Anda di halaman 1dari 9

Legenda Nek Baruakng Kulub

Tersebutlah hidup manusia dari negeri sapangko kanayatn bernama Nek Panitah dengan istrinya Nek Duniang.
Sungguhpun demikian, mereka tidak campur tidur. Nek Panitah kemudian meminta anak. Yang-yang Si Julate,
aku minta ada manjadiatn anak kata Nek Panitah. Tiba-tiba jadilah anak, yang kemudian diberinya nama
Baruakng. Karena tidak disunat, maka nama anak itu menjadi Baruakng Kulub.
Setelah cukup besar, Baruakng kecil suka sekali bermain. Ia terus turun ke bumi, untuk bertemu Umang-Umang
dan Bulit-Bulit. Mereka bertiga bermain gasing, namun Umang-Umang dan Bulit-Bulit selalu saja kalah.
Baruakng tahu bahwa teman-temannya ini masih makan Kulat Karakng ( sejenis jamur/cendawan ), makanya
dengan mudah ia mengalahkan mereka.
Pada suatu hari, Baruakng turun lagi kebumi. Ia lupa bahwa dibetisnya, masih terdapat sisa nasi yang melekat.
Biji nasi itu terlihat oleh Umang-Umang, lalu langsung diambil dan dimakannya. Tiba-tiba ia merasa segar sekali
badannya. Terus bermain, kalahlah Baruakng.
Kenapa ya..kamu bisa kalahkan aku ? Tanya Baruakng.
Ee..aku makan sesuatu yang melekat dibetismu. Apa sih namanya ? kata Umang-Umang sedikit bertanya,
karena heran.
itulah nasi jawab Baruakng.
Seperti apa sih bentuknya nasi itu ? Tanya Bulit-Bulit.
Osebelum nasi, namanya beras. Itulah yang kau makan tadi. Sebenarnya nasi itu tidak ketahuan melekat
dibetisku kata Baruakng.
Cobalah bawakan kami barang itu, kami ingin melihatnya Pinta Umang-Umang.
payahnanti bapak ibuku marah. Mereka menilai manusia di dunia tidak hemat. Itulah makanya mereka tidak
mau memberi kalian, sebab Piroro ( selau terlantar/tidak terurus baik ).
Cobalah..bawakan sedikit saja. Kami ingin sekali melihatnya kata Bulit-Bulit.
Karena terus didesak kedua temannya, segera Baruakng naik lagi ke atas ( dunianya, Sapangko ). Ia berlari
hingga sampai ke dangau padi ibunya.
Mari pulang. Jangan kamu bawa padi itu, nanti bapakmu marah kata Nek Duniang kepada Baruakng. Lalu
mereka pulang kerumah.
Besoknya, Baruakng pergi lagi ke dangau padi bersama ibunya yang sedang bekerja sendiri diladang. Diambilnya
sebiji padi itu dan disimpan di celana kulitnya. Agar tidak ketahuan bapaknya. Namun ternyata tetap ketahuan,
oleh karenanya diambil lagi. Bapaknya marah besar dengan Baruakng. Merasa rindu dengan teman-temannya,
Baruakng turun lagi kebumi dan mengajak Umang-Umang dan Bulit-Bulit bermain gasing.
adakah kamu bawa sesuatu yang kami minta itu ? Tanya Umang-Umang.
Tidak jadi saya bawa. Sebenarnya telah kubawa barangi itu, tapi ketahuan bapakku. Lalu diambil lagi kata
Baruakng.
coba kamu simpan dikulit kepala anumu kata Umang-Umang.
Baruakng segera naik lagi keatas. Ia segera mengambil padi tersebut dan menyimpannya dikulit kepala
anunya. Bergegas Baruakng turun ke bumi menemui Umang-Umang dan Bulit-Bulit.
jangan kamu tanam diluar rumah. Tanamlah didapur, agar tidak ketahuan bapakku. kata Baruakng berpesan.
Umang-Umang menanam padi itu pada bulan enam, tujuh dan delapan. Setelah cukup besar padi itu, keluar
pelepah, keluar anak-anaknya, hingga bunting. Butir-butir padi itu terus menguning dan siap dipanen. Nek
Panitah tanpa sengaja melihat kebawah dan terkejutlah ia melihat padi itu.
Ha..lihatlah kerja Baruakng. Sudah diberikannya manusia padi itu. Karena kamu tidak memperhatikannya,
tidak kamu jaga dia bermain kata Nek Panitah kepada istrinya.
habis, mau bagaimana lagi ? jawab Nek Duniang.
itulah kamu. Brengsek, tidak hemat. Tunggu, nanti kubunuh anak itu kata Nek Panitah. Menangislah Nek
Duniang oleh ucapan suaminya itu, ia takut anaknya dibunuh. Setelah itu, ia bertemu Baruakng.
larilah kamu segera, kamu sudah salah karena memberi manusia padi kata ibunya kepada Baruakng.
Nek Panitah membuat Pate ( ranjau dari potongan kayu diruncingkan untuk membunuh ), berhentilah ibunya
menangis. Kemudian tubuhnya bersisik, ia menangisi lagi Baruakng. Dilihatnya ke bawah, dan terlihat Baruakng
sangat ingin pulang ke atas untuk bertemu ibu bapaknya. Diturunkannya induk babi betina yang telah tua.
Datanglah anaknya itu. Kemudian ia berkata.
itulah anak kita telah lai, tinggal adoh ( induk babi betina ) yang terkena pate ( ranjau ) ku .
baik-baik kau nak, kalau dijalan yang lurus, tentu kau sampai ke subayatn, dan kalau ke kiri kau akan sampai ke
bumi manusia . Kata Nek Duniang.
Baruakng terus saja berjalan, ia lupa telah berjalan kekanan dan sampailah ia ke subayatn. Di subayatn, ia tertarik
dengan Si Putih, gadis subayatn.
saya suku kamu, bolehkah kita menikah ? Tanya Baruakng.
saya juga suka kamu kata Si Putih.
Mereka kemudian menikah. Setelah lama menikah, ia teringat ibunya. Karena teramat rindu, ia pulang dan
bertemu.
Kemana kamu pergi ? Tanya ibunya.
jalan yang lurus. Istriku si Putih, cantik sekali kata Baruakng.
pura-pura pulang kamu anakku. Lihatlah gutu ( kutu ) dikepalanya, ada satu rambutnya yang diatas kepala.
Cabutlah, terus ia akan benci denganmu pesan ibunya.
Terasa pikiran si Putih untuk hamil, segera dilihatnya perutnya telah besar. Dulu, sangat lama menikah dengan
Baruakng ia tak kunjung hamil sekarang ia telah hamil. Setelah berumur sembilan bulan sepuluh hari, keluarlah
anak itu. Apa yang dilahirkannya ? ternyata segala burung. Heranlah Baruakng.
mengapa istriku melahirkan burung banyak sekali ?. sedih sekali aku melihat istriku melahirkan burung. Besok
aku harus bertemu ibuku ujar Baruakng dalam hati. Keesokan harinya, Baruakng naik lagi ke atas dan bertemu
ibunya.
bu, mengapa istriku melahirkan burung ? makanan apa yang harus kuberikan mereka nanti ? siapa nanti
namanya harus kuberikan ? Tanya Baruakng.
ohsebenarnya tidak sulit benar memberinya nama anakku. Tancapkan saja aur ( sejenis bamboo yang
daunnya sangat kecil, runcing dan memanjang ) ke ujung pante ( halaman rumah ), lepaskanlah seekor demi
seekor. Lepaskan yang tertua, maka berkata Keto. Kemudian Kohor, Caruit, Buria. Lepaskan lagi yang tertua
berkata Biang, kemudian Jantek, Rooh, Jeje, Ansit, Dugal, Tongo, Adatn, Kijakng kata Nek Duniang kepada
Baruakng. Itulah langkah-langkah berladang, mengerjakan padi itu, tambahnya.
Pulanglah kamu segera dengan istrimu itu. Kamu harus cerai, cabut rambutnya diatas kepala, ia pasti benci
dengan mu. Pesan ibunya lagi.
Kemudian datanglah bapaknya kepada Baruakng.
ceraikan saja istrimu itu. Turunlah kamu didunia, mengajar manusia. Kebetulan kamu telah memberi manusia
padi. Kamu harus beristri lagi segera kata Nek Panitah.
Baruakng turun lagi, dan menikah dengan Jamani, seorang gadis dari dunia. Setelah lama bersuami-istri, Jamani
hamil. Setelah cukup umur kehamilannya, ia kemudian melahirkan seorang bayi, yang diberinya nama Kulikng
Langit. Kulikng Langit tumbuh dengan cepat, sehingga tidak lama kemudian ia hampir dewasa. Ia senang
bermain. Didekat rumahnya, terdapat sebatang pohon langsat. Karena tertarik dan berminat untuk makan buah
langsat yang telah masak, ia memanjat pohon tersbut. Baruakng tidak tahu kalau anaknya akan memanjat pohon
langsat, karena ia telah bersiap akan naik keatas, menemui orang tuanya.
begini istriku, aku akan naik keatas. Kalau anakmu telah turun ketanah, katakan padanya, jangan dilanggar kata
kakaknya ( keto,jantek dll ). Kalau ia ingin naik atau turun, jangan sekali-kali dilanggar kata kakaknya. Segala
Kohor, Jantek, Keto, Buria, Biang, Rooh, Jeje. Sebab kalau di langgar, ia akan menerima naas pesan Baruakng
kepada istrinya.
Setelah tahu tidak ada bapaknya, Kulikng Langit masih berminat sekali untuk memanjat pohon langsat untuk
mengambil buahnya. Tiba-tiba, Keto terbang tepat didepannya. Ia tahu, tetapi tetap saja ia tidak menghiraukan
kata-kata kakaknya. Setelah tiga kali dlarang kakaknya tetap tidak mau, Kulikng Langit tetap memanjat pohon
itu. Belum sempat diatas, tiba-tiba ia terjatuh. Tubuhnya hancur menimpa batu, karena tepat diatas hamparan
batu.
ha..mestinya kita harus beritahu ayah kata Keto. Setelah itu, mayat Kulikng Langit dibawa keatas, menemui
Nek Panitah.
aku ini tali nyawa, hiduplah kamu kata Nek Panitah. Kulikng Langit hidup kembali, tetapi ia kemudian
dilarang kembali ke dunia bersama manusia.
Hakamu Baruakng, turunlah lagi kedunia. Kamu ajarkan palangkahan ( teknik menghindari naas ) segala kata
burung kepada manusia . Kata Nek Panitah. Turunlah Baruakng kedunia. Itulah hingga kini, manusia,khususnya
di kalangan orang Dayak tetap mengingat dan memperhatikan tanda-tanda alam seperti, kata burung dan lain-lain
bila ingin mengerjakan sesuatu, terutama bila akan memulai perladangan.

Sumber Cerita: Singa Nyanteng, Timanggong Binua Pahokng Kec. Mempawah Hulu
Legenda Bujakng Nyangko
Disebuah rumah panjang dikampung Angus, hidup seorang gadis tua, yang bernama Dayakng Gulinatn. Ia hidup
sendiri, meskipun cukup banyak saudaranya yang telah menikah dikampung ini. pada suatu malam, ia bermimpi
didatangi seorang pemuda tampan yang baik hati. Pemuda itu turun dari langit, dan tersenyum kepadanya. Ia
mengulurkan tangannya kepada Dayakng Gulinatn.
Hai,..siapa namamu ?
Saya Dayakng Gulinatn, kamu siapa ?
Saya Santak Mantaari, dari negeri Sapangko Kanayatn.
bersamaan dengan pemuda itu menyebutkan namanya, hujan turun dengan derasnya yang disertai petir. Karuan
saja Dayakng Gulinatn terkejut. Ia sadar, bahwa ia telah bermimpi didatangi pemuda yang baik hatinya dan
tampan. ohalangkah indahnya hidup ini bila pemuda itu menjadi jodohku.. kata Dayakng Gulinatn.
Keesokan harinya, Dayakng Gulinatn selalu teringat dengan pemuda itu. Tiada yang lain dipikirkannya, ia
semakin rindu dengan mimpi itu. Meskipun tidak menikah, namun tiba-tiba ia hamil. hahhhh ., aku hamil ?
kata Dayakng Gulinatn heran. Ia menangis sedih, selain takut aib, ia juga takut, bahwa anak siapa
sesungguhnya yang dikandungnya.. Meskipun demikian ,dengan sifat keibuannya Dayakng Gulinatn tetap saja
memelihara anak dalam kandungannya itu. Setelah cukup sembilan bulan sepuluh hari, lahirlah anak itu. Seorang
bayi laki-laki. Lahirnya bayi dari rahim dayakng Gulinatn disertai gelegar petir yang sangat keras, hujan deras.
Hujan ini tak pernah reda, malahan semakin deras saja. Berhari-hari lamanya.

Karena hujan tak juga berhenti, para orang tua dikampung itu mengadakan musyawarah, untuk mendiskusikan
langkah-langkah apa yang akan diambil.
pasti ada sesuatu dikampung kita ini kata seorang tua, pemimpin rapat.
iya..ya, kalau gadis lain melahirkan, tidak seperti dayakng Gulinatn. Saya pun heran, kenapa hujan terus tak
pernah berhenti ? kata seorang lainnya, setengah bertanya.
kalau begitu, kita Tanya saja kepada Dayakng Gulinatn, ada apa sebenarnya kata seseorang lagi.
ohjanganlah. Nanti tidak enak dengan kampung tetangga. Menurut saya, ada baiknya kita mengadakan ritual
notokng. Mungkin kepala kayo yang disimpan di tingaatn rumah itu marah atas perbuatan kita kata pemimpin
rapat.
baiklah, kalau begitu. Pertemuan ini, mari langsung kita bentuk saja pelaksana ritual itu. kata seorang peserta
rapat.
setujuuuuu.. secara serempak peserta berteriak pertanda setuju.
Malam itu, musyawarah berhasil menyepakati membentuk kepanitiaan untuk penyelenggaraan riual notokng.
Semua penduduk bekerja menyiapkan acara itu, tua muda, laki-laki perempuan. Beberapa hari kemudian,
persiapan telah selesai. Tempat ritual itu diadakan dihalaman rumah. Selesai ritual, semua penduduk menari.
Namun, walaupun telah mengadakan ritual notokng, hujan tetap saja tak berhenti. Aneh, Dayak Gulinant tidak
terlihat dipesta itu. Ia tetap saja mengurung dirinya dikamar.
o..begitu ya, Dayakng Gulinatn.
aneh ya, dia tidak menari ?
Semua penduduk saling bertanya satu sama lain tentang Dayakng Gulinatn. Melihat situasi itu, seorang
pemimpin ritual berkata;
coba kamu Palapi jemput Dayakng Gulinatn. Mungkin ia ada dirumah
baiklah kata Palapi seraya pergi menjemput Dayakng Gulinatn. Saat itu pula Dayakng Gulinatn Keluar dari
dalam Kelambunya dan bergabung dengan warga tumpuk dalam acara ritual tersebut.
Dayakng Gulinantn dengan malu-malu kemudian ikut menari bersama semua penduduk kampong. Tanpa sadar,
bayinya telah ditinggalkan didalam kelambu. Semua senang dengan kepandaian dayakng Gulinatn menari. Tiba-
tiba hujan berhenti disertai pelangi dan matahari menyinar terang ( ujatn darakng ).
Melihat kepandaian Dayakng Gulinatn, Santak Mantaari gemetar dalam hatinya, yang ia idamkan dari Dayakng
Gulinatn supaya keluar dari dalam kelambunya. Ia bermaksud membawa Dayakng Gulinatn ke negerinya yang
bernama Sapangko. Ketika Dayakng Gulinatn tidak tahu bahwa ada yang mengintainya, saat itulah Santak
Mantaari berhasil menyambar dan membawa Dayakng Gulinatn pergi terbang ke negeri Sapangko.
Melihat Dayakng Gulinatn di culik, orang kampung menjadi begitu marah, Palapi lansung menyambar mandau
untuk membuat perhitungan dengan Santak Matari, Melihat keadaan yang tidak menguntungkan, Santak
Mantaari lari terbang dan lolos dari kejaran orang kampung.
Melihat kejadian yang menimpa adiknya, kakak Dayakng Gulinatn pergi melihat keponakannya anak Dayakng
Gulinatn, ia kuatir keponakannya ikut di ambil oleh Santak Mantaari. Sepeninggal Dayakng Gulinatn, anaknya di
pelihara dengan penuh kasih sayang oleh bibinya yaitu kakaknya Dayakng Gulinatn. Setelah beberapa hari, anak
Dayakng gulinatn di kasih nama beserta dengan di lakukannya acara sukuran, anak tersebut di beri nama
Nyangko. Bibinya sangat prihatin dengan keponakannya, karena masih kecil sudah di tinggalkan ibunya. Orang
kampung sangat suka dengan kehadiran Nyangko, karena selain mempunyai banyak kemampuan, juga suka
menolong orang-orang kampung tersebut. Nyangko tak ingin melihat kehidupan orang kampung di lilit oleh
kemiskinan dan lain sebagainya. Beberapa kali kampung mereka di serang Kayo Nyangkolah yang
nyelamatkan serta berhasil mengusir Kayo dari kampung mereka. Rasa suka orang kampung terhadap Nyangko
semakin bertambah, karena dengan kehadiran Nyangko di kampung mereka keadaan menjadi aman dan tenteram.
Selama lima belas tahun bibinya memelihara Nyangko anak Dayakng Gulinatn, melihat keponakannya sudah
beranjak dewasa dan di anggap sudah pantas mengetahui siapa Dia maupun orang tuanya. Bahwa sesungguhnya
Nyangko mempunyai ibu, saat ibunya melahirkan Nyangko, hujan deras, petir menggelegar, pokoknya cuaca
begitu tak menentu siang hari dan malam hari. Melihat keadaan cuaca yang begitu buruk dan tidak seperti
biasanya, orang kampung membuat acara adat Notokng. Semua penduduk di kampung tersebut ikut menari tak
terkecuali Dayakng Gulinatn ibunya Nyangko, Karena begitu keasyikan menari, Dayakng Gulinatn tidak sadar
bahwa dirinya di intai oleh seorang laki-laki untuk di bawa lari ke kampung halamannya. Ibumu di bawa pergi
oleh Santak Mantaari ke Negri Sapangko, tutur bibinya kepada Nyangko
Mendengar ceritera dari bibinya demikian tragis, Nyangko bermaksud pergi ketempat di mana ibunya berada, ia
ingin sekali bertemu dengan ibunya, niatnya tersebut di utarakan sama bibinya. bagaimanapun aku harus pergi
ke tempat di mana ibuku ke negeri Sapangko apapun resikonya kata Nyangko kepada bibinya bibinya tidak
mau melarang niat keponakannya tersebut. Bahkan bibinya bertanya kepada Nyangko kapan kamu mau
berangkat ? pagi besok jawab Nyangko bertekad
Pagi-pagi bibinya sudah menyiapkan bekal untuk Nyangko berangkat menuju negeri Sapangko, karena Nyangko
memiliki beberapa kepandaian yang di sebut oleh orang kampung jago maka sekali melompat, Nyangko sudah
sampai di Negeri Sapangko.
Santak Mantaari saat itu sedang membongkar (pumputn) sarang ikan yang terbuat dari timbunan kayu-kayu
ladang di tumpuk di setiap lubuk sungai, ikan yang di dapat begitu banyak, satu tingkalakng ikannya di bawa
pulang, karena begitu senang mendapat begitu banyak ikan sehingga Santak Mantaari lupa pada orang kampung
dan keadaannya. Santak Mataaari tidak tahu bahwa Nyangko sudah berada di kampung untuk menjenguk ibunya.
Dayakng Gulinatn kaget melihat ada seorang anak muda datang ke tempatnya, dan bertanya siapa kamu ? anak
muda tersebut menjawab aku Nyangko, aku mau pergi ketemu ibuku
Siapa ibumu ? tanya Dayakng Gulinatn. Namanya Dayakng Gulinatn, ibuku tersebut di bawa lari oleh Santak
Mantaari, kata Nyangko.
O o, kalau begitu akulah ibumu, kata Dayakng Gulinatn.
Karena terharu bertemu ibunya, Nyangko menangis, demikian pula dengan ibunya, mereka berdua saling
bertangisan. Dah selesai menangis, Nyangko bertanya pada ibunya, kemana ayahku bu ?, Ayahmu sedang
membongkar sarang ikan yang di buatnya dari dahan dan ranting kayu yang di tumpuk pada lubuk-lubuk di
sungai, sebentar lagi ayahmu datang, jawab ibunya.
Tak lama kemudian Santak Mantaari datang, sampai di tangga rumahnya, Santak Mantaari heran melihat seorang
pemuda yang begitu belia berada di rumahnya. Santak Mantaari bertanya pada pemuda tersebut, siapa kamu,
ngapa di sini ?
Aku sedang mencari ayah dan ibuku, jawab Nyangko
Tiba-tiba ibunya keluar dari dalam, dan berkata pada Nyangko E e itulah ayahmu nak !
Sabar dulu, ! siapa sebenarnya anak muda ini ?jangan mudah percaya ! kata Santak Mantaari pada istrinya, ia
begitu marah sama istrinya karena begitu mudah mempercayai orang asing.
Istrinya berusaha menjelaskan, oh dia ini anakku yang kutinggalkan dalam kelambu saat kamu membawaku
lari beberapa belas tahun yang lalu, aku tidak sempat membawanya, karena kamu merampasku dan membawaku
terbang.
Mendengar penjelasan dari istrinya Santak Mantaari seolah-olah ikhlas menerima kehadiran Nyangko
dirumahnya.
Baguslah kalau begitu, artinya kita masih mempunyai rejeki untuk bertemu dengan dia kembali, kata Santak
Mantaari kepada istrinya. Katanya lagi pada Nyangko, sekarang kamu makan ikan ini kalau kau benar anakku,
lalu di ambilnya ikan sepat yang paling besar seukuran empat jari, ini kamu telan bulat-bulat padahal niat
sesungguhnya ingin membunuh Nyangko.
Nyangko mengambil ikan tersebut, tanpa susah payah ikan tersebut di telannya, Santak Mantaari menggelengkan
kepala, karena ternyata Nyangko lebih hebat dari dirinya.
Kalau begitu kamu benar anakku, Kata Sanatak Mataari. Lalu di suruhnya Nyangko menyiang ikan-ikan yang
yang ada, kemudian ibunya memasak, setelah ikan masak mereka bertiga makan bersama. Setelah selesai makan
Santak Mantaari berkata pada Nyangko, besok kita pergi ke hutan mencari kulit kayu. Iyalah jawab
Nyangko.
Keesokan harinya mereka berangkat, Nyangko sengaja di ajak ke hutan yang berpenghuni banyak ular Tedung,
Nyangko tidak menyadari akan niat busuk ayahnya untuk mencelakai dirinya, dan ia mau saja di ajak.
Dalam perjalanan ke hutan Ayahnya berjalan lebih dulu karena Ia lebih pahan situasi di hutan tersebut. Nyangko,
melihat banyak sekali Ular Tedung lewat melintas di hadapannya dengan ukuran yang cukup besar, dalam hati
ayahnya senang dan berpikir bahwa Nyangko akan mati oleh ular-ular Tedung tersebut. Di antara Tedung
tersebut ada satu ekor yang paling besar dan berkata pada Nyangko kamu di sini jangan takut, kami tidak akan
mengapa-ngapakan kamu. Okelah kata Nyangko. Kemudian oleh raja Tedung, Nyangko di beri bekal sebotol
kecil obat penawar bisa.
Sekian lamanya dalam perjalanan, melihat Nyangko baik-baik saja, sebentar-sebentar ayahnya menoleh ke
belkang untuk mengetahui keadaan Nyangko, sang ayah kembali salut bercampur gusar menghadapi kehebatan
Nyangko, dalam hatinya berkata ini semakin tidak benar, baiklah besok akanku ajak kesarang Beruang biar dia
mampus !
Sesampainya di rumah, Santak Mantaari langsung lapor sama isterinya, bahwa ia akan mengajak Nyangko jalan-
jalan kehutan, menurutnya Nyangko sangat sukan di ajak ke hutan.
Kalau memang begitu pergilah, hanya hati-hati, kata isterinya.
Keesokan harinya lagi, Nyangko di ajak ke hutan lagi. kita mencari sirih di hutan sana, cuman rumpun sirih itu
dekat dengan sarang Beruang, apa kamu berani mengambilnya? tanya ayahnya pada Nyangko. Iyalah, aku
berani ! jawab Nyangko.
Sesungguhnya dalam hati Nyangko berpikir keder dan takut, kalau-kalau dirinya habis di cakar Beruang, karena
beruang yang terlihat oleh Nyangko begitu besar-besar, banyak dan nampak ganas-ganas.
Dalam benak ayahnya, Nyangko kali ini takkan bisa lagi lolos, kamu pasti mati di cakar oleh beruang-beruang
itu, apalagi kamu masuk di sarangnya ibarat ngantar nasib pada maut.
Diluar dugaan Nyangko, kedatangannya seolah-olah di sambut dengan gembira oleh Beruang tersebut, bahkan
beruang yang paling besar langsung menghampiri Nyangko dan berkata kamu jangan takut, kami tidak akan
menyakiti kamu apalagi membunuhmu
Melihat situasi seperti itu, sekali lagi Santak Mantaari ayah Nyangko menggelengkan kepalanya pertanda salut,
tempat sirih Nyangko sudah penuh, dan ayahnya di ajak pulang oleh Nyangko.
Setibanya di rumah, ayahnya berkata pada Nyangko,besok kita pergi lagi ke hutan mencari Gambir.
Mendengar itu ibunya mulai kuatir, karena ia tahu tempat mencari gambir tersebut banyak sarang lebahnya, dan
mulai terasa perasaan tidak enak dengan ulah suaminya terhadap anak kandungnya sendiri. Ibunya berpesan Pada
Nyangko, hati-hati ya Nyangko. Setelah mengetahui akal bulus ayahnya, Nyangko pun bingung, namun karena
ia pemberani, ia tetap merasa senang di ajak ayahnya, karena memang sifat Nyangko yang ringan tangan. Gambir
tersebut tumbuh pada batang kayu Benuang yang cukup tinggi, dan ada sarang lebahnya.
Pagi-pagi sekali Nyangko sudah di bangunkan oleh ayahnya, mereka berdua pergi ke hutan, di mana dalam hutan
tersebut memang banyak sarang lebahnya. Ayahnya sengaja membawa Nyangko melihat pohon Benuang yang
sangat tinggi, dan gambirnya bagus-bagus. Lalu ayahnya berkata, Nyangko, ! kamu yang naik, ayah nunggu
dibawah. Nyangko nurut saja apa yang di perintahkan oleh ayahnya, Nyangko pun mulai naik diatas pohon
Benuang tersebut, setibanya di atas, Raja lebah ngomong dengan Nyangko jangan takut dengan kami ya
Nyangko, sambil menyerahkan pihamakng (sebentuk barang untuk memperingan badan)
Melihat Nyangko tidak apa-apa untuk kesekian kalinya ayahnya geleng kepala, dan bersungut,dalam hati
hebat benar anak ini, apa lagi yang harus ku lakukan untuk mencelakainya ? Setelah penuh tempat gambirnya,
Nyangko turun dan mengajak ayahnya pulang.
Setibanya di rumah, ayahnya mengajak Nyangko belajar Mengayau besok kita bermain teka-teki, kata ayahnya
pada Nyangko. Nyangko nampak selalu senang dengan kemauan ayahnya.
Sore harinya, Santak Mantaari ayah Nyangko mengajak teman-temannya Mengayau diantaranya bernama Catek
Pak Caneng, Bias Pak Rega, Guranikng, dan Pak Lonos, besok kita Mengayau, kata Santak Mantaari pada Catek
Pak Caneng. Catek Pak Caneng merasa gembira di ajak oleh Santak Mantaari Mengayau, dan Catek Pak Caneng
mengajak teman-temannya yang lain.
Keesokan harinya, Santak Mantaari dengan Nyangko berkemas-kemas untuk berangkat Ngayau, di pinggangnya
diikatkan Otot sejenis alat untuk menyimpan kepala Kayau, Burayakng sejenis tombak dan Tangkitn
mandau asli orang Dayak. Sampai di tempat yang mereka tuju, mereka berlima berhenti sejenak, di situlah
ayahnya kembali mencobai Nyangko, ayahnya memotong sebatang buluh bala, seukuran betis sekali sentak
langsung putus buluh bala tersebut. Nyangko ! kata ayahnya, kamu putuskan bulah bala ini !, Nyangko pun
langsung menarik mandau dari sarungnya, dengan sekali sabet buluh bala tersebutpun putus. Lagi-lagi ayahnya
geleng kepala. O. kalau begitu, kita main lompat-lompatan, kita melompati sungai itu kata Santak Mantaari
pada Nyangko sambil menunjuk sungai yang cukup besar di hadapannya.. Mereka berlima melompat bersama-
sama, mereka berempat tidak mampu melompati sungai besar tersebut, namun sekali melompat Nyangko tiba di
seberang sungai.
Kalau begitu, tiga hari tiga malam lagi kita berlima berangkat ngayau, ke Timpurukng Pasuk, ke Lamak
Bagelah, ke Akar ina di tatas, ke Rabukng ina di Sempo (nama tempat dalam bahasa istilah) kata Santak
Mantaari kepada teman-temannya termasuk Nyangko.
Mendekati hari yang sudah di tentukan, mereka berlima membuat, pedupu/markas, serta mato (ritual adat untuk
melemahkan lawan) dengan sebiji telur.
Disiang hari H nya, Santak Matari berkata pada rombongan ngayaunya, kita berangkat sekarang mereka
berlima pun berangkat, Nyangko mengikuti dari belakang sambil memperhatikan permainan ayahnya. Nyangko
benar-benar mau menunjukan kehebatannya pada ayahnya dan teman-temannya. Nyangko bersiasat, telur yng di
pegangnya di pecahkan pada pantatnya dan ia bilang ia tidak jadi pergi, karena sakit perut dan berak-berak terus.
Sambil memegang perutnya Nyangko pura-pura kesakitan, ayahnya pun percaya, karena dari pantat Nyangko
kelihatan keluar lendir dan darah.
O. kalau begitu kamu tidak berguna, baiklah. Kami berempat saja yang berangkat kata ayahnya
Mereka berempat langsung berangkat, berjalan beriringan, melihat ayah dan teman-temannya berangkat sudah
jauh, Nyangko sekali melompat udah sampai di tempat yang akan di tuju oleh ayahnya. Kayau sudah habis di
cincang-cincang oleh Nyangko, kepala yang besar-besar di bawanya, sedangkan kepala yang kecil-kecil di
tinggalkannya, setelah selesai Nyangko melompat kembali ke pedupunya, sedangkan ayah dan teman-temannya
baru tiba di tempat tujuan yang mau di kayau setelah Nyangko meninggalkan tempat tersebut. Ayah dan kawan-
kawannya heran melihat bangkai sudah berseliweran mereka mengemaskan kepala yang di tinggal oleh Nyangko
untuk di bawa pulang ke pedupu.
Usai mengemaskan sisa kepala kayau yang Nyangko tinggalkan, ayahnya dan kawan-kawan pulang ke pedupu.
Ini lihat, kepala kayau sampai tak terbawa oleh kami, kamu sendiri tidak berguna karena tidak mau berangkat
Ngayau, kata ayahnya kepada Nyangko.
O kepala kayau yang besar-besar mana ? kata Nyangko
Entah kemana, hanya ini yang kami dapat, kata Catek Pak Caneng.
Ini punyaku, kepala pangalangoknya (pimpinan perang), lihatlah besar-besar, kalian sudah memungut bekas-
bekas yang ku tinggalkan, kata Nyangko kemudian.
Mereka berempat heran dan bertambah bingung, merasa malu di dahului oleh Nyangko.
Sekarang kita pulang ke rumah, aku mau membawa ibuku kembali ke dunia, kalau kalian tidak menyetujuinya
saat ini juga kita bekayau, kata Nyangko pada ayahnya. Sepatah katapun ayahnya tidak berbicara, karena ia takut
dengan kehebatan Nyangko.
Sesampai di rumah/kampung Nyangko bilang sama ibunya bahwa ia mau mengajak Nya kembali ke Dunia.
Ibunya mau saja, pagi hari berikutnya Nyangko dan ibunya turun ke dunia, Nyangko dan ibunya kembali menjadi
seperti manusia biasa lagi.
Setelah menjadi manusia biasa, dan tiba didunia ini dari Subayatn Sapangko, Bujakng Nyangko berkunjung ke
Kampung Pakana (sekarang wilayah Mempawah Hulu-Landak). Di kampung ini hidup sepasang suami istri, yang
tidak mempunyai anak. Suaminya bernama Ne Ragen. Sehari-hari Ne Ragen, keluar masuk hutan untuk berburu.
Suatu hari (Sore) Ne Ragen menunggu binatang buruannya di bawah sebatang pohon beringin (kayu ara), tiba-
tiba ia mendengar suara tangisan bayi di atas pohon tersebut. Suara tangisan itu berasal dari bayi yang mati buyu
(lahir prematur dan meninggal) . Ne Ragen menjadi iba hatinya ketika mendengar tangisan itu. Lalu ia meletakan
peralatan berburunya dan naik di atas pohon kayu ara tersebut dan mengambil anak itu, lalu dibawa pulang dan
dipeliharanya hingga menjadi dewasa. Anak itu dinamaninya Doakng.
Setelah cukup umur Doakng disunat ketika selesai disunat Doak berpantang, selama tiga hari tiga malam, ia tidak
boleh kemana-mana dan tidak boleh memakanan daging binatang sial seperti pelanduk, kijang, rusa sapi dan
kambing, serta beberapa jenis pakis tertentu.
Secara kebetulan pada hari ketiga masa berpantang Doakng, datanglah seorang pemuda Laut Pakana, tetangganya
(Melayu, saat ini), bertamu ke rumah Ne Ragen. Doakng kemudian berkata pamujakng, kade kalaparatn
basuman ba ka dapur diri dikoa, tapi ame me kita nyuman kambing man sapi. Kade kita nyuman na jukut koa,
baik kita suman maan ka dapur lain. Kade kita na ngasiatn kata ku nian awas me kita(Pemuda, kalau
kelaparan masaklah di dapur kita tetapi jangan masak sapi atau kambing. Kalu mau memasak barang
(sapi/kambing) itu, sebaiknya di dapur lain, Awas kalian kalau tidak menuruti kataku ini Setelah berpesan
demikian, Doakng tidur dengan tangkitn (senjata khas Dayak Kanayatn) yang teransah tajam terselip
dipinggangnya dan disampingnya tergeletak sumpit dengan mata sumpit yang diolesi getah ipuh .
Pemuda Laut tadi ternyata tidak menuruti pesan Doakng, ia memasak daging kambing yang dibawanya dari
rumah. Apa yang terjadi kemudian pemuda itu berubah menjadi seekor kambing, dan ketika itupula Doakng
terjaga dari tidurnya. Sejenak ia lupa diri lalu menghunus tangkitnnya dan memenggal kepala kambing itu,
hingga putus. Ketika sadar Doakng terkejut lalu ia berkata ..koa dah putus unang tagenyu kambingnya, tapi koa
ihan Jubata a, buke munuh manusia, aku ga munuh laok. Ame ia madi mangka, babangkawar ka aku, jukut ia
dah mati dijanjinya, diuntukngnya ( putuslah kini lehermu hai kambingtetapi itulah wahai Jubata/Tuhan, aku
bukan membunuh manusia tetapi binatang, semoga ia tidak menjadi penyakit, menyentuh dan menurunkan hal
yang kotor dalam hidupku, karena ia mati sesuai dengan janji dan takdir hidupnya. Doakng kemudian
melaporkan kejadian ini kepada orang tua dan sanak-saudara pemuda tadi. mau bagaimana lagi, ia sudah
meninggal sesuai dengan takdirnya, kuburlah.. demikian kata keluarga si pemuda malang tersebut.
Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, Doakng minta belajar dan merantau, kepada orang tuanya. Ia
kemudian minta dibuatkan kapoa bergambar, baju marote (baju tanpa kancing dengan model rompi), otot baukir
(tato), jabakng (perisai) dan Tangkitnya. Semula Ne Ragen ayahnya, tidak menyetujui niat anaknya ini, tetapi
karena Doakng terus menerus memohon, akhirnya ia diijinkan pergi.
Hari pertama menjelang keberangkatannya merantau Doakng mempersiapkan segala bekal dan perlengkapnnya.
Hari kedua ia mato (melakukan upacara adat untuk memanggil roh halus/kamang, untuk menyertainya dalam
peperangan) minta penyertaan dari Bujang Nyangko, Kamang Lejak dan Kamang Nyado. Rasi (tanda-tanda
alam) yang diterimanya setelah mato sangat baik, maka ia kemudian berangkat meninggalkan Pakana, subuh,
pada hari ketiga. Ia berjalan dan terus berjalan, menuruti langkah kakinya, tanpa tujuan yang pasti. Sesampainya
sebuah hutan lebat (udas) ia beristirahat sejenak, lalu membuat jukut diampa dan menyampaikan maksud dan
tujuannya kepada roh-roh halus penghuni tajur (lereng bukit) gantekng (pertemuan dua dataran tinggi/lembah),
bukit yang tinggi, pohon yang besar, seperti ketika ia menyampaikan maksud dan tujuannya pada kamang.
Tidak lama setelah melakukan upacara tadi, disekitarnya terdengar suara krasaak-krusuk yang berasal dari
beberapa ekor muis (binatang). Doakng pun bersiul sebanyak tiga kali. Binatang-binatang tersebut kemudian
turun ke tanah mencari suara siulan tadi. Doakng kemudian membidikan sumpitnya ke arah seekor muis yang
paling dekat dengannya, ia siap menyumpitnya. Tetapi kemudian muis ini tiba-tiba mati. Tidak lama kemudian
muncul tiga orang, yang saling berdebat, masing-masing mengakui bahwa dirinyalah yang menyumpit muis tadi.
Masing-masing tidak mau kalah akulah yang menyumpitnya !. Kata ketiga orang tersebut. Doakng bingung,
melihat perdebatan ini. Tetapi akhirnya salah satu dari mereka bertiga, yang ternyata adalah Bujakng Nyangko
(Kamang yang menjelma menjadi manusia) berkata : baiklah kita serahkan pada Doakng saja hasil buruan ini,
biar dia saja yang memilikinya.
Setelah mereka bertiga sepakat untuk menyerahkan muis tadi pada Doakng, mereka membuat perjanjian untuk
bertemu kembali pada esok paginya di sebuah tempat yang bernama saka tumuk empat (perempatan). kade ada
nangar tariu tujuh kali, seok tujuh kali dan nguik tujuh kali, ganceh atakng, diri ngayo ka Timpurukng Pasuk ka
Lama Bagenakng, ka Jongong, Tanuk Tangoekng, Dapeh Maradai ( jika mendengar tariu (teriakan perang)
tujuh kali, siluan tujuh kali dan nguik (tiuran suara elang) sebanyak tujuh kali, cepatlah kamu datang kita ngayau
di Timpurukng Pasuk, di Lama Bagenakng, di Jongong, Tanuk Tangoekng, Dapeh Maradai demikian pesan
Bujakng Nyangko pada Doakng.
Keesokan harinya, ketika Doakng mendengar kode yang dijanjikan, ia kemudian bergegas pergi ke tempat
pertemuan mereka di Saka Tumuk Ampat. Lalu berempat mereka menuju daerah tempat pengayauan. Tiga hari
tiga malam lamanya, akhirnya sampailah mereka di sebuah ladang, musuhnya, secara kebetulan disitu ada banyak
orang yang sedang bekerja secara gotong royong (balale). Diantara orang-orang tersebut satu diantaranya adalah
pamaliatn (dukun belian), yang mampu menghidupkan mayat. Kempatnya kemudian berperang melawan orang-
orang tersebut dan menang. Diantara seluruh korban, hanya satu yang kepalanya kemudian di bawa yaitu kepala
si pamalitan tadi.
Oleh ketiga kamang tadi, Doakng disuruh membawa kepala itu dan berpesan kepadanya, bahwa sebelum sampai
di rumah, ia harus tariu, bersiul dan nguik, sebanyak tujuh kali. Jangan masuk ke rumah melalui tangga pintu
dapur, jangan menyeruak di bawah jemuran, dan tidak boleh langsung masuk ke ruang tamu. Doakng harus
masuk melalui tangga depan, dan berhenti di pante dan menari-nari . Kepala harus diletakan pada pahar tembaga,
(tempat khusus yang terbuat dari tembaga untuk meletakkan bahan persembahan), lantai dialas bide (tikar dari
anyaman rotan dan kulit kayu), diletakan diatas tempayan jampa berukir (tempayan besar), lalu di pasangi pelita.
Ketika sampai di rumah, Doakng menuruti pesan ini, tetapi lain halnya dengan Nyangko, ia lewat dari tepi Pante,
dan menari-nari melewati bawah jemuran, seketika itu juga ia tewas. Jasadnya disemayamkan satu hari satu
malam, lalu kemudian di kubur. Pada saat itulah Kamang mengajari Doakng (manusia) berpantak. Pantak
ditujukan untuk mengganti orang yang sudah meninggal. Arwah orang yang sudah meninggal itu kelak akan
tinggal dalam pantak (patung kayu) yang dibuat.
Kamang Nyado, kemudian mengajari Doakng membuat pantak Kamang Nyangko. Riti tujuh jengkal, kayu besi
(belian) diukir dengan riti, didoakan dengan seekor ayam jantan berbulu merah, dibentuk (dipahat) dengan tidak
dibolak-balik (posisi tetap), dipahat mulai dari kepala. Syarat (pangkaras) untuk membuat pantak adalah ayam
jantan berbulu merah satu ekor, parang, beliung, pahat, besi untuk membuat lobang (bor), paha babi satu ekor
(dimbil cuma pahanya, babi jantan yang sudah disepih/bantut), lalu dipersembahkan/disangahatn. Doakng
melakukan semua perintah kamang Nyado.
Setelah selesai menguburkan jasad Bujakng Nyangko, Doakng kemudian tariu sebanyak satu kali untuk mencari
kayu belian sebagai bahan untuk membuat pantak. Setelah dapat ia membawanya ke rumah dan dipahat di pante
selama tiga-tiga malam. Baru boleh dimasukan dalam rumah, menjelang senja. Setelah pantak tersebut
dimasukan ke dalam rumah, ia memperlakukannya seperti jasad manusia, dimandikan lalu mengurapinya dengan
minyak dan kemudian memberinya makan. Setelah itu ia kemudian membunyikan tetabuhan dari agukng (gong)
dan dau (bonang), lalu menari. Pantak tadi tiba-tiba seperti bernyawa, lalu menari-nari bersama Doakng, semalam
suntuk.
Setelah semua ini selesai Doakng kemudian, mengajari orang tuanya untuk membuat pantak, dan ketika ayahnya
meninggal (Ne Ragen), ia membuat pantak seperti yang dulunya ia buat untuk Kamang Nyangko. Pada saat
Doakng menari, dan Pantak itu ikut juga menari, ibunya tidak kuasa menahan sedihnya ketika ditinggalkan
suaminya (Ne Ragen), dipeluknya Pantak Ne Ragen yang sedang menari tersebut, lalu diciumnya. Hal itu
sesungguhnya tidak boleh dilakukan, tetapi semuanya sudah terlanjur. Pantak yang tadinya bisa menari-nari,
kemudian diam dan kembali seperti patung kayu biasa.
Legenda Bukit Kelam
Bukit Kelam merupakan salah satu obyek wisata alam yang eksotis di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat,
Indonesia. Bukit yang telah menjadi Kawasan Hutan Wisata ini memiliki panorama alam yang memesona, yaitu
berupa pemandangan air terjun, gua alam yang dihuni oleh ribuan kelelawar, dan sebuah tebing terjal setinggi
kurang lebih 600 meter yang ditumbuhi pepohonan di kaki dan puncaknya. Dibalik pesona dan eksotisme Bukit
Kelam, tersimpan sebuah cerita yang cukup menarik. Konon, Bukit Kelam dulunya merupakan sebuah rantau.[1]
Namun, karena terjadi suatu peristiwa, maka kemudian rantau itu menjelma menjadi Bukit Kelam. Bagaimana
kisahnya sehingga rantau itu menjelma menjadi bukit yang indah dan memesona? Kisahnya dapat Anda ikuti
dalam cerita Legenda Bukit Kelam berikut ini.
***
Alkisah, di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah dua orang pemimpin dari keturunan dewa
yang memiliki kesaktian tinggi, namun keduanya memiliki sifat yang berbeda. Yang pertama bernama Sebeji
atau dikenal dengan Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka merusak, pendengki dan serakah. Tidak seorang pun
yang boleh memiliki ilmu, apalagi melebihi kesaktiannya. Oleh karena itu, ia kurang disukai oleh masyarakat
sekitar, sehingga sedikit pengikutnya. Sementara seorang lainnya bernama Temenggung Marubai. Sifatnya justru
kebalikan dari sifat Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka menolong, berhati mulia, dan rendah hati. Kedua
pemimpin tersebut bermata pencaharian utama menangkap ikan, di samping juga berladang dan berkebun.
Bujang Beji beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas, sedangkan Temenggung Marubai
menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di sungai Simpang Melawi beraneka ragam jenis dan jumlahnya
lebih banyak dibandingkan sungai di Simpang Kapuas. Tidak heran jika setiap hari Temenggung Marubai selalu
mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan Bujang Beji.
Temenggung Marubai menangkap ikan di sungai Simpang Melawi dengan menggunakan bubu (perangkap ikan)
raksasa dari batang bambu dan menutup sebagian arus sungai dengan batu-batu, sehingga dengan mudah ikan-
ikan terperangkap masuk ke dalam bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian dipilihnya, hanya ikan besar saja yang
diambil, sedangkan ikan-ikan yang masih kecil dilepaskannya kembali ke dalam sungai sampai ikan tersebut
menjadi besar untuk ditangkap kembali. Dengan cara demikian, ikan-ikan di sungai di Simpang Melawi tidak
akan pernah habis dan terus berkembang biak.
Mengetahui hal tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap Temenggung Marubai. Oleh karena tidak mau
kalah, Bujang Beji pun pergi menangkap ikan di sungai di Simpang Kapuas dengan cara menuba[2]. Dengan cara
itu, ia pun mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Pada awalnya, ikan yang diperoleh Bujang Beji
dapat melebihi hasil tangkapan Temenggung Marubai. Namun, ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan
dengan cara menuba lambat laun akan memusnahkan ikan di sungai Simpang Kapuas, karena tidak hanya ikan
besar saja yang tertangkap, tetapi ikan kecil juga ikut mati. Akibatnya, semakin hari hasil tangkapannya pun
semakin sedikit, sedangkan Temenggung Marubai tetap memperoleh hasil tangkapan yang melimpah. Hal itu
membuat Bujang Beji semakin dengki dan iri hati kepada Temenggung Marubai.
Wah, gawat jika keadaan ini terus dibiarkan! gumam Bujang Beji dengan geram.
Sejenak ia merenung untuk mencari cara agar ikan-ikan yang ada di kawasan Sungai Melawi habis. Setelah
beberapa lama berpikir, ia pun menemukan sebuah cara yang paling baik, yakni menutup aliran Sungai Melawi
dengan batu besar pada hulu Sungai Melawi. Dengan demikian, Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan
akan menetap di hulu sungai.
Setelah memikirkan masak-masak, Bujang Beji pun memutuskan untuk mengangkat puncak Bukit Batu di Nanga
Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia pun memikul puncak Bukit Batu yang besar
itu. Oleh karena jarak antara Bukit Batu dengan hulu Sungai Melawi cukup jauh, ia mengikat puncak bukit itu
dengan tujuh lembar daun ilalang.
Di tengah perjalanan menuju hulu Sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Beji mendengar suara perempuan sedang
menertawakannya. Rupanya, tanpa disadari, dewi-dewi di Kayangan telah mengawasi tingkah lakunya. Saat akan
sampai di persimpangan Kapuas-Melawi, ia menoleh ke atas. Namun, belum sempat melihat wajah dewi-dewi
yang sedang menertawakannya, tiba-tiba kakinya menginjak duri yang beracun.
Aduuuhhh... ! jerit Bujang Beji sambil berjingkrat-jingkrat menahan rasa sakit.
Seketika itu pula tujuh lembar daun ilalang yang digunakan untuk mengikat puncak bukit terputus. Akibatnya,
puncak bukit batu terjatuh dan tenggelam di sebuah rantau yang disebut Jetak. Dengan geram, Bujang Beji segera
menatap wajah dewi-dewi yang masih menertawakannya.
Awas, kalian! Tunggu saja pembalasanku! gertak Bujang Beji kepada dewi-dewi tersebut sambil
menghentakkan kakinya yang terkena duri beracun ke salah satu bukit di sekitarnya.
Enyahlah kau duri brengsek! seru Bujang Beji dengan perasaan marah.
Setelah itu, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang untuk digunakan mencongkel puncak
Bukit Batu yang terbenam di rantau (Jetak) itu. Namun, Bukit Batu itu sudah melekat pada Jetak, sehingga bukit
panjang yang digunakan mencongkel itu patah menjadi dua. Akhirnya, Bujang Beji gagal memindahkan puncak
Bukit Batu dari Nanga Silat untuk menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat marah dan berniat untuk membalas
dendam kepada dewi-dewi yang telah menertawakannya itu.
Bujang Beji kemudian menanam pohon kumpang mambu[3] yang akan digunakan sebagai jalan untuk mencapai
Kayangan dan membinasakan para dewi yang telah menggagalkan rencananya itu. Dalam waktu beberapa hari,
pohon itu tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang ke angkasa. Puncaknya tidak tampak jika dipandang
dengan mata kepala dari bawah.
Sebelum memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Keji melakukan upacara sesajian adat yang disebut dengan
Bedarak Begelak, yaitu memberikan makan kepada seluruh binatang dan roh jahat di sekitarnya agar tidak
menghalangi niatnya dan berharap dapat membantunya sampai ke kayangan untuk membinasakan dewi-dewi
tersebut.
Namun, dalam upacara tersebut ada beberapa binatang yang terlupakan oleh Bujang Beji, sehingga tidak dapat
menikmati sesajiannya. Binatang itu adalah kawanan sampok (Rayap) dan beruang. Mereka sangat marah dan
murka, karena merasa diremehkan oleh Bujang Beji. Mereka kemudian bermusyawarah untuk mufakat
bagaimana cara menggagalkan niat Bujang Beji agar tidak mencapai kayangan.
Apa yang harus kita lakukan, Raja Beruang? tanya Raja Sampok kepada Raja Beruang dalam pertemuan itu.
Kita robohkan pohon kumpang mambu itu, jawab Raja Beruang.
Bagaimana caranya? tanya Raja Sampok penasaran.
Kita beramai-ramai menggerogoti akar pohon itu ketika Bujang Beji sedang memanjatnya, jelas Raja Beruang.
Seluruh peserta rapat, baik dari pihak sampok maupun beruang, setuju dengan pendapat Raja Beruang.
Keesokan harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka pun berdatangan menggerogoti akar pohon
itu. Oleh karena jumlah mereka sangat banyak, pohon kumpang mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai
goyah. Pada saat Bujang Beji akan mencapai kayangan, tiba-tiba terdengar suara keras yang teramat dahsyat.
Kretak... Kretak... Kretak... !!!
Beberapa saat kemudian, pohon Kumpang Mambu setinggi langit itu pun roboh bersama dengan Bujang Beji.
Tolooong... ! Tolooong.... ! terdengar suara Bujang Beji menjerit meminta tolong.
Pohon tinggi itu terhempas di hulu sungai Kapuas Hulu, tepatnya di Danau Luar dan Danau Belidak. Bujang Beji
yang ikut terhempas bersama pohon itu mati seketika. Maka gagallah usaha Bujang Beji membinasakan dewi-
dewi di kayangan, sedangkan Temenggung Marubai terhindar dari bencana yang telah direncanakan oleh Bujang
Beji.
Menurut cerita, tubuh Bujang Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di sekitarnya untuk dijadikan jimat kesaktian.
Sementara puncak bukit Nanga Silat yang terlepas dari pikulan Bujang Beji menjelma menjadi Bukit Kelam.
Patahan bukit yang berbentuk panjang yang digunakan Bujang Beji untuk mencongkelnya menjelma menjadi
Bukit Liut. Adapun bukit yang menjadi tempat pelampiasan Bujang Beji saat menginjak duri beracun, diberi
nama Bukit Rentap.
***

Demikian cerita Legenda Bukit Kelam dari daerah Kalimantan Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk dalam
cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari
cerita di atas, yaitu akibat yang ditimbulkan dari sikap iri hati dan tamak, dan keutamaan sifat suka
bermusyawarah untuk mufakat. Sifat iri hati dan tamak tercermin pada sifat dan perilaku Bujang Beji yang
hendak menguasai ikan milik Temenggung Marubai yang ada di Sungai Melawi. Dari sini dapat diambil sebuah
pelajaran, bahwa sifat tamak dan serakah dapat menyebabkan seseorang menjadi iri dan dengki. Sifat ini tidak
patut dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara sifat suka bermusyawarah untuk mufakat terlihat pada perilaku kawanan sampok dan beruang yang
berusaha untuk menggagalkan rencana jelek Bujang Beji yang hendak membinasakan dewi-dewi di kayangan.
Menurut Tenas Effendy, melalui musyawarah dan mufakat, tunjuk ajar dapat dikembangkan dengan pikiran, ide,
atau gagasan yang dapat disalurkan.

Anda mungkin juga menyukai