Anda di halaman 1dari 247

Alternativisme

Emil Right Now

Untuk sahabatku, Dedi “Rimbo” Triadi

Aku lebih memilih ‘disana’ daripada ‘di sana’. Aku lebih memilih ‘kemana’ daripada ‘ke
mana’. Dan aku lebih memilih ‘tidak dimana-mana’ daripada ‘tidak ke mana-mana’.

1
“Pemerintah tak peduli lagi pada konsep Bhineka Tunggal Ika, pemerintah sudah benar-
benar candu bisnis antar agama.” – Pelesetupat, dalam salah satu orasinya di hadapan
presiden kedelapan

Prolog

M emang benar, Saudara-saudara. Jika saya terpilih menjadi presiden di negeri


ini, saya akan mewajibkan siswa-siswi di sekolah untuk membaca karya-
karya sastra. Dan oleh karena itu, putuskanlah pilihan Anda dengan tepat
supaya Anda semua tidak termasuk orang-orang yang merugi.” Begitulah pidato Sastrawan
Musim beberapa tahun lalu di media massa. Siapa yang tidak lihat akibatnya? Orang-orang
yang dulu sekedar berpuisi di Facebook, Instagram, Tumblr, semuanya menerbitkan
bukunya masing-masing. Nafsu membaca memang menjadi gila luar biasa, memang, setelah
Sastrawan Musim terpilih.

Bahkan, orang-orang kini berebut untuk membeli sebuah judul buku karangan
Pramoedya Ananta Toer yang dulu sempat dilarang, kemudian dibakar-dimusnahkan, lalu
ketika diterbitkan lagi oleh Lentera Dipantara, yang sebelumnya tidak juga laku-laku karena
pola pikir masyarakat yang sedang sakit. Kini mereka berebut! Mereka berebut! Berebut!

Dan kejadian ini pun menjadi buah bibir di masyarakat. Karena selain membaca,
orang-orang juga sibuk mengadaptasi buku-buku favorit mereka ke dalam bentuk film-film
indie, pendek maupun panjang. Orang-orang tidak lagi mementingkan surat-surat ekranisasi
atau izin alih wahana, karena tuntutan dari sang presiden memang begitu, presiden berkata
kalau hal itu wajar saja, mengingat epos Ramayana dan Mahabharata juga diadaptasi atau
bahkan disadur oleh berbagai sastrawan. Semuanya bebas berekspresi, sangat bebas. Dan
inilah, barangkali, yang pernah diramalkan oleh orang-orang anti-liberal – meski pun
beberapa di antara mereka tidak terlalu paham dengan Liberalisme seutuhnya, mereka ikut-
ikut saja karena aktivis ceweknya cakep-cakep.

Tapi. Setelah sebuah perusahaan game dari Jepang memproduksi MyFiance, sebuah
software pacar digital, yang dengan peralatan seadanya – ponsel, laptop, televisi – dapat
menjadikan pacar digital tersebut keluar ke dunia nyata, dan itu pun bisa didapatkan dengan
harga yang relatif murah, orang-orang tidak lagi mengejar-ngejar cewek atau cowok dunia

2
nyata. Mereka lebih suka ditemani pacar digital mereka yang lebih cantik dari selebritis-
selebritis Hollywood, lebih ganteng dari personel-personel boyband Korea, dan gampang
sekali mengedit penampilan maupun kepribadian pacar palsu tersebut.

Hingga, film-film Korea dan Hollywood pun akhirnya kalah saing, dikarenakan aktor
dan aktris bisa didapatkan dengan menggunakan software ini. Film-film indie pun akhirnya
menjadi pusaran, tapi karena begitu banyak, orang-orang tak lagi berminat menonton.
Mereka lebih berminat membaca buku sambil mendengarkan musik diselingi duduk di tepi
pantai saat matahari terbenam.)

[Tapi akhirnya musik kan kalah juga.]

(Ya. Betul. Digantikan oleh musik-musik yang dihasilkan oleh mesin. Hingga para
kekasih digital pun gampang menjadi penyanyi untuk menghibur tuannya.)

[Itulah perkembangan zaman.]

(Ya. Tapi tidak hanya sampai disitu. Dunia akan lebih gawat ketika internet
kehilangan masanya.)

[Maksudmu?]

(Ya. Usia internet memang benar-benar akan habis. Digantikan oleh para telepatik
yang mengajarkan ilmu-ilmu mereka di dalam acara kuliah umum, yang juga dihadiri oleh
anak-anak sekolah yang percaya bahwa kemampuan pikiran itu memang ada.)

{Itukah awal Akhir Zaman? Atau sekedar prolog yang ingin kau sampaikan di buku
ini?}

(Bukan. Benar dan salah! Cerita ini akan kita mulai dari beberapa tahun sebelumnya.
Tentang seorang biarawan muda, yang sedang membereskan kamar tidurnya pada pagi
buta. Ia membaca beberapa ayat di kitab suci dan berdoa dengan rosario di tangan kirinya.
Kemudian dia pergi ke dapur, menyalakan kompor dan membuat teh, meminumnya sambil
duduk menatap jauh di atas balkon biaranya.

Memandangi cakrawala, serta langit yang masih redup dan udara dingin yang
berembus di sekitar tengkuknya, lalu burung-burung terbang dengan pasangannya masing-

3
masing. Membuat ia teringat pada sebuah puisi yang pernah ditulis oleh kekasihnya
sebelum mereka berpisah. Tanpa sadar, dia menggumamkan puisi itu, “Beri aku kisah //
tentang cinta yang mendera // o kawan, jadilah Laylaku // karena aku majnun.”

Bukan puisi karangan gadis itu, tapi memang pernah ditulis di surat yang sampai
padanya. Puisi gubahan Nizami Ganjavi, seorang penyair Persia yang sekaligus seorang ahli
tasawuf. Pendeta itu kemudian mengumpat dalam hati, sebab bukannya memikirkan
masalah biara, ia malah melamunkan masalah asmara. Seperti tidak tulus kepada nasibnya
saat ini. Kemudian ia bergegas ke dapur sambil memikirkan sarapan apa yang enak.

4
1

“Merindukan seseorang..” kata kepala biara. “Siapa? Kekasihmu?”

Si pendeta muda. “Tidak, Tuan. Saya hanya sedang merindukan kampung halaman..”

“Tapi matamu terlihat membicarakan cinta. Dan kalau benar kekasihmu, kau tahu
apa yang harus kau lakukan?”

“Ya, Tuan.”

“Apa?”

“Pergi mengasingkan diri sambil berpuasa di tengah hutan..”

“Nah, kamu sudah tahu, kan? Berarti tak ada salahnya lagi kalau kamu mulai bersiap-
siap..”

“Untuk mengasingkan diri, Tuan?”

“Ya. Atau kalau kau mau, sebenarnya ada pilihan lain.”

“Yaitu?”

“Pergi memberitakan kasih Tuhan kepada orang-orang kafir.” Tanpa menunggu


jawaban, laki-laki itu langsung pergi meninggalkan si pendeta muda. Langkah sepatu
kulitnya berdecit dan membuat mulut beberapa pendeta lain menjadi ngilu.

Maka berangkatlah si pendeta muda. Dengan mengendarai sepeda motor, dia pergi
menuju kota Djakawang yang berdebu, panas dan hanya sedikit ditumbuhi oleh pohon. Dan
mencari siapa saja yang bisa diajak masuk ke agamanya. Tanpa tahu, ada sekelompok orang
yang tak suka dengan cara kerja seperti itu. Mereka adalah orang-orang yang sangat kolot,
pemberang dan agresif. Dan mereka segera tahu begitu si pendeta muda hadir di tengah
keramaian pasar di kota Djakawang.

5
M enelusuri kota Djakawang, dia langsung bertemu seseorang yang berdiri
diam di tengah jalan, “Lebih baik Anda segera pergi dari sini, Tuan Pendeta.”
Katanya. Dia, seorang pemuda berambut gondrong. Matanya tajam. Suara
yang keluar dari bibirnya seperti berasal dari galaksi lain. “Mereka tak akan membiarkan
Anda kali ini,”

Membiarkannya kali ini? Padahal si pendeta muda baru pertamakali menjalani


tugasnya sebagai misionaris. Lalu, apa yang orang-orang itu akan lakukan jika tidak
membiarkannya? “Mereka akan menggantungmu.” Kata laki-laki itu.

“Sa-sampai mati?” kata si pendeta muda gelagapan.

“Ya.” jawab si pemuda gondrong. “Mereka tidak bisa dibilang tega, karena itu sudah
jadi kebiasaan mereka.”

“Lalu? Mengapa biara di pinggir kota itu tidak mereka serang?” kata si pendeta muda
sambil menunjuk ke ufuk.

“Kalau soal itu, pemerintah sudah menetapkan peraturan supaya tidak mengganggu
aktivitas keagamaan. Tapi, kalau Anda ditemukan disini, sendiri, tidak ada orang yang akan
bersaksi atas kematian Anda. Dan mayat Anda pun, baru akan ditemukan tiga bulan
kemudian di lemari es.”

Si pendeta bergidik. Bulu kuduknya meremang. “Dari mana Anda bisa tahu?”

“Saya pun kalau disuruh mengaku ke polisi, tidak akan menjawab. Mereka bisa
menandai saya dan akhirnya melakukan hal yang sama seperti kepada misionaris.”

“Lalu? Mengapa Anda mau mengingatkan saya?”

“Saya seorang sufi. Dan tugas saya memanglah memelihara tiap-tiap kehidupan yang
diciptakan Tuhan.”

“Kalau begitu, terimakasih. Saya akan segera pergi dari sini.” Kata si pendeta sambil
memutar sepeda motornya. Dan sebelum menekan gas, ia hendak berkata bahwa
agamanya lebih baik daripada si sufi, tapi begitu menoleh, sufi tersebut telah menghilang
entah kemana.

6
Sihir hitam! Kata si pendeta, bulu kuduknya kembali meremang. Kemudian dia
segera pergi dari pasar, menuju stasiun kereta.

M asuk ke toilet stasiun, dia melepas pakaian pendetanya dan memasukkannya ke


dalam koper..)
7
[Koper dari Hongkong? Dia kan hanya membawa sepeda motor!]

(Tidak. Dia juga membawa beberapa pakaian, botol minum, selimut dan payung. Dan
tentunya itu semua ia masukkan ke dalam koper.)

[Baiklah.. Teruskan. Sebenarnya malas kalau seperti ini. Tidak dilengkapi di awal,
malah dikejutkan di akhir..]

(Masih mau dengar?)

[Iya. Teruskan.]

(Benar? Masih mau dengar?)

[Iyaa!! Cepat saja!!]

(.. Dia mengganti pakaiannya dengan pakaian kasual; kemeja putih lengan pendek,
celana jeans hitam, dan ikat pinggang kulit. Begitu keluar dari toilet, tidak ada lagi yang
menyadarinya bahwa ia seorang pendeta.)

[Biar kutebak.. Dia pasti akan pergi dengan kereta itu.]

(Ya.)

[Kemana? Oh, oh! Aku tahu. Ke kampung halamannya. Iya, kan? Untuk menghindari
sanksinya yang mengharuskan ia berpuasa di tengah hutan.]

(Iya. Kamu yang cerita, nih?)

[Ah, tidak. Ceritanya kurang menarik bagiku. Begitulah, sebenarnya.]

(Tapi ini titik tumpu dari cerita-cerita selanjutnya, lho!)

[Ada adegan seksnya, enggak?]

(Ada. Ada beberapa, tapi kurasa masih belum saatnya.)

[Pindah saja langsung!]

(Janganlah! Nanti malah enggak asyik.)

8
[Aku enggak peduli! Pindah saja langsung!!]

(Benar, nih? Enggak mau menikmati prosesnya dari awal?)

[Iya. Pindah saja langsung!]

(Baiklah.. Di kamar Alysa, beberapa tahun lalu, si calon pendeta tengah mengobrol
dengan perempuan itu. Mereka mengobrol, mengobrol, lalu berciuman. Ciuman yang
sangat panas sehingga membangkitkan libido kewanitaan maupun kejantanan masing-
masing. Mereka saling melepas pakaian. Lalu kembali bercumbu. Si calon pendeta
melakukannya sambil menepis kenyataan bahwa ia akan menjadi pendeta beberapa hari
lagi. Dan perempuan itu mendesah-desah seraya membayangkan bahwa laki-laki ini akan
membatalkan rencananya menjadi pendeta kemudian beralih menikahinya.

Mereka bercumbu dan bercumbu, sampai jatuh ke tempat tidur. Perempuan itu
terus mendesah sehingga si calon pendeta akan merubah rencananya, dan tidak jadi pergi
ke biara untuk peresmiannya. Mereka berkeringat. Saling menggebu-gebu, kesusu, terburu-
buru. Hingga si calon pendeta merasakan bau keringat dan berjanji takkan pernah
melupakan bau tubuh kekasihnya.

“Tobby!!” jerit si perempuan itu. Tobby, itulah nama si calon pendeta. Nama yang
selama ini tidak pernah disebut oleh pihak biara karena ia telah mengganti namanya demi
melupakan masa lalunya.

Dan saat ini, lima tahun semenjak laki-laki itu berubah menjadi pendeta di pinggir
kota Djakawang. Ia bertemu lagi dengan Alysa. Ia mengingat kembali bagaimana dulunya ia
menghirup aroma tubuh kekasihnya, memeluknya, mengusap pipinya dan menciumnya.
Kekasihnya, yang dulu selalu berkorban untuknya. Kekasihnya yang sangat mencintainya.
Dan kini amplop undangan itu malah tiba di rumah orangtuanya:

UNTUK AYAH DAN IBUNDA TOBBY SEKELUARGA

“Sebaiknya kamu tidak datang, Tobby.” Kata ayahnya, memperingatkan. Lama tak
bertemu membuat si pendeta muda melewatkan penuaan ayahnya. Rambut lelaki paruh
baya itu telah memutih semua. Meski tidak terlalu renta dan belum berpenyakitan, sorot

9
matanya sudah menampakkan kelelahan yang ia alami sejak lima puluh tahun ke belakang.
“Ini hanya akan menambah kesusahanmu di biara.”

“Saya harus datang, Ayah. Meski saat ini adalah saat yang tidak tepat, inilah satu-
satunya kesempatan saya melihatnya terakhir kali..”

“Tapi apa yang bisa kau lakukan? Kamu hanya bisa mengucapkan selamat, lalu pergi
dengan hati yang tersayat-sayat..”

Si pendeta muda mengerjap-erjapkan matanya, kemudian beralih membelakangi


ayahnya. Air matanya turun tanpa bisa ia kendalikan. Ia malu, ia tak mau ayahnya
melihatnya menangis. Jangan seperti anak-anak! Pernah ayahnya berkata seperti itu,
sewaktu ia masih SMP. Tapi ia malah melihat ayahnya menangis di beberapa pemakaman.

“Seandainya ibumu masih ada, ia pasti akan setuju padaku.” Kata ayahnya.

“Jika Ibu masih ada tentu ia akan menyuruhku datang dan memaafkannya!” Kata si
pendeta muda setengah membentak.

“Tidak, Tobby.” Bantah sang ayah. “Tapi terserahlah. Kuharap kamu tidak melakukan
hal bodoh.”

Tapi si pendeta muda malah melesat ke luar rumah, menghidupkan sepeda


motornya dan pergi ke rumah Alysa.

Menurut kitab di agama Kirr bab Iyamat halaman 20, 21;

10
.. Dan oleh sebab itu, akan datang seorang manusia yang berwujud iblis yang mendendam
kepada seluruh umat manusia pertama karena ditinggal mati keluarganya, yang kedua
karena dikecewakan kekasihnya, dan yang ketiga karena lari dari kehidupan biara.”

Kitab suci tersebut memang telah lama turun ke bumi. Telah dipelajari pula oleh
berbagai ahli baik dari ilmuwan maupun agamawan. Meski pun tidak banyak orang yang
mempercayai, dan malah ada yang menentang dan mengatakan bahwa ini adalah salah satu
ajaran sesat, tetap masih ada orang-orang yang mengimaninya. Salah satunya kepala biara,
yang telah lama menekuni kitab itu. Dan dia mengaku bahwa dia tidak pernah menemukan
kesalahan di dalamnya.

Sejak lama, kepala biara menyaksikan tanda-tanda itu di kedua bahu si pendeta
muda. Dan lari dari kehidupan biara.. Maka laki-laki itu merasa bahwa ia tinggal menunggu
saja datangnya tanda-tanda lain. Dan begitu ia membaca ayat lanjutan dari ayat tersebut;

“Dan akan datang pula Pahlawan Penuh Kasih Sayang yang selama ini telah
diajarkan di agama-agama samawi seperti kami. Pahlawan Penuh Kasih Sayang akan
membawa kedamaian di dunia selama tiga puluh tahun, dan tiga puluh tahun selanjutnya
adalah orang-orang yang tidak percaya.”

Tetapi, meski pun tidak pernah ada kesalahan, tidak juga dijelaskan secara detil
mengenai kekalahan mahluk jahat tersebut. Maka kepala biara pun hanya mempersiapkan
berbagai senjata yang selama ini sudah dikenalnya sesuai pengalaman; bawang putih, salib,
Al-Qur’an, cermin, jimat-jimat dan lain sebagainya. Dia berharap, meski masih dalam
ketakutan yang membuat bulunya meremang, bahwa iblis tersebut akan kalah walau hanya
berhadapan dengan dirinya.

Saat ini, ayah si pendeta muda memang masih hidup, tapi sudah terbaring di rumah
sakit. Dia hanya bisa berjalan dengan kursi roda. Dan si pendeta muda pun belum terlalu
jauh dari kehidupan biara, meski pun ia tidak selalu hadir karena harus merawat ayahnya.
Tapi sang kepala biara tetap saja bersiap-siap. Ia tak mau lengah meski hanya sedetik saja.
Karena sebenarnya ia juga telah melihat tanda-tanda itu sejak Tobby pertama kali menjadi
pendeta. Ia tak mau menyia-nyiakan tanda-tanda itu.

11
“Mengapa kau menerimanya, Tuan, sedangkan kau ragu dengan ketetapan hati
bocah itu?” kata asisten kepala biara.

“Ada sesuatu yang janggal, yang kulihat di mata anak itu..” jawabnya.

“Apa itu, Tuan?”

“Hanya Tuhan yang tahu persisnya.” Kata kepala biara sambil melukiskan tanda salib
di dadanya, menunggu asisten biara pergi, kemudian berkata dalam hati, Karena aku harus
mengawasi anak itu.

12
M alam hampir tiba, sementara seorang sufi, yang pernah memperingatkan si
pendeta muda. Menyelamatkannya. Mengobrol sedikit dengannya. Sedang
berjalan menyusuri bantaran sungai di mana orang-orang biasa memancing
ikan atau mencuci baju. Djakawang kali ini terlihat sedikit berbeda dari biasanya. Langit
senja terlihat lebih merah di ufuk Barat. Seolah, memang ada sesuatu misalnya meteor, dan
bukan matahari yang ditarik tenggelam.

Lelaki itu mengaku bernama Syams Tabriz. Meski kita semua tahu bahwa Syams
Tabriz adalah guru spiritual penyair Jalaludin Rumi yang meninggal di Turki. Ada kabar angin,
bahwa Syams mati di dalam sumur, lalu jasadnya menghilang secara misterius. Kabar lain
menyebutkan bahwa Syams sudah dikuburkan secara baik-baik dan makamnya ditetapkan
Unesko menjadi situs bersejarah di dunia. Kabar kali ini menyebutkan bahwa Syams baik-
baik saja, dan masih hidup layaknya nabi Isa Almasih..-

[Tunggu! Tunggu!]

(.. Apa?)

[Unesko atau Unesco? Atau UNESCO?)

(Aku tidak peduli. Ini kan gaya bertuturku.)

[Oh, tentu! Tentu! Tapi apa yang akan kau katakan jika orang-orang menganggapmu
salah kata?]

(Mau cari lawan??)

{Hey, hey!! Sudah selesai?? Bisa dilanjutkan?}

(Baiklah. Aku lanjutkan:

Syams Tabriz berjalan menyusuri sungai sambil menatap senja yang pernah digilai
anak-anak muda. Seperti dia, misalnya. Saat ia jatuh cinta kepada seekor hantu, eh bukan,
seorang sosok cantik yang suka duduk di atap sebelah jendela kamar kakak sepupunya di
Bukiteukoh, yang membuat gadis itu agak risih dengan tingkah laku Syams Tabriz. Ia
menuliskan puisi, atau tulisan pendek atau apalah namanya, yang diberinya judul Bening
Senja. Agak norak dan kampungan, memang, tapi ia menyukainya. Terutama ketika sepupu

13
perempuannya juga mengaku bahwa yang dilihatnya memanglah kenyataan. Dan sosok itu
memanglah hantu, yang dipertuan oleh temannya yang bernama Jechungid.

“Mereka mirip, lho..” komentar sepupunya.

Apakah dia orang Korea? Kata Syams Tabriz saat itu. Tidak, dia malah ada hubungan
keluarga dengan kita. Benarkah? Padahal kuharap aku punya keluarga yang berdarah Korea
juga. Mulai kamu suka Korea, ya..? Eeh, tidak juga. Aku hanya ingin mengenal dunia dengan
lebih baik.

Dan pada suatu malam, saat di kesekian kalinya ia kembali ke Bukiteukoh setelah
melakukan pengembaraannya selama setahun penuh, ia mencari sepupunya itu. Kita sebut
saja sepupunya sebagai Seniman Musiman. Karena ia memang ingin dipanggil dengan alias
saja. Kebetulan pekerjaan sehari-hari gadis itu memang mengerjakan karya seni di musim-
musim tertentu. “Dimana Seniman Musiman?” katanya kepada orangtua dari seorang
seniman musiman.

“Oohh.. Dia di rumah Jechungid,” kata perempuan tua itu.

“Dimana rumah Jechungid?”

“Ikuti saja jalan ke belakang masjid, nanti kalau ragu tanya saja ke orang.”

“Oke. Terimakasih.” Katanya. Oke. Terimakasih. Dan suatu hari nanti ada
kemungkinan dia takkan seramah itu. Dia akan menjadi lelaki pendiam setelah melewati
pengembaraan-pengembaraan yang sedemikian keras. Seperti mendaki gunung, melewati
lembah lalu bertemu dengan seorang ninja yang suka menyanyikan lagu-lagu film di kartun.
Ah, tidak. Dia tidak akan sejauh itu. Paling-paling dia hanya akan sampai ke Baitulmaqdis,
memerangi Yahudi, dan mengusir Dajjal dari Kakbah.

[Oke! Oke!! Kamu mulai ngawur! Dajjal tidak akan pernah bisa sampai ke Kakbah!!
Kakbah itu tempat perlindungan orang-orang, justru, dari Dajjal..]

(Ya. Tapi Syams Tabriz memang takkan seramah yang dulu. Karena dia telah ditegur
oleh seorang kakek tua, yang mengatakan bahwa dunia ini penuh dengan peristiwa
menyedihkan. Lebih baik merenung daripada menyapa orang-orang.)

14
[Ya, ya. Tak perlu dijelaskan. Ceritakan sajalah.]

(Jadi, Syams Tabriz berjalan menyusuri jalan di belakang masjid. Bertanya ke


beberapa orang di sana, dimana rumah Jechungid. Lalu orang-orang menunjuk ke sebuah
rumah dengan pintu berwarna merah jambu. Syams berjalan kesana, dan mengetuk pintu
itu. “Assalamualaika, ya Jechungid!!” katanya beberapa kali.

Jechungid membuka pintu, lalu sepasang mata itu bertemu. Mereka bertemu.
Jechungid, dengan sepasang mata yang sangat mirip dengan hantu pujaan Syams, dan suara
paling lembut di seluruh dunia, berkata “Ya?”

“Seniman Musiman ada?”

“Ada. Masuklah.”

Syams masuk, dan Seniman Musiman langsung berceletuk, “Pasti tadi nyari aku, ya?”

“Enggak..” kata Syams berseloroh, masih akrab, sebelum dia menjadi pendiam
beberapa rentang waktu setelah perjalanan-perjalanannya di kemudian hari.

Dan pada saat berjalan menyusuri bantaran sungai di salah satu tempat di
Djakawang, Syams mulai berpikir, bahwa jika senja ini lain seperti di Sepotong Senja untuk
Pacarku, dan senja-senja selanjutnya menjadi lebih lain seperti di Twilight, apakah
Jechungid akan semakin merindukannya? Ataukah sebenarnya Jechungid hanya pura-pura
ramah saat itu, karena segan kepada Seniman Musiman? Namun, sekelebat bayangan lain
muncul di pikirannya. Mengenai misionaris yang pernah ditemuinya di pasar.

15
6

M asih di rumah sakit dengan ditemani segelas kematian ayahnya, si pendeta


muda menangis sambil berdoa kepada Tuhan, “Ya, Tuhanku. Biarkanlah
hamba menjadi satu-satunya penghuni neraka. Dan biarkanlah orang-orang
selain hamba langsung ditetapkan di surga.” Doanya, doa orang-orang yang teraniaya. Doa
yang katanya selalu dikabulkan oleh Tuhan.

Tanpa disadarinya, bahwa doa itu mulai mengubah jalan hidupnya. Hingga suatu hari
nanti, si pendeta muda bertemu dengan suatu sosok yang tak pernah ia bayangkan
sebelumnya.

Sementara itu, kepala biara sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, mengunjungi si
pendeta muda yang sedang berduka. Ketika sampai, lelaki tua itu berkata, “Jangan terlalu
bersedih. Doakan saja ayahmu supaya di tempatkan di..” kata-katanya terhenti sebentar,
pikirannya agak limbung. “Di tempat yang baik-baik di sisi Tuhan.”

Si pendeta muda menoleh sesaat, lalu buang muka tanpa menjawab atau pun
mengiyakan kata-kata kepala biara. Di dalam pikirannya, mulai terbangun bahwa si kepala
biara adalah orang bodoh, udik, dan tidak lebih dari dia yang berkorban agar semua orang
masuk surga. Kecuali dia. Tapi, bukankah berarti dia sudah diskenariokan sebagai tokoh
antagonis? Karena Tuhan adalah wujud yang paling masuk akal di seluruh alam semesta.
Tentu Beliau mempunyai keadilan sendiri.

Hingga doa itu mulai mengubah jalan hidupnya. Menggeliat dan melata, seperti
beberapa ratus lintah yang kemudian menutupi tubuh seorang petani di perkebunan karet.
Seperti lumpur, lebih tepatnya, yang menggelimang di pakaian seorang tentara yang sedang
latihan tempur.

16
7

M arlboro Putih. Baru sekali ia membeli rokok sejak satu tahun belakangan. Ia
hisap pelan-pelan sambil bertengger di depan pintu belakang rumahnya. Ia
duduk mengamati suasana malam yang menghamparkan penampilan desa di
hari orang-orang melayat dan berdoa mengenai kematian ayahnya.

Terakhir, ia merokok saat mengunjungi acara pernikahan Alysa. Dia memang


mengucapkan selamat kepada gadis itu, dan berharap itulah kali terakhir ia melihatnya. Ia
tak pernah mau mengungkit-ungkit lagi luka lama. Tapi, ketika dia melamun setelah
terbangun dan merapikan tempat tidurnya saat masih berbiara, ia teringat tentang surat
yang dikirimkan Alysa, “.. O Kawan, jadilah Laylaku. Karena aku Majnun.”

Saat ia masih berbiara. Kini ia tak tahu apakah ia akan kembali menjalani kehidupan
seperti itu lagi atau tidak. Saat diembuskannya puntung rokok terakhir yang kemudian ia
buang, kepala biara berjalan mendatanginya. “Kau ke biara lagi besok?”

“Aku tidak tahu, Tuan. Aku rasa, untuk saat ini lebih baik aku menata kembali rumah
ayahku ini.” katanya tanpa basa-basi. Kepala biara merasakan itu, dan memasukkan kedua
tangannya ke saku jubahnya. Di dalam saku kirinya terdapat rosario, di sebelah kanan ada
satu siung bawang putih. Dan itu yang digenggamnya erat-erat. “Ada apa, Tuan?” tanya si
pendeta muda.

“Ah, tidak.. Aku hanya kedinginan. Aku ke dalam dulu, ya?” kemudian kepala biara
kembali berkumpul dengan orang-orang yang duduk membaca Yasin.)

[Tunggu dulu.

Jadi sebenarnya Kirr ini agama seperti apa? Kenapa sampai ada orang-orang yang
membaca Yasiin?]

(Ayahnya orang Islam.)

[Lalu gurunya? Juga di dalam bersama orang-orang yang membaca Yasin, sedangkan
dia bukan Islam..]

(Kirr, adalah gabungan dari agama Islam, Katholik dan Yahudi.)

17
[Lalu, bagaimana sampai ada ayat mengenai sosok semirip Dajjal, sedangkan Yahudi
isinya semua pengikut Dajjal..]

(Makanya! Dengar dulu sampai selesai!!)

[Bagaimana mau mendengar, kalau ceritanya dari tadi ngawur terus?]

{Hentikan!}

[] ()

{Oke, (). Lanjutkan ceritamu.}

[]: M emang begitu, Tobby! Yakinlah pada kata-kata di dalam hatimu. Lakukan itu.
Laksanakan segera! Yakin, yakin! Pasti! Memang itu yang terbaik!
18
(Ya, sesosok [] membisikinya dengan hasutan-hasutan lembut. Penghujatan manis
bersama tiap-tiap kedongkolan, mungkin kepada almarhum ayahnya, atau mantan
kekasihnya yang memberinya surat berisi puisi Nizami Ganjavi, teman-teman yang pernah
menjahatinya sewaktu kecil, atau. Atau.

Atau kepala biara.

Sambil menyesap rokok dan minum kopi hitam di warung kecil tempat penjualnya
menjajakan mie instan siap olah, teh manis, teh telur, kopi es dan berbagai macam menu
kecil-kecilan lainnya, dia duduk di salah satu kursi. Terkadang ia mengobrol dengan bapak-
bapak atau pemuda-pemuda kampung yang duduk disana, menonton televisi kalau ada
pertandingan, atau ikut anak-anak ronda malam. Selain itu ada rasa malas untuk kembali ke
biara.

Sampai ia menemukan sebuah lagu yang langsung menyentuh hatinya. Dear God
karangan Avanged Sevenfold. Lagu setan.

[Tunggu! Tunggu. Kenapa kau langsung menyimpulkan lagu itu lagu setan? Bisa-bisa
bandnya marah dan menuntutmu!]

(Kau lupa? Kita takkan pernah bisa dituntut oleh siapa pun. Kita adalah Penciptaan,
kita adalah akhir, kita adalah awal. Semua kembali kepada kita. Tak ada yang lebih berkuasa
selain kita.)

[Kalau begitu, biarkan aku menyempatkan diri.]

(Untuk?)

[Aku ingin sedikit berbagi..]

(Boleh..)

[Makasih.

19
Dia memang Syams Tabriz, tapi ibu-bapaknya menamainya Vellesa Azephi. Nama yang
seperti perempuan. Dia tidak suka. Maka diubah-ubahnya sedikit, menjadi Vellesyam
Azephiz. Lalu kalau kesal dan merajuk, diubahnya sendiri menjadi Velly. Bencong. Lebih
keperempuanan. Dia suka berkaca di depan cermin, sambil tersenyum melihat dirinya
sendiri. Memperhatikan deretan giginya yang terkadang malah belum digosok. Ibunya sering
memperingatkan, kalau anak cewek tidak suka cowok jorok.

Saat sekolah di SD Fransiskus di kampung halamannya di Bukiteukoh, dia jatuh cinta untuk
yang pertamakalinya. Nama gadis itu Magfira. Anak itu pernah menolongnya mencari kamar
mandi. Di hari pertama. Gadis pertama, kesempatan pertama. Selain itu, Magfira juga
pernah, yaitu saat Bu Tres sang wali kelas memarahinya, Magfira berkata, “Dia kan anak
baru, Bu!” Tapi Vellesa malah tidak menyadari, dia sibuk menangis sampai jam sekolah
berakhir. Ibunya menjemput dan berkata kalau anak cewek tidak suka cowok cengeng.

Ibunya berkata bahwa anak cewek suka kepada cowok yang rajin, maka buatlah PR dan
kerjakan soal-soal Matematika tanpa disuruh guru. Kerjakan soal-soal Bahasa Indonesia,
Ilmu Pengetahuan Alam, Agama. Jangan pernah bolos di kelas mengaji. Rajin-rajin sholat. Ya,
cewek tentu suka anak sholeh. Juga jangan malas makan, nanti kurus ceking sampai kulit
pembalut tulang.

Kulit pembalut tulang itu apa?

Ya, seperti zombie yang kamu lihat di film-film.

Zombie itu apa?

Oh, iya. Kamu tidak nonton. Itu film orang dewasa, jangan nonton.

Zombie itu apa, Bu??

Zombie itu monster menakutkan yang dagingnya membusuk hingga yang nampak cuma
tulang-tulangnya saja. Jangan dipikirkan! Nanti kamu mimpi buruk lagi.

Aku hanya mengangguk. Meski pun aku tak pernah mimpi buruk. Aku selalu mendapat
mimpi yang keren-keren. Kadang itu terulang waktu bangun, kadang tidak. Yang lebih
sering? Lebih sering apa, ya..? Yang terulang, kayaknya. Ya. Kadang-kadang itu bisa
membuatku tahu apa tebak-tebakan yang disebutkan teman-teman. Tapi juga ada yang
20
membosankan. Misalnya waktu pergi naik bus yang lama berhentinya. Pemandangannya
itu-itu terus. Jadi enggak asyik.

Terus aku juga pernah disalahkan gara-gara bilang ke teman kalau dia akan dikejar anjing.
Dia mengira gara-gara aku anjing itu mengejarnya. Tapi kubilang tidak. Tapi dia tetap marah,
dan bilang aku salah dan tidak mau lagi berteman denganku. Semua berlanjut, berlanjut dan
berlanjut hingga aku lebih dewasa. Ulang tahunku yang ketujuh belas, aku mimpi pacaran
pertamakalinya. Tapi mimpi itu terputus sebelum aku sempat mencium gadis itu. Di dunia
nyata, itu memang terjadi. Aku berpacaran dengan gadis berwajah Kaukasian yang sangat
manis saat sekolah di SMA Negeri 1 Jakarta. Sekilas dia mirip Kate Winslet yang
memerankan film Titanic dan membuat para pria tergila-gila. Dia juga pintar Matematika
dan sudah tiga kali menyabet peringkat satu antar kelas. Ketika kami sedang berdua,
misalnya di kantin, dia selalu memanggilku ‘Sayang’ dengan manja. Walau di kemudian hari
dia mencurangiku dengan jalan sama cowok lain, yang lebih ganteng, punya sepeda motor,
dan jaket Dilan yang sedang populer di kalangan anak SMA se-Jakarta. Seorang cowok
brengsek bernama Jeremy Meulen yang berasal dari sekolah lain, yang sengaja datang kesini
karena mendengar adanya cewek cakep tak tertandingi, dan tetap mengabaikan bahwa
cewek itu sudah ada yang punya. Aku. Aku.. . Aku patah hati dan menangis serta bersumpah
tidak akan pernah pacaran lagi, mungkin ini karena pacaran itu haram. Ya. Setidaknya ada
pemuka agama yang bilang begitu.

Selanjutnya, saat aku sedang jalan-jalan di Taman Ismail Marzuki, aku berpapasan dengan
seorang anak perempuan yang memakai jilbab dan jaket trenchcoat. Kira-kira dia seumurku,
atau kurang. Ya, kuharap lebih muda karena aku tak mau berpacaran dengan yang lebih tua.
Eh, bukan pacaran. Aku lupa. Aku ingin menikah saja. Maka aku ikuti dia, dan berkenalan
dengan temannya. Tapi ternyata aku pernah kenal dengan temannya itu, Stephen Caeross,
kami satu lokal di kelas pelajaran tambahan di sekolah. Dan gadis itu malah tersenyum
sangat manis kepadaku. Jantungku mencuat! Aku malu, aku takut kalau aku melanggar
larangan Tuhan, aku juga takut kalau Steve ini malah cemburu kalau aku dekat-dekat sama
anak itu.

Aku pun membuat puisi-puisi, menulisnya di status Facebook. Satu puisi, menceritakan
pertemuan pertama, ya biasalah. Puisi kedua, menceritakan perasaanku yang betapa penuh

21
untuknya. Puisi ketiga, menceritakan ciri-cirinya. Hingga banyak teman yang mengomentari
dan memberi Like. Hingga di suatu pagi, Master Lilik, salah seorang dari teman ibuku,
seorang dosen sastra Unand dan sedang kuliah Doktoral di Universitas Gajah Mada yang
menyapaku di kolom obrolan, “Hai, anak pintar.”

“Eh, iya Tante.”

“Sedang apa? Kirim salam untuk Ibu, ya.”

“Iya. Makasih Likenya lho, Tante.”

“Sama-sama. Tante suka baca tulisanmu.”

“Ah, yang benar, Tante? Itu kan cuma puisi-puisi pemula.. Asal-asalan, juga..”

“Tidak apa-apa pemula. Tante tidak melihatnya sebagai puisi asal. Itu justru terlihat seperti
puisi-puisi yang dikerjakan dengan serius. Kalau rajin menulis, bisa lebih bagus.”

“Terimakasih, Tante.”

Kumatikan Facebook dan senyam-senyum dengan hati meluap-luap. Wanita itu memang
pandai memuji. Yang masih gadis, apalagi, membuat laki-laki menjadi demam kapialu
berbulan-bulan. Segera kumasak air hangat untuk mandi, bersiap-siap pergi ke sekolah.
Sarapan. Memasang ransel di punggung, berjalan keluar rumah. Naik ojek. Naik angkot.
Sampai di gerbang sekolah. Ketemu lagi dengan gadis itu, lengkap dengan bayangan Steve
yang cemburu. Dan senyuman gadis itu setiap kami bertemu.

Kami pun menjalaninya saja tanpa pernah bicara satu sama lain. Aku dengan perasaanku.
Dia dengan perasaannya yang kadang memberiku bahasa isyarat untuk lebih serius
mendekatinya. Tapi aku tidak bisa. Aku takut kalau aku melanggar larangan Tuhan, aku takut
kalau Steve cemburu, dan aku takut kalau dia di kemudian hari malah meninggalkanku
seperti pacarku dulu. Lebih baik seperti ini. Berteman saja. Tanpa ada rasa risih, cemburu-
cemburuan, serta drama lainnya. Hingga akhirnya, di hari kelulusan SMA, gadis itu tidak
hadir. “Dia pindah ke Amerika, ikut ayahnya yang bercerai dengan ibunya.” Kata seseorang.

Akhirnya.

Akhirnya gadis itu menghilang dari hidupku.

22
Akhirnya lambungku terasa perih, dan akhirnya aku tak bisa lebih sedih daripada ini.

“Sebenarnya aku mau kamu jujur,” kata Steve, saat kami sedang kebetulan duduk bersama.
Di kafe depan sekolah, selesai acara perpisahan. Ya, kami anak baik-baik yang
menyayangkan seragamnya bila dicoret-coret. Kami berpikir kalau pakaian ini akan berguna
untuk adik-adik sepupu, atau anak tetangga misalnya. Tapi mungkin Steve tidak sependapat
denganku. Karena ia tak pernah memberikan pakaiannya kepada siapa pun. “Maksudmu?”
kataku.

“Kamu suka sama Icha?”

Aku diam, aku tahu ini pertanyaan menjebak. Dan dia akan marah padaku jika aku
menjawab yang sebenarnya. Tapi apa haknya marah padaku, ini perasaanku, dan aku telah
kehilangan dia karena berhati-hati terhadap perasaannya.

“Jangan khawatir, aku bukan orang seperti itu..” Steve rupanya membaca pikiranku. Aku tak
mengira kalau selama ini dia juga punya kemampuan aneh sepertiku.

“Kamu Indigo?” kataku.

“Ha?”

Steve malah menganga tidak mengerti.

“Kamu benar-benar bisa baca pikiran?”

Steve mendehem, “Dengar, Vell. Kalau kamu mau jujur sama aku, aku bisa bantu kamu.”

“Karena kamu juga Indigo?” kata-kata itu sebenarnya mau kuucapkan, tapi tidak jadi. Aku
tahu apa maksudnya. Dan dia hanya seolah-olah bisa, padahal tidak. “Baiklah. Aku akan
jujur..”

“Tapi kamu jangan marah, ya?” kataku lagi.

“Tidak.. Aku justru mau bantu kamu,”

“Ya. Aku suka sama Alysa.”

23
Steve terdiam sejenak. Mungkin karena kekuatan cintaku. Tapi kemudian dia manggut-
manggut, “Hari Jum’at depan ada tes Education First. Ikuti tes itu. Aku yakin kamu bisa,”

Hanya itu? Kupikir dia akan membantuku dengan pinjaman atau memberiku secarik kertas
berisi alamatnya. Tapi dia malah membongkar rahasiaku dan menyuruhku mengikuti sebuah
tes konyol. Eh, tidak konyol, sih. Kuakui dia juga berusaha membantuku. Walau pun aku
tahu, bahwa besar kemungkinannya aku tidak lulus dari tes itu. Kau tahu? Aku selalu
kepayahan dengan pelajaran Matematika dan Fisika. Begitu yang selama ini kualami,
makanya aku memilih jurusan IPS selama tiga tahun ini.

10

Mimpi mempertemukan aku dengan Alysa. Di sebuah acara pernikahan yang


diselenggarakan di Indonesia, setidaknya, seperti di suatu tempat di Indonesia. Tapi ada

24
orang lain di mimpi itu. Suaminya. Alysa menikah dengan orang lain. Aku cemburu. Hatiku
terbakar perih. Perutku seperti tertumbuk batang pohon. Sambil menahan air mata, segera
kulihat arlojiku, yang ternyata menunjukkan waktu-waktu beberapa tahun kemudian. Aku
segera berpikir, bahwa Alysa, yang selama ini kucintai, bukanlah jodohku. Dan sebelum
terlambat, kuputuskan untuk berhenti mencintainya. Tapi tak bisa. Berhari-hari kucoba,
hingga sampai bulan ketujuh setelah hari-hari patah hati.

Dan di bulan ketujuh ini, aku sedang berusaha mencintai perempuan lain. Memang tidak
ada yang secantik Alysa, dan tak akan pernah ada. Tapi setidaknya aku berusaha. Di luar itu
semua, pemerintah sedang mendirikan sebuah kota baru yang diberi nama Djakawang. Kota
itu terletak di sebuah pulau buatan yang hanya satu setengah kilometer di sebelah selatan
pulau Jawa, dan ukurannya juga empat kali lebih luas dari DKI Jakarta. Orang-orang mulai
bertransmigrasi kesana, membangun rumah-rumah baru, bangunan-bangunan seperti
gedung-gedung yang tak terlalu tinggi tapi cukup modern dari segi arsitektur.

Pasar-pasar baru dibangun untuk memasok kebutuhan orang-orang yang datang. Beberapa
sebenarnya ada yang memakai sistem online saja, dan menggunakan jasa ojek online seperti
yang lalu-lalu. Pemerintah pusat mengurus semuanya. Walikota Djakawang baru akan dipilih
setelah proses transmigrasi umum selesai. Beberapa keluarga jauhku juga ikut dalam
program ini.

Dan seperti orang-orang yang baru menetap disana, aku butuh adaptasi untuk mencintai
gadis itu dan berhenti mencintaimu. Ya, kamu. Alysa.

11

25
Minggu-minggu berlalu semenjak aku resmi menjadi mahasiswa di Jurusan Sastra Indonesia,
aku tak sengaja melamunkanmu di Kelas Telaah Puisi Indonesia. Master Lis menyebut nama
panjangku dan menyuruhku untuk menerangkan Senja di Pelabuhan Kecil karya Chairil
Anwar. Lagi-lagi Chairil, aku bahkan sudah hafal merk rokoknya. Maka aku berdiri dari
tempat duduk, menahan kantuk, dan memulai, “Puisi ini adalah puisi cinta yang ditulis sang
penyair untuk Sri Ayati, seorang gadis yang membuatnya patah hati. Di dalam teks, terdapat
nomina yang menjadi salah satu simbol paling kuat, yaitu ‘gudang’. Kata gudang di puisi ini
menjadi simbol atas keselesaian urusan sang penyair kepada masalah, kejadian atau pun
perasaan. Tapi ketika ditambahkan dengan kata ‘rumah tua’, kemungkinan atas simbol
perasaan yang sudah selesai menjadi hilang dan tidak terpakai. Sebab kemudian muncul
kata ‘masih pengap harap’ di bait kesepuluh, yang menjadi antitesis dari perasaan yang
sudah selesai. Begitulah lekukan struktur dari puisi ini hingga sampai di bait terakhir dari
pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap yang menyiratkan dua hal: keselesaian
perasaan serta penggambaran tempat dimana puisi ini ditulis.”

Master Lis mengangguk-angguk, lalu berkata, “Lain kali coba untuk lebih fokus, Vell.” Lalu
kembali menerangkan metode-metode lain dalam kritik sastra, bagaimana Chairil, Rivai Apin
dan Asrul Sani berjuang membentuk model kesusastraan Indonesia yang keluar dari pakem,
yang selama ini terbentuk karena penjajahan, maupun tradisi yang cenderung kaku dan
feodal. Tidak mau menerima bentuk baru, pendapat baru, serta mengelak ketika adanya
alasan kuat untuk menginovasi seni tulisan yang selama ini dikultuskan kaidahnya. Dan sejak
itu pun aku berpikir, bahwa menulis itu gampang. Bahwa aku bisa cum laude dan
membanggakan ibuku dengan mudah.

Baru saja mencukur rambut, ingin sekali rasanya mencukur lagi, lalu kuliah di jurusan Sastra
Inggris yang tentunya lebih signifikan untuk mendapat pekerjaan, yang lebih mendunia.
Apalagi kalau praktek lapangan ke luar negeri, ke negeri-negeri berbahasa Inggris. Dan
tentunya jauh dari cibiran anak-anak studi lain, terutama anak-anak Fakultas Kedokteran
yang mudah sekali menghakimi. Mentang-mentang jalur masuknya relatif sulit, karena
dianggap sebagai orang-orang terpilih yang dengan gampang mengerjakan soal Matematika
dan Biologi maupun Fisika dalam hitungan detik, mudah mendapat pekerjaan dan gaji yang

26
tinggi, serta enteng jodoh. Persis seperti yang diceritakan di dalam novel Catatan Dodol
Calon Dokter-nya Ferdiriva Hamzah yang terjual dengan angka yang luar biasa, hingga
diadaptasi ke dalam bentuk film. Hmm! Kalau aku jadi dia, tentu aku sudah sering bolos dari
mata kuliah Menulis Kreatif.

Sebenarnya, tentu ada kemauanku untuk menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran, tapi
yang lebih memungkinkanku selama ini, hanyalah sastra. Dan Sastra Inggris adalah jawaban
dari setiap keminderanku sebagai mahasiswa yang hanya mempelajari bahasanya sendiri.
Selain lebih gampang cari kerja dan jauh dari pandangan sebelah mata, Sastra Inggris juga
memungkinkanku untuk mendapat reputasi. Misalnya jika aku hadir di kelas Cultural
Studies, lalu Mr. Edri menyuruhku untuk menguraikan ideologi Feminisme. Aku akan berdiri
dan mulai berceramah mengenai kisah hidup Mary Wollstonecraft, wanita yang menulis
Vindication of The Right of Women sebagai buku feminis pertama di dunia. Lalu Lauretta
Ngcobo dengan semangat Afrika Selatannya di novel And They Didn’t They, dan tentu saja
Kartini dan surat-suratnya yang sangat terkenal. Walau pun sebenarnya aku lebih kagum
kepada Sabai Nan Aluih yang beradu fisik membela kehormatan bapaknya. Tapi itu
kejauhan, sebab tidak banyak orang yang membaca literatur Minangkabau di jurusan Sastra
Inggris. Bahkan, mengenai Mary Wollstonecraft saja, sangat sedikit orang yang mengetahui
bahwa dirinya adalah ibu dari Mary Shelley yang menulis novel Frankenstein, sastra fiksi
ilmiah yang pertama. Revolusi. Revolusi.

Jika.

Tapi tetap saja, aku lebih yakin cum laude di Sastra Indonesia lebih gampang daripada di
jurusan lainnya. Dan aku memang sedang mengincar hal itu.

12

Mengira aku bisa dengan mudah menamatkan ke-113 SKS {terutama setelah berdiskusi
lama dengan Kak Guru, sang pembimbing spiritual, Malala Menurut Daudiyah},
keminderanku mulai hilang, karena yakin aku akan mendapatkan predikat cum laude.
Apalagi aku sudah menulis karya-karya sastra sejak SMA. Ya, biar pun mata kuliah saat ini
tidak ada hubungan eratnya dengan membaca peta, ilmu komunikasi maupun hitung-
hitungan jual beli, aku dengan cepat menangkap dan mendebat dan menulis, atau

27
berdiskusi dengan kawan-kawan di satu Fakultas Ilmu Budaya. Aku aktif dalam adu debat
ideologi dan sejarah sastra. Fantasi yang selucu cangklong Tolkien, surrealism yang seenggak
jelas Marquez, novel-novel Jerman yang pura-pura dibaca Reza Rahadian di film Habibie
Ainun1, dialog antar-agama, Metafisika dan pocong-pocong Marxis.. . Dialektologi tulisan
Arundhaty Roy yang variatif dan progresif binti revolusioner. Morfologi Eka Kurniawan,
morfologi simpanse. Morfologi batu bara. Batu akik. Sastra, Biologi, Geologi. Filsafat,
Psikologi.. . Teori tanpa fakta Charles Darwin, yang kukaitkan dengan Pseudosains mengenai
anak-anak Indigo, Autis dan ADHD. Pandangan-pandangan Erich Fromm terhadap masalah
cinta. Atau peristiwa atau alasan-alasan mengapa dia keluar dari kelompok pengikut
Sigmund Freud, yang kukira lebih karena Bapak Psikoanalisis tersebut malah mengabaikan
teori psikologi sosial, yang digeluti Erich dan memang merupakan teori terpenting untuk
menghadapi masa kekinian.. . Puisi Rangga Yosrizal Sastrowardoyo. Hanya untuk mencari
reputasi. Karena aku bukan mahasiswa Arsitektur miskin di Amerika yang luntang-lantung
enggak mandi, hampir didrop out kemudian menulis di majalah Folk. Jadi aku sempatkan
untuk bergaul dengan mereka. Lumayan. Teman-temanku menjadi lebih banyak.

Aku kenal Liya, seorang cewek cakep berkacamata yang sedang menulis tesis tentang
Jalaludin Rumi. Dengan nekat, dia mengambil proses kreatif tokoh monumental tersebut,
walau pun penyair itu sudah mati. Dan walau pun proses kreatifnya pasti telah ditulis oleh
berbagai orang yang jumlahnya bisa disamakan dengan seluruh penduduk Indonesia.
Kenapa? Tanyaku, memancing pembicaraan. Dia diam saja awalnya. Kukira karena dia senior
dan sibuk atau merasa enggak level denganku. Kenapa? Kutanya lagi, rupanya dia sedang
mendengar lagu di headset. Apa? Katanya. Suaranya begitu lembut hingga aku melupakan
pacarku.

“Kenapa proses kreatif?”

“Suka-suka aku, lah!”

Rupanya, setelah berkenalan dengan Karta Kusumaz, aku diberitahu bahwa Liya memang
cuek. Dan sifatnya memang eksklusif dan cendrung mengalienasi selain kepada teman-
temannya di kelompok teater. Kamu orang teater? Tanyaku ke Bung Karta, sapaan akrabnya
selain dipanggil Oom Mentasi karena usianya yang tak muda lagi tapi masih S1 Sastra

1 Pakai Google Translate

28
Indonesia. Orang yang sering pinjam uang untuk beli sebatang Highway ini, kemudian
menghisapnya lalu pinjam lagi tanpa bilang kapan dikembalikan, adalah seorang tokoh
revolusioner juga di dunia musik. Setidaknya di komunitas teaternya. Dan ketika dia cerita
padaku soal aransemen, dan musik aneh yang dia buat di komputer, aku malah bertanya
kenapa Liya juga membuat proses kreatif saat skripsinya beberapa tahun lalu. Kenapa
ngomongin Liya lagi? katanya, mending kamu tanya siapa itu Tuan Harlivan. Ha? Kataku.
Lalu dia mulai menjelaskan. Dia memiliki teman imajiner yang dipanggilnya Tuan Harlivan,
tapi setelah kuteliti dengan ‘agak’ rajin, ternyata lelaki tersebut memang ada. Hanya saja
tokoh-tokoh seperti Iwan Simatupang atau pun Maggie Tiojackin hanya memiliki pertemuan
yang lebih imajiner dengan Tuan Harlivan yang gendut, suka makan mie rebus, brewok, dan
sudah berhenti merokok, daripada sebuah tulisan absurd Bung Karta. Cerpen-cerpen
mengenai Tuan Harlivan pun ternyata sempat direkonstruksi ulangnya menjadi novel
berjudul Tuan Harlivan Pergi ke Pasar. Aku sempat tertawa mendengar Oom Mentasi
bercerita bahwa itu adalah hasil permenungannya membaca cerpenku, Minke tu Mingkem,
yang waktu itu terinspirasi dari novel O Monyet karangan penulis favoritku, aku takkan
sebutkan nama pengarangnya. Takut Tuan Harlivan marah. Biarlah marahnya hanya
kepadaku dan Oom Mentasi yang sudah beberapa kali menulis naskah teater itu.

Kemudian aku bertanya kepada Oom Mentasi, sejak kapan dia kenal dengan Liya. Dia
berkata bahwa Liya sebenarnya adalah juniornya, di kampus dan di klub teater.
Bergabunglah dengan kami, biar kenal kamu sama Liya lebih jauh. Katanya. Aku menimbang-
nimbang apakah teater mampu mempengaruhi kesehatanku yang memang sisi
psikologisnya sedang tidak baik. Aku didiagnosa mengidap kelainan jiwa oleh psikiater, dan
harus mengomsumsi obat penenang. Walau kupikir ini terjadi karena aku bisa melihat
hantu, sama seperti sepupuku dan beberapa orang lain yang mendapat penglihatan takdir.
Tapi kata orang, Liya tidak mau pacaran dengan orang yang sekelompok teater dengannya.
Kataku. Dia sudah tunangan, jelas Oom Mentasi. Aku kecewa, patah hati. Tulang ujung
dadaku seperti ditotok sama Donny Yen yang saat itu memerankan Yip Man dan
mencobakan gerakannya padaku. Kemudian aku terjerembab kena terjangan kakinya, lalu
ditambah ludah oleh Liya. Tapi tak apa-apa. Aku suka ludah Liya. Dan konon, seorang
penyair bernama Emile Rezam, pernah menyisipkan sebuah sajak cinta di novelnya yang
paling ambisius, Gadis Embun Pagi, yang kemudian telah disadur menjadi Gadis Itu oleh

29
seorang jurnalis di Bisnis Indonesia bernama Heri Faisal Cassandra Will Smith, yang telah
menulis ulang juga puisi itu;

Seandainya ada parfum berlabel keringatmu,

kupakai selamanya

Sedangkan Emile Rezam menulis seperti ini;

Aku adalah seorang penyair bodoh, dan tapi sangat mencintai kekasihku. Jika aku ditanya
“Pilih siapa? Masuk surga atau nonton film porno?” Aku akan menjawab, “Nonton.” Karena
kekasihku adalah Haruka Kasumi. Suatu hari, ada seorang adik kelas yang bertanya;

“Kamu mau melakukan apa saja demi kekasihmu?”

“Ya. Tentu saja.” jawabku, yang antusias dengan Pertemuan Itu, terutama dengan
Tantangan Ini.

“Mau kamu jilat eeknya?”

“Dengan senang hati akan kujilat bagian itu.”

“Dengan bahagia?”

“Pertemuan Itu sekarang saja sudah susah, apalagi Menjilat Itu.”

“Bukan itunya, tapi eeknya.”

“Iya, goblok!”

“Ha?”

“Iya. Iya!”

Maka aku pun mengkhayalkan diriku Menjilat Itu.

Awalnya, aku agak susah membedakannya dengan paragraf-paragraf lain. Tapi selanjutnya
aku mulai terbiasa. Dan begitu mendengar orang-orang berkata, bahwa Emile Rezam si
penyair jorok itu sudah mendeklamasikan puisi-puisinya di berbagai tempat, termasuk
Gorky Park di Rusia saat Pertemuan Penyair dan Dramawan Indonesia se-Asia dan Rusia,

30
dengan salah satunya adalah puisi dirty-realism tersebut, dan disambut tepuk tangan oleh
orang-orang yang tidak mengerti, tapi datang juga karena rindu makanan Indonesia, baik
mahasiswa Indonesia jurusan lain maupun traveler yang sedang kekurangan uang, serta
orang aneh yang kebetulan sedang menggilai sastra, dan Emil cukup senang dengan hal
tersebut walau pujaan hatinya tidak bertepuk tangan. Hatiku miris.

Dan, aku sudah menduganya, di Indonesia, Gadis Itu karangan Heri Faisal Cassandra Will
Smith laku total dan menembus pasar Asia Tenggara, dan Gadis Embun Pagi yang terjual di
toko-toko buku bekas beberapa tahun kemudian, ketika orang tahu bahwa itu adalah versi
aslinya buku Heri Faisal Cassandra Will Smith, yang saat itu sudah difilmkan dengan Vanesha
Priscilla sebagai tokoh pendamping, dan Kinal dari JKT Empatlapan sebagai Gadis Embun
Pagi yang sering curhat dengan Vanesha Priscilla, nyata maupun di kamera. Dan Emile
Rezam yang menjadi tokoh sopir angkot yang dinaiki Reza Rahadian dan Kinal JKT
Empatlapan. Reza Rahadian sebagai siapa? Tentu saja sebagai Ksatria Embun Pagi, anak
SMA Luar Biasa yang jatuh hati kepada peran yang dimainkan Kinal. Tapi permainan mereka
kurang bagus, walau pun akhirnya kekurangan itu ditutupi oleh skenario acara gosip televisi
bahwa Reza Rahadian jatuh hati kepada permainan Kinal. Ya, ini karena aku kenal dekat
dengan Emil yang saat itu pernah menghadiri seminar penulisan naskah filsafat di Starbucks,
yang diisi oleh Eka Kurniawan dan Puthut Ea. Ya. Aku duduk di dekat Emil dan mengobrol,
dan mendengar Emil mengejek Eka Kurniawan yang selalu memakai T-shirt dan memesan
kopi dari toko itu, padahal dirinya sendiri tak sadar bahwa ia tadi mengambil tisu Starbucks
di meja untuk mengelap ingusnya.

“Kamu mau ikut ke lokasi?”

“Lokasi?”

“Iya. Aku kebetulan sedang menggarap film adaptasi novelku,”

“Ohh. Dimana?”

“West Sumatra.”

“Ohh.. Itu kampung halaman nenekku. Memang sih, sudah lama tidak pulang. Tapi, aku
sedang tidak punya uang..”

31
“Ikut saja denganku. Aku bawa mobil,”

“Hmm.. Kupikirkan dulu, ya?”

“Oke. Tapi jangan lama-lama,”

Setelah itu aku langsung membuka laptopku dan mengecek berbagai SKS yang seharusnya
sudah selesai bulan ini. “Maaf, ya.” kataku, “Kapan-kapanlah. Eh. Ceritakan saja nanti,”

“Oke.”

Setelah beberapa bulan pengerjaan film itu, Emil kembali dan mentraktirku nonton di
bioskop 21. Aku tidak bisa menikmati film Indonesia ini, karena setiap adegan Reza
Rahadian, dia mencibir bahwa aktingnya sama sekali tidak memuaskan. “Tapi rencananya,
mereka bakal membuat konspirasi kecil dengan acara gosip di televisi..” setelah itu dia diam,
“Eh, bukan. Di Youtube..” Setelah filmnya selesai, Emil bicara panjang lebar tentang
pengalamannya akting di film pendek buatan sutradara bernama Muhammad Zaki. Ketika
kutanya siapa itu, dia malah terlihat agak kesal, lalu menjelaskan siapa itu Muhammad Zaki.
Pengalamannya selain dikunjungi Yosep Anggi Noen saat ia kecil, yang waktu itu sedang
mewawancarai Rezki Khainidar. Siapa itu Rezki Khainidar? Tanyaku. Ibuku, katanya. Tapi ia
tidak terlalu kesal. Dia tokoh feminis yang pernah mendirikan sebuah Women Crisis Centre
yang terkenal di West Sumatra, dan pernah menulis artikel pertama mengenai HIV/AIDS
yang sangat rasional dan dipuji-puji para penulis koran Indonesia di masa Orde Soeharto,
dan satu lagi, dia mahasiswa teladan dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas di tahun
’82.

“Berarti ibumu dokter?”

“Tidak juga. Setelah menjadi relawan di PKBI Sumbar, beliau merasa aktivis adalah dunianya.
Apalagi dia bisa keliling dunia karena itu,”

“Ha?” sebuah ingatan tiba-tiba meloncat dari pikiranku.

“PKBI itu pelopor sistem keluarga berencana di Indonesia.”

“Bukan, bukan itu maksudku..”

32
“Ya, dia memang sempat menjadi pimpinan PKBI. Tapi akhirnya posisi itu dia berikan ke
salah satu temannya,”

“Iya.. Sepertinya aku kenal..”

“Anaknya seorang autism. Karena itu dia akhirnya sering pindah-pindah untuk perawatan
anaknya..”

“Anaknya.. Kamu?”

“Bukan. Adikku.”

“Kamu punya adik?”

“Sebenarnya sulit mengatakan aku punya adik atau tidak, karena dia sebenarnya lebih tua
dariku.”

“Lalu? Kok bisa jadi adik?”

“Karena usia kejiwaannya yang seperti anak kecil,”

“Ha?”

“Iya. Karena kelainannya, dia pencemburu dan mudah ngamuk. Aku yang harus bertanggung
jawab,” katanya sambil terlihat malah lebih kesal dari yang sebelumnya, “Sebenarnya Rezki
tidak pernah menuntutku untuk mengurusnya. Tapi orang-orang seperti bibiku, pamanku,
Mak Tuo dan Pak Tuo, serta nenekku, menganggap ini akan menjadi tanggunganku di masa
depan, dan harus.”

“Hmm..”

“Dengar, Vellesa. Aku memang percaya pada nasib Tuhan, tapi kau tahu, aku bukan penulis
yang sukses.” Aku tahu dia sedang memikirkan Eka Kurniawan, itu membuatku tersenyum
simpul karena sebenarnya aku sedang menahan geli.

Tapi bersamaan dengan itu, aku juga prihatin atas curahan hatinya. “Tapi mungkin ini adalah
bayaran atas kehebatannya Rezki,” katanya lagi. “Atau kedongkolannya ke orangtuanya,
karena tidak ikhlas masuk Kedokteran.”

33
“Biar pun begitu,” katanya lagi, “Dia sangat menyukai Pramoedya Ananta Toer, dan novel
Bumi Manusia itu, kau tahu?”

“Ya..”

“Tokoh utamanya paralel nasibnya dengan ibuku.”

“Hmm..”

13

Menulis itu menyakitkan, kata pengarang favoritku. Tapi bagiku, setelah seseorang berhasil
menulis, sebuah cerpen atau esai atau artikel, kemudian karyanya dipajang di koran,
terutama koran-koran besar seperti Tempo, Kompas, atau bahkan Jakarta Post, dan
tentunya setelah itu dia menerima royalti, tentu pekerjaan ini tidak semenyakitkan yang kita
duga. Barangkali, kata-kata itu lebih bersifat ambigu, atau puitis. Atau mungkin si pengarang
ingin tidak ada saingan di dunianya, dengan membunuh bibit-bibit penulis satu per satu.
Tapi justru itulah mengapa aku menyukainya. Dia menggemaskan. Begitu aku melihatnya,
suatu hari nanti, bisa saja aku berjalan ke arahnya, dan mencubit lalu menarik kedua
pipinya. Tapi sayang, dia laki-laki. Bukan cewek imut seperti Gita Savitri Devi, penulis
beberapa buku fiksi seperti kumpulan cerpen pertamanya, Rentang Kisah, yang ditulisnya di
Jerman tapi tidak diterbitkan disana atau negara berbahasa Inggris, malah diterbitkan di
Indonesia oleh Gagasmedia, yang umumnya memang memproduksi buku-buku remaja
dengan genre ringan. Atau Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie yang sangat produktif dan
berhasil menyabet kemenangan di Sayembara DKJ selama beberapa kali. Bukan. Jadi aku tak
terlalu mempedulikannya karena tidak begitu terpesona, walau kalau kulihat belakangan ini
istrinya pengarang favoritku itu, yang suka main Instagram, lumayan cantik, sangat cantik,
bahkan cantik sekali.

Mengenai Ziggy sang pemenang itu, kali ini aku berniat menulis resensi novelnya untuk
kukirim ke koran. Tapi, sebelum memulainya saat pagi, di waktu-waktu baru bangun tidur,
aku pergi mencuci muka, sholat Subuh, sarapan lalu makan obat anti-depresan Risperidone
yang memang harus ditelan setelah perut terisi, hingga merasakan sedikit kantuk tapi bagus,
karena memang memerlukan setengah alam bawah sadar untuk mengerjakan ini. Aku
memilih buku Semua Ikan di Langit sebagai tajuk pembahasanku kali ini. Novel bersampul

34
hijau yang sebelumnya juga diikutkan di kontes dengan kata-kata tajam dari dewan juri, “..
Berada di atas rata-rata para peserta Sayembara kali ini .. Membuat dewan juri tidak
memilih pemenang-pemenang di bawahnya..” Serta latar belakangnya, nan sesuai seperti
yang dikatakan penulisnya, hanya dikerjakan selama beberapa minggu, dimana salah satu
minggunya terbuang karena dia takut mengeluarkannya karena, di masa itu, tepat sembilan
tahun lalu, perselisihan dan pertikaian antar-agama kerap terjadi. Karena novel ini bertutur
tentang Tuhan, maksudku, anak yang memiliki kekuatan adidaya serta kisah tentang
penciptaan dunia. Apakah anak itu manifestasi Dajjal atau Kresna? Nah, aku akan coba
mengulitinya.

Hmphh..

Tapi aku mengantuk, jadi kuletakkan saja novel ini di meja di sebelah laptop, menutup
program Microsoft Word serta demit-demit lainnya, mematikan komputer ini dan pergi ke
kamar. Menjatuhkan diri ke tempat tidur, tanpa persiapan tidur apa pun, termasuk mental
untuk menyelami mimpi-mimpi selanjutnya.

Di dalam mimpi, aku bertemu dengan pengarang favoritku. Tidak, bukan Ziggy. Gadis itu
hanya bahanku untuk menulis sesuatu di koran, kalau saja bisa diterima. Tapi aku yakin,
suatu hari nanti aku bisa saja menyukai Ziggy, dengan tanpa membaca buku-bukunya. Ya.
Menyukai Ziggy dan ingin menjadi pacarnya. Dan melupakan Alysa, melupakan Liya dengan
senang hati. Tapi aku belum pernah bertemu dengan Ziggy. Aku bertemu pengarang
favoritku, meski pun hanya sekali dan itu pun dalam mimpi.

Saat itu dia sedang berdiri di depan sebuah ngarai, pagi-pagi sehingga tempat itu tampak
berkabut. Aku kesulitan dalam menyadari dimana sebenarnya tempat ini. Jadi aku
menunggu waktu sampai aku terbangun, dan menunggu masa-masa kenyataan datang
dalam mimpi, seperti hari-hari sebelumnya. Dia lalu menoleh kepadaku, tersenyum dengan
senyuman khasnya yang relatif biasa, jika dilihat sekilas, tapi mempunyai makna dalam dan
lebih rendah dari rendah hati, namun memiliki sedikit rasa meremehkan. Entahlah. Aku
tidak terlalu pandai dalam membaca wajah. Apalagi wajahnya saat itu sedang diganggu oleh
kabut. Dia berkata padaku, “Hari yang indah, ya?”

