Anda di halaman 1dari 13

Kumpulan Cerpen-Cerpen Penuh Makna

Minggu, 03 Januari 2010


mungkin ini cerita pernah kamu dengar..
Seekor belalang telah lama terkurung dalam sebuah kotak. Suatu hari ia berhasil keluar dari
kotak yang mengurungnya tersebut. Dengan gembira ia melompat-lompat menikmati
kebebasannya. Di perjalanan ia bertemu dengan seekor belalang lain. Namun ia keheranan
kenapa belalang itu bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya.
Dengan penasaran ia menghampiri belalang itu, dan bertanya, Mengapa kau bisa melompat
lebih tinggi dan lebih jauh, padahal kita tidak jauh berbeda dari usia ataupun bentuk tubuh?
Belalang itupun menjawabnya, Dimanakah kau selama ini tinggal? Karena semua belalang
yang hidup dialam bebas pasti bisa melakukan seperti yang aku lakukan.Saat itu si belalang
baru tersadar bahwa selama ini kotak itulah yang selama ini membuat lompatannya tidak
sejauh dan setinggi belalang lain yang hidup di alam bebas.
Kadang-kadang kita sebagai manusia tanpa sadar pernah juga mengalami hal yang sama
dengan belalang. Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan yang
beruntun, perkataan teman, atau pendapat tetangga, seolah membuat kita terkurung dalam
kotak semu yang membatasi semua kelebihan kita. Lebih sering kita mempercayai mentahmentah apapun yang mereka voniskan kepada kita tanpa pernah berpikir benarkah kamu
separah itu? Bahkan lebih buruk lagi, kita lebih memilih untuk mempercayai mereka daripada
mempercayai diri sendiri.
Tidakkah kamu pernah mempertanyakan kepada hati nurani bahwa kamu bisa melompat
lebih tinggi dan lebih jauh kalau kamu mau menyingkirkan kotak itu? Tidakkah kamu
ingin membebaskan diri agar kamu bisa mencapai sesuatu yang selama ini kamu anggap
diluar batas kemampuan kamu?
Beruntung sebagai manusia kita dibekali Tuhan kemampuan untuk berjuang, tidak hanya
menyerah begitu saja pada apa yang kita alami. Karena itu teman, teruslah berusaha
mencapai apapun yang kamu ingin capai. Sakit memang, lelah memang, tetapi bila kamu
sudah sampai kepuncak, semua pengorbanan itu pasti terbayar.
Kehidupan kamu akan lebih baik kalau hidup dengan cara hidup pilihan kamu. Bukan cara
hidup yang seperti mereka pilihkan untuk kamu
Diposkan oleh Dachlan Toni di 20.53 2 komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Link ke posting ini
Reaksi:

Ikan Kecil dan Air


Suatu hari seorang anak dan ayahnya sedang duduk berbincang-bincang ditepi sungai. Kata
ayah kepada anaknya, Lihatlah anakku, air begitu penting dalam kehidupan ini, tanpa air
kita semua akan mati.

Pada saat yang bersamaan seekor ikan kecil mendengarkan percakapan itu dari bawah
permukaan air, ia mendadak menjadi gelisah dan ingin tahu apakah air itu, yang katanya
begitu penting dalam kehidupan ini. Ikan kecil ini berenang dari hulu sampai ke hilir sungai
sambil bertanya kepada setiap ikan yang ditemuinya. Hai, tahukah kamu dimana air itu?
Aku telah mendengar percakapan manusia bahwa tanpa air kehidupan akan mati.
Ternyata semua ikan tidak ada yang mengetahui dimana air itu, si ikan kecil mulai gelisah,
lalu ia berenang menuju mata air untuk bertemu dengan ikan sepuh yang sudah
berpengalaman, kepada ikan sepuh itu, ikan kecil ini menanyakan hal yang serupa,
Dimanakah air itu?
Jawaban ikan sepuh adalah, Tak usah gelisah anakku, air itu telah mengelilingimu, sehingga
bahkan kamu tidak menyadari kehadirannya. Memang benar, tanpa air kita akan mati.
Apa arti cerita tersebut diatas? Manusia kadang-kadang mengalami situasi seperti si ikan
kecil, mencari kesana kemari tentang kehidupan dan kebahagiaan, padahal ia sedang
menjalaninya, kebahagiaan sedang melingkupinya sampai-sampai tidak menyadarinya.
Diposkan oleh Dachlan Toni di 20.48 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Link ke posting ini
Reaksi:

Hargai Hidupmu, Kawan


Alkisah, ada seorang pemuda yang hidup sebatang kara. Pendidikan rendah, hidup dari
bekerja sebagai buruh tani milik tuan tanah yang kaya raya. Walaupun hidupnya sederhana
tetapi sesungguhnya dia bisa melewati kesehariannya dengan baik.
Pada suatu ketika, si pemuda merasa jenuh dengan kehidupannya. Dia tidak mengerti, untuk
apa sebenarnya hidup di dunia ini. Setiap hari bekerja di ladang orang demi sesuap nasi.
Hanya sekadar melewati hari untuk menunggu kapan akan mati. Pemuda itu merasa hampa,
putus asa, dan tidak memiliki arti.
"Daripada tidak tahu hidup untuk apa dan hanya menunggu mati, lebih baik aku mengakhiri
saja kehidupan ini," katanya dalam hati. Disiapkannya seutas tali dan dia berniat
menggantung diri di sebatang pohon.
Pohon yang dituju, saat melihat gelagat seperti itu, tiba-tiba menyela lembut. "Anak muda
yang tampan dan baik hati, tolong jangan menggantung diri di dahanku yang telah berumur
ini. Sayang, bila dia patah. Padahal setiap pagi ada banyak burung yang hinggap di situ,
bernyanyi riang untuk menghibur siapapun yang berada di sekitar sini."
Dengan bersungut-sungut, si pemuda pergi melanjutkan memilih pohon yang lain, tidak jauh
dari situ. Saat bersiap-siap, kembali terdengar suara lirih si pohon, "Hai anak muda. Kamu
lihat di atas sini, ada sarang tawon yang sedang dikerjakan oleh begitu banyak lebah dengan
tekun dan rajin. Jika kamu mau bunuh diri, silakan pindah ke tempat lain. Kasihanilah lebah
dan manusia yang telah bekerja keras tetapi tidak dapat menikmati hasilnya."

Sekali lagi, tanpa menjawab sepatah kata pun, si pemuda berjalan mencari pohon yang lain.
Kata yang didengarpun tidak jauh berbeda, "Anak muda, karena rindangnya daunku, banyak
dimanfaatkan oleh manusia dan hewan untuk sekadar beristirahat atau berteduh di bawah
dedaunanku. Tolong jangan mati di sini."
Setelah pohon yang ketiga kalinya, si pemuda termenung dan berpikir, "Bahkan sebatang
pohonpun begitu menghargai kehidupan ini. Mereka menyayangi dirinya sendiri agar tidak
patah, tidak terusik, dan tetap rindang untuk bisa melindungi alam dan bermanfaat bagi
makhluk lain".
Segera timbul kesadaran baru. "Aku manusia; masih muda, kuat, dan sehat. Tidak pantas aku
melenyapkan kehidupanku sendiri. Mulai sekarang, aku harus punya cita-cita dan akan
bekerja dengan baik untuk bisa pula bermanfaat bagi makhluk lain".
Si pemuda pun pulang ke rumahnya dengan penuh semangat dan perasaan lega.
Diposkan oleh Dachlan Toni di 20.44 1 komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Link ke posting ini
Reaksi:

Semangkuk Bakso
Dikisahkan, biasanya di hari ulang tahun Putri, ibu pasti sibuk di dapur memasak dan
menghidangkan makanan kesukaannya. Tepat saat yang ditunggu, betapa kecewa hati si
Putri, meja makan kosong, tidak tampak sedikit pun bayangan makanan kesukaannya tersedia
di sana. Putri kesal, marah, dan jengkel.
"Huh, ibu sudah tidak sayang lagi padaku. Sudah tidak ingat hari ulang tahun anaknya
sendiri, sungguh keterlaluan," gerutunya dalam hati. "Ini semua pasti gara-gara adinda sakit
semalam sehingga ibu lupa pada ulang tahun dan makanan kesukaanku. Dasar anak manja!"
Ditunggu sampai siang, tampaknya orang serumah tidak peduli lagi kepadanya. Tidak ada
yang memberi selamat, ciuman, atau mungkin memberi kado untuknya.
Dengan perasaan marah dan sedih, Putri pergi meninggalkan rumah begitu saja. Perut kosong
dan pikiran yang dipenuhi kejengkelan membuatnya berjalan sembarangan. Saat melewati
sebuah gerobak penjual bakso dan mencium aroma nikmat, tiba-tiba Putri sadar, betapa lapar
perutnya! Dia menatap nanar kepulan asap di atas semangkuk bakso.
"Mau beli bakso, neng? Duduk saja di dalam," sapa si tukang bakso.
"Mau, bang. Tapi saya tidak punya uang," jawabnya tersipu malu.
"Bagaimana kalau hari ini abang traktir kamu? Duduklah, abang siapin mi bakso yang super
enak."
Putri pun segera duduk di dalam.

