Anda di halaman 1dari 18

Selamat Ulang Tahun

(oleh : Febi Imanuela)

Seringai jenaka tersungging di wajahnya. Membuatku menjadi berpikir dua kali apakah
keputusanku ini merupakan kesalahan. Pagi tadi temanku yang satu itu memintaku untuk
menemuinya sepulang sekolah di kantin. Kala itu aku hanya mengiyakannya sambil lalu, sebuah
tindakan yang sekarang kusesali. Lihat saja dia, tidak henti-hentinya menyeringai misterius
selama satu menit terakhir ini tanpa menuturkan sepatah kata pun.

"Berhentilah tersenyum seperti itu, kau membuatku ngeri. Apa, sih yang ingin kau
sampaikan?"

"Hehehe." Gadis itu merogoh saku rok abu-abunya. "Buatmu, Audi."

Aku mendapati diriku tercenung dengan sebuah benda yang terdapat di telapak
tangannya. Sebatang pulpen dengan sekian banyak label yang sukses membuatku mengernyit.

"Kenapa pulpennya ditutupi 'beginian'?" tanyaku sambil menarik salah satu label.

"Ah! Seharusnya kamu baru boleh mencabut itu kalau sudah dilaksanakan."

Aku mengerjap. "Dilaksanakan apa...?" Belum selesai aku melanjutkan, mataku


menangkap sebuah kata yang tercetak pada label itu.

'Tanam'.

Aku kembali menatapnya dengan bingung. "Kau memintaku untuk menanam?"

Renata mengangguk mantap. "Tanaman sungguhan, ya!"

Aku bergidik. "Kau tahu betapa aku tidak suka--"

"Semoga beruntung! Aku percaya Audi bisa menyelesaikan semua label itu. Sebaliknya,
percayalah padaku, Di! Ini sepadan, kok."

1
Aku memandangi pemberian Renata dalam diam. Tadi aku hanya bisa menggaungkan
rasa tanya dalam hati selagi memandang punggungnya menghilang di balik angkot merah yang
setia membawanya berangkat pun pulang sekolah. Aku menghela napas, mengapa dia begitu
absurd, sih? Apa pula maksudnya tadi dengan 'sepadan'? Yah, kurasa aku juga tidak perlu
menanggapi ini dengan serius. Toh, ini, kan hanya sebuah ide konyol yang tercetus dari seorang
Renata. Entahlah, sebaiknya aku bergegas pulang. Menggumuli benak tidak akan membawaku
sejengkal lebih dekat dengan rumah.

Istilah 'rumah' yang kumaksud ialah bangunan berpagar kuning gading di ibukota yang
sudah kutempati selama hampir 16 tahun hidupku. Menarik sekali lingkungan masa kecilku ini.
Ladang botol plastik membiru di tepi jalan yang memantulkan cahaya sang terik. Gemerisik
kresek riuh rendah yang menjadi senandung sendiri bagi membran timpaniku. Tenang saja, aku
tidak bersungguh-sungguh, aku hanya mencoba menjadi sarkastik. Tapi mungkin ada baiknya
juga begini, setidaknya keterampilanku dalam berjalan dengan hati-hati menjadi luar biasa
terasah. Tidak, itu pun hanya sarkasme. Aku tahu bahwa idealnya rongsokan-rongsokan itu
berada jauh dari kompleks perumahan. Ya, sudahlah ya, setidaknya mereka tidak mengusik
ketenteraman hidupku secara signifikan. Bagiku itu sudah cukup, kok.

"Ma, aku pulang," aku melepas kets hitamku dan mendapati sepatu kesayangan Mama
tidak ada di sana. Hmm, rupanya masih belum pulang dari reuni.

"Aaaah, gerah sekali, sih." Wah, pemandangan pertama yang kulihat di ruang tamu
adalah adikku yang tengah berjalan gusar sambil mengibaskan koran Papa tanpa ampun.

"Kau terlihat lusuh dan menyedihkan, Dik." Aku menatapnya kasihan.

"Ih, panas, tahu! Tadinya aku mau mendinginkan kepala di kamar Kakak, tapi tidak ada
faedahnya. Sama saja panas," gerutunya. "Padahal, aku sering lihat Kakak bawa-bawa tanaman
ke dalam."

Aku terkekeh sembari berlalu ke kamar. Anak yang satu itu pasti tidak menyangka bahwa
kakaknya sendiri bukan pecinta tanaman berhawa tanah yang meneduhi geliat insekta di
bawahnya. Daripada tumbuhan asli, aku lebih menyukai tanaman sintetik. Amanat yang kupetik
dari tanaman plastik adalah nilai estetiknya yang praktis. Mungkin tidak banyak yang tahu, tapi
aku sangat mengapresiasi atmosfer estetik yang kekinian. Tentu saja jenis tanaman yang
2
demikian tidak akan menyumbangkan kesayupan riil dalam bentuk apa pun, namun setidaknya
cukup untuk menyelamatkan pemandangan kamarku yang suram.

Baiklah, kurasa aku sudah puas mengedarkan pandanganku, sekarang aku harus
membereskan buku. Di tengah hiruk-pikuk kertas dan alat tulis yang terserak di atas meja, satu
batang pulpen itu menyeruak, mendesakku untuk mengingat pesan Renata. Tidak, tidak, aku
bahkan tidak memiliki benih apa pun saat ini. Tidak ada benih berarti tidak ada yang bisa
ditanam. Oh, syukurlah, aku punya alasan untuk kembali menempelkan label yang satu itu. Tapi,
sekarang aku jadi merasa berdosa. Ya sudah, kalau begitu mari mengamalkan permintaannya
yang lain.

Hmm, ‘pungut 16 sampah’.

Oh, oke. Petualangan mencari sampah pun dimulai. Ruang tamu, dapur, hingga kamar
adikku menjadi sasaran ekspedisi kali ini. Aku mendapati diriku tengah mengangkut ‘pernak-
pernik’, seperti bungkus keripik, tisu, hingga botol jus. Setelah dilihat-lihat, gaya hidup
keluargaku barbar sekali, ya. Aku beranjak keluar dan menumpahkan semuanya ke bak sampah
di depan rumah. Wah, produktif juga. Kurasa sekarang aku sudah bisa mencabut satu label.

“Audi, Kawanku! Bagaimana harimu kemarin? Asyik menanam?” Suara riang yang
memecah hening hari ini tak lain adalah Renata. Gadis itu selalu tampak sumringah.

“Tidak, daripada itu, aku memutuskan untuk menyelesaikan label yang lain.”

“Label yang mana?”

“Pungut 16 sampah.”

“Kau sudah baca tulisan kecilnya, kan?”

Aku menatapnya bingung. “Memangnya masih ada keterangan lanjutan?”

Ia menyeringai dan terlihat sangat bahagia ketika mengatakan, “Kutulis di bawahnya,


‘lakukan setiap hari.’ Hehehe.”

Aku bangkit dan menggeser meja dengan rusuh. Meneliti kelas sampai ke pojok.
Memungut remasan kertas dengan cepat. Menyambar bungkus batagor yang isinya baru saja
dihabiskan si ketua kelas pagi ini.
3
“Kau semangat sekali, ya? Hahaha.”

Aku menyipitkan mata. Pasti dia begitu menikmati fenomena barusan.

Demikianlah aktivitasku di sekolah sepanjang hari ini. Tempat sampah organik dan an-
organik menjadi objek yang paling sering kukunjungi saat istirahat. Sementara itu, Renata hanya
memerhatikanku dari bangkunya sambil mengulum senyum dan mengangguk-anggukkan kepala.
Sejujurnya aku juga heran, mengapa aku ambil pusing tentang hal ini, ya? Kurasa rasa
penasaranku akan ide konyol Renata lebih besar daripada kemalasanku mengirim impuls saraf
motorik untuk bergerak.

“Akhirnya, kita tiba di penghujung hari.” Renata meregangkan tubuhnya yang mungkin
pegal karena keasyikan menontonku memungut berbagai macam hal dengan posisi duduk seperti
itu. “Tinggal satu pelajaran lagi,” lanjutnya. “Biologi, bukan, sih?”

Belum sempat aku mengiyakan, tiba-tiba saja Bu April (dengar-dengar, beliau ulang
tahun pada 22 April, tapi kurasa tidak ada yang pernah mengetahui usia beliau yang sebenarnya)
sudah berdiri di ambang pintu sambil menenteng buku paket dan daftar absennya.

“Siap, beri salam!”

“Selamat siang, Bu.”

“Iya, selamat siang.” Gemeletuk sepatu terdengar samar seiring beliau berjalan melewati
papan tulis menuju mejanya. Hening menyusul setelahnya. Tapi aku yakin keheningan ini tidak
akan berlangsung lama. “Untuk dua minggu ke depan, kalian praktikum per individu, ya. Judul
percobaannya, ‘Fototropisme Vigna radiata’, panduannya ada di buku paket halaman 180.”

“Aduuhh....” Kelas kami mendeklarasikan solidaritas dalam mengerang. Istilah latin


kacang hijau yang digunakan guru kami yang satu itu sukses membuat tugas ini terdengar
mengintimidasi.

“Terima kasih, Bu!”

Aku menoleh cepat ke arah Renata. Apa katanya barusan? Astaga, kuharap teman-teman
yang lain tidak mendengarnya jika tidak ingin mendapati dirinya dikeroyok massa petang ini.
“Kenapa kau katakan itu?” Aku memelototinya.

4
Gadis itu terkekeh. “Bahkan Bu April mendukungmu untuk bercocok tanam! Ini adalah
tanda bahwa kau memang harus melakukannya!”

Jadilah aku mampir ke pasar sore ini untuk memboyong biji kacang hijau. Ah, aku lupa
membeli pot. Apa aku balik lagi ke pasar, ya? Tapi, aku sudah terlanjur pulang. Bahkan rumahku
sudah terlihat di ujung sana.

Aku berdecak. Oh, warga di sini, kan, punya ‘ladang botol plastik siap panen’. Terima
kasih penduduk barbar! Dengan bahagia aku melangkah lebar dan memungut dua botol bekas
yang dengan mudahnya kutemui di kompleks perumahanku ini. Sekaligus kupungut dua buah
kardus yang juga kujumpai di jalan. Bolehlah untuk sekalian menggenapi 16 sampah hari ini.

“Ya ampun, Kakak mau buat apa?” tanya adikku. Bocah yang tengah mengibaskan koran
Papa itu kembali menjadi pemandangan yang kulihat sesampainya di rumah.

“Udah, sana main gundu!” Aku beranjak ke kamar sambil membawa semua perkakas.

“Sejak kapan aku main gunduuu??”

Aku tidak menghiraukannya. Kardus, botol, biji kacang. Aku segera menyiapkan alat dan
bahan untuk tugas Biologi. Semakin cepat selesai, semakin cepat aku bisa bebas. Pertama-tama,
aku harus mencekoki kacang hijau dengan air. Hmm, sepertinya ada istilah yang lebih
profesional. Oh, benar, imbibisi, perendaman biji untuk melunakkan kulitnya, mengaktifkan
protoplasma, dan memfasilitasi masuknya oksigen.

Sementara dicekoki air, maksudku diimbibisi, kurasa aku perlu menyiapkan wadahnya.
Botol-botol dicuci dan dipotong, sedangkan kedua kardus dilubangi. Kardus yang satu dilubangi
di atas dan kardus yang lain dilubangi di samping. Yah, tidak buruk juga swakaryaku.

Setelah didiamkan dalam air, akhirnya biji-biji itu mengembang. Oke, waktunya
menanam. Ini bagian yang tidak kusuka dari tanam-menanam. Tanah. Rasanya aku bergidik
beberapa kali saat tanah yang kuambil terlihat menggeliat samar. Astaga, itu pasti annelida atau
arthropoda. Inilah alasan aku lebih menyukai tanaman sintetik, aku meringis. Ya sudah, mari
cepat diselesaikan. Sesudah kacang ditanam, kedua botolnya bisa langsung kutempatkan dalam
masing-masing kardus.

5
Akhirnya. Aku bangga pada diriku sendiri. Selamat tinggal, Renata dan Bu April! Aku
sudah sukses melewati cobaan ini. Aku merogoh pulpen dari Renata dan melepas label ‘tanam’,
kali ini untuk sungguhan. Nah, apa permintaannya yang lain?

‘Hanya lampu malam’.

Tiga kata yang membuatku berpikir sebentar. Oh, maksudnya aku hanya boleh
menyalakan lampu saat malam? Syukurlah sekarang memang sudah menjelang malam.
Sebaiknya aku bergegas mandi dan makan.

Suara-suara samar dari depan rumah menggelitik alam bawah sadarku. Tunggu, alam
bawah sadar? Ah, rupanya aku ketiduran setelah makan malam kemarin. Aku mengerjap-
ngerjapkan mata sambil beranjak menuju meja belajar. Saraf optikku mendapati pemandangan
yang menyedihkan di sana, alat tulis yang terserak. Kurasa di hari Sabtu yang tenteram ini, aku
perlu menyusun landasan teori untuk percobaan fototropisme. Lampu, pendingin ruangan, gawai,
folio bergaris, dan pulpen adalah peralatan yang harus kusiapkan terlebih dahulu untuk
menyokong kesejahteraanku dalam mengerjakan tugas.

Oh, ya, label kemarin belum kucabut, ya. Hei, tulisan apa ini di bawah kata ‘lampu’?

‘Lakukan setiap hari’.

Lagi? Ya, ampun, kukira aku bisa luput dengan mudah untuk yang satu ini.

Aku tidak jadi menyalakan lampu dan AC, terima kasih Renata. Akhirnya di pagi hari ini,
seorang Audi menyeret dirinya keluar menuju ruang keluarga untuk merengkuh terang matahari.
Ya, aku melakukan fototropisme, bergerak ke arah cahaya, lagi-lagi terima kasih Renata.

“Lho, Audi sudah bangun?”

“Oh, iya, Pa. Ada tugas yang perlu kukerjakan.” Aku terhenyak melihat Papa sudah
mengorbit ruangan ini dini hari.

“Tumben ke luar pagi-pagi. Biasanya kalian masih mendekam di kamar,” ujar Papa
sambil menyalakan dispenser.

6
Benar, sih. Ini pertama kalinya aku keluar kamar di bawah jam 12 kala Sabtu. Aku lebih
sering menikmati waktuku sendiri di kamar sepanjang pagi. “Papa tiap pagi selalu seduh air di
sini?”

Papa mengangguk sambil menyenderkan badan ke sofa. “Iya, enak, kan, pagi-pagi
minum yang hangat sambil baca koran.” Papa membuka-buka tumpukan korannya. “Nah, yang
ini belum sempat dibaca kemarin. Kok, lecek semua, ya?”

Aku menahan tawa, mengenang kebiasaan adikku tiap petang. Hanya aku dan anak itu
yang tahu.

“Bagus juga, sih Di, tugasnya dikerjakan di sini. Karbon dioksidanya jadi berfaedah.”

Aku mengernyit bingung.

“Kalau Audi di kamar saja seharian, pasti pasang lampu. Hedonis dengan listrik.”

“Apa hubungannya dengan karbon dioksida?”

“Pembangkit listrik, kan banyak ‘berpartisipasi’ dalam produksi gas buangan karbon
dioksida. Gas yang sering Audi dengar sebagai penyebab pemanasan global. Jadi, hemat listrik
sama dengan hemat karbon di atmosfer,” Papa menjawabku dengan ringan sambil menyeruput
air hangatnya. “Lebih baik karbon dioksidanya dikeluarin di sini buat tanaman. Itu Audi yang
tanam, kan?” Papa menunjuk dua buah kardus (iya, kardus yang lengkap dengan benih Vigna di
dalamnya) yang ditaruh dekat jendela.

“Oh, iya, itu untuk tugas Biologi, ini aku baru mau buat laporannya.”

“Yowes, sana dekat-dekat sinar matahari. Biar tulang sekaligus suasana hati Audi bagus.”

Apa lagi ini? Aku memang pernah mendengar tentang bagaimana integumen menyintesis
vitamin D dengan bantuan ultraviolet matahari. Tapi, ada apa dengan suasana hati?

“Audi enggak tahu? Sinar matahari merangsang hormon-hormon yang baik buat mood,
lho. Serotonin, dopamin, beta endorfin. Sedangkan, melatonin ditekan, itu hormon yang biasa
membuat orang lesu.”

“A-apa?” Banyak juga informasinya.

7
“Nanti Audi tanya Bu April saja. Papa yakin guru Audi akan berbahagia mendengar
pertanyaan muridnya.”

Aku tergelak sembari mulai menggerakkan pulpen Renata di atas folio. Sesekali aku
melirik aktivitas Papa. Ditemani lembaran lecek hitam putih, cangkir yang hangat, dan mentari.
Beliau terlihat sangat menyatu dengan kesentosaannya. Panorama seperti ini bukan sesuatu yang
sering kulihat. Biasanya Papa begitu sibuk dengan pekerjaan kantornya. Atau mungkin, akulah
yang sibuk sendiri.

Kadang kita lupa untuk berhenti sesaat saja dan menikmati rembesan cahaya dari langit.
Kadang kita lupa bahwa menyaksikan datang dan perginya cahaya merupakan bukti bahwa kita
masih hidup karena masih mampu melihat itu semua. Ah, rasanya aku ingin ketenteraman seperti
ini bisa terus kunikmati di posisi ini, di pijakan yang sama, di bumi yang sama. Sedangkan frasa
‘terus di bumi yang sama’, hanya bisa terjadi kalau bumi berhenti dibunuh oleh penghuninya
sendiri.

Wah, aku baru saja terlibat dengan pikiran yang dalam. Kali ini aku sungguh berterima
kasih pada kawanku yang satu itu. Tanpa dia dan pulpen konyolnya, aku akan selamanya
berdiam dalam ruang terang-benderang yang fana oleh lampu, tidak pernah keluar, tidak pernah
bercengkerama dengan Papa, tidak pernah berpikir hingga seperti ini.

Label selanjutnya kembali menjadi perhatianku.

‘Berguna lagi’.

Hmm, kalau dipikir-pikir, hampir setiap permintaan Renata berkaitan dengan lingkungan,
sumber daya, dan semacamnya. Waktu itu menanam tumbuhan asli, kemudian memungut
sampah, lalu tadi tentang penghematan lampu. Mungkin maksudnya ‘berguna lagi’, merujuk
pada pemanfaatan ulang barang bekas?

Jadilah aku bersiap untuk melakukan ekspedisi rumah untuk yang kedua kalinya. Oh,
tunggu, tumpukan koran Papa menangkap perhatianku. Koran yang sudah kadaluwarsa tidak
akan dibaca lagi, kan? Kalau begitu, ucapkan selamat datang pada miniatur rumah koran! Wah,
kapan terakhir kali aku semangat melakukan prakarya, ya? Mungkin sekitar enam tahun yang
lalu kala aku masih duduk di sekolah dasar. Waktu itu, Bu Sora memberi amanah untuk membuat

8
rumah-rumahan dari stik es krim. Aku meringis, mengingat daya juangku kemungkinan
melambung pada saat itu karena tugas ini diberikan oleh guru favoritku. Mengenang alasanku
menyenanginya, membuatku semakin ingin meringis. Sora dalam bahasa Jepang berarti langit.
Dulu itu merupakan hal yang menakjubkan bagiku, hmm, nostalgia yang menarik. Sekarang, aku
akan kembali mengumpulkan jiwa keantusiasanku menyusun maket, kali ini menggunakan koran
Papa yang kugulung kecil-kecil. Lumayan untuk membentuk masa depanku yang masih abstrak
ini. Siapa tahu panggilan hidupku adalah sebagai arsitek.

Hari Minggu kuhabiskan dengan menggunting, menggulung, menempel, mengeringkan,


dan mengulangnya lagi. Satu per satu bagian demi rumah-rumahan nostalgiaku. Siang harinya,
aku mengoleksi botol-botol plastik dari ‘ladang botol’ yang entah sudah berapa kali aku ceritakan
dengan sarkastik. Sepertinya, membuat sofa dari susunan benda an-organik yang satu itu adalah
ide yang cukup menggiurkan. Aku bisa duduk dengan bahagia sambil menikmati hawa pagi. Aku
hanya butuh menyiapkan lakban, lembaran kardus, dan kain penutup supaya terlihat apik.
Sedangkan malam harinya, aku menyapa kacang hijauku. Cepat juga dia berkecambah. Tidak
lupa, inspeksi rutin ke setiap pojok ruangan untuk memungut 16 sampah. Kurasa proyek-proyek
ini yang akan mengisi keseharianku selama beberapa waktu ke depan.

“Audi, sudah berapa label yang berhasil diselesaikan?” Renata menyengir. Siang ini kami
tengah menghambur ke kantin bersama rekan-rekan sesama pemakai seragam putih abu-abu,
memanfaatkan waktu istirahat 15 menit kami dengan sangkil.

“Menuju yang keempat,” jawabku mantap.

“Benar? Wah, aku bangga sekali padamu. Hahaha.” Ia menepuk-nepuk bahuku.

“Label ‘berguna lagi’ akan kulepas kalau aku sudah selesai berkarya.”

Renata tergelak.

“Ini yang kelima,” ujarku sambil melambaikan label yang barusan kucabut. ‘Reduksi
plastik’.

“Wah, apa yang akan kau lakukan?”

Aku mengulurkan botol tumbler yang isinya sudah habis tiga per empatnya. “Mas, tolong
diisi, ya.”
9
Pemuda yang menjajakan berbagai jajanan kantin itu terlihat agak heran, namun tidak
lama setelahnya ia tersenyum dan mengangguk. Aku tahu di sekolahku ini, tindakanku barusan
memang tidak begitu lazim. Aku bisa merasakan tatapan dari Renata yang berdiri di sampingku.

“Terima kasih.” Setelah membayar, aku segera menenggak air minum, berusaha
mengabaikan sorotan mata temanku itu yang semakin kentara. “Ada apa, sih?”

“Aku tidak menyangka. Kau benar-benar serius!”

Aku harus menahannya dari melompat kegirangan di tengah-tengah kantin untuk


menghindari penyesalan massal dari guru-guru yang sudah meluluskan kami ke SMA.

“Kau tahu? Kata Ibu Menteri Kelautan dan Perikanan, negara kita memang tercatat
sebagai negara kedua yang paling banyak membuang sampah plastik ke lautan. Aku senang kau
jadi sungguh menghiraukan hal ini, hehehe. Apakah untuk seterusnya juga akan seperti ini?
Maksudku, membeli air minum dengan menggunakan botol tumbler yang sudah dibawa dari
rumah.” Wah, pancaran binar mata yang luar biasa dari seorang Renata.

“Aku sudah terlanjur berkecimpung dalam hal ini, jadi iya, akan kubiasakan begini untuk
seterusnya.”

“Wah! Aku tahu kau sebenarnya peduli pada bumi yang renta ini!”

Permintaan dari label-label Renata menjadi rutinitas sekaligus hobi baruku. Kadang aku
sendiri heran mendapati seorang Audi (yang menurut bahasa Inggris berarti kuat) diubahkan
dalam beberapa hari ini. Yah, kurasa lagi-lagi keingintahuanku akan kekreatifan Renata menang.
Aku memang sudah lama mengenalnya. Gadis yang selalu bersungguh-sungguh dalam
melakukan sesuatu, penuh semangat, dan kreatif.

“Aku pulang.” Aku melepaskan kedua kets hitamku.

“Kak, itu kacang hijaunya makin tinggi saja. Tanaman yang satu sampai bengkok dulu
baru tumbuh ke atas.” Adikku mengintip ke dalam kardus percobaan Biologiku. “Ini praktikum
apa, sih namanya?”

“Fototropisme.”

10
“Apa?”
“Foto atau foton berarti cahaya, Dik, sedangkan tropisme itu jenis pergerakannya. Jadi,
dalam percobaan Kakak, fototropisme yang dimaksud adalah pergerakan tanaman menurut arah
rangsangan cahaya.”

Ia mengangkat alisnya dan mengedikkan bahu. “Nanti aku juga akan diajarkan di
sekolah, kan? Baiklah kalau begitu,” ia menepuk pundakku, “semoga beruntung dengan Vigna
radiata-nya.”

Astaga, bagaimana bocah itu tahu nama ilmiahnya? Memang ajaib.

Adikku kembali ke kamarnya, membiarkanku memandangi tanaman peliharaanku.


Syukurlah kacang hijauku terlihat subur. Rasanya lucu melihat mereka terus bertumbuh setiap
hari. Dari kecambah kecil, kemudian batangnya bertambah panjang menjadi 5 cm disertai
plumula yang menyembul dari kotiledon, lalu bertumbuh pesat sampai belasan sentimeter, dan
tiba-tiba saja daunnya sudah menghijau panjang, serta melambai-lambai pada ketinggian lebih
dari 20 cm. Aku tidak tahu apakah aneh untukku mengatakan ini, tapi pertumbuhan dan
perkembangan mereka menjadi penyemangat sendiri bagi hidupku, yang membuat setiap harinya
jadi layak dinanti-nantikan. Hal yang tidak pernah aku rasakan selama hampir 16 tahun hidupku
memelihara tanaman sintetik. Aku tidak tahu apakah pasokan udara dari kacang hijau ini
memberi dampak yang signifikan, tapi aku merasa sejuk. Senang pun terenyuh.

Tanaman yang kutaruh dalam kardus pertama tumbuh normal ke atas, seperti tumbuhan
lain pada umumnya. Sementara itu, tanaman dalam kardus yang dilubangi sampingnya, tumbuh
ke arah lubang tersebut, menyusuri jejak cahaya, kemudian keluar dari kotak itu dan tumbuh
subur ke atas. Aku terkekeh melihat fenomena fototropisme itu. Aku merasa dia begitu mirip
denganku.

Aku seperti terperangkap dalam kotak yang tidak jelas tujuannya. Tumbuh dalam
kesempitan pikiran tanpa titik terang yang pasti. Tapi beruntung aku menemukan cahaya. Lebih
tepatnya, cahaya itu yang lebih dulu menemukanku, menarikku keluar dari kesempitan itu.
Mungkin aku memulainya dengan keliru. Ketika orang lain langsung menemukan cahaya di
atasnya, aku bengkok ke sana dan ke sini untuk menyusuri cahaya itu.

11
Tapi, awal yang berbeda bukan berarti akhir yang berbeda. Sekarang aku berada pada alur
yang sama dengan mereka, berkembang dalam keterbukaan dan kepekaan pada lingkungan di
sekelilingku.

Seperti sang Vigna yang bengkok, namun pada akhirnya berhasil tumbuh ke atas setelah
keluar dari kotak, seperti kawannya dari kotak sebelah.

Baiklah, saatnya menulis laporan. Aku memosisikan pulpen pemberian Renata di atas
kertas folio. Yah, tintanya habis. Padahal aku sudah menyiapkan seluruh batin dan ragaku untuk
menyelesaikan tugas Biologi. Jadi, di sinilah aku, memasang ekspresi pilu melihatnya. Selamat
tinggal, Kawan, akan terus kuingat jasamu.

Mataku menangkap secarik label. Permintaan terakhir Renata yang belum sempat
kucabut saat itu, ‘berguna lagi’.

Aku sudah menyelesaikan miniatur rumah koran. Sementara itu, pembuatan sofa botol
masih menjadi proyek yang tengah berlangsung. Perlahan, tapi telah kumantapkan hati. Kurasa
aku sudah boleh dikata selesai. Akhirnya, aku memutuskan untuk mencabut label terakhir itu,
menyisakan pulpen yang bersih tanpa label maupun isi tinta.

Eh? Masih ada satu larik kalimat yang ditulis rapi dengan spidol pada batang pulpen.

‘Sudah habis, ya? Hehehe. Coba bongkar pulpennya.’

Aku melepas satu per satu bagian dari benda itu, waswas dengan kekreatifan Renata yang
mungkin menunggu di dalamnya.

Wah, gulungan kertas. Suratkah? Pesan Renata untuk Audi, aku bergidik membayangkan
frasa itu.

‘Selamat ulang tahun yang ke-16, Sobatku! Hehehe. Tenang saja, aku selalu mendoakan
yang terbaik untukmu, kok.’

Astaga, anak yang satu itu. Jadi, ini semua.... Ya, ampun, memangnya ulang tahunku
sudah dekat? Aku memutar kepalaku ke arah kalender. Oh, benar juga. Di akhir minggu ini aku
akan berulang tahun, ya?

12
‘Hei, Audi, tidakkah kau berpikir bahwa kita semakin dekat dengan bumi seiring waktu?
Maksudku, tiap jam yang datang dan pergi membawa kita menuju kematian. Seperti pulpen yang
kamu pegang itu, semakin habis dan habis seiring masa karyanya.

Ah, tapi aku tidak bermaksud membuatmu nelangsa di hari ulang tahunmu.’

Aku mendengus, tapi tak kuasa menahan senyum.

‘Malah sebenarnya menurutku, itu bukan sesuatu yang menakutkan karena kita, kan jadi
menyatu dengan tanah. Seperti sisa tinta pulpen yang akhirnya luruh bersama karya terakhirnya,
begitu juga dengan kita yang suatu saat nanti akan melebur dengan bumi.

Kita tidak pernah tahu kapan masa karya kita usai.

Jadi sepanjang kita masih hidup di kesempatan ini, cintai dia, Di.

Cintai bumi.

Cintai rumahmu.

Setidaknya lakukan ini untuk dirimu yang lalu, kini, dan kelak.

Salam dari teman baikmu, Renata.’

Kau salah, Renata. Kau salah kalau mengira bahwa aku akan mempertahankan rumah ini
hanya demi diriku sendiri. Kau salah karena justru aku akan mempertahankan ini demi diriku,
juga dirimu, diri mereka, serta demi bumi sendiri untuk yang lalu, kini, dan kelak.

Aku akan meneruskan pesanmu untuk orang beruntung selanjutnya yang berulang tahun,
Sahabatku.

Aku mengulum senyum.

Misalnya, untuk adik kesayanganku yang beranjak 13 tahun bulan depan.

TAMAT

13
14
15
16
17
18

Anda mungkin juga menyukai