Anda di halaman 1dari 9

Jangan Biarkan Anakmu Mengail Bintang di Langit

"Hai, mau ke mana, Adit?"


"Mengail bintang di langit, Ayah."
"Hah?"
***

Namanya Adit. Umurnya belum genap sembilan tahun. Ia


anakku yang kedua. Gurunya di sekolah menyebutnya anak yang
aneh.
"Kemarin kita dipanggil wali kelasnya," cerita istriku suatu
hari. Memang selama ini dialah yang menangani urusan apapun
di sekolah anak-anak.
"Ada apa?" tanyaku.
"Gurunya bilang ia sedikit... aneh."
"Aneh bagaimana?"
"Di sekolah ia sering melamun, tidak memperhatikan guru
yang sedang mengajar, bahkan kadang-kadang bergumam
sendiri."
"Apa pelajarannya di sekolah terganggu?" tukasku khawatir.
"Tidak, nilai-nilainya selalu bagus," jawab istriku, jadi kupikir
belum terlalu mencemaskan.
Aku teringat, waktu aku masih SD, ibuku pun sempat
dipanggil ke sekolah gara-gara aku suka bicara sendiri alias
mengkhayal. Guruku bilang, jangan-jangan aku punya bakat sakit
jiwa. Hi hi hi... ibuku pulang sambil mengomel panjang-pendek.

"Masa iya, anakku dibilang sakit jiwa. Itu guru sinting 'kali ya?"
Dan saran untuk membawaku ke psikiater sama sekali tak
dihiraukan, malah aku mendapat dua jeweran di
kuping, danbeberapa hari harus mendengar omelan tentang
jangan bertingkah memalukan orang tua.
Namanya juga anak, wajar kalau tingkah-lakunya tidak beda
jauh dengan bapaknya.
Kali ini pun sama, wali kelas Adit menyarankan kami
berkonsultasi dengan psikolog anak. Bahkan sudah diberikannya
kartu nama psikolog itu dan tarifnya. Bisa pula diundang ke
sekolah untuk konsultasi secara kolektif. Aku mengiyakan saja.
Paling tidak, Bu Guru anakku ini lebih pintar bicara daripada
guruku dulu, buktinya istriku sama sekali tidak tersinggung,
bahkan mau pula keluar uang gara-gara itu.
Gara-gara omongan gurunya itu, aku jadi lebih
memperhatikan tingkah laku Adit. Setiap ada kesempatan di
rumah, walau tidak lama, aku selalu mengamatinya dengan
curiga, kira-kira keanehan apa yang dilakukannya.
Mungkin gurunya betul juga. Setelah kuamat-amati dengan
seksama, anakku sepertinya menunjukkan tanda-tanda keanehan.
Kemarin ia memanaskan sabun colek di atas wajan. Katanya ia
ingin tahu apakah sabun colek itu bisa dipakai untuk
menggoreng, karena warnanya sama dengan margarine. Itu
mengingatkanku pada kejadian sebelumnya, ia menumbuk obat
nyamuk bakar yang berwarna coklat, lalu mencampurnya dengan
air, dan membalurkannya ke kaki adiknya yang keseleo. Katanya
itu param kocok, warnanya sama coklatnya.
Suatu hari, kebetulan pulang kantor agak cepat, aku melihat
Adit sedang bermain masak-masakan dengan beberapa anak
perempuan di sudut lorong menuju rumahku. Mereka memasak
batu kerikil, pecahan genting, serta gumpalan tanah liat yang
dibulat-bulat. Adit kulihat membuat cairan berwarna coklatkehitaman dan dimasukkannya ke dalam botol bekas Coca-Cola.
Sepertinya itu air comberan yang dicampur sisa cat bekas, karena
kulihat ada beberapa kaleng bekas cat di situ. Ketika kutanya
untuk apa itu, ia menjawab itu pura-puranya minyak untuk
memasak. Syukurlah, tadinya kukira ia sedang membuat CocaCola sendiri.

Tapi karena masih curiga ia menyembunyikan ide lain


tentang cairan itu, maka kusuruh anak itu cepat pulang,
meninggalkan permainan dan kawan-kawannya. Aku khawatir ia
akan benar-benar meminum "Coca-cola" yang dibuatnya itu. Hm,
entahlah, jangan-jangan aku sudah jadi paranoid gara-gara
omongan gurunya.
Hari ini aku pulang telat, seperti biasa. Jamaah sholat magrib
baru saja bubar ketika aku lewat di depan musholla dekat
rumahku itu. Hampir aku bertabrakan dengan Adit di depan pintu
ketika anak itu berlari keluar, seperti terburu-buru. Kulihat ia
memegang gelas plastik bekas air mineral, berisi beras hampir
penuh.
"Hai, mau kemana, Adit?" Sergahku sambil menahan
bahunya. Sudah lewat magrib, harusnya ia tidak boleh keluar
rumah.
"Aku mau mengail bintang di langit, Ayah."
"Hah?"
Aku mengernyitkan dahi. Jawaban yang aneh.
"Maksudmu?"
"Mengail bintang... di langit," ulangnya, tidak ada penjelasan
lain selain tangannya yang menunjuk ke atas.
"Ah, mana ada orang mengail bintang? Dan mengapa pula
bawa-bawa beras?"
"Oh, Ayah pasti belum tahu, mengail bintang di langit itu
pakai secanting beras. Itu ada di buku, Yah."
Aku melongo. "Buku apa?"
Adit berlari masuk ke dalam kamar. Aku mengikutinya. Ia
membongkar tumpukan buku-buku dalam tas sekolahnya, lantas
mengambil sebuah buku dengan sampul bernuansa kecoklatan
bergambar pohon besar.
"Kubilang akan mengail bintang di langit dengan secanting
beras...." Adit membacanya dengan irama khas anak SD.
"Mana.... Ayah lihat!" sahutku sambil menyambar buku itu
dari tangannya.
Dentang Kesunyian, begitu judul yang tertulis di sampul
depan. Ah, ternyata ini buku kumpulan puisi. Tidak terlalu tebal,
hanya 100 halaman. Nama penerbitnya tidak kukenal, mungkin
penerbit baru. Juga nama-nama penulisnya yang ada lima puluh
lebih itu, tak satu pun yang pernah kudengar. Ah, memang aku

bukanlah pembaca tulen. Terakhir kali aku membaca puisi sudah


dua puluhan tahun lalu, ketika masih SMP, itu pun terpaksa
karena mengerjakan tugas Bahasa Indonesia.
"Ini kan buku puisi? Apa hubungannya dengan...."
"Baca ini, Yah... yang tentang mengail bintang," sela Adit
sambil menunjuk halaman yang tadi dibacanya.
Puisi itu berjudul Di Langit pun Ada Kapitalisme. Ah, judulnya
saja sudah aneh. Tapi kuteruskan juga membacanya.
Mereka tertawa
waktu kubilang akan mengail bintang di langit
dengan umpan secanting beras
Entahlah,
Apa harus kusediakan sebongkah berlian
untuk menarik bintang-bintang itu turun ke bumi
Baru kutahu,
di langit pun ada kapitalisme.
"Secanting itu seberapa, Ayah?"
Aku terkejut. Ketika sedang tercenung memikirkan makna
puisi itu, pertanyaan Adit mengagetkanku. Secanting? Aku lupa
itu seberapa, sepertinya itu perangkat ukuran jaman kuno.
"Mmm... mungkin sebaskom itu," jawabku asal saja sambil
menunjuk baskom plastik di atas meja.
"Ups, berarti ini kurang," sahut Adit. Ia segera menyambar
baskom plastik itu dan lari ke dapur, tempat ibunya menyimpan
beras.
"Hai, mau kemana?" panggilku.
"Ke lapangan sebelah musholla itu, Ayah. Aku mau mengail
bintang."
"Jangan, ini sudah lewat maghrib."
"Besok libur... kenapa nggak boleh main?" Raut wajahnya
memelas.
"Ya, tapi jangan jauh-jauh, di belakang rumah saja."
"Banyak pohon di belakang rumah, Ayah. Apa bintangbintang bisa melihat umpan ini?"
Huh, seharusnya anak ini kuberi penjelasan, sebesar apa
sebenarnya bintang-bintang itu, dan bahwa tidak mungkin
mengailnya seperti mengail ikan. Puisi itu hanya kiasan, tentu
penulisnya punya maksud lain yang susah dicerna anak SD. Tapi

sayang, waktunya tidak tepat, aku sedang terlalu capek untuk


membicarakan hal itu.
"Ah, coba saja dulu!" kataku akhirnya.
Adit langsung lari ke belakang rumah. Ada sepetak halaman
kosong di sana, cukup lapang untuk bermain anakanak. Masalahnya tidak jauh dari situ ada saluran irigasi yang
kadang-kadang airnya cukup dalam, serta deretan rumpun bambu
yang rimbun di sepanjang tepiannya. Akusudah memagari
halaman belakang itu dengan bilah-bilah bambu, tapi aku tahu
anak-anak bisa menerobosnya.
"Jangan keluar pagar, Adit!" Teriakku memperingatkan.
"Iya, Yah!"
Selesai mandi dan sholat magrib, aku duduk ruang tengah,
menunggu istriku menyiapkan makan malam. Semula aku hendak
membaca koran, tapi kemudian perhatianku kembali terpaut pada
buku puisi yang tadi diperlihatkan Adit. Kubuka-buka lagi buku itu,
penasaran.Ada cap perpustakaan sekolah, berarti Adit
meminjamnya dari sana. Tapi seharusnya ini bukan untuk anak
SD, mestinya petugas perpustakaan memilah buku apa saja yang
boleh dipinjam anak umur sembilan tahun.
Mengail bintang di langit... apa yang dimaksud oleh
penulisnya? Hm, bagi orang dewasa mungkin tak sulit menebak
maknanya. Bintang di langit itu bisa diartikan para petinggi.
Mereka bisa pemerintah, anggota dewan, penegak hukum, atau
yang semacam itu. Mengail bintang? Dengan secanting beras?
Mungkin maksudnya menarik perhatian mereka terhadap
kesengsaraan rakyat kecil, atau bisa juga diartikan menyuap.
Ternyata di langit pun ada kapitalisme....
Di lembaga tinggi negara, misalnya Mahkamah Agung, atau
Mahkamah Konstitusi, yang keputusannya bersifat final dan
mengikat... Ya ampun, final dan mengikat? Seperti firman Tuhan
saja! Harusnya tak boleh ada kesalahan.
Ya, keputusan "langit" tak boleh salah. Tapi bagaimana kalau
ternyata langit bisa disuap? Ketua Mahkamah Kontitusi pun
ternyata bisa disuap. Ternyata dia memang manusia biasa, bukan
malaikat. Kalau tak bisa disuap dengan secanting beras,
bawakanlah segenggam berlian. Kalau tak mempan dengan duit
semilyar, bawakanlah sepuluh milyar. Akhirnya toh takluk juga.

"Ayah! Ayah!" Tiba-tiba Adit menghambur masuk sambil


berteriak-teriak. Aku tersentak. Anak itu pucat-pasi ketakutan
sambil tangannya menunjuk-nunjuk belakang rumah.
"Ada apa, Adit?" tanyaku heran. Adit berusaha menjawab,
tapi suaranya terbata-bata tak jelas. Di luar mulai terdengar suara
gemeretak sambung-menyambung.
"Astaga... Yah! Bambu-bambu itu terbakar!" teriak istriku.
Aku menghambur keluar. Betul, rumpun bambu di tepi
saluran irigasi itu sedang berkobar oleh api yang dengan cepat
menjalar. Sudah hampir enam bulan tidak turun hujan, rumpun
bambu itu memang sedang kering. Aku berteriak mengingatkan
para tetangga. Ini sangat berbahaya. Beberapa rumah di komplek
kami sangat dekat dengan rumpun bambu itu.
Suasana petang yang semula hampir menggelap itu
mendadak berubah heboh. Langit menjadi benderang lagi akibat
kobaran api dari rumpun bambu itu. Orang-orang berhamburan
keluar rumah. Semua membawa ember, timba, gayung, atau apa
saja yang bisa dibawa. Untung masih ada cukup air di saluran
irigasi itu, jadi walaupun sempat cemas, akhirnya api berhasil
dipadamkan.
Beberapa saat setelah api padam, aku masih sempat
mengobrol dengan para tetangga sambil memeriksa kalau-kalau
masih ada sisa bara api. Tidak ada yang tahu bagaimana asal
mulanya timbul api, tapi kebanyakan menduga ada orang
ceroboh membuang puntung rokok atau anak-anak bermain
kembang api di sekitar situ.
Ketika kembali masuk ke rumah, aku terkejut melihat Adit
meringkuk di pangkuan ibunya. Bibirnya gemetar, mukanya
pucat. Ibunya berusaha menenangkannya, tapi kelihatan ia masih
ketakutan. Adiknya yang berumur lima tahun ikut-ikutan
memegangi kaki kakaknya dengan raut muka antara takut dan
bingung.
"Tidak apa-apa, Adit. Apinya sudah padam," ujarku
menghiburnya.
"Aku tidak akan mengail bintang lagi, Ayah," katanya dengan
suara gemetar.
"Oh iya, memang bintang itu tidak bisa dikail begitu saja
seperti...."