Tiba-tiba, dia tidak kuasa menahan air matanya, "Lho, kenapa menangis, neng?" tanya si
abang.
"Saya jadi ingat ibu saya, bang. Sebenarnya... hari ini ulang tahun saya. Malah abang, yang
tidak saya kenal, yang memberi saya makan. Ibuku sendiri tidak ingat hari ulang tahunku
apalagi memberi makanan kesukaanku. Saya sedih dan kecewa, bang."
"Neng cantik, abang yang baru sekali aja memberi makanan bisa bikin neng terharu sampai
nangis. Lha, padahal ibu dan bapak neng, yang ngasih makan tiap hari, dari neng bayi sampai
segede ini, apa neng pernah terharu begini? Jangan ngeremehin orangtua sendiri neng, ntar
nyesel lho."
Putri seketika tersadar, "Kenapa aku tidak pernah berpikir seperti itu?"
Setelah menghabiskan makanan dan berucap banyak terima kasih, Putri bergegas pergi.
Setiba di rumah, ibunya menyambut dengan pelukan hangat, wajah cemas sekaligus lega,
"Putri, dari mana kamu seharian ini, ibu tidak tahu harus mencari kamu ke mana. Putri,
selamat ulang tahun ya. Ibu telah membuat semua makanan kesukaan Putri. Putri pasti lapar
kan? Ayo nikmati semua itu."
"Ibu, maafkan Putri, Bu," Putri pun menangis dan menyesal di pelukan ibunya. Dan yang
membuat Putri semakin menyesal, ternyata di dalam rumah hadir pula sahabat-sahabat baik
dan paman serta bibinya. Ternyata ibu Putri membuatkan pesta kejutan untuk putri
kesayangannya.
Guys,
Saat kita mendapat pertolongan atau menerima pemberian sekecil apapun dari orang lain,
sering kali kita begitu senang dan selalu berterima kasih. Sayangnya, kadang kasih dan
kepedulian tanpa syarat yang diberikan oleh orangtua dan saudara tidak tampak di mata kita.
Seolah menjadi kewajiban orangtua untuk selalu berada di posisi siap membantu, kapan pun.
Bahkan, jika hal itu tidak terpenuhi, segera kita memvonis, yang tidak sayanglah, yang tidak
mengerti anak sendirilah, atau dilanda perasaan sedih, marah, dan kecewa yang hanya
merugikan diri sendiri. Maka untuk itu, kita butuh untuk belajar dan belajar mengendalikan
diri, agar kita mampu hidup secara harmonis dengan keluarga, orangtua, saudara, dan dengan
masyarakat lainnya.
Diposkan oleh Dachlan Toni di 20.38 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Link ke posting ini
Reaksi:

Pesan Ibu
Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan
sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue
menghampirinya, "Kak, beli kue kak, masih hangat dan enak rasanya!"

"Tidak Dik, saya mau makan nasi saja," kata si pemuda menolak.
Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.
Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan
menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan
berkata, "Tidak Dik, saya sudah kenyang."
Sambil berkukuh mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa dibuat oleh-oleh
pulang, Kak."
Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya
dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. "Saya tidak mau kuenya.
Uang ini anggap saja sedekah dari saya."
Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan
memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.
Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia
langsung menegur, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu
berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu
berikan ke si pengemis itu?"
"Kak, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk
mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kuekue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya
menerima uang dari Kakak bukan hasil dari menjual kue. Tadi kakak bilang, uang sedekah,
maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu."
Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah, berapa
banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh." Si anak pun segera
menghitung dengan gembira.
Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini.
Sampaikan salam saya kepada ibumu."
Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira
diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih, Kak. Ibu saya pasti akan gembira sekali,
hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami."
Guys,
Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan TERHORMAT.
Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan
dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur,
dan membanting tulang.
Jika setiap manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di dalam menjalani
kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang telah kita miliki itu akan mengkristal

menjadi karakter, dan karakter itulah yang akan menjadi embrio dari kesuksesan sejati yang
mampu kita ukir dengan gemilang.
Diposkan oleh Dachlan Toni di 20.23 5 komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Link ke posting ini
Reaksi:

Sabtu, 02 Januari 2010


Bersyukur dan Bahagia
Alkisah, ada seorang pedagang kaya yang merasa dirinya tidak bahagia. Dari pagi-pagi buta,
dia telah bangun dan mulai bekerja. Siang hari bertemu dengan orang-orang untuk membeli
atau menjual barang. Hingga malam hari, dia masih sibuk dengan buku catatan dan mesin
hitungnya. Menjelang tidur, dia masih memikirkan rencana kerja untuk keesokan harinya.
Begitu hari-hari berlalu.
Suatu pagi sehabis mandi, saat berkaca, tiba-tiba dia kaget saat menyadari rambutnya mulai
menipis dan berwarna abu-abu. "Akh. Aku sudah menua. Setiap hari aku bekerja, telah
menghasilkan kekayaan begitu besar! Tetapi kenapa aku tidak bahagia? Ke mana saja aku
selama ini?"
Setelah menimbang, si pedagang memutuskan untuk pergi meninggalkan semua
kesibukannya dan melihat kehidupan di luar sana. Dia berpakaian layaknya rakyat biasa dan
membaur ke tempat keramaian.
"Duh, hidup begitu susah, begitu tidak adil! Kita telah bekerja dari pagi hingga sore, tetapi
tetap saja miskin dan kurang," terdengar sebagian penduduk berkeluh kesah.
Di tempat lain, dia mendengar seorang saudagar kaya; walaupun harta berkecukupan, tetapi
tampak sedang sibuk berkata-kata kotor dan memaki dengan garang. Tampaknya dia juga
tidak bahagia.
Si pedagang meneruskan perjalanannya hingga tiba di tepi sebuah hutan. Saat dia berniat
untuk beristirahat sejenak di situ, tiba-tiba telinganya menangkap gerak langkah seseorang
dan teriakan lantang, "Huah! Tuhan, terima kasih. Hari ini aku telah mampu menyelesaikan
tugasku dengan baik. Hari ini aku telah pula makan dengan kenyang dan nikmat. Terima
kasih Tuhan, Engkau telah menyertaiku dalam setiap langkahku. Dan sekarang, saatnya
hambamu hendak beristirahat."
Setelah tertegun beberapa saat dan menyimak suara lantang itu, si pedagang bergegas
mendatangi asal suara tadi. Terlihat seorang pemuda berbaju lusuh telentang di rerumputan.
Matanya terpejam. Wajahnya begitu bersahaja.
Mendengar suara di sekitarnya, dia terbangun. Dengan tersenyum dia menyapa ramah, "Hai,
Pak Tua. Silahkan beristirahat di sini."
"Terima kasih, Anak Muda. Boleh bapak bertanya?" tanya si pedagang.

"Silakan."
"Apakah kerjamu setiap hari seperti ini?"
"Tidak, Pak Tua. Menurutku, tak peduli apapun pekerjaan itu, asalkan setiap hari aku bisa
bekerja dengan sebaik2nya dan pastinya aku tidak harus mengerjakan hal sama setiap hari.
Aku senang, orang yang kubantu senang, orang yang membantuku juga senang, pasti Allah
juga senang di atas sana. Ya kan? Dan akhirnya, aku perlu bersyukur dan berterima kasih
kepada Allah atas semua pemberiannya ini".
Teman-teman,
Kenyataan di kehidupan ini, kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan sebesar apapun tidak
menjamin rasa bahagia. Bisa kita baca kisah hidup seorang maha bintang Michael Jackson
yang meninggal belum lama ini, yang berhutang di antara kelimpahan kekayaannya. Dia
hidup menyendiri dan kesepian di tengah keramaian penggemarnya; tidak bahagia di tengah
hiruk pikuk bumi yang diperjuangkannya.
Entah seberapa kontroversial kehidupan Jacko. Tetapi, yah... setidaknya, dia telah berusaha
berbuat yang terbaik dari dirinya untuk umat manusia lainnya.
Mari, jangan menjadi budaknya materi. Mampu bersyukur merupakan kebutuhan manusia.
Mari kita berusaha memberikan yang terbaik bagi diri kita sendiri, lingkungan kita, dan bagi
manusia-manusia lainnya. Sehingga, kita senantiasa bisa menikmati hidup ini penuh dengan
sukacita, syukur, dan bahagia.
Diposkan oleh Dachlan Toni di 07.19 2 komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Link ke posting ini
Reaksi:

Ibuku Adalah Segalannya


Di sebuah rumah sakit bersalin, seorang ibu baru saja melahirkan jabang bayinya.
"Apakah saya bisa melihat bayi saya?" pinta seorang ibu yang baru melahirkan. Raut
wajahnya penuh dengan kebahagiaan. Namun, ketika gendongan berpindah tangan dan si ibu
membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki mungilnya, ia terlihat menahan napas.
Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit, tak
tega melihat perubahan wajah si ibu.
Bayi sang ibu ternyata dilahirkan tanpa kedua belah telinga! Meski terlihat sedikit kaget, si
ibu tetap menimang bayinya dengan penuh kasih sayang.
Waktu membuktikan, bahwa pendengaran putranya ternyata bekerja dengan sempurna. Hanya
penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk. Suatu hari, anak lelaki itu bergegas pulang
ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan si ibu sambil menangis. Ibu itu pun ikut
berurai air mata. Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Sambil
terisak, anak itu bercerita, "Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini

makhluk aneh."
Begitulah, meski tumbuh dengan kekurangan, anak lelaki itu kini telah dewasa. Dengan kasih
sayang dan dorongan semangat orangtuanya, meski punya kekurangan, ia tumbuh sebagai
pemuda tampan yang cerdas. Rupanya, ia pun pandai bergaul sehingga disukai teman-teman
sekolahnya. Ia pun mengembangkan bakat di bidang musik dan menulis. Akhirnya, ia tumbuh
menjadi remaja pria yang disegani karena kepandaiannya bermusik.
Suatu hari, ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan
telinga. "Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuk putra Bapak. Tetapi
harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya," kata dokter. Maka, orangtua
anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya
kepada anak mereka.
Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelaki itu, "Nak,
seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus
segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah
rahasia," kata si ayah.
Operasi berjalan dengan sukses. Ia pun seperti terlahir kembali. Wajahnya yang tampan,
ditambah kini ia sudah punya daun telinga, membuat ia semakin terlihat menawan. Bakat
musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan
dari sekolahnya.
Beberapa waktu kemudian, ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat. Ia lantas
menemui ayahnya, "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini
semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar, namun aku sama sekali belum membalas
kebaikannya."
Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah
memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, "Sesuai dengan
perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini."
Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari,
tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga tersebut. Pada hari itu, ayah dan anak lelaki itu
berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, si
ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku. Sang ayah lantas menyibaknya
sehingga sesuatu yang mengejutkan si anak lelaki terjadi. Ternyata, si ibu tidak memiliki
telinga.
"Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya," bisik si ayah.
"Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya, kan?"
Melihat kenyataan bahwa telinga ibunya yang diberikan pada si anak, meledaklah tangisnya.
Ia merasakan bahwa cinta sejati ibunya yang telah membuat ia bisa seperti saat ini.
Guys,
Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh, namun ada di dalam hati. Harta
karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat, namun justru pada apa yang

kadang tidak dapat terlihat. Begitu juga dengan cinta seorang ibu pada anaknya. Di sana
selalu ada inti sebuah cinta yang sejati, di mana terdapat keikhlasan dan ketulusan yang tak
mengharap balasan apa pun.
Dalam cerita di atas, cinta dan pengorbanan seorang ibu adalah wujud sebuah cinta sejati
yang tak bisa dinilai dan tergantikan. Cinta sang ibu telah membawa kebahagiaan bagi sang
anak. Inilah makna sesungguhnya dari sebuah cinta yang murni. Karena itu, sebagai seorang
anak, jangan pernah melupakan jasa seorang ibu. Sebab, apa pun yang telah kita lakukan,
pastilah tak akan sebanding dengan cinta dan ketulusannya membesarkan, mendidik, dan
merawat kita hingga menjadi seperti sekarang.
Mari, jadikan ibu kita sebagai suri teladan untuk terus berbagi kebaikan. Jadikan beliau
sebagai panutan yang harus selalu diberikan penghormatan. Sebab, dengan memperhatikan
dan memberikan kasih sayang kembali kepada para ibu, kita akan menemukan cinta penuh
ketulusan dan keikhlasan, yang akan membimbing kita menemukan kebahagiaan sejati dalam
kehidupan.
Diposkan oleh Dachlan Toni di 07.16 4 komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Link ke posting ini
Reaksi:

Rumah Cicilan
Alkisah, ada seorang pemuda dari keluarga yang miskin yang rumah tinggalnya sering
berpindah-pindah, karena ia hanya bisa mengontrak. Dalam hidup, keinginan terbesarnya
adalah memiliki rumah sendiri. Karena itu, saat menikah, dia memaksa dirinya membeli
rumah dengan cicilan selama 20 tahun. Akibatnya, dengan gajinya yang relatif kecil, ia harus
mengatur pengeluarannya sedemikian rupa, sehemat mungkin, agar kebutuhan hidup bersama
keluarganya tetap bisa tercukupi.
Maka, sejak saat itu, kehidupan keluarga pemuda itu terpola dengan sangat hemat, irit, dan
tanpa keleluasaan sedikit pun untuk bersantai. Si pemuda, sebagai kepala keluarga, sangat
ketat mengatur segala sesuatu agar cicilan rumah dapat terlunasi. Tak heran, setiap hari
keluarga itu dilingkupi suasana tegang, mudah emosi, karena ketat sekali dalam pengeluaran
uang.
Waktu pun terus berjalan. Pada suatu ketika, ibu pemuda tadi menyatakan keinginan kepada
anaknya, Anakku, keinginan ibu sebelum meninggal adalah kita bisa pergi berjalan-jalan ke
daerah yang ibu sukai. Ibu mempunyai sedikit tabungan. Apakah kamu punya tabungan untuk
menambahkan kekurangannya?
Sabar Bu, jangan sekarang. Bukankah kita harus berhemat, irit, mengatur sedetail mungkin
pengeluaran kita agar bisa tetap membayar cicilan rumah? jawab si pemuda setiap kali
ditanyai ibunya.
Begitulah, saking ketatnya mengatur pengeluaran, saat sang istri mengajak pergi keluar untuk
sekadar bersantai pun, pemuda itu tidak menggubrisnya. Bahkan hanya sekadar makan keluar
ke restoran bersama keluarga pun, selalu dijawabnya dengan jawaban yang itu-itu saja, yakni
harus berhemat untuk membayar cicilan rumah. Alasan ini juga berlaku untuk anaknya. Saat

si anak merengek minta uang jajan atau dibelikan mainan, dengan tegas si pemuda menolak
semua keinginan anaknya.
Istri dan keluarganya akhirnya mulai tertekan dan jenuh dengan keadaan seperti itu. Hari-hari
pun berlalu dengan monoton dan penuh dengan stres. Tak ada lagi nuansa kebahagiaan yang
menyelimuti keluarga itu.
Tanpa terasa, 20 tahun kemudian, cicilan rumah telah selesai. Rumah itu telah sepenuhnya
menjadi milik pemuda tadi. Namun, ketika rumah itu benar-benar telah menjadi miliknya,
ternyata ia tidak bahagia. Ia bahkan merasa telah kehilangan sesuatu yang jauh lebih
berharga. Saat itu, rumah yang ditempati hanyalah sebentuk bangunan, tanpa ada apa-apa lagi
di dalamnya, tanpa kehangatan dan tanpa kebahagiaan. Si pemuda tinggal seorang diri di situ.
Istri dan anaknya telah pergi, meninggalkan dia. Ibu pemuda itu pun sudah meninggal dunia
beberapa tahun silam, tanpa pernah terkabul permintaan terakhirnya.
Kini, hidup terasa hampa, dingin, dan kosong baginya. Laki-laki itu tidak mengerti, kenapa
saat tujuan hidup yang diagungkan tercapai, saat sertifikat kepemilikan rumah ada di
tangannya, justru cinta, kehangatan, dan kebahagiaan pergi meninggalkannya begitu saja!
Teman-teman,
Kekayaan materi sering kali dipandang sebagai standar kesuksesan. Namun kenyataannya,
tidak sedikit orang yang kaya materi tidak bahagia kehidupannya. Tidak ada cinta dan
kehangatan di dalam rumah mewah yang dimilikinya. Sebaliknya, banyak pula orang yang
tidak berkelimpahan harta tetapi bisa menikmati hidup dengan lebih bahagia bersama dengan
seluruh keluarganya.
Jika kita punya cita-cita menghasilkan kekayaan yang berlimpah, sah sah saja kok. Namun,
apa artinya semua materi yang kita dapatkan, jika kita harus kehilangan kebahagiaan dari
orang-orang yang kita cintai seperti cerita di atas? Apalagi alasan untuk mengejar semua
keinginan itu lahir dari perasaan iri atau tidak mau kalah dengan orang lain, sehingga akan
memunculkan pemaksaan di luar kemampuan kita, yang pada akhirnya membuat kita
menderita.
Maka, jangan paksakan sesuatu yang tidak pantas dipaksakan kalau hanya penyesalan dan
penderitaan yang akan kita alami.
Mari teman-teman, tetaplah berjuang dan bekerja keras mewujudkan impian kita! Namun
gunakan cara positif dan pola pikir yang benar dan seimbang, agar hidup bisa lebih bermakna
bersama dengan keluarga dan orang-orang yang kita cintai.
Diposkan oleh Dachlan Toni di 07.11 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Link ke posting ini
Reaksi:

Kosongkan Cangkir Tehmu


Di sebuah kerajaan, karena kesibukan sang raja memerintah, permaisurilah yang menemani
dan sangat memanjakan sang pangeran. Pangeran tumbuh menjadi pemuda yang sombong,

egois, kurang sopan santun, dan malas belajar. Raja sangat sedih memikirkan sikap pangeran
muda. Bagaimana nasib negeri ini nantinya?
Setelah berbincang dengan permaisuri, raja pun bertitah: Anakku, tahta kerajaan akan ayah
serahkan kepadamu, tetapi dengan syarat engkau harus tinggal dan belajar selama 1 tahun di
atas bukit bersama seorang guru yang telah ayah pilih. Bila engkau gagal, maka tahta
kerajaan akan ayah serahkan kepada orang lain.
Pangeran serta merta menyanggupi persyaratan itu. Dalam hati ia berkata, Apalah artinya
penderitaan 1 tahun dibandingkan kelak sebagai raja, aku bisa hidup mewah dan bersenangsenang seumur hidupku!
Setibanya di kediaman sang guru, tingkah laku pangeran tetap sombong, menyebalkan, dan
tidak sopan. Dia merasa sebagai pangeran, semua orang harus menuruti kemauannya. Setiap
kali gurunya bertanya, pangeran menjawab semaunya. Setiap kali gurunya menerangkan
pelajaran, pangeran tidak mendengarkanmerasa sudah tahu semua.
Tidak terasa haripun berganti minggu. Sang guru berpikir keras tentang cara untuk memberi
pelajaran kepada pangeran yang sombong dan sok pintar itu.
Suatu hari, sang guru menyeduh teh dan menuangkan ke cangkir pangeran. Air teh dituang
terus dan terus hingga tumpah ke mana-mana sehingga mengenai tangan sang pangeran.
Pangeran berteriak marah, Hai, bodoh sekali! Menuang teh saja tidak becus! Cangkir sudah
penuh mengapa masih dituang terus? Air mendidih, lagi!
Dengan tersenyum sang guru berkata tegas, Beruntung hanya tangan pengeran yang terkena
percikan teh panas. Sebagai seorang pangeran, calon raja dan suri tauladan bagi rakyatnya,
tidak sepantasnya berkata tidak sopan seperti itu, lebih-lebih kepada gurunya sehingga
sepantasnya mulut pangeranlah yang harus dituang teh panas ini.
Aku sengaja menuang terus cangkir yang telah terisi penuh karena ingin mengajarkan kepada
Yang Mulia bahwa cangkir teh diumpamakan sama seperti otak manusia. Bila telah terisi
penuh maka tidak mungkin diisi lagi. Karenanya kosongkan dulu cangkirmu, kosongkan
pikiranmu, agar bisa diisi hal-hal baru yang positif. Hanya bekal ini yang ingin guru
sampaikan. Bila pangeran tidak berkenan, silakan pergi dari sini.
Mendengar perkataan sang gurunya yang tegas, pangeran seketika tertunduk malu. Peristiwa
itu menyadarkan pangeran untuk mengubah sikapnya dan menerima pelajaran dari gurunya.
Tentu saja perubahan sikap pengeran ini membuat raja sangat bergembira.
Teman-teman,
Karena status, pendidikan, atau kedudukan, seringkali seseorang merasa lebih tahu, lebih
mengerti, dan lebih pintar dari orang lain. Sikap seperti ini membuat pikiran tertutup (atau
mental block), sulit menerima hal-hal baru yang diberikan oleh orang lain.
Sikap seperti ini jelas merugikan diri sendiri. Jika kita mau dan bisa bersikap terbuka dalam
menerima hal-hal baru serta mau menerima kritikan membangun yang diberikan oleh orang
lain, maka kita akan dapat memetik banyak keuntungan; seperti bertambahnya wawasan, ide,
pengetahuan, pengertian, wisdom, dan lain sebagainya. Pasti semua itu bisa kita manfaatkan
untuk mengembangkan dan menciptakan kesuksesan.

Diposkan oleh Dachlan Toni di 07.08 Tidak ada komentar:


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Link ke posting ini
Reaksi:

Doa untuk Putraku


Pada masa perang dunia kedua, tepatnya bulan Mei Tahun 1952, seorang jenderal kenamaan,
Douglas Mac Arthur, menullis sebuah puisi untuk putra tercintanya yang saat itu baru berusia
14 tahun. Puisi tersebut mencerminkan harapan seorang ayah kepada anaknya. Ia memberi
sang anak puisi indah yang berjudul "Doa untuk Putraku" Inilah isi puisi tersebut:
Doa untuk Putraku
Tuhanku...
Bentuklah puteraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk mengetahui kelemahannya.
Dan, berani menghadapi dirinya sendiri saat dalam ketakutan.
Manusia yang bangga dan tabah dalam kekalahan.
Tetap Jujur dan rendah hati dalam kemenangan.
Bentuklah puteraku menjadi manusia yang berhasrat mewujudkan cita-citanya dan tidak
hanya tenggelam dalam angan-angannya saja.
Seorang Putera yang sadar bahwa mengenal Engkau dan dirinya sendiri adalah landasan
segala ilmu pengetahuan.
Tuhanku...
Aku mohon, janganlah pimpin puteraku di jalan yang mudah dan lunak. Namun, tuntunlah
dia di jalan yang penuh hambatan dan godaan, kesulitan dan tantangan.
Biarkan puteraku belajar untuk tetap berdiri di tengah badai dan senantiasa belajar
untuk mengasihi mereka yang tidak berdaya.
Ajarilah dia berhati tulus dan bercita-cita tinggi, sanggup memimpin dirinya sendiri, sebelum
mempunyai kesempatan untuk memimpin orang lain.
Berikanlah hamba seorang putra yang mengerti makna tawa ceria tanpa melupakan makna
tangis duka.
Putera yang berhasrat untuk menggapai masa depan yang cerah
namun tak pernah melupakan masa lampau.
Dan, setelah semua menjadi miliknya...
Berikan dia cukup rasa humor sehingga ia dapat bersikap sungguh-sungguh
namun tetap mampu menikmati hidupnya.
Tuhanku...
Berilah ia kerendahan hati...
Agar ia ingat akan kesederhanaan dan keagungan yang hakiki...

Pada sumber kearifan, kelemahlembutan, dan kekuatan yang sempurna...


Dan, pada akhirnya bila semua itu terwujud, hamba, ayahnya, dengan berani berkata
"hidupku tidaklah sia-sia"
guys,
Puisi yang ditulis oleh Jenderal Douglas MacArthur tersebut merupakan sebuah puisi yang
luar biasa. Puisi itu adalah sebuah cermin seorang ayah yang mengharapkan anaknya kelak
mampu menjadi manusia yang ber-Tuhan sekaligus mampu menjadi manusia yang tegar,
tidak cengeng, tidak manja, dan bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.
Seperti contoh sepenggal puisi di atas yg berbunyi: "Janganlah pimpin puteraku di jalan yang
mudah dan lunak, tuntunlah dia di jalan yang penuh hambatan dan godaan, kesulitan dan
tantangan." Puisi ini menunjukkan bahwa sang jenderal sadar tidak ada jalan yang rata untuk
kehidupan sukses yang berkualitas.
Seperti kata mutiara yang tidak bosan saya ucapkan: "Kalau kau lunak pada diri sendiri,
kehidupan akan keras terhadap mu. Namun, kalau kau keras pada diri sendiri, maka
kehidupan akan lunak terhadap mu."
Untuk itu, jangan kompromi atau lunak pada sikap kita yang destruktif, merusak, dan
cenderung melemahkan. Maka, senantiasalah belajar bersikap tegas dan keras dalam
membangun karakter yang konstruktif, membangun, demi menciptakan kehidupan sukses
yang gemilang, hidup penuh kebahagiaan!!
Diposkan oleh Dachlan Toni di 07.06 Tidak ada komentar:

Anda mungkin juga menyukai