Anda di halaman 1dari 6

NAMA: SERENE WIDYAWATI NISSI SUPRIYADI

KELAS: 9F

ABSEN: 22

MEMBUAT CERPEN

Pengorbanan Seorang Kakak

Hujan yang sedari tadi turun membungkus kota, akhirnya mereda. Kini menyisakan tetesan air dari
dedaunan pohon. Titik-titik lembut air masih membasahi dinding sebuah gubuk reyot di ujung
ibukota negara.

Aku Thoriqoh, panggil saja Thoriq, aku adalah seorang remaja tanggung yang berusia 15 tahun.
Tinggal bersama adikku Rizki, anak istimewa berumur 8 tahun. Dengan segala keterbatasan, kami
tetap menjaga harga diri keluarga kami seperti yang diajarkan orang tua kami. Kami bukanlah
pencuri, pemabuk, dan lainnya yang kalian dapat mengetahuinya sendiri.

Sebenarnya, aku tidak tahu persisnya kejadian silam. Di saat orang tuaku pergi dalam suatu peristiwa
pengkhianatan. Hanya beberapa tetangga yang baik hati, juga teman dekat Ayah, membantuku
seminggu penuh. Lepasnya, berjualan koran, bercocok tanam, terkadang menjadi kuli bangunan,
telah menjadi makananku sehari-harinya. Seperti halnya orang yang hanya tamat SD, memang
seperti itulah pekerjaannya.

Bagaimana dengan Rizki? Dia sekolah di dekat rumah. Setiap harinya berjalan kaki, namun aku tetap
memerlukan uang untuk membayar uang sekolahnya. Untuk seragam biasa kubeli dengan harga
murah di pasar loak, itu pun jika ada cukup uang.

Aku terbangun ketika ayam jantan baru berkokok. Hari ini ulang tahun adikku. Sekalipun belum
pernah ulang tahunnya dirayakan. Sedari dulu aku ingin merayakannya, namun aku tidak dapat
membeli hadiah apa pun. “Biarlah,” pikirku. Mungkin Tuhan memang punya rencana lain. Sesubuh
ini, di saat penduduk kota masih menggeliat di atas tempat tidur masing-masing, aku sudah harus
berjalan kaki ke pasar, merasakan udara dingin yang menusuk tulang. Angin segar merembes masuk
ke kausku yang tipis. Namun, aku tidak begitu peduli dengan semua ini. Semburat fajar yang begitu
indah membuatku lebih lega. Aku hanya ingin agar adikku kelak menjadi orang yang sukses. Kali ini
aku membawa buah pisang yang kutanam dan sudah masak, walau bukan di pohon. Cukup banyak
untuk dapat dijual.

“Pisang-pisang!” Aku berteriak ketika para pembeli mulai berdatangan dari seluruh penjuru pasar.
“Pisang apa itu, dik?” Seorang ibu-ibu berwajah putih bertanya. Aku menjawabnya sesuai harga yang
sudah kupikirkan. “Yang ini Rp10.000, bu.” “Lho, mahal amat sih? Rp5.000 boleh gak?” Ibu itu
mencoba untuk menawar. “Eh, i-iya bu, boleh.” “Oke, makasih ya, dik.” Ibu itu mengambil pisang
pesanannya, dan segera pergi berbelanja kebutuhan yang lain. Ya, seperti itulah ketika aku
berdagang. Aku kadang mengambil untung. Tetapi, jika ditawar aku akan menyilakan. Bahkan jika
tidak dibayar pun, aku tetap bersyukur karena aku masih dapat memberi.

