Anda di halaman 1dari 2

Perempuan itu berlari ke arahku.

Hembusan angin dengan lembut, menyusup dibalik


helaian rambut lurus nan panjang. Tapeh yang melekat ditubuhnya, membuat proporsi tubuh
terlihat begitu jelas. Sampai aku berangan-angan ingin merayapkan semua jemariku dan
menyentuh kulitnya yang bening itu. Kotor. Sungguh bejat pikiranku, mana mungkin aku
menyentuhnya. Dia sudah seperti adik perempuan bagiku. Dia menyambut ku begitu atusias,
habis pulang kerja dari kedai Cina. Aku duduk di kursi kayu kesayanganku sambil melepas
penat. Tercium aroma seduhan kopi yang semakin lama semakin dekat, letakkannya
secangkir kopi olahannya. Entah apa yang di masukkannya, kopinya selalu nikmat. Tak
langsung masuk kedalam rumah, duduk ia di sampingku dan berbincang-bincang. Tak henti
ku tatap matanya yang bulat itu. Ah, bagaimana bisa mata bulatnya membuatku begitu
berdebar?.
Ditinggal kedua orang tua sejak umur 5 tahun. Dia bergantung padaku, seorang Bacin
yang patuh pada tuan-tuannya. Meminta belas kasih dari satu Cina ke Cina lainnya, sampai
pundi itu ku dapat dengan bertingkah layaknya anjing. Menjawab perintah dengan
mengongong. Aku selalu kesal, para Engkoh itu tidak memberikan pundi sesuai dengan
Opus. Orang-orang Tionghoa pelit. Apa lagi majikanku yang baru ini, ia selalu bertanya
dengan mata sipitnya. Mengenai kabar si Aini adik perempuanku. Gila. Kepala botak, perut
makin kedepan. Sungguh tak rela Aini ku dekatkan dengan Engkoh tua bangka ini.

* * *

Pernah suatu hari Aini berkunjung ketempat kerjaku untuk menghantar bekal yang lupa ku
bawa. Sesampai di depan Gerai, ia berhadapan dengan Engkoh bangka. Mata yang sipit
berubah terbelalak memandang tubuh Aini penuh berahi. Sebenarnya siapa yang tidak
tergoda dengan lekukan Aini. Makanya aku selalu memperingatinya untuk tidak terlalu dekat
dengan manusia yang di namai laki-laki. Kecuali diriku. Tentu saja mangsa yang sudah di
depan Engkoh bangka mendekat.
“Siapa gerangan adik cantik ini?”
“Adik. Mas. Darjo….,”
“Ouhhh…Darjo, sekarang dia lagi kerja. Gimana jika menunggunya di ruangan
Engkoh saja?” sambutnya dengan lembut.
“Tidak. Koh. Saya. Di sini. Cuma. Antar. Bekal. Mas. Darjo”. Jawab Aini tegas.
Engkoh mengerincutkan keningnya. Tidak puas atas jawaban Aini. Di godanya lagi,
lengan Aini kali ini di pegangnya dengan lembut sambil berkata, “Abang mu masih lama
kerjanya, sebelum bertemu duduklah terlebih dulu, pasti letih dirimu berjalan sampai ke
sinikan...ayo turuti perkataan Engkoh”.
Aku yang sibuk memindahkan beras ke gerobak di halaman belakang. Mendengar suara Aini.
Walaupun tidak terlalu jelas, tapi aku tau ini adik perempuanku satu-satunya. Terkejutnya
aku, berani sekali si Cina bangka itu menyentuh lengan adikku, apalagi tatapan mesum
terpancar di mata sipitnya itu. Sialan. Ku panggil nama Aini. Langsung ku suruh dia pulang.
Setelah Aini pulang dan ku ambil bekal darinya. Aku bergegas kembali ke belakang,
melanjutkan pekerjaan yang terhenti tadi. Seketika si Engkoh bertanya “Berapa umurnya
Darjo? Memandang Darjo dengan rasa penasaran. Lambat ku jawab, aku tau si Bangka ini
pasti sudah tergoda dengan paras Aini. Tak ku tatap wajah tuanku sambil ku jawab “15 koh”.
Respon yang sudah di duga untuk pria bangka mesum, senyum sinis terlihat di wajah
gembulnya itu.

* * *
Rumah yang bolong atapnya di mana-mana, di situlah kami berdua tinggal. Rumah
peninggalan orang tuaku. Setiap kali hujan, kami berdua tidur di alas yang sama dengan
selimut seadanya. Aku masih berpikir wajar saja Aini yang umurnya sudah 15 tahun tidur
bersamaku. Ia masih takut dan tidak ada lagi kamar yang layak untuk di tempati. Sebelum
kami tidur, biasanya Aini bertanya-tanya mengenai dunia luar dan kali ini aku begitu tak suka
dengan pertanyaanya “Mas. Barjo. Engkoh. Tuannya mas. Siapa nama aslinya?” tutur Aini.
“Kenapa kau ingin tau mengenai nama tuanku? Tidak!. kau tidak usah tau!”.
Lantas mendengar jawabanku Aini tambah makin penasaran. Dia berusaha memaksaku untuk
mengatakan nama si Bangka Cina itu “Ayo. Beritahu Ai. Nama tuan Mas Jo. Sepertinya dia
baik”. Dengan polos Aini beranggapan tingkah lembut Si Bangka Cina itu adalah tindakan
baik. Begitu polos adik perempuanku terhadap perilaku lawan jenisnya “Aini, kita tidak bisa
langsung berpendapat bahwa orang yang berbicara lembut itu baik, tidak semua!.
“Tapi. Mas Jo. Bersikap baik dan lembut terhadap Ai, jadi. Mas jo. Jahat sama Ai?”
“Aku berbeda dari ribuan laki-laki di luar sana. Mana mungkin aku jahat terhadap
adikku”. Perkataan yang tak terduga dari Aini, ku pikir adikku ini butuh pengetahuan untuk
membedakan mana yang baik dan yang buruk. Supaya dia tidak salah sangka lagi padaku.
Aku tau dia begitu polos, apalagi dia susah dalam berbicara. Itulah satu-satunya kekurangan
dalam dirinya. Ia memang memiliki likuk tubuh yang menggoda, kulit yang bening, rambut
yang lurus. tapi terkadang aku kewalahan dengan rasa ingin tahunya yang berlebihan itu.

Anda mungkin juga menyukai