Anda di halaman 1dari 8

Shinta Nurika

XII IPA 4 / 32

Ketegasan Maharani Shima di Kalingga

Kerajaan Kalingga berdiri sejak sekitar tahun 594 M yang lalu oleh raja
keturunan dinasti Syailendra. Hingga pada tahun 648 M raja Kartikeyasinga naik
tahta dan wafat pada tahun 674 M. Ia meninggalkan rakyat dan istri bersama 2 orang
anaknya, Narayana dan Parwati. Tiga bulan berlalu dan Kalingga terus meratap.
hingga Shima, istri raja mengambil kendali kerajaan untuk sementara karena
vakumnya tahta kerajaan saat itu. Sebagai wanita yang cerdik, dia fokus pada
kesejahteraan rakyat dan pertahanan kerajaan. Dia bisa mendengar lolongan serigala
yang membuat mereka melangkah menuju tahta.
Pada suatu malam di aula istana yang penuh dengan para menteri kerajaan.
Seorang menteri kerajaan maju mendekati kursi tahta.
"Tahta kosong mengingatkanku pada seorang janda. aku akan mengambil
tahta dan mengembalikannya ke kejayaan!" ucap Marthandi dengan menunjuk kursi
tahta.
"Hidup Marthandi! Hidup Marthandi!" sorak yang mengiringi ucapan
pembelot tersebut meriuhkan aula kerajaan.
Namun, di antara para pembelot tidak banyak mentri yang masih setia,
Marazak, yang dengan beraninya melangkah ke depan dan dengan tegas menolak
pemberontakan tersebut.
"Kalian semua bersumpah untuk setia pada tahta ini. pemberontakan ketika
kerajaan berduka bertentangan dengan prinsip seorang ksatria, Marthandi!" ucap
Marazak.
"Menjadi pemimpin adalah prinsip utama menjadi ksatria, menteri," sahut
Marthandi.
Ruangan menjadi panas ketika terdengar derap langkah kaki tegas Shima yang
menggendong bayinya menuju aula dan menjadi pusat perhatian para menteri. Shima
dengan aura tajam memandang semua menteri. Di hadapan semua orang di aula
tersebut, Shima memperingatkan " Semua orang yang mendukung keluarga kerajaan
maju kedepan," ucapnya dengan tegas.
"Siapa yang akan mendukung seorang wanita, Shima?" ejek salah satu
pengikut Marthandi.
Hanya tiga menteri yang masih setia pun maju mengikuti perintah Shima
tanpa menghiraukan ejekan dari para pembelot. Setelah itu, shima berteriak
memanggil Prabhu, ksatria kesayangan raja beserta pasukannya untuk datang ke aula.
"Mereka yang telah mengotori Kalingga dengan pemberontakan. Mandikan
dengan darah mereka Prabhu!" perintah Shima.
Tanpa pikir panjang, Prabhu segera mengibaskan pedang tajam ke leher para
pemberontak. Semula para prajurit kerajaan yang telah siaga di aula ingin
memberontak bersama Marthandi, menjadi mengurungkan niatnya dan berbalik
membela Shima dengan menumpas para pembelot kerajaan. Dengan cepat, para
pembelot ditumpas dan aula penuh dengan darah. Para prajurit menunjukkan
kesetiaannya pada Shima.
"Kau telah menyuap orang-orangku dasar kau janda!" berontak Marthandi
satu-satunya pembelot yang masih hidup di aula melangkah maju dengan
menodongkan pedang ke arah Shima. Shima dengan cekatan mengeluarkan pisau
belati dan menepis pedang Marthandi.
"Bukan menyuap Marthandi. ini namanya kesetiaan!" ucap Shima.
Mendengar ucapan shima dengan mata tajam nan mengancam membuatnya
lengah membiarkan pisau belati Shima menggorok lehernya. Kini semua pembelot
telah ditumpas. Melihat keberanian Shima, para menteri mengagumi wanita itu.
Shima kembali duduk di kursi singgasana raja sambil menggendong bayinya yang
menangis. Para menteri mendekat ke arah Shima seraya berkata " Ratu Shima, kau
adalah negarawan dan prajurit. Kami beruntung bisa mendukungmu. Silakan menaiki
tahta dan memerintah Kalingga"
"Tidak, menteri. Ini bukan tempatku," balas shima.
"Lalu, tempat siapa ibu ratu?"
