Stine
Tukar Tubuh
Switched
(Fearstreet # 31)
Sumber: Ebukulawas
Convert & Re Edited by: Farid ZE
Blog Pecinta Buku PP Assalam Cepu
Bagian satu
PERTUKARAN
BAB
1
BAB
2
AKU ikut Lucy ke Fear Street. Hatiku tergelitik oleh perasaan aneh seakan ada
aliran listrik berputar-putar dalam tubuhku.
Apakah dia serius? Benarkah yang dikatakannya? Apakah kami memang akan
bertukar tubuh?
Tanah menjadi agak gelap, lalu terang lagi, ketika gumpalan-gumpalan awan
melintas bergantian menutupi matahari di langit. Cahaya yang berubah-ubah itu
membuat semuanya seperti bukan kenyataan.
Kuceritakan pada Lucy apa saja yang terjadi hari ini. Mengenai kekacauan
hidupku. Mengenai David dan Mr. Frost dan laporan biologi. Mengenai
orangtuaku yang membelenggu hidupku tanpa memberiku kesempatan bernapas.
Ia mengangguk mengerti. Tanpa perlu menimpali.
Ia memakai rok pendek hitam di atas celana ketat kuning. Kaus kuning kutung
memperlihatkan lengan ramping yang pucat sisa musim dingin.
Sepatu kami berkeresak menginjak dedaunan.
Matahari meredup dan pohon-pohon tua Fear Street jadi gelap. Lalu terang
kembali, seperti ada orang memainkan tombol brightness pesawat televisi.
Aku bergidik ketika kami berhenti sebentar memandang rumah tua Simon Fear.
Aku sudah sering mendengar kisah-kisah seram mengenai rumah tua yang terbakar
itu, dan mengenai jalan ini.
"Kenapa tak mereka robohkan saja rumah itu?" komentar Lucy sambil
memicingkan matanya mengurangi ketajaman cahaya matahari yang sekarang
menyorot terang. "Merusak pemandangan saja!"
"Mungkin mereka takut," timpalku lirih.
Kualihkan pandanganku ke seberang jalan, ke tanah pekuburan tua yang dipenuhi
batu-batu nisan tua yang mencuat dari tanah bagaikan gigi yang tumbuh tidak
teratur.
Di balik tanah pekuburan terhampar hutan Fear Street. Pohon-pohon maple dan
birch tua menjulurkan daun-daun musim seminya yang segar, memayungi jalanan,
bagaikan lusinan tangan raksasa.
Aku mengikuti Lucy ke hutan. Cabang-cabang pepohonan tua melengkung
membentuk atap tinggi di atas kepala kami, hanya menyisakan sedikit celah untuk
sinar matahari menembus ke bawah membuat suasana hutan itu kelabu dan
kebiruan, gelap seperti malam.
"Ke mana kita?" tanyaku menahan napas.
Lucy kelihatannya sudah hafal jalan itu. Ia menyisihkan semak-semak berduri yang
menghalangi jalan dengan kakinya, berjalan setengah membungkuk, mengikuti
jalur yang tak terlihat.
"Lucytunggu!" panggilku, mengitari genangan air. "HeiLucy! Tunggu!"
Aku menyusulnya di dekat sebatang pohon tumbang yang sudah berlumut. Ia
memandang ke bawah, kuikuti tatapannya. Ribuan serangga putih kecil bertebaran
di lumut hijau.
"Ih," gumamku. "Jijik."
Lucy mengangguk. Ia mengusap dahi dengan punggung tangannya. Sebetulnya
hari itu tidak terlalu panas, tapi kami berdua berkeringat.
"Ke mana kita?" kuulangi pertanyaanku tadi.
Lucy menunjuk ke depan. "Di sana. Kalau tak salah."
"Apa yang di sana?" tanyaku. "Kenapa kau misterius sekali?"
Ia nyengir. "Ini memang tempat misterius." Digandengnya tanganku. Tanganku
dingin. Tangannya terasa panas dan lembap. "Sudah, jangan tanya-tanya, ikuti saja
aku."
Ia menarikku melangkahi pohon tumbang berlumut itu. Kubayangkan ribuan
serangga kecil putih itu mengerubuti tubuhku. Aku bergidik.
"Memangnya kita benar-benar mau bertukar tubuh?" tanyaku.
Ia memicingkan matanya memandangku. Hidungnya yang lucu itu membuat
wajahnya seperti anak umur dua belas, bukannya tujuh belas. "Kau ingin
melakukannya, kan?" tanyanya perlahan.
Aku mengangguk, teringat orangtuaku, pekerjaan rumahku, David... hidupku yang
berantakan.
Ya, aku ingin kabur. Kabur dari diriku sendiri.
Aku ingin pergi sejauh-jauhnya dari diriku sendiri.
Ya. Ya.
Ya, aku ingin bertukar tempat dengan Lucy. Aku ingin bertukar kehidupan
setidaknya untuk sementara.
Hidup Lucy tidak mudah. Orangtuanya sering bertengkar bagaikan para penghuni
kebun binatang. Mereka tenggelam dalam masalah mereka sendiri, hampir tidak
punya waktu untuk memperhatikan Lucy.
Tapi itu yang kuinginkan, pikirku. Aku akan sangat menyukai kebebasan seperti
itu.
Ya. Ya. Mari bertukar, pikirku.
Hidup Lucy memang tidak mudah. Tapi masih lebih baik dari hidupku.
Dan dia punya Kent. Kent Borden sangat tampan. Pintar. Lucu.
Walaupun Lucy sahabat karibku, aku sering berkhayal membayangkan bagaimana
rasanya berkencan dengan Kent.
Sekarang aku akan tahu, pikirku.
Lucy dan aku akan bertukar tubuh. Dan aku akan tahu rasanya bersama Kent.
Pikiran aneh.
Suasana semakin gelap kelabu, udara terasa semakin berat, semakin dalam kami
masuk ke hutan. Daun-daun kering gemeresik terinjak sepatu-sepatu kami.
"Rasanya di situ tempatnya," kata Lucy, berhenti melangkah untuk mencabut duri
dari rambutnya. "Oh! Tajam!"
Dilemparkannya duri itu ke tanah.
Seekor burung memekik panjang dan nyaring di atas kepala kami. Pekikan sedih
yang membuatku berhenti melangkah.
"Seperti jeritan manusia," kataku. "Seperti orang menangis."
Suara itu terdengar lagi. Aku ragu-ragu, menggigil mendengar pekikan tajam dan
sedih itu.
Wajah Lucy jadi serius. "Jangan jadi pengecut," tegurnya. "Jangan malah jadi
takut. Kau kan ingin melakukannya. Kau tahu kau ingin."
Kutatap dia, aku agak terkejut melihat tiba-tiba dia jadi serius seperti itu.
"Tidak, aku tak takut," kataku perlahan. "Ayo, aku ikut kau."
Burung tadi memekik-mekik di atas sementara kami meneruskan perjalanan
menembus semak-semak. Persis di balik semak-semak melintang sebidang tembok
batu. Tembok yang terbuat dari batu abu-abu itu kira-kira tiga puluh senti lebih
tinggi daripada kepala kami.
"Kakekku yang menceritakan padaku tentang tembok ini," kata Lucy. "Sebelum
meninggal, Kakek memberitahuku di mana tembok ini berada, menceritakan
padaku kenapa tembok ini dibuat dan bagaimana tembok ini sampai mempunyai
kesaktian luar biasa."
Aku menahan napas, menatap ke depan, ke tembok itu. Garis-garis retakan terlihat
pada permukaannya bagaikan garis-garis jalan pada peta. Semen perekat batu-
batunya sudah retak-retak dan rontok.
"Tembok ini pasti sudah tua, ya?" kataku.
Ia mengangguk, menatap lurus-lurus ke tembok itu. "Tak ada yang tahu persis
berapa umurnya."
"Siapa yang membuatnya?" tanyaku sambil menepuk nyamuk yang menggigit
lenganku.
"Tak ada yang tahu juga, kata kakekku, tembok ini disebut Tembok Pertukaran.
Lebih dari seratus tahun lalu, orang-orang jahat datang ke hutan ini dan
menggunakan tembok ini untuk menukar tubuh. Bertukar tubuh dengan orang lain
secara paksa."
Aku ternganga. "Maksudmu mereka memaksa orang lain untuk bertukar tubuh
dengan mereka?"
Lucy mengangguk. "Itulah cara mereka melepaskan diri dari hukuman perbuatan
jahat mereka."
Kutatap tembok itu.
"Wow," gumamku. Aku menoleh ke Lucy. "Dari mana kakekmu tahu tentang
tembok ini?"
"Dari si tua penjaga kuburan Fear Street," sahut Lucy. "Penjaga itu tinggal di
pondok di hutan di belakang pekuburan. Dia tahu semua cerita tua dan legenda
sebagian besar kisah seramtentang hutan ini. Dia tak pernah menceritakannya
pada orang lain, sampai suatu hari bertahun-tahun lalu. Hari itu dia menceritakan
pada kakekku rahasia Tembok Pertukaran ini."
Lucy mengusap batu-batu tembok dengan tangannya. Ketika ia menyentuh
tembok, langit menjadi lebih gelap. Suasana sekeliling kami kelabu tua. Seakan
dengan menyentuh tembok itu Lucy membuat dunia jadi lebih gelap.
Tapi rasanya itu cuma pikiran anehku.
Kuangkat tanganku untuk meraba tembok itu, tapi kutarik kembali sebelum
menyentuhnya.
Lucy mencibir. "Itu cuma batu dan semen, Nicole. Takkan menggigitmu."
"B-bagaimana cara kerjanya?" aku tergagap-gagap. Dadaku tiba-tiba berdegup
kencang. Aku baru sadar sebenarnya aku takut.
"Kakek sudah menceritakan semuanya. Mudah saja," kata Lucy. "Kita naiki
tembok itu dari arah sini. Kita berpegangan tangan. Lalu kita melompat ke
seberang sana. Waktu kita mendarat di seberang tembok..."
"Waktu mendarat kita sudah bertukar tubuh?" selaku.
Lucy mengangguk. "Waktu mendarat kita sudah bertukar tubuh. Kau akan berada
di tubuhku dan aku di tubuhmu. Bila orang melihatku, aku akan terlihat seperti kau
dan semua orang akan mengira aku adalah kau."
Kutatap dia sambil mencerna kata-katanya, lalu kuangkat mataku menatap tembok
kelabu itu.
"Kau benar-benar mau melakukan ini?" tanyaku.
"Ayolah, kita coba saja," katanya. Digandengnya lagi tanganku. Kali ini tangan
kami sama-sama dingin dan lembap.
Ia mengeratkan genggamannya. "Ini mudah saja, Nicole. Satu lompatan sederhana.
Kita coba saja. Harus kita coba."
Ia mengangkat tangannya ke atas tembok. "Dorong aku ke atas," perintahnya.
Kubantu dia naik ke atas tembok. Sampai di atas dia perlu waktu sejenak untuk
menyeimbangkan badannya.
"Atasnya tak rata," katanya. Ia merendahkan tubuhnya, berlutut. "Temboknya
sempit dan retak-retak. Hati-hati, Nicole. Jangan sampai jatuh."
Ia mengulurkan kedua tangannya, membantu menarikku ke atas tembok.
Aku ragu-ragu. Di belakang terdengar lengkingan sedih burung tadi, tinggi di atas
pepohonan.
Apakah itu lengkingan peringatan?
Apakah burung itu ingin memperingatkanku agar tidak meneruskan maksudku?
Burung apa yang suaranya seperti anak perempuan menangis sedih itu?
"Ayo, Nicole," desak Lucy sambil menggerak-gerakkan tangannya tidak sabar.
"Cepat. Susah menyeimbangkan badan lama-lama di atas sini. Lututku sudah sakit
kena ujung batu."
Kuabaikan lengkingan burung itu dan kupegang tangan Lucy. Ia menarikku ke
atas. Lututku lecet tergeser pinggiran tembok. Tapi aku berhasil naik ke sebelah
sahabatku.
Kami istirahat sejenak sambil berlutut, mengembalikan napas.
Lalu kami bersama-sama, perlahan-lahan, dengan hati-hati, bangkit berdiri
menghadap ke seberang.
Entah mengapa, aku membayangkan akan melihat pemandangan yang berbeda di
seberang sana. Jenis pohon yang berbeda. Langit yang berbeda. Sebuah rumah.
Atau yang lainnya.
Tanda-tanda bahwa semua di seberang tembok akan berubah.
Tapi ternyata apa yang kulihat di seberang tembok sama saja dengan yang di
seberang sini. Hutan gelap.
Lututku mulai gemetar ketika kupegang tangan Lucy.
Bisakah aku melakukan ini? tanyaku pada diri sendiri. Bisakah aku benar-benar
melakukan ini?
Satu lompatan sederhana, aku mengingatkan diriku sendiri. Cuma itu saja. Satu
lompatan sederhana.
Dan hidupku akan berubah.
Lucy dan aku saling memandang. Kulihat ketakutan di matanya yang hijau. Aku
yakin dia pun melihat ketakutan di mataku.
Seolah-olah kami sudah saling bertukar rasa takut sebelum melompat berbarengan
dari atas tembok. Sepertinya pertukarannya sudah mulai.
Dadaku berdegup kencang sampai aku susah bernapas. Keringat dingin mengaliri
pipiku.
Kugenggam tangan Lucy. Kugenggam erat-erat.
Aku melihat ke bawah tembok. Tidak terlalu tinggi. Rumput tebal di bawah
tembok.
"Siap?" tanya Lucy pelan.
"Siap," jawabku tanpa ragu-ragu.
Kueratkan genggamanku. Aku menarik napas panjang.
Dan kami melompat.
BAB
3
KEDUA kakiku menumbuk tanah dengan keras. Rasa sakit terasa sampai ke mata
kaki, dan aku jatuh berlutut.
Rasa sakit merambat naik dengan cepat melalui tungkai, ke dada, sampai ke
kepala. Seluruh hutan seakan berubah warna menjadi merah tua.
Sambil terengah-engah, aku menggeleng untuk mengusir rasa sakit, lalu bangkit
berdiri.
Berhasilkah? Betulkah lompatan tadi menukar tubuh kami?
Aku menoleh ke Lucytapi dia tidak ada. "Lucy?"
Aku menatap diriku sendiri.
Mulutnyamulutku ternganga ketika ia membalas menatapku.
Aku menunduk meneliti diriku sendiri. Aku mengenakan pakaian Lucykaus
kuning kutung, rok hitam pendek di atas celana ketat kuning.
"Oh, wow!" gumamku. Kuraba wajahku.
Kupegang-pegang hidungku. Hidung kecil si Lucy. Kuusap kepalaku, buntut
kudaku. Rambut Lucy. Bukan rambutku.
Aku Lucy, pikirku.
Aku Nicole di dalam tubuh Lucy.
Kami mulai terkekeh-kekeh. Saling memandang dengan terbelalak, tidak percaya
pada penglihatan kami. Berpandangan dan terkekeh-kekeh.
Tidak ada yang bicara.
Lalu kami mulai tertawa. Memiringkan kepala ke belakang dan terbahak-bahak ke
arah langit.
Aku merasa pusing. Aku merasa sinting. Aku merasa tak terkendali.
Air mata kegembiraan menggenang di mataku. Melalui genangan air mata aku
menatap diriku. Menatap Lucy di tubuhku. Rasanya tidak seperti melihat melalui
cermin. Aku baru menyadari aku belum pernah betul-betul melihat diriku sebelum
ini.
Belum pernah sebelumnya aku bisa melihat lesung pipiku bila aku tertawa. Tidak
kusadari sebelumnya mulutku agak miring.
Belum pernah kulihat bagaimana rambutku yang panjang berombak berkilauan
jatuh ke punggung melewati bahuku. Bagaimana rambut itu melambai setiap kali
kugerakkan kepalaku.
Aneh, rasanya aneh sekali. Aku berada di luar diriku. Aku berada di luar tubuhku
memandang diriku.
Sekarang aku Lucy, memandang Nicole.
Kulihat Nicole menyentuh pipi, kukunya panjang-panjang dicat merah.
Kami masih tertawa-tawa dengan air mata mengalir di pipi kami.
Dan tiba-tiba kami berpelukan, saling mendekap erat-erat. Tertawa-tawa sambil
berdekapan. Tertawa dan menangis bersamaan.
Kami mulai berputar-putar. Sambil berpegangan tangan dengan riang kami menari
berputar-putar.
Berputar-putar semakin cepat. Nicole dan Lucy. Lucy dan Nicole. Nicole jadi
Lucy, Lucy jadi Nicole. Berpusar-pusar bersama. Bersama, bukan sendiri-sendiri.
Berkitar-kitar dalam lingkaran kami sendiri.
Berputar dan tertawa. Senang sekali.
Dan berhenti mendadak seperti lompatan yang memulai semua ini tadi. Dan kami
jatuh terduduk di atas rumput hangat, terengah- engah. Dan saling memandang
dengan wajah serius.
Rasa pusing hilang dan kami mulai menyadari apa yang telah kami lakukan.
Kami telah melompat lebih dari sekadar dua meter. Kami telah melompat ke
kehidupan baru. Bertukar kehidupan.
Lucy mulai menyanyi. "Dum dum-dum-dum-dum-dum-dum-dum." Kukenali lagu
tema The Twilight Zone.
Aku tertawa. "Benar," kataku. "Kita melangkah ke Twilight Zone!"
"Kita tak boleh cerita pada siapa pun," kata Lucy, suaranya berbisik. "Jangan cerita
pada siapa-siapa, Nicole."
"Panggil aku Lucy," kataku. "Aku jadi kau sekarang. Panggil aku dengan
namamu."
Ia ragu-ragu. "Aku masih merasa diriku Lucy," katanya. "Walaupun aku kelihatan
seperti Nicole sekarang."
"Kau benar," kataku. "Kita jangan cerita pada siapa pun. Lagipula takkan ada yang
mau percaya. Kita jalani hidup masing-masing beberapa lama..."
"Dan kalau kita sudah bosan," potong Lucy, "kita bisa kembali ke sini. Dan kita
bertukar lagi."
"Ya," aku setuju tanpa berpikir panjang. Lalu rasa bersalah menerpaku.
"Kenapa?" tanya Lucy. Pasti dia melihat perubahan wajahku.
"Aku takkan ingin bertukar balik," kataku. "Hidupku sangat kacau. Rasanya
rasanya kau yang rugi dengan pertukaran ini, Lucy.
"Nicole, jangan pikirkan itu," sahutnya. "Menurutku..."
"Tapi orangtuaku parah betul!" seruku. "Mereka seperti anjing penjaga. Selalu
mengawasi, selalu menungguku melakukan kesalahan. Dan... dan David..." .
"Kenapa David?" tanya Lucy pelan
"Aku sudah bilang, dia putus denganku," sahutku.
"Jadi kau tak punya pacar."
Ia tersenyum dan mengusap rambutnya yang cokelat panjang ke belakang dengan
tangan berkuku merah mengilat.
"Mungkin aku akan mencoba merebutnya kembali," katanya.
"Dan sekarang aku punya Kent," aku meneruskan, masih dipenuhi rasa bersalah.
"Kent cowok hebat. Bagaimana perasaanmu, Lucy? Bagaimana perasaanmu kalau
aku pergi dengan Kent?"
Ia mengangkat bahu. "Nicole, ide ini datangnya dariku, ingat? Aku tahu persis apa
jadinya."
Kubuka mulutku untuk menjawab, tapi tidak ada lagi yang bisa kukatakan. Langit
di atas pucuk-pucuk pepohonan bertambah gelap. Matahari sore mulai merendah.
Angin hangat membuat dedaunan berdesir dan berbisik-bisik di sekeliling kami.
"Pulang yuk," ajak Lucy.
"Ibuku pasti akan menunggumu di depan pintu," kuperingatkan dia. "Kau harus
siap-siap punya alasan bagus."
"Gampang, aku kasih tahu saja kalau aku telat pulang karena habis melompat dari
tembok dan bertukar tubuh," kata Lucy sambil nyengir. Lesung pipiku ikut
tersenyum. Ia menggerakkan kepala melambaikan rambut cokelatku sambil
tertawa.
Kami sama-sama tertawa. Aku masih agak pusing seperti orang mabuk.
Kuregangkan lenganku ke atas kepala. Aku berjalan beberapa langkah di rumput
dengan tubuh baruku.
Rasanya canggung. Gerakan tungkainya terasa berbeda. Kakinya lebih kecil. Perlu
usaha untuk berdiri tegak, untuk mencegah kepala tertunduk.
Seharusnya melangkah itu merupakan gerakan wajar, pikirku. Tapi aku belum
terbiasa dengan tubuh ini.
Beberapa langkah lagi. Aku menengok ke tembok tadi. Di bawah cahaya yang
mulai suram tembok itu hanya terlihat sebagai bayangan kelabu. Bagaikan awan
gelap di atas rumput. Kalau tidak kupicingkan mataku, aku takkan bisa melihatnya.
Seakan-akan tembok itu tidak ada.
Lucy dan aku tidak banyak bicara dalam perjalanan dari hutan ke jalan. Rasanya
kami masing-masing sibuk berpikir sendiri, berpikir tentang hidup baru kami,
membiasakan diri dengan tubuh baru.
Beberapa menit kemudian kami keluar ke Fear Street. Rumah tua Fear menjulang
bagaikan makhluk gelap di latar belakang langit kelabu. Kulihat dua kucing dekil
berlarian di sela-sela barisan batu nisan di kuburan.
Kami berjalan tanpa bicara. Kira-kira satu blok dari rumahku kami berpisah.
"Daah!" seruku.
"Daah," sahutnya. Ia melambai padaku, lalu berlari-lari kecil menyeberang jalan.
Aku berdiri menatapnya. Rasanya aneh melihat diriku berlari menjauh.
Kuperhatikan Lucy sampai hilang di balik pepohonan. Lalu aku berbalik dan
berjalan ke arah rumah Lucy di Canyon Drive.
Bisakah aku mengelabui orangtua Lucy? pikirku.
Bisakah aku membuat Mr. dan Mrs. Kramer mengiraku sebagai anak mereka?
Dan bagaimana dengan teman-teman Lucy, bisakah mereka kukelabui? Bisakah
aku mengelabui Kent? Bisakah aku mengelabui teman-temanku sendiri?
Begitu banyak pertanyaan di benakku sementara aku berdiri bimbang di depan
rumah Lucy, memandang rumah kayu bercat putih itu.
Ingat, Nicolekuingatkan diriku sendiri jangan menyindir. Lucy tidak pernah
bicara menyindir. Kau yang suka menyindir. Lucy manis dan serius.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu melangkah ke rumah. Pintu depan setengah
terbuka. Aku membuka pintu kasa lalu melangkah masuk.
"Hai! Aku sudah pulang!" aku berseru. "Maaf aku terlambat!"
Tak ada jawaban.
Mobil ada di depan rumah. Mr. dan Mrs. Kramer pasti ada di rumah.
"Di mana kalian?" panggilku.
Aku menuju ke ruang keluarga.
Tapi terhenti di ambang pintu dengan teriakan tertahan.
Kukedipkan mataku beberapa kali, tapi pemandangan mengerikan itu tak juga
pergi.
Kugenggam pinggiran pintu dengan kedua tanganku, mataku terbelalak ketakutan
menatap genangan darah dan tubuh-tubuh yang tersayat-sayat di lantai.
Lalu aku menjerit sekuat tenaga.
BAB
4
BAB
6
Si Pembunuh
BAB
7
BAB
8
BAB
9
BAB
10
BAB
14
BAB
15
BAB
17
BAB
18
***
Bus ke Conklin baru berangkat pukul dua siang. Lalu sopirnya harus berhenti
mengganti ban yang kempes beberapa kilometer di utara Waynesbridge.
Sementara bus berguncang-guncang di jalan luar kota yang sempit dari satu kota
pertanian kecil ke kota pertanian kecil lain, aku mulai gugup dan semakin gugup.
Apa yang harus kukatakan pada Nenek Carla?
Tentu saja aku harus berpura-pura jadi Lucy. Dia takkan mengerti kalau
kuceritakan pertukaran tubuh kami. Dan dia begitu renta, aku tidak ingin
membuatnya terguncang hebat.
Maka aku akan pura-pura jadi Lucy. Dan aku akan tanya apakah Nicole datang ke
sana.
Lalu setelah itu? tanyaku pada diri sendiri.
Apa yang akan dilakukan Lucy ketika tahu aku berhasil mengejarnya? Apakah dia
akan lari lagi? Ataukah dia akan mencoba membunuhku juga?
Sahabat karibku...
Sambil menatap kehijauan tanah-tanah pertanian yang terhampar sambung-
menyambung sampai ke kaki langit, aku berpikir tentang Lucy, sahabat karibku.
Sahabat karibku. Sahabat karibku.
Kata-kata itu kuulang berkali-kali dalam hati sampai kehilangan arti.
Tanah pertanian Nenek Carla terletak tidak sampai setengah kilometer dari halte
bus Conklin. Kuperhatikan bus menggelinding pergi, lalu aku mulai berjalan di
bahu jalan yang ditumbuhi rumput hijau tebal.
Bunga-bunga liar tumbuh di bidang tanah di sebelah kiriku. Rumput-rumput tinggi
melambai-lambai tertiup angin sepoi-sepoi.
Sekelompok agas beterbangan naik bagaikan asap keperakan di depanku. Tanpa
bersuara, agas-agas ituribuan jumlahnyaterbang berpusar-pusar, bagaikan
angin puting beliung.
Aku melangkah ke badan jalan untuk menghindari mereka. Beberapa saat
kemudian gudang Nenek Carla terlihat. Dulunya gudang itu dicat putih. Aku ingat
bagaimana gudang itu berkilauan di bawah sinar matahari ketika aku dan Lucy
berlari masuk ke sana untuk bermain mendaki tumpukan jerami. Tapi sekarang
catnya sudah pudar dan mengelupas, warna papannya yang gelap mengintai dari
celah-celah lapisan cat.
Di belakang gudang terletak rumah pertanian tua itu. Putih, bertingkat dua, rumah
itu terasa besar sekali ketika aku dan Lucy masih kecil. Tapi sekarang terlihat
kecil, kuno, dengan beranda belakangnya yang terbuka dan jendela-jendelanya
yang tertutup rapat.
"Lucy, ada di situkah kau?" gumamku ketika aku melangkahi pagar rendah dan
berjalan menembus rerumputan tinggi menuju halaman belakang rumah.
"Lucy, aku datang. Aku tahu kau akan kutemukan di sini."
Aku melangkah ke beranda belakang, lantai papan tua berderik-derik terinjak
sepatu kets-ku. Aku menuju ke dapur. Dan mengetuk pintunya keras-keras.
Bagian Tiga
Berkumpul Lagi
BAB
19
BAB
20
AKU kembali ke dapur. Yang pertama kali terpikir olehku adalah lari. Lari jauh-
jauh dari sini, dari tanah pertanian ini.
Tapi aku berhenti, berdiri mematung di gang.
Aku sudah lari sampai sejauh ini. Dan aku sudah lari terlalu lama.
Aku tak bisa terus-terusan lari.
Aku harus mendapatkan kembali tubuhku. Aku harus mendapatkan kembali
kehidupanku.
Aku masuk ke ruang duduk tepat saat Nenek Carla menaruh pesawat telepon. Ia
menoleh, kaget. "Oh...!"
Aku menyerbunya dengan marah, kedua tanganku terkepal. "Kenapa?" tanyaku
dengan suara bergetar.
Ia menatapku tanpa bicara. Kulihat rasa takut di matanya.
"Kenapa?" kuulangi pertanyaanku. Tubuhku mulai bergetar menahan marah. Aku
mulai kehilangan kendali.
"Tenang saja. Aku telepon minta bantuan," jawabnya. Ia mencoba mundur
menjauhiku, tapi kuikuti. Saat itu dia terlihat lebih kecil dan lebih lemah lagi,
makin kelihatan seperti burung.
"Akuaku percaya pada Nenek!" jeritku. "Aku selalu percaya pada Nenek.
Kenapa Nenek telepon mereka? Kenapa Nenek tak mau membantuku?"
Mata birunya menatapku. "Ayo duduk, kita bicara, ya?" ajaknya.
Duduk dan menunggu polisi menangkapku? Dan menahanku untuk pembunuhan
yang tidak kulakukan?
Ajakannya yang lemah lembut justru membuatku makin marah.
"Aku ke sini mau cari Nicole," kataku pada wanita tua itu sambil mengertakkan
gigi. "Nicole di sini, kan? Ya atau tidak?"
Nenek Carla tidak menyahut. Ia menggigit bibir bawahnya. Bibirnya sudah pucat
tak berwarna, sepucat wajahnya.
Matanya melirik ke jendela ruang duduk. Aku tahu ia menunggu datangnya mobil
polisi.
Kuulurkan tanganku, kusambar kedua lengannya. "Katakan saja di mana Nicole,"
pintaku. "Tolongkatakan di mana dia, lalu aku akan pergi. Aku janji akan pergi
dan takkan kembali ke sini."
Pasti aku mencengkeram lengannya terlalu keras. Nenek Carla meringis kesakitan.
Kulonggarkan cengkeramanku, tapi tidak kulepaskan sama sekali.
Aku merasa, kalau kulepaskan cengkeramanku, ia akan menyelinap hilang. Lenyap
begitu saja. Meninggalkanku sendirian menghadapi polisi.
"Aku tak tahu di mana dia," sahut Nenek Carla, matanya masih tetap melirik
jendela.
"Kenapa Nenek tidak terus terang saja?" jeritku.
Rasanya kudengar bunyi ban mobil di kerikil. Kulepas lengan kurus lemah itu.
Kuputar tubuhku.
Aku tidak punya pilihan. Aku harus lari. Nenek Lucy takkan menolongku
walaupun ia mengira aku Lucy.
"Tunggu! Kembali!" serunya memanggilku ketika aku lari ke belakang. "Tunggu!"
Tidak kuhiraukan panggilannya. Kudorong pintu dapur, lalu aku meloncat ke luar,
ke halaman. Angin lembut meniup tanaman jagung di ladang di belakang gudang.
Aku menoleh ke kiri, lalu ke kanan, mencari tempat sembunyi. Aku tahu tidak bisa
lari jauh. Aku terlalu capek. Aku terlalu lelah. Tidak sanggup lagi lari jauh-jauh.
