Anda di halaman 1dari 7

10 Kisah Zen Yang Menginspirasi

3 Februari 2013 / Ilham

Ajaran Zen-Buddhisme seringkali disampaikan melalui kisah-kisah pendek yang menarik yang
disebut Gong’an atau Koan. Banyak diantaranya yang menginspirasi dan mencerahkan.

Beberapa dari kisah itu mugkin bisa langsung dipahami, sebagian lagi butuh dicermati dan
dimaknai.

Kisah-kisah berikut ini meliputi berbagai macam topik. Saya akan coba memberikan interpretasi
versi saya tapi silahkan tambahkan interpretasimu sendiri, atau tambahkan kisah lainnya yang
kamu tahu lewat komentar ya.

Secangkir Teh
Nan-in, seorang master Zen di Jepang pada era Meiji (1868-1912) menerima seorang profesor
universitas yang ingin mempelajari Zen.

Nan-in menyajikan teh. Ia menuang cangkir tamunya hingga penuh, dan terus menuang.

Sang profesor memerhatikan air teh itu melimpah hingga ia tidak dapat lagi menahan dirinya.
“Itu kepenuhan. Tidak bisa ditambah lagi!”

“Seperti cangkir ini,” kata Nan-in, “kau penuh dengan opini dan spekulasimu sendiri. Bagaimana
aku bisa menunjukkanmu Zen kecuali kau mengosongkan cangkirmu lebih dulu?”

Simpan selalu ruang di hati dan pikiran untuk menerima ilmu-ilmu baru.
Beban
Dua biksu kembali pulang ke biara pada sore hari. Hujan turun dan ada genangan air di sisi jalan.
Di satu tempat seorang gadis cantik berdiri tak dapat berjalan di seberang karena ada genangan
air.

Biksu yang tua pergi dan menggendong gadis itu menyeberangi jalan, lalu melanjutkan
perjalanannya.

Pada malam harinya biksu yang muda bertanya pada biksu yang tua, “Pak, sebagai biksu kita kan
tidak boleh menyentuh wanita?”

Biksu yang tua menjawab, “Ya, saudaraku.”

“Lalu mengapa Anda menggendong wanta tadi di jalan?”

Biksu yang tua itu berkata, “Aku meninggalkannya di sisi lain jalan tadi, tapi kau masih
menggendongnya.”

Pikiran meneruskan masalah meskipun itu sudah berlalu. Dari sanalah datanganya kegelisahan,
ketidakpuasan dan ketidak-terimaan.

Menemukan Potongan Kebenaran


Suatu hari Mara, Si Jahat, melakukan perjalanan melewati pedesaan India dengan para
pelayannya. Ia melihat seorang pria melakukan meditasi berjalan dengan wajah terangkat keatas
sambil merenung. Pria itu baru saja menemukan sesuatu di tanah didepannya.

Pelayan Mara bertanya apa itu dan Mara menjawab, “Sepotong kebenaran.”

“Tidakkah ini mengganggumu jika seseorang menemukan sepotong kebenarang, oh Yang


Jahat?” tanya pelayannya.

“Tidak,” jawab Mara. “Setelah ini, mereka biasanya menciptakan suatu keyakinan dari
kebenaran itu.”

Apa yang kita yakini bukanlah realitas. Biarkan fakta sebagaimana adanya. Berhentilah
mengembangkan keyakinan dari sesuatu yang tidak dapat kita ubah.

Sisi Seberang
Suatu hari seorang Buddhis dalam perjalanannya datang ke tepi sungai yang lebar. Menatap
putus asa pada rintangan besar di hadapannya, dia berpikir berjam-jam bagaimana menyeberangi
sungai itu.
Ketika dia hampir menyerah, dia melihat seorang guru besar di sisi seberang sungai. Buddhis
muda itu berteriak pada sang guru, “Hai orang bijak, dapatkah kau memberitahuku bagaimana
agar aku bisa sampai di seberang sungai ini?”

Guru itu berpikir sejenak lalu berteriak balik, “Anakku, kau sudah ada di seberang.”

Cara pandang kita bisa jadi berbeda dengan orang lain terhadap satu masalah yang sama. Bagi
kita mungkin orang lain lebih beruntung, namun bisa saja bagi orang lain kitalah yang lebih
beruntung dalam hal lain.

Benarkah Demikian?
Master Zen Hakuin dipuja oleh tetangga-tetangganya sebagai orang yang hidup dalam
kemurnian.

Gadis Jepang yang cantik yang orangtuanya memiliki toko makanan tinggal di dekatnya. Tiba-
tiba, tanpa peringatan, orangtua gadis itu menemukan anak mereka hamil.

Ini membuat orangtuanya sangat marah. Gadis itu tidak mau mengaku siapa ayahnya, tapi
setelah banyak dipermalukan akhirnya dia mengatakan yang menghamilinya adalah Hakuin.

Orangtua yang marah itu pergi ke sang master. Sang master hanya mengatakan, “Benarkah
demikian?”

Ketika bayinya lahir, orangtua itu membawanya ke Hakuin, yang sekarang dianggap sebagai
sampah masyarakat oleh warga desa. Mereka meminta Hakuin merawat anak itu sebagai
pertanggungjawaban. “Benarkah demikian?” kata Hakuin dengan tenang ketika ia menerima
anak itu.

Setahun kemudian gadis itu akhirnya mengakui pada orangtuanya, bahwa ayah bayinya yang
sebenarnya adalah seorang pria muda yang bekerja di pasar ikan.

Orangtua gadis itu pergi menemui Hakuin dan meminta maaf, lalu meminta kembali sang bayi.

Hakuin menyerahkan anak itu sambil berkata, “Benarkah demikian?”

Apa yang kita ketahui atau tidak ketahui bisa membuat kita bertindak keliru terhadap orang
lain. Tapi di sisi lain, ketika difitnah atau disalahpahami, lakukanlah apa yang baik dilakukan,
jangan paksa orang lain untuk mengubah pemikirannya, biarkan mereka menyadari sendiri
kekeliruannya.

Mungkin
Pada jaman dulu ada seorang petani tua yang mengerjakan sawahnya selama bertahun-tahun.
Suatu hari kudanya melarikan diri. Mendengar berita itu, para tetangganya berkunjung. “Sial
sekali ya,” kata mereka menunjukkan simpati.

“Mungkin,” kata pria tua itu.

Hari berikutnya, putranya yang sedang mencoba menunggangi salah satu kuda liar, terlempar
jatuh dan mematahkan kakinya. Para tetangga datang lagi untuk menunjukkan simpati atas
ketidakberuntungannya.

“Mungkin,” kata petani itu.

Hari setelahnya, pejabat militer datang ke desa untuk menarik anak-anak muda menjadi pasukan
militer. Melihat putra petani itu patah kakinya, mereka melewatkannya. Para tetangga memberi
selamat pada petani itu betapa baiknya keadaan telah berubah.

“Mungkin,” kata si petani.

Keberuntungan itu relatif bagi setiap orang. Mungkin bagi orang lain, pak tua itu beruntung
karena anaknya tidak diikutkan wajib militer, tapi mungkin bagi petani itu sendiri kudanya
masih hilang dan anaknya masih menderita patah kaki. Setiap peristiwa, baik ataupun buruk,
memiliki hikmah dibaliknya.

Pemanjat Tebing
Suatu hari ketika berjalan melewati hutan seorang pria bertemu dengan seekor harimau yang
ganas. Dia lari dan berhenti di pinggir sebuah tebing. Putus asa untuk menyelamatkan nyawanya,
dia memanjat turun menggunakan sulur tanaman dan menjuntai diatas jurang yang mematikan.

Ketika ia menggantung disana, dua ekor tikus muncul dari sebuah lubang di tebing itu dan mulai
menggigiti sulurnya.

Tiba-tiba pria itu melihat sebuah stroberi liar pada sulur itu. Dia memetiknya dan menggigitnya
di dalam mulut. Rasanya sangat lezat!

Saya nggak yakin bagaimana memaknai kisah ini, tapi yang pasti lucu mbacanya. Mungkin
saja kisah yang menggelitik ini membicarakan bagaimana pikiran mudah sekali dikendalikan
dan dialihkan oleh sensasi rasa takut, rasa nikmat, dan lain-lain. Padahal belum tentu harimau
itu akan menyerangnya, dan rasa nikmat stroberi membuat dia kehilangan fokus dari usaha
menyelamatkan hidupnya. Silahkan beri interpretasimu sendiri.

Orang Buta dan Gajah


Sejumlah warga kota sedang beradu argumen tentang Tuhan dan agama yang berbeda-beda,
masing-masing tidak setuju pada jawaban yang biasa. Maka mereka mendatangi Buddha untuk
mencari tahu seperti apa Tuhan itu sebenarnya.

Sang Buddha menyuruh murid-muridnya untuk mengambil sekumpulan besar gajah dan empat
orang buta. Ia kemudian membawa keempat orang buta itu ke dekat gajah dan menyuruh mereka
mencari tahu bagaimana rupa gajah itu.

Orang buta pertama menyentuh kaki gajah dan mengatakan bahwa itu “kelihatan” seperti sebuah
pilar. Orang buta kedua menyentuh perut gajah dan mengatakan gajah itu seperti dinding.

Orang buta ketiga menyentuh telinga gajah dan mengatakan gajah itu seperti sepotong kain.
Orang buta keempat memegang ekor gajah dan mendeskripsikan gajah seperti sepotong tali.

Keempatnya kemudian berargumen tentang “wujud” seekor gajah.

Sang Buddha berkata pada orang-orang kota itu, “Setiap orang buta itu menyentuh gajah tapi
masing-masing memberikan deskripsi yang berbeda tentang hewan itu. Jawaban mana yang
benar?”

Tuhan bisa disebut dengan banyak nama dan sifat menurut agama dan kebudayaan yang
berbeda. Tidak perlu berargumen apalagi sampai menjelek-jelekkan agama orang
lain. Cukuplah mengimani Tuhan dengan ajaran yang kita anut masing-masing.

Benar dan Salah


Bankei, seorang master Zen, mengadakan meditasi minggu-pengasingan, murid-murid dari
berbagai belahan Jepang pun datang untuk mengikutinya. Dalam salah satu pertemuan seorang
murid tertangkap mencuri. Masalah ini dilaporkan kepada Bankei dengan permintaan agar si
pelaku dikeluarkan. Bankei menolah kasus itu.

Kemudian murid itu tertangkap dalam tindakan yang sama, lagi-lagi Bankei tidak mengindahkan
masalah tersebut. Hal ini membuat marah murid-murid lainnya, yang kemudian menarik petisi
meminta pengeluaran pencuri itu, menyatakan bahwa jika tidak mereka semua akan keluar.

Ketika Bankei membaca petisi tersebut ia memanggil semua orang. “Kalian adalah saudara-
saudaraku yang bijaksana,” katanya. “Kalian tahu apa yang benar dan apa yang salah. Kalian
bisa pergi ke tempat lain untuk mempelajarinya jika mau, tapi saudara kita yang malang ini
bahkan tidak tahu apa yang benar dan salah. Siapa yang akan mengajarinya jika bukan aku? Aku
akan membiarkannya disini bahkan jika kalian semua pergi.”

Tumpahan airmata membasahi wajah murid yang mencuri tadi. Semua keinginannya untuk
mencuri pun hilang.

Janganlah main hakim sendiri. Hanya karena kita tahu apa yang benar, bukan berarti orang
yang melakukan kesalahan tidak boleh mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri.
Tidak Ada Yang Nyata
Yamaoka Tesshu, ketika masih pelajar Zen muda, telah mengunjungi banyak master Zen. Dia
memanggil Dokuon dari Shokoku.

Ingin menunjukkan hasil yang dicapainya, ia mengatakan, “Pikiran, Buddha, dan makhluk yang
berperasaan, tidaklah nyata. Sifat sejati fenomena adalah kekosongan. Tidak ada kesadaran, tidak
ada delusi, tidak ada orang bijaksana, tidak ada kesedangan. Tidak ada memberi dan tidak ada
menerima.”

Dokuon, yang sedang merokok dengan tenang, tidak mengatakan apa-apa. Tiba-tiba dia
memukul Yamaoka dengan pipa bambunya. Hal ini membuat anak muda itu cukup marah.

“Jika tidak ada yang nyata,” kata Doukuon, “darimana rasa marahmu itu berasal?”

Ajaran yang umum dalam Zen adalah bahwa segalanya adalah sama dengan ilusi dan tidak
nyata. Mungkin dari kisah ini bisa dimaknai bahwa ilmu yang kita miliki cukuplah diamalkan
sendiri sebaik mungkin, tidak perlu dipertunjukkan kepada orang lain agar mendapat
pengakuan. Kita tidak bisa menyamaratakan segalanya berdasarkan apa yang kita pikir benar,
sebab segalanya di alam memiliki sifat dan mekanismenya sendiri yang selalu dapat dipelajari.
Kisah ini sangat sederhana namun memiliki makna yang kompleks. Makna lainnya mungkin
adalah, kalo kita datengin seorang guru besar hanya untuk menunjukkan kita sudah belajar

banyak, kita bakal dihantem pake pipa bambu. Silahkan menambahkan interpretasimu
sendiri ya.

Tambahan – Mengajari Kemewahan


Pada masa-masa awal di Jepang, lentera bambu-kertas digunakan dengan lilin didalamnya.
Seorang pria buta, mengunjungi seorang teman pada suatu malam, ditawarkan sebuah lentera
untuk dibawa pulang.

“Aku tidak butuh lentera,” katanya. “Kegelapan atau cahaya sama saja bagiku.”

“Aku tahu kau tidak butuh lentera untuk menunjukkan jalanmu,” ujar temannya. “Tapi jika kau
tidak membawa satu, orang lain bisa menabrakmu. Jadi kau harus mengambilnya.”

Orang buta itu pun pergi membawa lentera dan sebelum dia berjalan jauh seseorang
menabraknya. “Lihat kemana jalanmu!” teriaknya pada orang asing itu. “Tidak bisakah kau lihat
lentera ini?”

“Lilinmu mati, saudaraku,” ujar orang asing itu.

Kita tidak dapat mengajari orang buta cara menggunakan lentera. Sama seperti kita tidak tahu
pasti jika memberikan sesuatu pada orang lain, apakah orang itu bisa memanfaatkannya secara
maksimal atau tidak membuat hidupnya jadi lebih baik. Jika mau, ajarilah mereka bagaimana
menggunakannya dengan benar. “Beri orang goa ikan, maka dia bisa makan selama sehari.
Ajari orang goa cara menangkap ikan, maka dia bisa makan berhari-hari.”

Silahkan beri interpretasimu sendiri terhadap kisah-kisah barusan. Siapa tahu bisa bermanfaat
untuk kehidupan sehari-hari.

Saya sebenernya juga bukan hobi-hobi amat mendalami Zen atau topik-topik spiritual. Cuma
seneng baca kisah-kisahnya (koan) yang menarik, “aneh” dan terkadang lucu tapi memiliki
makna yang bagus seperti diatas. Tapi kalau mau boleh aja cari-cari tahu tentang sejarah dan
serba-serbi Zen buat nambah-nambah pengetahuan.

Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai