Anda di halaman 1dari 14

KISAH DATU MUSENG DAN MAIPA DEAPATI

SUMBAWA pada abad ketujuh-belas. Di rumah Kadhi Mampawa lapat-lapat


terdengar suasana semarak pengajian. karena agama Islam baru masuk ke sana,
kewajiban agama bagi kanak-kanak belum terlalu dihiraukan. Maka tak
mengherankan jika yang mengaji di rumah kadhi adalah gadis-gadis dan pemuda
yang berasal dari segala macam golongan masyarakat.
Di situ ada Maipa Deapati, putri tunggal Maggauka (Sultan) di Sumbawa yang
sangat kesohor kemolekannya. Ia kesohor bukan hanya karena keturunan
bangsawan tinggi yang memerintah negeri itu, tetapi juga karena ia merupakan
kembang yang semarak dan harumnya tak ada duanya di dalam negeri.
Dan bila di tempat itu ada Maipa sebagai kembang yang sedang mekar, di sana ada
pula seorang pemuda istimewa. Pemuda yang keras kemauan serta luar-biasa
keberaniannya. ia bergelar I Baso Mallarangang, lelaki yang tak terlarang
kehendaknya. Dia adalah Datu Museng.
Sudah ditakdirkan rupanya, di rumah pengajian inilah mula terjalin riwayat Datu
Museng dan Maipa Deapati, yang kemudian menjadi cerita rakyat turun-temurun
paling kesohor dan amat digemari.
MULA pertama ketika pandangan Datu Museng menatap wajah Maipa Deapati yang
laksana bidadari itu, di dada anak muda ini langsung menyala bara hangat yang
membakar piala hatinya dan menggetarkan seluruh jalur urat syarafnya.
Ia laksana musyafir kehilangan bintang pedoman jika tak melihat wajah anak dara
itu walau hanya sekejap dalam sehari. Sebaliknya, hatinya akan bersorak bertalutalu jika ia sempat bermain-main dengan Maipa sebelum pengajian dimulai.
Aggalaceng -- suatu permainan yang menggunakan sebilah kayu berlubang yang
diisi dengan batu-batuan dan dimainkan dua orang yang berhadap-hadapan-adalah permainan yang paling mereka gemari. Permainan ini merupakan
penyambung batin antara kedua remaja yang sesungguhnya telah dimabuk asmara
dalam ruang lingkup kungkungan adat yang keras.
Datu Museng sebenarnya mahir dalam jenis permainan ini. Tapi ia tak pernah
menyia-nyiakan kesempatan seperti ini. Ia selalu membuat kesalahan-kesalahan
disengaja untuk membuat permainan tidak cepat berakhir. Dan mata yang bersilat,
lontaran kerling genit, senyum penuh arti serta cubit-cubitan tangan adalah
selingan permainan yang paling sering terjadi di antara kedua insan itu.
Tersebutlah pada suatu hari cincin putri Maipa lolos lepas dari jarinya ketika sedang
bersenda gurau dengan kawan-kawannya sebelum pengajian dimulai. Datu Museng
yang tak pernah lepas perhatiannya kepada putri Maggauka itu, dengan gerakan
amat cepat langsung memungutnya, kemudian tanpa berpikir lagi cincin itu
dimasukkan ke dalam jarinya sendiri.
Sesungguhnya ia melakukan perbuatan itu di bawah sadar, jauh dari pertimbangan
wajar. Refleksi perbuatan itu dikuasai imbauan bawah-sadar, hasil perkawinan

antara tekad dan keberanian yang telah mendarah-daging dalam tubuhnya yang
kekar-kuat.
Ia tak acuh dengan segala sesuatu yang menyangkut dengan adat istiadat. Ia tak
sadar lagi akan kedudukan Maipa Deapati sebagai putri Maggauka yang tidak saja
harus dihormati sebagai lazimnya menghormati keluarga Sultan, tapi juga telah
dengan lancang melanggar kesopanan seorang wanita di muka khalayak.
Kendati hati Maipa sesungguhnya sudah bertaut dengan hati Datu Museng, namun
dalam menerima perlakuan seperti itu di depan kawan dan gurunya yang dikenal
kukuh dalam adat, tak ada jalan lain baginya kecuali harus berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan hati nuraninya.
Dengan air mata menetesi pipi pauh dilayang, ia mohon cincinya dikembalikan,
sekedar memenangkan adat yang sesungguhnya menjadi penghalang besar untuk
memenangkan kehendak hatinya.
"Datu...! Tolong kembalikan cincin tiu. Kukira tak ada manfaatnya bagimu juga" kata
sang putri dengan suara sedikit bergetar.
Dan Datu Museng yang sejak lahir memiliki sifat-sifat istimewa, untuk sejenak tak
kuasa berkata-kata. Hatinya serasa hancur mendengar pinta itu. Di relung jiwanya
yang paling dalam bertarung sengit kemauan dan keberanian di suatu pihak
melawan keharusan adat di lain pihak. Dan seperti biasa, kemauannyalah yang
akhirnya menjadi pemenang.
"Maaf putri Maipa. Cincinmu telah kucincin menjadi penghias jari manisku. Bagiku
haram ia keluar kembali. Semoga Tuhan mengabulkan pintaku, putri kelak menjadi
punyaku."
MENDENGAR jawab Datu Museng yang merupakan pelanggaran adat tak bertara
itu, Khadi Mampawa amat berang. Sambil menuding dengan telunjuk bergetar, Dia
berkata setengah berteriak: "Jika begini budi pekertimu Datu, Kau Lebih baik
mencari guru yang lain. Aku tak ingin punya murid yang dapat mencemarkan nama
baikku di mata Maggauka".
Selain berani dan tegas, Datu Museng terkenal pula cepat mengambil suatu
keputusan tanpa berusaha memikirkan akibatnya terlebih dahulu. Baginya, apapun
yang terjadi, peristiwa-peristiwa yang akan datang merupakan suatu pengalaman
baru yang berguna bagi kelangsungan hidupnya di kemudian hari. Kebesaran
jiwalah yang banyak membantu membentuk sifat sifat istimewa seperti itu.
Itulah sebabnya, ketika ia mendengar teguran keras gurunya itu, tanpa
mengucapkan sepatah kata lagi ia meninggalkan tempat pengajian. Ia langsung
pulang ke rumah, di mana kakeknya Addearangang, yang mengasuhnya penuh
kasih sayang sejak kecil, selalu menunggunya di ambang pintu.
Hati Datu Museng ketika itu gemas bercampur sedih. Ia sadar dengan meninggalkan
tempat pengajian, berarti bakal tak bisa lagi bertemu, bergurau dan bersilat mata
dengan Putri Maipa. Hilang kini harapannya, pupus sudah cita-citanya terbang

