Anda di halaman 1dari 6

Kejutan dari Ibu

Pagi ini terasa cerah sekali, terik matahari menguning bagaikan telur dadar yang baru
matang. Ah, pagi-pagi ini melihat matahari pun seperti melihat makanan. Tidak hanya itu,
aku melihat burung-burung yang berkicau dari atas pohon. Betapa enaknya kalau burung-
burung itu disembelih kemudian dibuat rica-rica pedas dihiasi lalapan segar yang baru saja
dipetik dari dahannya.

Bayanganku tentang makanan semakin liar, alangkah baiknya aku secepat mungkin untuk
menyelesaikan jemuranku agar tersengat dengan sentuhan sinar matahari yang menguning
bagaikan telur dadar. Maklum, di sini adalah rumah tahfidz yang menyediakan makanan tiga
kali sehari. Pagi, siang, malam. Semalam aku hanya makan sedikit, karena aku takut
kekenyangan sehingga aku nanti sulit untuk bangun malam.

Bangun malam adalah tradisi yang tidak akan tergantikan nikmatnya di rumah tahfidz ini.
Setiap pukul tiga dini hari kami semua dibangunkan untuk sholat tahajud kemudian
mengulang hafalan, setelah sholat subuh kita menyetorkan hafalan harian kita, ada yang
satu halaman, ada yang dua halaman, bahkan ada yang hanya menyetorkan satu ayat.
Berbeda-beda memang, semua santri diciptakan oleh Allah dengan kemampuan menghafal
yang berbeda. Terkadang aku merasa malu kepada Allah, betapa tidak, bisikan-bisikan setan
sering menggangguku setiap aku menyetorkan hafalan sebanyak tiga halaman.

“Duhai Gunawan, betapa mulianya dirimu, setiap hari kamu menyetorkan dua halaman
bahkan sering juga kamu dapat menyetorkan hafalan sebanyak tiga halaman. Tidak seperti
temanmu yang besar badannya itu, hafalan hanya lima ayat sehari bahkan terkadang dia
hanya mengulang hafalan lama. Betapa hebatnya dirimu, lebih muda dari temanmu tetapi
hafalan kamu begitu dahsyat”

Astagfirullah, setan memang tidak ada henti-hentinya membisikkan rasa bangga diri kepada
manusia, setan tidak akan pernah berhenti untuk menghasut manusia agar manusia merasa
lebih hebat dari manusia yang lainnya. Bukankah penghulu mereka dikutuk oleh Allah juga
karena rasa bangga diri mereka? Ya Allah, ampunilah Gunawan Ya Allah, kemudahan
menghafal ini adalah karunia Mu Ya Allah, bukan karena ikhtiarku semata.
Di rumah tahfidz ini aku adalah santri yang tergolong masih muda. Umurku masih 12 tahun.
Kebanyakan santri berumur lima belas sampai sembilan belasan. Alumni-alumni dari rumah
tahfidz ini memiliki jangka waktu yang berbeda-beda dalam menyelesaikan hafalan mereka.
Ada yang khatam hafalan hanya dua tahun, ada juga yang sampai lima tahun baru khatam
hafalan.
Man jadda wa jadda.

“Nak, kamu di sana bagaimana kabarmu? Baik-baik saja kan? Ibu khawatir nak. Kamu sudah
makan? Uang sakumu masih cukup kan? Kalau kurang bilang saja nak, insyaAllah Ibu akan
mengirimkannya besok pagi” pesan singkat dari ibuku. Hari ini adalah jadwal diperbolehkan
memegang hape.
“Alhamdulillah Buk, kabarku baik-baik saja, bagaimana kabarnya di kampung sana buk? Baik
kan? Sudah Buk, Gunawan sudah makan kok Buk, di sini untuk masalah makan
Alhamdulillah terpenuhi Buk, jangan khawatir kalau masalah makan. Uang sakuku masih
lebih dari cukup. Sudah dua minggu lalu aku ikut jadi tukang bersih-bersih di madrasah
sebelah pondokku, jadi Alhamdulillah Buk sekarang aku sudah bisa mempunyai penghasilan
sendiri” balasku melalui ponsel tuaku.
“Alhamdulillah nak, ibu di kampung sehat wal afiat. Waah, kamu sekarang sudah kerja ya.
Tapi kerjaanmu tidak mengganggu kegiatanmu di pondok kan?”
“Alhamdulillah kalau sehat wal afiat Buk. Enggak kok, justru aku bisa melakukan dua hal
sekaligus, sambil menyapu dan mengepel aku bisa mengulang hafalan Buk”
“Bagus lah kalau seperti itu nak, ngomong-ngomong kamu kapan khatam hafalan nak?”
“InsyaAllah empat bulan lagi Buk. Tinggal satu setengah juz, doakan ya Buk. Semoga
hafalanku membawa berkah buat kita, membawa berkah dunia akhirat Buk.”
“Iya nak, Ibu selalu mendoakanmu. Semoga upayamu untuk menghafal Al-Quran selalu
diberkahi Allah nak”

Memegang handphone seminggu sekali adalah hal yang biasa bagi kami di rumah tahfidz ini.
Selain untuk menghindari hal-hal yang menggangu proses menghafal, kebiasaan ini juga
bermaksud agar para santri di tempatku belajar Quran ini dapat bersilaturahim kepada
orangtua dan sanak saudaranya.

Langit terlihat indah sekali malam ini, tinggal satu bulan lagi aku akan mengkhatamkan
hafalanku. Diiringi dengan titik-titik yang bersinar di langit yang luas ini, titik-titik bercahaya
yang selalu menginspirasiku agar tetap istiqomah dengan Al-Quran, istiqomah dengan
menjalankan perintah Allah dan meninggalkan hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh Allah.
Berharap kepada Allah agar selalu diberikan titik-titik cahaya sebagaimana bintang di langit
malam ini.

Aku teringat dengan masa-masa laluku disaat baru tiga bulan di rumah tahfidz ini. Aku
sangat teringat sekali di saat bulan kedua aku ingin kabur dari pesantren kecil ini. Benar, aku
pernah kabur dari pesantren. Aku sangat tidak nyaman dengan kondisi pesantren di sini.
Tiap hari harus bangun pagi sekali. Pagi buta sudah harus membaca Quran, makan pun
sehari hanya tiga kali sehari. Itu pun dengan porsi yang pas, tidak bisa makan sekenyang di
rumah sampai empat kali.
Tidak hanya itu, di sini aturannya sangat ketat sekali yang membuat keinginanku semakin
kuat untuk kabur dari pesantren. Setiap hari harus membaca Al-Quran minimal satu juz,
padahal dulu waktu di rumah membaca Quran cukup hanya selembar sehari. Itu pun kalau
sempat. Aku masuk di sini juga karena dipaksa oleh Bapak dan Ibu. Waktu masih SD aku
memang terkenal bandel dan menyebalkan. Maka dari itu kedua orangtuaku membawaku
kemari dengan harapan agar aku menjadi anak yang lebih baik lagi.

Setelah kabur selama satu bulan, waktu itu aku menginap di rumah pamanku yang
kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh dari pesantren. Aku tidak tau harus berbuat apa,
kalau aku pulang pasti akan dikembalikan ke pesantren, kalau aku kembali ke pesantren
pasti aku akan diikat dan dikekang dengan aturan-aturan yang menyebalkan.

Dua minggu kemudian aku mendengar paman berbincang-bincang melalui ponsel.


Sepertinya aku kenal dengan suara yang sedang bertelepon dengan pamanku, seperti suara
ibu. Ya, benar. Ibu. Pamanku menerima telepon ibuku dengan ekspresi muka yang terlihat
kasihan, sedih. Mungkin pamanku ditanyai ibuku mengenai keberadaanku.

Dugaanku ternyata benar, aku teringat dengan kebohonganku di pesantren, ketika aku
hendak kabur, aku menitipkan surat kepada temanku agar disampaikan kepada pengasuh
pesantren. Di surat itu ada tulisan “Aku mau pulang, karena orangtuaku akan pindah tugas
ke luar pulau.”

Pamanku mendekatiku,
“Gun, kamu kangen dengan bapakmu tidak?” tanya pamanku dengan ekspresi yang
membuatku heran.
“Lumayan kangen sih paman, tapi mau gimana ya? Aku bingung, mau pulang atau balik
pesantren, memangnya kenapa paman? Ibuku dapat kabar dari pesantren ya? Aku disuruh
kembali ke pesantren?” jawabku dengan muka sedikit pucat disertai gugupnya diriku ini.
“Kamu akan kangen dengan bapakmu selamanya gun” terang paman dengan mata berkaca-
kaca.
“Memangnya bapakku kenapa paman? Bapakku kenapa?” tanyaku dengan nada yang agak
tinggi
“Kamu jangan kaget ya gun. Bapakmu meninggal. Baru saja ibumu mengabariku” mata
pamanku yang berkaca-kaca itu mulai meneteskan air mata, baru saja dia mendengar kabar
bahwa kakak kandungnya meninggal.

Seketika itu aku meneteskan air mata pertama kalinya untuk orangtuaku, selama ini aku
menyusahkan mereka berdua, aku merasa sangat menyesal. Aku merasa menjadi anak yang
durhaka, sedurhaka malin kundang yang dikutuk menjadi batu. Aku membangkang kepada
kedua orangtuaku. Aku masih tidak percaya dengan kenyataan ini, betapa cepatnya bapakku
meninggalkanku untuk selamanya, aku akan sangat rindu sekali dengan bapakku, kerinduan
itu akan terobati ketika aku bertemu dengan bapakku di akhirat nanti. Itu pun kalau aku bisa
bersama bapakku di surga nanti, dan segala kemungkinan terjadi untuk masalah akhirat.
Bisa jadi aku akan menjadi penghuni neraka selama-lamanya dan aku tidak akan bertemu
dengan bapakku di surga nanti.

Bapakku adalah sosok bapak teladan, sejak kecil aku selalu diajak untuk sholat berjamaah di
mushola. Tapi entah kenapa di masa-masaku SD bisa senakal dan sebadung itu hingga bapak
dan ibuku membawaku ke pesantren yang menurutku sangat menyebalkan ini. Aku semakin
tidak percaya kalau bapakku telah tiada, telah pergi selama-lamanya.
Aku mengangis, menangis sejadi-jadinya di pelukan pamanku.

Kemudian setelah prosesi pemakaman dan urusan lain tentang bapak telah selesai, aku
kembali ke pesantren rumah tahfidz itu. Peristiwa inilah yang membuatku semangat untuk
menjadi manusia yang berakhlak Al-Quran, menghafalkan Quran adalah salah satu jalan
supaya kelak aku akan berkumpul dengan bapakku di surga.
Ingatanku seperti disegarkan kembali di malam ini. Kemudian aku kembali masuk kamar,
malam ini aku sudah menambah hafalanku sembari melihat bintang-bintang di langit dihiasi
kenanganku bersama bapakku dua tahun lalu. Aku berwudlu kemudian tidur.

Subuh berkumandang dari masjid di dekat pesantren, aku bergegas menuju ke masjid untuk
subuh berjamaah, pagi ini aku harus menyetorkan hafalanku kepada Abah. Aku teringat
dengan janjiku kepada ibu. Setelah khatam nanti aku akan mengajaknya pergi liburan
dengan sisa-sisa tabunganku selama menjadi tukang bersih-bersih di madrasah sebelah, aku
kasihan melihat ibu yang kesepian di rumah semenjak bapakku meninggal.
Pagi yang sedikit mendung telah membawaku pulang menuju asrama kecilku ini setelah
menyetorkan hafalanku yang sudah sampai di surat At-Taubah, sengaja memang. Hari ini
aku hanya menyetorkan sedikit hafalan. Karena aku ingin benar-benar paham dengan pesan
Allah di setoran hafalanku di pesantren rumah tahfidz ini. Toh tinggal menghitung hari aku
akan khataman hafalan, tiga minggu lagi.

Aku melihat Bambang berlari terbirit-birit menghampiriku, seperti setan yang mendengar
adzan saja, candaku dalam hati.
“Gun!!!! Penting Gun!! Penting” ucap Bambang kepadaku dengan nafas terengah-engah
“Iya Bambang, memang manusia punya banyak kepentingan, kamu nyebut penting aja
banyak banget barusan. Kayak DPR aja kamu, punya banyak kepentingan. Emangnya ada
apa?” jawabku agak sedikit bercanda.
“Ibumu Gun! Ibumu!!!! Ibumu anu gun!!” ucap Bambang masih dengan muka yang cemas.
“Ibuku kenapa Bam?” tanyaku juga dengan muka yang cemas.
“Sebaiknya kamu datengin rumahnya Abah deh Gun, aku tidak sampai hati
menyampaikannya”
Aku pun langsung menuju rumah Abah, masih dengan kaos oblong dan belum sarapan.

Sesampainya di rumah Abah.


“Permisi bah, tadi aku mendengar ada kata-kata ibu dari Bambang, lalu Bambang
menyuruhku untuk ke sini. Ada apa ya bah? Ibuku kenapa?” tanyaku dengan suara lirih
Abah, hanya menatapku.
“maaf Bah kalau aku menyela Abah, memangnya ibuku kenapa Bah?” tanyaku lagi
Abah masih membatu, bibirnya bagai batu. Hanya terdiam dan menatapku dengan mata
yang berkaca-kaca. Rasa khawatirku kepada ibu semakin menjadi-jadi.
“Bah, tolong Bah, aku khawatir dengan ibuku, jangan bercanda Bah”
Ku lihat Abah sekarang malah tertunduk. Sepertinya Abah sedang menangis.
“Bah, ibuku kenapa Bah!” tanyaku agak sedikit membentak, aku mulai lupa kalau seorang
guru sama saja seperti orang tuaku, aku tidak boleh membentaknya.

Kemudian Abah memelukku dan berbisik di telingaku diiringi senggukan tangisnya.


“Gun, kamu tau kan keutamaan penghafal Al-Quran?”
“Iya Bah, kan memang setiap hari Abah memberitahu saya”
“Kamu tau kan Gun? Kelak kedua orangtua dari anak penghafal Quran akan mendapat
keistimewaan di hadapan Allah?”
“Iya Bah, Gunawan tau, ibuku kenapa Bah?”
Abah semakin erat memelukku diiringi air mata yang menetes deras di pundakku.
“Aku berharap bapak ibumu kelak di hari kiamat akan mendapatkan keistimewaan itu. Kamu
yang istiqomah ya gun. Sekarang ibumu telah memulai kehidupan barunya.”
“Maksud Abah? Ibuku kenapa Bah?” Aku masih belum paham maksud Bah.
“Ibumu sekarang telah memulai kehidupan barunya di alam barzah nak, aku sangat
berharap kepada Allah supaya bapak ibumu mendapatkan keistimewaan itu.” Tanpa
tanggapan apapun, aku ikut memeluk abah dengan erat, aku tidak kuasa membendung air
mataku. Aku semakin terharu dan juga menyesal. Mengapa aku dulu sempat kabur selama
sebulan, seandainya waktu dapat kembali aku tidak akan kabur dari pesantren.

Lengkaplah sudah, saat ini ibuku dan bapakku tidak sempat menyaksikan khatamanku,
padahal ini adalah momen yang kutunggu-tunggu.
“Nak, Abah tau perasaanmu. Tetaplah istiqomah, kelak kau akan khataman di hadapan Allah
disaksikan oleh Rasul dan pastinya di hadapan kedua orangtuamu”

Air mataku terus mengucur deras dalam pelukan Abah. Khatamanku berujung tangis.
Mungkin ini kejutan terakhir dari ibuku. Semoga Allah menempatkan Ibu dan Bapakku di
surganya. Amin.

Anda mungkin juga menyukai