Pagi ini selesai sudah aku berjualan pisang. Setelah mendapatkan uang yang entah cukup atau tidak,
aku pulang. Aku masih harus mengurus adikku. Sampai di rumah, adikku sedang memasak beras
menggunakan dandang. Kami bahkan tidak memiliki benda bernama rice cooker. Aku memecahkan
telur, mengocoknya, kemudian memberi garam, untuk kugoreng menjadi telur dadar. Masakan
sederhana yang enak dan murah. Nasi sudah siap, begitu juga lauknya. Aku dan Rizki makan dengan
lahap. Rizki memulai percakapan. “Kak Thoriq, aku ingin dibelikan kue dan es krim. Hari ini kan ulang
tahunku.” “Maaf ya, Rizki, aku bisa membelikan tetapi uangnya, aku tidak tahu cukup atau tidak.”
Aku berkata lembut. “Tapi Kak, tahu tidak? Aku diejek teman sekelas karena hanya aku yang tidak
pernah dirayakan ulang tahunnya. Bahkan Amel, tahun lalu ulang tahunnya dirayakan dengan jalan-
jalan di Dufan.” Rizki memelas. “Rizki, kakak bukannya tidak mau membelikan, tetapi,” aku
kehilangan kata-kata. Aku paling sensitif jika harus bicara dengan adikku, mengenai kesusahan hidup
kami. Aku berusaha menahan air mata, karena itu hanya membuat adikku ikut sedih, dan menjadi
cengeng. Tidak, aku harus berusaha membuat adikku bahagia. Untunglah waktu terasa lebih cepat.
Rizki sudah harus pergi ke sekolah, kalau tidak dia terlambat masuk. Aku mendidiknya agar disiplin,
selalu mengerjakan tugas, tidak pernah terlambat masuk, bangun pagi tanpa perlu kubangunkan.

Aku melambaikan tangan pada Rizki. Dia membalasnya. Kemudian, punggungnya mulai hilang dari
tembok rumah besar di sebelah kanan gubuk kami.

Aku bergegas pergi lagi ke suatu toko untuk bekerja sebagai tukang parkir tidak resmi di sana.
Walaupun terkadang ada orang yang parkir langsung pergi kabur ke jalan karena malas
membayarku. Padahal aku tidak memaksanya, aku tetap menyusun motor-motor yang tidak rapi
sedemikian rupa agar yang lain tidak terganggu. Juga membantu mobil mengatret di jalan raya.
Hanya dari menjadi tukang parkir di saat ramailah yang dapat membantu menaikkan keuanganku.

Matahari kini tiba di puncaknya. Aku berjalan ke warteg yang ada di sekitar lokasi toko. Makan siang
dengan nasi lauk dua buah tempe goreng, sangatlah lezat rasanya. Aku kembali memarkir kendaraan
pelanggan toko hingga senja menjemput, dan toko itu tutup. “Makasih ya, Dik, hati-hati.” Penjaga
toko mengucapkan salam, nyengir.

Dalam perjalanan pulang ke gubukku, kenangan lama itu kembali memenuhi benakku. Setelah lama
mencoba melupakannya, seperti ditusuk sembilu, gurat wajah-wajah orang di sekitarku waktu itu
kembali terlintas. Mengingatkanku akan kejadian 3 tahun lalu.

BRAK! Suara keributan di halaman rumah terdengar. “Kapan, Pak? Kapan? Sudah enam bulan!”
Terdengar teriakan marah. Ayah berusaha menjelaskan, tapi dipotong lagi oleh teriakan teriakan
marah. Mereka memukul-mukul meja-kursi, mulai tidak terkendali. Aku takut-takut melangkah ke
depan. Di halaman rumah, cepat sekali, ternyata sudah ada puluhan orang berkumpul. “Bapak-
Bapak, Liem saat ini ada di pelabuhan. Dia sebentar lagi akan membawa kabar baik. Bunga uang
arisan Bapak-Bapak akan segera kami bayarkan. Juga buat yang ingin sekalian mengambil
pokoknya. Akan kami bayarkan semuanya,” Ayah berusaha meningkahi seruan marah.