"Orang yang lebih berani, bijaksana dan penuh kasih sayang akan dinobatkan
sebagai Raja kelak. Kini kedua anak-anakku masih kecil. Dan aku akan mengambil
alih hingga diantaranya memiliki sifat seorang raja. Ini keputusanku, keputusanku
adalah hukum disini!" jawab ratu dengan tegas.
Menteri yang tersisa menunjukkan kesetiaannya dengan menerima perintah
ratu. Beberapa hari kemudian Shima diangkat menjadi ratu Kalingga dengan gelar Sri
Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara. Penobatan ratu Shima disambut
dengan antusias oleh rakyat kerajaan Kalingga. Rakyat Kalingga amat mencintai ratu
yang adil nan tegas itu. Semenjak memerintah, segala peraturan dirombak ulang
sehingga tidak akan ada ketidakadilan yang terjadi di kalangan rakyatnya. Semua
pajak yang dibebankan pada rakyat kasta bawah akan dihapus menjadi pajak bagi
semua kasta sesuai dengan penghasilan rakyatnya. Sanksi-sanksi ia buat bagi
rakyatnya yang melanggar peraturan. Juga sebagai penganut Hindhu syiwa, Maharani
Shima selalu membuat perayaan besar terkait keagamaan dan mengikuti pemujaan di
kuil bersama rakyatnya seperti umat pada umumnya.
Hari berganti bulan, dan bulan berganti tahun, kerajaan Kalingga berkembang
dibawah pemerintahan Maharani Shima. Hingga tak terasa pula pangeran Narayana
tumbuh menjadi seorang remaja yang gagah perkasa dan menjadi anak kesayangan
ratu. Dibesarkan dengan kasih sayang dan nilai-nilai luhur dari ibunya, membuat
rakyat yakin bahwa ia pantas menduduki tahta selanjutnya. Ia juga telah dikenal
memiliki bela diri dan jiwa bertempur yang tinggi. Pada umurnya ke 18, Maharani
mengutus pangeran Narayana ke sebuah medan perang di wilayah perbatasan, dimana
rakyatnya ada ditahan oleh para pemberontak. Shima berpesan bahwa ia
menginginkan rakyatnya selamat. Sang pangeran pun menerima perintah ibunya dan
pergi bersiap dikamarnya. Para menteri yang mendengar keputusan tersebut
mengajukan ketidaksetujuannya,
“Maharani, bagaimana bisa kau kirimkan pangeran yang merupakan seorang
putra tunggal di kerajaan ini? Apa yang akan terjadi jika sesuatu pada pangeran?
Tidakkah Maharani telah memikirkan ini?”
“Tidak pak menteri, ini sudah keputusanku. Dia akan menjadi pewaris tahta
jika aku sudah memutuskan bahwa ia layak atau tidak. Sang putri akan mengambil
ujian yang sama dengan pangeran apabila terjadi sesuatu pada pangeran nantinya.
Rakyat harus tahu calon raja mereka seperti apa. Dengan begitu, Narayana anakku
akan mendapatkan kepercayaan rakyatnya,” jawab Maharani Shima dengan lugas.
“Semoga dewa memberkati pangeran,” balas menteri.
Keesokan paginya, Maharani mengunjungi kamar pangeran Narayana. Ia
mendekati pangeran yang sedang duduk di tempat tidurnya seraya mengusap
kepalanya.
“Apakah kau marah pada ibu, nak?” tanya shima.
“Bagaimana bisa ibu? Keputusan ibu pasti memiliki kebaikan bagi semua
orang. Dan aku sebagai anak serta pangeran di kerajaan ini sudah tentunya
bertanggungjawab akan rakyat kerajaan Kalingga. Ini hanya salah satu jalan aku
melayani kerajaanku sebagai seorang ksatria,” jawab pangeran Narayana.
“Aku tahu itu, nak. Kau akan kembali dengan rakyat-rakyat mu. Semoga
dewa memberkatimu,” ucap Shima
“Terimakasih ibu”
Maharani Shima meninggalkan ruangan dengan penuh rasa bangga kepada
anaknya. Ia hanya berharap keselamatan anak dan rakyatnya untuk saat ini.
Menjelang keberangkatan pangeran, para prajurit telah bersiap di gerbang kerajaan
dengan para rakyat yang ikut hadir. Para rakyat juga ikut mendoakan keselamatan
pangeran.
Beberapa hari telah berlalu sejak keberangkatan pangeran Narayana ke medan
perang. Ratu shima gelisah tak kunjung mendengar kabar dari putranya itu. Hingga
seorang utusan datang menemui Maharani Shima di aula kerajaan sambil membawa
sebuah pesan.
Ibu, salam hormat kepadamu. Terimakasih atas semua doa-doa yang kau
berikan. Putramu berhasil memenangkan pertempuran di daerah perbatasan. Dan
semua rakyat yang telah ditahan berhasil diselamatkan. Putramu akan tiba dalam
beberapa hari lagi. Sebelumnya terimakasih karena telah memberiku kesempatan
untuk melayani kerajaan ini.
Pangeran Narayana telah memperlihatkan kemampuannya. Sebagaimana
Narayana menyelamatkan dan melindungi rakyatnya, dengan melihat ini Maharani
shima memutuskan Narayana sebagai pewaris tahta, diangkat menjadi putra mahkota
dan akan dinobatkan sebagai raja pada hari baik. Para rakyat merasa gembira dan
menunggu hari yang berbahagia itu.
Setelah beberapa hari, kepulangan pangeran Narayana disambut dengan
pemujaan dan penobatan putra mahkota. Maharani juga membagi-bagikan makanan
kepada rakyatnya. Semua rakyat antusias terhadap penobatan pangeran dan
mendoakan kemakmuran kerajaan Kalingga.
Satu tahun berlalu semenjak penobatan putra mahkota Narayana. Rakyat
kerajaan Kalingga terlihat damai dan sejahtera. Hanya beberapa kasus pencurian kecil
yang muncul selama satu tahun terakhir. Dan itu pun terselesaikan ketika Maharani
memerintahkan untuk memotong tangan seorang pencuri, yang dengan demikian
tidak ada hal tentang pencurian kembali. Putra mahkota pun makin giat berlatih dan
belajar mengenai pemerintahan bersama para menterinya.
Kepemimpinan Maharani Shima ini terdengar hingga ke kerajaan asing di
timur tengah yang dipimpin raja bernama Ta-Shih. Karena rasa penasaran dengan
keadilan dan kejujuran rakyat Kalingga, ia pun mengutus seorang prajurit untuk
menyamar sebagai rakyat Kalingga dan untuk menjatuhkan sekantung emas di dekat
alun-alun kerajaan. Hingga hampir 3 bulan, raja asing itu tak mendengar bahwa
seseorang menyentuh kantung emasnya. Ia akan mengurungkan niatnya untuk
menguji rakyat Kalingga dengan mengambil kembali kantung emasnya. Namun
sebelum utusannya sampai ke alun-alun kota, keberuntungan tidak menghendaki
putra mahkota Narayana.
Sebelumnya di aula kerajaan Kalingga ….
"Ibu, anda memanggilku?" tanya Narayana.
"Ya, anakku. Aku ingin kau untuk melihat keadaan rakyat," perintah ibunda
ratu.
"Baiklah, ibu," jawab pangeran dengan patuh.
"Maharani, hari penobatan sudah mendekat. dan saat ini tak baik bagi putra
mahkota untuk mengelilingi beberapa tempat," sahut menteri.
"Dan karena itu, mengapa dewa di kuil dibawa keluar untuk jalan-jalan
menteri, agar Tuhan bisa melihat suka duka dari rakyat," jawab Maharani Shima
dengan halus.
Para menteri pun tak bisa menolak dan menyetujui ucapan ratu
"Pangeran, ketika seorang raja keluar dari istananya maka dia akan
mengetahui keluhan, suka duka dari rakyatnya," lanjut ratu kepada pangeran.
"Baik bu, aku akan selalu mengingatnya" jawab Narayana.
"Bawalah seseorang bersamamu. Aku akan mendengar cerita perjalananmu
nanti, " tambah ratu.
Pangeran meminta restu ibunya sebelum pergi, dan mengajak 2-3 orang
pengawal kerajaan di sampingnya. Di luar istana, pangeran terlihat senang dapat
melihat rakyatnya. Ia pun turut membantu rakyatnya yang sedang membangun
rumah. Ia juga mengunjungi tempat-tempat keagamaan. Sampai langit menunjukkan
warna jingga, pangeran bergegas kembali ke istana. Namun, secara tidak sengaja ia
memilih jalur alun-alun kerajaan. Sesampainya di persimpangan dekat alun-alun, kaki
pangeran secara tidak sengaja pula menyentuh kantung yang tampaknya terhalang
oleh debu pasir. Celakanya, utusan raja asing melihat hal tersebut dan segera
melaporkan kepada rajanya. Raja asing dan penasaran ini pun segera bersiap menuju
kerajaan Kalingga dan melaporkan perbuatan anaknya.
Sesampainya di Kerajaan Kalingga, pangeran menceritakan perjalanannya
kepada Maharani. Tetapi ia melewatkan cerita tentang kantung emas yang tidak
sengaja ia sentuh. Pangeran pun kembali ke kamarnya untuk beristirahat.
Keesokan paginya, di aula kerajaan, para menteri dan tentunya ratu kedapatan
seorang tamu raja asing. Mulanya raja asing menyapa dengan baik dan hormat pada
ratu. Hingga ia menuju topik mengenai kejujuran rakyat Kalingga yang ratu
bicarakan, raja asing bersikap acuh.
“Apa yang membuatmu tak menghiraukan tentang kejujuran rakyatku?” tanya
Maharani.
“Mana bisa kupercaya, jika anggota dari kerajaannya saja bersikap tidak
jujur,” jawab raja asing dengan wajah yang menganggap remeh ratu.
“Apa maksudmu?” tanya ratu.
“Sekitar tiga bulan yang lalu, pasukanku kehilangan kantung emasnya ketika
ia mencari perbekalan di wilayah kerajaanmu. Awalnya aku percaya bahwa kantung
emas itu akan aman mengingat kepemimpinanmu. Namun kemarin, salah satu
pasukanku melihat putra kesayanganmu menginjak kantung emas itu. Bagaimana
Maharani akan menanggapi hal itu?” penjelasan panjang lebar dari raja asing.
“Aku akan menanyakan ini kepada anakku sendiri. Prabhu, panggil pangeran
Narayana kemari!” perintah ratu.
“Baik ratu”
Sesampainya pangeran Narayana di aula istana, semua mata tertuju kepadanya
dengan suram. Lantas pangeran bertanya, “Ada apa ibu memanggilku?”
“Ada seorang raja asing disini, tunjukkan dulu rasa hormatmu,” tegas ratu.
“Salam hormat,” ucap pangeran.
“Sekarang, jawab pertanyaan ibu dengan jujur. Apakah kamu melihat kantung
emas yang terjatuh di dekat alun-alun kota kemarin?” tanya Maharani dengan raut
wajah serius.
“Ada apa ibu? Mengapa ibu menanyakan hal itu? Ibu membuatku takut,”
jawab Narayana.
“Jawab saja!” bentak Maharani.
“Benar, aku melihatnya, namun aku tidak mengambilnya. Aku hanya tidak
sengaja menginjaknya. Mohon maafkan aku, bu!!” jelas Narayana.
Mendengar jawaban Narayana, seketika mata Maharani membelalak terkejut
akan perbuatan anaknya.
“Lihat! Kau dengar sendiri ucapan anakmu! Kini aku ingin keadilan,” ketus
raja asing.
Mendengar ucapan raja asing tersebut, Maharani menyingkirkan perannya
sebagai ibu dan berganti alih menjadi pemimpin kerajaan dengan memberikan
hukuman kepada pangeran.
“Sesuai hukum yang aku buat, pangeran akan dihukum mati,” perintahnya
dengan tegas.
“Tunggu dulu Maharani, mohon ampuni kesalahan yang tidak sengaja
pangeran lakukan. Pangeran merupakan pewaris tahta selanjutnya. Bagaimana bisa
kau menghukum mati pangeran? Berikan keringanan hukuman bagi pangeran. Hamba
mohon Maharani,” ucap menteri.
“Kami mohon belas kasihmu Maharani,” ucap para menteri dengan
bersamaan.
“Baiklah, meskipun ketidasengajaan, kesalahan tetaplah kesalahan. Karena
yang menyentuh kantung itu merupakan kaki pangeran, aku akan memberikan
hukuman untuk memotong kaki pangeran,” tukasnya.
Pangeran yang sedari tadi memohon pengampunan menjadi lemas tak
berdaya. Ia tak pernah membayangkan hal ini terjadi padanya. Setelah kejadian di
aula tersebut, raja asing kembali ke negerinya. Dan hukuman pangeran dilaksanakan
beberapa hari kemudian.

Anda mungkin juga menyukai