Anda di halaman 1dari 7

PENDARINGAN

Senja meranum. Aku duduk di kursi batas tepat di ambang teras. Kakiku menggantung.
Aku tak sadar lamunanku menua sampai selama ini. Tak sebentar ternyata, dari mulai cangkir
lavender ku kuyup, hingga kerontang dengan bercak hitam ditepinya. Iya, aku meminum kopi.
Benar itu kopi, tapi bukan sembarang kopi. Hanya kopi ini yang selalu pahit walau gula sudah
menimbunnya di dasar cangkir.
*****
Petang aku berangkat mengaji, seperti petang-petangku setiap hari. Aku memang sudah
remaja, tapi apa salahnya jika aku mengaji? Toh ini untuk kebaikanku. Tapi teman sebayaku selalu
mengolok aku karena masih saja mengaji.
“Udah gede masih aja ngaji?”, sindirnya.
“Udah Quran atau masih Juzama? Atau masih Iqra tiga? Hahaha”, gelaknya.
“Masa agama lu sendiri, masih aja belajar? Emang waktu kecil enggak diajarin ngaji sama orang
tua lu?”, hinanya.
Sindiran seperti itu selalu membombardir telingaku. Apa yang salah dengan mengaji?
Apakah aku akan sangat berdosa jika aku ingin mengenal Tuhan ku sendiri? Atau mereka sudah
terlalu suci sehingga mereka merasa tabu jika ingin mengenal Tuhan mereka? Atau bahkan mereka
merasa Tuhan itu tidak ada, sampai mereka meremeh-temehkan firman Tuhan? Apa yang salah
dengan mengaji? Aku rasa pikiran mereka sudah dicekoki oleh budaya urban. Budaya yang
membawah namakan Tuhan, dan mengatas namakan pemikiran? Seharusnya perkembangan
budaya yang mereka terima harus menjadikan mereka lebih berteman dekat dengan Tuhan, tapi
nyatanya? Tidak. Dan masih banyak tanya-tanya lain yang masih mengayun dipikiranku. Bahkan
ada beberap pertanyaan yang tak memiliki jawaban.
*****
Pagi tidak datang seperti biasa, ia lambat-lamat. Hari ini pagi dibangunkan oleh Ibu, persis
ketika ibu menaburkan gula asin ke dalam telur mata sapinya. Mataku masih saling merekat. Di
meja, aku melihat ibu sudah menyiapkan getah putih seperti biasa. Ada nasi putih dan beberapa
telur mata sapi yang gosong dipipinya. Aku sempat memilih dari tumpukan, berharap ada yang
sempurnya. Pagi ini memang aneh, tak seperti sebelumnya. Leherku seperti tertimpa beton, pegal
sekali.
Aku jalan menunju sekolah. Aku bertemu Irma. Seperti hari-hari biasa, dia memakan uduk
sambil berjalan. Tapi bukan hanya dia, banyak dari orang sini membiasakan sarapan dijalan
dengan mengunyah sembari melangkah. Aneh. Tapi mungkin ini lah alasan supaya mereka tidak
terlambat kesekolah. Titianku mulai melangkah melewati jembatan batang kelapa, yang tertidur
diatas kali. Kali yang mengairi sawah dekat rumah Irma. Bukan hanya aku yang merasa hari ini
berbeda, Irma pun merasakannya. Dia merasa malam terlalu kemarau semalam. Padahal yang aku
maksud bukan itu. Tapi aku menemukan salah satu maksudku dijalan.
“Ir, ini apa?”, tunjukku.
“Oh itu sajen”, kunyanya bersuara.

1 | RPP Bahasa Indonesia


“Kenapa ada di jembatan?”, tanganku memegang kelapa muda yang tempurungnya sudah
menghitam.
“Jangan dipegang!!! Itu punya penunggu sini. Udah yuk kita berangkat aja”, marahnya takut.
Aku menurut saja, ya walaupun aku sudah memegangnya. Tapi semenjak aku tau itu sajen,
aku semakin tertarik untuk menyicipi makanan penunggu tempat itu. Apa mungkin selera makan
mahluk gaib dan manusia sama? Tiap kakiku meniti batang kelapa, langkahku menepi untuk
mencicipinya beberapa kali, dan aku ketagihan. Ya walaupun sesekali aku waswas jikalau ada
yang memergokiku sedang celamitan dengan santapan mahluk gaib.
*****
Petang sudah berlalu. Tapi aku harus melakukan rutinitasku. Aku masih melanjutkan
lamunanku ketika kakiku pergi. Tak sadar tapak ku menepi di rumah umi. Iya umi bukan ibuku,
tapi guru ngajiku. Dia adalah ustadzah ahli pemikiran dan pemahaman tentang Islam. Walaupun
dia tak banyak mengunyah bangku sekolah, tapi pengetahuan ia tentang Islam sangat bagus. Aku
takjub dengannya. Diantara waktunya mengurusi anak dan suaminya, ia masih sempat untuk
mengurus warung dan anak-anak yang mengaji ketika malam hari.
*****
Wow. Aku takjub. Baru kali ini aku melihat semesta dari ketinggian. Aku sangat senang,
walaupun di lain sisi aku merasa sedih karena harus mengorbankan kebersamaanku dengan orang
yang aku cintai demi melihat semesta tak berujung ini. Manuver-ku mulai berganti, dari mulai
terbang tinggi, hingga terbang rendah sudah ku lakukan. Aku hanya ingin mengajak seseorang
untuk merasakan kesenanganku seperti ini. Bayangku hilang diantara awan yang tumpang tindih.
Dengan aroma sabun melati, aku merasa segar ketika aku terbang dengan sayap-sayap ini.
*****
Jarum jam mendongak pukul delapan malam. Pengajian masih berlangsung. Aku meminta
izin ke belakang layar. Tiba-tiba aku merasa ingin memuntahkan cairan pesing dari
selangkanganku. Ah lega rasanya. Aku sudah selesai melakukan upacara di kamar mandi. Aku
berjalan kembali ke ruang pengajian. Aku melewati sebuah ruangan. Ruangan itu gelap, hanya ada
satu meja yang sedang tidur pulas bersandar ke tembok, sembari menggendong gentong tanah liat
dikepalanya hampir serupa Atlas dalam mitologi Yunani yang sedang menggendong bumi di
punggungnya. Aku memberanikan untuk mendekat. Aku mendekat melihat gentong itu. Gentong
itu semula tertutup oleh anyaman janur yang sudah menguning dan di timpa oleh batu seukuran
telapak tangan. Aku memindahkan anyamannya. Gentong itu berisi padi yang belum melepaskan
seragamnya sepulang dari sawah, isinya tidak banyak sekitar sepertiga dari ukuran tubuhnya. Di
kiri dan kanan gentong itu terdapat lilin salju yang apinya masih menari. Dan terdapat pula
disekitarnya empat lilin yang sudah membangkai dan terbujur kaku. Di tembok tempat meja itu
bersandar, berdiri selendang terpahat batik usang yang di jembreng begitu saja. Aku mulai
memberanikan untuk memegangnya.
“Jangan sentuh yang lain dan tutup kembali gentong itu”, ucap tegas seorang wanita tua.
Aku memutar kepalaku. Wanita tua dibelakangku berdiri di depan kamar yang pintunya masih
terbuka setengah.

2 | RPP Bahasa Indonesia


“Kenapa?”, tanyaku singkat.
“Jangan, karena itu bukan punyamu”, jawabnya lugas.
“Lalu ini punya siapa nek?”, tanyaku penasaran.
“Itu punya Sri. Dan jangan pegang apa yang lain”, jawabnya datar.
“Maksudnya? Aku tidak mengerti nek?”, tanyaku bingung.
“Pokoknya jangan sekali-kali kamu memengang benda yang ada ditempat itu. Karen kamu bukan
bagian dari keluarga kami. Jadi jangan pegang itu”, jelasnya dan suara itu hilang dibalik pintu kayu
rendah.
Aku menuruti saja maunya nenek itu. Toh aku sudah tau isi dalam gentong itu. Lagi pula
tak sopan jika aku menantang atau tak menuruti permintaanya, ini bukan rumahku. Tapi aku masih
bingung, kenapa aku tidak boleh memegangnya? Apa itu benda suci, dan aku akan berdosa bila
memegangnya? Atau mungkin saja benda itu ada penunggunya, dan jika aku memegangnya
penunggu benda itu, penunggunya akan marah dan masuk ketubuhku? Atau mungkin itu adalah
pesugihan? Ah..yang benar saja, mana mungkin umi melakukan pesugihan. Orang sebaik umi tak
akan melakukan hal seperti itu. Mungkin nenek-nenek itu yang melakukan pesugihan. Sudah
terlihat dengan pakainnya yang hanya melilitkan kain batik usang dan menyelipkan rajutan
terakhirnya di ketiak, persisnya di sela-sela payudara yang sudah menggelatung. Lagi dan lagi,
kepalaku hanya berputat di pesugihan, padi, dan nenek-nenek. Lamunanku satu demi satu aku
pintal, berharap pintalan itu dapat menjawab suudzon-ku kepada umi. Pintalanku hampir saja
selesai, sampai akhirnya.
“Kenapa Vik?”, suara itu menggunting susunan pertanyaan yang sedari tadi sudah ku pintal.
“Anu umi..Aaaa..tidak umi tidak”, jawabku kikuk.
“Benar tidak ada apa apa?”, tanyanya untuk meyakinkan.
“Benar”, jawabku.
Aku kembali melanjutkan mengajiku. Tapi sepulangnya dari pengajian, pertanyaan-
pertanyaan itu selalu bergelantungan seperti crane yang menjulang di langit ibukota pada saat
senja tiba. Apa mungkin wanita se-Islami umi masih percaya dengan hal klenik seperti itu?
Bukankah umi pernah menjelaskan bahwa berdosa lah ia yang menduakan keberadaan Tuhannya?
Dan memberikan rezekinya selain dijalan Tuhan? Apa mungkin Tuhan dapat diajak kompromi
dan berdiskusi tentang pilihan hidup manusianya? Jika memang bisa, apakah hukum Tuhan bisa
di tawar dan digoyahkan hanya karena ketaqwaan manusianya sudah melebihi manusia lain? Atau
bahkan...ah sudahlah, kenapa aku terus menggerutu tentang pertanyaan tentang hal yang sama,
yang belum ada konfirmasi untuk jawabannya. Pertanyaan yang hampir serupa terus mengantre
untuk dijawab bak luapan manusia yang mengantre tiket mudik mereka. Tapi aku masih terus
menggantung pertanyaan itu didahiku. Apakah benar umi melakukan praktik pesugihan.
*****
Aku membeku. Tapi bukan sembarang beku, aku membeku yang terbakar. Karena tiap
hari, badanku selalu berganti. Terkadang membeku, terkadang pula berkobar, kadang menjadi es,
bahkan pernah kepalaku menguap. Aku sudah tidak tahan dengan sakit ini. Aku berfikir, apa

3 | RPP Bahasa Indonesia


penyebab sakitku? Padahal aku makan teratur, minum vitamin, bahkan aku olahraga dan tidur
teratur, kenapa juga aku bisa sakit.
Ibu dan ayahku heran kenapa sakitku dadakan. Dokter mengira hanya sakit sementara dan
akan sembuh jika meminum obat demam. Aku meminum obat itu. Rasanya pahit sekali. Lebih
pahit dari kopi yang terakhir ku minum dengan cangkir lavender-ku. Hari kedua aku menolak
untuk meminumnya. Orangtuaku tetap kekeh aku harus meminumnya. Aku sudah bilang dan
mengultimatum mereka, bahwa ini bukan obat demam, tapi obat nyamuk. Mereka menyebutku
gila. Mana mungkin dokter memberi obat nyamuk berbentuk kapsul, dan sirup? Apa mungkin
pabrikan obat nyamuk sudah mendesain obatnya, hingga persis seperti obat demam? Katanya aku
mengadangada. Orangtuaku batu, yasudah aku menuruti saja. Aku ikuti mereka, aku minum obat
nyamuk ini. Ternyata salah. Tiga hari setelah aku meminum obat itu, aku bisa terbang. Hebat.
*****
Sepulang sekolah aku sempat menanyakan tentang beberapa hal yang masih mengganjal.
“Ir, kamu tau sajen yang tadi?”, tanyaku iseng.
“Iya, kenapa emang?”, tanyanya balik.
“Kita makan yuk, aku laper nih”, ajakku.
“Ah, makan sajen? Lu udah gila ya Vik? Engga ah, engga mau. Takut kualat gua. Takut kena
tulah”, bentaknya.
“Ah, jangan percaya gitu-gituan. Itu cuma mitos, nyatanya di jaman Rasul enggak ada kaya gitu.
Walaupun ada pasti dimakan, kan dulu susah dapetin makanan, iya gak? Jadi, ayo lah Ir”, bujukku.
“Enggak Vik, kata gua enggak ya enggak”, bantahnya.
“Temenin gua deh?”, mohonku.
“Tetep enggak. Lu kenapa sih Vik, lagi gila ya? Udah ah gua duluan, terserah lu mau makan tuh
sajen atau enggak, gua sih ogak”, ujarnya sembari menjauhkan langkahnya.
Kenapa dengan Irma, apa dia takut? Atau dia percaya dengan mitos seperti itu? Ah persetan
dengan mitos. Aku tidak hidup dijaman mitos. Aku punya Tuhan yang selalu melindungiku. Aku
memberanikan memutar haluanku menuju tempat sajen di dekat jembatan dekat sungai yang sedari
tadi ku lewati.
*****
Aku lelah seharian terbang. Hingga pada akhirnya, aku bertemu teman bermainku yang
baru. Namanya Rudi, rumahnya tak jauh dari rumahku, hanya berbeda RT saja. Aku tak
menyangka, aku kira hanya aku yang mahir bermanuver ternyata tidak. Rudi sangat mahir, bahkan
dia lebih dulu ketimbang aku. Sudah masuk petang. Ini hari ketigaku terbang dan hari pertamaku
mengenal Rudi. Aku kembali kerumah. Niatku ingin mandi dan makan malam.
“Door”, teriaknya
Aku sangat kaget, tenyata Rudi ingin main kerumahku.
“Kamu enggak pulang dulu? Apa enggak dicariin sama orangtua kamu?”, tanyaku.
“Emmm...enggak kok. Orangtuaku lagi keluar beli makan malam, jadi aku sendiri di rumah. Aku
bosen, yasudah aku datang aja kesini”, tawanya.
“Dari mana kau tau rumahku?” tanyaku.

4 | RPP Bahasa Indonesia


“Dari kerumunan orang ini”, jawabnya singkat.
Aku mengangguk. Tapi masih bingung.
”Ayahmu yang mana?”, tanyanya iseng.
”Itu, tuh…”
Aku menelisik kerumunan orang yang sibuk ngobrol di pelataran rumahku.
”Yang pakai kacamata?”
”Bukan!” tukasku.
”Yang berbaju coklat, pasti itu!
”Iya, itu ayahku”, wajahnya tampak begitu bingung.
“Kenapa?”
“Kau tak mirip ayahmu?” candanya.
Aku dan Rudi masuk kerumah. Melewati ibu-ibu yang sedari tadi duduk melingkar di
tengah rumahku. Aku lewat tanpa permisi. Toh mereka juga tak mempedulikan aku lagi.
Aku menuju dapur. Aku mendengar isak. Aku hafal isak ini. Isak yang sama ketika terakhir
kali aku mendengarnya. Aku meniti menuju sumber isak itu. Aku mengerutkan dahi, aku melihat
ibuku dan umi sedang berbincang di dapur tepat di depan tudung saji, yang dalamnya sudah ludes.
“Sudah bu, mungkin ini sudah takdinya bu. Yang sabar. Jangan dipikirkan ucapan orang-orang
soal tulah sajen dan tulah pendaringan itu bu. Itu Cuma mitos. Soal pendaringan itu, saya
meletakan pendaringan berisi padi di rumah hanya sekedar simbolisasi saja. Saya hanya mewarisi
adat yang dilakukan oleh buyut saya, secara turun temurun yang harus di jaga, dan itu bukan
pesugihan. Mungkin waktu itu Vika enggak tau itu untuk apa? Jadi dia memegangnya. Tapi ini
semua enggak ada hubungannya sama itu kok bu. Kembali lagi bu, ini semua udah ada garis lurus
yang mengatur, garis takdir yang siapa pun mahluk di dunia tidak bisa mengganggu-gugat garis
itu. Yaudah sekarang ibu sabar aja, banyak berdoa”, rangkul umi pada ibuku.
Ternyata dugaanku salah. Umi menaruh gentong berisi padi hanya sebagai simbolisasi
karena umi mewarisi adat yang dilakukan leluhurnya terdahulu, bukan karena umi melakukan
pesugihan. Soal tulah yang ada? Semua orang pun tidak percaya dengan hal klenik semacam itu.
Bahkan aku sendiri yang kata orang berteman dengan tulah itu, tidak percaya.
Tapi sekarang bukan persoal keberadaan Tuhan atau pesugihan yang aku pertanyakan. Tapi
soal tulah? Apa mungkin tulah di atur dalam kitab suci? Atau tulah sudah menjadi salah satu sabda?
Kalau tidak, kenapa aku bisa terbang secepat ini? Apakah tulah yang menerbangkan aku? Atau
karena aku berteman dengan tulah, karena aku dulu sempat memegang dan memakan tulah
sehingga aku bisa seperti ini? Tapi, biarlah, yang pasti aku masih menikmati keahlian baruku ini.
Terbang. Terbang melihat semesta. Menembus dimensi pararel yang ada, dengan batas waktu yang
aku sendiri tidak tau sampai kapan. Walau pada akhirnya semua orang pun bisa sepertiku. baik
mereka yang bertulah maupun yang tidak.

5 | RPP Bahasa Indonesia


LEMBAR KERJA CERITA PENDEK

1. Jawablah pertanyaan yang berkaitan dengan nilai kehidupan yang ada pada cerpen di atas!

No. Nilai kehidupan Keterangan pada cerpen

1. Nilai Sosial Vika berbicara dengan irma mengenai memakan sesajen yang
pernah mereka lewati beberapa hari sebelumnya

2. Nilai Budaya Umi menaruh gentong berisi padi sebagai simbolisasi karena
Umi mewarisi adat yang dilakukan leluhurnya terdahulu

3. Nilai Moral Vika menuruti maunya si nenek itu, Vika juga berpikir bahwa
tak sopan jika ia menantang atau tak menuruti permintaan
nenek itu karena rumah itu juga bukan rumah Vika

4. Nilai Religi Vika tetap mengaji serta tetap ingin mendekatkan diri kepada
tuhan nya

2. Jawablah pertanyaan di bawah ini tentang unsur intrinsic pada cerita pendek di atas!

No. Unsur Intrinsik Keterangan pada cerpen

1. Tema Kepercayaan

2. Tokoh Vika, umi, ibu, irma, rudi, nenek

3. Penokohan

a) Protagonis: Aku/vika

b) Antagonis: Tidak ada informasi pada teks diatas

c) Tritagonis: Irma, rudi

4. Alur maju

5. Plot

6 | RPP Bahasa Indonesia


Pengenalan cerita: Tokoh “aku” yang memiliki kepercayaan kuat terhadap agama
Islam , tetapi memiliki nilai moral yang kurang. Dimana ia
a) tidak bisa menghormati kepercayaan orang lain dan
mengatakan kepercayaan orang lain mitos serta berkata
“persetan mitos itu”

b) Awal konflik: Tersindir oleh teman sebaya karena masih saja mengaji

Menuju konflik: Memakan sesajen yang awal nua mencicip2 menjadi


c) ketagihan, keesokan harinya bisa terbang

Klimak (Konflik Tokoh aku memegang gentong yang ada dirumah umi dan
d)
Utama: terkena penyakit secara drastis

e) Antiklimaks:

6. Latar Tempat: ambang teras, jalanan, rumah umi, dapur


Waktu: pukul 8 malam, senja, pagi, petang
Suasana: lucu, tegang

7. Sudut Pandang Orang ke 1

8. Amanat Sebaiknya tokoh aku harus belajar untuk menghormati budaya


serta kepercayaan orang lain. Walau pengetahuan agama nya
bagus, belum tentu nilai moralnya bagus sampai bisa
merendahkan kepercayaan orang lain yang dapat bersifat fatal

7 | RPP Bahasa Indonesia

Anda mungkin juga menyukai