Rasa syukur dan terima kasih kami panjatkan kepada Allah Swt. atas segala nikmat
dan karunia, serta rahmat-NYA sehingga kami masih diberi kesehatan. Shalawat serta salam
juga tidak lupa kami hantarkan kepada baginda Nabi besar Muhammad Saw. Kepada saudara,
sahabat, dan bahkan pengikutnya hingga akhir zaman.
Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada guru bahasa Indonesia
terkhusus Ibu Hesti Setiawan, S. Pd. karena telah memberikan kami tugas yang sangat
bermanfaat. Dengan tugas ini, kami dilatih untuk lebih bekerja keras, serta dilatih teliti dalam
menulis yang benar. Kami juga mendapatkan banyak ilmu dari cerita-cerita sejarah yang
kami dengar dari berbagai sumber.
Dan tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang sudah
meluangkan waktu membaca novel karya kami. Semoga novel ini dapat mendatangkan
manfaat untuk kita semua.
Kata Pengantar...............................................................................iii
Daftar Isi.........................................................................................iv
Lombonga, 1936
Ini tentangku. Gadis yang terlahir dari rakyat biasa. Gadis yang mengalami nasib
buruk di usia yang beranjak dewasa. Aku kehilangan tangan kananku karena perkara yang
bukan kesalahanku. Mereka, para penguasa itu merebut tanganku yang tidak bersalah.
***
Sinar violet menyambut pijakan langkahku yang tertatih-tatih. Tangan yang sedikit
kotor aku gunakan mengusap setiap tetesan peluh yang mengalir begitu deras dari dahi,
padahal jelas sekali udara masih sangat sejuk.
“Nak, mau ambil air ya?”
Aku menoleh, menganggukkan kepala pada tetangga jauh yang sedang menjemur
kelapa.
“Hati-hati yo, nanti kalau sudah habis langsung pulang,” ucapnya.
Sekali lagi, aku mengangguk, mempercepat langkah. Senyum lebar terbit di bibirku
ketika melihat tempat yang aku tuju sudah ada di depan mata. Lantas sedikit tergesa,
mengambil air tersebut menggunakan tempurung kelapa dan memasukkannya ke dalam
ember yang sudah kubawa.
Mataku tidak berhenti menoleh, menatap ke samping kiri-kanan, belakang dengan
perasaan gelisah. Rasa takut akan kedatangan para pesuruh raja. Mereka yang kejam dan
tidak berperikemanusiaan membuat siapa saja ketakutan. Terlebih aku yang hanya rakyat
biasa.
“Tenang, Ndis. Mereka masih tidur,” gumamku, mencoba menenangkan diri yang
terlalu gelisah.
Tanganku mengangkat dua ember sekaligus, dan membawanya menelusuri jalan yang
tadi kulalui, tidak ada rumah di sekitaran sini, hanya ada hutan rimbun, diselingi dengan
pohon bambu dan sagu.
Kami menjalani hari tanpa kehadiran sosok penguat itu. Ibu yang pada dasarnya
pekerja keras, kini semakin sibuk menghidupi kami bertiga. Jikalau ada bapak, mungkin
pekerjaan ibu sedikit ringan.
Biasanya bapak yang memanggang kelapa yang telah dibelah, kini ibu lah yang
menggantikannya. Aku juga semakin mengikut jejak ibu. Tangan yang sudah kasar, semakin
kasar karena pekerjaan berat yang kulakukan. Aku kuat, demi ibu, dan kedua adikku.
Seperti hari ini, tubuh yang kurus ini harus berdiri di ladang keras, mencangkul tanah,
untuk ditanami umbi batang. Peluh menetes membasahi rambut yang sedikit lepek karena
keringat dan teriknya matahari.
“Kak, istirahat,” pinta Radit untuk yang kesekian kalinya.
Aku tersenyum menatapnya. “Sedikit lagi, Dit. Kamu pergilah bermain dengan Rania
di bawah pohon sana,” ucapku menunjuk Rania yang sibuk menggali tanah di bawah pohon
yang tidak jauh dari tempat kami berdiri.
Ia menggelengkan kepalanya. “Gantian, Kak. Biar Radit yang cangkul. Kakak
istirahat dulu, bekal dari Ibu dimakan dulu.”
“Emang kamu mampu?” tanyaku diselingi dengan tawa kecil.
“Mampu,” jawabnya penuh keyakinan.
Aku mengusap kepalanya. “Kakak cuman bercanda. Ayo ke sana,” kataku seraya
melepas cangkul, dan menarik Radit menghampiri Rania.
Rania yang menyadari kehadiran kami berdua, menghentikan kegiatan bermainnya.
Dengan cepat ia berdiri, dan mengangkat tas yang terdapat bekal lalu meletakannya di
depanku. Ia juga menarik sebuah potongan batang pohon yang sudah tipis untuk dijadikan
alas duduk. “Kak Gendis lama sekali, apa tidak lapar?” tanyanya, seraya mencuci tangan.
“Tidak terlalu lapar, Nia. Kan, Kak Gendis sebelum ke sini tadi sudah makan,”
balasku, membantu kedua anak kembar itu mencuci tangan.
“Tapi bukan makan nasi,” katanya polos.
“Sagu juga mengenyangkan,” ucapku lagi.
“Kakak bandel,” ujarnya dengan nada kesal. Aku membalasnya dengan tawa keras.
Anak ini memang selalu menggemaskan. “Sudah-sudah, kita makan dulu. Habis itu bekerja
lagi.”
“Tidak pulang, Kak?” tanya Radit.
“Sedikit lagi, ya? Kan masih terang ini mataharinya. Kalau Radit sama Rania mau
pulang, ya sudah.”
“Tidak,” jawab keduanya menggelengkan kepala.
Setelahnya, kami bertiga makan dengan keheningan. Tetapi sesekali, Radit dan Rania
memperebutkan lauk berupa ikan kering yang tersisa sepotong.
Selesai makan, tanpa beristirahat. Langkah ini kembali ke tengah ladang, dan
meneruskan pekerjaan tadi. Radit dan Rania memandang dari kejauhan. Aku melarang
Sudah sebulan kepergian ibu, semuanya kulalui dengan kabut penuh kelam. Dipaksa
tersenyum untuk dua adik kembarku.
Hari ini, aku berdiri di depan lemari kayu milik ibu. Tangan ini terangkat menarik
pintu lemari, seketika aroma ibu merebak memasuki hidung. Tidak ada sesuatu yang spesial
di dalam lemari ini, hanya ada beberapa helai pakaian ibu yang sudah tua, beserta surat-surat
penting yang dibungkus dengan kresek hitam.
Aku menarik salah satu baju milik ibu dan menciumnya, baunya mengingatkanku
akan kehadirannya di sini. Aku lantas menurunkan semua baju ibu, mataku terkesiap ketika
melihat sebuah kertas usang yang dilipat-lipat jatuh dari tumpukan baju-baju itu. Dengan
cepat aku mengambil dan membawanya menuju kasur, membuka lipatannya. Tidak tebal juga
tidak tipis.
Mataku terbelalak ketika melihat isi dalamnya, beberapa lembar uang berharga tinggi,
sepasang cincin, dan satu buah kalung emas. Jantungku berdetak cepat, aku belum pernah
memegang emas seperti ini.
“Apa ini cincin pernikahan Ibu dan Bapak?”
Aku kembali memasukkan semua benda berharga itu ke dalam kertas tadi.
Memasukkannya di kantong baju, lalu membereskan pakaian-pakaian ibu, meletakannya di
tempat semula. Ini sudah lebih dari cukup untuk menghidupi aku, Radit, dan Rania.
Aku bergegas keluar kamar, mencari Radit dan Rania. Entah kenapa, malam ini
perasaanku sedikit tidak enak, seperti akan terjadi sesuatu pada kami. Kulangkahkan kaki
menuju dapur ketika tidak sengaja mendengar tawa kedua anak itu. Ternyata benar, mereka
ada di sana, sedang memakan biji nangka yang tadi kupanggang.
Melihat kehadiranku, keduanya menoleh. “Kak Ndis, mau punya Nia?” Rania
menyodorkan biji nangka miliknya kepadaku. Aku lantas mengambilnya lalu ikut duduk
melantai.
“Kak Ndis, dari mana?” tanya Radit.
“Dari bersih-bersih kamar Ibu,” jawabku tersenyum.
Malam semakin larut, aku memerintahkan keduanya untuk tidur lebih dulu.
Sedangkan aku berjalan menuju teras rumah, duduk di sana bersama dengan keheningan
malam. Pancaran cahaya bulan, serta suara-suara angin malam membuat jiwa ini sedikit
merasakan ketenangan.
Merasa suasana semakin mencekam, aku memilih masuk dan mengunci pintu gubuk,
melangkah menuju kamar ibu dan bapak, karena aku memang sudah tidur di sana setelah
keduanya tidak ada. Aku sempat melongok melihat Radit dan Rania yang ada di kamar
sebelah.
Entah apa yang terjadi, mataku sulit dipejamkan. Baru saja akan mengganti posisi
tidur, suara aneh terdengar dari atap rumah, seperti sesuatu yang terbakar. Aku terpaku,
dengan cepat bangkit keluar kamar. Asap?
Menjelang sore, aku baru saja tiba di rumah Arinun. Dia dan adik iparnya
menyambutku dengan bahagia. Arinun bahkan sampai memelukku dengan tangisan.
“Aku turut berduka, Ndis.”
“Makasih, Rin.”
“Ayo masuk.” Ia menarikku memasuki rumah panggung miliknya, mengajakku untuk
duduk sejenak, mengambilkanku makanan.
“Arinun, jangan repot-repot,” ucapku tidak enak.
“Tidak, Ndis. Aku memang menyediakannya untukmu,” katanya dengan senyuman.
“Radit dan Rania kenapa tidak ikut ke sini?” tanyanya.
“Ia ikut tinggal bersama paman dan tanteku, di sana mereka ada teman bermain, tidak
harus bekerja sepertiku.”
Ke esokkan harinya, sekitar pukul delapan pagi, aku melangkah turun menuju Dapala
untuk mencuci pakaian. Pakaianku tidak terlalu banyak, tapi aku ingin mencucinya sekarang
agar tidak bertumpuk. Sebenarnya Arinun ingin menemani, akan tetapi ada panggilan yang
mengharuskan ia segera pergi.
Alisku terangkat ketika baru saja sampai dan melihat air yang sedikit keruh
menandakan bahwa ada yang baru saja selesai mandi. Tidak terlalu ambil pusing, aku
meletakkan pakaian itu dan mulai mencucinya. Sedang asiknya memeras pakaian, samar-
samar kudengar suara dari kejauhan. Aku sontak berdiri ketika melihat ada beberapa orang
berpakaian hitam mendekat ke air. Aku tahu mereka, pesuruh raja. ‘Untuk apa mereka
datang ke sini?”
“Gadis miskin!”
Aku tahu, panggilan itu tertuju untukku. Aku takut, sungguh.
“Mendekat!”
Kuletakkan pakaian di tanganku, lantas mendekati mereka yang terdiri dari lima orang
tersebut.
“Siapa orang yang datang sebelum kamu?” tanya salah satu dari mereka.
Hari-hari kulalui dengan penuh rasa sakit. Sakit karena fitnah itu, sakit karena
aktivitasku tidak secepat kemarin, dan sakit ketika lagi-lagi mengingat bahwa kedua
orangtuaku sudah tidak ada.
"Semangat, Ndis." Kata yang sering dilontarkan Arinun untuk menguatkanku. Dia
sering menemukanku merenung dengan tatapan kosong. "Kehidupanmu masih terus
berlanjut."
Hari ini aku bangun dengan suasana hati yang sedikit berbeda. Aku lebih merasa lega
ketika meresapi setiap bait kalimat yang dilontarkan Arinun tadi malam. Dia benar, tidak
seharusnya aku berlarut-larut memikirkan sesuatu yang telah terjadi. Mungkin, itu adalah
cara Allah untuk menaikkan derajatku.
Hari ini juga, aku akan lebih bersemangat lagi untuk bekerja, tidak peduli dengan
kekurangan yang kini kumiliki.
"Gendis, mau ke mana?" tanya Arinun ketika melihatku melilitkan sarung parang di
pinggang.
"Mau kumpul kelapa di bawah, Rin," jawabku santai.
"Hah?" Dia tampak tidak mengerti, terlihat dari raut wajahnya yang kebingungan.
"Aku mau kumpul kelapa."
"Tapi--"
"Tanganku? Tidak apa, Rin. Kalau didiamkan terus, akan terasa sangat sakit. Jadi,
lebih baik aku bawa bekerja saja," jelasku.
Ia terlihat mengangguk perlahan, turut mengikuti langkahku ke tempat kelapa yang
baru saja dipanen untuk dikumpulkan.
"Jangan dipaksa yaa!" seru Arinun ketika kami berpisah tempat. Dia berada di area
kanan, dan aku area kiri.
"Iya!"
***
Setiap harinya, aku makin giat melakukan segala macam pekerjaan. Arinun juga
mengajakku membuat minyak kelapa untuk dijual. Banyaknya pekerjaan membuatku seakan