“Kami ingin kepastian sekarang, Koh. Bukan janji-janji lagi. Sekarang!” Aku menelan ludah,
mengintip dari balik tirai jendela. Enam bulan lalu, setelah hampir dua tahun bisnis keluarga kami
melesat cepat. Dari samar-samar percakapannya Ayah, aku tahu, salah satu kapal kami tertahan di
pelabuhan. Petugas bea cukai menuduh muatan itu ilegal, dan hendak menyitanya. Om Liem
berhari-hari mengurusnya, bilang dia mengeluarkan uang besar sekali untuk meloloskan muatan.
Dan hanya soal waktu, berbagai masalah datang beruntun. Kapal-kapal itu entah apa pasal,
mendadak rusak di perjalanan, pengiriman tertunda berbulan-bulan; ditemukan barang selundupan
(kali ini petugas bea cukai meminta uang sogok yang besar sekali), pencurian kargo di pelabuhan
(petugas kejaksaan justru menuduh kami yang mengada-ada), hingga puncaknya, salah satu kapal
kebanggaan keluarga tenggelam (menurut kapten kapal, kejadiannya cepat sekali, kapal tiba-tiba
sudah miring). Semua kejadian sial itu membuat bisnis keluarga tersumbat. Maka hanya soal waktu,
pembayaran bunga dan bonus untuk peserta arisan tersendat. Enam bulan berlalu, anggota arisan
mulai tidak sabaran, menuntut uang mereka dikembalikan.
“Kenapa Bapak tidak menjual gudang-gudang atau rumah ini saja untuk membayar uang kami?”
Seseorang berseru, segera ditimpali teriakan setuju yang lain. Ayah menggeleng, wajahnya terlihat
tegang. Orang-orang yang berkumpul di depan rumah sudah ratusan. Dan semakin lama semakin
terlihat bengis. Juga terlihat sekelompok wajah-wajah garang, aku mengenalinya, mereka preman.
Lima belas menit kemudian datang teman Ayah. Mereka bersenjata lengkap. Letnan Satu Wusdi, dia
sering diundang dalam acara pesta-pesta Ayah. “Selamat pagi, Pak,” letnan polisi muda itu
menyapa Papa. Dia datang ditemani salah satu pejabat muda kejaksaan kota, namanya Tunga.
“Sebenarnya hanya segelintir dari anggota arisan yang memaksa uang mereka dikembalikan. Yang
lain masih bisa bersabar, percaya kita bisa mengatasi masa-masa sulit ini.”Aku menghela napas
lega. “Kau tidak jadi mengantar botol susu?” Ayah mengingatkan. Aku menepuk jidat, segera berlari
kecil ke belakang. Ibu sempat membantuku menaikkan botol susu ke atas keranjang sepeda. ”Hati-
hati.” Dan entah kenapa Ibu sempat mencium dahiku. Tersenyum lembut. Aku menyengir, segera
mengayuh, menerobos kerumunan yang meski semakin keras berteriak, tidak berani melewati
barikade petugas. Sementara di rumah, aku tidak tahu Ayah sedang melakukan negosiasi dengan
petugas.

“Aku cemas mereka tidak bisa bersabar lagi.” Ayah mengusap dahi. “Tenang saja, Pak. Anak buahku
akan menjaga seluruh rumah,” Wusdi menenangkan. “Semua bisa diatur, Pak.” Tunga mangut-
mangut. Ayah tersenyum kecut. Belakangan ini Ayah benar-benar mengandalkan dua orang ini
untuk mengurus banyak hal. Meski semua justru semakin berlarut-larut dan rumit. “Aku lihat di
antara kerumunan lebih banyak yang bukan anggota arisan,” Ayah mengeluh. “Mereka sepertinya
bahkan membawa senjata tajam.” Wusdi tertawa kecil. “Jangan cemas. Paling juga mereka hanya
tertarik melihat keramaian.”

Sementara itu aku terus mengayuh sepeda, melintasi gang, jauh meninggalkan rumah. Mengantar
susu. Aku tidak tahu saat itu dering telepon terdengar di rumah.