laksana debu ditiup angin. Peluh dingin mengalir ke sekujur tubuh bukan karena
hati berlari pulang tetapi karena membayangkan keadaannya nanti.
Langkahnya dipercepat menuju rumah. Ia hendak segera mengadukan peristiwanya
kepada sang kakek tercinta. Sebelum memasuki pekarangan rumah. Ia sudah
berteriak. Suaranya bergetar, teriaknya parau menggelegar, membuat orang tua itu
terkejut dengan lompat berdiri menyongsong cucunya di halaman.
"Ada apa cucuku...! Mengapa kau menjadi begini? Katakan cucuku sayang! sambut
kakek Addearangang tak sabar sambil memegang tangan Datu Museng.
Dibimbingnya naik ke rumah panggung mereka yang besar, melewati anjungan
terus ke ruang tengah dan mendudukkan Datu Museng di haribaannya. Dibelaibelainya rambut sang cucu tersayang. Dibujuknya penuh manja, sebagaimana biasa
bila Datu Museng menghadapi kesulitan.
"Dengarlah wahai kakek. Aku telah kehilangan harta melebihi nilai jiwaku sendiri.
Aku sungguh bergundah-gulana." Datu Museng berhenti mengutarakan isi hatinya.
Ia nampak sangat sedih dan tak kuasa melanjutkan kata-katanya.
Kakeknya heran tercengang melihat keadaan cucunya demikian, lalu bertanya:
"Cucuku, susah apa yang kau tanggung, sakit apa yang kau derita. Harta apamu
yang hilang. Gerangan siapa yang mengganggu atau menyakiti hatimu? Katakan!
Jika pendekar, ia akan kutantang berperang tanding dan akan kupatahkan batang
lehernya. Jika perampok yang merampas barangmu, akan kusapu ia dari muka bumi
dengan pedang lidah-buaya. Cucuku, katakan segera!"
"Bukan orang jahat yang memegatku, bukan perampok yang merampas hartaku.
Juga bukan musuh menjentik kulitku, kakek. Aku diusir dari rumah kadhi, tidak
diperkenankan lagi mengaji di sana. Tapi sebenarnya bukan pengusiran itu yang
menyakitkan hatiku. Hanya akibatnya yang menyiksa batin ini. Kini aku tak dapat
lagi melihat bintang kejora di tengah malam, Maipa Deapati suluh dalam gelap,
ratna mutu-manikam, permata dalam hayatku."
Datu Museng kemudian menceritakan kepada kakeknya, asal muasal ia diusir dan
disuruh mencari guru mengaji yang lain.
"Cucuku, jangan susah karena putri Maipa Deapati. Bukan satu, bukan dua Maipa.
Tetapi banyak bertebaran di Sumbawa ini dan di sekeliling pulau-pulaunya.
Mengapa putri itu menyusahkan hatimu dan membuat kau gunda-gulana? Bukan
Maipa saja yang cantik, bunga setangkai di dalam taman, cucuku. Banyak kembang
semerbak di berbagai taman. Bintang-bintang di langit, juga tak terbilang
jumlahnya. Mengapa kau bingung karena Maipa. Ketahuilah, putri Maipa Deapati
sudah bertunangan. Dia dijodohkan semasih dalam kandungan ibunda permaisuri
dengan I Mangngalasa, putra mahkota Sultan Lombok."

Mendengar tutur kakeknya, Datu Museng mendengus merentakkan kaki.


Gerahamnya gemertak menahan marah dan matanya mendelik liar. Ia lalu berdiri
berkacak pinggang, sambil berkata: "Tidak..., tidak, kakek. Maipa Deapati adalah
Maipaku. I Mangngalasa boleh dijodohkan dengan Maipa sejak kecil, semasih dalam
kandungan permaisuri. Tapi sekarang..., aku yang punya. Maipaku, tunangan Datu
Museng I Baso Mallarangang. I Mangngalasa boleh memetik kembang-kembang di
taman, boleh bebas memilih bintang di langit biru, tapi ia tak boleh menjamah
perawan yang satu ini. I Mangngalasa boleh menumpuk harapannya setinggi
gunung, tapi tak akan bisa mendapatkannya semasih aku hidup, selagi hayatku di
kandung badan."
Mendengar tekad teguh Datu Museng, kakek Adearangang tafakkur berpikir dalamdalam. Hati-tuanya menyala kembali. Rasa pati bangkit untuk mengabdi pada sang
cucu, ingin membantu sekuatnya dengan nyawa dan badan dipertanggungkan. Ia
sadar, cucunya berkeras ingin memetik kembang larangan yang dijaga kuat.
Hendak dipetik secara resmi, susah sungguh dan terasa amat rumit. Sebab Maipa
Deapati berdarah bangsawan, turunan Sultan yang memerintah. Akan halnya Datu
Museng; hanya separuh turunan bangsawan. Darahnya tidak murni, sehingga tak
pantas duduk bersanding menurut ukuran adat. Karena itu buncahlah pikiran sang
kakek. Tapi pembawaan Adearangang persis sama dengan Datu Museng. Kakek dan
cucu ini hanya berbeda dalam usia, tapi tidak dalam hal-hal yang menyangkut
kejantanan. Perasaan ragu-ragu segera sirna, dihapus teka hati hendak
mengabulkan harapan cucu satu-satunya yang amat dimanjakannya.
Orang tua itu lalu berdiri dan menepuk pundak cucunya yang sedang termenung
melontar pandang lewat jendela. Datu Museng sedikit terkejut dari lamunnya, lalu
menoleh dan menatap penuh harap. Sebelum ia sempat melontarkan pertanyaan,
kakek Adearangang tersenyum lembut sambil berkata: "Datu..., Maipa Deapati
bukan sembarang kembang. Memetiknya amat susah, tidak gampang. Di sekitarnya
penuh onak-duri yang siap menusuk siapa yang coba-coba memetiknya. Tetapi jika
hatimu membaja, yakinlah kau akan bisa memperolehnya. Hanya kau harus
berjuang keras dan membekal kesabaran dalam menantang risiko dalam
mengarungi laut menghadang maut mara bahaya. Kau harus berguru ke Mekka,
negeri suci tempat lahir nabi akhir zaman, Muhammad Sallahlahu alaihiwassallam.
Kau mesti berguru pada tuan syekh di Mekka dan Medina. Cari dan petik "Bunga
Ejana Madina" (Kembang merah Medina). Jika berhasil memetiknya, percayalah citacitamu akan terkabul. Maipa Deapati akan dapat kau miliki. Semua perintang, onakduri, tanjakan tajam, apalagi kerikil, dengan mudah kau lindas dan lewati. Sungguh,
cucuku."
Tutur kakeknya yang mengandung dorongan dan harapan ini membuat Datu
Museng girang alang-kepalang dan tersenyum-senyum. Mata yang pudar bersinar
kembali, wajah yang pucat bercahaya lagi. Dada bergolak menjadi tenang dan jiwa
pun girang bagai semula.

Dengan suara pasti Datu Museng berkata: "Hanya ke Mekka dan Medina, kek? Cuma
mengarungi laut berombakkan air, menjelajah Sahara berpadangkan pasir? Tak
usah kuatir. Ke laut api sekalipun aku akan pergi, demi mendapatkan mutiara
hidupku. Aku akan pergi menghadang laut marabahaya, akan melintasi lautan
berombak setinggi rumah. Aku akan menjelajahi padang pasir yang terik membara
membakar jagat. Keras hatiku, kek. Kuat tebal keyakinanku. Maipa..., Maipaku
terbayang di ruang mata, senyumnya bersemayam dalam jiwaku selalu. Aku akan
pergi, pasti...!"
"Jika keyakinanmu telah bulat, kemauan sudah keras membaja dan tekad telah
membungkah, akan kusuruh buatkan bahtera kenaikanmu ke Mekka mencari
"Bunga Ejana Madina". Sabarlah, cucuku!" jawab kakeknya sambil tersenyumsenyum pula.
Sejak mufakat telah putus bahwa Datu Museng akan berangkat ke tanah suci, maka
sejak itu pula kakek Adearangang sibuk mengurus kayu bakal perahu.
Dikumpulkannya ahli pembuat bahtera untuk membangun kenaikan cucunya.
Dan beberapa bulan kemudian, bahtera telah selesai dan diberi nama I Lologading.
Menyaksikan kenaikan sudah rampung. Datu Museng bertambah gembira.
hasratnya serasa tak tertahan-tahan lagi untuk mengarungi laut sebagai
pengabdian pada cahaya hayat yang terus menerus mengganggu kalbunya.
Sementara itu kakeknya makin repot pula. Ia menggeledah negeri mencari bahan
kelengkapan bahtera. Makan tak makanlah dalam sehari, tidur tak tidurlah dalam
semalam, asalkan usaha berhasil untuk menyenangkan hati sang cucu.
Setelah mustaid sudah kelengkapan I Lologading, segala bekal kpeluan sudah
tersedia, dicarilah waktu yang baik tak bernahas. Bulan dan bintang dilihat nyata.
hari dan tanggal dihitung seksama. Ketika hari telah baik an bulan pun terhisab
suci, maka diturunkanlah I Lologading ke bandar pelabuhan. Diiringi empat-puluh
gadis manis berbaju bodo, dielu-elukan dan disorak-sorai teman sekampung, anak
daeng dan anak karaeng.
Sekarang I Lologading terapung megah menunggu keberangkatannya. Awak
bahtera telah lengkap hadir, semua siap sedia patuh diperintah menjalankan
kewajiban. Tinggal menunggu Datu Museng yang sedang dalam semedi di
rumahnya. Bersama kakek ia memohon kepada Tuhan agar perjalanannya berbuah
dan berhasil baik.
Asap kemenyan harum setanggi memenuhi ruangan kamar. Keadaan tenang sunyi
dalam ruang tempat memuja yang dipuja. Dalam kesunyian itu tercipta bayangan
yang diharap, bayangan Maipa Deapati, cempaka putih tanah Sumbawa, bintang
yang tak terlindung cahayanya, berkelip selalu menyinari jiwa Datu Museng.

Kini tercipta bayangan itu, hadir di hadapannya. Datu Museng lalu berbisik:
"Maipaku, adinda Maipa... Kupinta pada Tuhan, kau kelak jadi kembang petikanku.
Kutanam kupelihara dalam jiwaku, kupupuk kusirami dengan air mata harapan. Aku
akan pergi, sayang. Untuk mencari dan menemukanmu.
Lihatlah ke piala hati ini, dindaku. Tak ada riak dan tak ada ombak yang tidak
karena dikau. Jika sentana pantai hati ini bukan cadas nan keras, sudah lama gugur
berkeping-keping. Jatuh menjadi pasir dan abu, lalu terbang tak berbekas, berberita
pun tidak.
Tapi, dindaku sayang, kendati keras kuat batu di gunung, ia akhirnya akan tembus
oleh air lemah yang jatuh menimpa berulang-ulang. Tembus dindaku, tembus... dan
jadilah pasir halus hanyut berlarat-larat, hilang ke laut lepas.
Akan demikianlah halnya rasa hati ini dindaku, jika aku selalu menjadi tukang
berharap saja. Orang dan adat mengatakan kita tak dapat sejajar bersanding dua
karena kau anak Maggauka, orang yang berkuasa dalam pemerintahan. Dan aku
hanya anak gelarang (pimpinan daerah kecil) Karaeng Palili. Tidak berkuasa, tidak
memegang pemerintahan. Aku rendah dalam derajat dari darah yang mengalir
dalam tubuhmu.
Tapi ketahuilah adinda, tekadku telah bulat. Keyakinanku tak tergoyahkan lagi
menghadapi adat usang yang ribut tentang asal darahmu dan darahku yang tak
boleh bercampur. Batinku menyangkal itu semua. Aku yakin, darah kita sama, dari
Adam dan Hawa ciptaan Tuhan, bukan ciptaan manusia. Akan kurombak dan
kuhancurkan segala adat istiadat yang berdiri membenteng di antara kita berdua.
Semua ciptaan manusia yang palsu itu akan kutenggelamkan ke bawah tanah lapis
ketujuh. Kupinta pada Tuhan, kurebut kau dari tangan manusia, dari kekuasaan
duniawi dan ayahmu Maggauka.
Dengarlah adinda, tak ada benteng yang kukuh, tak ada lasykar yang kuat, semua
akan hancur jika Tuhan menghedndaki. Sekarang aku hanya melihat bayanganmu,
berbicara dengan bayanganmu, karena aku tak dapat menjumpaku dengan badan
kasar dan menengokmu di Istana.
Aku tak mampu mengunjungimu di dalam bilik peraduamu yang dijaga inang setiap
pengapit yang jujur. Aku tak dapat melakukannya, karena aku masih lemah dalam
lahir. Kupanggil kau datang, kuseru namamu, kucipta bayanganmu di hadapanku,
agar kau melihatku dan aku melihatmu. Kukurimkan rasa rinduku ke dalam hatimu,
kudeburkan segala rasa yang terbetik dalam jantungku ke dalam jantungmu.
sebentar lagi aku akan pergi berlayar mencari wujudmu. Akan kucari dinda sampai
bersua, hingga kau berada dalam penkuanku, tidak di pangkuan orang lain.
Sekarang kuhembuskan nafasku ke dalam nafasmu, dan kuterima nafasmu ke
dalam nafasku; kau dan aku hanya satu ...Amin!"
Suara helaan nafas panjang dan tangan yang digesekkan untuk mkemudian
diraupkan ke wajah, mengakhiri semedi Datu Msueng.
Adearangang lalu mendekat, mengajak Datu Museng berdiri. Dengan takzim sang
cucu mengikuti kakeknya turun tangga. Mereka kemudian menuju dermaga dimana
I Lologading bersama awak bahtera telah lama menanti.

Melihat Datu Museng dan kakeknya datang, seluruh awak bahtera ceria. Perahu
lepa-lepa diayuh menjemput di pinggir pantai. Setiba di atas bahtera, Adearangang
memeluk cucunya, dan memberinya pesan-pesan penguat batin agar selamat
dalam perjalanan. Gong dan gendang ditabuh bertalu-talu, ditingkah dentuman lela
(meriam) sebagai tanda siap berangkat dan sekaligus ucapan selamat tinggal
kepada penduduk. Sebelum meninggalkan bahtera, Adearangang sekali lagi
memeluk cucunya dan menjabat tangannya erat-erat sambil melontarkan senyum.
Tiba di darat, ia bergabung dengan halayak yang berbondong-bondong datang
menyaksikan keberangkatan Datu Museng untuk menuntut ilmu ke tanah suci.
Lalu sauh pun dibongkar. Dayung mulai bergerak serentak-seayun. I Lologading
bergerak berangsur-angsur menjauh dari pantai pulau Sumbawa nan indah.
Datu Museng naik ke anjungan bahtera melambaikan tangan kepada kakeknya.
Angin pun berhembus dari darat, dan layar terkembang memutih. Dingin...,
sungguh dingin terasa hati Datu Museng ditiup-tiup bayu yag datang dari arah
istana Maggauka. Terbayanglah wajah nan bundar-telur, kulit kuning-langsat,
rambut yang bergerai panjang ke kaki menghitam ikal. Lupalah sudah kakek masih
berdiri di pantai melambai. Yang kini teringat dan terbayang hanya kekasih, lain
tiada. Terkenang kembali masa silam yang membius.
Ketika Ia dan Maipa bercengkerama, bebas bercumbu bersenda-gurau. Tertawa
terbahak-bahak, cubit-mencubit, ajuk-mengajuk hati di saat-saat pengajian jedah.
Kini ..., semuanya tinggal kenangan. Sudah tertinggal jauh dan kian jauh juga.
Tertinggal pula bayang-bayang manis itu...!
Tapi... dengar... dengarlah bisikan angin dari darat, ke hati langsung berbisik:
"Pergilah dikau kanda sayang Datu Museng. Tinggalkan daku seorang diri melamun
dalam mengharap pada Ilahi. Lekas datang, lekas pulang menjemput dindamu
tambatan hati. Untuk mengurai ikatan ketat, agar terbang sepasang burung ke
angkasa, hinggap memilih dahan dan ranting di mana suka. Pergi... pergilah
penguasa hatiku. Bertiuplah bayu, kembangkan layar bahteranya menuju tempat
idaman, agar kekasih lekas sampai ke pantai harapan. I Lologading, melajulah
dikau. Bawalah kekasih pergi dan antar pulang kembali ke haribaanku. Jangan
putuskan harapan seorang gadis pingitan. Wahai dendangan-sayang, telah
kudengar berita keberangkatanmu, dari bisikan rakyat sampai kemari. Kuiring doa
selamat, semoga harapan berbuah. Aku tak dapat mengiringimu secara nyata,
hanya hayalku yang menyertaimu. Oh angin, bisikkan pesanku ini kepada kekasih
sayang, semoga ia berlayar dengan tenang..."
Layar kian mengembang penuh ditiup angin yang kian kencang. I Lologading kini
dengan megah melaju meninggalkan pantai Sumbawa yang berangsur hilang dari
pandangan.

"Sumbawa sudah dibelakangi Datu...! Lombok dan Bali tepat di haluan, semoga
cepat sampai ke tujuan. Marilah, Datu. Marilah, tuan, kita turun ke ruang istirahat
untuk melepas lelah, membaringkan tubuh di atas tilam peraduan yang sudah
tersedia. Malam sudah larut. Angin laut makin terasa dingin menusuk ke sumsum.
Penyakit akan lekas menyerang jika hati kosong melengah-hampa" ajak nakhoda I
Lologading kepada Datu Museng, yang sejak Sumbawa ditinggalkan, belum
beranjak dari duduknya di anjungan bahtera. Ia tinggal tafakkur menghadap arah
darat tanah tepian pulau Sumbawa di mana istana Maggauka telah menyimpan
jiwanya sebagian.
"Ohhhh...!" Datu Museng tersentak dari renungan. Ia insyaf, lemah dalam derita
rasa.
"Wahai nakhoda..., baru kuderita perasaan begini. Baru kutanggung penanggungan
semacam ini. Rupanya tak gampang tiada mudah meninggalkan kekasih seorang
diri pergi berlayar mengarungi samudera luas. Tapi akan kuapakanlah rinduku,
bagaimana kupupus hilang dendam-kesumat. Mengucapkan tak semudah
melaksanakannya. Rasanya hancur hati ini jika kupaksa merenggut rindu yang
mendamba di dada. Biarkanlah begini, wahai nakhoda. Jika aku lapar dan hausdahaga, akan kuminta makanan dan minuman. Apabila mengantuk, aku pasti
tertidur juga. Usahakan saja I Lologading lekas sampai di tanah tepian pulau
harapan kita."
"Tuanku Datu Museng... Sudah lazim teruna menanggung rindu. Jangan diturutkan
kata hati, jangan biarkan lamunan berlarat-larat dalam diri. Masih amat luas
samdera yang harus kita jelajahi, masih banyak negeri yang akan kita singgahi, dan
masih berbilang-hari berbilang-bulan kita terkatung-katung, dan terdampar di
rantau orang. Jika begini cara Datu berlayar, bakal tak sampai jiwa dan badan ke
rantau tujuan. Boleh jadi hanya keranda tuanku yang akan balik menemui kekasih
nan tak pernah putus menunggu dan berharap. Bersusah hati seperti ini tak layak
Datu lakukan. Akan merusak iman, melemahkan bathin. Selayak orang yang
berputus asa."
Dan ketika Datu Museng hanya tersenyum menanggapi nasihatnya, sang nakhoda
melanjutkan: "Jika Datu belum ingin melepas lelah, marilah kita bergembira
bersama. Ambil rebab, ambil kecapi, kita hilangkan susah di hati. Marilah
menembang lagu, mari berdendang sayang. Datu..., marilah tuan!"
Nakhoda itu kemudian menoleh ke awak bahtera yang sudah berkerumun, sambil
berkata: "Tukang kecapi, hayo petik kecapi itu, kita bernyanyi, menghilangkan duka
yang mengganggu!"
Tukang kecapi mulai memetik dawai kecapinya. Halus merdu membelah kesunyian
malam di tingkah bayu semilir serta sibakan ombak yang memerciki bahtera I
Lologading.
Datu Museng cuma mampu mengulum senyum, menggigit bibir. Marah tak dapat,
kesal di hati tertahan, diusik heningan ciptanya. Nakhoda pura-pura tak melihat.

Pandangannya diarahkan ke laut lepas, ke bintang berkedip di langit yang


terhampar luas, sambil mendendangkan nyanyian gembira.
Laju-lajulah bahtera I Lologading
Laju meluncurlah mengarungi laut
Biar jauh kasih nan sayang
Ke hati ia tetap terpaut
Tembang lagu diulang kembali oleh awak bahtera yan membentuk lingkaran. Datu
Museng yang sedikit tersinggung, hanya memandang cakrawala yang bertaburkan
bintang. Layaknya ia sedang mencari satu dari sejuta bintang yang berkelip indah di
alam lepas tak terukur itu.
Nakhoda berhenti menyanyi, mengalihkan pandangan dari laut ke cakrawala,
kemudian ke wajah Datu Museng. Awak bahtera suruhan kakek Adearangang, tak
pula ketinggalan. Semua mata menumpuk di satu sasaran, ke wajah pemuda yang
duduk bersila dengan tenang. Hening sejenak, tak ada suara yang mengusik,
kecuali deburan ombak menepis tubuh I Lologading. Suasana demikian sentimentil.
Untunglah Datu Museng cepat sadar. Dengan lemah lembut ia bertutur. Halus dalam
suara tapi tegas dalam makna.
"Saudara-saudaraku.., aku bermenung bersunyi diri di bawah naungan langit dan
bintang temarang serta dihembus angin laut nan dingin menyeuk kalbu, bukanlah
karena bersusah hati. ?Aku sedang berpinta kepada Yang Maha Kuasa, agar
perjalanan kita ke Jedda, Mekka dan Media lekas sampai. Tak ada areal yang
melintang, tak ada bahaya yang menghadang. Menyanyilah, petiklah kecai itu.
Beribu terima-kasihku pada kalian atas segala usaha menghiburku. Tak sia-sia kalian
jadi penganti kakek."
"Ya, tuanku Datu Museng. Kami ini adalah suruhan kakek Adearangang,
melaksanakan perintah dan amanatnya. Pulang-maklumlah, Datu" jawab sang
nakhoda.
"Itulah watak manusia yang mengerti kewajiban dan mengetahui tanggungjawab.
Aku sangat bersyukur bersama nakhoda dan awak bahtera sepeti kalian. Hanya
pintaku padamu, biarkanlah aku bertekun bersunyi diri. jangan aku diusik lagi" pintu
Datu Museng.
Demikianlah sejak itu, sejak pulau Sumbawa dibelakangi dan pulau Lombok dan Bali
tepat di haluan bahtera, Datu Museng tetap tinggal di geladak di waktu malam
untuk bersemedi. Ia baru turun ke ruang bawah untuuk beristirahat di kala fajar
akan menyingsing, hingga petang berebut senja. Makan dan minumnya tak pernah
banyak dalam usaha mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Maha Pencipta.
Dan dengan demikian, I Lologading terus meluncur bagaikan burung garuda yang
menyambar. Memutih buih di haluan, membelah ombak menggulung, laksana tiada

yang kuasa menahan lajunya. Empat puluh hari empat puluh malam dalam keadaan
demikian, maka sampailah bahtera itu dengan selamat di pelabuhan Jedda.
Datu Museng gembira tak terkira. Ia turun ke darat mendapatkan syahbandar. Diri
diperkenalkan, maksud hati diceritakan, cita-cita disampaikan. Syahbandar nan arif
tak berkebaratan. Datu Museng boleh mengunjungi tanah suci Mekka dan Medina
untuk berguru menuntut ilmu.
Setelah cukup lama menuntut ilmu seperti yang dipesankan kakeknya, yaitu
sesudah "kembang merah Medina" dapat dipetiknya, Datu Museng kembali ke
negerinya Jiwanya yang lemah, kinikuat laksana baja. Raganya yang kekar telah
berisi ilmu yang tak ternilai bagi manusia biasa. Pendek kata, ia kini adalah sosok
manusia yang kebal lahir dan bathin.
Beberapa hari setelah Datu Museng tiba dari tanah suci, terbetik berita bahwa
Maggauka di Sumbawa akan mengadakan gelanggang permainan raga. Berita ini
disambut gembira oleh penduduk, terutama bagi kaum muda dan gadis-gadis.
Betapa tidak, gelanggang semacam itu selalu menjadi pertemuan besar-besaran
antara kedua jenis manusia. Ada juga yang menamakannya pertemuan jodoh tidak
resmi. Semua gadis bangsawan yang molek dileluasakan datang untuk menonton.
Tidak heran, jika para memuda dan anak bangsawan sekeliling pulau Sumbawa,
berduyun-duyun ke tempat gelanggang. Sebagian hanya menonton sepakraga,
sambil memandang sepuas-puasnya dara-dara rupawan di atas jendela istana. Tapi,
sebagian besar datang untuk ambil bagian dalam gelanggang sepak raga. Siapa
tahu, mereka akan mendapat simpati dari salah seorang gadis molek di jendela.
Dewasa itu, permainan sepakraga (bola terbuat dari rotan) merupakan permainan
yag harus dikehtahui oleh setiap pemuda. Baik ia orang biasa, terlebih lagi
keturunan bangsawan. Seorang remaja, betapapun sempurna hidupnya, baru akan
merasa bahagia jika dapat bersepakraga, apalagi jika termasuk ahli. Ini karena telah
menjadi traisi dalam setiap puncak keramaian selalu diadakan gelanggang
permainan raga, di mana gadis-gadis terpingit berkesempatan bebas menonton dan
melontar kerling ke pemuda penuju hatinya. Tak ayal, gelanggang semacam ini,
menjadi tempat pemuda bersaing keras.
Ketua gelanggang raga, yang diadakan Maggauka kali ini, ialah Mangngalasa, putra
mahkota Sultan Lombok dan tunangan semasa kecil putri Maipa Deapati. Ia datang
ke Sumbawa, khusus menghadiri gelanggang itu, karena ia terkenal pula ahli
bersepak raga. Ia yang diberi tugas oleh bakal mertuanya untuk memilih pemuda
dan kawan sejawatnya bermain raga dalam pekarangan istana.
Hari yang dinantikan pun tiba. Kakak Adearangang mengajak cucunya. "Datu mari
ke gelanggang raga yang kabarnya dipimpin I Mangngalasa. Berpakaianlah cucuku,
kita ke sana menyaksikan keahlian anak-anak muda Sumbawa ini, istimewa
pangeran Mangngalasa yang kabarnya pemain raga terakhli di daratan Lombok.
Akan kulihat nanti, apakah ia dapat menyaingi keahlianmu dalam bersepak raga
dan merebut hati setiap dara yang menyaksikan gelanggang."