35
“Ya. Tapi tidak terlalu cerah..,”

“Malahan ini tidak bisa dibilang cerah,” katanya dan melanjutkan, “Tapi membuatku
teringat dengan risetku, saat menulis novel yang kedua.”

“Yang tentang kriminal-psikotik itu?”

“Yang mana lagi? Habis, naskah-naskah selain itu masih belum rampung..”

“Saya dengar, Anda sedang mengerjakan skenario film. Betul?”

“Ya. Dari novel yang ketiga,”

“Novel tentang seekor burung yang tertidur..” kataku, mencoba membaca sesuatu pada
angin, “.. Meskipun semua orang berusaha membangunkannya?”

Dia tersenyum, “Kamu sedang mengerjakan apa?”

“Cuma buat-buat resensi. Lumayan kalau bisa masuk koran..”

Dia manggut-manggut, “Resensi tentang?”

“Jangan bilang tentang novelku yang terbaru.” Katanya lagi.

“Malam Seribu Bulan? Aku pernah membacanya sedikit di Facebook Pagemu..” jelasku,
“Sebelum akhirnya kau delete, dan orang yang tak punya uang tidak bisa membacanya lagi.”

“Sebenarnya buku-bukuku bisa diunggah gratis di blog Pustaka Indo..”

“Tidak banyak yang punya akses internet, yang bisa dipakai untuk download.. Umumnya
mereka hanya memakainya untuk melihat-lihat Instagram, menulis ujaran di Facebook,
ngomong di What’s App.. Baca komik di Line.. Tapi tetap tidak ada yang punya niat baca
yang cukup kuat, kecuali untuk menjadikannya bahan obrolan supaya terlihat keren.”

Dia tertawa lagi dan berkata, “Kalau kamu?”

“Aku membaca seluruh karyamu, terutama cerpen Dewi Amor di buku Corat-coret di Toilet..
Dan justru, karena cerpen inilah aku mengenalmu.”

36
“Hmm.. Aku ragu kamu salah satu pembaca pertamaku.. Atau mungkin saja..” katanya,
“Sejak kapan kamu membaca tulisanku?”

“Sejak aku melihatnya sekilas di toko Gramedia, itu sekitar tahun 2013 atau empat belas..”

“Dan umurmu saat itu?”

“Mungkin sepuluh tahun.. Atau sembilan, aku tidak terlalu ingat..”

Dia manggut-manggut, seperti kagum. “Aku cuma baca komik di umur segitu,”

“Tapi tetap saja..” kataku mendehem, “Komik adalah buku yang mengantarmu ke dunia
kesukaan membaca,”

Dia mengangguk, “Abdullah Harahap, datang kemudian. Disusul Enny Arrow..” katanya. Aku
cuma membaca Enny Arrow palsu di internet, kataku. Lalu kami tertawa terbahak-bahak.

Kemudian kami sama-sama larut dalam keheningan. Saat aku menoleh padanya yang saat
itu sedang melamunkan sesuatu, tiba-tiba saja aku mencetuskan ideku. Aku bertanya
padanya, “Bung, kamu mau jadi presiden?”

Dia menoleh kepadaku, kemudian buang muka. Entah mengapa kemudian, dia
meninggalkan tempat itu. Dan aku pun juga pergi.

Begitu bangun, aku langsung pergi ke kamar mandi. Berdiri di depan cermin wastafel, dan
mencuci muka. Tanpa sabun khusus. Tidak ada sabun wajah bukan berarti aku lupa
membeli, tapi lebih ingin hemat, dan dikarenakan sabun biasa sudah cukup. Tidak ada
jerawat, tidak ada komedo. Kutatap wajahku, rambutku sudah mulai panjang, menutupi
dahi dan daun telinga. Lepek. Berminyak. Mungkin karena salah pakai sampo. Tapi aku tidak
peduli, dan barangtentu cewek-cewek tidak menilai cowok hanya dari rambutnya. Dan
mungkin saja Liya lebih suka rambut lepek, walau di suatu saat kesombongannya akan
memudar dan membuatnya berkata “Potonglah rambutmu itu!” Maka aku akan bertanya
mengapa dia sampai peduli, dan dia akan diam tak menjawab. Lalu melangkah pergi.

Ke kasur. Merebahkan diri lagi, sekali lagi. Suntuk. Tapi resensi Semua Ikan di Langit harus
tetap selesai dan dikirim ke koran. Aku sedang butuh uang, apalagi ibu tidak ridha aku

37
membeli rokok, pakai uangnya. Pakai uangku, tentu tidak masalah. Atau untuk pergi main
warnet, nonton Mizuho Uehara sampai celana basah semua. Melihat dia melepas pakaian
satu per satu, secara pelan-pelan dan hikmat. Atau mencium kakek-kakek tua jelek yang
perutnya buncit dan bergelambir. Atau pergi main playstation, game Final Fantasy terbaru
yang menceritakan Cloud Strife yang akhirnya menikah dengan Tifa Lockhart, atau
mengalahkan lawan-lawannya saat menyelamatkan Tifa yang berhasil dikalahkan dan
kehabisan tenaga. Kalau bola? Aku tidak terlalu suka, karena suasananya cenderung
monoton. Kalau balap motor atau mobil? Aku pilih mobil, tapi tidak selalu. Terutama Need
for Speed karena tokoh ceweknya cakep-cakep seksi. Game perang seperti Call of Duty?
Kadang-kadang. Tapi aku lebih menyukai Final Fantasy, bagaimana pun. Ceritanya kompleks
dan segar, pemandangan ceritanya juga indah dipandang mata. Serasa masuk ke dalamnya.
Ah! Fokus. Tulisan ini harus sampai ke harian Tempo paling tidak dua hari ke depan.

Maka aku mulai membaca.

Tapi perasaanku menjadi lemah dan layu saat membacanya. Aku mengantuk. Jadi
kuletakkan novel hijau ini di kasur. Pergi ke dapur, memasak air, menyeduh kopi Kuda
Terbang, dan kembali ke kamar. Mengambil buku itu dari kasur, dan pindah ke ruang tamu.
Semoga semangat ruang tamu dari tamu-tamu yang berkunjung, serta hantu-hantu yang
terbiasa menerima tamu, membuatku ikut terbakar saat membaca novel ini.

Maka aku mulai membaca. Membuka halaman pertama untuk yang kedua kalinya.

Memang. Bahasanya lumayan tinggi, melingkar-lingkar dan bermain di dalam sudut-sudut


puitis. Membuatku sangat paham mengapa akhirnya buku ini menjadi juara, aku pun
membuka dan menghidupkan laptop, menuliskan resensi dengan penuh nyala api. Setelah
itu kusalin kopiannya ke flashdisk, menghabiskan kopiku lalu memakai sepatu dan pergi
keluar rumah. Mencari warnet. Sebab di rumah tidak ada wi-fi, tidak juga modem kecil atau
apa pun. Semua karena ibuku pernah sekali, atau beberapa kali, menemukan Mizuho
Uehara di kolom histori di laptopku. Memang, dan itu membuat perasaanku campur aduk
sampai sekarang. Dan sesampainya di warnet terdekat, yang agak sepi, menemukan abang-

38
abang operatornya merokok sambil main game judi poker, mendapat komputer kosong di
ujung ruangan dan duduk disana. Setelah itu barangkali tergoda untuk mencicipi beberapa
video konspirasi di Youtube, lalu memainkan game yang tersedia secara apa adanya di
komputer itu. Dan membasahkan celana dengan desahan Mizuho Uehara, sambil berusaha
menepis bayangan kata-kata petuah dari berbagai macam orang. Kecuali kata-katamu,
Mizu. O Mizuho. Oh, Mizuhot!

Mizu atau Mizuho atau, yang lebih bagus kedengarannya, Nona Uehara. Dia mendesah lalu
melenguh, dan di saat yang sama menggesek-gesekkan ekornya, yang mengingatkanku
dengan seorang idiot yang pernah ada. Atau tidak. Hanya di khayalanku. Sampai Nona
Uehara masuk ke ingatanku dan menginap disana. Hingga celanaku basah dan aku
menyesali semua yang terjadi. Kututup situs seks ini dan kembali mengurusi tulisan resensi,
mengirimnya ke opini@kompas.co.id, lalu mematikan komputer dan membayar jasa
penyewaan ke abang-abang operator.

Lalu aku pergi. Kembali ke rumah dengan rasa lapar yang memotong bawang dan membuka
botol kecap. Memasak nasi goreng. Lalu pergi ke toilet dan mandi dengan rasa kesal dan
penuh penyesalan. Seandainya aku tidak menikmati tontonan Nona Uehara, tentunya
celanaku tidak akan basah dan tidak harus mandi wajib seperti ini. Perasaanku campur aduk.
Tapi aku tak peduli pada omongan ibu, atau orang lain lagi. Setelah selesai aku kembali ke
dapur, menyendok beberapa tangkup nasi goreng, yang sayangnya sudah hampir dingin,
dan pergi ke ruang tamu. Duduk dan makan sambil membaca kembali Semua Ikan di Langit.
Sampai halaman 33, bab enam yang berjudul Mengenal Beliau 1: Hal yang Membuat Beliau
Bahagia, yang menceritakan si tokoh utama, sebuah bus angkutan umum yang menjadi
narator, dan sangat ingin mengenal seorang anak laki-laki dengan panggilan ‘Beliau’ secara
lebih dekat. Beliau, anak laki-laki itu, digambarkan sebagai manusia super yang memiliki
kemampuan adidaya, termasuk memusnahkan dan menciptakan. Pergi melintasi masa lalu
dan masa depan, apalagi mengubahnya. Tuhan.

Dan tokoh utama itu, adalah tokoh utama di sinetron Para Pencari Tuhan.

Reinkarnasi Yunani?

39
Kurasa tidak.

Aku bosan dengan ceritanya, walau tetap kagum dengan bahasanya. Jadi kusimpan novel ini
di lemari, dan mengambil buku lain. Sebuah buku tipis berjudul In the Paradise of the Sufis,
karangan Dr. Javad Nurbakhsy. Dan menemukan jalan bagaimana menjadi seorang sufi.
Melalui yang pertama dari dua jalan, yakni pengembaraan spiritual atau yang disebut suluk,
sesuai salah satu ayat dalam Al-Qur’an, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu
dengan ridha dan diridhai.” Atau berangkat dari keterpesonaan. Bagi Sang Pencari, baik dari
suluk maupun keterpesonaan harus melalui tahap-tahap didikan dari seorang guru dengan
tingkat Insan Kamil, yang telah menjalani berbagai fase Perjalanan Spiritual. Insan Kamil,
berarti, manusia yang telah disempurnakan batinnya oleh berbagai tempaan ego. Tapi,
sesuai yang ditulis oleh Elif Shafak di Forty Rules of Love, penulis Turki yang kubaca versi
Indonesianya, Empat Puluh Kaidah Cinta oleh Indah Lestari sebagai translator, Jalaludin
Rumi berkata;

.. Tidak ada yang tahu banyak tentang ini, dan kalau pun ada, mereka tidak akan
membicarakannya.

Di saat bersamaan, aku mulai ragu dengan standar keilmuan salah satu guruku. Dan aku
mulai tidak mempercayainya.

14

Master Lis, beberapa hari setelah aku berhasil menamatkan seluruh Satuan Kredit Semester,
menyuruhku untuk memilih, antara menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Teman-
temanku iri, tapi Master Lis bilang, jangan dipedulikan. Lalu aku menjelaskan kepada mereka
bahwa Master Lis sedang melakukan penelitian, dan aku bersedia membantunya sebagai
kelinci. Ada teman-teman yang bilang “Ooh..” atau tidak peduli lagi, yang lain malah berkata
bahwa aku hanya berdalih, termasuk Liya. Entah kenapa anak itu tiba-tiba peduli padaku.
Oom Mentasi malah mendukungku, dan sesekali berceletuk agar aku masuk ke komunitas
teaternya. Kenapa, tanyaku. Biar aku bisa tahu pemikiranmu. Aku penasaran sama pola
pikirmu. Kenapa penasaran? Kataku lagi. Karena kamu satu-satunya mahasiswa sastra yang
berambisi cum laude. Lalu aku malah berpikir bahwa Oom Mentasi tidak punya referensi

40
lain. Lalu, aku malah baru tahu kalau Bung Karta ini baru baca Eka Kurniawan di masa-masa
sastrawan kiri itu mendapat penghargaan seterkenal Man Booker Prize. Dibuktikan dengan
tanggal yang ditulisnya saat baru saja membeli Perempuan Patah Hati yang Kembali
Menemukan Cinta Melalui Mimpi, tahun 2015. Kulihat hanya itu buku Eka Kurniawan yang
dia punya.

“Enggak, kok! Aku malah tahu Eka sejak dia baru menulis,”

Aku hanya bilang, “Oh.”

“Iya. Bener!”

“Iya. Iya. Aku percaya.”

Kemudian dia cengengesan sambil berkomentar, “Kok sedongkol itu kamu meremehkan
aku?”

“Ha? Enggak ada aku meremehkanmu.”

“Bohong.”

“Iya. Su-er.”

“Nanti kubilang ke Liya.”

“Ha?”

“Kubilang kamu mencintainya.”

“Biar!”

“Kubilang kamu pernah mengkhayalkannya.”

“Biar!!”

“Kalau di khayalanmu itu, kamu menghisap putingnya, menyusu sama dia.”

“Biar..”

“Karena dia mirip ibumu.”

41
“Eeh..??”

“Iya. Kubilang nanti seperti itu.”

Aku kehilangan kata-kata, sampai kujawab, “Terserah!”

Setelah itu Bung Karta alias Oom Mentasi pergi dari situ. Dari kafe ini. Dari tempat orang
minum kopi-kopi bencong. Karamel machiato. Vietnam drip. Espreso pakai gula. Kafe late.
Kafe au lait. Kopi hitam. Kopi susu. Kopi karamel. Hanya itu yang kutahu. Tapi tidak sesempit
itu wawasanku. Aku suka membaca bahkan sejak masih balita dan belum bisa mengeja.
Membaca membuatku mudah mengingat-ingat. Pikiranku lancar dan mudah berkhayal dan
menganalisa. Karena itu juga aku memilih metode penelitian kuantitatif yang menantang
sebagai bentuk persetujuanku dengan Bung Karno, eh bukan, persetujuan dengan Master
Lis.

“Ah. Tidak. Itu karena dia kawan Ibu, kan..?” Ujar Putra, salah satu kawan terdekatku yang
pernah datang ke rumah, makan di rumah, terkadang menginap dan ikut memanggil ibuku
sebagai ‘Ibu’, serta berniat menjadikan Tere Liye sebagai skripsinya. “Kenapa?” tanyaku.

“Apanya?”

“Kenapa kamu jadikan Tere Liye sebagai tulisan yang serius?”

“Kalau bukan Tere Liye, aku mau John Green.”

“Kenapa harus mereka? Kenapa bukan, misalnya, Winna Efendi?”

“Itu terlalu menye-menye, Sayang.”

“Jadi kalau Tere Liye, bukan menye-menye?”

“Dia populer, dan tidak terlalu menye-menye.”

“Lalu, kenapa bukan Dewi Lestari? Kan lebih serius dari Tere Liye,”

“Dari mana kamu bisa bilang?”

“Aku kenal dengan dia,”

“Oh.”

42
“Iya, walau pun hanya teman Instagram.” Kataku, “Karena dia suka gambar yang kubuat
pakai tanda pagar.”

“Oh.”

“Aku kan rencananya mau Sastra Bandingan antara Tere Liye dan Neil Gaiman,” katanya lagi.

“Ohh.. Bilang, dari tadi!”

Setelah itu, aku mengeluarkan ponselku dari saku, memeriksa surel. Ya, seperti yang
kuduga. Ada pesan baru. Dari redaksi koran Kompas;

Ditolak.

15

Menangisi naskah yang agaknya mampu mematahkan arang. Membuatku ingin, ingin saja,
memakaikan baju yang sudah lama kubeli, tapi belum pernah kupakai sebelumnya, ke tubuh
kurusku. T-shirt Manchester United pemberian Stephen Caeross beberapa hari setelah hari
ulangtahunku, tiga tahun lalu, saat masih berada di tahun-tahun Sekolah Menengah Atas.
Saat tiba di kantin di sebelah kampus, Bu Sri yang menjual lontong, biasa dipanggil Bu Sri
Ayati oleh anak-anak, menyapaku sambil tergelak “Wow! Ada Park Ji Sung!” Aku ingin
mengatakan kalau Park Ji Sung sudah lama keluar dari klub ini, tapi lebih memilih diam
sambil melempar senyum. “Makan apa, Sung?” katanya.

“Lontong kacang, Bu Sri Ayati..” sahut salah satu dari kakak-kakak senior yang duduk di meja
lain, perempuan yang aku lupa namanya. Aku lebih suka mengingat wajah mereka, kecuali
Liya dan Bung Karta, ketimbang bertanya sekali lagi siapa namanya. Mereka akan
menganggap kalau bisa-bisanya aku melupakan mereka, padahal begitu banyak orang yang
tidak melupakanku. Ini karena aku lebih ingin mengingatmu, Alysa. Mengingatmu dan
membuat ingatan-ingatan lain menjadi terhalang untuk masuk ke kotak informasi di kepala.

Tanpa memastikan apakah aku pesan lontong kacang atau yang lain, atau hanya ingin duduk
saja, Bu Sri segera mengemas ketupat, kerupuk dan mie ke dalam sebuah piring dan
menyiramnya dengan kuah kacang. Lalu mengantarnya padaku. Aku sebenarnya lebih ingin
kopi saja pagi ini, tapi biarlah. Demi menghargai ingatan kakak-kakak senior kepadaku.

43
Kubuka ranselku dan mengeluarkan laptop. Aku harus mengerjakan sebuah naskah yang
akan kulombakan di sebuah sayembara sastra dari lembaga kebudayaan di Jakarta.
Hadiahnya lumayan. 20 juta. Bisa untuk melamar anak gadis orang. Syarat sayembara ini,
naskah harus empat puluh ribu kata. Itu sekitar seratus lima puluh atau dua ratus halaman.
Biar kucoba kerjakan, mana tahu bisa menikah. Hehe.

Belum sepuluh ribu, ponselku langsung berbunyi. Telepon dari ibu. Beliau bertanya apakah
aku akan pulang cepat atau ada kegiatan tambahan. Aku berkata bahwa aku akan
mengunjungi toko buku bekas untuk mencari keperluan mata kuliah Sejarah Sastra
Indonesia. Pak Edelweis, ya. Nama laki-laki itu memang nama bunga. Ia menyuruh kami
untuk mencari buku Cala Ibi karangan Nukila Amal. Sebuah novel dengan penataan kalimat
yang sangat progresif, katanya. Hanya katanya. Aku belum percaya.

Tiba-tiba, sebelum aku selesai makan, seorang lelaki berhelm yang baru turun dari sepeda
motor langsung duduk di depanku. Melepas helmnya, mengelap keringat di dahinya, lalu
menatapku dengan tampang menunggu sesuatu. Aku terdiam. Siapa dia? Eeh, siapa ya?
Siaapaa? Sebelum kutanggapi lebih jauh, dia tersenyum cengengesan lalu terkikik sendiri.
Aku bingung. Agak malu karena lupa dia siapa.

Lantas dia menyodorkan tangannya kepadaku, “Steve.”

“Oohh! Steve? Stephen Caeross?” tanyaku memburu.

Dia mengangguk.

Kami langsung berpelukan erat. Sudah lama aku tak melihatnya, semenjak dia menyuruhku
mengikuti program Education First untuk mengejar Alysa ke Amerika. Sejenak kami pun
berdiam diri sambil saling memperhatikan. Dia bertanya apa kabarku, aku bertanya apa
kabarnya. Dan dari mana dia tahu kalau aku kuliah disini. Dari seorang teman, katanya,
sambil memuji pilihanku. “Ah, sebenarnya aku lebih ingin jurusan lain..” kataku.

“Tapi kamu kan dulu suka buat puisi.. Masa penyair jadi dokter?”

Aku tertawa sebisanya, dan lebih ingin bercerita panjang lebar padanya. Terutama
mengenai Dokter Zhivago, salah satu tokoh di novel Boris Pasternak yang paling terkenal,
dia pasti belum tahu. Kalau pun tahu, dia pasti tidak membaca. Kalau membaca, tidak

44
membacanya sampai habis. Novel yang bercerita tentang keadaan Rusia di masa-masa
terakhir puncak sistem kekaisaran di negeri itu. Dokter Zhivago, yang juga menjadi saksi atas
sebuah tragedi di masa tersebut, adalah seorang dokter yang pandai menulis puisi. Sebelum
akhirnya kutanyakan alasan dia kesini.

Mukanya menegang, “Alysa menikah.”

Aku sudah tahu. Bahwa hal ini pasti akan terjadi. Dan aku yang terlambat untuk
menghentikannya, juga terlambat untuk datang ke acaranya. Bukankah begitu? Air mataku
tak lagi sesuatu yang perlu dihebohkan. Selain karena sudah dewasa, cinta bukanlah barang
penting untuk seorang yang kuat sepertiku, yang punya kemampuan spesial. Orang kuat
sepertiku bisa mengkhayalkan kekasih imajiner, lalu menulis banyak puisi kesedihan untuk
menipu dirinya dan orang lain yang mudah tersentuh. Begitu, kan yang ingin kalian katakan,
wahai pembaca?

“Kamu menangis?” kata Stephen Caeross.

“Enggak. Enggak apa-apa,” jawabku sambil menghapus linangan di pipi. Lagipula aku sudah
melupakannya dan mencintai orang lain. Walau harus dengan sedikit usaha. Sedikit. Ya,
sedikit. Karena aku terlalu playboy untuk tidak mencintai gadis-gadis lain, itu yang kalian
ingin dengar kan, pembaca??

“Kapan resepsinya?” tanyaku.

“Sebaiknya kamu tidak usah datang..” kata Stephen Caeross menasehati. Kepalanya agak
tertunduk, aku tahu dia menyesal telah memberi informasi ini padaku. Aku tahu dia
berharap orang lain yang melakukannya. Karena aku memang harus tahu, agar tidak lagi
mengganggu Alysa jika perempuan istri orang lain itu bertemu denganku di suatu saat di
hari depan.

16

Mengacuhkan nasehat Steve, aku tetap datang ke acara itu. Aku ingin melihat Alysa untuk
yang terakhir kali. Aku memandangi kedua pengantin itu dari jauh. Dan Alysa tidak terlihat
lebih cantik dari biasanya. Dia justru lebih menyedihkan. Terkurung dalam sebuah kekangan
peraturan kaku yang tak bisa dibengkokkan, yang jika dibengkokkan pun akan menjadi patah

45
dengan serpih-serpih yang jatuh ke lantai. Meski pun tak kupungkiri, riasannya termasuk
riasan yang cukup menahan diri untuk tidak menutupi mukanya. Dia juga mengenakan gaun
putih pengantin seperti di acara-acara pernikahan di film-film Barat.

Tunggu.

Dia pindah agama? Seharusnya aku sudah tahu sejak tadi. Jadi takkan kumakan hidangan
yang disediakan disini. Benar kata Steve, aku lebih baik tidak datang kesini, ke tempat
terkutuk ini. Karena jika sampai termakan babi, aku bisa berubah menjadi orang yang tak
kukenal lagi. Kamu adalah apa yang kamu makan.

Segera aku pergi dari sana.

Tapi sebelum benar-benar pergi, Bibi May yang merupakan orangtua Alysa, menepuk
pundakku dan menyapa. “Hey, Vellesa. Kamu apa kabar?” dia tersenyum dengan senyuman
paling menjengkelkan yang pernah kutahu, karena senyum itu aku harus tinggal sebentar
disini untuk meladeni janda ini. “Kamu sudah coba salmonnya? Enak sekali.” Aku nyengir
sebisanya, hanya untuk menghormati. “Iya, sudah.” jawabku. Salmon atau babi?

“Maaf, Bibi May. Aku harus segera pergi. Aku ada urusan. Maaf.”

“Tak bisakah tinggal lebih lama, sampai acaranya selesai? Kamu bahkan belum menemui
Alysa, kan?”

“Iya.. Tapi ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.”

“Oh.. Ya, sudah. Baiklah kalau kamu tidak mau menyapa temanmu lagi.”

“Ah, tidak. Bukan. Bukan begitu..”

“Jadi?”

“Bos di tempat kerjaku orangnya pemarah. Kurasa lebih baik dimarahi Alysa daripada bos,
karena kalau pun Alysa marah, ia tetap cantik.”

“Ah, bisa saja kamu ini..” kata Bibi May mencubit lenganku. “Ya, sudah. Hati-hati, ya.”

“Iya. Terimakasih.”

46
16

Marah? Tidak terlalu. Justru aku pergi bersama isi hati yang campur aduk. Antara lega dan
sedih, tapi sedih yang tidak terlalu sedih. Lebih kepada perasaan sentimentil. Perasaanku
menciptakan ring tinju antara puisi Pemberian Tahu Chairil Anwar dengan Aku Ingin Sapardi
Djoko Damono. Pada puisi Chairil tersebut, kutemukan serangan-serangan di ring tinju
perasaan dari sajak Chairil “Aku pernah ingin benar padamu // Di malam raya menjadi
kanak-kanak kembali” yang memukul telak bagian inti puisi Aku Ingin yang penuh
kedewasaan, keikhlasan, kepergian dan pengorbanan yang tidak terucapkan. Ini seperti
melihat seorang nelayan kurus berpenyakitan di atas perahu yang bersikukuh merokok,
sementara hujan badai datang mematikan api candunya, bahkan berusaha membalikkan
perahu agar api Highway itu tumpah dan tenggelam ke laut.

Dan puisi Chairil tersebut berkata lagi, “Jangan satukan hidupmu dengan hidupku // aku
memang tidak bisa lama bersama” seolah mereka pindah dari ring tinju perasaan menuju
pertengkaran rumah tangga. Antara kakak laki-lakinya yang saat itu sudah berumur delapan
belas tahun dan baru dibolehkan menyesap tembakau, dengan adik bayinya yang masih
mengisap air susu. Kakaknya yang sebenarnya masih menginginkan puting payudara ibunya,
cemburu dan menculik adiknya. Hingga pertengkaran rumah tangga mereka pun terjadi di
kapal, di laut yang tidak jelas lokasinya karena terlalu luas.

Ini juga kutulis di kapal, di laut tak bernama” tulis si kakak lalu menyelipkan kertas tersebut
ke saku adiknya. Agar bayi itu ingat, ketika ia tumbuh besar, dia menyadari bahwa ini adalah
suatu pertempuran abadi yang tidak pernah terelakkan.

17

Menepikan bayang-bayang Si Binatang Jalang yang berhantam dengan Hujan, aku kembali
memikirkan naskah yang akan kuikutkan sayembara 20 juta itu. Tapi saat ini aku sedang
merindukan Seniman Musiman, yang membuatku terdampar di dalam bus berpendingin
udara paling menyakitkan menuju Bukiteukoh. Jadi kubaca saja apa yang saat ini bisa
dibaca, sambil mengenakan kain sarung merah yang kubawa untuk sholat. Setelah
sebelumnya memeriksa status keuanganku. Dengan menaiki bus ini, maka pengeluaranku
lebih hemat 1.430.000 Rupiah dibanding naik pesawat, meski pun harus membeli makanan

47
di setiap pemberhentian bus. Sisanya akan kupakai untuk membeli novel-novel bekas di
Pizzatta. Untuk membangun pustaka dengan Seniman Musiman.

Kubuka buku catatan yang berisi corat-coret selama ini. Beberapa di antaranya adalah
cerpen-cerpen yang masih berupa goresan kasar. Temanya memang tidak terlalu segar,
judulnya pun asal comot saja. Ada Norwegian Wood yang mengisahkan pencarian pohon
langka yang konon terdapat di daerah Eropa Timur. 1Q65 yang kuambil dari cerita kakekku.
Kepompong Udara tentang cinta erotis dari seorang aktris Jepang. Natural Honey, yang
mengisahkan lebah robot yang diciptakan untuk menambah produksi madu. Dan judul yang
menurutku paling brilian adalah Ooo000ooo000ooo000ooo000ooo. Tapi itu masih hanya
berupa judul, bukan cerpen. Dan sebenarnya aku lebih ingin menjadikan O Kosong sebagai
buku di antara novel dan novelet, yang menceritakan pertemuan seorang pemuda dengan
pemudi di atas pesawat dari Jakarta menuju Brazil, dan karena tidak saling kenal mereka
tidak berani untuk mengobrol. Hingga mereka berpisah dan masing-masing di antara
mereka saling merindu. Alih-alih bertemu di dunia nyata, mereka malah menemukan
peristiwa-peristiwa pseudo yang membuat mereka bertemu lagi, meski hanya di dalam
dunia pseudo alias dunia khayalan yang mereka bangun masing-masing. Dan pada akhirnya,
satu per satu dari mereka mengidap skizofrenia hingga dirawat di panti jiwa, hingga mereka
pun bertemu disana, secara spiritual maupun alam fisik. Cerita ini dimulai dengan kalimat
dari si tokoh laki-laki;

Aku tidak bisa menulis dengan bagus, sebab bukan seniman kata-kata beneran. Dan
beginilah tulisan itu. Tapi seenggaknya aku punya plot bagus untuk diceritakan. Saat aku
melakukan perjalanan dari Jakarta ke luar negeri, yaitu Brazil. Aku menemukannya yang
mewujud ke dalam bentuk perempuan yang duduk di sebelahku. Aku tak bisa berbicara
banyak. Dan bukannya memulai, kepalaku malah tertunduk kaku menghadap lantai
pesawat, setiap kali ia menoleh kepadaku. Atau ke arah jendela? Aku tidak tahu pasti.

Si tokoh perempuan;

Aku mendapati diriku duduk di sebelah cowok paling cakep yang belum pernah kutemui
sebelumnya. Tapi sebenarnya dia tidak terlalu cakep, malah jauh dari ciri-ciri orang cakep.
Tapi entah kenapa, hati ini berdebar setiap kali dia menggeliat, seolah ingin berdiri atau
pindah dari tempat duduknya, ke tempat dudukku. Maka kucoba memberinya pertanda

48
bahwa aku menyukainya. Tapi dia tetap diam. Hey! Kenapa kamu tidak mau menoleh
kepadaku? Ayo! Beranikan diri dan sapalah aku.

Si tokoh laki-laki;

Perempuan itu masih menghadap jendela ketika akhirnya kusadari ia tertidur di bahuku.
Betapa nyaman rasanya. Kuperhatikan kulitnya yang putih serta rambutnya nan hitam dan
harum. Tapi sayang, aku sedang tidak dapat menatap wajahnya untuk mengingatnya.
Supaya satu hari nanti, jika aku punya cukup keberanian, dan bertemu lagi, aku akan
mengajaknya bicara. Ya. Suatu hari di hari depan. Aku yakin karena aku percaya pada
Tuhanku.

Si tokoh perempuan;

Dasar pengecut! Sampai kapan aku harus berhadapan dengan ketakutannya. Seharusnya
dia sempatkan diri untuk bicara, mengajakku mengobrol, atau sekedar memberi seulas
senyumnya padaku. Ini malah kutemukan dirinya hilang, sudah pergi, turun dari pesawat
begitu penerbangan selesai. Saat tidak ada orang yang tersisa di lorong pesawat, dan
seorang lelaki pramugara membangunkanku. Iya, lelaki ini cukup tampan. Tapi aku
menginginkan laki-laki tadi. Dimana dia?

Si tokoh laki-laki;

Sebenarnya aku tak keberatan bila dia juga tidak keberatan mengobrol denganku. Tapi aku
bukanlah laki-laki yang punya daya tarik dari segi penampilan maupun seks, jadi mau apa?
Lebih baik kukejar jadwal pertemuan Asosiasi Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak
se-Amerika dan Asia yang harus kuhadiri, sebagai titik lompat yang lebih jauhku di dunia
feminis. Ya, setelah menjadi translator Indonesia paling produktif yang menerjemahkan
buku-buku Samuel Ganjavi, Enoch Assimov, Emile Fromm dan Mary Wollstonecraft – Duh!
Sayang sekali, padahal Wollstonecraft berkata dalam salah satu bukunya, “Setiap
permulaan adalah hari ini.” Dan itu berarti aku telah menunda dan membuang kesempatan
untuk berkenalan dengannya.

Si tokoh perempuan;

49
Aku turun dari pesawat. Makanan-makanan yang mereka sediakan masih belum cukup
untuk mengenyangkanku. Aku pergi ke toko kecil di bandara, membeli sebotol air minum,
sebungkus Pringles dan beberapa batang Soyjoy.

Itulah kalimat-kalimat penting yang masih tersimpan di kepalaku. Ya, aku memang belum
menuliskannya, tapi aku yakin cerita ini layak diterjemahkan ke bahasa asing karena judul
dan gaya ceritanya yang brilian. Ini akan membuatku bertemu dengan penulis-penulis
terkenal seperti Elif Shafak, Haruki Murakami, Han Kang, John Green dan tentunya akan
menambah reputasi diriku yang belum bekerja tetap. Mulai sekarang, target baruku adalah
mencari bule-bule penyuka sastra yang sudi berkenalan lantas bersahabat denganku.

Bus berhenti di stasiun kota Palembang, aku berjalan keluar mencari pempek. Tapi karena
sudah terlalu malam, penjual makanan susah ditemukan. Akhirnya kudapati diriku di mini
market kecil yang lampunya sudah redup dan belum diganti. Jaring laba-laba di setiap sudut.
Sebuah hantu patung, menguap mengantuk di dekat jendela. Kuambil sebotol susu kedelai,
sebungkus kerupuk kemplang, dan empat batang Silverqueen putih. Lemak cokelat. Lemak
kelapa. Lemak kacang. Lalu membayar mereka sambil memasang headset dan mendengar
lagu Surga Cinta yang dimainkan Ada Band.

18

Malamnya aku sampai di Bukiteukoh, bertandang ke rumah Seniman Musiman dan


bermaksud menginap disana. “Kamu suka Eka Kurniawan?” kata Seniman Musiman, saat
mengobrol malam di kamarnya. Aku mengangguk. Kenapa, tanyaku. Lalu kau berkata, Kamu
bukan pembaca yang baik. Kamu pastinya mengkultuskan Eka Kurniawan karena dia
membaca banyak buku-buku hebat, dan mengenai suksesnya dia di dunia penulisan,
tentunya membuatmu bertolak ukur hanya kepada Eka. Menjadikan kamu hanya membaca
buku-buku Eka, dan mencibir buku-buku sastrawan Indonesia yang lain.

Tidak juga, katamu. Aku justru mengenal para penulis hebat karena dia, dan karena itu ingin
membaca buku-buku mereka, jelasmu. Tapi aku masih belum percaya. Makanya setelah itu
kamu langsung pergi membeli rokok untuk kita, kamu Sampoerna Hijau dan aku GG Mild.
Kenapa harus Sampoerna Hijau? Kataku. Enak. Rasa kacang, jawabmu. Tapi ternyata kamu
lupa membeli kopi, jadi giliranku yang pergi mencari. Kopi gingseng instan. Tapi aku tidak

50
menemukan warung mana pun yang menjualnya. Jadi kuputuskan untuk membeli Coffemix.
Lumayanlah. Bungkusnya mirip.

Sekembalinya aku dari warung, masuk ke kamar untuk membuka sebungkus GG Mild dan
mengambil sebatang darinya. Kudapati dirimu sedang menengok-nengok album foto yang
kupakai untuk menyimpan sketsa-sketsaku. Bagus-bagus, nih. Katamu memuji, tapi aku
kurang percaya apakah itu pujian tulus atau tidak. Lalu kau putuskan untuk mencomot
selembar kertas dari lemari, kemudian mulai menggambar. Lagi. Seperti dulu. Kesukaanmu
sejak dulu, sebelum dunia puisi mulai menguasaimu.

Dari mana kau bisa mengatakan aku sudah berhenti? Katamu. Ah, kau sudah bisa membaca
pikiran, ternyata. Dan benar kata Tiga Kekuatan, kau sudah tidak seramah yang dulu. Apa
judul skripsimu? Kataku sambil membakar sebatang rokok, melirik laptopmu yang tergeletak
di meja, Toshiba Satellite, yang terkeren di zamannya. Eka Kurniawan dan Realisme Magis,
jawabmu. Selesai menggambar kau pergi berwudhu dan sholat Isya. Setelah itu kulihat kau
berdoa. Kau jadi lain sekarang, komentarku.

“Kau jadi lain sekarang.” Kataku sekali lagi, setelah kau bertanya apa yang kukatakan, karena
kau hanya mendengarnya samar-samar. “Lain? Maksudnya?” katamu. “Kau sekarang rajin
sholat, pendiam, dan suka berdoa. Ya.. Mungkin karena itu kamu jadi pendiam..” jawabku,
kemudian pergi ke dapur, menghidupkan kompor untuk merebus kopi. Kau ikut dan berdiri
di sebelahku. “Siapa pacarmu sekarang?” tanyaku.

“Seorang perempuan bernama Ani.” Katamu, “Dia spesial.” Tentu saja dia spesial, kataku.
Tak pernah kau memacari cewek yang tidak spesial, bagimu, bagiku tidak. Tapi begitu
kulihat ke dalam sepasang matamu, akhirnya aku mengerti.

19

“Mmm.. Baunya enak..” katamu, sambil membawa laptopmu ke kamarku dan


menghidupkannya. Bunyi khas Windows terdengar nyaring. “Kopinya direbus?” katamu,
sambil duduk di lantai membelakangi jendela dan mengetik tulisanmu, entah yang mana.
“Skripsiku.” Jelasmu, “Kenapa kopinya direbus?”

51
“Lebih enak begini. Cobalah.” Aku ikut ke kamar dan meletakkan kedua cangkir di lantai.
Masih panas, jelasku. Kau mengangguk. “Jadi kamu belum lulus?” Padahal aku ingin
merayakan kelulusan itu dengan mengajakmu jalan-jalan. Bertemu teman-temanku, para
penggila novel-novel Haruki Murakami. Konon, Eka Kurniawan juga sempat dijuluki
‘Murakami Indonesia’.

“Sebentar lagi aku lulus,” jawabmu, “Setidaknya lulus, walau pun bukan cum laude.”

“Harus cum laude, dong!” celetukku.

“Kenapa memangnya?”

“Sastra kan keahlianmu sejak dulu,”

“Keahlianku sejak dulu cuma melihat hantu. Rupa saja bukan, apalagi sastra.” Kamu
mencoba melawak, tapi itu tidak lucu. Melihat hantu bukanlah keahlian, melainkan kutukan.
Tapi setidaknya, hari ini kamu sudah membongkar sifat pendiammu itu.

“Memang, selain kamu, siapa yang bilang aku pendiam?”

“Hantu si Jechungid juga bilang begitu,” tambahku, walau sebenarnya hanya akal-akalanku
saja. Kita sama-sama belum pernah berbicara dengan hantu. “Sejak ada Ani ini, nampaknya
kamu sudah mengacuhkan perempuan lain.. Kamu tidak takut hantu itu cemburu?”

“Entahlah. Aku tidak memikirkannya.”

Malam itu kamu tidur di kamarku. Sebenarnya tidak tidur, kamu terbangun berkali-kali
sementara kubaca skripsimu sambil ditemani rebusan Coffemix di cangkir keempat. Jelas
disini terlihat kau begitu mengagumi Eka Kurniawan. Kau bahkan menganalisa mengapa
Cantik Itu Luka, novel pertamanya yang berukuran epik itu, sampai laris di pasaran. Kau juga
membahas dialektikanya dengan novel-novel Gabriel Garcia Marquez, esai-esai fiktif Jorge
Luis Borges, komik-komik Kho Ping Hoo, horor-horor Abdullah Harahap, hingga seksualitas
Enny Arrow, yang buku populernya dijual murah karena dibuat dari kertas stensil. Alih-alih
menjulukinya sebagai Titisan Pram atau Murakami Indonesia, kau menjulukinya Sastrawan
Musim, terkait bagaimana ia mempengaruhi hampir setiap penulis di Indonesia.

20

52
Memulai pembicaraan saat kita duduk-duduk di salah satu toko kopi di dekat pusat kota,
aku berkata, “Kamu tahu agama Kirr?” Kau memesan sari kopi espreso, aku memesan
karamel machiato. Jauh-jauh ke toko kopi malah beli kopi manis, komentarmu.

“Apa yang kau tanyakan tadi?”

“Tahu agama Kirr?”

“Yang jadi salah satu konspirasi itu?”

“Bukan.. Eh, mungkin iya. Tapi tidak ada hubungannya dengan Illuminati atau Freemason.”

“Tapi ada hubungannya sama Soeharto, kan?”

“Ya, iyalah. Satu negara, kan?”

“Memang Kirr asalnya dari Indonesia?”

“Konon katanya begitu.”

“Kukira malah dari Malaysia,”

“Eloe nggak ikut agama itu, kan?”

“Kenapa, memangnya?”

“Habis, loe menjadi terlalu alim sepulang dari Jakarta.”

Kamu memperbaiki posisi dudukmu dan menempelkan tanganmu di dagu. “Hmm.. Enggak,
gue enggak ikut.”

“Lalu?”

“Gue ikut tarekat disana,”

“Ha?”

“Bukan tarekat sesat, jadi jangan khawatir.” Ujarmu sambil tertawa.

“Apa nama kelompoknya?”

“Daudiyah.”

53
21

Menurut sumber di internet, Daudiyah adalah tarekat yang memiliki kitab wajib yang
disebut Dekalog. Aku agak ragu soal ini, apalagi corak yang terdapat pada kelompok ini
adalah Syiah Imamiyah, yang mengakui 12 Imam sebagai pemimpin Ilahiah. Terlepas dari
pengakuan mereka terhadap aliran Sunni yang juga mereka terapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Vellesa pun mengikutinya lantaran pembimbing yang ia sebut Kak Guru, seorang
putri dari ahli filsafat bernama Abdul Hadi Wiji Muthari, adalah perempuan Daudiyah yang
menulis sebuah roman berjudul Tarian Kabut. Buku berisi 500 halaman dengan huruf-huruf
mungil, yang barangtentu sudah lebih 100.000 kata. Sampulnya menggunakan lukisan yang
didominasi warna biru, paling ciamik yang pernah ada di aliran abstrak, Blue Card from Me
ciptaan Jeffrey Sumampow. Dan itu membuat dia tergila-gila.

Setelah habis membacanya, Vellesa langsung menghubungi Kak Guru. Lewat akun Facebook,
di kolom obrolan, mereka saling bertukar sudut pandang mengenai agama-agama di dunia.
Salah satunya agama Kirr yang baru-baru ini menjadi ikon kontroversial di Indonesia. Kak
Guru terkagum-kagum kepada kepintaran Vellesa berdialektika, serta wawasan pemuda ini
yang lumayan luas untuk seorang yang tidak mempelajari studi antar-agama sepertinya.
Akhirnya, Kak Guru bertanya kepada Vellesa, apakah dia mau menjadi teman diskusi
tetapnya. Dan Vellesa bilang, “Kebetulan tadi malam aku bermimpi melamar jadi muridmu.”
Kak Guru bilang, “Great!”

Saat itu Vellesa sedang di West Sumatra, di rumah bibinya, Master Ai yang baru pulang dari
kuliahnya di Darmstadt, saat itu juga sedang tegila-gila kepada Malala Yousafzai, dan
menyuruh Vellesa untuk membaca I Am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and
Was Shot by the Taliban. Buku bahasa Inggris itu lalu dibacanya menggunakan Google
Translate. Dia menghabiskan waktu dua minggu untuk menyelesaikannya, kemudian
mendiskusikannya dengan Master Ai sambil minum kopi di Rimbun Espresso and Brew Bar,
salah satu kedai kopi yang terkenal di West Sumatra. Aku nggak diajak.

Dan saat Vellesa sedang menginap di rumah bibinya, ia bermimpi bertemu seorang
perempuan bertopeng yang mengaku sebagai seorang feminis dan aktivis perdamaian
antar-agama. Ia mengaku akan mewariskan seluruh ilmunya kepada Vellesa, asalkan
sepupuku ini tekun berdiskusi dengannya. Dan mau menulis sesuatu selain puisi. Vellesa

54
mengangguk. Kebetulan ia sedang berusaha menyelesaikan sebuah novel dengan judul
paling subversif yang pernah ada, setidaknya begitulah menurutnya. Akhirnya perempuan
itu membuka topengnya, dan ternyata dialah penulis buku terfavorit Vellesa di dunia ini.

Gayatri Chen Chen, namanya. Dan, wanita penulis novel spiritual bersampul biru yang
kusebutkan tadi, sebenarnya adalah korban perjodohan orangtuanya. Ayah dan ibunya
sempat bertengkar soal ini, tapi karena masalahnya terlalu genting, harus cepat-cepat
diselesaikan, dan juga terlalu sepele untuk diributkan, Chen Chen malah menjawabnya
dengan senyuman. Senyuman. Hanya itu. Lalu orangtuanya sepakat untuk menjodohkannya
dengan laki-laki bernama Jamis Bond. Seorang eksekutif muda, tapi tidak terlalu muda. Dia
tipe laki-laki yang sering memakai setelan jas hitam dan kemeja, dan suka pergi ke pesta.
Pesta apa saja, dansa, pernikahan, bahkan ulangtahun anak-anak. Gayatri malah bisa
dikatakan anak-anak saat dijodohkan dengan laki-laki itu. Perjodohan yang, sebenarnya,
diatur sendiri oleh laki-laki itu. Namun sayang, itu pernikahan yang tidak bahagia. Jamis
Bond ketahuan serong bersama perempuan lain. Begitu istrinya tahu, Jamis Bond bertingkah
biasa saja, seolah tidak melakukan kesalahan. Dia bahkan membahas betapa cantiknya
perempuan yang dikencaninya, lalu aku jelek? Kata Gayatri, Jamis Bond salah tingkah dan
memperbaiki ekspresi wajahnya. Tidak. Kau hanya kurang dandan. Kata Jamis Bond. Gayatri
yang saat itu baru selesai sekolah di Pontifical University of St. Thomas Aquinas jurusan
Teologi, berkata bahwa Jamis Bond bahkan tidak mengerti siapa Tan Malaka, siapa
sebenarnya Yesus Kristus dan siapa pun dia Imam Mahdi. Jamis Bond geleng-geleng, apa
yang istrinya pikirkan, katanya dalam hati. Dan seperti bisa membaca pikiran suami
brengseknya, Gayatri berkata, “Kau serigala hidung belang!!”

Tapi Jamis Bond tidak mengerti. Dia hanya terdiam kaku menatap perempuan itu. Karena
dia tidak bisa berbahasa Indonesia, dan kalau pun bisa, bisanya cuma sedikit. Ia tahu apa itu
serigala, tapi karena binatang itu tak ada di sekitar sini, ia kebingungan mencari
padanannya. Lalu Gayatri membentaknya, Dasar playboy bodoh! Dan tentunya dalam
bahasa yang Jamis Bond mengerti. Setelah itu Gayatri pergi berlari keluar rumah, Jamis
Bond tidak mengejarnya, mungkin karena lupa. Atau karena lututnya masih capek setelah
menginjak rem di tengah kemacetan negeri ini. Gayatri berlari dan berlari. Di tengah hujan,
pakaiannya basah dan dia tersandung lalu terjatuh ke lumpur. Dia pingsan. Tapi setelah

55
bangun, dia tidak menemukan Jamis Bond disana, tapi seorang teman yang sahabat
dekatnya nan ia panggil Mas Pendeta Ganteng.

Dia tergeletak di atas tempat tidur di rumah sakit, setidaknya begitu, menurutnya sambil
menerka-nerka ini dimana. Mas Pendeta Ganteng mengiyakan, dan ia berkata bahwa ia
membawa seorang pemuda yang baru ditemuinya di gereja, tadi pagi, secara pertama kali.
Ia berkata bahwa dirinya memiliki nama Kristen, tapi ia sendiri bukan seorang Nasrani. Ia
tertarik untuk mempelajari agama Kristen. Dan sebelum Mas Pendeta Ganteng mengiyakan,
ia merasa harus mengajak pemuda itu untuk bertemu dengan seorang syaikha dari tarekat
Daudiyah. Tak usah mengobrol, cukup minta berkat darinya saja, kata Mas Pendeta Ganteng
menjelaskan, lalu Gayatri tertawa. Namun belum cukup untuk menyembunyikan rasa
penasarannya atas mengapa ia bisa sampai dirawat disini. Akhirnya Mas Pendeta Ganteng,
dengan berat hati, mengatakannya.

Begitulah setidaknya, yang kutangkap lewat membaca wajah Kak Guru-nya Vellesa Azephi.

22

“Mikum.” Gumamnya, membaca salam tapi dipercepat. Dia baru saja kembali dari warung,
begitu aku selesai memasak bubur oat. Angin pagi ini begitu dingin, lebih jauh berbeda dari
pagi-pagi sebelumnya. Vellesa menggantungkan jaketnya di salah satu paku di dinding. Aku
memindahkan bubur dari panci ke mangkuk-mangkuk untukku dan Vellesa. “Dari mana?”

“Merokok..” sahutnya, “Udara disini keren.”

Kamu memang benar-benar kembali dari sifat pendiam, kembali ke banyak bacotmu.
“Maksud loe?”

“Ya, udara dingin begini.. Aku sampai terbang ke luar negeri,”

“Ooh..,”

“Apalagi langit mendungnya yang malu-malu itu.. Imut!”

“Hmm.. Oke. Ini sarapannya sudah tersedia.”

“Loe bikin sarapan? Wahh.. Tahu saja gua sedang lapar..” ujarnya lalu meraba perut. “Baru
ketemu teman lama, tadi..”

56
“Siapa?”

“Emil,”

“Emil? Emil mana?”

“Emil yang suka gabung sama kita itu, yang juga suka nggambar-gambar..”

“Ha..?”

“Iya. Masa loe lupa?”

“Ya, kan udah lama banget..”

“Itu lho, yang pakai kacamata, terus kacamatanya waktu itu patah gara-gara abangnya.”

“Ha?” kataku, tambah bingung. Siapa pula abangnya itu?

“Abangnya juga seperti pacarku,”

“Ooh..” Seberapa cinta kau pada abangnya?

“Abangnya Indigo.”

“Seperti kita?”

“Kalau menurut catatan yang kubaca, kita ini lain dari Indigo. Indigo itu anak-anak yang tidak
bisa berkomunikasi atau kesulitan bicara, tapi mudah menangkap pesan alam.”

“Juga bisa lihat hantu?”

“Abangnya?”

“Dia.”

“Ya.. Sepertinya begitu,”

“Bagus. Sekarang tambah anggota kita.”

“Ya, nanti kukenalkan.” Katanya, “Serius loe lupa?”

“Dimana mereka tinggal?”

57
“Dekat-dekat sini juga..”

“Oke. Siang nanti, ya.”

Siangnya kami berangkat mengunjungi rumah Emil. Rumah itu berjarak beberapa petak dari
rumahku, katanya. Tapi kenyataannya rumah itu lebih jauh. Ada hampir sekitar satu
kilometer berjalan kaki sambil dihembus angin dingin kota ini. Sesampainya di daerah
tersebut, aku melihat rumah dengan bentuk bangunan lama yang dibangun dari sekitar
tahun 60an. Rumah bercat putih dengan empat tiang berwarna toska. Tingkat dua. Terdapat
garasi tua tanpa mobil. Dan beberapa rumah lain yang justru terlihat lebih baru daripada
rumah ini. Aku tak sabar melihat isi dalamnya. Pastinya banyak barang-barang antik.

“Assalamualaikum.” Kata Vellesa. Hening.

Kemudian dia mengetuk pintu. Dan berkata lagi, “Assalamualaikum. Emil?”

Tak lama, kudengar suara langkah kaki dari dalam. Lalu bunyi gesekan lubang kunci. Pintu
terbuka, “Waalaikumsalam.”

Seorang wanita berumur 70an atau 80an. Aku tak bisa menaksirnya. Wanita dengan tatapan
penuh ketenangan dan kebijaksanaan terhadap berbagai masalah. “Cari Emil?” katanya.
“Iya, Nek.” Jawab kami. “Sebentar..” ujarnya, “Masuklah dulu,”

Kemudian kami mendapati diri di dalam ruangan penuh lukisan, perabot-perabot lama, dan
dinding-dinding penuh coretan anak kecil. Seorang pemuda, dengan kacamata yang
gagangnya direkat pakai selotip serta rambut gondrong dan berantakan, yang muncul
kemudian, membuatku merasa akrab sekaligus rindu. “Hey, Emil!!”

“Hey, Kak.”

“Jangan panggil ‘kakak’..” kataku, “Masa kamu lupa?”

Hening.

Atau aku yang lupa? Jangan-jangan Emil memang panggil kakak. Lalu aku berpikir apakah
aku dulu orangnya sekonvensional itu, ataukah aku dulunya seorang manusia yang cukup

58
feminim? Ingatan-ingatan kemudian kujemput dari tempatnya yang berdebu, kemudian
kutarik paksa karena mereka ogah berdiri dari tempat tidurnya masing-masing.

“Eh.. Iya..,” katanya, agak risih. Dan aku mulai gamang untuk berada disini.

“Panggil dia ‘Seniman Musiman’.” Kata Vellesa, akhirnya memecahkan suasana.


Mengencerkan, lebih tepatnya.

Atau mencairkan? Aku bingung memilih diksi.

“Mencairkan,” kata Emil sambil tersenyum. Kemudian mengajak kami duduk di ruang tamu.
Neneknya kembali dengan beberapa cangkir teh. Untukku. Untuk Vellesa. Emil, neneknya.
Dan, satu lagi untuk siapa? Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain mereka di rumah ini.
“Dimana abangnya?” bisikku ke Vellesa.

“Abangku? Eh.., dia..” dia melirikku dengan punggung matanya, menggaruk-garuk hidung,
sampai neneknya mempersilakan kami untuk meminum teh.

“Ehh.. Iya, Nek.. Iya..”

Begitu kami meminum tehnya, aku mulai merasa tak nyaman di rumah ini. Hantu-hantu
mulai bangkit dari posisi diam mereka. Mendekat kearah kami secara perlahan. Tapi Vellesa
bersikap biasa saja, seolah dia sudah tidak bisa melihat hantu. Dan Emil, entah kenapa, aku
mulai mencium bau sesuatu di pikirannya, yang sayangnya kali ini tidak terbaca. Suasana
perlahan menjadi suram, seperti ditutupi mendung. Neneknya mengejap-ngerjapkan mata,
seolah-olah sedang kelilipan.

Seorang hantu mendehem.

23

Mengalihkan pembicaraan, Emil bercerita tentang komik-komik yang akhir-akhir ini dia
baca. Misalnya serial Hellboy karangan Mike Mignola. Sebenarnya itu bukan komik, katanya,
tapi lebih ke novel grafis. Vellesa pun angkat bicara, katanya Naruto pun kalau begitu bukan
komik, tapi manga. Begitu juga cerita-cerita kungfu karya Tony Wong, sebenarnya juga
bukan komik, tapi manhua. Tapi kemudian Emil berdalih bahwa komik sebenarnya adalah
karya-karya yang diperuntukkan untuk anak-anak, dan karena Naruto diperuntukkan untuk

59
anak-anak, maka Naruto termasuk komik. Tapi Emil mengiyakan kalau karya-karya Tony
Wong memang novel grafis, tapi dia tidak mengiyakan istilah-istilah Asia itu.

“Kamu pasti suka lagu ini..” kataku berceletuk, sambil menghidupkan ponsel dan
menyodorkan headset kepadanya. “Kalau Vellesa sih, sukanya lagu-lagu pop nggak jelasnya
Ada Band sama Adista..”

“Siapa lagi itu?” sahut Emil, bertanya sambil memasang headset ke telinganya. Lalu diam
menunggu putaran lagu. Hingga matanya terbelalak, lalu mulutnya monyong seperti mau
mengatakan sesuatu. “Kalau Nenek, sukanya lagu Ipank.” Kata Nenek. Lalu Vellesa bertanya
itu lagu apa, sedangkan aku bertanya lagu yang mana. Kemudian Nenek mulai bernyanyi.
Kami semua mulai mendengar, lantunan suara yang bagai badai namun jinak sekali, sangat
menawan meski dalam balutan suaranya yang sudah renta.

Lagu itu berjudul Rantau Den Pajauah, dan sesuai judulnya, lagu ini bercerita tentang
seorang perantau dari West Sumatra, yang mengadu nasib dengan pergi ke daerah yang
sangat jauh. Ia mengandalkan kemampuannya berdagang dan berjuang melalui berbagai
kesulitan di negeri rantau, tapi malah tersangkut kail cinta dari seorang gadis di kampung
halaman, yang justru malah mendukungnya untuk pergi.

“Nenek suaranya khas, ya..” ujar Vellesa, memuji. Aku tahu itu pujian tulus, kami tahu.
Walau pun Vellesa tidak benar-benar menyukai lagu itu, mungkin karena kurangnya
kosakata bahasa Minang yang dia kuasai. Lain denganku, yang tahu banyak soal lagu
daripada pengetahuan tentang pekerjaanku sebagai desainer. Aku merasa lebih cocok jika
bekerja di bidang musik, tapi tidak punya keahlian apa pun selain wawasan. Kemudian aku
mengobrol dengan Nenek tentang lagu Minang, bahwa lagu Minang yang bagus itu bukan
lagi kepada instrumennya, seperti lagu-lagu lain. Tapi justru lebih mengutamakan liriknya,
yang sesuai bahasa Minang asli, yang terdapat pada literatur-literatur lama, epos, pantun,
kaba, dan lain-lain. Walau saat ini situasinya menyedihkan. Orang-orang di ibukota West
Sumatra, lebih banyak yang tidak paham bahasa Minang lama, dan malah menggunakan
bahasa Indonesia yang langsung dimasukkan begitu saja ke dalam aksen Minang. Seperti
jaruak untuk jeruk. Padahal bahasa Minang jeruk bukan itu, tapi limau. Atau lalok, yang
berarti tidur lelap, tapi malah diubah menjadi tidua. Abuak yang berarti rambut dijadikan
rambuik. Mentang-mentang bahasa Indonesia mirip bahasa Minang!

60
Nenek mengangguk-angguk, kagum padaku. Tapi ia berkata bahwa, supaya lagu Minang
mudah dikenal orang, dan tetap disukai generasi zaman sekarang, lagu-lagu ini juga harus
dipermudah bahasanya. Dan, mungkin, diberi satu dua kata saja untuk meningkatkan
kualitas dan menjaga bahasa lama. Aku setuju, lalu bertanya apakah Nenek juga menyukai
lagu-lagu luar. Nenek menggeleng, “Yang suka lagu Barat itu ibunya Emil..” kata Nenek
dengan tatapan sendu. Matanya menatap menembus jauh. Seperti melihat kenangan.
Hingga aku mengerti, dan tidak berniat bertanya lebih jauh tentang ibunya Emil.

Emil, yang selesai mendengarkan lagu di ponselku, langsung melepas headset. Dia
mengangguk, seperti paham, tapi tidak terlalu. Itu lagu pengiring dari serial Mahabharata
yang sempat ditayangkan di salah satu saluran teve Indonesia sekitar sepuluh tahun lalu.
Aku tidak paham bahasa India, katanya. Lalu menawarkanku untuk mendengarkan lagu-lagu
Within Temptation atau Evanescene. Aku lebih suka musik gothic. Umumnya mereka
menghadirkan lirik-lirik yang puitis. Jelasnya. Aku mengangguk, iya aku juga suka mendengar
mereka kadang-kadang. Terutama lagu Within Temptation yang judulnya Somewhere, aku
dibawa terbang kemana-mana. Ke masa lalu. Masa depan. Masa pseudo. Dan walau pun
temanya suram dan agak menyedihkan, aku suka tersenyum-senyum sendiri karena teringat
pacar di masa lalu.

“Rupanya Seniman Musiman juga punya pacar!” sahut Vellesa, “Kenapa selama ini diam
saja?”

“Eloe sih, nggak tanya.”

“Hmmph! Memang kalau orang pendiam itu, begitu ya..”

Lalu Emil angkat bicara, “Kalau soundtrack-soundtrack begitu, aku lebih suka He Lives in
You.”

“Ohh.. Lion King, kan?” kata Vellesa. “Kamu tahu enggak?” katanya lagi, seolah aku tak tahu
apa itu Lion King.

“Iyaa.. Film kartun Singa yang menceritakan sudut pandang Afrika itu, kan?”

Vellesa nyengir, Emil tersenyum antusias. “Jadi, Kakak nonton juga!”

“Jangan panggil ‘kakak’!” kataku kesal. “Iya, aku nonton.”


61
“Suka?”

“Nggak terlalu, sih..” jawabku, “Tapi bolehlah. Filmnya lumayan kaya.”

“Iya! Apalagi pas ceritain roh ayahnya itu, kan?”

“Iya. Spiritual..”

“Eh, ngomong-ngomong, kamu punya Kitab Komik Sufi, Mil?” potong Vellesa.

“Yang mana?”

“Yang karangan Ibod itu, komikus lulusan Prancis itu..”

Aku diam saja. Tidak tahu siapa itu Ibod. Kecuali Nashrudin Khoja, aku hapal seluruh
kejahilan sufi iseng tengik itu kepada dunia.

“Yang lulusan Prancis?”

“Iya. Ecole D’art Maryse Eloy.. Kalau enggak salah itu Magisternya.”

“Hmm.. Kayaknya ada. Sebentar. Kucari dulu, ya..” kemudian Emil masuk ke kamarnya, aku
melongo untuk mengintip sedikit dan melihat betapa banyak buku-buku yang berantakan
disana.

“Mau masuk? Masuk saja.” kata Emil. “Maaf, berantakan..”

“Nggak apa-apa. Berantakan yang keren.”

“Enggak selalu, sih..”

“Apa?”

“Enggak selalu berantakan itu artinya pintar. Yang ada malah pemalas,” ujarnya, sambil
menoleh kesana-kemari di antara buku-buku yang saling berhimpitan, terbuka, terbengkalai
seolah kehabisan nafas setelah perang. Menarik salah satu di antara mereka dengan hati-
hati.

“Nggak, kok. Aku tahu kamu pintar..” kataku sambil mengingat-ingat Youtube.

“Hehe.. Kamu pasti belum tahu,”

62
“Apanya?”

“Aku sudah tiga kali tinggal kelas.”

“Iya, tapi kan karena fokus ke proyek komik.”

“Kamu bisa baca pikiran juga?”

“Nggak. Aku tahu dari Vellesa. Pikiranmu susah dibaca,”

“Oh, ya?” Emil tampak semakin antusias, “Berarti kamu bisa baca pikiran orang lain?”

“Iya.. Tapi aku nggak tahu kenapa ke kamunya malah nggak bisa.”

Emil terkekeh, “Memang. Kebanyakan anak Krystal maupun Rainbow, memang kesulitan
kalau baca pikiranku.”

“Kok gitu?”

“Yah.. Ada banyak alasan, banyak teori.. Tapi untungnya, cuma aku yang bisa baca pikiran
kalau sedang sama kalian.”

“Haha.. Brengsek!” aku tertawa, tapi kemudian berhenti tertawa begitu melihat perubahan
air mukanya. Secara psikologis, bukan spiritual. Aku menyesal telah mencoba
menyinggungnya.

“Enggak terlalu brengsek juga, sih..” sahutnya, lalu menatapku sambil tersenyum. “Aku kan
tinggal kelas karena berjuang,”

“Berjuang?”

“Ya. Proyek komik yang Vellesa bilang itu,” katanya, kemudian mendehem. “Adalah proyek
pencarian identitas komik Indonesia.”

“Ha?” aku tak menyangka serumit itu seorang Emil. Benar-benar pribadi yang langka.

“Iya. Sebenarnya sulit juga, sih. Mengingat adanya Hasmi, yang menciptakan demam
Gundala ke anak-anak muda di tahun enam puluhan..” katanya, mulai bercerita, “Lalu ada
Sweta Kartika di generasi millenial, yang dengan gaya komik mendekati Eichiro Oda dan
Masashi Kishimoto..”

63
“Eichiro Oda? Sebentar..,”

“One Piece, kalau Masashi Kishimoto itu Naruto..”

“Tapi aku cukup beruntung,” katanya lagi, “Uwa Tati, sahabat ibuku yang tinggal di Krawang,
memberiku dana untuk riset ke Jawa Tengah. Sesudah itu, di Kulonprogo, aku bertemu
seorang mahasiswa perfilman yang pernah membuat film dokumenter tentang wayang,”

“Jadi..?”

“Ada wayang yang dekat konsepnya ke komik. Wayang Beber. Dan itu kujadikan bahan
untuk tulisanku,”

“Makalah?”

“Iya. Rencananya aku mau buat seminar kecil-kecilan disini..”

“Rumah ini?”

“Iya,” katanya, “Kalau mau gabung, gabung aja. Nggak ada syarat khusus..”

Aku tersenyum. Tertarik. “Kebetulan, aku juga pekerja seni.”

“Iya. Desain bajumu bagus-bagus..”

“Kamu membaca lagi.. Nggak sopan,”

Emil tersenyum. Dia bahkan lebih tenang dari Vellesa Azephi. Lebih tenang dari berbagai
revolusioner yang pernah kutahu. Ya. Aku menganggapnya seorang tokoh revolusi, dan aku
yakin dia akan menjadi tokoh yang lebih besar daripada yang kulihat sekarang. “Iya, iya.
Terimakasih. Tapi jangan sampai membandingkan Vellesa gitu juga, lah.. Vellesa juga hebat.
Dari komik dia pindah ke sastra dengan sangat enteng.”

“Begitu? Tapi menurutku nggak. Skripsinya malah belum selesai,” kataku. Dia cuma
mahasiswa labil!

“Hmm.. Aku ada rencana proyek juga sama Vellesa, sebenarnya. Tapi dia belum tahu. Kamu
mau ikut?”

“Dia belum tahu, tapi kamu malah kasih tahu aku duluan?”

64
“Hehe.. Iya,” katanya, lalu memperbaiki letak kacamatnya, “.. Tapi aku masih ragu, kalau dia
mau atau enggak..”

Emil berjalan kearah pintu, di daun pintu dia panggil Vellesa. “Vellesa, sedang sibuk?”

“Iya, ngobrol sama Nenek..”

“Kesini, sebentar.”

Vellesa masuk, “Ada apa? Sudah ketemu bukunya?”

“Bukan itu..” Emil pun menceritakan obrolan kami sebelumnya. Lalu sambil melipat tangan,
dia menyuruhku bicara. Aku mengatakannya dengan menambahkan kata “mungkin” pada
tiap kalimatku. Lalu Vellesa perlahan mulai mengerti, lalu membelalakkan matanya dan
berkata, “Brilian! Belum pernah ada yang seperti itu kecuali adaptasi Hujan Bulan Juni.”

“Iya, tapi kebanyakan komik Jepang seperti itu.” komentar Emil, sambil menyodorkan
sebuah buku ke Vellesa.

“Iya, tapi di Indonesia belum ada. Dan ini akan jadi debut kita yang terbesar, yang pernah
ada.”

40

Merebahkan diri di kursi belakang meja ruang tamu, sepulangnya dari rumah Emil, kau
meletakkan Kitab Komik Sufi dan berkata, “Doa adalah suatu bentuk kesadaran atas apa
yang akan diberikan oleh Tuhan.” Katamu, “Dan dengan demikian, doa adalah bentuk
terimakasih atas pemberian Beliau di masa depan.” Katamu lagi;

“Aku mulai meragukan kenyataan ini saat suami Master Ai berkata bahwa aku harus
mencari kerja selain menulis novel..,” katamu, sebelum. Sebelum itu semua terjadi. Hal-hal
yang memang takkan pernah kulupakan. Dan kau lupakan, dan dia lupakan. Serta Beliau
lupakan. Ya, ya..-

“Apakah dengan demikian, kau berpikir bahwa akhirat adalah tempat yang aman?” kataku
menyanggah. Karena kata-katanya tadi terlalu muluk untuk seorang adik. Ya, Adikku!

65
“Ya. Tentu saja. Seorang muslim sejati bernama Uwais Al-Qorny telah menjamin semua
mahluk masuk surga.” Katamu, “Tapi ada masalah yang harus dipecahkan disini. Yakni,
mengapa ada tingkatan yang mesti membedakan tiap mahluk yang telah berangkat
kesana?”

“Ngomong-ngomong, kau tahu kota Djakawang?”

Kau mengerinyit dan berkata, “Apa hubungannya?”

“Itu kota surga..”

25

Konon, Djakawang bukanlah kota yang sempurna untuk kaum wisatawan. Tapi, bagi
seseorang yang tertarik menetap di kota tersebut, Djakawang adalah kota yang sangat
ramah. Bersahabat. Dan relatif lebih murah seperti, konon, Batam beberapa tahun lalu.

Ada banyak apartemen tingkat tiga disana, biayanya relatif kecil dengan cicilan yang dapat
dibayar per tahun. Pasar-pasar menjual berbagai keperluan rumah tangga yang sama relatif
murahnya. Ada berbagai makanan khas dan kue-kue yang dirancang oleh koki-koki nan
memang diikutkan ke dalam proyek pembangunan daerah. Pemerintah merasa, untuk
membangun permukiman baru, kita tidak dapat meniru Malaysia, yang seringnya suka
meniru Indonesia untuk daya tarik wisatanya. Kita harus lebih bhineka, karena itulah ciri-ciri
Indonesia sejak lama. Harus lebih variatif, walau terkadang dengan jalan membongkar hal-
hal lama, untuk dirancang dan ditambah dengan berbagai pencarian yang lebih serius.
Seperti, misalnya, gulai anggur yang terdapat di Djakawang, adalah hasil riset kerja keras
para koki untuk mengubah cara pandang umum mengenai makanan asin. Gulai anggur
adalah gulai yang memakai asinan anggur hijau sebagai pengganti daging, kemudian disirami
sari buah anggur sebagai kuahnya. Memang, mengingatkan kita kepada sop buah, tapi ini
adalah makanan yang tergolong lebih mewah dari itu. Terkadang, ada beberapa tukang
masak yang mengganti buah anggur dengan jeli anggur, atau mengganti sari buah anggur
dengan sirup, lalu menjajakannya di pinggir jalan atau dekat gerbang sekolah dengan harga
murah. Tentu banyak orang yang mau beli, tapi kemudian kecewa karena bukan gulai
anggur asli. Tapi bagi orang yang menjualnya di luar Djakawang, dan mendengar adanya
masakan khas di pulau itu, lalu mencicipi gulai anggur dan ketagihan tanpa pernah tahu

66
yang asli, mereka menjadi pelanggan tetap gulai anggur palsu. Ya. Itulah gulai anggur. Dan
berbagai makanan lain yang sudah diuji coba oleh para ahli seperti Chef Juna, Chef Marinka
dan lain-lain.

Dan untuk perjalanan ke kota Djakawang, orang-orang dapat menempuhnya menggunakan


mobil kawat yang tergantung di atas laut Selatan, dua jam perjalanan dari terminalnya di
Jakarta. Sedangkan untuk mengitari Djakawang saja, hanya berjalan kaki pun sudah cukup.

Djakawang sebenarnya hanya merupakan sebuah buku pada tahun-tahun sebelumnya. Fiksi
ilmiah yang penuh elemen politik yang ditulis oleh Denny JA usai cemoohan publik yang
berkali-kali terjadi kepadanya. Meski pun ada kabar angin bahwa novel ini sebenarnya
ditulis oleh Pelesetupat yang dibayar sebagai penulis hantu, karena bahasanya yang khas.
Tapi bagi orang-orang yang fanatik ke Pelesetupat, mereka menolak dan menyangkal hal ini.
Mereka mempertanyakan apa alasan Pelesetupat tidak membuat namanya sendiri. Tapi,
istilah Djakawang sebenarnya memang tak bisa dipungkiri bahwa istilahnya berasal dari
buku-buku karangan Pelesetupat, dimana dia mengganti nama suatu daerah, sebagai
Djakawang, untuk menghindari kemarahan publik, misalnya dia menulis kritik-kritik keras
kepada pemerintahan Yogyakarta. Atau mengenai masyarakat-masyarakat yang masih
feodal di suatu daerah yang tidak boleh disebut namanya. Atau betapa apatisnya penduduk-
penduduk di kota-kota besar. Lalu Pelesetupat malah berkata agar masyarakat
memikirkannya sendiri karena malas berkait dengan urusan politik. Mungkin.

“Jadi kau pernah tinggal disana?” katamu, mengejutkanku.

“Ya. Tapi cuma beberapa bulan,”

“Kukira hotel tidak ada disana..”

“Aku tinggal di rumah Uncu Cies.”

“Ooh..” selorohmu. “Jadi Uncu Cies juga tinggal disana? Berapa lama?”

“Sudah setahun ini..”

“Itu sebabnya, ternyata.” Katamu, “Aku tidak melihatnya lagi di rumah Emil sejak hari itu.”

“Emil?” kataku, “Jadi Emil anaknya??”

67
“Bukan.” Katamu, “Bukan Emil Krystal. Emile Rezam.”

“Begitu banyak nama Emil, ya?” sahutku sambil bermenung dan mengetuk-ngetuk meja.
Aku tidak kenal Emile Rezam.

“Emil Salim. Emil Durkheim..,” ujarmu sambil cekikikan, “Emilia Kontesa.” Katamu lagi,
rupanya kau pernah meledek Emil Krystal dengan sebutan Emilia Kontesa. “Eh.. Iya, kan,
artis itu namanya Emilia Kontesa?”

“Nggak tau,”

“Udah selesai skripsimu?” kataku lagi. Membayangkan skripsinya diterbitkan.

“Belum..” jawabmu, “Mungkin gua bakalan di DO..”

“Ha??”

“Ada banyak kesamaan dengan skripsi orang, terutama judulnya. Judulnya bahkan udah
berkali-kali digonta-ganti..”

“Hmmph.. Kayaknya aku bakalan nyoba Sampoerna Hijau..,”

“Ha?”

“Aku harus merokok..” kataku, mencomot sebatang milikmu lalu pergi keluar.

26

Kebiasaanku. Merokok pada saat aku terlampau jauh berkhayal tentang mantan-mantan
pacarku, dan mantan-mantan naskahku yang tidak pernah selesai. Ada sih, yang selesai,
judulnya Telekineter, tapi ditolak oleh penerbit-penerbit besar. Sedangkan penerbit-
penerbit independen, semuanya harus mengeluarkan uang. Bagaimana Indonesia bisa maju
kalau terus begitu? Bagaimana bisa minat baca di negeri ini tumbuh dan berkembang, kalau
buku-bukunya mengancam hidup penulis dengan tidak menyediakan kesempatan seperti
kebebasan biaya, pendistribusiannya pun bahkan tergolong sempit karena hanya bisa dibeli
secara online. Tidak sebanyak eksemplarnya buku-buku di penerbitan mayor. Bahkan aku
ragu apakah ada satu atau dua, setidaknya, buku mereka yang diapresiasi para pembuat
sinema. Memang, seseorang seterkenal M Aan Mansyur atau pun Linda Christanty pernah

68
menerbitkan buku-bukunya di penerbit indie. Tapi tetap saja. Kesuksesan penulis indie
sangatlah berbeda dengan musik-musik indie yang pernah merajai permusikan Indonesia
seperti Banda Neira, Payung Teduh atau pun White Shoes and The Couples Company.

“Sedang melamunkan apa?”

“Kamu pernah baca Emil’s Mentation?” bahkan aku ragu apakah seorang dari mahasiswa
sastra sempat membaca buku itu.

“Enggak..” jawab Vellesa, tergagu, “Memang itu buku apa?”

“Novel tentang pemikiran, sastra dan tasawuf. Anak Uncu Cies yang menulisnya,”

“Emil?”

“Ya. Tapi aku tidak kenal orangnya. Aku cuma tahu namanya dari buku itu..”

“Hmm..” katanya, “Buku indie, ya..?”

“Ya, begitulah kira-kira..”

“Tentu saja karena itu aku belum pernah membacanya.” Potongan kata yang kaku. Jelas dia
sedang gugup, dan baru terlepas dari gugup. Padahal kudengar mereka juga menjualnya
sampai ke kampus-kampus.

“Jangan salah sangka. Gua nggak berniat menguji,” ujarku sambil mengembuskan asap
Sampoerna Hijau. Hangat, dan memang benar katamu, rasa kacang.

27

“Vell,” kataku, memulai percakapan. Setelah membuang rokok ke parit kering di depan
rumah. “Ani agamanya apa?”

“Katholik. Kenapa memangnya?” katanya, menoleh kepadaku.

“Kok namanya ‘Ani’, ya?”

“Nama panjangnya Annelies Mellema.”

“Ha?” aku seperti terbangun dari mimpi. “Seperti di bukunya Pram?”

69
“Eh.. Iya.. Bapaknya suka dengan tokoh itu.”

“Ada rencana mau menikah dengannya?”

“Mungkin..-” sebelum dia tuntaskan kalimatnya, aku langsung menyela, “Dia kan Kristen.
Apa tidak berdosa, menikah dengan orang Kristen?”

“Dia Katholik, berarti dia ahlulkitab. Dan ahlulkitab sah-sah saja dinikahi..” jelasnya, agak
kesal. “Laki-laki ahlulkitab, baru enggak boleh sama wanita muslim.”

“Ha?” sahutku, “Tidak adil..”

Kataku lagi, “Tapi, biar pun ahlulkitab, kan mereka mengingkari Muhammad..”

“Tidak juga..”

“Buktinya, mereka mengubah kitab Perjanjian Lama menjadi Perjanjian Baru."

Tapi Vellesa malah terkekeh tak henti-henti dan bilang aku kurang piknik, kurang santai,
kurang pergaulan. “Dan juga, kurang wawasan.” Katanya, kemudian menjelaskan bahwa
kedua kitab itu memang berbeda. Agama saja berbeda. Perjanjian Baru bukanlah suatu
konspirasi atau hasil utak-atik iseng dari penguasa Vatikan, tapi memang kitab asli dari umat
Nasrani. Dan yang diheboh-hebohkan orang-orang muslim kolot selama ini, adalah Bible
Revised Standard Edition, dan bukan Perjanjian Baru yang sebenarnya masih bisa dijadikan
rujukan. Dan masih dipakai sebagai rujukan, bahkan oleh Dr. Zakir Naik! Sedangkan
Perjanjian Lama, adalah yang diberikan kepada Nabi Musa, dan diakui oleh umat Nasrani.
“Lalu, kenapa kita tidak ikut membacanya juga? Dan malah takut kena sihir mereka?”
komentarnya, tajam. Lalu tertawa-tawa. Sampai akhirnya aku mengiyakan, tidak
membahas-bahas lagi soal itu. Karena kalau dipikir-pikir lagi, dia ada benarnya juga.

28

Kau kembali ke Jakarta sambil membaca buku pinjaman dari Emil, Membuat Anak, eh
bukan, Membuat Komik karangan Vatsyayana McDonald. Eh, Vatsyayana Ozawa. Eh,
Vatsyayana McCloud. Tapi begitu kulihat lagi, itu bukan siapa pun yang dari India. Melainkan
Scott McCloud. Orang Amerika, berkacamata seperti Emil tapi lebih gemuk dan ubanan. Kau
membacanya dan terkesima dengan tiap-tiap gagasannya.

70
Scott McCloud menulis, bahwa pekerjaan komikus dan penulis biasa memang sangatlah
berbeda. Komikus relatif lebih berat, dan oleh karena itu mereka harus tahan banting di
pasar yang lebih kompetitif. Penulis biasa bisa hanya menggunakan modal kata. Tapi
komikus harus juga menguasai skil penulis sastra, membaca artikel, buku anatomi atau
komedi kalau bukan memakai aliran realis, keahlian fotografis, menciptakan suspense
dengan memanfaatkan koneksi antar-panel gambar, menghindari simbol-simbol sempit
seperti darah muncrat dari hidung yang biasa digunakan mangaka Jepang untuk simbol
hasrat seks, mengenai komik hitam-putih dan berwarna serta efek imajinatif ilustrasi hitam-
putih pada pembaca, mengenal komik Jepang yang menciptakan cerita yang hidup dengan
tokoh simpel namun ekspresif serta latar tempat yang diilustrasikan sedetail mungkin, dan
lain-lain, dan sebagainya, dan berbagai-bagaikan, karena bukunya ada lagi yang harus
dibaca, Understanding Comics dan Reveinting Comics yang bahkan belum diterjemahkan
dan tidak dijual di toko buku bandara.

“Hey, apa kabar?” kata suara seseorang yang penuh lemak. Tapi kau masih ingin membaca,
jadi tidak peduli dia kurus atau gemuk. “Lama tak bertemu,” katanya lagi. Lalu aku menoleh
mencari-cari. Ternyata seorang laki-laki yang duduk di sebelah sopir. Berkacamata, memakai
pakaian kotak-kotak hijau yang sama dengan gambaran Scott McCloud yang kau baca sambil
mendengar lagu di headset.

“Siapa..?”

“Aku? Scott McCloud!” katanya bersemangat.

“Tapi kau bukan Kaukasian..”

“Enggak. Kamu cuma mimpi.” Katanya lagi.

“Ha?”

“Novel itu tidak nyata,”

“Ha?” aku kurang setuju dengan kata-katanya. Bagaimana dengan buku realisnya Bumi
Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer? Kau pasti sedang ngawur!

“Maksudku, buku yang kamu pegang. Hey, hey! Iya, kamu maksudnya.”

71
“Tapi ini bukan novel,” katamu, tiba-tiba menanggapi, “Ini komik ilmiah tentang panduan
menulis komik. Jangan ganggu aku, sedang sibuk.”

Kamu tidak ke Jakarta?

“Bagaimana pun komik hanyalah kertas yang menunggu tinta baru untuk diisi.” Katanya lagi.

“Ha?”

“Scott sudah meninggal. Baru setahun yang lalu.” Katanya lagi.

“Ha??”

“Buku yang kamu pegang, judulnya apa?” katanya kepadaku.

“Ehh??” aku membalik halamannya ke lembaran sampul, When Some Missionaries Wants to
Killing Me. Karangan Emile Rezam. Jadi dia menulis buku lagi? Tapi mungkin tidak semenarik
Emil’s Mentation, kecuali buku ini, sekali lagi, membuka perspektif baru seperti Emil’s
Mentation yang menawarkan pandangan bernama Beleisme. Perspektif agama baru,
mungkin? Dengan kasus-kasus pembunuhan seorang misionaris? Pikirku sambil tertawa.

“Tidak baik begitu,” kata seseorang lagi. Aku menoleh ke sebelahmu, ternyata Mother
Teresa! “Semua umat Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik dan Yahudi, semuanya
bersaudara..” Ampun, Bunda! Katamu. Lalu di belakangmu, terdengar suara Gayatri Chen
Chen, “Vellesa?”

“Vellesa!”

“Vellesa!!!” Aku terkejut, terbangun. Dan menyaksikan video call antara Vellesa dengan Kak
Guru Gayatri Chen Chen binti Abdul Hadi bin Fulan bin Fulan binti Fulan bin Adam. Lalu
kuambil segelas air kopi dan mulai membaca bacaanku tadi. Membuat Komik.

Vellesa tampaknya sudah selesai dari percakapannya di video call, jadi dia mengangguku
dengan bertanya, “Baru baca?” dengan nada agak meremehkan. “Eh?” kataku, mencoba
untuk tidak terganggu, dan tidak terlihat peduli. “Scott McCloud. Baru baca?”

“Iya. Memangnya kenapa?”

72
“Sebenarnya itu bukuku..” katanya. “Tapi kau belum membacanya sampai tamat.” Kataku,
lalu dia cemberut. “Sebenarnya belum kubaca sama sekali. Kujual ke Emil supaya bisa beli I-
Phone.” Katanya lagi. Ha? Apa aku nggak salah dengar?

“Iya. Memang.” Katanya lagi, “Besok ke rumah Emil, yuk!”

Aku melongo, sesaat, kemudian berusaha tersenyum.

29

Kami sampai disana. Ada banyak bacaan di rumah Emil. Bertumpuk di beberapa sudut dan
dinding. Berbagai macam sampul dan warna sampul. Aku sampai tidak bisa membedakan
antara komik, buku filsafat, buku motivasi, buku ensiklopedi saku, novel grafis, atau yang
lainnya. Atau novel, jika ada. Saat aku bertanya pada Emil mengenai abangnya, dan apakah
benar yang dikatakan Vellesa ketika abangnya meninjunya, sampai kacamatanya rusak?
Tidak juga, kata Emil. Siapa nama abangmu? Oon. Katanya. Aku sedikit terkekeh. Oon itu
bukannya artinya ‘bodoh’? Enggak, katanya. Namanya Misionaris Jalesveva, jadi namanya
Oon.

Misionaris? Aku sampai tidak sadar kalau agama kami berbeda. Tapi apakah itu masalah?
Sedangkan Mother Teresa bilang.. ., pikirku sambil mengingat-ingat mimpi tadi. “Ya,
masalah.” Kata Emil, tapi sebelum aku tercekik lebih lanjut lalu merencanakan memotong
rambutku sampai botak, Emil berkata, “Eh, bukan kamu. Maksudku, bukan masalah agama.
Aku setuju Kak Guru, aku setuju Mother Teresa.” Katanya.

“Lagi pula, agama kami Islam.”

“Hmmph..”

“Jadi kau benar-benar tertarik padaku?”

Aku gugup, tapi kusembunyikan dengan senyuman. “Kalau iya?”

“Aku senang punya teman Krystal yang menyukaiku..” katanya, katamu. Kau begitu saja
memberikan senyumanmu yang paling hangat. Padaku. Padamu. Pada anak kita kelak.
“Ahahahaha! Seyakin itukah kau?” katamu, lalu mulai menceritakan masa lalumu lewat visi-
visi yang kau kirimkan padaku. Sesaat, aku mulai merasa bisa membaca pikiranmu, tapi

73
momen ini begitu menipu, tak ada yang bisa kubaca darimu, kecuali ketika kau bertelepati
padaku, “Seniman Musiman, ketahuilah bahwa.. Aku pernah.. Aku juga merupakan.. Aku
dulu.. Aku adalah..

“Aku pernah membunuh. Orang malang. Misionaris.”

“Ha??” antara takut dan kacau, aku terkesima dan kecewa. “Siapa..?”

“Ah, tidak. Kau harus baca bukuku. Judulnya Membunuh Misionaris.” Katamu, “Itu novel
spekulasi tentang bagaimana aku membunuh saudaraku, ketika dia benar-benar menjadi
tukang ceramah agama Kristen yang dilakukannya setelah berlayar.”

“Kau yang tulis?”

“Tidak. Aku menyuruh orang untuk menulisnya.”

“Ceritanya?”

“Ceritanya, ya dari aku. Kan memang cerita tentang aku. Isinya dia tulis setiap aku duduk di
kafe dan mentraktirnya es krim affogato, sambil mendengar curhatku. Dengarkan curhatku,
tentang dirinya..” kau mulai bernyanyi lagu Kevin Aprilio, Dengarkan Curhatku.

Lalu kau mulai keseriusanmu, membuatku mendengarkan ceritamu saat membacakan


sinopsisnya, dan bagaimana novel itu dimulai. Bagaimana ketika di musim kemarau saudara
kandungmu sendiri didatangi seorang pendakwah Nasrani, kemudian mentraktirnya es krim
Magnum, lalu mengatakan bahwa komposisi es krim itu terdiri dari lemak babi, dan di saat
saudaramu mulai takut, pendakwah itu berkata bahwa hal itu wajar, tandanya Tuhan
membolehkan dia makan babi. Karena itu dia ditakdirkan makan babi, dan mana mungkin
orang seperti dia diberi tantangan seberat itu. Lalu orang Kristen itu mulai bercerita
bagaimana babi itu dihalalkan karena enak, dan bagaimana Lawrence of Arabia datang ke
Arab dengan misi merubah sejarah, dengan cara memecah belah umat Islam, dengan
mengutip kata-kata Nabi, “Belajarlah walau pun sampai ke negeri Cina.” Dan bahwa hadist
dan Al-Qur’an itu sebenarnya harus ditafsirkan untuk dimengerti dan dipahami isinya. Dan
bahwa babi itu diharamkan hanya karena dia bergelut dengan kotoran, dan bagaimana
gandum, jelai, padi atau terigu pun diberi pupuk berupa kotoran ternak supaya ia tumbuh
dengan bagus. Dan bagaimana Amerika datang untuk menipu umat muslim agar jangan

74
memakai pupuk kotoran lagi, karena mereka semua sebenarnya Yahudi, dan Nasrani juga
terpecah belah karena mereka, yang menyebabkan Martin Luther King, eh bukan, Martin
Luther saja, menjadi tokoh sejarah reformasi agama terkenal padahal dia adalah utusan
Yahudi, ketika pupuk kotoran membuat tumbuhan-tumbuhan umat muslim menjadi bagus.
Dan bagaimana Illuminati, Freemason dan agama-agama Tuhan menjadi agama penyembah
setan, seperti agama yang menghadirkan kuil setan di Eropa, ilmu Voodo di Amerika, dan
sebagainya. Dan bahwa umat Islamlah yang sebenarnya datang lebih dulu dari Christopher
Colombus yang sebenarnya Yahudi paling kolot yang pernah ada sejak Marco Polo berkelana
dan mendapat resep es krim dari Timurleng. Dan bagaimana Marco Polo kemudian mencuri
ramuan hidup abadi dari makam Jengis Khan, ramuan yang dipakai sebagai sesembahan
untuk Jengis Khan yang padahal beragama Islam. Dan karena Lawrence of Arabialah,
penduduk Mongol kembali meragukan Islam. Walau mereka orang kampung yang
sebenarnya pandai membaca gelagat orang kota, dan Lawrence yang bukanlah orang alim,
tidak menjalani cobaan-cobaan berat sebagai syarat untuk menjadi lebih alim dan malah
diberikan berbagai kemudahan oleh Tuhan, orang-orang Mongol itu tetap dibodoh-bodohi,
dan betapa daging babi itu enak sekali.

Lalu saudaramu malah enggan pulang ke rumah, dan karena itu orang kafir-zimi tersebut
mengajaknya ikut berkenalana keluar negeri, sambil menceritakan bahwa, sekali pun kafir,
Amerika adalah negara paling kuat di dunia, dan menyediakan layanan untuk orang
sepertimu. Tidak seperti disini, di mana-mana ada diskriminasi. Lalu saudaramu juga
bercerita bahwa kamu adalah orang yang tidak mengakuinya sebagai saudara, malah
berniat membunuhnya. Si kafir-zimi tercenung saat saudaramu menceritakan itu, lalu
berkata, bahwa Isa Almasih sebenarnya berasal dari roh Tuhan. Tentu saja! kata saudaramu,
Kan semua jiwa manusia asalnya dari sana. Tapi Isa Almasih ini lain. Ia bertugas
mengorbankan nyawanya dengan dipaku di papan kayu yang digantung di udara, dengan
umat-umatnya yang menyaksikan dengan perasaan campur aduk, tapi mengerti bahwa itu
adalah tujuan yang sebenarnya. Bahwa roh kudus itu memang menugaskan Isa Almasih,
atau katakan sajalah Yesus Kristus, untuk mengorbankan nyawanya demi menghapus dosa
seluruh umat manusia. Dan tidak ada yang namanya naik ke langit dan turun lagi ke bumi,
karena itu tidak masuk akal. Cuma buang-buang waktu. Sedangkan Tuhan melarang buang-
buang waktu. Saudaramu terdiam, lalu ditambah ceramahnya oleh orang musyrik yang

75
cuma berdakwah dengan mengorbankan uang sepuluh ribu itu, bahwa ini adalah tanda-
tanda dari Tuhan yang memang menggilai misteri, alasannya mengapa Yesus Kristus tidak
memiliki ayah. Hidupnya memang ditakdirkan penuh cobaan. Dan bagaimana Yesus Kristus
tidak sempat membalas cinta Maria Magdalena, sedangkan wanita itu sangat mencintainya
dengan tulus dan hati yang besar. Penuh rindu Maria Magdalena dan seluruh Duabelas
Rasul menunggu kebangkitan Yesus Kristus, tapi sosok itu tak datang-datang juga. Hingga
mereka mati seperti Layla Majnun yang saling mencintai dengan suci dan cinta kasih.

Dan kau tahu? Bahwa sedekat itulah jarak antara Islam dengan agama ini. Shakespeare
adalah orang suci yang juga terinspirasi dari Nizami Ganjavi tanpa sempat ternodai, atau
terdoktrin, atau terhasut untuk menjadi orang muslim yang sebenarnya merekalah yang
kafir itu. Karena Islam meniru agama Kristen, dan bahwa dongeng Salman Rushdie tentang
Nabi yang dihasut setan, sebenarnya adalah kenyataan, dan justru itulah mengapa banyak
negara yang memboikot novelnya, bahkan ingin memenjarakan Salman Rushdie, karena
mereka tahu umat Islam adalah orang paling rasional. Maka mereka akan percaya dengan
kebenaran, bahwa sebenarnya, anggur itu tidak dilarang. Kenapa dilarang, karena
sebenarnya orang-orang Arab memiliki kepribadian pemarah dan gampang mengambil
keputusan, contohnya saja Omar ibn Khatab yang langsung mau membunuh Mohammed
hanya gara-gara orang malang itu berhasil mengubah cara hidup kaum-kaum Arab menjadi
berkebiasaan aneh, seperti mandi setengah badan yang hanya buang-buang air saja. Karena
itulah, karena anggur sebenarnya membuat orang jujur pada diri sendiri, bertindak tanpa
jaga-jaga image yang sebenarnya menipu orang dan diri sendiri. Itulah mengapa agama
Kristen menegaskan supaya jangan berbohong dan jangan mencuri. Karena itu merugikan
orang lain. Dan betapa babi harus dikasihani, karena disalahkan terus dan dijadikan olok-
olok untuk orang yang brengsek. Untuk umpatan, untuk novel bodoh seperti fiksi karangan
Jorge Orwell. Atau bahkan sastra terbaik majalah Rolling Stone yang nama pengarangnya
susah dibaca. Ya, Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie itu. Kamu pernah baca? Tanya orang kafir-
zimi itu, Aku tidak bisa membaca. Jawab saudaramu. Yah, seandainya Yesus Kristus benar-
benar akan diturunkan, tentu Dia akan menghilangkan penyakit diseleksiamu itu.

Tapi kamu benar-benar akan masuk surga. Kata si kafir-zimi, karena kamu tidak tahu apa-
apa, bodoh, tapi mensyukuri hidupnya karena tinggal di Amerika, tidak bergaul dengan
orang-orang Islam, dan ditambah dengan masuknya kamu ke jalan yang benar. Lupakanlah

76
bahwa ada orang-orang Nasrani yang pernah mengejekmu Autis, atau Ahok yang tak
sengaja melukai hati orang lain, karena itu hanya terjadi di Indonesia yang tentunya ini
harus dimaklumi. Karena negeri ini hanyalah penuh dengan orang-orang muslim yang egois,
tidak mau memilih presiden yang tidak seagama dengan mereka, tapi malah tidak mengakui
minoritas seperti kita yang justru sudi memilih presiden di agama mereka. Lalu malah
menuduh Joko Widodo sebagai keturunan Vatikan, sebagai alasan untuk memilih
saingannya, Prabowo Subianto yang sebenarnya adalah orang yang murtad dan tidak
mengakui agama keluarganya, yang padahal sebenarnya terlindung oleh kasih Yesus Kristus.
Murtad hanya gara-gara alasan asmara masa remajanya, tertarik dengan kecantikan seorang
gadis kafir putri presiden dengan reputasi yang bisa dibayangkan. Tapi sebenarnya Soeharto
bukanlah orang jahat. Dia berhasil menjadikan masa-masa kepresidenannya sebagai masa
yang paling progresif, yang disebut Masa Pembangunan. Dan mengenai Wiji Thukul serta
Munir, dan tokoh-tokoh revolusi lainnya, Soeharto sebenarnya sengaja. Demi memajukan
Indonesia juga, di bidang nasionalisme, dengan menambahkan stok pahlawan di daftar
orang-orang lokal. Lalu Soe Hok Gie? Dia sebenarnya juga seperti kita, tapi tidak
memampangkan agamanya untuk mengurangi resiko selain dia yang malas mengganti
nama. Karena begitu menghargai jasa orangtuanya. Tidak seperti Pelesetupat yang
mengganti nama dari Tobby karena memiliki kemiripan nama dengan Tobias Eaton, atau
karena ada penyair jorok yang menulis novel konyol yang tidak berkualitas, tidak
memancing kritik, tidak juga popularitas seperti Emile Rezam. Tidak juga mengakui bahwa
kebenaran sebenarnya adalah Yesus Kristus sebagai penjemput doa kita untuk dikabulkan
oleh roh kudus.

Saudaramu tidak tahu bahwa Nabi Pertama juga tidak memiliki bapak, dan juga tidak
memiliki, bahkan, perempuan yang melahirkannya. Bahkan, seperti roh kudus yang
meniupkan roh ke tubuh Isa Almasih, Nabi Pertama pun meniupkan roh kepada manusia
kedua, Nenek Hawa. Saudaramu tidak mengerti apa dan siapa itu Illuminati, Freemason,
siapa itu Leonardo Da Vinci, siapa Dan Brown, Robert Langdon, dan tetek bengeknya.
Saudaramu hanya tahu bahwa Islam melarangnya memakan es krim coklat itu. Tapi dia ingin
memakannya lagi, terutama saat itu sedang panas terik dan dia haus. Tapi si orang kafir-zimi
itu menyarankannya supaya tidak memakannya saat panas-panas begini, karena ia akan
demam karena panasnya siang ini. Tapi saudaramu tetap bersikeras, dan akhirnya si kafir

77
zimi yang hanya mengeluarkan selembar sepuluh ribu untuk berdakwah itu, akhirnya
membolehkannya. Mengeluarkan selembar sepuluh ribu lagi. Tidak pula berpikir tiga kali
sebelum mengiyakan saudaramu. Tapi kemudian, begitu saudaramu demam, ia tetap
membawanya naik kapal ke Amerika. Dan saat itulah pemuda itu berkata, “Ya. Aku
mengakui cinta kasihnya Yesus Kristus dan belas kasih Tuhan Bapa serta kesabaran cinta dan
pengampunan Bunda Maria.”

Bab prolog selesai.

Setelah itu, dia mulai meninggalkan Indonesia yang sebenarnyalah, kampung halaman si
kafir-zimi itu, sebelum belajar mengelap ingusnya sendiri, lalu akhirnya memilih keluar dari
agama Buddha, yang merupakan agama ibunya, seorang penulis sastra literatur tinggi yang
bergenre fiksi ilmiah dan sempat bekerja sama dengan penerjemah Harry Aveling, yang
sebenarnya tidak mempermasalahkan apakah calon pendeta itu mau masuk agama Nasrani
atau tidak. Lagipula, ibunya juga membaca syair Jalaludin Rumi yang berkata, “Aku bukan
Kristen, Yahudi, Zoroaster, dan bukan Islam. Keluarlah dari gagasan sempit di benakmu dan
menyatulah dengan Tuhan.” Kira-kira begitu. Dan anak yang diridhai ini, yang tak tahu
apakah sebenarnya Tuhannya meridhai atau tidak, di novel ini hanya ditulis sebagai “Lelaki
itu, penerjemah ini, kekasih dari gadis tersebut” dan kiasan-kiasan yang lain sebagainya,
ternyata kemudian di klimaks ceritanya pun akhirnya namanya disebutkan: Keys.

Bab dua selesai.

Keys yang sebenarnya masuk gereja karena bersentuhan dengan kisah cintanya sendiri,
bersama seorang gadis bernama Layla, yang betapa dikagumi lalu disyukurinya ada huruf ‘y’
juga ternyata pada tulisan nama gadis itu. Lalu kecewa karena itu ternyata nama dari
kebanyakan orang Islam yang membaca sastra sufisme, yang dia pun akhirnya tahu bahwa
sufisme adalah kelompok orang-orang Islam. Tapi kemudian senyumnya merekah dan
mengembang seperti kue tart begitu tahu bahwa Layla sebenarnya bukan orang Islam, tapi
anak dari seorang anggota Daudiyah yang beragama Kristen Katholik, yang sebenarnya
menamai anaknya begitu demi reputasinya di kalangan Dauidyah lainnya.

Bab tiga selesai. Dilanjutkan bab empat, bab lima sampai tujuh bab sesuai tingkat bintang di
langit, ketika Emil mendatangi Misionaris di atas kapal sebelum cerita benar-benar selesai.

78
Dan penulis hantu yang disewanya ternyata mengungguli penulis-penulis lain yang saling
berlomba di Sayembara novel DKJ. Para juri menyebutkan, “Sastra Indonesia kian menguat
seperti sastra-sastra Argentina yang memiliki ciri khas adidaya pada latar cerita mereka.
Sastra kita yang sarat pluralisme, akan kian menguat begitu kajian antar-agama ini berlanjut
dan berkembang hingga jauh dan menghasilkan perenungan-perenungan yang lebih dalam
lagi.”

Aku bertepuk tangan untuknya. Dia tanya, apakah aku mau novelnya? Kujawab, tidak.
Terimakasih. Aku sudah tahu ceritanya. Tapi begitu melihat segaris perubahan di air
mukanya, aku langsung berkata, Kecuali kalau diberi tanda tangan. Maka dia tersenyum dan
berkata, jadilah istriku.

30

“Film-film Indonesia memang, sih, sebenarnya kekurangan aktor. Mujur seorang atau dua
orang baru muncul. Tapi lima tahun ini tidak ada, jadi kami tidak bisa melakukan banyak
pilihan. Sudah bagus bisa menjadikan Stefan William dan Samuel Zylgwyn sebagai kakak
adik, atau paling tidak kembar non-identik.. Tapi tetap saja, seharusnya aktor-aktor di
Indonesia lebih banyak, melihat pesatnya perkembangan pasar dan penggemar seni peran.”
Kata seorang Eka Kurniawan, saat diwawancarai oleh Tempo, 20 April 2028.

Setelah pengerjaan naskah adaptasi novelnya, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas,
Eka melakukan audisi terbuka untuk calon pemeran di film perdananya dengan Edwin,
sutradara film indie yang pernah merilis Posesif, sebagai film komersil pertamanya. Mereka
berniat untuk menggarap film ini secara serius, dan menurut Edwin, jika pangsa pasarnya
sudah besar, tak perlu repot-repot dengan aktor-aktor yang sudah lama. Lagipula, proses
penggarapan film-film di luar negeri banyak yang dikerjakan dalam waktu beberapa tahun.
Dan sebuah hal yang wajar, jika di film-film mereka, bukan hanya Amerika-Irlandia-Inggris
yang mendapat hadiah Oscar, tapi juga Jepang. Rinko Kukichi yang memerankan Naoko di
film Norwegian Wood adalah salat satu contoh. Lagi pula ini film laga, dan mesti ditekankan
bahwa film laga khas Indonesia haruslah dibekali dengan teknik beladiri yang matang,
supaya memungkinkan adanya penawaran yang bisa diajukan tak hanya dari pihak sutradara
atau koreografer, tapi juga aktornya sendiri. Film ini harus jauh lebih bagus dari film-film
sebelumnya, termasuk Merantau Film.

79
“Menyindir.” Cibir Reza Rahadian, yang saat itu menulis komentarnya di Facebook,
mengenai hasil wawancara Tempo dengan Edwin. “Lagipula, sudah cukup banyak aktor-
aktor Indonesia yang menguasai beladiri dan teater. Sherina dan Yayan Ruhian, contohnya.
Dan tentunya, kita tidak bisa begitu saja melupakan bagaimana ibu Christine Hakim saat
meriset Cut Nyak Dien, dengan dananya sendiri, pergi ke Aceh saat perang orang-orang
Aceh dengan TNI Orde Soeharto. Aktor kacangan bisa enggak??”

Sambil mengingat tokoh Joni Fontane, seorang selebritis yang memelas kepada Don
Corleone, The Godfather, yang merupakan bos mafia paling berpengaruh dan bertangan
dingin, mengadu pada Don Corleone agar ia menciptakan peluang mutlak agar Joni Fontane
tampil di film impiannya. Dengan cara apa pun. Akhirnya sang Don menepuk-nepuk pipi Joni
Fontane sambil berkata, “Jadi laki-laki jangan cengeng!!” tapi kemudian mengirim utusan ke
pihak rumah produksi, menyuruhnya menawarkan kesepakatan lunak, yang pada akhirnya
berujung mimpi buruk bagi si sutradara. Kuda peliharaannya, kuda yang paling mahal di
dunia, kepalanya ditemukan terpotong di bawah selimutnya yang penuh darah. Sambil
mengingat itu, Eka Kurniawan berkata, seraya mengelus bulu kuduknya, “Kita akan lakukan
apa pun agar film ini tidak sia-sia.”

31

Emil. Salah kalau kalian selama ini menganggapnya muslim kolot. Dia hanya
mengekspresikan kebebasan berpikir dan penyelaman spekulasinya ke ranah-ranah yang
selama ini ditemui di novel-novel Langdon, atau Jacatra Secret, atau buku tentang kapal
bekas yang digunakan Amerika untuk melawan Tiongkok, tanpa sedikit pun menunjukkan
warnanya. Tanpa menyentuh embel-embel politik. Serta dibumbui romansa disana-sini
dengan cara apa pun, sehingga mengingatkan kita kepada balon karet di tempat sempit, dan
gaya cerita yang dibentuk sedemikian rupa sehingga penulisnya terlihat seperti sedang
menulis sejarah alternatif. Misalnya dengan penumpukan fakta dimana-mana, tapi fakta
tersebut malah tidak digunakan sebagai acuan di halaman-halaman lain, dan justru sering
bertabrakan, kontradiksi, gaya mimpi, dan sebagainya. Hehe. Kenapa aku bisa memakai
teknik sastra? Hehe. Aku sedikit banyak, sudah selesai membaca Eka Kurniawan dan
Realisme Magis, di permukaan, Vellesa masih asyik menggalinya dengan metode kualitatif,
meski akhirnya dia beri isian dan penutup yang lebih kuantitatif. Atau mencoba

80
bereksperimen dengan mengutak-atik judul. Eka Kurniawan dan Sastra Orde Soeharto, Eka
Kurniawan dan Surrealisme Populer hingga Eka Kurniawan dan Realisme Sosialis. Aku tak
tahu mengapa ia terasa begitu ambisius kali ini, sedangkan puisi-puisi bikinannya sejak SMA
sering kali memanjakan mood.

Hingga Emil terkesan begitu aku mengomentari bukunya, beberapa minggu kemudian
setelah kubaca dan kami, aku-Vellesa, main lagi kemari. Mengomentarinya dalam hati,
malas Vellesa tahu. Biar saja dia asyik dengan buku-buku aneh yang berantakan di kamar
Emil, yang entah kepunyaan siapa, dibaca atau tidak oleh Emil. Peduli amat. Setelah itu, aku
mulai mendiskusikan premis-premis atas akhir Indonesia yang mungkin itu akan terjadi,
hanya dalam hitungan bulan. Mendiskusikan Supersemar ditemani hantu-hantu yang ada,
seadanya, dan tanpa arti, karena pendapat para hantu yang lebih banyak mendominasi. Itu
pun karena Emil bisa berkomunikasi dengan mereka, membaca pikiran mereka, sedang aku
kebanyakan hanya mendengarkan.

“Ngomong-ngomong, kenapa Vellesa akun Instagramnya memakai nama


‘@syamstabrizreincarnation’, ya?” kata Emil, mencoba percakapan lain.

“Entahlah. Menurutmu?”

“Aku tidak bisa membacanya. Itulah satu-satunya yang tak bisa kubaca dari Vellesa.”

“Wah. Kenapa, ya? Mungkin.. Karena nama sufinya..,”

“Dia sufi?”

“Ya. Daudiyah, kalau nggak salah.”

“Oohh.. Oohh.. Oh? Ohh..” gumam Emil sambil mencongkel otakku.

“Segelas teh?” katanya lagi, begitu selesai membaca pikiranku.

“Ha?”

“Bahasa Inggris yang diIndonesiakan mentah ‘kamu mau teh?’”

“Boleh..”

“Teh apa? Mint, English Breakfast, Kamomil..?”

81
“Kamomil,”

“Kenapa bukan English Breakfast?”

“Kan sudah lewat pagi..”

“Oh, jadi kalau bangun siang enggak boleh sarapan?”

“Eeh?”

“Di keluargamu. Aku tanya yang di keluargamu,”

“Nggak juga, sih..”

“Kalau menurutmu?”

“Sama.”

“Wahh!! Kapitalisme.”

“Kok Kapitalisme?”

“Penyeragaman, biar gampang ngaturnya. Dipakai oleh orang-orang Katholik Eropa, di


periode-periode awal. Sistem gereja. Itu kenapa sistem uang sampai di Indonesia,”

“Oohh.. Iron Cake Kapitalism?”

“Bukan ‘Cake’, tapi ‘Cage’.”

“Iya, iya. Pak Guru..”

“Senang berbisnis dengan siswa-siswa sekalian.”

Lalu kami berdua tertawa, terbahak-bahak. Lalu diam. Saling memandangi. Lalu tertawa lagi.

“Kamu benar, mau, jadi istriku?”

“Ha?”

“Oh! Enggak.”

“Oh, ayolah..” Kataku, inginnya. Sebenarnya aku hanya pura-pura tidak mendengarnya.

82
“Aku sudah membaca pikiranmu.”

Shit!

32

Di sudut kamarku yang gelap, saat malam, karena tidak dihidupkan oleh lampu, kamar yang
mati karena kami baru saja pulang senja-senja, terdengar suara telepon masuk. Itu ponsel
Vellesa. Dia langsung mengambilnya dari colokan listrik di dinding. Kenapa dibiarkan terisi
sampai selama itu? kataku, agak marah. Vellesa nyengir, Ibu, katanya sebelum mengangkat
telepon, “Ya, Bu?”

Terdengar suara lembut di ujung telepon, “Gimana kabarmu, Nak?”

“Baik. Lagi sama Kaki..-..” jawab Vellesa, menyebut nama asliku.

“Oh! Mana? Ibu mau nelepon..”

Lalu aku pun menerima ponsel. “Halo, Bi.”

“Nah, sudah kemana saja kau, Pengelana?”

Aku tertawa kecil, Bibi menyebutku sebagai pengelana. Lucu saja. “Nggak ada kemana-
mana, Bi..”

“Masih ngerokok?”

“Iya..-”

“Jadi perempuan itu janganlah ngerokok.. Kecuali kalau memang kerjanya di industri
tembakau, ya seperti Jeng Yah,”

“Ha?” Siapa Jeng Yah?

“Tokoh di novel Ratih Kumala, Gadis Kretek..”

“Oohh..” kataku, “Iya, iya.. Nggak pernah baca novelnya sih, Bi..”

“Mau dipinjamkan?” kata Bibi.

“Mau, lah!”

83
“Oke. Nanti kalau Vellesa balik ke Jakarta, Bibi titip aja, ya?”

“Memang Bibi nggak bisa kesini? Sudah rindu..,”

“Ya, kalau rindu, Sulastri aja yang main kesini, nanti kita jalan-jalan ke Taman Ismail Marzuki,
ada banyak buku bagus disana,”

“Pustaka, Bi?”

“Pustaka ada. Tapi yang paling keren itu Katakerja,”

Katakerja?

“Pizzatta, maksudnya,” kata Vellesa, sambil terkikik-kikik. “Kalau Katakerja, mah, pustakanya
M Aan Mansyur..”

“Oh.. Iya, iya. Bi.” Kataku, “Oke. Oke, Bi..”

“Nih, udah.” Kataku ke Vellesa, memberikan ponselnya.

“Udah mati,” katanya, lalu menyimpan ponselnya ke saku celana.

Aku manggut-manggut, kemudian bertanya apa itu Pizzatta. “Semacam tempat beli buku
bekas..” jawabnya. “Kalau Katakerja?”

“Kantornya Aan Mansyur, tapi bukan di Jakarta.” Katanya, sambil pergi ke kamar mandi. “Di
Makassar.”

“Eh. Ngapain?”

“Berwudhu,”

“Aku dulu, ya? Aku mau pipis..”

“Oh, oke.”

33

Aku baru tahu kalau gadis di foto yang diselipkan Vellesa di buku catatannya, yang berisi
coretan-coretan cerpen revolusionernya seperti Norwegian Wood, atau curhatan dengan
judul yang disadur dari karya-karya Haruki Murakami, yang sebenarnya juga dijiplak dari The

84
Beatles dan Jorge Orwell, dan menemukan fakta bahwa ini tidak terlalu buruk. Gadis itu jauh
lebih mirip bintang film Korea belasan tahun yang aku lupa namanya, tapi masih terpatri
sejak menontonnya sekilas, cukup sekilas. Dia berambut lurus dan agak kemerahan, kulitnya
putih bening seperti bintang iklan Citra, dan matanya seperti gadis Jepang di pamflet sabun
Shinzui yang ditegakkan di tengah kota. Aku pun tak sengaja membaca sebuah, entahlah
apa;

Duberi daku kekematian. Sebuah sajak atau kepuisi.

Pepuisi-puisian yang akoe ingat. Jadikeun pepisahan ini,

pertemu-temuan yang ‘kan diingati selamanya

Saat masih di Jakarta, aku pergi menemui Ani di Taman Suropati. Dia sedang duduk di salah
satu kursi, dan aku berjalan mendatanginya. Aku memberikan kertas yang berisi puisi ini
kepadanya. Dan di tangan kiriku, aku menyodorkan yang lain. Sebuah komik hentai. Aku
menggerakkan bibir sambil membentuk pengucapan “Pilih.” Kulakukan beberapa kali. Ani
awalnya bingung, tapi begitu memperhatikan bibirku, dia memilih puisi. Puisi jelek. Puisi
yang tidak terlalu progresif, apalagi binti revolusioner. Aku malah mengharapkannya
memilih komik hentai itu supaya bisa melakukan ereksi di kamar mandi selama beberapa
tahap. Tapi ternyata Tuhan masih menyelamatkanku. Padahal aku ingin sekali
mempraktekkan gaya di buku Kamasutra halaman empat ratus tujuh puluh itu. Posisi
Tripadam. Cocok untuk yang sama tinggi, mendorong aliran darah ke zona erotis dengan
sebelah lutut yang mengangkang. Iya, aku ikut Daudiyah, dan itu berarti percaya semua
agama. Dan Yesus berkata dalam Injil Matius, bahwa memang benar jangan berzina, tapi
saat seorang manusia jatuh cinta dan menginginkan manusia lain, bukankah itu sudah
berzina? Dan Lady Bird yang mengenyam pendidikan SMA Katholik di Sacramento itu
pernah bertanya pada ibunya, kapan waktu terbaik untuk melakukan seks, dan ibunya
menjawab usia delapan belas, kalau tidak salah. Kalau tidak salah. Jadi aku tetap ingin
bersetubuh di kamar mandi, atau paling tidak ciuman. Sekali saja. Aku bahkan tidak pernah
melakukannya dengan pacar pertamaku. Aku tak tahu apakah pernah atau tidak, sama
sekali. Maksudku, aku tidak ingat. Tapi, sama sekali aku terdesak oleh kekasih sejatiku, yakni
hawa nafsuku. Dan biar pun para sufi sepertiku seharusnya berhasil mengalahkan hawa
nafsu, serta Haji Bektash Wali berkata supaya kita menjaga setiap tindakan, perasaan dan

85
pikiran, sesuai kata Kak Guru dalam buku Dekalognya, aku ingin, setidaknya melumat
bibirnya untuk yang sekali saja. Sekali pun aku dipanggil Syams Tabriz oleh orang terpandai
yang pernah kukenal di dunia ini. Jalaludin Rumi zaman modern. Kahlil Gibran yang
memotret The Death Mask hasil lukisannya, yang dikirimnya ke Instagram dan diberi tanda
pagar. Nizami Ganjavi yang menulis puisi lainnya di status Facebook.

Tapi sebenarnya aku ingin menceraikannya dari hidupku. Aku tak tahan lagi. Aku bosan
dengannya dan ingin mencari pacar baru. Dia tak pernah bicara, tidak bisa menyanyi, tidak
pernah membisikiku dengan kata-kata seperti Ghea Idol yang menggemaskan, atau sekedar
mengedipkan sebelah matanya padaku seperti Marion Jola. Ya. Dia tak pernah bermain
cinta, walau pun dulu dia memang sempat tersenyum mengangguk setelah aku memberinya
surat cinta. Dan, walau pun dia lebih cantik dari pemeran utama My Girlfriend is Gumiho dan
hubungan ini lebih nyata daripada hubunganku dengan wanita Korea itu, yang sudah basi
dan bosan juga kulihat wajahnya, aku tetap ingin mencari perempuan lain. Karena tujuanku
hanyalah bertransmisi dari Alysa si tukang murtad itu, dan menghilangkan rasa rindu,
kesepian dan kesendirian walau pun seorang sufi pernah berkata, “Sendirian lebih baik dari
kesepian, karena sendirian, kita bukan berarti kesepian.” Dan karena aku ingin
memperlihatkan fotoku berdua dengan gadis yang lebih cantik dari Alysa. Dan itu sudah
terpuaskan. Selesai, terlaksanakan. Tapi hidupku hampa. Dan Elif Shafak menulis cerita
dimana aku mengenal Syams Tabriz pertama kali, menunjukkan bahwa cinta itu harus
bergerak maju, tanpa mengingat masa lalu atau masa depan karena yang nyata hanyalah
saat ini. Dan saat ini aku ingin gadis lain selain Ani.

“Hai!” kataku, “Namamu Ani, kan?” kataku, saat pertamakali kami bertemu. Dia sedang
duduk di kedai kopi di sebelah kampus bersama bangku yang tidak terisi orang lain. Tapi
terisi oleh teman-temannya. Walau aku tak pernah kenal dengan teman-temannya, kecuali
Alysa, dan kami bersapaan dengan dingin. “Kamu kuliah disini?” kata Alysa, akhirnya
berbasa-basi. “Ya. Mana suamimu?” Alysa tersenyum dan tidak menjawab. “Jurusan apa?”
tanya Alysa, akhirnya bicara dengan mengalihkan pertanyaan yang malah tidak kumengerti
mengapa tidak dijawab. “Sastra Indonesia.” Teman-temannya yang lain langsung berkata
“Oohh..” dengan antusias. “Belajar apa saja disana?” kata seorang temannya yang lain,

86
walau kuharap itu adalah Ani. Tapi Ani diam saja. Bahkan dia tidak menjawab sapaanku.
Dasar gadis sombong!

Walau begitu, aku menjalani hari-hari selanjutnya dengan bertemu denganmu. Ani, Ani, Ani.
Dimana ada kamu pasti disana ada aku. Karena aku terus mengikutimu walau terkadang aku
sedang sibuk dengan sesuatu yang lain, kau bisa tiba-tiba ada disana, seolah kau
mengikutiku. Dan membalas ketertarikanku. Tapi sialnya, disana selalu ada Alysa, yang
setiap kuhampiri dirimu, dia pasti selalu tersenyum dan berkata “Setiap bertemu denganmu,
aku selalu teringat masa-masa di Sekolah Menengah Atas..” aku membalas senyumnya, lalu
menoleh padamu dan memindahkan senyumku padamu. Percayalah ini bukan senyuman
bekas, karena aku inginnya tersenyum padamu, bukan ke dia. Tapi kau membalas senyumku
hanya sebentar, dan membuang tatapanmu ke tempat lain, seolah kau tidak menyukaiku
karena aku tidak sepenting isi pikiranmu. Tapi tiba-tiba, seorang temanku, Nelson, datang
dan berkata ke Alysa, “Icha, kesini sebentar. Ada yang mau aku tanya,” tanpa alasan untuk
tetap disini, Alysa pergi, tapi kau ikut, sebelum akhirnya aku tak bisa mengendalikan dirimu
dengan menahan tanganmu untuk tetap disini, dengan berani-beraninya, dengan
lancangnya. Ya, dengan lancangnya aku berani mencintaimu.

“Yuk, Ani..” kata Alysa sebelum suaranya menghilang ditelan angin. Melihatku sedang
menggenggam tanganmu. Seraya Nelson berbicara menjelaskan sesuatu padanya, dia masih
melihat tangan kita yang berpautan erat. “Kenapa kau terus menghindariku?” kataku. “Kau
membenciku?” lalu menoleh ke Alysa. “Gara-gara dia? Dia sudah bersuami!! Untuk apa dia
membutuhkanku??” tapi kau tidak mendengarnya, terkejut pun tidak. Lalu kau menatapku,
akhirnya, dan aku berkata padamu, “Aku mencintaimu.” Dan matamu, seperti ada lintasan
balap yang berkilat-kilat di dalamnya.

Setelah hari-hari itu, aku pun membuat sebuah lagu untukmu. Begitu nyanyiannya selesai,
kudatangi kau dengan gitar, yang sedang duduk menyendiri di dekat kolam Fakultas
Kedokteran. Awalnya aku agak ragu, sebab kau memakai jaket jurusan kedokteran. Aku
datang kesana, tapi kemudian pergi lagi. Berkali-kali. Tapi akhirnya kuberanikan diri, lalu
menyapamu dengan senyuman terbaik dan terkonyol yang pernah kulakukan sekali seumur
hidup. Kuangkat gitar dan mulai menyanyikannya untukmu. Kau tersenyum sambil sesekali

87
bertepuk tangan. Tapi kemudian seorang datang laki-laki, yang tidak kukenal dan juga dari
Fakultas Kedokteran, memanggilmu. Dan kau langsung berlari kearahnya.

Berhari-hari aku tak melihatmu lagi, tak terasa ini sudah lewat tengah malam dan aku masih
berkutat pada laptop. Mengamati dunia sosial jejala, di Facebook, Tweeter dan Instagram di
ponsel. Saat itu Djakawang belum ada, masih berupa lautan di ufuk pantai Selatan Jawa, dan
perebutan kursi kepresidenan antara Denny JA dan Sastrawan Musim. Hidupku penuh
kebosanan. Kemudian, akhirnya, kau menyapaku lewat kolom obrolan di Facebook. Tanpa
peringatan. Tanpa permintaan pertemanan. Kau memulai kata-kata itu dengan, “Hai, apa
kabar?” huruf yang sangat tertata, tidak seperti orang-orang yang kebanyakan menyingkat-
nyingkat kalimat, konon, sejak masyarakat mengenal pager sebelum ponsel. Konon, karena
itu hanya kudengar dari ibuku. “Baik. Kamu?” kataku, akhirnya. “Baik. Aku lagi demam.”
Katanya. Betapa gejolak ingin menemukanmu dimana, lalu menjengukmu dengan makanan
sehat yang terenak yang pernah kutahu. “Dimana?” akhirnya kata-kata itu keluar. “Di
rumah.” Katamu, “Mau kesini?” aku butuh berpikir beberapa kali sebelum menjawab, “Iya..”
dan akhirnya kau tanya, “Kenapa jawabnya lama?” lalu kujawab lagi, “Lagi makan.” Bohong.
Bo-hong. Kecuali makan angin, ya sama saja bohongnya. Aku mulai merasa tidak enak. Ya
Tuhan, ampunilah hamba. “Makan apa?” untung dia bertanya. “Makan angin. Hehe..”
akhirnya kami memutuskan untuk saling bertukar alamat rumah, dan dia menungguku
untuk datang.

Aku membelikannya sate ayam sebelum berkunjung ke rumahnya. Dia begitu senang dan
melahap sate itu sampai lupa menawarkanku, ibunya yang memasak jengkol, dan ayahnya
yang sedang mengelap senapan. Ibunya, berkata padaku bahwa Ani memang begitu dari
kecil, aku berpikir ibunya akan mengatakan mengapa Ani tidak bisa bicara, tapi ternyata ia
membahas kenapa Ani tidak menawarkanku satenya. Membuatku mesti berkata, “Enggak.
Aku sudah bosan makan ini.” Sate ayam memang makanan kesukaannya sejak kecil.
Ayahnya menyela, berkata bahwa Ani tidak bisa bicara sejak lahir, dan sejak itu ia dididik
sesuai yang laki-laki itu baca dalam biografi Helen Keller. Ia tidak disekolahkan di Playgroup
maupun TK, tapi langsung disekolahkan di rumah saja. Dengan bantuan Bu Rida, seorang
Sarjana Pendidikan Luar Biasa yang baik hati dan sering mengajak Ani jalan-jalan ketika sore.
Bu Rida mengajarinya bersepeda, membaca Al-Qur’an, memainkan gitar, dan menulis buku.
Meski Bu Rida bukan seorang sastrawan, ia membaca tulisan Ani dengan penuh semangat.

88
Biasanya itu merupakan kisah sehari-hari yang ditemukan Ani diluar jam pelajaran. Setelah
cukup dewasa, Ani mengambil Ujian Kesetaraan dan lulus dan menjadi mahasiswa
kedokteran di Universitas Indonesia. Mengalahkan ratusan, atau mungkin jutaan, pesaing
lain yang mengejar jurusan tersebut.

“Kamu beli dimana?” kata Ani, dengan suara yang sengau dan samar-samar.

“Kamu bisa bicara?” tanyaku, kaget dan melengah ke wajah bapaknya.

“Ia bisa ngomong, tapi tidak bisa bicara..” kata laki-laki itu, “Dia tidak bisa mendengarmu.”
Kemudian ayahnya membuat sebuah pola dengan gerakan tangannya, bicara kepada Ani
tentang entahlah apa. Setelah itu Ani mengangguk-angguk dan tersenyum, lalu diam.

Aku membelinya di pinggir jalan depan rumahku, Ni. Kalau kamu kesana, kamu akan
bertemu ibuku yang sedang membeli sayur di bangunan sebelah, atau kamu ketemu Mang
Jajang, yang jualan bakso tusuk, atau Cak Fathan sendiri, yang membakar sate ini untukmu.
Kataku, dalam bahasa telepati. Seandainya saja. Seandainya Sastrawan Musim jadi presiden,
pasti belinya enggak bakal pakai uang, Ani. Tapi pakai buku. Kataku dengan bahasa isyarat.
Tapi aku tidak bisa, aku harus belajar dengan Emil. Dia bisa. Tapi ternyata Ani bisa membaca
pikiranku, dan karena itu dia tertawa. Sampai kemudian kami pacaran. Tapi ternyata dia
sering cemburu melihatku berteman dengan cewek-cewek satu fakultas, atau ketika aku
sedang mengobrol dengan Liya, atau saat aku sedang diskusi dengan Kak Guru.

“Lupusmu sudah sembuh, Kak Guru?”

“Iya. Memangnya kenapa?”

“Aku baru saja mengembangkan naskahnya ke bagian bagaimana jika uang diganti dengan
buku?” kataku sambil tertawa, tapi Kak Guru tidak tertawa. Diam membisu.

Tapi. Tiba-tiba dia tertawa, dengan lebih keras.

Sebelum akhirnya Ani datang merajuk, bertanya apa yang kalian bicarakan. Kak Guru
bertanya “Wahh.. Siapa ini?” Ani seharusnya bisa membaca pikiran Kak Guru, tapi tidak bisa,
entah kenapa. Beberapa hari kemudian barulah aku tahu, bahwa Ani sebenarnya hanya bisa
membaca pikiranku. Karena frekuensi gelombang otakku yang sedikit berbeda dengan orang

89
kebanyakan, tapi malah berjalan beriringan dengannya. Dan, walau itu terdengar romantis,
ini sangat menyusahkan.

Sampai akhirnya aku terbangun di malam hari, pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil.
Tiba-tiba aku teringat gelombang air, dan ini mengantarku pada ingatan lain, gelombang
otak. Serta merta aku berwudhu, lalu sholat tahajud. Selesai sholat aku berdoa supaya Allah
memberikan seluruh kebutuhanku, dan memilihkan yang terbaik. Tak lupa, mendoakan
ibuku supaya ia dan aku selamat dunia akhirat. Lalu tiba-tiba aku ingat, dan iseng,
mendoakan supaya Ani tidak bisa lagi membaca pikiranku. Setelah paginya aku mengikuti
Seminar Pembangunan Daerah di Ruang Auditorium Fakultas Ilmu Budaya yang dinding
dalamnya dicat seputih kertas, yang secara total membahas soal kemajuan-kemajuan nan
akan terjadi di Djakawang, yang saat itu masih berupa sketsa proyek. Kemudian. Kau datang
dan duduk di sebelahku, tersenyum sambil membukakan sekotak kue-kue kecil yang kau
bawa dari rumah.

Kau tersenyum, dan aku malah tidak bisa membalas senyummu. Pagi ini tubuhku pegal-
pegal, meriang, disertai dingin yang bertambah licin semakin lama di ruang berpendingin
udara ini. Kau menawarkanku kue-kuemu, tapi aku tidak bisa mendengar, bukan karena
sakit, tapi karena pembicara seminar ini adalah tokoh yang sangat kuhormati. Kakek Andi
Sahrandi, bekas murid yang pernah belajar menjadi siswa paling nakal di SD Kanisius,
sebuah sekolah Nasrani yang terletak di daerah Jakarta dan Sekitarnya, dan sempat
ditempeleng oleh gurunya karena terlalu menggemaskan. Kakek Andi bercerita mengenai
prospek-prospek ramalannya yang beberapa sudah terjadi. Kehancuran bangsa
Minangkabau yang dimulai dari pembacaan Al-Qur’an serentak yang diwajibkan di Sumatra
Barat, oleh Pemerintah Daerah saat itu, yang kebetulan ulangtahunnya sama denganku. 20
Desember. Dan betapa ambisiusnya sang Pemerintah Daerah itu di dunia tarik suara, yang
sejujurnya tak bisa dilakukannya kecuali dengan suara paling jelek sedunia. Kehancuran
Minangkabau yang dimulai dari doktrin-doktrin yang dibungkus isu Timur Tengah, bahwa
merokok itu salah, haram, bahwa memakan uang untuk pergi Jama’ah Tabligh tanpa
menimbang-nimbang itu wajib, dan kalau menimbang dan kiranya tidak jadi melakukan,
itulah bisikan setan. Walau setan itu adalah istri dan anaknya yang ia tinggalkan tanpa ikut
memakan uang dan hidup bersama-sama. Karena Jama’ah Tabligh adalah misi seluruh umat

90
muslim yang berlandaskan dalil, bahwa barangsiapa yang menunjuki jalan yang lurus, maka
yang ia juga mendapatkan pahala sesuai apa yang ditunjukkannya.

Pikiranku menjadi kacau, saling bertentangan, tumpang tindih dan saling berhimpitan. Aku
pernah menjalani Jama’ah Tabligh, dan karena itu aku meninggalkan sekolah selama
beberapa hari. Disana aku diajari wudhu yang benar, cara berceramah yang benar, berdoa,
cara pipis yang benar serta berdiskusi untuk perjalanan selanjutnya. Dan saat aku
berwudhu, saat air membasahi seluruh wajah dan mataku, aku berpapasan dengan seorang
yang kukira adalah salah satu dari kami, ia tersenyum dan menyapaku, dengan sapaan yang
salah. Atau tidak salah. “Syams Tabriz!” katanya, sambil menunjukkan gigi geliginya yang
putih. Aku tak sempat tersenyum padanya, hanya melongo saat mendengar dua potong
kata ini. Syams Tabriz! Nama itu terus menggenang di pikiranku, hingga esok-esoknya, dan
aku bermimpi bahwa orang itu akan bertemu lagi denganku. Syams Tabriz! Hingga aku tak
tahan dan menggunakan nama itu untuk Instagramku, kalau-kalau dia melihatku dan mau
mengunjungiku sekali lagi.

Apakah itu sebuah perjalanan imajinasi atau bukan, aku tidak tahu. Yang jelas, semenjak Ani
tidak bisa membaca pikiranku, aku jadi diganggu oleh banyak suara. Aku pergi keluar dari
Auditorium. Berusaha mengendalikan atau membuang suara-suara yang samar-samar.
Suara-suara yang awalnya kukira dari hantu, tapi ternyata mereka malah diam-diam saja.
Lalu kudengar, kuamati mereka mengatakan apa. Ada suara gadis. Suara kakek-kakek. Suara
ibu-ibu, yang membicarakan bahwa betapa berat hidupnya setelah berkeluarga, atau
betapa rendahnya nilai anak mereka tapi malah berkata dengan suara normal, “Eh. Anakku
kemaren juara satu, lho!” lalu ibu-ibu lain menggerutu sebelum menyahut, “Ah, masa??”
atau menjawab sambil menggerutu. Entah secara tidak atau bersamaan. Sampai akhirnya
aku mengobrol dengan Kak Guru, “Aku seperti mendengar suara-suara, Kak Guru..” lalu ia
berkata, “Apa kamu merasa terganggu dengan hal itu?” dan kujawab, “Ya. Kadang-
kadang..,” lantas dia menasehatiku untuk membaca Al-Qur’an dan berkontemplasi. Tapi aku
tidak melakukannya. Aku lupa, kadang, atau malas. Atau capek karena beban kuliah yang
harus kukejar sebelum Desember nanti.

“Sekarang tanggal berapa?” kata Oom Mentasi, memecah keheningan. Saat itu kami sedang
duduk di teras Auditorium.

91
“Tiga September 2028..,” jawabku setengah bergumam.

“Eh, pinjam duit, dong.”

“Buat apa?”

“Highway,” katanya. Sudah kuduga. Sudah kubaca pikirannya.

“Berapa?”

“Sepuluh aja,”

“Nih.”

“Thankyou very much!”

Setelah itu dia pergi ke warung dekat halaman fakultas, menukar uang dengan sekotak
rokok sambil bercanda dengan ibu-ibu penjaga warung. Bercanda. Atau merayu? Aku tidak
tahu, dan tidak terlalu peduli. Yang jelas setelah itu dia kembali kesini, duduk lalu
menawarkanku sebatang. Kuambil, aku belum pernah mencoba Highway selama dua tahun
terakhir ini. “Rokok Chairil Anwar,” ujarku tanpa arti lebih lanjut. Setelah itu laki-laki ini
malah berkata, “Aku agak kurang suka sama pembahasan Pak Andi tadi..,”

“Bagian mana?”

“Tentang kehancuran Minangkabau. Menurutku, dia terlalu ekstrem dan terlalu


terpengaruh kepada ide-ide konspirasi..”

“Memangnya Bung Karta enggak?”

“Aku?” katanya, mengapit rokok di antara bibirnya. “Aku enggak ada seganas itu,” katanya
lagi, “Lagipula kondisi suatu bangsa kan juga ditandai oleh aura tempatnya.. Itu kan yang
kamu juga pernah bilang?”

“Tapi Bung kan tetap suka channel Youtube Crash, kan?”

“…”

Kami diam. Diam selama sepuluh menit, dan sebelum pergi beranjak, aku mengecek
ponselku dan berkata, “Aku lagi bertanduk!”

92
“Ha?” Oom Mentasi bingung sesaat, lalu tertawa terbahak-bahak.

Kau marah padaku, sudah jelas. Bukan hanya karena kau kutinggalkan sendiri bersama kue-
kue yang sebenarnya kau bawakan untukku. Ya, aku tahu itu. Aku paham dengan
kekesalanmu. Dan karena itulah kau tak mau menemuiku di hari-hari selanjutnya. Sampai
aku meneleponmu, tapi tidak diangkat. Kusapa di kolom obrolan tidak menjawab. Di
kampus pun tidak pernah kelihatan. Sampai pada akhirnya kau sendiri yang
menghubungiku, yang demam rindu ini, untuk menemuimu di kafe tempat kita pertama kali
bertemu.

Tapi kau tidak datang.

Berbulan-bulan, berteman bantal guling, video hentai, video Mizuho Uehara, video Haruka
Kasumi, membayangkan orang-orang kumpul kebo. Membayangkan ini-itu yang sesuai
kaidah dan peraturan yang telah disempurnakan dari Enny Arrow ke novel dan film
adaptasinya Fifty Shades of Grey. Sampai kukira, badanku kurus dimakan onani. Hidupku tak
lagi berarti, kering, kerontang, tanpa makna. Saat aku berjalan mengunjungi salah satu
warung dan membeli es krim Magnum yang kumakan sendiri, berharap ada kamu yang mau
membantuku menghabiskannya. Kau meneleponku lewat What’s App. “Ada apa?” tanyaku,
menyembunyikan rasa senangku. “Kau sedang apa?” kujawab, “Makan es krim.” Lalu
akhirnya kau menyuruhku untuk menemuimu di Taman Suropati.

Sebelum benar-benar berangkat, aku kembali ke dalam rumah dan masuk ke dalam
kamarku. Memilih satu di antara beberapa buku yang kukelompokkan dan kusimpan di
bawah tempat tidur, kucomot begitu saja, tapi kulihat lagi apakah ini sesuai dengan selera
Ani. Buku komik Aki Sora, di mana chapternya saat itu menceritakan pertemuan si tokoh
laki-laki bernama Sora, bertemu dengan teman satu sekolahnya bernama Runa, kalau
enggak salah. Lalu, karena saat itu hari mulai dingin, Runa mengajak Sora ke rumahnya,
apalagi pakaian mereka basah karena Runa sedang gila sehingga melempar seluruh bajunya
ke tengah kolam. Lalu Sora menolong mengambilkannya, tapi malah ikut basah. Mereka
selanjutnya berdua saja di rumah. Dan tanpa pakaian, hanya dilapisi kain handuk, Sora tiba-
tiba dipeluk oleh Runa, yang melepaskan kain handuk itu. Sora merasakan betul bagaimana

93
tekstur tubuh Runa, gadis yang tak pernah tersentuh olehnya selama ini. Sora yang lugu-
lugu bego, mau saja disuruh Runa berbaring di tempat tidurnya. Lalu Runa naik ke atasnya,
dan terjadilah. Terjadilah. Itulah bagian yang kusuka dari komik ini, ketika gadis yang tak
pernah kusentuh, mendapat momennya tersendiri. Dan kuharap Ani juga menyukainya, dan
terangsang. Tapi akhirnya Ani malah memilih kertas puisiku yang tidak terlalu bagus itu.

“Velly,” kata Seniman Musiman, saat kami berdua sedang di kamarnya dengan jendela
terbuka. Dia tiduran memanggilku dari tempat tidur, menggodaku, “Velly..” katanya lagi,
“Velly..”

“Ya?” jawabku malas, sambil memainkan ponsel di atas karpet di sebelah tempat tidur.

“Kamu nggak marah dipanggil ‘Velly’?”

“Enggak.”

“Kenapa?”

“Aku kan sufi,”

“Jadi kalau sufi, nggak punya nafsu?”

“Kalau sufi.. Tangan dan pikirannya dikendalikan,”

“Jadi kalau bukan sufi, enggak dikendalikan?”

“Iya, sih..”

“Velly,”

“Ya?”

“Aku dilamar sama Emil,”

“Oh.”

“Kok cuma ‘oh’??”

“Biasa. Emil gampang suka..”

94
“Ha?? Jadi..”

“Enggak. Maksudku, banyak orang gampang suka sama Emil.”

“Oh.. Kirain dia playboy.”

“Ya jadi kalau eloe suka sama Emil. Itu wajar, banyak yang lain yang juga suka. Jangan
mentang-mentang dia putus sekolah, trus eloe anggap dia sampah masyarakat.”

“Wah. Sadis sekali kata-katanya.”

“Emil itu sekolah. Cuma dia belajarnya sama kayak gua dan Kak Guru, lewat angin dan
online..”

“Ya, ya. Aku tahu itu.” kataku, “Trus, gue terima nggak, nih?”

“Apanya?”

“Lamarannya.”

“Ha?”

“La-ma-ran-nya.”

“Wadooh!! Gilaa..” lalu aku tersadar dan melotot, dan dadaku sesak dan lompat ke atas
kasur lalu jingkrak-jingkrak. Dan pada saat yang sama, aku terharu. Dia apalagi. Tidak ada
politik keluarga kali ini. Aku mendukungnya, berarti yang lain juga mendukungnya. Karena
kami sejoli yang cuma di antara kami yang saling mengerti. Sampai akhirnya, kata-kata itu
keluar juga “Eloe nikah juga, ternyata ya.

Enggak kerasa.”

Setelah itu dia menangis, walau pun akhirnya tetap merencanakan pernikahannya.

34

Beberapa hari. Sekian hari. Sesuatu terjadi. Puluhan hari. Setahun, setahun lewat sehari dan
mereka pun melangsungkan pernikahan. Pernikahan yang hanya dihadiri oleh pihak
keluargaku dan Seniman Musiman, akibat neneknya meninggal tujuh bulan yang lalu. Emil
menahan tangis sendiri di acara itu, sambil tangan kanannya menggenggam erat tangan

95
penghulu tanpa kesalahan pengucapan, dan tangan kirinya memegang gelas berisi Sprite
yang diteguknya setelah acara selesai. Acara akad nikah. Hanya itu. Mereka merencanakan
sesuatu.

Rencana pindah ke Djakawang, aku tahu itu.

Dan demikianlah, kami merayakannya. Aku pun merayakannya di lubuk hatiku yang
terdalam, dan perlahan, dengan sendirinya dan tanpa disuruh, aku mulai memanggil laki-laki
sahabatku itu sebagai: Suami Seniman Musiman.

35

Novel grafis-puitis proyek kami bertiga, aku, Seniman Musiman dan Suami Seniman
Musiman, hampir selesai. Kami mengerjakannya di kamar Seniman Musiman yang disulap
jadi studio dengan peralatan apa adanya. Proyeknya berjalan cukup baik. Tinggal beberapa
halaman. Antara mereka berdua, sepertinya tidak mempunyai kemiripan gaya gambar, tapi
biar begitu Suami Seniman Musiman tetap bersikukuh agar Komik Ini diilustrasikan oleh
mereka berdua. Dengan pena Drawing Pen, mereka giat merancang tiap sudut panel dengan
semangat, terkadang terhenti, lalu meneguk sebotol Sprite sisa acara pernikahan mereka.
Atau memesan pizza, karena mereka tidak mau terlalu pelit berhemat, seolah-olah
Djakawang adalah tujuan yang obsesif. Tapi aku pun bertanya pada Suami Seniman
Musiman, pada saat kami sedang duduk berdua, merokok, aku. Dia tidak merokok. “Kenapa
cepat sekali pindahnya? Rumah nenekmu bagaimana?”

“Itu gampang diurus. Orang-orang akan pulang pada waktunya, dan Djakawang adalah
tempat yang ideal bagi kantong celana kami.” Jawabnya sekenanya, lalu malah bertanya
balik, “Kenapa kamu bertanya seperti itu, seperti ibuk-ibuk yang takut kehilangan anaknya?”

“Yah..” kataku, “Kau adalah sahabatku, sahabatku yang paling baik. Kalau pun kau manusia
imajiner, kau akan tetap jadi sahabatku. Dan Seniman Musiman, dia setengah guruku,
sepertiga sahabat dan selebihnya saudara yang ngawur kadang iseng sendiri seperti Ina
Mia..”

Belum selesai aku bicara, Suami Seniman Musiman sudah menunjukkan mulutnya yang
melongo karena kebingungan. Lalu kusadari, diksi yang kugunakan terlampau jauh. Aku

96
terlalu haru, rupanya. Ina Mia, Chairil! Chairil. Lihat aku menulis Ina Miamu dengan
khayalanku sendiri.

Mengapa Ina Mia, kenapa tidak Sri Ayati? Kata Chairil, lalu aku menjawab, Ya hanya itu yang
terpikir olehku. Kenapa kamu tidak menulis skripsi tentang Ina Mia? Kujawab, Penelitianku
kuantitatif, Chairil! Kamu puisi, bukan penulis novel! Bentakku. Baiklah, baiklah. Kata Chairil,
pinjam korek api. Lalu dia membakar sebatang Highwaynya dan mengembuskannya dengan
hikmat, sehikmat-hikmat Chairil dan kemudian abunya jatuh juga.

Di radio National yang terletak di ruang studio, kami mendengar berita kerusuhan yang
terjadi di Djakawang. Seluruh orang tak menyangka. Heran. Tak berkutik atau pun
berpendapat, setidaknya untuk semetara, lalu kemudian tergagap dan berkata, “Bagaimana
itu, bagaimana itu? Bagaimana ini bisa terjadi..??” beberapa orang menangis, lainnya
berlutut, atau menjatuhkan lututnya dan bertumpu disana, atau bertekuk lutut, adalah
sama. Mereka sama-sama menyatakan perasaan kecewa. Barangkali ada orang-orang yang
sengaja memakai baju hitam-hitam karena bermimpi dengan jenis mimpi yang sama
sepertiku. Hanya untuk senada dengan situasi seperti ini. Walikota memboikot makanan-
makanan luar daerah, dan hanya mengandalkan sawah, peternakan Djakawang dan hasil
laut pantai selatan. Lalu melarang orang untuk melakukan ritual kepada Nyi Roro Kidul. Ya.
Melarang orang Minang, Batak, Bugis, Tionghoa, India dan tentunya Jawa yang melakukan
perantauan kesana, untuk mengimport makanan dari kampung-kampung mereka sendiri.
Tapi kemudian malah menghalalkan para eksportir luar negeri seperti Australia, Vietnam,
Thailand dan Macau untuk mengirim berbagai bahan tekstil. Alasan saat ini tidak diketahui,
tapi pemerintah kemudian melakukan blusukan, tapi ternyata kekuatan blusukan itu tak
punya arti. Beberapa orang yang diyakini sebagai angkatan bersenjata, tak dapat berkutik
sesampainya disana. Entah apa yang terjadi hingga semua orang menjadi lemah. Tidak.
Tidak semua orang. Hanya pihak berwenang di negara ini.

Djakawang, pulau yang sebenarnya didirikan dari tumpukan sampah plastik yang
dikumpulkan dari berbagai penjuru Indonesia, yang daripada digunakan untuk karya-karya
seni kurang bermutu karena minimnya selera masyarakat terhadap seni jenis ini, yang tidak
bisa dikritik, karena para kurator tidak tega mengkritik, dan lebih tepat sebagai orasi demo

97
daripada pertunjukan pembacaan puisi. Orasi demo, yang terjadi beberapa jam kemudian
karena Djakawang berbuat ulah, dan diikuti gerakan penulisan puisi tentang Djakawang dari
berbagai klub pencinta sastra. Puisi yang dibuat bukan berdasarkan permenungan dan
imajinasi, tapi lebih kepada mengumpulkan data-data dan mengolahnya dengan susunan-
susunan kata, yang, kurang lebih memiliki bentuk serupa, tidak sevariatif seni lain, dan tentu
saja tidak bisa disebut sastra pengasingan yang seringnya lebih revolusioner dan tepat guna
daripada susunan kata yang baku. Dan, kaku.

Bisa kulihat di wajah mereka berdua, Seniman Musiman dan suaminya, bahwa mereka
kecewa, ketakutan, sekaligus khawatir, mengenai apa yang terjadi pada calon-calon
tetangga mereka, calon-calon pedagang tempat mereka membeli beras, sayur mayur,
daging-dagingan, serta keperluan lain untuk membuat rumah tangga mereka nanti menjadi
harmonis di suatu saat kelak. Mereka bahkan membayangkan bayi mereka, yang katanya
akan diberi nama Felesa Azefi, juga sepertiku. Penyebutannya. Cuma penyebutan, masalah
suara. Masalahnya, aku tidak tahu apakah mereka inginnya memang mirip denganku, atau
justru serupa. Entah mengapa mereka inginnya nama dari seorang anak kuliahan sepertiku,
dan bukannya Chairil Anwar yang putus sekolah seperti Emil, yang sama-sama revolusioner
itu.

“Bisa kau beri saran kepada kami?” tanya Emil, wajahnya memelas. Seniman Musiman
memperhatikan diriku, lalu menatap suaminya. Seperti mencoba mengerti atas hubungan
kami yang tak pernah dia perhatikan. Aku menatap kedua mata Emil, mencoba menggali
perasaannya yang terdalam, mencoba mengenali, apa yang dia inginkan sebenarnya. Dari
pertanyaan ini. Dari Djakawang. “Ya.” kataku.

“Apa itu?”

“Jangan pergi.”

“Ha?”

“Ya. Itu saranku. Kau minta saran, kan?”

“Tapi aku dan Seniman Musiman ingin tetap pergi.” Katanya, berwajah lebih romantis.

98
“Ya, itu saranku. Tapi kau minta saran..” aku menggaruk kepala belakangku sambil menahan
kesal.

“Tapi..-” belum selesai dia bicara, aku langsung mendampratnya, “KAU INI MAU APA
SEBENARNYA? Dibilangin enggak mau, dinasehati enggak mau!!”

“Iya, tapi..-” suara itu terhenti, lalu dia menangis. Dia berlari kearah Seniman Musiman dan
menjatuhkan kepalanya di dada perempuan itu. Seniman Musiman memeluknya erat,
sambil menatap berang kepadaku.

“Ah! Sudah!!” kataku kesal, lalu pergi meninggalkan ruangan studio.

36

Sang Pelari, begitu aku memanggilnya yang butuh bantuan setibanya dia disini, di rumah
Master Ai-ku di West Sumatra, saat aku baru saja pergi dari Bukiteukoh, menjauh dari
Seniman Musiman dan suaminya. Dia berlari dari Djakawang, dari pemerintahan lokal yang
semena-mena, katanya. “Aku membaca puisi Wiji Thukul tentang kebusukan pemerintah,
lalu kubuat yang baru, setelah itu kudeklamasikan di depan orang-orang demonstran..”
jelasnya, sambil menyantap mie goreng yang kuhidangkan, dia melahapnya dengan rakus.

Sang Pelari kemudian bercerita, bahwa dia adalah mantan atlet ulung di Jawa Timur. Dia
seorang pemain taekwondo, yang juga bisa menguasai silat, hanya jika berlatih silat.
Katanya, taekwondo itu tidak berbeda dengan silat, sama-sama olahraga, hanya saja silat
juga harus menguasai serangan tangan. “Tapi kalau di turnamen silat, serangan kaki lebih
mayoritas digunakan. Nomer dua guntingan, lalu bantingan, dan setelah itu barulah
serangan tangan..”

“Aku bisa silat,” kataku.

“Oh, ya? Silat apa? Silat Sunda, Silat Aceh, Silat Jawa, atau Silat Betawi?” dia agak antusias,
tapi tidak terlalu karena kukira dia hanya mengkhayalkan dirinya bisa mengerti silat.

“Silat lidah! Hahaaha..” aku maunya tertawa begitu, dengan lelucon ini. Lalu dia juga akan
tertawa menanggapi kelucuanku, setelah itu kami diam dan tertawa lagi bersama-sama.
Tapi, aku tidak benar-benar mengatakannya. Aku hanya menjawab, seadanya, “Starlak.”

99
“Ha?” Dia heran. Tampaknya dia tidak mengerti Starlak itu apa. Ya, dia mengerti itu silat.
Tapi silat darimana, dia tidak tahu.

Ketika aku baru saja menjelaskan, dan belum menyebut nama daerah, dia langsung berkata,
“Ohh.. Yang dari Padang,”

“Bukan. Dari Agam,” kataku. Lalu dia tertawa sambil mengangguk-angguk, lalu terdiam.
“Agam itu dimana?”

“Agam itu daerah yang membatasi Bukittinggi dan Payakumbuh.”

“Nah, dimana lagi kedua daerah itu?”

“Sama. West Sumatra juga. Tapi tetap bukan Padang.”

“Iya, iya. Kan orang luar menyebut West Sumatra itu Padang..”

“Iya, tapi itu tidak boleh dibiasakan. Nanti jadi lebih ngawur,”

“Cobain, yuk.” Katanya tiba-tiba.

Aku mengerti artinya kata-kata itu, dia mengajakku mengadu silat dan taekwondo. Tapi aku
agak malas. Lagipula Starlak adalah permainan yang lumayan berbahaya. Starlak tidak bisa
dimainkan dengan remeh, tidak serius, atau pun iseng saja. Gerakannya cukup mematikan.
Dan ini kujelaskan kepada Si Pelari.

“Ah. Kau takut..”

“Bukan,”

“Iya. Takut ada yang terluka..”

“Iya, tentu. Setiap pendekar pasti punya alasan masing-masing untuk tidak berkelahi,”

“Jadi kau menganggap dirimu pendekar??”

“Tidak juga,” kataku, “Kalau memang istilah ‘pendekar’ itu hanya digunakan pada orang-
orang lama..-” Melesat telapak kaki kanan Si Pelari kepadaku, langsung kutangkap dan
kugenggam. Dia terdiam, lalu terkekeh. Gila ini orang, kataku dalam hati. Lalu dia menarik

100
kaki kanannya kepadaku. Jantungku berdegup agak cepat dari biasa, pikiranku penuh siaga
jika seandainya orang ini benar-benar gila.

Tapi dia melesatkan lagi kaki kanannya, yang tak sempat kutangkap dan malah kupukul. Aku
menyesal telah memukulnya, tapi kakinya tampak tidak apa-apa. Lalu dia melesatkan lagi
kaki kirinya, menggetar-getarkan meja berisi mie goreng yang belum habis, air minumnya
juga bergelombang. Tendangan kiri itu kutangkap, tapi kaki kanannya membabat habis
rusukku.

“Sial!” umpatku, lalu memelintir kaki kanannya, membantingnya sampai jatuh. Bunyi
debuman keras mengenai lantai. Dia bangkit dengan melompat, kulihat kedua matanya
sedikit berair. Pasti sakit jatuh seperti itu, dan biasanya memang begitu.

Dia melesatkan sebelah kakinya, lalu sebelah lagi, dengan gerakan yang lebih cepat. Aku
seperti berada kembali di dalam suasana latihan, tempat dimana orang-orang mengejekku
sebagai anak mami. Dan yang paling menyebalkannya lagi, Si Pelari tersenyum anjing seperti
Bolo Yeung yang sedang menghadapi Brandon Lee, anak dari Bruce Lee yang juga ikut ke
dunia film, lalu juga mati tertembak dengan cara yang kemungkinannya berasal dari
konspirasi.

Dia tersenyum sambil memutar-mutar badannya, mengelak dari pukulan-pukulan Starlak.


Bukan pukulanku, jadi jangan salahkan aku jika dia mati berdiri. Tapi ternyata dia cukup
cepat juga sebagai seorang pelari, atau pelarian, aku malas melakukan pembedaan pada dia
yang bikin kacau sekarang ini.

Beberapa tendangannya malah berhasil menumpuk ke dadaku, panas. Panas dan marah.
Aku segera menangkap sebelah kakinya dan menghajar tulang keringnya. Dia memekik,
terjatuh, dan merepet-repet sambil, kukira, menahan tangisnya. “Nah. Sudah puas
berkelahi? Sekarang habiskan makananmu.”

Dengan wajah dongkol, dia segera bangkit sambil tertatih-tatih, tapi mengambil garpu dari
piring mie, dan mencoba menyabet-nyabetku. Lalu kutangkap saja tangannya dan
memelintirnya agak jauh, “Masih melawan?? Masih melawan, ha??” tapi dia diam saja.

101
Akhirnya dia kuikat dangan tali kapal yang kutemukan di gudang, yang sering digunakan
suaminya Master Ai untuk, entahlah apa. Tapi aku yakin itu kepunyaan suaminya Master Ai.
Dan ketika seorang laki-laki lain datang ke rumah ini, sekitar jam setengah tujuh malam dan
dengan tingkah mencurigakan, mengetuk pintu rumah saat tidak ada orang selain aku, yang
saat itu sedang membaca buku The Girl with The Dragon Tattoo karangan Stieg Larsson yang
ternyata juga kepunyaan suaminya Master Ai, begitu kulihat di halaman pertamanya yang
dibubuhi tanda tangan, seolah ia cukup puas dengan tidak bertemu penulisnya, karena
cukup menjadikan ini hanya kepunyaannya seorang. Maka, dengan mengendap-endap,
kudatangi ruang kerja Master Ai dan mencuri buku ini dari sana.

“Istriku, kau lihat bukuku tidak?” katanya, suatu saat nanti, beberapa jam kemudian. “Kau
lihat tali kapalku juga, tidak?” Karena aku pasti sudah menghilang di tengah angin malam,
bersama cecenguk ini, Si Pelari yang kubawa ke kantor polisi setelah menelepon mereka,
“Ada maling disini, kami sudah menangkapnya. Dia baru saja mencuri mie goreng..” lalu
mereka akan menjawab, “Bukankah itu hanya hal kecil? Kami tidak bisa..-” Lalu aku mulai
membentak, “BUKANNYA TIAP KALI KALIAN HANYA MENGHADAPI HAL-HAL KECIL?? KALIAN
SAJA TAK PERNAH MENGHABISI PARA KORUPTOR-KORUPTOR Itu..” Dengan pengucapan
kata ‘itu’ yang kemudian mengecil, melambat, hampir tak terdengar. Tapi aku tak benar-
benar mengatakannya, aku hanya menelepon kantor polisi, dan berkata bahwa disini ada
orang asing yang tiba-tiba membuat onar, dan apakah kalian bisa menolong saya? Lalu
sebuah suara mobil terdengar, cahaya lampunya menyinari jendela. Dan akhirnya aku pun
berkata ke Si Pelari, “Akhirnya kau akan mendapat sangsi atas apa yang kau lakukan selama
ini.”

“Oohh.. Tolonglah! Yang tadi hanya bercanda..” katanya, hampir menangis. “Aku tidak
sungguh-sungguh. Lagipula, kau kan tidak terluka..” katanya. “Aku tidak mau masuk
penjara.. Tolonglah! Ooh..”

Sebenarnya aku agak kasihan, tapi ini harus dilakukan. Dia telah melukai tulang rusukku,
melukai hatiku, yang sebelumnya telah menolongnya dari kejaran inspektur-inspektur di
Djakawang yang semena-mena, tapi malah membalaskan dendamnya padaku. Dendam
apalah. Hanya dia yang tahu. Dan tidak ada hubungannya denganku. Dan begitu seorang
laki-laki dengan jaket hitam masuk, menjelaskan bahwa dirinya seorang dari polisi yang

102
dikirim, membawa beberapa kertas di tangannya, menyuruhku menandatangani, tanpa
kucek sebelumnya kuisi dengan semangat pena hitam, dan akhirnya mengganti tali kapal itu
dengan borgol. Si Pelari berubah wajahnya, dan berkata mengumpat-umpat, “Lihatlah nanti,
Syams Tabriz!! Kau akan mati!! Kau akan mati, Syams Tabriz!!!”

Aku melongo, tidak mengerti mengapa ia menyebutku dengan nama akun Instagram, dan
dari mana dia mengetahuinya. Aku tak ingat bahwa ada orang aneh dari Djakawang, yang
menjadi salah satu dari enam ratus pengikutku, yang tidak kuikuti balik. Tidak ada nama
cecenguk ini disana, walau tadi sewaku baru datang, dia memperkenalkan nama aslinya
padaku. Lalu dia berkata bahwa dia lapar, kusediakan mie goreng, lalu dia cari gara-gara
sampai akhirnya kulumpuhkan dan kumasukkan ke kantor polisi.

“Tenang saja, Pak.” Kata laki-laki polisi itu, “Dia tidak akan kabur. Kami pastikan itu,”

Tapi aku malah mengkhawatirkan sebaliknya.

37

“Hai,” kata Ani kepadaku, tapi aku diam saja. Aku sedang memikirkan tentang Si Pelari, dan
bagaimana langkah-langkah supaya dia bisa keluar dari penjara. Tidak, tentu saja tidak.
Bukan karena aku ingin membuatnya kabur dari penjara lantas membunuhnya, tidak. Bukan
juga sebagai pengisi khayalanku karena aku sedang mengerjakan naskah novel yang sudah
sekitar dua puluh lima ribu kata. Atau untuk memperpanjangnya menjadi 100.000 kata,
menjadikannya novel epik seperti Tarian Kabut. Dimana aku langsung jatuh cinta kepada
Svetlana, yang sebenarnya adalah manifestasi Kak Guru, dan pernah membuatku iseng
melamar Kak Guru tapi tidak sedikit pun direspon. Kukira. Kukira Svetlana adalah mahluk di
dunia nyata, bagaimana Kak Guru membangun karakternya sedemikian rupa, hingga jatuh
cinta kepada teman satu kelompok tarekatnya. Lalu aku teringat kepada Liya, dan
kerinduan-kerinduanku padanya. Biar pun dia pernah membuatku patah hati, karena sesuai
kata Oom Mentasi, “Dia sudah tunangan,” Sama siapa? Tanyaku, tidak percaya. Mengira dia
hanya berbohong dan tahu aku berpikir begitu, Bung Karta berkata, “Sama Emil. Emile
Rezam.”

“Penyair bodoh itu?”

103
“Jangan salah sangka. Emil itu pintar, sebenarnya.” Kata bung Karta alias Oom Mentasi.
“Bahkan, nama penaku dia yang ngasih.” Oh, ya? Siapa nama penamu? “Mentasi, artinya
dunia pemikiran.”

“Lho? Bukannya itu sudah jadi judul bukunya?” kataku, yang baru saja membeli Gadis
Embun Pagi di Pizzatta dan mendapati daftar novel-novel yang sudah diterbitkannya di
halaman belakang. Novelet cinta Girl, Who Saved Me, novelet silat Wong Assoy, novelet fiksi
ilmiah Gliese, novelet filsafat Novalis, novelet filsafat Emil’s Mentation, yang diterjemahkan
ke bahasa Malaysia jadi Mentasi, novelet cinta A Girl with The Morning Dew, antologi puisi
Mentasi, yang setelah kubaca semuanya, aku semakin meremehkan Emil, apalagi A Girl with
The Morning Dew dan Girl, Who Saved Me ceritanya begitu mirip dengan Gadis Embun Pagi.
Biar pun aku salut mengenai eksplorasinya yang mendalam, agak ya, agak mendalam,
tentang sejarah hidup seorang filsuf bernama Novalis, aku tetap saja semakin
meremehkannya. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku memang semakin meremehkannya. Dia
tidak terlalu hebat sebagai penulis, kecuali penyadur novel-novelnya sendiri.

“Selain itu, Liya memang jatuh cinta ke Emil, sejak hari pertama mereka bertemu.”

“Kenapa Emil?? Bung Karta, kau memang brengsek sebrengsek nama Mentasimu!!” kataku,
tapi tak jadi. Kataku hanya dalam hati.

Tapi, ternyata Bung Karta berhasil membaca wajahku, “Dongkol kamu, Dek?” ujarnya sambil
mengisap rokok Highwaynya. Aku cepat-cepat merubah air mukaku. Enggak, jawabku. Tapi
biar pun begitu dia bisa membaca kerinduanku yang begitu dalam kepada seorang Liya. Liya
yang menjadi begitu Liyan terhadap diriku, terutama setelah aku pergi dari kampus dan
mengerjakan skripsiku di atas kapal, di dalam bus, di kursi penumpang sampai batrai
laptopku habis. Lalu mengulang paragraf-paragraf terakhir di kamar Seniman Musiman,
membelakangi jendela tempat gadis hantu pujaanku, eh, mantan pujaanku. Sambil
memikirkan bagaimana cara menikah dengan Jechungid, kalau aku sampai bisa berhasil
mendekatinya. Seraya menyesap kopi rebus yang kubuat sendiri, meniru gaya Seniman
Musiman. “Dongkol kamu, Dek?” kalimat itu terus terbayang-bayang di ingatanku sampai
aku tak sengaja mengetiknya di salah satu halaman skripsi.

104
Kuangkat cangkir berisi kopi rebus dan meminumnya pelan-pelan, tanpa sempat menghirup
aromanya terlebih dahulu, bukan karena lupa, melainkan karena tak ingin ikut-ikutan orang
oon yang tidak mengerti dan asal ikut saja, karena justru, Nabi Mohammed melarang umat
Islam untuk bernapas sambil meminum sesuatu. Ya, sesuai hadist. Tapi merokok? Kata
seseorang, jika ada yang melihatku mengisap, dan jika memang ada yang bertanya, saat itu,
akan kujawab. Merokok tidak dilarang, walau memang berbahaya untuk kesehatan. Tidak
berdosa, hanya makruh. Dan jika orang non-muslim bertanya apa itu makruh, kujawab,
makruh itu seperti memanggang daging babi tapi tidak dimakan, kalau kau adalah pemakan
daging babi yang tidak haram bagimu. Lain dengan sunnah, yaitu jika aku sedang duduk di
depanmu lalu kau tawarkan daging anjing tapi aku tersenyum dan menolaknya dengan
sopan. Senyum adalah sunnah, dan tidak memakan daging anjing adalah wajib. Dan tentu
kau tahu wajib itu seperti apa.

Tapi aku tidak tersenyum kepada Ani, yang memanggilku dengan suara lemahnya. Aku
hanya menatapnya sebentar, lalu menoleh ke tempat lain. Mengambil sebatang Sampoerna
Hijau, dan menyalakannya, mengisapnya dan membuang asapnya ke udara. Aku begitu
lemah kepadanya, aku tak bisa mengikat kuat sebuah janji cinta kepadanya. Aku tak tahan.
Sampai akhirnya aku pergi, meninggalkannya. Pergi dari kafe itu, pergi dari Taman Suropati,
dari kolam ikan tempatku menyanyikan sebuah lagu yang tak pernah didengarnya.

38

“Haha.. Nggak apa-apa.”

“Dimaafkan, nih?”

“Iya. Emil juga sudah nggak masalah sama dia..” Aku tertawa.

Tawa palsu.

Kami berangkat ke Djakawang, kami sudah di Djakawang. Kami terjebak di Djakawang. Sejak
beberapa minggu lalu, dengan kapal feri, kami berhasil sampai di pulau ini. Dan sejak hari
itu, kapal feri yang kami tumpangi yang membawa kami, bersama belasan fotografer dan
wartawan selain aku dan Emil, yang bukan, yang hanya menumpang perjalanan mereka,
yang tidak bisa kemana-mana lagi. Kapal itu diparkirkan labuhnya di tepi pulau, yang

105
sebenarnya tidak bisa disebut pantai, karena pulau ini, selain terdiri dari sampah sebagai
strukturnya yang terbuat dari sampah, datarannya juga dilapisi oleh semen. Dan itulah
mengapa tidak ada pohon-pohon seperti pohon kelapa, pohon bakau atau pohon-pohon
lainnya, yang melesak ke bawah tanah. Karena memang tidak ada tanah. Kecuali di dalam
pot-pot raksasa dengan pohon-pohon yang sengaja ditanam untuk ketersediaan oksigen.

Tapi.

Perut kapal itu pecah, terisi air, dan biar pun tetap mengapung, Si Pak Tua itu nahkodanya,
melarang keras karena kembali hanya merupakan cara untuk bunuh diri. Air akan
bertambah ke perutnya ketika kapal bergerak, apalagi melaju dengan kecepatan yang,
walau pun di tingkat knot biasa. “Ini harus dipertanggung jawabkan. Siapa yang mau ke kota
untuk mencari montir cantik, eh, montir kapal??” kata Si Pak Tua, dengan air liur yang
dijilatnya di bibir tiap kali berbicara dengan wartawan-wartawan wanita. Atau beberapa
fotografer legendaris seperti Nyimas Laula atau Putri Anindya. Kami berjalan kaki menuju
kota, karena sedang tidak ada angkutan darat yang bisa membawa kami. “Musykil.
Kekacauan di Djakawang membuat lalu lintas dihentikan. Beberapa mobil, malah
dihancurkan..” kata Si Pak Tua, sambil melirik payudara salah satu wartawan. Aku bertanya
kepada salah satunya, mengabaikan Si Pak Tua, mengapa seorang Nyimas Laula sampai
nekat mau datang kesini. Sedangkan dia sudah punya pekerjaan di majalah-majalah Amerika
seperti Washington Post atau Wall Street Journal dan majalah-majalah lain yang memuat
hasil jepretannya, dan bagaimana karya-karyanya tersebut bahkan mengalahkan seorang
Rangga Sastrowardoyo bin Yosrizal bin Fulan binti Fulan. Evelyn Pritt, salah satu orang
tersebut, langsung tertawa terbahak-bahak, “Rangga kan emang ngga ada.. Dia kan cuma
karakter di film Riri Riza doang..” katanya, tanpa mengabaikanku yang berceletuk setengah
menggerutu bahwa Rudi Soedjarwo adalah orang utama di balik penciptaan Rangga.

“Salah..” kata Emil, nyolot. “Peran utama itu justru Nicholas Saputra..,”

“Memang kamu tahu apa soal film Indonesia??” kataku.

“Yah.. Tahu, lah. Novel Membunuh Misionaris nantinya juga bakal diadaptasi,”

“Jadi cuma gara-gara mau bikin film, kamu ngikutin film Indonesia?”

106
“Yahh.. Wajar, lah. Bosan lihat permainan Reza Rahadian terus.. Atau Adipati Dolken terus..”
lalu Emil menggerutu dengan kata-kata yang tak begitu kuperhatikan.

“Trus, Nicholas Saputra?”

“Nah. Itu satu-satunya aktor yang kusuka di Indonesia..”

Aku manggut-manggut. Dan betapa sadar bahwa aku baru saja mengenalnya, dan keterlalu-
asingnya dia dari beberapa tahun belakangan. Apalagi dengan pikirannya yang penuh kabut
itu. “Aku sedang ngobrol sama Eve. Bentar, ya?” kataku, lalu melanjutkan perbincangan
sambil jalan kakiku dengan perempuan fotografer ini. “Sejak kapan kamu mau turun ke isu
kemanusiaan?” Eve tertawa kecil, lalu dia berkata bahwa minatnya ke isu kemanusiaan
sudah ada sejak lama, walau pun yang terkenalnya memang karya-karya di fotografi fashion
atau pemandangan dunia laut. “Dulu memang lebih suka ke lanskap alam, sih. Tapi karena
kenal Pelesetupat, baca novelnya, trus jadi tertarik sama lanskap kulturnya Djakawang..”

“Baca Djakawang juga?”

“Iya. Pas tahu kalau yang nulisnya Pelesetupat, dan walau pun dia cuma penulis hantu, jadi
lebih tertarik sama novel itu. Awalnya memang, ada penasaran, tapi sedikit. Karena nama di
buku itu ditulis Denny JA..” katanya lagi, “Aku orangnya ngga tertarik ke politik..”

“Kalau tasawuf?”

“Apa itu?”

“Jalan pemurnian jiwa. Memang sih, biasanya cuma orang muslim aja yang ikut.. Tapi ada,
kok, yang non-muslim. Daudiyah misalnya. Atau Maulawiyah..,”

“Aku ngga tahu banyak,”

“Tapi kamu tahu Jalaludin Rumi, kan?”

“Tahu. Tapi ngga terlalu mendalami. Penyair kan, dia?”

“Iya. Begitulah, kira-kira..”

“Oh, iya. Kita belum kenalan. Siapa namanya?”

107
“Panggil saja Seniman Musiman.”

“Oohh.. Dulu sempat kuliah seni?”

“Nggak. Cuma otodidak. Hobi melukis pakai pena Pilot, dimasukin ke Facebook, trus
ditawari kerja sama Rudirabbi Arrashid..,”

“Siapa itu?”

“Desainer juga. Beliau orang dibalik kostum-kostum sinetron Tukang Bubur Naik Haji.”

“Ohh.. Aku ngga terlalu ngikutin, sih. Jarang nonton teve,”

Aku manggut-manggut. “Dulu kamu kuliah di fotografi?”

“Hmm.. Awalnya cuma belajar sendiri. Ya, sama seperti kamu, otodidak. Trus suka nanya-
nanya, ini gimana caranya? Ini kok begitu? Seiring waktu kemampuan itu berkembang, trus
akhirnya masuk kuliah di TAFE..”

“Dimana itu?”

“Oz,”

“Oz? Australia, maksudnya?”

“Iya.”

Tak berapa lama, obrolan kami terhenti. Tanpa kusadari kami sudah sampai di gerbang kota
Djakawang. Si Pak Tua terlihat letih sekali, entah karena umurnya atau memang tidak biasa
jalan jauh. Tapi ini pun cuma satu setengah kilometer. “Tahan..” kata seseorang. Aku
melengah. Emil. Dengan wajah serius dan penuh kewaspadaan, menoleh ke seluruh
penjuru. Baik di dalam kota, maupun di sekitar kami. “Tidak ada orang..” katanya lagi.
“Kenapa?”

Si Pak Tua mendehem. Kemudian terbatuk-batuk lalu meludah ke tanah. “Orang-orang


sepertinya bersembunyi di dalam rumah masing-masing.. Ini seperti, eh, sesuai dengan
ramalan agama Kirr.”

108
“Maksudnya, Pak?” sahut Emil, sedikit membentak. Kemudian berjalan mendekati Si Pak
Tua.

“Kiamat.”

“Kiamat??” seru beberapa orang, tapi tidak Evelyn. Wanita itu malah terlihat biasa-biasa
saja, tanpa ada sedikit pun ketakutan muncul di raut wajahnya. Ia kemudian membuka
ranselnya, mengeluarkan botol air minum dan meneguknya, sebelum menawarkannya
padaku. Aku tersenyum, “Aku punya sendiri.” Kataku.

“Tapi api yang akan datang akan jauh lebih mengerikan hausnya,” katanya lagi. “Lagipula,
Pelesetupat sudah meramalkan ini..”

“Jadi, dia dipaksa untuk merancang kiamat ini?” aku membayangkan Denny JA dan meninju
rahangnya sekuat tenaga khayalanku, lalu dia tersungkur dan kuhantam selangkangannya
pakai kaki. Kupukul. Kubanting tempurung lututku ke dagunya, hingga dia terperosok ke
jurang imajinasiku.

“Hahha.. Tidak juga. Kan dia sempat nulis tentang Djakawang juga di novelnya yang lain,”

Aku mengangguk sambil menghela napas. “Mungkin dia nggak sengaja. Sekedar intuisi
seorang penyair..”

Eve tidak mengangguk atau melanjutkan percakapan. Dia memasukkan botol airnya kembali
dan menutup ranselnya, lalu berjalan ke salah satu bangunan. Sebuah apartemen tingkat
tiga yang dicat krem. Dia mengambil beberapa sudut untuk difoto. Kemudian melangkah
menuju pintu, dan mengetuk. “Spada. Spada..”

Butuh setengah jam sampai seorang dari salah satu, atau entah berapa penghuni rumah,
untuk membuka pintu. Seorang perempuan, yang membuatku merasa sudah pernah
mengenalnya, dunia realis maupun spiritual. Dia memakai T-shirt hitam dan celana jeans
biru langit. Dan di dalam pakaian itu, dia adalah seorang gadis cantik mirip aktris Korea yang
pernah kulihat selain Jechungid. Walau aku ragu, apakah dia juga sepintar Jechungid atau
tidak. Aku mengikuti Eve yang memilih masuk ke dalam, di antara lima orang termasuk Emil,
yang tidak seperti anggota lain nan masih ragu-ragu atau penuh ketakutan.
109
Sampai di dalam, aku menyadari bahwa T-shirt itu bukan T-shirt, tapi seragam kemeja
hitam. “Kamu kehausan, belum minum sejak kita mendarat.” Kata Emil, “Karena itulah,
kamu bisa salah lihat..”

“Aku puasa.” Jelasku, agak ketus.

Emil manggut-manggut, “Ya, walau pun begitu, aku tetap menyarankan supaya kamu
minum. Kita dalam perjalanan,”

Tapi. Aku tidak benar-benar mendengar Emil karena melihat tulisan di papan nama yang
tergantung di dada perempuan kemeja bukan T-shirt ini. Annelies Harsam. Begitulah
tulisannya. Tiba-tiba kepalaku jadi sakit, dan lintasan-lintasan bayangan dari masa lalu
datang, membuatku teringat selembar foto yang kutemukan di sebuah buku tulis. Entah
buku siapa. Selanjutnya kudatangi Annelies Harsam dan kutanyakan kepadanya, “Apa kita
pernah bertemu?”

Gadis itu tercenung, sesaat, sebelum akhirnya tersenyum dan berkata, dengan memaksakan
senyumnya, “Mungkin..”

Tubuhku yang letih memaksa mataku untuk mengerjap-ngerjap, mengantuk, lalu terkapar di
salah satu sofa panjang di ruang tamu apartemen. Aku tidak bisa lagi mendengar
percakapan para wartawan dan fotografer yang kemudian berdatangan, meniru tujuh orang
seperti kami, yang masuk ke gedung ini. Setelah itu tentu saja diikuti Si Pak Tua, yang walau
pun masih dengan memperlihatkan kejantanannya nan kebapakan, yang takut ditinggal
sendiri walau pun masih siang dan terik. Aku mendengar suara sayup-sayup ketika Si Pak
Tua ditawari air minum oleh Evelyn Pritt, yang lalu diminumnya tanpa mengenai bibirnya
yang penuh air liur seksuil. “Terimakasih..”

Terimakasih, Syams Tabriz. Kataku, atau entah. Orang selain aku, adakah yang
mengatakannya. Tapi aku semakin terjatuh ke dalam mimpi, terjerumus ke dalam palung
alam spiritual, dan bertemu dengan Syams Tabriz. Laki-laki itu, dengan wajahnya yang tak
terbaca, menawarkan tangannya dan menyuruhku untuk bangkit. “Bangunlah.” Katanya,
dengan suara berat dan dalam. “Sudah pagi,”

110
Aku masih diam. Tak ingin terbangun. Sendiri tertidur dari siang terik tanpa minum itu, baru
saja datang ke Djakawang dan baru saja menemukan tempat nyaman. Setelah dibukakan
pintu oleh Annelies Harsam. Siapa sebenarnya gadis itu? Oh, iya. Aku ingat. Tadi aku
menemukan memori itu di mimpi. Tapi kemudian hilang begitu Syams sialan ini
membangunkanku. “Sudah pagi.” Kali ini suaranya jadi agak lain. Sebuah suara berat seperti
seorang perokok. Jadi kubuka mataku, dan memastikan siapa salah satu dari semua laki-laki
brengsek yang membangunkanku. “Hai,” katanya.

“Haii..~” ujarku, dengan suara lemah. Tubuhku penuh peluh dan kehilangan energi. Aku
memaksa diriku yang bingung saat melihatnya pertama kali. Siapa, ha? Siapa kau? Lalu,
lambat-lambat kau mulai menunjukkan ingatanku. Tentang siapa dirimu. “Ohh.. Tobias
Eaton!” kataku seraya meregangkan tangan, “Kau nyata? Kau sungguh nyata??” kataku lagi,
sambil memeriksa jam di ponselku. Pukul empat pagi. Atau sore? Jendela tertutup rapi, dan
pintunya barangkali terkunci. “Ya, aku disini.” Jawabnya, lalu membelai rambutku. “Maaf
sudah membuatmu lama menunggu,” Aku cemas-cemas senang, dan berkata “Jangan
membelaiku disini. Disini ada suamiku, kau harus cepat-cepat pergi sebelum azan..” sambil
menoleh ke kiri ke kanan, tapi tidak menemukan Emil di ruangan ini.

“Kan tidak masalah kalau aku membunuhnya?”

“Ha??”

“Menyiramnya seperti tragedi Novel Baswedan?”

“Kau..-”

“Tidak,” dia tertawa, lalu menyandarkan pantatnya ke kursi lain. “Hanya bercanda..”

Katanya lagi, “Tapi tentu saja akan kulakukan jika dia menyakitimu.”

Aku termangu sebentar. Mengapa kau bisa sampai senyata ini? “Tidak. Dia tidak akan
menyakitiku..”

“Mengapa kau bisa ada, eh, datang?”

“Mengapa aku bisa nyata, maksudmu?” sahutnya, agak kesal. Memasukkan kedua tangan di
dalam saku.

111
“Y-ya..,”

“Sesuai perkiraanmu dengan Djakawang, ini kota surga yang bisa mewujudkan apa pun
keinginan seseorang..”

“Maksudmu..?”

“Tidak ada makna tersirat di kata-kataku. Ini harfiah.” Katanya, lalu tiba-tiba terdengar suara
langkah kaki dari ruangan lain. Matanya mengejarnya dengan tatapan pembunuh. “Siapa
kau??” kata laki-laki itu, laki-laki bersuara Emil.

“Bukannya aku salah satu wartawan?” kata Tobias.

“Ha??” kata Emil, “Oh.. Maaf,”

“Iya..” kata Tobias, lalu mendekat kepadanya. Saat kubaca pikirannya, dan alasannya untuk
mendekati Emil, aku hanya mendapati badai-badai debu di dalamnya. Tiba-tiba dia
melayangkan sebelah tangannya, dari dalam saku, ke arah Emil. Dan, walau pun Tobias tidak
mengenainya, Emil terlempar ke dinding. Terdengar suara hantaman keras, juga saat
suamiku jatuh.

“Siapa kau??” kata Emil, dirimu yang penuh marah dan bangkit dari lantai. Setengah
berdarah.

Tobias tertawa, dengan tawa yang menggema di seluruh ruangan, bangunan ini, dan
mungkin juga terdengar sampai ke seluruh Djakawang. “Istriku, aku tak bisa membaca
pikirannya! Dia berbahaya!! Segera pergi dari sini!!!”

Lalu Tobias mendekat dan menghancurkanmu secara perlahan, mengikismu menjadi


serpihan-serpihan debu, sesuai gambaran di pikirannya. Saat itu aku malah memikirkan
Vellesa, dan seandainya dia memang Syams Tabriz seperti yang dia ceritakan, mungkin nasib
kami akan lebih baik.

Mungkin dia akan kesini dan menghentikanmu dari pembunuhan ini.

39

112
“Velly,” kata Doktor Zera Mendoza, di ruang konsultasi. Kursi yang saling berhadapan,
terpisah jarak oleh sepetak meja putih. Ruang konsultasi setelah pertengkaranku
denganmu. “Kamu terlihat pucat. Baik-baik sajakah?” tentunya Doktor Zera tidak hanya
melihat pucatku, tapi juga isi hati, yang ia korek dalam-dalam sejak awal pertemuan kami.
“Ya, Dok. Tidak masalah..” kataku, lalu menekankan, “Bukan masalah besar.”

“Tapi kamu tahu, kan?” ujarnya, lalu mendehem. Atau terbatuk, aku sedang tak bisa
membedakannya. “Seluruh realitas ini berawal dari imajinasi, jadi jangan mengharapkan
sesuatu yang buruk dari imajinasi..” Aku mengangguk, Ya, Dok. Kataku. “Bayangkan dirimu
sebagai sebuah menara. Jika salah satu bagian kecilnya salah pasang, tentu menara itu tak
hanya akan merugikan penciptanya sendiri, tapi juga yang lain..” Aku manggut-manggut,
kemudian menatap matanya. “Tapi aku baik-baik saja, Dok. Aku tidak apa-apa.” Jangan
memaksakan diri, nasehatnya, kemudian memberiku sebuah latihan nafas. Sebuah teknik
pernafasan yang dilakukan dengan mengimajinasikan paru-paru sebagai balon yang
kembang-kempis. Setelah itu kami mengobrol sedikit lagi, tentang masalahku sebelumnya
yang kesulitan dalam menulis naskah novel grafis. Doktor Zera bilang itu tak usah
dipaksakan. Tapi kukatakan ini adalah proyek penting. Ia bilang kalau apa pun, jika
dipaksakan, takkan bagus hasilnya. Lalu ia menyodorkan tangan, kami bersalaman dan aku
mengucapkan terimakasih dan dia bilang sama-sama, kemudian pamit sebelum pergi
meninggalkan ruangan itu.

Doktor Zera, adalah seorang psikolog yang selalu mendengar ocehanku, dan membantuku
dengan berbagai macam latihan. Laki-laki ini tampaknya berusia lima puluhan, tapi aku tidak
terlalu yakin. Mukanya memang tidak terbaca. Tapi dia juga seorang pendengar yang baik.
“Saya selalu menunggu karya-karyamu.” Katanya berpesan, hampir di setiap pertemuanku
dengannya. Kadang kami juga bertemu di kedai kopi seperti Rimbun, dan dari sanalah aku
mengetahui kesukaannya pada kafe au lait. Atau kafe late. Tapi dia lebih suka menyebutnya
kopi susu. Selain curhat, kami juga membicarakan sejarah peradaban dunia yang dimulai
dari secangkir kopi, yang ditemukan oleh seekor fiyeli, sejenis binatang menyusui pemakan
rumput yang kebetulan saat itu diberi nama Kambing. Setelah pembicaraan tentang kopi
selesai, kami berkelana ke dalam kisah Saif, pedang dari Damaskus yang konon, adalah

113
pedang paling kuat dan paling tajam yang pernah ada. Karena memakai teknologi Nano,
yang bahkan ilmuwan Barat zaman sekarang tidak ada yang bisa menandinginya. Kami juga
membahas novel romantis berjudul Layla Majnun, dimana kisah itu menjadi inspirasi Doktor
Zera untuk menjadi psikolog. Menyatukan cinta antara lelaki gila dengan perempuan cantik,
yang, mungkin jika memang benar ada, Doktor Zera akan menjadikan lelaki gila itu sebagai
pasien terakhirnya seumur hidup. Lalu Anda akan melanjutkan kerja dimana?

“Saya akan menulis.” Kata Doktor Zera sambil tersenyum, lalu menyeruput kopi susunya dan
meletakkannya kembali ke atas meja.

“Menulis novel?”

“Entahlah. Pikiran saya belum sampai kesana. Karena ini cuma ‘jika’. Jadi belum dapat
diputuskan..”

“Skripsimu sudah selesai?” katanya lagi.

Aku tersenyum dan menjawab, “Ya. Judulnya sudah diterima.”

“Oh, ya? Luar biasa..” ujarnya, “Itu kuantitatif, kan?”

“Ya.. Tapi pakai kualitatif sebagai metode pengantarnya.”

“Judulnya?”

“Aku lupa..” kataku.

“Sebentar.” kataku lagi, “Mungkin masih ada di laptop..” kemudian memeriksa isi ransel dan
mengeluarkan laptop. Menghidupkannya. Lalu mencari-cari file tersebut di Documents,
hingga aku menemukannya: Pengaruh Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
oleh Eka Kurniawan Terhadap Penulis Remaja di Indonesia.

Doktor Zera tersenyum, “Saya malah belum baca Eka Kurniawan.. Dia novelis juga, kan?”

“Iya. Dia masuk ke daftar Global Thinker of 2015..”

“Hebat. Hebat..”

“Saya bawa bukunya. Kalau Anda mau meminjam..”

114
“Kapan-kapan saja. Saya masih baca bukumu. Yang apa itu.. Waduh, saya lupa. Judulnya
panjang..”

“Paling panjang yang pernah Anda baca?”

“Ya..”

“O Kosong.”

“Bukan.. Selain itu..”

“Ya. Judul aslinya Ooo000ooo000ooo000ooo000ooo..,”

“Memang, sedeng novelnya..”

“Judulnya atau novelnya?”

“Keduanya. Teori psikisnya sangat mengena..”

Aku tersenyum, dengan senyuman paling lebar. “Terimakasih..”

Sesaat kemudianlah akhirnya kudengar suara panggilan ponsel. Aku permisi sebentar dan
pergi keluar untuk menjawabnya. Dari Seniman Musiman. Hai, Sepupu! Kataku, tapi
kemudian terdiam karena dia memberikan sebuah kabar tak terduga. Kabar buruk. Emil.
Kenapa dengan Emil, dia tidak menjelaskan. Dia hanya merintih menyebut nama Emil.
Dengan segera, kuambil ranselku yang tergeletak di sebelah Doktor Zera. Membayar tagihan
kopiku dan kopinya. Kemudian permisi. Maaf, Dok. Ada panggilan mendadak. Saya harus ke
Djakawang secepatnya. “Oh. Iya, iya. Silakan..” kemudian memesan Gojek dan pergi dari
toko ini.

“Mau kemana, Bang?” kata Mas Pengemudi Gojek.

“Ke bandara..” jawabku, “Ke Djakawang.”

“Oohh.. Yang ada bandara baru itu?”

“Iya,”

115
“Yang bandaranya seperti di film Resident Evil itu?”

“Resident Evil?”

“Itu lho, film yang ada tembak-tembakan sama zombie..”

“Oohh.. Memang ada zombie di Djakawang?”

“Katanya, sih, bencana di Djakawang itu terjadi karena penduduknya ogah melakukan ritual
ke Sri Ratu,”

“Sri Ratu? Nyi Roro Kidul, maksudnya?”

“Iya. Siapa lagi?”

Setelah itu kami hanya melaju dalam keadaan hening. Mas Pengemudi Gojek seperti
berkata, seperti di film-film;

“Selamat jalan. Ke tempat yang tidak ada jalan untuk kembali..”

Hujan turun ketika aku sampai di bandara. Rintik-rintik. Setelah memesan tiket pesawat
secara online, dan kebetulan pesawat tersebut sudah bisa dinaiki setengah jam lagi, aku
langsung berpikir bahwa kemudahan pesawat menuju Djakawang ini, dikarenakan tidak ada
lagi orang yang mau pergi kesana. Kecuali dalam rangka situasi darurat. Aku pergi ke salah
satu kafe disana, dan memesan soto padang. Biarlah mahal, yang penting perutku terisi.
Kopi tok hanya akan menambah penyakitku di bagian perut. Ketika pesanan datang,
kumakan dengan lahap. Terkejut oleh panasnya, tapi tetap kulahap. Setelah itu bertanya
apakah ada jaringan internet disini. Tapi tak jadi, aku baru ingat bahwa aku tadi memesan
tiket pesawat dengan pulsa paketku sendiri. Kemudian aku minum, segelas dua gelas. Pergi
ke kasir dan membayar sotonya. Dan sebungkus kerupuk yang kucomot tapi ternyata tidak
enak. Panggilan penumpang diumumkan. Ke Jakarta. Bukan untukku. Kulihat di salah satu
jam dinding, masih lima menit lagi.

Panggilan penumpang diumumkan. Ke Djakawang. Aku segera melesat ke dalam dan


sesekali menunjukkan tiket dan Kartu Tanda Penduduk. Salah satu dari mereka pasti heran
mengapa bisa-bisanya orang sepertiku merencanakan kepergian ke Djakawang. Dan begitu

116
mereka bertanya, aku langsung menjawab, “Panggilan tugas.” Lalu mereka bertanya lagi,
“Anda aktivis?” lalu aku akan menjawab, “Seperti itulah.” Tapi mereka tidak betul-betul
menanyakannya. Sehingga aku dengan mudahnya masuk ke ruang tunggu lain, di dekat
jembatan garbarata. Aku duduk disana sambil membaca sebuah buku klasik setebal enam
ratus halaman, Parewa Sato Sakaki yang ditulis oleh penyair West Sumatra, Rusli Marzuki
Saria. Kudengar lelaki ini juga pernah menerima penghargaan SEA Writes Award dari
pemerintah Thailand atas salah satu buku puisinya, Sendiri-sendiri, Sebaris-sebaris.

Tak lama kemudian, belum selesai satu bagian, penumpang menuju Djakawang sudah harus
bersiap-siap memasuki pesawat. Aku segera menyandang ranselku, dan memasukkan buku
Parewa ke dalamnya. Mengantri dengan penumpang-penumpang lain. Hujan terlihat makin
deras, makin sangar. Aku masuk ke pesawat dan duduk di salah satu kursi yang
bersebelahan dengan jendela. Lalu, terjadi de javu.

Seorang perempuan paling manis yang pernah kulihat, memilih duduk di sebelahku. Atau
ditakdirkan duduk di sebelahku. Aku tak tahu. Saat ini pikiranku sedang sebodoh-bodohnya.
Apakah perempuan itu memang harus duduk di sebelahku, atau jangan-jangan, dengan
pesona kedigdayaan kecantikannya, dia dengan entengnya menyingkirkan penumpang-
penumpang yang seharusnya duduk di sebelahku.

Dia mengenakan kemeja abu-abu. Kulitnya putih dan bening. Matanya sipit dan bulat,
seakan-akan menegaskan bahwa dirinya adalah seorang Tionghoa. Tapi mungkin bukan. Dia
seorang Jepang, dari tutur katanya kepada salah satu pramugari yang berurusan dengannya.
Meski Jepang, dia mempunyai kemampuan bahasa Inggris yang cukup tinggi. Mungkin lebih
dariku. Dan, mungkin dia juga membaca Mary Wollstonecraft, sama sepertiku. Atau
mungkin lebih dalam lagi, dia punya koleksi semua karya Wollstonecraft. Dan Lauretta
Ngcobo. Nawal El Sa’dawi. Tapi apakah dia punya surat-surat Kartini? Mungkin tidak.
Indonesia masih terlalu dini di matanya, barangkali. Walau begitu, tidak menutup
kemungkinan jika dia juga bisa berbahasa Indonesia.

117
“Halo,” kataku, atau katanya. Kata perempuan itu. Tapi tidak. Tidak ada yang berkata apa
pun di antara kami. Maka penyapaan tadi hanyalah ilusi, atau seorang penumpang yang
duduk di barisan lain.

“Halo,” kata perempuan ini. Dan aku menoleh kepadanya. Tapi ternyata dia sedang
menelepon seseorang, sebelum pengumuman untuk mematikan telepon diumumkan. Dia
berkata kepada seseorang di seberang sana untuk tidak meneleponnya dalam bahasa
Inggris. Tidak juga bahasa Jepang. Atau Indonesia. Tidak meneleponnya sama sekali. Selama
dua setengah jam penerbangan.

“Halo!” ingin sekali aku menyapa perempuan ini. Tapi aku tak punya nyali. Entah mengapa
hatiku jadi ciut begitu berhadapan dengannya. Padahal aku pernah sangat akrab dengan
Nona Uehara. Jadi aku hanya memperhatikannya saat pesawat mulai lepas landas. Ketika
perempuan itu mengambil sebuah majalah berbahasa Inggris yang terselip di punggung
kursi di depan kami. Atau ketika beberapa pramugari menjajakan makanan, minuman, serta
oleh-oleh seperti dompet atau gantungan kunci warna biru-putih.

Kemudian dia menoleh kepadaku, dia menemukanku sedang memandang wajahnya diam-
diam. Lalu dia tersenyum, sangat manis. Khas perempuan Jepang. Bukan! Bukan seperti
Nona Uehara. Perempuan Jepang yang kutemui kali ini, memiliki wibawa dan pancaran yang
sangat kharismatik. Dan kedua hal itu mengingatkanku pada seseorang, entah dimana.
Maka aku pun membalas senyumnya, yang sayangnya, adalah senyuman paling bodoh di
seluruh dunia.

Tapi kurasa dia tak mempermasalahkan itu. Dan akhirnya dia berkata, “Halo.” Dan itu
membuatku tak punya akal untuk mengatakan atau berbuat apa pun. Tapi akhirnya dia
menyodorkan tangannya, “Naoko.” Katanya. Perlahan, tanganku terangkat dan menyentuh
tangannya. Kami bersalaman. Tapi aku tidak menyebut namaku. Walau pun begitu kami
tetap melanjutkan perjalanan kami dengan percakapan-percakapan dalam bahasa Inggris.
Dan benar, dia mengetahui Mary Wollstonecraft lebih dalam dari yang kutahu. Dia ternyata
juga tahu sedikit banyak tentang Tan Malaka. Aku jadi terkesan, dan tentunya dia juga tahu
tentang Kartini. “Kartini?” Katanya, kemudian berkata bahwa dia pernah mendengar, tapi
tidak tahu banyak tentang tokoh yang satu ini.

118
Sampai pesawat ini tiba di jarak yang lumayan dekat dengan bandara. Dia bercerita bahwa
dirinya sedang melakukan penelitian di Djakawang. Dia sedang menulis buku, dan ketika
kutanyakan apa judulnya, dia malah tertawa dan berkata bahwa tak pernah ada penulis
yang memikirkan judul sebelum tulisannya selesai. Tapi aku juga penulis, kataku
menyanggah. Oh, ya? Tapi kurasa kamu akan mengganti judulmu begitu tulisan itu
rampung. Katanya, sesaat sebelum pesawat benar-benar mendarat di lapangan bandara.
Kemudian kami berhenti berbicara, dan saling memeriksa peralatan dan benda-benda
lainnya di dalam tas. Aku terkejut.

Aku tidak membawa sehelai pakaian pun.

Tapi selanjutnya kuputuskan saja untuk melanjutkan perjalanan ke Djakawang. Tidak


kembali. Apa pun itu, Seniman Musiman sepertinya lebih membutuhkanku daripada aku
membutuhkan pakaian ganti. Dan untuk kesekian kali, aku jadi teringat pada puisi Heri Faisal
Cassandra Will Smith dan Emile Rezam. Terlintas juga di benakku untuk bertanya-tanya
apakah nanti aku bertemu seorang gadis atau wanita, atau malah Naoko bertemu lagi
denganku, dan menyukai bau keringatku. Yang tak mandi-mandi. Ya, dia sedang
membereskan barang-barangnya dari laci di atas kepala, memastikan barang-barangnya,
barangkali.

Aku diam duduk dan menatap jauh untuk sesaat. Kepada garis sungai di dekat area lapangan
terbang. Sungai Djakawang.

Dan dari sana, bisa kulihat beberapa orang yang tampak berukuran kecil disebabkan jarak
dari sini, yang cukup jauh. Mereka sedang mencuci di sungai jauh itu. Sekitar setengah
kilometer. Lumayan dekat untuk ukuran bandara sebuah kota maju. Atau, mungkinkah
bandara ini dibangun dengan sebuah kisah paksaan seperti di dalam kasus-kasus
penggusuran paksa? Ya. Bisa jadi seperti itu. Dikarenakan kekacauan daerah ini sejak
beberapa waktu yang cukup panjang.

Setelah Naoko pergi, dan juga penumpang lain, aku ditegur oleh salah satu pramugari,
seorang perempuan muda berusia duapuluh tahun awal yang lumayan manis tapi belum
bisa mengalahkan Naoko. “Anda tidak turun, Pak?” katanya. Aku tersenyum dan

119
memberikan alasan bahwa aku sakit kepala, aku mau muntah tapi tidak kutemukan plastik
di sekitar sini. Lalu perempuan itu bergegas ke belakang pesawat, lalu segera kembali
dengan sekantong plastik warna putih. “Terimakasih.” Kataku. “Kepuasan Anda adalah
harga diri kami..” katanya, “Mau dibantu membereskan koper?”

Aku tersenyum dan berkata, “Aku tidak membawa koper. Hanya ransel ini..”

Lalu perempuan itu malah terdiam dan tentunya dia bertanya-tanya dalam hati, mengapa
aku bisa senekat ini bepergian ke daerah seperti Djakawang. “Karena aku buru-buru. Aku
ada urusan mendadak, dan sepupuku itu tak bisa menunggu lama.” jelasku, lalu bangkit dan
sekali lagi berterimakasih sebelum benar-benar pergi dari sini. Meninggalkannya. Ke
Djakawang yang sebenarnya. Melewati jembatan pesawat. Masuk ke bangunan utama, dan
sesaat sebelum benar-benar meninggalkan bangunan utama, aku melihat Naoko lagi.
Sedang berbelanja di toko buku Periplus. Kupikir dia mencari-cari Man Tigernya Eka
Kurniawan, sekali pun menurutku, semua orang tahu bahwa buku semacam itu sudah dijual
ke pasar loak.

Kecuali jika buku itu dicetak lagi. Hanya Beauty is Wound dan The Night of Thousand Months
yang selalu dicetak ulang. Kecuali jika itu Ch’aesikjuuija karangan penulis Korea Selatan yang
berhasil mengalahkan Man Tiger. Atau The God of Small Thingsnya Arundhati Roy, novel
yang selama ini membuatku terkesima, bahkan sekali pun aku sudah membacanya berulang
kali. Atau buku-buku Jalaludin Rumi seperti Matsnawi Al-Maknawi, sesuai dengan keadaan
dunia yang saat ini semakin penasaran dengan Islam. Maksudku, Islam yang sesungguhnya.
Yang terkesan penuh kontradiksi atau pun penuh kontroversi.

“Hai!” kata Naoko, sambil berdiri di depan rak buku, Naoko menyadarkanku dari lamunan.
“Eh?” kataku, lalu berjalan menghampirinya. “Hai..”

Naoko berkata bahwa dia sedang kebingungan memilih buku yang bagus dari Asia Tenggara.
Seorang kawan dekatnya menyuruhnya untuk mencoba salah satu buku terbitan Turtle
Publishing. Turtle? Bukan Tuttle? kataku. Bukan, kata Naoko, Kalau Tuttle aku tahu. Di
Jepang juga ada Tuttle. Aku memang mencari Turtle Publishing, katanya itu buku-buku dari
China yang hanya beredar di Asia Tenggara. Lalu aku manggut-manggut dan berujar, Hmm..
Kok bisa seperti itu?

120
Itulah! kata Naoko, Tampaknya China sedang melakukan sebuah proyek yang agak rahasia di
sekitar Asia Tenggara.

Tapi kalau begitu, kataku, China tentu tidak akan mejajakannya di toko buku internasional.
Lalu Naoko berkata, Lalu dimana aku bisa mendapatkannya? Aku tersenyum dan memberi
isyarat untuk pergi. Aku akan mengantarmu. Tapi berdoalah bahwa Gramedia di Djakawang
ini belum diberangus oleh kekacauan.. . Kataku.

40

Masya Allah!” kataku, setengah berteriak. Di tengah hujan. Di dalam taksi. Di sebelah sopir
di depan Naoko yang duduk di belakang. “Kenapa, Mas?” kata Pak Sopir. Aku menoleh ke
Pak Sopir, lalu menoleh ke Naoko. Sampai terlintas hal paling brilian di kepalaku, “Bapak
bisa bahasa Inggris? Kalau enggak, pakai ini.” aku menyodorkan satu-satunya Alfalink yang
kupunya, yang baru kuambil dari ransel, yang selama ini kupakai untuk belajar
menerjemahkan seperti Eka Kurniawan. Satu-satunya.. . Biarlah! Lagipula aku sudah berjanji,
dan aku ini orangnya sulit mengingkari.

Mau kemana kamu? Kata Naoko, yang melihatku berkemas-kemas dan membayar ongkos
taksi. Eh! Tak usah dibayar, biar aku saja! katanya lagi. Lalu kataku, Sudah tradisi keluargaku
membayarkan orang yang kuajak kencan. Mata Naoko membelalak, Ini kencan?? Katanya,
Tapi, tapi.. .

Tanpa berniat melanjutkan, aku langsung membuka pintu taksi dan bergegas meninggalkan
Naoko dan Pak Sopir. Menelepon Seniman Musiman. “Halo? Aku harus kemana?” kataku.
“Halo? Iya. Kamu sudah dimana?” kata Seniman Musiman. “Aku..” jawabku, sambil mencari-
cari spanduk atau label toko atau label bangunan, yang biasanya memampangkan alamat
sekitar tempat. “Di Citarus.. Jln. Citarus..” jawabku. “Citarus? Citarus nomer?” tanya suara
tersebut. “Sembilan, nomer 9.. Di depan toko Kebab Baba Rafi,” meski pun itu sebenarnya
bukan toko, tapi gerobak modern. Gerobak yang ditambahi tenda-tenda di belakangnya.

“Oke, aku akan menjemputmu sebentar lagi.” katanya, lalu mematikan ponsel. Menjemput?
Kataku dalam hati. Bukannya dia sedang susah? Lalu kenapa juga dia yang menjemput?

Maka aku menunggunya di dalam toko.

121
Lewat pakaian seorang perempuan berpayung dengan kemeja putih kotak-kotak, Seniman
Musiman menghampiriku saat sedang melahap kebab isi kambing rempah. Lumayan untuk
menghangatkan badan. Aku duduk di meja yang agak ke dalam, karena semua meja-meja
yang di dekat pintu sudah diduduki pemesan lain. Mulutku yang masih penuh terpaksa
berkata, “Mau?”

Seniman Musiman melipat payungnya dan meletakkannya di kolong meja. Duduk di


depanku. Dan menumpukan sikunya ke atas meja yang berisi selembar piring kebab yang
kulahap, lalu bersuara, “Kamu nggak makan di pesawat?”