"Harusnya aku tidak mengail bintang yang merah!"


sahutnya.
"Maksudmu?"
"Bintang itu jatuh di bambu-bambu, untung bukan di rumah
kita." Ia mengatakan itu sambil menggelengkan kepala, seperti
takut membayangkan sesuatu.
"Adit melihat orang membuang puntung rokok atau anakanak bermain api?" tanyaku untuk meluruskan.
"Bukan Ayah, bintang merah itu jatuh dan menimpa bambubambu!" sahutnya meyakinkan.
"Bintang merah apa?"
"Yang kita lihat kemarin. Bintang yang kutunjukkan pada
Ayah itu... yang merah."
Sejenak aku berusaha mengingat-ingat.... Ah ya, beberapa
hari lalu ketika kami sedang duduk-duduk di beranda rumah, Adit
menunjuk sebuah bintang di langit, lantas bertanya mengapa
bintang itu berwarna merah. Aku tidak tahu mengapa. Soal
bintang-bintang bukanlah urusanku. Tentunya ada orang yang
berwenang mengurusnya, bukan aku. "Bacalah buku IPA-mu,
mungkin ada tertulis di sana," jawabku asal saja. Aku lupa kalau
ia masih kelas 3 SD. Apakah ilmu perbintangan ada di buku
pelajaran kelas 3 SD? Ah, tak tahulah.
"Apa makan malam sudah siap?" tanyaku mengalihkan
pembicaraan. "Adit, makanlah. Sudah itu bobok, ya. Besok
bangun pagi-pagi, kita jalan-jalan."
Adit hanya diam tak bereaksi, tapi adiknya bersorak sambil
meloncat-loncat kegirangan. Aku memang jarang meluangkan
waktu berjalan-jalan dengan anak-anak, walau aku tahu mereka
menyukainya. Kakak Adit yang hampir lulus SD melongok
sebentar dari kamar mendengar sorakan adiknya, lalu kembali
sibuk dengan permainan game online-nya.
Malam ini Adit makan sedikit sekali, itu pun setelah dipaksapaksa ibunya. Aku sempat khawatir dia menjadi stres gara-gara
kejadian tadi. Tapi kekhawatiran itu kukira tak beralasan ketika
kemudian adiknya menghidupkan TV, serial favorit
mereka, Spongebob Squarepants. Kedua anak itu tertawa
terkekeh-kekeh menonton episode yang mungkin sudah ratusan
kali mereka tonton. Syukurlah, kuharap ia sudah melupakan soal
bintang jatuh itu.

"Cari apaan sih?" tanyaku penasaran melihat istriku sibuk


mencari-cari sesuatu.
"Baskom plastik, perasaan tadi kutaruh di sini," jawabnya
sambil menunjuk meja.
Hah, aku jadi teringat. Baskom kecil itu tadi dibawa Adit ke
belakang rumah untuk mewadahi beras. Bergegas aku pergi ke
belakang, jangan-jangan Adit meninggalkannya di sana. Kalau
hilang, pasti aku yang kena marah.
Betul, baskom itu tergeletak di halaman belakang, pasti Adit
meninggalkannya karena lari ketakutan. Tapi yang aneh... tak
sebutir beras pun ada di baskom itu. Juga tak ada bekas
tumpahan beras di sekitarnya. Penasaran, aku mengambil senter
dan menyoroti seluruh sudut halaman belakang rumahku, sampai
ke balik pagar dan rumpun bambu yang masih sedikit
mengepulkan asap itu. Betul-betul tak kutemukan sebutir beras
pun. Kemana anak itu membuangnya?
Aku tak bisa menanyakan pada Adit. Tak ada gunanya
mengungkit-ungkit kejadian yang telah membuat anak itu
ketakutan. Kupandangi langit yang kelam. Jutaan bintang
bertaburan di sana. Aku mencari-cari bintang merah yang
beberapa hari lalu kusaksikan bersama Adit, tapi aku tak
menemukannya. Bintang merah itu tidak ada lagi.
***
Jam sepuluh malam. Aku berada di dalam kamar Adit,
meminjam meja belajarnya untuk mengetik tugas yang kubawa
dari kantor. Aku biasa begitu, karena hanya lampu kamar Adit
yang kami biarkan menyala sepanjang malam. Anak itu memang
tak bisa tidur dengan lampu dimatikan.
Selesai mengetik, laptop kumatikan dan aku bersiap
hendak tidur, ketika kudengar anakku memanggil dengan
berbisik, "Ayah...."
Aku menoleh, kulihat Adit sedang duduk di atas tempat
tidurnya.
"Hai, kamu belum tidur, Adit?"
Raut mukanya aneh, seperti menyimpan pertanyaan besar.
"Ayah...."
"Ya?"
"Kalau kita panggil bulan, apakah ia akan datang?"

Aku terhenyak.
Mataku seketika tersangkut pada sebuah buku yang
tergeletak di meja belajarnya. Dari tadi aku melihatnya, tapi tak
menarik perhatianku. Seperti buku pertama yang membikin
masalah itu, sepertinya ini juga buku puisi. Judulnya tak kalah
aneh: Bulan, Datanglah.
"Hus! Ini masih malam, Adit. Tidurlah!"
Anak
itu merebahkan tubuhnya
ke
atas
kasur seraya menutup mukanya dengan bantal. (*)

Anda mungkin juga menyukai