epik yang lebih kuat dan tak
tertandingi? Sebab dalam satu surat di Al-Qur'an, Allah
mengutus Muhammad untuk menantang para
sastrawan Arab di masa itu untuk membuat tandingan-
tandingan Al-Qur'an yang pada akhirnya selesai dengan
kekalahan besar para sastrawan Arab itu.

"Katakanlah, 'Sesungguhnya jika manusia dan jin


berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an ini,
niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang
serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain." [17:88]

Tapi, mengapa manusialah yang disebut-sebut sebagai


mahluk paling sempurna? Mengapa tidak malaikat
yang tak pernah melakukan dosa dan hanya diciptakan
tanpa melanggar perintah-perintah-Nya? Kalau iblis,
sudah jelas ia dengan sengaja memakai kesombongan
yang hanya boleh dan hanya pantas dipakai oleh Allah,
meskipun pada awalnya iblis adalah mahluk yang
paling taat pada perintah Allah, menandingi ketaatan
malaikat. Hanya saja iblis diciptakan dari api,
sedangkan malaikat dari cahaya. Saya pun bertanya-
tanya, Adakah perbedaan dari api dengan cahaya?
Bukankah cahaya berasal dari api?

Pertanyaan saya pun mengantarkan saya kepada


tumbuh-tumbuhan yang juga tercipta dari
tanah. Bukankah juga ada tumbuhan yang
beracun? Pikir saya. Saya pun juga sempat berpikir
bahwa matahari dan bulan adalah sepasang mata milik
Tuhan, dan tak seorangpun yang dapat menjelajahi
angkasa, sebab di dalam salah satu bagian dari surat
Al-Baqarah ayat 22 berbunyi, "Langit sebagai
atapnya." 

Bukankah atap tidak dapat ditembus? Kecuali atapnya


bolong, tapi mungkin satelit-satelit di atas sana berada
di bawah atap, seperti cicak yang berjalan di atas atap.

Dalam salah sumber di Al-Qur'an surat Fatir ayat 5 juga


disebutkan, "Sesungguhnya iblis dan setan adalah
musuh yang nyata bagi manusia." Tapi iblis memang
mahir menyesatkan, layaknya Sengkuni dalam
kitab Mahabharata, iblis memimpin manusia yang
tergoda meskipun manusia itu sendirilah yang
merupakan pemimpin yang sah, yang ditunjuk Allah,
bahkan malaikat pun diperintahkan untuk sujud
kepada Adam, kakek dari segala manusia. Mungkinkah
berita tentang pendaratan di bulan itu hanya tipu-daya
pengikut setan dan iblis? Apalagi di zaman itu teknik-
teknik sulap sudah maju dan berkembang di Barat.

Berdasarkan kalimat-kalimat di atas, saya simpulkanlah


bahwa Allah memang sedang menciptakan skenario
yang tak tertandingi semenjak masa-masa paling awal
sejak mahluk pertama diciptakan oleh-Nya.

Tapi, apakah benar jika Tuhan yang Maha Kuasa ini


takkan melepaskan sedikitpun hal-hal terkecil seperti
ke arah mana sebutir pasir akan terbang, sesuai
kehendak-Nya? Sebab skenario yang telah diatur-Nya,
tentulah merupakan kisah nyata yang lebih dahsyat
daripada dongeng-dongeng yang direka-reka oleh
manusia? Lalu, di mana letak kebebasan yang sempat
ditulis Jean-Paul Sartre? Oh, tentu saja tulisan Sartre
itu hanyalah sepotong atau dua potong kata di dalam
naskah skenario Tuhan, dan hanya berlaku untuk
memperindah skenario yang bisa dikatakan satu tahun
sama dengan satu frasa dalam kitab yang
disebut Lauhl Mahfudz itu.

Agam, 15 Oktober 2022


12. Abad 17

Masyarakat hanya mengenakan


pakaian tradisional pada saat akan dilukis, dan
pakaian kasual sewaktu difoto. Jenis kamera bukan
hanya hitam-putih, tapi ada juga yang berwarna.
Mengapa mereka lebih mengandalkan foto hitam-
putih, sedangkan sekalipun foto berwarna tidak pernah
ada di dunia ini, tentulah mereka hanya perlu
mengecatnya jadi berwarna? 

Pakaian tradisional pun juga begitu, hanya untuk


keperluan lukisan saja, dan sehari-hari mereka
mengenakan T-shirt, celana jeans dan menggunakan
ponsel untuk keperluan yang paling genting. Intinya,
kalau para sejarawan memiliki pertanyaan
besar; Mengapa revolusi industri hanya ada di Eropa?

Maka tentu saja bisa dijawab dengan kebiasaan orang-


orang Barat yang selalu pamer, bahkan James Bond
enggak mati-mati meskipun melakukan tembak-
tembakan pakai pistol, dikeroyok oleh para lawannya,
serta film-film Hollywood yang sempat memamerkan
adegan-adegan erotis, seolah-olah cuma orang Barat
yang bisa melakukannya.
Belum lagi novel Frankenstein karya Mary Shelley
disebut sebagai novel fiksi-ilmiah pertama di dunia,
padahal seorang ilmuwan Baghdad bernama Zakariya
Al-Qawzini dengan judul Awaj bin Anfaq di abad ke-13
adalah orang pertama yang melakukannya, jauh
sebelum Mary Shelly, apalagi H.G Wells.

Dunia di abad 17 tidak mempunyai perbedaan


mencolok dengan abad 21. Wajar saja kalau di dalam
salahsatu foto tergambar anomali yang bukan anomali,
melainkan ponsel yang sudah ada sejak zaman Nabi
Adam. Hanya label dan gaya hidup saja yang berbeda.
Jika ponsel di zaman itu terbilang mahal, ponsel zaman
sekarang lebih murah. Jika buku di zaman itu terbilang
murah, buku di masa kini terbilang mahal.

Ada orang-orang yang memilih naik kuda, mobil,


helikopter atau pesawat. Tidak ada yang baru di dunia
ini, begitu kata seorang tokoh terkenal yang saya lupa
namanya. Orang-orang juga menggunakan internet,
hanya saja komputer saat itu lumayan besar bahkan
sampai seukuran satu kota. 

Lihat saja Menara Eiffel, sebagai tempat colokan


elektronik paling utama, yang kemudian berubah jadi
lebih kecil ukurannya dan bisa kita lihat di menara-
menara listrik yang tersebar di hampir pelosok daerah.
Belum lagi di permainan komputer Warcraft, dulu
orang mengira menara-menara yang melindungi
daerah mereka berasal dari sihir. Padahal itu tipu
muslihat saja, bahwa sebetulnya sihir itu juga sebuah
teknologi dengan ilmu-ilmu rahasia yang tekniknya
dijaga rapat-rapat.

Tapi, saya juga meragukan premis saya sendiri; apakah


benar di zaman renaisans itu, para ilmuwan dari Timur
atau Barat lebih luas cakupan ilmunya sebab mereka
dibebaskan menimba ilmu di mana saja, ketimbang
manusia di masa kini yang hanya terfokus ke satu
bidang ilmu saja?

Jika begitu, tentulah manusia di zaman sekarang lebih


mudah jatuh ke fanatik atau kultus, sebab mereka
hanya menguasai satu bidang ilmu saja. Mereka juga
hanya memahami teori-teori dengan sedikit praktek
yang membuat mereka tidak mengerti situasi dalam
kenyataan yang sebenarnya, di situlah kelemahan
manusia saat ini, setidaknya setelah sekolah dijadikan
industri untuk memproduksi manusia-manusia yang
menambahkan nama-namanya dengan gelar.

Meskipun begitu, di Minangkabau juga terdapat gelar


adat. Bagi masyarakat atau individu yang tidak kuliah,
mereka hanya menggunakan gelar itu dan juga
dipanggil sesuai dengan gelarnya, "Ketek banamo,
gadang bagala." Yang artinya di masa kecil orang
hanya memiliki nama, dan ketika dewasa orang itu
akan mendapat dan dipanggil sesuai gelarnya.

Hanya saja, cuma orang yang sudah menikahlah, yang


dipanggil dengan gelar adat. Tidak banyak orang muda
seperti Ibrahim yang diangkat jadi datuk dan dipanggil
dengan gelarnya (Tan Malaka), ibaratnya kalau di
sekolah Tan Malaka itu mengikuti program akselerasi
atau di masa kuliah berpredikat cum laude, meski
dalam sejarahnya Ibrahim diangkat jadi Tan Malaka
disebabkan hanya dialah penerus datuk yang pernah
menyandang gelar ini.

Saat itu orang-orang sudah berkemeja, atau mungkin


ratusan tahun lalu-kah, orang-orang sudah berkemeja
atau mengenakan celana jeans atau T-shirt? Saya
bertanya-tanya sambil mengamati hanya ketika acara
adat sajalah orang-orang mengenakan pakaian
tradisional, atau kalau menikah, hanya pengantin dan
pengiringnya saja yang mengenakan pakaian itu.

Fenomena ini juga saya lihat di kaum agamawan,


mereka mengenakan jubah panjang dan sorban seperti
yang ada dalam lukisan-lukisan Arab dari masa ratusan
tahun lalu. Juga para pendeta, biksu atau romo yang
sedang beraktivitas di kuil mereka. Hanya saja, tidak
ada yang telanjang bulat seperti patung-patung di
Roma atau Yunani, atau di lukisan-lukisan Barat
sebelum masa renaisans.

Jadi, mana yang benar; gaya hidup berubah atau justru


hanya seperti itu-itu saja? Dan jika Nabi Adam, seperti
yang sudah dituturkan dalam potongan surat Al-
Baqarah ayat 31;

"Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda)


seluruhnya.."

Jadi, di manakah letak hak paten atau hak cipta para


penemu seperti Issac Newton atau Thomas Alfa
Edison? Apakah memang ada, atau tiada?

Agam, 13-15 Oktober 2022


13. Bertemu Tuhan

Saya sempat berdoa dan doa itu saya salin ke dalam


bentuk puisi, kira-kira beginilah bunyinya;

Tuhanku,
Masukkanlah semua mahluk-Mu
ke dalam surga, kecuali aku
biarlah aku dipanggang di neraka
asalkan, setelah dosa-dosaku dan
dosa-dosa mahluk-Mu lenyap
oleh pencucian neraka
Biarkanlah aku duduk di samping
singgasana-Mu, mengamati
mereka yang berbahagia di surga

Puisi ini semata-mata saya tujukan demi melihat wajah


Tuhan. Tapi akhirnya saya pun menjelma jadi wali
jadzab, kedua orang tua saya tidak memahami saya
lagi. Mereka pun mengirim saya untuk dirawat di
rumah sakit jiwa, oleh sebab berbagai keanehan dan
keganjilan yang saya lakukan. Saya dirawat di sana
selama 8 kali. Dan sebagaimana kita tahu, kalau angka
8 diubah bentuknya jadi vertikal, akan jadi simbol
ketakterhinggaan.
Setelah masa-masa relaps saya berakhir, saya pun
tertidur dan bermimpi. Saya melihat Tuhan dalam
mimpi saya, sebagaimana Syamsudin Al-Tabrizi,
seorang wali jadzab lain yang hidup di masa-masa
Jalaludin Rumi juga hidup. Syams melihat Tuhan yang
menuntun hidupnya.

Tapi sewaktu saya melihat Tuhan dalam mimpi, saya


merasakan takut yang teramat sangat, Dia berkata
pada saya, "Ini yang kau minta kan, Emil?" Antara takut
dan sungguh-sungguh segan, saya terjaga dan
menyadari saat itu sudah hampir siang.

Belakangan ini saya kembali berpuisi, judulnya "Doa


Malam Sunyi", yang menuturkan bahwa Tuhan mesti
merampas kebebasan saya sebagai mahluk, dan
memaksa saya demi menjalankan apapun yang paling
dikehendaki-Nya.

Setelah itu di dalam hati saya tidak ada kekecewaan


maupun rasa khawatir, pikiran saya tenang dan tak ada
sedikitpun rasa gelisah. Sebab saya yakin, Tuhan selalu
menuntun saya dengan paksaan gaib yang tidak saya
pahami. Apapun tindakan saya, selalu berasal dari
apapun yang paling dikehendaki-Nya.
Saya sempat membaca salah satu puisi sufistik dalam
sebuah buku Belajar Bertasawuf yang saya lupa siapa
pengarangnya;

Wahai jiwa-jiwa yang tenang, datanglah ke Kedai


Kehancuran.

Saat itu saya masih SMP, sekitar tahun 2013 dan masih
sedikit ilmu saya tentang tarekat. Hingga saya
bermimpi lagi, saya bertemu Syekh Hefzibah Gayatri
Wedotami, di mimpi itu saya katakan padanya,
Bolehkah aku menjadi muridmu?

Maaf, aku sibuk. Jawabnya.

Ketika terjaga di pagi hari, saya tuliskan surat padanya


tentang mimpi ini, hingga perempuan itu menjawab,
"Aku tak keberatan."

Sejak saat itulah aku bergabung dengan Tarekat


Daudyah, sekitar tahun 2015.

Agam, 16 Oktober 2022

Anda mungkin juga menyukai