“Tidak ada makanan di pesawat, kecuali yang harus dibeli. Dan mereka lumayan mahal..”
jawabku, lalu menghabiskan satu gigitan terakhir.

Sampai di flat tempat tinggal Seniman Musiman, yang saat itu terlihat sangat berantakan
dengan buku dimana-mana, aku memang tidak merasakan kehadiran Emil Krystal. Aku juga
tidak menemukan seekor hantu pun disini. Ketika sesuatu memanggilku ke dapur, dan
kuikuti perasaanku ini, dengan memasuki ruangan tersebut, aku mencium sebuah aroma
parfum kampung yang datang dari suatu tempat nan entahlah dimana. Aku tidak
menemukan sebotol pun parfum, tidak juga tumpahan air wangi. Lalu seseorang mengetuk
pintu dari belakang.

“Siapa itu?” kataku.

“Yang pasti bukan Emil.” Sahut Seniman Musiman, mengeluarkan sebatang rokok dari kotak
Sampoerna Hijau di kantung kemejanya, dan membakar lintingan itu. “Kemana Emil?”
tanyaku sambil menghampiri pintu berketukan itu.

Kubuka pintu, tapi kemudian Seniman Musiman berteriak “Jangan!!” tapi pintu tetap
terbuka, sengaja atau tidak, dan semuanya seperti jadi kacau. Sangat kacau. Lalu, alih-alih
melihat siapa di balik pintu, aku hanya melihat hitam. Tanpa ada apa pun selain hitam.

Untuk sesaat, aku merasa menjadi buta. Aku merasa tidak bisa melihat lagi selamanya.
Kugosok-gosok mataku, yang tersisa hanyalah rasa gatal. Hingga akhirnya aku mengingat
122
seseorang yang telah kusia-siakan selama ini. Kekasihku sendiri. Atau setidaknya, mantan
kekasih. Aku mengutuk-ngutuki diri, meratapi nasib dan mengingat masa lalu sambil berpikir
untuk memutar ulang masa lalu.

Terdengar suara gesekan korek api.

Tapi tetap. Tidak ada cahaya. Tidak ada penglihatan.

Terdengar lagi, sekali lagi, suara korek api.

Dan akhirnya, aku melihat. Sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya. Sesuatu yang lebih
nyata daripada hantu. Lebih nyata daripada Tuhan. Aku melihat diriku disana, sekaligus
orang yang paling aku benci. Ayah. Ibu, Ani, Gayatri Chen Chen. Seniman Musiman, meski
dia sedang berdiri di belakangku. Naoko.. .

{}

Sosok itu berkata;

Aku adalah sosok yang mereka sebut Brahma.}

Kemudian datang sosok yang lain, dari belakang {}, sosok itu berkata;

Aku adalah bintang serta bulan. Lebih tua dari matahari. Aku adalah alam. Nyata maupun
metafisis. Aku ada 99 nama, tapi wujudku lebih luas. Aku lebih besar dari semesta. 2]

“Apakah kau adalah Tuhan?” tanya Vellesa Azephi.

[] diam tak menjawab.

Tapi kemudian, datang yang lain, (), tapi tak terlihat jelas karena cahayanya sangat terang
dan paling terang. Seakan dia yang paling terang di jagad raya.

Terdengar suara gesekan korek api sebanyak empat kali.

2 Diadaptasi dari kata-kata Krisna kepada Arjuna, Bhagavadgita dari kitab Mahabharata karangan Empu Vyasa.

123
Vellesa Azephi, ditutupnya pintu, dan berkata pada Seniman Musiman, “Pintunya sekarang
bisa dibuka..” Dan Seniman Musiman berkata, sambil mematikan api rokoknya dan
membuangnya ke jendela. “Emil menghilang.”

Vellesa Azephi menatapnya tanpa pikiran apa pun. Dilihatnya di meja di sebelah Seniman
Musiman berdiri, tergeletak sebundel koran yang tampaknya masih baru. Pemuda sastra itu
berjalan ke arah Seniman Musiman, yang dengan ekspresi bingung atau kosong melompong,
dan mungkin bersiap-siap dengan entah apa yang akan terjadi, tanpa tahu bahwa niat si
pemuda sastra sebenarnya hanyalah mengambil koran tersebut. Seniman Musiman
melamun.

Di koran Vellesa Azephi membaca;

WASPADA HIV/AIDS MENULAR LEWAT AIR LIUR!

Sesaat, dia heran. Bercampur bingung. “Ini apa maksudnya??” katanya ke Seniman
Musiman, yang kemudian tersentak dari lamunannya. “Ha?” kata Seniman Musiman, “Apa?”

“Ini. Apa maksudnya?” kata Vellesa Azephi, mencondongkan koran itu ke Seniman
Musiman.

“He?”

“Ini. Kok label korannya jadi Sapmok??” kata Vellesa Azephi, sementara Seniman Musiman
masih termangu-mangu, lalu pemuda sastra itu melanjutkan, “Beritanya juga aneh..”
katanya, “Mana mungkin penyakit HIV bisa menular lewat liur? Lalu, lalu.. Kenapa sampai
ada berita Novel Baswedan yang mencuci muka pakai Cocacola??”

Tin! Tin! Suara klakson dari luar rumah, eh bukan, dari luar jendela. Jendela flat. Sebenarnya
suara itu agak jauh, diberi jarak dua lantai dari bawah ke atas sini. Seniman Musiman pun
berujar, “Nah! Pizzanya sudah datang!”

“Kamu pesan pizza?”

“Iya, dong!”

Kemudian Seniman Musiman pergi keluar flat, meninggalkan Vellesa Azephi yang kemudian
mendengar suara jejak kaki yang perlahan mengecil. Melambat. Hampir tidak terdengar dan

124
hilang sebagai suara. Vellesa Azephi kembali membaca koran, mengamat-amati berita-
berita palsu yang sudah menyebar ke media cetak, yang padahal, beberapa hari yang lalu
masih dipercaya sebagai satu-satunya media jujur yang tersisa.

Vellesa Azephi meletakkan koran itu ke meja tempat asalnya. Lalu duduk di salah satu kursi
tanpa sandaran yang dipasang di dekat jendela. Dia menoleh dan menemukan Seniman
Musiman sedang berbisnis dengan seorang pengemudi skuter yang menyimpan pesanan di
jok belakang. Seniman Musiman mengobrol sedikit dengan si pengemudi, lalu si pengemudi
tertawa dan tawanya diikuti Seniman Musiman dengan tawa yang agak terpaksa. Lalu
Seniman Musiman menoleh, memandangi sepasang mata yang sedang mengamatinya dari
balik jendela. Setelah membayar, Seniman Musiman masuk ke gedung. Terdengar kembali
suara langkah kaki.

Vellesa Azephi, ketika ia berjalan ke arah pintu tempat Seniman Musiman akan datang. Ya.
Ketika itu, tercium kembali aroma parfum kampungan yang sangat norak. Tapi ia
mengabaikannya, sampai dari balik jendela, tampak berbagai macam hantu yang
berdatangan kesana. Hitam-hitam. Dan menabrak-nabrak kaca jendela. Ini baru kali pertama
Vellesa Azephi peduli ke kaum itu, sejak beberapa waktu yang cukup lama, setelah ia
membumihanguskan cintanya ke hantu yang dicintainya di Bukiteukoh, di balik jendela yang
sudah menjadi bekas kamar Seniman Musiman saat ini.

“Wah. Ramai..” kata Vellesa Azephi, bergumam.

Hanya beberapa menit selisih kedatangan merekaism hantu dengan kedatangan perempuan
yang kehilangan suaminya itu. Aroma pizza daging asap, membuat perut berisi kebab
kambing rempah tak ada artinya lagi. “Masih lapar? Kan tadi cuma makan kebab satu..”
Vellesa Azephi tersenyum, meraih bungkusan pizza dan membantu meletakkannya di meja.
Atau pura-pura membantu. Karena dia sebenarnya juga mau.

Seniman Musiman mengambil pisau dari dapur, seperti tak menyadari sesuatu. Atau tak
acuh. Sambil membuka kotak tipis pizza dan memotongnya menjadi beberapa bagian. Ya,
memang tak acuh. Tapi begitu Vellesa Azephi memberi kode, lalu menoleh ke jendela
tersebut dengan mata seperti seorang laki-laki mengamati kabut pedesaan, atau mata

125
seorang perempuan yang mengagumi senja, Seniman Musiman berkata, “Jangan digubris.
Merekaismnya hanya bisa sampai disitu. Tak lebih. Garis dinding dan kaca jendela
membatasi mereka, dan.. Tak mungkin ikut makan bersama kita.”

“Merekaism?”

“Mereka dan ismenya mereka. Masa kau tidak tahu?”

“Dari mana istilah itu?”

“Bukunya Emile Rezam.. Masa sampai sekarang belum baca Emil’s Mentation?”

“Oohh.. Aku bacanya yang edisi lama. Waktu nama pahamnya belum diganti dari
Alternativisme ke Beleisme..”

“Hmm. Menarik.” Kata Seniman Musiman, mengambil sebungkus rokok dari kantung
celananya, dan mulai menghidupkan api. “Jadi, menurutmu, paham itu berubah setelah
namanya diganti?”

“Enggak juga, sih. Karena Beleisme lebih memperjelas konsep Alternativis.. Walau pun buku
edisi baru, pastilah diberi kata pengantar yang baru pula,” kata Vellesa Azephi, mengambil
salah satu pizza yang sudah dipotong.

Glegar!!

“Wahh..” kata Seniman Musiman, “Ngagetin aja loe, Petir!”

Vellesa Azephi terkekeh. Kemudian ia meminta sebatang dari Seniman Musiman, lalu
membakar dan mengisapnya sambil menggigit sepotong pizza.

Hujan turun. Kemudian menjadi deras. “Ada jas hujan?” kata Vellesa Azephi ke Seniman
Musiman. “Ada.. Mau kemana?” kata perempuan itu. “Temanku menelepon.. Dia sedang
menungguku di Gramedia.” Jawab si pemuda sastra sambil mengutak-atik ponselnya,
memanggil Gojek.

“Hmm.. Kan nggak keluar dari Djakawang, kan?” kata Seniman Musiman.

126
“Enggak..”

Vellesa Azephi sampai di Gramedia Djawakang. Letaknya lumayan jauh dari tempat tinggal
Seniman Musiman. Ia melepas jas hujan pinjaman dan mengantarnya ke pos penitipan
barang. Lalu naik ke lantai tiga, tempat buku-buku sastra dijajakan. Awalnya ia tak melihat
Naoko, tapi begitu ia berjalan menelusuri rak-rak buku terjemahan, terdengar suara Naoko
dari belakang. “Hey!” kata Naoko, kemudian perempuan itu berkata menceritakan bahwa ia
menemukan buku-buku, yang tak hanya buku yang sedang dicarinya saat ini, tapi juga yang
sudah bertahun-tahun dicarinya.

Vellesa Azephi hanya manggut-manggut, sambil melihat-lihat buku apa saja yang dibawa
Naoko dengan tangannya yang berkulit bening itu. Buku filsafat Cina The Art of War, buku
psikologi The Art of Loving karangan Fromm, All Fish in the Sky karangan Ziggy
Zezsyazeoviennazabrizkie, terjemahan Labodalih Sembiring.. . Ada satu buku yang terselip
lagi di pangkal lengannya, yang membuat Vellesa Azephi terasa familiar, tapi tetap ragu
karena judulnya tidak kelihatan.

Seakan mendengar keraguan laki-laki ini, Naoko menjelaskan bahwa buku tersebut adalah
buku yang sudah dua puluh tahun dicarinya. Sejak ia baru lulus di Sekolah Menengah Atas di
Shinjuku, tempat ayahnya bekerja dan dua tahun kemudian ditemukan tewas di rel kereta
api, diduga sengaja bunuh diri dengan berlari ke hadapan kereta yang sedang melaju. Dan
itu membuat keluarga mereka menanggung malu yang amat sangat, selain harus
bertanggung jawab atas kasus bunuh diri tersebut.

Vellesa tidak ingin bertanya lebih jauh tentang ayahnya Naoko, meski kelihatannya
perempuan Jepang ini terlihat sangat terbuka, atau memang khusus membuka diri kepada
Vellesa. Tak lama setelah itu, akhirnya Naoko memberitahu maksud panggilannya di ponsel,
saat Vellesa masih di rumah Seniman Musiman. Naoko ingin mengantar benda pribadi laki-
laki itu. Alfalink yang dipinjamkannya ke sopir taksi.

“Arigatou..” kata Vellesa Azephi. Naoko tersenyum sumringah dan bertanya apakah Vellesa
Azephi memiliki kemampuan bahasa Jepang yang baik. Tapi pemuda sastra itu tidak
menjawab dan malah mengalihkan pembicaraan, bahwa naskah skripsinya mengenai

127
penulis terbaik di Indonesia, hampir selesai. Dan jika sudah benar-benar selesai dan ternyata
layak diterbitkan, dia ingin Naoko membantu menerjemahkannya ke bahasa Jepang.

Naoko tersenyum, tapi kemudian wajahnya meragu. Bagaimana aku bisa menerjemahkan
bukumu, sedangkan aku tak terlalu mengerti bahasa Indonesia? Tapi Vellesa Azephi berkata
bahwa Naoko tak usah khawatir, karena ia akan menerjemahkannya ke bahasa Inggris
terlebih dahulu, dan Vellesa Azephi juga akan memantau proses penerjemahan ke bahasa
Jepang. Dia juga mengatakan, kalau tulisan ini akan meledak karena dikerjakan secara tidak
umum. Ini skripsi Sastra Indonesia yang menggunakan teknik kuantitatif! Jelas Vellesa
Azephi.

Baguslah! Tentunya ini akan lebih banyak memakai angka daripada bahasa. Kata Naoko
tersenyum.

04

Madekur Takeni Gundam adalah nama ayah dari Vellesa Azephi. Ya. Dan memanglah
Gundam nama sebuah manga, atau animasi Jepang, atau mainan bongkar-pasang khas
Jepang. Tapi Gundam tetaplah nama ayahnya Vellesa Azephi. Gundam berpisah dengan
ibunya Vellesa Azephi, Mei Azephi, sesaat setelah Gundam mendapat kerja di Medan dan
Mei Azephi tidak mau pindah ke Medan, karena takut cemburu melihat Gundam bekerja di
bawah bantuan sekretaris cantik bernama Mari Suzuki. Itu saat Vellesa Azephi masih duduk
di bangku Taman Kanak-kanak dan jatuh cinta secara anak-anak dengan teman sekelasnya.

Bagaimana tidak? Mari Suzuki sering datang ke rumah mereka, saat Gundam masih tinggal
bersama istri dan bayi mereka di Jakarta. Dan setelah Vellesa Azephi yang masih bayi itu
tumbuh menjadi kanak-kanak, ia dan ibunya yang pindah tinggal ke Bukiteukoh, walau
disana banyak keluarga, ia merasa hampa atas kehilangan sosok sang ayah, mungkin karena
melihat sepupu-sepupunya sering diantar ke sekolah dan dibelikan mainan oleh ayah
mereka. Dan Vellesa Azephi pun mulai mengetahui sedikit dari berita itu lewat mimpi. Ia
bertemu Gundam di sebuah taman kecil tempat bunga-bunga tumbuh dan melemparkan
bau seharum parfum kekasihnya. Dan dari sini juga, dia mulai mengenal, parfum mana yang
beraroma bagus, mana yang agak kampungan, dan yang kampungan. Lewat internet,

128
Vellesa Azephi kecil mulai membantu pamannya berjualan parfum secara online, walau yang
terjual tidaklah seberapa.

Ia bertemu Gundam di sebuah taman, bunga-bunga bermekaran saat itu. Gundam memetik
sebatang dan memberikannya kepada Vellesa, sambil terus menatap mata anak semata
wayangnya dengan tatapan yang, bagi Vellesa, menjengahkan. Di taman itu juga tidak ada
hantu. Tapi, mungkin bagi sisi sandekala dalam kepercayaan Jawa yang agak primitif,
mahluk-mahluk dunia bawah akan datang di hari maghrib dan menculik lalu membawanya
ke dunia mereka.

Tapi itu hanya mimpi. Mimpi di salah satu mimpi sebelum ia mulai mendapati bahwa mimpi-
mimpinya akan selalu terjadi di alam sadar. Itulah, barangkali, yang membuat dia mulai
membenci Gundam, karena mimpinya berkata bahwa sangat masuk akal bagi Gundam
untuk datang ke Bukiteukoh, walau hanya untuk sekedar menyapanya. Karena dia
menunggu, dan penungguannya tak digubris oleh ayahnya sendiri. Tapi, ia juga mulai
membenci ibunya, mengapa ibunya sampai tidak memutuskan untuk mengikuti Gundam ke
Medan. Tanpa tahu alasan kecemburuan ini. Dan, mungkin, tanpa mau tahu alasan
kecemburuan ini.

Tapi kalau saja Mei Azephi mau membuka hatinya untuk menceritakan perasaannya kepada
Vellesa, mungkin ini takkan jadi masalah. Vellesa barangkali hanya membutuhkan kepastian.
Dan ia malah tak mendapatkannya. Karena itulah, ia lebih sering pergi ke tempat kakak
sepupunya, si Seniman Musiman, untuk mengobrol, curhat, main-main. Atau sekedar
memandangi hantu tercantik yang pernah ia tahu seumur hidup.

Setelah lulus SMP, Vellesa Azephi dan ibunya pindah ke Jakarta. Saat itu Mei Azephi
mendapatkan kesempatan bekerja di restoran ayam goreng KFC, ia menjadi manajer disana.
Meski pun Vellesa Azephi kurang suka ibunya bekerja disana, Mei Azephi menjelaskan
bahwa mereka tidak bisa terus-terusan menumpang hidup di Bukiteukoh. Dan juga,
tampaknya Mei Azephi punya niat menikah lagi. Karena begitu mereka benar-benar pindah
ke Jakarta, Mei Azephi termasuk orang yang selalu jarang pulang. Tapi ini memudahkan
Vellesa untuk keluyuran kemana-mana. Ke taman sampai malam, nonton film bioskop dua
kali berturut-turut, perpustakaan, minum teh di rumah pacarnya, menginap di rumah
teman, dan sebegitu banyak aktivitas remaja lainnya.

129
Kenapa kamu sebegitu yakin tidak akan mengganti judul tulisanmu? Kata Naoko ke Vellesa
Azephi, saat mereka sedang di dalam perjalanan taksi ke hotel Naoko, begitu selesai dari
Gramedia.

Mungkin, karena aku lebih mementingkan judul daripada isi? Jawab Vellesa Azephi, lalu
menatap tanda tanya di sepasang mata Naoko. Tapi, kata Vellesa Azephi, Tentu saja aku
juga mementingkan isi, walau aku terlihat seperti pilih kasih.

Ya, kau memang seperti orang yang suka pilih kasih. Kata Naoko, lalu memandang keluar
jendela di sebelahnya. Hujan masih belum reda.

Aku memang tidak terlalu penasaran dengan judulmu, kata Vellesa Azephi kepada Naoko,
Tapi apa yang membuatmu tertarik dengan Djakawang ini?

“Djakawang? Hmm..” ujar Naoko, lalu perlahan mulai menjelaskan bagaimana ia mulai
tertarik dengan negeri ini. Dengan presidennya. Dengan para mentrinya. Dengan para
aktivis maupun pegiat yang menolak disebut aktivis. Sampai cerita menuju cerita lain, yang
membuatnya kagum kepada suatu daerah bernama Djakawang.

Tapi, kenapa kamu tidak tahu Kartini? Kata Vellesa.

Mungkin, karena aku tidak terlalu tertarik dengan isu-isu feminisme. Kupikir, kata Naoko,
Kupikir feminisme itu sudah terlalu umum di dunia ini. Aku bahkan tidak terlalu mengikuti
berita terbaru mengenai Wollstonecraft, walau aku pernah mendengar, di Nusantara ini
mereka masih awam terhadap tokoh tersebut, sampai sosok bernama Emil R. Maulana
berjuang mati-matian di jalan feminis laki-laki, sesaat setelah seringnya ia melihat banyak
laki-laki yang terdiskriminasi.

Kamu tahu Beleisme? Tanya Vellesa Azephi.

Ya. Itulah alasanku kesini! Jawab Naoko.

Benarkah? Kau membaca buku Emile Rezam?

130
Tidak, tidak. Kata Naoko, Aku hanya mengetahui bahwa di Nusantara, sedang terjadi
revolusi dunia bawah yang dicetuskan oleh seorang yang mengaku-ngaku dirinya filsuf
amatiran.

Tak terasa, taksi yang mengantar mereka telah sampai di depan hotel tempat Naoko
menginap. Vellesa mungkin hanya berpikir bahwa ia akan kembali begitu saja setelah ini.
Tapi lain. Naoko malah mengajaknya makan malam dulu sebelum kembali ke tempat
Seniman Musiman. Maka, secercah pikiran yang juga lain, hadir menyergap kesadaran
Vellesa.

Baiklah, kata Vellesa, Aku akan membantumu mengantar barang-barang belanjaan ke


kamar.

Ide bagus. tutur Naoko.

Lelaki sastra itu masuk ke kamar Naoko. Tempat tidurnya masih rapi. Mungkin karena baru
dirapikan oleh petugas kebersihan. Ingin dihidupkannya televisi mati yang diletakkan di
dekat lemari. Tapi akhirnya diputuskannya untuk meletakkan barang-barang belanjaan
perempuan itu terlebih dahulu, seperti mengeluarkan buku-buku Naoko dan meletakkannya
di meja dekat jendela. Atau membuang sampah-sampah plastik ke tong daur ulang. Naoko
berkata bahwa ia akan mandi sebentar, Vellesa dipersilakan melihat buku-buku itu atau
menonton televisi. Jadi dipilihnya menonton televisi. Selain segan karena bukan dia yang
membeli buku, Vellesa juga tak mau menjadi penghancur bungkus buku-buku. Baru saja
Vellesa duduk di lantai dan mendengarkan berita di saluran Voice of America, dirinya
langsung dikejutkan dari entahlah apa di belakang. Ya. Dia terkejut. Memang sangat
terkejut.

Apalagi setelah ia melihat apa yang ada di belakangnya.

Naoko.

Tidak memakai sehelai pakaian pun.

Vell.. kata Naoko. Vellesa langsung buang muka, menoleh kembali menonton Voice of
America. Tapi Naoko berkata lagi, Aku tahu perasaanmu padaku, jadi bagaimana
131
seandainya.. kata Naoko, sambil merengkuh leher Vellesa dengan kedua lengannya. Vellesa
berkeringat dingin, meski buah dada Naoko lumayan kuat menekan tengkuknya,
membuatnya mulai memanas. Kulit dengan kulit. Bau air mandi dan sabun yang berhadapan
dengan keringat dingin. Bagaimana seandainya.. kata Naoko, Kau tak usah pulang?

Naoko menjambret tubuh Vellesa yang sedang duduk di lantai, menariknya ke atas kasur
yang sebelumnya masih rapi. Ingatan-ingatan mengenai Nona Mizuho Uehara yang sempat
ditontonnya di internet dan membasahkan celananya, terngiang kembali. Bahkan Naoko
sebetulnya lebih cantik daripada Nona Uehara.

Mereka dalam posisi saling impit-mengimpit. Meski begitu, suara nafas Vellesalah, yang
paling kuat terdengar. Naoko melakukannya sambil tersenyum. Sepasang mata yang
terbakar beradu dengan sepasang mata yang menatap jauh. Jauh. Ingatan-ingatan
mengenai ajaran Kak Guru serta penceramah masjid yang sering didatanginya setiap Jum’at,
setiap Hari Raya, maupun setiap Ramadhan, mendenging di telinganya. Naoko tidak pernah
punya pengalaman itu, melainkan pengalaman ini. Dan dia cukup yakin bahwa dia bisa
menaklukan pemuda ini.

Dengan cekatan, Naoko membuka resleting celana jeans yang dipakai Vellesa. Lalu
menurunkan celana dalamnya. Sementara Vellesa diam terpaku menghadapi semua.
Keringat dinginnya dimasak dengan panas tubuhnya. Dan akhirnya, Naoko menemukan
benda yang selama ini dia cari-cari dari Vellesa. Atau, mungkin bukan selama ini. Melainkan
dari sejak tadi.

Benda itu panjang dan mengeras. Putih kemerah-merahan.

Dan demikianlah, akhirnya, setelah Vellesa menghujamkan bendanya ke Naoko. Perempuan


itu pergi. Tanpa kabar. Menghilang begitu saja di pagi ketika seorang pelayan hotel datang
hendak mengantarkan semangkuk bubur pesanan, dengan kopi susu yang sangat kental,
entah pesanan siapa. Barangkali Naoko. Supaya Vellesa kembali tenaganya, setelah
semalaman bercinta tanpa henti. Tanpa libido yang mudah berhenti. Seprai jadi basah. Dan
dia bangun dengan tanpa ada sehelai pun benang di tubuhnya, membuatnya harus
memungut kembali baju dan celananya yang tergeletak di lantai, sebelum akhirnya

132
membukakan pintu untuk pelayan dengan seporsi sarapan yang mungkin pesanan Naoko,
mungkin juga salah antar.

Tapi hotel seperti ini tak mungkin salah antar. Hotel ini, sebenarnya, tak ada dalam
perencanaan pembangunan Djakawang. Namun seorang konglomerat tiba-tiba merasa ada
yang kurang di kawasan tempat tinggalnya, lalu membiayai perombakan dua gedung
apartemen yang saat itu saling bersisian, menjadi sebuah hotel bintang empat. Memang,
karena hotelnya diberi sertifikat bintang empat, pelayannya tak mungkin salah antar. Jadi
mungkin memang Naoko.

Lalu, di atas meja di depan televisi, Vellesa menemukan sepucuk surat yang ditulis di atas
kertas bergaris-garis warna krem. Vellesa memungutnya dan membaca sebentuk tulisan
yang tampak sangat tertata dan menunjukkan penulisnya, memanglah penulis yang terdidik.
Tulisan itu memang menyuruhnya untuk sarapan dulu, dan sebuah kata pamit karena satu
dan lain hal yang tak terkatakan. Tapi Vellesa memang sering menonton film, yang di
dalamnya, terdapat cerita seperti yang mereka lakukan tadi malam. Yang begitu si laki-laki
tertidur, si perempuan selalu pergi meninggalkannya. Entah kemana.

040

Mengenyangkan? Tidak juga. Jadi diputuskannya pergi dari hotel untuk mencari makanan
lain di pinggir jalan, karena stok dananya tidak bisa menjamin. Emperan saja. Enak juga, kok.
Mantaplah. Daripada memesan makanan seharga dua kali lipat atau tiga kali lipat, tapi rasa
dan energi yang dihasilkannya sama saja. Lebih baik aku makan di salah satu gerobak
makan, kan? Coletehnya dalam hati.

Lalu Vellesa Azephi bertemu dengan penjual tongseng, tapi kurang meyakinkan. Agak kotor
dan penjualnya seperti tidak peduli kebersihan. Jadi dipilihnya gerobak makan di
sebelahnya, bertemu lagi dengan soto. Soto padang, lagi. Dan ada kerupuk yang agak
berbeda dan belum pernah dilihatnya sebelum ini. Kerupuk warna biru. Biru. Bukan ungu
dari ubi yang sering dimakan Barack Obama itu. Apakah ini olahan anggur selain gulai
anggur? tanya Vellesa dalam hati. Tapi dia tutup pertanyaan itu, dan mengambil sebungkus
dan duduk di kursi panjang. “Pak, soto padang satu.”

“Yang pedas atau biasa?” kata Pak Tukang Soto.

133
“Yang biasa saja.” jawab Vellesa. Akhir-akhir ini tren makanan pedas kembali merajalela,
seperti belasan tahun yang lalu. Saat awal-awal keripik Maichi dan kerupuk Karoehoen yang
berdatangan dari Bandung mulai digemari banyak orang. Akhirnya orang-orang di
Bukiteukoh pun meniru, mereka membuat makanan-makanan pedas yang punya level
pedasnya masing-masing. Seperti di West Sumatra, dimana para pemuda membuka usaha di
bidang kuliner yang mereka sebut mie neraka, mie mercon, mie judes dan sebagainya dan
sebagainya.

Sebelum menyelesaikan santapan, Vellesa pun mendapat panggilan ponsel. Dari Seniman
Musiman. Perempuan itu bertanya kemana saja Vellesa kemaren malam. Laki-laki itu
menjawab, “Gua ada kencan mendadak..” Lalu kata Seniman Musiman, “Kencan
mendadak??” Lalu kata Vellesa, menjelaskan, “Ya. Karena kencannya bukan malam minggu,
dan sama orang yang baru kenal..” Lalu kata Seniman Musiman, “Oh! Oh! Ooh..! Jadi lu
ninggalin gua kemaren cuma buat perempuan??” Lalu kata Vellesa, “Eh, kok malah gitu?
Terserah gue dong, mau ninggalin lu apa enggak. Mau buat perempuan kek, mau buat
hermafrodit kek..”

Hening seketika.

Diam.

Tanpa kata.

Sampai akhirnya ponselnya benar-benar mati. Vellesa Azephi menduga karena baterainya
habis. Tapi jalur ponsel di seberang sana memang dimatikan oleh Seniman Musiman. Walau
begitu, Vellesa Azephi tidak terlalu peduli, dan melanjutkan santapannya yang sebentar lagi
seharusnya selesai. Lalu sarapannya benar-benar selesai. Dia mengeluarkan selembar
Rupiah dan meletakkannya di atas meja. Dan pergi meninggalkan emperan. Tak peduli
apakah uang itu disambar orang, atau mungkin elang. Atau digerogoti belalang jika
seandainya ada yang cukup gila di antara mereka.

Pak Tukang Soto awalnya mau berucap, tapi tak jadi. Ia menengok ke meja dan ada ongkos
seporsi soto buatannya. Dan di mangkuk, anak itu rupanya sudah menyelesaikan
makanannya sampai ke kuah yang mengering. Mungkin diminum sama Vellesa, dia tidak
tahu. Dia juga tidak tahu nama pemuda itu. Apalagi Vellesa Azephi, nama panjang pemuda

134
itu. Apalagi Syams Tabriznya. Pak Tukang Soto itu hanya bertanya dari mana Vellesa, tanpa
menyebut nama, dari mana sebelumnya. Vellesa menjawab, “Dari hotel di seberang jalan.”
Lalu Pak Tukang Soto berkata, “Iya. Saya tahu. Tapi sebelum dari hotel, kamu dari mana?”

Vellesa tak menjawab, menghabiskan sotonya, mengangkat telepon, membayar tagihan dan
hengkang dari sana.

Vellesa Azephi tengah berjalan. Dan di saat bersamaan, dia merasa seseorang berkata
padanya, “Selamat jalan. Di jalan yang akan mengembalikanmu pada kesejatian.” Tapi dia
tak peduli, dan terus berjalan. Menuju entah kemana. Mungkin ke tempat Seniman
Musiman, memastikan apakah sepupunya itu baik-baik saja atau tidak. Atau tidak ke tempat
Seniman Musiman, barangkali mencari Naoko yang mungkin sedang menunggu jadwal
keberangkatan pesawatnya kembali ke Jepang. Atau hanya untuk melihat-lihat suasana
Djakawang, yang katanya, sengsara karena tidak mengikuti tradisi pemujaan terhadap Sri
Ratu.

Tapi Vellesa Azephi tidak melihat keanehan apa pun di tempat ini. Dia hanya merasa, bahwa
orang-orang di luar Djakawang berpandangan negatif karena berita yang tersebar melalui
radio waktu itu. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, panggilan masuk dari.. .

Emile Rezam.

Vellesa Azephi merasa ragu, apakah ia mesti mengangkat telepon dari bajingan ini atau
tidak. Bajingan, pertama karena Emil ini adalah orang yang lumayan ge-er, merasa ia cukup
hebat dan bisa mengatakan perkataan agung. Kedua, karena ia tunangan dengan Liya,
sesuai kata-kata Bung Karta Kusumaz. Dan lain-lain. Kesalahan lainnya. Nan tak sudi diterima
Vellesa Azephi.

Tapi akhirnya dia angkat juga, “Halo?”

“Halo, Velly.”

“Ya..?”

“Ini Emil.”

135
“Iya..,”

“Emile Rezam.”

“Iya..,”

“Sedang sibuk, ya?”

“Enggak juga.. Aku sedang di Djakawang..”

“Wahh.. Bahaya. Kamu nggak kenapa-napa, kan?”

“Enggak, kok.. Memangnya kenapa?”

“Djakawang itu,” kata Emile Rezam seolah dia lebih tahu dari Vellesa Azephi, “Adalah
tempat yang sedang bersengketa. Hak Sri Ratu tidak dipenuhi, Presiden menunda janji-janji,
Gubernur yang mau menyalip presidennya sendiri..”

“Iya, iya..”

“Dan kamu tahu?” kata Emile Rezam, “Denny JA sudah lama menunggu hal ini terjadi.”

Vellesa diam mendengarkan. Atau, sebenarnya lebih kepada mengabaikan.

“Jadi..”

Emile Rezam terhenti.

Lalu berkata lagi, “Kamu masih mendengarku, kan?”

“Iya, iya..”

“Iya. Jadi..” dan berkatalah Emile Rezam, menasehati Vellesa Azephi agar berhati-hati di
Djakawang, agar kalau bisa tidak berada di Djakawang, agar kalau sangat mampu keluar dan
jauh sangat jauh dari Djakawang.

Sementara itu, Seniman Musiman duduk di kursi tanpa sandaran yang diletakkannya di
dekat jendela. Menatap jauh ke suatu tempat yang ada, atau mungkin tak pernah ada.
Sambil membakar sebatang GG Mild yang baru dia beli di warung seberang jalan, lalu naik

136
lagi ke flat, menyesapnya dan duduk menatap jauh ke tempat yang kasat mata. Atau
menatap memori. Atau, menatap dalam ingatannya yang bercampur dengan simulakrum,
yang menyatukan antara realita dan khayali.

Dicomotnya selembar pizza yang terakhir. Menguyah roti bertabur keju dan daging asap,
sambil sesekali menanamkan ujung filter ke bibirnya, lalu mengisap dan hembuskan asap
kelabu yang kemudian menggantung-gantung di udara. Dia seperti merindukan, atau, jika
pun tak merindukan, dia seperti tenggelam dalam ingatan. Sesaat sebelum suaminya
menghilang tanpa kabar. Lalu sesaat sebelum mereka menikah. Dan sesaat sebelum mereka
saling kenal.

Membiarkan merekaism hantu di luar menabrak-nabrakkan diri mereka ke jendela.


Menatap sebentar, lalu menyesap lagi rokok dan mengembuskannya ke udara. Ruangan
yang saat itu jadi pengap penuh asap. Abu puntung rokok dimana-mana di lantai flat yang
putih keramik.

Lalu menatap lagi ke simulakrum tentang Emil, memori maupun khayali.

Lalu ponselnya berdering. Panggilan telepon masuk. Siapa pula yang menelepon di saat-saat
seperti ini? kata Seniman Musiman dalam hati. Rupanya Jechungid. Perempuan berwajah
hantu yang dicintai Vellesa Azephi itu, memanggilnya dari seberang lautan. Dari jarak
tempuh yang juga lumayan jauh begitu selesai menyeberang lautan. Seniman Musiman
mematikan rokoknya. “Ya?” katanya, “Kenapa kamu menelepon sore-sore begini? Nggak
tahu aku sedang istirahat, apa?”

Di seberang sana, Jechungid sedang duduk-duduk di pinggir danau. Kedua kakinya


menyelusup ke dalam air yang gelap, yang berisi entahlah apa mahluk-mahluk fisik maupun
mitos. Barangkali itu danau Singkarak, atau dimana. Jechungid menelepon dengan sesaat
melupakan ia sedang berada dimana. “Aku minta maaf karena tidak datang waktu acara
pernikahanmu..”

“Tidak apa-apa.” Jawab Seniman Musiman, “Kamu sedang dimana?”

“Di tepi danau..”

“Danau? Danau apa?”

137
Jechungid celingak-celinguk melihat sekeliling, lalu menjawab, “Entahlah. Mungkin danau
Singkarak..”

“Oohh.. Sudah selesai acara itu?”

“Acara?” Jechungid sedang tidak bisa membaca pikiran Seniman Musiman, orang itu terlalu
jauh dan samar dan wajahnya tak tampak untuk dibaca. “Acara apa?”

“Tour de Singkarak..”

“Tour de Singkarak..?”

“Balap sepeda itu,”

“Oohh.. Iya, iya.. Belum. Belum ada, malah. Memang acaranya kapan?”

Seniman Musiman terkekeh di ujung sana, “Kamu seperti tidak kenal West Sumatra saja..”

“Iya..” kata Jechungid, “Aku kan lebih sering nyanyi di luar..”

“Di luar? Memangnya kamu sudah ke negara mana, memangnya? Ha?”

“San Fransisco, Peru, dan kebanyakan juga di Ulan Bator..”

“Ulan Bator? Benarkah??”

“Iya..”

“Kenapa nggak bilang-bilang?”

“Kan kamu nggak nanya..”

“Iya juga, ya..” kata Seniman Musiman, terdiam sebentar, sebelum melanjutkan,
“Memangnya aku harus nanya?? Jadi gitu, kamu sengaja nggak mau ngasih oleh-oleh patung
Temujin??”

“Patung Temujin..?”

“Ah! Terserah! Capek ngomong sama kamu!”

“Tunggu!!”

138
Klik!

Sambungan diputus. Jechungid terbata-bata meski tak berkata-kata. Dia merenung


sebentar, lalu meletakkan ponselnya di sebelah paha kiri, di dekat tas jinjing Tea with Ami
berbahan karduroy hitam. Tampaknya ia beli secara online dengan seorang seniman yang
sengaja merancang tas itu sepenuh hati. Tapi itu tak soal, yang soal adalah ketika Jechungid
memutuskan untuk melompat ke dalam air gelap itu. Meninggalkan tasnya, ponselnya, dan
barangkali, dunia. Dengan kemungkinan dia bisa berenang tapi ditarik oleh sesuatu tak kasat
mata karena dunia danau yang begitu gelap.

Di waktu selanjutnya, ia melayang di tengah-tengah kedalaman air. Matanya setengah


terbuka setengah menatap, kepada sesuatu yang entahlah apa. Tapi kemudian, sesak di
dadanya membuat ia berenang dan kembali ke permukaan danau. Naik lagi ke tempat tas
dan ponselnya diletakkan. Dengan keadaan basah kuyup, tangannya merogoh isi dalam
tasnya, ia keluarkan sesuatu dari sana. Sekotak Lucky Strike. Ia membakar sebatang dan
mengisapnya sambil memperhatikan pemandangan danau. Atau, menatap jauh dan
memikirkan hal lain selain danau.

Lalu, alih-alih melanjutkan lamunannya, sebelah tangan basahnya yang bebas rokok
mengambil sesuatu lagi dari dalam tas. Sebuah buku kuning bergambar harimau, berjudul
Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash, salah satu terjemahan bahasa Inggris dari buku-
buku Eka Kurniawan, yang baru dibelinya di toko buku bekas sewaktu masih di Ulan Bator.
Sebuah toko buku bekas, yang, bersumber dari bule-bule turis yang datang untuk mencicipi
daging tartar asli yang bukan dari restoran kelas mewah atau tempat makanan Prancis di
tempat asal mereka. Ia membacanya di dalam keadaan basah kuyup.

Dia membaca Ajo Kawir, yang merupakan tokoh utama cerita itu, dengan terbahak-bahak.
Tanpa dia sendiri mengetahui, jiwanya terkikis. Jiwanya sendiri. Seperti menara yang salah
pasang, tak hanya menuju dirinya. Kehancuran, yang juga menuju orang lain.

0400

139
Mungkin aku tidak akan berterimakasih, Syams Tabriz. Kata Jechungid, atau entah. Orang
selain dia, adakah yang mengatakannya. Tapi kemudian, Jechungid semakin terjatuh ke
dalam mimpi, terjerumus ke dalam palung alam spiritual, dan bertemu dengan Syams
Tabriz. Atau orang lain selain Syams Tabriz. Tapi katakanlah itu Syams Tabriz. Dan, laki-laki
itu, dengan wajahnya yang tak terbaca, menawarkan tangannya dan menyuruhku untuk
bangkit. “Bangunlah.” Katanya, dengan suara berat dan dalam. “Sudah pagi,”

Jechungid masih diam. Tak ingin terbangun. Sendiri tertidur dengan keadaan basah kuyup
itu, dengan kekecewaan telepon yang berusaha dihubunginya ke Djakawang. Dan karena
menemukan tempat nyaman yang sebelumnya tak pernah ia sadari. Setelah dibukakan
pintu oleh Iteung. Daya khayalnya. Siapa sebenarnya gadis itu? Oh, iya. Aku ingat. Kata
Jechungid dalam hati, Kemaren aku menemukan memori itu di mimpi, sebelum aku
melanjutkan halaman-halaman berikutnya Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash, pasti
gadis Iteung ini adalah pertanda bagiku. Kata Jechungid, lalu diam dari kata-kata batinnya.
Ya, dia hampir menemukan. Namun kemudian hilang begitu saja waktu Syams Tabriz sialan
ini, atau siapa pun itu, membangunkannya. “Sudah malam. Tidak baik disini..” Kali ini
suaranya jadi agak familiar. Sebuah suara lunak seperti masih kanak-kanak. Jadi dibukanya
mata, dan memastikan siapa salah satu dari semua laki-laki brengsek yang
membangunkannya. “Hai,” kata si pembangun.

“Haii..~” ujarnya, dengan suara lemah. Tubuhnya penuh peluh bercampur air danau, dan
kehilangan energi. Jechungid yang bingung memaksa dirinya sendiri untuk bangun, saat
melihatnya pertama kali. Lalu, lambat-lambat wajah laki-laki brengsek itu mulai
menunjukkan ingatan Jechungid. Tentang siapa laki-laki itu. “Ohh.. Pierce Brosnan!” kata
Jechungid seraya meregangkan tangan, “Kau nyata? Kau sungguh nyata??” katanya lagi,
sambil memeriksa jam di ponselnya. Pukul empat pagi. Atau sore? Jendela tertutup rapi,
dan pintunya barangkali terkunci. “Ya, aku disini.” Jawab laki-laki itu, lalu membelai rambut
Jechungid. “Maaf sudah membuatmu lama menunggu,” Jechungid cemas-cemas senang,
dan berkata “Jangan melakukannya disini. Disini tempat umum, kau harus cepat-cepat pergi
sebelum azan..” sambil menoleh ke kiri ke kanan, tapi tidak menemukan siapa pun di pinggir
danau itu.

“Kan tidak masalah kalau aku membunuh mereka?”

140
“Ha??”

“Memberantasnya seperti tragedi G30S PKI.”

“Kau..-”

“Tidak,” dia tertawa sambil memasukkan sebelah tangan ke dalam saku, lalu duduk dan
menyandarkan pantatnya ke pinggiran danau, dekat tas Tea with Ami. “Hanya bercanda..”

Katanya lagi, “Tapi tentu saja akan kulakukan jika mereka menyakitimu.”

Jechungid termangu untuk sesaat. Mengapa kau bisa sampai senyata ini? kata Jechungid
dalam hati. “Tidak. Mereka tidak akan menyakitiku..”

“Mengapa kau bisa datang?” katanya lagi.

“Mengapa aku bisa nyata, maksudmu?” sahut Pierce Brosnan, agak kesal. Melipat tangan di
depan dada.

“Y-ya..,”

“Sesuai perkiraanmu dengan Singkarak, ini kota surga yang bisa mewujudkan apa pun
keinginan seseorang..”

“Maksudmu..?”

“Tidak ada makna tersirat di kata-kataku. Ini harfiah.” Katanya, lalu tiba-tiba terdengar suara
langkah kaki arah belakang mereka. Matanya menoleh dan mengejar sosok itu dengan
tatapan pembunuh. “Siapa kau??” kata laki-laki itu, laki-laki bersuara Vellesa Azephi.

Tiba-tiba semuanya menjadi aneh. Latar tempat menjadi samar-samar, kemudian kabur,
kemudian meleleh. Hingga sampai terlihat seperti tidak berbentuk sama sekali. Langit jatuh.
Gunung-gunung terloncat seperti debu-debu. Kemudian yang ada hanya putih. Putih. Putih
saja. Mengapa Vellesa Azephi ada disini? Tanya Jechungid dalam hati.

“Bukannya aku salah satu pengunjung?” kata Pierce Brosnan.

“Ha?” kata Vellesa Azephi, “Oh.. Maaf,”

141
“Iya..” kata Pierce Brosnan, lalu mendekat kepadanya. Sesaat, saat Jenguchid membaca
pikiran laki-laki itu, dan alasannya untuk mendekati Vellesa, Jechungid hanya mendapati
kabut sedingin es di dalamnya. Lalu tiba-tiba Pierce Brosnan melayangkan sebelah
tangannya, dari dalam saku, ke arah Vellesa. Tinju. Sebuah pukulan. Tapi tidak mengenai
Vellesa, yang menyambar pangkal lengan peninju itu, lalu membanting Pierce Brosnan ke
tanah.

Suara berdebum.

Dan Pierce Brosnan mengaduh dengan wajah mengerinyit, lalu menatap langit atau apalah,
mencoba mengajak Vellesa mengobrol. Mengalihkan fokus. Sebelah tangannya menjangkau
pinggangnya sendiri. Dan tiba-tiba, mengeluarkan sebuah pistol dari dalam sakunya, dan
mengarahkan ujung senjata itu ke arah Vellesa.

“Sialan!!” kata seseorang berteriak.

Par!! Suara letusan pistol.

Mungkin, jika Tobias Eaton sang Telekineter itu memang ada, tentu dia akan kesini dan
menghentikan orang itu dari pembunuhan ini.

0,4

Memang, memang Seniman Musiman pernah juga seperti ini. Dalam keadaan ini. Seperti
yang terjadi pada Jechungid. Tapi, mungkin tidak separah kali ini, ketika Jechungid
mendapat visi tentang pembunuhan Vellesa Azephi, dan Seniman Musiman tentang
pembunuhan suaminya. Tapi, jika itu hanyalah sebuah visi yang melintas, dimana Vellesa
Azephi sebenarnya, ketika pembunuhan itu terjadi?

Bahwa Vellesa Azephi pergi naik pesawat untuk mendatangi Seniman Musiman di
Djakawang, dan bertemu Naoko di tengah perjalanan yang penuh kelaparan, dan bertemu
Naoko lagi di Periplus, dan kemudian meminta tolong ke Vellesa Azephi untuk mencari
buku-buku yang selama ini diintainya, dan mempertanyakan mengapa sampai ada penerbit
bernama Turtle, lalu mereka berpisah di dalam taksi di tengah hujan. Vellesa Azephi
meminjamkan alat penerjemahnya kepada si sopir, lalu pergi dan berhenti sebentar untuk
makan kebab isi kambing rempah. Bertemu Seniman Musiman, yang menjemputnya pakai

142
payung, lalu mereka pergi ke tempat tinggalnya. Di flat beberapa lantai setelah lantai satu.
Pintu belakang flat diketuk, lalu Vellesa Azephi membukanya dengan sebuah teriakan dari
Seniman Musiman;

Jangaa..an!!

Hitam. Yang ada hanyalah hitam.

Kenyataan, dimanakah kenyataan?

Lalu Vellesa Azephi, alih-alih tak sadarkan diri, Vellesa Azephi malah bertemu tiga sosok
misterius yang menambah kosa kata spiritualnya selain hantu dan mimpi-mimpi yang
prediktif. Siapa sebenarnya mereka? Apakah memang benar, sesuai jawaban mereka, yang
menyiratkan bahwa mereka adalah manifestasi Ilahi? Apakah Vellesa Azephi harus, atau
bisa, atau sempat, menanyakan ini ke Kak Guru Gayatri Chen Chen? Apakah syaikha
tersebut, yang sebenarnya lebih terlihat seperti sufiolog, daripada terlihat seperti sufi, bisa
menjawab pertanyaan paling menggegerkan seumur hidup Vellesa Azephi?

Sementara itu, Jamis Bond yang sedang termangu di salah satu sudut warung kopi, sambil
memegang ponsel, dan baru saja ditinggal setelah sebelumnya ditampar oleh seorang
perempuan bernama Ani. Annelies. Seorang Mellema yang diberi nama seperti salah satu
tokoh dari edisi magnum opus binti masterpiecenya Pramoedya Ananta Toer, yang pernah
menjadi kehebohan sewaktu seorang sutradara eksperimentalis, Hanung Brahmantyo,
mengadaptasinya ke bentuk film. Terkait hal itu, dengan Iqbaal Ramadhan yang sempat
menjadi selebritis Cowboy Junior, sekelompok anak-anak kecil yang menyanyikan lagu-lagu
cinta lawan jenis, dan juga memerankan Dilan di film Dilan 1990 yang juga adaptasi dari
novel Pidi Baiq yang mahahebat dan sempat menggalang audisi terbuka untuk umum, yang
menjadikannya penuh kontroversi. Selain membuat masyarakat menganggap Dilan 1990
adalah film semenye-menye lagu-lagu Cowboy Junior. Ya, Iqbaal sebagai bintangnya,
menjadikan situasi saat itu makin panas, dan menimbulkan berbagai keributan dari para
penggemar Pram. Dan pada saat itu, lahirlah anak perempuan dari seorang lelaki bernama
John Doe. Hasil pernikahan dengan seorang lulusan Universitas Andalas bernama Ho, yang
juga merupakan aktivis literasi penggemar Tirto Adhi Soerjo.

Tirto Adhi Soerjo itu Minke, kan?

143
Ya.

Dan ketika anak yang diberi nama Annelies Mellema itu lahir, dia mewarisi tiap-tiap sifat
dari leluhur Ho yang berasal dari Tiongkok. Kelahiran anak ini ditandai dengan ulangtahun
Shelter Utara yang merupakan organisasi sekaligus perpustakaan yang didirikan ibunya.
Sejak umur dua setengah tahun, Ani sudah pandai membaca. Bacaan pertamanya adalah
buku-buku ensiklopedia bergambar yang memang dirancang untuk anak-anak. Dari sanalah
ia mengenal dunia. Tokoh favoritnya adalah Jalaludin Rumi. Entah mengapa. Ho yang
kemudian bersikeras supaya anaknya tidak terlalu fokus kepada Rumi, atau puisi-puisinya.
Barangkali karena beban masa lalu wanita itu, yang sebegitunya, sampai mengikis sesuatu
entahlah apa di dasar hatinya, atau ingatannya.

Konon, Ho pernah berguru dan sekaligus menjadi guru dari seorang penyair bernama Eming.
Seorang laki-laki bergaya urakan, pendobrak hukum-hukum masyarakat, dan agak kultus
kepada Chairil Anwar. Eming yang terkadang suka merokok, dengan rokok kretek Djarum
Super yang disebut-sebutnya sebagai candu yang selalu dihisap Rendra, entah dari mana
pemuda itu mengetahuinya. Atau punya ide tentang itu. Dia berteman dengan Ho sampai
bersahabat sangat dekat. Jika ditanya dimana mereka bertemu pertamakali, adalah saat Ho
tampil membacakan puisi di hari peringatan Reformasi Indonesia, 21 Mei 2018. Di halaman
Tugu Gempa, suatu tempat di jantung kota Padang, ibukota West Sumatra. Tepat dua puluh
tahun pasca kejatuhan Soeharto, yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Habibie, seorang
intelektual mesin yang konon paling cerdas di Indonesia. Yang kemudian dilanjutkan oleh
presiden-presiden lain sampai Joko Widodo. Tapi tampaknya itu tak memuaskan penduduk
negeri ini. Hingga berdentanglah puisi Rendra, yang dibacakan Ho saat itu, Sajak Sebatang
Lisong.

Apa itu lisong? Jarang sekali anak muda yang tahu, saat itu. Mereka hanya kenal candu kopi,
candu kretek, candu vape, candu rokok putih, candu plastik model.. . Candu game online,
candu anime, candu Instagram, candu Tik Tok, dan beberapa candu lain yang juga masih tak
disadari, atau mungkin saja disadari tapi tak juga masih terkendali.

Mereka tidak tahu, seberapa banyak batang lisong yang habis dibakar dan dihisap oleh
orang selain Rendra, yakni Jendral Soedirman dan berbagai pahlawan nasional lain selain
Chairil Anwar. Dan mungkin, juga selain beberapa orang yang kesukaannya hampir sama

144
dengan Chairil Anwar. Mereka tidak tahu, candu hisap seperti lisong Soedirman maupun
Highway yang dihisap Chairil, atau cerutu nyaman yang dikonsumsi Che Guevara, sangat
hangat, sangat erat dan sangat mendukung perjalanan pertempuran yang mereka lakukan.
Di dalam buku Membunuh Indonesia, pernyataan ini makin terkuak.

Bremen dan Antwerpen, adalah yang punya kuasa atas tembakau, kopi, getah, gula, dan
rempah-rempah serta sumber daya lainnya sewaktu negeri ini masih punya batasan. Masih
terkurung dalam belenggu yang tak ada sudahnya, kecuali sampai bulan Agustus itu, saat
Sukarno dan Bung Hatta selesai diculik ke Rengasdengklok dan dipaksa oleh para pemuda
seperti kalian, untuk bersaksi dan menyatakan Republik Indonesia sudah ada, dan masih
ada, dan akan tetap ada.

Tapi. Dari zaman Hindia Belanda tersebut, segenap rakyat Indonesia yang dipimpin oleh
Sukarno, yang dititahkan untuk menjadi presiden seumur hidup, dan yang menggantungkan
bayang-bayang bahwa Tan Malaka sang sufi revolusioner sejati itu, adalah kunci serap bagi
pemerintahan yang jika kehilangan sosok Sukarno. Tapi, biar pun begitu, ada banyak sekali
Sukarnois yang sangat berpedoman kepada primbon, yang tidak percaya bahwa kata-kata
nan menyebut nama Tan Malaka itu benar-benar ada. Mereka, entahlah kenapa,
menyangkal bahwa Tan Malaka adalah sosok penting, apalagi penting, di dalam
pembangunan Republik yang sebenar-benarnya. Dan kalau begitu, kalau Tan saja yang
sesungguhnya adalah penggerak sejati, yang menggerakkan rakyat-rakyat kecil dengan
ideologinya, yang walau pun tidak menghamba kepada Stalin seperti, yang disebutkan Soe
Hok Gie, bahwa kebanyakan tokoh PKI adalah intel Rusia tok –walau Tan tidak seperti itu, ia
tetaplah memiliki sifat egaliter yang menurun sejak dari leluhur maupun kampung
halamannya. Dan kalau orang seperti Tan juga tidak didukung, maka wajar saja pelanggaran
kedaulatan rakyat dan pelanggaran terhadap keadilan sosial tidak ada hukumnya.

Vellesa Azephi, sebelum ia merokok, menjadi seorang perokok, aktif maupun pasif, dia
adalah penentang tembakau paling aktif dan paling menonjol di antara kawan-kawannya.
Dia bergabung dengan salah satu komunitas kreatif anak-anak dan remaja, yang

145
bekerjasama dengan salah satu dari empat lembaga perlindungan anak terbesar di
Nusantara. Mereka, yang membaca berbagai info dari internet, menemukan bahwa iklan-
iklan rokok yang ada, di teve-teve maupun media massa lainnya, mengacukan produk
mereka ke kalangan anak-anak dan remaja sekolah rendah. Alasannya, karena mereka akan
hidup lebih lama ketimbang para orang tua maupun dewasa yang, walau pun tidak merokok
atau hanya punya minat sedikit dengan candu itu. Juga, mungkin karena mereka tahu, atau
menganggap, bahwa para orang tua dan dewasa, tidak mudah dipengaruhi. Padahal mereka
salah besar.

Di tahun 2013, tercatat bahwa banyak pengguna internet di usia setelah dua puluh satu
tahun, yang sangat menggilai tokoh-tokoh politik favoritnya. Prabowo maupun Joko
Widodo. Mereka menjadi merekaism yang sangat kultus, bahkan lebih dari pengkultusan
para Nasrani ke sosok Yesus Kristus, Muslim ke Muhammad, Buddha ke Sidharta, Hindu ke
Krisna, atau Syiwa atau pun Vendhana Shiva. Lebih! Hingga pecah perang cyber, dan mereka
saling hasut-hasutan di luar internet, di bus kota, di ruang tunggu rumah sakit, di acara
reuni, warung kopi, pernikahan, ruang kuliah.. . Lalu cacimaki di hadapan komputer. Dan,
meski pun kalangan kritis seperti seniman maupun aktivis senior dan veteran, mereka yang
tak sampai seperti itu, jumlah tersebut sangatlah sedikit. Diambil contoh, Uncu Cies yang
merupakan ibu dari salah satu Emil, salah seorang yang dikenal Vellesa Azephi, adalah
seorang aktivis bagi anak-anak berkebutuhan khusus, juga adalah aktivis di media sosial. Ia
adalah seorang yang berpikiran terbuka, dan sangat luas wawasannya. Mungkin karena
pengelanaannya selama belasan tahun saat ia masih muda, saat ia masih menggilai revolusi
feminisme hingga dapat menuliskan “.. Pernah tergabung di Solidaritas Perempuan, Kapal
Perempuan, Komnas Perempuan Indonesia, Nurani Perempuan..” dan sebagainya, dan
sebagainya. Ia juga salah satu orang yang memiliki sikap berwibawa di kalangan feminis,
karena mempunyai pandangan kesetaraan gender yang menyeluruh. Laki-laki dan
perempuan adalah sama. Perempuan dan laki-laki adalah sama. Jika perempuan tidak boleh
ditindas, laki-laki juga tidak boleh ditindas.

Uncu Cies adalah sosok yang menyukai Dji Sam Soe, tapi hanya sewaktu duduk-duduk
bersama kawan-kawannya. Terutama kawan lama. Ia menyesap Dji Sam Soe dengan penuh
penghayatan, entah itu seperti yang disaksikan tiap-tiap Angkatan ’45 kepada Chairil Anwar,
entah itu seperti penyair muda yang baru coba-coba merokok. Penyair muda yang baru saja

146
menikmati rasa cengkeh, rasa kemusuk, yang dicampur dengan tembakau dan saos
tradisional lalu dibungkus kertas putih.. . Tapi, ya, Uncu Cies adalah orang yang sangat
peduli dengan kedaulatan rakyat Nusantara, terutama di bidang pangan. Konon, ia pernah
mengecap pendidikan tinggi di bidang kesehatan, sebentar, lalu berhenti dari sana. Tetapi ia
masih saja mempelajari ilmu itu dan ilmu-ilmu lainnya melewati pembacaan teks kuno
maupun buku-buku modern, dalam maupun luar negeri. Dan dari sanalah, Vellesa Azephi
mengenal sebuah buku yang salah satunya ditulis oleh Miranda Harlan, yang barangkali
kenal dengan Uncu Cies jika wanita itu menyebutkan nama aslinya. Nama aslinya, Rezki
Khainidar.

Dan judul buku itu, Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek.

Dan Vellesa Azephi, di saat-saat awal ia merokok, adalah umurnya yang kedelapan belas. Ya,
ia memang sengaja menunggu umur itu untuk menentukan nasibnya sebagai perokok atau
tidak. Karena itu dia memang pantas disebut sebagai pemuda yang disiplin, tegas dan patuh
pada aturan walau terkadang juga pilih-pilih dalam mematuhi peraturan. Dan bahkan juga
pilih-pilih dalam berorganisasi, karena sifatnya yang mungkin hampir sama kritisnya dengan
Uncu Cies. Walau sedikit, ya, sedikit punya sifat condong mengkultuskan beberapa hal.
Misalkan saja saat ia membaca salah satu buku Elif Shafak, novel Empat Puluh Kaidah Cinta,
dimana ia menemukan sosok Syams Tabriz, dan jatuh cinta, dan memfavoritkan, dan
mengkultuskan. Bergerak sesuai kemana Syams Tabriz berhulu. Dan ketika di masa awal-
awal Vellesa Azephi merokok, ia tinggal di Bantul Yogyakarta saat itu, menumpang ke
seorang kawan dari ibunya, seorang laki-laki yang ia panggil Bang Rimbo. Seorang mantan
aktivis yang juga pernah menjadi seniman teater, yang pernah juga satu panggung dengan
Rendra. Mantan aktivis, karena ia baru saja dikeluarkan, atau mungkin juga sengaja
mengeluarkan diri dari sebuah lembaga tempatnya bernaung dulu. Dulu, saat ia masih
menjadi aktivis, dan memiliki banyak program di pulau Mentawai, ia masih setia membakar
Marlboro Putih. Sekarang tidak lagi. Ia mengubah haluan candunya ke Sampoerna Hijau.
Dan karena itu, Vellesa rokoknya Sampoerna Hijau. Sampai Seniman Musiman ikut-ikutan
mengisap rokok kretek khas Indonesia yang pernah diblokade, dicaplok, dicurangi dengan
berbagai macam cara oleh pihak luar negeri.

147
Saat itu, ia baru saja berkelana di Tataran Sunda, bertemu dengan Ummi Nissa yang
mendirikan pesantren berbasis lingkungan dan aktivisme, dan sempat menjadi santri selama
satu bulan sembilan belas hari. Ummi Nissa orang yang baik, dan pernah berkata,
“Sebenarnya kita bisa belajar dari mana saja. Dan kau tahu, Vellesa, kau guruku!” Ummi
Nissa mengatakannya sambil tersenyum. Tapi Vellesa yang saat itu masih belum kuliah,
sedang merindukan kampung halaman neneknya di West Sumatra, sekaligus juga
merindukan kampung halamannya di Bukiteukoh, tempat ibunya menunggu kepulangan
sebelum akhirnya menengok ia tertidur lelah selepas perjalanannya dengan Citilink, atau
Lion Air, atau kalau beruntung, Garuda Indonesia. Vellesa hanya terdiam membisu, tidak
pula membalas senyuman Ummi Nissa walau hanya sebentar. Dan ia pun, pada malam-
malam saat semua santri tertidur, Vellesa menyalakan lilin kecil untuk menulis puisi. Bukan
karena ponselnya tidak ada, tapi ia merasa lebih spiritual jika dilakukan seperti itu.

Lalu, saat sebulan sembilan belas hari telah genap, ia pun memutuskan untuk pamit ke
Ummi Nissa, saat santri yang lain sedang pergi ke kegiatan pribadi mereka masing-masing di
luar pesantren, ia hanya pamit ke Ummi Nissa dan suaminya Ummi Nissa yang merupakan
kyai dari pesantren ini, tempat ia pernah bertanya perihal pernikahan, berdiskusi semalam
suntuk sambil mengobrak-abrik buku-buku yang diambil kyai tersebut untuk dijadikan
referensi. Ia pamit, lalu melakukan pengelanaan yang lebih liar, hingga sampai ke
Yogyakarta. Ia bertemu berbagai seniman, agamawan, bahkan bandit-bandit kelas teri untuk
dijadikannya pengalaman hidup. Hingga sampailah ia di Bantul, secara agak tak sengaja
bertemu Bang Rimbo, dan memulai pertukaran ilmu.

Bang Rimbo yang memiliki tetangga seorang seniman Ketoprak bernama Pak Bakir, tempat
mereka belajar sedikit demi sedikit mengenai budaya Jawa, tempat Bang Rimbo membantu
membangun toilet di sebelah rumah Pak Bakir, karena seniman ketoprak itu hanya
mengandalkan sungai di pinggiran desa selama ini, dan karena anak perempuannya yang
baru sembilan bulan menikah sudah lama hamil, sambil mendengarkan musik Isi Rimba Tak
Ada Tempat Berpijak Lagi yang dibawakan Iwan Fals. Lagu yang mengkritik secara keras
bukan hanya kepada perusak lingkungan, tapi juga ke merekaism yang sok-sok aktivis
pembela lingkungan, yang justru memulainya baru-baru ini. Dengan salah satu liriknya,
“Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu?”

148
Saat itu ia sedang kepengen merokok. Jadi dimintanyalah sebatang rokok dari Bang Rimbo,
yang baru saja kembali setelah menyuruhnya membeli sekotak Sampoerna Hijau. Di warung
terdekat. Tempat ia berkenalan dengan seorang ibu-ibu yang selalu memakai jilbab hitam
panjang, yang membuatnya bertanya, “Adakah jilbab ini dicuci-cuci?”

Maka ia membakar Sampoerna Hijau pertamanya.

Maka ia membakar Sampoerna Hijau pertamanya saat itu.

Konon, Ho pernah menjadi guru sekaligus berguru kepada seorang penyair bernama Eming.
Sudah dijelaskan bagaimana Eming, dan bagaimana lisong itu. Meski hanya sedikit. Telah
diceritakan bagaimana Vellesa Azephi, dan yang mungkin belum diceritakan adalah
bagaimana Vellesa Azephi dan Eming si Penyair sama-sama membakar cerutu pertama
mereka, yang sama-sama bermerk Ramayana, mengisapnya sambil membaca kumpulan
sajak Blues untuk Bonnienya W.S Rendra, dan ketika sampai di halaman sajak Blues untuk
Bonnie yang mengisahkan tentang seorang Negro berwajah kotor, basah dan tua, yang
bekerja di suatu kafe di salah satu sudut Boston, bekerja bergitar dan bernyanyi. Dan
mereka juga sama-sama membayangkan bahwa Negro tua itu, wajahnya mirip dengan Che
Guevara. Setengah Che Guevara setengah Nelson Mandela versi film, yang dimainkan
Morgan Freeman.

Konon Ho adalah guru sekaligus murid dari penyair Eming. Guru sekaligus murid spiritual.
Mereka berbagi cerita dan rahasia. Mereka menjatuhkan kepala masing-masing di atas
karpet di pustaka Shelter Utara, sambil menunggu kopi mereka masing-masing, hingga
menjadi sedingin cold brew. Lalu digerayangi semut-semut api. Dan mereka tak jadi
meminumnya, karena air kopinya sudah tercampur bahan kimia dari tubuh-tubuh semut api
yang berbau khas, yang, menurut sebagian cewek, menjijikan. Dan terkadang, mereka pun
memesan cold brew, membicarakan bagaimana seandainya jika cold brew itu mereka
tunggu sampai panas, mungkin disebabkan cahaya matahari siang besok atau cahaya
bintang malam ini. Lalu mereka mulai membicarakan kekasihnya masing-masing. Dan
terlelap tak sengaja sampai pagi selanjutnya. Dan tak menyadari bahwa esoknya adalah hari

149
pertama bulan Ramadhan tahun 2019, dan salah satu dari mereka berkata, “Tak terasa,
sudah setahun sejak pertemuan pertama kita..”

“Ya, Guruku.”

“Kurasa pelajaran kita sudah berakhir. Sudah sampai disini dulu..”

“Ya, Guru..”

Lalu Eming pun pergi merantau, lulus ujian masuk Arts and Humanities di Oxford, setelah
setahun menunggu. Setelah beberapa bulan buku puisi keempatnya diterbitkan. Setelah
satu pameran tunggal pertamanya digelarkan. Di festival Pekan Nan Tumpah, tempat Bung
Karta yang merupakan sahabat Vellesa Azephi, yang selalu hutang rokok Highway kepada
siapa pun yang sudi meminjamkan uangnya. Bertemu. Pernah sekali, Eming meminjamkan
uangnya, hanya sekali. Karena uang itu tak pernah kembali. Dan karena Eming juga sudah
lepas dari tanggung jawab orang tuanya, semenjak kedua pasangan itu bercerai, mungkin,
karena masalah kecil yang sudah lama dan sudah menjadi dendam kesumat sejak awal
pernikahan. “Kau punya banyak kesamaan dengan sahabatku satu lagi,” kata Bung Karta.

“Oh, ya? Siapa itu? Siapa orang lain yang sudi bersahabat dengan Mentasi?”

“Siapa? Dialah Vellesa Azephi.”

Tapi sebenarnya, di catatan harian anak-anak yang satu kampus dengan Vellesa Azephi,
Bung Karta atau Oom Mentasi itu tak pernah menghutang rokok Highway. Tapi sebenarnya
Bung Karta dan Oom Mentasi itu tak pernah ada. Tapi sebenarnya mereka tak pernah eksis.
Tak pernah dilahirkan. Bahkan di catatan dari seorang pencatat proses di komunitas
teaternya, yang juga tempat Liya berlatih seni peran. Bahkan, Liya pun juga tidak ada di
kampus itu, atau kampus mana pun, tak pernah ada seorang Liya yang memiliki ciri-ciri fisik
maupun kecantikan seperti itu. Liya yang tercantik bahkan hanyalah seorang mahasiswa di
jurusan Teknik Kimia, yang tak terlalu disukai para pemuda karena gigi depannya yang agak
maju. Atau, mungkin juga karena Liya yang satu ini, sekali pun ia pandai menyanyi dan juga
ikut kelompok teater, wajahnya mengingatkan mereka kepada sosok Maria Ozawa, bintang

150
film panas yang berhasil dikalahkan oleh kepopuleran Haruka Kasumi, yang juga berhasil
mengalahkan Mizuho Uehara di mata Vellesa Azephi.

Kampus itu tiba-tiba juga menjadi sepi dari berseliwernya para mahasiswa. Sastra maupun
bukan.

Hanya Eming si Penyair yang kadang, berjalan di sekitar lorong atau koridor Fakultas Ilmu
Budaya itu. Itu pun ketika ia pulang dari perantauannya di Inggris.

Mentraktir Vellesa Azephi minum kopi, kadang.

Semuanya adalah palsu, semua tidak benar adanya.

Lupakan semua yang pernah kau tahu.

Waktu adalah barang yang sangat subjektif.. .

Sementara itu, Jamis Bond yang baru saja ditampar oleh Ani, mendapati dirinya adalah
orang paling malang sepengalaman hidupnya. Ia pun merogoh kantung celananya,
mengeluarkan sekotak rokok berwarna merah dan bermerk Luffman, mengambil satu dan
membakarnya dengan korek api mekanik. Cres! Dan mengepullah asapnya di udara,
bergerak ke langit-langit kafe tempatnya menyudutkan diri dengan cara duduk di ujung kafe
itu. Menyudutkan diri dengan tidak sengaja. Menyatakan kata-katanya dengan tidak
sengaja, kepada gadis yang sedang dikencaninya, dan yang paling cantik selama setahun ini.
Ani. Annelies Mellema. Yang walau pun ada darah Eropa, ia lebih terlihat seperti Tionghoa.
Mungkin karena didukung gen dari John Doe yang juga, mungkin, mungkin ya, mungkin
mempunyai leluhur dari Tiongkok juga. Atau Sunda, atau Manado. Atau Korea Selatan atau
Utara. Atau Jepang.

151
“Katakan, Jamis. Kenapa harus aku yang menjadi temanmu malam ini?” kata Ani. “Apa ada
yang spesial dariku?” suara itu nyaris bersih, tanpa ada hambatan atau gesekan. Seolah
dirinya telah berlatih bicara selama bertahun-tahun.

Jamis Bond yang berkata, “Kamu? Tidak terlalu spesial, sih.. Cuma karena aku pernah
mendengar bahwa Ani itu nama tokoh dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia, bukan
berarti aku pernah membacanya.”

“Ya.. Lalu?”

“Apakah kamu masih perawan?”

Maka saat itulah, Ani menamparnya. Dengan keras. Sekuat tenaga semungkin-mungkinnya.

Sebuah tamparan telak ke pipi pria tampan parlente itu.

Ani mungkin masih perawan, tapi ia tidak sudi dilempari pertanyaan seperti itu. Itu seperti
merendahkan harkat dan martabat wanita lainnya. Yang walau bukan dia, tapi bisa saja
terdengar pengunjung lain kafe itu. Dan walau tidak terdengar, bisa saja ia menganggapnya
hal biasa jika tak memberi respon apa pun atas pertanyaan Jamis Bond si hidung belang itu.
Ani berlari keluar, tanpa membayar makanannya karena memang belum dimakan, dan
belum diantar pelayan walau sudah memesan. Ani berlari sambil menangisi. Menangisi
banyak hal. Bahkan mungkin juga kenangannya bersama Vellesa, yang saat itu pergi tanpa
kabar. Setelah perkelahian mereka hari itu.

Lalu.

Apakah Ani memang benar-benar seorang Nasrani?

Jika dilihat dari Ho, yang merupakan generasi yang masih berkaitan darah dengan
Laksamana Cheng Ho, dan mungkin karena itu ia dinamai begitu, ia adalah muslim. Tapi jika
dilihat dari John Doe, Ani bukanlah seorang muslim yang taat. Dan mungkin juga dia adalah
Syiah. Karena tak jelas agamanya John Doe. Bisa jadi Syiah, bisa jadi Sunni. Bisa jadi bukan
keduanya. Bisa jadi bukan semuanya. Bisa jadi ateis.

Tapi, Ani adalah seorang pembaca ulung. Dia membaca berbagai buku, hingga menemukan
sebuah buku berjudul Membunuh Misionaris, yang sangat menyentuh. Dan membuatnya

152
ingin menjadi salah satu tokoh disana. Yaitu sang misionaris. Penyebar pesan kebaikan dan
cinta kasih, walau harus membiayai tiket perjalanan ke Amerika. Maka ia belajar menjadi
seorang Nasrani, tanpa diketahui ibu-ayahnya. Dan ketika waktu sholat tiba, ia berwudhu
dan sholat. Ketika Ramadhan ia berpuasa. Tapi hanya sebatas tradisi. Hatinya lebih condong
untuk menjadi pengikut Yesus Kristus. Dan. Mungkin bukan hanya karena buku itu, tapi juga
ketika ia menemukan seorang aktor pemain film adaptasi novel Membunuh Misionaris, di
internet, saat aktor itu masih dicalonkan menjadi pemain film tersebut. Seorang aktor yang
sangat mirip dengan mantan pacarnya suatu saat, kelak, saat ia berkuliah di Fakultas
Kedokteran. Mungkin di masa depan dunia atau di dimensi kematian.

Seorang aktor dengan nama panggung Syams Tabriz.

Dan ia rela mati demi Syams Tabriz.

Karena itu, salah satu cita-citanya adalah mati di tangan Syams Tabriz.

Seperti di film itu.

Di sebuah web resmi keluaran film itu, Ani melihat bahwa kesempatannya untuk bertemu
Syams Tabriz cukup besar. Ada semacam undian yang diselenggarakan film tersebut. Dan
dia tertarik. Tanpa pikir panjang, tanpa memikirkan bahwa Syams Tabriz, sesuai namanya
yang sholeh dan sangat islami itu, bahwa bisa saja Syams Tabriz menolaknya. Karena di
dalam Islam undian sangatlah dilarang. Tapi apalah artinya, jika semuanya dikuasai produser
yang bergelimangan uang, bahkan jika seandainya Hanung Brahmantyo yang mengacaukan
reputasi Bumi Manusia itu, telah menjadi sepintar, setelaten, seserius bahkan seidealis apa
pun, produser kaya raya itu tetap berkuasa.

Dan di film Membunuh Misionaris itu, terjadilah sebuah adegan panas yang dilakukan Reza
Rahadian dengan Tara Basro. Bahkan bukan hanya dengan Tara Basro, Reza Rahadian juga
melakukan adegan panas persetubuhan dengan Nicholas Saputra. Saling telanjang, saling
beradu, saling berkeringat, saling tersengal-sengal. Di dalam film, apa pun akan dilakukan
aktor-aktor dan aktris-aktris itu. Mereka menganggap bahwa itu adalah tantangan. Semua
adalah tantangan, dengan hadiah reputasi naik dan harta benda terjaga. Atau reputasi

153
terlestarikan dan harta benda bertambah, walau hanya sedikit. Uang sekecil apa pun
jumlahnya sangat berarti. Tapi kenikmatan sekecil apa pun jauh lebih berarti. Dan tak
mengherankan, gadis secantik bahkan yang tampak masihlah perawan suci seperti Annelies,
bukan tega lagi untuk disantap oleh mereka. Tapi ketegaan itu sudah biasa saja. Normal.
Hampir tak terlihat dan terhitung.

Dan disanalah Annelies, gadis yang tanpa sadar bahwa ia sedang berjalan ke sarang ular.

Hai, Jiwa yang Tenang, kembalilah ke Penciptamu dan datanglah ke Kedai Kehancuran..-

0,40

Mungkin aku tidak akan berterimakasih, Syams Tabriz. Kata Jechungid. Karena aku tahu kau
melakukannya hanya karena kau mencintaiku. Dan karena aku tidak bisa mencintaimu.”

Lain dengan Syams Tabriz, lain pula dengan Stephen Caeross. Sahabat Vellesa Azephi itu
saat ini sedang berada di suatu tempat, menuju tempat yang lain. Atau. Dari satu situasi, ke
situasi lainnya. Tapi. Entah dimana sebenarnya Stephen Caeross saat ini, seperti dimana
sejujurnya Vellesa Azephi saat ini.

Ada kemungkinan, yang berasal dari sebagian pembaca yang gemar memprediksi masa
depan, bahwa Vellesa Azephi mungkin tak mati. Bahwa Vellesa Azephi masih berada di zona
hitam tempat ia menemukan tiga sosok mahluk spiritual itu. Atau, mungkin Vellesa Azephi
tak mati, namun sedang asyik menyembunyikan dirinya di suatu tempat yang entahlah
dimana. Lalu, dengan kemungkinan yang sangat kuat, Vellesa Azephi akan bereinkarnasi.
Tapi bukan seperti Sidharta, dan sangat tidak mirip dengan cara reinkarnasinya Sri Krisna
Govind, melainkan dari mahluk yang kritis ke bentuk mahluk yang tidak berpikir, tak
berpendapat, tak dihembuskan roh Tuhan ke janinnya. Roh Tuhan ke tubuhnya. Ke
hidupnya.

Vellesa Azephi menjadi air. Vellesa Azephi menjadi tanah.

Kemudian menjadi debu.

154
“Steve,” kata seorang wartawati bernama Keith, di sudut salah satu kedai kopi di kota itu.
Kursi yang saling berhadapan, terpisah jarak oleh sepetak meja bertaplak motif abu-abu
garis hitam. Kedai kopi sesudah pertengkarannya dengan Alysa. Setelah debatnya dengan
Jechungid. Setelah curahan hati Ani.. . Kedai kopi kesekian yang dikunjunginya, yang
membuatnya berpikir apakah masih ia jugalah yang harus membayar tagihannya. “Kamu
terlihat gelisah. Baik-baik sajakah?” tentunya Keith tidak hanya merasakan kegelisahan ini,
tapi juga alasannya, yang ia korek dalam-dalam sejak beberapa jam lalu. “Ya. Tidak
masalah..” kata Steve, lalu menekankan, “Bukan masalah besar.”

“Tapi Anda tahu, kan?” kata Keith, lalu mendehem. Atau terbatuk, entah apa yang bisa
membedakannya. “Seluruh wawancara adalah curahan hati, tapi menjawab adalah
pekerjaan yang lumayan berat, jadi jangan terlalu serius..” Lelaki itu mengangguk, “Ya..
Terimakasih..,” Katanya. “Bayangkan dirimu sebagai sebuah gedung pencakar langit. Jika
salah satu bagian kecil strukturnya hilang, maka menara itu tidak hanya membahayakan
dirinya sendiri..” ujar Keith sekali lagi. Steve manggut-manggut, kemudian menatap
matanya. “Tapi saya memang baik-baik saja. Tidak apa-apa.” Jangan memaksakan diri,
nasehat Keith, kemudian memberi sebuah trik relaksasi kepada Steve. Sebuah teknik
pernafasan yang dilakukan beriringan dengan mengimajinasikan tempat paling ideal, yang
selama ini hanya tersimpan di alam bawah sadarnya. Setelah itu mereka melanjutkan
obrolan, tentang masalah Steve sebelumnya yang kesulitan dalam salah satu pekerjaannya
di Sarekat Pengorganisasian Rakyat, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berlokasi di
Depok. Jadi Steve mesti bolak-balik dari kampusnya di Jakarta, ke Depok dan Depok-Jakarta
setiap hari. Wartawati itu bilang kalau ini tak usah dipaksakan. Wawancaranya bisa
menunggu, tapi kesehatan Steve tidak. Lalu Steve menyela, mengatakan bahwa ia sangat
antusias dan sudah lama bermimpi untuk diwawancara. Tapi Keith bilang, apa pun jika
dipaksakan, takkan bagus hasilnya. Lalu ia menyodorkan tangan, mereka bersalaman dan
Steve mengucapkan terimakasih dan perempuan itu bilang sama-sama, kemudian salah
satunya pamit sebelum pergi meninggalkan ruangan itu.

Keith yang punya nama belakang entahlah siapa, adalah seorang jurnalis perempuan yang
katanya selalu ingin mendengar ocehanku, dan juga sering membaca novel daripada
menikmati film adaptasi. Perempuan yang tampaknya berusia dua puluhan akhir.. . tulis
Steve di salah satu kolom jurnal digitalnya, sewaktu duduk di salah satu kursi di atas kereta

155
api listrik. Menuju rumah. Ya, bukan mengenai Alysa, tapi mengenai Keith. Awalnya dia
memang mencurigakan. Tapi ternyata dia berhasil membuat perhatian Steve tertuju
padanya. “Saya selalu membaca tulisan-tulisan temanmu.” Kata Keith sambil tersenyum
simpul, yang membuat wajah blasterannya bertambah cantik dari hari ke hari. Tapi dari hari
ke hari, ia juga masih belum bisa mewawancarai Steve. Karena kesibukan serta gangguan
kesehatannya Steve. Dan, walau pun Steve juga menemukan Keith di kedai kopi seperti
Giyanti Coffee Roastery, Onefifteenth Coffee, Ruang Seduh Kemang, Rimbun Espresso and
Brew Bar.. . Dan dari sanalah Steve mengetahui kesukaannya pada caffee au lait. Atau coffee
latte. Tapi perempuan itu lebih suka menyebutnya kahwa susu.

Selain curhat, mereka juga membicarakan sejarah keluarga masing-masing yang dimulai dari
seiris roti bakar, yang ditemukan oleh seekor semut, sejenis serangga komunis pemakan
gula, yang kebetulan saat itu sedang rapat pekerja. Setelah pembicaraan tentang seiris roti
bakar selesai, pembicaraan terus berlanjut ke dalam kisah-kisah keluarga Nabi, walau cerita
tersebut membuat Keith berubah jadi telur ayam di ujung tanduk kerbau, atau pedang.
Pedang yang tajam. Sangat tajam. Pedang dari Damaskus yang konon, adalah pedang paling
kuat dan paling tajam yang pernah ada. Karena memakai teknologi Nano, yang bahkan
ilmuwan Barat zaman sekarang tidak ada yang bisa menandinginya. Mereka juga membahas
novel romantis berjudul Romeo dan Juliet, dimana kisah itu menjadi inspirasi Keith untuk
menjadi pacar seorang atlet klewang. Menyatukan cinta antara dua keluarga yang saling
bermusuhan, yang, mungkin jika memang bisa terjadi seperti itu, Steve akan menjadikan
reinkarnasi Juliet sebagai kekasih terakhirnya seumur hidup. Atau pujaan abadi yang takkan
pernah membalas cintanya.

“Skripsimu sudah selesai?” kata Keith, tanpa ada angin dan hujan. Sebab begitulah adanya,
obrolan mereka sejak kemaren-kemaren.

Steve tersenyum dan menjawab, “Ya. Judulnya sudah diterima.”

“Oh, ya? Luar biasa..” ujarnya, “Jurusanmu apa? Aku lupa..”

“Filsafat..”

“Hmm.. Mantap.” Katanya dan melanjutkan, “Kamu UGM, kan?”

156
“Aku lupa..” kata Steve.

“Ha?”

“Sebentar.” Kata Steve, sekali lagi, “Mungkin masih ada di laptop..” kemudian memeriksa isi
ransel dan mengeluarkan laptop. Menghidupkannya. Lalu mencari-cari file tersebut di
Documents, hingga Steve menemukan: Universitas Indonesia, fakultas bla bla bla, dan
jurusan bli bli bli bli.

Keith terkekeh, “Saya malah belum baca Eka Kurniawan.. Dia novelis juga, kan?”

“Ya. Tapi aku lupa jurusannya..” kata Steve.

“Jurusannya sama denganmu..” kata Keith, seolah-olah suaranya mirip dengan suara
entahlah siapa. Suaranya berubah. Entah sengaja atau tenggorokan yang bermasalah.

“Filsafat?” kata Steve, lalu berkata dalam hati, Memang sedeng wanita ini! Eka Kurniawan
kan di UGM?

“Iya. Dia juga pernah masuk ke daftar Global Thinker of 2015..”

“Hebat, hebat.”

“Saya bawa salah satu bukunya. Corat-coret di Toilet,”

“Anda ingin meminjamkan?”

“Mungkin..”

“Berapa halaman?”

“Entahlah. Tak ingat..” kata Keith, lalu mengeluarkan sebundel buku putih dari ranselnya.
Tipis. Lumayan tipis untuk ukuran orang seperti Keith yang tampaknya termasuk pembaca
serius dan memang niat membaca. Tipis, juga lecek sudah.

“Paling pendek yang pernah Anda baca?”

“Enggak juga..”

“Buku terbaik yang pernah Anda baca?”

157
“Sepertinya begitu..” kata Keith, melempar buku Toilet itu ke meja. “Dan sepertinya juga
bukan.”

“Oh.”

“Buku lainnya ini memang belum habis kubaca, tapi sepertinya aku menemukan gaya cerita
paling otentik di novel terbarunya..”

“Ya.”

“Malam Seribu Bulan.” Jawab Keith, tanpa ditanya, lalu menggeser buku Toilet itu ke depan
Steve.

“Bacalah,” kata perempuan itu, “Aku memang membawa ini untuk meminjamkannya ke
seseorang..”

“Oh, ya. Siapa.”

“Entahlah. Barangkali ‘seseorang’ itu adalah ‘siapa pun’..”

Steve tersenyum aneh dan berkata, “Terimakasih.”

“Kau pernah jatuh cinta, Steve?” kata seorang kawannya. Seorang perempuan bernama
Kimya. Saat mereka sedang duduk berdua di pinggir sungai tanpa ikan, berminggu-minggu
lalu, atau mungkin bertahun, saat Steve masih belum kuliah, tapi entahlah. Mungkin juga
belakangan ini, saat Steve sudah libur kuliah. Duduk di pinggir sungai yang tanpa ikan,
karena mereka telah mati akibat lingkungannya tidak baik lagi. Steve yang saat itu sedang
berkunjung ke Djakawang, tidak menjawab sepatah kata pun. Hanya memperhatikan ibu-ibu
yang mencuci baju dan celana dan pakaian dalam dan jenis kain lainnya di pinggir sungai, di
seberang mereka. “Steve. Kau pernah jatuh cinta?”

“Hmm..”

“Steve?”

“Entahlah.” Jawab laki-laki itu, “Menurutmu?”

158
“Mungkin belum. Karena begitu kau jatuh cinta, kau akan sangat mudah mendapatkannya..”
kata Kimya.

“Entahlah. Kurasa tidak ada perempuan yang suka padaku..”

“Kenapa kau bisa beranggapan begitu?”

Sebelum dia menjawab, mungkin dengan menceritakan pertengkarannya dengan beberapa


orang seperti Alysa, dan ibunya, dan bibinya, dan teman-temannya yang perempuan, selain
Kimya, karena Kimya yang sebagai teman lamanya tak pantas dimasukkan ke dalam daftar,
dia memutuskan untuk menghela nafas dan berkata, “Ada sebuah puisi yang dibuat oleh
Rumi, Apabila kilat cinta telah menyambar hati yang ini // ketahuilah ada cinta di hati yang
lain..”

“Siapa Rumi?” kata Kimya, “Anak kedua dari Nazi Indonesia itu..?”

“Bukan. Bukan dia..” kata Steve, “Rumi yang ini lain. Rumi yang ini adalah sosok penyair
yang percaya pada reinkarnasi.”

“Reinkarnasi.. Kelahiran ulang itu, maksudmu?”

“Ya. Dia juga sempat bertutur, Aku bukan Yahudi, bukan Zoroaster, bukan Kristen dan bukan
pula Islam. Karena aku tahu, begitu satu nama kusebut, kau akan memberi arti yang lain
daripada nama yang hidup di hatiku.” Kata Steve, “Jadi, mungkin saja dia percaya hal-hal di
luar agamanya sendiri..”

Dengan hati-hati, Kimya bertanya, “Dia Islam?”

“Mungkin. Tapi mungkin juga dia lebih memilih hidup seperti yang aku jalani.. Tidak
terkungkung dalam satu konsep saja.”

“Jadi, kau bukan Nasrani?”

“Almarhum orangtuaku dulu Yahudi. Tapi begitu mereka meninggal, aku diasuh nenekku
yang agamanya Islam.”

“Lalu, jika kau percaya reinkarnasi seperti Rumi, apakah kau berpikir bahwa cintamu telah
mati?”

159
“Maksudmu?”

“Gadis itu sudah mati, dan kau pun menunggu kematianmu untuk bertemu dengannya di
dunia lanjutan.. Begitu?”

“Entahlah..” kata Steve, masih memperhatikan ibu-ibu pencuci kain. “Mungkin juga, ya..?”

“Bukankah segala sesuatu di dunia ini bersifat memungkinkan?”

“Dan batas-batas pengetahuan telah membutakan manusia..” ujar Steve, seperti


melanjutkan gagasan Kimya.

“Jadi, pernahkah kau jatuh cinta, Steve?”

Tapi Steve malah diam saja, hanya tersenyum melihat ke seberang sungai, tempat ibu-ibu
mengangkat kain mereka yang baru saja dicuci.

Sementara itu, Jechungid masih saja duduk di pinggir sebuah danau dan melamunkan Syams
Tabriz. “Mengapa aku bisa sekacau ini?” katanya bergumam. Lalu kembali menjulurkan
kedua kakinya ke air, seperti yang pernah ia lakukan di suatu masa, sebelum-sebelumnya,
saat ia masih kecil sampai beranjak dewasa dan menua.

Dengan tangannya, kemudian ia menciduk air itu dengan sebelah tangan, dan membasahi
wajahnya, mencuci muka. Ia memang pernah berniat untuk melompat ke dalam air, dan
membiarkan dirinya tenggelam, dan kalau beruntung, sesuatu seperti roh di dalam cerita
Telekineter, merasukinya, dan membuat raganya melesat ke arah langit. Mungkin seperti di
cerita Telekineter, mungkin juga seperti di cerita film kartun Avatar the Legend of Ang.

Jechungid memang masih di danau itu. Karena tak ada kejadian yang besar, yang terjadi dan
mengganggunya. Tidak ada kenyataan bahwa Pierce Brosnan itu memang ada dan
menghampirinya. Juga tidak Vellesa Azephi, yang datang tanpa tedeng aling-aling begitu
Pierce Brosnan menyapa Jechungid. Karena mereka memang tidak ada. Yang ada hanyalah
perempuan itu, dirinya sendiri, yang menyendiri di pinggir danau nan dipayungi oleh langit
mendung seakan mau hujan. Tapi tidak. Tidak ada satu pun sejak tadi, walau mendung itu
sudah menggantung sejak pagi.

160
Maka Jechungid mengambil kotak rokok Lucky Strikenya, mengeluarkan sebatang dan
membakarnya dengan pemantik mekanik yang dikeluarkannya dari tas Tea with Ami.
Sebuah pemantik berwarna merah jambu, yang mengingatkannya dengan buku lelucon
Marmut Merah Jambu karangan Raditya Dika. Seorang yang pernah ia cintai selain Daniel
Craig, selain Kurt Vonnegut, selain Kahlil Gibran dan selain Kurt Cobain. Selain Eka
Kurniawan.. . Apakah Jechungid menyukai Eka Kurniawan? Mungkin tidak.

Eka Kurniawan memang pintar mengolah kata-kata. Bahkan tak hanya kata-kata, ia juga
seorang master gagasan di Indonesia. Bisa jadi, selain Pramoedya Ananta Toer, Eka juga
seorang murid dari Rendra, selain tokoh-tokoh yang disebutnya seperti Abdullah Harahap
yang ahli membuat novel horor populer, dan selain Kho Ping Hoo yang menyajikan lekuk-
lekuk bahasa aksi. Bisa jadi. Mengapa tidak? Eka bahkan mungkin juga murid dari Wiji
Thukul, paling tidak secara semangat yang penyair itu turunkan ke berbagai pemuda kritis di
masa Orde Soeharto.

Sebuah pemantik merah jambu. Yang terkadang itulah warna yang disajikan langit kepada
bumi saat senja. Walau hanya segelintir orang yang menyaksikan merah jambu langit, tapi
setidaknya Jechungidlah, salah satu dari segelintir orang-orang itu. Dan, begitu ia membakar
sebatang Lucky Strike, ia teringat pada Vellesa Azephi. Apakah Vellesa Azephi adalah Syams
Tabriz yang dia maksud? Mungkin. Mungkin juga tidak. Karena lumayan juga jumlah
penggemar Syams Tabriz yang misterius itu, sejak Eka Kurniawan menulis sebuah cerpen
untuk Jakarta Post mengenai anak muda yang bertemu Nabi Khidir. Dan inilah salah satu
kutipan yang Jechungid suka;

Dan di titik akhir, sesaat sebelum cerita ini diakhiri, Nabi Khidir berkata kepada Si Anak
Muda, “Tak penting apakah akulah Syams Tabriz, atau justru kau yang Syams Tabriz. Yang
penting adalah, dimana Sang Rumi?”

Kemudian Nabi Khidir pergi, berjalan, dan menghilang. Di saat si anak muda masih tak
percaya, bahwa ia baru saja bertemu seorang nabi. Maka ia pun mencubit-cubit tangannya,
dan berkata, “Sialan! Kukira kau hanyalah imajinasi psikotik kegilaanku saja!”

Tamat.

161
Itu. Salah satu cerita yang membuat Jechungid agak percaya, dengan konsep reinkarnasi.
Apakah masalah Buddha atau Hindu atau Jainis atau bukan, itu tidak dipermasalahkannya.
Jechungid lumayan kalem dalam menghadapi urusan semacam ini. Terkadang, ada orang
yang menanyakan, “Mengapa kamu menganggap remeh hal-hal semacam ini?” maka
menjawablah Jechungid, “Semua hal di dunia ini adalah mimpi, begitu kata seorang filsuf
yang kubaca.”

Tapi orang semacam itu pun bertanya lagi, “Yang kau baca? Heh! Mengapa harus percaya
pada buku? Mengapa tidak kepada kitab suci saja??”

“Buku adalah perkataan yang dipikirkan matang-matang. Apalagi jika buku itu ditulis oleh
seorang yang sungguh-sungguh, dan kemudian dibaca banyak orang.”

Sementara itu, Ani atau Annelies atau yang bernama lengkap Annelies Mellema binti John
Doe, sedang menyusuri salah satu tempat di Yogyakarta dengan ojek online. Dia tak mampir
di Malioboro, tidak makan sedikit pun di Wijilan, tidak membeli rokok Marlboro.. . Yang
terakhir ini memang tak biasa dilakukannya, sebab dia bukan perokok. Walau dia bukan
termasuk orang yang anti tembakau. Karena dia berada di antara dua sisi zaman ini,
merekaism yang pro dan yang antipati. Terhadap tembakau, terhadap presiden, terhadap
misionaris. Walau merekaism-merekaism tersebut sangat bertentangan, mereka tak bisa
menemukan inti dari perpecahan ini. Sedangkan Annelies mengerti, sebab dia membaca.
Bukan hanya novel, tetapi juga ilmiah. Bukan hanya rasio, tapi juga perasaan. Bukan hanya
teks, tetapi juga observasi. Dia tahu, bahwa ini semua hubungannya adalah politik luar
negeri.

“Indonesia adalah pusaran air..” katanya, pernah, ke teman satu kampus yang duduk di
sebelah kiri Annelies.

“Oh, ya?” sahut Jelly, pecah konsentrasi. Mereka sedang duduk mendengarkan ceramah
mengenai salah satu teori allopathy terbaru, yang diisi oleh seorang dosen tamu dari
Cambridge University. Profesor Upiek Resni.

162
“Ya, bukti umum yang sering kita jumpai, banyak akademisi sangat profesional yang justru
bekerja di luar negeri..”

“Ya, ya..” kata Tom, yang duduk di barisan depan Annelies. “Salah satunya dia, kan?” kata
Tom sambil menunjuk ke arah Profesor Upiek Resni.

“Konon, nama ‘Upiek’ itu nama khasnya orang West Sumatra..” kata Aldo, yang kebetulan
duduk di sebelah kanan Annelies.

“Perlu digali lebih dalam mengapa sampai ada dosen yang enggak pernah pulang
kampung..” kata Efendi, nan duduk di samping kiri Tom.

“Mulai lagi..” kata Aldo.

“Apanya yang mulai lagi?” kata Efendi.

“Khayalanmu! Khayalanmu, Efendi!” kata Jelly, lalu berdiri dan menjitak kepala Efendi.

“Sadar! Sadar..!” kata Tom, mengguncang-guncang bahu Efendi.

“Iya.. Iya..” kata Efendi, lalu menoleh dan terdiam menatap Annelies.

Annelies yang setengah memperhatikan Prof Upiek, setengah mengamati tingkah kawan-
kawannya, dan setengah melamun, setengah sadar. Lalu benar-benar melamun. Menatap
jauh entahlah kemana. Menembus kemeja batik yang dikenakan Prof Upiek, yang tanpa
jubah putih, menembus dinding terdepan gedung auditorium di kampusnya, jauh keluar
jendela dan jauh keluar daerah Fakultas Kedokteran. Apakah ia masih memikirkan Vellesa
Azephi, dan mencintai, dan merindui?

Sementara itu, ya, sementara itu. Seorang laki-laki tengah tersesat di balik kabut, berjalan
menelusuri kabut tersebut tanpa pernah tahu kapan ia berhasil keluar. Dia yang berkeringat
karena perjalanan ini terlampau jauh, dia yang kedua kakinya telah berbengkak dan merah-
merah, dia yang merindukan diri untuk pulang, dia yang ingin segera bertemu siapa pun
selain dirinya sendiri. Dia, Vellesa Azephi.

163
Kabut. Yang hanya menampakkan bayangan samar-samar dari siluet pepohonan, yang sekali
pun ditempuh, takkan tercapai sebatang pohon pun. Vellesa Azephi cemas, Vellesa Azephi
ketakutan. Tak pernah dia sengeri ini, sebab sedari dulu tak ada yang pernah berhasil
menakutinya. Tidak kematian, tidak juga kehidupan. Tapi, jikalau ia memang harus tinggal di
disini, di tengah kabut ini.. . Rasanya itu memang tak masuk akal.

Tapi kemudian ia teringat Kak Guru, perempuan yang selalu berpesan padanya supaya
membaca Al-Qur’an dan berkontemplasi di saat-saat segalau ini. Lalu dia teringat ibunya,
yang selalu menyuruhnya untuk mengingat Tuhan, hanya Allah! Jika keadaannya, apa pun,
sesulit apa pun. Maka ia mengingat Tuhan dengan caranya sendiri. Bukan berdoa, bukan
berwudhu, bukan sembahyang. Dia mengingat Tuhannya, dengan hanya mengingat dengan
ingatannya. Tuhan yang selama ini mengembuskan rohNya ke dalam dadanya, sewaktu
belum dilahirkan. Tuhan yang menyelamatkan hidupnya ketika dilahirkan. Tuhan yang
memberinya pengetahuan. Tuhan yang memberinya makan, minum, pernafasan yang baik,
dan berbagai cara untuk menikmati hidup. Tuhan yang mempertemukannya dengan orang-
orang baik seperti Seniman Musiman, Jechungid, Emile Rezam, Emil Krystal, Kak Guru,
Master Lis, Master Ai, ibunya, Annelies Mellema.. .

Apakah bencana ini terjadi karena ulahnya ke Annelies? Dia berpikir-pikir. Hingga kemudian,
kabut mulai menyusut, melapangkan daerah itu. Menampakkan pepohonan-pepohonan
yang nyatanya lebih dekat daripada siluet-siluet tadi. Kemudian, akhirnya, Vellesa Azephi
bergegas keluar dari pepohonan itu, berlari, sambil berhati-hati agar tak tersandung
bebatuan atau akar-akar pohon. Dan, ya! Akhirnya dia berhasil keluar. Dia menemukan jalan
raya antar provinsi. Menemukan truk-truk yang lalu lalang. Dan berhasil menghentikan salah
satunya dan bertanya apakah ia bisa menumpang? “Kemana, Dik?” kata Sang Bapak Sopir
Truk, sambil memperbaiki kaca spionnya. Vellesa termangu, dia melihat sekeliling tempat
ini, yang asing, yang sama sekali tak dia kenali.

“Ini daerah mana, Pak?”

“Mau kemana, Dik?” kata Sang Bapak Sopir Truk, mengulang pertanyaan.

“Enggak tahu..” jawab Vellesa, lebih seperti anak kecil. Dia tak tahu menahu mengenai apa
pun daerah ini.

164
“Oke, ikut saja dulu. Nanti diatur.” Kata Sang Bapak Sopir Truk.

Vellesa Azephi duduk di sebelah Sang Bapak Sopir, yang menyetir sambil membunyikan lagu
Camelia 1 nyanyian Ebiet G Ade, yang membuat Vellesa Azephi teringat dengan saat-saat
dirinya membaca salah satu novel Eka Kurniawan, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar
Tuntas. Kemudian di salah satu perempatan jalan, Sang Bapak Sopir menghentikan laju
truknya. Dan mencomot sekotak Djarum Super dari atas jok kemudi. Mengguncangnya, lalu
melemparnya ke jalan, tak takut dengan adanya polisi pengawas lalu lintas yang kalau-kalau
ada. Lalu dibukanya laci kecil di dekat radio, dan mengambil sekotak Sampoerna Hijau.
Menarik sebatang dan menawarkannya ke Vellesa Azephi.

Kemudian tampak bibirnya menjepit sebatang Sampoerna Hijau yang diambilnya,


membakarnya kemudian. Mengisapnya, menyesapnya pelan-pelan. Vellesa Azephi juga
begitu, karena Sampoerna Hijau adalah rokok kesukaannya, atau setidaknya, pernah
menjadi rokok kesukaannya. Mungkin karena dia berpikir untuk mencoba Djarum Super,
sebab baru mendengar bahwa merk itu adalah merk kesukaan Rendra. Lalu, alih-alih
memikirkannya lebih lanjut, Vellesa Azephi malah mendengar celoteh Sang Bapak Sopir
yang berbicara panjang lebar soal pemerintah zaman sekarang, dan soal kemungkinan-
kemungkinan selanjutnya bagi Indonesia.

Selanjutnya, lagu Ebiet G Ade tadi dilanjutkan dengan Derai-derai Cemara oleh Banda Neira
atau entahlah siapa. Vellesa Azephi tahu siapa yang menyanyikan. Sedangkan Sang Bapak
Sopir lebih tertarik ke liriknya yang merupakan adaptasi puisi Chairil Anwar, sesaat sebelum
penyair terkenal itu meninggal. Ya. Sang Bapak Sopir sebenarnya tak bisa diremehkan, ia
membaca lebih banyak daripada sopir-sopir lain. Ia juga suka lagu-lagu David Bowie, Little
Willie John, Frank Sinatra dan Within Temptation. Yang terakhir ini mungkin terdengar aneh.
Tapi apabila Vellesa Azephi sadar bahwa ini tahun berapa, ya wajar saja ada penggemar lagu
Within Temptation yang sudah berumur.

Sesaat, Vellesa Azephi memikirkan nasib skripsinya. Sudah berapa lama sejak ia pergi ke
Djakawang, bertemu Naoko dan Seniman Musiman, lalu tersesat ke entah berantah. Dan
tidak menyangkut-nyangkuti diri ke soal-soal itu. Termasuk sayembara berhadiah 20 juta itu.

165
Vellesa Azephi melamun, Vellesa Azephi terdiam. Lalu tertidur. Mungkin capek karena
sepanjang waktu belakangan ini dia hanya berjalan kaki dan terus berjalan kaki. Lalu, apakah
di dalam mimpi-mimpi selanjutnya dia menemukan jalan untuk pulang?

Saat Vellesa Azephi tertidur, Sang Bapak Sopir Truk mematikan lagu-lagu MP3 di radionya,
kemudian menyalakan siaran. Dan di siaran itu, dia mendengar berita tentang
perkembangan novel yang akan segera diadaptasi ke layar lebar, novel berjudul Membunuh
Misionaris. Dan proyek film tersebut menggelar audisi terbuka untuk calon-calon aktor dan
aktris muda. Lalu, karena mendengar ini, Sang Bapak Sopir Truk yang melihat wajah tampan
Vellesa Azephi, berinisiatif saja untuk mencalonkan anak muda ini menjadi salah satu calon
pemain. Kebetulan, daerah yang mereka tuju saat ini, berdekatan jaraknya dengan kota di
tempat salah satu cabang tempat diadakannya audisi tersebut.

Malam hari, ketika truknya melewati suatu kedai, bukan kedai yang bagus dan bergaya,
tetapi kedai yang biasa-biasa saja dan cenderung tradisional karena dibangun dari papan-
papan kayu. Sang Bapak Sopir Truk menghentikan lajunya. Dia membangunkan Vellesa
Azephi dan menyuruhnya turun. Bukan untuk mengusirnya, bukan untuk mengakhiri
perjalanan ini. Melainkan untuk membicarakan sesuatu, dia berkata. Maka turunlah Vellesa
Azephi, dan mereka berjalan ke kedai tradisional itu. Sang Bapak Sopir Truk memesan dua
cangkir kopi untuk mereka berdua, dan sekotak Djarum Super, demi melanjutkan perjalanan
beberapa jam lagi.

Televisi di kedai itu, yang menampilkan iklan-iklan tak bermutu khas Indonesia, seperti iklan
sabun, iklan pemutih kulit, iklan parfum, bumbu masakan, kecap.. . Hal-hal yang kebanyakan
tidak dibutuhkan oleh para pengendara. Dan kemudian menayangkan sesuatu yang menarik
perhatian semua orang, hampir semua orang, di dalam kedai. Di dalam televisi, sesuatu
yang besar sedang terjadi.. .

Di dalam kedai mereka menonton, di dalam kedai mereka terhubung. Tetapi tidak bagi
Vellesa. Dia duduk di luar kedai, memilih disana sebab tidak tahu harus melakukan apa. Atau
lebih tepatnya, tidak punya uang untuk membeli apa pun di dalam kedai. Dan kopi yang
dipesankan Sang Bapak Sopir Truk sudah hampir habis. Sang Bapak Sopir Truk juga

166
mengajaknya masuk ke kedai, tetapi Vellesa tidak melakukan apa pun selain duduk di
pinggir jalan. Vellesa duduk disana dan merasakan angin malam yang berhembus dingin,
namun kering, tapi lebih karena perasaannya yang suntuk karena meninggalkan sholat
Maghrib dan tidak ada masjid untuk sholat Isya. Dan tampaknya, orang-orang di kedai selain
Bapak Sopir Truk, mengonsumsi tuak, bir, air nira dan rokok ganja. Sudah tentulah mereka
tak sholat, dan mungkin karena itu juga Vellesa tak mau bergabung dengan mereka.

Meski, seorang sufi terkenal pernah berkata, “Jika kau sudah sampai di tahap syariat, ikuti
saja perasaanmu. Walau pun harus masuk ke kandang singa.” Entah siapa yang berkata
seperti itu, ingatannya tentang sufi terkenal itu terasa samar-samar. Sufi terkenal itu berada
di antara ada dan tiada. Atau, mungkin memang ada sufi yang berkata seperti itu, tapi
mungkin kata-katanya tidak persis seperti itu, atau mungkin juga sufi itu tidak seterkenal
sosok di pikirannya. Maka, Vellesa pun mengeluarkan sekotak Sampoerna Hijau yang sudah
agak remuk dan tinggal tiga batang, membakar salah satunya, yang rupanya sebatang nan
hampir patah. Ia teringat Bung Karta, yang walau pun sebenarnya tak pernah ada, dan tak
pernah menghutang uang Highway padanya, dan meski pun itu adalah teman imajinasinya
saja, ia teringat Bung Karta. Yang jika mendapati sebatang rokok hampir patah, akan benar-
benar dipatahkannya sebelum dia bakar-hisap.

Sewaktu Vellesa baru saja mematikan Sampoerna Hijaunya, dan masih sedang dalam
lamunannya ke jalan pulang, serta sederet pertanyaan tentang dimanakah tempat ini, Bapak
Sopir Truk mendatanginya. Mereka terlibat percakapan santai, namun sedikit serius dan
dewasa. Percakapan khas laki-laki. Tentang apakah Vellesa, setelah sebelumnya mengetahui
nama Vellesa terlebih dulu, dan Bapak Sopir Truk hanya mendengar tanpa membalas
menyebutkan nama, lalu apakah Vellesa kuliah atau bekerja. Dan akhirnya sampailah ke
cerita apakah Vellesa sudah punya pacar. Vellesa bertanya, “Kenapa? Apakah Bapak punya
calon untuk saya?”

Bapak Sopir Truk tertawa, “Tidak.. Belum. Tapi akan dengan mudah kau mendapatkannya.”
Katanya, “Setelah ini. Sebentar lagi..”

“Ha?”

167
“Ya. Sedikit lagi, kau akan dikelilingi wanita cantik-cantik..”

“Maksud Bapak?”

“Hehe.. Ya, tepat seperti yang kamu pikirkan.”

Vellesa kemudian teringat sahabatnya, Stephen Caeross, ketika ia menyangka bahwa Steve
bisa membaca pikirannya.

Tapi kemudian Vellesa memilih diam. Tidak menjawab atau berkata apa pun. Ia bangkit dari
tempat ia duduk, mengambil cangkir kopi yang tinggal ampasnya saja, lalu mencoba
merogoh isi sakunya dalam-dalam. Tapi kemudian Sang Bapak Sopir Truk berkata bahwa ia
sudah membayar kopinya, dan kini saatnya mereka berangkat. Sebab Vellesa harus
bergegas kesana. “Kemana?” kata Vellesa. “Ke Djikiwing.”

“Ha?” kata Vellesa, tempat macam apa itu? Yang berani-beraninya mencomot nama daerah
Indonesia, yang seserius itu diadaptasi dari buku terkenal, lalu diubah saja huruf hidupnya
ke huruf hidup lain.

Kemudian masing-masing dari mereka membuka pintu, dan naik ke truknya Sang Bapak
Sopir, suara knalpot dan getaran mesinlah, yang meramaikan suasana malam jam 22.01 ini.
Tanpa Vellesa teringat kepada sholat Isyanya, dan juga sholat Maghribnya. Dan entah
apakah dia juga akan lupa sholat Subuh yang sudah masuk waktu di sekitar tujuh jam lagi.

Vellesa kebanyakan melamun di dalam truk, sesekali Sang Bapak Sopir melihatnya dengan
ragu. Ingin bertanya, sebenarnya, tentang apakah Vellesa memang seringnya melamun dan
diam dan tidak membicarakan apa pun. Tapi sesuatu yang entahlah apa membuat Sang
Bapak Sopir juga ikut diam, seolah pekerjaan mengemudikan truk lebih sulit dan akan jauh
lebih sulit jika dirinya diajak ngobrol. Meski sebenarnya dia akan mengantuk, dan tertidur,
lalu membahayakan mereka berdua jika Vellesa tidak mengajaknya mengobrol. Maka radio
itu dihidupkannya lagi, menyetel beberapa kali dan menemukan siaran yang pas.

‘Tapi sebesar itukah dosa mereka, sehingga harus mendapat hukuman mati?’ kata
pendakwa di film The Shawshank Redemption, film Hollywood mengenai dua orang yang
berzina. Aku merasa agama Kristen terlalu ringan dan lapang mengenai para pendosa yang
168
menyetubuhi orang yang bukan hak resminya. Maka aku tak setuju, dan merasa sudah
cukup bagiku untuk menjadi seorang Kristen. Persetubuhan adalah hal paling khusus, dan
harus disiapkan sedemikian rupa dengan jenjang pernikahan, karena persetubuhan memang
momen cinta yang teramat sangat spesial.” ujar seseorang narasumber, di salah satu stasiun
radio. Dia, Sang Penulis Hantu.

Mereka sedang membicarakan tentang latar belakang novel Membunuh Misionaris. Acara
ini memang sengaja disiarkan di stasiun radio, dan di radio saja. Sebab ada banyak sekali
merekaism di Indonesia, yang tak suka dengan dia. Salah satu penyebab yang diketahui
semua orang, adalah novel Membunuh Misionaris, yang sangat-sangat menyinggung SARA,
walau sebenarnya orang-orang tidak mengetahui alasan sebenarnya novel ini ditulis. Dan
apa hubungan Emil Krystal dengan novel ini, dan sebagian besar memang tidak tahu dan
tidak kenal dengan Emil Krystal, sebab selama ini hanya dianggap sebagai suami yang pergi
menghilang dari istrinya. Lagipula, berita kehilangan suami seperti itu pun hanya tersebar di
koran lokal di Djikiwing saja, eh, Djakawang saja.

“Lalu, Anda memutuskan untuk hengkang dari dunia gereja?” kata sang wartawan yang
bertanya ke Penulis Hantu, “Dan karena itu Anda masuk ke agama Islam?”

“Bukan hanya itu,” kata Sang Penulis Hantu, “Ada banyak intrik dan konspirasi di dunia
gereja. Yang tidak kuat dengan doktrin, mereka akan kalah.”

“Hanya karena itu?”

“Ya. Kutekankan sekali lagi, yang tidak kuat dengan doktrin akan kalah. Di gereja, terdapat
semacam persaingan yang bisa kita temukan di dunia kerajaan. Di kerajaan, para pelayan
perempuan berlomba-lomba menjadi yang tercantik. Dan kalau bisa, lebih cantik daripada
permaisuri. Lalu dengan mudahnya mereka akan menjadi selir, lalu setelah permaisuri jatuh,
mereka yang akan menggantikan..”

“Jadi..?”

“Bukan itu saja.” jawab Sang Penulis Hantu, setengah tertawa. “Aku tidak setuju dengan
konsep pajak gereja, yang begitu kubandingkan dengan zakat di agama Islam, justru zakat
terasa lebih manusiawi, karena kita diberi kehendak bebas. Bebas menentukan kepada siapa

169
kita menyalurkan harta benda.. Ke fakir miskin, misalnya. Sementara pajak gereja, umumnya
hanya diperuntukkan kepada, tanpa mengurangi rasa hormat dan solidaritas, pekerja
gereja.” Katanya lagi, “Ya. Saya lebih setuju mereka disebut pekerja gereja daripada pastor
atau suster. Istilah pekerja gereja terasa lebih netral..”

“Netral dalam konteks?”

“Gender. Dan terasa lebih masuk akal jika kita lihat hakekatnya.”

“Lalu, karena itu Anda memutuskan untuk menentang para misionaris?”

Dia terkekeh lagi, sebelum akhirnya menjawab, “Saya memang kurang suka dengan konsep
misionaris. Apalagi yang memaksa. Saya juga tahu, bahwa jika seorang muslim berhasil
dijadikan murtad dan berpihak ke gereja, misionaris yang bersangkutan akan langsung
mendapatkan hadiah, semacam kredit poin..”

“Lalu, bagaimana dengan konsep da’i? Bukankah di Islam juga ada konsep seperti
misionaris?”

“Ya. Tapi tidak memakai sistem hadiah. Hanya pahala dari Tuhan. Bukan uang. Uang
menurut saya, sangat duniawi. Dan sekali lagi, kewajiban menyetor harta benda itu
semestinya, dan seharusnya, sangatlah bersifat membebaskan.. Jika kita boleh menyetornya
kepada orang yang kita pilih, itu akan terasa meringankan.”

“Boleh saya tanya sesuatu yang spesifik?”

“Ya. Silakan.”

“Apakah Anda dulu termasuk orang yang sering ke gereja?”

“Ya! Tentu saja. Saya sering merasa berdosa, dan setelah melakukan perbuatan dosa, saya
akan langsung ke gereja dan meminta ampun, dan tentu, membayar dengan uang.”

“Sekali lagi, yang spesifik. Apakah Anda komunis?”

“Komunis? Mungkin tidak. Tapi terserah, menurutmu, saya ini apa?”

“Saya tahu, ada banyak muslim yang menentang Marxisme. Tapi juga banyak muslim yang
setuju dengan konsep itu..”

170
“Ya. Itu benar. Mereka yang muslim, yang menentang Komunisme, karena mereka tahu
Marx bukan orang yang percaya Tuhan. Tapi lebih tepatnya begini: jika Marx mengenal
Islam, tentu saja ia akan mengikuti kami, karena banyak hal di dalam Islam yang sehaluan
dengan Komunisme. Dan kurasa, Nabi Muhammad itu sangat-sangat Marxis..”

“Jadi, Anda memang seorang komunis?”

“Entahlah. Menurutmu?”

40: Para Imigran dari Afrika Selatan

“Mengapa Anda justru menanyakan pendapat saya? Bukannya saya yang seharusnya
mendapat jawaban?” kata sang wartawan.

Sebelum Sang Penulis Hantu itu menjawab, Sang Bapak Sopir langsung mematikan radio.
Lalu menyetel kembali lagu Derai-derai Cemara. Lagu itu membuat ia kembali tenang,
setelah merasakan ketegangan karena proses wawancara itu, dan karena ia tak tahu agama
Vellesa Azephi, yang ketika ia dengar nama pemuda itu, Vel-le-sa A-ze-phi, yang agak asing
atau bahkan terlalu asing di telinga orang-orang Indonesia, dan sama sekali tidak berbau
Arab. Takut kalau pemuda ini tersinggung. Dan karena Vellesa Azephi telah kehilangan tanda
sholatnya, yang kosong melompong di wajahnya nan agak kusam. Bau keringatnya pun
menambah ragu Sang Bapak Sopir, karena tidak pernah ia temukan orang yang langsung
melaksanakan sholat tanpa parfum atau wangi-wangian terlebih dulu.

“Dik,” maka ia berkata.

Vellesa masih diam dalam lamunanya.

“Dik?” maka ia berkata lagi.

“Ya?”

“Kamu sholat?”

“Belum. Maghrib tadi malah lewat..”

“Oohh.. Kenapa tidak bilang dari tadi?” kata Bapak Sopir, “Kalau mau, tadi bisa sholat di
warung..”

171
“Hmm.. Sebenarnya memang lagi malas, Pak.”

“Kok malas?”

“Bapak sendiri?”

“Saya memang enggak sholat,”

Vellesa manggut-manggut.

“Bapak orang mana?”

“Kampungnya?”

“Iya..”

“Afrika.”

“Ha? Beneran?”

Sang Bapak tertawa, “Enggak.. Saya orang Medan.”

“Medan perang?”

Sang Bapak tertawa lagi, kali ini lebih keras. “Bukan. Sumatra Utara.”

“Oohh.. Tapi saya tidak pernah dengar aksennya..”

“Ya, karena saya bukan lahir di Medan. Saya lahir di Bantul.”

“Yogyakarta?”

“Begitulah, kira-kira..” katanya, kemudian melanjutkan, “Tapi kakek saya memang ada yang
dari Afrika.”

“Tapi bukan karena itu, kan, kulitnya hitam?”

“Ya, bukan. Waktu kecil saya dilahirkan putih, tapi tidak terlalu putihlah.. Kira-kira seperti
kamu..”

“Kulit saya, mah, begini-begini saja..”

“Oh, ya? Bukan karena anak rumahan?”


172
“Enggak juga. Saya justru sering berpergian..”

“Hmm.. Kakek saya memang dari luar, Afrika Selatan.. Beliau dan saudara-saudaranya
membangun permukiman di pinggir Kulonprogo, tepat setelah bandara itu dibangun.”

“Ngomong-ngomong, Bapak agamanya apa?”

“Saya? Sulit dibilang agama saya.. Orangtua saya bukan orang yang suka pergi ke gereja atau
ke masjid..”

“Jadi?”

“Parbegu.”

Sebenarnya, sulit bagi Vellesa untuk percaya bahwa Sang Bapak Sopir yang sepertinya
paham dengan agama, memilih untuk tidak mempercayai agama mana pun. Jika ada
kemungkinan lelaki itu mengikuti orangtuanya, menyembah sesembahan para nenek
moyang, yang, mungkin bisa disebut sebagai pilihan yang sesat, Vellesa lebih memilih untuk
tidak membahasnya. Bukan karena Vellesa tidak suka, atau menghindari perdebatan, tetapi
cara Sang Bapak Sopir menjawab tadi, yang membuat Vellesa agak segan untuk
melanjutkan.

“Jadi, Bantul, ya..”

“Ya.”

“Kenal Rimbo?”

“Rimbo?”

Vellesa terdiam sesaat, mungkin bukan karena merindukan sahabatnya, yang tak pernah
dikunjung-kunjungi lagi, tapi karena dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Tentang
memangnya siapa saja yang mengenal Bang Rimbo, yang bahkan mungkin satu-satunya hal
yang tak pernah diceritakannya ke Seniman Musiman. Orang yang mengenal Bang Rimbo,
paling-paling cuma seniman ketoprak yang dipanggilnya Pak Bakir. Dan seniman-seniman
senior lain, yang memilih tidak menginjakkan kaki ke dunia selebritas, kecuali seorang aktor
dan cerpenis bernama Hakim Sarmin. Seorang laki-laki berambut panjang yang menjabat
sebagai penulis sebagian besar skenario untuk dimainkan Gandrik, sebuah kelompok teater

173
yang lumayan bergengsi. Ya, Hakim Sarmin lumayan aktif di sosial media, dengan follower
Instagram yang terdiri lebih dari satu juta akun pengguna. Entah kalau ditambah akun palsu.

“Entahlah. Mungkin kenal..” jawab Sang Bapak Sopir, kemudian membelokkan truk ke
pinggir jalan. Memberhentikan lajunya.

“Kenapa?”

“Mobil Bank..”

Vellesa, yang hanya melamun sejak tadi, tidak tahu menahu soal mobil bank, atau apa saja
yang melewati dan berpapasan dengan mereka. Tapi kemudian, secara tiba-tiba, ada
sesuatu yang membuatnya agak terkejut. Sesuatu yang janggal. Yang membuatnya gelisah,
dan sepertinya takkan bisa tidur malam ini. Ya, sepertinya tidak bisa. Dan pastinya tidak
akan mendapat mimpi untuk mengetahui secuil apa yang akan terjadi. Mungkin karena kopi
tadi. Atau. Atau.. . Ya, akhirnya dia menyadari. Bahwa Vellesa Azephi belum minum obat.
Bahwa Vellesa Azephi lupa minum obat. Sedangkan sekarang sudah lewat berjam-jam sejak
pukul 22.01, dan mungkin ia akan susah tidur. Dan sekian lagi dari berbagai indera keenam
yang akan mendatanginya, lalu membuatnya kalang kabut.

Sang Bapak Sopir tidak menyadari, bahwa diamnya Vellesa Azephi bukanlah diam yang
biasa. Vellesa telah terbang, meragasukma, entah ke suatu tempat yang jauh. Atau tetap
dalam jarak yang dekat. Tapi meragasukma tetaplah meragasukma, jika seorang manusia
yang tak terbiasa melakukan semacam perjalanan ruh tersebut, dia takkan kembali. Maka
tubuh Vellesa harus menunggu dan terus menunggu tanpa adanya kepastian. Kemudian
terkikis, dan membusuk.. .

Vellesa Azephi awalnya tak tahu, bahwa jiwanya sedang meragasukma. Entah bagaimana
bisa terjadi, sebuah perjalanan ruh tanpa adanya persetujuan dari alam pikiran sadar.
Hingga ia akhirnya pun menyadari, bahwa ia tengah berpapasan dengan hantu-hantu dan
iblis-iblis yang tak pernah secantik kelihatannya. Dan saat itulah, ia berpapasan dengan
seekor kuntilanak, bergigi tajam dan panjang-panjang, berkuku tak pernah dipotong dan

174
kotor, kulit kering tak terawat, dan suara angin yang berasal dari kata-katanya. Vellesa mulai
berpikir bahwa hantu-hantu memang menyeramkan. Meski ia tak tahu apakah hantu-hantu
itu bisa apa terhadapnya.

Tapi mungkin bisa.

Dalam kondisi seperti ini, yang tanpa jasad, seikat pocong pun akan mampu menghabisi
Vellesa Azephi. Dan karena itu Vellesa memutuskan kabur, melarikan diri secepat mungkin
dalam rasa-rasa takut pertamanya. Sebab sejak kecil, ia memang tak pernah merasakan
takut, sebab ia pernah bertemu roh Tan Malaka yang tersenyum sambil membacakan buku
Madilog untuknya. Bahwa kita sebagai manusia tak boleh merasakan takut kepada mahluk-
mahluk, sebab rasa takut itulah, yang semakin mengentalkan feodalisme nan kemudian
menjadi semena-mena. Keabadian status raja. Kesengsaraan terus-menerus untuk rakyat
jelata. Tapi kini, perasaan takut itu ternyata sudah tak mampu dibendung lagi. Entah
mengapa, memang, entah mengapa. Vellesa sangat takut, lalu berusaha berlari kembali ke
jasadnya semula.

Tapi, di tengah perjalanannya kembali, sekelompok orang mati melesat menghadang Vellesa
Azephi. Dengan ketakutan yang teramat sangat, Vellesa Azephi terkepung oleh mereka.
Hingga, mau tak mau ia bukan menutup mata lalu berjongkok sambil melindungi kepalanya.
Tetapi bertanya dengan kegentaran yang disembunyikan, “Mau apa kalian?”

“Kami roh-roh yang ingin menuntut balas.”

“Kepadaku? Apa salahku??”

“Tidak. Bukan kepadamu, Anak Muda. Tapi kami tetap memerlukanmu untuk menuntut
balas..”

“Melampiaskannya padaku??”

“Bukan.”

“Lantas?”

“Kami ingin kau membunuh orang ini.” kata salah satu dari mereka, yang kemudian
mengeluarkan selembar foto. Foto yang diisi dengan satu wajah yang terbelah dari dua

175
orang. Wajah yang mengingatkan Vellesa Azephi pada sosok Two Face, salah satu tokoh
jahat di film Batman.

Tapi itu bukan siapa-siapanya Batman. Melainkan potongan wajah kiri Jamis Bond dan
wajah kanan, seseorang, yang tak terlalu ia ingat. Yang masih di ujung lidah. “Merekalah
yang membunuh kami semua, dengan aksinya yang sok heroik, menembak-nembakkan
pistolnya, meledakkan rumah kami.. Setelah sebelumnya menculik anak-anak perempuan
kami, yang entah dimana saat ini..”

Seorang hantu lain, menambahkan, “Aku tahu. Dia menculik Alysa, Grey dan Jane untuk
diperkosa.”

“Lalu mereka dijual ke pasar budak.” Kata yang lain. Meski Vellesa masih meragukan itu,
sebab saat ini sistem budak sudah dihapuskan, walau ada kemungkinan sistem budak
dihapuskan hanya untuk sementara waktu.

“Kami orang-orang dari Afrika Selatan. Kau kenal dengan cucu kami. Dia orang terdekatmu
saat ini.”

“Siapa?”

“Lelaki yang duduk di sampingmu..”

Lelaki yang duduk di sampingmu.. .

Suara itu terngiang, merasuk dalam samar di kepala Vellesa Azephi, lalu menghilang dengan
meninggalkan gema. Sampai Vellesa Azephi tersadar, bahwa dia sedang duduk dalam
keadaan baru terbangun, atau tersadar, dari sebuah lamunan atau sebuah mimpi. Apakah
dia tertidur? Mungkin. Tapi mungkin juga dia tidak tertidur, tapi benar-benar melepaskan
raganya untuk berkelana secara tak sadar.

“Baru bangun?” kata Sang Bapak Sopir Truk, dengan sebelah tangan menyentuh kemudi dan
sebelah lagi mengelap keringatnya dengan handuk merah jambu.

“Entahlah. Aku bahkan tak tahu kalau tadi itu mimpi..”

“Bukankah semua orang tidak sadar saat ia bermimpi?”

176
Vellesa tidak menjawab, hanya tersenyum.

40: Chairil Membunuh Dua Orang

Muslim sejati atau bukan, menurut saya Chairil adalah seorang sufi. Sufi revolusioner.” Ujar
Sang Bapak Sopir, lewat obrolan yang agak panjang dengan Vellesa.

Vellesa Azephi diam saja, maka ditanyalah oleh Sang Bapak Sopir. “Kamu setuju?”

“Entahlah, Pak.. Saya sepertinya tidak tahu banyak soal Chairil.”

“Tapi katanya mahasiswa sastra..”

“Ya, memang benar. Tapi bukan berarti saya tahu semuanya.”

“Jadi, apa saja yang kamu tahu?”

“Saya sedang mencoba menyelesaikan skripsi..”

“Oh, ya? Sudah berapa halaman?”

“Seratus tujuhpuluh tujuh.”

“Wah.. Sudah seratus tujuh tujuh tapi belum selesai-selesai?”

“Bisa jadi.. Karena mungkin saja semuanya hanya kalimat-kalimat sampah tak berguna, yang
belum selesai diedit dan diperiksa dosen pembimbing..”

“Benar-benar, kamu ini..”

“Ah, tidak. Biasa-biasa saja..”

“Seandainya anakku masih ada, mungkin dia akan jatuh cinta padamu.”

“Benarkah?”

“Ya, wajah seganteng kamu dan dengan otak sepintar itu, siapa lagi yang tak suka?”

“Tidak.. Maksudku, kapan ia wafat?”

“Tidak, Dik. Dia belum mati. Aku yakin dia masih hidup, namun sudah berada di tempat yang
sangat jauh..”

177
“Kok begitu?”

“Aku dan ibunya bercerai, ia membawa Alysa pergi.”

“Alysa?”

“Ya. Aku menamainya seperti nama salah satu nenekku..”

“Apakah dia pernah tinggal di Jakarta?”

“Ya, benar. Terakhir kudengar, mereka memang pergi ke Jakarta. Dan begitu aku sampai
disana, mencarinya, tak ada kabar apa pun lagi,”

“Dan, istrimu seorang muslim?”

“Ya.”

“Tapi mereka pindah agama?”

“Entahlah.”

“Aku sempat kenal dengan seorang teman bernama Alysa.”

“Ya, tapi itu kan tak pasti..”

“Tapi aku masih punya alamatnya. Kalau mau kesana, bisa kutunjuki tempatnya..”

“Sudahlah. Biarkan saja. Toh, aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini,”

Vellesa sebenarnya ingin menjawab membalas kata, tapi setelah ia pikir-pikir lagi,
tampaknya tak ada gunanya. Lebih baik dibiarkan seperti ini, jika Sang Bapak Sopir Truk
memang sudah nyaman dengan hidupnya. Dan, tiang penanda batas kota terlihat baru saja
mereka lewati. Dan sepertinya itu bukan Djakawang.. . Atau mungkin memang Djakawang.
Atau, Djikiwing.

Sesuatu yang terpintas di pikiran Vellesa, secara tiba-tiba dan sama sekali tak ada aba-aba,
membuatnya merogoh kantung celana sebelah kiri. Lalu menemukan ponselnya sendiri.
Dalam keadaan masih sedikit terisi baterai, meski hanya enam persen. Maka dilihatnya apa
saja yang sudah ia tinggalkan. Pesan-pesan beruntun masuk ke ponselnya, dan ia melihat
adanya panggilan masuk tak terjawab dari Naoko.. Eh, bukan. Dari Seniman Musiman.

178
Panggilan itu berasal dari tadi malam. Tak diragukan lagi kalau Seniman Musiman memang
mencemaskan sepupunya ini. Tapi, kenapa bukan Naoko? Kenapa bukan Jechungid? Kenapa
bukan, Ani..?

Tapi kenapa bukan Naoko dan tapi kenapa bukan Jechungid, bisa jadi adalah pertanyaan-
pertanyaan yang wajar. Namun jika kenapa bukan Ani, mungkin adalah suatu kata-kata yang
mesti dipikirkan lebih dulu. Vellesa Azephi dan perempuan satu ini sudah berpisah, jadi
untuk apa menanyakan kapan dia menelepon? Atau, mungkinkah Vellesa terkena virus cinta
lama, sehingga menyandingkan Naoko dan Jechungid di pikiran-pikiran rindunya? Bisa jadi.

Pada hari Vellesa memutus hubungan dengan Ani, atau Annelies Mellema. Gadis itu luar
biasa sesak, dan dia berlari dari kafe itu, melupakan Taman Suropati, melupakan nyanyian-
nyanyian gombalan di kolam ikan masa lalu. Melupakan sate ayam saat pertamakali Vellesa
datang ke rumahnya. Kemudian, secara perlahan, dia juga melupakan sesaknya, melupakan
tangisannya, dan melupakan Vellesa yang mulai terkikis dalam ingatannya? Sepertinya tidak.
Seseorang, sesakit apa pun hatinya, dia takkan mampu melupakan, dia hanya bisa
menyimpannya rapat-rapat atau memilih mengabaikannya jika ingatan itu hadir tanpa
persiapan sebelumnya.

Pada hari Vellesa memutuskan hubungan itu, Ani merasa dunia sudah tak ramah lagi. Dunia
tak bersahabat, dunia tiada indahnya. Maka, di suatu waktu kemudian, dia memilih untuk
menawarkan dirinya di salah satu situs di internet. Dia memajang foto-foto dirinya, lengkap
dengan kecantikan yang dibuat sangat-sangat tinggi, lengkap dengan penampilan yang
sangat modis dan bisa terbilang mahal. Jaket Calvin Klein asli, kemeja Polo asli, jam tangan
Rolex, rambut diwarnai jadi merah marun.. . Semua dilakukannya demi mendapat follower
Instagram lebih banyak, jauh lebih banyak dari follower Vellesa Azephi. Seolah, ketika
Vellesa meninggalkannya, dia menjadi terbebas dan lebih maju dari saat ketika Vellesa
menjadi pacarnya, yang seolah-olah adalah bebannya. Padahal tidak. Ani masih
mencintainya, dan selalu memikirkannya, sampai saat ini.

Tapi tidak. Semua adalah dusta.

Dusta semata.

179
Ini adalah dunia khayalan. Tak ada keraguan mengenai hal itu.

Ketika Vellesa Azephi menulis O Kosong, ia memimpikan atau mungkin mencoba


memimpikan, jikalau kisah-kisah nyata di dunia ini tercipta dari semacam konspirasi semesta
Jules Verne. Ketika Jules Verne menulis, maka tulisannya akan terjadi. Ya, Vellesa sangat-
sangat mengharapkan seluruh ceritanya terjadi. Siapa yang tidak? Siapa penulis yang tak
memimpikan hal semacam itu? Adalah penulis yang tidak terlalu niat menulis, pikir Vellesa,
“Jika seorang pengarang tidak benar-benar menghidupkan cerita karangannya, atau tidak
mencoba sedikit pun untuk itu, siapa pun dia, hanyalah pengarang yang payah!” pernah
Vellesa berkata. Mungkin ke Bung Karta, mungkin saja, tapi Bung Karta tidak ada di catatan
dunia ini.

Apa mungkin ia mati?

Tidak. Bung Karta hanya berubah. Seperti yang pernah kita bahas pada beberapa bab
sebelumnya, meski contoh subjeknya berbeda dan kali ini Bung Karta, memang, dan ya,
Bung Karta bereinkarnasi. Atau semacam reinkarnasi. Hanya saja, Bung Karta tak kelihatan
dimana pun mayatnya, apalagi tercium. Bung Karta tidak mati. Tidak pernah mati. Dia justru
abadi dalam tulisan yang ditulis Vellesa Azephi. Tapi di dunia ini, Bung Karta berubah
menjadi sesosok yang berbeda. Yang lain. Bung Karta berubah, seperti ketika Liya juga
berubah, seperti saat-saat Emile Rezam berubah dan seperti yang lain-lain juga berganti.
Bung Karta menjelma, menjadi sesuatu yang tak terduga. Maksudnya, sesuatu yang sedikit
tak terduga.

Bung Karta berubah menjadi pembunuh. Yang menggunakan balpoinnya sebagai senjata
yang mematikan korbannya. Ada dua orang. Tapi, itulah yang membuat Bung Karta terasa
seperti bereinkarnasi. Jika di bagian-bagian sebelumnya Bung Karta berjuang mati-matian
membunuh Kesehatan dengan cara mengisap Highwaynya, bahkan dengan berhutang,
hingga asap dari bahan kimia itu benar-benar membunuh Kesehatannya satu per satu. Bung
Karta kali ini memutuskan untuk membunuh dua musuh besar Vellesa Azephi. Musuh besar,
atau target bayaran? Barangkali tak ada bedanya. Vellesa Azephi memang sedang butuh
uang, dan penonton setia Mizuho Uehara yang akhirnya malah serong dengan menjadi fan

180
beratnya Haruka Kasumi, seperti Vellesa ini, tentunya dengan mudah berhasil dikuasai jenis-
jenis nafsu kebinatangannya yang lain. Bukan hanya meniduri wanita-wanita cantik, atau
meniduri bintang-bintang panas yang seksi-seksi lalu mendapatkan bayaran, tapi juga nafsu
pembunuh sejati. Pemangsa yang sangat licik yang mau melakukan apa saja, dan mau enak-
enaknya saja. Itulah kesejatian dari seorang manusia.

Ya. Jika tidak ada totalitas dalam bersastra, jika sang pengarang tidak mencoba untuk
berkorban dalam menulis, bersastra, mencipta. Dia hanyalah pengarang yang payah. Chairil
Anwar adalah salah satu contoh dari sedikitnya pengarang dengan totalitas yang tinggi.
Chairil menuliskan puisi selalu dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadi,
seperti memilih kesepian daripada cinta, memilih cinta ibunya daripada kekayaan yang
ditawarkan ayahnya, dan sebagainya. Contoh dari Chairil yang memilih kesepian daripada
cinta, terdapat di dalam sajak Pemberian Tahu, dimana terdapat di kalimat ini, “Jangan
satukan hidupmu dengan hidupku, aku memang tak bisa lama bersama..” Dan Chairil bukan
sama sekali pengemis cinta seperti yang kebanyakan orang kira. Sebab Chairil tahu, bahwa
takkan pernah ada perempuan serius, yang akan bahagia bila bersamanya. Chairil, memang
seperti yang orang anggap pada sisi nan lain, “Chairil bukan menulis puisi untuk
menyambung hidup. Tapi dia memang hidup untuk puisi.” Dan jika saat itu Chairil
berkesempatan untuk membukukan buku puisinya sebelum ia wafat, dan seorang anak
muda yang lebih muda darinya, yang juga penggila sastra, tak punya uang untuk membeli,
yakinlah, bahwa Chairil akan memberikannya secara cuma-cuma, meski Chairil harus
berhutang sekali lagi, di kesekian kali lagi karena itu.

Dan Vellesa Azephi, nampaknya menyadari hal ini. Sejak lama. Maka ia pun sempat kecewa
ketika ia tak terpilih menjadi aktor dari film yang menceritakan Chairil Anwar, yang
dikerjakan sutradara kawakan Riri Riza, yang padahal sempat berpikir bahwa ia sepertinya
akan mencari aktor pendatang baru untuk film ini. Film dengan skenario yang sangat bagus,
yang telah direncanakan matang-matang, lebih serius dari banyak film sebelumnya. Dan
ketika Emile Rezam berkata padanya—untuk sementara kita lupakan dulu bahwa Emile
Rezam kondisinya juga seperti Bung Karta—“Reza Rahadian sudah sampai ke titik jenuh dari
karir perfilmannya. Banyak orang yang tak suka dengan Benyamin Biang Kerok, Cintaku Kan

181
Abadi, Pengabdi Setan 2, dan masih banyak lagi film-film setelah itu. Benyamin Biang Kerok
adalah satu dari kelalaian Reza, seperti yang dikatakan JJ Rizal setelah selesai menonton film
tersebut. Reza sama sekali tidak melakukan riset yang serius, dan luput dalam filosofi yang
selalu digunakan Benyamin dalam film-filmnya. Salah satunya ketika Reza tidak menuturkan
kritik sosial seperti Bang Ben, dan malah membodoh-bodohkan dan mengkonyol-konyolkan
diri tanpa arti..”

Itulah kala Emile Rezam berujar dengan cara yang dewasa dan tidak naif. Dan Vellesa setuju
dengan kata-kata itu.

Tapi Emile Rezam tidak ada. Karena dia juga seperti Bung Karta Oom Mentasi, juga seperti
Liya dan seluruh sastrawan-sastrawan lainnya yang sempat dikenal Vellesa. Mereka
hanyalah kepingan-kepingan dari sesuatu yang hitam.

“Aku lupa minum obat..” kata Vellesa, bergumam, atau entah.

“Oh, ya? Obat apa?” sahut Sang Bapak Sopir.

Vellesa sebenarnya tak ingin menjawab, tak ingin lelaki itu berpikir bahwa dirinya gila. “Obat
rutin.” Jawabnya.

Lalu Sang Bapak Sopir menghentikan laju truknya, lalu mengeluarkan beberapa persediaan
botol Aquanya dari dalam tas, kemudian memberikannya pada Vellesa Azephi. Anak muda
itu menerimanya, tapi kemudian termenung menatap Sang Bapak Sopir yang kembali
melajukan perjalanan mereka. Mungkin, Vellesa bertanya-tanya mengapa Sang Bapak Sopir
begitu baik, mengapa begitu pemurah, mau mentraktirnya kopi dan memberikannya air
minum, meski sesekali berceletuk tentang bagaimana jika Vellesa Azephi dijodohkan dengan
entahlah siapa.

Sang Bapak Sopir melirik Vellesa, serta merta berkata, “Kenapa tidak minum juga?”

“Obat di dalam ransel. Tertinggal..”

“Oh.”

182
“Ya, begitulah..” kata Vellesa Azephi, mencoba tersenyum. “Terimakasih untuk airnya.”

“Sama-sama.” Kata Sang Bapak Sopir, turut tersenyum. “Kamu lapar?”

Lima belas menit kemudian mereka sampai di sebuah warteg. Vellesa Azephi masuk ke
dalam dan menemukan berbagai makanan khas Jawa dan makanan Padang, yang membuat
ia bertanya-tanya mengapa seperti dipaksakan adanya dua jenis makanan disini. Sang Bapak
Sopir terkekeh, berkata bahwa Vellesa Azephi hanya menanyakan hal yang tak perlu
ditanyakan. “Lalu yang harus ditanyakan apa?” kata Vellesa. “Mau makan apa?” kata Sang
Bapak Sopir Truk.

Lalu Vellesa memesan nasi rendang dan teh telur. Begitu mendengar teh telur, si pengurus
warteg bertanya-tanya apa itu teh telur, lalu bertanya ke seorang pengurus warteg lainnya.
Lalu berkatalah, seorang pengurus warteg satu lagi, yang sepertinya cukup sok tahu untuk
hal-hal seperti ini. Bahwa teh telur itu teh yang dicampur telur. Dan Vellesa mengiyakan.
Maka Vellesa dan Sang Bapak Sopir akhirnya duduk menunggu. Vellesa menunggu nasi
rendang dan teh telur, Sang Bapak Sopir menunggu nasi goreng dan kopi telur. Tapi mereka
terkejut begitu si pengurus warteg menyuguhkan teh dan kopi telur yang diaduk dengan
kuning dan putih telur mentah, yang ketika diaduk, membuat bagian-bagian putih telurnya
berputar-putar di dalam gelas mereka. Vellesa kesal, dan berkata bahwa rendang disini
pastilah takkan seenak di kedai ampera. Sang Bapak Sopir berkata, “Ah, sudahlah! Yang
penting kita makan..” Sambil menjawab bahwa dirinya percaya bahwa rendangnya takkan
seenak kedai ampera, Vellesa menenggak segelas air. Tapi rupanya ia tak sadar, bahwa yang
ditenggaknya adalah teh telur gagal amis busuk buatan penjaja warteg.

“Cih!” kata Vellesa, lalu permisi ke toilet warteg.

Sementara Sang Bapak Sopir senang-senang saja menikmati kopi telur amisnya, yang tidak
terlalu amis, mungkin karena dicampur susu kental manis selain kopi. Tak lama kemudian,
nasi rendang dan nasi goreng pesanan mereka datang. Sang Bapak Sopir langsung melahap
telur mata sapi di atas nasi gorengnya, yang begitu kuningnya ditekan, langsung pecah dan
meleleh. Nasi gorengnya, seperti nasi goreng buatan orang Tegal pada umumnya, terasa

183
legit dengan pedasnya merica. Walau terdapat beberapa cabai rawit dan cabai setan di
sana-sini.

Sementara itu, Vellesa yang baru saja selesai dengan urusan kelaminnya, mendapati ia
didatangi oleh seorang pemuda berjaket kain dan celana jeans hitam. “Kakak namanya
Vellesa, kan?” katanya, tiba-tiba. Tanpa tedeng aling-aling. Vellesa tak terlalu kaget, meski
bisa dibilang kaget. Vellesa tak menduga, namun juga bukan tidak menduga. Vellesa selalu
menduga berbagai hal yang akan terjadi, memprediksi segala sesuatu yang dapat diprediksi.
Jadi menjawablah Vellesa, “Ya, ada apa?”

Pemuda berjaket kain itu tersenyum dan menyodorkan selipat kertas kepada Vellesa, “Ada
orang yang mencarimu.”

Dengan ragu dan masih belum memutuskan untuk menerima kertas itu, Vellesa berkata,
“Siapa?”

“Emil.”

Emil? Kata Vellesa dalam hati, Emil yang mana?

“Sudahlah. Terima saja.” kata pemuda itu, memasukkan kertas itu ke saku celana Vellesa
dan kemudian pergi begitu saja.

Vellesa merogoh saku celananya, mengambil dan membuka lipatan kertas itu, membacanya.
Lalu termangu lama. Sampai ia tersadar bahwa pemuda berjaket kain itu benar-benar sudah
jauh, hilang ditelan malam.

Keesokan harinya, seperti yang dituliskan di lipatan kertas itu, Vellesa duduk di Taman Joglo,
dengan keadaan masih belum berganti pakaian. Belum ganti baju, celana, bahkan celana
dalam. Sebelumnya Sang Bapak Sopir sudah menawarkan bajunya, tapi Vellesa agak segan
lalu menolaknya. Lagipula ia tak tahu apakah ia akan bertemu lagi dengan Sang Bapak Sopir.
Maka, dengan uang seadanya, yang diberikan Sang Bapak Sopir, ia pergi ke Taman Joglo
yang dipenuhi kursi-kursi taman tempat orang-orang berpacaran. Tempat para muslimah,
lelaki muslim saling berkenalan. Tempat suami istri mengisi waktu bulan madu mereka.
Tempat seorang lelaki sastra menemui teman lamanya.
184
Entah bagaimana, ia akhirnya berpikir untuk menuliskan sesuatu di balik kertas itu. Sebuah
catatan, atau puisi.. .

Kematian memang akan mengedatang. Dan begitu dikau mengedapati kematian, dan
terbangun darinya, kau ‘kan tak punya pilihan ‘tuk melintasi Sidratul Muntaha. Jembatan
dimana sebawahnya, ‘dalah dunia jang tiada lagi ramah. Dunia jang sdang dihancurkan.
Dunia jang membara. Api. Neraka. Apakah kaoe ‘kan memilihnja? Atau memilih melintasi
Sidratul Muntaha..-

Tapi ia masih sekedar berpikir. Belum memutuskan apakah puisi di pikirannya itu akan ia
tuangkan. Selain itu ia juga membayangkan bagaimana ketika Emil yang pemuda malam itu
maksud, membaca puisi tersebut, lalu mulai mempertanyakan keahlian Vellesa Azephi
dalam merangkai kata. Dan, seperti kebanyakan seniman-seniman puisi lainnya, yang
sebenarnya lebih kepada sok-sokan daripada benar-benar ahli, Emil akan berkata bahwa
puisinya jelek. Sebab tak sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang ada. Lalu,
Vellesa akan berkata, “Kau tahu apa? Kau kan bukan anak sastra?” lalu Emil akan berkata
bahwa ia pernah tinggal di di sebuah bengkel seni, yang dinamai Alugara, tempat ia pernah
belajar seni teater dan sastra disana. “Oh, ya? Siapa gurumu?” maka Emil akan menjawab,
“Namanya Shodiq. Muhammad Shodiq Sudarti.”

“Dia dosen?”

“Tidak.”

“Dia lulusan Pendidikan Bahasa?”

“Tidak.”

“Dia lulusan Pendidikan Budaya?”

“Tidak.”

“Lalu?”

“Dia lulusan SMK Karawitan.”

“Ha?”

185
“Ya. Tapi bukan sekedar lulusan SMA, ia juga pernah berkelana kesana-kesini untuk belajar
seni..”

“Coba kutebak, ada sekitar sepuluh cerpen dan sekitar sepuluh puisi yang ia kirim ke
koran?”

“Oh, ya! Tentulah.”

Hening.

Akhirnya Emil berkata lagi, “Ngomong-ngomong, kamu tahu dari mana?”

“Tidak ada. Tebak saja..” kata Vellesa, perlahan bangkit dari tempat duduknya.

“Eh?”

Vellesa berjalan beberapa langkah, kemudian sedikit menoleh dan berbicara dari tempatnya
berdiri. “Dan aku tahu juga, koran tempat dia mengirim puisi itu koran lokal, kan?”

“Kok..?”

“Benar, enggak?”

“Iya, sih..”

Tapi Emil sebenarnya belum datang ke taman itu, dan percakapan mereka hanyalah, paling
tidak, percakapan yang prediktif. Walau memang benar Vellesa Azephi tengah memikirkan
untuk menulis puisi. Dan kemudian memang menulisnya disana, hingga akhirnya Emil yang
ditunggunya pun mendatankan seorang utusan baru. Seorang perempuan 20an tahun awal
berambut panjang berpenampilan seperti personel AKB48, dan membawa sepeda motor
otomatis dengan helm di kepala yang digantungnya di bagian bawah tempat duduknya. Satu
helm biru, satu helm merah. Dia berhenti di dekat tempat Vellesa Azephi duduk.
Memarkirkan skuter otomatisnya disana, dan mendatangi Vellesa.

“Hai,” katanya, saat berdiri di hadapan Vellesa Azephi. Dan saat Vellesa menatapnya, cahaya
matahari kebetulan sedang terang-terangnya, membuat yang tampak dari perempuan itu
hanya siluet bayangan nan menyembunyikan penampilan aslinya.

186
“Hai?” kata Vellesa Azephi.

“Kamu lupa sama aku?” kata perempuan itu.

“Eh.. Entahlah.”

“Emil menyuruhku menjemputmu.”

“Baiklah..”

Maka, dengan sepeda motor otomatis, Vellesa Azephi dengan perempuan 20an tahun awal
yang mirip anggota AKB48 pun berangkat menuju ke entahlah dimana. Tempat yang berada
di luar kota itu, yang entah Djakawang atau Djikiwing atau apalah namanya. Tempat yang
terpencil, yang berada di pinggir laut. Semacam shelter yang didirikan dari bangunan kayu
dan atap jerami dengan ukuran yang luas tapi juga tak terlalu luas. Bunyi falseto laut
terdengar dari ombak-ombak yang saling berdatangan. Seorang lelaki dengan pakaian
potongan baju dan celana pendek, berdiri menghadap laut, seperti bermenung melamunkan
lautan. Atau yang berada di balik laut itu.

“Itu Emil?” kata Vellesa sambil menunjuk ke arah lelaki itu.

“Bukan. Emil di dalam.” Sahut gadis 20an itu sambil memarkirkan kendaraannya, mematikan
mesin dan melepas helmnya.

“Siapa dia?”

“Nico.”

Kemudian gadis itu menggamit sebelah tangan Vellesa dan membawanya masuk ke dalam
shelter. Tempat itu lumayan gelap, namun masih terdengar suara-suara pekerjaan orang.
“Emil?” kata gadis itu, sambil menekan tuas penghidup lampu. Kemudian lampu-lampu di
langit-langit pun menyala dan menerangi ruangan itu. Terlihatlah sekitar dua belas orang
yang sedang menjalankan proyek yang entahlah apa. Kertas-kertas, komputer lipat, meja-
meja dan lain-lainnya. “Emil?” kata gadis itu sekali lagi. Kemudian terdengar suara, suara
orang ketigabelas. “Ya?” Dan rupanya dia datang dari pintu di ujung, yang barangkali adalah
ruang pribadinya.

187
“Bukan kau!” kata gadis itu, kesal dan gemas. “Mana Emil?”

Memang bukan Emil yang dimaksud, tetapi sangat mirip penampilannya dengan Emil yang
pernah dikenal Vellesa. Emil Krystal. Emil yang merupakan suami nan menghilang. Emil
suami Seniman Musiman. Dan memang, Emil yang pernah diharapkan Vellesa Azephi. “Di
dangau.” Kata Emil atau bukan Emil yang sangat mirip dengan Emil Krystal. Bahkan
bertingkah seperti Emil Krystal, dan entahlah siapa pun dia, Vellesa langsung tahu bahwa dia
adalah aktor terbaik dunia yang pernah ia temui.

“Oke. Terimakasih.” Kata gadis itu, “Ayo, Vellesa.”

Mereka pergi ke dangau, suatu pondok yang berdiri di tepi pantai, sewaktu Vellesa melihat
dua orang selain mereka yang sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang serius.
“Apakah memang sebaiknya kita kesana?” kata Vellesa, “Sepertinya itu obrolan penting..”
katanya lagi. Lalu gadis 20an yang mirip AKB48 itu menoleh, menatap Vellesa, dan berkata
“Sayang sekali. Padahal Emil sangat ingin bertemu denganmu.”

Maka mereka pun benar-benar naik ke dangau itu. Setelah sebelumnya seorang
berkacamata, dengan kemeja putih yang dilapis jaket krem kotak-kotak, menatap mereka
dengan agak kesal dan menghentikan pembicaraan dengan Emil yang dimaksud. Tapi,
sebelum Vellesa menyahut “Benarkah?”, Emil masih saja memunggungi mereka dan
memandangi lautan. Maka Emil, yang adalah Emil Krystal sebenarnya itu, berkata, “Chairil
membunuh dua orang.”

Benarkah? Kata Vellesa menyahut. Yang membuat Emil menoleh dan menghadap menatap
mereka berdua. “Ya. Ada adegan seperti itu di film ini.” kemudian dia tersenyum dan
berkata, “Sudah makan? Tapi sepertinya kau mesti mandi dulu sebelumnya.. Kau punya baju
ganti?”

Dan berkatalah Vellesa, “Belum.. Tentu.. Tidak..”

40: Epilog yang Dilepturkan

Mandi selesai, Vellesa makan di sebelah dangau, sate dan ikan bakar rempah yang
dipanggang oleh gadis itu. “Kamu benar-benar lapar, ya?” kata gadis itu. Dan menambahkan
188
beberapa tusuk lagi ke piring makan Vellesa. “Mau tambah kuah?” kata gadis itu. Vellesa
mengangguk, dan ia pun menambahkan beberapa sendok kuah ke piring Vellesa. “Kalau
sudah selesai, temui aku, ya?” kata Emil, yang sedang memandangi matahari sore di atas
dangau, kemudian beranjak dari sana, berjalan ke arah shelter. Vellesa makan sambil
menatap Emil dari jauh, lalu gadis yang membakar ikan itu berkata padanya, “Ikannya
sebentar lagi..”

“Katakan Velly, apakah kau mau ikut proyekku atau tidak?” kata Emil, memulai
pembicaraan.

“Entahlah. Aku tak tahu apa proyekmu..” jawab Vellesa Azephi.

“Ini proyek kebudayaan, yang sejak dulu selalu kutunggu-tunggu datangnya.”

“Datangnya?”

“Datangnya kesempatan yang tepat untuk memulai proyek ini.”

“Oh.. Kalau film, film apa yang kau maksud?” kata Vellesa, saat sedang mengobrol dengan
Emil di salah satu ruangan di shelter.

“Film?”

“Yang katamu, ‘Chairil Anwar membunuh dua orang’?”

Emil tertawa, “Bukan. Bukan di filmku. Hanya kebetulan aku menontonnya.”

“Dan itu sangat mempengaruhimu?”

“Ya.. Dan membuatku meninjau ulang pemahamanku terhadap Chairil..”

“Apakah itu sangat.. Nyata?”

“Hmm.. Walau pun itu tak nyata, aku tak bisa tidak percaya kepada ceritanya.”

“Kenapa?”

“Sutradaranya Hasan Aspahani.”

189
“Hasan.. Siapa?”

“Hasan Aspahani. Dia penulis biografi Chairil Anwar yang sempat dijadikan adaptasi ke
teater. Dan teater itu dimainkan Reza Rahadian dan lainnya.”

“Oh, ya?”

“Ya. Ada Chelsea Islan, ada Tara Basro..”

“Hmm..”

“Memang benar. Jadi kau tidak tahu?”

“Tidak. Seseksi apa Tara Basro disana?”

“Hmm.. Tidak terlalu seksi. Kalau dibandingkan dengan perannya di adegan bersetubuh di
film Pendekar Tongkat Emas..”

“Oh?”

“Ya. Itu adalah salah satu dari sekian adegan panas Tara Basro lainnya.”

“Well, sebenarnya tidak diragukan lagi kalau Tara Basro seperti itu.”

“Ya, ya. Tapi jangan terlalu cepat juga menilai orang.”

“Bukankah orang-orang seperti kita memang sering melakukannya?”

“Melakukan apa?”

“Menilai dengan cepat.”

“Ya. Tapi belakangan ini aku mencoba untuk lebih menahan diri..”

“Karena itu kau bertanya padaku.”

“Ya. Jadi, ikut atau tidak?”

“Sebagai siapa aku di proyek ini?”

“Tentu saja sebagai penulis skenario.”

“Jadi, ini film? Dan Tara Basro ikut?”


190
“Tidak. Ini bukan film. Ini lebih dari itu. Ini proyek kebudayaan.”

“Lebih tepatnya?”

“Komik Indonesia.”

Vellesa pun tertawa.

“Jadi kamu ingin ikut?”

“Kukira komik Indonesia tak pernah butuh penulis skenario.”

“Tentu aku butuh orang sepertimu untuk menulis skenario..”

“Oke. Tapi temanya seperti apa?”

“Jangan pikirkan tema dulu, sebelum kau benar-benar bersedia.”

“Lalu, bagaimana keuntungannya?”

“Seperti biasa. Royalti 10 persen.”

“Selain itu?”

“Reputasimu akan naik.”

Vellesa mencoba tertawa, atau lebih tepatnya menertawakan kata-kata Emil. “Reputasi?
Hanya dengan komik?”

“Ya, Velly. Kita memang tidak sempat menyelesaikan proyek sebelumnya. Dan Seniman
Musiman mungkin sudah benci padaku.. Tapi aku benar-benar menjamin, bahwa
reputasimu akan naik setelah ini.”

“Oke. Boleh kutanya judulnya?”

“Wong Assoy.”

“Wong Asoi..?”

“Wong Assoy. Pakai dua ‘s’ dan diakhiri dengan ‘y’.”

“Oke..” kata Vellesa, “Berikan aku waktu untuk berpikir.”

191
“Selain itu ada kemungkinan kita tour ke Jepang dan Amerika.”

“Kuterima.”

“Benarkah? Bukannya kau seorang anti amerikais?”

“Tidak. Bukan karena Amerika.”

“Karena ke Jepang?”

Vellesa hanya tersenyum dengan senyuman yang agak ditahannya.

Vellesa diberi waktu dua sampai tiga minggu untuk menyelesaikan naskahnya, yang mesti
memuat minimal tujuh dan maksimal sembilan adegan. Tujuh atau sembilan panel. Tujuh
atau sembilan kejadian, peristiwa. Dan, naskahnya harus bersifat sangat oratif, liris, dan
puitis. Karena ini sangat-sangat menjadi penentu dari keberhasilan proyek, meski royalti
yang diterimanya hampir sama dengan bayaran naskah novel di masa pemerintahan Jokowi.
10 persen untuk sekian halaman yang ditulis. Dan kali ini 10 persen dari tujuh halaman, jika
itu memang bisa disebut halaman.

Untuk detil dari proyeknya, Vellesa sama sekali tidak tahu. Dan kalau pun iya, tahu, ia hanya
tahu sedikit. Garis besarnya. Sinopsis. Ringkasan. Bagaimana ia harus menulisnya. Maka ia
pun mengerjakannya dengan sedikit bertanya-tanya, tapi bukan mengenai keuntungan
royalti. Sebab dia masih bisa hidup dengan pasokan dari beasiswa yang diterimanya sampai
ia selesai kuliah. Beasiswa dari seorang teman Uncu Cies yang sangat kagum dengan
puisinya. Yang memperkenalkan puisi itu ke seniman-seniman muda di Krawang. Kemudian
dibacakan di hari ulangtahun Sekolah Petani Kaliaget di salah satu babakan di pedesaan
Krawang. Sebelum akhirnya dia diundang bersama Uncu Cies menjadi tamu kehormatan,
kata tuan rumahnya, tamu kehormatan dari institusi itu. Mereka disediakan kamar yang
lumayan mewah dan eksotik, yang merupakan vila berbentuk rumah panggung di sekitaran
tempat tinggal tuan rumah. Mereka juga dibiayai pergi ke Garut, Yogyakarta dan Bekasi.
Disitulah awalnya Vellesa Azephi bertamu ke pesantren Ummi Nissa, dan mengenal tempat-
tempat yang kelak akan menjadi sarana petualangannya. Itu adalah masa-masa paling
mengesankan bagi Vellesa Azephi saat ia masih duduk di SMP.

192
Maka, seraya menulis naskah Wong Assoy, yang katanya adalah superhero khas Indonesia,
yang dibuat oleh tangan penggambar Indonesia, dengan cara persembahan yang sangat
terbarukan di Indonesia bahkan dunia, dan didedikasikan untuk Indonesia. Seraya menulis
naskah itu, Vellesa Azephi pun berpikir untuk mengetik ulang novelnya yang tadinya sudah
lewat tiga puluh ribu kata. Sudah 39.254 kata. Ia memberi judulnya Melepturkan Misionaris
Sebuah prosa liris yang menyinggung keadaan dari hubungan antar-agama nan semakin
kaku di negeri ini. Terutama ketika ia memulainya dengan kisah cinta yang sangat manis,
dari seorang pengelana yang telah lelah berkelana. Dan karena Vellesa Azephi memang
seorang sastrawan revolusioner, atau setidaknya, memang seorang sastrawan yang
menggilai revolusi, seperti di salah satu sajak yang ia ciptakan saat tinggal di Bantul bersama
Bang Rimbo, dan tidak sedikit pun mengenal nama Sang Bapak Sopir Truk;

Jika: orang-orang sok dewasa tertawa di hidung saya, atau orang-orang dewasa

(masih perlu-kah saya pakai tanda kutip?)

seperti kami (disini juga pakai tanda itu?)

karena, oh ya? karena kami tak sehebat mereka, hebat apa? Pandai berbohong, menipu
wanita petani, menghina mereka, sebab tak sekelas dengan Anda yang, halo??

Istilah rumit-rumitan itu bisa dicari di internet!!

Maka: orang-orang itu tak pernah tahu arti pendidikan, yang sejauh itu didatangkan ‘tuk
mewaraskan nurani-nuranimu

Jika: proyek-proyek di Timur dan perusahaan penelikung air itu tak pergi juga, berarti
mereka semua adalah pembeli-pembeli kertas ijazah yang tak pernah bolos mimpi di siang
kelas mewahnya yang bolong

Dan untuk itu, mari kita tetapkan program mengganti sistem kartu kredit sebagai ijazah,
yang boleh digunakan untuk menyewa kamar satu malam, yang boleh membeli tanah
pusaka secara apalagi!

193
dan begitu masanya habis, silakan sekolah lebih tinggi 3

Dia sangat-sangat mengingat tiap detil dari kesehariannya bersama Bang Rimbo. Atau,
sepertinya lebih tepat jika disebut, dia sangat-sangat berusaha mengingat tiap-tiap
kebersamaan itu. Ketika ia menemani Bang Rimbo membangun toilet Pak Bakir, saat ia
duduk dan berdiskusi di waktu istirahat dan Pak Bakir menyediakan teh manis atau kopi
untuk mereka, atau ketika ia pergi ke ATM saat hujan yang dimulai dengan rintik gerimis,
dengan sepeda motor tua kepunyaan Pak Bakir, atau ketika mereka kedatangan tamu,
seniman-seniman teater Gandrik yang rupanya sudah sejak lama mengenal Bang Rimbo.
Atau ketika suatu hari, Bang Rimbo bertanya padanya, “Apakah Velly mau meneruskan
pengelanaan, atau tetap bersama Abang dan melewati Ramadhan, berpuasa disini, atau
dimana nanti ketika kita pindah dari daerah feodal ini, mungkin ke Bali atau Kalimantan?
Kalau ingin meneruskan pengelanaan, ambilah kuliah di jurusan yang bisa dikerjakan
sebentar, lalu kembali bertemu Abang, biar kita tinggal dan bekerja sama-sama.”

Memang agak panjang, tetapi Bang Rimbo sebenarnya bukan seorang lelaki dengan tipe
yang suka menjaga wibawa. Bahkan, konon, dialah salah satu inspirasi Emile Rezam dalam
menggagas Beleisme. Apakah mereka saling kenal? Mungkin iya mungkin tidak. Mungkin
lebih seperti, saat Emile Rezam membaca buku karangan Bang Rimbo yang berjudul
Mengabli Sita, beberapa tahun setelah Vellesa memutuskan untuk meneruskan
pengelanaannya. Meski begitu, Vellesa sama sekali belum pernah membaca Mengabli Sita,
yang sempat dijanjikan Bang Rimbo agar Vellesa mencarikan pendesain sampul nan tepat.
Tapi, sebab Bang Rimbo adalah orang baru di dunia penerbitan mayor, tempat ia
menerbitkan buku itu, Bang Rimbo terpaksa menuruti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
penerbit tersebut.

Dan seraya mengerjakan naskah itu, Vellesa memutuskan untuk mengetik ulang, atau
mungkin tidak bisa disebut mengetik ulang, melainkan menulis sesuatu yang sama sekali
baru. Walau, masih terdapat dimensi-dimensi yang penuh kemiripan dengan Bagaimana
Jika Mereka Dilepturkan? Tulisan yang dia beri judul Ya Boleh-boleh Saja..- yang disingkat
YBS, seperti O Kosong untuk menyebut Ooo000ooo000ooo000ooo000ooo. Walau begitu,

3 Saya Adalah Orang-orang yang Menggilai Revolusi; salah satu puisi karangan Emil Reza Maulana

194
tentu naskah ini juga merupakan ketikan yang boleh dibilang lebih progresif daripada O
Kosong.

Sewaktu duduk di Taman Joglo, menikmati udara segar sambil mengerjakan naskah Wong
Assoy dan sekaligus Ya, Boleh-boleh Saja..-, Vellesa tak sadar bahwa juga duduk seorang
perempuan yang telah lama dikenalnya, disana. Gadis itu sedang menangis, menangisi
masalah-masalahnya yang tak terselesaikan, dan malah bertambah belakangan ini. Gadis
itu, sebenarnya sudah bukan gadis lagi. Itulah salah satu sebab dia menangisi hidupnya. Dia
bukan gadis lagi, dia telah dikerjai. Tapi, tak terlalu lama bagi Vellesa untuk tak sadar bahwa
ada orang yang ia kenal sedang duduk di sekitar tempat itu. Vellesa mendongak, menghirup
angin segar sambil menutup mata, lalu ketika membuka mata, matanya terbelalak. Dia
menemukan gadis yang sangat dikenalnya, sampai di hari terakhir mereka ketemu, sebab
mereka saling kenal, Vellesa sampai bisa memutuskan hubungan mereka saat itu. Walau
awalnya ragu-ragu untuk menyapa dan menghampiri, ia melawan rasa malu itu kuat-kuat,
dan mencoba berdiri lalu mencoba berjalan ke arah gadis itu. Gadis yang tidak lagi
mempedulikan apa pun di sekitar ini, bahkan mungkin, dunia ini. Gadis yang kalau saja tidak
didatangi, bisa jadi ia coba untuk bunuh diri.

“Ani..?”

Tak ada jawaban.

“Ani.”

Masih tak ada jawaban dari gadis itu.

“Ani?”

Masih tak ada jawaban.

“Ani!”

Vellesa Azephi benar-benar mendatanginya, lalu membungkuk di depannya, menyentuh


kedua pipi gadis itu, lalu membiarkannya saling menatap. Mereka bertemu. Ani menatap
Vellesa, dengan tatapan kosong dan pipi basah. “Ini aku, Vellesa.” Kata Vellesa Azephi.

195
“Vellesa..?” kata gadis itu dengan suara kecil dan serak. “Kenapa kau menangis?” kata
Vellesa, tidak memikirkan suaranya. Ani diam saja, lalu kembali menangis, menekur dan
memandangi tanah. “Ani!” kata Vellesa, menghadapkan wajah manis menangis itu ke arah
wajahnya. Mereka saling bertatapan sekali lagi. Lalu Ani kembali menekur dan memandangi
tanah, walau tanpa kesedihan.

“Mau apa kau?” kata gadis itu.

“Aku..” kata Vellesa, tergagap. Mungkin pertamakalinya ia tergagap. Mungkin karena ia


sadar bahwa sekarang gadis itu bisa bicara.

“Mau. Apa. Kau.” Katanya lagi. Membuat Vellesa kehilangan akal dalam berkata-kata.

“Aku minta maaf.”

“Aku senang kau sudah menyadari itu, Vell.” Kata Annelies, melempar senyum yang manis
sekali kepada Vellesa.

“Ya, begitulah. Aku mulai menyadari bahwa kita tak pernah sempurna. Sebagian ada yang
bisa diraih, sebagian menghilang dalam kedipan mata.”

Mereka berjalan-jalan menyusuri Taman Joglo, sesaat sesudah Vellesa membereskan


laptopnya yang berisi data-data proyek pribadi maupun proyeknya bersama Emil. “Kau
kenal Emil?”

“Emil?”

“Ya. Kalau tak salah, aku pernah cerita soal dia..”

“Emil R Maulana?”

“Bukan.. Emile Rezam.”

“Siapa Emile Rezam?”

“Penulis beberapa buku. Yang paling terkenal adalah Emil’s Mentation dan Gadis Embun
Pagi..”

196
“Gadis Embun Pagi?”

“Versi asli dari Gadis Itu. Novel saduran Heri Faisal Cassandra Will Smith..”

“Will Smith siapa?”

“Heri Faisal Cassandra Will Smith. Sangat terkenal di Indonesia, dan buku itu pernah dibuat
jadi film. Diperankan Reza Rahadian, Kinal JKT Empatlapan, Vanesha Priscilla..”

“Entahlah. Aku tak pernah nonton.”

“Tidak pernah nonton sama sekali?”

“Bukan. Aku tak pernah ke bioskop..”

“Tapi, rasanya sudah ditayangkan di televisi..,”

“Televisi di rumah cuma berisi film-film Hollywood.”

“Lho? Kenapa?”

“Ayah kan langganan itu. Dia nonton film-film begitu terus. Bahkan dia nonton bola cuma
kalau sedang Piala Dunia..”

“Ohh..” kata Vellesa, sebelum akhirnya dia berpikir apakah dia akan menanyakan bagaimana
proses kebangkitan Annelies dalam menyembuhkan kebisuannya, atau tidak usah.

Sepertinya tidak usah.

“Kamu panggil ‘ayah’?”

“Iya.”

“Aneh. Perasaan dulu setiap orang panggil ‘papa’ ke ayah mereka..”

“Ya. Memang pernah seperti itu. Tapi itu dulu, Vell, waktu kita masih belum lahir.”

“Iya juga, ya..”

“Hehe.. Memangnya kenapa sampai bahas itu?”

197
Aku ingin menikah denganmu. Kata Vellesa, entah dia memang mengatakannya atau hanya
dalam hati.

“Ha?”

“Ah, tidak. Cuma ngomong sendiri.”

Annelies menghentikan langkah kakinya. “Kenapa kau tidak mengatakannya dari dulu?”

“Eh?”

“Kenapa waktu itu kau justru lari dariku?”

“Maksudmu?”

“Kau bilang, kau mau menikah denganku. Kenapa saat itu kau tidak mengatakannya?”

Vellesa terdiam.

“Vell..?”

Vellesa menghela napas, lalu menoleh ke arah Annelies. Meski ia tak bisa menatapnya lebih
lanjut, apalagi menatap mata Annelies, Vellesa tetap berusaha menatap gadis itu. “Ya.
Baiklah, Annelies. Aku akan menjelaskannya.”

Maka Annelies pun menunggu.

“Aku anak sastra, dan aku mencintai gadis dari Fakultas Kedokteran. Lalu ketika datang ke
rumahmu, aku tahu bahwa kau berasal dari keluarga baik-baik..”

“Lalu, masalahnya?”

“Aku bukan anak baik-baik, Ann! Dan orangtuaku bercerai saat aku masih kecil. Aku
kehilangan sosok ayah, dan aku lain. Aku aneh. Aku gila. Kegilaanku membuatku melihat
hantu dimana-mana, membaca masa depan.. Bahwa kau, bahwa kau..”

“Ya?”

198
“Bahwa kau orang yang tepat..” kata Vellesa meanjutkan, tapi kemudian berkata lagi, “Tapi
itu hanya ramalan. Takdir bukan hanya sekedar ramalan yang dipikirkan manusia. Takdir
lebih sulit dari itu, takdir itu misteri. Dan aku tak mau mengorbankan kau, Ann..”

Annelies menatap dalam ke wajah Vellesa, matanya penuh arti. Vellesa menatap mata itu.
Tatapan yang sangat intim. Lalu gadis itu tiba-tiba menubruk tubuh Vellesa, merasakan
baunya yang telah lama tidak lagi dan mungkin sudah terlupakan. Sedangkan Vellesa,
kembali merasakan aroma keringat yang ia rindukan. Hingga ia pun teringat pada puisi Heri
Faisal Cassandra Will Smith, “Seandainya ada parfum berlabel keringatmu // kupakai
selamanya.”

“Nikahi aku, Vell..! Nikahi aku..”

Kemudian bibir-bibir itu saling mendekat, dan menyatu. Saling merasakan satu sama lain.
Mereka berciuman. Bercumbu seperti dua orang tokoh di film Titanic yang legendaris itu,
meski tak ada instrumen yang mendampingi, dua orang itu seperti mendengar lagu masing-
masing. Seolah mereka sendiri yang membuat lagunya. Dan dedaunan dari pohon-pohon di
Taman Joglo, berjatuhan. Memberi tanda bahwa musim semi telah lewat, dan harus segera
berganti dan melaju ke musim-musim berikutnya. Seandainya. Seandainya mereka memang
di negara tempat pohon-pohon saling menggugurkan daun.

Tapi kemudian, wajah Naoko melesat melewati pikirannya. Tapi Vellesa kemudian
menyangkalnya, Vellesa tak mau menyia-nyiakan momen seperti ini. Sudah lama Vellesa
menginginkan raga Annelies, dan selama ini Annelies hanya menawarkan jiwanya, terus
menerus hingga mereka putus. Bukan karena Vellesa itu sejenis dracula penghisap darah,
tetapi Vellesa tak ingin lagi kehilangan Annelies. Meski ia masih di bawah bayang-bayang
penulis Jepang itu, Vellesa yakin, dengan menikahi Annelies, ia akan setia dengan lebih kuat.
Bahwa suatu saat kelak, anak mereka yang terlahir mungkin akan mendatangkan Gundam
kembali. Walau Mei Azephi sudah kehilangan selera terhadap Gundam, atau bahkan
memilih memendam dendam, setidaknya seorang bayi mungil berkulit kemerahan seperti
bayi-bayi baru lahir lainnya, akan membuat kedua orangtua itu jadi menjinak. Bahkan,
mungkin mereka akan memilih untuk bertemu lagi dan menjalin hubungan pertemanan.
Seperti di masa-masa awal mereka bertemu, jauh sebelum Vellesa Azephi lahir.

199
“Jadi, kau akan menikah?” kata Emil Krystal, pada sebuah pertemuan yang hanya di antara
mereka berdua.

“Ya. Aku mencintainya, Emil. Tentu kau tahu perasaanku?”

“Ya. Tapi bagaimana pun, proyek ini harus jalan.” Kata Emil Krystal, menyesap sebatang
rokoknya, GG Mild. “Aku tak peduli apakah itu justru harus ditayangkan di hari
pernikahanmu.”

“Ya, ya. Kau tahu aku bisa diandalkan.”

“Ya.. Jangan kecewakan aku.” Lalu lelaki itu pergi membuka pintu, keluar dan menghilang.
Mungkin ke pasar.

“Kau tahu aku tak pernah mengecewakan siapa pun..” kata Vellesa Azephi bergumam.

“Bu, aku ingin menikah.” Kata Vellesa Azephi lewat ponsel.

“Oh, ya? Sudah ada calon istri?”

“Ya, sudah.”

“Sudah bilang ke Aya.. Sudah bilang ke siapa saja?”

“Aku akan bilang ke Ayah.”

“Ya?”

“Aku akan bilang ke Ayah. Akan kuusahakan untuk itu.”

“Oh, Vell..” kata ibunya, kemudian melanjutkan “Ibu tahu kamu anak yang baik. Sulit bagi
Ibu untuk menyangkal hal itu. Tapi kamu tahu kan, Ibu tidak akan pernah memaksamu
menghubungi Ayah..”

“Ya. Tapi aku akan tetap menghubungi Ayah.”

“Baiklah.”

200
“Dah, Bu.”

“Dah, Nak. Assalamualaikum.”

“Waalaikumusalam wa rahmatullah.”

Di tepi kolam Fakultas Kedokteran, mereka duduk dan mulai membicarakan tentang
rencana ini. “Kau tahu, Vell? Aku selalu mengingatmu bernyanyi disini..”

“Kau mendengar nyanyianku waktu itu?”

Annelies terkekeh, lalu berkata “Tidak. Sampai sekarang saja, aku masih pakai alat bantu..”

“Hmm.”

“Menurutmu, apakah aku harus masuk Islam lagi?”

“Kau pernah masuk Islam?”

Gadis itu tersenyum dan berkata, “Bukan masuk Islam. Ayah John dan Mama Ho sudah Islam
sejak dulu. Begitu juga kakek-nenek. Mama Ho kan keturunan Laksamana Cheng Ho..”

“Tapi.. Bukannya Laksamana Cheng Ho itu seorang kasim?”

“Bukan. Itu hanya akal-akalan mereka saja.”

“Ohh.. Banyak, memang, sejarah yang tidak kuketahui.” Kata Vellesa Azephi, tertawa,
kemudian melanjutkan “Padahal aku lumayan suka baca.”

“Aku juga suka baca. Tapi kan bukan berarti aku tahu masa lalumu?”

“Ya, Ann.. Tidak semuanya yang bisa kita tahu, dan tidak semuanya yang boleh kita tahu.”

“Kau mau mendengar rahasia?”

“Ya. Tapi.. Terserahlah.”

“Kalau kau mau tahu, kau harus bersabar sampai hari pernikahan kita.”

“Kenapa mesti di hari pernikahan? Kenapa bukan malam ini?”

201
“Aku belum siap, Vell..”

“Bu, permisi. Annelies sudah bangun?”

“Ohh! Nak Velly.. Masuk-masuk..” kata Mama Ho, membuka pintu lebar-lebar dan
membiarkan Vellesa masuk. Menyuruhnya duduk di ruang tamu. Membuat Vellesa akhirnya
tertarik melihat-lihat foto-foto keluarga.

“Bapak di belakang. Sebentar, ya..” kata Mama Ho, lalu pergi melewati lorong dan masuk ke
balik pintu yang diduga sebagai ruang dapur.

Tak lama kemudian, walau pun Vellesa belum puas mengamati foto-foto keluarga yang
terpajang di dinding dan di beberapa mabel, ayahnya Annelies datang sambil membersihkan
serta merapikan bajunya. Tersenyum dengan cara yang agak lain dari biasa. Duduk di kursi
yang paling dekat dengan lorong menuju dapur. Lorong yang terdapat beberapa pintu lain,
yang mungkin salah satunya pintu kamar Annelies. Annelies yang ditanya apakah sudah
bangun, masih diragukan apakah memang sudah bangun atau masih dalam mimpi. Tapi
memang, Annelies tidak mungkin keluar karena ia dan Vellesa sudah mempersiapkan hari
ini. Dan ada kemungkinan besar bahwa Ayah Annelies dan Mama Ho sudah tahu maksud
kedatangan Vellesa kali ini.

“Ada apa, Nak?” kata Ayah Annelies, “Kok sudah lama tidak datang-datang?”

“Eh, iya nih, Om. Vellesa belakangan ini sibuk..”

“Sudah berapa kali saya bilang?” kata lelaki tua itu, “Panggil saya Ayah John.”

“Iya, Ayah John..”

Ayah John yang bukan saja Ayah Annelies itu pun tersenyum, lalu berkata, “Masih skripsi?”

“Masih..”

“Apa saja kegiatan lain selain skripsi?”

“Saya penulis, Om. Eh.. Yah..”

202
“Penulis? Wah.. Pintar, dong. Sudah berapa buku?”

“Masih mengerjakan buku pertama, Yah. Tapi puji Tuhan, sudah delapan belas cerpen yang
masuk koran..”

“Hmm. Koran digital atau koran kertas?”

“Koran digital ada, koran biasa ada..”

Ayah John manggut-manggut, “Jadi, kamu Nasrani..?”

“Bukan, Om. Eh, Yah.. Saya Islam.”

“Lalu kenapa mesti bilang ‘puji Tuhan’? Mengapa tidak baca hamdalah saja?”

“Ohh..”

“Hmm?”

“Saya kira, Ayah John yang orang Nasrani.. Jadi saya.. Saya..”

“Oh.. Kamu kira saya Nasrani, dan kamu coba menyesuaikan?”

“Iya..”

“Tidak. Memang, saya jarang sholat dan wajah saya jadi keruh karena itu.. Tapi saya tetap
percaya keesaan sejati, kok!”

“Keesaan sejati?”

“Kamu tidak tahu?”

“Ya..”

“Esa itu satu, keesaan sejati itu.. Silakan terjemahkan sendiri. Masa anak sastra nggak bisa
nyambung sama hal seperti itu?”

“Iya..” sebenarnya Vellesa malas menafsirkan kedua kata itu. Sebab, ia tak ingin bergunjing.
Sudah jelas bahwa ia seorang sufi, dan seorang sufi mestinya mengerti prinsip-prinsip dasar
agamanya. Konon pernah Nabi berkata, “Janganlah engkau sekalian bergunjing atau
membicarakan hal-hal buruk mengenai orang lain. Jika engkau lakukan maka pahala-

203
pahalamu akan diberikan kepadanya. Dan jika pahalamu habis, dosa-dosanya akan
diberatkan kepadamu.”

“Jadi? Apa artinya?”

“Ada dua sih, Yah..”

“Oke, sebutkan keduanya.”

“Yang pertama, yang kita orang-orang muslim pegang, Ketunggalan Sesungguhnya. Bahwa
Tuhan itu sendiri, sangat berbeda dengan mahluk, tidak beranak tidak pula diperanakkan.
Dan bagi orang-orang beragama lain, itu berarti Keutuhan Sesungguhnya..”

“Baik. Saya ralat dulu.” Kata Ayah John. “Boleh kan, saya ralat?”

“Oh! Boleh, boleh..” jawab Vellesa, “Silakan.”

Ayah John tersenyum, “Kalau yang nomer satu tadi, Ketunggalan Sesungguhnya, itu benar.
Tapi kalau Keutuhan Sesungguhnya, bagi orang-orang beragama lain, itu kurang tepat.”
Katanya dan melanjutkan, “Lebih tepat disebut Kesatuan Sejati.”

“Iya..”

“Mau tahu kenapa?”

“Iya?”

“Karena mereka, yang menyebut Kesatuan Sejati ini umumnya Nasrani.. Mereka
beranggapan kalau Tuhan itu adalah sejenis badan, atau organisasi, atau sistem, yang
dipercaya mengatur dunia ini. Mengatur alam..”

“Ya..”

“Dan itu mengapa kebanyakan dari merekalah, yang menjadi tidak percaya lagi pada Tuhan,
dan keluar dari agama. Ya, walau pun itu kebanyakan terjadi di negara-negara maju, dan
hanya orang-orang yang dibilang memiliki inteligensi tinggi, yang mau jadi ateis dan keluar
dari kehidupan gereja atau sinagog.. Dan kau mau tahu salah satu alasannya?”

“Ya..” walau sebenarnya Vellesa agak jengah.

204
“Karena institusi agama mereka menuntut uang, pajak.” Kata Ayah John, “Sementara di
dunia ini, semua orang butuh uang. Mereka perlu untuk hidup, makan, bahkan di umur
kamu ini, mereka butuh untuk menikah.”

Seolah terdengar petir dari luar. Walau itu sebenarnya hanya kiasan, dan sekali pun bukan
kiasan, itu hanyalah halusinasi.

“Jadi, bagaimana?” kata Ayah John.

“Maksud Om? Eh, maksud Ayah..?”

“Kamu kesini mau apa? Mau minta duit atau minta nikah?”

“Saya..-” belum selesai Vellesa berkata, Ayah John menimpali, “Kalau mau minta duit, kamu
salah tempat.”

“Maksud saya..-”

“Tapi kalau mau menikah, saya harus tanya dulu sama kamu.”

“Ya?”

“Siap kamu meninggalkan kuliahmu, dan bekerja untuk anak saya?”

Vellesa terdiam.

“Karena ini bukan persoalan gampang, Vell.”

Vellesa mati kata.

“Kuliah, kamu pasti mesti bayar uang kuliah. Sementara uang itu seharusnya kamu gunakan
untuk anak saya..”

“Tapi, Om.. Eh, Yah..”

“Ya?”

“Saya kuliah bukan dengan uang saya..”

“Ya, saya tahu. Sudah kelihatan bahwa kamu masih bergantung sama kedua orangtua
kamu.”

205
“Bukan, Om.. Eh, Yah..”

“Jadi?”

“Saya dibiayai beasiswa..”

Langsunglah mata Ayah John terbelalak.

Maka berkatalah lelaki tua itu, “Diterima.”

“Kamu mau mahar apa?”

“Apa saja, yang penting spesial.”

“Oh, ya? Apa saja?”

“Ya.”

“Kita ke Jakarta, yuk!”

“Mau apa?”

“Mencari mahar yang pas buat kamu.”

“Oh, Vell.. Sudah kubilang dari kemaren-kemaren, aku nggak nuntut kamu kasih apa-apa!
Aku..-”

“Kamu takut, kalau setelah menikah nanti aku enggak punya uang?”

“Eh?”

“Kamu takut kita tak punya persiapan apa-apa?”

“Iya. Tapi..-”

“Sudah diterangkan di Al-Qur’an, surah An-Nur ayat 32, Dan kawinkanlah orang-orang yang
sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin

206
Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-
Nya) lagi Maha Mengerti.” Kata Vellesa, “Kita takkan miskin hanya karena menikah.”

“Tapi, menurut agamaku..-”

“Dengarkanlah, Ann. Masa kau tak percaya padaku? Sedangkan kau inginnya aku jadi
suamimu.”

“Ya, tapi..-”

“Tidak ada keraguan di dalam Al-Qur’an.” Kata Vellesa Azephi, yang sebenarnya ingin
bertanya apakah kitab nan selalu dibaca Annelies, Perjanjian Baru yang asli atau Bible
Revised Standard Edition?

“Baiklah..”

“Jadi, kemana kita?”

“Maksudmu?”

“Ayolah! Aku ingin membelikan mahar untukmu.”

“Bagaimana jika bukan yang dibeli?” kata Annelies, “Sedangkan yang kau persiapkan sendiri,
justru lebih berharga bagiku.”

“Yaitu?”

“Yah.. Mungkin novel pertamamu. Novel yang sedang kau kerjakan dan kau kejarkan untuk
sayembara itu..”

“Tapi..-”

“Kau tahu, Vell? Aku memang menjadi Nasrani, tetapi kan tidak semua orang Nasrani yang
seperti itu? Dan jika Tuhan berkenan, aku inginnya di agamaku juga ada konsep seperti
zuhud, lalu menyempurnakan zuhud itu bersamamu..”

“Zuhud?”

“Ya, kehidupan sederhana seperti para biksu kalau di agama Budha, dan brahma di agama
Hindu.. Masa kau tak tahu? Kau kan sufi?”

207
“Ya, aku tahu..”

“Mungkin perempuan-perempuan sepertiku, yang kau lihat mirip denganku, semua


mengharapkan uang. Tapi, tidakkah kau percaya padaku?”

“Ya, Ann. Aku percaya.”

“Jangan katakan percaya jika kenyataannya tidak.”

“Ya, Ann.. Percaya. Aku percaya.”

“Yang benar?”

“Ya.”

“Aku sudah membeli tiket untukmu dan aku supaya kita bisa pergi ke West Sumatra..” kata
Vellesa Azephi.

“Kok begitu..?”

“Aku ingin kau berkenalan dulu dengan keluarga ibuku, baru kita nanti ke Djakawang,
mempersiapkan segalanya..”

“Kenapa kau tak tanyakan dulu padaku? Kan aku bisa ikut membiayai perjalanan?”

“Kau calon istriku, Ann. Dan aku tak mau membiasakan diri bergantung lalu
menyusahkanmu.”

“Tapi, kenapa kau malah memesan tiket pesawat? Kita kan bisa naik bus?”

“Tidak untuk momen sekhusus ini.”

“Ah! Kau ini..”

“Ha?”

“Kau boros!”

“Yah.. Kukira kau tadi tersipu..”

208
“Ya enggak, lah..”

Master Ai, Bibiku. Apakah engkau punya waktu? Aku ingin bertemu. Memperkenalkan
seorang temanku padamu. Teman hidup. Semoga setelah itu kau turut merestui dan
mendoakan kami.

Salam hangat,

Keponakan Kesayanganmu

Master Ai menerima sebuah surel aneh saat ia membuka laptopnya. Awalnya ia mengira
bahwa itu hanya akal-akalan mahasiswanya atau temannya yang lain, yang merindukannya.
Tapi begitu ia menerima sebuah firasat, dan firasat untuk menyuruhnya untuk memastikan.
Melihat ke halaman akun Vellesa Azephi, yang merupakan ‘keponakan kesayangan’ dan
satu-satunya orang nan ia asuh selama ini, yang ia berikan cintanya nan paling tulus dan
jernih, bahkan sebelum ia menikahi suaminya, memberikan seluruh pengabdian kepada laki-
laki itu, hingga mungkin, sempat beberapa kali Vellesa Azephi terlupakan. Bahkan sebelum
ia mengetahui siapa sebenarnya kakak laki-lakinya itu. Dan bahwa kakak laki-lakinya itu
tidak pantas menikahkannya dengan suaminya, karena alasan itu. Hari-hari dimana ia
menangisi hidupnya sebelum ia menikah, meninggalkan Vellesa Azephi yang sangat
mengidolakannya karena bibinya kuliah di luar negeri, meninggalkan Vellesa Azephi yang
masih polos dan tidak tahu-menahu. Bahkan sampai saat ini.

Master Ai menunggu kedatangan Vellesa, yang akan datang bersama dengan Annelies
Mellema. Menunggu kedatangan bocah yang tak disangka-sangkanya akan segera menikah,
lalu memberikannya cucu. Master Ai duduk di ruang tamu, lalu pergi ke kamarnya untuk
memeriksa atau membereskan segala sesuatu yang sudah beres, dan juga di ruang tengah,
kamar Mei Azephi, kamar kakak laki-lakinya.. . Lalu pergi ke dapur untuk mempersiapkan
teh.
209
Pintu diketuk.

“Ya?”

Pintu diketuk sekali lagi.

“Sebentar..”

Pintu terbuka, tapi bukan Vellesa dan gadis manis mana pun. Melainkan seorang dari salah
satu pegawai bawahan suaminya. Ada titipan untuk suaminya, secarik kertas yang tidak
boleh dibaca kecuali oleh suaminya.

Pintu diketuk.

“Assalamualaikum.”

“Ya?”

“Assalamualaikum!”

“Sebentar!”

Lalu Master Ai, tanpa pikiran yang tenang, atau tanpa pikiran yang lebih tenang dari yang
sebelumnya, mempersiapkan segala sesuatu yang sudah siap, dan merapikan bajunya yang
sudah rapi. Lalu membuka pintu.

“Sumbangan, Bu?”

“Ohh..”

“Untuk Palestina, Bu..”

“Iya, iya.. Sebentar.” Lalu Master Ai pergi ke kamarnya, mengambil sesuatu dan kembali lagi
ke depan pintu. Memberikan beberapa derma kepada peminta sumbangan.

Tapi, sesaat sebelum ia menutup pintu, terdengar suara keponakan kesayangannya,


“Master Ai!!” dari jauh, dari jalan di depan rumah. Vellesa, tanpa mengacuhkan siapa pun

210
lagi, segera berlari dan memeluk bibinya. “Maaf lahir batin, Bibi.” Katanya kemudian
mengecup kedua pipi wanita itu, “Maaf Vellesa tidak datang Lebaran kemaren..”

Master Ai memegang kedua bahu Vellesa, kemudian membuka pelukan itu. Hatinya campur
aduk. Tapi Vellesa tidak melihatnya, meski pun ia bisa melihatnya. Mungkin karena Vellesa
tidak mau melihatnya. Vellesa hanya melihat, bahwa bibinya yang cantik itu, yang pernah
kuliah di Jerman itu, yang sehari-hari selalu membimbingnya mengerjakan tugas dari SD
sampai SMP itu, kini telah agak menua. Tapi ia masih cantik di mata Vellesa. Walau
kecantikan itu datang dari proses kenangan cinta kasihnya selama ini, yang tentunya tidak
didapatkan oleh lelaki nan tak lebih dikenalnya daripada Vellesa Azephi, sehingga laki-laki
itu tidak mempunyai kenangan sesuci itu. Hanya kenangan bahwa mereka telah resmi
berstatus suami-istri, lalu mempunyai tiga orang anak. Dan juga perasaan itu tidak ada pada
kakak laki-laki yang tak bisa menikahkannya, sebab lelaki tua itu terlalu sibuk pergi main dan
sibuk pacaran karena sedari muda sudah disediakan mobil bagus, bahkan ketika anak-anak
SMA sepertinya waktu itu belum ada yang bawa mobil, punya pacar banyak dan sangat
populer di kalangan anak muda. Tidak juga perempuan bernama Mei Azephi, betapa pun
dekatnya mereka. Tidak juga siapa pun Para Leluhur Azephi. Tapi hanya kepada Vellesa,
cinta itu terasa. Sangat jernih dan sangat menguatkan.

“Ini, Annelies.”

“Halo, Tante..”

“Annelies? Seperti nama tokoh di buku Bumi Manusia?”

“Ya, begitulah, Tante..”

Master Ai tersenyum, dengan senyuman yang tak pernah dilihat Vellesa Azephi sebelumnya.
Sebuah senyum yang menyiratkan, bahwa ia saat ini sedang mengalami titik puncak dari
perjalanan hidup, yang sekali pun ia telah menikah, perasaan seperti ini belum pernah ia
rasakan.

“Masuklah..”

211
Maka mereka masuk. Dan seperti biasa, Vellesa dan Master Ai bercerita-cerita hangat, yang
sayangnya, tidak memperhatikan wajah Annelies nan sedang memperhatikan sepasang
orangtua dan anak, yang terlibat obrolan seru saat itu.

“Jadi ini calonnya nih, Vell?” kata Master Ai sambil menoleh kepada Annelies.

“Iya, Tante. Kami sudah tunangan..” kata Annelies.

“Cantik!” puji Master Ai, lalu terkekeh-kekeh.

“Terimakasih, Tante.” Kata Annelies.

“Tapi asal jangan karena cantiknya kamu dinikahi..”

“Iya, Tante. Saya tahu, kok.. Kami juga sudah pernah melewati ini-itu..”

“Ini-itu? Ini-itu bagaimana?”

Lalu Vellesa mendehem, “Pernah dulu, kuputusin dia waktu kami baru beberapa bulan
pacaran.. Habis itu, kami lama tak ketemu. Dan pas ketemu, kami langsung jadian lagi.”

“Kok diputusin?”

“Yah.. Biasalah, Tante. Anak muda kan memang kebanyakan labil, yah?”

“Ya.. Asalkan Velly-nya jangan labil pas sesudah nikah..”

“Bibi!”

“Ah, enggak kok, Tante. Ani percaya, kalau Velly-nya sudah dewasa sekarang. Biar pun
maharnya nasi goreng buatannya,”

“Hahahaha!” Master Ai tertawa sangat keras.

“Kamu ini bagaimana? Mana mungkin aku kasih maharnya begitu?”

“Ya kan, supaya setiap kamu masak nasi goreng, kamu ingat aku. Dan setiap aku makan nasi
goreng, aku ingat kamu..”

Master Ai tersenyum, “Ternyata kalian ini pasangan kreatif romantis, ya..”

212
Vellesa melirik jam, “Wah. Sudah hampir jam tiga..”

“Trus?” kata Master Ai.

“Jadi ceritanya kami naik pesawat nih, Tante..” Annelies berkata dan melanjutkan, “Sudah
kubilang kalau kami sebaiknya naik bus. Nah, si Velly malah pesan pesawat pulang-balik..”

“Ya kan sudah terlanjur dipesan!” kata Vellesa.

“Tapi kan kamu tidak minta persetujuannya aku!”

Master Ai tertawa, tersenyum, lalu berkata kepada mereka berdua, bahwa sekali pun
mereka bisa saja bertengkar, tapi jangan pernah menyelesaikannya dengan perceraian, dan
kalau memutuskan untuk punya anak, sebaiknya Vellesa mapan dulu. Vellesa tidak
menjawab apa-apa, ia tahu bahwa pendalaman bibinya terhadap An-Nur ayat 32 tidak
seluas dirinya, dan dia tak mau berdebat sekarang.

Maka mereka memesan mobil Gocar, menunggu di ruang tamu, setelah itu pamit dan pergi
ketika mobilnya datang menjemput. Master Ai melepasnya dengan perasaan haru, dan
memang merasakan titik puncak seperti mengamati pertumbuhan sebuah peradaban, dan
ia yakin, bahwa di masa depan, Vellesa dan istrinya pasti akan baik-baik saja.

Mereka sampai di bandara tujuan. Makan beberapa potong pizza di bandara, lalu pergi ke
pasar tekstil di Djakawang, sekalian berkunjung dan memperkenalkan Annelies kepada
Seniman Musiman. “Kau nanti nginap di tempat Seniman Musiman saja, biar aku cari hotel
di dekat sini..”

“Kau tidak bertele-tele, kan? Ini tahun berapa, memangnya? Orang-orang tak peduli lagi
dengan hal itu. Lagipula, di Djakawang tidak ada hotel..!”

“Tapi..-”

“Kalau pun ada hotel, pasti sudah penuh.”

“Iya. Tapi..-”

“Coba, Master Ai yang kau kenalkan padaku di West Sumatra itu, aku tahu.. Aku tahu!”

213
“Maksudmu?”

“Aku dengar semuanya dari tetangga. Mereka bilang bibimu itu, bibi kita..” kata Annelies,
menekankan, “Master Ai hanya punya ayah biologis, dan lelaki itu berhasil membujuknya
agar mengakuinya sebagai ayah.. Dan, dan..”

“Aku tak mengerti..” kata Vellesa Azephi, dan tidak mau tahu. Tapi ketika Annelies berhenti
bicara, sekali pun Annelies berhenti bicara. Ia menyadari bahwa Annelies berbohong, bahwa
informasi itu bukan dari tetangga, melainkan dari Gundam yang datang ke Jakarta dan
mengobrol dengan Ahmed, adik tirinya Master Ai, adik seibu sekandung. Sepupunya
Annelies Mellema dari pihak Ayah John Doe. Benarkah? Ya. Gundam yang mungkin terlihat
mencemaskan Master Ai, berkata bahwa jika Mei Azephi tidak mempunyai kekuatan hukum,
dan jika orang-orang tahu bahwa Mei Azephi sebenarnya adalah adik dari ayah biologisnya
Master Ai, dan jika sempat saja Mei Azephi terlihat marah atau bahkan tidak suka kepada
Master Ai dengan apa pun alasan kemurkaan itu, dan kata Gundam bahwa memang tepat
dipilih istilah ‘kemurkaan’, maka suaminya Master Ai yang bersifat seperti itu akan lebih bisa
semena-mena lagi. Bahkan keluarga dari suaminya pun bisa berlaku kurang ajar seenaknya
kepada Master Ai, dan itu bukan hanya karena Master Ai tidak pernah bisa dinikahkan oleh
muhrimnya, atau juga bukan karena Master Ai tidak diterima di keluarga besar ibunya. Tapi
karena bapak biologisnya itu terkenal suka mengerjai anak gadis orang, selain di masa
sekolahnya lelaki busuk itu hanya main-main dan tak pernah mengerjakan tugas sekolah,
dan setelah dewasa lalu menikah, punya hutang sana-sini tapi masih menumpang ke
pendapatan istrinya yang sekarang sudah pensiun, dan bahkan, mencoba meyakinkan Mei
Azephi bahwa dirinya sudah berubah dan tidak sesinting dulu. Lalu membuat Mei Azephi,
satu-satunya orang yang bisa dipercaya dan satu-satunya yang selama ini melindungi Master
Ai, menyuruh Master Ai agar memaafkan lelaki busuk itu dengan kata-kata “Tak bisakah
seorang manusia mendapatkan kesempatan kedua?” seolah-olah cuma satu atau dua orang
perempuan saja, atau tiga atau empat saja, yang dikerjainya di dunia ini. Semua orang di
kota itu sudah tahu, dan kehancuran lelaki busuk itu hanya tinggal hitung waktu. Seperti
bom yang dipasang seperti alarm. Tinggal tunggu siapa saja yang akan menuntut. Dan bukan
hanya lelaki itu yang akan kena, tetapi juga Mei Azephi, barang-barang dan rumah keluarga
peninggalan Para Leluhur Azephi, dan tentu imbasnya ke Master Ai tak perlu ditanyakan
lagi.

214
“Walau pun Master Ai lulusan Darmstadt..,” kata Annelies, tapi terhenti. Diam saja. Takut
salah ngomong.

Tapi suara batin Annelies masih terdengar dan terbaca oleh Vellesa Azephi, “Dia tidak punya
kekuatan hukum. Karena dia hanya belajar ilmu Eksakta dan fokus ke ilmu Eksakta di masa
sekolahnya. Dan sudah lupa ilmu IPS, yang tidak dipelajarinya di SMA maupun perguruan
tingginya. Dan tentu karena ilmu IPS itu ilmu hafalan, ilmu itu gampang untuk terlupakan.
Dan bisa dibilanglah, Master Ai itu buta hukum.”

“Diam.” Kata Vellesa.

Tapi Annelies masih tidak mengerti. Suara-suara omongkosong itu, atau mungkin memang
bukan omongkosong, menggema-gema dan memborbardir Vellesa Azephi. Yang kemudian
berharap bahwa dia tak pernah punya pendengaran seperti itu. “Diam.” Kata Vellesa, sekali
lagi. Walau begitu pikiran-pikiran Annelies mengenai Master Ai, yang padahal baru saja
dikenalnya, menggema-gema. Sehingga Vellesa merasa bahwa dia sebaiknya menikah
dengan yang lain saja, dan bukan perempuan Indonesia, sebab sulit untuk mencari yang
tidak suka gosip dan benar-benar berpendidikan seperti di negara-negara maju. Seperti
Naoko.. .

Mereka sampai di depan pintu apartemen Seniman Musiman. Naik ke lantai tempat kamar
sepupu Vellesa Azephi itu berada. Kemudian lelaki calon suami orang itu mengetuk
pintunya. Seseorang dari dalam berkata, menyuruh mereka menunggu dibukakan pintu.
Tapi itu bukan seperti suara dari Seniman Musiman, melainkan seperti suara lelaki. Dan
memang, meski suara Seniman Musiman dinuansai suara laki-laki, karena sifatnya yang
tomboy dan suka merokok, tetap saja itu bukan seperti suaranya. Tapi Vellesa tetap
menunggu, dan tidak memastikan apakah mereka salah kamar atau tidak.

Walau akhirnya Vellesa Azephi melihat nomer kamar itu, niatnya untuk memastikan apakah
ini kamar yang benar, Vellesa Azephi sama sekali tidak mengingat nomer ke berapakah
identitas kamar Seniman Musiman. Maka sampai pintu itu dibuka, dan menampakkan
seorang laki-laki besar gemuk bongsor penuh lemak berkulit putih, yang sangat berbeda dari
perempuan kurus berkulit kering dan kehitaman tak terawat itu, membuat Vellesa berkata

215
meminta maaf karena salah kamar. Lelaki itu mendengus, dengan dengusan khas lelaki-
lelaki bongsor lainnya. Tapi sebelum ia benar-benar menutup pintu, dan sebelum Vellesa
benar-benar meninggalkan bagian depan pintu kamar itu, terdengar suara, “Tunggu, Nno.”

Suara seperti suara sepupunya yang memang Seniman Musiman. “Wenno, tunggu.
Tunggu..” Katanya lagi. Suara yang tampaknya berasal agak jauh dari pintu kamar itu.
“Kaukah itu, Vellesa?” katanya. “Seniman Musiman?” kata Vellesa. “Ya. Ini aku. Masuklah.”
Maka Vellesa masuk, diikuti dengan Annelies Mellema yang menyembunyikan
kejengahannya kepada lelaki bongsor bernama Wenno itu, tanpa tahu sedikit pun tentang
kecemasan Vellesa yang semakin meningkat dan bertambah ketika langkah kaki mereka
semakin dekat.

“Vellesa..” kata suara itu, suara yang lemah dan penuh penderitaan. Dari seseorang yang
tergeletak di tempat tidur, tertutup oleh selimut.

Dan ketika Vellesa datang menghampiri tempat tidur itu, membuka selimut itu untuk
melihat wajah Seniman Musiman, Vellesa menatap sesosok mahluk yang mungkin tak bisa
lagi disebut manusia. Sesosok mahluk yang sangat pucat dan bermata hitam. Dan ketika
disentuhnya bagian kening kakaknya itu, ia merasakan panas yang luar biasa. Tapi sangat
terlihat bahwa wanita itu tengah kedinginan dengan suhu yang sangat tajam. Dia menggigil,
bibirnya bergetar-getar, giginya bergemeletuk. Dan Vellesa sangat menyesali dirinya yang
tak segera mengunjungi Seniman Musiman selama ini, malah mematuhi Emile Rezam yang
menyuruhnya pergi jauh-jauh dari Djakawang. Dan di saat seperti ini, masih saja Seniman
Musiman menjangkau kepala Vellesa dengan tangan kanannya, dan mengacak-acak rambut
Vellesa yang mulai gondrong, lalu turun dan menghapus air mata Vellesa yang rupanya
sudah menangis sejak tadi. “Sama siapa?” kata Seniman Musiman.

Vellesa tak sadar bahwa Seniman Musiman tengah bertanya padanya. Atau mungkin sadar,
tapi tak mau menjawab.

“Perkenalkan, Kak. Saya calonnya Vellesa..” kata Annelies Mellema, yang sebenarnya
cemburu ketika Seniman Musiman menyentuh kepala dan wajah Vellesa. Dan tidak dapat
menghapus air mata atau menghibur Vellesa Azephi, dan malah bukan orang yang membuat
Vellesa Azephi menangis.

216
“Oh..?” kata Seniman Musiman. “Jadi adikku akan segera menikah..”

Vellesa Azephi hanya bisa mengangguk, sesaat setelah menatap Seniman Musiman cukup
lama. “Kapan?” kata Seniman Musiman.

“Sebenarnya kami akadnya seminggu lagi, tapi undangannya belum siap..” kata Annelies,
“Iya kan, Vell?”

Vellesa Azephi sebenarnya ingin menunggu Seniman Musiman sampai sembuh dulu. Dia
tahu bahwa sangat tidak etis jika dia merayakan sesuatu, tetapi saudaranya malah sedang
ditimpa kemalangan seperti ini. “Tidak apa-apa,” kata Seniman Musiman yang membaca
pikiran Vellesa, “Tidak usah ditunda-tunda segala sesuatu yang berasal dari niat baik..”

“Tapi.. Tapi..”

“Tuh, kan? Kakakmu saja bicara begitu..”

“Diam.”

“Sstt.. Jangan pernah sakiti perasaan kekasihmu, apalagi dia calon istrimu, Vellesa..”

“Tapi..-”

“Menikahlah. Kalau kamu nggak enak menikah di luar, kamu bisa menikah disini..”

“Tapi, nggak ada pestanya, dong..”

“Diam!”

“Vellesa..”

“Ya, Kanda?”

“Ingatlah pesanku. Teruslah jadi dirimu sendiri, walau pun kau dibenci karena itu.”

“Kanda..”

“Nikahilah dia, Vellesa.” Kata Seniman Musiman, “Jangan pernah menunda bagaimana pun
niat baik itu.”

217
Akhirnya. Selesailah sudah. Itu kata-kata terakhir dari sepupunya yang paling bijaksana dan
acapkali membantunya selama ini. Segera setelah itu, Vellesa langsung menelepon siapa
pun nomer di ponselnya dan ponsel Seniman Musiman. Mengundang orang-orang untuk
berkumpul dan berdoa, membaca Yasiin, bersiap-siap memandikan dan mengafankan mayit,
mempersiapkan masjidnya, bersiap-siap menjadi imam sholat jenazah, dan
menguburkannya sesegera mungkin.

Orang-orang berdatangan. Mulai dari sanak-famili dan kerabat jauh, hingga teman paling
dekat Seniman Musiman. Sebagian dari mereka menangis, menangis tanpa tahu bahwa
tangisan mereka hanya bersifat sementara, dan sebagian dari yang lain memilih untuk
menenangkan mereka nan menangis, atau membaca buku Yasiin, menghidangkan teh dan
kue-kue yang telah mereka beli dalam perjalanannya kesini. Dan karena Seniman Musiman
adalah seorang gadis matrilineal, sebagian lainnya sibuk membisiki bagaimana warisan akan
diturunkan. Vellesa Azephi menjadi sangat kesal, walau pun dia tahu bahwa orang-orang
bodoh itu tidak menginginkan warisan yang sebenarnya adalah buku-buku tua, piringan-
piringan lagu, kaset tua, ponsel Xiaomi dengan baterai bengkak, baju-baju, alat gambar serta
mesin jahit dan sebundel uang tak laku koleksi Seniman Musiman.

Hari-hari dilalui Vellesa dengan ditemani Annelies, yang kadang memang pulang untuk
menjemput keperluan, lalu kembali menemui Vellesa Azephi. Ia tahu, bahwa laki-laki itu
sedang rapuh perasaannya, ditinggal pergi oleh sepupu sekaligus sahabat terbaiknya sejak
dulu, yang tentunya jauh sebelum saat-saat mereka saling kenal apalagi mengucap kata
cinta. Tapi karena itu, sempat pula pikirannya berubah untuk meninggalkan Vellesa Azephi,
lalu mencari laki-laki lain. Namun karena ada, suatu rahasia, yang membuatnya tidak terlalu
bisa bebas memilih laki-laki seperti dulu, walau parasnya masih cantik, Annelies
memutuskan untuk menahannya. Ia tahu, ia harus menunggu sampai setidaknya empat
puluh hari, dan bahkan seratus hari, setelah semua orang selesai dalam masa berkabung.
Hingga datanglah hari yang lewat dari hari keseratus, Vellesa masih tampak dalam keadaan
bersedih.

Vellesa, seperti sebelum-sebelumnya ketika ia menginap di Djakawang, Uncu Cies


menawarkan Vellesa untuk menginap di rumahnya. Vellesa mengangguk meski agak ragu.

218
Tapi mereka tetap pergi ke rumah itu dan Vellesa disediakan susu coklat dan biskuit Marie
Regal, sebelum disuruh tidur di kamar Emil karena sudah jam satu malam. Vellesa ragu, saat
ia berdiri di ambang pintu kamar Emil, ia bertanya-tanya apakah Emil yang ini adalah Emile
Rezam? Yang menulis banyak buku itu, yang salah satunya Emil’s Mentation? Tapi ia tak
mau membangunkannya, terlebih ketika ia mengira-ngira bahwa orang yang tertidur di balik
selimut itu, jauh lebih muda darinya. Maka dihabiskannya susu coklat bikinan Uncu Cies, dan
meletakkan piring berisi beberapa Marie Regal ke dalam kulkas. Ia juga mengintip ke kamar
lain, kamar yang masih terang benderang, dan melihat Uncu Cies sedang mengetik di
komputer. “Kenapa, Vell?” kata Uncu Cies. “Kok belum tidur?”

“Eh.. Iya, Uncu. Baru saja mau tidur..”

“Tidur saja, nggak papa..” kata wanita itu, “Uncu lagi nyiapin bahan buat kuliah besok..”

“Uncu masih kuliah?”

“Nggak. Uncu mengajar..”

“Dimana?”

“Universitas Terbuka. Tidurlah lagi, Nak.”

“Iya, Uncu..”

Tapi Vellesa masih belum mau tidur. Maka ia duduk di ruang tamu dan membuka Instagram,
melihat-lihat kiriman-kiriman kawan-kawannya.

“Halo?”

“Ya, Bu.”

“Nak..”

“Ada apa, Bu?”

“Kau masih di Djakawang?”

“Iya..”

219
“Serius mau menikah?”

“Ya.”

“Dan serius, memang dengan anak yang kemaren ini?”

“Ya. Aku sangat-sangat yakin.”

“Sudah ngomong ke orangtuanya?”

“Ya. Tentulah, Bu.”

Mei Azephi terdiam. Vellesa tahu ibunya terdiam, sebab ada jeda selama lima detik lebih.

Lalu terdengar desahan napas.

“Begini, Nak. Ibu tahu kau sudah besar, dan mungkin sebagai Ibu, aku tak pernah
memberikan hal terbaik untukmu..”

“Bu.”

“Ibu selalu berpikir, bahwa Ibu memang bukan Ibu yang baik.”

“Bu..”

“Tapi walau pun Ibu berusaha, usaha itu bukan pula usaha yang baik..”

“Bu!”

“Tapi kau adalah anak yang baik, Vell.” Kata Mei, “Dan teruslah jadi anak yang baik. Ibu
disini, dimana pun, selalu mendoakanmu.”

“Bu..”

“Teruslah jadi anak yang baik, jadi orang dewasa yang baik, suami yang baik.. Perlakukan dia
seperti kau perlakukan Ibu, jangan pernah sakiti hatinya, jangan jadi seperti kami.. Kami
bukan contoh yang baik.”

“Bu,”

“Ya, Vell?”

220
“Aku akan terus mengingat momen ini..” kata Vellesa, “Lagipula, bukankah kita akan sering
bertemu? Kalau perlu, kami akan tinggal bersama denganmu, Bu.”

Hening.

“Bu?”

Tidak ada jawaban.

“Bu!!”

Tut. Tut. Tutt. Tuuu..

Vellesa takut, Vellesa cemas. Kalau-kalau hal yang sama terjadi pada ibunya. Meninggal
seperti Seniman Musiman. Tapi begitu ia melihat ponselnya, dan berharap ada kabar baik,
misalnya seperti pulsanya habis dan membuatnya tidak bisa menyambung telepon dan
membuat percakapan tadi terputus, tapi dia tidak mendapat kabar apa-apa. Hatinya
dipenuhi kegundahan seperti para perantau yang merindukan kampung halaman, bahkan
lebih. Sebab ibunya bukanlah sekedar kampung halaman, dan bukan hanya karena ia telah
menghabiskan sekian tahun bersama ibunya, tapi ibunyalah segala alasan dari setiap yang ia
lakukan selama ini. Ibunyalah alasan ia kuliah, ibunyalah alasan ia belajar menulis, ibunyalah
alasan mengapa ia memilih Annelies, ibunyalah alasan mengapa ia masih bisa punya
perasaan pada ayahnya.

Dalam kegundahan ini, Annelies justru tidak ada. Perempuan itu sedang pergi mengurus
sesuatu di Jakarta. Ada selintas perasaan kesalnya terhadap calon istrinya ini, selintas
perasaan tidak percaya dan kecewa, dan seiris bawang merah kecemburuan. Tapi ia tetap
bersabar dan berpikir bahwa mereka akan baik-baik saja dan melaksanakan pernikahan juga
pada akhirnya. Tapi, sekelebat wajah yang lain, melintas di pikirannya.

Dan wajah itu adalah wajah Naoko.

“Halo?”

221
“Ya?”

“Aku tahu kau sedang dalam masa berkabung. Tapi kau punya tanggung jawab lain, kan?
Kapan kau mau selesaikan naskah itu?”

“Sebenarnya, tinggal tiga halaman lagi..”

“Ah, yang benar?”

“Iya. Serius. Memangnya untuk apa bohong? Kalau aku mau bohong, akan kubilang kalau
naskahnya sudah selesai dan aku kesulitan untuk mengirimnya. Begitu saja kan bisa?”

“Iya, sih.. Tapi kenapa bisa selama itu?”

“Bukannya kau tahu kalau aku juga mengurus pernikahanku?”

“Iya. Aku tahu.. Tapi kan bisa kau sambil-sambil..”

“Iya, ada kukerjakan seperti itu. Tapi tentu hasilnya takkan maksimal kalau terus seperti
itu?”

“Tenang saja. Buat saja dulu sebisanya. Nanti kuedit..”

“Baiklah.”

“Oh, ya. Aku dapat kabar bagus.”

“Apa?”

“Ada pengusaha dari Thailand yang tertarik mendanai proyek kita. Syaratnya mudah, cukup
Wong Assoy dibuat memiliki kemampuan Thai Boxing, lalu merekrut seorang dari artis
Thailand untuk bergabung, dan penayangan pertamanya dilakukan di Thailand. Gimana?
Keren, kan?”

“Iya, tapi jangan sampai kasusnya seperti kasus dengan Malaysia..”

“Maksudnya?”

“Bukannya kau tahu, kalau kebanyakan karya anak Indonesia diambil alih Malaysia, dan
dijadikan ikon, bahkan ikon utama dari negara itu? Contohnya, dari sekian banyak hal

222
seperti itu, bisa dilihat dari kasus satelit Telkom, yang mati-matian diproduksi anak-anak
Indonesia lalu dijual begitu saja ke Malaysia..”

“Iya, sih. Tapi orang satu ini tidak begitu. Percayalah.” Kata suara itu kemudian melanjutkan,
“Ngomong-ngomong merekrut artis Thailand, aku kepikiran untuk mengajak Jannina Weigel
ke proyek ini. Gimana pendapatmu?”

“Enggak masalah. Bagus-bagus saja..”

“Oke.”

“Sip.”

Paginya, Vellesa kembali ke flat Seniman Musiman, setelah sebelumnya menolak dibelikan
pangsit di depan rumah, atau diantar pakai mobil oleh Pak Budi, dan hanya menerima
beberapa lembar seratus ribu dari Uncu Cies. “Buat ongkos.” Kata wanita itu. Seolah-olah
Vellesa adalah anak kecil yang belum kerja, yang belum merencanakan pernikahan dan
belum punya tanggung jawab yang besar. Tapi memang, Uncu Cies tidak sedikit pun
menyinggung tentang rencana pernikahannya dan siapa pun itu Annelies Mellema, walau
mungkin Uncu Cies tahu, dan bahwa nama calon istri tersebut sangat mirip dengan tokoh
novel kesukaannya. “Kamu nanti nginap disini lagi, kan?” kata Uncu Cies. “Inshaallah,
Uncu..” jawab Vellesa Azephi, lalu bersalaman dengan Uncu Cies, dan ketika hendak
mencium tangan wanita itu, Uncu Cies segera menarik tangannya dan berkata, “Kalau bisa
jangan bersalaman seperti itu. Itu gaya Orde Baru. Dulu kita orang West Sumatra, tidak
pernah bersalaman seperti itu..”

“Eh, maaf, Uncu..”

“Ya. Tidak apa-apa. Uncu hanya mengingatkan.”

“Balik dulu, Uncu.”

“Ya.”

“Assalamualaikum.”

223
“Waalaikumsalam.”

Vellesa sampai di depan pintu flat Seniman Musiman, peninggalan Seniman Musiman, yang
terlebih dulu ditinggalkan Emil. Seseorang yang membukakan pintu adalah Wenno, yang
nampaknya agak lebih kurus dari sebelumnya. Di tangannya selembar kertas dan sebatang
brush pen. “Mau pu tao?” kata Wenno, meletakkan kertas dan brush pen, lantas membuka
kulkas dan mengeluarkan beberapa botol minuman. Beberapa botol kaca Cocacola, empat
botol plastik Fanta, sebotol Pu Tao Lie Chie, kaleng-kaleng Glutenberg.. Vellesa memilih
Glutenberg kaleng, yang diambilnya dua, satu diletaknya di meja dan satu lagi dibuka dan
langsung diminumnya. Wenno menatapnya sambil senyam-senyum, dan ketika Vellesa
bertanya kenapa, Wenno hanya berkata, “Tidak apa-apa.” Lalu kembali menggambar
sesuatu.

Jannina Weigel, pikir Vellesa, Siapa dia? Kalau enggak salah, pernah lihat dia entah dimana.
Tapi Vellesa Azephi tetaplah Vellesa Azephi. Dia tidak terlalu terpaku pada dunia-dunia
selebritis, yang gemerlap, sangat menjanjikan namun gelap di belakangnya. Dan
sebenarnya, Vellesa pun melihat sisi ini pada calon istrinya. Entah bagaimana, dia mencium
aroma yang agak amis, yang melingkar di tubuh perempuan itu. Merusak kesan dari bau
keringat yang ia rindukan selama ini. Tapi ia begitu lelah untuk memikirkan itu. Dia
mengantuk, dan berharap bertemu ibunya yang baik-baik saja di alam mimpi. Wenno baru
saja pergi entah kemana, dan tidak ada seorang pun yang bisa diajak ngobrol. Ponsel sedang
diisi ulang. Maka ia pergi dan menjatuhkan diri ke atas sofa, dan menatap agak lama ke
tempat tidur Seniman Musiman, tempat sepupunya pernah menahan rasa yang teramat
sakit dan penuh penderitaan. Tempat ia semakin yakin, bahwa ruh manusia berbeda dengan
ruh hantu. Manusia yang meninggal takkan pernah bisa menjadi hantu, melainkan ia
dikerangkeng dulu di alam kubur, tempat suatu hari nanti, di Hari Kebangkitan, seluruh
manusia yang pernah mati dibangkitkan kembali.

Beberapa saat, setelah ia tertidur di atas sofa, dan tidak mendapat mimpi apa-apa begitu ia
dibangunkan. Mungkin karena belum tertidur cukup lama. Ia celingak-celinguk kebingungan

224
dan masih belum bisa mendeteksi siapa yang membangunkannya. Tapi. Tapi.. Itu.. Naoko!
Itu benar-benar Naoko! Dia benar-benar Naoko! Cintaannya! Pujaannya! Yang selama ini
tersangkut di alam bawah sadarnya, perempuan yang meghilang begitu saja setelah
memberikan pelayanan ragawi pada dirinya, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, dan
hanya tahu teori-teorinya dari film-film hentai, video-video Mizuho Uehara dan Haruka
Kasumi.. .

“Dan Maria Ozawa?” kata Naoko, yang rupanya telah melepas celana dalamnya, lalu
memutar-mutarnya dengan telunjuk.

“Lebih cantik dirimu.” Kata Vellesa, “Sebab kau cinta pertamaku.”

“Cinta pertama? Lalu mengapa kau memilih Annelies dan bukan aku?”

“Karena kau menghilang..”

“Aku tak menghilang, Vellesa, aku menunggu waktu sampai kau siap..” kata Naoko, “Dan
sepertinya kau belum siap.”

Suara ketukan di pintu depan. “Vellesa!” kata seseorang disana, seperti suara calon istrinya.
“Vellesa!!” Maka Vellesa berdiri dan bergegas membuka pintu, lalu menemukan calon
istrinya. Ah, bagaimana ini? Ada Naoko disana. Pernikahannya pastilah berantakan. Annelies
pasti akan melabraknya, dan kalau pun tidak, Annelies akan berlari sambil menangis dan
mengutuk-ngutuk dirinya sendiri, mengapa ia masih mencintai Vellesa dan bersedia
memberikan dirinya untuk Vellesa.

“Aku..” kata Vellesa, bermaksud berkata, Aku bisa jelaskan.

“Ya?”

Lalu Vellesa menoleh ke arah Naoko. Tapi perempuan cintaannya itu tak ada lagi.
Menghilang entah kemana. Dan karena dia melihat jendela-jendela terbuka, Vellesa segera
bergegas menghampiri jendela itu, dan melihat ke bawah. Tidak ada siapa-siapa yang mirip
Naoko disana. Lalu, bagaimana jika celana dalam tadi tercecer disini? Maka, ia yang masih
tidak menjelaskan apa pun pada calon istrinya, memeriksa beberapa tempat guna mencari
celana dalam itu.

225
“Kenapa kau?” kata calon istrinya.

Dan ketika ia tidak menemukan celana dalam mana pun yang tercecer disini, Vellesa
menjadi agak tenang. Meski pun ada beberapa keringat dingin yang mengalir di dahinya,
dan calon istrinya mengetahui itu. Menghampirinya dan mengambil sapu tangan merah
jambu dari saku bajunya, dan mengelap kening calon suaminya. “Kenapa, Vellesa?”

“Tidak. Tidak ada apa-apa..”

“Kau seperti habis melihat hantu.”

Apakah Naoko itu hantu? Tidak mungkin! Aku tidak mau ada kemungkinan Naoko itu
sebenarnya hantu. Atau sekedar imajinasiku. Aku tak mau. Aku sangat mencintainya, oh,
aku sangat mencintainya. Kata Vellesa Azephi dalam hati.

“Kenapa kau? Vellesa..”

Tapi Vellesa masih tak menjawab pertanyaan calon istrinya.

Sewaktu Vellesa sedang menulis adegan kedelapan Wong Assoy, ia mendapat gangguan lagi.
Sebuah panggilan ponsel dari seseorang. Dan ia berharap itu adalah Naoko, dan berharap
calon istrinya tidak mendengar. Ia mengangkatnya dan berkata, “Naoko?”

“Naoko? Siapa Naoko?” kata suara di sebelah sana. Tapi suara itu memang seperti suara
perempuan. Dan ia belum pernah menelepon Naoko, dan tak tahu bagaimana suara Naoko
di telepon.

“Eh.. Ini siapa?”

“Ini? Jechungid!”

“Ha?”

“Ya. Ini aku, Jechungid.”

“Eh.. Iya. Halo, Kak?”

“Wah.. Akhirnya kamu panggil ‘kakak’, ya? Manis sekali.”

226
“Hehe. Iya..”

“Siapa itu Naoko?”

“Naoko.. Eh..”

“Jangan sampai kamu hancur, ya?”

“Ha?”

“Jangan kamu kacaukan rencana ini. Annelies itu sangat mencintaimu!”

“Iya..”

“Jangan asal iya-iya! Serius!”

“Iya..”

“Janji sama Kakak?”

“Iya. Janji.”

“Baguslah. Dimana sekarang?”

“Masih di Djakawang, flat Seniman Musiman..”

“Oke. Mungkin Kakak nggak bisa datang hari ini, tapi Kakak janji, Kakak bakal datang di hari
pernikahanmu.”

“Iya, Kak..”

“Dah!”

“Dah.”

Vellesa mendapat kiriman pesan baru di What’s App, sebuah alamat yang tidak dia
mengerti. Tidak dia tahu siapa yang mengirim. Dan siapa yang akan menyambutnya disana.
Karena itu Vellesa memutuskan untuk pergi sendiri, dan tidak ingin mengajak calon istrinya,

227
dengan alasan jika tempat itu hanyalah tempat yang berbahaya atau memberikan mudarat
bagi perempuan ini.

“Kemana?” kata calon istrinya.

“Sebentar..” jawab Vellesa, pergi bersama Gojek yang rupanya sudah dipesannya sejak tadi.

Gojek memang mengantarnya ke alamat itu. Sebuah bangunan kecil dan terpencil di ujung
kota Djakawang, bangunan yang berdiri di dekat sebuah bangunan yang berkali-kali lebih
besar, dan mewah, dengan cat abu-abu muda bermotif garis abu-abu tua. Dia turun dan
membayar uang kontan kepada pengemudinya, dengan perasaan yang masih dibalut dalam
kecemasan dan kebingungan, menatap dua bangunan ini. Angin berhembus kering,
menyentuh kulitnya. Tempat ini memang langka dari pepohonan. Siapa yang menyuruhnya
kemari, adalah satu-satunya alasan dirinya mendatangi bangunan kecil ini. Yang berbentuk
seperti rumah peninggalan zaman Belanda, tapi mustahil karena Djakawang adalah daerah
yang sama sekali baru.

Seorang berpakaian seperti pendeta, tapi bukan seperti pendeta-pendeta pada umumnya,
keluar dari bangunan besar di sebelah bangunan kecil ini. Pendeta itu pergi ke suatu tempat
yang sepertinya adalah sumur, tempat para penghuni daerah kecil ini mengambil kebutuhan
air. Dengan agak ragu, ia berjalan mendatangi pendeta itu, yang kemudian tampak agak
ketakutan melihat Vellesa Azephi. “Maaf, ada perlu apa Tuan disini?” kata pendeta itu.
Vellesa Azephi tersenyum, atau lebih tepatnya, berusaha tersenyum. Ada perasaan agak
terhina yang menabrak dada Vellesa Azephi, ketika ditanyai dan ditatap seperti itu. Maka
Vellesa mendehem, kemudian menjawab, “Saya diundang kesini oleh seorang laki-laki
bernama Gundam.”

“Gundam? Gundam siapa?” kata pendeta itu.

“Entahlah. Dia hanya menyebut dirinya Gundam.”

“Ada banyak orang bernama Gundam disini.”

“Maksud Anda?”

228
“Gundam itu gelar semua pendeta disini..”

Terkejutlah Vellesa Azephi, mendapat info seperti itu. Padahal dia mengira, bahwa yang
mengundangnya kesini adalah ayahnya sendiri, yang, walau pun sudah lama pergi
menghilang dan tidak bertemu-bertemu atau memberi kabar. Lalu dia mengira bahwa
ayahnyalah, seorang dari mereka, dan mengapa ibunya merahasiakan ini, dan tetap
mendidik Vellesa Azephi secara muslim, adalah sebuah lintasan pertanyaan yang
membayang selama beberapa menit, atau jam. Saat-saat pendeta tersebut, yang tentunya
merupakan salah satu Gundam, mempersilakannya masuk ke bangunan kecil itu. Dimana
terdapat beberapa kursi dan meja berdebu, dan jaring laba-laba di beberapa sudut. Dari
beberapa epitome yang tertera dan tertempel di dinding, dari sanalah Vellesa Azephi
menyadari, bahwa disini adalah daerah yang dibangun dan memang diperuntukkan untuk
para pengikut Kirr. Entah oleh Presiden atau pemerintah lokal Djakawang sendiri.

“Mau teh?” kata Gundam tersebut.

“Oh, enggak papa..”

“Sebentar, kalau begitu.”

Kemudian Gundam tersebut keluar, tanpa mempersilakan Vellesa Azephi untuk menunggu
dengan duduk. Mungkin karena lupa. Atau memang caranya memperlakukan, caranya
berakhlak, kepada orang-orang diluar agama mereka. Tapi kalau pun kepada sesamanya pun
begitu, Vellesa Azephi tidak heran. Memang, menurutnya, walau pun ia tak ingin
menghakimi orang-orang di agama lain, orang paling berprilaku baik justru adalah bukan
orang yang patuh kepada institusi jemaah mereka. Melainkan orang-orang yang sendirian,
mengasingkan diri lalu mempelajari agama di alam sunyi. Dengan begitu, pikiran-pikiran
orang seperti itu, terbuka dan menyadari hakekat kebenaran sejati. Karena ia tak
memandang lagi perbedaan-perbedaan agama, perbedaan gender, apalagi kasta dan
tingkatan sosial. Agama Katholik, menurut Vellesa Azephi, adalah contoh agama yang
lumayan feodal, jika dibandingkan dengan agama-agama samawi lainnya. Mungkin karena
Protestan dibangun dengan dasar filsafat ideologi kiri, Islam dengan kultur Arab yang keras
dan mengutamakan wong cilik, dan Yahudi terlalu fokus terhadap individualisme. Tapi di
agama Katholik, pemuka agama yang paling utama, diperlakukan bak raja, dan hanya boleh

229
didekati oleh orang-orang tertentu saja. Contohnya ketika ia menonton sebuah dialog antar
agama di laptop, ketika seorang yang dipanggil Mr. Lamsen, sangat menekan-nekankan
dengan kata-kata keras bahwa Katholiklah agama yang paling benar. Bahwa, pemerintah
sangat tidak boleh dilawan, karena pemerintah berasal dari Tuhan, sambil membacakan
ayat-ayat di Alkitab yang dipegangnya di tangan kanan. Vellesa tertawa terkekeh-kekeh saat
menontonnya, lalu menutup laptopnya saat sepupu-sepupunya datang, tak mau memancing
kerusuhan-kerusuhan yang mungkin-mungkin saja akan terjadi.

Belum lewat tiga menit, Gundam tadi kembali lagi dan meletakkan secangkir teh di atas
meja. Lalu dengan wajah semrawut, ia berkata, “Kenapa nggak duduk?” dan membuat
Vellesa agak terkejut, lalu celinguk kiri celingak kanan, mendekati salah satu kursi dan duduk
disana. Lalu menahan bersin, takut wajah semrawut di depannya menjadi tambah
semwarut. Wajah yang membuat Vellesa teringat kepada sejarah Nabi, saat-saat Nabi
Muhammad melakukan dosa pertamanya, atau mungkin juga yang terakhir, yaitu sewaktu
Rasulullah Ke-25 tersebut berkumpul dengan para pemuka adat dan sedang merapatkan
sesuatu yang sangat penting, lalu datang seorang pengemis yang meminta sesuatu kepada
Muhammad, dan Muhammad menjawabnya dengan muka masam. Maka, karena Nabi pun,
yang disebut-sebut sebagai golongan manusia sempurna, dapat berbuat demikian, Vellesa
pun tak heran dengan Gundam ini. Apalagi agama mereka termasuk agama baru.

“Jadi, Anda mencari ayah Anda?” kata Gundam.

“Ya, kalau enggak salah namanya Madekur..”

“Madekur Takeni Gundam? Yang anaknya akan menikah?”

“Ya, betul..”

“Dan calon menantunya seorang Nasrani?”

“Iya.. Tahu dari mana?”

“Rupanya aku sedang mengobrol dengan tokoh masyarakat!”

“Ha?”

“Kamu seorang sufi Daudyah, kan?”

230
“Iya..”

“Coba tanya, aku tahu dari mana?”

“Bisa dipanggilkan dulu..?”

“Baiklah..” kata Gundam dan setengah bermenung. “Baiklah. Tunggu sebentar.”

“Semua perempuan itu butuh duit, Vell. Tidak ada yang tidak.” Kata Gundam. Madekur
Takeni Gundam. Dan walau pun Vellesa masih belum mengerti, apakah ini pertemuan di
dalam mimpi, atau nyata, atau pertemuan yang memang sengaja dan secara sadar
ditempatkan dalam mimpi. Dan juga belum mengerti hal-hal lainnya.

“Ya, awalnya saya berpikir seperti itu.”

“Kalau dia mengatakan tidak butuh, awas saja..”

“Maksudnya?”

“Ya, kamu harus hati-hati. Bisa-bisa dia selingkuh dan tertawa-tawa dengan kekasihnya saat
kamu tidak ada.”

“Maksud Anda apa??”

“Ayah tidak bermaksud apa-apa, Vell. Tidak ada hal buruk yang Ayah niatkan. Ayah justru
bahagia jika kamu ingin menikah..”

“Lalu mengapa Ayah membuatku ragu?”

“Karena kamu belum siap, Vell. Ayah tahu kamu belum siap.”

“Apakah maksud Ayah, yang siap nikah itu seperti Ayah?? Yang memilih menikahi Ibu, lalu
jalan dengan wanita lain??”

“Bukan..”

“Apakah yang siap itu justru seperti kau??”

“SETIDAKNYA AKU PUNYA DUIT UNTUK MENGHIDUPI KALIAN!!”

231
“Oh, ya?” kata Vellesa, “Lalu mengapa sampai sekarang Ibu masih bekerja? Dan Ayah perlu
tahu, kalau pun Ayah mengirimkan uang, Ayah seharusnya sadar bahwa itu kewajibanmu
sebagai Ayah!! Karena kalau tidak, tidak usah repot-repot menikah apalagi punya anak!”

“Jadi, kau mau apa? Mentang-mentang kau anak, kau harus selalu difasilitasi??”

“Aku tidak pernah butuh fasilitas darimu. Dan kau tahu? Aku tak pernah merepotkan Ibu,
dan aku kuliah bukan dari uang kalian!! Aku kuliah karena kerja kerasku, kau paham??”

“Semoga anakmu juga memperlakukanmu seperti ini.”

“Oh, ya? Dari mana kau tahu bahwa aku ingin punya anak??” kata Vellesa. Kata-kata itu
membuat Gundam terdiam.

Lalu Vellesa melanjutkan, “Dan kalau pun aku ingin punya anak, itu karena aku tahu, cuma
aku anak kalian dan aku tak tega membiarkan kalian mati tanpa apa-apa..”

Gundam masih terdiam, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Siapa pun tahu kalau
dia menangis. Dan beruntunglah Gundam, bahwa yang melihatnya menangis hanya satu
orang. Dan satu orang itu adalah anak yang telah lama dirindukannya.

“Ayah tahu? Ayah tidak bisa melarangku menikah.” Kata Vellesa Azephi, sesaat sebelum
pergi.

“Ya, Ayah memang tidak punya banyak andil dalam hidupmu, Vell..” kata Gundam, “Tapi,
setidaknya, biarkan Ayah sedikit meragukan kesiapanmu.”

“Ayah tidak bisa membuatku ragu, dan takkan pernah berhasil.”

“Biar begitu, ada sedikit persiapan yang Ayah simpan kalau-kalau hal seperti ini terjadi..”
katanya, kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar amplop cokelat
muda. “Ini. Ambilah.”

“Tapi..-”

“Memang tak banyak. Tapi cukup untuk kebutuhan kalian menyewa rumah..”

232
“Aku tak bisa menerima ini..”

“Kau yang bilang, bahwa selama ini kau bekerja sendiri, untuk kebutuhanmu dan kuliahmu,
dan memang Ayah tidak pernah menemui ibumu..”

Vellesa terdiam, ia semakin takut ibunya mati. Dan ketakutan bahwa ayahnya mati, adalah
hal baru baginya. Ia tidak sungguh-sungguh mengatakan bahwa ia menikah untuk kedua
orangtuanya, karena sebenarnya ia memang mencintai Annelies dan ingin memiliki
Annelies. Walau memang ia sangat ingin memperkenalkan Annelies kepada ibunya, dan
membiarkan ibunya menilai perempuan itu, ia lebih ingin menjadi anak yang dibanggakan
ibunya. Dan bukan ayahnya. Gundam, memang, adalah hal baru baginya.

Maka, setelah mencoba memeluk Gundam, lalu mengecup dahi lelaki tua itu, dan berkata,
“Terimakasih, Yah.” Lalu pergi dari daerah pergundaman itu, dengan diantar Gojek untuk
kembali ke flat Seniman Musiman, yang memakan waktu satu setengah jam. Satu setengah
jam Annelies calon istrinya, yang duduk menunggu dengan mata basah. Yang segera
menoleh ketika pintu flat itu terbuka, dan segera berkata pelan, “Kukira kau melupakanku.”

Vellesa segera memeluk calon istrinya. Tak menyangka jadinya akan seperti ini. “Aku tak
menyangka akan sesulit ini..” kata Vellesa Azephi, masih dalam pelukan. “Yang penting kau
kembali.” Kata Annelies.

Tamat?

Belum.

“Pasien hari ini?”

“Syams Tabriz. Dia mengaku bernama Vellesa Azephi.”

“Syams Tabriz nama asli?”

“Ya.”

233
“Skizofren?”

“Tanya saja nanti ke Pak Yaunin.”

“Perlu ECT?”

“Sepertinya akan. Tapi belum. Tidak sekarang.” kata Perawat Satu, “Dia penulis.”

“Oh, ya? Menarik.”

“Mau lihat karyanya?”

“Apakah itu penting?”

“Salah satu bukti dari penyakitnya..”

“Judulnya?”

“Baca saja sendiri.”

Kemudian Perawat Dua membolak-balikkan dokumen-dokumen Syams Tabriz, dan


kemudian menemukan;

Menerka Menerkam Merekam Massa yang Mula-mula Memilih Peristiwa Puella Roris,
Adalah Novel yang Sangat Puella Roris, di Saat-saat Mereka Puella Roris Maka Pekerjaan
Puella Roris Adalah Sangat Puella Roris yang Sangat-sangat Puella Roris, Hingga Akhirnya
Mereka Memilih Untuk Bungkam Ketika Orang-orang Itu Puella Roris, dan Begitu Mereka
Selesai Puella Roris, Mereka Pergi dari Kegiatannya Puella Roris, Karena Puella Roris
Adalah, Ya Puella Roris, Adalah, Ya Memang Puella Roris, Sekali Lagi Puella Roris, Ingat,
Karena Puella Roris Tanpa Niat untuk Puella Roris Sebenarnya Adalah Hal yang Sangat
Ambigu, Antara Puella Roris Kristen, Puella Roris Yahudi, Puella Roris Protestan, Puella
Roris Nasrani, Misionaris Islam yang Kemudian Puella Roris Sesamanya, Seperti Kanibal
Tapi Tanpa Puella Roris Lainnya Adalah Sangat Kejam, Namun di Buku Puella Roris Ini,
Sepertinya Cerita Puella Roris a la Novel Puella Roris Tersebut, Tampaknya Tidak Seperti
Cerita-cerita di Buku Puella Roris Lainnya, Karena Bisa Jadi Puella Roris Kali Ini Bukanlah
Seperti yang Anda Kira, dan Cerita-cerita di Dalam Puella Roris Sudah Pasti atau

234
Sepertinya Bukanlah Cerita Kesukaan Anda, Namun Saya Yakin Anda Akan Membaca
Buku Puella Roris Sampai Tamat, Tapi Begitu Tamat, Mungkin Anda Tidak Akan Langsung
Meletakkan Buku Puella Roris, Karena Puella Roris Masih Terngiang di Pikiran Anda,
Terutama Ketika Anda Mengingat Vellesa Azephinya Puella Roris, Gayatri Chen Chennya
Puella Roris, Stephen Caerossnya Puella Roris, Seniman Musimannya Puella Roris, Kepala
Biaranya Puella Roris, Misionarisnya Puella Roris, Judul-judul Buku Fiktif Khas Puella Roris,
Si Pelari, Pulau Fiktif Djakawangnya Puella Roris, Puisi Karangan Vellesa Azephi untuk
Aninya Puella Roris, Gulai Anggur Djakawangnya Puella Roris, Hantu-hantu Sebagai
Figurannya Puella Roris, Penjelasan Tentang Indera Keenam yang Penuh Riset di Puella
Roris, Sufi-sufi Daudyah di Puella Roris, Syams Tabriz dan Tokoh Sejarah Lainnya di Puella
Roris, yang Sebenarnya Buku Puella Roris Ini Kutulis Sejak Tanggal Satu, Eh Dua Atau
Mungkin Tigabelas April Lalu, yang Ketika Aku Sedang Tidak Memikirkan Novel, Malah
Terngiang Sebuah Judul yang Sangat Puella Roris Ini, yang Awalnya Hanya Dinamai Puella
Roris Saja Tanpa Judul Panjang yang Bikin Kepala Pembaca Puella Roris Mungkin Jadi
Sakit, Tetapi Akhirnya Puella Roris pun Keluar Dengan Judul Berkata-kata Revolusioner
Walau Ternyata Puella Roris Bukan Buku Pertama yang Judulnya Lumayan Panjang, Ada
Buku Lain Selain Puella Roris yang Menceritakan Kisah Hidup Harry Potter nan Mungkin
Akan Diceritakan di Puella Roris Atau Tidak, Tapi yang Pasti, Puella Roris Bukanlah Buku
yang Mengundang Konflik dan Memang Puella Roris Tidak Diniatkan untuk Memecah
Belah Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan di Indonesia yang Merupakan Tempat
Penulis Misionaris Lahir, Yakni di Padang Tanggal Duapuluh Bulan 12, Tahun Tak Usah
Disebutkan Di Judul Puella Roris, Nanti Ada yang Protes Maupun Terkesima Karena Puella
Roris Adalah Novel yang Sangat Ambisius, dan Mungkin Puella Roris Disebabkan Karena
Beban Tanggungjawabnya dari Masa Lalunya yang Sempat Bersekolah di Taman Kanak-
kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama yang Mendasarkan Budi Pekerti
Terutama di Bidang Kerukunan Antar Agama, Antar Ras, Antar Golongan, Antar Suku
Bangsa, Biar pun di Sana Sepertinya, Mungkin, Belum Ada Siswa yang Tidak Beragama
atau Agamanya Dianggap Sebagai Agama Terlarang atau Beraliran Sesat Seperti Amerika
yang Mengatakan Bahwa Shia atau Syiah Itu Adalah Agama yang Lebih Buruk dari
Agama Islam Sunni di Indonesia, Mungkin Karena Masalah Politik yang Sebenarnya Tidak
Terlalu Diperhatikan di Novel Puella Roris Ini, Tapi Biar pun Begitu, Bisa Saja Ada
Politikus-politikus Tak Tahu Diuntung yang Memanfaatkan Buku Novel Puella Roris yang

235
Dipinjamnya dari Seorang Pemuda yang Mungkin Masih Butuh Karena Dia Baru Menjadi
Siswa Sekolah Menengah Atas Jurusan Sastra yang Sebenarnya Tergila-gila Kepada
Karya-karya Luar Seperti John Steinbeck atau Kurt Vonnegut atau Penulis Kesukaan
Pengarangnya Puella Roris, Yakni Mary Wollstonecraft, Ya, Hey Sang Feminis Pertama,
Apakah Anda Sudah Siap Jika Nama Anda Muncul dan Dibahas di Buku Puella Roris Ini,
atau Malah Tidak Siap dan Kemudian, Nanti, Selanjutnya, Anda Akan Menggentayangi
Saya Apalagi Ketika Saya Bergelut di Kandang Kucing, Eh Bukan, Bergelut di Bidang
Kesetaraan Gender Seperti Anda, Lalu Anda Menampakkan Wajah Jelek Anda, yang
Mungkin, Menjijikan atau Lebih Menjijikan Daripada Sang Pembunuh Misionaris yang
Sangat Tega di Novel Ini, Seperti Ketika Dia Menceritakan Kepada Salah Satu Tokoh di
Cerita Ini, Bahwa Dia Baru Saja Membunuh Seorang Misionaris dan Karena Itu Sangat
Senang dan Bergairah Lalu Ingin Bercinta Kepada Siapa Saja Perempuan Manapun di
Muka Bumi Ini, atau di Mars: Jika Ada Kehidupan, atau di Venus: Tempat Perempuan
Berasal, atau Planet Gliese yang Merupakan Planet Hidup yang Baru Ditemukan Beberapa
Tahun Belakangan, Tapi Sudahlah, Jangan Bahas Si Pembunuh Dulu, Si Penulis Sedang
Ingin Bersantai Sesaat Sambil Menghirup Kopi, Yah! Kopi Lagi, Kopi Lagi.. . Kenapa Harus
Kopi? Kopi Melulu! Coba Kutanya Kau, Eh, Coba Saya Tanya Anda; Apakah Anda Tidak
Bosan Dengan Kopi? Bukankah Anda Ingin Coba Teh Khas Jepang yang Sangat Legendaris
Itu? Atau Bagaimana Dengan Kombucha, atau Pu Tao, atau Wine atau Anggur, atau Tuak
Penuh Raginya Papa Rusli Marzuki Saria, atau Sebatnya Muhammad Ibrahim Ilyas atau
Om Bram, atau Jengkolnya Dokter Rezki Khainidar, yang Masuk ke Cerita Ini, atau Hironya
Bang Atma dan Kak Astari, atau Pipinya Bang Pepeng, atau Gitarnya Bang Tenku, atau
Koleksi Lagunya Kak Ecy, atau Kaus Kakinya Bang Fajry, atau Gemulainya Hamdan, atau
Kacamatanya Yadi, atau Permainan Ponselnya Daffa, atau Kecerewetan Cici, atau Sepeda
Motornya Syukri, atau Buku-bukunya Bang Ivan Harley, atau Semut-semutnya Bang Deni,
atau Nyanyiannya Kak Dinda Alhumaira yang Merupakan Calon Istrinya Bang Deni, atau
Kak Novi yang Pernah Mewawancaraiku Sebelum Menjadi Anggota Komunitas Seni Nan
Tumpah, atau Ulangtahunnya Kak Emin yang Takkan Pernah Kulupakan, atau Kekasihku
yang Kujuluki Gadis Siput, atau Adik Kesayanganku Syariif Ibrahim Maulana, atau
Sahabatku Sekaligus Penasehatku Eti Sulastri, atau Bang Kicik yang Menyelamatkanku
Saat di Bandung, atau Fadhil Akbar yang Sedang Antusias Menunggu Bukuku Terbit, atau
Uni Nelly yang Suka Memelukku, atau Master Ai yang Sedang Sibuk-sibuknya Mengejar

236
Doktoral dan Mempersilakanku Meminjam Buku-bukunya, atau Om Tuen Tinof yang Suka
Memberiku Kue, atau Kak Efri yang Pernah Traktir Aku di Rimbun, atau Kak Novy yang
Kusarankan untuk Menulis Kisah Ibunya, atau Kak Debora dan Pertemuan Spiritualku
Dengannya, atau Om Yusrizal Kw yang Merupakan Orang Pertama nan Menyuruhku
Menulis, atau Master Lis dan Kenanganku di Yogyakarta Bersama Om Sabastian Saragih
yang Sangat Ingin Mengundangku ke Rumahnya, atau Om John Erryson yang Pernah
Curhat Tentang Jatuh-Bangun Seorang Pekerja Lepas, atau Tante Ning yang Menggemari
Chairil Anwar dan Memberiku Buku Puisinya Bang Sabiq, atau Bung Gaek yang Bangga
Dengan Hasil Kerjaku dan Memberiku Sebatang Marlboro Kretek, atau Mbak Sani yang
Pernah Membayariku Menonton Teater Gandrik, atau Sherly Wandra yang Misterius,
atau Salepy Likoti yang Ramah, atau Bu Eel Sang Ibu Sastraku yang Merupakan Orang
Pertama nan Memuji Tulisanku di Pelajaran Bahasa Indonesia, atau Amai Miya yang
Pernah Gigih-gigihnya Menasehatiku dan Membawaku Jalan-jalan ke Payakumbuh, atau
Pak Al yang Suka Sok Tahu Sama Sastra, atau Bu Ina Morin yang Sering Mengobrol Soal
Kuliah Sastranya, atau Bu Rhies Nha dan Farhan Hamdani yang Mungkin Sedang
Menunggu-nunggu Buku Ini, atau Bang Dedi yang Suka Membaca Naskahku, atau Bang
Kiki yang Barangkali Mau Mengajakku ke Solok, atau Bang Arief Padri yang Pernah
Menawariku Susu Bear Brand, atau Eva Faber yang Pernah Sudi Menerjemahkan
Naskahku Tapi Tak Jadi, atau Tante Yeyen Kiram yang Sangat Cerewet, atau Angku If
yang Agak Kagum Padaku, atau Zu yang Keringatnya Masih Teringat Hingga Kini, atau
Dodosh Hossein yang Pernah Membuatku Masuk Teve dan Koran, atau Mari Suzuki yang
Memberikan Sepuluh Ekor Gumihonya Padaku, atau @mistarteguh yang Sudi
Mengagumiku, atau Bang Cu’a yang Sering Mengajakku Makan, atau Bang Hendra
Makmur yang Menyelenggarakan Kelas Menulis Untukku, atau Bang Yose yang Sedang
Meminjam Buku Biografi Chairil Anwar Dariku, atau Kak Yetti yang Sering Berbagi Kisah
Dunia Tulis-menulis, atau Bang Roni yang Mirip Che Guevara, atau Kak Ros yang
Ulangtahun Waktu Itu dan Ingin Kuhadiahi Naskah Ini, atau Bang Heri Faisal Cassandra
Will Smith yang Sering Mengajakku Bercanda, atau Guru Telepati yang Anaknya Pernah
Kucintai, atau Pak Zera Mendoza yang Berjanji Akan Mengajariku Ilmu-ilmu
Parapsikologi, atau Om Ivan Coff yang Sangat Menarik, atau Bang Pandi yang Sangat
Setia dan Baik Hati, atau Pak Poskanta yang Memberiku Buku-bukunya Secara Gratis dan
Malah Memberiku Pekerjaan Pertama Sebagai Ilustrator Buku, atau Kak Windi yang Juga

237
Suka Menasehatiku, atau Oom Imoe yang Sering Mengundangku ke Acaranya di Ruandu
Foundation, atau Ummi Nissa yang Sangat Menyayangiku, atau Kak Sefni yang Sangat
Penasaran dengan Tulisanku, atau Naomi Amigo yang Pernah Membaca Salahsatu
Naskahku, atau Om Daus yang Pernah Mengajakku Menginap di Rumahnya, atau Bang
Rilka Putra yang Sempat Menjadi Ruang Curhat Darurat, atau Genta Raven dan Guntur
Raven yang Sering Meminjamiku Komputer, atau Kak Wulan Putri yang Pernah
Mengajakku ke Kampungnya, atau Bang Harryaldi yang Mengajakku Membuat Film
Eksperimen, atau Wenno yang Pernah Menonton Film Danur Bersamaku, atau Mak Naih,
atau Om Sudarmoko, Tante Ka’ Bati, Bang Esha Tegar Putra dan Rekan-rekan Lainnya di
Ruang Kerja Budaya dan Rumah Ikhlas dan LP2M dan PKBI dan LBH Padang dan Bina
Desa dan Perpustakaan Tanah Ombak dan KSNT dan Teater Hitam Putih dan Nurani
Perempuan dan Sekolahalam Minangkabau dan Bengkel Seni Alugara dan Rimbun
Espresso and Brew Bar dan English Language School dan Ganesha Operation, dan Ziarah
Kesenian atau Ziarah Karyawan, Maaf Tak Bisa Mengucapkan Nama Semuanya, Padahal
Kalian Semua Selalu Tersenyum, atau Ayah, atau Shinta Amalia yang Pernah Menjadi
Kekasihku dan Membuatku Tak Bisa Memaafkan Diriku Sendiri nan Akhirnya Memberiku
Pelajaran Bahwa Aku Harus Menjaga Erat Hubunganku dengan Gadis Siput, maupun
Rimbo, Sang Jalaludin Rumi yang Membuatku Secara Alami Akhirnya Menjadi Syams
Tabriz, yang Katanya Teman Seperjuangan Tapi Aku Justru yang Paling Malas-malasan,
Rimbo, yang Sudi Menjadikanku Kembarannya dan Karena Dialah, Sebenarnya, Aku
Menuliskan Buku Ini, Terimakasih untuk Semuanya, Judul Buku Peristiwa Puella Roris Ini
Takkan Selesai Tanpa Kalian, I Love You and Rohmatik Forever..-

“Gila.” Kata Perawat Dua.

“Itu sebabnya mereka pakai kata itu.”

Perawat Dua termenung. Lalu berkata, “Kata apa?”

“Istilah itu. ‘Gila’.”

“Oh..”

238
“Mau lihat isinya?”

“Nanti saja. Ini sudah cukup mengerikan.”

“Katanya suka horor..”

“Ya. Tapi aku tak mau ikut gila.”

“Kukira enggak papa, keren kok isinya.”

“Nggak! Jangan paksa.”

Perawat Satu menghela nafas. “Istrinya cantik.”

“Oh, ya?”

“Ya. Sayang, Kristen.”

“Masalah?”

“He?”

“Masalah kalau Kristen?”

“Eh.. Enggak, sih. Tapi ya rumit aja.”

“Jangan bilang kalau kamu..”

“Ya. Aku naksir dia.”

“Hey!”

“Ya. Aku memang naksir istrinya.”

“Apa rencanamu?”

“ECT dia.”

“Terapi listrik itu?”

“Ya. Supaya dia lupa.”

239
“Lupa? Maksudmu, lupa sama istrinya?”

“Tentu saja.”

“Kalau dia tahu?”

“Dia gila, Bro.”

“Iya, tapi setelah keluar dari sini?”

“Tidak. Istrinya tidak akan percaya.” Kata Perawat Satu, “Lagipula, setelah keluar dari sini,
aku yang akan menjelaskan diagnosanya.”

“Kejam!”

“Heh! Kau kira dia tidak kejam? Menikahi perempuan itu dengan kondisinya yang seperti
ini?”

“Tapi..-”

“Aku melakukan keadilan, Bung. Keadilan.”

“Entahlah, Men. Kalau kau anggap itu benar, kenapa nggak dari dulu?”

“Maksudmu?”

“Ratih yang dulu itu, yang cinta mati sama kamu.”

“Ratih kan pasien, Bung.”

“Iya. Justru itu..”

“Aku enggak suka.. Maksudku, bagaimana Ratih akan mengurus anak nanti, kalau kondisinya
seperti itu?”

“Entahlah, Men. Tapi kalau kau memang mau keadilan, ya..-”

“Apa?”

“Nggak jadi.”

240
Sementara itu, Vellesa Azephi yang sebenarnya bernama Syams Tabriz, tengah diikat dan
memberontak-berontak, berkata bahwa dia seharusnya dilepaskan, dan mereka tak bisa
semena-mena seperti ini kepadanya jika tak ingin dituntut hukum. Perawat Satu, Perawat
Dua maupun perawat-perawat lainnya hanya mengabaikan dan tidak menganggap hal itu
adalah hal yang besar. Tapi mereka tak tahu, begitu pemuda gila itu terdiam, mereka sama
sekali tidak mengetahui, bahwa pasien ini sedang merencanakan pembalasan besar-besaran
begitu ia boleh keluar suatu hari nanti.

“Kamu tidak takut?” kata seorang pasien lain, kepada Perawat Satu dan Perawat Dua.
Mungkin. Mungkin ia pasien lain, atau bukan. Yang jelas pakaiannya tidak mencerminkan
bahwa ia juga seorang perawat seperti mereka.

“Apa?” kata salah satu dari Perawat Satu dan Perawat Dua, atau barangkali mereka
mengatakannya serempak.

“Apa kalian tidak takut, dengan rencana pasien baru itu?” kata pasien itu, seorang yang
Perawat Satu baru sadari bahwa ia adalah seorang lansia, yang janggutnya panjang sampai
ke dada.

“Mau di-ECT?” kata Perawat Satu, mengancam pasien tua itu.

Tapi pak tua itu hanya tersenyum dan terkekeh, dan sama sekali tak menunjukkan rasa
takut seperti apa pun. “Tidak. Silakan lakukan apa pun padaku. Aku tidak ragu.” Kata pak tua
itu.

Maka, dengan beringas, Perawat Satu menarik kedua pergelangan tangan pak tua itu,
menuju sebuah ruangan yang sangat ditakuti oleh para pasien-pasien lain, lalu Perawat Dua
mengikuti mereka, dan pintu ditutup. Pasien-pasien lain hanya bisa melihat, dan memang
sejak tadi mereka hanya melihat, tanpa sedikit pun rasa keberanian untuk melawan atau
protes.

Beberapa hari kemudian, ikatan-ikatan di kaki dan tangan Syams Tabriz dilepaskan. Tapi dia
tak mau keluar dari kamarnya. Ia sepertinya sengaja menyendiri, atau mungkin merajuk
karena ada pasien-pasien baru yang datang lebih belakangan darinya, yang malah

241
dikeluarkan lebih dulu. Para perawat selain Perawat Satu, tampak tidak sedikit pun
mempedulikannya. Juga Perawat Dua, sepertinya tidak menaruh simpati apa pun kepada
Syams Tabriz. Tapi Perawat Satu, berkali-kali menyuruhnya keluar dari kamar, salah satu
alasannya adalah karena seprai tempat tidur tempat Syams Tabriz duduk haruslah diganti,
karena siapa pun yang baru masuk ke rumah sakit ini, termasuk Syams Tabriz, sudah pasti
sesak kencing di hari pertama dan memang dibiarkan pipis disana.

“Emile Rezam. Dia benar-benar nyata..” kata Syams Tabriz. “Emile Rezam sedang
menungguku.”

Perawat Satu berkata, setengah membentak, “Hoy! Keluarlah segera. Kalau enggak, akan
kusentrum kau sama ECT!”

Tapi Syams Tabriz sepertinya tidak mempedulikan apa pun.

Maka, dengan beringas, seperti beringas-beringasnya kepada pasien-pasien lain termasuk


pak tua kemaren hari, Perawat Satu masuk lalu mendatangi Syams Tabriz dengan langkah
cepat, dan melabrak kepada Syams Tabriz dengan kuat. Tapi ia tak berhasil mengenainya,
dan kedua pasang tangan Syams Tabriz dengan cekatan menangkap bahu dan lengan kanan
Perawat Satu, lalu membantingnya ke lantai.

Kemudian Perawat Satu hanya melihat gelap.

Tamat?

Belum.

Sesaat sebelum Annelies Mellema memutuskan pilihan paling berat di hidupnya, ia


berpapasan dengan seorang laki-laki yang misterius. Atau kalau bukan misterius, adalah laki-
laki yang tak terlalu dikenalnya. Walau laki-laki itu termasuk tetangga di sekitar rumahnya.
Laki-laki yang berpenampilan tidak terlalu gendut, walau perutnya lumayan buncit.
Berkumis, dan mungkin lupa cukur janggut. Annelies ada rasa agak jijik ketika melihatnya,
seperti saat-saat ia melihat dan menyadari bahwa orang di depannya adalah hidung belang

242
atau germo. Tapi tidak kepada pelacur wanita, sebab ia menyukai buku Cantik Itu Lukanya
Eka Kurniawan yang mengubah persepsinya tentang pelacur wanita. Walau pada gigolo atau
pemain film porno laki-laki, ia tetap merasa jijik dan bisa jadi jijik bukan main.

“Kau harus memutuskannya, Ani.” Kata lelaki itu. “Ini demi masa depan bayi yang ada di
perutmu.”

“Tapi..-”

“Aku tahu, kita tak ada hubungan apa-apa lagi. Tapi setidaknya, biarkan aku coba
membantumu. Lagipula, aku sudah menganggap Syams sebagai teman..”

Dengan adanya Syams Tabriz di tempat ini, tempat terpencil dan sangat terisolasi ini, dan
semakin bergerombolnya berbagai jenis misionaris di luar sana, orang-orang semakin
kesulitan dalam memilih Tuhan, atau maksudnya, ‘memilih Tuhan’. Dan sampainya
Pelesetupat, seorang penulis yang coba-coba menulis revolusi yang mungkin bisa juga
disebut sebagai seorang yang revolusioner, turun ke lapangan pada saat penobatan
presiden lanjutan setelah Joko Widodo, yang memberikan kesempatan bagi Pelesetupat
untuk berpidato. Atau berorasi. Dengan jutaan orang awam maupun misionaris-misionaris
yang juga hadir disana.

Lalu apa yang berbahaya, yang disebut pemuda di Djakawang itu? Ketika Gundam Tersebut,
seorang gundam selain Madekur Takeni yang menelusuri kota Djakawang, sewaktu bertemu
dia yang berdiri diam di tengah jalan. “Lebih baik Anda segera pergi dari sini, Tuan Pendeta.”
Katanya. “Mereka tak akan membiarkan Anda kali ini, .. Mereka akan menggantungmu.”
Kata laki-laki itu. Apa maksud laki-laki itu, yang memanglah pemuda yang dimaksud? Tapi,
semuanya hanya ada dan tersisa di pikiran Vellesa Azephi. Dan Vellesa Azephi pun saat ini
sudah ke laut. Tidak ada. Sisanya pun tidak. Tahinya pun, keringat bau busuknya, daki dan
lain-lainnya juga tidak.

243
Djakawang tidak ada. Tidak benar-benar ada. Itu hanya di dalam buku karangan seseorang,
yang dibaca lelaki yang sepertinya bernama Vellesa Azephi itu, yang dipinjamnya dari Karta
Kusumaz. Buku berjudul kota itu.

Konon. Di Djakawang, di kota yang seperti itu, terdapat sekelompok orang yang tak segan-
segan untuk menghabisi jenis orang seperti Gundam Tersebut. Dan, kalau dilihat-lihat lagi,
Gundam Tersebut yang merupakan orang selain Madekur Takeni, juga masihlah jauh lebih
polos, lugu dan bahkan lebih bodoh daripada Vellesa Azephi. Dan ada kemungkinan bahwa
Vellesa Azephilah, yang merupakan pemuda nan memperingatkan Gundam Tersebut. Walau
Gundam Tersebut hanya ada di dalam buku, dan tidak bisa dijadikan studi banding untuk
psikologisnya Vellesa Azephi yang mungkin, mengidap lebih dari sekedar skizofrenia.

Atau tidak?

Salah?

Entah.

Ditambah lagi, setelah membaca banyak buku, lalu menemukan perempuan yang tepat
untuk dijadikannya istri, yang sayangnya hanya ada di buku itu, Vellesa Azephi melihat
sesuatu. Sebuah harapan. Kenyataan yang sangat nyata.

Dan kenyataan itu adalah Annelies Mellema.

Di salah satu tempat, di sudut kota itu, terdengar suara-suara iklan dari radio. Atau televisi.
Atau koran digital. Berisikan lowongan pekerjaan dari salah satu perusahaan Jepang. Bagi
yang berminat, mereka bilang, akan dipersilakan untuk mengirimkan biodata, pengalaman,
tulisan motivasi kerja dan pas foto. Dan bagi yang lulus di agensinya, yang juga terdapat di
Jakarta, Medan, Surabaya dan kota-kota besar lainnya, akan didanai untuk pergi, kerja dan
tinggal di Jepang. Orang-orang tergiur akan persoalan kepergian mereka, mungkin untuk
berfoto-foto dengan hasil jepretan yang akan mereka kirim ke Instagram, Facebook.. Atau
merekam video dan memasukkannya ke Tik Tok, Youtube, Instagram story.. . Dan mereka
tidak memikirkan, malah, apakah disana pekerjaannya berat, atau sampai mana batas

244
kemampuan mereka untuk bertahan, dan lain-lain, dan sebagainya. Dan di tempat lain, di
lapangan yang luas, sesuatu yang lain pun tengah terjadi. Tengah meletus.. .

Pidato itu diakhiri oleh teriakan-teriakan massa, yang kemudian mulai menyanyikan lagu
Darah Juang dengan mengangkat tangan kiri mereka tinggi-tinggi. Dan sampainya
Pelesetupat turun dari tempatnya berpidato, lalu para aparat kepolisian bahkan para
tentara semakin gencar mengawasi tingkah-polah orang-orang disana, Pelesetupat
tersenyum dan kembali bersorak, “Sumpah mahasiswa Indonesia! Kami mahasiswa
Indonesia bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan. Kami
mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan. Hidup rakyat!
Hidup rakyat!!”

Maka Pelesetupat ditangkap.

Entah diserahkan ke rumah sakit seperti Vellesa Azephi, atau penjara di Boven Digoel.. .

Tapi Pelesetupat tidak bisa ditangkap. Dia menghilang begitu para tentara berhasil
membekuknya, atau seolah berhasil membekuknya. Orang-orang tak melihatnya lagi disana,
tiada siapa pun lagi yang serevolusioner Pelesetupat. Dan begitu orang-orang berusaha
mencarinya kemana-mana, termasuk para misionaris dari berbagai agama itu, mereka
akhirnya mendapatkan hasil yang nihil. Mereka bahkan percaya bahwa Pelesetupat rupanya
adalah utusan Tuhan untuk mereka, agar mereka mempercayai agama Kirr bersama-sama,
atau agama Islam bersama-sama, atau Budha bersama-sama, atau lainnya. Atau mungkin
yang bukan dalam konteks agama, tetapi lebih kepada apa yang disebut Pelesetupat di
dalam orasinya, “-.. Presiden hari ini penuh dengan ketakutan. Presiden hari ini penuh
dengan kemalasan. Jika satu presiden saja, yang terpilih dan memang benar-benar ingin
menjadi presiden, maka Presiden akan menjadi orang yang lebih dulu masuk surga. Tetapi
Presiden hari ini malah bungkam, lalu diganti dengan presiden yang lain. Dan, jika presiden
yang terpilih tidak diberikan gaji sebesar itu, maka status tersebut pastilah akan sedikit
orang yang menggandrunginya..-”

245
Mungkin Pelesetupat sudah mati.

Dan ini adalah akhir yang tak ubahnya dari semenyedihkan sebelumnya.

Tamat?

Sebelum kita benar-benar menamatkan ini, ada satu hal yang harus pembaca ketahui. Saya
bukanlah penulis yang bagus. Saya bukanlah penulis yang suka belajar tata bahasa. Untuk
menuliskan kata keterangan tempat saja, saya menulis ‘disana’. Bukan ‘di sana’. Tapi, itu
bukannya saya tidak sengaja. Saya sengaja. Saya ingin mempertegas pendalaman gaya
bahasa saya. Mungkin di halaman-halaman tulisan ini pun, ada terdapat beberapa salah
tulis, tapi saya tidak peduli. Saya hanya akan memperbaikinya ketika saat itu sudah datang.
Dan ketika pagi itu, Annelies datang ke rumah, mengetuk pintu dari kayu mahoni yang saya
ukir sendiri, saya membukakan pintu yang berpegangan emas. Annelies muncul di depan
saya dengan pakaian modis dan aroma parfum yang sangat harum dan merasuk ke hidung
saya. Seperti vannila campur blueberry. Saya mempersilakannya masuk dan ia pun
menginjak lantai kayu berpelitur, dan menyebabkan bunyi ketukan yang berkelas. Ia
menangis di hadapan saya, saya tidak tahu mengapa, dan saya tak tahu kenapa saya sampai
merangkul bahunya mendekati saya. Vannila campur blueberry ini pun semakin kuat. Saya
tak tahan, sampai televisi lupa saya matikan. Boros listrik. Annelies tersengal-sengal
tangisannya, tapi saya malah terpancing ke pikiran lain. Saya bodoh. Sungguh bodoh. Saya
langsung menanggalkan sekujur pakaian saya, dan sekujur pakaian Annelies. Dia terlihat tak
mau tahu, menangis sambil menatap kosong ke arah jendela kaca. Hujan di luar. Ehem! Ya,
saya akhirnya memilih sepasang kata itu. ‘Di-luar’. Ya, hujan di luar. Dan kami pun bercinta
setelah melepas pakaian, melepas batas antara halal dan haram, melepas batas antara
nafsu dan ketakutan, batas-batas antara duniawi dan kesucian, batas-batas antara yang
resmi dan yang tersembunyi.. . Dengan agak ragu dan kesakitan, suara erangannya
bercampur dengan suara televisi yang belum mati. Mengenai misionaris-misionaris yang
baru saja saya tinggalkan, dan tentara-tentara serta polisi-polisi yang mencari-cariku. Yang
baru saja kubodohi pakai sulap a la Dajjal.

246
Dan juga, di sana aku mendengar bahwa misionaris-misionaris itu telah selesai dilepturkan.

Tamat?

Tamat.

Juni, 2018

247

Anda mungkin juga menyukai