Mendengar ajakan kakeknya, Datu Museng tersenyum. Ia memang sangat ingin


menyaksikan keramaian itu. Keinginannya seperti tak tertahan lagi. Rasanya ia
ingin secepatnya tiba di tempat keramaian itu. Ia yakin, inilah kesempatan yang tak
boleh diabaikan, jika hendak berjumpa dengan jantung hatinya, meski hanya mata
dengan mata belaka.
Rindunya yang lama tak terobati, kian hari kian parah, membuat Datu Museng
serasa ingin terbang ke tempat itu. Bukankah jika menginjak pekarangan istana, ia
sudah dekat dengan kekasihnya yang hampir-hampir membuatnya gila. Dan pasti
Maipa Deapati turut menonton permainan itu, pikirnya.
Hati Datu Museng memekar, memikirkan hal ini. Ia segera berpakaian agar lekas
berangkat, dan cepat pula tiba di pekarangan istana.
Seusai berpakaian, ia mendekati kakeknya. "Kek, bila aku masuk gelanggang dan
anak-anak muda melontarkan raga padaku,aku akan pura-pura menyapknya salah,
sampai dua-tiga kali. Andaikata mereka menyoraki dan menertawakan karena
ketololan yang kusengaja itu, kuharap kakek jangan perduli. Jangan membuat
kakek marah, supaya segala rencanaku berjalan baik," kata Datu Museng.
"Baiklah, cucuku" janji kakeknya. Keduanya pun berangkat. Orang tua itu
menyandang pedang lidah buaya. Pedang itulah yang membuatnya tersohor dan
sangat disegani kawan dan lawan sejak di masa mudanya.
Setiba keduanya di pintu gerbang istana, mereka pun berhenti. Rupanya,
gelanggang sudah dibuka. Keduanya menonton orang yang asyik bermain raga, dari
luar pekarangan istana, layaknya seperti tempayan yang tidak ditimpa air saluran.
Tak dipanggil, tidak ditegur dan tiada ajakan.
Pangeran Mangngalasa yang melihat kehadiran Datu Museng di luar, justru
mempersibuk dirinya dengan mempermainkan raga seenak dan sesuai keahliannya.
Penonton kia bersorak, dan terdengar jerit manja gadis-gadis rupawan makin riuh.
Ia sengaja berbuat demikian untuk memberi kesan bahwa kehadiran Datu Museng,
tidak diketahuinya.
BDua hal yang menyebabkan I Mangngalasa bertindak demikian. Pertama, ia tahu
Datu Museng pemuda tampan yang keahliannya bermain raga, kurang
tandingannya. Kedua, ia tahu, pemuda itu cinta kepada tunangannya, Maipa
Deapati. Demikian pula sebaliknya, Maipa pun menaruh hati kepada Datu Museng.
Mangngalasa maklum, kedatangan Datu Museng untuk memenangkan kedua hal
tersebut. Dan jika diberi kesempatan, akan mengahancurkan reputasinya sebagai
ahli raga di daratan Lombok bukan saja, tapi juga bakal merampas tunangannya di
depan matanya sendiri dan disaksikan oleh khalayak yang kini sedang mengeluelukannya.

Datu Museng memperbaiki duduk. Lalu ia menukas, Tuangku Gelarang dan


pembesar-pembesar yang arif. Hamba memohon dimaafkan karena tak dapat
berkunjung ke istana yang tak layak bagi manusia macam hamba ini. Apalagi untuk
menaiki tangga berjenjang empatpuluh itu. Hamba takut durhaka sebab turunan
hamba belum pernah menginjaknya. Hamba hanya manusia kecil yang hina-dina.
Samaikanlah kepada tuanku Maggauka bahwa tak mungkin menginjak istananya,
takut durhaka karena melanggar kebiasaan adat. Bukankah hamba hanya manusia
yang berdarah campuran, tak tulen seperti tuanku Maggauka?
Tapi bukan itu maksud Maggauka, anakku. Bagi beliau tak ada perbedaanmu
dengan anak muda bangsawan lannya. Jangan anakku berkecil hati disebabkan
Maipa sudah dijodohkan dengan orang lain. Jangan, anakku! Pikirlah baik-baik.
Timbanglah masak-masak. Karena Maggauka ingin agar kedua belah fihak tidak
kecewa dan beliau tidak hilang muka !
Ah, hamba masih segan mengunjungi istana, tuanku Gelarang! Hati hamba
melarang!
Jangan diperuntukan kata hati itu, anakku desak gelarang.
Baiklah, hamba pikir-pikir dulu. Pulanglah tuanku dulu. Sampaikan pada
Maggauka bahwa hamba masih bimbang.
Jika demikian katamu, baiklah. Tapi harap anakku jangan bimbang.
Tetapkanlah hati mengambil keputusan.
Utusan pun meminta diri. Mereka kembali ke istana, menyampaikan hasil
kunjungannya.
Mendengar hasil kunjungan itu, Maggauka kecewa. Hatinya panas
diperlakukan demikian oleh salah seorang rakyatnya. Namun beliau cukup
bijaksana. Dalam soal seperti ini, beliau berpendapat tak ada manfaat memilih jalan
kekerasan. Maka, diperintahkannya sekali lagi, utusan kembali ke rumah Datu
Museng.
Gelarang, pulang kembali ke rumah Datu Museng ! S ampaikan salamku
untuk kedua kalinya. Katakan aku bersama Permaisuri pasti datang sendiri,
andaikata ada yang menunggui adiknya Maipa Deapati. Sampaikan lgi, kami
mengharapkan kedatangannya. Bawa usungan ke sana. Jika ia tak dapat berjalan
kaki, usung ia kemari. Jangan lupa sampaikan bahwa ia sudah kami anggap sebagai
anak sendiri, bersaudara dengan Maipa.
***
Karena lama menunggu, para pengiring mulai kesal dianak tangga. Dan
setelah yang dipertuan mereka tak muncul-muncul juga, mereka mulai curiga.
Jangan-jangan I Tuan Jurubahasa mendapat kesulitan. Siapa tau diatas rumah masih
ada Joa ynag mengawal puteri Maipa Deapati, dan.
Ah, kepala pengawal tak tahan menerka-nerka lebih lama. Bersama lima
orang prajurit, ia bergegas naik kerumah dan lansung ke ruang tengah. Alangkah
terkejutnya mereka, ketika menyaksikan tuannya tiarap di atas Permadani, dihimpit
tubuh sang puteri.

Buru-buru diperiksanya dua orang yang tergeletak di lantai itu. Ternyata duaduanya sudah meninggal. Tanpa sadar, kepala pengawal berteriak minta tolong,
dan seluruh pengawal dan pemikul usungan menghambur keatas rumah dengan
keris terhunus. Fikir mereka, tentu musuh telah mencelakai yang dipertuan dan
pengawal yang naik belakangan.
Mereka berdesak-desakan hendak dahulu-mendahului. Ketika tiba di ruang
tengah, mereka mnyaksikan pemandangan yang mengerikan dan tak masuk akal.
Segenap ruangan segera digeledah, tapi tak seorangpun musuh yang mereka
jumpai.
Mereka kemudian kembali kepada kedua mayat itu dan samamematung
memikirkan kejadian yang jauh dari sangka dan kira-kiranya. Tak seorangpun dari
mereka yang mengerti apa yang sesugguhnya terjadi.
Akhirnya, salah seorang dari mereka akhirnya memberi perintah supaya
mayat I Tuan Jurubahasa diangkat kebawah, dinaikkan keusungan dan diantar
kembali menghadap I Tuan Tumalompoa.
Demikianlah itu terjadi, usungan yang sedianya membawa Puteri Maipa
Deapati, kini dibawa kembali dengan mengangkut mayat Jurubahasa di atas
usungan indah-permai itu?
Matanya membelalak, mulutnya menganga. Ia sangat heran, tapi tak kuasa
mengeluarkan sepatah kata pun. Hatinya hancur total, semangatnya terpukul
hebat. Tak disangkanya korban yang demikian banyak jatuh, hanya berakhir sia-sia
dan demikian menyedihkan.
Sejak saat itu, Tumalopoa terus diamuk gundah-gulana.hatinya risau
berkepanjangan dan selalu murung termenung. Ia rasanya bias rela mengerti
tentang malapetaka itu. Mengapa kekuasaannya yang demikian besar dan selama
ini mencapai tujuannya , kini menderita kegagalan secara amat hina.
Dan ketika berhari-hari, bahkan berminggu-minggu ia terus didera masygul
dan rasa bersalah itu, ia akhirnya tiba pada satu kesimpulan. Datu Museng dan
Maipa Deapati, adalah dua anak manusia yang amat istimewa, taka da taranya
diseantero jagat. Mereka telah dirajut oleh paduan jiwa yang satu dan hakiki yang
tak mungkin dipisah.
Dan kisah cinta-kasih yang suci dan agung ini telah dilukis sejarah
---oooooo---

Anda mungkin juga menyukai