Anda di halaman 1dari 14

Dua Kantong yang Berbeda

Alkisah, ada seseorang yang sangat menikmati kebahagiaan & ketenangan di dalam hidupnya.
Orang tersebut mempunyai dua kantong. Pada kantong yang satu terdapat lubang di bawahnya,
tapi pada kantong yang lainnya tidak terdapat lubang.

Segala sesuatu yang menyakitkan yang pernah didengarnya seperti makian & sindiran, ditulisnya
di sebuah kertas, digulung kecil, kemudian dimasukkannya ke dalam kantong yang berlubang.
Tetapi semua yang indah, benar, dan bermanfaat, ditulisnya di sebuah kertas kemudian
dimasukkannya ke dalam kantong yang tidak ada lubangnya.

Pada malam hari, ia mengeluarkan semua yang ada di dalam saku yang tidak berlubang,
membacanya, dan menikmati hal-hal indah yang sudah diperolehnya sepanjang hari itu.
Kemudian ia merogoh kantong yang ada lubangnya, tetapi ia tidak menemukan apa pun. Maka ia
pun tertawa dan tetap bersukacita karena tidak ada sesuatu yang dapat merusak hati dan jiwanya.

Teman2.. Itulah yang seharusnya kita lakukan. Menyimpan semua yang baik di “kantong yang
tidak berlubang”, sehingga tidak satupun yang baik yang hilang dari hidup kita. Sebaliknya,
simpanlah semua yang buruk di “kantong yang berlubang”. Maka yang buruk itu akan jatuh dan
tidak perlu kita ingat lagi.

Namun sayang sekali.. masih banyak orang yang melakukan dengan terbalik! Mereka
menyimpan semua yang baik di “kantong yang berlubang”, dan apa yang tidak baik di “kantong
yang tidak berlubang” (alias memelihara pikiran-pikiran jahat dan segala sesuatu yang
menyakitkan hati). Maka, jiwanya menjadi tertekan & tidak ada gairah dalam menjalani hidup.

Oleh karena itu, agar bisa menikmati kehidupan yang bahagia dan tenang: jangan menyimpan apa
yang tidak baik di dalam hidup kita (tahukah Anda: sakit hati, iri hati, dendam, dan kemarahan
juga bisa menyebabkan penyakit serius bahkan kematian). Mari mencoba, menyimpan hanya
yang baik dan bermanfaat.

Air Minum di Gurun

35 Votes

Seorang pria tersesat di gurun pasir. Ia hampir mati kehausan. Akhirnya, ia tiba di sebuah rumah
kosong. Di depan rumah tua tanpa jendela dan hampir roboh itu, terdapat sebuah pompa air.
Segera ia menuju pompa itu dan mulai memompa sekuat tenaga. Tapi, tidak ada air yang keluar.

Lalu ia melihat ada kendi kecil di sebelah pompa itu dengan mulutnya tertutup gabus dan
tertempel kertas dengan tulisan,”Sahabat, pompa ini harus dipancing dengan air dulu.. Setelah
Anda mendapatkan airnya, mohon jangan lupa mengisi kendi ini lagi sebelum Anda pergi.” Pria
itu mencabut gabusnya dan ternyata kendi itu berisi penuh air.

“Apakah air ini harus dipergunakan untuk memancing pompa? Bagaimana kalau tidak berhasil?
Tidak ada air lagi. Bukankah lebih aman saya minum airnya dulu daripada nanti mati kehausan
kalau ternyata pompanya tidak berfungsi? Untuk apa menuangkannya ke pompa karatan hanya
karena instruksi di atas kertas kumal yang belum tentu benar?” Begitu pikirnya.

Untung suara hatinya mengatakan bahwa ia harus mencoba mengikuti nasihat yang tertera di
kertas itu, sekali pun berisiko. Ia menuangkan seluruh isi kendi itu ke dalam pompa yang karatan
itu dan dengan sekuat tenaga memompanya.

Benar!! Air keluar dengan melimpah. Pria itu minum sepuasnya.

Setelah istirahat memulihkan tenaga dan sebelum meninggalkan tempat itu, ia mengisi kendi itu
sampai penuh, menutupkan kembali gabusnya dan menambahkan beberapa kata di bawah
instruksi pesan itu: “Saya telah melakukannya dan berhasil. Engkau harus mengorbankan
semuanya terlebih dahulu sebelum bisa menerima kembali secara melimpah. PERCAYALAH!!
Inilah kebenaran hukum alam.”

Kisah Semut dan Lalat

46 Votes

Beberapa ekor lalat nampak terbang berpesta di atas sebuah tong sampah di depan sebuah rumah.
Suatu ketika, anak pemilik rumah keluar dan tidak menutup kembali pintu rumah. Kemudian
nampak seekor lalat bergegas terbang memasuki rumah itu. Si lalat langsung menuju sebuah meja
makan yang penuh dengan makanan lezat.

“Saya bosan dengan sampah-sampah itu, ini saatnya menikmati makanan segar,” katanya. Setelah
kenyang, si lalat bergegas ingin keluar dan terbang menuju pintu saat dia masuk, namun ternyata
pintu kaca itu telah terutup rapat. Si lalat hinggap sesaat di kaca pintu memandangi kawan-
kawannya yang melambai-lambaikan tangannya seolah meminta agar dia bergabung kembali
dengan mereka.

Si lalat pun terbang di sekitar kaca, sesekali melompat dan menerjang kaca itu, dengan tak kenal
menyerah si lalat mencoba keluar dari pintu kaca. Lalat itu merayap mengelilingi kaca dari atas
ke bawah dan dari kiri ke kanan bolak-balik, demikian terus dan terus berulang-ulang. Hari
makin petang, si lalat itu nampak kelelahan dan kelaparan. Esok paginya, nampak lalat itu
terkulai lemas terkapar di lantai.

Tak jauh dari tempat itu, nampak serombongan semut merah berjalan beriringan keluar dari
sarangnya untuk mencari makan. Dan ketika menjumpai lalat yang tak berdaya itu, serentak
mereka mengerumuni dan beramai-ramai menggigit tubuh lalat itu hingga mati. Kawanan semut
itu pun beramai-ramai mengangkut bangkai lalat yang malang itu menuju sarang mereka.

Dalam perjalanan, seekor semut kecil bertanya kepada rekannya yang lebih tua, “Ada apa dengan
lalat ini, Pak? Mengapa dia sekarat?” “Oh.., itu sering terjadi, ada saja lalat yang mati sia-sia
seperti ini. Sebenarnya mereka ini telah berusaha, dia sungguh-sungguh telah berjuang keras
berusaha keluar dari pintu kaca itu. Namun ketika tak juga menemukan jalan keluar, dia frustasi
dan kelelahan hingga akhirnya jatuh sekarat dan menjadi menu makan malam kita.”

Semut kecil itu nampak manggut-manggut, namun masih penasaran dan bertanya lagi, “Aku
masih tidak mengerti, bukannya lalat itu sudah berusaha keras? Kenapa tidak berhasil?”
Masih sambil berjalan dan memanggul bangkai lalat, semut tua itu menjawab, “Lalat itu adalah
seorang yang tak kenal menyerah dan telah mencoba berulang kali, hanya saja dia melakukannya
dengan cara-cara yang sama.” Semut tua itu memerintahkan rekan-rekannya berhenti sejenak
seraya melanjutkan perkataannya, namun kali ini dengan mimik dan nada lebih serius, “Ingat
anak muda, jika kamu melakukan sesuatu dengan cara yang sama tapi mengharapkan hasil yang
berbeda, maka nasib kamu akan seperti lalat ini.”

Jadilah Pelita

Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat
membekalinya dengan sebuah lentera pelita.

Orang buta itu terbahak berkata: “Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya! Saya bisa
pulang kok.”

Dengan lembut sahabatnya menjawab, “Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak
menabrakmu.”

Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut. Tak berapa lama, dalam
perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta.

Dalam kagetnya, ia mengomel, “Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta dong!”

Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.

Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta.

Kali ini si buta bertambah marah, “Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini
supaya kamu bisa lihat!”

Pejalan itu menukas, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!”

Si buta tertegun..

Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, “Oh, maaf, sayalah yang ‘buta’, saya tidak
melihat bahwa Anda adalah orang buta.”

Si buta tersipu menjawab, “Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya.”

Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka
pun melanjutkan perjalanan masing-masing.

Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta kita.

Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, “Maaf, apakah pelita saya
padam?”

Penabraknya menjawab, “Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama.”

Senyap sejenak.

secara berbarengan mereka bertanya, “Apakah Anda orang buta?”

Secara serempak pun mereka menjawab, “Iya.,” sembari meledak dalam tawa.
Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali pelita mereka yang berjatuhan
sehabis bertabrakan.

Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua
orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka
adalah orang buta.

Timbul pikiran dalam benak orang ini, “Rasanya saya perlu membawa pelita juga, jadi saya bisa
melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka.”

Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti menjalankan kebijaksanaan


dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari
berbagai aral rintangan (tabrakan!).

Si buta pertama mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan,
ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar bahwa lebih banyak jarinya
yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam perjalanan “pulang”, ia belajar menjadi bijak
melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari
kebutaannya dan dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.

Penabrak pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang kurang
peduli. Kadang, mereka memilih untuk “membuta” walaupun mereka bisa melihat.

Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya
menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik
kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta, sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling
membantu.

Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita. Betapa sulitnya
menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Orang buta sulit menuntun
orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek, semakin
bijaksana.

Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki pelita
kebijaksanaan.

Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah nyalanya masih
terang, atau bahkan nyaris padam? JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri dan sekitar kita.

Sebuah pepatah berusia 25 abad mengatakan: Sejuta pelita dapat dinyalakan dari sebuah pelita,
dan nyala pelita pertama tidak akan meredup. Pelita kebijaksanaan pun, tak kan pernah habis
terbagi.

Bila mata tanpa penghalang, hasilnya adalah penglihatan. Jika telinga tanpa penghalang, hasilnya
adalah pendengaran. Hidung yang tanpa penghalang membuahkan penciuman. Fikiran yang
tanpa penghalang hasilnya adalah kebijaksanaan.

Keseimbangan Hidup

Dikisahkan, suatu hari ada seorang anak muda yang tengah menanjak karirnya tapi merasa
hidupnya tidak bahagia. Istrinya sering mengomel karena merasa keluarga tidak lagi mendapat
waktu dan perhatian yang cukup dari si suami. Orang tua dan keluarga besar, bahkan
menganggapnya sombong dan tidak lagi peduli kepada keluarga besar. Tuntutan pekerjaan
membuatnya kehilangan waktu untuk keluarga, teman-teman lama, bahkan saat merenung bagi
dirinya sendiri.

Hingga suatu hari, karena ada masalah, si pemuda harus mendatangi salah seorang petinggi
perusahaan di rumahnya. Setibanya di sana, dia sempat terpukau saat melewati taman yang tertata
rapi dan begitu indah.

"Hai anak muda. Tunggulah di dalam. Masih ada beberapa hal yang harus Bapak selesaikan,"
seru tuan rumah. Bukannya masuk, si pemuda menghampiri dan bertanya, "Maaf, Pak.
Bagaimana Bapak bisa merawat taman yang begitu indah sambil tetap bekerja dan bisa membuat
keputusan-keputusan hebat di perusahaan kita?"

Tanpa mengalihkan perhatian dari pekerjaan yang sedang dikerjakan, si bapak menjawab ramah,
"Anak muda, mau lihat keindahan yang lain? Kamu boleh kelilingi rumah ini. Tetapi, sambil
berkeliling, bawalah mangkok susu ini. Jangan tumpah ya. Setelah itu kembalilah kemari".

Dengan sedikit heran, namun senang hati, diikutinya perintah itu. Tak lama kemudian, dia
kembali dengan lega karena mangkok susu tidak tumpah sedikit pun. Si bapak bertanya, "Anak
muda. Kamu sudah lihat koleksi batu-batuanku? Atau bertemu dengan burung kesayanganku?"

Sambil tersipu malu, si pemuda menjawab, "Maaf Pak, saya belum melihat apa pun karena
konsentrasi saya pada mangkok susu ini. Baiklah, saya akan pergi melihatnya."

Saat kembali lagi dari mengelilingi rumah, dengan nada gembira dan kagum dia berkata,
"Rumah Bapak sungguh indah sekali, asri, dan nyaman." tanpa diminta, dia menceritakan apa
saja yang telah dilihatnya. Si Bapak mendengar sambil tersenyum puas sambil mata tuanya
melirik susu di dalam mangkok yang hampir habis.
Menyadari lirikan si bapak ke arah mangkoknya, si pemuda berkata, "Maaf Pak, keasyikan
menikmati indahnya rumah Bapak, susunya tumpah semua".

"Hahaha! Anak muda. Apa yang kita pelajari hari ini? Jika susu di mangkok itu utuh, maka
rumahku yang indah tidak tampak olehmu. Jika rumahku terlihat indah di matamu, maka susunya
tumpah semua. Sama seperti itulah kehidupan, harus seimbang. Seimbang menjaga agar susu
tidak tumpah sekaligus rumah ini juga indah di matamu. Seimbang membagi waktu untuk
pekerjaan dan keluarga. Semua kembali ke kita, bagaimana membagi dan memanfaatkannya. Jika
kita mampu menyeimbangkan dengan bijak, maka pasti kehidupan kita akan harmonis".

Seketika itu si pemuda tersenyum gembira, "Terima kasih, Pak. Tidak diduga saya telah
menemukan jawaban kegelisahan saya selama ini. Sekarang saya tahu, kenapa orang-orang
menjuluki Bapak sebagai orang yang bijak dan baik hati".

Kisah Cinta Seorang Dokter

Menuliskan kisah ini mengingatkan aku pada setahun yang lalu. Saat seorang dokter menuliskan
kisah cintanya pada catatanya faceebook.

Jujur saat membaca kisahnya membuat airmataku tidak terbendung lagi. Semangatku benar-benar
pudar. Rasa bangga dan hormatku terhadap dokter tersebut semakin besar.

Dalam hatiku, kalau saja sebagian orang menganggap ketika terjadi perpisahan dengan orang
yang dikasihi dan cintainya. Lantas mereka mengatakan “ wajarlah cinta memang tak harus
memiliki”. Maka, bisa dipastikan semua yang mereka rasakan dari cinta yang dimiliki selama ini
hanyalah sebuah fatamorgana belaka.

Namun, jika mereka mengalami sebuah perpisahan dengan orang yang paling mereka cintai.
Lantas mereka mengatakan, cinta yang kumiliki benar ikhlas untukmu. Ada maupun tidak ada
dirinya cinta ini akan tetap kujaga. Maka, inilah cinta yang seutuhnya. Cinta yang tidak termakan
waktu, cinta yang tidak dibatasi kematian, cinta yang tak termakan usia, cinta yang tahu dimana
akhirnya berujung.
Sahabatku…
Inilah kisah sosok pencinta sejati yang dimiliki oleh dokter muda. Mudah-mudahan dari
kisahnya, kita dapat mengambil pelajaran berharga bahwasanya cinta memang harus memiliki.
Selamat menikmati!!!

Kepergianmu yang begitu cepat meninggalkan dunia ini…meninggalkan diriku dan kedua anak
kita (Ubaidillah dan Syifa)..apalagi engkau pergi dalam keadaan mengandung anak kita…sang
mujahid atau mujahidah kecil calon penghafal Qur’an…sungguh bagaikan mimpi.
Masih hangat dalam ingatanku tawa candamu,suaramu,kenangan indah bersamamu Dinda…
bahkan hari-hari terakhir bersamamu…tidak ada tanda-tanda bahwa Dinda akan meninggalkan
kami untuk selama-lamanya.
Seiap kali aku mengingat dirimu…mata ini tidak tahan untuk meneteskan airmata..bahkan saat
aku menulis surat ini.Saat kutatap wajah anak-anak kita…aku sangat sedih bahwa mereka harus
berpisah dengan umminya begitu cepat…disaat mereka membutuhkan belaian kasih sayang
darimu.
Masih hangat dalam ingatanku detik-detik terakhir saat Dinda pergi untuk menghadap Sang
Kholiq… Allah membangunkan diriku saat engkau menghadapi sakaratul maut..ketika itu
tepatnya hari jumat 11 maret pukul 03.00 dini hari…aku terbangun saat mendengar suaramu yang
tidak seperti biasanya..berbagai upaya aku lakukan untuk membangunkan dirimu sampai anak-
anak terbangun dan bertanya sambil menangis…”kenapa ummi tidak bangun-bangun
Abi..?”..akupun hanya bisa menghibur mereka “Ubaid dan Syifa doakan Ummi ya Sayang”.

Melihat keadaan istriku yang tidak sadar,kuperhatikan nafasnya yang sudah berhenti..namun aku
masih belum yakin bahwa istriku sudah pergi..maka saat itu juga aku telfon pamannya yang
kebetulan tinggal tidak jauh dari tempat kami…maka kami pun membawanya ke rumah sakit
bersama dengan anak-anakku.
Setibanya di rumah sakit..maka dokterpun memeriksanya..dan hasilnya bahwa istri dan bayi kami
sudah meninggal dunia… meninggalkan kami untuk selama-lamanya.Dalam hati aku bertanya…
secepat inikah Dinda meninggalkan kami..Maka aku panggil kedua anakku Ubaid dan Syifa
untuk mencium Ummi dan Adiknya yang masih dalam kandungan.

Aku kataka…”Cium ummi dan adik nak..katakan selamat jalan Ummi..ubaid dan syifa sayang
sama Ummi..kemudian mereka mencium perut umminya dan “selamat jalan adik..jaga ummi
ya..”.Kami pun semua menangis melepas kepergiannya menghadap Robbul Alamin
Selamat jalan..wahai Mujahidahku tersayang…
Dinda memang terlahir untuk menjadi mujahidah…Allah telah membentuk dirimu untuk hidup
tegar.Sebagai anak semata wayang..Dinda pun harus kehilangan kedua orang tua saat usia
remaja.Ketegaranmu terhadap agama Allah tidak menyurutkan niatmu untuk menjadi seorang
Dokter.Bahkan setelah menyandang gelar dokter..perjuanganmu semakin besar untuk Islam.
Selamat Jalan ..wahai Mujahidahku tersayang…
Kepergianmu yang begitu cepat…seakan-akan menyadarkan semua orang bahwa memang ajal
adalah sebuah misteri yang hanya Allah yang mengetahui.Semuanya adalah titipan dari-Nya yang
setiap saat Dia berhak untuk mengambilnya dangan caraNya yang Maha Bijaksana.Walaupun
terasa begitu pahit…tapi aku yakin..bahwa inilah yang Terbaik yang Allah berikan kepada kami.
Selamat Jalan ..wahai Mujahidahku tersayang…
Kami relakan kepergianmu untuk bertemu dengan Allah…Dia begitu sayang kepada Ummi dan
adik.Dan inilah saatnya Allah mengajarkan kepada kami tentang makna kesabaran dan
keridhoan.Abi faham..untuk menjadi single parent tidaklah mudah…tapi inilah episode
kehidupan yang harus Abi lewati..Allah telah mengambil Ummi dan Adik..tetapi masih
menyisakan Ubaid dan Syifa yang juga merupakan amanah dari-Nya.Semoga Abi diberikan
kekuatan dan kesabaran untuk mendidik mereka menjadi mujahid dan mujahidah seperti Abi dan
Umminya atau bahkan lebih baik…Aminnn Ya Hayyu ya Qoyyuum…
Selamat Jalan..wahai Mujahidahku tersayang…
Semoga kepergianmu dan anak kita tercinta..merupakan tanda-tanda kebaikan husnul
khotimah..Dinda pergi tanpa menyusahkan kami dan bertepatan dengan hari Jum’at.Dinda lebih
tahu dari kami semua…karena Dinda sendiri yang merasakannya..bahkan mungkin saat ini Dinda
sedang bermain-main dengan si kecil disana.Semoga Allah melapangkan kubur Dinda dan
menjadikaannya sebagai taman syurga.Selesai sudah tugas Dinda untuk menemani kami di
dunia..kami akan sangat merindukanmu…
Selamat Jalan …..wahai Mujahidahku tersayang…
Yaa Allah….dariMu semua kebahagian dan duka ini…semua peristiwa adalah cara Engkau
berbicara dan menyapa kami.Kami yakin bahwa semua yang engkau takdirkan adalah yang
TERBAIK .Engkau Maha Bijaksana untuk menguji hamba-hamba-Mu..

Semangkuk Bakso

Dikisahkan, biasanya di hari ulang tahun Putri, ibu pasti sibuk di dapur memasak dan
menghidangkan makanan kesukaannya. Tepat saat yang ditunggu, betapa kecewa hati si Putri,
meja makan kosong, tidak tampak sedikit pun bayangan makanan kesukaannya tersedia di sana.
Putri kesal, marah, dan jengkel.

"Huh, ibu sudah tidak sayang lagi padaku. Sudah tidak ingat hari ulang tahun anaknya sendiri,
sungguh keterlaluan," gerutunya dalam hati. "Ini semua pasti gara-gara adinda sakit semalam
sehingga ibu lupa pada ulang tahun dan makanan kesukaanku. Dasar anak manja!"

Ditunggu sampai siang, tampaknya orang serumah tidak peduli lagi kepadanya. Tidak ada yang
memberi selamat, ciuman, atau mungkin memberi kado untuknya.

Dengan perasaan marah dan sedih, Putri pergi meninggalkan rumah begitu saja. Perut kosong dan
pikiran yang dipenuhi kejengkelan membuatnya berjalan sembarangan. Saat melewati sebuah
gerobak penjual bakso dan mencium aroma nikmat, tiba-tiba Putri sadar, betapa lapar perutnya!
Dia menatap nanar kepulan asap di atas semangkuk bakso.

"Mau beli bakso, neng? Duduk saja di dalam," sapa si tukang bakso.

"Mau, bang. Tapi saya tidak punya uang," jawabnya tersipu malu.

"Bagaimana kalau hari ini abang traktir kamu? Duduklah, abang siapin mi bakso yang super
enak."

Putri pun segera duduk di dalam.

Tiba-tiba, dia tidak kuasa menahan air matanya, "Lho, kenapa menangis, neng?" tanya si abang.

"Saya jadi ingat ibu saya, nang. Sebenarnya... hari ini ulang tahun saya. Malah abang, yang tidak
saya kenal, yang memberi saya makan. Ibuku sendiri tidak ingat hari ulang tahunku apalagi
memberi makanan kesukaanku. Saya sedih dan kecewa, bang."

"Neng cantik, abang yang baru sekali aja memberi makanan bisa bikin neng terharu sampai
nangis. Lha, padahal ibu dan bapak neng, yang ngasih makan tiap hari, dari neng bayi sampai
segede ini, apa neng pernah terharu begini? Jangan ngeremehin orangtua sendiri neng, ntar nyesel
lho."

Putri seketika tersadar, "Kenapa aku tidak pernah berpikir seperti itu?"

Setelah menghabiskan makanan dan berucap banyak terima kasih, Putri bergegas pergi. Setiba di
rumah, ibunya menyambut dengan pelukan hangat, wajah cemas sekaligus lega,
"Putri, dari mana kamu seharian ini, ibu tidak tahu harus mencari kamu ke mana. Putri, selamat
ulang tahun ya. Ibu telah membuat semua makanan kesukaan Putri. Putri pasti lapar kan? Ayo
nikmati semua itu."

"Ibu, maafkan Putri, Bu," Putri pun menangis dan menyesal di pelukan ibunya. Dan yang
membuat Putri semakin menyesal, ternyata di dalam rumah hadir pula sahabat-sahabat baik dan
paman serta bibinya. Ternyata ibu Putri membuatkan pesta kejutan untuk putri kesayangannya.

Tersenyumlah dengan Hatimu, dan kau akan mengetahui betapa dahsyat dampak yang
ditimbulkan oleh senyummu
16.59 inspirasi, kasih sayang, kisah 5 comments

Kisah ini di kirim oleh Mahasiswa asal Indonesia yang bemukim di Jerman, demikian layak
untuk dibaca dan direnungkan.

Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir
yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya
harapkan setiap orang memilikinya.

Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama "Smiling". Seluruh siswa diminta
untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan
mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan
didepan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada
setiap orang. Jadi, saya pikir,tugas ini sangatlah mudah. Setelah menerima tugas tersebut, saya
bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman
kampus, untuk pergi kerestoran McDonald's yang berada disekitar kampus.

Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya
menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk yang
masih kosong. Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap
orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri dibelakang saya
ikut menyingkir keluar dari antrian. Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik
dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir ? Saat berbalik itulah saya membaui suatu
"bau badan kotor" yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya, berdiri dua orang
lelaki tunawisma yang sangat dekil!

Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali. Ketika saya menunduk, tanpa
sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan
ia sedang "tersenyum" kearah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga
memancarkan kasih sayang. Ia menatap kearah saya, seolah ia meminta agar saya dapat
menerima 'kehadirannya' ditempat itu. Ia menyapa "Good day" sambil tetap tersenyum dan
sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk
membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika
teringat oleh saya 'tugas' yang diberikan oleh dosen. Lelaki kedua sedang memainkan tangannya
dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya. Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua
itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah "penolong"nya.

Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya
tinggal saya bersama mereka,dan kami bertiga tiba-tiba saja sudah sampai didepan counter.
Ketika wanita muda di
counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini
untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan "Kopi saja, satu cangkir Nona."

Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi
aturan direstoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka
orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan
badan.

Tiba-tiba saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat,
sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu-
tamu lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka. Pada saat yang bersamaan, saya
baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan
pasti juga melihat semua 'tindakan' saya.

Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan
apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar
pesanan saya) dalam nampan terpisah.

Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk
mengantarkan nampan pesanan saya ke meja tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya
membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut kearah meja yang telah dipilih kedua lelaki
itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan
tangan saya di atas
punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap "makanan ini telah
saya pesan untuk kalian berdua."

Kembali mata biru itu menatap dalam kearah saya, kini mata itu mulai basah berkaca-kaca dan
dia hanya mampu berkata "Terima kasih banyak, nyonya."

Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata "Sesungguhnya
bukan saya
yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan
sesuatu ketelinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian."

Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua
sambil terisak- isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu. Saya sudah tidak dapat
menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan
anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka.

Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata
"Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk
memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak-anakku! "

Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar-benar bersyukur dan
menyadari,bahwa hanya karena 'bisikanNYA' lah kami telah mampu memanfaatkan 'kesempatan'
untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan. Ketika kami
sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul
oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin
'berjabat tangan' dengan kami.

Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap "Tanganmu ini telah
memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi
kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami."

Saya hanya bisa berucap "terimakasih" sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan
restoran, saya sempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang
menghubungkan bathin kami, mereka langsung menoleh kearah kami sambil tersenyum, lalu
melambai-lambaikkan tangannya kearah kami.

Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua
orang tunawisma tadi, itu benar-benar 'tindakan' yang tidak pernah terpikir oleh saya.
Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa 'kasih sayang' Tuhan itu sangat HANGAT
dan INDAH sekali!
Saya kembali ke kampus, pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita' ini ditangan saya. Saya
menyerahkan 'paper' saya kepada dosen. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya
dipanggil dosen ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan
ceritamu ini kepada
yang lain?" dengan senang hati saya mengiyakan.

Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya.
Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan
kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan
ceritanya membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana
sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang
didekat saya diantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.

Diakhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah
satu kalimat yang saya tulis diakhir paper.
"Tersenyumlah dengan 'HATImu', dan kau akan mengetahui betapa 'dahsyat' dampak yang
ditimbulkan oleh senyummu itu."

Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah 'menggunakan' diri saya untuk menyentuh orang-orang
yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di
malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah
saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu: "PENERIMAAN TANPA SYARAT."

Cerita Motivasi – Ketika Pahlawan Lewat, Harus Ada Orang yang Bertepuk Tangan di Tepi Jalan
By admin in Cerita, Ibu&Ayah

Cerita Motivasi Keluarga — Kita menginginkan anak yang baik dan terbaik. Sebagai orang tua,
kita berharap-harap agar anak kita adalah anak yang luar biasa. Tampil sebagai juara, rangking
pertama di kelasnya. Pandai matematika, jago berpidato, menguasai banyak bahasa, merdu dalam
bersuara, dan seabrek keunggulan-keunggulan lain. Akhirnya, kita berfikir, kalau ingin anak
menjadi luar biasa, maka harus didik secara luar biasa. Datangkan guru privat terbaik, ikutkan ke
seabrek les!

Tapi, haruskah begitu caranya? Yuk, kita ikuti kisah yang telah beredar dari milist ke milist
berikut ini. Semoga dapat memberi pencerahan.

Di kelasnya ada 50 orang murid, setiap kali ujian, anak perempuanku tetap mendapat ranking ke-
23. Lambat laun membuat dia mendapatkan nama panggilan dengan nomor ini, dia juga menjadi
murid kualitas menengah yang sesungguhnya. Sebagai orangtua, kami merasa nama panggilan ini
kurang enak didengar,namun anak kami ternyata menerimanya dengan senang hati.

Suamiku mengeluhkan ke padaku, setiap kali ada kegiatan di perusahaannya atau pertemuan
alumni sekolahnya, setiap orang selalu memuji-muji “Superman cilik” di rumah masing-masing,
sedangkan dia hanya bisa menjadi pendengar saja.

Anak keluarga orang, bukan saja memiliki nilai sekolah yang menonjol, juga memiliki banyak
keahlian khusus. Sedangkan anak nomor 23 di keluarga kami tidak memiliki sesuatu pun untuk
ditonjolkan. Dari itu, setiap kali suamiku menonton penampilan anak-anak berbakat luar biasa
dalam acara televisi, timbul keirian dalam hatinya sampai matanya bersinar-sinar.

Kemudian ketika dia membaca sebuah berita tentang seorang anak berusia 9 tahun yang masuk
perguruan tinggi, dia bertanya dengan hati pilu kepada anak kami: Anakku, kenapa kamu tidak
terlahir sebagai anak dengan kepandaian luar biasa? Anak kami menjawab: Itu karena ayah juga
bukan seorang ayah dengan kepandaian luar biasa. Suamiku menjadi tidak bisa berkata apa-apa
lagi, saya tanpa tertahankan tertawa sendiri.

Pada pertengahan musim gugur, semua sanak keluarga berkumpul bersama untuk merayakannya,
sehingga memenuhi satu ruangan besar di restoran. Topik pembicaraan semua orang perlahan-
lahan mulai beralih kepada anak masing-masing. Dalam kemeriahan suasana, anak-anak
ditanyakan apakah cita-cita mereka di masa mendatang?
Ada yang menjawab akan menjadi pemain piano, bintang film atau politikus, tiada seorang pun
yang terlihat takut mengutarakannya di depan orang banyak, bahkan anak perempuan berusia 4½
tahun juga menyatakan kelak akan menjadi seorang pembawa acara di televisi, semua orang
bertepuk tangan mendengarnya.

Anak perempuan kami yang berusia 15 tahun terlihat sibuk sekali sedang membantu anak-anak
kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan
cita-citanya kelak. Di bawah desakan orang banyak, akhirnya dia menjawab dengan sungguh-
sungguh: Kelak ketika aku dewasa, cita-cita pertamaku adalah menjadi seorang guru TK,
memandu anak-anak menyanyi, menari dan bermain-main.

Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan
akan cita-cita keduanya. Dia menjawab dengan besar hati: Saya ingin menjadi seorang ibu,
mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan
cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang-bintang.
Semua sanak keluarga tertegun dibuatnya, saling pandang tanpa tahu akan berkata apa lagi. Raut
muka suamiku menjadi canggung sekali.

Sepulangnya kami ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan
anak perempuan kami kelak menjadi guru TK? Apakah kami tetap akan membiarkannya menjadi
murid kualitas menengah?

Sebetulnya, kami juga telah berusaha banyak. Demi meningkatkan nilai sekolahnya, kami pernah
mencarikan guru les pribadi dan mendaftarkannya di tempat bimbingan belajar, juga membelikan
berbagai materi belajar untuknya. Anak kami juga sangat penurut, dia tidak membaca komik
lagi,tidak ikut kelas origami lagi, tidur bermalas-malasan di akhir minggu juga tidak dilakukan
lagi. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku
pelajaran dan buku latihan dikerjakan tanpa henti.

Namun biar bagaimana pun dia tetap seorang anak-anak, tubuhnya tidak bisa bertahan lagi dan
terserang flu berat.Biar sedang diinfus dan terbaring di ranjang, dia tetap bersikeras mengerjakan
tugas pelajaran, akhirnya dia terserang radang paru-paru. Setelah sembuh, wajahnya terlihat
kurus banyak. Akan tetapi ternyata hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa
atau menangis, tetap saja nomor 23.

Kemudian, kami juga mencoba untuk memberikan penambah gizi dan rangsangan hadiah, setelah
berulang-ulang menjalaninya, ternyata wajah anak perempuanku semakin pucat saja. Apalagi,
setiap kali akan ujian, dia mulai tidak bisa makan dan tidak bisa tidur, terus mencucurkan
keringat dingin, terakhir hasil ujiannya malah menjadi nomor 33 yang mengejutkan kami. Aku
dan suamiku secara diam-diam melepaskan aksi menarik bibit ke atas demi membantunya
tumbuh ini.

Dia kembali pada jam belajar dan istirahatnya yang normal, kami mengembalikan haknya untuk
membaca komik, mengijinkannya untuk berlangganan majalah “Humor anak-anak” dan
sejenisnya, sehingga rumah kami menjadi tenteram kembali. Kami memang sangat sayang pada
anak kami ini, namun kami sungguh tidak mengerti akan nilai sekolahnya.

Pada akhir minggu, teman-teman sekerja pergi rekreasi bersama. Semua orang mempersiapkan
lauk terbaik dari masing-masing, dengan membawa serta suami dan anak untuk piknik.
Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa dan guyonan, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang
memperagakan karya seni pendek.
Anak kami tiada keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan gembira. Dia sering kali
lari ke belakang untuk menjaga bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat
agak miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap jus sayuran yang bocor ke
luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.

Ketika makan terjadi satu kejadian di luar dugaan. Ada dua orang anak lelaki, satunya adalah
bakat matematika, satunya lagi adalah ahli bahasa Inggris. Kedua anak ini secara bersamaan
menjepit sebuah kue beras ketan di atas piring, tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga
tidak mau membaginya. Walau banyak makanan enak terus dihidangkan, mereka sama sekali
tidak mau peduli. Orang dewasa terus membujuk mereka, namun tidak ada hasilnya. Terakhir
anak kami yang menyelesaikan masalah sulit ini dengan cara sederhana yaitu lempar koin untuk
menentukan siapa yang menang.

Ketika pulang, jalanan macet dan anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku terus membuat
guyonan dan membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah
berhenti, dia mengguntingkan banyak bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan,
membuat anak-anak ini terus memberi pujian. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang
mendapatkan guntingan kertas binatang kesayangan masing-masing.

Ketika mendengar anak-anak terus berterima kasih, tanpa tertahankan pada wajah suamiku
timbul senyum bangga.

Sehabis ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku.

Pertama-tama mendapatkan kabar kalau nilai sekolah anakku tetap kualitas menengah. Namun
dia mengatakan ada satu hal aneh yang hendak diberitahukannya, hal yang pertama kali
ditemukannya selama 30 tahun mengajar.
Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu siapa teman sekelas yang paling kamu
kagumi dan alasannya. Selain anakku, semua teman sekelasnya menuliskan nama anakku.

Alasannya sangat banyak: antusias membantu orang, sangat memegang janji, tidak mudah marah,
enak berteman, dan lain-lain, paling banyak ditulis adalah optimis dan humoris. Wali kelasnya
mengatakan banyak usul agar dia dijadikan ketua kelas saja. Dia memberi pujian: Anak anda ini,
walau nilai sekolahnya biasa-biasa saja, namun kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-
benar nomor satu.

Saya berguyon pada anakku, kamu sudah mau jadi pahlawan. Anakku yang sedang merajut
selendang leher terlebih menundukkan kepalanya dan berpikir sebentar, dia lalu menjawab
dengan sungguh-sungguh: “Guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat,
harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.”
Dia pelan-pelan melanjutkan: “Ibu, aku tidak mau jadi Pahlawan aku mau jadi orang yang
bertepuk tangan di tepi jalan.” Aku terkejut mendengarnya dan mengamatinya dengan seksama.

Dia tetap diam sambil merajut benang wolnya, benang warna merah muda dipilinnya bolak balik
di jarum bambu, sepertinya waktu yang berjalan di tangannya mengeluarkan kuncup bunga.
Dalam hatiku terasa hangat seketika.
Pada ketika itu, hatiku tergugah oleh anak perempuan yang tidak ingin menjadi pahlawan ini. Di
dunia ini ada berapa banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi pahlawan, namun akhirnya
menjadi seorang biasa di dunia fana ini.
Jika berada dalam kondisi sehat, jika hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam
hati, mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi seorang biasa yang baik hati dan jujur.

Jika anakku besar nanti, dia pasti akan menjadi seorang isteri yang berbudi luhur, seorang ibu
yang lemah lembut, bahkan menjadi seorang teman kerja yang suka membantu, tetangga yang
ramah dan baik. Apalagi dia mendapatkan ranking 23 dari 50 orang murid di kelasnya, kenapa
kami masih tidak merasa senang dan tidak merasa puas? Masih ingin dirinya lebih hebat dari
orang lain dan lebih menonjol lagi? Lalu bagaimana dengan sisa 27 orang anak-anak di belakang
anakku? Jika kami adalah orangtua mereka, bagaimana perasaan kami?
" Sebelum Terlambat "

Suatu hari Seekor Burung jatuh cinta pada mawar putih burung pun dengan segala daya upada
berusaha mengungkapkan perasaannya, tapi mawar berkata,

" Aku takkan bisa mencintaimu" Burung pun tak menyerah, tiap hari dia datag untuk bertemu
dengan mawar putih, mawar pun berkata " Aku akan mencintaimu, jika kamu dapat merubahku
menjadi mawar merah"

Dan suatu hari burung pun datang kembali, dia memotong sayapnya dan menebarkan darahnya
pada mawar putih sehingga mawar putih pun berubah menjadi merah.

Akhirnya mawar sadar seberapa besar burung itu mencintai dirinya, tapi semuanya sudah
terlambat, karena burung takkan kembali lagi di dunia.

Jadi hargailah siapa pun yang mencintaimu sebelum dia pergi untuk meninggalkanmu
selamanya...
jangan memandang sebelah mata karena kamu akan menyesal ketika pada akhirnya mengetahui
seberapa besar pengorbanannya padamu..

Sebuah Nilai Kehidupan

Alkisah, ada seorang pemuda yang hidup sebatang kara. Pendidikan rendah, hidup dari bekerja
sebagai buruh tani milik tuan tanah yang kaya raya. Walapun hidupnya sederhana tetapi
sesungguhnya dia bisa melewati kesehariannya dengan baik.

Pada suatu ketika, si pemuda merasa jenuh dengan kehidupannya. Dia tidak mengerti, untuk apa
sebenarnya hidup di dunia ini. Setiap hari bekerja di ladang orang demi sesuap nasi. Hanya
sekadar melewati hari untuk menunggu kapan akan mati. Pemuda itu merasa hampa, putus asa,
dan tidak memiliki arti.

"Daripada tidak tahu hidup untuk apa dan hanya menunggu mati, lebih baik aku mengakhiri saja
kehidupan ini," katanya dalam hati. Disiapkannya seutas tali dan dia berniat menggantung diri di
sebatang pohon.

Pohon yang dituju, saat melihat gelagat seperti itu, tiba-tiba menyela lembut. "Anak muda yang
tampan dan baik hati, tolong jangan menggantung diri di dahanku yang telah berumur ini.
Sayang, bila dia patah. Padahal setiap pagi ada banyak burung yang hinggap di situ, bernyanyi
riang untuk menghibur siapapun yang berada di sekitar sini."

Dengan bersungut-sungut, si pemuda pergi melanjutkan memilih pohon yang lain, tidak jauh dari
situ. Saat bersiap-siap, kembali terdengar suara lirih si pohon, "Hai anak muda. Kamu lihat di
atas sini, ada sarang tawon yang sedang dikerjakan oleh begitu banyak lebah dengan tekun dan
rajin. Jika kamu mau bunuh diri, silakan pindah ke tempat lain. Kasihanilah lebah dan manusia
yang telah bekerja keras tetapi tidak dapat menikmati hasilnya."

Sekali lagi, tanpa menjawab sepatah kata pun, si pemuda berjalan mencari pohon yang lain. Kata
yang didengarpun tidak jauh berbeda, "Anak muda, karena rindangnya daunku, banyak
dimanfaatkan oleh manusia dan hewan untuk sekadar beristirahat atau berteduh di bawah
dedaunanku. Tolong jangan mati di sini."

Setelah pohon yang ketiga kalinya, si pemuda termenung dan berpikir, "Bahkan sebatang
pohonpun begitu menghargai kehidupan ini. Mereka menyayangi dirinya sendiri agar tidak patah,
tidak terusik, dan tetap rindang untuk bisa melindungi alam dan bermanfaat bagi makhluk lain".
Segera timbul kesadaran baru. "Aku manusia; masih muda, kuat, dan sehat. Tidak pantas aku
melenyapkan kehidupanku sendiri. Mulai sekarang, aku harus punya cita-cita dan akan bekerja
dengan baik untuk bisa pula bermanfaat bagi makhluk lain".

Si pemuda pun pulang ke rumahnya dengan penuh semangat dan perasaan lega.

=================================================

Kalau kita mengisi kehidupan ini dengan menggerutu, mengeluh, dan pesimis, tentu kita
menjalani hidup ini (dengan) terasa terbeban dan saat tidak mampu lagi menahan akan
memungkinkan kita mengambil jalan pintas yaitu bunuh diri.

Sebaliknya, kalau kita mampu menyadari sebenarnya kehidupan ini begitu indah dan
menggairahkan, tentu kita akan menghargai kehidupan ini. Kita akan mengisi kehidupan kita,
setiap hari penuh dengan optimisme, penuh harapan dan cita-cita yang diperjuangkan, serta
mampu bergaul dengan manusia-manusia lainnya.

Maka, jangan melayani perasaan negatif. Usir segera. Biasakan memelihara pikiran positif, sikap
positif, dan tindakan positif. Dengan demikian kita akan menjalani kehidupan ini penuh dengan
syukur, semangat, dan sukses luar biasa!

Anda mungkin juga menyukai