Kaito Novel
Prolog
Perjumpaanku dengan dirinya
Dan-
Ini adalah kisah cinta diriku yang diperoleh dari jarak yang terbentang
selama empat tahun.
❀❀❀
Tasku terasa berat karena dipenuhi buku-buku pelajaran, dan berat tersebut
membuat bahuku terasa sakit. Perutku keruyukan. Biasanya, jam segini aku
sudah kembali ke rumah.
Apa yang terjadi beberapa jam yang lalu masih terngiang dipikiranku.
Jadi, rasanya akan sangat menakjubkan bila aku menjawab kalau aku juga
menyukainya.
Perasaan yang kami sembunyikan satu sama lain sama sekali tidak sama.
Fakta itu saja sudah cukup untuk mencegah perasaan kami terbalas.
"Maaf."
Aku menelan air liur demi membasahi tenggorokanku yang kering, dan
mengucapkan kata-kata tersebut.
Aku juga hanya bisa diam seribu bahasa sembari menundukkan kepala, lalu
melarikan diri dari ruang kelas yang kosong.
Aku lupa apa yang terjadi setelah itu. Sebagian ingatanku sedikit kabur. Aku
tidak langsung pulang, dan hanya keluyuran di jalan.
Sekarang adalah musim dingin, namun punggungku basah karena
keringat. Pandanganku sedikit kabur karena kurang fokus. Kakiku sepertinya
sudah lupa bagaimana harus berhenti ketika aku terus berjalan maju.
Kemudian, aku akhirnya berhenti setelah berjalan ke tempat yang tidak asing
bagiku.
Jika bukan karena papan reklame, yang lumayan sedikit berubah, mungkin
aku tidak menyadarinya.
Fenomena yang terjadi dihadapan diriku yang masih SMP adalah 'kematian'.
Dan seperti kebanyakan orang di dunia ini, aku mengubur jasad kucing putih
tersebut untuk membuat hatiku rileks, dan menepuk tangan demi
mendoakan arwah kucing tersebut. Itu adalah kejadian yang terjadi sekitar
empat tahun lalu.
Tanpa aku sadari, kakiku sudah sampai ke gundukan, tempat aku mengubur
kucing putih itu. Mungkin aku harus menepuk tangan untuk berdoa lagi. Ini
akan menjadi kesempatan sempurna untuk mengakhiri pelarian yang tak
pernah berakhir ini, pikirku.
Kepingan salju menyentuh wajah gadis ini, yang namanya tidak aku kenal,
dan meleleh. Dia tersenyum bahagia, namun karena kepingan salju itu, dia
terlihat tengah menangis.
Bibirnya yang halus mulai bergerak, dan mengucapkan kata-kata putih tulus.
Kenapa?
Kenapa kata-kata Akane tidak bisa menggerakkan hatiku sama sekali, namun
gadis asing dihadapanku ini dengan mudahnya menggerakkan
hatiku? Aspek-aspek seperti ketenangan dan rasionalitas menjadi terpisah
pada saat itu.
Karena itu…..
Sama sekali tidak tahu, bagaimana perasaan Yuki saat dia melakukan
pengakuan cintanya padaku saat itu.
Sama sekali tidak tahu, tekad Yuki ketika dia memutuskan untuk tersenyum
di hadapanku.
Sama sekali tidak tahu, apa yang Yuki berikan padaku, sesuatu yang meleleh
dan lenyap dari tanganku.
―Mungkin rasanya mendadak, tapi apa aku boleh meminta sesuatu darimu?"
Aku mendengar suara yang indah, sebuah suara yang tak bisa dilupakan
setelah mendengar pertama kalinya.
Aku berada di halte bus tua yang sudah sering aku pakai dari dulu; dengan
atap seng yang berkarat serta bangku kayu yang terus terkena cuaca.
Ada seorang gadis yang tidak kukenal tengah berdiri disamping halte
tersebut.
Tanpa aku sadari, diriku yang terpantul di mata gadis yang terlihat lebih
besar dari sebelumnya. Dia terlalu dekat, sangat dekat. Kenapa dia bisa
mendekatiku begitu mudahnya. Karena merasa terganggu, aku menelan
ludah, demi membasahi kerongkonganku.
Wajah Shiina Yuki berseri-seri. Dia benar-benar gadis yang sangat imut.
Rambut yang mencapai bahunya tampak halus, dan sedikit keriting. Kulitnya
putih seperti salju. Karena itu, bibir merahnya yang halus dan merah merona
tampak memikat meski dia tidak memakai aksesoris.
Aku meletakkan tanganku di dada kiri seragamku, dan pada saat yang sama,
memanggil namanya seperti yang dia inginkan. Ya, aku benar-benar
berusaha mencoba sesuatu yang tidak biasanya aku lakukan.
"Yuki, kau bilang kalau kau ingin aku membawamu ke bioskop. Apa
maksudmu?"
"Ya, aku tahu. Tapi sekolahmu libur untuk merayakan ulang tahun sekolah,
‗kan? ‖
Dia, tidak, Yuki berbicara soal fakta. Paket makan siang besok adalah kari,
itu tertulis di menu. Itulah sikap yang diperlihatkannya dari cara dia
menjawabnya.
―Kamu akan menggunakan hari libur itu untuk menonton film, ‗kan? Kamu
punya dua tiket. Atau apa kamu sudah mengajak seseorang? ‖
Aku tidak ingin seseorang yang aku kenal melihat kami bersama, dan
menonton film dengannya, yang mana hal tersebut akan mengundang
interogasi dari teman sekelas. Bisa-bisa nanti aku akan digoda tentang
masalah ini bertahun-tahun kemudian.
―Mengapa?"
―Aku tidak mengajak siapa pun. Aku memang punya dua tiket. "
―Dengan siapa?"
Yuki terus tersenyum. Aku tidak tahu apa ini hanya imajinasiku saja, tapi
senyumnya terlihat lebih sedih dari sebelumnya.
Aku menatap ke langit, dan Yuki pun melakukan hal yang sama.
Aku tidak menemukan apa pun di langit malam yang luas dan tak berujung.
"Iya."
"Yah, kalau memang begitu, apa boleh buat, aku hanya bisa setuju."
―Aku ingat jadwal kereta pada pukul 10.10. bagaimana kalau kita ketemuan
di depan gerbang stasiun? "
Pikiranku dipenuhi dengan gadis yang baru saja kutemui, dan itu bertahan
sangat lama.
Aroma dari musim semi, tubuh yang langsing, serta jari-jari halus yang
menyisir rambut berkibar-kibar akibat tertiup angin, menyerupai sebuah
karya seni. Alisnya yang panjang, mata yang hitam pekat, bibir merah yang
berbentuk bagus. Aku mengingat semuanya, dan kemudian——
Tentu saja, tidak ada yang menjawab. Senyum senang Yuki saat dia
menghindari masalah itu tetap ada di pikiranku.
❀❀❀
Aku tiba di stasiun 30 menit lebih awal, tapi ternyata, Yuki sendiri yang tiba
lebih awal. Kita mungkin bisa naik kereta lebih cepat dari yang dijadwalkan.
Tapi kakiku, yang hendak berlari ke arah Yuki, merasa ragu apakah aku
harus mendekatinya atau tidak.
Punggungnya sedang bersandar pada pilar, melihat ke area yang
kosong. Wajah sampingnya memiliki disposisi karya artistik, memberi
getaran yang tak dapat didekati.
Jika dilihat lebih dekat, banyak yang mencuri pandang ke arahnya, tapi tidak
ada yang berani berbicara dengannya. Dibutuhkan banyak keberanian untuk
mendekat dan berbicara dengannya.
Aura duri di sekitarnya menghilang tanpa aku sadari. Aku menghela nafas
lega, dan panas yang naik dari dasar paru-paruku seolah menyatu ke udara
yang jernih.
―Maaf, aku akan mengingatnya lain kali. Tidak bagus juga membiarkan
seorang gadis lama menunggu. ‖
"Yoshi-kun?"
"Iya. Namamu ‗kan Haruyoshi, jadi disingkat Yoshi-kun. Apa aku tidak boleh
memanggilmu begitu? "
"Bukannya tidak boleh, tetapi aku belum pernah ada yang memanggilku
seperti itu sebelumnya."
Saat dia mengatakan itu, aku memikirkan sesuatu yang aku lupa tanyakan
kemarin.
―Ngomong-ngomong, apa kamu tahu kita akan pergi kemana hari ini?
Film yang akan aku tonton hari ini sedikit berbeda. Lebih gamblangnya sih,
yah, itu berbeda dari film-film yang banyak ditampilkan di iklan TV, dan juga
tidak ditayangkan di bioskop.
Ada sebuah kota yang berjarak dua stasiun dari tempat tinggalku, dengan
daerah banyak lereng. Universitas Yasaka terletak di lereng terpanjang di
kota itu.
Aku lupa jika itu terjadi setahun yang lalu, atau setidaknya setengah, tapi
karena insiden tertentu, aku kebetulan mendapatkan dua tiket ini.
Masih ada waktu sepuluh menit sampai penayangan berikutnya. Jika kita
bergegas, kita masih sempat melihatnya. Aku memeriksa lokasi di peta, terus
membolak-balik, ingin memeriksa lokasi di peta, tapi pamflet yang kupegang
tiba-tiba disambar.
―Aku yang seharusnya bertanya padamu, Yoshi-kun. Apa yang sedang kamu
lakukan?"
"Apa yang kulakukan ... tentu saja mencari lokasi di mana tempat pemutaran
film berada, terus apa lagi memangnya?"
Haaaaaaa. Yuki mendesah, menggelengkan kepalanya saat dia menatapku
dengan ekspresi seolah-olah ingin mengatakan 'kamu sama sekali tidak
mengerti'.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, ayo kita jelajahi festival ini. Ayo pergi!"
Mulut Yuki dipenuhi dengan crepes, pipinya mengembung. Apa yang dia
katakan terdengar seperti alien, yah, meski aku sendiri tidak pernah bertemu
alien, sih.
Kali ini, dia mulai menutup mulut, dan mengunyah dengan hati-
hati. Namun, dia tampak enggan saat dia perlahan menelan crepes, dan
dengan krim yang masih tersisa di sisi bibirnya, dia mengatakannya sekali
lagi,
Yuki berusaha menyeka dengan telapak tangannya, tapi krim tersebut masih
tersisa di bibirnya.
―Jangan terlalu dipikirkan, ini cuma tisu, kok. Aku pikir siswa SMA biasanya
sering membawanya. ‖
"Iya. Aku ini seniormu, jadi kamu harus lebih menghormatiku. "
"Gimana mau meghormatimu kalau di mulutmu masih ada krim sisa crepes
tadi."
Dia memiliki punggung yang ramping, rambut halus, dan kaki mulus yang
menjulur dari roknya. Aku membuntuti Yuki dari kejauhan, ingin melihat
semua sosoknya sedikit lebih lama lagi.
Aku memilih foto seorang pria yang melompat di pantai, sementara Yuki
memilih foto seorang gadis yang sedang sendirian di jalan perbelanjaan.
Gadis yang kesepian itu terpisah dari dunia yang luas, tampak begitu tak
berdaya. Jelas ini adalah gambar bagus yang ingin menyampaikan sesuatu,
namun hal itu tidak sesuai dengan kesanku tentang Yuki. Aku pikir dia akan
sepertiku, memilih foto yang penuh dengan kehidupan.
"Benarkah?"
Lalu kami pergi ke toko klub seni, membeli beberapa doujin, dan
membacanya berdampingan satu sama lain. Selera kami dalam novel serupa,
dan kami menyukai karya yang sama.
Bangunan yang semula putih telah berubah warna karena terkena cuaca
bertahun-tahun, dan di dinding, ada tanaman yang namanya tidak aku
kenal. Benda hijau itu mungkin lumut. Pokoknya, bangunan seperti itu
sepertinya tidak bisa didekati.
Aku ingin memanggil Yuki untuk kembali, tetapi pada saat yang sama,
Aku dipanggil oleh suara yang sedikit akrab, dengan kalimat yang terdengar
tidak asing ini.
Bahkan setelah sekian lama, aku bisa mengenali tubuh berotot itu.Ia
memiliki tubuh yang cukup tinggi, rambutnya diikat di belakang kepalanya,
dan Ia menunjukkan mata kekanak-kanakan yang menyilaukan di antara
poni panjangnya.
Kurang lebih sudah setahun sejak kita bertemu, tapi Ia masih sama seperti
biasanya.
Ia adalah sutradaranya.
❀❀❀
Aku pertama kali bertemu dengan sutradara pada liburan musim dingin, saat
aku masih SMP.
Karena kegiatan klub ditunda, dan aku sendirian, tanpa ada kegiatan yang
harus dilakukan, aku pergi berjalan-jalan di taman terdekat.
Biasanya, ada banyak pengunjung di taman selama akhir pekan dan malam
hari, tapi karena sekarang masih siang hari, jadi rasanya sepi. Itu
membuatku sedikit kesepian.
Dan pada saat itulah, pemecah keheningan ini adalah suara yang sangat
kasar.
―Ah, nak. Tunggu sebentar. "
"Eh?"
Aku dipanggil, dan berbalik ke arah suara itu. Aku melihat seorang paman
berotot berlari ke arahku. Aku bisa mendengar efek suara panik dari
seseorang yang berlari. Aku tahu dia sedang dalam keadaan kesulitan, jadi
aku berhenti tanpa berpikir — itu adalah pilihan yang salah.
―Kami sedang melakukan syuting film, tapi kami tidak punya banyak aktor
untuk adegan terakhir. Hal itu menyebabkan kami banyak masalah. ‖
―Tidak, tidak, tidak, tunggu dulu. Aku tidak mengerti maksud Anda. ‖
"Sudah kubilang, Kau akan menjadi aktor sementara untuk sebuah film."
―Bukan yang itu yang aku maksud. Aku tidak tahu mengapa aku harus ikut
dengan anda. "
"Bukannya aku sudah mengatakannya? Jika kau tidak ikut, aku akan berada
dalam masalah besar .. "
"…Hah?"
Semua yang aku katakan padanya merupakan usaha yang sia-sia. Ada
perbedaan kekuatan, dan tak peduli bagaimana aku melawan, aku tidak bisa
melarikan diri. Setelah tiga menit melakukan perlawanan, aku menyerah.
Tampaknya pria yang memanggilku adalah ketua dari film ini, atau biasa
dipanggil sutradara. Ia menunjukkan ekspresi yang berbeda dari apa yang
aku lihat, aura di sekitarnya berubah secara drastis. Aku sangat kesal karena
berpikir kalau Ia sedikit keren.
Yang perlu aku lakukan hanyalah berjalan di belakang protagonis. Aku tidak
punya kalimat atau tindakan tertentu. Meski begitu, aku diperintahkan
untuk melakukan serangkaian tindakan, di mana aku harus memperhatikan
waktu, atau seberapa cepat aku harus berjalan.
Kami sedang syuting satu adegan, jadi aku dengan ceroboh berpikir kalau
aku bisa pulang begitu selesai, tapi kenyataannya adalah aku terjebak dalam
kebuntuan selama empat jam, karena banyaknya pengulangan.
Aku menengok ke arah suara itu dan melihat Sutradara sedang berjalan ke
arahku. Sepertinya Ia mencariku dari tadi.
―Dan juga, tiket ini untukmu. Akan ada pemutaran film publik selama
festival budaya musim gugur mendatang, jadi datanglah untuk menonton ‖
―Waktu produksinya mungkin takkan selesai tahun ini. Setelah ini selesai
tahun depan, aku akan lulus. "
Di samping tulisan itu, ada nama universitas dan lambang. Tulisan merah
persegi panjang 'Universitas Yasaka' agak kabur. Aku memang mendengar
desas-desus tentang Universitas yang dibangun di atas lereng setan atau
semacamnya.
―Ini film tema percintaan. Jika kau punya gadis yang kau suka, ajaklah dia
juga .. ‖
Dan begitulah, aku punya dua tiket dan sekaleng sup jagung. Ini pembayaran
murah dibandingkan dengan empat jam kerja. Tapi yah, itu pengalaman
yang berharga, jadi aku tak terlalu keberatan.
❀❀❀
"Yeah. Ruang terdalam dari bangunan ruang klub ini adalah ruang klub
kami. letaknya di lantai dua. Hm? "
"Hah?"
Kami berada agak jauh dari Yuki, jadi meski dengan volume normal, suara
kami mungkin takkan bisa didengar olehnya. Namun, ―Apa-apaan dengan
gadis itu? Bukannya dia super imut? ‖Bisik sang sutradara dengan lebih
lembut layaknyan dengungan nyamuk.
"Penggemarku?"
"Kurasa tidak. Aku dengar kalau dia sudah berjanji kepada seseorang bahwa
dia akan melihat film ini. "
Aku sudah muak dengan wajah direktur yang penuh kecurigaan, jadi aku
harus terus-menerus menyangkal.
"Dengan siapa?"
"Entah?"
―Gadis yang seperti itu sangatlah jarang. Dia tidak hanya lucu atau cantik, dia
memiliki pesona tersendiri yang menarik perhatian. Jadi nak, apa kau bisa
bernegosiasi dengannya untuk tampil di film? "
"Aku tidak mau. Kenapa bukan anda sendiri saja yang bertanya padanya ? ‖
―Apa maksudmu? ‖
"... Aku akan sakit hati jika seorang gadis imut seperti dia menolakku."
"Hah?"
Aku benar-benar serius menunjukkan tampang kesal.
Tunggu sebentar. Apa yang orang ini katakan? Dan apa yang terjadi pada
pria gila yang menyeretku seenaknya saja saat tahun lalu?
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak membalas, dan mata sutradara yang
besar menatapku dengan penuh perhatian.
"Eh? Benarkah?"
"Ya, kau memang berubah. Dirimu yang dulu, bagaimana aku harus
mengatakannya? Mudah ditangani. Jika aku memohon kepadamu, Kau akan
setuju untuk melakukan apa saja. Kau sedikit berbeda sekarang. Kau bisa
mengekspresikan dirimu .. ‖
―Tentu saja. Seseorang yang selalu mengikuti arus takkan bisa mendapatkan
apapun. Jika Kau menginginkan sesuatu, Kau harus memegangnya dengan
tanganmu, walau dengan cara paksa. Dan begitulah, jadi tolong. Aku akan
berlutut dan memohon jika Kau terus menolak. Tapi Kau baru saja
menolakku lagi. "
Mengapa terlalu maksa begitu? Apa kau tidak bisa melakukan itu pada Yuki?
Yah, aku ini seorang cowok. Bohong kalau aku tidak mengerti perasaan
sutradara.
"Cih, baiklah."
"Yuki."
Aku memanggil nama Yuki, dan dia menutup majalah itu, tubuhnya
melenggak-lenggok saat dia mendekati kami.
―Ya, pada dasarnya, Ia memberiku tiket, dan Ia sendiri adalah sutradara dari
film yang akan kita tonton nanti. Sepertinya Ia ingin meminta sesuatu
darimu. ‖
"Meminta sesuatu?"
"Bicaralah, sutradara."
"Oh ya."
Rasanya seperti batu yang keras, kokoh, dan tidak bergerak. Meski begitu,
dorongan kecilku mungkin telah memotivasi dirinya untuk bergerak maju.
"Te-terima kasih banyak sudah datang untuk menonton filmku hari ini!"
Merasa kalau Ia sudah tak bisa diharapkan lagi, aku hendak berbicara demi
sutradara, saat dirinya terus melanjutkan….,
"Dan erm, erm, jika kau tak keberatan, apa kau mau berakting di filmku lain
kali?"
"Kumohon?"
"Uh huh."
"Tidak bisa?"
"Uh huh."
Ada dua belas kursi di ruangan yang cukup besar untuk dua puluh
orang. Empat banjar, tiga baris. Kami duduk di baris kedua, dan kursi-kursi
itu terasa goyah, mungkin karena lantainya sudah tua. Selain kami, ada tiga
orang lagi yang menonton film ini. Ketika film mulai diputar, lampu di dalam
ruangan dimatikan.
Tidak ada invasi alien, tidak ada monster yang menghancurkan dunia. Dunia
tidak dalam krisis apa pun, namun, jelas ada sesuatu dalam film itu.
Adegan dimana aku muncul adalah adegan yang penting, Saat keduanya,
setelah bertengkar hebat, menyesali tindakan mereka, dan bersatu kembali
di bangku taman. Aku sendiri jauh di belakang kedua pemeran utama, tapi
aku langsung tahu kalau itu adalah aku, orang yang sekadar lewat.
Aku meraih jarinya yang nakal, dan melirik ke arahnya dengan diam-diam.
Kami sampai di halte bus di pintu masuk utama, melihat benda besar
tersebut berbelok di tikungan. Lampu belakang merahnya perlahan menjadi
lebih kecil, dan akhirnya menghilang.
Aku duduk bersama Yuki, di kursi plastik. Hanya ada kami berdua di sini.
Yuki dengan gembira memberitahuku apa yang dia pikirkan, tapi aku tidak
pernah memperhatikannya. Ada satu hal yang lebih menarik daripada kesan
film yang kita tonton, dan aku terus memikirkannya. Haruskah aku
bertanya? Atau tidak? Setelah banyak pertimbangan, aku memutuskan untuk
bertanya.
❀❀❀
"Benarkah?"
"Jadi seperti yang dijanjikan, kupikir aku akan menolak tawaran anda."
"Eh?"
Baik diriku, yang berada di sebelahnya, dan Sutradara yang tersenyum tidak
mengerti apa yang dikatakan Yuki, dan kami juga tidak mengingat alasan dia
mengatakan hal itu.
Dari wajah kami, dia mungkin mengerti apa yang kami pikirkan.
❀❀❀
"Karena aku sudah janji." Begitulah balasan dari Yuki.
"Hei, Yoshi-kun, apa menurutmu ada adegan yang terlihat aneh?" Lanjutnya.
"…Tidak."
―Kalau begitu, aku seharusnya tidak muncul di film. Lagipula itu janji. ‖
"Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kamu maksud. Dengan siapa kamu
membuat janji, dan apa janjinya? ‖
―Kami membuat janji yang tak pernah ada. Baik di masa lalu, sekarang
maupun masa depan. "
"Memang, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Bahkan bagian tentang kita
yang membuat janji itu tidak pernah ada. ‖
"Aku sama sekali tidak paham, tapi kalau memang begitu, bukannya tak
masalah bagimu untuk tidak menepati janji tersebut, ‗kan?"
Jelas ada sesuatu dalam suara Yuki, sesuatu yang keras kepala. Itu bukan
sesuatu yang bisa aku selesaikan dengan mudah, dan hanya itu satu-satunya
yang kuketahui.
Akhirnya, bus tiba.
"Tentu saja."
Yuki pandai dalam pelajaran, dan dengan sabar menjelaskan jawaban untuk
pertanyaan yang tidak bisa aku pecahkan.
"Dengar, meski kau bilang begitu, aku tidak mentraktirmu untuk minum teh
.."
Sebagai rasa terima kasih karena telah memeriksa PR-ku, aku membelikan
roti daging untuknya di minimarket.
Kami melewati kantor pos, dan tiba di tempat yang agak jauh dari
stasiun. Dengan nada yang lembut, Yuki berkata.
―Kenapa?"
Pada saat itu, Yuki dengan cepat berbalik ke arahku. Roknya berkibar sedikit,
rambutnya sedikit terangkat, dan dia terlihat sedang menari. Sama seperti di
hari ketika kami pertama kali bertemu, jantungku berdebar kencang, sangat
kencang sampai membuatku sakit.
"Benarkah?"
"Aku berjanji kepadamu."
"Yoshi-kun."
Ekspresi Yuki langsung berubah, dan aku memiliki kesan bahwa senyumnya
terlihat bohong. Pada saat yang sama, dia menggumamkan sesuatu.
Tapi melalui gerakan bibirnya, aku mengerti apa yang dia katakan.
"—Dasar pembohong.‖
Pertemuan 33 - Hari Terpanas di Musim Panas .
Kejadian ini terjadi setelah aku melakukan lima putaran sprint 100m.
Suaranya begitu lembut nan manis, mirip dengan malam dimana panas baru
saja mereda.
Karena aku baru saja selesai berlari, aku masih ngos-ngosan, tidak mampu
menanggapi kata-katanya. Gadis itu mendekatiku, dan memberiku handuk.
Aku secara naluriah meraihnya, tapi, apa aku boleh menggunakannya? Aku
mencium aroma wangi pelembut, dan merasa ragu.
Dia bertanya saat aku masih tetap diam, memiringkan kepalanya dengan
lucu. Rambut yang ada di wajahnya, tampak mengganggu. Ujung jari
telunjuknya yang cantik membelai wajah lembutnya, meletakkan rambut
halus tersebut ke belakang telinganya.
―Emang boleh?‖
Gadis itu tersenyum, tampak bingung, dan itu membuatnya tampak jauh
lebih tidak dewasa. Mungkin karena suasana di sekelilingnya sedikit cerah.
Ujarnya, mendadak.
―Tidak juga, karena belum pernah ada yang memanggilku seperti itu
sebelumnya. Jadi, Aku merasa sedikit terkejut mendengarnya. "
―Jika tidak ada yang memanggilmu begitu, bukannya itu lebih baik? Ini
adalah caraku untuk memanggilmu. Oh ya, panggil saja aku Yuki. "
―Yuki-san?‖
―Tak usah pakai '-san'. Panggil saja aku 'Yuki'. "
Anak cowok dari klub sepak bola dilirik olehnya, dan merasa panik ketika
mereka kembali berlatih. "Oper! Iya! Lari! Iya! Minigame! Ya. ‖Suara-suara
keras bergema dari lapangan.
―Kurasa, lebih seperti junior. Kami tidak pernah berinteraksi, sih. Aku dari
klub lari, dan mereka yang ada di klub sepak bola yang memiliki hubungan
baik denganku sudah pensiun semua. Bagaimanapun juga, aku sudah kelas
tiga. ‖
Awan lembut yang terlihat seperti krim itu melayang di atas dengan tenang.
―Jadi?‖
―Apanya?‖
―Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku bukan murid dari sekolah ini?‖
Yuki benar-benar terkejut. Tentu saja, aku tidak mungkin mengingat semua
wajah semua siswa di sekolah.
Ada banyak siswa yang tidak aku kenal, apalagi seluruh sekolah. Namun,
tanpa diragukan lagi kalau Yuki bukan murid sekolah ini.
Dia memiliki kulit yang putih, rambut bergelombang seperti permen kapas,
alis yang menawan, serta mata hitam yang besar dan tampak dalam. Dia
cukup istimewa dibandingkan dengan semua gadis yang aku temui.
Jika ada gadis seperti dirinya di sekolah, pasti akan ada keributan besar saat
dia pertama kali datang ke sekolah.
Memilih gadis-gadis manis di sekolah adalah hal yang wajib bagi semua anak
cowok, termasuk juga diriku.
―Hm, aku gagal ya. Padahal. Aku sudah berpakaian dengan seragam sekolah
ini. ‖
―Tidak usah khawatir, aku tidak memberitahu guru, kok. ‖
Yuki menendang ringan batu yang ada di dekat kakinya, dan itu memantul,
mendarat 2m jauhya dari kami. Dia tidak serius menendang batu itu
menjauh.
―Tidak, bukan itu maksudku. Kurang lebih, kupikir aku akan sedikit lebih
bahagia jika kamu menganggapku sebagai teman sekelas, Yoshi-kun?‖
―Apa maksudmu?‖
Aku berdiri di garis start, dan menarik napas dalam-dalam. Di depan mataku
ada bayangan yang terpotong dengan alat cukur, menempel di tanah. Aku
menatap pria itu. Tidak peduli seberapa keras aku mencoba berlari, orang ini
selalu mendahuluiku dengan mudah. Aku tidak pernah bisa mengejarnya.
Rasanya seperti mimpi buruk. Meski begitu, mengapa aku masih bersikeras
untuk berlari?
―Hei.‖
Dan tanpa aku menyadarinya, Yuki, yang dengan bijak pergi ke tempat teduh
di bawah pohon, berkata….
―Anak-anak kelas tiga di klub lari sudah pada pensiun. Lalu, kenapa kamu
masih berlari, Yoshi-kun? ‖
Aku tidak segera menjawab, dan hanya tersenyum saat aku meletakkan
tanganku dengan lembut di garis start, berjongkok ketika aku bersiap untuk
berlari. Permukaan tanah menyerap panas dari matahari, dan hampir
membakar kulitku, dan jari-jariku merasakan sensasi terbakar. Bersiap.
Ucapku dalam hati, membuat aba-aba sendiri. BAM. Aku mengerahkan
kekuatan di kakiku, dan mulai berlari.
❀❀❀
Awalnya, aku tidak suka berlari.
Aku bisa mendapatkan peringkat kedua atau ketiga saat ada festival olahraga
di SD. Kurasa aku bisa membanggakan diri menjadi orang kedua di antara
orang yang sangat cepat, tapi yang berlari di festival olahraga semuanya
hampir sama dalam hal kecepatan. Dan hasilnya, itu semua hanya masalah
kemampuan.
Dan alasan mengapa aku bergabung dengan tim lari karena aku bertemu
dengan teman sekelas bernama Takeshita.
Tepat setelah aku memasuki SMP, saat ada pergantian tempat duduk untuk
pertama kalinya, dan Takeshita duduk di sebelahku, mengenakan seragam
yang sama.
―Seriusan nih, pakai seragam ini tiap hari? Bukannya ini sama saja dengan
penyiksaan? ‖
Aku sangat mengerti perasaan tak nyaman karena leherku menyentuh kerah
baju, bersamaan dengan keinginan untuk menghilangkan rasa gatal.
Bagi kami, yang sudah biasa memakai pakaian yang nyaman dan
memudahkan pergerakan selama beberapa minggu terakhir, seragam ini
terlalu berat dan tidak nyaman, dan juga memalukan.
Aku sudah bersekolah selama enam tahun, dan sampai batas tertentu, aku
merasa, "Yap, sepertinya aku bisa berteman dengan orang ini."
Takeshita sudah menjadi bagian dari klub lari sejak sekolah dasar. Ia
biasanya pendiam, tapi saat melakukan kegiatan klub, Ia menjadi sangat
bersemangat.
Secara pribadi, aku tidak tertarik pada olahraga, tapi aku pernah diajak oleh
Takeshita untuk melihat kegiatan klub lari.
Dalam sprint 100m, anak kelas tiga sekalipun tidak bisa mengalahkannya.
Jika dilihat dari cara Ia berlari, tidak ada yang pernah menyangka kalau Ia
adalah orang yang mendapat nilai 13 dalam tes bahasa. Sosoknya yang
berlari sangat berbanding terbalik dari pria yang smenghabiskan satu jam
untuk menemukan satu jawaban, bukan tipe orang yang menyemburkan
omong kosong seperti. "Rese banget, tinggal bakar aja sekalian."
Dalam kontes untuk anggota baru, aku melakukannya dengan sangat buruk,
sementara Takeshita berhasil menaiki podium pertama. Dia terus menang,
dan lolos dalam tahap seleksi tingkat local sebagai juara pertama, bahkan Ia
berhasil mencapai final dalam kompetisi tingkat prefektur.
Pada hari saat anak kelas tiga pensiun, sebagian besar dari mereka memberi
semangat pada Takeshita. "Lakukan yang terbaik." "Kau pasti bisa mencapai
tingkat nasional." Sementara para senior bersorak dengan air mata, "Ya,
serahkan saja padaku." Takeshita mengangguk dengan serius.
Namun, segera setelah semester kedua dimulai, Takeshita keluar dari klub
lari.
Takeshita, orang yang tercepat di tim kami, kalah dari seorang anak kelas
tiga yang paling lambat. Ah ya, Ia kalah. Meski begitu, Ia hanya tersenyum
kaku. "Selamat." Ujarnya dengan suara bergetar. Kalau dipikir-pikir kembali,
Ia pernah gemetar dengan suara seperti itu saat Ia kalah pada final tingkat
prefektur.
Bahkan sampai sekarang, aku masih belum paham mengapa aku sangat
emosional. Namun aku tidak bisa memaafkannya.
―Hei, Takeshita. Apa kau baik-baik saja dengan itu? Kau tidak mau berkelahi
melawannya?‖
Tapi Takeshita hanya tersenyum tak berdaya, dan pergi tanpa ragu.
Aku tak lagi menemukan sosok Takeshita yang pernah aku kagumi. Kutatap
punggung yang sama dengan cowok yang mendapat nilai 13 dalam ujian. Itu
bukanlah siluet seorang pemenang, tapi seorang pecundang.
Aku terus bekerja keras di klub lari. Kurasa aku sedang bekerja keras. Aku
menghabiskan dua tahun penuh, dan akhirnya tiba di tempat yang sama
dengan Takeshita saat Ia berlari kelas satu dulu. Seperti orang yang pernah
aku kagumi, aku meletakkan jariku di garis start. Ujung jari memerah saat
mereka menahan berat tubuhku.
Pistol itu ditembakkan, aku menginjak tanah dengan keras, dan berlari
kencang.
Sebagai orang biasa, aku berhasil mencapai babak final tingkat prefektur.
Bukankah ini cukup? Ah ya sangat cukup. Tapi, mengapa hatiku merasa
begitu hampa?
Namun, itu masih lambat 0,1 detik dibandingkan dengan waktu terbaik
Takeshita.
❀❀❀
Esok harinya dan seterusnya, Yuki terus mencariku. Dia sering memegang
minuman olahraga atau es krim.
"Bersiap—"
Teriak Yuki.
"Bang!"
Saat aku berlari melewati Yuki, aku mendengar bunyi 'bip' kecil.
Karena tak punya tenaga lagi untuk berdiri, jadi aku jatuh terbaring ke tanah.
Bau tanah, bau khas musim panas, dengan terik matahari bisa tercium dari
hidungku. Keringat membasahi bajuku, dan akibatnya, kotoran menempel di
punggungku.
Langit terlihat biru, dan terik matahari yang panas serasa membakar kulitku.
Dia memegang dua botol minuman, yang satu minuman isotonic dan
satunya lagi teh dingin. Dia memintaku untuk pilih yang mana, dan aku
memilih minuman isotonic. Aku mengucapkan terima kasih, duduk tegak,
dan memegang botol minuman.
Kudekatkan botol minuman ke bibirku sekali lagi, dan kali ini, aku
meminumnya secara perlahan. Tenggorokanku berdenyut-denyut. Isi dari air
minuman tersebut mengalir ke dalam tubuhku.
―Mau tiduran di atas tanah? Emang ngga takut kalau pakaian atau rambutmu
jadi kotor. ―
―Hhhmmmm‖
Aku mulai mengingat laporan cuaca pagi, ketika si wartawan itu melaporkan
kalau hari ini akan lebih panas daripada kemarin, atau semacamnya. Setelah
selesai minum, aku pun berdiri.
Aku mengangkat rambutku yang basah dan dibundel, dan sedikit beristirahat
di bawah bayangan gedung. "Haa." Aku menghela nafas panjang.
Aku harus fokus pada berlari. Apa ada yang salah denganku?
Ini adalah pertama kalinya aku mengalami perasaan seperti ini. Bahkan
sampai pada titik wajahku terasa panas.
Setelah beberapa saat, aku membuka mataku lagi, dan melihat wajah yang
akrab berlalu di depanku. Orang itu memberikan tampilan yang sangat
suram, sangat berkebalikan dengan penampilannya yang biasa. Dia adalah
orang paling terkenal di sekolah yang tampil selama kompetisi musim panas.
―Hm? Ah, ternyata kamu, Haru. Aku sedang beristirahat, nih. Aku
meninggalkan sesuatu di ruang kelas. Jadi aku pergi untuk mengambilnya
sekarang. ‖
―Nyahahaha. ‖Ucapnya sambil tertawa, tapi yah, itu jelas bohong. Mana
mungkin dia bisa menuju ke ruang kelas dengan penampilan seperti itu.
―Begitu ya. Yah, jika ada sesuatu terjadi, jangan malu-malu buat curhat.
Setidaknya aku bisa mendengar keluhanmu. Ngomong-ngomong, apa-apaan
dengan wajah itu? ‖
―Tak kusangka aku akan mendengar kata-kata seperti itu darimu, Haru.‖
lanjutnya
Memang, rasanya sedikit aneh dari apa yang biasanya aku katakan.
―Mungkin karena musim panas. Aku sendiri merasa agak aneh. Tidak, maaf,
lebih baik lupakan saja.‖
―Tidak perlu malu. Tapi baiklah, tebakanmu ada benarnya. Aku akan
mengatakan apa yang kuinginkan.‖
Itu adalah jarak yang tidak bisa dijelaskan yang mana kurasa mampu untuk
kugenggam, namun tak bisa kucapai hanya dengan mengulurkan tanganku.
Pada saat yang sama, aku bisa mencium bau garam dari Akane, tidak, bau
kolam renang.
Akane, yang sedang bersandar di dinding dalam posisi yang sama denganku,
menghela nafas juga. Ah, dingin banget. Dia bergumam pada dirinya sendiri,
dan mengambil napas dalam-dalam. Aku pikir dia akan mengatakan sesuatu,
tapi kesunyian berlanjut untuk sementara waktu.
Suara dari beberapa instrumen yang terbawa angin, datang dari suatu
tempat. Aku melihat sekeliling, dan menemukan ada dua gadis di jendela di
koridor lantai dua, tengah meniup terompet. Suara-suara dari terompet
bernada tinggi melayang ke arah kehijauan musim panas.
―Yah, sebenarnya, aku tidak bisa bilang kalau ada sesuatu yang terjadi.
Hanya saja, Aku tidak bisa memunculkan motivasi yang aku miliki
sebelumnya. Saat aku mencapai tingkat nasional pada turnamen terakhir,
aku membuat rekor terbaik diriku, dan cuma merasa sedikit lelah. Baru hari
ini, guru pembimbing klub memintaku untuk membimbing junior, tapi aku
... ‖
―Benar. Jadi masih ada harapan. Ini mungkin menjadi lebih kecil, dan lebih
sulit untuk dilihat, tapi tidak padam. Aku akan mengatakan ini sebanyak
mungkin. Tak diragukan lagi kamu bisa pergi ke tempat yang lebih jauh,
Akane. ‖
―Benarkah?‖ Tanyaku. "Dulu, kamu tidak akan mengatakan hal seperti itu."
Jawabnya.
―Jika itu kamu yang dulu, Haru, kamu mungkin takkan menyapaku jika aku
tidak menyadari keberadaanmu. Aku tidak tahu berapa kali aku diabaikan
olehmu. Bahkan jika ada banyak orang, kamu hanya berdiri di pinggiran dan
melihat semua orang. Kemudian kamu akan mengatakan kalimat- kalimat
ambigu dengan senyum yang benar-benar palsu. Tapi itu berbeda. Aku tahu.
Ini adalah pikiranmu yang sebenarnya, Haru. Ini mungkin pertama kalinya
Kamu mengatakan apa yang sebenarnya Kamu rasakan. Jadi, hm hmm ...
Aku sedikit senang.‖
―Ini salah musim panas. Rasanya sangat panas di sini jadi aku tidak bisa
berpikir jernih dan mengatakan hal-hal aneh. Maaf.‖
―Sudah kubilang, kamu tidak perlu malu. Hm Tapi, yay! Berkat kamu bilang
begitu, Haru, aku akan mencobanya. Ah ya. Boleh aku meminta sesuatu
darimu kali ini?‖
―Apa kamu tak keberatan untuk bilang 'berjuanglah'? Aku sebenarnya orang
yang sederhana. Jika aku disemangati, aku mungkin bisa bekerja sedikit
lebih keras.‖
―Cuma itu saja? Bukannya semua orang mengatakan itu kepadamu berkali-
kali? "
―Tidak, itu berbeda. Katakan itu padaku. kumohon! "
―Oke. Berjuanglah. ‖
―Ya.‖
―Berjuanglah.‖
―Ya.‖
―Berjuanglah, Akane.‖
Lalu, Akane, yang ada di sebelah kiriku, berbalik dan kembali ke tempat
asalnya.
Saat bayangannya semakin kecil, entah kenapa, dia berbalik ke arahku lagi.
Dia berjalan keluar dari tempat teduh, dan berdiri di bawah pancaran cahaya
yang kuat. Tetesan air di seluruh tubuhnya memantulkan sinar matahari,
dan dia tampak sangat mempesona.
Gumamku.
―Ada apa?‖
―Tidak ada apa-apa. Hanya saja kurasa aku harus benar-benar berjuang
sekuat tenaga. ‖
Usai mendengar jawabanku, pipi Akane sedikit memerah saat dia bicara
dengan gembira,
❀❀❀
Laki-laki itu berambut agak panjang, dan terlihat keren. Ia memakai seragam
tim sepak bola, dan jika aku ingat benar, namanya Sawachika. Tiga bulan
lalu, teman sekelasku, Satake, dengan bangga membual bahwa pemain sayap
yang lincah bergabung dengan mereka.
Sedikit jauh dari mereka berdua ada beberapa orang dari tim sepak bola yang
sedang memata-matai. Begitu salah satu dari mereka melihatku mendekat,
gerombolan itu langsung berhamburan panik.
Aku mendapat gambaran kasar tentang apa yang terjadi. Kelihatannya Yuki
sedang dirayu. Yah, tidak aneh baginya untuk dirayu, karena hanya dengan
berdiri di sana saja, dia terlihat cantik.
Jika memang begitu, apa yang harus aku lakukan? Apa hal yang benar untuk
dilakukan?
Bahkan aku sendiri merasa bodoh untuk memikirkan pertanyaan seperti itu.
Kurasa aku bertingkah aneh karena cuaca panas. Ini benar-benar bukan
seperti diriku, tapi yah, itu bukan hal yang buruk. Bukan hal yang buruk
sama sekali.
―Ada apa?‖
Bagi kami anggota klub olahraga, para senior dihormati layaknya Dewa.
Sebenarnya Sawachika mendekati Yuki selagi aku tidak ada. Dia mungkin
menunggu kesempatan tersebut.
Dengan senyum ramah di wajahku, aku berkata pada Sawachika.
―Aku ingat kau dipanggil Sawachika, ‗kan? Aku kira kegiatan klub tidak
mudah setelah anak kelas 3 pensiun? Satake masih mampir dari waktu ke
waktu, bukan? ‖
Aku tidak begitu peduli tentang apa pembicaraannya. Aku hanya ingin
memberi tahunya tentang hubunganku dengan mantan kapten tim sepak
bola Satake.
Sawachika mengerti apa yang aku maksudkan, dan sementara merasa tidak
senang tentang hal itu, dia membungkuk ke arahku dengan sopan, dan
kembali ke teman-temannya.
❀❀❀
Yuki, yang sampai kemarin biasanya langsung menghilang saat aku berada di
ruang ganti klub, tengah berdiri di depan pintu, menatap ke langit. Matahari
akan segera terbenam, dan awan membiaskan cahaya oranye, langit
mengubah tanah menjadi merah menyala. Matahari diagonal memanjangkan
bayangan Yuki, dan dibandingkan dengan siang hari, siluetnya yang samar-
samar seakan-akan memberi kesan bahwa dia akan menghilang begitu saja
bila aku memalingkan muka darinya.
― ... Aku lupa buat nanya. Kurasa dia datang merayuku karena dirimu, Yoshi-
kun. ‖
―Kurasa tidak. Saat aku benar-benar sendirian, tidak ada yang mau berbicara
denganku. Aku tahu kalau aku sedang dilihat, tapi yah, Cuma itu saja. Yap,
kukira aku bukan manusia saat itu. ‖
Aku membuat candaan. Aku tak peduli apakah dia marah, kaget, atau
menganggapku orang bodoh.
Aku hanya ingin dia tidak sedih. Ya, emosi apa saja tak masalah, asal jangan
sedih saja.
Aku ingin dia melupakan kesedihan dan kesepiannya. Pada saat ini, dia tidak
lagi sendirian, karena aku berjalan di sebelahnya.
―Tentu saja.‖
―Tentu saja!‖
―Jadi, kau hanya akan menjadi manusia lagi saat ada aku saja?‖
― Ya ...‖
―Kenapa?‖
―Hah?‖
―Karena cuma kamu satu-satunya yang akan berbicara dengan orang aneh
seperti diriku.‖
―Begitu ya." Aku mengangguk tanppa sadar, tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku
tidak ingat kalo aku dulu yang berbicara dengannya. Malahan Yuki sendiri
yang berbicara lebih dulu.
―Masa sih?‖
―Coba kau ingat-ingat lagi. Aku sedang berlatih saat itu. Kaulah yang
mengatakan kepadaku "Kau benar-benar bekerja keras."…. "
―Ah, kita sudah sampai di minimarket. Ayo masuk, ayo masuk. "
―Apa tidak mau yang lain? Ada beberapa yang lebih mahal, loh. " ujar Yuki
―Aku suka yang ini.‖
Menjelang waktu malam, ada banyak orang yang lewat di depan minimarket.
Ada seorang Onee-san yang membawa anjingnya berjalan-jalan, anak SMA
yang mengenakan headphone. Paman berjas yang tengah bergegas kembali
ke perusahaannya. Dua orang pemuda mengayuh sepeda mereka menuju
jalan pulang.
Dia sadar kalau aku mengawasinya, dan berkomentar bahwa dia benar-benar
tidak bisa memakan es krim lagi.
Aku tahu kalau Yuki tidak benar-benar bermaksud begitu, jadi aku sabar
menunggu. Segera setelah itu, dia menggigit tongkat kayu es krim, sama
seperti yang aku lakukan.
―Eh?‖
―Kau tahu?"
―Sepanjang waktu? ‖
Sejenak, untuk beberapa alasan, aku mulai berbicara tentang masalah yang
ingin aku sembunyikan di hatiku selamanya.
Ini adalah sesuatu yang telah aku selesaikan dalam pikiranku yang tak
terhitung jumlahnya, dan telah menerima persetujuan.
Berapa lama waktu berlalu setelah aku menyelesaikan apa yang ingin aku
katakan? Dua menit? Tiga menit?
―Apa maksudmu?‖
―Kamu selalu berlari kencang, Yoshi-kun, tapi tidak sepenuhnya siap. Itu
mungkin karena kamu terlalu mengagumi Takeshita-kun, dan itu sebabnya
kamu hanya selangkah jauh darinya. Ya, aku mengerti. Aku akhirnya tahu
apa yang bisa aku lakukan. ‖
―Hei, sekedar ingin tahu aja, Yoshi-kun, apa kamu benar-benar ingin
melampaui rekor Takeshita-kun?‖
―Kamu sama sekali tidak jujur. Jika kamu memiliki sesuatu yang kamu
inginkan, katakan saja. Jika ingin menang, katakan kalau kamu ingin
menang. "
― Ayo. Katakan.‖
❀❀❀
Sehari setelahnya pun sama, dan lintasannya menjadi becek; Aku tidak bisa
lari. Tiga hari setelah aku makan es krim itu, aku bertemu kembali dengan
Yuki saat sore hari.
Aku menunjuk ke baju yang Yuki kenakan. Untuk beberapa alasan, dia
memakai baju olahraga sekolah kami. Pakaian putihnya tembus cahaya, dan
aku bisa melihat garis tubuh dan warna pakaian dalamnya. Kupikir, aku
harusnya tidak melihat, tapi aku tidak bisa berpaling dari pemandangan itu.
"Aku membelinya."
―Tidak, bukan itu yang ingin aku tanyakan. Aku ingin tanya, mengapa kau
membeli pakaian olahraga sekolahku? "
―Jika aku memakai ini, tidak ada yang akan mencurigai identitasku jika aku
terlihat. Lagipula, apa kamu sudah siap?‖
Aku merasa, yah, jika sudah sejauh ini , dan Yuki terlihat sedikit senang, aku
tidak repot-repot membalas. Aku mengangguk. Berkat hujan yang mendadak
dari sebelumnya, aku cukup istirahat, dan merasa baik-baik saja. Ini adalah
perasaan yang aku miliki saat aku memecahkan rekorku di Prefektur.
―Ya. Tidak masalah. Larilah dengan kecepatan penuh seperti yang biasa
kamu lakukan, Yoshi-kun, dan percayalah. Hanya lihat diriku. Sederhana,
bukan? ‖
Aku menyodorkan kepalan tanganku ke arahnya, yang mana hal itu entah
kenapa bisa membuatku menjadi percaya diri. Setelah itu, Yuki pergi ke garis
finish, sementara aku pergi ke garis start.
Langit biru dan sinar matahari memasuki mataku, bersama dengan Yuki
yang berdiri di garis finis.
Aku memposisikan diri di garis start. Aku bersiap untuk berlari. Yuki
mengangkat tangannya. Aku melihat ke depan.
"Bersiap——"
Aku mulai berlari. Ini adalah awal yang sempurna. Aku mempertahankan
postur ke depan saat aku berlari , terus mempercepat seraya perlahan
mengangkat tubuh bagian atasku. Angin bertiup kencang, dan pemandangan
berubah. Aku terus berlari maju dengan kecepatan yang tidak pernah
kurasakan sebelumnya.
Dan saat aku berlari melewati jarak 50m, seperti biasa, aku melihat ke arah
bayangan yang berlari di depanku.
―Yoooooossssssshhhhhhiiiiiikkkkkkkkuuuuunnnn. Angkat
kepalaaaaaaaaaaaaaaamu! ‖
"Mulai!"
Aku mulai berlari. Ini adalah awal yang sempurna. Aku mempertahankan
postur ke depan saat aku berlari , terus mempercepat seraya perlahan
mengangkat tubuh bagian atasku. Angin bertiup kencang, dan pemandangan
berubah. Aku terus berlari maju dengan kecepatan yang tidak pernah
kurasakan sebelumnya.
10 m terlewati. 20 m terlewati. Hah. Hah. Kaki depanku menempel ke tanah
saat aku melompat maju.
Dan saat aku berlari melewati jarak 50m, seperti biasa, aku melihat ke arah
bayangan yang berlari di depanku.
―Yoooooossssssshhhhhhiiiiiikkkkkkkkuuuuunnnn. Angkat
kepalaaaaaaaaaaaaaaamu! ‖
Aku mengangkat kepalaku, tepat saat dia memanggilku. Aku melihat garis
finish. Wajahnya memerah ketika dia berteriak padaku.
―Lihatlah ke depaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnn‖
"Aku di sini!"
Setiap langkah yang aku ambil, Yuki menjadi lebih dekat denganku. Aku
ingin menjadi lebih cepat ... Aku ingin pergi ke samping Yuki lebih cepat lagi.
Sekalipun itu hanya satu detik lebih cepat, aku ingin menjadi lebih cepat.
Selangkah, dua langkah, tiga langkah. Aku pasti tidak boleh melambat. Lebih
penting lagi, aku harus lebih cepat.
Pada langkah terakhir, aku mendepak keras ke tanah, dan saat Yuki berkata,
aku melompat ke lengannya yang terbuka. Sekarang adalah musim panas,
tapi aku bisa mencium aroma harum musim semi. Ini adalah aroma dari
bunga sakura.
Pada saat itu, aku mendengar bunyi 'bip', dan pada saat yang sama, dunia
berputar. Eh? Semua yang tersisa hanyalah suara terkejut yang menggema di
dalam kepalaku.
Dan tanpa aku sadari, aku sudah berbaring di tanah. Tangan Yuki ada di
leherku, dirinya berada di atas tubuhku. Kemungkinan saat aku akan
menabraknya, dia menindihku ke bawah.
"Sakit tau—"
Aku tidak tahu apa yang dia katakan. Apa yang kupikirkan hanya rasa sakit
dipunggungku, dan sensasi lembut di atas perutku karena merasakan pantat
Yuki. Melihat reaksiku yang sedikit aneh, Yuki cemberut dan mengerutkan
bibirnya.
Aku menghabiskan sekitar 10 detik untuk memahami apa yang dia katakan.
5 detik kemudian, aku menerima kenyataan yang ada di depanku. Awalku
dikumpulkan pada waktu yang ditunjukkan pada stopwatch di tangan Yuki.
―Kenapa?"
Tiba-tiba, air mataku mulai mengalir. Jauh di dalam mataku muncul senyum
Yuki. Stopwatch ada di mataku. Ah, aku tidak bisa melihat lagi.
―Ia memang cowok yang luar biasa. Jika orang itu masih berlari,
kecepatanku tak sebanding dengan dirinya. Itulah yang ingin aku lihat. Ah
ya, Aku ingin melihat Takeshita yang lebih cepat daripada Ia. ‖
Aku tahu itu. Aku tahu seberapa keras usahaku, berdoa untuk itu, dan
meminta Yuki membantuku mencapai tempat itu, tapi yang aku harapkan
tak pernah ada. Meski begitu—
Pandanganku menjadi jelas lagi. Aku akhirnya mengerti apa yang ada di
tempat dimana aku berusaha keras untuk menggapainya.
Serta kata-katanya.
❀❀❀
Dalam perjalanan pulang, kami mampir ke minimarket lagi.
Sebagai rasa terima kasih kali ini, aku menawarkan traktiran dengan es krim,
dan dia membeli es krim seharga 300 yen. Tidak, yah, itu tidak terlalu
penting. Setelah ragu-ragu, aku juga memilih merek es krim yang sama. Yuki
memilih rasa stroberi, sementara aku memilih rum dan kismis. Kurasa tidak
apa-apa boros sedikit, karena kita sedang merayakannya.
―Aburazemi* pun sama. Kalau tak salah, aku pernah membaca di suatu
tempat bahwa seperti Aburazemi, ada tonggeret yang menunggu 17 tahun di
tanah. " (TN: Sejenis serangga)
―Ya. Dan dalam seminggu di atas tanah, mereka akan mati. Apa artinya itu? "
― Itu mungkin bagi yang betina, tapi yang jantan berbeda. Tonggeret jantan
bisa kawin dengan banyak, jadi ada jantan yang tidak bisa membuat anak.
Jadi, apa kamu pikir kalau yang jantan punya tujuan untuk hidup?‖
Kata-kata Yuki tampak pedih, jadi aku berpikir sedikit serius, dan menjawab,
―Kamu bohong.‖
―Aku tidak bohong, kok . Sulit untuk membesarkan mereka, dan itulah
sebabnya mereka tidak bisa bertahan lebih dari seminggu. Itu sebabnya
banyak yang salah. Faktanya, tonggeret liar bisa hidup selama sebulan.
Itulah yang dikatakan TV, dan itu sebabnya mereka pasti akan menemukan
sesuatu ‖
Sejujurnya, aku tidak peduli dengan apa yang terjadi pada tonggeret. Walau
begitu, jika Yuki menginginkannya, aku akan berdoa, berharap hidupnya
akan bermakna.
Yuki akhirnya mengambil sendok, dan membawa es krim yang agak meleleh
ke dalam mulutnya. "Enak, enak." Ucapnya, dan aku terus mengawasinya
ketika aku membuka tutupnya.
― Rahasia, dong. ‖
Dalam situasi apa pun aku tidak boleh mengatakan ini. Jadi, itulah yang aku
jawab sebagai gantinya.
"Tapi aku merasa kalau hari musim panas ini adalah waktu yang pasti takkan
kulupakan saat aku tumbuh dewasa."
Walau hari ini akan menjadi masa lalu, meski aku bertambah tua, sekalipun
waktu berlalu dan memudar.
Aku takkan pernah melupakan panas musim panas ini,
―Dasar pembohong.‖
Pertemuan 12 - Aroma Musim Semi
Ini terjadi saat aku berada di toko buku sebelah stasiun, mencari-cari karya
baru dari penulis favoritku.
Suaranya terdengar agak tinggi dan nyaring, mungkin karena dia sedikit
gugup.
―Ah.‖
Itu adalah buku yang aku cari-cari. Seperti yang dia katakan, hanya ada satu
buku seperti itu. Itu ditempatkan di rak buku, dan bukan di sudut publikasi
terbaru.
Dia sama sekali tidak melihat reaksiku saat dia menunjuk jarinya ke bangku
yang ada di sebelah aku. Mataku mengikuti jarinya dari rak ke bangku.
Dan kemudian, aku melihat ke arah gadis itu lagi.
Dia tidak mau mengambilnya sendiri, karena baju yang dia pakai.
Karena dia berpakaian seperti itu, mungkin roknya akan tersingkap jika dia
menjinjit. Jadi begitu. Sepertinya cewek punya banyak hal yang harus
mereka perhatikan.
Aku melakukan apa yang dia suruh, memindahkan bangku, dan meraih buku
bersampul biru. Badanku tidak cukup tinggi, jadi aku berjingkat-jingkat, dan
nyaris tidak menyentuh sampul buku baru yang mengilap itu. Ini adalah
karya baru dari penulis setelah dua tahun hiatus, dan itu berada di
genggamanku. Tapi ...
―Terima kasih.‖
―Yap.‖
Aku berusaha untuk tidak terdengar terlalu sedih, tapi nampaknya gadis itu
menyadari beberapa hal dalam nada suaraku, karena dia terlihat agak
muram.
―Aku juga tidak dapat menemukannya, jadi aku bertanya kepada petugas.
Aku diberitahu "Cuma ini satu-satunya yang tersisa". "
― Begitu ya. Jadi bukunya cuma tinggal satu? Sayang sekali. Kurasa aku akan
pergi ke tempat lain untuk mencari. ‖
Di kota kecil tempat aku tinggal, toko buku takkan menjual buku apa pun
kecuali karya yang berharga, buku yang diadaptasi menjadi film, atau karya
terlaris, bahkan jika itu adalah karya baru. Ini salahku karena terlalu naif
untuk berpikir kalau aku bisa mendapatkannya pada hari penjualan, dan
terlalu malas untuk pre-order.
―Tunggu!‖
―Eh?‖
―Karena aku sendiri suka membaca. Aku tahu perasaan ingin membaca buku
sesegera mungkin.‖
Dan sementara aku bingung bagaimana menjawabnya, dia menundukkan
kepalanya dengan canggung karena suatu alasan. "Erm, maafkan aku jika
terlalu lancang." Dari suaranya yang sangat kecil itu, aku menyadari butuh
keberanian besar bagi dirinya untuk memanggilku.
Tiba-tiba dadaku menjadi panas, dan aku secara alami melihat ke bawah.
―Tidak apa-apa. Terima kasih. Aku sangat berterima kasih. Namaku Segawa
Haruyoshi. Senang berkenalan denganmu. ‖
Ini terjadi di musim semi, pada akhir semester kelas dua SMP.
❀❀❀
Setelah kami meninggalkan toko buku, kami pergi ke kafe yang ingin
dikunjungi Shiina-san.
Kami berhati-hati membuka pintu kayu, dan bel di dalam berdentang dua
kali. Saat tiba di dalam, alunan musik jazz yang belum pernah aku dengar
memenuhi suasana kafe, dan aroma kopi memenuhi sudut-sudut toko.
Aku melihat-lihat interior toko, dan tanpa ragu, Shiina-san duduk di kursi
dengan pencahayaan yang paling terang. Aku bergegas, dan duduk di
hadapannya.
Sinar matahari bulan Maret yang bersinar dari luar jendela benar-benar
hangat.
Tidak ada banyak daftar pada menu, tapi masing-masing item sangatlah
mahal. Satu kaleng coke seharga 450 yen, dan teh hitam seharga 1000 yen.
Siapa yang akan memesan barang seperti itu? Mungkin bos perusahaan. Aku
tidak tahu. [TN: Asumsi 1 yen = 130 rupiah]
Shiina-san sepertinya sangat akrab dengan tempat ini ketika dia memesan
secangkir kopi hitam, jadi aku memesan yang sama. Walau aku tidak pernah
minum kopi.
―Ini untukmu. Ini adalah buku yang baru saja aku bicarakan.‖
Setelah kami memesan, Shiina-san mengeluarkan dua buku dari tasnya. Aku
menerima salah satu dari dua buku tersebut.
Ini buku yang dia punya, bukan buku yang baru dia beli.
Kami berbicara tentang buku saat dalam perjalanan dari toko buku ke kafe.
Selama waktu itu, Shiina-san merekomendasikanku sebuah buku.
―Semoga saja.‖
―Selamat menikmati.‖
―Eh?‖
―Tidak. Tapi, yah, aku pikir dia sangat cantik. Rambut panjangnya terlihat
bagus, dan dia sangat feminin. ‖
Tapi aku harus menambahkan sesuatu di sini. Sampai saat ini, dia secantik
lukisan.
―Tapi sepertinya semua wanita yang membaca di kafe ini meminum kopi
hitam.‖
Setelah itu, dia dengan hati-hati meneguk lagi, ―Yap.‖ Dan mengangguk
gembira.
―Kalau begitu kamu sama saja seperti aku. Apa kamu mau nambah gula?
Atau Kamu akan menantang kopi hitam ini?‖
―Yah, karena ini kesempatan yang langka, jadi aku ingin menantangnya.‖
❀❀❀
Suara membalik kertas bergema di dalam toko. Begitu kami mulai membaca,
pelayan Onee-san mematikan musik, dan pergi ke alam mimpi. Dia terlihat
sangat nyaman. Mungkin dia mengalami mimpi yang indah, karena dia
tersenyum.
―Hei,"‖
―Ada apa?‖
―Bukan apa-apa, sih, aku cuma sedikit penasaran. Lagipula itu nama yang
langka.‖
―Apa ini tentang novel? Pertanyaan jebakan yang berkaitan dengan nama,
atau sesuatu seperti itu? ‖
―Begini kanjinya.‖
[TN: Haru [春] memiliki arti musim semi, dan Yoshi [由] memiliki arti
alasan. Kanji yang Haruyoshi menggunakan pengucapan Kunyomi. Kanji [
由] mempunyai pengucapan Kunyomi [Yoshi] dan Onyomi [Yu, Yuu], Kanji
[希] mempunyai arti Harapan, doa, atau permohonan.]
Kami terus membaca, mengobrol dari waktu ke waktu, dan memesan kue.
Tanpa kami sadari, hampir lima jam berlalu. Tidak ada pelanggan lain yang
mengunjungi toko ini.
―Aku ada latihan lari saat pagi, tapi kalau sore, aku punya waktu luang.‖
Jika ada yang harus dilakukan, kurasa aku hanya ingin menghabiskan waktu
sore untuk membaca buku ini.
―Kalau begitu, apa kita bisa bertemu lagi di sore hari? Aku ingin berbicara
tentang buku ini, dan kesanmu? ‖
Aku ingat bahwa, meski kami menghabiskan sepanjang hari hanya dengan
membaca dan mengobrol, kami berdua merasa senang. Shiina-san mulai
panik, mungkin karena dia melihat kalau aku diam saja, tak membalas
ajakannya.
―Ah, tapi kamu tidak perlu menyelesaikannya besok, Segawa-kun. Kamu bisa
membicarakan buku yang kamu baca juga. Ya, aku benar-benar menikmati
hari ini. ‖
―Ya.‖
Saat kita akan berpamitan," Ah." Shiina-san berseru saat dia menunjuk ke
atas langit. Kabut putih yang terjadi saat kami berbincang-bincang sudah
menghilang. Musim semi telah tiba, musim dari semua permulaan. Saat ini,
Musim dingin sedang terkubur lenyap menunggu waktu gilirannya.
Begitu aktivitas klub berakhir, aku berjalan menyusuri koridor. Pada saat ini,
objek putih bulat berkelebat dengan cepat. Waktu berlalu perlahan selama
liburan musim semi, terutama di blok samping dengan ruang klub. Dengan
demikian, kecepatan itu benar-benar menarik perhatianku. Jadi, tadi itu
apa?
Aku berjalan sembari memikirkan wujud sebenarnya dari objek yang
menarik perhatianku, tiba-tiba kepalaku ditepak dari belakang.
―Hei, Haru.‖
Aku memanggil nama pelakunya saat berbalik, dan melihat temanku Akane
Rindou mengembungkan pipinya dengan marah. Dia memegang plastik
putih di tangan kanannya. Jadi ini wujud putih tadi. Sepertinya ada banyak
jus di dalamnya.
Sejak musim panas lalu, dia diangkat menjadi kapten tim renang.
Perkataannya sungguh tidak masuk akal, tapi karena Akane berkata begitu,
aku yang pasif ini memilih untuk menundukkan kepalaku meminta maaf.
Baiklah, ayo selesaikan ini dengan cepat.
―Maaf. Karena tak menyadari kalau kau di sana, Akane. Aku sedang
melamun.‖
Braag.
Ah, entah kenapa, aku mendengar suara yang seharusnya tidak kudengar.
―Diam!‖
―Eh, Hmm…yah…..‖
―Bukan begitu, erm. Ya. Aku mengerti kalau Kau adalah gadis yang sangat
menawan. ‖
―Entah kenapa, rasanya seperti kamu mengatakan itu bukan dari lubuk
hatimu. Itu menyebalkan.‖
―Ter — serah. Aku juga salah karena terlalu berharap padamu, Haru. Kedua
belah pihak sama-sama salah.‖
Tidak, Cuma aku satu-satunya yang menderita. Kali ini, aku berhasil
menelan kata-kata ini ke tenggorokanku. Jika tidak, aku hanya
menambahkan minyak ke dalam kobaran api. Aku takkan membuat
kesalahan yang sama lagi.
―Apa? Latihannya sudah selesai, jadi aku mau kembali ke ruang klub. Kau
sendiri?‖
―Yah, aku membersihkan ruang klub dengan yang lainnya sebelum ada
anggota baru yang masuk. Kamu boleh bantu kalau mau. Aku bisa
mentraktirmu dengan jus.‖
Usai mendengar itu, alis Akane yang bentuknya bagus sedikit mengerutkan.
―Ada janji lagi? Belakangan ini, rasanya kamu menjadi antisosial, Haru. Apa
ini sama seperti terakhir kali saat kamu bilang ada janji tapi ternyata kamu
pergi sendirian?‖
―Tidak, tidak, tidak. Aku benar-benar punya janji dengan seseorang hari ini. ‖
―Hmm. Kurasa apa boleh buat. Sayang sekali. Tapi yah, boleh minta
waktunya sedikit?.‖
―Sudah kubilang kalau aku punya janji.‖
Setiap kali dia membuka jendela kaca transparan, rambut pendek Akane
akan berkibar karena angin. Wajahnya mengepul dengan udara panas,
mungkin karena berjalan jauh. Wajahnya terlihat merah muda.
―Yeah.‖
Aku menjulurkan kepalaku dari jendela yang sama dengannya, dan entah
kenapa, dia menunjukkan wajah yang aneh. "Hiee," pekiknya. Dia agak
menjauh dariku, dan aku benar-benar merasa sakit hati.
Demi menyembuhkan hatiku yang hancur, aku melihat ke arah bukit. Cuaca
hari ini sangat cerah, dan tempat-tempat yang jauh semuanya bisa terlihat
dengan jelas. Warna merah muda yang tersisa mungkin sisa bunga sakura,
atau mungkin bunga prem.
―Apa kamu tidak takut saat ada banyak hal terjadi secara tiba-tiba? Seperti,
tahun depan, dan sebagainya. Apa aku benar-benar bisa menangani
semuanya? ‖
Memang benar baik Akane dan aku akan menjadi senior, dan kami akan
menjadi ketua klub.
Silaunya. pikirku.
Pikiranku dipenuhi dengan pola pikir pasif nan klise 'tidak apa-apa', 'kamu
bisa melakukannya'. Baginya, kata-kataku yang tidak berguna ini mungkin
akan terasa hampa.
Pada akhirnya, aku memilih untuk melarikan diri dengan mengganti topik
pembicaraan.
―Yang bener? Sama siapa? Guru olahraga, Jimi-sensei? Guru bahasa, Yone-
sensei? Ada banyak rumor tentang dirinya. Jadi dia akhirnya memilih salah
satu dari mereka?‖
Aku sedikit terkejut. Aku selalu berpikir kalau beliau adalah guru yang polos
dan cantik.
―Kamu terlalu naif, Haru. Jika kamu tidak hati-hati, kamu akan disesatkan
oleh gadis nakal, tahu?‖
Akane tertawa.
Suatu hari,
Apakah aku juga bisa menemukan sesuatu yang bisa membuatku berusaha
sekuat tenaga?
Aku mengucapkan selamat tinggal pada Akane, dan bertemu dengan Shiina-
san seperti yang dijanjikan. Dia datang ke suatu tempat dekat sekolah untuk
menjemputku. Saat aku melihat sosoknya bersandar di telepon, "Selamat
sore." Dia menyapaku.
―Karena kau sudah di sini, apa kau mau melihat aktivitas klubku?‖
―Aku sebenarnya pengen, tapi kamu tidak berlari sendirian, ‗kan, Segawa-
kun?‖
―Tentu saja. Lagipula itu adalah aktivitas klub. Aku berlari dengan yang lain.‖
―Hm, kalau begitu, tidak jadi, deh. Itu bukan tempat yang bisa aku masuki.‖
―Bukan itu masalahnya. Itu hanya aturan yang aku buat untuk diriku sendiri.
‖
Kami mengobrol ringan, dan pergi ke daerah pantai di dekat sekolah, seperti
yang disarankan Shiina-san. Kupu-kupu dengan sayap putih murni terbang
di sekitar bunga Nanohanas keemasan, seolah-olah tengah menari-nari.
Dia menarik kembali jarinya, dan kelopaknya bergetar. Getaran itu mencapai
kelopak lainnya, dan kupu-kupu bereaksi ketika mereka terbang ke langit.
Sampai akhir, Shiina-san menyaksikan kupu-kupu terbang bersama angin,
berkibar dengan anggun.
―Memang benar. Tapi kamu juga mencari buku itu, Segawa-kun. Kamu
menginginkannya juga, jadi kenapa memberikan buku itu padaku?‖
Kurasa, aku mungkin tidak merasa enggan sama sekali, Cuma sedikit rasa
penyesalan.
―Sesuatu yang benar-benar kamu inginkan tidak bisa diperoleh jika kamu
tidak menggapainya sendiri.‖
―Eh?‖
―Kumohon ?‖
Pada saat itu, kami mengerahkan kekuatan, dan tangan kami akhirnya saling
menggenggam.
Aku tidak mendengar apa yang dia gumamkan, dan saat aku bertanya,
Shiina-san menertawakannya.
―Bukan apa-apa. Lebih penting lagi, hari ini kita pergi kemana? ‖
Kami pergi ke pusat permainan, arena bowling, dan menonton film. Jarum
jam melewati angka enam, dan saat mengantar Shiina-san ke stasiun kereta,
aku bertemu dengan wajah yang akrab.
―Kurasa tidak. Aku tidak terlalu akrab dengan anak-anak tim basket, dan
lagipula aku tidak sendirian.‖
― Eh?‖
Setelah melihat Shiina-san, waktu terasa terhenti bagi Takuma, dan baru
dimulai kembali lima detik kemudian. Yah, aku sendiri tidak heran kenapa
Takuma bertingkah seperti itu. Jika itu aku, aku akan menunjukkan reaksi
yang sama persis.
―Hah? Ehhhhhh, tunggu tunggu tunggu. Siapa gadis cantik ini? Dia bukan
dari sekolah kita, ‗kan? Ngomong-ngomong, eh, eh, jangan bilang elu ... ‖
Dan mulut Takuma itu menganga, melihat bolak-balik antara Shiina-san dan
aku.
―Tidak, aku menyuruhmu untuk jangan ambil kesimpulan dengan cepat. Aku
tidak mengkhianatimu atau semacamnya.‖
Aku mencoba membujuk Takuma, tapi Shiina-san menarik ujung bajuku. "
sekarang apa lagi?" Pikirku, dan pada saat itu, dia meletakkan tangannya di
telingaku, meniupnya. Itu adalah perasaan yang menghancurkan saraf, dan
aku menutupi telingaku dengan tanganku, berteriak kaget. Aku merasakan
hawa dingin di punggungku, dan pipiku memanas. Apa yang sedang dia
lakukan, sih?
―Hei, apa maksudnya elu ngga ngehianatin gue? Apa yang baru saja dia
bisikkan padamu? Apa dia berbisik kalau dia menyukaimu? Bukannya kalian
Cuma pamer kemesaraan doang !? ‖
― Tidak, ini bukan seperti yang kau bayangkan. Shiina-san, bantu aku bilang
padanya. ‖
―Kau adalah penjahat yang mepercayai kalau apa yang sudah dilakukan
merupakan perbuatan yang tidak salah.‖
―Eh?‖
―Apa kamu tidak suka kalau orang-orang mengira kamu sedang ada
hubungan seperti itu denganku? "
―Begitu ya. Lalu, tak masalah, ‗kan? Yang lebih penting lagi, aku sedikit
terkejut kalau kamu memanggil teman sekelas dengan nama langsung,
Segawa-kun. Kamu sepertinya tidak memberi kesan seperti itu ...‖
―Hhmmm. Kalau begitu panggil aku 'Yuki', Segawa-kun. Aku akan mulai
memanggilmu 'Yoshi-kun'.‖
―Yah, aku benci ‗Musim semi‘ untuk 'Haru', tapi aku suka kata 'Yoshi'. Kami
berdua memiliki kanji yang sama, jadi aku akan memanggilmu Yoshi-kun. "
(TN: Kanji Haru mempunyai arti Musim semi)
―Kau benci musim semi? Kenapa? ―
―... Ketika Musim Semi tiba, udara mulai menghangat, dan salju pun
mencair, menghilang ditelan bumi. Semua orang akan melupakan salju
(Yuki), bukan? Walau masih ada salju di sana, tapi semua orang
melupakannya. Aku benar-benar tidak menyukai hal itu. ‖
Meski kanjinya berbeda, tapi namanya terdengar seperti kata 'Salju' dalam
bahasa Jepang.
Ini bukanlah sesuatu yang bisa mudah aku terima atau tolak, karena aku
tidak tahu apa-apa tentang dirinya.
Yang aku tahu hanyalah saat mendengar 'Aku benci Musim Semi (Haru)‘,
hatiku terasa sakit layaknya tertusuk jarum.
Karena aku punya firasat kalau dia akan mengatakan salju dan musim semi
tak pernah bisa bersama.
―Baiklah, Yuki.‖
―Woah, dipanggil dengan nama jauh lebih menakjubkan dari yang aku
sangka. Ini mungkin pertama kalinya seorang cowok selain ayahku
memanggilku begitu. ‖
Pada satu-satunya hari terakhir di liburan musim semi, aku pergi ke taman
Yairo bersama Yuki.
Sekarang masih hari biasa, dan taman jauh lebih tenang dari biasanya. Di
malam hari, tempat ini akan dipenuhi dengan orang dewasa yang ingin
melihat bunga, tapi kalau siang hari sangat jarang.
Alasan mengapa aku membawa Yuki ke sini, karena aku ingin mengunnjungi
tempat dimana tidak ada orang yang mengganggu kami, dan memberikan
kepadanya sesuatu yang aku beli kemarin.
Yang aku butuhkan hanyalah suasana keadaan dan waktu, tapi sulit untuk
menemukan waktu yang pas.
Kami berjalan cukup jauh di taman, dan hadiah itu masih memantul di
dalam kantongku.
Sejak aku bertemu Yuki, aku merasa tak berguna. Kupikir aku bisa
menangani urusan dengan sempurna, tapi akhirnya malah jadi salah tingkah
di depan Yuki. Kenapa bisa begitu?
Pada satu-satunya hari libur di liburan musim semi, aku pergi ke taman
Yairo bersama Yuki.
Sekarang masih hari biasa, dan taman jauh lebih tenang dari biasanya. Di
malam hari, tempat ini akan dipenuhi dengan orang dewasa yang ingin
melihat bunga, tapi kalau siang hari sangat jarang.
Yang aku butuhkan hanyalah suasana keadaan dan waktu, tapi sulit untuk
menemukan waktu yang pas.
Kami berjalan cukup jauh di taman, dan hadiah itu masih memantul di
dalam kantongku.
Sejak aku bertemu Yuki, aku merasa tak berguna. Kupikir aku bisa
menangani urusan dengan sempurna, tapi akhirnya malah jadi salah tingkah
di depan Yuki. Kenapa bisa begitu?
Di bawah sinar matahari yang lembut tersebut, aku hendak berbicara. Tapi,
aku malah didekati oleh seseorang.
Suara tersebut terdengar lebih dalam, berbeda dari suara Yuki yang nyaring.
― Eh? ‖
Kami menoleh ke arah sumber suara, dan ada paman besar seperti beruang
sedang berlari ke arah kami. Aku bisa mendengar efek suara gemuruh. Dia
terlihat sangat panik, jadi kami langsung berhenti di tempat —— yang mana
itu adalah pilihan yang salah.
―Kami sedang melakukan syuting film, tapi kami kekurangan pemain untuk
adegan terakhir. Itu menyebabkan kami banyak masalah.‖
―Tidak, tidak, tidak, tunggu dulu. Aku tidak mengerti maksud Anda. ‖
Mata pria itu tertuju pada Yuki yang sedang ada di belakangku, dan mata
bundar yang tersembunyi di balik rambutnya mulai bersinar cerah.
Hal tersebut sangat menyiratkan apa yang Ia pikirkan. Aku ingin segera
kabur, tapi lenganku langsung dicengkeram, dan aku tidak bisa
membebaskan diri. Ia melamun sekitar tiga detik, dan memanggilku lagi.
―Oi, nak.‖
―Tidak mau.‖
Jika aku sendirian, aku mungkin kewalahan oleh orang ini. Namun, sekarang
keadaannya berbeda, karena ada Yuki di belakangku.
―Aku tahu apa yang ingin anda katakan. Kamu ingin Yuki muncul di film.‖
―Tolong pertimbangkan.‖
―Itu mustahil.‖
Dan pada titik ini, Yuki, yang dari tadi melihat keadaannya, mengangkat
tangannya,
―Mengapa kamu memutuskan seenaknya saja, Yoshi-kun?‖
Pria itu tidak melewatkan kesempatan yang ada, dan langsung menimpali
dengan keras.
―Ya, ya. Jangan memutuskan apa yang diinginkan gadis itu, Nak.‖
Kalau begitu, kenapa Anda tidak bertanya pada Yuki langsung? Omong-
omong, sepertinya pria ini tidak berniat untuk bernegosiasi dengan Yuki.
Apa yang terjadi.?
Tapi karena aku tidak menyukainya, ijinkan aku melawan sedikit lagi,
Aku tidak begitu yakin dengan adegan sebelum dan sesudahnya, tapi
sepertinya kami akan merekam adegan dari pasangan yang sedang
bertengkar.
Orang yang memanggil kami ternyata adalah sutradara film ini. "Yo
direktur." Ada seseorang memanggilnya, dan Ia membalas, memberikan
tampilan yang sama sekali berbeda dari apa yang baru saja kita lihat. Aura di
sekitarnya segera berubah.
"Heh?"
Tiba-tiba, suasana membeku. "Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak",
Onee-san itu terus mengulangi kata-kata. "Tidak tidak tidak tidak tidak tidak
tidak."
"...Benarkah?"
―Haa. Aku mengerti. Kurasa tak ada yang harus kukatakan lagi. Pokoknya,
aku akan menyerahkanmu untuk merekam Kazuha-chan. Dia punya insting
tajam, dan dia akan tahu kapan kita tidak menganggap ini serius. cukup. Jika
itu terjadi, dia akan membuat keributan, dan takkan ada adegan lain untuk
syuting. Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi.‖
―Ahh, jangan khawatirkan itu. Kamu akan mengerti. Tapi, aku akan
mengatakan ini dulu. Orang itu benar-benar egois dan keras kepala, jadi
katakan saja apa kamu ingin katakan padanya.‖
Yuki dan aku bertukar pandang, memiringkan kepala kita karena tidak
memahami perkataan Onee-san.
Peran yang kami dapatkan adalah orang lewat A dan B. Jika Yuki berjalan di
depan, dia akan menarik banyak perhatian, jadi si Sutradara memintaku
menjadi perisai untuk menghalanginya.
Meski begitu, reaksi si sutradara setelah melihat adegan pendek yang baru
saja selesai, "Hmm."
―Mau lihat?‖
Lalu ada kedua pejalan kaki lewat, tidak ada sesuatu yang khusus, dan
mereka hanya berbicara. Tanpa kami sadari, adegan di layar laptop sudah
berubah. Eh, apa yang terjadi? Aku tidak ingat apa yang dibicarakan si
protagonis. Hanya wajah Yuki yang tersisa dalam ingatanku. Dalam ingatan
itu, Yuki dan aku tersenyum, mengobrol. Hal kecil ini saja sudah seperti
keajaiban.
Jika ini adalah film yang lengkap, tentunya aku tidak ingin menghabiskan
waktu untuk menonton adegan lain. Bahkan jika aku melihat seluruh film,
pada akhirnya, yang tersisa di pikiranku mungkin hanyalah senyum Yuki.
―Hei, nak. Apa kau tidak merasa kasihan? Jarang sekali melihat manusia
yang begitu cantik seperti dia. Kamu ingin melihat lebih banyak cerita yang
melibatkan gadis itu, ‗kan?‖
Sutradara tahu film ini akan sia-sia, tapi ia menghabiskan waktu dan upaya
hanya untuk mendapatkan aktris Yuki.
―Tidak, tidak, tidak, kau sama sekali tidak mengerti. Kami tidak bisa
menggunakan film ini. Semua orang yang menonton hanya melihat ke
arahmu.‖
―Jika adegan ini menyebabkan filmnya dihapus, aku akan mendengarkan apa
pun yang akan Anda katakan, sutradara.‖
―Jadi itu artinya kamu akan setuju jika aku bilang kalau aku ingin kau
muncul di film?‖
―Benar. Tapi itu mustahil jika keajaiban tidak terjadi. Keajaiban tidak bisa
terjadi berulang kali.‖
―Apa maksudmu?‖
―... Dengan kata lain, jika keajaiban terjadi sekali, itu cuma keberuntungan,
dan itu takkan bisa terjadi untuk kedua kalinya. Tidak, untuk setiap
keajaiban, harga yang setara harus dibayar, jadi tidak semuanya tergantung
pada keberuntungan.‖
Sutradara juga mungkin merasakan hal yang sama. Setelah berpikir sesaat,
"Begitu ya." ucapnya. Ia mungkin sudah puas karena sudah membuat Yuki
muncul di film.
Tanpa kami sadari, langit sudah menggelap, dan malam pun tiba.
―Kerja bagus.‖
―Kurasa tidak. Aku tidak terlalu cocok untuk jadi pusat perhatian.‖
"Yah, kalau boleh jujur, rasanya mustahil. Karena aku sudah bertaruh
dengan gadis itu, aku akan mencoba mengeditnya. Jika ulasan kritis internal
kita buruk, kita cuma perlu membuangnya. Lalu Aku harus membungkuk
kepada orang-orang itu dan meminta mereka mengulanginya. "
"Begitu ya."
Cuma itu saja yang bisa aku katakan. Semua yang tersisa tergantung pada
keputusan sutradara, karena ini adalah pertaruhan antara dirinya dan Yuki.
―Oh ya, ini ada tiket untukmu. Nanti ada pemutaran film untuk publik
selama festival budaya musim gugur mendatang, jadi datanglah untuk
menonton. Aku akan menyajikan film terbaik untuk penonton. "
" Proses produksinya mungkin takkan selesai tahun ini. Setelah ini selesai
tahun depan, aku akan wisuda. ‖
Kami berpamitan kepada sutradara dan kru yang lainnya, dan tiba di pohon
sakura yang besar.
Sayangnya, musim semi sudah terlewat, dan pohon itu tampak sedikit sedih.
Bunga-bunga putih jatuh berserakan di bawah, cabang-cabang pohon mulai
rimbun. Musim berikutnya akan datang.
―Cuma obrolan biasa. Bagaimana denganmu, Yuki? Apa yang kau bicarakan
dengan Onee-san tadi?"
―Rahasia.‖
―Rahasia, ya?‖
Ucapnya sambil tersipu, dan berlari ke arah pohon sakura. Angin sepoi-sepoi
berdesir, dan kelopak-kelopak bunga yang berserakan menari terbawa angin.
Rok itu berkibar. Rambutnya yang halus bergoyang.
"Yuki!"
Aku berteriak, dari jarak yang tidak jauh darinya.
"Ya, ada--apa?"
Aku mengeluarkan benda yang ada di dalam kantongku. Tidak ada jalan
kembali. Aku mendekati Yuki. Ini Cuma beberapa meter, tapi nafasku
terengah-engah. Jantungku berdetak lebih cepat dibandingkan dengan lari
100m.
Mendengar itu, Yuki membuka kotak tersebut, dan mengambil botol kecil
berwarna merah muda yang ada di dalamya.
―Parfum sakura?‖
―Yap. Kau bilang kalau kau benci musim semi karena semua orang
melupakan salju. Kalau ada aroma sakura sepanjang waktu, mungkin kau
juga bisa memikirkan salju.‖
Aku harap Kau tidak bilang lagi kalau Kau membenci musim semi.
Setelah beberapa pertimbangan, Yuki tahu bahwa aku takkan berbicara lagi,
dan dia berkata,
―Yeah, mungkin‖
"Tentu saja, aku akan ingat. Atau lebih tepatnya, aku pasti takkan lupa. Tapi
aku tidak bisa mengatakan hal yang sama kepada orang lain."
Yuki bilang. "Jika kamu bisa mengingatnya, maka itu sudah cukup, Yoshi-
kun."
―Terus, masih ada sesuatu yang ingin kamu berikan padaku juga, ‗kan?‖
―Ini tiket film. Jika kau punya waktu, apa kau tak keberatan menontonnya
bersamaku?‖
―Ya.‖
―Apa?‖
―Aku ingin melihat apakah kamu masih bisa mengingatku. Tahun depan, aku
akan datang dengan aroma parfum sakura ini, jadi ajak aku ke film lagi.
Untuk sekarang, biar kamu yang menyimpan dua tiket ini.‖
―Baiklah.‖
Mendengar jawabanku, Yuki terlihat sangat gembira, tapi pada saat yang
sama, dia menggumamkan sesuatu. Itu adalah suara sedingin es yang sama
sekali tidak berhubungan dengan ekspresi yang ditunjukkannya—
――Dasar pembohong.‖
Pertemuan 0 – Kucing Putih Bermata Biru
Itu adalah suara seseorang yang sangat yakin kalau dirinya melakukan hal
yang benar.
―Lepaskan tanganku.‖
Aku ingin melepaskan tangan yang memegang tanganku, tapi percuma saja.
―Baiklah.‖
Aku menaruh cokelat itu kembali ke rak, dan seperti yang Ia janjikan, Ia
melepaskan tanganku. Mungkin karena Ia memegangku dengan sangat erat,
lenganku masih terasa sakit meski Ia sudah melepaskanku. Aku meletakkan
tanganku yang lain di tempat yang panas dan menyakitkan, dan keluar
menuju pintu tanpa melihat bocah itu.
Begitu aku pergi, hembusan angin menerpa wajahku layaknya pedang tajam.
Ini bukan rasa sakit fisik, juga bukan rasa takut yang kuat, tapi dalam artian
lain, hidup di dunia ini sama saja dengan hidup di Neraka. Kesepian dan
perasaan sedih yang menumpuk setiap hari perlahan-lahan membunuh
hatiku.
―Tunggu.‖
Bagi orang seperti diriku, yang iri dengan hal-hal yang sepele, aku mungkin
sudah bosan dengan apa yang namanya ―hidup. ‖
―Tunggu.‖
Suara itu lebih dekat dari sebelumnya, dengan keras. Pada saat yang sama,
aku merasa kalau aku pernah mendengar suara ini.
―Kubilang….‖
Aku terus berjalan untuk melarikan diri dari jalanan yang dipenuhi dengan
kebahagiaan.
"Tunggu aku. Dari tadi aku memanggilmu, jadi apa kau bisa berhenti
sebentar? ‖
―Yah, tidak juga. Jika Kau tidak keberatan, ini untukmu, terimalah. ‖
Begitu aku menyadari apa yang Ia coba lakukan, aku langsung geram.
―Kamu sama sekali tidak mengerti diriku, jadi kenapa kamu melakukan
ini? Serius, aku sangat membenci tipe orang yang suka mencampuri urusan
orang lain seperti dirimu. Aku sangat, sangat membencimu !! ‖
Aku berteriak seperti anak kecil, napasku tidak teratur. Aku terkesiap, dan
udara dingin memasuki tubuhku, membuatku sangat sakit.
―Tapi yah, jika kau tidak membenci yang manis-manis. Setidaknya, kau bisa
menerima ini, ‗kan?‖
―Mengapa?‖
―Dengar, aku sadar kalau aku melakukan sesuatu yang sangat berbeda dari
diriku yang biasa, tapi kurasa aku bisa memberikan hadiah kepada seseorang
yang tidak kukenal hanya karena aku menginginkannya. Selain itu……‖
- Orang aneh.
Itu adalah hari di musim dingin, ketika aku baru berumur 15 tahun.
❀❀❀
Setiap hari Selasa, mulai dari jam 10.54 malam.
Mungkin kelihatannya seperti iklan pada dini hari, tapi tidak ada orang lain
selain diriku yang tahu kalau dunia mengalami perubahan pada waktu
segitu.
Dunia baru akan lahir setelah semua catatan dan jejak mengenai gadis
tertentu dihapus.
Karena kecelakaan lalu lintas delapan tahun lalu, ada sedikit perubahan pada
bagaimana dunia yang seharusnya.
Ya...
Tapi, saat data 500.000 atau bahkan 4.000 bukan hanya data biasa,
melainkan nama-nama orang terdekat, seberapa banyak rasa sakit dan
keputusasaan yang ditimbulkannya? Secara pribadi, aku sendiri pernah
mengalaminya.
Ini adalah kisah sebuah keluarga, yang menjadi bagian dari angka 500.000,
3 dari 4.000.
Hari itu seharusnya menjadi hari yang istimewa baginya. Mereka pergi ke
taman hiburan yang sangat disukainya, bersama dengan keluarga
tercinta. Tidak ada alasan baginya untuk tak bahagia.
Gadis yang tertidur di dalam mobil dibangunkan oleh ibunya. Dia membuka
matanya, dan menemukan sosok buram. Sosok yang lebih kecil tersebut
adalah adik perempuannya, Umi. ―Onee-tan, kita di sini.‖ Dia menirukan
ibunya, mengguncang tubuh gadis itu.
Dan dengan dorongan antusias dari sang ayah, gadis itu turun dari mobil,
dan menemukan kastil yang dia lihat di TV di depan matanya.
Biasanya, pada jam segitu, keluarga mereka sudah selesai mandi dan
memakai baju tidur, tapi mereka belum mengantuk sama sekali. Masih ada
keajaiban yang tersisa.
Gadis itu mengobrol dengan ibunya tentang makanan penutup yang mereka
nikmati hari itu, dan ayahnya terkadang ikut berbincang, yang mana hal itu
jarang baginya. Namun tak boleh; percakapan antar gadis dilarang untuk
pria.
Akhirnya, terdengar suara menandakan akhir dari semua orang yang penting
bagi gadis itu. Ahh, tepatnya, bukan suara yang berdering, melainkan
menghilang. Ya, orangtuanya menemui ajalnya.
Huuu huuu.
Gadis itu berpikir bahwa dia harus bergegas dan menemukan keluarganya,
tapi tubuhnya tak bisa bergerak sama sekali. Seolah-olah itu bukan tubuhnya
sendiri. Beberapa saat yang lalu, dia bisa bebas menggerakkan anggota
tubuhnya, namun sekarang dia tak bisa menggerakannya sama sekali, tidak
peduli berapa banyak kekuatan yang dia berikan.
Dia ingin melihat kembang api besar selama liburan musim panas sekali lagi,
membaca buku, mengenakan baju-baju yang lucu, dan mengunjungi taman
hiburan lagi. Dia ingin mengalami cinta dengan cowok yang luar biasa, persis
seperti kisah-kisah dalam novel.
Itu adalah tempat yang tidak bisa dijangkau oleh apa pun, bahkan amarah,
kesedihan, atau jeritan memilukan. 'Kematian' melambai di depan matanya.
―Aku tidak menginginkan ini.‖
Tidak.
Tidak.
Tidak.
Dia tidak bisa mengeluarkan suara, dan tak tahu apakah dia bernafas atau
tidak.
Tidak.
Bahkan jika itu adalah tempat yang kejam, dia ingin tetap tinggal.
Tidak, mungkin kurang tepat kalau dia mendengar sesuatu. Itu adalah
pertanyaan tanpa konsep kata atau suara.
Dia menyadari kalau dia bisa hidup jika dia menganggukkan kepala.
Orang asing datang dan pergi silih berganti. Orang-orang ini semua
mengenakan pakaian putih. Gadis itu ditanyai namanya, dan tidak tau
banyak tentang kecelakaan itu.
Di dunia ini tak ada yang tahu kalau di tempat yang sulit bernafas itu, ada
gadis yang selamat secara ajaib. Bukan, tak ada yang tahu kalau ada seorang
gadis di sana. Keberadaannya seakan-akan lenyap.
Gadis itu ingin berteriak, tapi dia berusaha menutup mulutnya dengan segala
cara. Dia menggenggam seprai dengan kuat, meninggalkan bekas kerutan,
menahan kesengsaraan yang dideritanya.
Karena inilah jalan yang dia pilih.
Pada hari itu, gadis itu melihat jarum jam berjalan. Jarum menit berdenting,
dan waktu berlalu dengan mudahnya. Jam 10.54 malam. Dalam sekejap
mata, dunia ditulis ulang lagi.
Awalnya, dia mendengar teriakan dari suara yang dia kenal. Ternyata, suara
tersebut berasal dari suster muda, yang ramah kepada gadis tersebut di
rumah sakit. Dia memberikan permen kepada gadis itu, dan saat gadis itu
bilang kalau dia suka membaca, suster tersebut meminjaminya beberapa
buku yang menarik. Tapi kali ini, suster muda itu terkejut melihat gadis itu,
Dia seolah-olah sedang memandang keberadaan yang tidak diketahui
asalnya.
Gadis tersebut tahu nama dokter dan suster itu. Di dalam benaknya, dia
mencoba mengatakannya. Beliau adalah Kanzaki-sensei. Dan si Suster
adalah Tanio-san.
Kanzaki-sensei mendekat. Gadis itu bangkit dari tempat tidur, dan berdiri,
menghadap dokter. Dokter pun berkata,
―Kau…...siapa?‖
Kata-kata yang dianggap tak berbobot ini memberikan banyak beban kepada
gadis itu daripada apa yang bisa dia bayangkan.
Gadis itu berlari keluar dari kamar rumah sakit dengan linglung, dan orang-
orang di sekitarnya membuka jalan untuk membiarkan dia lewat. Dia pergi,
melihat sekeliling, dan menemukan tulisan di papan nama telah
menghilang. Sebelum tidur, dia memeriksa kalau namanya ada di
sana. Padahal, baru 30 menit yang lalu. Selama waktu itu, tak ada orang yang
lewat di depannya kamarnya.
Gadis itu menuruni tangga, dan meninggalkan rumah sakit melalui pintu
belakang.
Memikirkan hal ini, perasaan gadis itu membludak tak terbendung. Tak ada
yang berhenti. Emosi yang terpusat terus meraung di dalam dirinya, dan jika
dia tak membiarkannya keluar, gadis itu bisa-bisa hancur.
―Ah, AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHH──‖
―AAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHH──‖
Aku berada di bangku taman, sedang mengunyah cokelat yang kuterima dari
cowok yang namanya tidak kukenal. Aku menggigit sepotong, dan sedikit
terkejut, karena aku bisa merasakan rasa manis. Selama bertahun-tahun, aku
tak bisa merasakan apa pun apa pun yang aku makan.
Setiap kali aku menggigit, cokelatnya menjadi sedikit lebih kecil. Aku
memandangi cokelat yang menyusut itu, dan merasa sedih. Ah, begitu
ya. Jadi ini yang namanya 'kesedihan'. Aku tak pernah berpikir kalau aku
akan memiliki perasaan seperti itu.
―Ayo pergi.‖
Aku tidak punya kekuatan untuk berdiri, dan aku bergumam dengan lemah.
Mungkin karena terlalu dingin, dan tanganku mati rasa, jadi aku tidak bisa
merasakan apa-apa bahkan setelah menyentuhnya. Aku merasa seperti
mayat, jadi aku berpikir sambil menggigiti cokelat yang menyusut. Ini sangat
manis, sangat manis sampai-sampai air mataku akan jatuh.
Tidak ada yang menjawab celotehku. Yah, walau aku sudah tahu itu akan
terjadi.
Cahaya yang aku raih hari itu adalah ―sesuatu‖. Ya, ―sesuatu‖. Bahkan
dengan semua bahasa di dunia ini, aku mungkin tak bisa
menggambarkannya. Jika aku harus menggambarkannya, mungkin cahaya
itu adalah sebuah ―keajaiban‖.
Misalnya saja, sudah diputuskan dari dulu kalau keberadaan yang disebut
dunia akan bergerak menuju akhir. Umat manusia menyebut bahwa aliran
takdir, atau sejarah, dan prosesnya tidak bisa diubah.
Aku terus berpikir sambil berjalan, ada kerikil yang menyentuh sepatuku,
dan berguling-guling di tanah. Kemudian, anak laki-laki di belakangku
menendang kerikil itu. Kerikil tersebut berguling ke rumput, dan seekor
burung yang tampaknya baru berada di rumput itu pun terbang.
Perubahan kecil ini mungkin akan menyebabkan sesuatu yang besar di masa
depan. Sesuatu seperti merubah nasib dunia──
Diriku yang seharusnya meninggal pada saat itu, menjadi sebuah eksistensi
yang tidak lagi ada di dunia ini. Dengan demikian, semua tindakanku akan
menjadi Black Box, dengan potensi tersembunyi untuk mengubah nasib
dunia.
Jadi, sebagai harga untuk tetap hidup, masa laluku yang diambil. Sebelum
taring perubahan dapat mencapai masa depan yang jauh, sumbernya
terputus terlebih dahulu, dan jalan menuju masa depan bisa disesuaikan
kembali.
Setiap Selasa, jam 10.54 malam, semua yang terjadi akan dianggap 'masa
lalu', dan keberadaanku akan terhapus dari 'masa lalu' tersebut, semua
kenangan tentang namaku, wajahku, maupun perbuatanku tidak ada yang
ingat. Dan kemudian, semua perbedaan yang disebabkan oleh hilangnya
―keberadaanku‖ akan ikut tersapu bersih.
Semua yang kudapat sebagai imbalan atas hidupku ialah satu minggu di
masa depan.
Setiap hari, kursi hilang, dan pada hari ke 8, semuanya akan lenyap.
Selesai. Untuk melanjutkan, aku harus memulai lagi dari awal.
Aku tahu. Aku yang meraih cahaya, tahu itu akan terjadi.
―Meong meong.‖
Suara tersebut datang dari dekat selokan. Semak-semak ilalang tumbuh di
sana, dan aku tidak bisa melihat apa itu, tapi pasti ada sesuatu di sana. Aku
melihat sekeliling, tetapi tak ada orang lain selain aku. Meong. Itu adalah
suara yang hanya bisa didengar olehku.
Tanpa aku sadari, aku sudah menyingkirkan ilalang ke samping, dan melihat
jauh ke dalam selokan.
―Meong.‖
Ada anak kucing, badannya sedikit kotor karena tertutupi lumpur, dan warna
bulunya tidak terlalu jelas. Mungkin dia baru saja lahir. Cakar, kaki, serta
tubuhnya sangatlah kecil, suaranya terdengar sangat lembut. Hanya Mata
birunya yang besar, seakan-akan memandang Bumi dari angkasa, meski aku
tak pernah melihat Bumi dari luar angkasa.
―Meong.‖
Aku membawa anak kucing itu ke hotel, dan menamainya 'Shiro'. Setelah
aku memandikannya, bulu di tubuhnya menunjukkan bulu putih yang indah.
Shiro masih kecil, fisiknya masih lemah, jadi aku tak punya niat untuk
membawanya keluar. Tentu saja, aku tak pernah pergi karena aku harus
merawatnya.
Kadang-kadang Shiro suka menempel di kakiku, dan pada saat seperti itu,
aku akan menggendongnya dan meletakkannya di pahaku. Dia kemudian
akan tertidur dengan puas. Aku bisa merasakan berat dan kehangatan
hidupnya ketika aku membalik-balik halaman. Sudah lama sejak aku
merasakan kehangatan seseorang. Aku merasa bahwa aku diselamatkan oleh
hal sekecil ini.
―Kamu benar-benar punya bulu yang cantik. Kamu juga kurus. Rasanya akan
sia-sia jika kamu jadi gemuk. "
―Meong.‖
Dia tampak agak kesal karena tidurnya diganggu. Namun itu membuatku
sedikit senang. Ada kalanya ketika aku terlalu menjahilinya, dan aku dicakar
olehnya. Namun rasa sakit ini membuatku bahagia.
Lagipula, luka yang disebabkan oleh seseorang adalah bukti bahwa aku
melakukan kontak dengan orang lain.
―Maaf maaf.‖
Aku mengusap bulu Shiro dengan lembut, dan dia tertidur lagi.
―Ahh, aku ingin tidur juga.‖
Aku harus bergegas pergi. Tapi sebelum itu, aku harus membangunkan
kucing malas yang mengantuk ini.
Tapi karena Shiro masih anak kucing, dia mungkin takkan bertanya padaku,
"Siapa kamu?", iya ‗kan? Setelah aku memberinya makan, dia akan
menempel lagi padaku.
―Hei, Shiro.‖
Itulah jawabannya.
Namun, makhluk yang ditakdirkan untuk mati takkan pernah bisa melewati
titik kematian.
Tubuh Shiro kehilangan tenaga dan kehangatannya, dan terasa jauh lebih
ringan ketimbang saat dia masih hidup. Ada penelitian kalau berat jiwa itu
sebesar 21 gram. Tapi, apa itu benar?
―Ahh, uuuu.‖
Aku tidak bisa meninggalkan tubuh Shiro begitu saja, dan pada hari
berikutnya, aku mulai mencari tempat untuk menguburkannya.
Jika aku mati, aku takkan berharap orang lain melihat tubuhku yang
membusuk. Itu pasti yang dipikirkan Shiro.
"Apa yang sedang dia lakukan?" aku bisa merasakan tatapan penasaran dari
orang yang berlalu lalang. Ini adalah sebidang tanah yang jarang dilewati
orang, tapi bukan berarti tak ada orang. Tidak ada orang aneh yang datang
untuk berbicara padaku. Semua orang hanya menatapku, dan kemudian
memalingkan muka.
Aku terus menggali, tapi saat terus menggali, bahuku semakin berat karena
takut dan lelah bertanya-tanya apakah ini akan dihapus. Setiap tindakan
yang aku lakukan mungkin dianggap 'tidak pernah dilakukan'. Jika ada
banyak saksi, kemungkinan itu menjadi lebih tinggi.
Sepertinya aku mengenai sebuah batu yang terkubur di bawah tanah. Tangan
yang memegang sekop terasa sakit. Aku jatuh terduduk, yang biasanya
takkan kulakukan. Aku meminum teh dari botol PET yang aku beli. Setelah
menunggu sejenak, mati rasa di tanganku menghilang.
―Lagi-lagi kamu?‖
Ah, begitu ya. Dua kali penulisan ulang terjadi sejak kami bertemu. Tidak
ada informasi tentang diriku dalam ingatannya. Dia tidak ingat apa-apa
tentang diriku, dan juga tentang bagian ketika dia mengejarku, atau saat Ia
memberiku cokelat.
Jika itu dia, orang asing sok akrab yang memberiku cokelat, mungkin dia
akan mendengarkan permintaanku.
―Maaf. Aku pikir aku salah orang. Sebenarnya, kucing peliharaanku sudah
mati, jadi aku membuat kuburan untuknya. Jika kamu tidak keberatan, apa
kamu mau membantuku? ‖
Aku pikir dia akan sedikit tidak rela, ―Baiklah.‖ Tetapi dia menjawab dengan
enteng. Dia mengangguk, meletakkan tasnya ke bawah, dan menarik keluar
sekop yang ada di tanah, mulai menggali itu. Kali ini, aku memastikan bahwa
aku tidak duduk di tanah, mengawasi bagian belakang yang ternyata lebih
dapat diandalkan daripada yang terlihat.
―Ya. Tapi di mataku, kau terlihat seperti itu. Kau tampak bermasalah, merasa
tidak berdaya, tapi kau masih bekerja keras, menampilkan sosok yang penuh
tekad. Aku tidak bisa mengabaikanmu begitu saja. ‖
―... Yah, sepertinya aku tidak punya ambisi atau disiplin untuk melakukan
sesuatu, jadi kurasa itu sebabnya. Aku benar-benar mengagumi mereka yang
benar-benar berbeda dariku, orang-orang yang berjuang keras demi meraih
apa yang mereka inginkan. Kelihatannya memang sedikit keras kepala, tapi
aku berharap orang-orang seperti itu tidak menyerah. Mungkin aku
memaksakan idealismeku pada orang lain, tapi jika ada yang membutuhkan
bantuan, aku akan membantu.‖
―Aku mengenal orang yang seperti itu. Orang yang awalnya terlihat keren,
tapi akhirnya mengacaukan semuanya.‖
―Aku mengerti. Itu sangat sulit, rasanya tak tertahankan. Meski begitu–‖
―Hmm. Kalau begitu, kuharap kamu bisa menemukannya suatu hari nanti. ‖
―Eh?‖
Cowok itu hanya tertawa kecil, tidak menjawab apa pun. Ia terus menggali
dengan diam.
Akhirnya, di depanku ada lubang yang dalam. Cukup dalam untuk mengubur
Shiro.
―Ya.‖
―Namanya?‖
―Yah, kupikir itu nama yang bagus. Pepatah mengatakan kalau nama adalah
gambaran dari orangnya. ‖
Setelah mengubur bangkai Shiro di dalam tanah, kami bertepuk tangan dua
kali untuk berdoa. Kami tidak membangun kuburan. Aku adalah orang yang
berdoa, tetapi aku tidak tahu harus berdoa apa.
―Saat aku pertama kali bertemu dengannya, Si kecil ini sedang sendirian di
selokan.‖
Cowok itu hanya mendengarkan diam-diam, tidak merasa curiga saat aku
mendadak bercerita.
―Seminggu berlalu sejak itu. Sepertinya aku dipanggil olehnya. Ketika aku
bertanya padanya, Apa kamu ingin ikut, dia mengeong seakan-akan
menjawab iya. Tapi kehidupan Shiro hanya diperpanjang satu minggu. Jadi
kupikir. Jika dia tinggal di selokan selama seminggu, apa lebih baik
begitu? Katakanlah, apa ada artinya untuk memperpanjang umurnya hanya
seminggu?‖
Aku menyaksikan orang tuaku dan Umi mati, dan menipu kematian. Tapi
kenyataan tidak selalu hanya hal yang baik. Aku tidak tahu kapan itu
dimulai, tapi aku terus bertanya, mengapa aku ingin terus hidup.
Dalam bahasa Yunani, cahaya putih kebiruan yang berarti panas. Kalau
begitu, aku seharusnya menghilang dalam nyala api saat itu.
Tapi kenyataannya aku masih hidup. Aku memilih untuk hidup atas
kemauanku sendiri, dan sejak malam aku kehilangan segalanya, aku telah
mencari alasanku untuk hidup.
Cowok itu, yang dari tadi mendengarkan dengan tenang, ikut berbicara,
―Jika kau bertanya apakah ada artinya membiarkan hidup Shiro seminggu
lebih lama, kurasa jawabannya ada di dalam hatimu. Dia mendapatkan
cintamu, sehingga kematiannya membuatmu sedih. Hanya itu saja sudah
membuatnya bahagia. Yeah, Itu mungkin karena……
Ucapnya menyimpulkan.
―Kurasa begitu. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Shiro, tapi itulah yang
aku pikirkan. Jika seseorang dapat tetap berada di hati orang tertentu dan
dicintai, itu adalah berkah bagi Kehidupan.‖
Begitu ya. Jika aku bisa tetap berada di hati orang tertentu, maka ada tujuan
hidup. Jika aku bisa melakukannya, mungkin aku bisa menemukan sedikit
arti dalam hidupku.
Aku melihat ke arah cowok di sebelahku. Cowok sok akrab ini mungkin bisa
mengingatku, tak peduli berapa tahun setelah aku menghilang.
Aku didekati oleh seorang gadis yang belum pernah aku temui sebelumnya.
Aku hendak membereskan buku-buku yang tak terpakai dari meja, ―Ngga
usah.‖ Tapi dia melambaikan tangannya, ―Aku cuma mau membaca. Ngga
usah repot-repot beresin segala. Apa kamu sedang mengerjakan tugas musim
panasmu?‖
―Ya.‖
Keinginan itu terpenuhi lebih cepat dari yang aku harapkan. Aku pergi ke
toilet, dan setelah kembali, aku melihat kalau dia tidak sedang membaca
bukunya, melainkan melihat buku tugasku.
Dia mengambil pensil mekanikku, dan mulai menulis. Dalam satu menit, dia
sampai pada jawaban yang berbeda. Aku menengok, dan melihat kalau
jawabannya sama persis dengan yang ada di lembar jawaban.
Tugas musim panas, alat tulis, dompet, smartphone, dan handuk. Setiap
langkah yang aku ambil, barang-barang di tasku bersentuhan dan
berdentangan.
Aku melangkah maju, dan dunia mulai berputar sedikit lebih cepat. Jadi aku
terus berlari seiring dengan emosiku. Di tengah jalan, aku berbelok ke kanan,
dan menuruni jalur joging di tepi sungai. Kilau cahaya muncul di permukaan
sungai, dan sepertinya udara dipenuhi dengan cahaya musim panas. Fuu,
haa. Keringat mulai muncul di dahiku.
Setelah aku meninggalkan klub lari di SMP, aku mulai berlari secara teratur,
tapi tubuhku sangat lamban dibandingkan dengan yang dulu. Yah, ini sudah
cukup, pikirku. Semuanya sudah menjadi bagian dari masa lalu.
Pada hari musim panas terakhir saat SMP, aku melampaui seseorang yang
aku 'kagumi'.
Tanpa aku sadari, garis finish sudah berada di belakangku. Ah, akhirnya aku
melakukannya. Itulah yang aku pikirkan pada saat itu, aku tidak terlalu
berharap. Tapi, nyatanya aku sudah melewati garis finish.
Itulah tempat yang akhirnya aku capai setelah berlari selama 3 tahun di
SMP.
Itu mengejutkanku.
Ternyata suara itu milik teman sekelasku, Akane Rindou.
―Apa kamu kena dehidrasi? Apa kamu baik baik saja? Mau kubelikan air? ‖
Akane duduk di sepedanya, dan keranjang di bagian depan ada tas yang
dimasukkan ke sana dengan cara acak-acakan. Ini adalah tas oranye yang
akan selalu dia bawa untuk kegiatan klubnya, dan aku sering melihatnya.
―Mesum.‖
―Apa?‖
―Kamu melihat tasku. Kamu tahu apa yang ada di dalamnya, bukan? ‖
―Mengapa?‖
―Akane, sekedar mengingatkan, jangan pernah lakukan itu meski itu adalah
pakaian renang. Bukankah ada lagu lama dengan lirik, 'semua cowok itu
mesum, jadi teruslah waspada'. ‖
Tiba-tiba, aku menyadari kalau hal yang mengamuk di dalam diriku telah
menghilang sepenuhnya. Ketimbang hal itu, ada sesuatu yang sedikit lebih
jujur, mencoba mengintip. Baju renang, baju renang. Bagian bawah rok yang
tidak bisa dilihat mengusik naluriku sebagai cowok.
Yah, mau bagaimana lagi, ‗kan? Jadi aku bergumam dan membela diri.
―Terima kasih.‖
Aku berkata dengan malu-malu, dan Akane segera tertegun, lalu melarikan
diri dariku.
Apa aku ini bego? Mengucapkan terima kasih setelah melihat rok yang
terangkat? Diriku yang cabul.
―Apa bedanya?‖
Akane terus melangkah lebih jauh. Ah, aku bilang itu berbeda, beneran. Tapi
semakin aku menyangkalnya, jarak antara kami semakin melebar. Sampai
pada titik, kami berada di jarak saling berteriak, bukan jarak saling bicara.
―Hei – cabul–!‖
―Berhenti memanggil cabul seolah-olah itu namaku. Namaku bukan itu, tau.
‖
Ahh sial, tidak bisa menyangkal apa yang baru saja aku akui.
―Ya-! Aku-!‖
―Hm?‖
―Sangat menantikannya!!‖
―Oke!‖
❀❀❀
Aku sedang berada di lobi perpustakaan, tengah melepas dahaga. Air dingin
yang kuminum mengalir melalui tenggorokanku, dan langsung menuju ke
perutku.
Ingatan ini tetap tersimpan di sudut kesadaran samarku, dan berbeda dari
ingatan lain. Ini seperti makan, pergi ke toilet sendirian, atau naik sepeda.
Aku kira itu sama, entah bagaimana, aku belajar cara melakukannya.
Pada hari pertama kami bertemu, dia membawa dua buku di atas meja, dan
sedang membaca salah satunya. Sudah tiga hari sejak kami bertemu, namun
dia belum membaca buku kedua-nya, dan alasannya adalah karena
diriku. Sejak hari itu, aku merepotkannya dengan dengan tugas-
tugasku. Terutama tugas Matematika; tanpa bantuannya, aku takkan bisa
menyelesaikan sebagian dari tugas yang ada.
―Selamat pagi.‖
Kami tidak janjian untuk bertemu, tapi aku meminta maaf. Aku merasa
kalau aku sangat berutang padanya, dan datang terlambat merupakan hal
yang tak baik bagiku.
Aku berangkat dari rumah lebih awal, dan berlari karena aku takut
terlambat, tapi percakapanku dengan Akane hari ini tak kusangka menyita
banyak waktu. Aku akan berangkat dari rumah sedikit lebih awal besok,
gumamku sembari memutuskan hal tersebut.
―Eh?‖
―Belum. Aku masih tidak mengerti. Rumus yang dipakai sudah benar, tapi
jawabannya masih belum ketemu.‖
―Maaf.‖
―Iya, Sensei.‖
Yuki mungkin terlalu menyukai bagian kata 'sensei', karena ada senyum yang
menyilaukan menghias wajahnya.
―Anak baik.‖
❀❀❀
Ehhh, aku menepak kepalanya, dan dia menjerit seperti kesakitan, Aduh,
sakit tau. Dasar kejam, memukul seorang gadis. Dia terus menggerutu, dan
aku terus mendengarkan suaranya yang menyenangkan, mengabaikan
keluhannya.
Yuki yang cemberut sangat imut, dan aku terus menatapnya.
Kami terus berjalan, dan posisi bayangan berubah. Bayangan Yuki bergeser
ke kakiku, sementara aku mengikuti dari belakang.
―Umu.‖
Kami terus berjalan, memeriksa posisi matahari tepat di bawah kaki kami
ketika kami mencoba untuk saling menandai. Beberapa saat yang lalu,
kupikir bayanganku bergerak ke arah Yuki, tetapi pada saat selanjutnya,
bayangan Yuki bergeser ke arah kakiku. Bahkan di tempat yang berbeda, aku
bisa melihat banyak pemandangan berbeda.
Dari waktu ke waktu, kami berbelok ke kiri, lalu ke kanan, dan masuk ke
gang. Kami hanya fokus pada posisi matahari, dan tanpa kami sadari, kami
tidak tahu di mana kami berada.
―Yah, lagipula tidak terlalu jauh juga, jadi kurasa kita baik-baik saja. Ayo
putar balik.‖
―Kamu benar.‖
―Eh?‖
―Tidak. Umm, ini kebiasaanku sejak kecil. Aku berpegangan tangan dengan
adikku, untuk memastikan kalau dia tidak tersesat. ‖
Dia tak berniat untuk melepaskan tanganku, jadi aku tidak mengucapkan
apa-apa lagi, dan memegang tangannya dengan lembut.
Aku tak tahu seberapa banyak tenaga yang harus aku gunakan, dan sulit
untuk mencari tahu. Adik perempuanku Natsuna memiliki tangan yang lebih
kecil daripada Yuki, tetapi ini adalah situasi yang berbeda. Aku jauh lebih
gugup memegang tangan Yuki.
―Eh?‖
―Ow.‖
―Aku ingin kamu memegang tanganku ... erat. Tolong jangan lepaskan. ‖
―Baiklah.‖
―Eh, ah, ya. Kurasa sesekali melakukan sesuatu yang tak biasa memang tidak
terlalu buruk.‖
Kami memutar balik sebentar, dan melihat jalan yang sudah kami kenali.
Sepertinya kami baru saja masuk ke sisi jalan yang jauh dari jalan yang
biasa. Menjorok turun, kami bisa melihat aula publik, dan kami tiba di jalan
utama.
Aku pikir itu akan berlanjut, tapi Yuki dengan cepat berhenti.
Dia berhenti mengayun, dan mendadak diam ketika dia melihat papan
reklame di ruang publik. Apa ada sesuatu yang langka di sana?
―Ada apa?‖
―Itu.‖
Yuki menunjuk poster festival musim panas lokal. Pamflet hitam itu berisi
foto kembang api. Pada waktu seperti ini, poster-poster seperti itu akan
ditempelkan di seluruh jalan-jalan perbelanjaan dan sejenisnya; jadi, ini
bukanlah pemandangan langka.
―Ahh, festival Nobume? Dua hari nanti. Aku-―
――Eh???‖‖
―Kapan?‖
―Eh?‖
―Ehh ... dua hari yang lalu. Aku hanya ngikut semua yang ada di kelas. ‖
―Dua hari yang lalu? Awal liburan musim panas ya, aku ceroboh.‖
Yuki mendongak ke atas, tampak frustrasi oleh sesuatu saat dia menutup
matanya. Rambut depannya terurai ke wajahnya. Yah, aku menyaksikan
lehernya yang mulus itu indah. Dia mengerutkan kening, mendesah, dan
mengikhlaskan. Suhu tubuhnya menjadi jauh.
Sedikit lebih jauh dariku, Yuki berbalik, dan lalu menatapku. Ketika cahaya
matahari menyinari punggungnya, aku tidak tahu ekspresi macam apa yang
dibuatnya.
―Selamat tinggal.‖
Yuki kemudian berbalik lagi untuk pergi. Ketika dia mengucapkan selamat
tinggal, aku secara alami berpikir kalau kami akan bertemu lagi pada esok
hari, jadi aku melambai padanya, byebye,
Tetapi pada hari berikutnya, dan lusa, Yuki tak pernah muncul lagi di
perpustakaan.
❀❀❀
Aku mendengar suara seseorang ketika aku hendak mengenakan yukata. Itu
adalah suara serak orang tua yang tegas, dengan dialek yang tidak
dikenal. Ya ya. Letakkan tangan melalui lengan baju, dan tarik. Bukannya
sudah bagus sekarang? Langsung keluar sisi itu. Tidak bisa berpakaian di
sana. Yap, terlihat bagus.
Aku melihat sekeliling, tetapi tentu saja, hanya ada aku di kamar hotel ini.
Sudah setahun sejak aku tidak mengenakan yukata, tapi aku berhasil
memakainya dengan bantuan suara nenek tua yang membimbingku. Yukata
yang kupakai adalah yukata biru tua, bermotif ikan mas merah dan hitam
yang berenang di sungai. Ini adalah sesuatu yang nenek tua tinggalkan
untukku, meski aku hanya bertemu beliau sekali, dan tidak tahu namanya
sama sekali.
Yukata benar-benar cocok dengan rumah tua nostalgia tempat nenek itu
tinggal.
Ada papan nama dengan tulisan 'Rental Yukata / Kimono'. Aku menggeser
pagar yang tingginya sepinggang, dan diikuti suara derit tersebut, aku
melihat jalan yang menghubungkan ke rumah. Nenek tua itu berada di ujung
rumah, sedang mengepakkan kipasnya.
Dia menyipitkan matanya, dan karena keriput, untuk sesaat, aku tidak tahu
di mana dia melihat. Rambut putih bersihnya terlihat terawat, halus dan
berkilau.
―Erm, aku melihat papan nama di luar. Aku ingin menyewa yukata dari anda,
nek.‖
―Papan nama. Papan nama. Ahh, yang itu ya. Aku sudah tidak melakukan itu
lagi, Maaf.‖
Meski beliau meminta maaf, nenek tua itu pergi dengan gembira.
―Tapi Nona, wajahmu cantik. Kamu ingin menjadi lebih imut, ya?‖
―…Iya.‖
―Iya.‖
―Kamu menyukainya?‖
Tentu saja, aku tahu itu, tetapi aku berpura-pura tidak mengetahuinya.
―Yah, memang bagus bagi seorang gadis untuk menjadi bersemangat, tapi
yah, kamu harus berpakaian lebih baik. Nenek tua ini tak bisa memakainya
lagi, jadi anggap saja ini takdir, ya. Ini sesuatu yang bagus untukmu, Nona
muda.‖
Yoisho, nenek itu berusaha untuk berdiri, dan pergi dari teras menuju ke
dalam rumah. Aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku hanya berdiri di
sana. Setelah beberapa saat, nenek itu memanggilku,
―Jangan bengong terus. Kemarilah. Nenek tua ini akan memberimu sesuatu
yang bagus.‖
Ruangan itu dipenuhi aroma unik dari rumah tua. Udaranya kental, dipenuhi
dengan berbagai hal, kehidupan, usia, kematian, pengalaman hidup
manusia.
―Meski sedikit jadul, ya, tapi masih bisa dipakai. Ayo, buka bajumu dan pakai
ini.‖
Nenek itu mengeluarkan apa yang kelihatannya yukata biru tua yang mahal.
―Eh?‖
―Ayo cepat.‖
Dengan suara keras nenek yang tanpa henti memaksaku, aku menelanjangi
diri, seperti yang diperintahkannya.
―Ya ampun, jika kamu tidak memakai ini, nanti bisa tembus pandang.‖
Usai mengatakan itu, nenek memberiku baju dalam. Alih-alih dipakai dari
lengan, slip yang jatuh dari dada ke pinggang tampak sangat
menyedihkan. Aku sedikit ragu, merasa bimbang apa aku harus
memakainya, tapi pada akhirnya aku mengenakannya dengan patuh.
―Ya ya. Letakkan tangan melalui lengan baju, dan tarik. Bukannya sudah
telihat bagus sekarang? Langsung keluar sisi itu. Tidak bisa berpakaian di
sana. Yap, terlihat bagus. ‖
―Iya.‖
―Aku juga pernah ke sana bersama beberapa orang lain saat masih muda.‖
―Iya.‖
―Tapi sejak para tetua itu pergi, aku tak pernah ke sana lagi. Kembang api itu
tampak sangat tak berwarna bagiku. ‖
―Apakah begitu?‖
―Ini bukan masalah usia. Hanya masalah perasaan saja. Itu salah. Ya, tahan
di sana ya.‖
―Seperti ini?‖
―Ya. Kemudian tarik kembali. Benar, sudah selesai. ‖
―Hm, cantik sekali. Setiap laki-laki akan jatuh cinta pada kecantikan
semacam dirimu. Pergilah ke sana dan buat Ia berkata 'Aku
menyukaimu'. Ahh, pergilah ke sana dengan yukata ini dengan senyum imut
tahun depan, dan tahun depannya lagi. ‖
Aku berterima kasih kepada nenek itu, dan pergi ke tempat janjian untuk
bertemu dengan Yoshi-kun.
―Kau tahu, Yuki? Sirup es serut semua rasanya sama, cuma warnanya saja
yang berbeda. ‖
―Begitu ya.‖
Hal itu ditulis dalam novel yang aku pinjamkan pada Yoshi-kun, tapi Ia tidak
tahu itu. Kenyataannya mungkin berubah sedemikian rupa sehingga Ia
akhirnya meminjam novel dari perpustakaan.
―Bagaimana?‖
Kali ini, aku menyendok dari milikku, dan menjulurkan ke arahnya. Pada
saat yang sama, dia agak kelagapan, tapi aku pura-pura tidak
menyadarinya. Ada apa? Aku memiringkan kepalaku.
―Bagaimana rasanya?‖
―Hmm, entah. Ini seperti rasa yang sama, tapi sedikit berbeda. ―
Kami melanjutkan dengan obrolan santai, dan lalu sebuah kembang api
mekar di udara, seolah-olah mengakhiri pembicaraan kami sebelum
memudar. Dentuman suara kerasnya mengguncang hati kami, dan kembang
api, yang berwarna seperti lidah kami, secara bertahap mewarnai dunia
secara berbeda. Biru, hijau, kuning, merah.
―Cantik sekali.‖
―Ya.‖ Balasnya.
Mungkin ini pertama kalinya sejak kecelakaan itu, aku sangat menantikan
melihat masa depan setelah momen ini.
………………………………………………………………..
………………………………………………………..
………………………………………..
……………………………
Aku sendirian, mengenakan yukata yang sama, dan pergi ke kuil sendirian.
Setiap langkah yang aku tapaki, geta yang sedikit lebih besar dari kakiku
berbunyi. (TN : sandal kayu)
Aku tiba di rumah tua yang telah dijual, dan menghentikan langkahku.
Pagarnya dikunci oleh benda-benda seperti kawat logam. Ini sudah seperti
ini sejak beberapa hari usai festival tahun lalu.
Nenek tua yang tersenyum dengan beberapa gigi tersisa sudah tidak ada lagi.
❀❀❀❀
(TN : Perubahan sudut pandang lagi, sekarang dari sudut pandang MC)
Aku pergi ke kuil, dan untuk beberapa alasan, langkah kakiku terasa berat.
Bukannya aku tidak senang pergi ke festival, tapi aku sudah seperti ini sejak
kemarin. Pikiranku selalu memikirkan gadis tertentu.
Para lelaki mengenakan pakaian yang sama, entah setelan kolor yang cocok,
atau celana jeans yang cocok. Beberapa gadis memakai yukata. Omong-
omong, Akane menyebutkan kalau dia akan mengenakan yukata.
―Hei, itu tidak sopan. Bukannya aku sudah bilang kalau aku akan datang, jadi
aku beneran datang. ‖
Nada bicaraku terdengar kasar karena suatu alasan, dan teman sekelas yang
lain menjauhkan diri dariku.
―Yah, Haru mungkin tidak terbiasa dengan ini. Mungkin Ia tidak tahu
bagaimana harus bereaksi.‖
Aku mengerti apa yang Ia maksud, jadi aku dengan senang hati mengikuti
arus.
Aku akan memukulnya dengan baik. Woke, waktunya festival darah. Aku
bisa mendengar kata-kata kejam seperti itu di luar imajinasiku. Tunggu,
tahan dulu, serius, jangan lakukan ini. Ow Orang bego mana yang tadi
mukul? Takuma dikelilingi oleh orang-orang, berteriak; Aku bertukar
pandang dengannya, dan melihat dirinya masih tertawa. Aku mengangguk
padanya. Suasana canggung dari sebelumnya telah hilang dalam sekejap. Ini
pasti bagus. Lihat, penting sekali untuk terus berjalan sampai akhir, tapi kita
masih anak-anak. Tak perlu bersikap begitu keras kepala.
Adapun apa yang harus aku lakukan, situasinya sudah di luar kendali. Yang
benar saja. Usai mengucapkan kata-kata pasrah seperti itu, tubuh besar
Takuma berjongkok saat Ia menutupi kepalanya, menghilang dalam
kerumunan saat dirinya terus dipukuli oleh anak-anak kelas. Aku bertepuk
tangan. Namusan.
Aku ingin memanggil namanya, dan keluar dari keributan. Saat aku hendak
memanggil namanya, namaku dipanggil seseorang.
―Hei, Haru–―
Yang memanggilku adalah Akane. Seperti yang dia katakan, dia juga
mengenakan yukata. Warnanya hijau polkadot, dengan pola bunga Morning
Glories hijau dan kuning. Warna-warna cerah yang cocok untuk dirinya yang
ceria.
Sementara aku terganggu oleh suara Akane, sosok gadis itu menghilang ke
dalam kegelapan. Tempat dirinya berdiri tak ada siapa-siapa lagi.
―Yuki.‖
Lalu, aku berhenti sebentar untuk menoleh kembali ke tempat itu dengan
harapan, namun apa yang kudapatkan hanyalah harapan palsu belaka.
Festival Nobume adalah festival turun temurun dari waktu 150 tahun yang
lalu.
Rupanya, festival ini adalah festival untuk merayakan gadis kuil bernama
Nobume yang menikahi dewa naga yang mengganggu umat
manusia. Namun, dewa naga di sini merujuk pada sungai, dan festival ini
diadakan untuk menghibur jiwa para gadis yang menjadi pilar manusia
untuk menghentikan banjir.
Lima ayam panggang mentega, baby castellas. Bagi anak SMA seperti kami
yang memiliki uang saku terbatas, wajar-wajar saja untuk patungan pada
acara-acara seperti ini.
―Buat aku?‖
―Ya. Tapi ini hanya untukmu dan aku saja. Habiskan sebelum semua orang
kembali.‖
―Oke. Terima kasih. Apa semuanya sedang membeli yang lain? Mereka lama
sekali. Apa mereka terlibat masalah? ‖
Aku berterima kasih pada Akane dan menerima Ramune. Kurasa ramune ini
di simpan dengan es, karena rasanya dingin. Aku memegang gelas marmer
dengan lidahku, dan meminum air soda. Gelembung-gelembung itu
meledak, menyebabkan sensasi pahit di dalam mulutku.
―Tidak, aku tidak tahu apakah mereka terlalu khawatir, atau terlalu
pengertian.‖
―Apa maksudmu?‖
―Bukan apa-apa. Jika kamu tidak mengerti, lupakan saja. Kamu tidak perlu
tahu.‖
Jadi aku terus mengobrol dengan Akane, setelah menunggu beberapa lama,
tidak ada teman sekelasku yang muncul.
―Eh? Ah, ini festival. Wajar saja kalau kau merasa capek.‖
Aku berkata jujur. Aku tidak berbohong. Aku benar-benar menikmati hari
ini, bermain-main dengan Takuma dan yang lainnya, menikmati
pemandangan gadis-gadis yang dibalut Yukata, menikmati suasana
festival. Aku benar-benar menikmati semuanya, tapi–
Terganggu, ya?
―Eh?‖
Aku terus berlari, mencari, dan ingin mengajaknya untuk melihat kembang
api. Aku ingin menggunakan semua keberanian yang aku kumpulkan untuk
mengajaknya.
Apa dia akan terkejut? Apa dia akan bahagia? Jika dia bahagia, baguslah. Bila dia
bisa tersenyum bahagia, itu bahkan lebih baik.
Aku menuju ke kerumunan, melihat sekeliling, dan mencari. Adegan berubah saat
aku berjalan ke area lain. Aku melihat sekeliling, namun belum berhasil juga, jadi
aku terus berlari, mengulangi kejadian terebsut.
Di jalan, aku bertemu dengan Takuma.
❀❀❀❀
Dunia masih terasa sunyi seperti biasa. Rasanya seakan-akan waktu telah
terhenti. Diam-diam aku menghitung mundur. 3, 2, 1, 0. Setelah itu selesai, aku
bisa mendengar suara keras yang merobek keheningan, dan pada saat berikutnya,
ada suara sorakan.
Dipicu oleh suara kembang api, bayangan dari sebelumnya muncul di benakku. Ia
dikelilingi oleh teman-teman sekelasnya, terlihat sangat bahagia, bersenang-
senang. Entah kenapa, aku merasa hatiku sakit ketika melihatnya.
Aku benar-benar tidak bisa menangani perasaanku sendiri ketika aku mencari
sumber suara.
Baru tahun lalu, aku mengtahui bahwa kembang api itu indah, tapi pada saat ini,
mereka tampak hambar dan monoton, terlihat hitam dan putih di mataku.
Dan dengan suara yang tak bisa didengar orang lain, aku bergumam,
―Idiot.‖
❀❀❀❀
(Sudut Pandang MC )
Tiga puluh menit lagi, pertunjukkan kembang api akan berakhir. Ada seseorang di
luar sana yang meneriaki ―Tamaya‖ selama pertunjukan, sementara di tempat lain
ada orang yang berteriak ―Kagiya‖ dengan suara yang tidak kalah kerasnya.
Aku berlari ke belakang arena, jembatan yang merupakan tempat terbaik untuk
melihat kembang api.
Dan ketika semua orang melihat ke atas langit, hanya aku satu-satunya yang
berlari.
Tenggorokan terasa sakit. Napas beratku tidak bisa tenang. Ahh. Rasanya sulit
bernafas. Hah hah. Tak peduli seberapa banyak aku terengah-engah, oksigen yang
kuhirup tak cukup. Kepalaku pusing. Ini melelahkan. Hah, aku merasa tidak kuat
lagi.
Aku mengelap keringatku yang bercucuran, dan menyeka keringat yang jatuh ke
mataku. Meski tubuhku terasa sangat lelah, aku terus berlari.
Ahh, bintang milikku mulai. Berbagai suara bergema saat kembang api menerangi
langit dengan warna-warna yang berbeda. Pertunjukkan sudah hampir mencapai
klimaks.
―Sialan.‖
Aku mengumpat sambil terus berlari menuju gang tempat dimana aku pernah
membawa Yuki.
Api menyala di langit gelap gulita, dan hujan cahaya menimpalinya. Pemandangan
yang menakjubkan meluncur seperti bintang jatuh. Ketika aku terus berlari, aku
diam-diam berdoa memohon kepada ratusan cahaya yang tertinggal.
Aku melewati gang, dan terus berlari, namun aku langsung berhenti.
Dia berdiri di papan iklan di depan aula publik, tangannya menyentuh poster
festival musim panas. Dia memakai yukata yang kulihat dua jam yang lalu, tapi dia
tidak melihat kembang api yang bermekaran di langit. Wajah sampingannya
berwarna biru, kuning, hijau dan merah.
―Yuki.‖
Aku merasa capek, mungkin karena rasa lega. Aku tak punya kekuatan untuk terus
berlari, jadi aku terhuyung langkah demi langkah untuk mendekatinya.
―Dengar, aku di sini untuk mendengar ucapan yang tidak kamu selesaikan.‖
Kata-kata tertinggal yang menghilang ketika dia berbicara pada saat yang
bersamaan dengan apa yang kukatakan.
―Ya.‖
―Padahal kamu tahu apa yang ingin aku katakan, tapi kamu tidak mengatakan apa-
apa.‖
―Maaf.‖
―Dan, dan, kamu itu laki-laki, dan kamu ingin seorang gadis mengatakan itu?‖
―Jadi aku akan mengulanginya lagi. Apa kau mau menonton kembang api
bersamaku? Jika aku bersamamu, aku merasa senang.‖
―…‖
―Tidak mau?‖
―…Tidak.‖
―Kenapa?‖
Saat Yuki menatap langit, kembang api kecil mekar di langit dengan suara bang.
Berdiri di samping Yuki, hanya aku satu-satunya yang melihat mata hitamnya,
diterangi oleh cahaya merah.
Pertemuan 213 - Pengakuan Cinta ke-214
―Kamu siapa?‖
Aku didekati oleh seorang gadis yang belum pernah aku temui sebelumnya.
Ini terjadi setelah aku meninggalkan Yoshi-kun, dan pergi ke hotel depan
stasiun.
Sebuah firasat tak enak membuat mulutku kering. Sebagian besar firasatku
tentang sesuatu yang baik hampir tak menjadi kenyataan, sedangkan firasat
yang buruk sering menjadi nyata. Ini konyol, kali ini, pasti–
―Kamu siapa?‖
Aku ingin berbalik dan segera pergi, tapi siku tanganku dicengkram, tidak
bisa lolos.
―Apa?‖
―Erm.‖
Suaranya tidak memiliki keberanian dari sebelumnya, tapi meski begitu, dia
tidak mundur, dan malah menatap mataku dengan saksama. Mata itu
tampak menyilaukan layaknya cahaya matahari musim panas; panas, tajam,
namun mempesona.
Saat itulah aku sekali lagi menyadari kalau aku tidak bisa melarikan diri. Tak
peduli bagaimana aku mencoba menghindarinya, dia takkan membiarkan
aku pergi sampai aku memberikan jawaban yang tepat. Aku perempuan, dan
dia juga sama. Yah, aku sangat memahami itu.
Namun meski begitu, aku mengekang berbagai hal yang muncul di hatiku,
menghela napas, dan membawa rambutku yang menjuntai ke belakang. Aku
tidak tahu apakah aku terlihat cukup sombong. Tapi setidaknya, akan baik
jika aku bisa menahannya sebentar.
―Aku Yuki Shiina. Jadi kamu ya yang namanya Akane-chan? Aku sering
mendengarmu dari Yoshi-kun.‖
Badannya yang tinggi dan langsing tampak gesit. Di bawah bulu matanya
yang panjang itu terdapat mata yang berapi-api dan penuh kebanggaan,
namun ada beberapa kejujuran yang tersembunyi di dalamnya, dan
kelemahan yang menyertainya. Rambut yang lembutnya sangat membuat iri.
Kurasa sebagian besar anak laki-laki tak bisa menolak gadis semacam
dirinya.
Tenggorokanku semakin kering.
―Ermm, ya. Sebenarnya, aku ingin bertanya, apa hubunganmu dengan Haru,
Shiina-san? ‖
Tiiinnnnn.
Klakson mobil terdengar dari suatu tempat. Kedengarannya dekat, dan jauh.
Ini bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan sepatah kata belaka,
begitulah aku memberi tahu pada Akane-chan, dan tanpa membalas
pertanyaannya, aku pergi ke kafe yang sering kukunjungi beberapa
kali. Begitu aku melihat lampu-lampu interior kafe kosong yang tampak
tidak mengesankan itu, aku menghela nafas lega. Aku mendorong pintu ke
samping, dan bel berbunyi.
―Erm, Shiina-san.‖
Begitu pelayan Onee-san itu pergi, aku bertanya dengan suara yang lebih
keras dari yang diniatkan.
―Tidak pernah.‖
―Begitu ya. Aku pernah mengunjungi tempat ini bersama Yoshi-kun
sebelumnya. ‖
Buat apa aku pamer? Akulah yang kalah jika mengatakan hal-hal seperti itu
di sini. Kenyataan kalau aku datang ke toko ini bersamanya sudah tidak lagi
ada di dunia ini.
Aku merasa menyedihkan dan tragis karena harus bergantung pada fakta-
fakta semacam itu.
Dia kembali ke topik, mungkin tidak senang dengan apa yang aku katakan.
―…Tentang apa?‖
Aku tidak ingin memesan yang lain, tetapi aku perlahan membolak-balik
halaman buku menu di tangan. Nasi kari, roti isi. Yoshi-kun menyukai pasta
Napolitan. Hei, apa kamu tahu hal ini, Akane-chan?
―Meski kamu bertanya padaku tentang hubungan kami, aku tidak tahu harus
berkata apa.‖
―Seorang teman?‖
―Entah?‖
―Kenalan?‖
―……...‖
―... Kamu bukan pacarnya, ‗kan?‖
Aku membanting menu secara naluriah. Uh oh. Tidak ada pilihan. Aku hanya
bisa meletakkan kembali buku menu ke posisi semula. Akhirnya, aku melihat
ke arah Akane-chan.
Aku membalas balik dengan kata-kata yang baru diucapkannya sepuluh detik
yang lalu.
―Tidak juga.‖
Pada saat ini, mata Akane-chan menyala dengan emosi yang sangat berbeda.
Kemarahan, atau lebih tepatnya, kebencian. Ahh, ini memudahkanku. Kita
bisa berkelahi di sini.
Plak.
―Sudah kubilang kalau aku bukan teman sekelas biasa. Aku selalu
menyukainya. ―
―Tapi itu hanyalah apa yang kamu inginkan.‖
Kali ini, aku sudah siap secara mental, karena aku tahu amarahnya sudah di
ambang batas.
Dia menggigit bibirnya dengan keras, matanya dipenuhi air mata saat dia
dengan ceroboh meraih tasnya. Maaf sudah menamparmu, katanya, dan lari
meningkalkan kafe.
Apalagi karena dia seorang gadis yang sangat mempesona, rasanya sungguh
menjengkelkan.
Karena kami berdua takkan mundur, kami hanya akan menjadi musuh
selamanya.
Segera setelah itu, pelayan Onee-san membawa kopi pesananku. Dia tidak
mengatakan apa-apa, dan meletakkannya di atas meja dengan senyumnya
yang biasa. Ahh, mengapa aku memesan ini lagi? Aku menyesap kopi panas,
dan meringis.
―Ow.‖
Lidahku kepanasan.
Kopi ini jauh lebih pahit dibandingkan dengan semua yang pernah aku
rasakan.
❀❀❀❀
Pagi hari. Aku terbangun, dan menemukan fragmen-fragmen dari mimpiku
perlahan menghilang.
Ini sering terjadi dari waktu ke waktu. Layaknya kepingan salju yang
tergenggam di tanganku perlahan mencair, aku tidak bisa menahan
kepingan-kepingan di dalam ingatanku.
Tetapi saat aku terbangun, aku tidak ingat siapa orang itu. Emosi di hatiku
juga ikut lenyap. Akhirnya, aku juga lupa kalau aku memiliki mimpi seperti
itu.
Yoshi-kun, yang dulunya kelas 2 SMP, sekarang sudah duduk di kelas 3 SMA.
Sejak itu, Ia, yang dulunya lebih pendek dariku, sekarang tumbuh jauh lebih
tinggi, dan aku tak punya pilihan selain agak mendongak untuk
melihatnya. Melihat bagaimana wajahnya tidak lagi banci, kurasa tak ada
lagi yang akan mengatakan bahwa Ia terlihat seperti seorang gadis sekarang.
Ini adalah bukti bahwa empat tahun telah berlalu, periode masa yang
tidaklah singkat.
Tapi dalam empat tahun kehidupan Yoshi-kun ini, keberadaanku tak pernah
ada.
Benar-benar tanpa jejak, layaknya salju putih yang meleleh saat musim semi
tiba. Keberadaanku takkan pernah ada di dunia ini.
Dan setiap hari, aku akan bertemu Yoshi-kun lagi dan lagi.
Setelah sekian lama, akhirnya aku mendandani diriku menjadi sesuai apa
yang Yoshi-kun inginkan.
Dan dengan perasaan yang tulus, aku menyemprotkan aroma yang manis.
Hingga saat ini, aku sudah berbicara dengan Yoshi-kun sebanyak 213 kali.
❀❀❀❀
Aku mendengar pekikan tajam dari kursi yang berdecit di lantai, dan
mengangkat kepalaku yang terbaring di atas meja.
Ruangan kelas anak kelas 3 punya banyak kursi kosong, karena sekarang
adalah waktu dimana para murid bebas untuk bersekolah. Nijou, orang yang
duduk di depanku, belum pernah masuk selama seminggu, jadi sudah lama
aku tidak mendengar kabarnya.
―Yo, Haru.‖
―Apa, Akane?‖
―Apa maksudmu, apa? Aku disini. Emangnya kamu punya masalah dengan
itu? "
Dialah yang tampaknya memiliki masalah saat dia cemberut. Jika ini adalah
rutinitas biasa, tindak lanjutnya akan menjadi pukulan ringan. Jujur, aku
ingin menghindarinya.
Untungnya, ada hal lain untuk didiskusikan, jadi aku bisa memanfaatkannya.
―Ahh, ya. Kakak perempuanku memberitahu cara merawat rambut, dan aku
bekerja keras untuk itu. Sangat menyenangkan, meski ada beberapa bagian
yang menyusahkannya. ‖
Dia memainkan ujung jarinya, mungkin karena aku menatapnya, dan dia
bertanya,
―Benarkah? Syukurlah. Eh, ya. Aku sampai lupa mengenai apa yang ingin
aku bicarakan. Aku baru saja mengobrol dengan Takuma. Mau pergi ke kuil
untuk berdoa hari ini?‖
Baiklah,
Karena aku punya janji dengan seorang gadis yang baru saja aku temui.
Begitu aku mengatakan itu, Akane mengerutkan kening, dan suasana hatinya
berubah 180 derajat. Yah, ini seperti hujan turun di musim panas. Beberapa
sensasi badai petir gila datang. Wajahnya benar-benar tertutup awan kelabu.
❀❀❀❀
Bel jam 3.30 sore berbunyi, dan aku berdiri, bergerak dari tiang listrik ke
gerbang sekolah. Kemarin, Aku berjanji dengan Yoshi-kun kalau kita akan
bertemu di gerbang sekolah.
Tapi segera, jam 4 sore berlalu, dan mendekati 4:30 sore, Yoshi-kun masih
belum menampakkan diri.
Aku tidak terlalu khawatir. Aku mengerti Ia punya alasan tersendiri untuk
belum hadir.
Tapi kakiku mengabaikan semua logika tersebut ketika aku pergi ke dalam
sekolah. Aku berpikir tentang gadis yang aku temui kemarin. Dia terlihat
cantik. Begitu aku mengingat kembali matanya yang jujur, dadaku terasa
sakit. Rasanya sungguh menyakitkan. Hei, Yoshi-kun. Aku sedang
kesakitan. Kenapa ini?
Ketika aku semakin dekat ke sekolah, ada banyak siswa yang hendak
pulang. Aku pun bergegas.
Dan bagiku, pada saat ini, aku tidak berminat untuk mematuhi aturan yang
aku tetapkan.
Aku mulai berpikir, dengan cara yang tidak menguntungkan, bila aku jadi
seorang siswa di sini, tidak ada yang akan menatapku seperti ini.
❀❀❀❀
Tak peduli berapa kali aku mencoba berbicara dengan Akane, semuanya sia-
sia. Jarang-jarang melihatnya semarah ini. Tak diragukan lagi kalau aku
menyakitinya, tapi aku tidak tahu apa penyebabnya. Segera setelah pelajaran
selesai, aku pergi untuk berbicara dengannya lagi, tapi dia malah
bersembunyi di toilet perempuan, dan aku tidak punya kesempatan untuk
berbicara dengannya.
―Sudah kubilang kalau aku sudah membuat janji. Dengarkan aku, Akane. ‖
―Tidak juga. Bagaimana kalau besok? Apa kau mau pergi ke kuil besok?‖
Kemudian, sesuatu yang luar biasa terjadi. Aku pikir Akane akan benar-
benar marah, dan sudah siap dipelototi. Namun, dia melihat ke arahku,
pandangannya tampak tertegun, dan setelah beberapa saat,
memelototiku. Apa-apaan dengan reaksinya itu?
―…Oke. Kalau begitu, aku minta waktumu. Sebentar saja. Sebelah sini.‖
―Tunggu, Akane. Aku bisa berjalan sendiri. Jangan tarik aku seperti ini.‖
Tapi aku tak pernah bisa melihat ke belakang, dan bersembunyi di balik
pilar. Apa? Mengapa? Aku tak perlu bersembunyi segala. Aku harus
berbicara dengannya. Katakan sesuatu.
―Tidak juga. Bagaimana kalau besok? Apa kau mau pergi ke kuil besok?‖
Besok, aku akan lenyap dari ingatannya. Hari 'Besok' tersebut akan diambil
oleh orang lain. Aku tiba-tiba kehilangan keseimbangan, dan terjatuh. Aku
tak bisa mengerahkan kekuatan di kakiku. Aku nyaris tak berhasil menopang
diri dari dinding, dan memandang ke arah sumber suara, lalu bertukar
pandang dengan seseorang.
―…Oke. Kalau begitu, aku minta waktumu. Sebentar saja. Sebelah sini.‖
Dia kemudian menarik lengan Yoshi-kun, dan pergi begitu saja.
Mengapa meski aku ingin menangis, aku tak bisa mengeluarkan suara sedikit
pun?
Tampaknya itu adalah bangunan ruang klub. Pada hari festival budaya,
Yoshi-kun mengajakku keliling di sekitar sekolah, dan aku mengingat
suaranya, ―Aku terkadang bermain di kelas ini. Jangan bilang siapa-siapa
ya. ‖ Ia meletakkan jari telunjuknya di bibirnya, menyuruhku diam.
Aku bahkan bukan murid di sini. Kepada siapa aku seharusnya mengatakan
ini? Aku sedikit terkejut, tapi aku senang karena Ia bersedia berbagi rahasia
denganku, ya, jadi aku mengangguk patuh. Jika aku ingat, kelas itu–
Aku berlari menaiki tangga, dan pada belokan, aku melangkah cepat
lagi. Meraih pegangan, aku mengerahkan kekuatan ke pahaku saat aku
bergerak ke lantai dua. Aku tak bertemu siapa pun di jalan. Aku pergi ke
lantai tiga, persis seperti ini. Langkah kakiku sendiri bergema di koridor.
Ini adalah ruangan yang sudah tidak digunakan. Namun, ada hawa
kehadiran manusia di dalamnya. Aku tak bisa mendengar dengan jelas, tapi
aku tahu kalau ada orang yang berbicara. Yoshi-kun pasti ada di dalam. Ayo
pergi. Jika aku pergi sekarang, aku masih sempat.
Aku melakukan yang terbaik untuk mempertahankan senyumku sambil
meletakkan tanganku di daun pintu. Pada saat itu, suara nyaring terdengar.
Aku menjauhkan tanganku dari daun pintu, dan berlari menuruni tangga.
Harus kemana aku pergi? Di dunia ini, tidak ada tempat bagiku untuk
pergi. Tempatku selalu diambil.
❀❀❀❀
Pintu ruangan kelas yang kosong ditutup, Hanya ada aku dan Akane yang
ada di ruangan ini.
Bahkan, diriku yang bodoh ini tahu apa yang akan terjadi mulai sekarang.
―Haru.‖
Namaku dipanggil, ya, dan aku menjawab, tetap kaku. Hmmph, Akane
mendengus.
―Yah….‖
Aku mengangguk, dan menghadap gadis yang ada di hadapanku. Mata kami
bertemu. Sesuatu akan segera dimulai, atau lebih tepatnya–
―Ya. Makasih. Um, aku selalu tertarik padamu, Haru. Tapi aku baru
menyadarinya saat liburan musim panas SMP. Ingat ketika kita bertemu
sekali di halaman belakang sekolah?‖
Apa itu ketika di mana Akane sedang bimbang mengenai apakah dia harus
menyerah pada berenang?
Pasti ada saat di mana kami bertengkar. Atau malah bisa dibilang sering.
Tapi setelah bertengkar, kami selalu bisa baikan. Aku tak tahu sudah berapa
kali kami berdebat, tapi kami selalu bisa tersenyum dan memperbaiki
keadaan sampai sekarang. Aku benar-benar tidak bisa mengatakan kalau aku
menyukai Akane sebagai seseorang dari lawan jenis, tetapi aku yakin kalau
kami bisa terus perlahan-lahan menebus apa yang kurang.
―Yoshi-kun.‖
―Maaf.‖
❀❀❀❀
Dadaku terasa sakit. Mungkin karena aku berlari, dan paru-paruku
menghirup banyak udara dingin. Iya. Pasti karena itu. Tidak ada alasan lain
lagi.
Siapa pun bisa. Hanya saja Yoshi-kun sepertinya cocok dengan yang aku
inginkan, dan kebetulan berada di depanku. Itu sebabnya aku memilihnya.
Dengan telapak tanganku yang membeku, aku melakukan yang terbaik untuk
mengusap penglihatanku yang buram. Aku tak tahu apakah aku
menggunakan terlalu banyak tenaga, tetapi mataku terasa agak panas,
terbakar karena rasa sakit. Seharusnya aku mengenakan sarung
tangan. Haah. Rasanya sulit sekali untuk bernafas. Tenggorokanku haus. Aku
menggertakkan gigiku dengan keras, sama seperti malam ketika aku menjerit
ke langit.
Sebenarnya perasaan ini milik siapa? Kepada siapa kata-kata ini ditujukan?
Akane? Yoshi-kun?
❀❀❀❀
Aku baru saja ditembak oleh gadis yang sudah lama aku kenal, namun
diriku, karena begitu tidak berperasaan, malah memprioritaskan gadis lain.
Satu jam telah berlalu sejak waktu pertemuan, dan seperti yang kuduga, dia
tidak ada di sana. Aku merasa hatiku sakit.
Jauh di dalam telingaku terdengar langkah kaki seseorang yang pergi, dan
itu membuatku bergerak.
❀❀❀❀
Pada akhirnya, aku tidak mengetahui apa rasa sakit yang tersisa ini. Aku
terus berlari, berlari, sampai aku mencapai tanah kosong yang tidak terlalu
jauh dari stasiun.
Belum lama ini papan iklan di tanah ini diubah. Di musim semi yang akan
datang, sepertinya akan ada gedung pencakar langit yang dibangun di
sini. Hal lain yang penting bagiku akan diambil sekali lagi.
Tanyaku dengan enggan. Aku bertanya kepada orang yang entah bagaimana
tiba di tempat itu sebelum diriku, yang seharusnya tidak berada di ruang
kosong ini.
―Kenapa kamu ada di sini?‖
―Dulu, ada kucing cantik yang aku kubur di sini. Aku kebetulan
memikirkannya ketika melewati jalan di sana, jadi aku memutuskan untuk
datang ke sini untuk mendoakan rohnya. ‖
Aku berbalik, dan bergegas pergi. Namun, baru dua meter berjalan, tanganku
diraih. Tangannya sangat dingin, mungkin karena Ia berada di luar
sepanjang waktu. Dan tanganku yang seharusnya lebih dingin, sedikit lebih
hangat karena aku telah menggosok tanganku sendiri. Semuanya berbeda
dari masa lalu, suhu tangan, percakapan, orang yang dikejar. Aku yang
mengejarnya sampai sekarang.
―Tidak juga.‖
Aku tahu aku hanya membuat ulah, tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku
belum menetapkan perasaanku. Kata-katanya hanya menambah bahan
bakar untuk emosiku yang tegang.
―Tunggu. Maaf. Tolong jangan menangis. Aku tak pernah menyangka kau
akan sesedih ini.‖
Ah, kamu masih mengatakan hal seperti itu sekarang? Apa kamu perlu
mengulangi kesalahpahaman ini lagi?
Aku terluka.
―Karena tidak seperti ini. Karena kamu tidak tahu. Itu sebabnya aku tidak
bahagia, itu sebabnya aku sedih!‖
Aku menggebuk dada Yoshi-kun dengan keras. Setiap gebukan yang aku
berikan, tanganku sakit. Aku berdarah di dalam. Meski begitu, aku tak bisa
menahan diri untuk tidak menggebuknya.
―Karena, kamu milik orang lain selain diriku, dan besok, kehidupan sehari-
hari denganmu takkan ada lagi, Yoshi-kun. Aku merasa kedinginan, takut– ‖
Aku terus menggebuk sampai akhir, brak, menyebabkan hantaman
keras. Tanganku yang menyentuh Yoshi-kun terasa panas. Gedebuk. Aku
menjatuhkan keningku di dadanya. Dahiku panas. Aku merasakan detak
jantung Yoshi-kun. Inilah yang aku inginkan.
Butuh waktu lama untuk menagmbil nafas, dan aku hanya bisa mengangguk.
Kenapa? Kenapa? Kenapa hanya aku yang mengingat Yoshi-kun? Ini tidak
adil. Kenapa sesuatu tentangku terus menghilang?
―Dengar, aku mengerti apa yang kamu katakan. Memang benar kalau aku
mungkin tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Tidak, aku benar-benar tidak
tahu tentang dirimu. Tapi…‖
―Aku tidak setuju dengan dua kalimat terakhir yang kau katakan, jadi aku
akan menanggapi itu.‖
―Heh?‖
―Itu tidak ada hubungannya. Siapa pun yang dipukuli pasti akan merasa
sakit.‖
Bagiku.
Aku tidak bilang kalau aku menguping pembicaraan mereka. Sementara aku
tetap diam, Yoshi-kun menghela nafas.
―Kenapa?‖
Aku merasa jantungku terhenti. Sangat mengejutkan. Aku tak mengerti apa
yang Ia katakan. Apa, apa yang baru saja Yoshi-kun katakan?
―…Hah?‖
―Sudah kubilang, ‗kan? Aku tak bisa setuju dengan dua kalimat terakhir. Aku
menyukaimu, jadi aku tak berniat jadi milik orang lain selain dirimu.‖
―Mungkin dari saat kita pertama kali bertemu. Tidak. Kurasa aku jatuh cinta
padamu sejak kau pertama kali berbicara denganku. ‖
Jika Ia tidak mengatakan kalau Ia menyukaiku dari lubuk hatinya, aku tak
bisa tetap di sana. Jika tidak ada panas yang membakar tubuh, tidak ada
yang bisa membuatku jatuh. Suatu hari, aku akan lenyap.
―Aku serius.‖
―Kamu bohong.‖
Kali ini, kami hanya berjalan-jalan sepulang sekolah, tidak ada yang luar
biasa, dan mana mungkin Ia akan menyukaiku karena ini. Pada
kenyataannya, Ia bilang kalau Ia menyukaiku. Aku tidak bisa
mempercayainya. Aku tidak mempercayai diriku sendiriku.
―Kamu pikir aku mempercayaimu ketika kamu tidak tahu apa-apa?‖
―Lantas apa yang kau ingin aku lakukan supaya kau mempercayaiku?"
―Aku akan memberitahumu sesuatu. Ini bukanlah sesuatu yang ada di mana
saja di dunia ini, tapi itu pasti sesuatu yang melibatkan diriku dan
dirimu. Jika kamu mendengar ini dan masih mengatakan sesuatu yang
bodoh seperti 'Aku mempercayaimu'– ‖
Aku menjelaskan banyak hal yang terjadi sejak kecelakaan pada hari ulang
tahunku yang ke-7 .
Masih ada sepuluh menit tersisa sampai akhir dunia, atau lebih tepatnya,
pengaturan ulang dunia.
―Jadi apa kamu masih ingin percaya dengan apa yang baru saja aku
katakan?‖
Di belakang awan kelabu tersebut, pasti ada Sirius yang berpijar, begitu juga
Betelgeuse dan Rigel. Dulu, kami pernah menghabiskan waktu mencari rasi
bintang. Kami tak punya pengetahuan tentang mereka, jadi kami terus
melihat buku-buku bergambar, mencari mereka.
Segera setelah itu, Yoshi-kun bergumam. Ahh, serius, kau ini yang
merepotkan.
―Sangat merepotkan. Yah, kupikir kau lucu karena itu. Kurasa ini adalah
permainan, siapa yang jatuh cinta duluan, dialah yang kalah. Hei.. Yuki.‖
―Memang benar aku merasa apa yang semua kau katakan terasa aneh. Apa
yang kau katakan berbeda dari ingatanku, dan biasanya, sulit bagiku untuk
memercayaimu sepenuhnya. Sejujurnya, tak peduli apa yang kau katakan itu
benar atau tidak, itu tidak masalah bagiku. Bagaimanapun, aku akan
mengatakan sekali lagi, aku mempercayaimu. Aku tidak ingin kau salah
paham, ini bukanlah rasa kasihan. Ketika aku melihatmu kesakitan, hatiku
juga ikut merasa sakit, hatiku menderita. Jika kau bisa tersenyum, aku akan
percaya pada apa pun. Diriku yang selalu bersamamu selalu seperti ini, ‗kan?
‖
Panas yang setara dengan telapak tangannya menyebar dalam diriku. Begitu
ya. Kurasa aku tidak punya pilihan.
Kalau begitu, aku juga mungkin sama. Untuk waktu yang sangat-sangat
lama.
Tanpa aku sadari, butiran salju melayang. Menutupi dunia dengan warna
putih.
Itu sebabnya ini tak boleh berakhir sampai di sini. Bagi kami, yang terus
bertemu meski kami tidak pernah mengucapkan selamat tinggal dengan
benar, itu adalah garis yang harus kami tkaui.
Tapi kata-kataku tidak pernah mencapai pada Yoshi-kun. Itu baru saja
berakhir. Ah, begitu ya.
Begitu aku melihat ekspresi Yoshi-kun, aku langsung mengerti.
Ini cukup.
Aku melakukannya puluhan kali, ratusan kali, tetapi bahkan sampai akhir,
aku tak pernah terbiasa.
Setiap kali aku berbicara dengan Yoshi-kun ketika Ia tidak mengenalku, aku
selalu tegang.
Dan kata-kata yang aku katakan padanya selalu berbeda. Ini panas, ini
dingin ya, Kamu memang pekerja keras. Aku bahkan pernah mengatakan
kepadanya, bawa aku ke bioskop. Tolong bantu aku ambilkan buku.
Sapaan 'halo' yang aku katakan adalah upaya diriku yang kikuk untuk
mengaku.
Aku ingin Yoshi-kun menyukaiku, jadi aku terus mendekatinya. Untuk
alasan ini, aku terus bertemu dengannya. Dalam hal ini, bukankah ada
sesuatu yang lebih sederhana dan cocok?
Ayo, mari kita mulai dengan selamat tinggal pertama dan terakhir.
Aku didekati oleh seorang gadis yang tidak pernah aku temui.
Kami berada di lahan kosong yang biasa terlihat di kota. Tempat ini tak ada
hubungannya denganku, selain kucing putih yang pernah aku kubur di sini.
Akhirnya, yang tersisa hanyalah emosi yang tak pernah kurasakan dalam
hidupku. Rasanya panas serta menyakitkan, namun tidak terasa buruk. Aku
membiarkan diriku terlena oleh panas itu, dan dengan tulus menyampaikan
perasaanku.
―Terima kasih. Kalau begitu, aku akan memperkenalkan diri lagi. Namaku—‖
Itu terjadi pada musim dingin, saat aku duduk di kelas 3 SMA.
Aku meninggalkan sekolah sedikit lebih awal dari waktu yang disepakati, dan
mendapati Yuki mengenakan mantel yang agak besar, tengah menungguku.
―Yuki.‖
―Begitu ya.‖
―Alasan apa?‖
―Kau tidak perlu sampai bikin alasan begitu. Pasti ada yang lain. Ngomong-
ngomong, Yuki, kau dan aku ... yah, berpacaran, jadi kau bisa memegang
tanganku kapan pun yang kau mau ... eh, apa-apaan dengan ekspresi itu?
Mulut Yuki setengah terbuka saat dia mengedipkan mata. Beberapa detik
kemudian, dia tertawa. Aku tidak mengatakan sesuatu yang lucu,
bukan? Untuk beberapa alasan, wajahku jadi agak panas.
―Benarkah?‖
❀❀❀❀
Setelah Yuki menembakku, dan kami sepakat untuk menjalin hubungan, dia
menetapkan batas waktu.
Aku bertanya, dan Yuki mulai menarik napas panjang. Setelah itu, dia mulai
bernapas dalam-dalam dengan manis, payudaranya yang cukup melebar dan
berkontraksi.
Setelah melakukan itu selama tiga kali, dia akhirnya tampak mengambil
keputusan, matanya tampak bersinar. Namun, cahaya tersebut segera
menghilang dari matanya lagi.
Ini adalah kisah seorang gadis yang keberadaannya akan lenyap layaknya
kepingan salju dalam seminggu, dan dia bertemu dengan anak laki-laki
biasa.
Mereka beberapa kali bertemu, menghabiskan waktu bersama, dan
menciptakan kenangan bersama. Namun pada akhirnya, semuanya terhapus.
Tapi meski begitu, ketika Yuki membicarakan tentang kisah yang tidak bisa
dipercaya itu, dia tersenyum sedih, namun penuh kebahagiaan, seperti ketika
dia menembakku.
―Karena tiba-tiba aku ingin pergi ke pantai yang sepi. Kamu mengeluh, dan
mengatakan, jika kau kepengen pergi, lebih baik pergi selama musim
panas, tapi pada akhirnya kamu tetap mengikuti keinginanku. Kamu ingat,
‗kan? Kenanganmu mungkin sedikit berbeda dari ingatanku. ‖
Secara alami, hanya ada jejak langkah kakiku di pantai. Aku ingat betapa
dinginnya makanan itu. Ah, tapi saat aku dalam perjalanan pulang, aku ingat
membeli oden yang lezat di minimarket. Aku membeli banyak, dan
memakannya.
Jadi gadis bernama Yuki, yang seharusnya ada, telah lenyap dari kata masa
lalu, dan dunia baru mengubur kekosongan yang disebabkan oleh
menghilangnya dia. Bagiku, aku hanya mengambil dunia yang terpahat ini,
yang tampaknya tanpa cela. Jadi, aku tak pernah curiga. Atau lebih tepatnya,
mungkin dunia yang Yuki bicarakan salah, atau begitulah akal sehat dalam
diriku meronta. Namun-
Yuki tidak seperti ini sejak awal. Dia menghabiskan banyak waktu untuk
mencoba menjadi gadis idamanku.
Aku ingin percaya empat tahun yang dia ceritakan. Aku tidak bisa
menyangkal kata-kata dan perasaan Yuki hanya dengan akal sehat. Bagiku,
apa yang dia katakan dengan senyuman adalah kebenaran.
―Kalau begitu, kurasa tidak masalah untuk menjadi orang aneh. Jika Kau
menyukai ku karena ini ... tidak, jika Kau bersedia tersenyum kepadaku
karena ini, maka aku baik-baik saja dengan itu.‖
Dan beginilah kami memulai periode cinta terbatas kami.
❀❀❀❀
Kami meninggalkan sekolah, dan sepanjang waktu, Yuki merasa senang. Dia
bersenandung. Itu adalah lagu cinta yang biasanya diputar di radio selama
musim dingin. Dia menyanyikan lagu cinta yang populer beberapa tahun
sebelum aku lahir, dengan suara yang indah dan ritme yang agak fales.
Tangan kiriku masih memegang tangan Yuki, dan tangan kanannya terus
memegang tanganku.
Di tangan kami yang satunya memegang taiyaki. Beberapa saat yang lalu,
Yuki melihat sebuah toko di jalan perbelanjaan.
Dia sedang menonton toko kecil itu dengan mulut berliuran, jadi aku
bertanya, mau aku belikan yang itu? Dia terlihat senang,
benarkah? Jawabnya dengan wajah berseri-seri seperti anak yang polos.
Aku bermaksud membeli rasa taiyaki yang tidak dibeli Yuki, jadi jujur saja, 5
menit tersebut tidak ada artinya. Ini sederhana. Hanya ada kami berdua di
sini, masing-masing dari kami membeli satu rasa, dan bisa saling
bertukar. Aku tidak mengatakannya, karena melihat wajah Yuki yang
bermasalah seperti ini juga sangat lucu.
Jadi Yuki memilih rasa kacang merah, dan aku membeli rasa krim custard.
Kami berdua memiliki lidah kucing, jadi kami menunggu taiyaki sedikit
dingin sebelum kami berani memakannya. Kulit renyah dan krim pudingnya
bersatu padu, dan bagian dalamnya terasa lembut. Yap, enak. Aku menggigit
dan menikmatinya perlahan, tapi Yuki melahapnya dalam beberapa detik.
―Umm, itu.‖
―…‖
―Ini punyaku.‖
Ya, aku tahu kok. Terus? Yuki terus memandangku saat dia memiringkan
kepalanya.
―…‖
―…‖
―…Ini.‖
Mendengar apa yang aku katakan, Yuki menghabiskan 80% taiyaki yang
tersisa ke dalam mulutnya. Dia menggembungkan pipi kecilnya,
mengunyahnya dengan sepenuh hati.
Aku mengatakan apa yang aku pikirkan, dan Yuki tampak sedikit panik. Dia
mengunyah lebih cepat dari sebelumnya, dan dengan cepat menghabiskan
taiyaki.
―Meski kau bilang begitu, tapi kau sebenarnya khawatir dengan apa yang aku
pikirkan, bukan?‖
―Benarkah?‖
―Beneran!‖
Aku menikmati wajah panik Yuki sambil terus berjalan. Tiba-tiba, sesuatu
yang merah muncul di pandanganku. Begitu aku melihat huruf di atasnya,
aku berhenti.
―Ya.‖
Rabu depan adalah tanggal 14 Februari. Dikatakan kalau hari tersebut adalah
hari dimana anak cowok benar-benar ingin makan makanan manis. Setelah
masa pacaran kita berakhir, itu akan menjadi hari Valentine.
―Kamu mau?‖
―Tentu.‖
Juga, aku berutang budi padanya. Lebih baik membalas apa yang aku bisa.
―Ya. Sekali.‖
―Ya ya. Nantikan itu oke. Kemudian, tarik kembali apa yang barusan kamu
katakan.‖
❀❀❀❀
Pagi itu, aku bangun dari mimpiku, dan melihat hamparan dunia perak di
luar jendela.
Sepertinya salju yang turun sejak kemarin menumpuk. Sinar matahari yang
menyinari awan dibiaskan oleh salju putih, dan mataku yang baru saja
terbuka terasa perih. Aku menggosok mataku yang mengantuk,
meninggalkan ruangan, dan udara dingin yang menerpa membuatku
menggigil dan sadar. Lantai kayunya sangat dingin. Telapak kakiku terasa
sakit.
Seperti biasa, aku menuruni tangga dengan ragu-ragu, dan melihat ibu
menyapu kamar dengan tenang.
―Eh? Bukannya ini terlalu pagi, ‗kan? Ibu biasanya menyiapkan sarapan
setelah beres-beres.‖
―Semua karena salju ini. Natsuna sangat kegirangan pas pagi tadi. Dia bilang
dia ingin keluar untuk bermain, jadi dia membuatnya lebih awal.‖
Usai menjawab begitu, aku membuka pintu depan, dan menuju ke kotak pos
untuk mengambil koran hari ini.
Ayah lebih takut kedinginan daripada diriku, jadi di musim dingin, biasnya
akulah yang mengambil koran. Natsuna tidak takut dingin, tapi dia tidak
nurut.
Halaman kecil rumah ini ditutupi dengan warna putih, bersamaan dengan
serangkaian jejak langkah kaki yang mengarah ke luar. Pastinya anak itu
berlari keluar sambil berteriak yahoo atau semacamnya. Aku bisa
membayangkan dengan jelas adik perempuanku bersenang-
senang. Mengingat seberapa dalam jejak langkah kakinya, jelas-jelas dia
berlari keluar dengan penuh semangat.
Uuu, tubuhku menggigil, dan nafas putih yang keluar dari mulut tertiup
angin yang sangat dingin. Aku menarik lengan bajuku, dan membuka kotak
pos, mengambil koran pagi yang disimpan dalam tas bening seperti biasanya.
―Tidak, aku hanya akan memeriksa saluran TV. Ayah yang menyuruhku
untuk mengambilnya. Hm? Eh?‖
Aku mendongakkan kepalaku dari kotak pos, dan Yuki tengah berdiri di
sana. Ada aroma bunga, sedikit terlalu dini untuk cuaca dingin ini, datang
dari halaman yang tertutup salju putih. Kenapa dia sudah ada di sini pagi-
pagi begini?
―Salju menumpuk, jadi aku datang ke sini dengan bahagia. Yoshi-kun, apa
kamu punya waktu sekarang? Ayo habiskan waktu bersamaku. ‖
―Nggak. Aku beneran baru sampai. Aku siap menunggu sekitar dua jam, tapi
syukurlah kau keluar sepagi ini.‖
Aku pikir dia bisa saja meneleponku, tetapi Yuki tidak punya ponsel.
―Tapi di luar ‗kan dingin. Ah, kenapa kau tidak menunggu di dalam saja?‖
Seperti yang aku katakan, aku bergegas kembali ke dalam rumah, dan
bersiap-siap untuk pergi. Aku meninggalkan koran di depan ayahku, yang
meringkuk sepenuhnya di kotatsu, melahap sarapan yang disiapkan
Natsuna, berganti pakaian, menyisir rambutku, dan memberi tahu ayahku,
yang tidak berniat meninggalkan kotatsu, kalau aku akan keluar. Ohh, Ia
menjawab dengan lemah, dan aku tidak yakin apakah dia memahami
perkataanku atau tidak.
Permukaan salju yang baru ditinggalkan dengan jejak kaki kami sendiri.
Rumahku berada di pinggiran kota yang agak jauh dari pusat kota, dan
ladang-ladang yang tak berujung di sana tertutup warna putih
sepenuhnya. Ada banyak partikel cahaya kecil berkilauan di atas salju putih
murni tersebut.
―Cantik, bukan?‖
―Hei, Haru-nii.‖
Aku menoleh ke arah suara itu, dan melihat siluet kecil. Ternyata Shouta
yang memanggilku, bocah SD yang tinggal di lingkungan sini, dan sweter
birunya tertutup salju.
―Haa ... haa ... itu kau, Haru-nii. Aku melihatmu, haa, dari jauh, jadi aku
berlari. Haa.‖
―…Apa?‖
―Tolong aku.‖
―Hah?‖
Aku tidak mengerti apa yang bocah ini katakan, dan bertanya-tanya apa Ia
sedang dikejar, jadi aku melihat ke arah belakangnya, namun yang kulihat
hanyalah beberapa siluet berlarian di ladang. Sepertinya mereka sedang
melakukan perang bola salju. Saat aku masih di sekolah dasar, aku ingat
bermain dengan beberapa temanku. Aku benar-benar menikmati masa-masa
saat itu.
Begitu aku mengingat ini, aku berhenti berpikir. Aku seharusnya
melakukannya, tapi sama seperti aku tidak bisa berhenti segera setelah
berlari, aku tidak bisa berhenti berpikir secepat itu. Ya, aku langsung
menyadarinya.
―Jangan lari. Kamu tahu apa yang Ia ingin kamu minta bantu? ‖
―Tidak mau.‖
Aku tidak ingin menjadi pengasuhnya pada hari yang begitu berharga.
Namun tekadku segera berubah. Tanpa melihat, aku bisa mendengar tawa
gadis yang familiar dan jelas. Sangat jelas sekali.
―Nhahahaha.‖
Lihat, kamu tidak bisa lari sekarang, Shouta sepertinya memarahiku saat dia
memanggil namaku.
―Haru-nii!‖
Ahh, Ia mengatakannya.
Sial. Baiklah, aku mengerti. Iya. Aku akan melakukannya. Jadi aku menghela
nafas, dan menyerah melawan ketika aku melihat sumber suara tersebut. Tak
diragukan lagi.
Itulah suara yang mulia adik perempuan kecil kami yang super duper lucu.
Dia lucu, dan cukup populer, tetapi dia selalu mengajak semua orang untuk
menghabiskan banyak energi yang dia miliki. Anak-anak SD terdekat sering
menjadi korbannya, dan mereka semua merasa takut padanya.
Menurut Shouta, awalnya itu hanya pertarungan bola salju antar anak-anak,
tapi saat Natsuna melihat mereka. Dia, yang dari awal berhati tomboy, mana
mungkin bisa menahan keinginannya. Aku bisa membayangkan dia
bergabung dengan senyum cerah, tanpa peduli pada dunia.
Ahh, itu sebabnya aku tidak ingin mendengarnya. Aku merasa sangat malu
sebagai kakaknya, dan depresi ...
―Aku mengerti situasinya. Aku akan memikirkan sesuatu. Tapi aku akan
mengalahkan Natsuna untuk menyelesaikan masalah. Aku tak peduli dengan
yang lainnya. Apa begitu saja tak masalah?‖
―Ya. Tidak masalah.‖
―Heh? Kenapa?‖
Aku menoleh, dan melihat Yuki sedang meregangkan tubuh dan melakukan
pemanasan karena suatu alasan.
―Apa kau mau ikut bergabung dengan pertarungan bola salju ini?‖
―Hei, Haru-nii. Aku ingin bertanya. Siapa kakak perempuan ini? Apa dia
artis?‖
―Maaf, kakak ini bukan aktris. Sebenarnya, kakak ini Pacar dari Haru-nii. ‖
Mendengar balasan Yuki, mata Shouta berkilauan lebih dari yang pernah
kulihat darinya.
―Tentu saja.‖
Yuki mengatakan itu, dan Shouta, yang berjabatan tangan dengannya, tiba-
tiba mengerutkan kening. Ia menunduk ke bawah sambil meminta minta
maaf.
―Ah maaf. Onee-chan. Sepertinya kau harus bergabung dengan tim Natsu-
nee. ‖
―Mengapa?‖
―Bau musuh?‖
Anggota tim lawan lebih banyak dua kali lipat dari timku, tapi dalam
pertarungan bola salju ini, siapa pun akan disuruh keluar dari pertarungan
ketika mereka jatuh terlebih dahulu, terjatuh, atau menyerah. Jika mereka
tidak terlalu panik, mereka mungkin takkan kalah. Itulah yang aku
pikirkan. Sebagai seorang pria, jika aku kalah dalam melawan pacarku dan
adik perempuan dalam hal ini, rasanya akan sangat memalukan.
Natsuna suka membuat keributan, jadi setelah semuanya tenang, dia pasti
akan keluar sendirian. Tujuanku adalah mengejar hal-hal yang tidak terduga
dan melawan dengan geriliya.
Jadi aku menunggu sebentar. Seperti yang aku rencanakan, ada seorang
gadis barbar yang menyerbu ke kamp musuh.
Dia adalah gadis yang mencolok dengan syal merah, mantel merah, dan
sepatu boot merah. Gadis energik ini sangat menyukai warna merah.
―Nhahahaha. Ayo serang aku!‖
Teriaknya sambil berlari dengan kecepatan luar biasa. Ya, ada target yang
bagus. Aku membidik mulutnya yang terbuka lebar, dan melemparkan bola
salju dengan semua tenagaku.
"Hbuch!"
Mendarat sempurna.
Natsuna mengeluarkan suara aneh, dan berhenti berlari. Dia menyeka salju
yang menempel di wajahnya, dan terus meludahkannya.
―Apanya yang serang aku? Apa yang akan Kkau lakukan, Natsuna?‖
Aku melempar bola salju ke wajah Natsuna saat dia masih goyah. Setiap
lemparan ditujukan cukup tinggi baginya untuk menghindari jika dia
menunduk. Natsuna bisa mengelak dengan melompat, tetapi pusat
gravitasinya kembali sebagai hasilnya. Aku melempar bola salju yang
berikutnya sedikit lebih rendah, dan dia juga menghindari itu. Pusat
gravitasinya bergeser ke belakang.
Aku mengulangi tiga lemparan yang sama, dan Natsuna akhirnya kehilangan
keseimbangan saat dia mendarat kembali dengan bunyi gedebuk.
―Menang!‖
Aku mengangkat tangan, memberi tahu rekan setimku kalau aku
mengalahkan Natsuna. Dia, jatuh terduduk, terus mengeluh.
―Kau memanggilku curang? Kau sendiri anak SMP, dan kau malah ikut
bergabung dengan pertarungan bola salju anak SD?‖
Dan tanpa memikirkan apa pun, dia hanya melakukan apa yang disuruh
saudariku.
Dia tidak tahu ini adalah cara terbaik bagi mereka untuk mengalahkan kami.
―Ngh!‖
Dengan teriakan yang menggema, semua sembilan anggota tim musuh yang
tersisa datang menyerang dengan rentetan bola salju.
Jika jumlah timku sama, pihak timku akan diuntungkan. Timku bisa
membalas dengan serangan yang kulakukan terhadap Natsuna. Namun,
mereka hampir dua kali lipat dari jumlah timku. Jika mereka menyerang
sekaligus, mana mungkin kita bisa menanganinya.
―Hbuch!‖
Rentetan bola salju terlempar, dan salah satunya mendarat tepat di wajahku,
menyebabkanku membuat suara aneh yang sama dengan Natsuna.
Hm? Apa yang sedang terjadi? Salju ini wanginya harum. Aroma ini–
―Tidak, aku tidak menyia-nyiakannya sama sekali. Sudah kubilang ini untuk
mengidentifikasi.‖
Sementara kami masih berdebat, tim musuh datang menyerang, dan aku
dibombardir. Aku berniat untuk bersembunyi dibalik benteng, tapi mereka
tidak membiarkanku.
―Target terbunuh.‖
Yuki memandang diriku yang terjatuh, dan berpose layaknya pahlawan yang
mengalahkan penjahat.
―Mfufufu. Yoshi-kun, karena kamu kalah, kamu harus menuruti apa yang
aku katakan.‖
Benar, jadi yang kalah harus menuruti perkataan yang menang. Aku
mengangkat tangan untuk mengakui kekalahan dengan pasrah, dan Yuki
mengangguk dengan puas.
―Kalau begitu semuanya. Waktu untuk mengalahkan yang lainnya. Ayo
serbuuu! ‖
Jadi aku menyaksikan Yuki yang terus menyerang sisa timku. Di sebelahku,
Natsuna bertanya,
Aku hanya bergumam, karena terlalu malas untuk menjelaskan. Itu aneh,
salju dan sakura ‗kan berada pada musim yang berbeda, gumam Natsuna,
seperti yang dikatakan orang tertentu.
Ini hari ketujuh Yuki dan aku menjadi sepasang kekasih. Pada hari ini, kami
memutuskan pergi ke taman hiburan yang berada di atap gedung swalayan.
Biang lala mini di sana berkarat karena terpaan angin dan hujan, dan dari
lima mobil yang dirancang dengan karakter anime, tiga di antaranya diberi
label 'tidak berfungsi'. Satu-satunya yang masih berfungsi adalah robot
kucing biru dan tikus listrik berpipi merah. Ada anak laki-laki yang duduk di
mainan tikus listrik, dan setelah bergerak sekitar 3 menit, ia berhenti tepat di
tengah taman bermain.
Kami duduk di bangku plastik. Ini adalah satu-satunya tempat bagi kami
untuk duduk dan beristirahat. Aku menatap langit yang kelabu, dan
bergumam.
―Kamu kalah dariku dalam pertarungan bola salju, jadi kamu akan menuruti
perkataanku sepanjang hari.‖
Yuki bilang, permintaan pertamaku adalah, kencan. Ada dua tempat yang
ingin aku kunjungi bersamamu, Yoshi-kun.
―Aku mengerti apa yang kau katakan, tapi bukan itu. Kenapa taman hiburan
di atap ini?‖
―Karena aku menyukainya. Jadi aku ingin kamu datang ke sini, Yoshi-kun. ‖
―Kalau begitu, ini adalah tempat yang salah. Kita harus pergi ke tempat yang
lebih baik. ‖
―Iya.‖
―Ya.‖
―Nanti?‖
―Ah, begitukah?‖
Ahh Ini sangat memalukan. Aku melihat ke arah Yuki, dan melihat wajahnya
yang memerah sampai ke bagian bawah lehernya, tangannya menutupi
wajahnya. Dia benar-benar lucu ketika dia bertingkah seperti ini. Aku diam-
diam memutuskan kalau aku akan membiarkan dia memukulku sekali atau
dua kali.
Akhirnya, Yuki menyuruhku mentraktirnya dengan jus dari mesin penjual
otomatis, bukannya memukuliku.
Dia menatap dengan muram, bingung mau pilih mana, sebelum memilih
minuman kakao, dan aku juga membeli yang sama. Kami berdua tidak bisa
minum kopi hitam. Meski kami bukan anak-anak, kami belum cukup umur
untuk disebut orang dewasa. Pada titik ini, kita berada di antara batas dua
kelompok umur ini.
Kami berdua berdekatan satu sama lain, dan aku hanya perlu bergerak
sedikit untuk menyentuh Yuki. Aku benar-benar bisa merasakan
kehadirannya, kehangatannya, dan aromanya. Tangannya berada di kaleng,
berusaha menghangatkannya, saat dia minum perlahan.
―Itu tidak benar. Kamu membelikan kakao, membawaku ke sini, dan dirimu
yang lain membuat banyak, banyak kenangan bersamaku. Hei, kurasa ini
seharusnya menjadi alasan yang cukup untuk berterima kasih, ‗kan? ‖
Kenapa?
Itu bukanlah kata-kata yang bisa menyebabkan air mata, namun aku merasa
hidungku sedikit gatal. Aku menatap langit untuk menyembunyikan
pemandangan ini, menatap awan yang memerah di ujung sana. Merah,
menyengat menyinari mataku.
―Itu bukan hal yang buruk. Aku pikir tadi cukup memalukan, jadi kamu
harus mengalaminya, Yoshi-kun. ‖
Ahh, gatal. Apa yang sedang terjadi? Mengapa aku merasa sangat bahagia
dengan karena hal kecil seperti ini? Aku bisa merasakan sentuhan lembut
tangannya, dan akhirnya tersenyum.
Matahari terbenam, dan tempat yang kami tuju setelah taman hiburan
adalah sekolah SMA-ku.
Sekarang sudah lewat jam 7 malam, dan dalam gelap, lampu sekolah sudah
mati. Satu-satunya tempat dengan lampu oranye menyala adalah kantor,
ruang belajar mandiri, dua ruangan kelas dua dan satu ruangan kelas
satu. Mereka yang mengikuti ujian masuk mungkin masih ada di ruang
belajar mandiri. Semua ruangan kelas tiga benar-benar gelap, ini
kesempatan yang bagus untuk kami.
Aku memegang tangan Yuki saat aku menyelinap dalam kegelapan malam,
menyelinap ke sekolah.
Begitu guru menghilang dari pandangan, kami menghela nafas lega, sebelum
kami pergi ke ruang kelasku.
Cahaya bulan suci yang bersinar melalui jendela mewarnai ruangan kelas
menjadi setengah perak.
Ini adalah ruang kelas yang sangat akrab bagiku, tetapi bagi Yuki, ini adalah
pemandangan baru saat dia melihat sekeliling dengan penuh semangat.
Wow. Dia menjerit kegirangan, menyentuh meja seolah-olah itu adalah batu
permata. Ahh, ada coretan, serunya sambil berkeliaran di ruang kelas,
sebelum dia tiba-tiba melihat ke arahku.
―Yang ini?‖
Aku pikir dia akan duduk di kursi di sebelah kursiku, tetapi untuk beberapa
alasan, dia mengambil yang di sebelahnya, dan kemudian,
Dia menepuk kursiku. Apa lagi yang harus aku lakukan? Tentu saja, aku akan
duduk di tempat yang ditunjukkannya.
Aku seharusnya terbiasa dengan pemandangan ruang kelas ini dari tempat
dudukku sendiri, tapi dengan Yuki yang duduk di sebelahku, semuanya
tampak baru. Meja-meja tua, papan tulis dengan bekas goresan kapur,
kertas-kertas dengan absen kelas yang membosankan semuanya dipenuhi
cahaya.
―Rasanya akan lebih menyenangkan bila kau jadi teman sekelasku, Yuki.‖
―Kamu memahaminya?‖
―Aku ingin tahu siapa tiga tahun lalu yang bilang Ia tidak tahu apa bagusnya
tempat ini?‖
―Ya, ada. Ah, meski kita berada di sekolah yang sama, kita mungkin tidak
bisa masuk di kelas yang sama. Bagaimanapun juga, aku ini lebih tua satu
tahun. Ya ya. Panggil aku Shiina-senpai. "
Suara Yuki sangat dekat. Untuk setiap gerakan yang dia lakukan, meja
bergetar. Sesuatu dalam diriku terus terguncang.
―…Shiina-senpai.‖
Hei, ulangi lagi. Tidak mau. Kumohon. Apa boleh buat, ya, Shiina-
senpai? Bagus, sekarang sekali lagi. Shiina-senpai. Sekali lagi, sedikit lebih
intim. Yuki-senpai? Tidak buruk tidak buruk. Sekali lagi. Seriusan deh,
Yuki. Kau seperti orang cabul tau. Matamu bersinar. Kamu memanggilku
cabul? Kasar sekali.
Apa pun yang aku katakan, Yuki akan tertawa, marah, terlihat kecewa, atau
cemberut.
Di dalam kelas ini, Yuki dan suaraku saling bergema satu sama lain.
―Kamu hanya teman sekelas biasa, ‗kan? Kalau begitu, tidak masalah apa
hubunganku dengan Yoshi-kun sekarang. Setelah itu, aku tidak senang
dengan hal itu. Meski dia hanya teman sekelas, aku iri padanya. Aku tidak
tahu bagaimana dirimu di sekolah, Yoshi-kun. Ini yang terakhir.‖
Dia berdiri dari kursi, dan membuat jarak dariku. Angin sepoi-sepoi
mengangkat rok panjangnya.
Dia berada di kegelapan, berdiri di sana seperti jurang pemisah antara terang
dan gelap.
―Terakhir.‖
Aku mengulangi kata-kata ini, dan segera merasakan rasa sakit di seluruh
tubuhku.
―Kamu akan lulus, Yoshi-kun. Aku ingin datang ke kelasmu sebelum itu. Ini
adalah kesempatan yang sempurna. "
―Ahh, begitu.‖
Yuki bilang kalau kami sudah bertemu ratusan kali. Tentunya di masa depan,
kami akan bertemu berkali-kali lagi. Hei, bukankah begitu?
―Hey, Yuki-senpai.‖
―Kedengarannya bagus, tapi aku lebih suka yang biasa. Panggil aku Yuki.‖
―Yuki.‖
―Salahku?‖
Sepertinya Yuki tahu apa yang ingin aku lakukan ketika dia menutup
matanya dengan erat, pipinya memerah saat dia akhirnya siap
menerimaku. Dia sangat imut; Aku benar-benar tidak tahu berapa kali aku
memikirkan itu.
Di sudut dunia ini yang bahkan tidak bisa dijangkau oleh cahaya rembulan,
kami berciuman tanpa diketahui orang lain.
Dia benar-benar imut dalam keadaan itu, jadi aku tersenyum. Lihat, itu
semua salah Yuki, kan? Mana ada anak laki-laki yang bisa menolaknya ketika
ada seorang gadis imut di depannya.
―Hei.‖
Yuki dan aku berpisah di gerbang depan, dan saat aku berjalan pulang,
ringtone smartphone di kantongku berdering.
―Hei Yuki?‖
Suara dari telepon terdengar sangat lembut, namun sepertinya lebih dekat
dari biasanya, dan aku bahkan bisa mendengarnya suara nafasnya. Itu
adalah sesuatu tepat di sampingku, di dalam tanganku.
―Aku ingin bicara sedikit lagi, jadi aku meneleponmu. Mau ngobrol sebentar
lagi? ‖
―Tentu saja. Tapi ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?‖
Yah, alasannya sederhana, tapi aku tidak bisa mengatakannya. Aku menelan
ludah, dan mempersiapkan diriku. Karena. Kali ini, aku berhasil
mengatakannya. Jadi aku harus melanjutkan,
Bahkan diriku yang bodoh ini tahu bahwa suaranya karena dia merasa
kedinginan.
―Suaraku bergetar?‖
―Ya.‖
―Begitu ya. Jadi suaraku bergetar. Aku rasa begitu. Hei, Yoshi-kun, aku akan
menanyakan sesuatu. Kamu tidak ingin melupakanku, bukan? Kamu ingin
terus mengingatku, bukan? ‖
―Tentu saja.‖
―Iya.‖
―Ya kamu benar. Aku tahu kamu akan mengatakan itu, Yoshi-kun. Kalau
begitu, aku punya satu permintaan. Ini permintaanku yang terakhir. Apa
kamu mau mendengarnya?‖
Tolong bawa aku ke taman hiburan. Tolong bawa aku ke sekolah. Dengan
kehangatan yang sama seperti ketika dia mengatakan keinginan ini, Yuki
berkata,
―Eh?‖
―Tolong sukai aku, cintai aku, benci aku. Tolong sesali diriku, menderita
demi diriku. Tolong gunakan semua emosimu untuk mengikat hati kita
bersama. Tolong jangan lupakan aku. ‖
Ahh, andai saja ini bisa berakhir seperti yang aku inginkan? Tapi Yuki segera
mengubahnya menjadi ilusi.
―Kenapa?‖
―Aku sudah menyita banyak dan banyak waktu darimu, Yoshi-kun. Aku
mengambil waktu yang seharusnya ada di hatimu, ingatanmu, dan
segalanya. Sampai detik ini, aku sudah melakukan banyak hal kejam.‖
―Tidak. Itu benar, tetapi kamu mengatakan kepada aku kalau kamu
menyukaiku. Aku senang. Sangat senang. Karena itu, aku benar-benar
berdoa supaya keberadaanku bisa tetap berada di hatimu. Bahkan jika itu
menyakitimu, Yoshi-kun, bahkan jika aku dibenci olehmu, aku tetap
bertahan pada keinginanku. Bila ada tempat beristirahat di dunia ini
untukku, itu pasti di hatimu.‖
Itu bukan jawaban untuk pertanyaanku. Yuki sendiri mungkin mengerti ini,
dan dengan sengaja mengucapkan kata-kata ini.
Meski begitu, aku menyadari bahwa tidak ada kepura-puraan dalam kata-
katanya.
Aku melewati jembatan, dan berlari ke taman. Lampu toilet umum menyala
remang-remang di jalan. Aku menapaki langkahku ke persimpangan, ragu-
ragu ke mana aku harus pergi. Ahh, sial. Aku membuang-buang waktu yang
berharga. Pada akhirnya, aku pergi ke stasiun.
―Hei, Yuki, tunggu di sana oke. Aku sedang dalam perjalanan menuju
tempatmu, sekarang. Kita akan membahas masalah itu nanti, oke. ‖
―Lagi?‖
―Ya, lagi. Kamu selalu seperti ini, Yoshi-kun, selalu membuat janji yang tidak
bisa kamu tepati.‖
―Eh?‖
―…….‖
―……‖
―……‖
Yuki terus menyerukan janji-janji yang dibuat tidak ada di dunia ini, tapi di
dalam hatinya. Aku bahkan tidak bisa meminta maaf padanya. Tidak, aku
tidak punya hak untuk meminta maaf.
………………………………..
Sejak hari dimana aku kehilangan segalanya, aku berjalan sendirian sampai
detik ini.
Ini bukanlah metafora maupun lelucon. Dunia berubah sejak hari itu.
Ia membantu mengubahku.
Apa yang harus aku sebut hari-hari yang lucu dan indah ini? Aku bertanya-
tanya, dan menggelengkan kepala. Ini bukan sesuatu yang pantas disebut.
Akhir dari keseharian ini, akhir cerita kita akan dipenuhi dengan kesedihan.
Kami terus bertemu satu sama lain, demi perpisahan yang satu ini.
❀❀❀❀
Jalan di depan balai kota cukup lengang, tidak ada orang di jalan, dan sepi di
mana-mana. Lampu jalan yang bundar membuat prisma bulat. Melihat ke
bawah, aku melihat tiga bayangan di kakiku, satu menghadap ke kanan, satu
menghadap ke kiri, dan satu menghadap ke depan. Mungkin ada sumber
cahaya dari setiap arah; kanan, kiri dan lurus.
Sisi mana yang harus aku ambil untuk sampai ke tempat Yuki?
Dan tanpa sadar, aku melangkah ke depan. Aku tidak tahu persis kenapa,
tapi aku diam-diam yakin akan sesuatu.
Yuki ada di depanku.
…………………………
Aku mencoba mengulurkan jariku ke depan, tetapi terhalang oleh kaca, tidak
dapat menyentuhnya.
Saat ini, aku masih ada di dunia ini. Ya, aku masih ada di hatinya.
Jika Ia menganggapku lucu, itu tidak masalah. Ahh, tapi Yoshi-kun bilang
aku sangat keras kepala dan pelit padanya, selalu mengekor padanya, jadi
mungkin tidak lucu. Aku menunjukkan kepadanya sisi jelekku. Ia bilang aku
benar-benar rakus.
Awalnya, alasan mengapa semua jejakku lenyap adalah karena aku ingin
pergi ke masa depan. Dunia harus terus menghapus keberadaanku karena
aku hidup. Kalau begitu, jika aku mati, tidak ada alasan bagiku untuk
dihapus. Tentu saja, jejak masa lalu yang terhapus takkan kembali, tapi masa
kini yang belum diambil akan tetap ada.
Aku sudah menunggu saat ini.
Selama periode berharga itu, aku mungkin telah mengukir diriku dengan
kuat-kuat di dalam dirinya.
Tetapi, setelah semua itu, tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan
seseorang pasti akan menyebabkan luka dalam yang tidak pernah bisa
hilang. Ia akan menangis, menahan rasa sakit, dan mengingatku. Dengan
demikian, aku bisa terus tetap berada di hatinya.
Maaf. Aku ingin mengatakan kata egois ini, tapi aku menahannya kembali.
Kata-kata itu terlalu tajam, sehingga aku, yang memaksa diriku untuk
menahannya, hampir menangis.
❀❀❀❀
Tanganku sakit.
Kakiku sakit.
Hatiku sakit.
Butir-butir keringat mengalir di pipiku. Tubuhku terasa panas dan berat.
Aku terus berlari, dan secara alami, aku mencapai batas kemampuanku. Kaki
kanan menyerah untuk menopang berat badan saat membungkuk. Aku bisa
dengan jelas mendengar suara bodoh itu.
―Ahh.‖
❀❀❀❀
Waktu sudah lama berlalu, aku ingin menutup telepon, tetapi aku tidak
bisa. Apa yang salah denganku? Batas waktu semakin dekat. Ayo, tutup
telepon. Mana mungkin Ia akan berhasil ke sini. Ini buang-buang waktu saja
bila terus ragu. Jika aku tidak mati sekarang, aku takkan tinggal di hatinya.
Yuki.
Aku menutup mataku, melihat senyum lembutnya, dan kakiku terasa lebih
berat.
Dan setelah itu, aku harus memilih keinginanku. Meski aku tahu itu akan
menyakitinya. Meskipun aku tahu itu akan membuatnya sedih.
Meski begitu–
Itu adalah suara seseorang yang menabrak, seseorang mengerang. Tidak, aku
bahkan tidak bisa mendengar suara itu.
Bagiku, satu-satunya kenangan yang tidak ingin aku ingat terbangun dalam
diriku.
―Yoshi-kun, apa kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi? Hei! Yoshi-
kun. Jawab aku!‖
❀❀❀❀
Pada saat itu, aku meraih smartphone di tanganku dengan sekuat tenaga,
meringkuk, dan membawanya ke depan dadaku.
Karena itu, aku jatuh ke tanah tanpa menggunakan teknik ukemi. Ada rasa
sakit yang tajam menyerang bahu kiriku, membuatku mengerang. Setelah
berguling sebentar, aku berhenti.
Aku sudah tidak kuat berlari, dan seluruh tubuhku sakit. Ini
mengerikan. Aku bahkan tidak bisa berdiri. Secara fisik, dan mental.
Yuki pasti menderita. Dia selalu sendirian, bekerja keras sampai saat
ini. Paling tidak, biarkan dia menjadi egois sampai akhir.
Dan bahkan jika aku menemukannya, apa yang ingin aku lakukan? Apa aku
siap untuk mengubah tekad Yuki?
Aku sudah bekerja keras. Aku memiliki banyak pengalaman yang tak
tertahankan, dan membuatku blepotan dimana-mana. Ini sudah cukup,
bukan?
Ada satu hal. Suara Yuki datang dari smartphone di tanganku. Yoshi-kun,
kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi? Hei! Yoshi-kun. Jawab aku!
Aku hampir tidak bisa menggerakkan tubuhku, dan akhirnya berbaring di
tanah, perlahan membuka mataku. Cahaya menyilaukan menyinari
penglihatanku. Cahaya rembulan bersinar ke arahku.
Sirius bersinar.
Ahh, apa? Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Tapi aku sangat senang
tentang ini.
―Yuki.‖
―Apa?‖
―Kau kejam.‖
Dengan suara gemetar yang sama, Yuki mendengus. Dia sepertinya tidak
menikmati ini.
―Aku pernah mengatakan ini sebelumnya, tahu? Ini sudah lama terjadi, dan
meski itu menghilang, aku memang bilang kalau aku akan melakukan
sesuatu yang kejam kepadamu. Aku memang bilang kalau kamu tidak bisa
tidak percaya dengan apa yang aku katakan.‖
―Iya. Orang idiot Karena itulah kamu menjadi sasaran gadis nakal ini. ‖
―Ya. Aku benar-benar idiot.‖
―Ya, aku ini orang aneh yang menyukaimu. Aku mungkin sudah banyak
berbohong, melanggar banyak janji, tapi hanya ini satu hal yang benar. ‖
―Jadi, aku akan mendatangimu sekarang. Aku tak tahu apa yang kau
pikirkan, apa yang kau sangka, apa yang membuatmu frustrasi, apa yang
membuatmu khawatir, apa yang membuatmu memutuskan itu. Di masa
depan, aku ingin bertemu Kau berkali-kali, untuk mencintai, untuk hidup
bersama.‖
Masa lalu yang mengacu pada empat tahun lalu. Saat itu, ada seorang anak
lelaki yang tidak bisa jujur mengatakan apa yang Ia inginkan. Sebagian
besar, ia hanya memilih untuk bertahan, untuk menyerah. Bocah itu tak lagi
ada dimanapun di dunia ini.
Karena aku tak tahan untuk ini. Aku tidak dapat menerima bahwa Yuki
menangis.
Selama aku bisa memastikan bahwa gadis yang paling aku sayangi takkan
menangis, aku akan melakukan segalanya, bahkan jika aku harus
mengorbankan segalanya.
Ketemu!
―Yuki. Kau bilang semuanya tidak ada, tapi itu tidak benar. Kau bilang kau
mengambil semuanya dariku, tapi bukan itu. ‖
―Seminggu yang lalu, kita bertemu di tanah kosong itu. Itu bukanlah
kebetulan. Karena Shiro tertidur di sana. Aku berhenti karena Shiro
dimakamkan di sana. Jika kau tidak meminta bantuanku empat tahun lalu,
mana mungkin kita akan bertemu di sana.‖
Aku pergi ke berbagai tempat sendirian, dan melakukan banyak hal. Aku
menikmati hal-hal ini dalam ingatanku, semua ini karena Yuki ada di
sebelahku. Tidak apa-apa, Yuki. Tidak apa-apa. Kau tidak mengambil apa
pun dariku. Bukan hanya itu, kau malah memberiku banyak hal.
Yuki bergumam.
― …..Begitu ya. Kurasa itu saja sudah cukup. Lalu hidupku sudah—‖
―Tidak, bukan apa-apa. Lebih penting lagi, hei, Yoshi-kun. Bisakah aku
mengubah sedikit permintaan terakhirku? Jika aku benar-benar ada di
hatimu, buktikan padaku. Sebut aku. Tolong. Panggil namaku.‖
Aku memejamkan mata erat-erat. Aku membukanya. Visi itu sangat terang.
Aku memeganginya.
Aku harus terus meraihnya, sehingga aku takkan kehilangan itu, supaya aku
takkan membiarkannya tergelincir.
Karena—
Tsuu, haa. Aku merasakan rasa sakit di dalam tubuhku. Aku hampir
menangis. Tapi aku mengambil langkah pertama. Aku mengambil langkah
kedua. Aku mengertakkan gigi, dan mempercepat lariku.
Aku berlari melewati depan sekolah SMP-ku dulu. Sudah berapa kali aku
mengejar bayangan seseorang di sini? -dia tidak ada di sini.
Aku berlari melewati toko, yang sering aku lewati dalam perjalanan pulang
setelah aktivitas klub berakhir. Sudah berapa kali aku makan es krim
sendirian di sini? -dia tidak disini.
Aku melewati toko buku yang sering aku kunjungi. Sudah berapa kali aku
membeli publikasi novel baru? - dia tidak ada di sini.
Tanpa aku sadari, gedung perpustakaan sudah kulewati. Sudah berapa kali
aku berjuang dengan tugas matematika sendirian? - dia tidak ada di sini.
Aku sendirian.
Tapi pada titik ini, aku bisa melihat seseorang di sana. Setelah
keberadaannya terhapus, sesuatu selalu digunakan untuk menutupi
keberadaan seseorang, namun perlahan aku bisa mendengar
tawa. Kedengarannya sangat bahagia, milik gadis yang aku suka.
Aku melihat seseorang di dalam bilik telepon umum yang bersinar redup
dalam kegelapan. Meskip aku hanya bisa melihat siluet, orang itu sedang
menelpon. Aku menemukannya. Aku menghela nafas lega.
Masih ada jarak di antara kami. Aku tidak bisa melihat wajah Yuki dengan
jelas. Aku tak bisa mendengar suara Yuki. Suaraku tidak bisa
menggapainya. Aku di sini, tetapi Yuki tak pernah menyadariku.
―Terima kasih banyak atas semuanya. Aku sangat senang. Aku sangat
menikmati diriku sendiri. Sebenarnya, sejak aku bertemu denganmu, aku
benar-benar bahagia. Rasanya sangat menyenangkan bisa hidup sampai
sekarang. "
Itu masih belum cukup, bukan? Ayo kita ciptakan banyak kenangan
bersama. Ayo pergi ke berbagai tempat. Ayo makan banyak dan banyak
hidangan lezat lainnya. Jadi….
Tangan Yuki benar-benar dingin. Tapi segera menjadi hangat. Karena itu,
aku senang.
Jika aku bisa mengatakan, itu adalah cinta pertamaku, rasanya pasti akan
hebat, tapi mungkin tidak. Kurasa aku jatuh cinta dengan orang tertentu
yang sama 214 kali. Orang yang sama. Itu kau.
―Ciuman pertama sebenarnya setelah sekolah, di dalam kelas. Itu benar-
benar pengalaman yang sangat dramatis. Omong-omong, di manga, orang
bilang ciuman pertama rasanya seperti lemon, tapi kurasa itu tidak
benar. Rasanya memalukan, hal yang menyenangkan untuk dicium, tak ada
cara untuk membandingkannya. Atau kau tau apa itu, Yoshi-
kun? Bagaimana rasanya ciuman pertama?‖
Hei, Yoshi-kun.
Yuki memanggilku.
―... Bila di lihat dari sudut pandang orang luar, kisah cinta kita cukup
normal. Ini seperti anak laki-laki biasa berpacaran dengan seorang gadis
biasa, hanya sekedar cerita biasa. Tapi. Tidak. Sebenarnya, karena inilah aku
merasakan sesuatu yang layak untuk diberikan semua. Berkat dirimu, aku
bisa mengucapkan kata-kata ini sekarang. Eheheh. Rasanya agak
memalukan. Tapi aku akan mengatakannya sekarang. Dengarkan ini baik-
baik. Ini adalah hidupku. Hari yang penuh kilauan yang kuhabiskan
bersamamu, Yoshi-kun. ‖
Dan pada saat yang sama, rasa sakit di dadaku menjadi panas saat meluncur
di pipiku.
―Kenapa kau mengatakan ini? Aku masih ingin bersamamu. Jadi, aku mohon
padamu. Hiduplah! Teruslah hidup!‖
Cuma sedikit lagi. Yuki bisa merubah pikirannya lagi jika ada peluang, suatu
saat. Tetapi itu saja tidak cukup.
Lututku terasa sakit. Aku menahannya, agar memastikan bahwa aku tidak
mengerang. Lututku gemetaran, dan aku tidak bisa mengerahkan
tenaga. Sepertinya tenagaku terkuras karena luka. Aku kehilangan
keseimbangan. Aku menghabiskan semuanya hanya dengan mengertakkan
gigi, memaksa diriku untuk tidak jatuh.
Kenapa!? Kenapa baru sekarang!? Ayo bergerak! Aku tak peduli kalau aku
tidak bisa bergerak lagi! Bawa aku ke Yuki! Kumohon! Gadis yang aku cintai
ada di sana!
Aku berteriak.
Aku memanggil nama yang paling aku sukai di dunia ini, ke arah cahaya kecil
itu.
―Yu, -‖
Pada saat itu, ketika keabadian tampak tertekan, aku bermimpi kalau aku
melihat seorang gadis.
Senyum Yuki muncul di pikiranku. Ini adalah fragmen terakhir milik Yuki
dalam diriku.
❀❀❀❀
Aku menangis, tetapi akhirnya aku pura-pura menahannya, dan suara itu
akhirnya tidak pernah mencapai siapa pun karena perlahan-lahan
menghilang.
Sama seperti dua ratus kali sebelumnya, dunia dengan kejam memutuskan
kontakku dengannya.
Aku tak bisa berdiri sama sekali, dan tetap berlutut di bilik telepon. Tak perlu
menanggung lagi. Aku mengerut, memeluk diriku sendiri. Napasku sendiri
terdengar sangat berisik. Setelah ini memudar, aku mulai memperhatikan
gema jauh di dalam telingaku. Ini halusinasi. Aku tahu. Tapi…
Suara itu sangatlah kecil, tapi itu seperti bintang-bintang yang menyilaukan
di langit malam, berkilau di tengah hatiku.
Tempat yang akhirnya kutuju, tempat yang dipimpin Yoshi-kun, akhir yang
lebih indah dari yang kuharapkan. Di masa depan, Ia pasti akan
tersenyum. Ia akan tersenyum bersama dengan waktu yang lama Ia habiskan
bersamaku. Itu sebabnya aku cukup senang.
Setidaknya, aku harus memberikan ini padanya. Karena kami sudah berjanji.
Bukannya anak lelaki bohong itu akhirnya memenuhi janji ini untukku?
Itu hanya satu suku kata, tapi aku memang mendengarnya. Ini bukan suara
melalui saluran telepon, tapi suara jujurnya. Ayo kita memenuhi janji
itu. Ayah, ibu, Umi. Kalian bisa menunggu sedikit lebih lama ... hanya
sedikit?
Aku meninggalkan bilik telepon, dan di sudut mataku, aku melihat siluet
yang namanya tidak aku kenal, tapi aku tidak memeriksanya, dan pergi ke
arah yang berlawanan dengan orang itu.
Sudah lama sejak aku sangat jatuh cinta dengan dunia ini.
Dulu saat aku mencintai dunia ini, aku sangat ingin hidup.
Epilog – Aroma Yuki
Pagi hari, aku bangun seperti biasa, sarapan, dan mencuci muka, hanya
untuk menyadari sesuatu. Tidak, aku sudah tahu tentang itu, hanya saja
hatiku dikelabui kenyataan.
Lengan seragam sekolah yang aku kenakan selama tiga tahun sudah tidak
lagi cocok untukku.
Pada akhir Februari, aku mengikuti ujian kedua. Bahkan belum seminggu
berlalu, dan hari ini adalah upacara kelulusan. Kemarin hasil
pengumumannya keluar.
Aku segera jatuh ke tempat tidur, tanganku meraih cahaya oranye. Telapak
tanganku merasakan kehangatan, jadi aku mengepalkannya. Aku merasa
sedang mengambil sesuatu. Kemudian, aku membuka tangan. Tak ada apa-
apa di sana, tapi ...
Aku berganti ke baju dan celana jins, dan mengenakan kardigan, lalu menuju
jalan ke sekolahku yang sering kulalui selama tiga tahun. Selama
pertengahan Februari, ada banyak salju yang menumpuk, tapi pada titik ini,
musim semi sudah tiba.
Aku memandangi langit biru ketika terus berjalan, dan melihat sebuah wajah
yang familiar.
Sudah seminggu sejak kita bertemu, ‗kan? Sebelum itu, kami akan bertemu
setiap hari. Ini aneh. Masalah hubungan manusia ini dapat dengan mudah
putus seperti ini jika kita berdua tidak mempertahankannya. Hal-hal yang
tidak ingin kupasrahi, aku harus terus mengulurkan tangan untuk mereka.
―Pergi lapor ke sekolah kalau aku lulus. Hasilnya baru keluar kemarin.‖
―Yah, ada banyak guru yang membantuku, jadi aku ingin memberi tahu
mereka kabar baik secara langsung. Jika kau punya waktu, apa kau mau ikut
denganku, Akane?‖
―Terima kasih.‖
Ada beberapa pejalan kaki di hari kerja ini, dan ada bayangan kecil di depan
kami, tidak ada orang lain yang terlihat. Ketika kami mendekatinya,
sepertinya siluet itu mendekati kami, menjadi sedikit lebih besar. Meskip
begitu, kami sangat jauh sehingga kami tidak dapat menentukan jenis
kelamin satu sama lain. Akankah siluet itu mendekati kami, melewati kami,
atau berbalik arah?
Tanpa berpikir terlalu banyak, aku mulai bertanya-tanya tentang hal yang
tidak berguna ini, dan itu sebabnya aku akhirnya mengatakan sisanya,
―Akane. Aku ingin bertanya sesuatu padamu, jadi berjanjilah, jangan marah,
oke? ‖
"Nggak. Bahkan jika aku bilang tidak, kamu akan bertanya. Kamu punya
kepribadian bagus ya, Haru. ‖
―Hari itu, 14 Februari. Apa kau memberiku cokelat atau sesuatu ...? "
Untuk setiap kata yang aku katakan, ekspresi Akane jelas tampak semakin
jengkel. Hanya dengan melihat suasana hatinya saja, aku sudah tahu
jawabannya. Ahh, dia benar-benar marah. Tidak, dia hanya merajuk.
―Dalam mimpimu.‖
Akane mencubit pipiku yang lain dengan tangannya yang lain. Yay, yay, dia
bercanda sambil memainkan kedua pipik. Serius, apa ini? Ini sangat
menyakitkan.
Puhahaha, dia tidak bisa menahan tawa. Kamu benar-benar jelek, ujarnya.
―Haa, puas banget ketawanya. Karena aku orang yang pengampun, aku akan
menjelaskan ini. Jadi, apa yang kamu katakan? Ah, aku ingat. Kamu
menerima cokelat dari seseorang pada tanggal 14, ‗kan, Haru? ‖
―Iyha.‖
Pipiku ditarik lebar-lebar, aku tidak bisa membuka mulut, jadi aku belum
bisa menjawab dengan benar. Tampaknya Akane juga tahu ketika akhirnya
dia melepaskannya. Begitu aku merasa lega, aku ditamparnya dengan kedua
tangan. Rasanya lebih menyakitkan lima kali lipat dari sebelumnya.
―Kamu tidak tahu dari mana kamu mendapatkannya, jadi itu artinya, kamu
tidak menerimanya dari tangan orang itu, kan?‖
―Itu ada di kotak surat rumahku. Aku menemukannya saat mengambil koran
pagi. Tidak ada nama pengirim di dalamnya, tapi aku rasa itu mungkin dari
seseorang yang tahu kebiasaanku yang mengumpulkan koran setiap pagi.‖
Itu hanya cokelat biasa. Ya, yang biasa dijual di toko terdekat, dan tidak
memiliki kemasan. Aku sering makan cokelat seperti itu pas SMP dulu, tetapi
rasanya berbeda dari apa yang aku makan saat itu. Rasanya sangat manis.
―Aku tidak tahu kalau kamu punya kebiasaan mengambil koran, Haru.‖
―Kamu bertanya siapa, tapi sekarang sudah tidak masalah, ‗kan? Orang itu
mungkin mengerahkan seluruh keberaniannya untuk mengirimkan cokelat
itu padamu. Saat ini, cokelatnya ada di tanganmu. Ya, benar. Cintanya
mungkin sudah terbayar. Lagipula cinta seperti itu memang ada. Dengar,
secara pribadi, aku tak berpikir cinta yang bertepuk sebelah tangan itu selalu
kejam.‖
Setelah aku diberitahu tentang itu, aku tidak melanjutkan masalah ini.
Aku tak bisa menanggapi keberanian dan kekaguman Akane. Tapi itu sudah
diduga. Selain itu,
―…Silahkan saja.‖
Akane menatapku.
Sepanjang hidupku, aku tak pernah tahu tentang hasrat yang tak kenal takut
untuk menganggap dunia sebagai musuh, dan aku tahu bahwa ada rasa sakit
yang membakar di hatiku.
Tenang, kamu tahu cinta dengan sangat baik. Balas Akane membantah apa
yang aku katakan.
―Saat itu, Haru, ketika kamu menolak pengakuanku, kamu sudah jatuh cinta
pada seseorang. Tidak. Mungkin itu bukan cinta, tapi saat itu, hatimu pasti
merasakan sesuatu yang sangat menyala seperti cinta. Saat itu, hatimu pasti
mengandung keberadaan yang lebih penting daripada diriku. Karena itulah
kamu menolak pengakuanku, Haru. ‖
―Gadis itu cukup kuat tau, sekaligus lemah, makhluk bodoh, kurasa. Laki-laki
mungkin takkan mengerti ini, kurasa. Ini seperti menaruh permata di laci,
dan membawanya keluar untuk melihat dan memuaskan perasaannya. Jika
ada permata atau sesuatu yang serupa di hati, maka tidak peduli
keputusasaan, seorang gadis dapat terus hidup. Aku pikir gairahmu menjadi
permata orang itu, Haru. ‖
―Kau terlalu melebih-lebihkannya. Tak ada bukti untuk apa yang kau
katakan.‖
―Apa itu?‖
Saat itu, aku akhirnya memperhatikan sesuatu. Siluet yang seharusnya jauh
dari kami perlahan melewati kami. Kami mengobrol lama, ya? Sepertinya itu
perempuan. Kunci rambut panjang memasuki sudut mataku sejenak,
sebelum akhirnya pergi. Aku tidak bisa melihatnya. Namun aroma wangi
musim semi adalah bukti bahwa dia pernah ada, berlama-lama di udara.
Yoshi-kun.
Setelah mendengar ini untuk pertama kalinya, aku buru-buru berbalik, tetapi
tidak ada seorang pun di belakang. Akane menyadari aku berhenti, dan
berbalik untuk melihat ke arahku.
Karena hembusan angin musim semi, sesuatu yang mirip dengan partikel
cahaya putih berkilauan, seolah memberkati dunia.
Dan tersebar.
Aku menghela nafas, dan menghirup udara segar musim semi ini.
―Rasanya seperti salju.‖
―Eh, mana mungkin. Sekarang ‗kan tidak ada salju. Ini aroma sakura.‖
Aku ingat pernah bermain bola salju melawan anak-anak SD musim dingin
kemarin.
Salju mengeluarkan aroma sakura. Dua hal yang pasti tidak bisa hidup
berdampingan pasti disatukan. Bukannya itu menarik? Tidak ada yang aneh
tentang itu.
Aku percaya bahwa di masa depan, setiap musim semi, aku akan mengingat
salju yang mencair.
Untuk beberapa alasan, itu saja sudah cukup bagiku untuk merasa bahagia.
Kata Penutup
Dalam sebuah kalimat, saya akan mengatakan pekerjaan ini adalah 'Halo'
pertama dari saya untuk Anda. Saya sangat senang bisa bertemu dengan
Anda melalui kisah yang berat ini. Saya Aya Hazuki.
Nah, sebelum saya mulai menulis, saya merasa bingung mengenai apa yang
harus saya tulis untuk kata penutup. Karena halaman yang terbatas, jadi saya
akan menulis episode kecil yang melibatkan saya dan pekerjaan ini.
Saat itu adalah akhir Maret 2017, pada waktu itu cuaca masih dingin. Pada
hari itu, saya mengirim naskah saya melalui internet, dan memimpikan diri
saya debut sebagai penulis, mengedit karya ini. Hari itu, saya berniat
mengubah nama pemeran wanita menjadi kanji, dan tangan saya menulis
terlalu cepat, lantas mengubahnya.
Akhirnya, layar memperlihatkan kanji yang saya pelajari di sekolah dasar. Itu
bukan Yuki (由 希), juga bukan salju (雪). Ketika saya melihat itu, ahh, pikir
saya, dan hanya bisa tersenyum sendiri.
Tentu saja, rasa terima kasih saya yang tulus untuk Anda yang membaca
karya ini.
Ini akan menjadi sukacita terbesar untuk pekerjaan ini, dan bagi saya
sendiri.
―Maaf kalo rasanya mendadak, tapi apa saya boleh meminta sesuatu
darimu?‖
Jika suatu hari, jika Anda bisa mendengar suara ini bersama aroma sakura.
Aku ingat kalau aku pernah mengalami masa dimana aku menantikan untuk
mengalami cinta.
Tokoh laki-lakinya adalah jagoan tim sepak bola dan bola basket, Ia juga
menjabat sebagai ketua OSIS, dan sering masuk sepuluh besar dalam
ujian. Sisi yang tidak diketahui dari bunga tinggi ini diketahui, dan
percintaan (kisah cinta) dimulai. Dalam buku itu, 'Aku', sang protagonis,
mengundang senior yang dia sukai untuk berkencan, oke, dan mendapat
balasan. Mereka pergi ke akuarium, dan dalam perjalanan pulang, mereka
mampir ke kafe. Dia sangat senang sampai-sampai dia membuat permintaan
berani yang biasanya takkan dia lakukan.
―Yuki.‖
―Jadi kau sudah lama menunggu ya. Aku benar-benar minta maaf.‖
―Sudah kubilang, kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu.‖
Aku tahu Ia akan menyalahkan dirinya sendiri, tapi aku menjawab sambil
menepuk pundaknya.
Hari ini, kami berencana pergi ke toko kue yang dibuka kembali di kediaman
pribadi. Ada masalah khusus pada koran lokal, dan setelah melihat ini, aku
berjanji untuk datang ke tempat ini bersamanya minggu lalu.
Alasan mengapa aku memutuskan untuk pergi hari ini adalah karena aku
berjanji padanya.
Kami duduk di salah satu dari lima meja yang tersedia; Yoshi-kun dan aku
masing-masing memesan kue pisang dan pai apel. Aku sempat menggigit pai
apel panas. Nnn. Rasanya sungguh luar biasa!
Kerenyahan pai yang dibubuhi mentega yang cukup, dan rasanya sungguh
luar biasa. Renyah sekali. Aku mengunyah, mengunyah, dan menelan. Yap,
ini sangat enak. Keasaman apel di dalamnya benar-benar memuji manisnya
pai.
Tiba-tiba, aku ingin tahu mengenai akhir dari kencan tersebut. Tidak, aku
hanya penasaran apakah protagonis berhasil mencapai tujuannya. Jadi,
sembari memikirkan isi buku yang barusan kubaca, mungkin aku harus
mencoba hal ini.
Lalu, Aku dengan senang hati menghabiskan potongan terakhir pai apel. Hei,
Yoshi-kun, aku memanggil namanya sambil membuka mulutku, mirip
seperti anak yang menunggu untuk minta disuap.
Ini adalah replikasi dari novel yang baru saja aku baca.
Apa yang akan dilakukan Yoshi-kun nanti? Dengan gugup aku menunggu
jawabannya.
Yoshi-kun kemudian melihat sepertiga kue pisang yang tersisa, sebelum
melihat bolak-balik antara kue tersebut dan diriku. Lalu, Ia tersenyum. Ia
menyodok garpu di kue, yang ukurannya terlalu besar untuk ditelan penuh,
dan membawanya ke mulutku, seolah-olah mengatakan, jika kau
memakannya, maka cobalah ini.
Jadi, aku tersenyum. Ah, Yoshi-kun, kamu benar-benar tidak tahu. Anak
gadis bisa menyelesaikan ini dengan mudah, terutama saat mereka manis.
Dan diriku yang mirip seperti protagonis dalam novel, mengangguk dengan
penuh rasa manis di hati.
Yoshi-kun secara pribadi menyuapiku kue, dan rasanya lebih manis dari apa
pun yang aku makan. Bagaimana ini mungkin?
Tidak senang dengan ini, aku takkan memberi tahu Yoshi-kun tentang
kemanisan ini ……
Saat itu, hal yang populer bukanlah permainan video atau permainan kartu
kolektif, tapi menangkap serangga.
Saat itu, siapa pun yang punya kumbang besar yang terlihat keren akan
langsung populer, tetapi selalu teman-temanku yang menangkapnya. Aku
bisa mengingat dengan baik bahwa aku tidak bisa menangkap satu pun.
Dia lebih ceria ketimbang kebanyakan anak laki-laki, dan sering suka
bermain sepak bola dan bola basket dengan mereka, tapi dia hampir tak
pernah terluka, terutama karena dia memahami konsep-konsep
olahraga. Dan, dia sangat baik kepada ibu karena ibu selalu khawatir kalau
dia, seorang gadis, mudah terluka.
Dia terluka karena diriku, dan karena itu, hidungku sedikit gatal.
―Hey, Natsuna.‖
―Hm?‖
―Terima kasih.‖
―Ehehe. Aku suka saat kamu mengelus kepalaku seperti ini, Haru-kun. ‖
―Sungguh?‖
Bahkan sejak itu, apa pun yang terjadi, Natsuna akan menjulurkan
kepalanya, dan aku akan mengelus kepalanya. Ini berakhir jadi kebiasaan
burukku. Setiap kali aku melamun, aku akan mengelus kepala siapa saja,
bukan hanya Natsuna. Seperti misalnya, temanku Akane.
Kata-katanya yang dibuat dengan cermat tampak megah, tapi aku tidak
membencinya. Dia tampak senang ketika mengatakan ini, wajahnya sedikit
gembira, agak mirip dengan wajah yang dibuat Natsuna muda.
Ini adalah pertama kalinya ini terjadi padaku, dan aku terkejut, terganggu
oleh perasaanku sendiri.
―Tidak apa-apa. Maaf. Aku pikir di rambutmu ada daun atau sesuatu, tapi
tampaknya aku salah lihat.‖
Aku membuat alasan, dan menerima jus dari Yuki. Aku bisa merasakan
dingin, perasaan tanpa cinta, sementara hatiku berpikir, ini bukan.
Dalam waktu dekat (dekat masa lalu), aku akan menemukan jawaban itu.