"Masa iya, anakku dibilang sakit jiwa. Itu guru sinting 'kali ya?"
Dan saran untuk membawaku ke psikiater sama sekali tak
dihiraukan, malah aku mendapat dua jeweran di
kuping, danbeberapa hari harus mendengar omelan tentang
jangan bertingkah memalukan orang tua.
Namanya juga anak, wajar kalau tingkah-lakunya tidak beda
jauh dengan bapaknya.
Kali ini pun sama, wali kelas Adit menyarankan kami
berkonsultasi dengan psikolog anak. Bahkan sudah diberikannya
kartu nama psikolog itu dan tarifnya. Bisa pula diundang ke
sekolah untuk konsultasi secara kolektif. Aku mengiyakan saja.
Paling tidak, Bu Guru anakku ini lebih pintar bicara daripada
guruku dulu, buktinya istriku sama sekali tidak tersinggung,
bahkan mau pula keluar uang gara-gara itu.
Gara-gara omongan gurunya itu, aku jadi lebih
memperhatikan tingkah laku Adit. Setiap ada kesempatan di
rumah, walau tidak lama, aku selalu mengamatinya dengan
curiga, kira-kira keanehan apa yang dilakukannya.
Mungkin gurunya betul juga. Setelah kuamat-amati dengan
seksama, anakku sepertinya menunjukkan tanda-tanda keanehan.
Kemarin ia memanaskan sabun colek di atas wajan. Katanya ia
ingin tahu apakah sabun colek itu bisa dipakai untuk
menggoreng, karena warnanya sama dengan margarine. Itu
mengingatkanku pada kejadian sebelumnya, ia menumbuk obat
nyamuk bakar yang berwarna coklat, lalu mencampurnya dengan
air, dan membalurkannya ke kaki adiknya yang keseleo. Katanya
itu param kocok, warnanya sama coklatnya.
Suatu hari, kebetulan pulang kantor agak cepat, aku melihat
Adit sedang bermain masak-masakan dengan beberapa anak
perempuan di sudut lorong menuju rumahku. Mereka memasak
batu kerikil, pecahan genting, serta gumpalan tanah liat yang
dibulat-bulat. Adit kulihat membuat cairan berwarna coklatkehitaman dan dimasukkannya ke dalam botol bekas Coca-Cola.
Sepertinya itu air comberan yang dicampur sisa cat bekas, karena
kulihat ada beberapa kaleng bekas cat di situ. Ketika kutanya
untuk apa itu, ia menjawab itu pura-puranya minyak untuk
memasak. Syukurlah, tadinya kukira ia sedang membuat CocaCola sendiri.
Aku terhenyak.
Mataku seketika tersangkut pada sebuah buku yang
tergeletak di meja belajarnya. Dari tadi aku melihatnya, tapi tak
menarik perhatianku. Seperti buku pertama yang membikin
masalah itu, sepertinya ini juga buku puisi. Judulnya tak kalah
aneh: Bulan, Datanglah.
"Hus! Ini masih malam, Adit. Tidurlah!"
Anak
itu merebahkan tubuhnya
ke
atas
kasur seraya menutup mukanya dengan bantal. (*)