Anda di halaman 1dari 3

Ibuku Pelit Sekali

Penulis : Monalisa Gladys

Kalau ditanya siapa manusia paling pelit yang pernah kutemui, dengan lantang aku
akan menjawab kalau dia adalah ibuku. Perempuan berusia empat puluh tahun itu
benar-benar sangat perhitungan.

"Di dunia ini tak ada yang gratis, Za!" Ibu selalu mengatakan hal itu saat aku
minta sesuatu. Kadang heran, lagu-lagu tentang ibu yang selalu kudengar sangat
berbeda sekali dengan kenyataannya. Setidaknya dalam hidupku. Hanya memberi, tak
harap kembali--itu semua omong kosong. Ibu juga munafik. Dia sering bersedekah pada
pengemis, tapi anaknya sendiri minta jajan tak pernah langsung diberinya. Ada acara
menyapu, mengepel, mengangkat jemuran dan segala macam perintah yang harus
dilaksanakan terlebih dahulu hanya demi uang dua ribu atau paket internet.

Aku iri dengan Aris, temanku yang rumahnya hanya beda gang. Latar belakang kami
sama, dibesarkan oleh ibu sebagai single parent, tapi dia lebih beruntung. Ibunya
baik sekali, selalu menuruti permintaan Aris. Ya, meski kadang aku dengar tetangga
lain yang bergosip kalau Aris selalu menendang pintu demi keinginannya bisa
terpenuhi. Aris selalu terlihat bahagia.

Kemarin, aku main ke rumahnya. Kulihat dia sedang sibuk dengan motornya. Motor
barunya.
Ada binar-binar di matanya saat kulihat dia sedang mengelap motor barunya. Motor
sport itu pasti sangat mahal. Aku terkesima. Motor itu juga motor impianku juga.

"DP-nya hanya dua juta. Ini murah, Bro!" Aris yang menyadari kehadiranku,
sepertinya tahu dengan apa yang kupikirkan. Aku hanya menghela nafas panjang hingga
suaranya terdengar. Apalagi ini yang harganya mencapai dua puluh juta, hp
secondhand yang tak mencapai satu juta saja, aku harus menabung dulu.

"Coba pikir, kita gak minta untuk dilahirkan, kan? Jadi tugas orangtua itu ya untuk
membahagiakan kita."

Setelah cukup lama terdiam, aku mengakui kalau perkataan Aris itu ada benarnya.
Jadi, sepulangnya dari rumah Aris, aku menyampaikan keinginanku kepada Ibu. Aku
hanya minta motor baru. Apapun itu. Ibu yang baru pulang membeli tepung beras
menatapku dengan pandangan tak suka. Dia yang awalnya diam tak menanggapi
permintaanku akhirnya bersuara juga.

"Ibu tak mau terjerat hutang!" Dia berseru dengan lantang. Penolakan yang begitu
menyakitkan. "SMP saja kau belum lulus, sudah minta yang macam-macam. Kalaupun ada
uang, itu untuk biaya sekolahmu nanti saat SMA."

Bagiku, sepeda motor itu penting. Apalagi sekolahku lumayan jauh. Aku lelah
berjalan menyusuri gang menuju jalan utama. Aku bosan bedesak-desakan dalam bus
antar kota yang isinya aroma rokok dan keringat bercampur. Aku lelah selalu
tersisihkan saat teman-teman pergi nongkrong sementara aku tak dapat boncengan. Aku
lelah juga denga olokan teman-teman karena aku jomlo sendirian.

Bagaimana aku bisa mendapatkan gadis pujaan jika aku tak memiliki tunggangan?

Iya, aku lelah. Ibu bebal sekali. Ibu tidak pengertian.

Apa dia tidak malu jika anaknya tiap akhir pekan hanya di dalam kamar karena tak
bisa pergi ke mana-mana? Apa dia tak ingin kehidupan yang lebih baik? Apa dia tak
ingin maju? Apa dia tak ingin menghemat waktu? Bukankah kalau ada motor itu jauh
lebih irit? Bisa bebas pergi ke mana saja tanpa perlu lama-lama terpanggang
matahari karena menunggu bus? Pertanyaan-pertanyaan itu menggunung di kepalaku
hingga aku memuntahkannya dalam perdebatan sengit sore itu.

"Ibu bilang, Ibu gak mampu bayar cicilan motor. Titik. Terserah kamu!"

Nafasku kian memburu, rasa-rasanya ingin meledak. Ibu tak tergoyahkan pendiriannya
meski aku membujuknya sedemikian rupa.

"Jangan salahkan aku, mulai besok aku gak akan sekolah!" Aku mengikuti jurus Aris.
Aku membanting pintu kamar sekeras mungkin, menendangnya sekuat tenaga. Aku
menghambur ke kasur dan menyembunyikan kepalaku di bawah bantal. Aku menangis.

***

Sampai pagi ini, Ibu tak menyapaku. Dia bergeming saat melihatku. Tak ada lagi
cuitan Ibu di pagi hari. Biasanya sepagi ini dia sudah cerewet membangunkanku,
menyuruhku merapikan tempat tidur, ataupun memaksaku mandi.

Suara denting mangkok yang begitu memekakan telinga, membuyarkan lamunanku. Sudah
jam tujuh pagi, penjual bubur ayam melintas di gang sempit yang hanya selangkah
saja dari rumahku.

Silau sinar matahari masuk melalui celah-celah ventilasi. Suara deru motor yang
berlalu-lalang tak juga membangkitkan semangat untuk beranjak dari tempat tidur.
Aroma masakan tetangga tercium begitu menggoda. Rumahku begitu lengang. Ibu pasti
sudah berangkat berjualan sejak tadi. Dia benar-benar tidak mempedulikanku.

Aku yang masih agak mengantuk langsung menyambar handuk dan pergi ke kamar mandi.
Aku merasa lebih baik setelah air dingin membasahi tubuh. Apa aku kemarin
berlebihan,ya?

Setelah berpakaian, aku mencari-cari ponselku. Mataku tertuju pada aplikasi pesan
hijau. Ada lima panggilan tak terjawab dari Aris. Beberapa pesan yang mengiringinya
kubuka.

[Za, angkat!]

[Za, aku dibawa polisi!]

[Za, aku nabrak ibu kamu!]

Apa?

Aku merasa sesak. Paru-paruku langsung tidak baik-baik saja. Bagaimana bisa? Aku
berusaha menghubungi nomor Aris beberapa kali. Nada sambung terdengar begitu lama.
Lututku semakin dingin. Aku sepertinya pusing. Pusing sekali.

Ibu?

Ibu?

Jangan kenapa-napa ya, Bu? Please! Please! Aku menyesal telah kasar. Aku menyesal.
Aku tak ingin motor lagi. Aku hanya ingin Ibu.

"Apakah ini Reza, anaknya Nyonya Marni?" Suara laki-laki tak kukenal terdengar di
seberang telepon selular ini.

"Ya," jawabku terengah-engah.


"Ibu Anda dalam perawatan di Puskesmas Krenceng. Dia hanya luka ringan. Sepedanya
sudah diamankan!"

"Ya, saya akan ke sana!" Aku menangis. Kali ini bukan tangisan anak manja. Ini
tangisan anak yang menemukan harta karun. Harta karun itu bernama Ibu. Sosok yang
selalu menginginkan anaknya mandiri. Aku tersadar, kalau Tuhan bisa saja memeluk
Ibu hari ini. Mungkin karena itu Ibu terlihat pelit, dia hanya ingin aku
mengusahakan apapun sendiri tanpa bergantung pada siapapun, karena siapapun pasti
akan pergi.

Anda mungkin juga menyukai