Ayah sedikit tersentak. “Itu pasti kabar baik dari Liem.”Semua kepala menoleh, Ayah meraih telepon
genggam, semua kepala menunggu. Ayah berbicara sebentar. “Apa?” Gagang telepon jatuh. Ibu
mendekat. “Apa yang terjadi?” Ayah menggeleng. “Kapal itu merapat dengan seluruh muatan
terbakar.” Ibu berseru pelan, meraih pegangan di dinding.

Tunga ikut berkomentar, “Kami ikut menyesal mendengar kabar ini, Pak. Tapi sidang pengadilan
tentang barang selundupan dan ganja akan segera dilakukan siang ini. Dengan kabar buruk ini, akan
banyak pihak yang berebut menjatuhkan keluarga kalian. Ada banyak petugas yang harus disumpal
mulutnya. Celakanya, kalian pasti tidak punya uang lagi.” “Bakar!” Terdengar teriakan dari luar.
“Bakar!” Yang lain menimpali. “Apa yang harus kami lakukan?” Ayah memegang lutut Wusdi. Wusdi
dan Tunga terdiam sejenak, menyeringai.

Wusdi bergumam lagi, “Anak buahku bisa saja menahan massa. Membubarkan mereka, tapi massa
di luar perlu jaminan bahwa uang mereka akan dibayarkan.” Tunga ikut bergumam, “Kami bisa saja
menarik seluruh tuntutan, tuduhan. Tapi semua itu butuh biaya.” “Apa saja, apa saja yang bisa
memastikan keluarga kami tidak diganggu. Akan aku tebus.” Ayah mulai panik, Wusdi dan Tunga
menyeringai, saling lirik sebentar. “Baiklah, apakah Bapak bisa menyerahkan seluruh sertifikat
rumah dan tanah? Dengan menunjukkan itu pada massa di luar, menjanjikan mereka akan dibayar
dengan menjual harta keluarga kalian, mereka mungkin bisa dibubarkan,” Wusdi berkata arif.

“Juga surat-menyurat perusahaan, gudang-gudang, kapal. Biarkan kami yang pegang, dengan itu
akan terlihat iktikad baik keluarga kalian menyelesaikan masalah. Aku bisa membujuk jaksa kepala
untuk membatalkan tuntutan. Menghilangkan bukti-bukti,” Tunga ikut berkata bijak. Ayah saling
tatap sejenak. Ibu sambil terisak berusaha bangkit dari jatuhnya. Lima menit, semua berkas itu
sudah masuk ke dalam tas-tas Wusdi dan Tunga. “Sekarang biarkan kami mengurus mereka.” Wusdi
berdiri, menyalami Ayah. Tunga tersenyum mantap. “Kalian tidak perlu ke mana-mana. Semua
masalah sudah selesai.”

Mereka melangkah ke halaman rumah. Teriakan-teriakan marah terdengar dari pintu yang
setengah terbuka. Aku sungguh sudah jauh sekali dari rumah. Adikku saat itu juga ikut denganku.
Mulai menurunkan satu per satu botol susu pesanan tetangga. Menyapa mereka sambil berlari-lari
kecil. “Lapor, Komandan, apa perlu kami memberikan tembakan peringatan untuk membubarkan
massa?” Salah satu sersan mendekati Wusdi dan Tunga. “Tidak perlu. Perintahkan seluruh anak
buahmu kembali ke markas,” Wusdi menjawab santai. Dahi sersan polisi itu terlipat, tidak mengerti.
“Bukankah kita seharusnya justru meminta tambahan petugas, Komandan?” “Tidak perlu, Sersan.
Jangankan membayar uang arisan, keluarga ini bahkan tidak bisa membayar seperak pun upahmu
berjaga-jaga siang ini di rumah mereka. Kapal mereka terbakar di pelabuhan.” Tunga menepuk bahu
sersan polisi itu. Sersan polisi itu terdiam. Tidak mengerti. Wusdi dan Tunga santai menaiki mobil,
perlahan membelah massa yang beringas. Wusdi menurunkan kaca, memberikan kode ke
gerombolan preman. Tunga di sebelahnya tertawa menepuk-nepuk tas penuh berkas berharga.

PRANG! Aku mengerem sepeda sekuat tenaga, seekor kucing melintas di gang. Hari itu umurku dua
belas tahun. Hari itu Ayah dan Ibu terpanggang nyala api. Rumah besar kami dibakar massa. Om
Liem yang kembali dari pelabuhan dua hari kemudian hanya termangu melihat puing-puing. Aku
yang pulang dari mengantarkan botol susu menangis berteriak-teriak melihat asap mengepul dari
kejauhan. Beberapa tetangga mencegahku pulang ke rumah. Masih banyak gerombolan tidak
dikenal yang menunggui rumah. Hari itu keluarga kami kehilangan semuanya. Sejak itu aku benci
dengan para petinggi aparat negara. Rizki yang masih 5 tahun, belum mengerti penuh kejadian itu.
Dia hanya dapat menangis, Ayah dan Ibunya tidak ada.

Tiba-tiba sebuah mobil sedan Corolla melesat cepat, hampir menabrakku. Aku terhenyak dari
lamunanku. Awan mendung membentang di sekujur langit. Kilatan cahaya mulai terlihat. Aku
mempercepat laju langkahku. Tadinya aku ingin menyempatkan datang ke toko kue, tetapi cuaca
masih sama seperti kemarin. “Tak apalah. Kuenya dapat dibeli besok.” Aku membesarkan hati.

Ketika sampai di rumah, aku mengetuk pintu lalu masuk. Rizki sedang mengerjakan PR Bahasa
Indonesia, membuat cerita fabel. Saat itu juga, hujan turun dengan derasnya. Mungkin ini hujan
terderas yang pernah terjadi. Angin membuat gubuk kami terlihat hampir roboh. Rizki berhenti
mengerjakan PR-nya. Suara angin dengan kuat menelisik sela-sela dinding gubuk.

CRACK! Suara patahan terdengar. Benar saja, gubuk kami tersebut kini dalam keadaan kritis. “Kakak,
bagaimana ini? Kita keluar atau tidak?” Rizki sedikit cemas. Tidak, bagiku Rizki yang perlu
diselamatkan. Namun bagaimanalah, hujan di luar juga makin menderas. Deru air terdengar jelas di
genting. Lantai semen gubuk menjadi becek. Aku memaksa otakku untuk berpikir di saat seperti ini.
Hingga akhirnya, aku dan Rizki memutuskan untuk keluar dari dalam gubuk.

Sekeluarnya dari gubuk, kami berbasah-basahan. Kami memiliki sebuah payung. Namun kata Rizki,
menggunakan payung di saat hujan petir memiliki risiko tersambar petir yang lebih besar. Kami
memutuskan berteduh ke pohon tua lebat di seberang jalan.

“Aaa, Kak Thoriq! Lihat itu!” Rizki berteriak ketakutan. Detik itu juga gubuk reyot kami runtuh diterpa
banjir. Dan sekarang banjir itu dengan kecepatan tinggi merambah ke arah kami. Aku menguatkan
hati. “Ya Allah, biarkanlah adikku yang selamat. Kalau dia harus mati terseret banjir, gantikan saja
denganku!” Aku mengambil tindakan cepat. Aku menggendong Rizki, menaikkannya ke atas pohon.
Belum sempat aku naik ke atas pohon, banjir itu sudah sampai di tempatku berdiri. “Kak! Ohhhh,”
Rizki mulai menangis. Banjir itu, menyeretku dengan paksa. Aku tidak bisa berenang. Namun aku
akan menghadapi semua ini. Aku berusaha bertahan di tengah arus banjir ibukota. Pada saat itu,
seorang bocah berteriak minta tolong. Samar-samar aku melihatnya terjatuh dari sepedanya. Astaga,
siapa pula anak kecil yang masih bermain sepeda ketika hujan deras melanda. Aku mengerahkan
sisa-sisa tenaga, mengajak Rizki ikut serta. Banjir sedikit lebih tenang. Kami berdua berenang
seadanya ke tempat bocah tersebut. Aku menaikkannya ke punggungku. Aku hampir tenggelam
tidak seimbang. “Aku saja yang menggendong dia, Kak,” Rizki meminta. “Tidak! Berbahaya,” aku
menolak tegas. Setelah sampai di pohon tadi, aku menaikkan bocah itu ke atas pohon, dibantu oleh
Rizki dari atas. Setelah itu dengan sisa-sisa tenaga aku mulai berpegangan pada batang pohon,
hendak memanjat. Seakan-akan disengaja, kini hujan menderas, banjir gelombang kedua datang.
Aku kembali tersapu, mengabaikan teriak histeris Rizki. Gelombang banjir semakin naik, aku
terhempas ke sebuah batu besar milik tetangga. Badanku seakan remuk. Angin berembus kencang,
kini banjir membawaku lebih cepat tak menentu arah. Orang-orang naik ke atas genteng rumah
masing-masing.

BRUK! Badanku terpelanting ketika menubruk tembok rumah seseorang. Tepat di kepalaku. Garisan
darah yang terus mengalir terbentuk di air. Di sana, Rizki telah habis air matanya. Tidak ada warga
yang dapat menolong. Tak satupun yang berani keluar. Mereka hanya menunggu bantuan dari tim
SAR tiba. Aku tidak dapat melihat dengan jelas. Merasakan sakit yang semakin menjadi.

Beruntung, hujan kembali reda. Setelah sekitar 20 menit aku menunggu, hampir tenggelam dan
beberapa kali tersedak, bantuan itu tiba. Aku dinaikkan ke atas perahu. Aku langsung meminta
mereka membawa perahunya ke pohon dekat gubuk yang kini terbawa arus banjir. Sesampainya di
pohon itu, mereka menurunkan Rizki dan juga bocah tersebut. Aku dibawa ke rumah sakit terdekat.

Rizki mulai menangis. “Kak Thoriq, aku benar-benar minta maaf. Aku yang salah selama ini. Kakak
selalu tepat waktu menyelamatkanku.” Air mata mulai memenuhi pelupuk mata Rizki. Kak Thoriq
menyuruh adiknya mendekat. “Kau tidak salah, Rizki. Kenapa kamu harus menangis? Bersikaplah
tegar, Rizki,” Thoriq berkata lembut. Thoriq hanya dapat terbaring di kasur rumah sakit. Kabarnya,
dokter mengatakan bahwa Thoriq terlalu banyak menelan air banjir, dan tersedak cukup banyak
ketika berupaya menahan nafas. Thoriq terbatuk-batuk kencang, mengeluarkan lendir bercampur
sedikit bercak darah. Rizki dengan penuh iba, mengelapnya menggunakan tisu. “Kak Thoriq ingin
mendengar hasil perjuangan Kakak tadi?” Kak Thoriq mengangguk pelan, tetapi menatap penuh
semangat. “Nama anak itu Sahad, dia sepantaran denganku. Dia anak pemilik toko emas dan
perhiasan. Pak Maro sahabat Ayah, menawarkan kita menjadi anak angkatnya. Karena itulah aku
berterima kasih banyak kepada Kak Thoriq.” Kak Thoriq mendengar sampai berkaca-kaca.

Aku tidak bisa berkata-kata banyak. Terkadang terbatuk. Aku hanya sangat senang, bahwa usaha tak
kan mengkhianati hasil. Bagi Allah, semua dapat diperbuat.

Malamnya, Pak Maro datang ke rumah sakit menjenguk Thoriq. “Thoriq, kau baik sekali, nak. Seperti
Ayahmu, juga Ibumu saat mereka masih hidup. Aku melihat cerminan itu dalam dirimu dan diri
adikmu. Terima kasih banyak, kamu menyelamatkan nyawa anakku satu-satunya. Karena itu
mintalah apa saja yang kau inginkan. Baik itu nyawamu mungkin, jika memang masih tertolong.” Aku
berkata lirih. “Lindungi adikku, jaga dia, dan,” kalimatku terpotong. “Ehm, bukan itu maksud saya,
nak. Tapi tak apa, akan kulakukan. Bagaimana dengan benda-bendanya?” “Aku tidak perlu itu, Pak.
Aku sudah ikhlas pergi. Jadi Pak Maro belikan saja kue dan es krim untuk Rizki, juga beberapa hadiah
untuk ulang tahunnya.” Pak Maro tersenyum. “Baiklah, kamu benar-benar seperti Ayahmu dahulu.
Lebih senang memberi daripada meminta. Sekarang panggil aku paman saja.” Aku belum pernah
mendengar cerita Ayah seperti ini. “Oh, sepertinya kamu belum tahu cerita ini, Thoriqoh. Mungkin
kamu tidak pernah tahu, bahwa Ayahmu memiliki saudara. Walaupun bukan saudara kandung, kami
ke mana-mana selalu bersama. Ketika itu, Ayahmu kira-kira umur 17, dan Bapak kira-kira 13 tahun.
Saat itu Paman sangat nakal. Paman pergi sendirian ke hutan desa, namun kemudian tersesat.
Seluruh warga kampung cemas, mencari paman. Ayahmu yang waktu itu mendengar rencana Paman
dan teman paman, langsung pergi ke hutan itu membawa tombak milik kakekmu. Paman mencoba
keluar dari hutan, tetapi selalu datang kembali ke tempat awal. Tiba-tiba, Paman mendengar
geraman hewan. Dialah harimau hutan itu yang paling mengerikan. Paman melihat ada 2 ekor
harimau dari kanan dan kiri Paman. Ayahmu tiba-tiba datang, menyuruh Paman lari. Paman ragu.
Paman tidak mungkin menyerahkan Ayahmu diterkam harimau. Namun, Ayahmu bersikeras untuk
melawan harimau itu sendirian. Paman mulai berlari mundur, ngeri melihat Ayahmu. Ajaibnya,
harimau itu mendengar suara Ayah, harimau itu berbalik kembali ke rumahnya, menyisakan teriakan
lega Ayah.” Aku mendengarkan penuh semangat. Saat kecil dahulu, Ayah jarang bercerita masa
mudanya.

Sakitku semakin keras. Aku semakin terbatuk-batuk. Rizki menangis terus, meminta dokter
melakukan apa pun untuk menyelamatkan nyawaku. Tapi Tuhan memang berkehendak lain. Aku
sudah tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Aku memanggil Rizki. Aku berbicara dengan suara kecil.
“Rizki, kau harus baik dengan Paman. Aku akan pergi,” aku terbatuk-batuk bercampur darah. “Tidak!
Kakak harus bersamaku,” Rizki menangis tersedu-sedu. Aku tahu hatinya seperti tertusuk seribu
sembilu. Namun, aku berusaha tidak menangis di depan adikku itu. Aku berusaha tersenyum. Rizki
memelukku. “Ya Allah, terimalah aku di surgamu,” aku bergumam. Paman mulai ikut menangis. Rizki
semakin erat memelukku. Aku berusaha membalas pelukannya. Dan saat itu pun tiba. Aku pergi
dengan damai selamanya. Aku bersyukur dapat menolong di tengah kesulitanku, dan membuat
adikku bahagia. Di rumah sakit sana adikku telah merelakan kepergianku. Kakak yang selalu
berkorban baginya.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai