Anda di halaman 1dari 10

Patah Tumbuh, Hilang Berganti

Amalina berang, “Kalian semua tak mengerti daya tarik cowokku ini!” dia mengucapkannya
dalam bahasa Indonesia. Kelima pemuda itu hanya diam, menunggu kata-kata Amalina
selanjutnya, lalu dalam bahasa Jerman, “Dia seorang pekerja keras, dan bukannya sok alim! Dia
selalu berpuasa dan salat lima waktu!” Amalina berkata lagi dalam bahasa Jepang, “Dia pantang
menyerah! Dia bisa melakukan hal yang sangat sulit dan bahkan mustahil dilakukan orang-
orang seusianya!” kata gadis itu lagi, dan kali ini kembali dalam bahasa Indonesia, “Nah, kalau
kalian bisa menerjemahkan apa saja yang kukatakan tadi dengan bahasa Rusia, aku mau
berkencan dengan kalian,” kelima pemuda itu pun mati kutu, mereka tak mampu menjawab.
Para pemuda itu pun pergi sambil menggerutu dalam bahasa Minang. Amalina pun
menggandeng tangan Kalijaga dan mendekatkannya sedemikian dekat ke tubuhnya sendiri,
“Kau tentu tahu apa yang kuucapkan, kan?” tanya Amalina dalam bahasa Inggris.

Wajah Kalijaga memerah, dia merasa sangat hangat tapi juga sedemikian bangga.
Kalijaga mengangguk dan masih tertunduk melihat sepasang sepatunya.

Sejak kecil, Kalijaga sudah terbiasa memainkan pedang-pedangan yang dibelikan oleh
neneknya. Wanita itu sering berkunjung ke Bantul, kalau tidak membelikan mainan, maka
beliau akan membawa sekotak Dunkin Donut. Kalijaga mengalami banyak kenangan indah
bersama neneknya, yang akan membawanya ke Bukittinggi kalau kedua orangtua Kalijaga
bepergian keluar negeri. Kalijaga banyak diajari neneknya, seperti membaca Al-Qur’an dengan
buku Iqra yang ditunjuk huruf-hurufnya dengan sebatang lidi pendek. Pertamakalinya Kalijaga
melihat orang merokok, itulah dari neneknya. Sampai suatu kali, Kalijaga melihat sesosok
mahluk aneh yang tertutup bayang-bayang malam. Dia penasaran dan bertanya ke neneknya,
“Itu apa, Nek?”

“Sudah, jangan dilihat!” suara serak wanita tua itu.

Kalijaga membuang pandangannya dari mahluk itu, tapi sesaat kemudian dia kembali
melihatnya. Hingga masa remaja, Kalijaga habiskan untuk membaca buku-buku seperti komik
yang menggunakan percakapan puitis, dan seperti remaja umumnya, Kalijaga mulai menulis
puisi cintanya untuk pertamakali. Dia jatuh cinta pada bayang-bayang itu, pada kegelapan, pada
mahluk aneh bin mengerikan itu. Meski begitu, Kalijaga selalu kesepian, tak ada anak-anak
seusianya yang mau bermain dengannya. “Jangan kau ajak anak aneh itu ke sini!” bisik seorang
ibu-ibu ke salah satu kawan baru Kalijaga, “Dia anak terkutuk!”
Kalijaga mendengar bisik-bisik itu, dia pun jadi murung dan memutuskan untuk tidak
berkawan dengan siapapun. Sampai akhirnya mahluk-mahluk aneh yang berwujud mengerikan
itu mengajaknya bermain sewaktu neneknya sedang ke pasar, atau kalau Kalijaga kembali ke
Bantul, Kalijaga akan bermain dengan para perempuan berpakaian putih-putih berambut
panjang. Meski neneknya, yang juga sama-sama bisa melihat mahluk-mahluk itu, justru akan
bergidik ngeri, Kalijaga tidak ketakutan sedikitpun. Malah dia bisa saja bercanda ke para
perempuan berambut panjang itu, dan mereka akan tertawa terkikik-kikik dengan suara
melengking yang terdengar sampai ke penjuru desa.

Sampai akhirnya, Kalijaga diajak ibunya pergi ke Candi Borobudur. Dari salah satu guru di
sekolahnya, Kalijaga tahu bahwa jika kita berhasil memegang patung Buddha yang terkurung di
candi, maka apapun keinginannya akan terkabul. Kalijaga pun berhasil memegang patung itu,
dan merasakan telapak tangannya seolah terkena listrik begitu ia mengucapkan permintaannya
yang ia katakan dalam hati.

Demikianlah akhirnya Kalijaga mendapatkan seluruh kemampuan ke-25 para rasul


termasuk Nabi Muhammad, dengan begitu Kalijaga sangatlah unggul dalam berbagai bidang,
termasuk kedokteran yang bisa dikatakan sangat sulit untuk remaja seusianya. Bahkan dia juga
mengoleksi buku Capita Selecta Kedokteran, yang dia baca sampai tuntas selama seharian.
Disebabkan ayah Kalijaga seorang dosen filsafat di Universitas Gadjah Mada, Kalijaga pun juga
membaca buku-buku seperti karya-karya Descartes, meski begitu ayahnya memilih
menyekolahkan anak tunggalnya ini di rumah, dan bahkan istrinya yang seorang psikolog juga
membantu anak mereka ini belajar di rumah selain membimbing Kalijaga melakukan pekerjaan
sehari-hari dalam mengurus semua keperluan rumah. Dari sanalah Kalijaga sangat mahir dalam
memasak.

Entah karena apa, di sela-sela waktunya mempelajari ilmu sejarah di perpustakaan


rumahnya yang penuh buku-buku di lemari dan kipas angin yang terus-menerus berputar ke kiri
dan ke kanan, Kalijaga mendapati seorang tokoh yang dipanggil sebagai Pangeran Santi
Kusumo, Kalijaga tenggelam dalam kisah masa lalu itu. Kalijaga pun masuk ke dalam kisah-kisah
Epos Walisongo, sampai ia tersesat. Sewaktu ia mengedipkan sepasang matanya, saat itu
jugalah dunia di sekitarnya berubah. Kalijaga melihat dirinya sedang berada di pinggir sebuah
sungai, yang begitu disadarinya, dia sudah bermetamorfosis menjadi Pangeran Santi Kusumo.
Suara pria tua baru saja membangunkannya, “Semoga Tuhan bersamamu.” Berkali-kali suara itu
terdengar, dan Pangeran Santi Kusumo pun bergumam, “Semoga Tuhan bersamamu..” Lalu dia
melihat sebatang tongkat yang dihiasi emas di batas antara rerumputan dan perairan sungai
itu, dia juga merasakan lapar dan letih yang luar biasa. Kulitnya pun, yang sudah terbakar oleh
sengat matahari, sudah tertutup oleh tumbuhan-tumbuhan liar. Samar-samar dilihatnya
seorang pria tua, dengan lemah Pangeran Santi Kusumo berkata, “Siapa Anda?”

“Aku? Kau lupa siapa aku?” tanya pria tua itu, “Aku Makdum Ibrahim!”

“Sunan Bonang?” tanya Pangeran Santi Kusumo, penglihatannya sudah rabun dan ia pun
jatuh pingsan.

Fajar belum menyingsing ketika tengah malam tiba, Sunan Bonang berkata pada
Pangeran Santi Kusumo, “Lokajaya, kamu benar-benar telah menjalani syaratku. Kalau engkau
berkenan, akan kuganti namamu.”

Pangeran Santi Kusumo yang benar-benar sekian lamanya bertapa di pinggir sungai,
ingatan-ingatannya sudah banyak terkikis, dan Sunan Bonang pun berkata lagi, “Dengan izin
Tuhan, namamu bukan Lokajaya lagi, bukan juga Raden Said ataupun Santi Kusumo. Namamu
sekarang Kalijaga,”

“Kenapa demikian, Tuan Guru?”

“Sudah jelas, kamu bertapa menjaga kali selama tiga tahun lamanya,” kata Sunan
Bonang, menyebut sungai sebagai kali. “Niatmu yang luar biasa demi mendapatkan kerelaan
Tuhan, sehingga kamu mencapai tingkatan paling tinggi dari penyerahan diri dan pengetahuan
dari Tuhan. Sebarkan kebaikan dan ilmu keselamatan ke seluruh dunia, Kanjeng Sunan Kalijaga.
Temuilah Sunan Ampel, belajarlah dari beliau.”

Besoknya, pagi yang penuh kabut menghalangi pandangan dan pemandangan gunung-gunung
dari kejauhan namun tetap terasa indah, hawa dingin menyelimuti sebagian Pulau Jawa.
Sebelum Kalijaga menemui Sunan Ampel dengan terus-menerus berjalan sambil memegang
tasbih, dia seperti melihat versi dirinya sendiri di waktu kecil pada seorang bocah yang sedang
bermain pedang-pedangan dari kayu dengan kawan-kawannya yang lain. Kalijaga memutar-
mutar tasbihnya dan menghampiri bocah itu, “Siapa namamu, Nak?” Kalijaga tersenyum dan
berjongkok hingga tinggi tubuhnya menjadi sama dengan bocah itu.

“Benosuke,” jawab bocah itu.

“Nama itu tidak cocok untuk menjadi pendekar,” kata Kalijaga.

“Memangnya ada nama lain yang lebih patut?”


Kalijaga tersenyum dan bangkit berdiri sambil tetap memandangi bocah itu, “Ada, tentu
saja.”

“Siapa, memangnya?”

“Musa,” jawab Kalijaga, “Namamu sekarang Musa.”

Bocah itu terdiam. Ditancapkannya pedang kayunya ke tanah, “Anda bisa bermain
pedang?”

“Kalau Tuhan mengizinkan,” jawab Kalijaga.

“Siapa nama Tuan?”

“Namaku tidak penting, tapi maukah kau kubimbing jadi pendekar yang hebat?”

Shinta pun menerima namanya menjadi Musa. Kalijaga pun bertanya, “Kamu punya
orangtua?”

Musa menggeleng. Seketika itu mengertilah Kalijaga alasan dari mengapa anak ini
tampak angkuh. Dia tak pernah dididik oleh orangtuanya, apalagi diasuh dan diberikan kasih
sayang. “Mulai sekarang, ikutlah bersamaku.” Kalijaga berkata, “Dengan ajaran dariku, kalau
Tuhan berkehendak, kau akan jadi pendekar yang hebat.”

“Bagaimana dengan kami?” tanya kawan-kawan bocah itu.

“Kalian masih punya orangtua, jadi tak jadi soal.”

“Yah!” seru anak-anak itu, kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.

Suatu kali, Musa memberanikan dirinya untuk bercerita tentang kedua orangtuanya. “Ayah dan
ibuku tewas di tengah perang, perang waktu itu luar biasa berkecamuk. Harta dan rumah kami
terbakar, dan sebelum mereka berdua wafat, ibuku menitipkanku ke sepupunya. Tapi bibiku itu
tak pernah memberikan cinta padaku, jadi aku pergi kabur dari rumahnya di malam hari, dan
sampailah aku di tempat kita bertemu,”

Kalijaga manggut-manggut, dia paham kenapa muridnya ini dari awal tampak begitu
angkuh. Lantaran Musa sudah mengalami banyak kekecewaan yang berat dan tak
tertanggungkan. Kalijaga pun mengusap-usap kepala bocah ini. Musa terkejut dan menatap
sepasang mata Kalijaga, tapi lambat-laun pun ia tersenyum kepada gurunya. Begitulah akhirnya
Musa yang tadinya seorang Benosuke yang angkuh dan suka menyombongkan diri, bukan
hanya sebagai murid dari Kalijaga tapi juga menjadi sosok yang dianggapnya sebagai anak. Tapi
kebahagiaan mereka tak bertahan lama, sebab di tengah perjalanan, Musa lenyap begitu saja
tanpa meninggalkan bekas apapun termasuk jejak kaki.

Kalijaga duduk bersila dan memandangi langit biru, dia berpikir bagaimana bisa anaknya
sendiri pergi tanpa berpamitan. Dia pun berdoa kepada Tuhan, lalu bersuci dan beribadah dan
kembali lagi berdoa. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Jaka Tingkir, yang penuh dendam
kepada kesembilan Walisongo, itu saat-saat setelah Kalijaga menimba ilmu dari Sunan Ampel
yang akhirnya berujung ke perdebatan antara Sunan Ampel dan Kalijaga. Jaka Tingkir
sebelumnya tidak tahu bahwa pria itu sebetulnya ialah Sunan Kalijaga, ditambah tembang yang
dilantunkan Kalijaga selalu membuat setiap hati menjadi teramat sejuk. Jaka Tingkir pun
menguntit Kalijaga secara sembunyi-sembunyi dan melihat seorang bertopi caping sedang
membawa rerumputan yang sudah dipotongnya, sepertinya untuk dijual ke seorang bupati, dan
memang, pria bertopi caping itu menawarkan rumput-rumput itu kepada seorang petinggi
bangsawan yang langsung melemparkan sekantung emas kepada pria bertopi caping itu. “Saya
tidak meminta imbalan untuk diri saya, Tuan.” Pria bertopi caping itu berkata, “Yang saya
minta, berikanlah hak dari setiap wargamu agar mereka bisa memenuhi kebutuhan sehari-
harinya,”

Pria bangsawan itu pun murka, merasa dilecehkan dan menghunus pedangnya. Lantas
dipukulkannya ke arah kepala pria penjual rumput itu, seketika tampaklah wajah yang dari tadi
tertutup. Pria bangsawan itu langsung minta ampun, “Ampunkan saya, Sunan!” mendengar
perkataan itu, Jaka Tingkir pun langsung sadar bahwa pria misterius itu tak lain salah satu dari
kesembilan Walisongo.

Cukup dengan ditariknya kembali ingatan Kalijaga oleh Sunan Ampel ditambah menggunakan
nama Tuhan, kini Kalijaga mulai mengingat bagaimana ia keluar dari istana dan menjadi seorang
Lokajaya, begitupun ketika ia pertamakali melihat kesaktian Sunan Bonang yang berkata bahwa,
Jika kamu mau mendapatkan ilmu Tuhan, dan seandainya seluruh air di muka bumi ini dijadikan
tinta serta dedaunan dari seluruh pelosok dunia dikumpulkan, takkan dapat untuk menulis
seluruh ilmu-Nya.

Tapi saya cuma mau titik di bawah huruf Ba itu, Tuan.

Baiklah, kata Sunan Bonang, jaga tongkatku ini di sini. Katanya sambil menghujamkan
tongkat berhias emasnya ke batas sungai dan rerumputan. Jaga sampai aku kembali.
Kalijaga malah tertidur. Di mimpinya, ia berada di masa yang jauh di masa depan. Tapi
entah ini masa depan atau bukan, ia justru tidak begitu mengerti. Dia sedang bermain pedang-
pedangan dengan sepupunya, dan begitu sepupunya tak lagi di rumahnya, Kalijaga malah
kesepian. Tidak ada satu pun anak-anak seusianya yang mau bermain dengannya, dan sejak
saat itulah dia berteman dengan para mahluk aneh yang selalu ditakuti orang-orang, begitupun
juga dengan neneknya sekalipun wanita tua itu bisa melihat mahluk-mahluk itu. Setelah selesai
bermain, Kalijaga pun kembali ke rumah dan mengucapkan salam, lalu dijawab oleh neneknya,
“Semoga Tuhan bersamamu, Sidharta sudah mau tidur?” Aneh sekali, dia dipanggil dengan
nama yang berbeda. Lalu entahlah kenapa, wujud neneknya terkikis sedikit demi sedikit dan
menjadi partikel-partikel yang tersapu udara dan beterbangan.

Saat itulah Kalijaga tersadar di dekat sungai, dia merasa sangat lapar dan haus dan
lemah. Sunan Bonang menghampirinya dan membangunkannya. Malamnya mereka mengudap
nasi dengan ikan bakar hasil pancingan Kalijaga, dan Sunan Bonang yang memasaknya. Kalijaga
takjub lantaran masakan gurunya ini sangatlah sedap. Kalijaga merasa bahwa jika ia sudah
selesai menjadi murid Sunan Bonang, maka ia pun akan pandai memasak. Hanya saja, malam
itu merupakan malam perpisahan mereka. Sunan Bonang menyuruh Kalijaga belajar dari Sunan
Ampel.

Sewaktu mengikuti perguruan yang dikelola Sunan Ampel, para muridnya sedang
menghadapi berbagai masalah. Banyak orang yang tidak suka dengan Sunan Ampel, dan
akhirnya Kalijaga sendirilah yang mengubur hidup-hidup nyawa dari semua masalah itu. Sampai
akhirnya masalah baru pun terjadi, Majapahit menyengsarakan rakyat dan Kalijaga pun merasa
teramat resah. “Kalijaga,” kata Sunan Ampel, “Semakin luas pengaruh kita, semakin kita
berjuang dan semakin tinggi kekuatan kita, Tuhan akan memberikan kita cobaan yang lebih
besar dari yang pernah kita lalui, itu semata-mata karena Tuhan mencintai kita.”

Kalijaga pun memilih jalur lain, jalur yang ditempuhnya cukup berbeda dari berbagai
pemuka agama selama ini di sepanjang sejarah muka bumi. Kalijaga mulai mengumpulkan
bahan-bahan dari dalam hutan berupa kayu dan kulit sapi atau kulit kerbau atau kulit kambing,
lantas dibentuknya menjadi lembaran-lembaran sampai membentuk tokoh-tokoh Punakawan
seperti Petruk, Gareng, Bagong dan Semar. Kalijaga pun melakukan perjuangan menyebarkan
ilmu keselamatan sambil memainkan wayang yang sudah dibikin ceritanya berdasarkan hikmah
dari Al-Qur’an. Sampai akhirnya satu per satu masyarakat Jawa mulai memahami dan meyakini
ilmu keselamatan itu dengan teknik kalimasada.

Meski begitu, Sunan Ampel sebagai guru dari Kalijaga, gilirannya kini yang merasa resah.
Dalam hatinya, pria tua itu bertanya-tanya kenapa muridnya satu ini memakai cara seperti itu
demi menyebarkan ilmu keselamatan kepada para penduduk. Sampai akhirnya Sunan Ampel
berkata, “Sudah. Sampai di sini saja kau menjadi muridku,”
“Ada apa, Tuan Guru?” tanya Kalijaga.

“Kau bisa membuat orang-orang sesat dan salah menilai ajaran keselamatan!” jawab
Sunan Ampel dengan ketus.

Kalijaga menghela napas panjang, “Sunan Bonang berkata padaku supaya jangan
memaksa orang mengikuti keyakinan kita, tapi beliau juga menyuruhku untuk menyebarkannya
di seluruh dunia.”

“Ya, tapi sampai saat ini sajalah kau jadi muridku.”

“Guru..”

“Sudahlah!”

“Guru, marah itu maksiat batin!”

“Aku tidak marah, aku hanya kecewa.”

Dia berjalan dan terus berjalan sambil mengajarkan ilmu keselamatan kepada seluruh
masyarakat di dunia. Tentu saja dia masih menggunakan kalimasada untuk membuat orang-
orang memahami ajarannya, menggunakan kemenyan dari bunga-bunga dan dupa yang dibakar
dan diletakkan di tengah-tengah lingkaran sewaktu ia mengajar. Kalijaga tidak berniat
menerima upah dari hasil pengajarannya, dia melakukannya dengan niat yang bersih dan suci.
Sebaliknya, jika merasa lapar dan ingin makan, ia hanya berdoa kepada Tuhan agar
dihilangkannya rasa lapar. Tapi kemudian Tuhan berkata lain, Tuhan menyatakan padanya agar
berpuasa mutih, yakni hanya makan nasi, ubi putih dan minum air putih.

Di dalam mimpinya pun Kalijaga bertemu dengan Baginda Rasulullah yang sering
menasehatinya di mimpi-mimpi setiap tidurnya. Kalijaga bahkan sering melakukan panggilan
untuk beribadah di atas bukit, dan setiap pengikutnya pun dipimpinnya melakukan ibadah
bersama-sama. Sampai suatu kali dia bermimpi didatangi Nabi Ibrahim, yang mengajarkannya
bagaimana cara agar api tak mampu melukainya, yakni dengan menikahi dua orang perempuan
yang bernama Saroh dan Zainab. Akhirnya Kalijaga pun mencari ke sana-kemari dua orang
perempuan itu. Akhirnya dia mengetahui tentang seorang perempuan yang bernama Saroh,
yang disaksikannya tengah bertarung di atas panggung gulat, Kalijaga menggeleng-gelengkan
kepala, “Mungkin bukan Saroh yang itu,” katanya kepada diri sendiri.

Akhirnya Kalijaga pun pergi meninggalkan acara gulat itu, dan kembali mengajarkan
ilmu-ilmu keselamatan. Di sela-sela waktu, seorang perempuan yang mengikuti pengajiannya
pun berkata pada Kalijaga, “Anda masih sendiri, Tuan Guru?”
Bukannya menjawab, Kalijaga malah bertanya balik, “Memangnya ada apa?”

“Saya Zainab, saya melihat Tuan Guru di mimpi saya. Mimpi yang terus berulang,”

“Zainab?” tanya Kalijaga tak percaya.

Zainab pun mengangguk pasti.

Sejak saat itulah hubungan cinta mereka terjalin, semakin hari semakin dalam, hingga
Kalijaga pun pergi menemui kedua orangtua Zainab. Mereka duduk di ruang tamu yang penuh
kesederhanaan. “Silakan diminum, Sunan.” Ayah Zainab berkata sambil mengambil segelas teh
hijau, “Mumpung masih hangat,”

Kalijaga tersenyum dan mengambil tehnya, yang diseruputnya pelan-pelan.

“Bagaimana, Zainab? Rawonnya sudah matang?”

“Sebentar, Ayah.” Zainab memasukkan sesuatu ke dalam masakannya, kemudian


mereka pun makan bersama-sama.

“Asin,” kata ayahnya sambil mengerinyit, tapi begitu melihat Kalijaga, pria tua itu pun
langsung tersenyum. “Ada yang mau nikah nih, Tuan.”

Kalijaga tersipu, meski begitu ia tetap berusaha menguasai diri, “Segera, Tuan. Segera.”

“Kita salat dulu, ya?” kata Kalijaga ke Zainab, kemudian mereka bersuci dan beribadah. Tapi
sewaktu Zainab bersiap untuk bercinta, Kalijaga malah teringat dosanya kepada Sunan Bonang.
Di waktu pertamakali keduanya bertemu, Kalijaga mengira Sunan Bonang ialah pria tua yang
menggunakan tongkat yang terbuat dari emas, saat itu Kalijaga masih memiliki nama Lokajaya,
dia berusaha keras merebut tongkat itu yang akhirnya membuat Sunan Bonang jatuh
tersungkur dan menangis. Tapi kemudian disadarinya bahwa tongkat itu hanyalah tongkat yang
tidak terbuat dari emas, lantas Sunan Bonang yang mengetahui niat Lokajaya, menasehatinya
bahwa berbuat kebaikan dengan mencuri dan membagi-bagikannya kepada rakyat miskin
hanyalah mencuci baju dengan air kencing. Meskipun Kalijaga sudah meminta maaf dan
mendapat pengetahuan bahwa Sunan Bonang dapat mengubah buah di pohon aren menjadi
buah-buah emas, dan kemudian bertapa demi menjaga tongkat milik Sunan Bonang, ia masih
terus-menerus dihantui rasa bersalahnya, hingga ia pun berdoa agar ia dapat membuat Sunan
Bonang bangga terhadap pencapaiannya. “Ya, Tuhanku! Jaga baik-baik Sunan Bonang dan
pertemukanlah kami kembali. Amin.”

Kemudian mereka pun bercinta.


5

Entah bagaimana penyebabnya, Kalijaga tak kunjung diberikan buah hati dari Zainab, hingga
istrinya ini pun menyarankan Kalijaga agar mencari istri yang lain. Zainab tak tampak keberatan
sama sekali, “Toh, tujuan menikah kan supaya dapat anak,” katanya dan melanjutkan,
“bagaimanapun, anak istri mudamu itu juga anakku.” Kalijaga hanya tersenyum dan menyeduh
secangkir kopi. Minuman berwarna gelap ini baru saja didatangkan para pengelana Arab ke
Nusantara, barangkali disebabkan Kekhalifahan Turki tak lagi menerima biji-biji kopi lantaran
sang sultan telah mengharamkannya. Ini membuat para pedagang Arab tak tahu lagi mau
mencari ke mana pendapatan mereka dalam usaha kopi. “Mas enggak puasa mutih?”

Kalijaga menggeleng, “Cuma sehari ini saja,”

“Lah? Kenapa?”

“Masmu itu sedang bernazar loh, Nduk. Masa kamu ndak ngerti?” suara dari teras
rumah menyahut: ibunya.

“Oh,” gumam Zainab, “buat apa bernazar, Mas?”

“Supaya ibumu itu punya cucu,” jawab Kalijaga sambil tertawa.

“Lah? Memangnya segampang itu?”

“Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan,” kata Kalijaga sambil menyeruput kopinya, “Hm.
Kalau ini dijual di pasar, mungkin akan laku.”

“Apa itu, Mas?”

“Kopi.”

“Kopi?”

“Ya, penemunya seorang penggembala di Ethiopia. Kabarnya negeri itu sedang


berkembang pesat,”

Zainab manggut-manggut.

Hingga datanglah sesuatu yang menggemparkan keluarga Zainab; Kalijaga menikah lagi. Dia
menikah atas permintaan istri pertamanya, meski begitu hanya ada kebisuan dan tatapan
penuh kemarahan dan kebencian yang bisa dilihat dari Zainab. Nama istri baru Kalijaga itu
Saroh, sesuai dengan nama yang diucapkan Nabi Ibrahim lewat mimpi-mimpi di dalam tidur
Kalijaga. Hanya saja, bukannya tinggal serumah dan berbagi kamar tidur, Kalijaga malah tinggal
untuk sementara waktu di rumah Saroh. Ini dikarenakan Saroh seorang perempuan dari suku
Minangkabau, dan menantu laki-laki mesti tinggal di rumah milik keluarga istri. Ilmu
perdagangan Kalijaga pun kian bertambah disebabkan mertua laki-lakinya seorang wiraniaga
yang terkenal dengan bakat dan keahliannya sudah terasah sejak masih muda. Meski begitu,
Saroh tidak rela jika Kalijaga pergi ke rumah istri pertamanya. Kalijaga pun juga disuruhnya
memangkas rambut hingga botak, dan tidak lagi bermain wayang. Kalijaga menaatinya, hanya
saja dengan satu syarat yang berupa larangan kepada Saroh: murtad.

Anda mungkin juga menyukai