Mataku terhenti di sumur batu tua di kanan gudang. Airnya sudah tercemar. Sumur
itu sudah bertahun-tahun tidak dipergunakan.
Bisakah aku sembunyi di dalamnya? Bergantungan di celah-celah dinding
batunya?
Atau dengan merentangkan kedua tanganku menekan dindingnya keras-keras?
Tidak. Aku tak berani.
Bagaimana kalau aku jatuh? Tercebur ke air kotor? Aku akan terbenam sebelum
sempat tertolong.
Bisakah aku sembunyi di ladang jagung?
Mungkin untuk beberapa saat. Tapi tanaman jagung itu tidak setinggi aku. Aku
harus membungkuk dan merangkak. Dengan mudah polisi akan menemukanku.
Ladang terbuka tidak bisa lama-lama menyembunyikanku.
Kudengar pintu mobil ditutup. Di samping rumah.
Bunyi itu memaksaku bergerak.
Aku lari menembus rerumputan tinggi ke gudang. Aku tidak punya pilihan.
Mereka akan menggeledah gudang. Tapi banyak tempat sembunyi di dalam. Aku
bisa membenamkan diriku di tumpukan jerami. Atau masuk ke lemari peralatan di
belakang tempat penyimpanan traktor.
Kudengar sekali lagi pintu mobil ditutup. Bunyi itu seakan menyengatku,
menegangkan otot kakiku, membuat jantungku berdegup kencang.
Dengan lari secepat mungkin aku masuk ke gudang. Kakiku tergelincir jerami
yang berserakan di lantai gudang. Aku berhenti sebentar, membiasakan mataku
dengan kegelapan di dalam gudang.
Hawa terasa sejuk. Aku menarik napas dalam-dalam. Sekali lagi. Udara terasa
manis.
Banyak kenangan melintas di depan mataku, dipicu oleh bau gudang yang sangat
kukenal ini. Begitu banyak hari-hari menyenangkan, begitu banyak saat-saat
menyenangkan.
Kutahan isak tangisku.
Aku tahu tak ada waktu untuk bernostalgia. Cahaya kelabu menerobos masuk dari
jendela kotor di atasku. Di bawah cahaya remang-remang itu kulihat ikatan-ikatan
jerami ditumpuk-tumpuk tinggi di dinding gudang.
Aku bisa sembunyi di balik tumpukan jerami itu, pikirku.
Tapi pasti itu tempat pertama yang akan mereka periksa.
Aku maju lagi beberapa langkah lebih dalam. Aku berhenti ketika terdengar bunyi
gemeresik. Bunyi gesekan jerami kering.
Langkah kaki?
Bukan. Mungkin tikus gudang, pikirku. Mataku mencari-cari tempat sembunyi.
Kulihat traktor tua Nenek Carla yang sudah berkarat di sudut. Aku bisa menyelinap
di belakang traktor, pikirku, meringkuk di balik ban belakangnya yang besar.
Tapi dengan mudah mereka akan menemukanku di sana.
Tumpukan jerami tetap tempat paling baik, pikirku. Setidaknya saat ini. Jerami itu
akan menyembunyikanku untuk sementara. Dan aku bisa mengintai polisi yang
sedang mencariku dari baliknya.
Jerami kering di lantai gemeresik terinjak sepatuku ketika aku berjalan ke
tumpukan jerami itu. Aku menyelinap ke balik tumpukan yang paling tinggi.
Dan membentur seseorang yang sedang sembunyi di sana.
"Oh!" tanpa bisa kutahan aku memekik kaget.
Lalu kukenali siapa dia.
"Lucy!" jeritku. "Kau di sini!"
BAB
21
IA ternganga menatapku.
Kami berpegangan.
Tadinya aku sangat marah padanya. Tapi heran, sekarang aku senang melihatnya.
Perburuan telah berakhir, pikirku. Tak perlu lagi aku lari.
Di bawah cahaya kelabu dari jendela di atas, kuperhatikan dia. Kuteliti wajahku.
Tubuhku.
Ia memakai baju lengan panjang biru tua dan celana pendek putih. Pakaianku.
Rambut cokelatnya terurai melewati bahunya.
Kulingkarkan lenganku ke pinggangnya dan kupeluk dia erat-erat.
Kulepas pelukanku ketika dia tidak bereaksi, tidak membalas memelukku.
"Kau di sini," kataku lagi. "Akhirnya kutemukan kau."
Ia menyipitkan matanyamatakumemandangku.
Dia masih belum mengucapkan apa-apa.
Aku masih dibanjiri emosi. Lusinan emosi sekaligus.
Aku marah, lega, senang, dan bingung campur aduk.
"Lucykenapa?" akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutku. "Kenapa
kaulakukan semua itu? Kenapa mereka... kaubunuh? Dan kenapa kau lari dariku?"
Ia menunduk. "Tak bisa kujelaskan," bisiknya.
"Kau harus menjelaskannya!" jeritku. Dari balik tumpukan jerami aku mengintai
pintu gudang. Tidak ada tanda-tanda polisi masuk ke gudang. Belum.
"Kau harus menjelaskannya, Lucy!" kuulangi dengan suara bergetar. "Dan kita
harus bertukar tubuh."
Ia menjawab dengan bergumam. Aku tidak bisa mendengar apa yang
dikatakannya. Ia masih mengelak dari tatapanku.
"Aku mau kaukembalikan tubuhku," desakku. "Aku mau kita bertukar tubuh lagi
sekarang! Kau dengar?"
Akhirnya ia mengangkat wajah, menatapku dengan pandangan sedih dan dingin.
"Kita tak bisa saling mengembalikan tubuh," katanya pelan.
"Hah? Kenapa tak bisa?" tanyaku marah.
"Aku bukan Lucy," sahutnya. "Lucy bertukar tubuh denganku siang tadi. Namaku
Nancy."
BAB
22
BAB
23
BAB
24
BAB
25
"LUCY! Lucy!"
Aku bahkan tidak sadar meneriakkan namanya.
Aku membungkuk di bibir sumur, menengok ke dalam sumur, jauh, jauh, ke dalam
kegelapan.
"Lucy! Lucy!"
Sumur itu sangat dalam, sangat gelap.
Aku tidak bisa melihatnya. Tapi bisa kudengar cebar-ceburnya panik, kudengar
teriakan-teriakan ketakutannya.
Aku bisa membayangkan dia mengayun-ayunkan tangan dan kakinya berusaha
agar tidak tenggelam. Aku bisa membayangkan wajahnya tegang ketakutan
megap-megap menghirup udara.
Airnya pasti dingin dan kotor sekali.
Aku bisa membayangkan tangannya menggapai dinding batu mencari pegangan.
Tergelincir lagi. Terlepas lagi.
Menggapai dan tergelincir. Memegang dan terlepas.
"Lucy! Lucy!"
Kudengar ia meronta-ronta, kudengar cebar-cebur air, sementara ia berusaha agar
tidak tenggelam.
"Tolong aku! Nicole!"
Suaranya terdengar bergema bagai dari dalam gua. Jauh. Jauh sekali.
Hanya sekali itu dia berteriak memanggil.
"Lucyaku di sini! Lucyberenang terus! Lucyjangan menyerah!" Sambil
membungkuk di bibir sumur, menatap ke dasar sumur, aku berteriak.
Tapi suaranya tidak terdengar lagi.
Dan bunyi cebar-cebur berhenti beberapa saat kemudian.
Dan aku masih menatap ke dasar sumur, merasakan dinginnya batu dinding sumur
di pinggangku, membungkuk lebih dalam, mendengarkan, mendengarkan.
Mendengarkan kesunyian yang mencekam.
Mendengarkan tenggelamnya.
Tenggelam membawa tubuhku.
Sahabat karibku. Tenggelam di dasar sumur tua dengan membawa tubuhku.
Aku terisak sementara tangan-tangan kuat memegang bahuku. Kent menarikku
menjauh dari sumur. "Kentdiadia...," isakku.
Ia memegangku erat-erat. Menarikku. "Aku tahu," bisiknya. "Nicole, aku tahu."
"Aku gagal menolongnya," isakku, seluruh tubuhku mulai gemetaran. "Aku tak
berhasil menolongnya, Kent. Aku tak melakukan apa-apa untuknya. Sama sekali."
"Aku tahu," katanya. "Aku tahu."
Ia memelukku erat-erat dan membimbingku menuju ke rumah.
Kami sedang menyeberangi halaman ketika Lucy melangkah keluar dari belakang
semak-semak tinggi.
Rambutnya jatuh ke bahu, basah dan lengket berlumpur. Pakaiannya basah kuyup,
celana pendek tenis putihnya penuh lumpur.
Mulutku ternganga. Kucoba memanggil namanya, tapi suaraku tak mau keluar.
Lututku gemetar, kakiku lemas, dan aku hampir jatuh ke tanah. Tapi Kent
memegangiku erat-erat, seakan-akan ia sendiri berpegangan agar tidak jatuh.
Dengan pelan-pelan dan hati-hati Lucy melangkah menghampiri kami. Kedua
tangannya menyibakkan rambut basah dari wajahnya.
Di bibirnya yang pucat tersungging senyum paling aneh. Senyum puas. Senyum
kemenangan.
"Lucy...!" akhirnya aku bisa bersuara. "Lucybagaimana kau bisa keluar?"
Aku ingin lari mendekat, memeluknya, menjerit gembira.
Tapi senyumnya yang dingin membuatku terhenti.
"Kaukau bisa keluar! Kau di sini!" seruku.
Matanya menatapku. Tanpa bicara sepatah kata pun.
Tubuhku tak apa-apa, pikirku.
Pikiran memalukan, aku tahu. Harusnya keselamatan temanku yang kupikirkan.
Tapi dengan memandangnyamemandang tubuhkumau tak mau aku
memikirkan tubuhku.
Mau tak mau aku memikirkan tubuhku. Aku berpikir, Masih ada kesempatan aku
dan Lucy saling bertukar tubuh kembali. Masih ada kesempatan aku mendapatkan
kembali tubuhku dari Lucy.
Ia bergerak cepat.
Terasa olehku tangan Kent lepas dari bahuku ketika Lucy menubruk maju.
Kent berteriak terkejut ketika Lucy menangkap kepalanya dengan dua tangan.
"Kita bertukar, Kent," kata Lucy, suaranya tegang. "Kita bertukar, oke?"
Kent mencoba mundur.
Tapi Lucy terlampau kuat baginya.
Sambil memegang erat-erat kepala Kent, Lucy memuntirnya keras-keras,
merenggutnya lepas dari bahunya dengan satu tarikan kuat.
BAB
26
TERDENGAR bunyi seperti barang robek ketika Lucy merenggut lepas kepala
Kent.
Mata Lucy bersinar-sinar, senyumnya melebar di wajahnya, diacungkannya kepala
Kent tinggi-tinggi.
Aku menjerit panjang dan seram, tidak percaya pada penglihatanku sendiri.
Kupejamkan mataku.
Aku tidak sanggup melihat kepala tak bernyawa itu, membeku selamanya dengan
mata melotot ketakutan. Aku tidak sanggup memandang senyum sadis Lucy.
"Ayo bertukar!" jeritan nyaring Lucy melengking di malam gelap bagaikan sirene.
"Ayo bertukar! Ayoayo bertukar!"
Mataku tetap kupejamkan. Aku tidak ingin membukanya lagi.
"Ayo bertukar!" jerit Lucy. "Ayo, Nicole! Kau bertukar kepala dengan Kentlalu
aku bertukar denganmu!"
Tawanya yang bernada tinggi membuat seluruh tubuhku gemetaran.
Beberapa saat kemudian kudengar bunyi pintu mobil ditutup.
Kubuka mataku, kulihat dua lelaki keluar dari mobil hitam dan lari menyeberangi
rerumputan tinggi. Dua lelaki berjas kelabu.
Polisi Shadyside.
Mereka lari ke sampingku. Masing-masing menangkap sebelah lenganku.
Pegangan mereka kencang tapi tidak menyakitkan.
Jantungku berdebur tak keruan. Napasku tertahan di kerongkongan. Aku tak
mampu bicara, tak mampu menjeritkan rasa takutku.
Kucari Lucy dan Kent dengan mataku. Tapi mereka telah lenyap.
Terdengar satu mobil lagi mendatangi rumah Nenek Carla. Aku menoleh. Mobil
itu penuh orang.
Keempat pintunya terbuka berbarengan. Kulihat orangtuaku keluar dari mobil dan
melihat ke arahku. Lalu kulihat orangtua Lucy.
Tidak mati? Mr. dan Mrs. Kramertidak mati?
Lalu Kent keluar dari kursi belakang.
Mereka segera merubungiku, semua bicara bersama-sama.
Kedua lelaki berjas kelabu itu melangkah mundur ketika Mom memelukku,
merangkulku erat-erat, menangis, bahunya terguncang- guncang. Terasa olehku air
mata ibuku yang hangat mengaliri wajahku.
"Nicole, Nicole," bisiknya menyebut-nyebut namaku, menekankan pipinya ke
pipiku.
Setelah ia melepaskanku, ganti ayahku yang memelukku.
Kedua lelaki berjas kelabu itu berdiri tegang di sampingku.
Sambil berkedip-kedip membuang air mata, aku mencoba mengusir kebingungan
di benakku. Kupandang Mr. dan Mrs. Kramer serta Kent.
Tidak mati.
Tidak dibunuh.
Mereka masih hidup.
Lalu kulihat Nenek Carla di tengah mereka.
"Kami minta maaf," Mom berkata padanya. "Kami betul-betul minta maaf Nicole
datang mengganggu ke sini. Kami kira Nicole sudah sembuh. Kami kira Nicole
sudah melewati saat-saat itu."
Melewati saat-saat itu?
Apa maksud Mom?
"Keadaan Nicole sudah membaik setahun belakangan ini," kata Mom pada Nenek
Carla. "Tak ada lagi mimpi-mimpi aneh. Tak ada halusinasi. Tak ada masalah jati
diri."
Kugoyangkan kepalaku berkali-kali, kucoba menjernihkan otakku. Aku ingin bisa
mengerti apa yang dikatakan Mom, tapi sulit sekali.
Aku menoleh ke samping, kulihat Dad bicara pada Kent. "Kent, terima kasih telah
memberitahu kami tentang Nicole," kata Dad. "Dan kau baik sekali mau
menyusulnya ke sini. Kami sudah minta tolong dua dokter ini dari rumah sakit
untuk mencari Nicole." Dad menunjuk kedua lelaki berjas kelabu itu. "Tapi kami
takkan menemukan Nicole tanpa bantuanmu."
Dari rumah sakit?
Mereka bukan polisi?
Kent menggumamkan sesuatu, matanya memandang ke tanah. Aku tidak
mendengar apa yang dikatakannya.
Mereka semua bicara berbarengan. Sulit sekali mengikuti pembicaraan mereka.
Kulihat Nenek Carla menggeleng-geleng. "Kasihan, Lucy sudah meninggal tiga
tahun lalu," katanya sedih. "Kecelakaan mobil yang mengerikan...," suaranya
mengambang. Lalu dia menghela napas.
"Nicole mulai mendapat halusinasi segera setelah Lucy meninggal," Mom
menjelaskan padanya. "Dia mulai melihat kematian-kematian mengerikan. Semua
hanya ada di benaknya. Tapi semua itu seakan nyata baginya."
"Ck, ck, ck." Nenek Carla menggeleng-geleng sedih.
Ibuku meneruskan, "Setelah Lucy meninggal, Nicole mulai suka bicara sendiri,
seakan-akan bicara dengan Lucy. Dan kadang-kadang... kadang-kadang..."
Kata-kata Mom tertahan di kerongkongan. Ia menelan-nelan ludah, melonggarkan
kerongkongannya yang tersumbat. "Bahkan kadang- kadang Nicole bersikap
seolah-olah dia Lucy," katanya pada Nenek Carla.
"Dia belum bisa menerima kenyataan bahwa Lucy telah tiga tahun meninggal,"
tambah Ayah dengan sedih.
"Kalian akan bisa mendapatkan bantuan yang diperlukannya," sahut Nenek Carla
lembut. "Dia akan kembali seperti biasa. Aku yakin."
Mereka terus berbicara. Suara-suara mereka saling bercampur. Bagiku hanya
merupakan bunyi.
Aku tidak begitu peduli apa yang mereka percakapkan. Aku senang sekarang.
Aku senang melihat mereka. Senang dan lega karena aku tidak perlu lari lagi.
Senang melihat mereka semua masih hidup dan tidak kurang suatu apa.
Senang sekali sehingga aku tidak melawan ketika kedua lelaki berjas kelabu itu
membawaku ke mobil mereka.
BAB
27
ITU semua terjadi hampir enam bulan yang lalu. Sekarang keadaanku sudah sangat
baik.
Aku merasa jauh lebih baik. Mimpi-mimpi burukku sudah berhenti. Sudah
berminggu-minggu aku tidak pernah didatangi mimpi buruk. Tidurku nyenyak dan
tenang. Seperti bayi.
Aku tidak lagi melihat pembunuhan-pembunuhan sadis. Aku sadar sekarang,
semua itu hanya ada dalam benakku, hanya halusinasi-halusinasi seram.
Tadinya semua itu terlihat nyata. Tadinya semua itu kukira nyata.
Tapi sekarang aku sudah tahu.
Halusinasi-halusinasi menyeramkan itu sudah lewat. Dan aku ingin mereka hanya
tinggal sejarah.
Aku punya sikap positif. Belakangan ini aku merasa nyaman mengenai diriku
sendiri.
Rasanya penyebab utama mengapa aku merasa tenteram adalah karena Lucy
datang menemaniku setiap hari.
Betul-betul sahabat karib. Tak sehari pun terlewatkan olehnya.
Itu sangat berarti bagiku. Melihat Lucy setiap hari di samping tempat tidurku
benar-benar sangat membantu mempercepat kesembuhanku.
Rasanya para dokter tidak lama lagi akan membolehkanku keluar.
Asyik kan, Lucy?
Mungkin mereka akan membolehkanku kembali sekolah pada waktunya sehingga
masih sempat ikut ujian. Lalu kau dan aku akan lulus sama-sama.
Bagus sekali kan, Lucy?
Bagus sekali.
Ya, kan?
END
EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM