Anda di halaman 1dari 9

ANGGUR TERAKHIR :

SEBUAH MONOLOG
Karya Didik Wahyudi
03177570816 / bungabianglala@gmail.com

LAMPU PANGGUNG MEREGANG: SEBUAH RUANGAN DI DALAM RUMAH.


SEORANG PEREMPUAN ENTAH APA YANG DIKERJAKANNYA.
SEPI, SAMPAI PEREMPUAN ITU BICARA:
Luar negeri. Saya akan pergi ke luar negeri. Sebuah tempat dimana kehidupan saya akan
bersambung. Menjadi sebuah jalan, yang entah menuju kemana. Tapi yang pasti saya akan
mendapatkan pekerjaan yang lebih jelas. Tidak lagi terombang-ambing di antara kesepian
dalam hati kecil saya dan para lelaki yang selalu memuja suara saya. Tubuh saya.
Saya sudah menjadi penyanyi kafe ketika umur saya 16 tahun. Ketika perempuan-perempuan
seumur saya sedang sibuk ke sekolah, saya malah tidur di kamar. Dan malam waktu mereka
tidur, saya ada di kafe. Begitulah saya jalani roda gila hidup saya. Berputar-putar di antara
mimpi dan remang-remang cahaya panggung. 10 tahun adalah waktu yang lama. Dalam
sepuluh tahun saya pasti sudah memiliki segalanya dan hidup berkecukupan andai saja saya
mengenal Mas Jacky sejak dulu. Tetapi sudahlah. Barangkali memang begitulah garis tangan
yang harus saya terima. Toh, sekarang saya sudah memegang semua yang saya perlukan.
Pasport dan beberapa lembar surat akan mengantarkan saya ke tanah seberang. Tanah, yang
dulu hanya bisa saya dengarkan ceritanya.
Oh, ada yang perlu saya jelaskan tentang hubungan saya dengan Mas Jacky.
Dua tahun setelah Mas Bambang meninggal, saya bertemu Mas Jacky. Seorang teman lama
mengenalkan saya kepadanya. Waktu itu, Mas Jacky memperkenalkan diri sebagai seorang
pengusaha jasa. Maksud dia, dia memiliki sebuah kantor di Jakarta yang salah satu bidangnya
mengurusi masalah promosi artis seperti saya. Wah, mimpi apa saya. Peluang itu tak mungkin
saya buang sia-sia. Lagi pula, kata Mas Jacky, sudah banyak artis yang telah ia promosikan
ke luar negeri. Mereka sukses dan mendapatkan banyak uang di sana. Ya, mereka tetap saja
tidak populer sebagai penyanyi di dalam negeri. Tetapi penghasilan mereka dari bernyanyi di
sana, tidak kalah dengan artis top di Indonesia.
Selanjutnya Mas Jacky meminta saya datang ke kantornya di Jakarta. Dengan tekad dan rasa
percaya bahwa Mas Jacky bukanlah seorang penipu, saya pun pergi ke sana. Ah, waktu itu,
tentu saja terlintas pikiran macam-macam tentang Mas Jacky di kepala saya. Maklum saja,
saya sudah sering mendengarkan cerita penipuan dengan kedok tawaran kerja ke luar negeri.
Tapi, dari cara bicaranya, saya yakin Mas Jacky bukanlah bajingan seperti dalam cerita. Dia
itu kalem sekali kalau bicara, dan sangat menghormati wanita. Bahkan kepada penyanyi kafe,
yang banyak dianggap miring oleh orang lain, dia sangat santun tingkah bahasanya.
Pernah, ketika dia akan kembali ke Jakarta, saya diundang makan malam bersamanya.
Kebetulan, saya sedang libur. Dia mengundang saya makan malam di hotel berbintang. Mulamula, saya agak rikuh saat memasuki restorannya. Di sana saya lihat orang-orang dari kelas
atas. Mereka melihat saya sepintas, dan seolah tidak percaya bahwa saya adalah manusia
seperti mereka. Tapi saya tidak perduli. Tujuan saya pasti, menghormati undangan Mas Jacky.

Bandarnaskah.blogspot.com

Dan ketika dari mejanya Mas Jacky melambai kepada saya, buru-buru saya mendatanginya.
Seolah-olah, ada tempat perlindungan dari babi-babi buta di sana.
Tapi saya ini orangnya mudah sekali memasang kecurigaan kepada siapa saja. Terlebih lagi,
karena Mas Jacky orang yang belum lama saya kenal. Makan malam di sebuah hotel itu,
boleh jadi akal-akalan saja. Sesudahnya, dia pasti merayu, dan membujuk agar saya mau tidur
dengannya. Oh, makin saya berpikiran buruk, makin saya keliru. Nyatanya, makan malam
itu, hanyalah makan malam biasa. Mas Jacky memberitahu saya banyak hal, yang harus saya
perhatikan, kalau saya jadi hidup dan tinggal di luar negeri sana. Saya sungguh terharu.
Betapa di jaman seperti sekarang, dimana banyak orang hanya mementingkan nafsu ketika
berhadapan dengan janda seperti saya, Mas Jacky justru sebaliknya. Dia terlihat sebagai
sosok pembela bagi saya. Pulangnya, Mas Jacky mengantarkan saya dengan mobil yang
disewanya sampai ke rumah. Ini sungguh-sungguh tidak biasa. Perlakuan Mas Jacky kepada
wanita, mirip sekali dengan Mas Bambang almarhum suami saya.
Mas Bambang, semoga engkau tenang di alam sana.
Kalau diingat-ingat, rumah ini banyak sekali menyimpan kenangan indah. Di rumah inilah,
saya dan Mas Bambang tinggal sejak kami menikah. Lima tahun, dan selama itu, Mas
Bambang tak pernah berubah mencintai saya. Dia selalu mengantar dan menjemput saya
setiap kali saya ke kafe, atau kalau ada pentas ke luar kota. Katanya, saya adalah kekayaan
yang dititipkan Tuhan kepadanya. Dan sebagai miliknya, saya tahu, Mas Bambang telah
memperlakukan saya dengan penuh tanggung jawab juga cinta. Oh, dia orang yang setia dan
tak malu bekerja apa saja. Asal halal, apapun, akan dia kerjakan demi mewujudkan
tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga.
Saya beri tahu, ya. Mas Bambang itu pernah menjadi pemulung. Dia mengumpulkan barangbarang bekas dari tempat-tempat sampah. Kalau sudah cukup banyak, dia menjualnya kepada
pengepul di depan gang sana. Ketika itu, Mas Bambang baru saja dipecat dari pekerjaannya
sebagai pegawai honorer perusahaan air minum daerah. Sedangkan saya, tidak lagi menjadi
penyanyi. Mas Bambang melarang saya. Sebagai wanita yang sudah bersuami, tentu saya
mematuhi perkataan suami saya. Walaupun Mas Bambang tidak bisa menghasilkan banyak
uang dari pekerjaannya, saya hidup bahagia. Saya bahagia, karena Mas Bambang rela
melakukan apa saja demi menghidupi keluarga.
Mas Bambang itu pernah kuliah juga, lho. Dia dulu mahasiswa Sejarah. Meskipun tidak
sampai lulus, tapi saya rasa, Mas Bambang tak kalah luas pengetahuannya dibanding para
sarjana, seperti Safri, pemain kendang saya. Makanya, pekerjaan dia itu, saya anggap tidaklah
mudah. Tidak akan pernah mudah untuk seseorang yang pernah merasakan hawa pendidikan
tinggi seperti dia. Tapi, karena tidak tega melihat Mas Bambang bekerja sendiri saja,
akhirnya, saya putuskan untuk kembali bekerja. Walau berat, Mas Bambang menginjinkan
juga. Toh, kami belum mempunyai momongan. Jadi, selain untuk melayani suami, tenaga dan
waktu saya masih bisa saya gunakan untuk bekerja. Waktu itu 20 tahun umur saya.
Tapi kembali ke dunia yang pernah saya tinggalkan, tidaklah semudah bayangan saya. Saya
harus mencari grup lain, karena grup lama saya sudah bangkrut dan bubar. Beberapa
personilnya sudah beralih profesi. Muchlis, pemain seruling, bekerja di pabrik jamu. Dita dan
Somad, memutuskan untuk menikah, dan membuka warung sate di simpang pahlawan. Amar,
yang sudah beristri dua, jadi pengamen di bus-bus antar kota. Beruntung, saya masih
menyimpan kartu nama Om Syubadar, pimpinan grup orkes yang cukup ternama. Dulu, dia

Bandarnaskah.blogspot.com

pernah meminta saya bergabung dengan orkesnya. Tapi saya menolak, karena merasa tidak
enak dengan Pak Danu, pimpinan grup saya.
Pak Danulah dulu yang membuat saya menjadi penyanyi dan terkenal sampai sepanjang
pantai utara. Ayu! Ayu! Ayu! Teriak mereka, setiap kali saya akan tampil. Seorang pemuda
mabuk bahkan pernah terjatuh dari atas panggung, karena nekat ingin memberikan uang
sawer dan bunga kepada saya. Tentu saja bapak-bapak penjaga menghalaunya. Naas, dia
terjatuh dengan posisi yang tidak tepat. Kaki kirinya patah dan harus dibawa ke rumah sakit.
Tapi saya dengar, pemuda itu malah bahagia, karena berhasil mendapatkan ciuman pipi dari
saya. Ah, penggemar memang bisa berbuat gila.
Eh, ngomong-ngomong soal penggemar, Mas Bambang dulu juga penggemar saya, lho.
Begini, waktu itu saya sedang bernyanyi di kafe kamboja. Seperti biasa, saya sedang
menyanyikan lagu Remang-remang cahaya, sebagai lagu terakhir saya. Dan aneh, selama
menyanyi, perhatian saya tertuju pada seorang lelaki di meja ujung. Berbeda dengan
pengunjung lain yang mabuk dan tak perduli pada lagu saya, saya lihat, lelaki itu seperti ingin
menangis mendengarkannya. Dan semakin saya menyimaknya, saya semakin larut saja dalam
suasana lagu saya. Saya seperti mendapatkan kekuatan, karena seseorang telah memberikan
respon yang berbeda dari umumnya penggemar saya, ketika saya sedang bernyanyi. Jadi,
saya anggap dia sebagai penggemar, karena kebiasaannya itu. Meskipun, diam-diam saya
juga senang setiap kali dia ada.
Malam berikutnya saya lihat, lelaki itu juga berada di sana. Melakukan hal yang sama seperti
malam sebelumnya. Pelan-pelan, setiap kali dia berada di sana ketika saya sedang bernyanyi,
rasanya saya seperti melihat sebuah cahaya. Cahaya yang tidak pernah saya saksikan
sebelumnya.
Sampai suatu ketika, lelaki itu tiba-tiba menghilang, dan tak pernah kembali ke sana. Tapi
begitulah kehidupan saya kira. Berputar dan berputar bagaikan roda. Ada yang kuncup ada
juga yang terlepas dan jatuh ke tanah. Saya harus rela, meskipun bernyanyi tanpa cahaya
yang selama itu menemani saya bukanlah kenyataan yang indah. Mas Bambang, lelaki itu
saya anggap sebagai bintang jatuh yang mengerjap sebentar dan kemudian menghilang. Saya
katakan dia cahaya sebab saya tidak tahu harus mengatakan apa. Maksud saya sebenarnya
adalah, saya merasakan kegembiraan setiap kali mengetahui dia ada di sana. Itu saja. Tetapi
ketika saya lihat dia telah kembali ke kafe pada suatu ketika, saya sudah terbiasa bernyanyi
tanpa dia. Tetapinya lagi, saya tidak bisa menolak, waktu dia mendekat dan memperkenalkan
diri kepada saya. Bungah hati saya lahir kembali. Dan sejak itulah, saya dan Mas Bambang
lalu sering bertemu. Kami lantas berpacaran.
Ternyata Mas Bambang bukanlah lelaki misterius seperti saya kira. Dia bekerja dan menjalani
kehidupan layaknya orang-orang umumnya. Adapun ketidak hadirannya di kafe selama
beberapa bulan itu, karena dia mendapatkan kontrak kerja di luar pulau. Tapi sebelum
kontraknya selesai, dia sudah kembali. Katanya, dia tidak betah lama-lama berjauhan dengan
saya. Ah, Mas Bambang mencuri hati saya dengan kebohongan seperti itu.
Singkat cerita, Mas Bambang kemudian melamar saya. Saya beri tahu ya, sebenarnya
sebelum Mas Bambang melamar saya, kami berdua sudah pernah tidur satu ranjang. Jadi
kalau dia kemudian melamar saya, saya tentu saja menerimanya. Setelah menikah, kami
langsung menempati rumah ini. Waktu itu, kebetulan Mas Bambang baru saja menerima uang
warisan keluarganya. Ditambah dengan uang simpanan saya selama beberapa tahun, kami

Bandarnaskah.blogspot.com

membeli tempat sempit ini dan menyebutnya rumah.


Malam ini seharusnya saya bergembira. Besok pagi, Hakim akan menjemput dan
mengantarkan saya ke bandara. Selangkah lagi kehidupan saya akan berubah. Tapi begitulah
saya. Selalu sedih setiap kali teringat Mas Bambang, dan bagaimana selama lima tahun kami
menjalani kehidupan bersama. Dulu, ketika Mas Bambang baru saja meninggal, rasanya saya
tak bisa untuk tidak menangis. Segalanya terasa sepi dan hampa. Maklum saja, saya kan tidak
memiliki siapa-siapa kecuali Mas Bambang dan beberapa teman yang tidak banyak
jumlahnya. Jadi, waktu Mas Bambang meninggal, dunia saya seperti sudah selesai, ikut
terkubur ke dalam liang lahatnya. Tetapi sudahlah. Toh, Mas Bambang juga tidak akan
bahagia andai ia tahu saya tidak berbahagia. Yang penting adalah bagaimana saya
melanjutkan hidup dan menatap masa depan saya.
Saya perlu minum.
Ini barangkali adalah anggur terakhir saya. Kata Mas Jacky, di tempat tujuan saya nanti
anggur dilarang dan tidak dijual sembarangan. Kalaupun bisa didapatkan, akan sangat sulit,
apalagi bagi pekerja dari luar seperti saya. Hukumannya cukup berat, kalau tidak
dikembalikan ke negara asalnya. Begitulah, peraturan di setiap negara berbeda-beda. Di sini,
walau anggur semacam ini tidak dilarang oleh negara, tetapi tetap saja tidak dibenarkan
secara moral oleh masyarakatnya. Apalagi perempuan. Jadi, saya ini bukanlah orang yang
melawan hukum negara. Tetapi oleh kebanyakan orang, termasuk para tentangga, saya adalah
aib yang hina. Ya, tentu saja penilaian mereka itu tidak salah. Kita tidak bisa menyalahkan
keyakinan seseorang, apalagi mencelanya, hanya untuk membela diri semata.
Di kantor Mas Jacky di Jakarta, ada banyak anggur semacam ini. Tentu lebih baik lagi,
karena dia memang seorang kolektor. Beda dengan saya. Saya tidak mengerti banyak perihal
anggur. Kenapa anggur yang ini berwarna putih dan yang itu merah. Kenapa kita perlu
menggoyang gelasnya perlahan-lahan dan menciumi aromanya terlebih dahulu sebelum
meminumnya. Saya tidak tahu. Bagi saya, semua anggur rasanya sama saja. Yang penting,
bisa membuat suasana hati saya lebih hangat dan terbuka.
Enak sekali.
Sampeyan kenal Om Syubadar, bukan? Ketika pertama kali datang kepadanya saya sedang
berada dalam situasi tidak percaya diri untuk bersaing dengan penyanyi-penyanyi lain yang
lebih muda dan bernas ketimbang saya. Meskipun saya pernah memiliki tempat di hati
masyarakat, tetapi ketika saya pergi begitu cepat nama saya dilupakan dan terganti oleh
penyanyi-penyanyi lainnya. Saya tahu, saya harus berjuang dari nol lagi untuk merebut
tempat saya semula. Mula-mula Om Syubadar memberikan saya dua lagu setiap kali pentas
dengan honor yang sangat rendah. Tetapi naluri saya berkata bahwa saya pasti bisa
mengembalikan perhatian masyarakat kepada saya. Paling tidak saya belum sepenuhnya
habis. Saya percaya saya masih ada dalam inmgatan mereka walau mungkin tak semenarik
Rosita atau Persik yang punya goyang ombak Pantura.
Enak sekali.
Om Syubadar sering meyakinkan saya. Asalkan saya berusaha keras, pastilah saya bisa
mengembalikan keadaan saya seperti semula. Dan, meskipun hubungan saya dengan
penyanyi-penyanyi lain tidaklah mudah, saya tetap berusaha berbuat baik kepada mereka.
Mujur bagi saya. Sebab, pelan-pelan, dengan bantuan Om Syubadar, ketegangan kami bisa

Bandarnaskah.blogspot.com

meredah. Situasi ini cukup membantu saya, untuk bisa bekerja dengan lebih nyaman, tanpa
kekhawatiran apa-apa. Dan satu tahun setelahnya, nasib baik mendatangi saya. Persik keluar
dari grup dan hijrah ke Jakarta. Seorang produser menawarinya kontrak rekaman di sana.
Kesempatan ini saya manfaatkan dengan baik. Penonton kami, mulai memperhatikan saya.
Tentu saja. Sebab, selain nekat mempertontonkan keindahan tubuhnya ketika bernyanyi,
Rosita tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Saya hanya butuh sedikit kenekatan saja. Ah,
kasihan juga sebenarnya. Sebab, ketika saya mulai menanjak, Rosita harus mendapat
pengurangan jatah. Belum lagi kalau Om Syubadar menyewa penyanyi di luar grup kami
yang tak kalah dasyatnya dengan saya. Akhirnya Rosita tidak betah juga. Dia pergi ke jakarta
dengan maksud meminta bantuan pada Persik. Malangnya, bukan menjadi penyanyi seperti
diharapkannya, dia justru dijual, dan dijadikan perempuan panggilan. Produser yang dulu
membawa Persik ke Jakarta adalah mucikari yang biasa mencari mangsa dengan iming-iming
popularitas di Jakarta.
Enak sekali. Anggur terakhir selalu anggur teristimewa.
Lima bulan sesudah Mas Bambang meninggal, Om Syubadar datang ke rumah ini. Dengan
terang-terangan dia berkata, ingin menjadikan saya sebagai istri ketiga. Oh! Mau bagaimana
saya menanggapinya? Om Syubadar dua kali lebih tua dari umur saya. Istri pertamanya sudah
memberinya lima orang anak, sedang istri kedua belum sampai sembilan bulan ia kawini.
Memang, sebagai penyanyinya saya cukup dekat dengan dia. Tak jarang dia mengajak saya
pergi berdua kalau sedang ada kesempatan. Tentu saja saya tak pernah menceritakan bab ini
kepada suami saya. Ya, memang sih, orangnya cukup asyik walau sudah tua. Saya juga
senang kalau dia mengajak saya keluar. Jalan-jalan dengannya, makan malam, atau putarputar saja tanpa arah. Pernah, suatu ketika, dia mengajak saya ke pantai ria. Waktu itu kami
baru saja manggung di luar kota. Agar tidak jenuh, katanya. Saya sudah mencium gelagat
tidak wajar dari caranya mengajak saya. Tetapi saya biarkan saja dan tidak berusaha menolak
tawarannya. Biasa dia akan memberi saya, semacam bonus tambahan, setiap kali kami selesai
jalan-jalan. Lumayan lah.
Ah, saya minum lagi.
Benar saja firasat saya. Begitu sampai di tempat yang dia maksudkan, Om Syubadar mulai
merayu saya. Waktu itu langit penuh awan hitam. Hujan bisa datang kapan saja. Mula-mula
Om Syubadar merayu dengan kata-kata. Kemudian dia minta memegang tangan saya. Saya
diam saja. Pegangan tangan kan hal biasa saja bagi saya. Lalu bincang-bincang kami
merembet ke persoalan-persoalan pribadi dan seks. Ah, Om Syubadar....
Terus terang, lama-lama saya terangsang juga. Makanya, ketika hujan benar-benar datang,
saya tidak menolak waktu dia mengajak berteduh di bekas istal di sana. Di belakang lapangan
pacuan kuda. Selain kami, ada juga pasangan-pasangan lain yang juga berteduh. Mereka
menempati kamar-kamar kuda yang berjajar di sana. Saya dan Om Syubadar kebagian tempat
paling ujung, bersebelahan dengan dinding hotel Kincir yang murah meriah. Oh, Om
Syubadar bukannya tidak bisa menyewa hotel. Tetapi dia tentu tidak berani terang-terangan
mengajak saya. Waktu itu, dia langsung menerjang saya. Tentu saja saya beronta. Walaupun
saya bersedia dekat-dekat dengannya, tetapi saya cukup waras untuk tidak berbuat seolah
boneka seksnya. Saya dorong tubuhnya kuat-kuat. Dia kaget, dan buru-buru minta maaf
kepada saya. Sejak itu, perlakuannya berubah. Kami tidak pernah lagi keluar bersama. Meski
dalam hati kecil saya, saya masih berharap agar kami bisa kembali seperti dulu kala.

Bandarnaskah.blogspot.com

Tetapi sudahlah, pikir saya. Yang penting Om Syubadar tidak menjadikan penolakan saya itu
sebagai alasan untuk berlaku tidak adil kepada saya. Dan, ketika dia kemudian melamar saya,
saya katakan, saya tidak tertarik untuk berkeluarga. Tidak selama saya belum bisa menghapus
ingatan dan cinta saya kepada almarhum suami saya. Sekali lagi Om Syubadar mengalah.
Ah, mabuk saya. Pening sekali kepala saya. Mas Jacky.
Bayangkanlah. Luas kantor Mas Jacky itu dua puluh kali rumah saya. Belum termasuk
tempat parkirnya. Di lantai tiga terdapat beberapa kamar. Tempat menginap bagi calon tenaga
kerja yang akan disalurkan. Masing-masing kamar diisi empat hingga lima orang. Semuanya
perempuan. Mereka datang dari mana-mana. Terutama dari desa-desa kecil di pelosok. Kata
Mas Jacky, juga menurut sebuah artikel yang pernah saya baca di majalah, persoalan dasar
tenaga kerja dimulai waktu mereka masih di dalam negeri. Rata-rata korban penganiayaan itu
adalah tenaga-tenaga kerja yang tidak berbekal pengetahuan cukup. Mereka tidak mengerti
adat dan cara yang seharusnya mereka lakukan agar terhindar dari penyiksaan. Itulah kenapa
Mas Jacky menampung perempuan-perempuan itu terlebih dahulu. Selama enam bulan
mereka akan diberikan pelatihan. Mulai ilmu bahasa sampai berbagai pengetahuan praktis
berhadapan dengan masalah. Di tempat Mas Jacky ada ratusan perempuan yang sedang
ditampung.
Mas Jacky menunjukkan kepada saya tempat pelatihan di lantai dua. Di sana ada
laboratorium bahasa. Beberapa ruangan lain digunakan untuk praktek memasak dan menata
kamar tidur. Semuanya dikelola secara profesional dan terpusat pada satu kendali: ruang kerja
Mas Jacky di lantai dasar. Mas Jacky menyambut saya dengan hangat. Dia memperkenalkan
saya kepada staf-staf di sana. Saya sampai malu. Saya kan tidak pernah mendapatkan
pendidikan yang tinggi. lagi pula sebagian besar waktu saya banyak dihabiskan dipanggungpanggung remang. Bergaul bersama orang-orang kasar. Sedangkan mereka tentulah para
sarjana. Mereka halus bahasa dan pekertinya. Untunglah Mas Jacky mengerti saya. Buru-buru
dia katakan kalau staf-staf di sana adalah penggemar dangdut. Maksudnya, untuk
menentramkan saya.
Waktu saya tinggal berdua saja dengan Mas Jacky di ruangannya, saya banyak mendengar
cerita. Mas Jacky bercerita tentang perjuanganya mendirikan usahanya. Suka dukanya,
hingga sukses seperti sekarang ini. Menurut saya dia orang yang gigih dan tangguh. Dia
bekerja tekun untuk mewujudkan impiannya. Dan hal itu sangat menyemangati saya. Lalu
dengan berat hati Mas Jacky mengatakan jumlah biaya yang harus saya sediakan. Biaya yang
harus saya bayar itu untuk keperluan saya sendiri. Mulai pelatihan dan memberangkatkan
saya ke luar negeri sampai bekerja dan mendapatkan tempat tinggal di sana. Saya jawab, saya
sudah siap dengan semuanya. Saya akan jual rumah saya. walaupun kecil, tetapi rumah itu
terletak di dalam kota. Harganya pasti cukup untuk biaya yang dia minta. Itulah keputusan
saya. Mas Jacky tersenyum dan sekali lagi berjanji. Katanya saya tidak akan menyesalinya.
Maka begitu kembali dari Jakarta saya segera menjual rumah ini. Tak lama setelah saya
memasang iklan, seorang pembeli datang. Rumah saya laku dengan harga yang sesuai
harapan saya. Dan besok, seperti tertulis dalam lembar perjanjian, rumah ini harus sudah
dikosongkan. Oh, ya, pembeli saya itu seorang pensiunan buruh pabrik sabun. Diam-diam
dari hasil penyelidikan saya, saya tahu orang itu membeli rumah ini untuk diberikan kepada
istri simpanannya.
SUARA RADIO DARI RUMAH TETANGGA
Saya tahu, keputusan saya ini mungkin terlalu gegabah. Apalagi rumah ini bukan rumah saya

Bandarnaskah.blogspot.com

sendiri. Tetapi Mas Bambang, sama seperti saya, sudah tak memiliki keluarga. Maksud saya,
tidak akan ada yang rugi seandainya keputusan saya terbukti salah. Tetapi saya percaya Mas
Bambang tidak akan menyalahkan saya. Percaya saja. Bagi saya, Mas Bambang dan seisi
rumah ini akan tetap tinggal dalam diri saya. Ingatan sayalah rumah mereka.
Bicara soal keluarga, saya sudah tidak punya Bapak ketika umur saya 8 tahun. Bapak saya
meninggal karena kami tidak mampu membayar ongkos rumah sakit untuk menyembuhkan
penyakit livernya. Akhirnya, kami hanya pasrah. Bapak meninggal di rumah kontrakkan
kami. Dan satu tahun kemudian, Ibu menikah. Suaminya seorang sopir truk. Dia sering
meninggalkan kami ke luar kota. Tak pasti pula perginya. Kadang sampai satu minggu
lamanya. Tapi pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Enam bulan kemudian Ibu minta
ia menceraikannya. Sejak saat itu Ibu mulai sakit-sakitan. Dan sebagai anak satu-satunya,
saya terpaksa bekerja apa saja. Saya bekerja untuk menghidupi kami berdua. Saya menjalani
hidup sebagai pengamen di jalanan. Bersama anak-anak lain yang bernasib sama, saya
mengamen dari sampai petang. Tapi saya bahagia. Hidup di jalan seperti itu memang terlihat
menakutkan bagi orang kebanyakan. Tetapi saya, jadi pengamen menyenangkan. Saya jadi
banyak teman. Lagi pula uang yang saya dapatkan dari hasil mengamen cukup lumayan.
Sampai saya berumur 16 tahun, lima bulan sesudah ibu meninggal, Pak Danu memungut
saya dari sana. Jadi kalau saat itu ada orang yang saya anggap sebagai bapak, tak lain Pak
Danulah orangnya. Sayang, beliau juga meninggal beberapa tahun sesudah grup orkesnya
bangkrut. Orang-orang menemukan mayatnya mengambang di telaga. Di sana, di perbatasan
kota sana. Padahal, saya belum bisa membalas kebaikannya.
Berat. Berat benar kepala saya. Saya butuh mandi.
Sampeyan tahu, rumah saya ini, seperti rumah orang-orang di sini, tidak mempunyai kakus
dan kamar mandi. Kami mengandalkan MCK untuk keperluan mencuci dan mandi. Di
sanalah, secara tidak langsung orang-orang di lingkungan ini saling bertemu dan berbagi
cerita. Maklum saja, rata-rata orang di sini kan para pekerja pabrik. Jadi jarang di rumah.
Ketemunya ya di MCK itu. Setiap sore atau pagi. Tetapi saya biasa ke MCK siang atau sore.
Pagi saya masih tidur. Anak-anak kecil biasa kami utamakan. Oh, anak-anak di sini. Saya
tahu mereka biasa mengintip. Tapi saya biarkan saja. Kalau kebetulan saya sedang mandi dan
ada beberapa anak yang mengintip, saya sengaja memperlama waktu mandi saya. Saya
pamer-pamerkan tubuh saya kepada mereka. Maklum saja, mereka itu kan anak-anak yang
jarang mendapatkan hiburan. Jangankan pergi berdarmawisata ke pantai atau ke luar kota.
Bisa menonton televisi saja sudah bagus buat mereka. Jadi ya tidak ada salahnya. Mereka
bisa menjadikan MCK itu sebagai objek wisata murah. Mas Bambang juga biasa mengintip.
Dia biasa datang ke MCK waktu saya sedang tidur. Eh, diam-diam saya pernah membuntuti
dan melihatnya sendiri. Waktu itu, Mas Bambang mengintip Sunarti yang lagi mandi. Wah,
Mas Bambang sampai terangsang kelihatannya. Tapi saya acuhkan saja. Toh, itu lumrah
terjadi. Siapa sih yang tidak suka melihat janda muda yang lagi mansturbasi? Pak Haji?
Idih....
Dengar, ya. Pak Haji, Pak Haji Badri maksud saya. Nah, dia itu langganannya si Laras. Dia
rutin datang ke tempat Laras dua minggu sekali. Bahkan bisa lebih. Katanya sih, kalau
sedang pijat dia biasa dilayani dua perempuan sekaligus. Wah, Pak Haji memang banyak
uang. Kalau Cuma untuk bayar dua orang tukang pijat tentu bukan perkara berat. Saya tahu
karena Laras kan saudara jauh Om Syubadar. Jadi kami sekali waktu bertemu kalau kebetulan
dia datang ke rumah Om Syubadar dan menonton latihan kami. Walah. Laras itu agak sinting,
memang. Masak kan perihal Pak Haji Badri yang sering datang ke tempatnya dicerita-

Bandarnaskah.blogspot.com

ceritakan pada saya. Tanpa sungkan-sungkan pula. Apalagi kalau sudah ngomongin yang
begituan. Bisa-bisanya dia merayu saya untuk bekerja di tempatnya. Kalau iman saya tidak
ada, bisa terjerumus saya. Enak benar, katanya. Sudah dapat begituan, eh, malah dikasih
uang. Sinting. Eh, Haji Badri itu ganteng juga lho orangnya. Kalau sedang tidur dengan Mas
Bambang saya biasa membayangkan tidur dengan Pak Haji. Orangnya memang sudah 50
tahunan lebih. Tapi perawakannya tak kalah dengan anak-anak muda. Bahkan lebih menarik
karena wibawa dan pengalamannya. Banyak uang pula. Tapi di sini kami sangat
menghormatinya. Jadi saya tidak mungkin mendekat apalagi merayunya. Bakal bilang apa
orang-orang di sini? Jadi penyanyi yang hidup di dunia malam saja sudah membuat mereka
jaga jarak dengan saya. kalau saya mendekati Pak Haji, itu berarti saya menerjang akal waras
mereka. Runyam. Padahal, selain tertarik kepada orangnya, saya kepingin juga lho belajar
agama.
PEREMPUAN ITU BESENANDUNG.
SOLO BAS.
Remang-remang cahaya....
SUARA LONCENG.
Ah, cepat sekali. Sudah jam dua pagi.
Dulu, waktu Bapak masih ada, Bapak mengajar saya membaca dan mengaji kitab suci. Kata
Bapak, ilmu dunia sangat penting. Dengan ilmu, kita tidak mudah tertipu. Apalagi hidup di
jaman yang gonjang-ganjing seperti ini. Tetapi kata Bapak juga, pelajaran agama juga tak
kalah utama. Itulah bekal hidup sesudah mati. Bapak sering bercerita tentang orang-orang
baik yang hidup di jaman dulu. Saya sangat senang setiap kali Bapak bercerita. Kata Bapak,
dulu ada seorang pelayan istana yang sangat kuat memegang keimannya. Dia adalah perias
istana di kerajaan besar. Sedangkan pemimpinannya adalah seorang raja yang sangat dzalim.
Firaun, namanya. Nah, suatu ketika Firaun menjatuhkan hukuman kepada pelayan itu dan
semua keluarganya, karena telah menjadi pengikut ajaran Musa. Nabi Musa waktu itu adalah
utusan yang datang untuk melanjutkan utusan-utusan sebelumnya, yakni mengabarkan
keesaan Tuhannya. Hukuman itu berupa hukuman mati dengan cara direbus dalam kuali
raksasa yang dibakar oleh api. Tapi, Tuhan yang maha adil, sesudah Ia tetapkan iman mereka,
telah lebih dulu mengambil nyawa mereka, sebelum mereka diterjang sakit dalam kuali
raksasa. Konon karena keimannya inilah, makam perempuan itu menebarkan aroma harum
tiada tara.
Betapa indahnya kalau kita bisa mati demi membela keyakinan kita. Tapi, perempuan jadah
seperti saya, tidak akan menemukan jalan kembali.
Mas Bambang, kalau saya mati setelah menemukan kembali jalan keimanan, kita tidak akan
bertemu lagi di akhirat nanti. Jadi sebelum saya mati, sebagai rasa hormat dan terimakasih
saya kepada Mas, saya akan kenang semua cinta Mas Bambang kepada saya di dunia ini.
Juga rumah ini. Saya doakan agar Mas Bambang mendapatkan tempat yang baik. Paling tidak
tak lebih jelek dari rumah kita ini. Jangan bersedih. Saya akan sering menjengukmu nanti.
Saya bawakan sambal goreng hati dan lalapan daun semanggi. Mas Bambang jangan
terlampau kecewa sebab semua ini di luar kemampuan kita sebagai abdi. Pelayan yang hanya
bisa mematuhi kehendak majikan kita. Tetapi saya percaya bahwa tak ada perpisahan yang

Bandarnaskah.blogspot.com

kekal seperti tak ada pertemuan yang abadi. Dan kalau saat itu datang nanti, perkenankan
saya bernyanyi untukmu lagi. Seperti saat saya menemukan cahaya dalam tatapanmu. Mas,
besok saya akan pergi. Saya bawa pergi rumah dan semua kenangan, di sini, bersama saya.
Sekarang biarlah saya tidur. Tolong Mas matikan lampunya.
ORKES MEMAINKAN LAGU.
Surabaya, 2012.

Bandarnaskah.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai