Anda di halaman 1dari 25

Fitnah Yang Melukai | i

FITNAH YANG MELUKAI

Penulis :  Gholil Gibran


 Imam Asgar Saputra
 Khalif Fitra
 Najwa
 Tiara Anandita Ramaida
 Pepy Febrianti
 Wahda Resqi Ramadani

Tata Letak : Wahda Resqi Ramadani


Editor : Imam Asgar Saputra
Desain Sampul : Pepy Febrianti

Tugas Bahasa Indonesia


SMA NEGERI 2 BALAESANG
Oleh: Hesti Setiawan, S. Pd.

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa izin tertulis dari penulis.

Fitnah Yang Melukai | ii


Kata Pengantar

Rasa syukur dan terima kasih kami panjatkan kepada Allah Swt. atas segala nikmat
dan karunia, serta rahmat-NYA sehingga kami masih diberi kesehatan. Shalawat serta salam
juga tidak lupa kami hantarkan kepada baginda Nabi besar Muhammad Saw. Kepada saudara,
sahabat, dan bahkan pengikutnya hingga akhir zaman.
Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada guru bahasa Indonesia
terkhusus Ibu Hesti Setiawan, S. Pd. karena telah memberikan kami tugas yang sangat
bermanfaat. Dengan tugas ini, kami dilatih untuk lebih bekerja keras, serta dilatih teliti dalam
menulis yang benar. Kami juga mendapatkan banyak ilmu dari cerita-cerita sejarah yang
kami dengar dari berbagai sumber.
Dan tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang sudah
meluangkan waktu membaca novel karya kami. Semoga novel ini dapat mendatangkan
manfaat untuk kita semua.

Fitnah Yang Melukai | iii


Daftar Isi

Kata Pengantar...............................................................................iii
Daftar Isi.........................................................................................iv

Bab 1 : Sebuah Kehidupan............................................................1


Bab 2 : Kehilangan Bapak ............................................................7
Bab 3 : Kehilangan Ibu ................................................................11
Bab 4 : Tragedi Kebakaran .........................................................14
Bab 5 : Fitnah dan Kehilangan Tangan ......................................16
Bab 6 : Melanjutkan Hidup..........................................................20

Fitnah Yang Melukai | iv


Bab 1
Sebuah Kehidupan

‘Berhati-hatilah terhadap fitnah, dia tidak terlihat, tapi mampu menumbangkanmu,


menjadi seonggok daging yang tidak berguna.’

Lombonga, 1936
Ini tentangku. Gadis yang terlahir dari rakyat biasa. Gadis yang mengalami nasib
buruk di usia yang beranjak dewasa. Aku kehilangan tangan kananku karena perkara yang
bukan kesalahanku. Mereka, para penguasa itu merebut tanganku yang tidak bersalah.
***

Sinar violet menyambut pijakan langkahku yang tertatih-tatih. Tangan yang sedikit
kotor aku gunakan mengusap setiap tetesan peluh yang mengalir begitu deras dari dahi,
padahal jelas sekali udara masih sangat sejuk.
“Nak, mau ambil air ya?”
Aku menoleh, menganggukkan kepala pada tetangga jauh yang sedang menjemur
kelapa.
“Hati-hati yo, nanti kalau sudah habis langsung pulang,” ucapnya.
Sekali lagi, aku mengangguk, mempercepat langkah. Senyum lebar terbit di bibirku
ketika melihat tempat yang aku tuju sudah ada di depan mata. Lantas sedikit tergesa,
mengambil air tersebut menggunakan tempurung kelapa dan memasukkannya ke dalam
ember yang sudah kubawa.
Mataku tidak berhenti menoleh, menatap ke samping kiri-kanan, belakang dengan
perasaan gelisah. Rasa takut akan kedatangan para pesuruh raja. Mereka yang kejam dan
tidak berperikemanusiaan membuat siapa saja ketakutan. Terlebih aku yang hanya rakyat
biasa.
“Tenang, Ndis. Mereka masih tidur,” gumamku, mencoba menenangkan diri yang
terlalu gelisah.
Tanganku mengangkat dua ember sekaligus, dan membawanya menelusuri jalan yang
tadi kulalui, tidak ada rumah di sekitaran sini, hanya ada hutan rimbun, diselingi dengan
pohon bambu dan sagu.

Fitnah Yang Melukai | 1


Kaki yang bertelanjang tanpa alas semakin merasa perih ketika lagi-lagi tidak sengaja
menginjak tumbuhan berduri.
Langkah kaki kupercepat ketika melihat matahari semakin tinggi. Bumbungan gubuk
tempat tinggal aku, kedua orang tua, serta dua adiku, sudah terlihat.
Nafas yang tadinya berat perlahan reda.
“Gendis!”
“Iya, Bu,” sahutku, yang baru saja kembali setelah mengantar air itu ke belakang
rumah. Kepalaku melongok di pintu dapur, menatap wanita yang telah melahirkanku itu, ia
terlihat sedang menyalakan api di tungku dengan menggunakan kayu sebagai bahan
bakarnya.
“Bangunkan kedua adikmu, Ndis.”
“Siap.”
Aku berjalan pelan menuju kamar kecil tempat tidur kedua adikku. Terlihat mereka
begitu nyenyak, tidak peduli bahwa mereka tidur di atas terpal yang sudah usang.
Kugoyangkan bahu keduanya, “Radit, Raina, ayo bangun. Matahari sudah tinggi.”
“Kak Ndis,” cicit Raina, mengusap matanya dengan tangan.
“Bangun ayo.”
Kedua anak kembar berbeda jenis kelamin tersebut duduk dengan mengumpulkan
nyawa sepenuhnya. Barulah ketika sadar, keduanya menatapku dengan pandangan terkejut.
“Kak Ndis, kita kesiangan, kita belum ambil air!” seru keduanya dengan nada panik.
Saking paniknya, mereka lantas berdiri menggenggam tanganku.
Aku tersenyum mengusap kepala keduanya. “Sudah, kakak yang ambil tadi,” ucapku
menenangkan keduanya.
“Kakak sendiri ke sana?” tanya Radit dengan pandangan tidak percaya.
“Iya, kalian berdua sih, lama sekali bangunnya.” Nada suara dengan sengaja kubuat
seperti orang yang sedang kecewa.
Keduanya menunduk, “Maaf.”
Aku lantas tertawa, “Sudah-sudah. Kak Gendis cuman bercanda. Cepat keluar,
bantuin Ibu masak, oke?”
“Oke!”
Mereka keluar dari kamar dengan langkah semangat. Aku memandangi punggung
kurus keduanya, anak kecil yang seharusnya bermain itu, harus berjuang bersama kami untuk
hidup dan mati. Mereka sudah harus bekerja dan berhadapan dengan para penjajah yang tidak
pandang usia. Sangat malang.

Fitnah Yang Melukai | 2


Aku membersihkan bekas tempat tidur Radit dan Rania. Mengangkat terpal tipis itu
dan melipatnya untuk dijemur. Lalu melangkah keluar, melanjutkan pekerjaan yang sudah
menumpuk.
“Bu, Bapak di mana?” tanyaku ketika berpapasan dengannya di pintu dapur.
“Ada di posko.”
Alisku menukik bingung. “Mau buat apa ke sana, Bu?” tanyaku takut. Mengingat
posko kampung ini sudah menjadi tempat bernaungnya para algojo atau pesuruh raja.
“Ibu gak tahu, tadi ada panggilan dari pemuda kampung, katanya harus pergi ke
posko.”
“Haruskah Gendis susul Bapak ke sana?”
Ibu menoleh kaget. “Tidak, Gendis. Jangan macam-macam, tetap di rumah!” tegas
Ibu, melangkah pergi.
Helaan nafas meluncur begitu berat. Hatiku terus bergumam, berdoa agar Bapak tidak
kenapa-kenapa.
“Nanti kelapa di belakang dibelah ya, Ndis!” teriak Ibu dari dapur.
“Iya, Bu.”
Aku mengambil parang milik Bapak yang ada di pojok kamar mereka, lalu melangkah
pergi ke belakang rumah.
Kelapa yang sudah dikupas, menumpuk dalam satu tempat. Cepat sekali Bapak
mengupasnya.
“Kak, kata Ibu, airnya simpan separuh,” ujar Rania yang berdiri tidak jauh di
belakangku.
“Iya.”
“Banyakin ya, Kak. Buat Rania dikit,” pinta Rania.
“Iya-iya, nanti kakak simpan.”
“Mau Rania bantu?” tawarnya.
“Ndak usah, bantu Ibu saja,” balasku.
Ia terlihat beranjak, kembali masuk ke dapur.
Ini bukan pekerjaan berat bagiku. Bapak dan Ibu adalah seorang petani kelapa, itulah
mengapa sedari kecil aku sudah terlatih melakukan pekerjaan semacam ini. Dari mengupas,
membelah, hingga mengeringkannya.
Tidak ada kata malu dalam mengerjakan pekerjaan ini. “Jika malu, tak usah makan.”
Itu kata Bapak, ketika aku mengadu karena ada beberapa pemuda mengolok-olok
pekerjaanku.

Fitnah Yang Melukai | 3


“Kita hidup di zaman yang serba sulit, semenjak kedatangan Raja dan algojonya itu.
Apa saja kita usahakan, biar tetap makan, selagi halal. Cari ilmu, dan bekerja, Ndis. Biarkan
kita dijajah, asal kita tahu caranya mencari dengan tangan sendiri, bukan meminta-minta
seperti mereka.”
Itu ucapan yang sering Bapak lontarkan setiap malam. Ucapan yang sudah menjadi
nyanyian dalam tidurku, ucapan yang berhasil membuatku menjadi gadis yang kuat, hanya
dengan menggunakan prinsip yang ia terapkan.
“Menghayal sambil belah kelapa, meleset dikit kena tanganmu.”
Aku menoleh, sedikit terkejut. “Bapak.”
“Jangan menghayal. Kalau lagi capek, istirahat dulu. Nanti kalau luka, pergerakannya
terbatas, siapa yang bantuin Bapak nanti,” ucapnya ikut duduk di dekat tumpukan kelapa.
Aku menyengir. “Iya, Pak. Tadi Gendis cuman kepikiran sama Bapak.”
“Bapak dari posko, algojo kehilangan parang kesayangannya, makanya setiap anak-
anak lelaki, remaja, dewasa, orang tua, dipanggil menghadap untuk diperiksa,” cerita Bapak.
“Jadi, udah ketemu orangnya, Pak?”
“Sudah, temannya sendiri yang ambil. Bapak hampir difitnah tadi, karena Bapak baru
saja panen kelapa.”
“Bapak gak melawan?” tanyaku, karena penasaran bagaimana reaksi Bapak ketika
difitnah, mengingat Bapak orangnya sangat pendiam.
“Ndak lah, om mu yang melawan tadi,” jawabnya santai.
Aku memberengut, sesuai tebakan. “Bapak kenapa gak lawan sih, kan bukan Bapak
yang ambil,” ucapku kesal.
“Sudah ketemu juga pelakunya, Gendis.”
“Gimana kalau gak ketemu, dan Bapak difitnah? Terus dibawa ke hadapan Raja?
Gendis gak bisa bayangin apa yang terjadi sama Bapak,” tuturku dengan mata berkaca-kaca.
“Ndak perlu takut, kalau bukan kesalahan kita. Tuhan maha melihat, Ndis. Justru
karena perlawanan yang kita berikan akan membuat mereka memiliki peluang besar untuk
melenyapkan kita. Masalah itu tidak harus dibawa dengan kekerasan, ajari diri untuk bersikap
tenang, sekalipun itu pada satu waktu di mana nyawa sedang terancam.”
Selalu seperti itu. Bapak selalu menjawabnya dengan tenang. Aku heran, terbuat dari
apa hati Bapakku ini.
“Sudah-sudah. Lanjutkan belah kelapanya, Bapak mau ambil minum dulu.”
Aku mengangguk, memilih melanjutkan pekerjaanku. Aku tidak akan berdiri sebelum
kelapa ini habis dibelah. Mengingat sebentar siang, aku dan Arinun, sahabatku, akan pergi

Fitnah Yang Melukai | 4


berbelanja di kampung sebelah, untuk kebutuhan Raja beserta seluruh dayang-dayangnya.
Mereka tinggal di bukit, tidak jauh dari tempatku mengambil air tadi. Dapala, namanya.
Arinun sudah menikah, tetapi dia seumuran denganku. Belum memiliki anak, dan
ditinggal merantau suaminya. Ia tinggal tidak jauh dari rumahku, tinggal berdua dengan adik
perempuan suaminya.
“Kak Ndis, kata ibu makan dulu.” Radit datang dengan wadah besar di tangannya.
“Kenapa dibilang sekarang sih, Dit?”
Ia menyengir lebar, memperlihatkan lesung di kedua pipinya. “Radit, kan ikut kata
ibu,” katanya polos.
Aku hanya menghela nafas pelan, padahal nanggung sekali jika berdiri sebelum habis.
Namun apalah daya, panggilan makan sudah diucapkan adiknya. Jika tidak dipenuhi, maka
kemungkinan ia akan celaka, itulah mitos yang terkadang menjadi fakta di desanya.
“Ayo ikut ke dalam,” ajakku.
Ia menggeleng, “Kakak saja. Radit mau cari tombong.”
Tombong adalah nama lain dari kentos. Radit dan Rania sangat menyukai makanan
yang terdapat di dalam buah kelapa itu.
“Hati-hati, kalau sudah dapat, langsung ke dalam,” pesanku.
“Siap.”
Aku melangkah masuk, lewat pintu dapur. Sebelumnya, aku sudah meletakan parang
yang tadi kupakai di celah pohon kelapa yang baru tumbuh setengah, tidak terlalu tinggi, tapi
tidak dapat dijangkau tangan Radit dan Rania.
Di dapur, aku melihat Bapak duduk bersila di atas terpal, dan ibu sibuk menyiapkan
makanan.
“Makan dulu, Ndis,” ucap ibu. Membawa nasi panas di dalam wadah dan
meletakkannya tepat di depan bapak yang bersila.
“Iya, Bu. Mau cuci tangan dulu.” Aku berjalan menuju tempat penyimpanan air. Lalu
kembali menghampiri ayah dan ibu yang kini sudah duduk bersila.
“Rania dan Radit sudah makan, Bu?”
Ibu mengangguk, “Sudah, mereka sudah sangat kelaparan, jadi Ibu buatkan mereka
terlebih dahulu,” jelas ibu. “Makanlah,” lanjutnya seraya menyodorkan sepiring nasi, sayur
dan lauk kepadaku.
Kami makan dalam keheningan, sesekali terdengar suara tawa Rania dan Radit yang
ada di belakang rumah. Anak kembar itu entah sedang melakukan apa.

Fitnah Yang Melukai | 5


“Selesai makan nanti, temani Ibu ke atas, ya,” pinta ibu. Ke atas yang dimaksud
adalah kebun kami yang tempatnya sedikit berbukit.
“Tapi kelapanya, Bu?”
“Nanti Bapak yang habiskan,” sahut bapak.
Aku mengangguk, lantas berdiri, menyimpan piring yang habis kupakai makan ke
tempat pencucian.
Tanganku meraih tas, dan memasukkan botol air minum ke sana, jaga-jaga jika kami
merasa haus nanti.
Ibu mengambil parang miliknya, lalu mengikatnya di pinggang.
“Sudah selesai, Ndis?” tanyanya menghampiriku.
“Sudah, Bu.”
“Marilah pergi.” Ia berjalan keluar rumah lewat pintu dapur. Aku lantas berjalan
terburu-buru mengejar langkahnya yang begitu cepat.
“Radit, Rania. Jaga rumah ya, jangan ke mana-mana!” teriakku.
“Iya, Kak.”

Fitnah Yang Melukai | 6


Bab 2
Kehilangan Bapak

“Cepatlah jalan, Ndis.”


“Sakit perut, Bu. Duluan saja, nanti Ndis kejar,” balasku.
Aku memegang perutku yang terasa nyeri. Baru habis makan, dan langsung berjalan,
bagaimana tidak sakit.
Kulihat ibu berhenti lagi, lalu menoleh kepadaku yang tertinggal jauh di belakangnya.
Aku tersenyum tipis, dirasa sedikit mendingan, aku berlari menghampirinya.
“Sudah tidak sakit lagi?”
Aku mengangguk, mengambil alih tas yang ada di bahunya.
“Nanti kita jangan lama ya, Bu. Gendis mau ke kampung sebelah.”
“Mau belanja?”
“Iya.”
“Sama siapa?”
“Arinun, Bu.”
Percakapan kami terhenti sampai di situ, langkah kaki kami percepat karena jalan
yang agak menanjak.
Sekitar lima menit menanjak, kebun kami telah terlihat, hamparan pohon pisang
diselingi rumput liar menghiasi kebun tersebut. Tak banyak, tapi cukup untuk menghidupi
keluarga kecil kami.
“Pisang yang mana mau ditebang, Bu?” tanyaku menelisik sekitar.
“Di sana, ada di ujung pagar,” jawab ibu tanpa menghentikan langkahnya.
Kembali kususul langkah wanita yang melahirkanku ini, menyusuri kebun yang
terawat seadanya. Terkadang harus berpapasan dengan ular daun yang membuatku bergidik.
“Gendis!”
Aku menoleh, menyadari ada sosok paman menyusulku setengah berlari. “Ada apa,
Paman?”
“Ibumu mana, Ndis?” tanya paman panik.
“Ada di sana, paman. Sedang menebang pisang,” jawabku sedikit heran.
“Memangnya kenapa, Paman?” lanjutku menatapnya.
“Bapakmu, Ndis.”

Fitnah Yang Melukai | 7


Jantungku berpacu cepat, satu kata itu sudah dapat menjawab pertanyaanku. Bergegas
kutarik tangan paman menuju ke tempat ibu yang sedang menyisir pisang.
“Ris, kenapa ke mari?” tanya ibu beranjak dari tempatnya duduk.
“Galih, Kak! Galih ditarik paksa algojo ke Souraja!” terang paman begitu panik.
“Bagaimana bisa, Ris?” Ibu kini terlihat cemas juga.
“Dia dituduh telah mencuri jam tangan milik ponakan raja yang hilang dua hari yang
lalu, Kak.”
Ibu bergegas mengumpulkan pisang yang telah disisirnya, merapikan peralatan yang
dibawa untuk segera turun ke rumah.
“Biar saya pikul, Kak.” Paman mengambil alih pisang dari bahu ibu, berjalan
mendahului kami menuruni bukit.
Sepanjang jalan begitu hening, aku melirik ibu yang berjalan di sampingku. Sangat
kentara raut cemas dan ketakutan dari wajahnya, aku pun sama takut dengan ibu,
membayangkan bila bapak dihukum atas kesalahan yang tidak diperbuat. Apalagi bapak
adalah seseorang yang tidak pernah melawan walau dituduh yang bukan kesalahannya.
Sampainya di rumah, Radit dan Raina berlari sesenggukan memelukku dan ibu. Aku
mengelus pucuk kepala mereka berdua, menenangkannya yang terlihat begitu ketakutan.
“Apa yang terjadi, Dik?” tanyaku membingkai wajah Rania.
“Rania tidak tahu, Kak. Orang-orang itu datang merampas mainan kami, habis itu
bapak dibawa pergi. Kami sudah coba tahan bapak, tapi orang-orang itu dorong kami sampai
jatuh,” jelas Rania disela tangisnya.
Sedangkan Radit semakin mengeraskan tangisannya. Bahunya bergetar, wajahnya
pucat. Aku lantas memeluk keduanya, berusaha menenangkan. Padahal perasaanku sedang
campur aduk, ingin menangis sekeras mungkin, tapi kasian kedua adikku.
“Gendis, bawa masuk adikmu ke dalam,” titah ibu. Terlihat tergesa-gesa berjalan
keluar pagar rumah dengan paman yang ada di sampingnya.
Tanpa mau membantah, aku mengangguk. Menarik Radit, dan Rania masuk ke dalam
gubuk sederhana kami. Air mataku menetes ketika melihat keduanya berjalan menuju pojok
rumah, dan berbaring di sana dengan tangisan yang benar-benar menyayat hati.
“Ya Allah, Bapak,” lirihku mengusap wajah yang telah dibanjiri air mata.
Ku jatuhkan tubuhku di samping keduanya, dan memeluk mereka.
“Bapak akan baik-baik saja,” bisikku di telinga keduanya. “Bapak, kan orang baik,”
sambungku.

Fitnah Yang Melukai | 8


“Kenapa mereka kejam, Kak? Padahal Bapak tidak salah. Kenapa bukan Radit saja
yang dibawa?”
Hatiku benar-benar terluka mendengar ucapan bocah laki-laki itu.
Kami bertiga tidur dengan saling berpelukan. Sesekali aku bergumam, berdoa demi
keselamatan bapak, ibu, dan paman.
***

“Ndis, Gendis. Bangun, Nak.”


Bahuku diguncang pelan, mata yang tadi terasa berat kini terbuka lebar ketika melihat
siapa yang membangunkanku. Lekas kutegakkan tubuh, menatap wajah ibu yang terlihat
lelah, dan akh—sangat sulit untuk dijabarkan. Surgaku sedang tidak baik-baik saja. Aku
melirik ke belakang ibu, hanya ada paman di sana yang menatapku sendu.
“Bapak di mana?” Aku menatap ibu yang kini sudah duduk bersimpuh di depanku.
Ibu menggeleng, ia memegang bahuku dengan air mata. Mengalihkan pandangannya
menatap Radit dan Rania yang masih terlelap.
Kusentuh tangan yang terlihat kotor itu. “Bu, kenapa? Bapak di mana? Kenapa tidak
ikut Ibu pulang?”
“Kita tinggal berempat, Gendis,” lirihnya. “Jangan mengharapkan Bapakmu untuk
balik lagi,” sambungnya dengan kepala menunduk.
Tangisku seketika pecah. Tangan yang tadi memegang bahu ibu bergetar hebat.
Bapak tidak akan balik lagi? Aku menggeleng berkali-kali. Bapakku ditahan oleh manusia-
manusia biadab itu. Darahku mendidih, aku berdiri, sontak ibu dan paman menatapku.
“Mau ke mana kamu, Gendis?”
“Aku mau bebaskan, Bapak. Bapak gak bersalah sama sekali.”
Ibu menggeleng, ia menarik tanganku untuk kembali duduk. “Cukup ibu yang
melihatnya, Gendis. Jangan kamu, Nak. Bapakmu sudah tidak ada. Mereka! Para b*natang
itu mengambil nyawa Bapakmu dengan sadis! Ibu bersumpah, tidak akan memaafkan para
bedebah itu! Allah Maha Melihat!” geram ibu dengan kilatan amarah di dalam matanya.
Paman menangis, kedua adikku yang baru saja bangun ikut histeris. Tubuhku
menegang, kujatuhkan tubuh lemah ini dalam pelukan ibu.
Sore itu adalah kisah paling kelam dalam hidupku. Sore di tahun 1936 itu adalah saksi
kesakitan, dan tangisan kami.

Fitnah Yang Melukai | 9


Mereka mengambil nyawa pahlawanku tanpa belah kasih, tidak mengizinkannya
mengeluarkan kalimat pembelaan. Mereka membunuhnya dengan tuduhan yang bahkan tidak
ia perbuat.
Kuakui, jam tangan itu mungkin tidak akan mampu kami beli. Tapi demi Allah, seribu
nyawa kejam mereka yang melayang tidak akan mampu membayar satu nyawa baik milik
bapak.

Fitnah Yang Melukai | 10


Bab 3
Kehilangan Ibu

Kami menjalani hari tanpa kehadiran sosok penguat itu. Ibu yang pada dasarnya
pekerja keras, kini semakin sibuk menghidupi kami bertiga. Jikalau ada bapak, mungkin
pekerjaan ibu sedikit ringan.
Biasanya bapak yang memanggang kelapa yang telah dibelah, kini ibu lah yang
menggantikannya. Aku juga semakin mengikut jejak ibu. Tangan yang sudah kasar, semakin
kasar karena pekerjaan berat yang kulakukan. Aku kuat, demi ibu, dan kedua adikku.
Seperti hari ini, tubuh yang kurus ini harus berdiri di ladang keras, mencangkul tanah,
untuk ditanami umbi batang. Peluh menetes membasahi rambut yang sedikit lepek karena
keringat dan teriknya matahari.
“Kak, istirahat,” pinta Radit untuk yang kesekian kalinya.
Aku tersenyum menatapnya. “Sedikit lagi, Dit. Kamu pergilah bermain dengan Rania
di bawah pohon sana,” ucapku menunjuk Rania yang sibuk menggali tanah di bawah pohon
yang tidak jauh dari tempat kami berdiri.
Ia menggelengkan kepalanya. “Gantian, Kak. Biar Radit yang cangkul. Kakak
istirahat dulu, bekal dari Ibu dimakan dulu.”
“Emang kamu mampu?” tanyaku diselingi dengan tawa kecil.
“Mampu,” jawabnya penuh keyakinan.
Aku mengusap kepalanya. “Kakak cuman bercanda. Ayo ke sana,” kataku seraya
melepas cangkul, dan menarik Radit menghampiri Rania.
Rania yang menyadari kehadiran kami berdua, menghentikan kegiatan bermainnya.
Dengan cepat ia berdiri, dan mengangkat tas yang terdapat bekal lalu meletakannya di
depanku. Ia juga menarik sebuah potongan batang pohon yang sudah tipis untuk dijadikan
alas duduk. “Kak Gendis lama sekali, apa tidak lapar?” tanyanya, seraya mencuci tangan.
“Tidak terlalu lapar, Nia. Kan, Kak Gendis sebelum ke sini tadi sudah makan,”
balasku, membantu kedua anak kembar itu mencuci tangan.
“Tapi bukan makan nasi,” katanya polos.
“Sagu juga mengenyangkan,” ucapku lagi.
“Kakak bandel,” ujarnya dengan nada kesal. Aku membalasnya dengan tawa keras.
Anak ini memang selalu menggemaskan. “Sudah-sudah, kita makan dulu. Habis itu bekerja
lagi.”
“Tidak pulang, Kak?” tanya Radit.
“Sedikit lagi, ya? Kan masih terang ini mataharinya. Kalau Radit sama Rania mau
pulang, ya sudah.”
“Tidak,” jawab keduanya menggelengkan kepala.
Setelahnya, kami bertiga makan dengan keheningan. Tetapi sesekali, Radit dan Rania
memperebutkan lauk berupa ikan kering yang tersisa sepotong.
Selesai makan, tanpa beristirahat. Langkah ini kembali ke tengah ladang, dan
meneruskan pekerjaan tadi. Radit dan Rania memandang dari kejauhan. Aku melarang

Fitnah Yang Melukai | 11


keduanya mendekat, karena panasnya matahari sore yang semakin menyengat. Fisikku
tidaklah sama dengan kedua anak itu.
***

Menjelang magrib, suara hewan-hewan hutan mulai berdatangan. Matahari yang


tadinya bersinar terang perlahan redup, bergantikan dengan sandykala yang terpancar indah.
Hawa dingin semakin menusuk ketika mulai memasuki kawasan hutan rimbun, yang menjadi
pemisah antara kebun dan perkampungan.
Radit dan Rania berjalan di depan dengan sesekali berlari kecil ketika langkahku
hampir mendekati mereka.
“Kak, mau ambil itu.” Rania menunjuk anggur liar yang memang sering ditemukan di
perjalanan pulang. Rania dan Radit juga sering mengambilnya.
“Hush, sudah malam. Nanti besok saja, Ibu sudah menunggu di rumah.”
Rania mengangguk. Kembali meneruskan langkah. Hingga kami benar-benar
memasuki area perkampungan. Waktu magrib telah selesai, dan kami masih berada di jalanan
setapak menuju rumah. Melewati rumah warga yang masih bisa dihitung jari.
“Cepat pulang!”
Aku menoleh, menatap mertua Arinun yang terlihat menutup rapat pintu rumahnya. Ia
berjalan tergesa, menghampiri kami bertiga.
“Kenapa, Tante?”
“Jangan bertanya.” Ia berjalan mendahului kami, sesekali menoleh memerintahkan
agar langkah kaki ini dipercepat.
Dari kejauhan, gubuk sederhana kami terlihat. Satu hal yang mendebarkan jantungku.
Kenapa banyak orang?
“Gendis! Cepatlah masuk, Nak. Lihat Ibumu!” teriak adik perempuan ibu dari pintu
dengan suara serak.
Aku membeku, melepas begitu saja tas bekal yang kubawa. Lantas berlari memasuki
gubuk kami. Di dalam sudah ada beberapa adik dan kakak ibu. Bibirku kelu ketika melihat
sosok wanita terbaring di tengah-tengah mereka. Wanita yang sudah melahirkanku, wanita
yang selama ini berjuang untuk kami, dan wanita yang selalu tegar menghadapi kerasnya
dunia. Kini dia terbaring dengan wajah pucat.
Aku terduduk di sampingnya. Menggenggam telapak tangan yang semakin kurus itu.
“Ibu, apa yang terjadi sama Ibu?” Aku mengusap air mata yang entah sejak kapan menetes
itu.
“Ibumu kecapean, Gendis. Selesai memanggang kelapa di belakang, dia hendak
minum, tapi belum sempat mengambilnya, ia sudah jatuh di pintu dapur,” jelas salah satu
adik ibu.
Aku menangis lebih keras, menjatuhkan kepala ini di samping telapak tangannya.
Tangisan Radit dan Rania juga terdengar sampai di telingaku. Kedua anak itu berada di
pangkuan tante-tanteku.
“Sudah, Nak. Doakan Ibumu cepat sehat. Mandilah dulu, mandikan juga adikmu. Ada
makanan di dapur, selesai mandi, makanlah.”
Aku mengangguk, memanggil Radit dan Rania untuk mandi. Disela-sela memandikan
keduanya, air mata ini tidak berhenti menetes.

Fitnah Yang Melukai | 12


“Kumohon, Tuhan. Jangan ambil Ibu, aku hancur tanpa dia.”
Usai memandikan Radit dan Rania, aku menarik dua anak itu berpakaian, lalu
mengambilkan makanan. Setelahnya, aku lanjut ke belakang rumah untuk mandi.
Baru saja selesai berpakaian, pintu kamar mandi yang hanya berdindingkan pelepah
sagu itu diketuk dari luar. “Gendis!”
“Iya, Tante.”
“Sudah selesai mandinya? Ibumu ingin berbicara denganmu.”
“Sudah, Tante.” Aku mendorong bilik sagu itu, lalu melangkah terburu-buru masuk
ke dalam rumah.
Aku kembali duduk di samping kanan tubuh ibu. Mata teduh, disertai dengan tatapan
letih itu menatapku sendu.
“Bu,” lirihku dengan suara gemetar.
Ia tersenyum, wanita itu menggeleng, seolah mengatakan ia akan baik-baik saja.
“Dekatkan telingamu, Nak. Ibu ingin berbicara,” ucap tante.
Aku dengan cepat mendekatkan telinga ini ke samping mulutnya.
“Jaga adikmu, Nak. Ayahmu sudah datang, dia ada di samping Ibu,” lirih ibu dengan
suara teramat kecil.
Aku membekap mulutku, berusaha untuk tidak mendengarkan suara tangisanku
kepada ibu.
“Tidak ada sesuatu berharga yang Ibu tinggalkan kepadamu, Ndis. Nanti, bongkarlah
lemari pakaian Ibu, di sana ada sesuatu yang Ibu simpan untukmu dan adik,” ucapnya lagi.
“Makamkan Ibu di samping makam nenek dan kakekmu,” sambungnya.
Sungguh Tuhan, ini lebih menyakitkan dari apapun.
“Jangan menangis, Gendis. Anak Ibu kuat, melebihi kuatnya Ibu dan Bapak,”
bisiknya.
Tangisan anggota keluarga mulai terdengar ketika mendengar suara isak tangisku.
Perlahan aku mengangkat wajahk menatapnya, bibir Ibu yang pucat itu terlihat
mengucapkan beberapa kata, tidak terdengar di telingaku.
“Bantu Ibumu, Ndis,” ucap tante.
Mengerti dengan apa yang dimaksud, aku mendekatkan mulutku ke samping
telinganya. Lalu membisikkan kalimat syahadat, sebagai perantara dalam pemisahan roh dan
nyawa. Baru beberapa kalimat, terdengar mereka semua mengucapkan kalimat kematian yang
seketika membuatku histeris.
“Ibu!” pekikku.
Kulihat mata itu sudah tertutup rapat, dengan bibir yang sedikit tertarik ke atas.
Wanita kebanggaanku itu sudah tiada, ia pergi dengan senyum penuh ketenangan,
meninggalkanku dengan segala beban yang entah aku sanggup memikulnya atau tidak.
Tubuh ini mendapat rengkuhan dari salah satu adik perempuan ibu. Tangisku tidak
terbendung ketika mengingat bahwa ibu dan bapak sudah pergi jauh. Rasanya baru kemarin
aku bercerita dan tertawa bersama mereka, kini aku tidak akan merasakan itu lagi.
Radit dan Rania dibawa keluar oleh paman dan beberapa tetangga, dua anak itu
menangis tidak kalah keras. Gubuk kami mulai terlihat ramai dengan orang-orang yang
berdatangan. Ibu menghembuskan nafas terakhirnya bertepatan dengan selesainya azan Isya,
di hari jumat.

Fitnah Yang Melukai | 13


Bab 4
Tragedi Kebakaran

Sudah sebulan kepergian ibu, semuanya kulalui dengan kabut penuh kelam. Dipaksa
tersenyum untuk dua adik kembarku.
Hari ini, aku berdiri di depan lemari kayu milik ibu. Tangan ini terangkat menarik
pintu lemari, seketika aroma ibu merebak memasuki hidung. Tidak ada sesuatu yang spesial
di dalam lemari ini, hanya ada beberapa helai pakaian ibu yang sudah tua, beserta surat-surat
penting yang dibungkus dengan kresek hitam.
Aku menarik salah satu baju milik ibu dan menciumnya, baunya mengingatkanku
akan kehadirannya di sini. Aku lantas menurunkan semua baju ibu, mataku terkesiap ketika
melihat sebuah kertas usang yang dilipat-lipat jatuh dari tumpukan baju-baju itu. Dengan
cepat aku mengambil dan membawanya menuju kasur, membuka lipatannya. Tidak tebal juga
tidak tipis.
Mataku terbelalak ketika melihat isi dalamnya, beberapa lembar uang berharga tinggi,
sepasang cincin, dan satu buah kalung emas. Jantungku berdetak cepat, aku belum pernah
memegang emas seperti ini.
“Apa ini cincin pernikahan Ibu dan Bapak?”
Aku kembali memasukkan semua benda berharga itu ke dalam kertas tadi.
Memasukkannya di kantong baju, lalu membereskan pakaian-pakaian ibu, meletakannya di
tempat semula. Ini sudah lebih dari cukup untuk menghidupi aku, Radit, dan Rania.
Aku bergegas keluar kamar, mencari Radit dan Rania. Entah kenapa, malam ini
perasaanku sedikit tidak enak, seperti akan terjadi sesuatu pada kami. Kulangkahkan kaki
menuju dapur ketika tidak sengaja mendengar tawa kedua anak itu. Ternyata benar, mereka
ada di sana, sedang memakan biji nangka yang tadi kupanggang.
Melihat kehadiranku, keduanya menoleh. “Kak Ndis, mau punya Nia?” Rania
menyodorkan biji nangka miliknya kepadaku. Aku lantas mengambilnya lalu ikut duduk
melantai.
“Kak Ndis, dari mana?” tanya Radit.
“Dari bersih-bersih kamar Ibu,” jawabku tersenyum.
Malam semakin larut, aku memerintahkan keduanya untuk tidur lebih dulu.
Sedangkan aku berjalan menuju teras rumah, duduk di sana bersama dengan keheningan
malam. Pancaran cahaya bulan, serta suara-suara angin malam membuat jiwa ini sedikit
merasakan ketenangan.
Merasa suasana semakin mencekam, aku memilih masuk dan mengunci pintu gubuk,
melangkah menuju kamar ibu dan bapak, karena aku memang sudah tidur di sana setelah
keduanya tidak ada. Aku sempat melongok melihat Radit dan Rania yang ada di kamar
sebelah.
Entah apa yang terjadi, mataku sulit dipejamkan. Baru saja akan mengganti posisi
tidur, suara aneh terdengar dari atap rumah, seperti sesuatu yang terbakar. Aku terpaku,
dengan cepat bangkit keluar kamar. Asap?

Fitnah Yang Melukai | 14


Sadar akan sesuatu, jantungku berdegup kencang. “Radit, Rania!” teriakku panik. Aku
masuk ke dalam kamar mereka.
“Kak Ndis!” Rania berlari memelukku, disusul Radit. Kutarik keduanya dengan cepat
keluar dari rumah. Api mulai menjalar menuju tiang-tiang rumah, melahap apa saja yang
ditemuimya.
Setelah berhasil membawa dua adikku, aku kembali masuk ke kamar ibu yang
sebagiannya sudah dikuasai api. Menarik kasar pintu lemari, mengambil kresek hitam yang
berisi surat-surat penting. Air mataku menetes ketika salah satu balok kayu jatuh dan
menghantam punggungku dengan keras. Lekas aku berlari keluar, tanpa memperdulikan
punggung yang seakan mati rasa.
“Tuhan!” Air mataku semakin deras ketika berhasil keluar gubuk, menyaksikan
dengan sendirinya bagaimana kejamnya api itu memakan habis tempat tinggal kami,
peninggalan ibu dan bapak. Rasanya aku tidak sanggup berdiri lagi, kenapa dunia
menghukumku sekejam ini?
“Kak Ndis.” Radit memegang lenganku. Ia tidak menangis. Aku memeluknya erat.
Kobaran api itu menerangi kegelapan malam. Kami bertiga berpelukan, menyaksikan
gubuk itu habis hingga rata dengan tanah. Tidak ada orang yang datang di tengah malam
seperti ini. Satu hal yang masih kusyukuri, kami bisa keluar dengan selamat.

Fitnah Yang Melukai | 15


Bab 5
Fitnah dan Kehilangan Tangan

“Tinggallah dengan kami saja, Ndis.”


Aku menggeleng, “Gendis tidak ingin menyusahkan paman dan tante.” Aku
menunduk, hari ini aku berada di rumah adik dari ayah.
“Jangan seperti itu, Nak. Sungguh, tante tidak pernah merasa disusahkan.”
Kuakui mereka sangat baik, tapi kebaikan itu yang justru membuatku merasa tidak
enak. Sedari dulu, merekalah yang selalu membantu keluarga kami saat sedang kesusahan.
“Apa Gendis boleh tinggal di rumah Arinun?” Aku menatap paman dan tante secara
bergantian.
Keduanya sedikit tersentak. “Dia memanggilmu, Nak?” tanya paman.
Kuanggukkan kepala meyakinkan mereka.
“Kedua adikmu bagaimana?” Kali ini tante menanyaiku.
Aku menunduk, “Apa paman dan tante keberatan jika Radit dan Rania tinggal di
sini?”
Tante menggeleng dengan cepat, “Tentu tidak, Ndis. Kami memang berharap kalian
tinggal di sini. Tapi jika memang kau menginginkan tinggal bersama dengan Arinun,
silahkan. Jangan lupa pulang dengan kami, Nak”
Aku mengangguk seraya mengucapkan banyak terima kasih.
***

Menjelang sore, aku baru saja tiba di rumah Arinun. Dia dan adik iparnya
menyambutku dengan bahagia. Arinun bahkan sampai memelukku dengan tangisan.
“Aku turut berduka, Ndis.”
“Makasih, Rin.”
“Ayo masuk.” Ia menarikku memasuki rumah panggung miliknya, mengajakku untuk
duduk sejenak, mengambilkanku makanan.
“Arinun, jangan repot-repot,” ucapku tidak enak.
“Tidak, Ndis. Aku memang menyediakannya untukmu,” katanya dengan senyuman.
“Radit dan Rania kenapa tidak ikut ke sini?” tanyanya.
“Ia ikut tinggal bersama paman dan tanteku, di sana mereka ada teman bermain, tidak
harus bekerja sepertiku.”

Fitnah Yang Melukai | 16


Arinun tersenyum lagi seraya menatapku sendu. Ia memanggil Rianti, adik iparnya,
untuk makan.
Suara burung sore mulai terdengar, menandakan bahwa waktu memasuki magrib.
Kami makan dalam keheningan. Hingga selesai makan, aku membantu Rianti mencuci piring,
sedangkan Arinun mengangkat kelapa yang tadi ia jemur.
“Padahal aku berharap si kembar ikut, Kak.” Ucapan Rianti membuatku tersenyum.
Di kampung ini memang banyak orang yang menyukai Radit dan Rania, karena menurut
mereka dua anak itu sangat rajin dan penurut.
“Di sana mereka ada teman bermain, Nti.”
Gadis remaja itu menganggukkan kepala. Jika ia sekolah, mungkin sudah kelas tiga
SMP.
Selesai mencuci piring, aku melangkah mendekati Arinun yang sedang menatap
keindahan malam melalui jendela kayu yang ada di ruang tengah. Posisi rumah Arinun benar-
benar strategis, berada di atas bukit, serta dapat menyaksikan langung pemandangan
kampung, walaupun rumah-rumah belum terlalu banyak. Malam ini kami habiskan dengan
saling bertukar cerita.
***

Ke esokkan harinya, sekitar pukul delapan pagi, aku melangkah turun menuju Dapala
untuk mencuci pakaian. Pakaianku tidak terlalu banyak, tapi aku ingin mencucinya sekarang
agar tidak bertumpuk. Sebenarnya Arinun ingin menemani, akan tetapi ada panggilan yang
mengharuskan ia segera pergi.
Alisku terangkat ketika baru saja sampai dan melihat air yang sedikit keruh
menandakan bahwa ada yang baru saja selesai mandi. Tidak terlalu ambil pusing, aku
meletakkan pakaian itu dan mulai mencucinya. Sedang asiknya memeras pakaian, samar-
samar kudengar suara dari kejauhan. Aku sontak berdiri ketika melihat ada beberapa orang
berpakaian hitam mendekat ke air. Aku tahu mereka, pesuruh raja. ‘Untuk apa mereka
datang ke sini?”
“Gadis miskin!”
Aku tahu, panggilan itu tertuju untukku. Aku takut, sungguh.
“Mendekat!”
Kuletakkan pakaian di tanganku, lantas mendekati mereka yang terdiri dari lima orang
tersebut.
“Siapa orang yang datang sebelum kamu?” tanya salah satu dari mereka.

Fitnah Yang Melukai | 17


“Tidak tahu, Tuan. Saya baru saja datang,” jawabku.
“Kau mendapati air masih keruh?”
“Iya, Tuan,” jawabku jujur.
“Dia pelakunya,” celetuk yang lain dengan nada sinis. “Kau mencuri cincin Putri
Raja!”
Aku tersentak kaget mendengar tuduhan itu, bahkan dengan sangat enteng mereka
mengucapkannya. Aku menggeleng berkali-kali. “Saya sama sekali tidak mengetahui perkara
itu, saya tidak mencurinya,” belaku.
Wajah-wajah bengis itu mentapku tajam. “Tidak ada pencuri yang mau mengaku,”
ucap salah satu dari mereka.
“Pegang dia!” perintah salah seorang dari mereka..
Keempat temannya memegang lenganku dengan kasar. Aku meronta memberikan
pembelaan bahwa aku tidak mencuri cincin yang mereka maksud, tapi telinga-telinga itu
seakan tuli, bahkan seseorang yang memerintakan tadi kini menarik parang panjangnya.
“Sebagai hukuman untuk pencuri, saya akan memotong sebelah tanganmu.”
“Tidak, Tuan! Saya tidak bersalah, saya tidak mencuri!”
Terlambat.
Nyawaku seakan melayang detik itu juga, saat parang tajam itu diayunkan. Membuat
tangan kiriku terlepas dari tempatnya. Terpotong, hingga puntung. Aku terdiam sesaat,
merasakan sakit yang teramat dahsyat. Air mataku menetes, tapi mereka tak peduli, memilih
pergi dengan wajah tanpa rasa bersalah. Bahkan mereka turut serta membawa sepotong
tanganku.
Aku terduduk di rerumputan dengan meraung-raung, sakit sekali, Tuhan! Tak berani
kulayangkan tatapan ke samping kiri, lebih tepatnya ke arah siku yang kini menggantung.
Ragaku tersiksa, tetapi jiwa ini yang mati rasa. Kutegakkan langkah setelah hampir dua jam
menangis seraya meratapi diri yang terlanjur malang.
Aku kehilangan tangan kiriku karena perkara yang bukan kesalahanku. “Kalian akan
mempertanggungjawabkan tangan tidak bersalah itu di akhirat kelak!” Dengan langkah
tertatih-tatih aku menuju rumah Arinun. Tidak lagi kuselesaikan cucianku, memilih untuk
membawanya kembali pulang.
Sampai di puncak, Arinun berteriak histeris ketika melihat tanganku yang puntung. Ia
menangis tergugu saat kuceritakan semua kepadanya.
“Demi Allah, Ndis. Aku tidak akan pernah memaafkan para bedebah itu!” sungutnya
di sela-sela kegiatannya membungkus tanganku dengan kain setelah selesai diobati.

Fitnah Yang Melukai | 18


Rianti juga tidak kalah terkejut, ia bahkan beberapa kali menatapku dengan sorot
kekhawatiran.

Fitnah Yang Melukai | 19


Bab 6
Menjalani Hidup

Hari-hari kulalui dengan penuh rasa sakit. Sakit karena fitnah itu, sakit karena
aktivitasku tidak secepat kemarin, dan sakit ketika lagi-lagi mengingat bahwa kedua
orangtuaku sudah tidak ada.
"Semangat, Ndis." Kata yang sering dilontarkan Arinun untuk menguatkanku. Dia
sering menemukanku merenung dengan tatapan kosong. "Kehidupanmu masih terus
berlanjut."
Hari ini aku bangun dengan suasana hati yang sedikit berbeda. Aku lebih merasa lega
ketika meresapi setiap bait kalimat yang dilontarkan Arinun tadi malam. Dia benar, tidak
seharusnya aku berlarut-larut memikirkan sesuatu yang telah terjadi. Mungkin, itu adalah
cara Allah untuk menaikkan derajatku.
Hari ini juga, aku akan lebih bersemangat lagi untuk bekerja, tidak peduli dengan
kekurangan yang kini kumiliki.
"Gendis, mau ke mana?" tanya Arinun ketika melihatku melilitkan sarung parang di
pinggang.
"Mau kumpul kelapa di bawah, Rin," jawabku santai.
"Hah?" Dia tampak tidak mengerti, terlihat dari raut wajahnya yang kebingungan.
"Aku mau kumpul kelapa."
"Tapi--"
"Tanganku? Tidak apa, Rin. Kalau didiamkan terus, akan terasa sangat sakit. Jadi,
lebih baik aku bawa bekerja saja," jelasku.
Ia terlihat mengangguk perlahan, turut mengikuti langkahku ke tempat kelapa yang
baru saja dipanen untuk dikumpulkan.
"Jangan dipaksa yaa!" seru Arinun ketika kami berpisah tempat. Dia berada di area
kanan, dan aku area kiri.
"Iya!"
***

Setiap harinya, aku makin giat melakukan segala macam pekerjaan. Arinun juga
mengajakku membuat minyak kelapa untuk dijual. Banyaknya pekerjaan membuatku seakan

Fitnah Yang Melukai | 20


lupa dengan tangan yang cacat itu. Aku seakan bergerak bebas, padahal nyatanya hanya
memiliki satu tangan saja.
"Kamu hebat, Ndis!"
Aku hanya mampu tersenyum ketika mendapat begitu banyak pujian dari beberapa
orang, tidak terlalu melangit, karena aku tahu bahwa sesuatu apapun itu pasti memiliki ujian
di baliknya.
Aku hanya ingin melanjutkan hidup dengan sisa kekuatan yang ada, dan jikapun nanti
meninggal, setidaknya aku sudah berusaha untuk tetap kuat, dan tidak menyalahi takdir.
Akan tetapi dendam setelah kematian Bapak itu masih ada, dan maha baik Allah Yang
mengambil mereka dengan cara yang jauh lebih kejam dari kematian manusia biasa.
Allah menghanguskan rumah itu dalam keadaan penghuninya sedang terlelap. Allah
membakar mereka hingga menjadi debu yang tidak berguna.
Bahkan tanah sekalipun, tidak menerima kulit mereka.

Fitnah Yang Melukai | 21

Anda mungkin juga menyukai