antara tekad dan keberanian yang telah mendarah-daging dalam tubuhnya yang
kekar-kuat.
Ia tak acuh dengan segala sesuatu yang menyangkut dengan adat istiadat. Ia tak
sadar lagi akan kedudukan Maipa Deapati sebagai putri Maggauka yang tidak saja
harus dihormati sebagai lazimnya menghormati keluarga Sultan, tapi juga telah
dengan lancang melanggar kesopanan seorang wanita di muka khalayak.
Kendati hati Maipa sesungguhnya sudah bertaut dengan hati Datu Museng, namun
dalam menerima perlakuan seperti itu di depan kawan dan gurunya yang dikenal
kukuh dalam adat, tak ada jalan lain baginya kecuali harus berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan hati nuraninya.
Dengan air mata menetesi pipi pauh dilayang, ia mohon cincinya dikembalikan,
sekedar memenangkan adat yang sesungguhnya menjadi penghalang besar untuk
memenangkan kehendak hatinya.
"Datu...! Tolong kembalikan cincin tiu. Kukira tak ada manfaatnya bagimu juga" kata
sang putri dengan suara sedikit bergetar.
Dan Datu Museng yang sejak lahir memiliki sifat-sifat istimewa, untuk sejenak tak
kuasa berkata-kata. Hatinya serasa hancur mendengar pinta itu. Di relung jiwanya
yang paling dalam bertarung sengit kemauan dan keberanian di suatu pihak
melawan keharusan adat di lain pihak. Dan seperti biasa, kemauannyalah yang
akhirnya menjadi pemenang.
"Maaf putri Maipa. Cincinmu telah kucincin menjadi penghias jari manisku. Bagiku
haram ia keluar kembali. Semoga Tuhan mengabulkan pintaku, putri kelak menjadi
punyaku."
MENDENGAR jawab Datu Museng yang merupakan pelanggaran adat tak bertara
itu, Khadi Mampawa amat berang. Sambil menuding dengan telunjuk bergetar, Dia
berkata setengah berteriak: "Jika begini budi pekertimu Datu, Kau Lebih baik
mencari guru yang lain. Aku tak ingin punya murid yang dapat mencemarkan nama
baikku di mata Maggauka".
Selain berani dan tegas, Datu Museng terkenal pula cepat mengambil suatu
keputusan tanpa berusaha memikirkan akibatnya terlebih dahulu. Baginya, apapun
yang terjadi, peristiwa-peristiwa yang akan datang merupakan suatu pengalaman
baru yang berguna bagi kelangsungan hidupnya di kemudian hari. Kebesaran
jiwalah yang banyak membantu membentuk sifat sifat istimewa seperti itu.
Itulah sebabnya, ketika ia mendengar teguran keras gurunya itu, tanpa
mengucapkan sepatah kata lagi ia meninggalkan tempat pengajian. Ia langsung
pulang ke rumah, di mana kakeknya Addearangang, yang mengasuhnya penuh
kasih sayang sejak kecil, selalu menunggunya di ambang pintu.
Hati Datu Museng ketika itu gemas bercampur sedih. Ia sadar dengan meninggalkan
tempat pengajian, berarti bakal tak bisa lagi bertemu, bergurau dan bersilat mata
dengan Putri Maipa. Hilang kini harapannya, pupus sudah cita-citanya terbang
laksana debu ditiup angin. Peluh dingin mengalir ke sekujur tubuh bukan karena
hati berlari pulang tetapi karena membayangkan keadaannya nanti.
Langkahnya dipercepat menuju rumah. Ia hendak segera mengadukan peristiwanya
kepada sang kakek tercinta. Sebelum memasuki pekarangan rumah. Ia sudah
berteriak. Suaranya bergetar, teriaknya parau menggelegar, membuat orang tua itu
terkejut dengan lompat berdiri menyongsong cucunya di halaman.
"Ada apa cucuku...! Mengapa kau menjadi begini? Katakan cucuku sayang! sambut
kakek Addearangang tak sabar sambil memegang tangan Datu Museng.
Dibimbingnya naik ke rumah panggung mereka yang besar, melewati anjungan
terus ke ruang tengah dan mendudukkan Datu Museng di haribaannya. Dibelaibelainya rambut sang cucu tersayang. Dibujuknya penuh manja, sebagaimana biasa
bila Datu Museng menghadapi kesulitan.
"Dengarlah wahai kakek. Aku telah kehilangan harta melebihi nilai jiwaku sendiri.
Aku sungguh bergundah-gulana." Datu Museng berhenti mengutarakan isi hatinya.
Ia nampak sangat sedih dan tak kuasa melanjutkan kata-katanya.
Kakeknya heran tercengang melihat keadaan cucunya demikian, lalu bertanya:
"Cucuku, susah apa yang kau tanggung, sakit apa yang kau derita. Harta apamu
yang hilang. Gerangan siapa yang mengganggu atau menyakiti hatimu? Katakan!
Jika pendekar, ia akan kutantang berperang tanding dan akan kupatahkan batang
lehernya. Jika perampok yang merampas barangmu, akan kusapu ia dari muka bumi
dengan pedang lidah-buaya. Cucuku, katakan segera!"
"Bukan orang jahat yang memegatku, bukan perampok yang merampas hartaku.
Juga bukan musuh menjentik kulitku, kakek. Aku diusir dari rumah kadhi, tidak
diperkenankan lagi mengaji di sana. Tapi sebenarnya bukan pengusiran itu yang
menyakitkan hatiku. Hanya akibatnya yang menyiksa batin ini. Kini aku tak dapat
lagi melihat bintang kejora di tengah malam, Maipa Deapati suluh dalam gelap,
ratna mutu-manikam, permata dalam hayatku."
Datu Museng kemudian menceritakan kepada kakeknya, asal muasal ia diusir dan
disuruh mencari guru mengaji yang lain.
"Cucuku, jangan susah karena putri Maipa Deapati. Bukan satu, bukan dua Maipa.
Tetapi banyak bertebaran di Sumbawa ini dan di sekeliling pulau-pulaunya.
Mengapa putri itu menyusahkan hatimu dan membuat kau gunda-gulana? Bukan
Maipa saja yang cantik, bunga setangkai di dalam taman, cucuku. Banyak kembang
semerbak di berbagai taman. Bintang-bintang di langit, juga tak terbilang
jumlahnya. Mengapa kau bingung karena Maipa. Ketahuilah, putri Maipa Deapati
sudah bertunangan. Dia dijodohkan semasih dalam kandungan ibunda permaisuri
dengan I Mangngalasa, putra mahkota Sultan Lombok."
Dengan suara pasti Datu Museng berkata: "Hanya ke Mekka dan Medina, kek? Cuma
mengarungi laut berombakkan air, menjelajah Sahara berpadangkan pasir? Tak
usah kuatir. Ke laut api sekalipun aku akan pergi, demi mendapatkan mutiara
hidupku. Aku akan pergi menghadang laut marabahaya, akan melintasi lautan
berombak setinggi rumah. Aku akan menjelajahi padang pasir yang terik membara
membakar jagat. Keras hatiku, kek. Kuat tebal keyakinanku. Maipa..., Maipaku
terbayang di ruang mata, senyumnya bersemayam dalam jiwaku selalu. Aku akan
pergi, pasti...!"
"Jika keyakinanmu telah bulat, kemauan sudah keras membaja dan tekad telah
membungkah, akan kusuruh buatkan bahtera kenaikanmu ke Mekka mencari
"Bunga Ejana Madina". Sabarlah, cucuku!" jawab kakeknya sambil tersenyumsenyum pula.
Sejak mufakat telah putus bahwa Datu Museng akan berangkat ke tanah suci, maka
sejak itu pula kakek Adearangang sibuk mengurus kayu bakal perahu.
Dikumpulkannya ahli pembuat bahtera untuk membangun kenaikan cucunya.
Dan beberapa bulan kemudian, bahtera telah selesai dan diberi nama I Lologading.
Menyaksikan kenaikan sudah rampung. Datu Museng bertambah gembira.
hasratnya serasa tak tertahan-tahan lagi untuk mengarungi laut sebagai
pengabdian pada cahaya hayat yang terus menerus mengganggu kalbunya.
Sementara itu kakeknya makin repot pula. Ia menggeledah negeri mencari bahan
kelengkapan bahtera. Makan tak makanlah dalam sehari, tidur tak tidurlah dalam
semalam, asalkan usaha berhasil untuk menyenangkan hati sang cucu.
Setelah mustaid sudah kelengkapan I Lologading, segala bekal kpeluan sudah
tersedia, dicarilah waktu yang baik tak bernahas. Bulan dan bintang dilihat nyata.
hari dan tanggal dihitung seksama. Ketika hari telah baik an bulan pun terhisab
suci, maka diturunkanlah I Lologading ke bandar pelabuhan. Diiringi empat-puluh
gadis manis berbaju bodo, dielu-elukan dan disorak-sorai teman sekampung, anak
daeng dan anak karaeng.
Sekarang I Lologading terapung megah menunggu keberangkatannya. Awak
bahtera telah lengkap hadir, semua siap sedia patuh diperintah menjalankan
kewajiban. Tinggal menunggu Datu Museng yang sedang dalam semedi di
rumahnya. Bersama kakek ia memohon kepada Tuhan agar perjalanannya berbuah
dan berhasil baik.
Asap kemenyan harum setanggi memenuhi ruangan kamar. Keadaan tenang sunyi
dalam ruang tempat memuja yang dipuja. Dalam kesunyian itu tercipta bayangan
yang diharap, bayangan Maipa Deapati, cempaka putih tanah Sumbawa, bintang
yang tak terlindung cahayanya, berkelip selalu menyinari jiwa Datu Museng.
Kini tercipta bayangan itu, hadir di hadapannya. Datu Museng lalu berbisik:
"Maipaku, adinda Maipa... Kupinta pada Tuhan, kau kelak jadi kembang petikanku.
Kutanam kupelihara dalam jiwaku, kupupuk kusirami dengan air mata harapan. Aku
akan pergi, sayang. Untuk mencari dan menemukanmu.
Lihatlah ke piala hati ini, dindaku. Tak ada riak dan tak ada ombak yang tidak
karena dikau. Jika sentana pantai hati ini bukan cadas nan keras, sudah lama gugur
berkeping-keping. Jatuh menjadi pasir dan abu, lalu terbang tak berbekas, berberita
pun tidak.
Tapi, dindaku sayang, kendati keras kuat batu di gunung, ia akhirnya akan tembus
oleh air lemah yang jatuh menimpa berulang-ulang. Tembus dindaku, tembus... dan
jadilah pasir halus hanyut berlarat-larat, hilang ke laut lepas.
Akan demikianlah halnya rasa hati ini dindaku, jika aku selalu menjadi tukang
berharap saja. Orang dan adat mengatakan kita tak dapat sejajar bersanding dua
karena kau anak Maggauka, orang yang berkuasa dalam pemerintahan. Dan aku
hanya anak gelarang (pimpinan daerah kecil) Karaeng Palili. Tidak berkuasa, tidak
memegang pemerintahan. Aku rendah dalam derajat dari darah yang mengalir
dalam tubuhmu.
Tapi ketahuilah adinda, tekadku telah bulat. Keyakinanku tak tergoyahkan lagi
menghadapi adat usang yang ribut tentang asal darahmu dan darahku yang tak
boleh bercampur. Batinku menyangkal itu semua. Aku yakin, darah kita sama, dari
Adam dan Hawa ciptaan Tuhan, bukan ciptaan manusia. Akan kurombak dan
kuhancurkan segala adat istiadat yang berdiri membenteng di antara kita berdua.
Semua ciptaan manusia yang palsu itu akan kutenggelamkan ke bawah tanah lapis
ketujuh. Kupinta pada Tuhan, kurebut kau dari tangan manusia, dari kekuasaan
duniawi dan ayahmu Maggauka.
Dengarlah adinda, tak ada benteng yang kukuh, tak ada lasykar yang kuat, semua
akan hancur jika Tuhan menghedndaki. Sekarang aku hanya melihat bayanganmu,
berbicara dengan bayanganmu, karena aku tak dapat menjumpaku dengan badan
kasar dan menengokmu di Istana.
Aku tak mampu mengunjungimu di dalam bilik peraduamu yang dijaga inang setiap
pengapit yang jujur. Aku tak dapat melakukannya, karena aku masih lemah dalam
lahir. Kupanggil kau datang, kuseru namamu, kucipta bayanganmu di hadapanku,
agar kau melihatku dan aku melihatmu. Kukurimkan rasa rinduku ke dalam hatimu,
kudeburkan segala rasa yang terbetik dalam jantungku ke dalam jantungmu.
sebentar lagi aku akan pergi berlayar mencari wujudmu. Akan kucari dinda sampai
bersua, hingga kau berada dalam penkuanku, tidak di pangkuan orang lain.
Sekarang kuhembuskan nafasku ke dalam nafasmu, dan kuterima nafasmu ke
dalam nafasku; kau dan aku hanya satu ...Amin!"
Suara helaan nafas panjang dan tangan yang digesekkan untuk mkemudian
diraupkan ke wajah, mengakhiri semedi Datu Msueng.
Adearangang lalu mendekat, mengajak Datu Museng berdiri. Dengan takzim sang
cucu mengikuti kakeknya turun tangga. Mereka kemudian menuju dermaga dimana
I Lologading bersama awak bahtera telah lama menanti.
Melihat Datu Museng dan kakeknya datang, seluruh awak bahtera ceria. Perahu
lepa-lepa diayuh menjemput di pinggir pantai. Setiba di atas bahtera, Adearangang
memeluk cucunya, dan memberinya pesan-pesan penguat batin agar selamat
dalam perjalanan. Gong dan gendang ditabuh bertalu-talu, ditingkah dentuman lela
(meriam) sebagai tanda siap berangkat dan sekaligus ucapan selamat tinggal
kepada penduduk. Sebelum meninggalkan bahtera, Adearangang sekali lagi
memeluk cucunya dan menjabat tangannya erat-erat sambil melontarkan senyum.
Tiba di darat, ia bergabung dengan halayak yang berbondong-bondong datang
menyaksikan keberangkatan Datu Museng untuk menuntut ilmu ke tanah suci.
Lalu sauh pun dibongkar. Dayung mulai bergerak serentak-seayun. I Lologading
bergerak berangsur-angsur menjauh dari pantai pulau Sumbawa nan indah.
Datu Museng naik ke anjungan bahtera melambaikan tangan kepada kakeknya.
Angin pun berhembus dari darat, dan layar terkembang memutih. Dingin...,
sungguh dingin terasa hati Datu Museng ditiup-tiup bayu yag datang dari arah
istana Maggauka. Terbayanglah wajah nan bundar-telur, kulit kuning-langsat,
rambut yang bergerai panjang ke kaki menghitam ikal. Lupalah sudah kakek masih
berdiri di pantai melambai. Yang kini teringat dan terbayang hanya kekasih, lain
tiada. Terkenang kembali masa silam yang membius.
Ketika Ia dan Maipa bercengkerama, bebas bercumbu bersenda-gurau. Tertawa
terbahak-bahak, cubit-mencubit, ajuk-mengajuk hati di saat-saat pengajian jedah.
Kini ..., semuanya tinggal kenangan. Sudah tertinggal jauh dan kian jauh juga.
Tertinggal pula bayang-bayang manis itu...!
Tapi... dengar... dengarlah bisikan angin dari darat, ke hati langsung berbisik:
"Pergilah dikau kanda sayang Datu Museng. Tinggalkan daku seorang diri melamun
dalam mengharap pada Ilahi. Lekas datang, lekas pulang menjemput dindamu
tambatan hati. Untuk mengurai ikatan ketat, agar terbang sepasang burung ke
angkasa, hinggap memilih dahan dan ranting di mana suka. Pergi... pergilah
penguasa hatiku. Bertiuplah bayu, kembangkan layar bahteranya menuju tempat
idaman, agar kekasih lekas sampai ke pantai harapan. I Lologading, melajulah
dikau. Bawalah kekasih pergi dan antar pulang kembali ke haribaanku. Jangan
putuskan harapan seorang gadis pingitan. Wahai dendangan-sayang, telah
kudengar berita keberangkatanmu, dari bisikan rakyat sampai kemari. Kuiring doa
selamat, semoga harapan berbuah. Aku tak dapat mengiringimu secara nyata,
hanya hayalku yang menyertaimu. Oh angin, bisikkan pesanku ini kepada kekasih
sayang, semoga ia berlayar dengan tenang..."
Layar kian mengembang penuh ditiup angin yang kian kencang. I Lologading kini
dengan megah melaju meninggalkan pantai Sumbawa yang berangsur hilang dari
pandangan.
"Sumbawa sudah dibelakangi Datu...! Lombok dan Bali tepat di haluan, semoga
cepat sampai ke tujuan. Marilah, Datu. Marilah, tuan, kita turun ke ruang istirahat
untuk melepas lelah, membaringkan tubuh di atas tilam peraduan yang sudah
tersedia. Malam sudah larut. Angin laut makin terasa dingin menusuk ke sumsum.
Penyakit akan lekas menyerang jika hati kosong melengah-hampa" ajak nakhoda I
Lologading kepada Datu Museng, yang sejak Sumbawa ditinggalkan, belum
beranjak dari duduknya di anjungan bahtera. Ia tinggal tafakkur menghadap arah
darat tanah tepian pulau Sumbawa di mana istana Maggauka telah menyimpan
jiwanya sebagian.
"Ohhhh...!" Datu Museng tersentak dari renungan. Ia insyaf, lemah dalam derita
rasa.
"Wahai nakhoda..., baru kuderita perasaan begini. Baru kutanggung penanggungan
semacam ini. Rupanya tak gampang tiada mudah meninggalkan kekasih seorang
diri pergi berlayar mengarungi samudera luas. Tapi akan kuapakanlah rinduku,
bagaimana kupupus hilang dendam-kesumat. Mengucapkan tak semudah
melaksanakannya. Rasanya hancur hati ini jika kupaksa merenggut rindu yang
mendamba di dada. Biarkanlah begini, wahai nakhoda. Jika aku lapar dan hausdahaga, akan kuminta makanan dan minuman. Apabila mengantuk, aku pasti
tertidur juga. Usahakan saja I Lologading lekas sampai di tanah tepian pulau
harapan kita."
"Tuanku Datu Museng... Sudah lazim teruna menanggung rindu. Jangan diturutkan
kata hati, jangan biarkan lamunan berlarat-larat dalam diri. Masih amat luas
samdera yang harus kita jelajahi, masih banyak negeri yang akan kita singgahi, dan
masih berbilang-hari berbilang-bulan kita terkatung-katung, dan terdampar di
rantau orang. Jika begini cara Datu berlayar, bakal tak sampai jiwa dan badan ke
rantau tujuan. Boleh jadi hanya keranda tuanku yang akan balik menemui kekasih
nan tak pernah putus menunggu dan berharap. Bersusah hati seperti ini tak layak
Datu lakukan. Akan merusak iman, melemahkan bathin. Selayak orang yang
berputus asa."
Dan ketika Datu Museng hanya tersenyum menanggapi nasihatnya, sang nakhoda
melanjutkan: "Jika Datu belum ingin melepas lelah, marilah kita bergembira
bersama. Ambil rebab, ambil kecapi, kita hilangkan susah di hati. Marilah
menembang lagu, mari berdendang sayang. Datu..., marilah tuan!"
Nakhoda itu kemudian menoleh ke awak bahtera yang sudah berkerumun, sambil
berkata: "Tukang kecapi, hayo petik kecapi itu, kita bernyanyi, menghilangkan duka
yang mengganggu!"
Tukang kecapi mulai memetik dawai kecapinya. Halus merdu membelah kesunyian
malam di tingkah bayu semilir serta sibakan ombak yang memerciki bahtera I
Lologading.
Datu Museng cuma mampu mengulum senyum, menggigit bibir. Marah tak dapat,
kesal di hati tertahan, diusik heningan ciptanya. Nakhoda pura-pura tak melihat.
yang kuasa menahan lajunya. Empat puluh hari empat puluh malam dalam keadaan
demikian, maka sampailah bahtera itu dengan selamat di pelabuhan Jedda.
Datu Museng gembira tak terkira. Ia turun ke darat mendapatkan syahbandar. Diri
diperkenalkan, maksud hati diceritakan, cita-cita disampaikan. Syahbandar nan arif
tak berkebaratan. Datu Museng boleh mengunjungi tanah suci Mekka dan Medina
untuk berguru menuntut ilmu.
Setelah cukup lama menuntut ilmu seperti yang dipesankan kakeknya, yaitu
sesudah "kembang merah Medina" dapat dipetiknya, Datu Museng kembali ke
negerinya Jiwanya yang lemah, kinikuat laksana baja. Raganya yang kekar telah
berisi ilmu yang tak ternilai bagi manusia biasa. Pendek kata, ia kini adalah sosok
manusia yang kebal lahir dan bathin.
Beberapa hari setelah Datu Museng tiba dari tanah suci, terbetik berita bahwa
Maggauka di Sumbawa akan mengadakan gelanggang permainan raga. Berita ini
disambut gembira oleh penduduk, terutama bagi kaum muda dan gadis-gadis.
Betapa tidak, gelanggang semacam itu selalu menjadi pertemuan besar-besaran
antara kedua jenis manusia. Ada juga yang menamakannya pertemuan jodoh tidak
resmi. Semua gadis bangsawan yang molek dileluasakan datang untuk menonton.
Tidak heran, jika para memuda dan anak bangsawan sekeliling pulau Sumbawa,
berduyun-duyun ke tempat gelanggang. Sebagian hanya menonton sepakraga,
sambil memandang sepuas-puasnya dara-dara rupawan di atas jendela istana. Tapi,
sebagian besar datang untuk ambil bagian dalam gelanggang sepak raga. Siapa
tahu, mereka akan mendapat simpati dari salah seorang gadis molek di jendela.
Dewasa itu, permainan sepakraga (bola terbuat dari rotan) merupakan permainan
yag harus dikehtahui oleh setiap pemuda. Baik ia orang biasa, terlebih lagi
keturunan bangsawan. Seorang remaja, betapapun sempurna hidupnya, baru akan
merasa bahagia jika dapat bersepakraga, apalagi jika termasuk ahli. Ini karena telah
menjadi traisi dalam setiap puncak keramaian selalu diadakan gelanggang
permainan raga, di mana gadis-gadis terpingit berkesempatan bebas menonton dan
melontar kerling ke pemuda penuju hatinya. Tak ayal, gelanggang semacam ini,
menjadi tempat pemuda bersaing keras.
Ketua gelanggang raga, yang diadakan Maggauka kali ini, ialah Mangngalasa, putra
mahkota Sultan Lombok dan tunangan semasa kecil putri Maipa Deapati. Ia datang
ke Sumbawa, khusus menghadiri gelanggang itu, karena ia terkenal pula ahli
bersepak raga. Ia yang diberi tugas oleh bakal mertuanya untuk memilih pemuda
dan kawan sejawatnya bermain raga dalam pekarangan istana.
Hari yang dinantikan pun tiba. Kakak Adearangang mengajak cucunya. "Datu mari
ke gelanggang raga yang kabarnya dipimpin I Mangngalasa. Berpakaianlah cucuku,
kita ke sana menyaksikan keahlian anak-anak muda Sumbawa ini, istimewa
pangeran Mangngalasa yang kabarnya pemain raga terakhli di daratan Lombok.
Akan kulihat nanti, apakah ia dapat menyaingi keahlianmu dalam bersepak raga
dan merebut hati setiap dara yang menyaksikan gelanggang."
Buru-buru diperiksanya dua orang yang tergeletak di lantai itu. Ternyata duaduanya sudah meninggal. Tanpa sadar, kepala pengawal berteriak minta tolong,
dan seluruh pengawal dan pemikul usungan menghambur keatas rumah dengan
keris terhunus. Fikir mereka, tentu musuh telah mencelakai yang dipertuan dan
pengawal yang naik belakangan.
Mereka berdesak-desakan hendak dahulu-mendahului. Ketika tiba di ruang
tengah, mereka mnyaksikan pemandangan yang mengerikan dan tak masuk akal.
Segenap ruangan segera digeledah, tapi tak seorangpun musuh yang mereka
jumpai.
Mereka kemudian kembali kepada kedua mayat itu dan samamematung
memikirkan kejadian yang jauh dari sangka dan kira-kiranya. Tak seorangpun dari
mereka yang mengerti apa yang sesugguhnya terjadi.
Akhirnya, salah seorang dari mereka akhirnya memberi perintah supaya
mayat I Tuan Jurubahasa diangkat kebawah, dinaikkan keusungan dan diantar
kembali menghadap I Tuan Tumalompoa.
Demikianlah itu terjadi, usungan yang sedianya membawa Puteri Maipa
Deapati, kini dibawa kembali dengan mengangkut mayat Jurubahasa di atas
usungan indah-permai itu?
Matanya membelalak, mulutnya menganga. Ia sangat heran, tapi tak kuasa
mengeluarkan sepatah kata pun. Hatinya hancur total, semangatnya terpukul
hebat. Tak disangkanya korban yang demikian banyak jatuh, hanya berakhir sia-sia
dan demikian menyedihkan.
Sejak saat itu, Tumalopoa terus diamuk gundah-gulana.hatinya risau
berkepanjangan dan selalu murung termenung. Ia rasanya bias rela mengerti
tentang malapetaka itu. Mengapa kekuasaannya yang demikian besar dan selama
ini mencapai tujuannya , kini menderita kegagalan secara amat hina.
Dan ketika berhari-hari, bahkan berminggu-minggu ia terus didera masygul
dan rasa bersalah itu, ia akhirnya tiba pada satu kesimpulan. Datu Museng dan
Maipa Deapati, adalah dua anak manusia yang amat istimewa, taka da taranya
diseantero jagat. Mereka telah dirajut oleh paduan jiwa yang satu dan hakiki yang
tak mungkin dipisah.
Dan kisah cinta-kasih yang suci dan agung ini telah dilukis sejarah
---oooooo---