Anda di halaman 1dari 283

Hello, Hello, and Hello

Ditulis Oleh : Hazuki Fumi


Diilustrasikan Oleh : Boot

Alih Bahasa Indonesia Dipersembahkan Oleh :


Penerjemah : Red String
Editor : Red String
Pembuat PDF : Red String

DILARANG KERAS memperjual belikan hasil karya ini atau


mengomersilkan hasil karya ini tanpa sepengetahuan Hak Cipta
secara legal. Ingat ya!! TERUTAMA PARA FANSHARE YANG
MENARUH SHORTLINK ATAU ADSENSE UNTUK PDF INI. HANYA
ADA DI KAITO NOVEL, BUKAN DI TEMPAT LAIN!! Hanya untuk
dibaca dan koleksi pribadi. Jangan sampai dicetak sendiri juga,
oke?!

E-Book ini semata-mata dibuat untuk peminat seri ini dan


mendukung terjemahan novel di Indonesia.

Kritik dan Saran di,

Kaito Novel
Prolog
Perjumpaanku dengan dirinya

Ini adalah kisah cinta diriku yang hilang 214 kali.

Dan-

Ini adalah kisah cinta diriku yang diperoleh dari jarak yang terbentang
selama empat tahun.

―Hei, Yoshi-kun. Aku-"

Seorang gadis yang tidak kukenal memanggilku.

Suaranya sehangat mentari musim semi, dan selembut angin yang


berhembus diantara bunga-bunga.

Jika kuingat kembali, suara itulah yang menarik perhatianku.

❀❀❀

Jarum jam menunjukkan pukul 11 malam.

Tasku terasa berat karena dipenuhi buku-buku pelajaran, dan berat tersebut
membuat bahuku terasa sakit. Perutku keruyukan. Biasanya, jam segini aku
sudah kembali ke rumah.

Tetapi pada hari itu, aku berjalan tanpa tujuan di kota.

Apa yang terjadi beberapa jam yang lalu masih terngiang dipikiranku.

Aku melarikan diri dari mata yang dipenuhi tekad.


Serta, emosi yang kuat.

Kembali ke ruang kelas yang redup sepulang sekolah, teman sekelasku,


Akane Rindou, mengatakan sesuatu padaku,

"Aku menyukaimu, Haru. Tolong jadilah pacarku. "

Wajahnya benar-benar merah padam, dan bahunya gemetaran di


hadapanku. Namun suaranya yang nyaring sama sekali tidak goyah.

Dia terlihat cantik dan mempesona seperti biasanya.

Benar-benar sangat cantik.

Jadi, rasanya akan sangat menakjubkan bila aku menjawab kalau aku juga
menyukainya.

Sebenarnya, aku sedikit mengagumi Akane. Namun, perasaan yang aku


miliki sangat berbeda dari perasaan yang dimilikinya. Tak masalah apa itu
warnanya, bentuknya, beratnya, atau bahkan jenisnya.

Perasaan yang kami sembunyikan satu sama lain sama sekali tidak sama.

Fakta itu saja sudah cukup untuk mencegah perasaan kami terbalas.

"Maaf."

Aku menelan air liur demi membasahi tenggorokanku yang kering, dan
mengucapkan kata-kata tersebut.

Kepala Akane menunduk perlahan, dan tertunduk lesu. Rambut panjang


yang menutupi bahunya menutupi ekspresinya. Meski begitu, Akane
mencoba berbicara beberapa kali, tapi hanya bisa membuka dan menutup
mulutnya, tanpa bisa mengucapkan sepatah kata.

Aku juga hanya bisa diam seribu bahasa sembari menundukkan kepala, lalu
melarikan diri dari ruang kelas yang kosong.

Aku lupa apa yang terjadi setelah itu. Sebagian ingatanku sedikit kabur. Aku
tidak langsung pulang, dan hanya keluyuran di jalan.
Sekarang adalah musim dingin, namun punggungku basah karena
keringat. Pandanganku sedikit kabur karena kurang fokus. Kakiku sepertinya
sudah lupa bagaimana harus berhenti ketika aku terus berjalan maju.

Kemudian, aku akhirnya berhenti setelah berjalan ke tempat yang tidak asing
bagiku.

Jika bukan karena papan reklame, yang lumayan sedikit berubah, mungkin
aku tidak menyadarinya.

Tempat ini sudah terbengkalai selama bertahun-tahun, tapi tampaknya


sebuah bangunan akan dibangun mulai musim depan. Begitu ya. Jadi tempat
ini akan hilang? Aku tidak tahu apa aku harus menganggapnya sebagai
kenangan atau bukan, tapi yang jelas tempat ini memiliki beberapa kenangan
yang aku ingat.

Disinilah tempat aku mengubur seekor kucing.

Seekor kucing cantik dengan bulu putih.

Kucing putih tersebut menutup matanya, seolah-olah tengah tertidur ketika


aku menyentuh tubuh kecilnya dengan ujung jari. Pada saat itulah, untuk
pertama kalinya dalam hidupku, aku memahami konsep itu. Ya, tidak ada
kehidupan di dalamnya. Apa yang aku sentuh hanyalah kulit kosong. Kaku,
berat, dan lebih dingin dari apapun.

Fenomena yang terjadi dihadapan diriku yang masih SMP adalah 'kematian'.

Aku merasa tidak berdaya.

Dan seperti kebanyakan orang di dunia ini, aku mengubur jasad kucing putih
tersebut untuk membuat hatiku rileks, dan menepuk tangan demi
mendoakan arwah kucing tersebut. Itu adalah kejadian yang terjadi sekitar
empat tahun lalu.

Tanpa aku sadari, kakiku sudah sampai ke gundukan, tempat aku mengubur
kucing putih itu. Mungkin aku harus menepuk tangan untuk berdoa lagi. Ini
akan menjadi kesempatan sempurna untuk mengakhiri pelarian yang tak
pernah berakhir ini, pikirku.

Dan di sanalah aku berjumpa dengannya.


Seorang gadis cantik seputih kucing. Kulitnya seputih salju, pipinya semerah
apel yang ranum. Ada serpihan salju yang menempel pada rambut
panjangnya.

Kepingan salju menyentuh wajah gadis ini, yang namanya tidak aku kenal,
dan meleleh. Dia tersenyum bahagia, namun karena kepingan salju itu, dia
terlihat tengah menangis.

Bibirnya yang halus mulai bergerak, dan mengucapkan kata-kata putih tulus.

–Hei, Yoshi-kun. Aku menyukaimu.

Kenapa?

Kenapa kata-kata Akane tidak bisa menggerakkan hatiku sama sekali, namun
gadis asing dihadapanku ini dengan mudahnya menggerakkan
hatiku? Aspek-aspek seperti ketenangan dan rasionalitas menjadi terpisah
pada saat itu.

Dihadapan emosi-emosi itu, aku sama sekali tidak berdaya.

Setelah mendengar jawabanku, dia pun tersenyum.

Dia terlihat sangat senang.

Dan juga, tampak sedih.

Saat itu musim dingin, Kelas 3 SMA.

Begitulah aku bertemu Yuki Shiina.

Ini adalah pertemuanku dengan Yuki.

Karena itu…..

Ya….. oleh karena itu, aku tidak tahu apa-apa.

Sama sekali tidak tahu, bagaimana perasaan Yuki saat dia melakukan
pengakuan cintanya padaku saat itu.
Sama sekali tidak tahu, tekad Yuki ketika dia memutuskan untuk tersenyum
di hadapanku.

Sama sekali tidak tahu, apa yang Yuki berikan padaku, sesuatu yang meleleh
dan lenyap dari tanganku.

Aku benar-benar tidak tahu apa-apa.


Pertemuan 92 - Janji yang Tak Pernah ada

―Mungkin rasanya mendadak, tapi apa aku boleh meminta sesuatu darimu?"

Aku didekati oleh gadis yang tidak pernah aku temui.

Ini terjadi saat aku pulang dari sekolah.

Aku mendengar suara yang indah, sebuah suara yang tak bisa dilupakan
setelah mendengar pertama kalinya.

"Hhhmm, aku ingin kamu membawaku ke bioskop."

Aku berada di halte bus tua yang sudah sering aku pakai dari dulu; dengan
atap seng yang berkarat serta bangku kayu yang terus terkena cuaca.

Ada seorang gadis yang tidak kukenal tengah berdiri disamping halte
tersebut.

Lampu jalanan tidak terlihat berwarna oranye atau kuning, menyelimuti


tubuh ideal sang gadis dengan warna yang tampak seolah-olah warna emas,
membawanya keluar dari kegelapan. Bahkan lampu model lama
membuatnya menjadi semacam makhluk suci saat menyinarinya.

Dia memiringkan kepalanya dengan manis, mungkin karena aku tidak


menjawab ucapannya.

"Apa kamu tidak mendengarku?"

Tanpa aku sadari, diriku yang terpantul di mata gadis yang terlihat lebih
besar dari sebelumnya. Dia terlalu dekat, sangat dekat. Kenapa dia bisa
mendekatiku begitu mudahnya. Karena merasa terganggu, aku menelan
ludah, demi membasahi kerongkonganku.

"Tidak, aku mendengarmu, kok."

Suaraku jauh lebih lembut daripada yang kuinginkan, bahkan terdengar


sedikit serak.
Kali ini, aku sendiri yang merasa khawatir jika dia tidak mendengarkan
suaraku.

Benarkah? Syukurlah. Ucap si gadis dengan menepuk-nepuk dadanya,


tampak lega. Kelihatannya pesanku tersampaikan padanya.

―Aku Shiina Yuki. Senang bertemu denganmu, Haruyoshi-kun. ‖

―Hah? Halo. Erm, Shiina-san? ‖

―Panggil aku Yuki."

Wajah Shiina Yuki berseri-seri. Dia benar-benar gadis yang sangat imut.

Rambut yang mencapai bahunya tampak halus, dan sedikit keriting. Kulitnya
putih seperti salju. Karena itu, bibir merahnya yang halus dan merah merona
tampak memikat meski dia tidak memakai aksesoris.

Saat hembusan angin menerpanya, rambutnya sedikit bekibar. Tanpa sadar


aku mencium aroma. Aroma apa ini? Setelah berpikir sejenak, aku punya
jawaban. Ya, ini adalah aroma bunga sakura.

Usai menemukan jawaban ini, tiba-tiba hatiku meluapkan beberapa emosi:


rasa sakit, penderitaan, panas yang membakar. Hatiku serasa menegang.

Aku meletakkan tanganku di dada kiri seragamku, dan pada saat yang sama,
memanggil namanya seperti yang dia inginkan. Ya, aku benar-benar
berusaha mencoba sesuatu yang tidak biasanya aku lakukan.

"Yuki, kau bilang kalau kau ingin aku membawamu ke bioskop. Apa
maksudmu?"

"Kamu akan menonton film besok, ‗kan?"

―…… Besok adalah hari kerja.‖

"Ya, aku tahu. Tapi sekolahmu libur untuk merayakan ulang tahun sekolah,
‗kan? ‖
Dia, tidak, Yuki berbicara soal fakta. Paket makan siang besok adalah kari,
itu tertulis di menu. Itulah sikap yang diperlihatkannya dari cara dia
menjawabnya.

―Kamu akan menggunakan hari libur itu untuk menonton film, ‗kan? Kamu
punya dua tiket. Atau apa kamu sudah mengajak seseorang? ‖

"Bagaimana kamu tahu, Yuki? Aku tidak pernah mengatakannya pada


siapapun. "

Aku mengingat beberapa hari yang lalu, ketika teman-temanku


mengundangku untuk bermain keluar. Aku menolak mereka, mengatakan
bahwa aku memiliki sesuatu yang penting. Terutama Akane yang
mempertanyakan mengapa, karena kamu akan pergi sendirian, ajak aku
juga. Meski begitu, aku tidak pernah menyebutkan alasannya.

Aku tidak ingin seseorang yang aku kenal melihat kami bersama, dan
menonton film dengannya, yang mana hal tersebut akan mengundang
interogasi dari teman sekelas. Bisa-bisa nanti aku akan digoda tentang
masalah ini bertahun-tahun kemudian.

Gadis di hadapanku ini tampaknya gagal memahami emosiku ketika dia


tersenyum.

―Uu, hmm. Kalau begitu aku akan merahasiakannya. ‖

―Mengapa?"

―Karena, seorang gadis dengan rahasia pasti lebih menarik, kan?"

Tampaknya dia tidak punya niat untuk menjawabku secara langsung.

Aku mencoba menunggu, tapi aku tidak mendapatkan jawaban yang


layak. Yuki hanya berdiri di sana, tersenyum, dia tahu kalau aku sedang
menunggu jawabannya, tetapi dia memilih untuk tetap diam.

Dalam pertempuran kesabaran ini, aku kalah.

―Aku tidak mengajak siapa pun. Aku memang punya dua tiket. "

―Kalau begitu, bawa aku juga."


―Kenapa kamu sangat ingin melihat film?"

―...... Karena aku sudah berjanji untuk menontonnya."

―Dengan siapa?"

Yuki terus tersenyum. Aku tidak tahu apa ini hanya imajinasiku saja, tapi
senyumnya terlihat lebih sedih dari sebelumnya.

Aku menatap ke langit, dan Yuki pun melakukan hal yang sama.

Tanpa sadar, kegelapan di langit menjadi sangat dalam.

Awan di langit malam sangat sedikit dan tipis, dipenuhi bintang-bintang


yang bersinar. Rasanya akan sangat keren jika aku bisa menemukan satu rasi
bintang di sini. Sayangnya, aku tidak memiliki pengetahuan semacam itu.

Aku tidak menemukan apa pun di langit malam yang luas dan tak berujung.

―Begitu ya. Jadi kamu sudah berjanji ya. "

"Iya."

"Yah, kalau memang begitu, apa boleh buat, aku hanya bisa setuju."

Aku mencoba mengatakan ini daripada membicarakan rasi bintang. Rasanya


sangat memalukan, tapi aku hanya mampu mengatakan kalimat tersebut.

"Oke. Ayo kita pergi bersama-sama. ‖

"Benarkah? Terima kasih."

―Aku ingat jadwal kereta pada pukul 10.10. bagaimana kalau kita ketemuan
di depan gerbang stasiun? "

―Mn, tidak ada masalah. Aku sangat menantikan hari esok! ‖

Kami melambaikan tangan, saling mengucapkan selamat tinggal.


Yuki pergi ke arah yang berlawanan dari jalan. Segera, bayangannya yang
mungil mulai lenyap.

Aku terus melihatnya sampai dia menghilang, sebelum melangkahkan kaki.

Pikiranku dipenuhi dengan gadis yang baru saja kutemui, dan itu bertahan
sangat lama.

Aroma dari musim semi, tubuh yang langsing, serta jari-jari halus yang
menyisir rambut berkibar-kibar akibat tertiup angin, menyerupai sebuah
karya seni. Alisnya yang panjang, mata yang hitam pekat, bibir merah yang
berbentuk bagus. Aku mengingat semuanya, dan kemudian——

Saat suara Yuki menggema di pikiranku, aku berhenti.

Sebuah pertanyaan mendadak muncul dipikiranku.

Hm? Apa aku pernah menyebutkan namaku?

Tentu saja, tidak ada yang menjawab. Senyum senang Yuki saat dia
menghindari masalah itu tetap ada di pikiranku.

Itu terjadi di Musim Gugur, saat aku kelas 1 SMA.

Ini adalah bagaimana aku bertemu Shiina Yuki.

❀❀❀

Aku tiba di stasiun 30 menit lebih awal, tapi ternyata, Yuki sendiri yang tiba
lebih awal. Kita mungkin bisa naik kereta lebih cepat dari yang dijadwalkan.

Tapi kakiku, yang hendak berlari ke arah Yuki, merasa ragu apakah aku
harus mendekatinya atau tidak.
Punggungnya sedang bersandar pada pilar, melihat ke area yang
kosong. Wajah sampingnya memiliki disposisi karya artistik, memberi
getaran yang tak dapat didekati.

Jika dilihat lebih dekat, banyak yang mencuri pandang ke arahnya, tapi tidak
ada yang berani berbicara dengannya. Dibutuhkan banyak keberanian untuk
mendekat dan berbicara dengannya.

Aku menelan ludah, mengusap telapak tanganku yang berkeringat, memaksa


kakiku untuk bergerak ke arahnya, perlahan-lahan mengangkat tanganku,
dan akhirnya berhasil berbicara dengannya.

"Selamat pagi. Ternyata kau cepat juga sampainya. ‖

Yuki menyadari keberadaanku. Telapak tangannya mendorong pilar, dan dia


bergegas ke arahku.

"Apa kamu sudah menunggu lama?"

"Tidak. Aku baru sampai."

Ehehe, Yuki terkekeh.

Aura duri di sekitarnya menghilang tanpa aku sadari. Aku menghela nafas
lega, dan panas yang naik dari dasar paru-paruku seolah menyatu ke udara
yang jernih.

―Maaf, aku akan mengingatnya lain kali. Tidak bagus juga membiarkan
seorang gadis lama menunggu. ‖

―Kamu tidak perlu khawatir. Kamu terlalu berlebihan, Yoshi-kun. ‖

"Yoshi-kun?"

"Iya. Namamu ‗kan Haruyoshi, jadi disingkat Yoshi-kun. Apa aku tidak boleh
memanggilmu begitu? "

"Bukannya tidak boleh, tetapi aku belum pernah ada yang memanggilku
seperti itu sebelumnya."

Aku biasanya dipanggil Segawa atau Haru.


Adikku Natsuna dan orang tuaku memanggilku Haru. Aku sedikit tidak
nyaman dipanggil dengan sesuatu yang berbeda untuk pertama kalinya.

"Kalau begitu, ini adalah cara khusus aku memanggilmu."

Yuki tersenyum, nyaris memperlihatkan gigi putihnya, dan menarik


lenganku ke arahnya.

Aku berhasil menjaga keseimbanganku, dan menghindari jatuh ke


depan. Jarak antara kami menurun satu langkah atau lebih.

Tangan Yuki yang kecil dan dingin seakan-akan merampas kehangatanku


saat dia memegang pergelangan tanganku. Aku merasa panas hanya karena
dipegang tangannya saja. Aku tidak mampu menegakkan wajahku, dan
hanya terus menatap ujung sepatuku yang kotor ..

"Oke, ayo pergi, Yoshi-kun."

Saat dia mengatakan itu, aku memikirkan sesuatu yang aku lupa tanyakan
kemarin.

―Ngomong-ngomong, apa kamu tahu kita akan pergi kemana hari ini?

Film yang akan aku tonton hari ini sedikit berbeda. Lebih gamblangnya sih,
yah, itu berbeda dari film-film yang banyak ditampilkan di iklan TV, dan juga
tidak ditayangkan di bioskop.

Tapi Yuki mengabaikan semua kekhawatiranku.

―Pertanyaanmu aneh sekali. Kita akan pergi ke Universitas Yasaka, ‗kan? ‖

Ada sebuah kota yang berjarak dua stasiun dari tempat tinggalku, dengan
daerah banyak lereng. Universitas Yasaka terletak di lereng terpanjang di
kota itu.

Bahkan, kami harus naik bus setelah turun dari stasiun.

―Ah, sebelah situ, ‗kan, Yoshi-kun? Itu dia, lihat? "

Ucap Yuki. Sudah sepuluh menit kami berdua menaiki bus.


Ada gerbang besar di tempat dia menunjuk, dan juga sebuah tanda besar.

Tanda itu berisi kata-kata yang berwarna-warni ―Festival Aksho ke-60‖.

Universitas Yasaka ini mulai mengadakan festival selama satu minggu


terhitung sejak hari Minggu. Tiket yang aku miliki adalah untuk 'klub film
produksi sendiri' yang ditayangkan selama festival budaya di tempat ini.

Aku lupa jika itu terjadi setahun yang lalu, atau setidaknya setengah, tapi
karena insiden tertentu, aku kebetulan mendapatkan dua tiket ini.

Saat aku memasuki gerbang universitas, tiba-tiba aku merasakan perubahan


suasana di sekitarku.

Ada pemandangan yang menarik dari daun-daun berwarna di Musim Gugur,


dan di bawahnya, Ada banyak kios yang berjejer di sepanjang jalan sekolah,
bersamaan dengan suara petikan gitar dari jauh. Untuk YOSAKOI, orang-
orang yang bertepuk tangan terdengar menyenangkan. Rasanya benar-benar
seperti festival sungguhan.

Aku menerima pamflet dari seorang mahasiswi setempat, dan segera


membukanya, bermaksud untuk memeriksa jadwal film. Film yang ingin
kutonton adalah film pendek berdurasi 30 menit, dan termasuk waktu
istirahat, ditayangkan sekali setiap satu setengah jam.

Masih ada waktu sepuluh menit sampai penayangan berikutnya. Jika kita
bergegas, kita masih sempat melihatnya. Aku memeriksa lokasi di peta, terus
membolak-balik, ingin memeriksa lokasi di peta, tapi pamflet yang kupegang
tiba-tiba disambar.

Aku mengangkat tanganku, dan melihat Yuki memegang pamflet di masing-


masing tangan.

"Apa yang sedang kau lakukan?"

―Aku yang seharusnya bertanya padamu, Yoshi-kun. Apa yang sedang kamu
lakukan?"

"Apa yang kulakukan ... tentu saja mencari lokasi di mana tempat pemutaran
film berada, terus apa lagi memangnya?"
Haaaaaaa. Yuki mendesah, menggelengkan kepalanya saat dia menatapku
dengan ekspresi seolah-olah ingin mengatakan 'kamu sama sekali tidak
mengerti'.

―Kamu bisa menemukannya sambil berjalan-jalan. Lebih penting lagi,


sekarang waktunya festival. Ada Kios, pertunjukan band, dan rumah
berhantu. Jika kamu mengabaikan semuanya dan langsung menuju
tujuanmu, rasanya akan sia-sia. Karma akan menyerangmu, loh? ‖

"Aku tidak ingin terkena karma."

"Kalau begitu, tunggu apa lagi, ayo kita jelajahi festival ini. Ayo pergi!"

Dan begitulah awal dari perjalanan kami menikmati festival ini.

Yuki mulai mengendus-endus di sudut-sudut kios dengan hidung kecilnya,


dan akhirnya tergoda oleh aroma makanan saat dia langsung ikut mengantri
di toko crepes. Dia ragu apakah dia harus menambahkan stroberi atau pisang
cokelat, tapi dia malah memilih keduanya. Aku sendiri memilih rasa
kastanye agar sesuai dengan tema musim gugur.

"Bisa-bisanya kau memakan keduanya sekaligus."

"Mwakwanan mwanhis mhwask kwe bwaghian pwerwut lwain."

Mulut Yuki dipenuhi dengan crepes, pipinya mengembung. Apa yang dia
katakan terdengar seperti alien, yah, meski aku sendiri tidak pernah bertemu
alien, sih.

"Apa yang kamu bilang?"

Kali ini, dia mulai menutup mulut, dan mengunyah dengan hati-
hati. Namun, dia tampak enggan saat dia perlahan menelan crepes, dan
dengan krim yang masih tersisa di sisi bibirnya, dia mengatakannya sekali
lagi,

"Makanan manis masuk ke bagian perut lain."

―Yuki, ada krim di bibirmu.‖

"Ah maaf. Sebelah ini? "


"Salah, sebelah yang satunya."

"Yang sebelah sini, ya?"

Yuki berusaha menyeka dengan telapak tangannya, tapi krim tersebut masih
tersisa di bibirnya.

"Tahan, jangan bergerak dulu."

Aku mengambil selembar tisu saku, dan menyeka mulutnya. Dia


membiarkanku melakukannya tanpa perlawanan, tetapi dia selalu mengincar
kesempatan untuk memakan crepes lagi. Aku mengingatkannya, ―Ini belum
bersih. Tunggu dulu, napa. ‖ Astaga, cewek memang makhluk seperti
itu. Aku sendiri menyukai makanan manis, tapi hasrat mereka melebihi dari
milikku.

"Baiklah, selesai .."

"Terima kasih, Yoshi-kun. Ternyata kamu sudah bawa persiapan ya .. ‖

―Jangan terlalu dipikirkan, ini cuma tisu, kok. Aku pikir siswa SMA biasanya
sering membawanya. ‖

"Aku hampir 17 tahun, tapi aku belum pernah membawanya sebelumnya."

"Jadi kau setahun lebih tua dariku ya, Yuki?"

"Iya. Aku ini seniormu, jadi kamu harus lebih menghormatiku. "

"Gimana mau meghormatimu kalau di mulutmu masih ada krim sisa crepes
tadi."

"Kamu bohong! Memangnya masih ada? ‖

Kulihat Yuki menggosok mulutnya dengan bingung, dan terkekeh. Kulit


putihnya sedikit memerah, mungkin karena dia panik dan menggosok terlalu
keras. Bahkan pipinya, yang tidak digosok, sedikit memerah.

"Kuku, sekarang sudah hilang .."

"Uuuuu. Kamu jahat, Yoshi-kun. Sangat jahat.."


Yuki cemberut saat dia berjalan di depanku.

Dia memiliki punggung yang ramping, rambut halus, dan kaki mulus yang
menjulur dari roknya. Aku membuntuti Yuki dari kejauhan, ingin melihat
semua sosoknya sedikit lebih lama lagi.

Tapi Yuki langsung pergi ke perpustakaan, dan mulai mengagumi pameran


klub fotografi, dan aku harus mengejarnya dalam sekejap.

Kami merasa takjub pada foto-foto monokrom yang berjejer — berbicara


tentang foto yang kami sukai.

Aku memilih foto seorang pria yang melompat di pantai, sementara Yuki
memilih foto seorang gadis yang sedang sendirian di jalan perbelanjaan.

Gadis yang kesepian itu terpisah dari dunia yang luas, tampak begitu tak
berdaya. Jelas ini adalah gambar bagus yang ingin menyampaikan sesuatu,
namun hal itu tidak sesuai dengan kesanku tentang Yuki. Aku pikir dia akan
sepertiku, memilih foto yang penuh dengan kehidupan.

"Benarkah?"

Suara lembut Yuki bergema di perpustakaan yang jarang dipenuhi orang.

"Tapi ini jelas diriku."

Lalu kami pergi ke toko klub seni, membeli beberapa doujin, dan
membacanya berdampingan satu sama lain. Selera kami dalam novel serupa,
dan kami menyukai karya yang sama.

Kemudian, Yuki memperhatikan sesuatu, dan mendekatinya tanpa


ragu. Tanpa aku sadari, kita berada di ujung terjauh universitas, jauh dari
kebisingan. Ada sebuah bangunan tua di sana, dan Yuki menatap bangunan
yang tampaknya dibangun diam-diam, bergumam, "Bangunan itu untuk
apa?"

Bangunan yang semula putih telah berubah warna karena terkena cuaca
bertahun-tahun, dan di dinding, ada tanaman yang namanya tidak aku
kenal. Benda hijau itu mungkin lumut. Pokoknya, bangunan seperti itu
sepertinya tidak bisa didekati.
Aku ingin memanggil Yuki untuk kembali, tetapi pada saat yang sama,

―Ah, nak. Tunggu sebentar. "

Aku dipanggil oleh suara yang sedikit akrab, dengan kalimat yang terdengar
tidak asing ini.

Bahkan setelah sekian lama, aku bisa mengenali tubuh berotot itu.Ia
memiliki tubuh yang cukup tinggi, rambutnya diikat di belakang kepalanya,
dan Ia menunjukkan mata kekanak-kanakan yang menyilaukan di antara
poni panjangnya.

Kurang lebih sudah setahun sejak kita bertemu, tapi Ia masih sama seperti
biasanya.

Ia adalah sutradaranya.

Sutradara film yang akan kita tonton hari ini.

Dan orang yang memberiku dua tiket ini.

❀❀❀

Aku pertama kali bertemu dengan sutradara pada liburan musim dingin, saat
aku masih SMP.

Karena kegiatan klub ditunda, dan aku sendirian, tanpa ada kegiatan yang
harus dilakukan, aku pergi berjalan-jalan di taman terdekat.

Biasanya, ada banyak pengunjung di taman selama akhir pekan dan malam
hari, tapi karena sekarang masih siang hari, jadi rasanya sepi. Itu
membuatku sedikit kesepian.

Dan pada saat itulah, pemecah keheningan ini adalah suara yang sangat
kasar.
―Ah, nak. Tunggu sebentar. "

"Eh?"

Aku dipanggil, dan berbalik ke arah suara itu. Aku melihat seorang paman
berotot berlari ke arahku. Aku bisa mendengar efek suara panik dari
seseorang yang berlari. Aku tahu dia sedang dalam keadaan kesulitan, jadi
aku berhenti tanpa berpikir — itu adalah pilihan yang salah.

Pria itu terengah-engah, hampir sekarat karena kehabisan napas. Ia muncul


di belakangku, dan tiba-tiba meraih sikuku.

"Ahh —— Aku terselamatkan. Tolong ikut dengan kami. "

―Ap-Apa maksud anda?

―Kami sedang melakukan syuting film, tapi kami tidak punya banyak aktor
untuk adegan terakhir. Hal itu menyebabkan kami banyak masalah. ‖

―Tidak, tidak, tidak, tunggu dulu. Aku tidak mengerti maksud Anda. ‖

"Tidak mengerti, maksudku?"

Paman tersebut menoleh ke arahku dengan bingung. Aku melihat dirinya


dari dekat, dan kaget kalau Ia masih agak muda. Ia mungkin berusia dua
puluhan, usia pada tingkat dimana aku masih bisa memanggilnya kakak.

"Ya, sama sekali tidak mengerti."

"Sudah kubilang, Kau akan menjadi aktor sementara untuk sebuah film."

―Bukan yang itu yang aku maksud. Aku tidak tahu mengapa aku harus ikut
dengan anda. "

"Bukannya aku sudah mengatakannya? Jika kau tidak ikut, aku akan berada
dalam masalah besar .. "

"…Hah?"

"Begitulah keadaanya. Ayo pergi."


"Kubilang, tidak,"

Dan begitulah, aku diseret olehnya.

Semua yang aku katakan padanya merupakan usaha yang sia-sia. Ada
perbedaan kekuatan, dan tak peduli bagaimana aku melawan, aku tidak bisa
melarikan diri. Setelah tiga menit melakukan perlawanan, aku menyerah.

Tampaknya pria yang memanggilku adalah ketua dari film ini, atau biasa
dipanggil sutradara. Ia menunjukkan ekspresi yang berbeda dari apa yang
aku lihat, aura di sekitarnya berubah secara drastis. Aku sangat kesal karena
berpikir kalau Ia sedikit keren.

Adegan syuting berada di bangku di taman.

Aku ditugaskan sebagai orang lewat A.

Yang perlu aku lakukan hanyalah berjalan di belakang protagonis. Aku tidak
punya kalimat atau tindakan tertentu. Meski begitu, aku diperintahkan
untuk melakukan serangkaian tindakan, di mana aku harus memperhatikan
waktu, atau seberapa cepat aku harus berjalan.

Kami sedang syuting satu adegan, jadi aku dengan ceroboh berpikir kalau
aku bisa pulang begitu selesai, tapi kenyataannya adalah aku terjebak dalam
kebuntuan selama empat jam, karena banyaknya pengulangan.

Langit sudah berwarna oranye ketika mereka mulai mengumpulkan


peralatan. Sekitar 10 menit kemudian, dunia akan jatuh ke dalam kegelapan,
bahkan dalam sekejap mata. nah, malam akan segera tiba.

"Jadi kamu ada di sini. Kerja bagus .. ‖

Aku menengok ke arah suara itu dan melihat Sutradara sedang berjalan ke
arahku. Sepertinya Ia mencariku dari tadi.

"Ini membutuhkan banyak waktu."

―Kamu benar-benar membantuku. Yah, Kau hanya muncul sekitar 10 detik


atau lebih, tapi aku benar-benar tidak ingin ada kekurangan pada kualitas,
jadi aku mengerahkan semua yang aku bisa. Oh ya, ini untukmu. Sebagai
hadiah terima kasih. "
Usai mengatakan itu, Sutradara mengeluarkan sekaleng sup jagung. Cuaca
menjadi dingin setelah matahari terbenam, jadi aku menerimanya dengan
rasa terima kasih. Supnya masih hangat. Saat aku memegang kaleng dengan
kedua tangan, aku merasakan kehangatan menyebar di telapak tanganku.

"Terima kasih banyak."

―Dan juga, tiket ini untukmu. Akan ada pemutaran film publik selama
festival budaya musim gugur mendatang, jadi datanglah untuk menonton ‖

"Tahun depan? bukan tahun ini?"

―Waktu produksinya mungkin takkan selesai tahun ini. Setelah ini selesai
tahun depan, aku akan lulus. "

Kertas berwarna persegi panjang bertuliskan " Tiket Penayangan Film


Festival Akiho ke-60 ". Bagian ke-59 nya dicoret, dan diganti dengan ke-
60 yang mana ditulis lebih besar daripada kata lain, seolah-olah
menyampaikan tekad direktur.

Di samping tulisan itu, ada nama universitas dan lambang. Tulisan merah
persegi panjang 'Universitas Yasaka' agak kabur. Aku memang mendengar
desas-desus tentang Universitas yang dibangun di atas lereng setan atau
semacamnya.

"Tapi anda memberiku dua tiket .."

―Ini film tema percintaan. Jika kau punya gadis yang kau suka, ajaklah dia
juga .. ‖

Dan begitulah, aku punya dua tiket dan sekaleng sup jagung. Ini pembayaran
murah dibandingkan dengan empat jam kerja. Tapi yah, itu pengalaman
yang berharga, jadi aku tak terlalu keberatan.

Aku melihat sosok sutradara ketika Ia pergi dengan punggung


menghadapku. Bagiku yang berlidah kucing ini, hangatnya sup ini sudah
pas. rasanya mengalir melewati tenggorokanku, dan setelah itu, aku
merasakan kehangatan lembut menyebar melalui perutku.

Bintang paling terang bersinar di atas langit.


Tampaknya menjadi bintang pembimbing.

Jadi, aku mulai berjalan menuju cahaya kecil Venus.

❀❀❀

"Rupanya kau ada di sini, Nak."

Direktur memanggil kami, tubuh berototnya mengambil sekitar dua pertiga


dari luas bangku. Ada selusin tiket yang diletakkan di atas meja, bersamaan
dengan pamflet promosi untuk Festival Akiho, dan sebagainya. Ada majalah
film, yang mungkin disebabkan karena dibalik berkali-kali ketika wajah
aktris di sampulnya rusak.

―Lama tak berjumpa. Apa filmnya tayang di sini? "

"Yeah. Ruang terdalam dari bangunan ruang klub ini adalah ruang klub
kami. letaknya di lantai dua. Hm? "

Pada saat ini, sutradara akhirnya menyadari keberadaan Yuki. Layaknya


orang yang kesurupan, Ia berkedip dan melihat sosok Yuki dari atas sampai
bawah beberapa kali. Kemudian, Ia mengalihkan pandangannya, dan
memanggilku.

"Nak, coba kesini dulu."

"Hah?"

Aku menanggapi panggilannya, dan Ia menyeretku ke ujung gedung.

Kami berada agak jauh dari Yuki, jadi meski dengan volume normal, suara
kami mungkin takkan bisa didengar olehnya. Namun, ―Apa-apaan dengan
gadis itu? Bukannya dia super imut? ‖Bisik sang sutradara dengan lebih
lembut layaknyan dengungan nyamuk.

"Apa hubungannya dia denganmu?"


―Kurasa, Teman. Dia sepertinya ingin melihat film ini. Aku tidak tahu kapan
dia tahu aku memiliki dua tiket, jadi aku membawanya. ‖

"Penggemarku?"

Direktur menoleh ke samping menatap Yuki, menyeringai.

"Kurasa tidak. Aku dengar kalau dia sudah berjanji kepada seseorang bahwa
dia akan melihat film ini. "

Aku sudah muak dengan wajah direktur yang penuh kecurigaan, jadi aku
harus terus-menerus menyangkal.

"Dengan siapa?"

"Entah?"

Kami berdua memandang ke arah Yuki bersamaan.

Yuki sedang membalik-balik majalah di bangku. Dia mungkin tidak


membaca, hanya membolak-balik halaman. Mungkin menikmati perasaan
kertas dan suara.

"Dia seperti lukisan."

Direktur terkagum saat Ia memujinya,

―Gadis yang seperti itu sangatlah jarang. Dia tidak hanya lucu atau cantik, dia
memiliki pesona tersendiri yang menarik perhatian. Jadi nak, apa kau bisa
bernegosiasi dengannya untuk tampil di film? "

"Aku tidak mau. Kenapa bukan anda sendiri saja yang bertanya padanya ? ‖

"Yah, mungkin nanti,"

―Apa maksudmu? ‖

"... Aku akan sakit hati jika seorang gadis imut seperti dia menolakku."

"Hah?"
Aku benar-benar serius menunjukkan tampang kesal.

Tunggu sebentar. Apa yang orang ini katakan? Dan apa yang terjadi pada
pria gila yang menyeretku seenaknya saja saat tahun lalu?

"Bukannya pria merupakan makhluk seperti itu? Kita menjadi lemah di


hadapan wanita-wanita cantik. ‖

"Kenapa anda tiba-tiba sok berfilosofis?"

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak membalas, dan mata sutradara yang
besar menatapku dengan penuh perhatian.

"Kau sudah berubah, Nak."

"Eh? Benarkah?"

"Ya, kau memang berubah. Dirimu yang dulu, bagaimana aku harus
mengatakannya? Mudah ditangani. Jika aku memohon kepadamu, Kau akan
setuju untuk melakukan apa saja. Kau sedikit berbeda sekarang. Kau bisa
mengekspresikan dirimu .. ‖

"Apa itu hal yang baik?"

―Tentu saja. Seseorang yang selalu mengikuti arus takkan bisa mendapatkan
apapun. Jika Kau menginginkan sesuatu, Kau harus memegangnya dengan
tanganmu, walau dengan cara paksa. Dan begitulah, jadi tolong. Aku akan
berlutut dan memohon jika Kau terus menolak. Tapi Kau baru saja
menolakku lagi. "

Mengapa terlalu maksa begitu? Apa kau tidak bisa melakukan itu pada Yuki?

Yah, aku ini seorang cowok. Bohong kalau aku tidak mengerti perasaan
sutradara.

―Yah, akan kuusahakan. Aku akan memperkenalkannya pada anda, tapi


Anda harus bertanya padanya sendiri. "

"Cih, baiklah."

"Yuki."
Aku memanggil nama Yuki, dan dia menutup majalah itu, tubuhnya
melenggak-lenggok saat dia mendekati kami.

"Sudah selesai bisik-bisiknya?"

―Ya, pada dasarnya, Ia memberiku tiket, dan Ia sendiri adalah sutradara dari
film yang akan kita tonton nanti. Sepertinya Ia ingin meminta sesuatu
darimu. ‖

"Meminta sesuatu?"

"Bicaralah, sutradara."

"Oh ya."

Aku menepak punggungnya yang besar.

Rasanya seperti batu yang keras, kokoh, dan tidak bergerak. Meski begitu,
dorongan kecilku mungkin telah memotivasi dirinya untuk bergerak maju.

"Te-terima kasih banyak sudah datang untuk menonton filmku hari ini!"

"Iya. Aku menantikan film hari ini."

Yuki tersenyum, dan Sutradara tersipu, tubuhnya gemetaran. Ia sudah dalam


batas mentalnya, ya? Aku tak pernah menduga bisa secepat ini.

Merasa kalau Ia sudah tak bisa diharapkan lagi, aku hendak berbicara demi
sutradara, saat dirinya terus melanjutkan….,

"Dan erm, erm, jika kau tak keberatan, apa kau mau berakting di filmku lain
kali?"

Dia mengulurkan tangan besarnya ke arah Yuki.

"Kumohon?"

"Uh huh."

"Tidak bisa?"
"Uh huh."

"Jadi, apa jawabanmu, ‗ya‘ ?"

Yuki tersenyum nakal.

"Ngomong-ngomong, aku boleh memutuskannya setelah menonton film,


‗kan?"

Itu adalah senyum iblis kecil.

Ada dua belas kursi di ruangan yang cukup besar untuk dua puluh
orang. Empat banjar, tiga baris. Kami duduk di baris kedua, dan kursi-kursi
itu terasa goyah, mungkin karena lantainya sudah tua. Selain kami, ada tiga
orang lagi yang menonton film ini. Ketika film mulai diputar, lampu di dalam
ruangan dimatikan.

Kemudian, Film tersebut mulai ditayangkan di layar yang biasa digunakan


selama pelajaran.

Film ini menggambarkan kehidupan sehari-hari yang khas, perjumpaan


antara laki-laki dan perempuan, perpisahan mereka, dan pertemuan kembali
mereka. Sebuah cerita biasa yang sederhana.

Tidak ada invasi alien, tidak ada monster yang menghancurkan dunia. Dunia
tidak dalam krisis apa pun, namun, jelas ada sesuatu dalam film itu.

Adegan dimana aku muncul adalah adegan yang penting, Saat keduanya,
setelah bertengkar hebat, menyesali tindakan mereka, dan bersatu kembali
di bangku taman. Aku sendiri jauh di belakang kedua pemeran utama, tapi
aku langsung tahu kalau itu adalah aku, orang yang sekadar lewat.

Yuki mungkin menyadari penampilanku, dan dia menyolek sisi tubuhku.

Aku meraih jarinya yang nakal, dan melirik ke arahnya dengan diam-diam.

Yuki, yang masih di sebelahku, matanya memandang ke arah layar, tampak


sangat serius.
Mungkin rasanya cukup kasar, tapi ini hanyalah film amatir untuk festival
budaya, bukanlah sesuatu yang harus ditonton secara serius. Kenapa dia
menontonnya serius sekali?

Dalam kegelapan, wajah sampingnya yang disinari oleh lampu-lampu film


tampak sangat indah. Selama lima menit terakhir, aku hanya menatap
wajahnya, merasa terpesona.

Kami sampai di halte bus di pintu masuk utama, melihat benda besar
tersebut berbelok di tikungan. Lampu belakang merahnya perlahan menjadi
lebih kecil, dan akhirnya menghilang.

Tampaknya perjalanan berikutnya akan tiba 10 menit kemudian.

Aku duduk bersama Yuki, di kursi plastik. Hanya ada kami berdua di sini.

"Yoshi-kun, film tadi benar-benar membuatku gugup."

Yuki berseri-seri, ―Tapi filmnya sangat menarik.‖, Ujarnya.

"Bagian di mana si Protagonis mengakui cintanya sangatlah bagus. Aku ingin


mendapat pengakuan cinta yang penuh semangat seperti itu ... ‖

Yuki dengan gembira memberitahuku apa yang dia pikirkan, tapi aku tidak
pernah memperhatikannya. Ada satu hal yang lebih menarik daripada kesan
film yang kita tonton, dan aku terus memikirkannya. Haruskah aku
bertanya? Atau tidak? Setelah banyak pertimbangan, aku memutuskan untuk
bertanya.

"Kalau begitu, kenapa kau menolak tawaran Sutradara?"

❀❀❀

Ini terjadi setidaknya sepuluh menit yang lalu.

Sutradara sudah berada di luar ruangan, sedang menunggu kami keluar.


"Bagaimana filmnya?"

"Ya, rasanya sangat bagus."

"Benarkah?"

Ia mungkin merasa gugup sebelum mendapatkan jawaban ini, dan menghela


nafas lega. Kurasa ia mengepalkan tangan kanannya dalam kemenangan,
senyum yang terpapar di wajahnya terlihat menyilaukan.

Yuki juga mengangguk sambil tersenyum.

"Kurasa keajaiban tak pernah terjadi sama sekali." Ucapnya, dan


melanjutkan...

"Jadi seperti yang dijanjikan, kupikir aku akan menolak tawaran anda."

"Eh?"

Baik diriku, yang berada di sebelahnya, dan Sutradara yang tersenyum tidak
mengerti apa yang dikatakan Yuki, dan kami juga tidak mengingat alasan dia
mengatakan hal itu.

Dari wajah kami, dia mungkin mengerti apa yang kami pikirkan.

Yuki mengulangi lagi, menekankan kalau bukan karena salah siapa-siapa,

"Maaf, aku tidak bisa tampil di film anda."

Dia membungkuk, dan buru-buru meninggalkan gedung klub.

Aku tertegun sembari melihat bolak-balik di antara punggung Yuki dan


sutradara yang tercengang, dan akhirnya membungkuk ke arah sutradara,
lalu mengejar Yuki.

❀❀❀
"Karena aku sudah janji." Begitulah balasan dari Yuki.

"Hei, Yoshi-kun, apa menurutmu ada adegan yang terlihat aneh?" Lanjutnya.

"…Tidak."

―Kalau begitu, aku seharusnya tidak muncul di film. Lagipula itu janji. ‖

"Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kamu maksud. Dengan siapa kamu
membuat janji, dan apa janjinya? ‖

Mata Yuki memandang ke arah ujung sepatu merahnya yang sedikit


usang. Mereka menyentuh dan memisahkan diri berulang-ulang, seperti
ciuman.

―Ngomong-ngomong, mumpung kita sedang membicarakan topik ini, aku


akan bertanya sekali lagi, Yuki? Dengan siapa kau berjanji untuk menonton
film ini? "

Yuki mengambil napas dalam-dalam, dan menghembuskan napas ke arah


langit. Dia menghentikan kakinya yang gemetaran, dan berdiri.

Aku segera melihat ke arahnya tanpa berpikir. Punggungnya menghadap ke


matahari terbenam, jadi aku tidak tahu ekspresi apa yang dia buat.

―Kami membuat janji yang tak pernah ada. Baik di masa lalu, sekarang
maupun masa depan. "

"Apa maksudmu? Bukannya kau punya janji, Yuki? ‖

"Memang, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Bahkan bagian tentang kita
yang membuat janji itu tidak pernah ada. ‖

"Aku sama sekali tidak paham, tapi kalau memang begitu, bukannya tak
masalah bagimu untuk tidak menepati janji tersebut, ‗kan?"

"Tidak. karena janji itu masih sangat penting bagiku. "

Jelas ada sesuatu dalam suara Yuki, sesuatu yang keras kepala. Itu bukan
sesuatu yang bisa aku selesaikan dengan mudah, dan hanya itu satu-satunya
yang kuketahui.
Akhirnya, bus tiba.

Nn, Yuki mengulurkan tangannya ke arahku, dan aku melakukan yang


terbaik untuk memegangnya selembut mungkin, berdiri dari
kursi. Tangannya yang lembut, dingin, dan lemah. Rasanya sangat lemah
sekali sampai-sampai jika aku mengerahkan terlalu banyak kekuatan, aku
mungkin akan mematahkannya.

"Jika mungkin, bisakah aku bertemu denganmu besok?"

"Mungkin setelah sekolah, jika kamu tak masalah dengan itu."

"Tentu saja."

"Sampai jumpa besok."

Jadi, kami berjanji.

Kami membuat janji yang benar-benar ada di dunia ini.

Kami bersama pada hari berikutnya, dan berikutnya pula.

Kami mengunjungi toko buku, dan belajar di perpustakaan.

Yuki pandai dalam pelajaran, dan dengan sabar menjelaskan jawaban untuk
pertanyaan yang tidak bisa aku pecahkan.

Tanpa aku sadari, seminggu berlalu sejak aku bertemu Yuki.

"Kamu anak yang baik, Yoshi-kun."

"Dengar, meski kau bilang begitu, aku tidak mentraktirmu untuk minum teh
.."

Sebagai rasa terima kasih karena telah memeriksa PR-ku, aku membelikan
roti daging untuknya di minimarket.

"Cih, kau tidak mau mentraktirku?"


Yuki dengan kikuk bernyanyi, "rasanya dingin, rasanya dingin." Kami berdua
berjalan menyusuri kota dengan kilauan lampu yang menghiasi malam. "Aku
takut kedinginan." Ujarnya sembari menggosok tangan kecilnya, bernapas di
ujung jari. Musim dingin akan datang, dan tentunya hari esok akan lebih
dingin dari hari ini.

Kami melewati kantor pos, dan tiba di tempat yang agak jauh dari
stasiun. Dengan nada yang lembut, Yuki berkata.

―Hei, Yoshi-kun. Kamu seharusnya jangan terlalu percaya padaku. ‖

―Kenapa?"

―Karena aku ingin melakukan sesuatu yang kejam kepadamu."

Usai mengatakan itu, Yuki menggelengkan kepalanya. Dia memejamkan


matanya beberapa saat. Dia lalu membuka matanya lagi, dan ada kilatan
misterius didalamnya. Cahaya apa
itu? Kebingungan? Takut? Kemarahan? Tekad yang kuat? Akhirnya, cahaya
itu juga lenyap.

"Tidak. Bukan apa-apa. Lupakan saja."

Yuki berbalik dan berlari menjauh, langkah demi langkah, seolah-olah


berusaha menyembunyikan wajahnya.

"Apa besok kita bisa bertemu lagi?"

Rasanya seperti Yuki akan lenyap, jadi aku berteriak ke punggungnya.

Pada saat itu, Yuki dengan cepat berbalik ke arahku. Roknya berkibar sedikit,
rambutnya sedikit terangkat, dan dia terlihat sedang menari. Sama seperti di
hari ketika kami pertama kali bertemu, jantungku berdebar kencang, sangat
kencang sampai membuatku sakit.

"Ehehe. Ini pertama kalinya kamu membuat janji denganku, Yoshi-kun. ‖

"Jika itu akan membuatmu bahagia, aku akan terus mengajakmu."

"Benarkah?"
"Aku berjanji kepadamu."

"Aku senang sekali."

Sama seperti sebelumnya, aku berpamitan dengan Yuki di depan stasiun


kereta.

Dia melambaikan tangannya dengan penuh semangat, terlalu bersemangat


sampai-sampai aku khawatir jika lengannya akan robek. Aku membalas
melambai padanya. Jarak antara kami berdua semakin menjauh, sedikit
demi sedikit.

Setelah agak jauh, Yuki meletakkan tangannya ke bawah, dan meneriakkan


namaku,

"Yoshi-kun."

Pada saat itu, tubuhku membeku.

Ekspresi Yuki langsung berubah, dan aku memiliki kesan bahwa senyumnya
terlihat bohong. Pada saat yang sama, dia menggumamkan sesuatu.

Suara menyenangkan itu segera terkubur dalam kebisingan, dan tidak


mencapai ke telingaku.

Tapi melalui gerakan bibirnya, aku mengerti apa yang dia katakan.

Pada saat terakhir, Yuki mengucapkannya dengan tatapan sedih.

"—Dasar pembohong.‖
Pertemuan 33 - Hari Terpanas di Musim Panas .

―Kamu benar-benar pekerja keras, ya.‖

Seorang gadis yang tak kukenal berbicara denganku.

Kejadian ini terjadi setelah aku melakukan lima putaran sprint 100m.

Suaranya begitu lembut nan manis, mirip dengan malam dimana panas baru
saja mereda.

Karena aku baru saja selesai berlari, aku masih ngos-ngosan, tidak mampu
menanggapi kata-katanya. Gadis itu mendekatiku, dan memberiku handuk.
Aku secara naluriah meraihnya, tapi, apa aku boleh menggunakannya? Aku
mencium aroma wangi pelembut, dan merasa ragu.

―Tidak mengelap keringatmu?‖

Dia bertanya saat aku masih tetap diam, memiringkan kepalanya dengan
lucu. Rambut yang ada di wajahnya, tampak mengganggu. Ujung jari
telunjuknya yang cantik membelai wajah lembutnya, meletakkan rambut
halus tersebut ke belakang telinganya.

―Emang boleh?‖

―Tentu saja. Aku memberikannya kepadamu karena alasan tersebut. ‖

Gadis itu tersenyum, tampak bingung, dan itu membuatnya tampak jauh
lebih tidak dewasa. Mungkin karena suasana di sekelilingnya sedikit cerah.

Semua kekhawatiran di hatiku segera lenyap, dan ketegangan di bahuku


mereda.

Meski begitu, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.


Setiap kali aku selesai berlari, aku selalu ngos-ngosan, merasa kehabisan
napas, hatiku terasa sakit. Aku mengalami perasaan ini ratusan, ribuan kali
sejak aku bergabung dengan tim berlari. Tapi, kenapa? Kenapa detak jantung
ini tampak sedikit berbeda, terasa aneh dari sebelumnya?

Tapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya berbeda.

Hal ini ….. sepertinya disebut ambiguitas.

―Kalau begitu, dengan senang hati aku akan menggunakannya. Terima


kasih.‖

―Silahkan,‖ Balas gadis itu.

―Aku Shiina Yuki. Senang bertemu denganmu ‖

―Hah? Senang bertemu denganmu juga. Namaku Segawa Haruyoshi. "

Aku memberi namaku," Haruyoshi, Haruyoshi. "Dan Shiina-san


menggumamkan namaku.

―Baiklah, aku akan memanggilmu Yoshi-kun."

Ujarnya, mendadak.

―Bukan Haru atau semacamnya?"

―Kamu tidak menyukainya?"

―Tidak juga, karena belum pernah ada yang memanggilku seperti itu
sebelumnya. Jadi, Aku merasa sedikit terkejut mendengarnya. "

―Jika tidak ada yang memanggilmu begitu, bukannya itu lebih baik? Ini
adalah caraku untuk memanggilmu. Oh ya, panggil saja aku Yuki. "

―Yuki-san?‖
―Tak usah pakai '-san'. Panggil saja aku 'Yuki'. "

―Baiklah kalau begitu, Yuki. Aku punya sesuatu untuk ditanyakan.‖

Begitu aku mengatakan itu, Yuki memalingkan muka dariku, dan


memusatkan pandangannya ke arah orang-orang dari klub sepak bola.
Sepertinya dia menyadari kalau mereka sedang meliriknya.

―Mau tanya apa?‖

―Kamu bukan murid dari sekolah ini, ‗kan?‖

―... Ketahuan juga, ya?‖

Anak cowok dari klub sepak bola dilirik olehnya, dan merasa panik ketika
mereka kembali berlatih. "Oper! Iya! Lari! Iya! Minigame! Ya. ‖Suara-suara
keras bergema dari lapangan.

―Apa mereka temanmu, Yoshi-kun?‖

―Kurasa, lebih seperti junior. Kami tidak pernah berinteraksi, sih. Aku dari
klub lari, dan mereka yang ada di klub sepak bola yang memiliki hubungan
baik denganku sudah pensiun semua. Bagaimanapun juga, aku sudah kelas
tiga. ‖

Mereka mungkin sedang berada di ruangan ber-AC, berkutat dengan buku


pelajaran, dan bukan sepak bola. Bagi kami, siswa kelas tiga, istilah 'peserta
ujian' benar-benar menjengkelkan.

Sekarang sedang liburan musim panas.

Cahaya matahari yang menyengat di hari musim panas membuat semuanya


terlihat putih menyilau, dan aku tidak bisa membuka mata.

Awan lembut yang terlihat seperti krim itu melayang di atas dengan tenang.

Karena panas, lapangan tampak mengambang, tidak stabil.


Suara jangkrik yang terdengar entah dari mana membuatnya terdengar
panas dan tak tertahankan.

―Jadi?‖

―Apanya?‖

―Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku bukan murid dari sekolah ini?‖

―Ah, mudah saja. Aku tidak mempunyai kesan tentang dirimu. ‖

― Yoshi-kun, apa kamu bisa mengingat wajah semua orang di sekolah? ‖

Yuki benar-benar terkejut. Tentu saja, aku tidak mungkin mengingat semua
wajah semua siswa di sekolah.

Ada banyak siswa yang tidak aku kenal, apalagi seluruh sekolah. Namun,
tanpa diragukan lagi kalau Yuki bukan murid sekolah ini.

Jawabannya mudah saja.

Dia memiliki kulit yang putih, rambut bergelombang seperti permen kapas,
alis yang menawan, serta mata hitam yang besar dan tampak dalam. Dia
cukup istimewa dibandingkan dengan semua gadis yang aku temui.

Jika ada gadis seperti dirinya di sekolah, pasti akan ada keributan besar saat
dia pertama kali datang ke sekolah.

Memilih gadis-gadis manis di sekolah adalah hal yang wajib bagi semua anak
cowok, termasuk juga diriku.

Tapi aku tidak bisa mengatakan alasan ini dengan terang-terangan di


depannya. "Yah, semacam itu" Jawabku, menghindari subjek.

―Hm, aku gagal ya. Padahal. Aku sudah berpakaian dengan seragam sekolah
ini. ‖
―Tidak usah khawatir, aku tidak memberitahu guru, kok. ‖

Yuki menendang ringan batu yang ada di dekat kakinya, dan itu memantul,
mendarat 2m jauhya dari kami. Dia tidak serius menendang batu itu
menjauh.

―Tidak, bukan itu maksudku. Kurang lebih, kupikir aku akan sedikit lebih
bahagia jika kamu menganggapku sebagai teman sekelas, Yoshi-kun?‖

―Apa maksudmu?‖

―Begitu ya. Jadi kamu tidak tahu. ‖

Segera setelah itu, bel yang menunjukkan jam 3 sore berbunyi.

―Sudah waktunya untuk mulai berlari, ‗kan?‖

Yuki memegang ujung handuk yang melilit leherku, dan menariknya.


Leherku agak dingin tanpa itu.

―Aku akan mencucinya dan mengembalikannya padamu.‖

―Tidak usah repot-repot. Jangan khawatir. "

Yuki melambai, pada dasarnya memberitahuku, ―Silahkan latihan lagi‖. Aku


tidak bisa bertanya lagi, jadi aku mengucapkan terima kasih, dan kembali ke
garis start.

Aku berdiri di garis start, dan menarik napas dalam-dalam. Di depan mataku
ada bayangan yang terpotong dengan alat cukur, menempel di tanah. Aku
menatap pria itu. Tidak peduli seberapa keras aku mencoba berlari, orang ini
selalu mendahuluiku dengan mudah. Aku tidak pernah bisa mengejarnya.
Rasanya seperti mimpi buruk. Meski begitu, mengapa aku masih bersikeras
untuk berlari?

―Hei.‖
Dan tanpa aku menyadarinya, Yuki, yang dengan bijak pergi ke tempat teduh
di bawah pohon, berkata….

―Anak-anak kelas tiga di klub lari sudah pada pensiun. Lalu, kenapa kamu
masih berlari, Yoshi-kun? ‖

Pertanyaannya seakan-akan bisa membaca pikiranku.

Aku tidak segera menjawab, dan hanya tersenyum saat aku meletakkan
tanganku dengan lembut di garis start, berjongkok ketika aku bersiap untuk
berlari. Permukaan tanah menyerap panas dari matahari, dan hampir
membakar kulitku, dan jari-jariku merasakan sensasi terbakar. Bersiap.
Ucapku dalam hati, membuat aba-aba sendiri. BAM. Aku mengerahkan
kekuatan di kakiku, dan mulai berlari.

Ini terjadi selama musim panas saat aku kelas 3 SMP.

Begitulah, pertemuanku dengan Shiina Yuki.

❀❀❀
Awalnya, aku tidak suka berlari.

Aku bisa mendapatkan peringkat kedua atau ketiga saat ada festival olahraga
di SD. Kurasa aku bisa membanggakan diri menjadi orang kedua di antara
orang yang sangat cepat, tapi yang berlari di festival olahraga semuanya
hampir sama dalam hal kecepatan. Dan hasilnya, itu semua hanya masalah
kemampuan.

Dan alasan mengapa aku bergabung dengan tim lari karena aku bertemu
dengan teman sekelas bernama Takeshita.

Tepat setelah aku memasuki SMP, saat ada pergantian tempat duduk untuk
pertama kalinya, dan Takeshita duduk di sebelahku, mengenakan seragam
yang sama.
―Seriusan nih, pakai seragam ini tiap hari? Bukannya ini sama saja dengan
penyiksaan? ‖

Aku sangat mengerti perasaan tak nyaman karena leherku menyentuh kerah
baju, bersamaan dengan keinginan untuk menghilangkan rasa gatal.

Bagi kami, yang sudah biasa memakai pakaian yang nyaman dan
memudahkan pergerakan selama beberapa minggu terakhir, seragam ini
terlalu berat dan tidak nyaman, dan juga memalukan.

―Ya. Benar-benar ingin menyingkirkan ini sesegera mungkin ‖

Aku setuju,― Oh.‖ Takeshita membelalakkan matanya, kemudian berseri-seri


dengan senyum tulus.

Aku sudah bersekolah selama enam tahun, dan sampai batas tertentu, aku
merasa, "Yap, sepertinya aku bisa berteman dengan orang ini."

"Senang berkenalan denganmu". Ucapku pada Takeshita, dan memegang


tangannya yang terulur.

Takeshita sudah menjadi bagian dari klub lari sejak sekolah dasar. Ia
biasanya pendiam, tapi saat melakukan kegiatan klub, Ia menjadi sangat
bersemangat.

Misalnya saja, Ia akan berbicara tentang bagaimana dia mengalahkan lawan-


lawannya di kompetisi terakhir, atau kenangan dari kemah musim panas,
atau pelatihan musim dingin yang keras karena Ia membenci dingin, atau
betapa kagetnya Ia karena banyak senior yang Ia kenal.

Secara pribadi, aku tidak tertarik pada olahraga, tapi aku pernah diajak oleh
Takeshita untuk melihat kegiatan klub lari.

Takeshita benar-benar sangat cepat.

Dalam sprint 100m, anak kelas tiga sekalipun tidak bisa mengalahkannya.
Jika dilihat dari cara Ia berlari, tidak ada yang pernah menyangka kalau Ia
adalah orang yang mendapat nilai 13 dalam tes bahasa. Sosoknya yang
berlari sangat berbanding terbalik dari pria yang smenghabiskan satu jam
untuk menemukan satu jawaban, bukan tipe orang yang menyemburkan
omong kosong seperti. "Rese banget, tinggal bakar aja sekalian."

Ia benar-benar terlihat keren saat berlari. Sangat keren.

Keesokan harinya, Takeshita dengan senang hati mengambil formulir


pendaftaran klub lari dariku.

"Rasanya lebih menyenangkan dari yang kau bayangkan, bukan?" Takeshita


tampak sedikit bangga ketika Ia mengucapkan itu.

"Ya." Aku mengangguk. Terlalu memalukan untuk mengatakan alasan


sebenarnya. Yah, lagian kita berdua sama-sama cowok. Jadi, tidak perlu
mengatakan semuanya.

Dalam kontes untuk anggota baru, aku melakukannya dengan sangat buruk,
sementara Takeshita berhasil menaiki podium pertama. Dia terus menang,
dan lolos dalam tahap seleksi tingkat local sebagai juara pertama, bahkan Ia
berhasil mencapai final dalam kompetisi tingkat prefektur.

Ada banyak pesaing seperti Takeshita di final, dan Ia benar-benar memiliki


sedikit peluang untuk menang, hasilnya, banyak yang menantikan
penampilannya pada tahun depan, atau tahun berikutnya. "Yah, begitulah."
Aku masih ingat dia mengatakan itu dengan senyum bodohnya, dan para
senior yang mendukungnya tampak kurang senang dengan sikapnya.

Pada hari saat anak kelas tiga pensiun, sebagian besar dari mereka memberi
semangat pada Takeshita. "Lakukan yang terbaik." "Kau pasti bisa mencapai
tingkat nasional." Sementara para senior bersorak dengan air mata, "Ya,
serahkan saja padaku." Takeshita mengangguk dengan serius.

Namun, segera setelah semester kedua dimulai, Takeshita keluar dari klub
lari.

Dari awal, Takeshita tidak terlalu tertarik pada klub lari.


Alasan Ia masuk klub lari karena ada seorang gadis yang dua tahun lebih tua
darinya, yang lulus dari SD yang sama berada di klub lari.

Takeshita menyukai gadis tersebut.

Tapi, cintanya tidak membuahkan hasil.

Pada akhir upacara pensiun, gadis yang disukai Takeshita mengumumkan


kalau dia berpacaran dengan wakil kapten.

Takeshita, orang yang tercepat di tim kami, kalah dari seorang anak kelas
tiga yang paling lambat. Ah ya, Ia kalah. Meski begitu, Ia hanya tersenyum
kaku. "Selamat." Ujarnya dengan suara bergetar. Kalau dipikir-pikir kembali,
Ia pernah gemetar dengan suara seperti itu saat Ia kalah pada final tingkat
prefektur.

Bahkan sampai sekarang, aku masih belum paham mengapa aku sangat
emosional. Namun aku tidak bisa memaafkannya.

―Hei, Takeshita. Apa kau baik-baik saja dengan itu? Kau tidak mau berkelahi
melawannya?‖

Takeshita hanya tertawa dengan cara yang konyol.

―Apa kau berniat terus kalah?‖

Aku benar-benar cemas, dan berteriak.

Teman-teman sekelas di sekitar kami terkejut dan memandangku dengan


tatapan aneh, membisikkan sesuatu. Saat itu, aku mengabaikan semua yang
biasanya aku dengarkan. Itu cuma suara berisik belaka. Apa yang ingin
kudengarkan bukanlah hal yang itu. Aku ingin mendengar pikiran
sebenarnya dari teman sekelasku, sohib di klub lari.

Tapi Takeshita hanya tersenyum tak berdaya, dan pergi tanpa ragu.
Aku tak lagi menemukan sosok Takeshita yang pernah aku kagumi. Kutatap
punggung yang sama dengan cowok yang mendapat nilai 13 dalam ujian. Itu
bukanlah siluet seorang pemenang, tapi seorang pecundang.

Sejak itu, dua tahun berlalu.

Aku terus bekerja keras di klub lari. Kurasa aku sedang bekerja keras. Aku
menghabiskan dua tahun penuh, dan akhirnya tiba di tempat yang sama
dengan Takeshita saat Ia berlari kelas satu dulu. Seperti orang yang pernah
aku kagumi, aku meletakkan jariku di garis start. Ujung jari memerah saat
mereka menahan berat tubuhku.

Pistol itu ditembakkan, aku menginjak tanah dengan keras, dan berlari
kencang.

Aku melakukan yang terbaik untuk berlari.

Dan aku tidak menyesal dengan kekalahanku.

Sebagai orang biasa, aku berhasil mencapai babak final tingkat prefektur.
Bukankah ini cukup? Ah ya sangat cukup. Tapi, mengapa hatiku merasa
begitu hampa?

Aku merasa seakan-akan kehabisan napas. Keringat yang bercucuran


meluncur di pipi dan leherku. Sinar matahari yang kuat menyebabkanku
tidak bisa membuka mata. Aku menghirup udara panas yang dalam, dan
melihat waktu.

Ini adalah usaha terbaik dalam berlari.

Itu adalah waktu tersingkat yang aku tempuh.

Namun, itu masih lambat 0,1 detik dibandingkan dengan waktu terbaik
Takeshita.
❀❀❀

Esok harinya dan seterusnya, Yuki terus mencariku. Dia sering memegang
minuman olahraga atau es krim.

Aku seharusnya meminta juniorku untuk memegang stopwatch, tapi tanpa


kusadari, itu berakhir di tangan Yuki.

"Bersiap—"

Teriak Yuki.

Aku mengumpulkan kekuatanku di kaki.

"Bang!"

Pada saat itu, aku segera berlari.

Awal mulanya tampak bagus. Tubuhku yang condong ke depan perlahan


naik. Tubuhku terasa ringan, dan kakiku bisa melangkah maju. Dampak dari
kakiku yang terus berlari membuat tubuhku maju, lenganku berayun. Sosok
Yuki tampak semakin besar. Aku merasakan sensasi yang menyakitkan dan
membakar pada beberapa titik di tubuhku.

Aku terus mengambil nafas pendek, menghirup oksigen ke paru-paruku.

Aku menggertakkan gigiku.

Menatap bayangan di hadapanku, dan mengejarnya.

Saat aku berlari melewati Yuki, aku mendengar bunyi 'bip' kecil.

Itu dari sisi lain dari garis finish.

Apa aku berhasil sampai ke tempat yang kuinginkan?


Aku melambat sedikit demi sedikit, dan berhenti, kuletakkan tanganku di
lutut seraya menopang tubuhku yang kelelahan. Aku merasakan udara
lembab yang merembes ke seluruh pori-poriku. Ah sial, ini melelahkan.

―Haa, haa, haa. Ba-bagaimana? "

―Tidak memecahkan rekor terbaikmu. Tinggal sedikit lagi. ‖

― Ah — masih kurang ya. ‖

Karena tak punya tenaga lagi untuk berdiri, jadi aku jatuh terbaring ke tanah.
Bau tanah, bau khas musim panas, dengan terik matahari bisa tercium dari
hidungku. Keringat membasahi bajuku, dan akibatnya, kotoran menempel di
punggungku.

Langit terlihat biru, dan terik matahari yang panas serasa membakar kulitku.

Tubuhku mendambakan oksigen, terengah-engah, dan jantungku berdetak


kencang. Dadaku mengembang, mengempis, dan mengembang lagi. Aku
merasa lelah. Tubuh dan jiwaku seakan-akan terpisah.

"Fyuhh, panas banget."

Saat aku mengucapkan kata-kata tersebut, sesosok bayangan menutupi


wajahku.

"Kerja bagus. Beristirahatlah sebentar. ‖

Ternyata, sosok itu adalah Yuki.

Dia memegang dua botol minuman, yang satu minuman isotonic dan
satunya lagi teh dingin. Dia memintaku untuk pilih yang mana, dan aku
memilih minuman isotonic. Aku mengucapkan terima kasih, duduk tegak,
dan memegang botol minuman.

Untungnya, dia sudah membukakan tutup botolnya, jadi aku bisa


meminumnya segera. Aku meneguk hampir dari setegah dari isi botol.
Yuki memastikan untuk tidak duduk saat dia berlutut di tanah, membantuku
menutup dan membuka tutup botolnya. Dia menyipitkan matanya, seolah
melihat matahari, dan berkata,

"Seperti bau anak cowok."

Kudekatkan botol minuman ke bibirku sekali lagi, dan kali ini, aku
meminumnya secara perlahan. Tenggorokanku berdenyut-denyut. Isi dari air
minuman tersebut mengalir ke dalam tubuhku.

―Mau tiduran di atas tanah? Emang ngga takut kalau pakaian atau rambutmu
jadi kotor. ―

―Yah, tentu saja.‖

―Hhhmmmm‖

―Emangnya Kau merasa itu kotor?‖

―Tidak apa-apa, kan? Aku pikir itu sangat keren. ‖

Aku mulai mengingat laporan cuaca pagi, ketika si wartawan itu melaporkan
kalau hari ini akan lebih panas daripada kemarin, atau semacamnya. Setelah
selesai minum, aku pun berdiri.

―Aku mau cuci muka dulu. Beristirahatlah di tempat teduh, Yuki. ‖

Entah kenapa, tenggorokanku terasa lebih haus daripada sebelumnya.



Aku pergi ke wastafel di halaman, di mana jarang ada orang.


Dengan menggunakan keran, aku membasuh kepala untuk menenangkan
diri. Kepalaku lebih berat setelah rambutku basah, tapi aku merasa jauh
lebih segar dibandingkan sebelumnya. Kemudian, kucuci mukaku, keringat
yang bercampur air masuk ke mulutku. Rasanya sedikit asin. Aku berkumur,
meludahkan air, dan meninggalkan tempat itu.

Aku mengangkat rambutku yang basah dan dibundel, dan sedikit beristirahat
di bawah bayangan gedung. "Haa." Aku menghela nafas panjang.

Aku menyandarkan punggungku di dinding, dan menutup mataku, pikiranku


mengingat senyum Yuki. "Aku pikir itu sangat keren." Suaranya bergema
berkali-kali. Setiap kali hal itu terjadi, hatiku merasa bahagia, dan sekaligus
sedih.

Aku harus fokus pada berlari. Apa ada yang salah denganku?

Ini adalah pertama kalinya aku mengalami perasaan seperti ini. Bahkan
sampai pada titik wajahku terasa panas.

Setelah beberapa saat, aku membuka mataku lagi, dan melihat wajah yang
akrab berlalu di depanku. Orang itu memberikan tampilan yang sangat
suram, sangat berkebalikan dengan penampilannya yang biasa. Dia adalah
orang paling terkenal di sekolah yang tampil selama kompetisi musim panas.

Dia adalah Rindou Akane dari tim renang.

―Eh, Akane? Apa yang sedang kau lakukan di sini? ‖

Saat Akane mendengar suaraku dan menyadari keberadaanku, ekspresinya


berubah lebih cepat daripada membalik halaman. Wajah suram dari
sebelumnya terkubur jauh di dalam hatinya, dan dia menunjukkan wajahnya
yang ceria.

―Hm? Ah, ternyata kamu, Haru. Aku sedang beristirahat, nih. Aku
meninggalkan sesuatu di ruang kelas. Jadi aku pergi untuk mengambilnya
sekarang. ‖
―Nyahahaha. ‖Ucapnya sambil tertawa, tapi yah, itu jelas bohong. Mana
mungkin dia bisa menuju ke ruang kelas dengan penampilan seperti itu.

Karena kenyataannya, dia hanya mengenakan baju renang sekolah.

Desain bijaksana dan mengedepankan fungsionalitas, itu adalah desain


terburuk yang pernah ada. Tidak peduli jenis kelaminnya, tidak ada yang
menyukai pakaian renang ini. Baju renang berwarna biru gelap akan menjadi
hitam setelah menyerap air. Dia basah kuyup di seluruh rambut dan
tubuhnya, dan jelas dia tidak mengeringkan dirinya dengan handuk. Rambut
pendeknya mengumpulkan sedikit air, dan meneteskan air, meluncur turun
di kulitnya, lalu mendarat di tanah.

―Apa ada sesuatu yang terjadi?"

―... Tidak. Bukan apa-apa. "

―Begitu ya. Yah, jika ada sesuatu terjadi, jangan malu-malu buat curhat.
Setidaknya aku bisa mendengar keluhanmu. Ngomong-ngomong, apa-apaan
dengan wajah itu? ‖

―Aku sedikit terkejut. ‖Kata Akane.

―Tak kusangka aku akan mendengar kata-kata seperti itu darimu, Haru.‖
lanjutnya

Memang, rasanya sedikit aneh dari apa yang biasanya aku katakan.

―Mungkin karena musim panas. Aku sendiri merasa agak aneh. Tidak, maaf,
lebih baik lupakan saja.‖

―Tidak perlu malu. Tapi baiklah, tebakanmu ada benarnya. Aku akan
mengatakan apa yang kuinginkan.‖

Akane mengubah arahnya, dan menuju ke sampingku.

Itu adalah jarak yang tidak bisa dijelaskan yang mana kurasa mampu untuk
kugenggam, namun tak bisa kucapai hanya dengan mengulurkan tanganku.
Pada saat yang sama, aku bisa mencium bau garam dari Akane, tidak, bau
kolam renang.

Akane, yang sedang bersandar di dinding dalam posisi yang sama denganku,
menghela nafas juga. Ah, dingin banget. Dia bergumam pada dirinya sendiri,
dan mengambil napas dalam-dalam. Aku pikir dia akan mengatakan sesuatu,
tapi kesunyian berlanjut untuk sementara waktu.

Suara dari beberapa instrumen yang terbawa angin, datang dari suatu
tempat. Aku melihat sekeliling, dan menemukan ada dua gadis di jendela di
koridor lantai dua, tengah meniup terompet. Suara-suara dari terompet
bernada tinggi melayang ke arah kehijauan musim panas.

Setelah pertunjukan berakhir, Akane angkat bicara.

―Yah, sebenarnya, aku tidak bisa bilang kalau ada sesuatu yang terjadi.
Hanya saja, Aku tidak bisa memunculkan motivasi yang aku miliki
sebelumnya. Saat aku mencapai tingkat nasional pada turnamen terakhir,
aku membuat rekor terbaik diriku, dan cuma merasa sedikit lelah. Baru hari
ini, guru pembimbing klub memintaku untuk membimbing junior, tapi aku
... ‖

Tidak bisa berenang seperti sebelumnya.

Suaranya hampir menghilang pada kata terakhir, nyaris tak terdengar.

Akane mengekspresikan dirinya. "Tidak apa-apa." Dan aku bergumam. Aku


tahu Akane sedang menatapku, tapi aku malah melihat dua gadis yang
meniup terompet tadi.

―Tapi yah, bukannya kau masih berenang, Akane?‖

―Berenang adalah kebiasaanku, sama seperti menyikat gigi. Aku merasa


sedikit kurang nyaman jika tidak berenang.‖

―Benar. Jadi masih ada harapan. Ini mungkin menjadi lebih kecil, dan lebih
sulit untuk dilihat, tapi tidak padam. Aku akan mengatakan ini sebanyak
mungkin. Tak diragukan lagi kamu bisa pergi ke tempat yang lebih jauh,
Akane. ‖

Akane berbeda dari Takeshita dan diriku.

Niatnya untuk berenang benar-benar nyata.

Meski aku tidak mengatakan kalimat terakhir.

―... Rasanya kamu sedikit berubah, Haru.‖

―Benarkah?‖ Tanyaku. "Dulu, kamu tidak akan mengatakan hal seperti itu."
Jawabnya.

―Jika itu kamu yang dulu, Haru, kamu mungkin takkan menyapaku jika aku
tidak menyadari keberadaanmu. Aku tidak tahu berapa kali aku diabaikan
olehmu. Bahkan jika ada banyak orang, kamu hanya berdiri di pinggiran dan
melihat semua orang. Kemudian kamu akan mengatakan kalimat- kalimat
ambigu dengan senyum yang benar-benar palsu. Tapi itu berbeda. Aku tahu.
Ini adalah pikiranmu yang sebenarnya, Haru. Ini mungkin pertama kalinya
Kamu mengatakan apa yang sebenarnya Kamu rasakan. Jadi, hm hmm ...
Aku sedikit senang.‖

―Ini salah musim panas. Rasanya sangat panas di sini jadi aku tidak bisa
berpikir jernih dan mengatakan hal-hal aneh. Maaf.‖

―Sudah kubilang, kamu tidak perlu malu. Hm Tapi, yay! Berkat kamu bilang
begitu, Haru, aku akan mencobanya. Ah ya. Boleh aku meminta sesuatu
darimu kali ini?‖

―Jika itu ada dalam kemampuanku.‖

―Apa kamu tak keberatan untuk bilang 'berjuanglah'? Aku sebenarnya orang
yang sederhana. Jika aku disemangati, aku mungkin bisa bekerja sedikit
lebih keras.‖

―Cuma itu saja? Bukannya semua orang mengatakan itu kepadamu berkali-
kali? "
―Tidak, itu berbeda. Katakan itu padaku. kumohon! "

―Oke. Berjuanglah. ‖

Akane menutup matanya, tampaknya berusaha fokus saat dia


mendengarkan.

―Ya.‖

―Berjuanglah.‖

―Ya.‖

―Berjuanglah, Akane.‖

―Ya, aku akan berjuang.‖

Akane perlahan membuka matanya, aura disekitarnya mendadak berubah.


Dia memiliki aura orang-orang yang populer. Dengan sifatnya yang ceria,
baik hati, sedikit ceroboh, dan sangat jujur. Dia terlihat menyilaukan
layaknya matahari musim panas.

Melihat dirinya, aku hanya bisa menyipitkan mataku.

Lalu, Akane, yang ada di sebelah kiriku, berbalik dan kembali ke tempat
asalnya.

Saat bayangannya semakin kecil, entah kenapa, dia berbalik ke arahku lagi.
Dia berjalan keluar dari tempat teduh, dan berdiri di bawah pancaran cahaya
yang kuat. Tetesan air di seluruh tubuhnya memantulkan sinar matahari,
dan dia tampak sangat mempesona.

"Ya, aku akan berjuang juga."

Kemudian, dia mengepalkan tinju ke arahku.

"Jadi, kau juga berjuanglah, Haru."


"Ah, hhmm ya."

Gumamku.

Kurasa aku memang harus berjuang.

Ada perasaan gatal di hatiku, tapi terasa sangat nyaman.

―Ada apa?‖

―Tidak ada apa-apa. Hanya saja kurasa aku harus benar-benar berjuang
sekuat tenaga. ‖

Usai mendengar jawabanku, pipi Akane sedikit memerah saat dia bicara
dengan gembira,

―Bukannya itu hebat?"

❀❀❀

Pembicaraan yang aku lakukan dengan Akane akhirnya membuatku tenang


kembali. Aku kembali ke lapangan, dan ketenangan itu lenyap dalam
sekejap.

Yuki sedang menunggu di bawah pohon di dekat lapangan.

Dia sedang berbicara dengan seseorang.

Laki-laki itu berambut agak panjang, dan terlihat keren. Ia memakai seragam
tim sepak bola, dan jika aku ingat benar, namanya Sawachika. Tiga bulan
lalu, teman sekelasku, Satake, dengan bangga membual bahwa pemain sayap
yang lincah bergabung dengan mereka.
Sedikit jauh dari mereka berdua ada beberapa orang dari tim sepak bola yang
sedang memata-matai. Begitu salah satu dari mereka melihatku mendekat,
gerombolan itu langsung berhamburan panik.

Aku mendapat gambaran kasar tentang apa yang terjadi. Kelihatannya Yuki
sedang dirayu. Yah, tidak aneh baginya untuk dirayu, karena hanya dengan
berdiri di sana saja, dia terlihat cantik.

Jika memang begitu, apa yang harus aku lakukan? Apa hal yang benar untuk
dilakukan?

Tiba-tiba, aku sadar.

Apa yang aku sedang coba lakukan?

Bahkan aku sendiri merasa bodoh untuk memikirkan pertanyaan seperti itu.

Kurasa aku bertingkah aneh karena cuaca panas. Ini benar-benar bukan
seperti diriku, tapi yah, itu bukan hal yang buruk. Bukan hal yang buruk
sama sekali.

Aku mendekat saat mereka masih berbicara. Yuki memperhatikanku, dan


bergegas ke arahku?

―Ada apa?‖

―Cuma sedikit masalah.‖

Ketika kami berbicara, Sawachika mendekat. Yuki melihatnya, dan langsung


bersembunyi di belakangku. Aku pun mengambil langkah maju.

Saat aku melakukannya, Sawachika tampak ragu-ragu, dan menelan kata-


katanya. Tidak, hanya itu yang bisa dia lakukan.

Bagi kami anggota klub olahraga, para senior dihormati layaknya Dewa.
Sebenarnya Sawachika mendekati Yuki selagi aku tidak ada. Dia mungkin
menunggu kesempatan tersebut.
Dengan senyum ramah di wajahku, aku berkata pada Sawachika.

―Aku ingat kau dipanggil Sawachika, ‗kan? Aku kira kegiatan klub tidak
mudah setelah anak kelas 3 pensiun? Satake masih mampir dari waktu ke
waktu, bukan? ‖

Aku tidak begitu peduli tentang apa pembicaraannya. Aku hanya ingin
memberi tahunya tentang hubunganku dengan mantan kapten tim sepak
bola Satake.

Sawachika mengerti apa yang aku maksudkan, dan sementara merasa tidak
senang tentang hal itu, dia membungkuk ke arahku dengan sopan, dan
kembali ke teman-temannya.

❀❀❀

Hari itu, setelah latihan.

Yuki, yang sampai kemarin biasanya langsung menghilang saat aku berada di
ruang ganti klub, tengah berdiri di depan pintu, menatap ke langit. Matahari
akan segera terbenam, dan awan membiaskan cahaya oranye, langit
mengubah tanah menjadi merah menyala. Matahari diagonal memanjangkan
bayangan Yuki, dan dibandingkan dengan siang hari, siluetnya yang samar-
samar seakan-akan memberi kesan bahwa dia akan menghilang begitu saja
bila aku memalingkan muka darinya.

―Hm, ada apa?‖

Ucapku pada Yuki, yang berbalik ke arahku. Rambut kastanyenya yang


jernih berkilau, dan senyumnya terlihat sangat cantik. Ini adalah pertama
kalinya dalam hidupku melihat senyum seseorang yang begitu cantik.

―Aku ingin mengucapkan terima kasih karena sudah menyelamatkanku dari


masalah tadi. Ayo pergi ke minimarket. Aku akan mentraktirmu es krim atau
sejenisnya.‖

― Tidak usah. Lagipula aku tidak berbuat banyak. "


―Aku merasa senang, jadi aku ingin mengucapkan terima kasih. Emangnya
tidak boleh? ‖

― Bukannya tidak boleh sih…. ‖

― Kalau begitu, ayo pergi. ‖

Sebelum aku sempat membalasnya, Yuki sudah berbalik ke gerbang sekolah.


Aku mengejarnya, dan berjalan di sampingnya.

Dua bayangan bergoyang berdampingan, tapi bukan sekali saja mereka


bertemu. Ada celah seukuran seseorang di antara kami. Aku merasa seperti
sedang berbisik ketika aku berbicara. Mengapa?

―Beneran, deh, Yuki, kau ini cukup populer.‖

―Itu tidak benar.‖

―Tapi kau didekati oleh Sawachika hari ini.‖

―Ohh, jadi yang tadi itu dipanggil Sawachika-kun?‖

―Kau tidak menanyakan namanya? "

― ... Aku lupa buat nanya. Kurasa dia datang merayuku karena dirimu, Yoshi-
kun. ‖

―Mana mungkin, bukannya dia mendekatimu saat aku tidak ada?‖

―Kurasa tidak. Saat aku benar-benar sendirian, tidak ada yang mau berbicara
denganku. Aku tahu kalau aku sedang dilihat, tapi yah, Cuma itu saja. Yap,
kukira aku bukan manusia saat itu. ‖

―Sendiri. ‖ Gumam Yuki. Suaranya terdengar agak sedih.

Kesendirian miliknya membuatku merasa kesepian juga.


―Jadi, maksudnya, kau ini akan menjadi monster saat aku tidak ada?‖

Aku membuat candaan. Aku tak peduli apakah dia marah, kaget, atau
menganggapku orang bodoh.

Aku hanya ingin dia tidak sedih. Ya, emosi apa saja tak masalah, asal jangan
sedih saja.

Aku ingin dia melupakan kesedihan dan kesepiannya. Pada saat ini, dia tidak
lagi sendirian, karena aku berjalan di sebelahnya.

Sejenak, Yuki terperangah. "Ahahaha." Dan kemudian dia tertawa terbahak-


bahak.

Kesedihannya lenyap dalam sekejap, seperti yang aku harapkan.

"Ya. Aku ini adalah monster yang menyemburkan api! ‖

Yuki dengan sengaja melebarkan mulutnya, dan mengangkat alisnya, lalu


berteriak ― Gyaaa !!!!.‖ Berpose layaknya kaiju dalam film-film yang pernah
tayang di TV.

―Kau akan menghancurkan kota?‖

―Tentu saja.‖

―Kau akan bertarung melawan pahlawan?‖

―Tentu saja!‖

―Jadi, kau hanya akan menjadi manusia lagi saat ada aku saja?‖

― Ya ...‖

―Kenapa?‖

Yuki tidak menjawab. Aku tidak menyerah dan terus bertanya.


"Kenapa kau menjadi manusia lagi saat kau bersamaku?"

Jawab Yuki dengan nada yang bercanda pula.

―Karena kamu orang aneh, Yoshi-kun.‖

―Hah?‖

―Karena cuma kamu satu-satunya yang akan berbicara dengan orang aneh
seperti diriku.‖

―Begitu ya." Aku mengangguk tanppa sadar, tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku
tidak ingat kalo aku dulu yang berbicara dengannya. Malahan Yuki sendiri
yang berbicara lebih dulu.

―Tunggu sebentar, bukannya kau orang yang pertama kali berbicara


kepadaku, Yuki?‖

―Masa sih?‖

―Coba kau ingat-ingat lagi. Aku sedang berlatih saat itu. Kaulah yang
mengatakan kepadaku "Kau benar-benar bekerja keras."…. "

―Ah, kita sudah sampai di minimarket. Ayo masuk, ayo masuk. "

Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Yuki sudah meraih lenganku, dan


menarikku ke dalam minimarket. Bayangan kami digabung menjadi satu.
Entah kenapa, tangan Yuki sedikit dingin, begitu dingin hingga aku khawatir
kalau tangannya bisa meleleh karena tanganku yang lebih panas dari
biasanya.

Kami membeli es krim di minimarket, dan duduk di tempat teduh di tempat


parkir. Aku buru-buru mengeluarkannya dari bungkusnya, dan mengunyah
lapisan gula. Gigiku memecahkan lapisan gula tersebut, dan es manis
mengalir keluar. Sangat lezat. Aku mengunyah es, dan ada suara yang
menyertai perasaan menyenangkan dan kenyal.

―Apa tidak mau yang lain? Ada beberapa yang lebih mahal, loh. " ujar Yuki
―Aku suka yang ini.‖

―Yah, lagipula yang ini juga enak. "

Menjelang waktu malam, ada banyak orang yang lewat di depan minimarket.
Ada seorang Onee-san yang membawa anjingnya berjalan-jalan, anak SMA
yang mengenakan headphone. Paman berjas yang tengah bergegas kembali
ke perusahaannya. Dua orang pemuda mengayuh sepeda mereka menuju
jalan pulang.

―Beneran, deh, Yoshi-kun."

Ucap Yuki sambil berdiri di sampingku, menjilati es krim yang meleleh di


tangannya.

Dia sadar kalau aku mengawasinya, dan berkomentar bahwa dia benar-benar
tidak bisa memakan es krim lagi.

Aku tahu kalau Yuki tidak benar-benar bermaksud begitu, jadi aku sabar
menunggu. Segera setelah itu, dia menggigit tongkat kayu es krim, sama
seperti yang aku lakukan.

―Apa kamu pernah berkompetisi melawan seseorang?‖

―Eh?‖

"Apa kamu pernah ingin mengalahkan seseorang?"

Dia tidak terlalu yakin,

―Kau tahu?"

―Yah, aku bisa merasakannya. Aku selalu mengawasimu sepanjang waktu. ‖

―Sepanjang waktu? ‖

―Ya, Sepanjang waktu. ‖


―Ahahaha. ‖Aku mulai tertawa untuk mengabaikan pernyataan yang kabur
itu. "Apa yang kamu bilang?" Tapi Yuki tidak ikut tertawa. Dia menatapku
dengan penuh perhatian.

Tawa canggungku meleleh ke dalam udara musim panas, perlahan-lahan


menghilang, dan akhirnya lenyap. Aku menatap ujung sepatuku yang
compang-camping. Tiba-tiba, ujungnya membungkuk lembut. Aku sedikit
terkejut. Semua yang ada dalam pandanganku, dunia yang aku lihat menjadi
kabur dan goyah.

Sejenak, untuk beberapa alasan, aku mulai berbicara tentang masalah yang
ingin aku sembunyikan di hatiku selamanya.

Ini adalah sesuatu yang telah aku selesaikan dalam pikiranku yang tak
terhitung jumlahnya, dan telah menerima persetujuan.

Akhirnya, keluar dari tenggorokanku, melalui mulutku, kata demi kata


terucap, menjalin istilah-istilah yang tidak berhubungan –

Aku punya teman yang bernama Takeshita.

Mengenai bagaimana cepatnya Ia,

Dan Ia memiliki senior yang Ia kagumi,

Serta percintaannya yang berakhir sangat cepat,

Dan bagaimana Ia menyerah begitu saja.

Suaraku terputus-putus, tubuhku gemetaran, penglihatanku kabur. Aku


hanya mengatakan semua emosi dari mulutku. Tempat parkir menjadi
semakin gelap. Emosi yang panas dan tajam mengambil bentuk kata-kata,
dan terus menerus menyentuh bagian paling lembut dari hatiku.

Berapa lama waktu berlalu setelah aku menyelesaikan apa yang ingin aku
katakan? Dua menit? Tiga menit?

―Jadi itu sebabnya kamu mulai berlari.‖


Gumam Yuki.

―Apa maksudmu?‖

―Kamu selalu berlari kencang, Yoshi-kun, tapi tidak sepenuhnya siap. Itu
mungkin karena kamu terlalu mengagumi Takeshita-kun, dan itu sebabnya
kamu hanya selangkah jauh darinya. Ya, aku mengerti. Aku akhirnya tahu
apa yang bisa aku lakukan. ‖

Aku menggosok wajahku dengan telapak tangan, dan mengangkat kepala.


Dunia sudah ternodai warna malam hari tanpa aku sadari, dan ada banyak
lampu kecil yang berkedip di belakang Yuki yanag sedang berdiri. Dia sangat
cantik, baik di siang hari, sore, maupun malam hari.

―Hei, sekedar ingin tahu aja, Yoshi-kun, apa kamu benar-benar ingin
melampaui rekor Takeshita-kun?‖

―Aku mulai berlari karena orang itu.‖

―Kamu sama sekali tidak jujur. Jika kamu memiliki sesuatu yang kamu
inginkan, katakan saja. Jika ingin menang, katakan kalau kamu ingin
menang. "

" ... "

― Ayo. Katakan.‖

―Aku ingin menang. Aku ingin mengalahkan Takeshita.‖

― Baik. Semangat yang bagus. Aku akan membuatmu mengalahkannya. ‖

Yuki mengambil stik kayu dari tanganku, dan menggantinya dengan


miliknya. Tulisan 'Kamu menang' ada di sana. Kurasa mungkin menang
untuk undian es krim. Ini pertama kalinya aku melihatnya, dan kupikir itu
Cuma mitos belaka.

―Kamu benar-benar beruntung, Yoshi-kun. Tampaknya kamu punya Dewi


keberuntungan dipihakmu.‖
Walau Yuki sendiri yang mengatakan itu, dia malah tersenyum malu-malu.
Dia segera memalingkan mukanya di depanku, tapi saat aku melihatnya dari
belakang, aku bisa melihat telinganya sedikit memerah.

❀❀❀

Keesokan harinya, hujan yang mendadak membuatku tidak bisa sekolah.

Sehari setelahnya pun sama, dan lintasannya menjadi becek; Aku tidak bisa
lari. Tiga hari setelah aku makan es krim itu, aku bertemu kembali dengan
Yuki saat sore hari.

Aku menyelesaikan pemanasanku, dan berlari-lari kecil ketika Yuki muncul


seperti biasa. Aku melihat sosoknya, dan membeku. Dia mengangkat
tangannya, "Hai" sapanya, bertingkah seolah-olah tidak ada yang terjadi.

―Sepertinya hari ini adalah hari terpanas di musim panas." Ucapnya.

―Tidak juga. Lagipula, Apa-apaan dengan pakaianmu itu? ‖

Aku menunjuk ke baju yang Yuki kenakan. Untuk beberapa alasan, dia
memakai baju olahraga sekolah kami. Pakaian putihnya tembus cahaya, dan
aku bisa melihat garis tubuh dan warna pakaian dalamnya. Kupikir, aku
harusnya tidak melihat, tapi aku tidak bisa berpaling dari pemandangan itu.

"Aku membelinya."

"Kali ini apa lagi?"

―Aku mungkin mengotori pakaianku hari ini.‖

―Tidak, bukan itu yang ingin aku tanyakan. Aku ingin tanya, mengapa kau
membeli pakaian olahraga sekolahku? "
―Jika aku memakai ini, tidak ada yang akan mencurigai identitasku jika aku
terlihat. Lagipula, apa kamu sudah siap?‖

Aku merasa, yah, jika sudah sejauh ini , dan Yuki terlihat sedikit senang, aku
tidak repot-repot membalas. Aku mengangguk. Berkat hujan yang mendadak
dari sebelumnya, aku cukup istirahat, dan merasa baik-baik saja. Ini adalah
perasaan yang aku miliki saat aku memecahkan rekorku di Prefektur.

―Tapi apa aku bisa benar-benar mengalahkan Takeshita?‖

―Ya. Tidak masalah. Larilah dengan kecepatan penuh seperti yang biasa
kamu lakukan, Yoshi-kun, dan percayalah. Hanya lihat diriku. Sederhana,
bukan? ‖

Aku menyodorkan kepalan tanganku ke arahnya, yang mana hal itu entah
kenapa bisa membuatku menjadi percaya diri. Setelah itu, Yuki pergi ke garis
finish, sementara aku pergi ke garis start.

Seperti biasa, aku menenangkan pikiranku, dan di dalam pikiranku, aku


terus mengulangi metode start terbaik seraya memperpanjang tendon
kakiku. Aku meletakkan tanganku di jantung yang berdetak kencang. Aku
menarik napas lambat, dan menghirup udara musim panas ke paru-paruku.

Aku membuka mataku.

Langit biru dan sinar matahari memasuki mataku, bersama dengan Yuki
yang berdiri di garis finis.

Tanpa aku sadari, jantungku menjadi tenang kembali.

Aku memposisikan diri di garis start. Aku bersiap untuk berlari. Yuki
mengangkat tangannya. Aku melihat ke depan.

"Bersiap——"

Dunia menjadi sunyi.


"Mulai!"

Itulah satu-satunya suara yang bisa aku dengar.

Aku mulai berlari. Ini adalah awal yang sempurna. Aku mempertahankan
postur ke depan saat aku berlari , terus mempercepat seraya perlahan
mengangkat tubuh bagian atasku. Angin bertiup kencang, dan pemandangan
berubah. Aku terus berlari maju dengan kecepatan yang tidak pernah
kurasakan sebelumnya.

10 m terlewati. 20 m terlewati. Hah. Hah. Kaki depanku menempel ke tanah


saat aku melompat maju.

30 m terlewati. 40m terlewati. Aku mungkin benar-benar berhasil.

Dan saat aku berlari melewati jarak 50m, seperti biasa, aku melihat ke arah
bayangan yang berlari di depanku.

Bayangan yang tak pernah bisa aku lampaui.

Aku selalu melihatnya sebagai Takeshita. Tapi,

―Yoooooossssssshhhhhhiiiiiikkkkkkkkuuuuunnnn. Angkat
kepalaaaaaaaaaaaaaaamu! ‖

Yuki berteriak padaku.

Dunia menjadi sunyi.

"Mulai!"

Itulah satu-satunya suara yang bisa kudengar.

Aku mulai berlari. Ini adalah awal yang sempurna. Aku mempertahankan
postur ke depan saat aku berlari , terus mempercepat seraya perlahan
mengangkat tubuh bagian atasku. Angin bertiup kencang, dan pemandangan
berubah. Aku terus berlari maju dengan kecepatan yang tidak pernah
kurasakan sebelumnya.
10 m terlewati. 20 m terlewati. Hah. Hah. Kaki depanku menempel ke tanah
saat aku melompat maju.

30 m terlewati. 40m terlewati. Aku mungkin benar-benar berhasil.

Dan saat aku berlari melewati jarak 50m, seperti biasa, aku melihat ke arah
bayangan yang berlari di depanku.

Bayangan yang tak pernah bisa aku lampaui.

Aku selalu melihatnya sebagai Takeshita. Tapi,

―Yoooooossssssshhhhhhiiiiiikkkkkkkkuuuuunnnn. Angkat
kepalaaaaaaaaaaaaaaamu! ‖

Yuki berteriak padaku.

Dia mungkin tidak terbiasa berteriak. Suaranya seakan-akan hampir pecah.

Aku mengangkat kepalaku, tepat saat dia memanggilku. Aku melihat garis
finish. Wajahnya memerah ketika dia berteriak padaku.

―Lihatlah ke depaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnn‖

Serius, erm, apa yang sedang kau lakukan, Yuki?

Aku akhirnya menyeringai.

"Aku di sini!"

Dia melambaikan tangannya, berteriak.

―Terbang kesini !!!‖

Kemudian Yuki berseru, ―Percayalah padaku, lihatlah diriku.‖

Jadi, aku memercayai Yuki.


Dan hanya melihatp dirinya.

Ah ya, ini sederhana saja. Karena-

Setiap langkah yang aku ambil, Yuki menjadi lebih dekat denganku. Aku
ingin menjadi lebih cepat ... Aku ingin pergi ke samping Yuki lebih cepat lagi.
Sekalipun itu hanya satu detik lebih cepat, aku ingin menjadi lebih cepat.

Yuki ada di pusat dunia.

Tidak ada yang lain.

Selangkah, dua langkah, tiga langkah. Aku pasti tidak boleh melambat. Lebih
penting lagi, aku harus lebih cepat.

Pada langkah terakhir, aku mendepak keras ke tanah, dan saat Yuki berkata,
aku melompat ke lengannya yang terbuka. Sekarang adalah musim panas,
tapi aku bisa mencium aroma harum musim semi. Ini adalah aroma dari
bunga sakura.

Pada saat itu, aku mendengar bunyi 'bip', dan pada saat yang sama, dunia
berputar. Eh? Semua yang tersisa hanyalah suara terkejut yang menggema di
dalam kepalaku.

Dan tanpa aku sadari, aku sudah berbaring di tanah. Tangan Yuki ada di
leherku, dirinya berada di atas tubuhku. Kemungkinan saat aku akan
menabraknya, dia menindihku ke bawah.

"Sakit tau—"

Seharusnya, dampaknya hanya mengenai punggungku saja, tapi seluruh


tubuhku terasa nyeri dan sakit. Aku batuk, dan sulit bernapas. Rasa sakitnya
tak tertahankan, dan Yuki melepaskan tangannya dari leherku, sama sekali
tidak mengkhawatirkanku. Yang dia pedulikan hanyalah telapak tangannya.
Kukira dia akan merangkulku dengan kuat, dan berseru,

―Apa yang kamu lakukan? Pura-pura sakit segala. ‖


Tapi Yuki sama sekali tidak peduli dengan apa yang aku katakan, wajahnya
berseri-seri ketika dia memperlihatkan telapak tangannya ke hadapan
wajahku.

―Ini, coba lihatlah sendiri."

Aku tidak tahu apa yang dia katakan. Apa yang kupikirkan hanya rasa sakit
dipunggungku, dan sensasi lembut di atas perutku karena merasakan pantat
Yuki. Melihat reaksiku yang sedikit aneh, Yuki cemberut dan mengerutkan
bibirnya.

―Tidak bisakah kamu sedikit lebih senang?‖

―Eh. Erm, senang dengan apa? "

―Waktunya. Lihat, buka matamu lebar-lebar ‖

Aku menghabiskan sekitar 10 detik untuk memahami apa yang dia katakan.
5 detik kemudian, aku menerima kenyataan yang ada di depanku. Awalku
dikumpulkan pada waktu yang ditunjukkan pada stopwatch di tangan Yuki.

Itu adalah rekor 100m baru.

Aku mengalahkan rekor Takeshita.

―Kenapa?"

Tiba-tiba, air mataku mulai mengalir. Jauh di dalam mataku muncul senyum
Yuki. Stopwatch ada di mataku. Ah, aku tidak bisa melihat lagi.

―Hhm, Yoshi-kun, aku pikir kamu sudah lama melampaui Takeshita-kun,


tapi kamu sangat mengaguminya sehingga kamu entah bagaimana akhirnya
berlari dengan cara menghemat tenagamu. Saat kamu mencapai 50m
terakhir, kamu selalu melihat ke bawah. Itulah yang menyebabkanmu sedikit
lambat. Kau bisa saja melihat ke depan, tapi kau tidak melakukannya. Kurasa
kurang benar, lebih tepatnya, kamu tidak bisa melakukan itu, ‗kan?
Takeshita-kun yang berlari di depanmu sepanjang waktu, sekarang sudah
tidak ada lagi, dan Kamu merasa takut. Kamu benar-benar mengagumi
Takeshita-kun. ‖

Aku menutupi mataku dengan tanganku, menggertakkan gigiku. Jika tidak,


banyak hal akan mengalir keluar. Lebih penting lagi, aku tidak ingin Yuki
melihat ekspresiku saat ini.

―Ia memang cowok yang luar biasa. Jika orang itu masih berlari,
kecepatanku tak sebanding dengan dirinya. Itulah yang ingin aku lihat. Ah
ya, Aku ingin melihat Takeshita yang lebih cepat daripada Ia. ‖

Tetapi orang seperti itu tidak ada.

Aku tahu itu. Aku tahu seberapa keras usahaku, berdoa untuk itu, dan
meminta Yuki membantuku mencapai tempat itu, tapi yang aku harapkan
tak pernah ada. Meski begitu—

Yuki menggerakkan lenganku ke samping, dan menggunakan jempolnya


yang panjang dan kurus untuk menghapus air mata yang mengalir di pipiku.
Di sebelah Kanan dan kiri. Setiap air mata yang kutumpahkan, dia menyeka
semuanya untukku.

Pandanganku menjadi jelas lagi. Aku akhirnya mengerti apa yang ada di
tempat dimana aku berusaha keras untuk menggapainya.

"Selamat. Kamu sudah bekerja keras, Yoshi-kun. ‖

Di hadapanku ada senyum Yuki.

Serta kata-katanya.

Aku kira semua kerja kerasku telah terbayar penuh.

❀❀❀
Dalam perjalanan pulang, kami mampir ke minimarket lagi.

Sebagai rasa terima kasih kali ini, aku menawarkan traktiran dengan es krim,
dan dia membeli es krim seharga 300 yen. Tidak, yah, itu tidak terlalu
penting. Setelah ragu-ragu, aku juga memilih merek es krim yang sama. Yuki
memilih rasa stroberi, sementara aku memilih rum dan kismis. Kurasa tidak
apa-apa boros sedikit, karena kita sedang merayakannya.

Kami duduk berdampingan, di tempat yang sama, dan menemukan bangkai


tonggeret di sana.

Musim panas akan segera berakhir.

Yuki menatap kulit tonggeret tanpa jiwa di tanah, dan bergumam.

―Tonggeret menghabiskan sekitar 6 tahun menunggu di dalam tanah."

―Aburazemi* pun sama. Kalau tak salah, aku pernah membaca di suatu
tempat bahwa seperti Aburazemi, ada tonggeret yang menunggu 17 tahun di
tanah. " (TN: Sejenis serangga)

―Ya. Dan dalam seminggu di atas tanah, mereka akan mati. Apa artinya itu? "

― ... Setidaknya, ada misi untuk melanjutkan ke generasi berikutnya.‖

― Itu mungkin bagi yang betina, tapi yang jantan berbeda. Tonggeret jantan
bisa kawin dengan banyak, jadi ada jantan yang tidak bisa membuat anak.
Jadi, apa kamu pikir kalau yang jantan punya tujuan untuk hidup?‖

Kata-kata Yuki tampak pedih, jadi aku berpikir sedikit serius, dan menjawab,

―Makna hidup memliki arti yang berbeda menurut persepsi masing-masing,


dan kupikir ini bukanlah sesuatu yang bisa aku setujui atau menolak dengan
mudah. Tapi, yang pasti, mereka berusaha keras untuk hidup.‖

―Meski begitu, itu tak ada gunanya sama sekali.‖


―Kurasa tidak. Itulah yang kau ajarkan padaku, Yuki. Jika aku bekerja keras
dan mencapai tujuan tertentu, meski tidak ada yang aku inginkan, akan ada
hal lain untuk ditemukan. Dan Aku menemukannya. Bahkan, sepertinya
tonggeret bisa bertahan selama sebulan.‖

―Kamu bohong.‖

―Aku tidak bohong, kok . Sulit untuk membesarkan mereka, dan itulah
sebabnya mereka tidak bisa bertahan lebih dari seminggu. Itu sebabnya
banyak yang salah. Faktanya, tonggeret liar bisa hidup selama sebulan.
Itulah yang dikatakan TV, dan itu sebabnya mereka pasti akan menemukan
sesuatu ‖

Bagian terakhir hanyalah penghiburan.

Ini hanyalah kebohongan murah yang kubuat untuk membuat Yuki


tersenyum.

Sejujurnya, aku tidak peduli dengan apa yang terjadi pada tonggeret. Walau
begitu, jika Yuki menginginkannya, aku akan berdoa, berharap hidupnya
akan bermakna.

Yuki akhirnya mengambil sendok, dan membawa es krim yang agak meleleh
ke dalam mulutnya. "Enak, enak." Ucapnya, dan aku terus mengawasinya
ketika aku membuka tutupnya.

―Hm? Ngomong-ngomong, apa kamu menemukan sesuatu, Yoshi-kun? ‖

― Rahasia, dong. ‖

Dalam situasi apa pun aku tidak boleh mengatakan ini. Jadi, itulah yang aku
jawab sebagai gantinya.

"Tapi aku merasa kalau hari musim panas ini adalah waktu yang pasti takkan
kulupakan saat aku tumbuh dewasa."

Walau hari ini akan menjadi masa lalu, meski aku bertambah tua, sekalipun
waktu berlalu dan memudar.
Aku takkan pernah melupakan panas musim panas ini,

Air mata dan keringat yang tercurah,

Manisnya es krim yang kumakan,

Keharuman bunga sakura.,

Dan sesuatu yang penting yang aku dapatkan.

Yuki menatap sendok plastik, lalu bergumam.

Hari mulai gelap, dan aku tidak bisa melihat ekspresinya.

Yang kudengar hanyalah dia tampak cemberut—

―Dasar pembohong.‖
Pertemuan 12 - Aroma Musim Semi

―Boleh minta tolongnya sebentar?‖

Aku didekati oleh seorang gadis yang tidak pernah kutemui.

Ini terjadi saat aku berada di toko buku sebelah stasiun, mencari-cari karya
baru dari penulis favoritku.

Suaranya terdengar agak tinggi dan nyaring, mungkin karena dia sedikit
gugup.

―Aku ingin buku itu. Apa kamu bisa mengambilkannya untukku?‖

Jari rampingnya menunjuk ke deretan tertinggi di rak buku yang dipenuhi


buku. Tapi ada sampul dari berbagai warna yang tersusun berantakan di
sana. Aku tidak tahu buku mana yang dia tunjuk.

―Buku yang mana?‖

―itu, yang sampulnya biru.‖

―Ah.‖

Saat aku melihat buku itu, aku berseru.

Itu adalah buku yang aku cari-cari. Seperti yang dia katakan, hanya ada satu
buku seperti itu. Itu ditempatkan di rak buku, dan bukan di sudut publikasi
terbaru.

―Ada bangku di sebelah sana.‖

Dia sama sekali tidak melihat reaksiku saat dia menunjuk jarinya ke bangku
yang ada di sebelah aku. Mataku mengikuti jarinya dari rak ke bangku.
Dan kemudian, aku melihat ke arah gadis itu lagi.

Dia memiliki wajah yang imut, rambut pendeknya menutupi matanya.


Tingginya hampir sama denganku, atau mungkin sedikit lebih tinggi.
Seharusnya dia bisa mengambil buku itu sendiri jika dia mau.

Dia tidak mau mengambilnya sendiri, karena baju yang dia pakai.

Dia mengenakan rok mini.

Karena dia berpakaian seperti itu, mungkin roknya akan tersingkap jika dia
menjinjit. Jadi begitu. Sepertinya cewek punya banyak hal yang harus
mereka perhatikan.

Aku melakukan apa yang dia suruh, memindahkan bangku, dan meraih buku
bersampul biru. Badanku tidak cukup tinggi, jadi aku berjingkat-jingkat, dan
nyaris tidak menyentuh sampul buku baru yang mengilap itu. Ini adalah
karya baru dari penulis setelah dua tahun hiatus, dan itu berada di
genggamanku. Tapi ...

Rasanya agak bertentangan, aku menyerahkan buku yang kuperoleh dengan


banyak kesulitan, kepada gadis tersebut.

―Terima kasih.‖

Dia mendekap buku itu dengan erat.

―Ah, tidak apa-apa. Kau suka karya penulis ini?‖

―Yap.‖

―Aku juga suka penulis ini.‖

Aku berusaha untuk tidak terdengar terlalu sedih, tapi nampaknya gadis itu
menyadari beberapa hal dalam nada suaraku, karena dia terlihat agak
muram.

―Apa kamu mencari buku ini juga?‖


―Aku tidak pernah mengira kalau bukunya akan berada di tempat itu.‖

―Aku juga tidak dapat menemukannya, jadi aku bertanya kepada petugas.
Aku diberitahu "Cuma ini satu-satunya yang tersisa". "

― Begitu ya. Jadi bukunya cuma tinggal satu? Sayang sekali. Kurasa aku akan
pergi ke tempat lain untuk mencari. ‖

Aku berbohong sambil tersenyum.

Aku sudah mencari semua toko lain sebelum datang ke sini.

Di kota kecil tempat aku tinggal, toko buku takkan menjual buku apa pun
kecuali karya yang berharga, buku yang diadaptasi menjadi film, atau karya
terlaris, bahkan jika itu adalah karya baru. Ini salahku karena terlalu naif
untuk berpikir kalau aku bisa mendapatkannya pada hari penjualan, dan
terlalu malas untuk pre-order.

Sepertinya aku harus menyerah.

Aku menjatuhkan bahuku dengan sedih, dan menuju pintu keluar.

―Tunggu!‖

Untuk beberapa alasan, dia memanggilku.

―Eh?‖

―Jika kamu tidak keberatan, bagaimana kalau aku meminjamkanmu buku


ini? Saat aku sudah menyelesaikan buku ini.‖

―Mengapa kau meminjamkanku?‖

―Karena aku sendiri suka membaca. Aku tahu perasaan ingin membaca buku
sesegera mungkin.‖
Dan sementara aku bingung bagaimana menjawabnya, dia menundukkan
kepalanya dengan canggung karena suatu alasan. "Erm, maafkan aku jika
terlalu lancang." Dari suaranya yang sangat kecil itu, aku menyadari butuh
keberanian besar bagi dirinya untuk memanggilku.

Tiba-tiba dadaku menjadi panas, dan aku secara alami melihat ke bawah.

―Tidak apa-apa. Terima kasih. Aku sangat berterima kasih. Namaku Segawa
Haruyoshi. Senang berkenalan denganmu. ‖

Setelah mendengar kata-kataku, dia menghela nafas lega, dan tersenyum


cerah.

―Iya. Senang berkenalan denganmu, Segawa-kun. 我 叫 Shiina Yuki.‖

Ini terjadi di musim semi, pada akhir semester kelas dua SMP.

Begitulah aku bertemu Yuki Shiina.

❀❀❀

Setelah kami meninggalkan toko buku, kami pergi ke kafe yang ingin
dikunjungi Shiina-san.

Kami berhati-hati membuka pintu kayu, dan bel di dalam berdentang dua
kali. Saat tiba di dalam, alunan musik jazz yang belum pernah aku dengar
memenuhi suasana kafe, dan aroma kopi memenuhi sudut-sudut toko.

Rasanya seperti tempat untuk orang dewasa.

Waktu berlalu dengan lambat dan elegan di sini.


―Selamat datang. Ara, ara, ternyata ada dua tamu imut yang sedang
berkunjung. ‖

Ada seorang Onee-san yang menyambut kami di toko. Nampaknya cuma


kami satu-satunya pelanggan yang ada. "Pilih tempat duduk yang kamu
suka." Ucap Onee-san itu sembari berseri-seri.

Aku melihat-lihat interior toko, dan tanpa ragu, Shiina-san duduk di kursi
dengan pencahayaan yang paling terang. Aku bergegas, dan duduk di
hadapannya.

Sinar matahari bulan Maret yang bersinar dari luar jendela benar-benar
hangat.

Aku ingin menguap, tapi aku menggertakkan gigiku, untuk menahannya.


Shiina-san yang melihatku terkikik. ―Kamu seperti kucing saja.‖

―Kita harus memesan sesuatu. Apa yang kamu inginkan, Segawa-kun? ‖

Aku melihat menu yang diletakkan di atas meja, dan kaget.

Tidak ada banyak daftar pada menu, tapi masing-masing item sangatlah
mahal. Satu kaleng coke seharga 450 yen, dan teh hitam seharga 1000 yen.
Siapa yang akan memesan barang seperti itu? Mungkin bos perusahaan. Aku
tidak tahu. [TN: Asumsi 1 yen = 130 rupiah]

Shiina-san sepertinya sangat akrab dengan tempat ini ketika dia memesan
secangkir kopi hitam, jadi aku memesan yang sama. Walau aku tidak pernah
minum kopi.

―Ini untukmu. Ini adalah buku yang baru saja aku bicarakan.‖

Setelah kami memesan, Shiina-san mengeluarkan dua buku dari tasnya. Aku
menerima salah satu dari dua buku tersebut.

Ini buku yang dia punya, bukan buku yang baru dia beli.
Kami berbicara tentang buku saat dalam perjalanan dari toko buku ke kafe.
Selama waktu itu, Shiina-san merekomendasikanku sebuah buku.

Dia kebetulan membawa buku itu, dan meminjamkannya padaku. Sementara


dia membaca karya baru, aku bisa menghabiskan waktu untuk membaca ini.

―Aku pikir kamu akan menyukainya.‖

―Semoga saja.‖

Sebelum mulai membaca, aku membolik-balik beberapa halaman. Kopi yang


kami pesan disajikan di atas meja.

Aroma unik nan kaya melayang santai bersama dengan uap.

―Selamat menikmati.‖

Onee-san itu membungkuk ke arah kami, dan kembali ke konter. Kepang


panjang di belakang kepalanya bergoyang-goyang dengan riang.

Aku memandangnya, meski secara tidak sadar. Untuk beberapa alasan,


Shiina-san cemberut, seolah-olah mengomeliku.

―Apa kamu melihat Onee-san yang tadi?‖

―Eh?‖

―Jadi dia itu tipemu?‖

―Tidak. Tapi, yah, aku pikir dia sangat cantik. Rambut panjangnya terlihat
bagus, dan dia sangat feminin. ‖

―Hmm, jadi kamu suka gadis berambut panjang ya.‖

Shiina-san menyentuh rambutnya, dan mendesah. Dengan cara yang akrab,


dia mengangkat cangkir dengan tangannya, dan membawanya ke bibirnya.
Dia tidak menambahkan susu atau gula, dan terlihat sangat elegan. Bahkan
caranya meminum kopi terasa seperti karya lukisan.

Tapi aku harus menambahkan sesuatu di sini. Sampai saat ini, dia secantik
lukisan.

Shiina-san perlahan membawa kopi ke bibirnya, dan saat dia meneguknya,


dia mengerang. Ada apa dengannya?

―Rasanya pahit. Apa-apaan ini? rasanya pahit banget. "

― Eh? Kau biasanya tidak minum ini?‖

―Sebenarnya, baru pertama kalinya aku minum ini.‖

―Tantangan pertamamu adalah kopi hitam, ya?‖

―Tapi sepertinya semua wanita yang membaca di kafe ini meminum kopi
hitam.‖

Shiina-san mengerang, tampak seolah-olah diracuni, dan mengulurkan


tangan ke botol kecil di ujung meja. Dia mengambil dua kubus gula ke dalam
cairan hitam, mengaduknya dengan sendok, dan menyesapnya. Lagi-lagi dia
meringis, dan menambahkan gula batu lagi.

Setelah itu, dia dengan hati-hati meneguk lagi, ―Yap.‖ Dan mengangguk
gembira.

―Sekarang bisa diminum.‖

Sejujurnya, aku sedikit gugup menghadapi Shiina-san yang terlihat seperti


orang dewasa, tapi setelah melihat ini, aku menghela nafas lega. "Ini benar-
benar pahit." Ujar Shiina-san seraya terus menambahkan gula ke dalam
kopi, dan jelas sekali kalau dia adalah gadis seusiaku. Tak ada alasan bagiku
untuk merasa gugup.

―Bagaimana denganmu, Segawa-kun? Apa kamu sering minum kopi? ‖


― Sebenarnya, aku juga baru pertama kalinya minum ini. ‖

Aku mengatakan yang sebenarnya. "Ahahaha." Shiina-san tertawa.

―Kalau begitu kamu sama saja seperti aku. Apa kamu mau nambah gula?
Atau Kamu akan menantang kopi hitam ini?‖

―Yah, karena ini kesempatan yang langka, jadi aku ingin menantangnya.‖

Sama seperti Shiina-san sebelumnya, aku menyesap kopi tanpa


menambahkan apapun. Pada saat itu, perasaan pedas dan pahit menyengat
lidahku. Aku hanya bisa mengerutkan kening. Lidahku terasa kelut. Aku
melukai lidahku karena air panas. Aku buru-buru meneguk air, dan
meletakkan es di ujung lidahku.

―Bagaimana? Rasanya pahit banget, kan?‖

―Lidahku serasa terbakar.‖

―Tak disangka kamu ini ceroboh juga ya, Segawa-kun.‖

Ucap Shiina-san sembari menyesap kopi, mukanya mengernyit lagi. Setelah


ragu-ragu, dia juga mendinginkan lidahnya. Aku tahu apa yang terjadi
padanya. Pasti lidahnya merasakan hal yang sama denganku saat ini.

―Kau juga sama cerobohnya.‖

Aku berkomentar dengan gembira. Shiina-san terlihat sedikit canggung saat


dia memasukan es ke mulutnya.

❀❀❀

Suara membalik kertas bergema di dalam toko. Begitu kami mulai membaca,
pelayan Onee-san mematikan musik, dan pergi ke alam mimpi. Dia terlihat
sangat nyaman. Mungkin dia mengalami mimpi yang indah, karena dia
tersenyum.
―Hei,"‖

Aku dipanggil, dan mengangkat kepalaku. Aku melihat Shiina-san menutup


buku dan menghadap ke arahku. Aku menyelipkan penanda buku, dan
menutupnya. Cangkir kopi di atas meja sudah kosong, dan gelas-gelas air di
sebelah kami pun sudah setengah kosong.

―Ada apa?‖

―Bagaimana menulis kanji 'Haru Yoshi'?‖

―Kenapa kamu mendadak menanyakan itu?‖

―Bukan apa-apa, sih, aku cuma sedikit penasaran. Lagipula itu nama yang
langka.‖

―Apa ini tentang novel? Pertanyaan jebakan yang berkaitan dengan nama,
atau sesuatu seperti itu? ‖

Tubuh Shiina-san bergetar. "Bu-Bukan seperti itu, kok." Dia bersikeras


membantah. Kebohongannya terlihat jelas, saking jelasnya sampai dia
meninggikan nada suaranya di akhir.

Setelah memikirkannya beberapa saat, aku mengarahkan jariku pada tetesan


di atas kaca, dan menggunakan tetesan itu untuk menulis di atas meja.
Tetesan membentuk garis-garis pada permukaan, garis-garis yang menyatu
membentuk kata-kata. Segera setelah itu, kata-kata 'Haruyoshi, 春 由'
terbentuk.

―Begini kanjinya.‖

―Ehh. Ah, kebetulan sekali. ‖

Shiina-san menggambar kata 'ki, 希' di belakang 'Yoshi, 由'.

[TN: Haru [春] memiliki arti musim semi, dan Yoshi [由] memiliki arti
alasan. Kanji yang Haruyoshi menggunakan pengucapan Kunyomi. Kanji [
由] mempunyai pengucapan Kunyomi [Yoshi] dan Onyomi [Yu, Yuu], Kanji
[希] mempunyai arti Harapan, doa, atau permohonan.]

―Yuki 由 希‖, Gumamku.

―Kita berdua berbagi kata.‖

―Bagus sekali.‖ Ujar Shiina-san.

Kami terus membaca, mengobrol dari waktu ke waktu, dan memesan kue.
Tanpa kami sadari, hampir lima jam berlalu. Tidak ada pelanggan lain yang
mengunjungi toko ini.

Suhu malam menurun drastis, dan lampu warna-warni membentuk cahaya


buram di kota.

Aku bisa melihat bintang-bintang di langit.

Shiina-san memberitahuku nama-nama dari beberapa bintang, jadi aku


bertanya padanya posisi mana bintang yang dia sebutkan, tapi sepertinya dia
hanya tahu namanya saja.

Saat aku mengantar Shiina-san kembali ke stasiun, dia memberiku buku


biru, seperti yang dijanjikan. "Terima kasih." Aku membungkuk penuh
terima kasih. Beratnya hard cover membuatku gembira.

―Ngomong-ngomong, apa kamu besok sibuk, Segawa-kun? Sekarang masih


liburan musim semi, bukan?‖

―Aku ada latihan lari saat pagi, tapi kalau sore, aku punya waktu luang.‖

Jika ada yang harus dilakukan, kurasa aku hanya ingin menghabiskan waktu
sore untuk membaca buku ini.

―Kalau begitu, apa kita bisa bertemu lagi di sore hari? Aku ingin berbicara
tentang buku ini, dan kesanmu? ‖
Aku ingat bahwa, meski kami menghabiskan sepanjang hari hanya dengan
membaca dan mengobrol, kami berdua merasa senang. Shiina-san mulai
panik, mungkin karena dia melihat kalau aku diam saja, tak membalas
ajakannya.

―Ah, tapi kamu tidak perlu menyelesaikannya besok, Segawa-kun. Kamu bisa
membicarakan buku yang kamu baca juga. Ya, aku benar-benar menikmati
hari ini. ‖

Ah. Kenapa? Melihat Shiina-san memiliki perasaan yang sama denganku,


aku merasa benar-benar bahagia.

―Baiklah. Sampai jumpa besok.‖

―Ya.‖

Saat kita akan berpamitan," Ah." Shiina-san berseru saat dia menunjuk ke
atas langit. Kabut putih yang terjadi saat kami berbincang-bincang sudah
menghilang. Musim semi telah tiba, musim dari semua permulaan. Saat ini,
Musim dingin sedang terkubur lenyap menunggu waktu gilirannya.

―Aku tahu bintang itu.‖

Dia memberitahuku nama bintang oranye terang itu.

―Namanya Arcturus. Orang Hawaii menyebutnya Hōkūleʻa, sebuah bintang


kebahagiaan. ‖



Begitu aktivitas klub berakhir, aku berjalan menyusuri koridor. Pada saat ini,
objek putih bulat berkelebat dengan cepat. Waktu berlalu perlahan selama
liburan musim semi, terutama di blok samping dengan ruang klub. Dengan
demikian, kecepatan itu benar-benar menarik perhatianku. Jadi, tadi itu
apa?
Aku berjalan sembari memikirkan wujud sebenarnya dari objek yang
menarik perhatianku, tiba-tiba kepalaku ditepak dari belakang.

―Aduh. Siapa sih yang jail?‖

―Hei, Haru.‖

Namaku kemudian dipanggil. Suaranya terdengar akrab.

―Akane, bisa ngga sih jangan seenaknya nepak kepala orang?‖

Aku memanggil nama pelakunya saat berbalik, dan melihat temanku Akane
Rindou mengembungkan pipinya dengan marah. Dia memegang plastik
putih di tangan kanannya. Jadi ini wujud putih tadi. Sepertinya ada banyak
jus di dalamnya.

Mungkin beberapa hadiah untuk juniornya.

Sejak musim panas lalu, dia diangkat menjadi kapten tim renang.

―Tidak, ini memang salahmu, Haru.‖

―Memangnya aku melakukan sesuatu yang salah?‖

―Ini salahmu karena tidak melakukan apa-apa. Kamu setidaknya harus


menyapa teman sekelas yang lewat. Ampun deh, kamu selalu seperti ini,
Haru, bertindak seperti tidak ada yang terjadi. Itu tidak baik, loh. ‖

Perkataannya sungguh tidak masuk akal, tapi karena Akane berkata begitu,
aku yang pasif ini memilih untuk menundukkan kepalaku meminta maaf.
Baiklah, ayo selesaikan ini dengan cepat.

―Maaf. Karena tak menyadari kalau kau di sana, Akane. Aku sedang
melamun.‖

―Jadi maksudmu aku tidak punya hawa keberadaan? Kembalikan hati


gadisku yang berharap kalau kamu akan berbicara denganku.‖
―Aku terkejut.‖

―Terkejut karena apa?‖

―Terkejut karena kau memiliki hal seperti itu, Akane.‖

Braag.

Ah, entah kenapa, aku mendengar suara yang seharusnya tidak kudengar.

―Kamu pikir aku ini apa?‖

Mata tsurime Akane benar-benar menatap tajam. Dia mengangkat senjata


tumpul di kedua tangannya. Akane cukup kurus, tapi karena latihan
renangnya, tubuhnya cukup berotot. Ya. Aku tahu bahwa kekuatan lengan,
dia jauh lebih kuat dariku. Pada titik ini, akan sangat berbahaya. Aku terus
menghindarinya berulang kali, demi keselamatanku sendiri.

―Oooi, ini berbahaya. Tolong berhenti.‖

―Diam!‖

―Aku mengerti. Aku benar-benar minta maaf.‖

―Lalu apanya yang kamu mengerti?‖

―Eh, Hmm…yah…..‖

―Jadi, kamu sama sekali tidak mengerti!‖

―Bukan begitu, erm. Ya. Aku mengerti kalau Kau adalah gadis yang sangat
menawan. ‖

Saat aku meneriakkan itu, senjata tumpul menyerempet hidungku.


Jantungku berdebar kencang, dan terdengar sangat keras. Tubuhku
gemetaran. Untuk sesaat, tubuhku menggigil, dan keringat dingin
bercucuran keluar.
Aku tidak tahu apakah keputusasaanku mencapai dirinya, namun Akane
akhirnya menghentikan serangannya.

―Entah kenapa, rasanya seperti kamu mengatakan itu bukan dari lubuk
hatimu. Itu menyebalkan.‖

―Lalu apa yang harus kukatakan?‖

―Ter — serah. Aku juga salah karena terlalu berharap padamu, Haru. Kedua
belah pihak sama-sama salah.‖

Tidak, Cuma aku satu-satunya yang menderita. Kali ini, aku berhasil
menelan kata-kata ini ke tenggorokanku. Jika tidak, aku hanya
menambahkan minyak ke dalam kobaran api. Aku takkan membuat
kesalahan yang sama lagi.

―Jadi, apa yang sedang kamu lakukan?‖

―Apa? Latihannya sudah selesai, jadi aku mau kembali ke ruang klub. Kau
sendiri?‖

―Yah, aku membersihkan ruang klub dengan yang lainnya sebelum ada
anggota baru yang masuk. Kamu boleh bantu kalau mau. Aku bisa
mentraktirmu dengan jus.‖

―Maaf. Aku sudah ada janji. ‖

Usai mendengar itu, alis Akane yang bentuknya bagus sedikit mengerutkan.

―Ada janji lagi? Belakangan ini, rasanya kamu menjadi antisosial, Haru. Apa
ini sama seperti terakhir kali saat kamu bilang ada janji tapi ternyata kamu
pergi sendirian?‖

―Tidak, tidak, tidak. Aku benar-benar punya janji dengan seseorang hari ini. ‖

―Hmm. Kurasa apa boleh buat. Sayang sekali. Tapi yah, boleh minta
waktunya sedikit?.‖
―Sudah kubilang kalau aku punya janji.‖

―Aku tidak memintamu untuk membersihkan ruang klub bersamaku. Aku


sedang istirahat. Aku takkan menyita banyak waktumu. Lagian, Aku harus
mengantarkan jus ini. Karena kamu berjalan sambil melamun, itu artinya
kamu punya banyak waktu, ‗kan? ‖

Akane benar. Masih ada 40 menit sampai janji ketemuan.

―Yah, itu, aku tidak keberatan.‖

―Kalau begitu, sudah diputuskan ...‖

Akane menjentikkan jarinya, dan meletakkan tumpukan jus di tiang. Dia


kemudian mulai membuka jendela koridor satu per satu.

Setiap kali dia membuka jendela kaca transparan, rambut pendek Akane
akan berkibar karena angin. Wajahnya mengepul dengan udara panas,
mungkin karena berjalan jauh. Wajahnya terlihat merah muda.

―Ahh — anginnya benar-benar terasa sejuk.‖

―Yeah.‖

Aku menjulurkan kepalaku dari jendela yang sama dengannya, dan entah
kenapa, dia menunjukkan wajah yang aneh. "Hiee," pekiknya. Dia agak
menjauh dariku, dan aku benar-benar merasa sakit hati.

Demi menyembuhkan hatiku yang hancur, aku melihat ke arah bukit. Cuaca
hari ini sangat cerah, dan tempat-tempat yang jauh semuanya bisa terlihat
dengan jelas. Warna merah muda yang tersisa mungkin sisa bunga sakura,
atau mungkin bunga prem.

―Senior di klub sudah lulus, kan?‖

Ujar Akane sembari mengarahkan jarinya ke jendela di dekatnya.

Suaranya tidak selantang sebelumnya.


―Ya.‖

―Apa kamu tidak takut saat ada banyak hal terjadi secara tiba-tiba? Seperti,
tahun depan, dan sebagainya. Apa aku benar-benar bisa menangani
semuanya? ‖

Ah, jadi ini sebabnya Akane memanggilku.

Namun sayangnya, Akane memanggil orang yang salah.

Memang benar baik Akane dan aku akan menjadi senior, dan kami akan
menjadi ketua klub.

Namun Akane juga membawa harapan seluruh sekolah. Pada tahun


sebelumnya, dia nyaris masuk ke tingkat nasional. Beban yang
ditanggungnya adalah sesuatu yang tidak bisa aku tandingi.

Aku berbalik, dan menyandarkan tubuhku di pagar. Aku menyantaikan


tubuhku, melihat ke atas, dan melihat matahari setengah tersembunyi di
balik atap.Hal Itu menyebabkanku menyipitkan mata.

Silaunya. pikirku.

Bukan sinar matahari yang membuatku silau, melainkan si Akane.

Bagiku, reaksi alami setelah mengalami kekalahan adalah rasa penyesalan.

Mereka yang tidak memiliki pemikiran seperti itu takkan pernah


menjadikannya sebagai pesaing. Akane takut akan hal itu karena ada sesuatu
yang setimbang dengan upaya yang dia lakukan.

Dan aku tidak memilikinya.

Pikiranku dipenuhi dengan pola pikir pasif nan klise 'tidak apa-apa', 'kamu
bisa melakukannya'. Baginya, kata-kataku yang tidak berguna ini mungkin
akan terasa hampa.

Bahkan jika aku berusaha berpikir keras tentang itu—


Ah, bagaimanapun juga ini tidak berguna.

Matahari yang setengah tersembunyi membakar kulitku. "Ahh." Aku


membuka mulut, dan untuk beberapa alasan, terasa kering, mungkin karena
kata-kata busuk yang mencapai di belakang gigiku telah menguap.

Aku tidak punya hal lain untuk dikatakan.

―Ngomong-ngomong, tau tidak? Guru matematika, Matsue-chan akan segera


menikah, loh. ‖

Pada akhirnya, aku memilih untuk melarikan diri dengan mengganti topik
pembicaraan.

Akane tidak mengatakan apa-apa, dan memaafkan ketidakjujuran ini yang


menjadi ciri khasku.

―Yang bener? Sama siapa? Guru olahraga, Jimi-sensei? Guru bahasa, Yone-
sensei? Ada banyak rumor tentang dirinya. Jadi dia akhirnya memilih salah
satu dari mereka?‖

―Eh, Matsue-chan punya banyak rumor?‖

Aku sedikit terkejut. Aku selalu berpikir kalau beliau adalah guru yang polos
dan cantik.

―Kamu terlalu naif, Haru. Jika kamu tidak hati-hati, kamu akan disesatkan
oleh gadis nakal, tahu?‖

Akane tertawa.

Aku juga ikut tertawa.

Waktu sepele yang berlalu dengan tenang.

Suatu hari,
Apakah aku juga bisa menemukan sesuatu yang bisa membuatku berusaha
sekuat tenaga?

Pikirku sembari menatap langit biru yang cerah.



Aku mengucapkan selamat tinggal pada Akane, dan bertemu dengan Shiina-
san seperti yang dijanjikan. Dia datang ke suatu tempat dekat sekolah untuk
menjemputku. Saat aku melihat sosoknya bersandar di telepon, "Selamat
sore." Dia menyapaku.

―Karena kau sudah di sini, apa kau mau melihat aktivitas klubku?‖

―Aku sebenarnya pengen, tapi kamu tidak berlari sendirian, ‗kan, Segawa-
kun?‖

―Tentu saja. Lagipula itu adalah aktivitas klub. Aku berlari dengan yang lain.‖

―Hm, kalau begitu, tidak jadi, deh. Itu bukan tempat yang bisa aku masuki.‖

―Kurasa kau tidak akan ketahuan.‖

―Bukan itu masalahnya. Itu hanya aturan yang aku buat untuk diriku sendiri.

Kami mengobrol ringan, dan pergi ke daerah pantai di dekat sekolah, seperti
yang disarankan Shiina-san. Kupu-kupu dengan sayap putih murni terbang
di sekitar bunga Nanohanas keemasan, seolah-olah tengah menari-nari.

Shiina-san dengan gembira meraih satu kupu-kupu yang belum berhenti,


dan ujung jarinya menyentuh salah satunya.
Tanpa menatapku, dia bertanya,

―Hei, Segawa-kun, mengapa kamu membantuku mengambilkan buku itu di


toko buku?:

Dia menarik kembali jarinya, dan kelopaknya bergetar. Getaran itu mencapai
kelopak lainnya, dan kupu-kupu bereaksi ketika mereka terbang ke langit.
Sampai akhir, Shiina-san menyaksikan kupu-kupu terbang bersama angin,
berkibar dengan anggun.

―Kau sendiri yang memintaku untuk mengambilkannya, bukan?‖

―Memang benar. Tapi kamu juga mencari buku itu, Segawa-kun. Kamu
menginginkannya juga, jadi kenapa memberikan buku itu padaku?‖

―Yah, kaulah yang pertama kali menemukannya, Shiina-san. Itu sebabnya


kau punya hak untuk membelinya. ‖

―Apa kamu tidak merasa enggan? ‖

Kurasa, aku mungkin tidak merasa enggan sama sekali, Cuma sedikit rasa
penyesalan.

Aku tidak tahu apakah Shiina-san menganggap jawabanku untuk ya,


"kubilang." Karena tingginya hampir sama denganku, matanya menatap
mataku.

―Sesuatu yang benar-benar kamu inginkan tidak bisa diperoleh jika kamu
tidak menggapainya sendiri.‖

―Apa-apaan itu? Kutipan dari siapa? "

―Ini ajaran dari Sesepuh (pengalamanku). ‖

Usai mengatakan itu, Shiina-san mengulurkan tangannya ke arahku.


Tangannya yang mengepal perlahan terbuka layaknya bunga yang tengah
mekar.
―Bisakah kamu memegang tanganku?‖

―Eh?‖

―Kumohon ?‖

―... Yah, aku bisa.‖

Tepat ketika dia menyentuh Nanohana, aku dengan lembut menyentuh


ujung jarinya, dan jari-jariku meraih miliknya. Akhirnya, telapak tangan
kami menyatu satu sama lain.

Pada saat itu, kami mengerahkan kekuatan, dan tangan kami akhirnya saling
menggenggam.

―Ya. Inilah yang aku bicarakan. Apa kamu mengerti?‖

Aku hanya bisa menggelengkan kepala.

Aku sama tidak mengerti apa maksudnya.

―Andai saja kamu bisa memahami hal ini, Segawa-kun.‖

Aku tidak mendengar apa yang dia gumamkan, dan saat aku bertanya,
Shiina-san menertawakannya.

―Bukan apa-apa. Lebih penting lagi, hari ini kita pergi kemana? ‖

Setelah itu, kami pergi ke banyak tempat.

Kami pergi ke pusat permainan, arena bowling, dan menonton film. Jarum
jam melewati angka enam, dan saat mengantar Shiina-san ke stasiun kereta,
aku bertemu dengan wajah yang akrab.

Ternyata itu teman sekelasku, Takuma Midou.


Kelihatannya Ia mau nongkrong dengan teman-temannya dari tim bola
basket.

―Yo, ternyata itu elu, Haru? Lu lagi ngapain di sini?‖

Takuma memberi isyarat agar yang teman-temannya pergi duluan.

―Yah, biasa, cuma jalan-jalan. Baru selesai kegiatan klub, Takuma? ‖

―Ya begitulah. Kami akan pergi karaoke nanti. mau ikut?‖

―Kurasa tidak. Aku tidak terlalu akrab dengan anak-anak tim basket, dan
lagipula aku tidak sendirian.‖

―Elu bareng teman-teman klub?‖

―Tidak, bukan mereka.‖

Begitu aku ditanya pertanyaan ini, tiba-tiba aku memikirkan sesuatu.

Apa hubunganku dengan Shiina-san? Sekedar kenalan? Teman? Sementara


aku memikirkan itu, dia menjulurkan kepalanya dari balik bahuku.

―Selamat malam. Apa kamu temannya Segawa-kun?‖

― Eh?‖

Setelah melihat Shiina-san, waktu terasa terhenti bagi Takuma, dan baru
dimulai kembali lima detik kemudian. Yah, aku sendiri tidak heran kenapa
Takuma bertingkah seperti itu. Jika itu aku, aku akan menunjukkan reaksi
yang sama persis.

―Hah? Ehhhhhh, tunggu tunggu tunggu. Siapa gadis cantik ini? Dia bukan
dari sekolah kita, ‗kan? Ngomong-ngomong, eh, eh, jangan bilang elu ... ‖

Ini sungguh pemandangan yang langka.


Takuma adalah cowok cerdas dan atletis, dan Ia biasanya jauh lebih dewasa
dibandingkan cowok seumuran di sekolah kami. Dia selalu bisa menangani
setiap masalah dengan tenang.

Dan mulut Takuma itu menganga, melihat bolak-balik antara Shiina-san dan
aku.

―Tunggu, Takuma. Kau salah paham.‖

―Apanya yang salah paham, dasar pengkhianat.‖

―Tidak, aku menyuruhmu untuk jangan ambil kesimpulan dengan cepat. Aku
tidak mengkhianatimu atau semacamnya.‖

Aku mencoba membujuk Takuma, tapi Shiina-san menarik ujung bajuku. "
sekarang apa lagi?" Pikirku, dan pada saat itu, dia meletakkan tangannya di
telingaku, meniupnya. Itu adalah perasaan yang menghancurkan saraf, dan
aku menutupi telingaku dengan tanganku, berteriak kaget. Aku merasakan
hawa dingin di punggungku, dan pipiku memanas. Apa yang sedang dia
lakukan, sih?

Takuma memelototiku seolah-olah aku adalah musuh yang membunuh


saudaranya.

―Hei, apa maksudnya elu ngga ngehianatin gue? Apa yang baru saja dia
bisikkan padamu? Apa dia berbisik kalau dia menyukaimu? Bukannya kalian
Cuma pamer kemesaraan doang !? ‖

― Tidak, ini bukan seperti yang kau bayangkan. Shiina-san, bantu aku bilang
padanya. ‖

― Ehh, apa perasaanku tidak tersampaikan padamu, Segawa-kun? ‖

Shiina-san dengan sengaja membalikkan tubuhnya, memberikan


kesalahpahaman yang lain. Pukulan fatal yang membuatku benar-benar tak
bisa berkata-kata.

"Sialan !!!" Teriak Takuma.


Kemudian, dia dengan lembut menepuk kepalaku, sebelum berlari ke jalan.
"Haru, elu pengkhianat !!! Riajuuu bakuhatsu shirooooo !! ‖Suara
teriakannnya menggema. Begitu dia menghilang dari pandanganku, aku
bertanya pada Shiina-san, yang tertawa cekikikan terus.

―Kau sengaja melakukannya, ‗kan?‖

―Emangnya aku salah apa, ya?‖

Dia meletakkan tangannya di bawah dagunya, berpura-pura tidak tahu.

―Kau adalah penjahat yang mepercayai kalau apa yang sudah dilakukan
merupakan perbuatan yang tidak salah.‖

―Oke, oke. Apa kamu tidak menyukai itu, Segawa-kun? "

―Eh?‖

―Apa kamu tidak suka kalau orang-orang mengira kamu sedang ada
hubungan seperti itu denganku? "

―... Tidak juga.‖

―Begitu ya. Lalu, tak masalah, ‗kan? Yang lebih penting lagi, aku sedikit
terkejut kalau kamu memanggil teman sekelas dengan nama langsung,
Segawa-kun. Kamu sepertinya tidak memberi kesan seperti itu ...‖

―Aku hanya memanggil yang akrab denganku saja.‖

―Hhmmm. Kalau begitu panggil aku 'Yuki', Segawa-kun. Aku akan mulai
memanggilmu 'Yoshi-kun'.‖

―Kau tidak memanggilku Haru? ―

―Yah, aku benci ‗Musim semi‘ untuk 'Haru', tapi aku suka kata 'Yoshi'. Kami
berdua memiliki kanji yang sama, jadi aku akan memanggilmu Yoshi-kun. "
(TN: Kanji Haru mempunyai arti Musim semi)
―Kau benci musim semi? Kenapa? ―

―... Ketika Musim Semi tiba, udara mulai menghangat, dan salju pun
mencair, menghilang ditelan bumi. Semua orang akan melupakan salju
(Yuki), bukan? Walau masih ada salju di sana, tapi semua orang
melupakannya. Aku benar-benar tidak menyukai hal itu. ‖

Meski kanjinya berbeda, tapi namanya terdengar seperti kata 'Salju' dalam
bahasa Jepang.

Shiina-san mungkin mengalami perasaan dilupakan.

Ini bukanlah sesuatu yang bisa mudah aku terima atau tolak, karena aku
tidak tahu apa-apa tentang dirinya.

Yang aku tahu hanyalah saat mendengar 'Aku benci Musim Semi (Haru)‘,
hatiku terasa sakit layaknya tertusuk jarum.

Karena aku punya firasat kalau dia akan mengatakan salju dan musim semi
tak pernah bisa bersama.

―Hei, Yoshi-kun. Coba panggil aku Yuki. ‖

Namun meski begitu, jika dia mengharapkannya, aku akan memanggilnya


Yuki.

―Baiklah, Yuki.‖

Pada saat itu juga, wajah Yuki memerah.

―Woah, dipanggil dengan nama jauh lebih menakjubkan dari yang aku
sangka. Ini mungkin pertama kalinya seorang cowok selain ayahku
memanggilku begitu. ‖

Aku menyaksikan Yuki berusaha menutupi wajahnya dengan telapak


tangannya, dan tingkahnya terlihat lucu. Namun, kata-katanya terus
terngiang-ngiang di sudut pikiranku, dan terukir jauh di lubuk hatiku.
——Aku benci musim semi.



Pada satu-satunya hari terakhir di liburan musim semi, aku pergi ke taman
Yairo bersama Yuki.

Taman yang dibangun di sekitar danau berukuran 5 km, dan katanya


mempunyai pemandangan yang berbeda jika dilihat dari delapan titik yang
berbeda, demikianlah asal-usul nama Taman Yairo. (TN: Yairo, mempunyai
arti delapan warna/pemandangan)

Sekarang masih hari biasa, dan taman jauh lebih tenang dari biasanya. Di
malam hari, tempat ini akan dipenuhi dengan orang dewasa yang ingin
melihat bunga, tapi kalau siang hari sangat jarang.

Tapi Yuki jauh lebih bahagia dari yang kupikirkan.

―Wow, tak disangka ada tempat seperti ini juga.‖

Kutempatkan tanganku di saku mantel seraya mengikuti Yuki, yang


menyaksikan dengan penuh rasa penasaran. Aku mencari-cari bentuk benda
kecil di sakuku, memeriksa apakah benda itu masih ada di sana. Ini adalah
sesuatu yang bisa diletakkan di telapak tanganku dengan mudah, tapi entah
kenapa rasanya sangat berat, bukan secara fisik. Melainkan, berat secara
emosional yang ditambahkan pada benda ini.

Alasan mengapa aku membawa Yuki ke sini, karena aku ingin mengunnjungi
tempat dimana tidak ada orang yang mengganggu kami, dan memberikan
kepadanya sesuatu yang aku beli kemarin.

Kondisi lain sudah terpenuhi.

Yang aku butuhkan hanyalah suasana keadaan dan waktu, tapi sulit untuk
menemukan waktu yang pas.

Kami berjalan cukup jauh di taman, dan hadiah itu masih memantul di
dalam kantongku.
Sejak aku bertemu Yuki, aku merasa tak berguna. Kupikir aku bisa
menangani urusan dengan sempurna, tapi akhirnya malah jadi salah tingkah
di depan Yuki. Kenapa bisa begitu?

Aku menyaksikan Yuki menunjuk wajahnya dengan jarinya, dan tingkahnya


terlihat lucu. Namun, kata-katanya terus terngiang-ngiang di sudut
pikiranku, dan terukir jauh di lubuk hatiku.

——Aku benci musim semi.

Pada satu-satunya hari libur di liburan musim semi, aku pergi ke taman
Yairo bersama Yuki.

Taman yang dibangun di sekitar danau berukuran 5 km, dan katanya


mempunyai pemandangan yang berbeda jika dilihat dari delapan titik yang
berbeda, demikianlah asal-usul nama Taman Yairo.

Sekarang masih hari biasa, dan taman jauh lebih tenang dari biasanya. Di
malam hari, tempat ini akan dipenuhi dengan orang dewasa yang ingin
melihat bunga, tapi kalau siang hari sangat jarang.

Tapi Yuki jauh lebih bahagia dari yang kupikirkan.

"Wow, tak disangka ada tempat seperti ini juga.‖

Kutempatkan tanganku di saku mantel seraya mengikuti Yuki, yang


menyaksikan dengan penuh rasa penasaran. Aku mencari-cari bentuk benda
kecil di sakuku, memeriksa apakah benda itu masih ada di sana. Ini adalah
sesuatu yang bisa diletakkan di telapak tanganku dengan mudah, tapi entah
kenapa rasanya sangat berat, bukan secara fisik. Melainkan, berat secara
emosional yang ditambahkan pada benda ini.
Alasan mengapa aku membawa Yuki ke sini, karena aku ingin tempat yang
mana tidak ada orang yang mengganggu kami, dan memberikan kepadanya
sesuatu yang aku beli kemarin.

Kondisi lain sudah terpenuhi.

Yang aku butuhkan hanyalah suasana keadaan dan waktu, tapi sulit untuk
menemukan waktu yang pas.

Kami berjalan cukup jauh di taman, dan hadiah itu masih memantul di
dalam kantongku.

Sejak aku bertemu Yuki, aku merasa tak berguna. Kupikir aku bisa
menangani urusan dengan sempurna, tapi akhirnya malah jadi salah tingkah
di depan Yuki. Kenapa bisa begitu?

Cahaya sang mentari bersinar ke arah dedaunan, dan menembusnya.


Bayangan yang terbentuk membentuk kontras hitam dan putih di wajahku.

Di bawah sinar matahari yang lembut tersebut, aku hendak berbicara. Tapi,
aku malah didekati oleh seseorang.

Suara tersebut terdengar lebih dalam, berbeda dari suara Yuki yang nyaring.

―Ah, kalian berdua yang ada di sana. Tunggu sebentar. ‖

― Eh? ‖

Kami menoleh ke arah sumber suara, dan ada paman besar seperti beruang
sedang berlari ke arah kami. Aku bisa mendengar efek suara gemuruh. Dia
terlihat sangat panik, jadi kami langsung berhenti di tempat —— yang mana
itu adalah pilihan yang salah.

Pria itu terengah-engah, dia hampir kehabisan nafas. Ia menuju ke arah


belakangku, dan tiba-tiba meraih sikuku.

―Ahh —— Syukurlah. Tolong ikut dengan kami dulu.‖


―A-apa yang terjadi?‖

―Kami sedang melakukan syuting film, tapi kami kekurangan pemain untuk
adegan terakhir. Itu menyebabkan kami banyak masalah.‖

―Tidak, tidak, tidak, tunggu dulu. Aku tidak mengerti maksud Anda. ‖

― Tidak mengerti, maksudku? ‖

Paman tersebut berbalik ke arahku dengan bingung. Aku melihat sosoknya


dari dekat, dan tak disangka Ia masih lumayan muda. Dia mungkin berusia
dua puluhan, pada fase dimana aku masih bisa memanggilnya Nii-san.

Mata pria itu tertuju pada Yuki yang sedang ada di belakangku, dan mata
bundar yang tersembunyi di balik rambutnya mulai bersinar cerah.

Hal tersebut sangat menyiratkan apa yang Ia pikirkan. Aku ingin segera
kabur, tapi lenganku langsung dicengkeram, dan aku tidak bisa
membebaskan diri. Ia melamun sekitar tiga detik, dan memanggilku lagi.

―Oi, nak.‖

―Tidak mau.‖

Jika aku sendirian, aku mungkin kewalahan oleh orang ini. Namun, sekarang
keadaannya berbeda, karena ada Yuki di belakangku.

―Tapi aku belum mengatakan apapun?‖

―Aku tahu apa yang ingin anda katakan. Kamu ingin Yuki muncul di film.‖

―Tolong pertimbangkan.‖

―Itu mustahil.‖

Dan pada titik ini, Yuki, yang dari tadi melihat keadaannya, mengangkat
tangannya,
―Mengapa kamu memutuskan seenaknya saja, Yoshi-kun?‖

Kami berdua memandang ke arah Yuki.

―... Kamu ingin berakting?‖

―Kedengarannya menyenangkan. Ini cara yang bagus untuk memperingati


hari ini juga.‖

Pria itu tidak melewatkan kesempatan yang ada, dan langsung menimpali
dengan keras.

―Ya, ya. Jangan memutuskan apa yang diinginkan gadis itu, Nak.‖

Kalau begitu, kenapa Anda tidak bertanya pada Yuki langsung? Omong-
omong, sepertinya pria ini tidak berniat untuk bernegosiasi dengan Yuki.
Apa yang terjadi.?

―Hei, ayo, Yoshi-kun.‖

Seluruh proses ini sedikit tidak menyenangkan, tapi aku terpaksa


menerimanya. Bailah, hanya itu yang bisa aku katakan.

―Benarkah? Kalau begitu sudah diputuskan. Kalian berdua akan tampil di


film. Yosh, syukurlah.‖

Pria itu mengambil kesimpulan seenaknya, mungkin untuk mencegah kita


untuk merubah pikiran.

Aku merasa kalah.

Tapi karena aku tidak menyukainya, ijinkan aku melawan sedikit lagi,

―Bisakah Anda melepaskan tanganku sekarang?‖


Adegan syuting berada di bangku yang ada di taman.

Aku tidak begitu yakin dengan adegan sebelum dan sesudahnya, tapi
sepertinya kami akan merekam adegan dari pasangan yang sedang
bertengkar.

Orang yang memanggil kami ternyata adalah sutradara film ini. "Yo
direktur." Ada seseorang memanggilnya, dan Ia membalas, memberikan
tampilan yang sama sekali berbeda dari apa yang baru saja kita lihat. Aura di
sekitarnya segera berubah.

Orang yang memanggilnya adalah Onee-san yang agak gemuk. Dia


mendekati kami, melihat-lihat bolak-balik antara Yuki dan aku, dan akhirnya
menatap pada sosok Yuki.

"Apa-apaan dengan gadis ini? Bukannya dia ini terlalu imut?"

"Ya. Aku ingin dia bermain di film kita."

"Bagus bagus. Untuk film selanjutnya?‖

―Bukan, tapi untuk film sekarang.‖

"Heh?"

Tiba-tiba, suasana membeku. "Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak",
Onee-san itu terus mengulangi kata-kata. "Tidak tidak tidak tidak tidak tidak
tidak."

"Apa yang sebenarnya kamu pikirkan? Ini takkan berhasil, tahu."

"Benarkah? Aku ingin melihat bagaimana penampilannya."

"Oke, aku mengerti perasaanmu. Aku juga ingin melihat penampilannya.


Tapi bagaimana dengan film ini? Aku tidak tahu peran apa yang akan dia
dapatkan, tapi jika dia berakting juga, seluruh film ini akan jadi sia-sia."
"Jangan khawatir. Aku akan menyelesaikan film ini dengan benar. Tapi yah,
aku mungkin menyebabkan kalian beberapa masalah ... usahamu tidak akan
sia-sia. Percayalah padaku."

Sutradara memukul dadanya tanpa ragu.

"...Benarkah?"

"Ya itu benar."

Si Onee-san menyerah dan menghela nafas, mungkin karena percakapan


kecil ini memungkinkan mereka untuk berkomunikasi beberapa hal.

―Haa. Aku mengerti. Kurasa tak ada yang harus kukatakan lagi. Pokoknya,
aku akan menyerahkanmu untuk merekam Kazuha-chan. Dia punya insting
tajam, dan dia akan tahu kapan kita tidak menganggap ini serius. cukup. Jika
itu terjadi, dia akan membuat keributan, dan takkan ada adegan lain untuk
syuting. Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi.‖

―Aku mengerti. Aku akan melakukannya. Maaf, tapi aku akan


mengandalkanmu untuk membimbing mereka berdua.‖

Setelah mengatakan itu, si Sutradara bergegas pergi.

Kami menyaksikan sosoknya, bersama dengan Onee-san yang namanya tidak


kami kenal.

Suasana tegang menghilang dalam sekejap. Ada Onee-san yang tersenyum


senang seperti sutradara itu, dan kami berdua, yang tidak tahu arti dari
percakapan itu.

―Erm, barusan, apa yang kalian berdua bicarakan?‖

―Ahh, jangan khawatirkan itu. Kamu akan mengerti. Tapi, aku akan
mengatakan ini dulu. Orang itu benar-benar egois dan keras kepala, jadi
katakan saja apa kamu ingin katakan padanya.‖
Yuki dan aku bertukar pandang, memiringkan kepala kita karena tidak
memahami perkataan Onee-san.

Pada akhirnya, kami terjebak selama hampir empat jam.

Walau cuma satu adegan, tapi ada beberapa pengulangan.

Tampaknya ini akan diedit menjadi sebuah adegan nanti.

Peran yang kami dapatkan adalah orang lewat A dan B. Jika Yuki berjalan di
depan, dia akan menarik banyak perhatian, jadi si Sutradara memintaku
menjadi perisai untuk menghalanginya.

Meski begitu, reaksi si sutradara setelah melihat adegan pendek yang baru
saja selesai, "Hmm."

―Kurasa dia terlalu banyak menarik perhatian. Mataku selalu tertuju ke


arahnya.‖

Gumamnya, memastikan para aktor tidak mendengarnya, tapi ketika Yuki


dan aku berada di dekatnya, kami mendengarnya dengan jelas. Setelah itu,
kami menyadari si sutradara hanya ingin kami berdua saja yang
mendengarnya, dan itulah sebabnya Ia mengecilkan suaranya.

―Mau lihat?‖

Dia melambaikan tangan kepada kami. Kami mendekat ke arahnya,dan


melihat layar laptop. Layar menunjukkan 10 menit rekaman.

Di tengah rekaman itu ada anak kuliahan yang sedang berpacaran.

Lalu ada kedua pejalan kaki lewat, tidak ada sesuatu yang khusus, dan
mereka hanya berbicara. Tanpa kami sadari, adegan di layar laptop sudah
berubah. Eh, apa yang terjadi? Aku tidak ingat apa yang dibicarakan si
protagonis. Hanya wajah Yuki yang tersisa dalam ingatanku. Dalam ingatan
itu, Yuki dan aku tersenyum, mengobrol. Hal kecil ini saja sudah seperti
keajaiban.

Jika ini adalah film yang lengkap, tentunya aku tidak ingin menghabiskan
waktu untuk menonton adegan lain. Bahkan jika aku melihat seluruh film,
pada akhirnya, yang tersisa di pikiranku mungkin hanyalah senyum Yuki.

Seperti yang dikatakan Onee-san tadi, ceritanya akan sia-sia.

―Hei, nak. Apa kau tidak merasa kasihan? Jarang sekali melihat manusia
yang begitu cantik seperti dia. Kamu ingin melihat lebih banyak cerita yang
melibatkan gadis itu, ‗kan?‖

Aku akhirnya mengerti arti percakapan antara sutradara dan Onee-san.

Sutradara tahu film ini akan sia-sia, tapi ia menghabiskan waktu dan upaya
hanya untuk mendapatkan aktris Yuki.

Tapi Yuki menggelengkan kepalanya.

―Erm, tidak apa-apa. Jangan khawatir, ini bisa digunakan.‖

―Tidak, tidak, tidak, kau sama sekali tidak mengerti. Kami tidak bisa
menggunakan film ini. Semua orang yang menonton hanya melihat ke
arahmu.‖

Sutradara tampak terkejut dengan tanggapan Yuki, dan Ia terlihat panik.


Tanpa aku sadari, dia sudah bisa berbicara dengan Yuki secara langsung. Dia
mungkin merasa sangat cemas, atau mungkin itu sifatnya sebagai sutradara.

―Bagaimana kalau kita bertaruh?‖

Usul Yuki, wajahnya menunjukkan semacam niat.

―Jika adegan ini menyebabkan filmnya dihapus, aku akan mendengarkan apa
pun yang akan Anda katakan, sutradara.‖
―Jadi itu artinya kamu akan setuju jika aku bilang kalau aku ingin kau
muncul di film?‖

―Benar. Tapi itu mustahil jika keajaiban tidak terjadi. Keajaiban tidak bisa
terjadi berulang kali.‖

―Apa maksudmu?‖

―... Dengan kata lain, jika keajaiban terjadi sekali, itu cuma keberuntungan,
dan itu takkan bisa terjadi untuk kedua kalinya. Tidak, untuk setiap
keajaiban, harga yang setara harus dibayar, jadi tidak semuanya tergantung
pada keberuntungan.‖

Aku tidak mengerti apa yang dikatakan Yuki.

Sutradara juga mungkin merasakan hal yang sama. Setelah berpikir sesaat,
"Begitu ya." ucapnya. Ia mungkin sudah puas karena sudah membuat Yuki
muncul di film.

Tanpa kami sadari, langit sudah menggelap, dan malam pun tiba.

Sutradara dan yang lainnya buru-buru mulai berkemas.

Aku hanya menatap kosong pada mereka; si Sutradara memperhatikanku,


dan mendekatiku.

―Kerja bagus.‖

―Ini hari yang panjang.‖

―Kamu benar-benar membantuku. Yah, walau kau cuma muncul sekitar 10


detik saja. Tapi rasanya menyenangkan, bukan?‖

―Kurasa tidak. Aku tidak terlalu cocok untuk jadi pusat perhatian.‖

Kami berbicara di tempat yang agak jauh, sambil memandang Yuki.


Orang bilang kalau ada tiga wanita berkumpul, maka ributnya hampir mirip
seperti pasar, jadi jika ada lima wanita yang berkumpul, maka ributnya
sudah tak terbayangkan lagi. Pada dasarnya, wanita adalah makhluk yang
suka mengobrol. Aku tumbuh di lingkungan yang harus mendengarkan
percakapan ibu dan adik perempuanku, jadi aku tidak punya pilihan selain
menunggu pembicaraan mereka berakhir.

"Jujur saja, apa adegan hari ini bisa digunakan?‖

"Yah, kalau boleh jujur, rasanya mustahil. Karena aku sudah bertaruh
dengan gadis itu, aku akan mencoba mengeditnya. Jika ulasan kritis internal
kita buruk, kita cuma perlu membuangnya. Lalu Aku harus membungkuk
kepada orang-orang itu dan meminta mereka mengulanginya. "

"Begitu ya."

Cuma itu saja yang bisa aku katakan. Semua yang tersisa tergantung pada
keputusan sutradara, karena ini adalah pertaruhan antara dirinya dan Yuki.

―Oh ya, ini ada tiket untukmu. Nanti ada pemutaran film untuk publik
selama festival budaya musim gugur mendatang, jadi datanglah untuk
menonton. Aku akan menyajikan film terbaik untuk penonton. "

―Tahun depan? Bukan tahun ini? "

" Proses produksinya mungkin takkan selesai tahun ini. Setelah ini selesai
tahun depan, aku akan wisuda. ‖

Aku menerima tiket dari tangan Sutradara.

Tiketnya terlihat kusut, mungkin karena dia memasukkannya ke dalam


kantongku. Aku mencoba merapihkannya dengan tanganku, tapi ternyata
sia-sia. Kata-kata merah 'Universitas Yasaka' sedikit usang.

―Eh? Kenapa ada dua?‖


―Ajak gadis itu sekalian. Aku payah dalam hal-hal seperti itu, tapi aku bisa
memahami sedikit melalui kamera. Lakukan yang terbaik. Biasanya, si
cowok yang mengajak cewek untuk menonton.‖

Sutradara mengatakan sesuatu yang tidak jelas, dan menepak punggungku


dengan keras sambil tersenyum.

Punggungku terasa sakit.

Kami berpamitan kepada sutradara dan kru yang lainnya, dan tiba di pohon
sakura yang besar.

Sayangnya, musim semi sudah terlewat, dan pohon itu tampak sedikit sedih.
Bunga-bunga putih jatuh berserakan di bawah, cabang-cabang pohon mulai
rimbun. Musim berikutnya akan datang.

―Apa yang kamu bicarakan dengan sutradara?‖

―Cuma obrolan biasa. Bagaimana denganmu, Yuki? Apa yang kau bicarakan
dengan Onee-san tadi?"

―Rahasia.‖

―Rahasia, ya?‖

"Rahasia itu sangat penting bagi seorang gadis, tahu?"

Ucapnya sambil tersipu, dan berlari ke arah pohon sakura. Angin sepoi-sepoi
berdesir, dan kelopak-kelopak bunga yang berserakan menari terbawa angin.
Rok itu berkibar. Rambutnya yang halus bergoyang.

Tiba-tiba, aku merasakan panas yang menyakitkan pada detak jantungku.


Tangan sutradara yang besar mendorongku dari belakang.

Aku mengambil keputusan.

"Yuki!"
Aku berteriak, dari jarak yang tidak jauh darinya.

"Ya, ada--apa?"

"Aku punya sesuatu untukmu."

Aku mengeluarkan benda yang ada di dalam kantongku. Tidak ada jalan
kembali. Aku mendekati Yuki. Ini Cuma beberapa meter, tapi nafasku
terengah-engah. Jantungku berdetak lebih cepat dibandingkan dengan lari
100m.

"Jika kau tidak keberatan, apa kau mau menerima ini?"

Aku menyerahkan kotak yang dibungkus padanya. Kantongku akhirnya


sedikit lebih ringan. Ini adalah pertama kalinya aku memberikan hadiah
kepada seorang gadis selain keluargaku, dan aku benar-benar gugup.

Aku menelan ludah, dan berkata,

"Coba buka saja."

Mendengar itu, Yuki membuka kotak tersebut, dan mengambil botol kecil
berwarna merah muda yang ada di dalamya.

―Parfum sakura?‖

―Yap. Kau bilang kalau kau benci musim semi karena semua orang
melupakan salju. Kalau ada aroma sakura sepanjang waktu, mungkin kau
juga bisa memikirkan salju.‖

Yuki bilang kalau dia membenci Musim Semi.

Jadi aku terus kepikiran.

Aku terus berpikir bagaimana membuatnya mengingat salju walaupun salju


sudah mencair, saat musim dingin berakhir dan musim semi tiba. Ini adalah
jawaban yang aku dapat setelah lama berpikir.
―Begitu ya. Jadi ini aroma musim semi.‖

―Ya, itu sebabnya.‖

Aku harap Kau tidak bilang lagi kalau Kau membenci musim semi.

Aku tak mengucapkan kata-kata tersebut. Bahkan jika aku tidak


mengatakannya, niatku mungkin sudah mencapainya.

Setelah beberapa pertimbangan, Yuki tahu bahwa aku takkan berbicara lagi,
dan dia berkata,

―Tapi, apa ini seperti yang kamu katakan?‖

―Yeah, mungkin‖

"Ah - kamu tidak percaya diri tentang itu."

"Tentu saja, aku akan ingat. Atau lebih tepatnya, aku pasti takkan lupa. Tapi
aku tidak bisa mengatakan hal yang sama kepada orang lain."

"Itu saja sudah lebih dari cukup."

Yuki bilang. "Jika kamu bisa mengingatnya, maka itu sudah cukup, Yoshi-
kun."

Kami memandangi barisan pohon sakura. Kami mencium aroma manis.


Setiap kali aku menciumnya, aku akan mengingat tentang Yuki. Ah,
bagaimana aku bisa melupakannya?

―Terus, masih ada sesuatu yang ingin kamu berikan padaku juga, ‗kan?‖

Eh? Ada sesuatu yang lain?

Aku mencoba mengingatnya, "Haaaaaaaa." dan Yuki dengan sengaja


menghela nafas panjang, memberitahuku jawabannya dengan tidak sabar,
―Kamu tidak memberiku apa yang diberikan sutradara?‖

―jadi kau tahu, ya?‖

Aku memasukkan tanganku ke kantong yang lain, dan mengeluarkan dua


tiket berwarna. Aku ingin mengajaknya di lain hari, tapi yah, biarlah. Aku
menyerahkan tiket film yang agak kusut ke Yuki.

―Ini tiket film. Jika kau punya waktu, apa kau tak keberatan menontonnya
bersamaku?‖

―Ya.‖

Yuki mengangguk. "Tapi." dia menambahkan.

―Aku ingin kamu mengajakku lagi.‖

―Apa?‖

―Aku ingin melihat apakah kamu masih bisa mengingatku. Tahun depan, aku
akan datang dengan aroma parfum sakura ini, jadi ajak aku ke film lagi.
Untuk sekarang, biar kamu yang menyimpan dua tiket ini.‖

―Baiklah.‖

―Pastikan kau melakukannya.‖

―Ya, itu janji.‖

Mendengar jawabanku, Yuki terlihat sangat gembira, tapi pada saat yang
sama, dia menggumamkan sesuatu. Itu adalah suara sedingin es yang sama
sekali tidak berhubungan dengan ekspresi yang ditunjukkannya—

――Dasar pembohong.‖
Pertemuan 0 – Kucing Putih Bermata Biru

(TN : Ada Perubahan Sudut Pandang)

―Kurasa kau harus berhenti sampai di situ.‖

Aku dipanggil oleh suara yang tidak dikenal.

Itu terjadi ketika aku mencoba diam-diam mengutil bungkus cokelat ke


dalam kantongku di minimarket.

Itu adalah suara seseorang yang sangat yakin kalau dirinya melakukan hal
yang benar.

―Lepaskan tanganku.‖

Aku ingin melepaskan tangan yang memegang tanganku, tapi percuma saja.

Ia memiliki wajah kurus seperti gadis.

Ia juga sedikit lebih pendek dariku, tapi Ia masih seorang cowok.

Ia lebih kuat dariku.

Dan suaranya lebih dalam dari milikku.

―Aku akan melepaskannya jika kau berhenti.‖

―Ini tidak ada hubungannya denganmu, ‗kan?‖

―Tapi perbuatanmu masih termasuk kejahatan.‖

Meski begitu, aku ingin mengatakan sesuatu. Walau Ini salahku.


Kata-kata di tenggorokanku berubah menjadi helaan, dan aku melotot ke
arah jam di dinding. Jarum menit dan jarum jam berada di arah yang
berlawanan, membagi jam menjadi setengah. Dengan kata lain, sekarang jam
6 sore.

Dalam 5 jam lagi, dunia akan ditulis ulang.

Semua yang kulakukan, dan semua jejak keberadaanku akan


lenyap. Terlepas dari aku berhasil mencuri atau tidak, itu bukan masalah
lagi. Perbuatan ini kulakukan demi menghabiskan waktu.

―Baiklah.‖

Aku menaruh cokelat itu kembali ke rak, dan seperti yang Ia janjikan, Ia
melepaskan tanganku. Mungkin karena Ia memegangku dengan sangat erat,
lenganku masih terasa sakit meski Ia sudah melepaskanku. Aku meletakkan
tanganku yang lain di tempat yang panas dan menyakitkan, dan keluar
menuju pintu tanpa melihat bocah itu.

Begitu aku pergi, hembusan angin menerpa wajahku layaknya pedang tajam.

Ketimbang dingin, aku malah merasakan sakit.

Ow, ow, gumamku.

Tapi tidak ada orang yang memperhatikanku.

Semua orang terus tersenyum, dengan semacam kewajiban untuk terus


hidup bahagia, dan tidak pernah memperhatikan orang seperti diriku. Semua
orang menikmati cahaya dan warna jalanan yang semarak.

Aku sengaja menghindar dari berbagai suara dunia, mendengarkan napas


dan langkah kakiku sendiri. Aku punya kaki. Aku bergerak maju. Aku
bernafas. Jantungku berdetak.

Aku berada di tempat seperti itu.

Dan masih hidup.


Seharusnya inilah yang aku rindukan, sesuatu yang dengan putus asa aku
raih.

Walau begitu, mengapa aku merasa sesakit ini?

Ini bukan rasa sakit fisik, juga bukan rasa takut yang kuat, tapi dalam artian
lain, hidup di dunia ini sama saja dengan hidup di Neraka. Kesepian dan
perasaan sedih yang menumpuk setiap hari perlahan-lahan membunuh
hatiku.

―Tunggu.‖

Tiba-tiba, aku mendengar seseorang memanggilku.

Bagi orang seperti diriku, yang iri dengan hal-hal yang sepele, aku mungkin
sudah bosan dengan apa yang namanya ―hidup. ‖

―Tunggu.‖

Dan aku mendengar suara itu lagi.

Suara itu lebih dekat dari sebelumnya, dengan keras. Pada saat yang sama,
aku merasa kalau aku pernah mendengar suara ini.

―Kubilang….‖

Aku terus berjalan untuk melarikan diri dari jalanan yang dipenuhi dengan
kebahagiaan.

Bagiku, musik yang membahagiakan, wajah-wajah yang tersenyum, atau


bahkan panggilan dari orang lain terlihat seperti racun.

"Tunggu aku. Dari tadi aku memanggilmu, jadi apa kau bisa berhenti
sebentar? ‖

Bahuku dicengkram, dan merasa terkejut. Kupikir jantungku akan copot


karena kaget. Sudah berapa tahun sejak aku mendengar suaraku yang
terkejut?
Aku menengok, dan melihat seorang cowok yang sedang terengah-engah,
berdiri di belakangku.

Karena merasa canggung, aku mengambil jarak agak menjauh, dan


memelototinya.

―A-apa? Apa ada sesuatu yang kamu inginkan?‖

―Yah, tidak juga. Jika Kau tidak keberatan, ini untukmu, terimalah. ‖

Dari plastik kresek minimarket yang dipegangnya, cowok itu menyerahkan


cokelat yang aku coba curi.

Begitu aku menyadari apa yang Ia coba lakukan, aku langsung geram.

―Aku tidak membutuhkannya!‖

―Kenapa? Bukannya kau mau makan ini?‖

Aku tidak menginginkan cokelat. Aku menginginkan sesuatu yang berbeda.

Tapi aku tidak bisa mengekspresikan diriku dengan jelas.

Karena aku tidak tahu apa yang aku inginkan.

―Kamu sama sekali tidak mengerti diriku, jadi kenapa kamu melakukan
ini? Serius, aku sangat membenci tipe orang yang suka mencampuri urusan
orang lain seperti dirimu. Aku sangat, sangat membencimu !! ‖

Aku berteriak seperti anak kecil, napasku tidak teratur. Aku terkesiap, dan
udara dingin memasuki tubuhku, membuatku sangat sakit.

Tetapi aku takkan bilang kalau aku terluka lagi.

Karena aku tidak ingin dikasihani oleh cowok di depanku.

Usai mendengar teriakanku, cowok itu menunduk ke bawah.


Setelah beberapa saat, Ia mencengkram plastic kresek di tangannya dengan
kuat seraya mengangkat kepalanya. Ia melihat langsung ke arahku. Bagian
tengah matanya berkilauan dengan cahaya.

―Tapi yah, jika kau tidak membenci yang manis-manis. Setidaknya, kau bisa
menerima ini, ‗kan?‖

―Mengapa?‖

―Dengar, aku sadar kalau aku melakukan sesuatu yang sangat berbeda dari
diriku yang biasa, tapi kurasa aku bisa memberikan hadiah kepada seseorang
yang tidak kukenal hanya karena aku menginginkannya. Selain itu……‖

Cowok itu tampak sedih, dan tersenyum ragu.

―Lagipula, Sekarang adalah Malam Natal.‖

―Kamu ini orang yang aneh.‖

Cowok tersebut tidak membantah; Ia menyerahkan plastik kresek itu


kepadaku, dan langsung lari. Segera setelah itu, Ia menghilang ke dalam
kegelapan kota. Langkah kaki yang berderu terus bergema di dadaku.

- Orang aneh.

Sekali lagi, aku menggumamkan itu.

Itu adalah hari di musim dingin, ketika aku baru berumur 15 tahun.

Begitulah pertemuanku dengan cowok yang namanya tidak aku kenal.

❀❀❀
Setiap hari Selasa, mulai dari jam 10.54 malam.

Mungkin kelihatannya seperti iklan pada dini hari, tapi tidak ada orang lain
selain diriku yang tahu kalau dunia mengalami perubahan pada waktu
segitu.

Dunia baru akan lahir setelah semua catatan dan jejak mengenai gadis
tertentu dihapus.

Karena kecelakaan lalu lintas delapan tahun lalu, ada sedikit perubahan pada
bagaimana dunia yang seharusnya.

Kecelakaan lalu lintas bukanlah kejadian tidak biasa.

Berita kejadian seperti itu sering muncul di TV.

Di negara tempat aku tinggal, termasuk kecelakaan kecil, sepertinya hampir


500.000 kecelakaan lalu lintas terjadi. Di antara angka-angka tersebut,
sekitar 4.000 di antaranya melibatkan kematian, dan jumlah kematiannya
hampir sama. Dengan kata lain, setiap hari 11 orang meninggal dunia, dan
untuk setiap dua jam atau lebih, seseorang meninggal karena kecelakaan lalu
lintas.

Ya...

Kalau dilihat-lihat lagi, itu bukanlah hal yang langka.

Tapi, saat data 500.000 atau bahkan 4.000 bukan hanya data biasa,
melainkan nama-nama orang terdekat, seberapa banyak rasa sakit dan
keputusasaan yang ditimbulkannya? Secara pribadi, aku sendiri pernah
mengalaminya.

Ayo kita bicarakan tentang masa lalu.

Ini adalah kisah sebuah keluarga, yang menjadi bagian dari angka 500.000,
3 dari 4.000.

Tidak, mungkin ini sedikit berbeda.


Setelah itu, aku akan membicarakan kisah seorang gadis yang melarikan diri
dari salah satu bagian dari angka 4.000 tersebut.

Pada ulang tahunnya yang ke-7, gadis itu kehilangan segalanya.

Hari itu seharusnya menjadi hari yang istimewa baginya. Mereka pergi ke
taman hiburan yang sangat disukainya, bersama dengan keluarga
tercinta. Tidak ada alasan baginya untuk tak bahagia.

―Bangun, bangun, kita sudah sampai.‖

Gadis yang tertidur di dalam mobil dibangunkan oleh ibunya. Dia membuka
matanya, dan menemukan sosok buram. Sosok yang lebih kecil tersebut
adalah adik perempuannya, Umi. ―Onee-tan, kita di sini.‖ Dia menirukan
ibunya, mengguncang tubuh gadis itu.

―Nnn. Pagi, Umi.‖

―Ai. Pagi juga onee-tan.‖

Ayah dan ibunya tersenyum melihat sapaan keduanya.

Mungkin itu adalah bentuk kebahagiaan murni yang tersebar di mana-mana


di dunia ini.

―Ayo pergi. Kita akan bersenang-senang sepanjang hari. Ayo bersiap!‖

Dan dengan dorongan antusias dari sang ayah, gadis itu turun dari mobil,
dan menemukan kastil yang dia lihat di TV di depan matanya.

Wahh, gadis itu berteriak takjub. Kesadarannya terfokus pada taman


hiburan di depannya. Baginya, pemandangan tersebut hanya bisa
digambarkan sebagai pemandangan magis. Lampu berkelap-kelip di mana-
mana, dan bahkan suara-suara yang ada tampak penuh warna.

Seperti yang dikatakan ayahnya, semua orang tampak sedang bersenang-


senang—

Mereka bermain di beberapa area permainan, menikmati makanan lezat, dan


melakukan tur di beberapa tempat wisata.
Mereka benar-benar sedang bersenang-senang.

Itu adalah ulang tahun terbaik yang pernah ada.

Ayahnya, memegang banyak hadiah dengan kedua tangan, membawa Umi


yang tertidur kembali ke mobil, dan jam 9 malam mereka pulang ke rumah.

Biasanya, pada jam segitu, keluarga mereka sudah selesai mandi dan
memakai baju tidur, tapi mereka belum mengantuk sama sekali. Masih ada
keajaiban yang tersisa.

Gadis itu mengobrol dengan ibunya tentang makanan penutup yang mereka
nikmati hari itu, dan ayahnya terkadang ikut berbincang, yang mana hal itu
jarang baginya. Namun tak boleh; percakapan antar gadis dilarang untuk
pria.

Keduanya sengaja mengabaikan sang ayah, yang mendecakkan lidahnya


seperti teman-teman sekelas gadis itu, dan cemberut. Sang ayah mungkin
tidak marah. Sepertinya Ia menikmati kenyataan bahwa dia diejek oleh putri
dan istrinya.

Sikapnya tersebut agak mencolok, dan gadis itu tertawa.

Ibunya juga ikut tertawa.

Dan Umi yang tertidur melengkungkan bibirnya dengan gembira.

Lalu, semuanya lenyap.

Itu semua terjadi dalam sekejap.

Cahaya putih terang menghalangi pandangannya, dibarengi dengan


tubrukan yang luar biasa. Setelah itu, gadis itu tidak tahu apa yang terjadi.

Terdengar suara sesuatu yang pecah.

Terdengar suara sesuatu yang terkoyak robek.

Terdengar suara sesuatu yang hancur.


Jeritan orang tuanya tumpang tindih dengan suara yang lebih keras. Adik
perempuannya yang masih kecil mungkin tidak bisa berteriak.

Akhirnya, terdengar suara menandakan akhir dari semua orang yang penting
bagi gadis itu. Ahh, tepatnya, bukan suara yang berdering, melainkan
menghilang. Ya, orangtuanya menemui ajalnya.

Sudah berapa lama waktu telah berlalu?

Huuu huuu.

Tenggorokan kering gadis itu akhirnya menghembuskan napas, dan dia


mengerahkan tenaganya untuk membuka matanya lagi. Tiga kali, kelopak
matanya berkedip, sebelum dia membukanya. Dunia diwarnai nyala api.

Gadis itu berpikir bahwa dia harus bergegas dan menemukan keluarganya,
tapi tubuhnya tak bisa bergerak sama sekali. Seolah-olah itu bukan tubuhnya
sendiri. Beberapa saat yang lalu, dia bisa bebas menggerakkan anggota
tubuhnya, namun sekarang dia tak bisa menggerakannya sama sekali, tidak
peduli berapa banyak kekuatan yang dia berikan.

Cuma panas yang satu-satunya keluar dari mulutnya, berteriak pada


tubuhnya yang tak bergerak dan jantung yang mati rasa.

Dia ingin tetap hidup.

Dia tidak mau berakhir seperti ini.

Karena ini terlalu menyedihkan.

Dia masih punya banyak hal yang ingin dia lakukan.

Dia ingin melihat kembang api besar selama liburan musim panas sekali lagi,
membaca buku, mengenakan baju-baju yang lucu, dan mengunjungi taman
hiburan lagi. Dia ingin mengalami cinta dengan cowok yang luar biasa, persis
seperti kisah-kisah dalam novel.

Namun, semuanya harus diambil dengan kejam.

Itu adalah tempat yang tidak bisa dijangkau oleh apa pun, bahkan amarah,
kesedihan, atau jeritan memilukan. 'Kematian' melambai di depan matanya.
―Aku tidak menginginkan ini.‖

Gadis itu menjerit dengan sekuat tenaga.

―Aku benci ini.‖

Dunia diwarnai dengan air mata.

Dan kontras emosi gadis itu, kesadarannya memudar. Sepertinya, akhir


untuknya sudah membayangi.

Tidak.

Dia hanya tak bisa membuka matanya.

Tidak.

Cahaya-Nya sudah dekat.

Tidak.

Dia tidak bisa mengeluarkan suara, dan tak tahu apakah dia bernafas atau
tidak.

Tidak.

Bahkan jika itu adalah tempat yang kejam, dia ingin tetap tinggal.

Dia ingin tetap di dunia ini.

Tiba-tiba, gadis yang menolak kematian tersebut mendengar sesuatu.

Tidak, mungkin kurang tepat kalau dia mendengar sesuatu. Itu adalah
pertanyaan tanpa konsep kata atau suara.

Dia hanya merasakannya.

Dia menyadari kalau dia bisa hidup jika dia menganggukkan kepala.

Dan demikian, gadis itu mengulurkan tangannya.


Dengan putus asa, dengan penuh kerinduan, dia merentangkan tangannya ke
depan.

―Aku ingin hidup.‖

Gadis itu meraih cahaya.

Dia pulih dan menemukan dirinya berbaring di tempat tidur.

Langit-langit putih, kamar putih.

Orang asing datang dan pergi silih berganti. Orang-orang ini semua
mengenakan pakaian putih. Gadis itu ditanyai namanya, dan tidak tau
banyak tentang kecelakaan itu.

Sambil merasa lega, dia merasa jijik karena ditinggalkan.

Dia membawa makanan yang tidak enak ke mulutnya, dan menghabiskan


sepanjang hari menonton TV. Ada laporan berita tentang kecelakaan lalu
lintas yang melibatkan keluarga beranggotakan tiga orang, dan reporter
berita itu melanjutkan dengan nada yang monoton. Seorang pengemudi truk
yang kelelahan karena mengemudi selama 36 jam berturut-turut, pingsan
selama beberapa detik, dan empat nyawa, termasuk miliknya, lenyap dari
dunia ini.

Itu salah. Seharusnya bukan seperti itu.

Seharusnya keluarga tersebut beranggotakan 4 orang, dan Umi seharusnya


bukan anak tunggal. Dia punya kakak perempuan. Namun, apa yang
dikatakan penyiar itu adalah kenyataan bagi dunia.

Dunia merah yang terang menyala.

Di dunia ini tak ada yang tahu kalau di tempat yang sulit bernafas itu, ada
gadis yang selamat secara ajaib. Bukan, tak ada yang tahu kalau ada seorang
gadis di sana. Keberadaannya seakan-akan lenyap.

Gadis itu ingin berteriak, tapi dia berusaha menutup mulutnya dengan segala
cara. Dia menggenggam seprai dengan kuat, meninggalkan bekas kerutan,
menahan kesengsaraan yang dideritanya.
Karena inilah jalan yang dia pilih.



Lalu, seminggu pun berlalu setelah kecelakaan itu.

Pada hari itu, gadis itu melihat jarum jam berjalan. Jarum menit berdenting,
dan waktu berlalu dengan mudahnya. Jam 10.54 malam. Dalam sekejap
mata, dunia ditulis ulang lagi.

Itu adalah kedua kalinya dunia ditulis ulang.

Jika terus begini, dia tak bisa bertahan lama.

Gadis itu, menyusup ke dalam selimutnya, mencoba untuk meninggalkan


rumah sakit. Tapi, dia menunggu waktu yang tepat, karena dia ingin
menyaksikan secara pribadi apa yang akan terjadi.

Dan demikian, insiden itu terjadi.

Awalnya, dia mendengar teriakan dari suara yang dia kenal. Ternyata, suara
tersebut berasal dari suster muda, yang ramah kepada gadis tersebut di
rumah sakit. Dia memberikan permen kepada gadis itu, dan saat gadis itu
bilang kalau dia suka membaca, suster tersebut meminjaminya beberapa
buku yang menarik. Tapi kali ini, suster muda itu terkejut melihat gadis itu,
Dia seolah-olah sedang memandang keberadaan yang tidak diketahui
asalnya.

Usai mendengar teriakan, banyak orang yang berkumpul.

Di antara mereka ada dokter yang merawat gadis itu.

Gadis tersebut tahu nama dokter dan suster itu. Di dalam benaknya, dia
mencoba mengatakannya. Beliau adalah Kanzaki-sensei. Dan si Suster
adalah Tanio-san.
Kanzaki-sensei mendekat. Gadis itu bangkit dari tempat tidur, dan berdiri,
menghadap dokter. Dokter pun berkata,

―Kau…...siapa?‖

Kata-kata yang dianggap tak berbobot ini memberikan banyak beban kepada
gadis itu daripada apa yang bisa dia bayangkan.

Gadis itu berlari keluar dari kamar rumah sakit dengan linglung, dan orang-
orang di sekitarnya membuka jalan untuk membiarkan dia lewat. Dia pergi,
melihat sekeliling, dan menemukan tulisan di papan nama telah
menghilang. Sebelum tidur, dia memeriksa kalau namanya ada di
sana. Padahal, baru 30 menit yang lalu. Selama waktu itu, tak ada orang yang
lewat di depannya kamarnya.

Gadis itu menuruni tangga, dan meninggalkan rumah sakit melalui pintu
belakang.

Tanpa ada keluarga.

Tanpa ada tempat untuk kembali.

Yang dia miliki hanyalah hidupnya sendiri.

Memikirkan hal ini, perasaan gadis itu membludak tak terbendung. Tak ada
yang berhenti. Emosi yang terpusat terus meraung di dalam dirinya, dan jika
dia tak membiarkannya keluar, gadis itu bisa-bisa hancur.

―Ah, AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHH──‖

Gadis itu pun menjerit.

Di malam tanpa rembulan, dan hanya ditemani bintang-bintang yang


berkelap-kelip. Udara yang dihembuskan menjadi kabut putih bak musim
dingin, tapi salju tidak pernah turun. Entah kenapa, gadis itu merasa
kedinginan. Tenggorokannya terasa berapi-api.

―AAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHH──‖

Dia berteriak ke langit malam.


Dia berteriak ke dunia yang meninggalkannya.

Butiran air mata jatuh dari matanya.

Orang-orang yang mengenal gadis itu sudah tidak ada lagi.

Gadis tersebut adalah aku, dan aku sendirian di dunia ini.



Aku berada di bangku taman, sedang mengunyah cokelat yang kuterima dari
cowok yang namanya tidak kukenal. Aku menggigit sepotong, dan sedikit
terkejut, karena aku bisa merasakan rasa manis. Selama bertahun-tahun, aku
tak bisa merasakan apa pun apa pun yang aku makan.

Setiap kali aku menggigit, cokelatnya menjadi sedikit lebih kecil. Aku
memandangi cokelat yang menyusut itu, dan merasa sedih. Ah, begitu
ya. Jadi ini yang namanya 'kesedihan'. Aku tak pernah berpikir kalau aku
akan memiliki perasaan seperti itu.

―Ayo pergi.‖

Aku tidak punya kekuatan untuk berdiri, dan aku bergumam dengan lemah.

Mungkin karena terlalu dingin, dan tanganku mati rasa, jadi aku tidak bisa
merasakan apa-apa bahkan setelah menyentuhnya. Aku merasa seperti
mayat, jadi aku berpikir sambil menggigiti cokelat yang menyusut. Ini sangat
manis, sangat manis sampai-sampai air mataku akan jatuh.

5 menit berlalu, dan cokelat itu masuk ke perut sepenuhnya.

Aku bersandar di sandaran, dan menatap ke atas langit.

Awan kelabu yang melayang, seolah-olah meninggalkanku sendirian saat


ini. Mungkin karena angin sepoi-sepoi yang terlalu kencang, awan-awan itu
melayang dengan kecepatan yang mengejutkan, mengubah bentuk, dan
akhirnya pergi.
―Apa yang aku lakukan…‖

Tidak ada yang menjawab celotehku. Yah, walau aku sudah tahu itu akan
terjadi.

Aku hendak melemparkan kemasan kusut yang sudah digulung menjadi


bola, ke tempat sampah, tapi entah kenapa, aku malah memegangnya
dengan kedua tangan, sebelum memasukkannya lagi ke dalam kantong saku.

Setelah berpikir sebentar, aku meletakkan tanganku di kantong saku, berdiri,


dan mulai berjalan tanpa tujuan.

Taka da alasan khusus kenapa aku tidak membuang kemasannya. Namun,


kehidupanku saat ini pada dasarnya memang seperti itu. Bernafas, berjalan,
membiarkan waktu terus berlalu. Lihat ‗kan, tak ada arti apa-apa. Tapi,
meski pun ada ―arti‖, itu akan segera menghilang.

Ini adalah harga yang harus kubayar untuk tetap hidup.

Cahaya yang aku raih hari itu adalah ―sesuatu‖. Ya, ―sesuatu‖. Bahkan
dengan semua bahasa di dunia ini, aku mungkin tak bisa
menggambarkannya. Jika aku harus menggambarkannya, mungkin cahaya
itu adalah sebuah ―keajaiban‖.

Dan diriku, yang menyentuh 'sesuatu' itu, mengetahui banyak hal.

Misalnya saja, sudah diputuskan dari dulu kalau keberadaan yang disebut
dunia akan bergerak menuju akhir. Umat manusia menyebut bahwa aliran
takdir, atau sejarah, dan prosesnya tidak bisa diubah.

Aku terus berpikir sambil berjalan, ada kerikil yang menyentuh sepatuku,
dan berguling-guling di tanah. Kemudian, anak laki-laki di belakangku
menendang kerikil itu. Kerikil tersebut berguling ke rumput, dan seekor
burung yang tampaknya baru berada di rumput itu pun terbang.

Semuanya dimulai karena aku menendang kerikil di sini.

Roda takdir kembali diposisikan sedikit.

Perubahan kecil ini mungkin akan menyebabkan sesuatu yang besar di masa
depan. Sesuatu seperti merubah nasib dunia──
Diriku yang seharusnya meninggal pada saat itu, menjadi sebuah eksistensi
yang tidak lagi ada di dunia ini. Dengan demikian, semua tindakanku akan
menjadi Black Box, dengan potensi tersembunyi untuk mengubah nasib
dunia.

Di sisi lain, gerak-gerik makhluk hidup semuanya bergerak menuju masa


depan. Masa depan yang diambil dariku sama sekali tidak ada artinya.

Jadi, sebagai harga untuk tetap hidup, masa laluku yang diambil. Sebelum
taring perubahan dapat mencapai masa depan yang jauh, sumbernya
terputus terlebih dahulu, dan jalan menuju masa depan bisa disesuaikan
kembali.

Setiap Selasa, jam 10.54 malam, semua yang terjadi akan dianggap 'masa
lalu', dan keberadaanku akan terhapus dari 'masa lalu' tersebut, semua
kenangan tentang namaku, wajahku, maupun perbuatanku tidak ada yang
ingat. Dan kemudian, semua perbedaan yang disebabkan oleh hilangnya
―keberadaanku‖ akan ikut tersapu bersih.

Semua yang kudapat sebagai imbalan atas hidupku ialah satu minggu di
masa depan.

Tuhan sendiri takkan menawarkan hari yang ke-8.

Ini mirip seperti aku sedang memainkan Kursi Musik.

Setiap hari, kursi hilang, dan pada hari ke 8, semuanya akan lenyap.
Selesai. Untuk melanjutkan, aku harus memulai lagi dari awal.

Aku tahu. Aku yang meraih cahaya, tahu itu akan terjadi.

Jadi, aku tak bisa menyalahkan siapa pun.

Aku hanya bisa terus melanjutkan hidup.

Demi menghabiskan waktu, aku mengambil jalan memutar menuju stasiun,


lalu mendengar dengung di suatu tempat.

―Meong meong.‖
Suara tersebut datang dari dekat selokan. Semak-semak ilalang tumbuh di
sana, dan aku tidak bisa melihat apa itu, tapi pasti ada sesuatu di sana. Aku
melihat sekeliling, tetapi tak ada orang lain selain aku. Meong. Itu adalah
suara yang hanya bisa didengar olehku.

Aku tahu rasa sakit itu.

Aku tahu rasa kesepian itu.

Aku sangat memahami keputusasaan itu lebih dari orang lain

Tanpa aku sadari, aku sudah menyingkirkan ilalang ke samping, dan melihat
jauh ke dalam selokan.

―Meong.‖

Ada anak kucing, badannya sedikit kotor karena tertutupi lumpur, dan warna
bulunya tidak terlalu jelas. Mungkin dia baru saja lahir. Cakar, kaki, serta
tubuhnya sangatlah kecil, suaranya terdengar sangat lembut. Hanya Mata
birunya yang besar, seakan-akan memandang Bumi dari angkasa, meski aku
tak pernah melihat Bumi dari luar angkasa.

―Meong.‖

Tangisan untuk seseorang menjadi tangisan untukku.

Mata birunya memikat hatiku.

Cuma aku sendiri.

―Apa kamu mau ikut denganku?"

Kuulurkan tanganku untuk menyentuh bulunya. Rasanya sangat lembut dan


hangat. Sudah lama sekali aku tidak merasakan kehangatan.

Aku membawa anak kucing itu ke hotel, dan menamainya 'Shiro'. Setelah
aku memandikannya, bulu di tubuhnya menunjukkan bulu putih yang indah.

Shiro adalah kucing betina yang pendiam, saking pendiamnya sampai-


sampai suara meow-nya terdengar seperti ilusi.
Untuk memberinya makan, aku memberinya susu melalui pipet. Sepertinya
dia membenci susu bubuk, tapi begitu aku membawanya ke mulutnya, dia
dengan patuh menelan.

Shiro masih kecil, fisiknya masih lemah, jadi aku tak punya niat untuk
membawanya keluar. Tentu saja, aku tak pernah pergi karena aku harus
merawatnya.

Aku tetap di samping Shiro, duduk di kursi sembari membaca untuk


menghabiskan hari.

Kadang-kadang Shiro suka menempel di kakiku, dan pada saat seperti itu,
aku akan menggendongnya dan meletakkannya di pahaku. Dia kemudian
akan tertidur dengan puas. Aku bisa merasakan berat dan kehangatan
hidupnya ketika aku membalik-balik halaman. Sudah lama sejak aku
merasakan kehangatan seseorang. Aku merasa bahwa aku diselamatkan oleh
hal sekecil ini.

―Jika kamu terus tidur, kamu akan jadi gemuk loh.‖

Shiro terus tertidur, tidak mendengkur sama sekali. Rasanya agak


membosankan. Hei, ayo berbincang.

―Kamu benar-benar punya bulu yang cantik. Kamu juga kurus. Rasanya akan
sia-sia jika kamu jadi gemuk. "

―Meong.‖

Kamu berisik, jadi aku dimarahi.

Dia tampak agak kesal karena tidurnya diganggu. Namun itu membuatku
sedikit senang. Ada kalanya ketika aku terlalu menjahilinya, dan aku dicakar
olehnya. Namun rasa sakit ini membuatku bahagia.

Lagipula, luka yang disebabkan oleh seseorang adalah bukti bahwa aku
melakukan kontak dengan orang lain.

―Maaf maaf.‖

Aku mengusap bulu Shiro dengan lembut, dan dia tertidur lagi.
―Ahh, aku ingin tidur juga.‖

Aku menutup bacaanku, meletakkannya di atas meja, lalu menutup


mataku. Aku duduk di kursi, bersama Shiro yang tertidur di pangkuanku. Itu
adalah postur yang sulit untuk tidur, tapi aku bisa tertidur dengan
mudah. Kesadaranku mengambang di antara mimpi dan igauan. Lalu, aku
cepat tertidur, seolah-olah jatuh ke dalam perangkap.

Waktu pun terus berlalu.

Saat aku bangun, area di sekitarku sudah benar-benar gelap. Mungkin


karena postur tidurku yang aneh, saat aku terbangun, hal pertama yang aku
rasakan adalah rasa sakit di leherku, dan kemudian punggungku. Kakiku
benar-benar mati rasa, tapi Shiro masih tidur di kakiku, jadi aku tidak bisa
bergerak. Aku mengulurkan tanganku, dan bersusah payah, aku meraih
remote control di atas meja, dan menekan tombol. Setelah itu, cahaya oranye
memenuhi ruanagn berukuran 4 tatami seperti api lemah.

"Nn." Aku meregangkan punggungku untuk mengendurkan ototku yang


kaku, dan memeriksa waktu saat ini. Jam 10.57 malam. 3 menit berlalu dari
jam 10.54 malam. Sepertinya aku tidur selama hampir 8 jam.

Sekarang adalah hari Selasa. Penulisan ulang dunia sudah dilaksanakan.

Aku harus bergegas pergi. Tapi sebelum itu, aku harus membangunkan
kucing malas yang mengantuk ini.

Apakah Shiro akan terkejut saat dia bangun nanti?

Lagipula, dia tidak memiliki ingatan tentang diriku.

Tapi karena Shiro masih anak kucing, dia mungkin takkan bertanya padaku,
"Siapa kamu?", iya ‗kan? Setelah aku memberinya makan, dia akan
menempel lagi padaku.

―Hei, Shiro.‖

Aku memanggil Shiro sembari membelai bulunya. Tapi saat menyentuh


tubuhnya, aku terkejut, dan menarik kembali tanganku.

Tubuh Shiro terasa kaku dan dingin.


―Shiro, apa kamu meninggal?‖

Aku bertanya dengan lembut, seakan-akan ingin menegaskannya.

Tapi Shiro takkan pernah mendengkur lagi.

Itulah jawabannya.

Shiro pasti ditakdirkan untuk mati di selokan. Mungkin karena kelaparan


dan kedinginan. Namun aku mencegah kematiannya.

Namun, makhluk yang ditakdirkan untuk mati takkan pernah bisa melewati
titik kematian.

Realitas menganggap bahwa selama seminggu, aku tak pernah memberi


makan Shiro. Dunia sekali lagi terkoreksi.

Tubuh Shiro kehilangan tenaga dan kehangatannya, dan terasa jauh lebih
ringan ketimbang saat dia masih hidup. Ada penelitian kalau berat jiwa itu
sebesar 21 gram. Tapi, apa itu benar?

Butiran air mata mengalir, lalu mendarat di bulu lembut Shiro.

―Ahh, uuuu.‖

Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan tangisanku. Biasanya, pada


hari-hari biasa, aku bisa dengan mudah tutup mulut, tapi entah kenapa, aku
tidak bisa menahan diri bahkan setelah mengerahkan diri lebih dari
biasanya. Suara gumam terus terdengar dari sela bibirku.

Aku ingin menghentikan air mataku.

Karena itu sama sekali tidak cantik.

Aku tidak menangisi Shiro, melainkan menangisi diriku sendiri. Kesepian


yang kurasakan setelah kehangatan yang akhirnya kudapat ini telah lenyap,
dan kegelisahan di hatiku jatuh dalam bentuk air mata. Dadaku terasa
sakit. Bagian terlembut hatiku serasa tersayat-sayat.

Aku terus gemetaran, menggertakkan gigiku, menggenggam tanganku


dengan kuat. Sangat menyakitkan.
Tapi hatiku sangat sakit.

Aku tidak bisa meninggalkan tubuh Shiro begitu saja, dan pada hari
berikutnya, aku mulai mencari tempat untuk menguburkannya.

Jika aku mati, aku takkan berharap orang lain melihat tubuhku yang
membusuk. Itu pasti yang dipikirkan Shiro.

Aku membeli sebuah kotak kardus di sebuah supermarket, dan meletakkan


handuk mandi putih yang cantik, meletakkan Shiro di atasnya. Dia tampak
seperti sedang tertidur. Jika aku berbicara dengannya, apakah dia mau
membuka matanya? Apakah dia akan mendengkur padaku lagi? Dia bisa
mencakarku lagi.

Walau aku tahu itu adalah hal yang mustahil.

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengubur tubuh Shiro di lahan


kosong yang tidak terlalu jauh dari stasiun. Sementara ada papan nama
'properti pribadi' di sana, siapa yang peduli? Aku menggali tanah dengan
sekop.

"Apa yang sedang dia lakukan?" aku bisa merasakan tatapan penasaran dari
orang yang berlalu lalang. Ini adalah sebidang tanah yang jarang dilewati
orang, tapi bukan berarti tak ada orang. Tidak ada orang aneh yang datang
untuk berbicara padaku. Semua orang hanya menatapku, dan kemudian
memalingkan muka.

Aku terus menggali, tapi saat terus menggali, bahuku semakin berat karena
takut dan lelah bertanya-tanya apakah ini akan dihapus. Setiap tindakan
yang aku lakukan mungkin dianggap 'tidak pernah dilakukan'. Jika ada
banyak saksi, kemungkinan itu menjadi lebih tinggi.

Meski begitu, aku hanya bisa melanjutkan.

Karena aku tidak punya orang lain untuk diandalkan.

Selama beberapa tahun terakhir, kekuatan fisikku telah menurun, dan


mungkin itu sebabnya, aku butuh waktu lama untuk menggali lubang yang
cukup besar bagi Shiro untuk beristirahat. Tiba-tiba, ada suara yang tajam
mengguncang telingaku.
―Aduh.‖

Sepertinya aku mengenai sebuah batu yang terkubur di bawah tanah. Tangan
yang memegang sekop terasa sakit. Aku jatuh terduduk, yang biasanya
takkan kulakukan. Aku meminum teh dari botol PET yang aku beli. Setelah
menunggu sejenak, mati rasa di tanganku menghilang.

Tiba-tiba, aku mendengar suara dari atas.

―Apa yang sedang kau lakukan?‖

Aku mendongak, dan menemukan sosok cowok seusiaku sedang berdiri di


sana. Dia mengenakan kemeja hitam dengan trim merah, tas besar tersampir
di bahunya. Sosoknya sangat familiar di mataku.

―Lagi-lagi kamu?‖

―Eh, memangnya kita pernah bertemu?‖

Cowok itu tampak tidak percaya.

Ah, begitu ya. Dua kali penulisan ulang terjadi sejak kami bertemu. Tidak
ada informasi tentang diriku dalam ingatannya. Dia tidak ingat apa-apa
tentang diriku, dan juga tentang bagian ketika dia mengejarku, atau saat Ia
memberiku cokelat.

Tetapi jika itu Cowok ini, pikirku.

Jika itu dia, orang asing sok akrab yang memberiku cokelat, mungkin dia
akan mendengarkan permintaanku.

Aku berdiri, membersihkan debu kotor dari pantatku, dan menundukkan


kepala. Aku memaksakan senyum, mungkin, karena agak kaku. Yah, mau
bagaimana lagi, karena aku sudah lama lupa bagaimana membuat senyum
alami.

―Maaf. Aku pikir aku salah orang. Sebenarnya, kucing peliharaanku sudah
mati, jadi aku membuat kuburan untuknya. Jika kamu tidak keberatan, apa
kamu mau membantuku? ‖
Aku pikir dia akan sedikit tidak rela, ―Baiklah.‖ Tetapi dia menjawab dengan
enteng. Dia mengangguk, meletakkan tasnya ke bawah, dan menarik keluar
sekop yang ada di tanah, mulai menggali itu. Kali ini, aku memastikan bahwa
aku tidak duduk di tanah, mengawasi bagian belakang yang ternyata lebih
dapat diandalkan daripada yang terlihat.

―Hei, mengapa kamu berbicara denganku?‖

Cowok itu melanjutkan apa yang dia kerjakan sembari menjawab,

―Kau tampak seperti akan menangis.‖

―Kamu bohong. Aku tidak membuat wajah seperti itu.‖

Aku menyentuh pipiku dengan tangan, dan jari-jariku tidak basah.

Aku tidak menangis, ‗kan?

―Ya. Tapi di mataku, kau terlihat seperti itu. Kau tampak bermasalah, merasa
tidak berdaya, tapi kau masih bekerja keras, menampilkan sosok yang penuh
tekad. Aku tidak bisa mengabaikanmu begitu saja. ‖

―Aku paham sekarang. Kamu itu orang aneh. ‖

―Enak aja, aku ini normal."

―Tak ada yang pernah mengatakan itu tentangmu?‖

Ia menghindari pertanyaan itu.

―... Yah, sepertinya aku tidak punya ambisi atau disiplin untuk melakukan
sesuatu, jadi kurasa itu sebabnya. Aku benar-benar mengagumi mereka yang
benar-benar berbeda dariku, orang-orang yang berjuang keras demi meraih
apa yang mereka inginkan. Kelihatannya memang sedikit keras kepala, tapi
aku berharap orang-orang seperti itu tidak menyerah. Mungkin aku
memaksakan idealismeku pada orang lain, tapi jika ada yang membutuhkan
bantuan, aku akan membantu.‖

―Apa ada orang seperti itu sebelumnya?"

Aku bertanya dengan cuek.


―Entah, menurutmu?"

―Aku mengenal orang yang seperti itu. Orang yang awalnya terlihat keren,
tapi akhirnya mengacaukan semuanya.‖

―Aku mengerti. Itu sangat sulit, rasanya tak tertahankan. Meski begitu–‖

Suaranya perlahan-lahan menjadi lebih lembut, lalu lenyap terbawa


angin. Namun, kata-katanya memiliki kekuatan tersendiri, kurasa, dan
bagiku sepertinya dia bukan seseorang tanpa hasrat atau disiplin. Hanya saja
dia menganggap dirinya sebagai orang seperti itu.

Atau mungkin, Ia belum menemukan sesuatu yang bisa membuatnya


bersemangat.

―Hmm. Kalau begitu, kuharap kamu bisa menemukannya suatu hari nanti. ‖

―Eh?‖

―Aku sedang membicarakan dirimu yang ingin menemukan sesuatu yang


kamu inginkan.‖

Cowok itu hanya tertawa kecil, tidak menjawab apa pun. Ia terus menggali
dengan diam.

Akhirnya, di depanku ada lubang yang dalam. Cukup dalam untuk mengubur
Shiro.

―Apa ini kucingnya?"

Cowok itu melihat ke arah Shiro yang ada di dalam kotak.

―Ya.‖

―Namanya?‖

―Aku memanggilnya Shiro.‖

―Karena dia memiliki bulu berwarna putih?"


―Iya. Sederhana bukan? ‖

―Yah, kupikir itu nama yang bagus. Pepatah mengatakan kalau nama adalah
gambaran dari orangnya. ‖

Setelah mengubur bangkai Shiro di dalam tanah, kami bertepuk tangan dua
kali untuk berdoa. Kami tidak membangun kuburan. Aku adalah orang yang
berdoa, tetapi aku tidak tahu harus berdoa apa.

―Saat aku pertama kali bertemu dengannya, Si kecil ini sedang sendirian di
selokan.‖

Cowok itu hanya mendengarkan diam-diam, tidak merasa curiga saat aku
mendadak bercerita.

―Seminggu berlalu sejak itu. Sepertinya aku dipanggil olehnya. Ketika aku
bertanya padanya, Apa kamu ingin ikut, dia mengeong seakan-akan
menjawab iya. Tapi kehidupan Shiro hanya diperpanjang satu minggu. Jadi
kupikir. Jika dia tinggal di selokan selama seminggu, apa lebih baik
begitu? Katakanlah, apa ada artinya untuk memperpanjang umurnya hanya
seminggu?‖

Sama halnya dengan hidupku.

Aku menyaksikan orang tuaku dan Umi mati, dan menipu kematian. Tapi
kenyataan tidak selalu hanya hal yang baik. Aku tidak tahu kapan itu
dimulai, tapi aku terus bertanya, mengapa aku ingin terus hidup.

Di langit Musim Dingin, aku menemukan aliran kuat Sirius.

Dalam bahasa Yunani, cahaya putih kebiruan yang berarti panas. Kalau
begitu, aku seharusnya menghilang dalam nyala api saat itu.

Tapi kenyataannya aku masih hidup. Aku memilih untuk hidup atas
kemauanku sendiri, dan sejak malam aku kehilangan segalanya, aku telah
mencari alasanku untuk hidup.

―Walau begitu, kau tetap menemaninya, ‗kan?‖

Cowok itu, yang dari tadi mendengarkan dengan tenang, ikut berbicara,
―Jika kau bertanya apakah ada artinya membiarkan hidup Shiro seminggu
lebih lama, kurasa jawabannya ada di dalam hatimu. Dia mendapatkan
cintamu, sehingga kematiannya membuatmu sedih. Hanya itu saja sudah
membuatnya bahagia. Yeah, Itu mungkin karena……

–Kau takkan melupakan seminggu ini, ‗kan?‖

Ucapnya menyimpulkan.

―Apa itu tujuan hidupnya?‖

―Kurasa begitu. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Shiro, tapi itulah yang
aku pikirkan. Jika seseorang dapat tetap berada di hati orang tertentu dan
dicintai, itu adalah berkah bagi Kehidupan.‖

Kata-kata cowok itu terukir sangat dalam di hatiku.

Begitu ya. Jika aku bisa tetap berada di hati orang tertentu, maka ada tujuan
hidup. Jika aku bisa melakukannya, mungkin aku bisa menemukan sedikit
arti dalam hidupku.

Aku melihat ke arah cowok di sebelahku. Cowok sok akrab ini mungkin bisa
mengingatku, tak peduli berapa tahun setelah aku menghilang.

Aku sudah berpikir bagaimana menggunakan hidupku.

Yup. Aku sudah memutuskannya.

―Hei, siapa namamu?‖

―Haruyoshi Segawa. Kau sendiri?‖

Keberadaan bocah itu mengambil bentuk Haruyoshi Segawa di hatiku.

Aku tidak mengatakan ini kepada Segawa-kun.


Hei, Segawa-kun.

Tolong sukailah aku.

Tolong tandai aku di dalam hatimu, dan ingatlah aku selamanya.

Ketika kenyataan itu terjadi, tentunya, aku akan–

Seraya memikirkan tentang itu, wajahku jadi berseri-seri,

―Aku Shiina Yuki. Senang bisa bertemu denganmu. ‖


Pertemuan 137 - Melampaui Kata-Kata yang Hilang

―Boleh aku duduk disini?‖

Aku didekati oleh seorang gadis yang belum pernah aku temui sebelumnya.

Ini terjadi ketika aku berada di perpustakaan kota, saat sedang


menyelesaikan tugas musim panas.

Suara jernihnya bak bel angin gemerincing.

Aku memeriksa ke sekelilingku, dan melihat kalau meja-meja lain sudah


ditempati oleh siswa lain yang sama seperti diriku. Kebanyakan dari mereka
menggunakan seri buku merah, buku khusus yang berisi soal-soal ujian
masuk perguruan tinggi. Setahun kemudian, aku mungkin akan seperti
orang-orang ini.

―Iya, silahkan saja.‖

Aku hendak membereskan buku-buku yang tak terpakai dari meja, ―Ngga
usah.‖ Tapi dia melambaikan tangannya, ―Aku cuma mau membaca. Ngga
usah repot-repot beresin segala. Apa kamu sedang mengerjakan tugas musim
panasmu?‖

―Ya.‖

―Kalau begitu aku akan membaca dengan tenang.‖

Dia meletakkan jari telunjuk di bibirnya, seakan tidak ingin menggangguku.


Giginya yang putih pucat terlihat sedikit, dan kesan pertama yang
kudapatkan darinya ialah dia sedikit tidak dewasa. Meski begitu, dia tampak
sedikit lebih tua dariku. Disposisi-bijaksana, dia tampak agak santai.

Seperti yang dia katakan, dia hanya diam-diam membolik-balik halaman,


tapi kadang-kadang, dia akan tertawa kecil, atau bersenandung. Aku merasa
terpesona oleh suaranya, lalu memandang ke arahnya, dan kemudian, aku
menundukkan kepala. Aku merasa sedikit bersalah, maaf, aku meminta
maaf padanya. Dia tampak sedikit terkejut dengan permintaan maafku.
―Kenapa kamu yang meminta maaf?‖

Dia tertawa kecil. Serius, aku ingin mendengar suaranya lagi.

Keinginan itu terpenuhi lebih cepat dari yang aku harapkan. Aku pergi ke
toilet, dan setelah kembali, aku melihat kalau dia tidak sedang membaca
bukunya, melainkan melihat buku tugasku.

Aku kembali ke tempat dudukku, dan dia berbisik kepadaku,

―Jawabanmu untuk pertanyaan ketiga salah.‖

Dia mengambil pensil mekanikku, dan mulai menulis. Dalam satu menit, dia
sampai pada jawaban yang berbeda. Aku menengok, dan melihat kalau
jawabannya sama persis dengan yang ada di lembar jawaban.

―Kamu kurang mahir di matematika? Mau aku ajari?‖

Dia tersenyum manis, jari-jarinya yang ramping dengan lembut menarik


rambutnya ke belakang telinganya. Tiba-tiba, ada aroma manis yang tercium
hidungku. Aroma apa ini? Setelah berpikir sejenak, aku mendapatkan
jawabannya–

Ini aroma sakura.

Itu terjadi di musim panas, saat aku di kelas 2 SMA.

Begitulah caranya aku bertemu Yuki Shiina.



Aku menghirup udara pagi dan berlari keluar rumah.

Tugas musim panas, alat tulis, dompet, smartphone, dan handuk. Setiap
langkah yang aku ambil, barang-barang di tasku bersentuhan dan
berdentangan.
Aku melangkah maju, dan dunia mulai berputar sedikit lebih cepat. Jadi aku
terus berlari seiring dengan emosiku. Di tengah jalan, aku berbelok ke kanan,
dan menuruni jalur joging di tepi sungai. Kilau cahaya muncul di permukaan
sungai, dan sepertinya udara dipenuhi dengan cahaya musim panas. Fuu,
haa. Keringat mulai muncul di dahiku.

Setelah aku meninggalkan klub lari di SMP, aku mulai berlari secara teratur,
tapi tubuhku sangat lamban dibandingkan dengan yang dulu. Yah, ini sudah
cukup, pikirku. Semuanya sudah menjadi bagian dari masa lalu.

Pada hari musim panas terakhir saat SMP, aku melampaui seseorang yang
aku 'kagumi'.

Tanpa aku sadari, garis finish sudah berada di belakangku. Ah, akhirnya aku
melakukannya. Itulah yang aku pikirkan pada saat itu, aku tidak terlalu
berharap. Tapi, nyatanya aku sudah melewati garis finish.

Itulah tempat yang akhirnya aku capai setelah berlari selama 3 tahun di
SMP.

Aku merasakan sesuatu yang meledak di hatiku.

Itu adalah sesuatu yang sudah aku tinggalkan.

Itu adalah sesuatu yang aku pasrahkan.

Itu adalah sesuatu yang telah berakhir.

Aku melambat, diam-diam menunggu hal tersebut untuk tenang. Di samping


kakiku ada bayangan hitam yang berbeda. Suara jangkrik bisa terdengar dari
jauh. Ingatanku perlahan terbangun.

Sepertinya aku sendirian ketika sedang memecahkan rekorku pada hari


terpanas di musim panas itu dan mengakhiri karir klub lariku, ‗kan?

Sambil memikirkan ini, mendadak aku mendengar suara seseorang.

―Apa yang kamu lakukan berdiri di tengah jalan begitu?‖

Itu mengejutkanku.
Ternyata suara itu milik teman sekelasku, Akane Rindou.

Rambutnya yang sedikit lebih pendek dari kebanyakan gadis, menutupi


dahinya, dan butiran-butiran keringat mengalir dengan tenang.

Meski sekarang sudah liburan musim panas, tapi dia mengenakan


seragamnya ketimbang pakaian kasualnya. Apa dia ada kegiatan klub?

―Cuma sedikit melamun.‖

Ahahaha. Aku mencoba menutupinya dengan tawa, tapi Akane bertanya


dengan cemas.

―Apa kamu kena dehidrasi? Apa kamu baik baik saja? Mau kubelikan air? ‖

―Aku hendak pergi ke perpustakaan. Disana ada AC, jadi jangan


khawatir. Apa kau ada kegiatan klub sekarang, Akane?‖

Akane duduk di sepedanya, dan keranjang di bagian depan ada tas yang
dimasukkan ke sana dengan cara acak-acakan. Ini adalah tas oranye yang
akan selalu dia bawa untuk kegiatan klubnya, dan aku sering melihatnya.

―Mesum.‖

Akane mengartikan pandanganku sebagai sesuatu yang lain.

―Apa?‖

―Kamu melihat tasku. Kamu tahu apa yang ada di dalamnya, bukan? ‖

―Baju renangmu, ‗kan? Aku cuma melihat tasnya. Jangan seenaknya


memanggilku dengan panggilan mesum. ‖

Tapi setelah mendengar jawabanku, Akane melirik dengan nakal.

―Ehehe sayang sekali. Ini pakaian dalam.‖

―Mengapa?‖

―Karena aku sudah memakai baju renangku.‖


Akane mengangkat sedikit roknya. Baju renang sekolah hitam bisa terlihat.

―Akane, sekedar mengingatkan, jangan pernah lakukan itu meski itu adalah
pakaian renang. Bukankah ada lagu lama dengan lirik, 'semua cowok itu
mesum, jadi teruslah waspada'. ‖

―Tuh, ‗kan? Lagipula kau mesum.‖

Akane tersenyum dengan gembira. Aku pasrah menerima kekalahanku

Tiba-tiba, aku menyadari kalau hal yang mengamuk di dalam diriku telah
menghilang sepenuhnya. Ketimbang hal itu, ada sesuatu yang sedikit lebih
jujur, mencoba mengintip. Baju renang, baju renang. Bagian bawah rok yang
tidak bisa dilihat mengusik naluriku sebagai cowok.

Yah, mau bagaimana lagi, ‗kan? Jadi aku bergumam dan membela diri.

Lagipula aku anak kelas 2 SMA yang sehat.

―Terima kasih.‖

Aku berkata dengan malu-malu, dan Akane segera tertegun, lalu melarikan
diri dariku.

―Da-Dasar ca-ca-cabul– !!‖

Jadi, kenapa kau memanggilku cabul setelah aku mengucapkan terima


kasih?

Setelah berpikir sejenak, aku menyadari kesalahanku.

Apa aku ini bego? Mengucapkan terima kasih setelah melihat rok yang
terangkat? Diriku yang cabul.

―Tidak, ini berbeda, Akane.‖

―Apa bedanya?‖

Tanya dia dengan nada jijik.


―Aku emang mesum, tapi aku bukan orang cabul.‖

―Apanya yang beda coba?‖

Akane terus melangkah lebih jauh. Ah, aku bilang itu berbeda, beneran. Tapi
semakin aku menyangkalnya, jarak antara kami semakin melebar. Sampai
pada titik, kami berada di jarak saling berteriak, bukan jarak saling bicara.

―Hei – cabul–!‖

―Berhenti memanggil cabul seolah-olah itu namaku. Namaku bukan itu, tau.

―Hei, cowok cabul. Kamu masih ingat janji lusa nanti?‖

Ahh sial, tidak bisa menyangkal apa yang baru saja aku akui.

―Ingat!! Jam 6 sore di kuil, ‗kan?‖

―Ya-! Aku-!‖

―Hm?‖

―Sangat menantikannya!!‖

―Oke!‖

―Aku akan memakai yukata, jadi nantikan itu, cowok cabul!‖

Begitu dia mengatakan itu, Akane mengayuh sepedanya tanpa mendengar


jawabanku. Aku menyaksikannya pergi ke sekolah, memikirkan hal yang
sepele. Ahh, itu benar-benar tidak perlu.

Memangnya orang bakal memberitahu seseorang ketika ingin mengenakan


yukata?

❀❀❀
Aku sedang berada di lobi perpustakaan, tengah melepas dahaga. Air dingin
yang kuminum mengalir melalui tenggorokanku, dan langsung menuju ke
perutku.

Dulu, aku kesulitan melakukannya, karena aku kesulitan menurunkan kepala


untuk minum. Air di mulutku selalu tumpah karena gravitasi.

Sejak kapan aku bisa minum seperti ini?

Ingatan ini tetap tersimpan di sudut kesadaran samarku, dan berbeda dari
ingatan lain. Ini seperti makan, pergi ke toilet sendirian, atau naik sepeda.

Aku kira itu sama, entah bagaimana, aku belajar cara melakukannya.

Setelah memuaskan tenggorokanku, aku pergi ke ruang belajar mandiri. Aku


menggeser pintu kaca ke samping, dan udara di ruangan ber-AC
menyelimuti diriku. Rasanya sangat nyaman.

Aku menemukan sosok Yuki di meja dekat dinding.

Pada hari pertama kami bertemu, dia membawa dua buku di atas meja, dan
sedang membaca salah satunya. Sudah tiga hari sejak kami bertemu, namun
dia belum membaca buku kedua-nya, dan alasannya adalah karena
diriku. Sejak hari itu, aku merepotkannya dengan dengan tugas-
tugasku. Terutama tugas Matematika; tanpa bantuannya, aku takkan bisa
menyelesaikan sebagian dari tugas yang ada.

―Selamat pagi.‖

Aku mendekati Yuki, dan duduk di seberangnya.

―Selamat pagi, Yoshi-kun.‖

―Maaf aku terlambat.‖

Kami tidak janjian untuk bertemu, tapi aku meminta maaf. Aku merasa
kalau aku sangat berutang padanya, dan datang terlambat merupakan hal
yang tak baik bagiku.

Aku berangkat dari rumah lebih awal, dan berlari karena aku takut
terlambat, tapi percakapanku dengan Akane hari ini tak kusangka menyita
banyak waktu. Aku akan berangkat dari rumah sedikit lebih awal besok,
gumamku sembari memutuskan hal tersebut.

―Tidak apa-apa. Jangan khawatir. Aku juga baru sampai kok. ‖

―Tapi aku tidak bisa membuat seorang gadis menunggu.‖

―Hmmm, kamu perhatian juga, Yoshi-kun. Kamu masih sama seperti


sebelumnya.‖

―Eh?‖

―Bukan apa-apa. Ngomong-ngomong, apa kamu sudah menyelesaikan


pertanyaan kemarin? ‖

―Belum. Aku masih tidak mengerti. Rumus yang dipakai sudah benar, tapi
jawabannya masih belum ketemu.‖

―Hmm, kamu selalu membuat beberapa kesalahan kecil Yoshi-kun. Jika


kamu masih belum menemukan jawaban yang benar, biasanya karena
masalah itu. Coba lihat sebentar.‖

Yuki mengambil buku catatanku, setelah mencari-cari kurang dari satu


menit, dia mengucap ―ahh‖ seakan menemukan sesuatu.

―Lihat? Ini kesalahan kecil yang kamu lakukan.‖

Yuki tampak sedikit tercengang, dan menunjuk simbol operasi.

Sepertinya aku lupa memberi tanda minus.

Ahahahaha, aku mencoba untuk menertawakannya, dan malah diselentik


oleh Yuki. Lalu, Aku secara naluriah memegang dahiku. Rasanya tidak
terlalu sakit, mungkin karena dia menahan diri.

―Maaf.‖

―Lain kali hati-hati.‖

―Iya, Sensei.‖
Yuki mungkin terlalu menyukai bagian kata 'sensei', karena ada senyum yang
menyilaukan menghias wajahnya.

―Anak baik.‖

❀❀❀

Kami menghabiskan seluruh waktu belajar sampai jam tutup perpustakaan,


tetapi matahari belum terbenam. Aku masih bisa melihatnya sepenuhnya
dengan jelas.

Matahari terbenam mewarnai dunia dengan cerah, menyeret bayang-bayang


kita.

Aku menemani Yuki ke stasiun, seperti biasa, dan dia menginjak


bayanganku. Tempat yang diinjak tepat di hatiku.

―Apa yang sedang kau lakukan?‖

―Menginjak bayanganmu. Sekarang kamu akan menjadi seperti diriku,


Yoshi-kun. ‖

―Eh? Memangnya ada aturan semacam itu dalam permainan menginjak


bayangan? Aku ingat aturannya lebih seperti kejar-kejaran. ‖

―Apa? Jadi kamu tidak mau menjadi seperti diriku, Yoshi-kun? ‖

―Apa maksudmu, seperti dirimu?‖

Yuki meletakkan jari telunjuknya di dagunya, dan menggoda,

―Errm, menjadi gadis cantik?‖

―Jangan membual terus.‖

Ehhh, aku menepak kepalanya, dan dia menjerit seperti kesakitan, Aduh,
sakit tau. Dasar kejam, memukul seorang gadis. Dia terus menggerutu, dan
aku terus mendengarkan suaranya yang menyenangkan, mengabaikan
keluhannya.
Yuki yang cemberut sangat imut, dan aku terus menatapnya.

Kami terus berjalan, dan posisi bayangan berubah. Bayangan Yuki bergeser
ke kakiku, sementara aku mengikuti dari belakang.

―Sekarang giliranmu, Yuki.‖

―Umu.‖

Kami terus berjalan, memeriksa posisi matahari tepat di bawah kaki kami
ketika kami mencoba untuk saling menandai. Beberapa saat yang lalu,
kupikir bayanganku bergerak ke arah Yuki, tetapi pada saat selanjutnya,
bayangan Yuki bergeser ke arah kakiku. Bahkan di tempat yang berbeda, aku
bisa melihat banyak pemandangan berbeda.

Dari waktu ke waktu, kami berbelok ke kiri, lalu ke kanan, dan masuk ke
gang. Kami hanya fokus pada posisi matahari, dan tanpa kami sadari, kami
tidak tahu di mana kami berada.

Akulah orang pertama yang menyadarinya.

―Yuki, apa kau tau daerah ini?‖

―Nggak. Sama sekali tidak tahu.‖

―Yah, lagipula tidak terlalu jauh juga, jadi kurasa kita baik-baik saja. Ayo
putar balik.‖

―Kamu benar.‖

Aku hendak berbalik, tapi Yuki tiba-tiba meraih tanganku, jari-jarinya


terjalin dengan tanganku. Pada saat itu, saraf di tubuhku langsung
membeku. Jari-jari Yuki bergerak-gerak dengan kikuk, berusaha meredakan
keteganganku, dan begitu dia menemukan cara untuk mengunci jari-jarinya,
dia menggenggam tanganku dengan erat. Dengan demikian telapak tangan
kami saling bersentuhan.

―Eh?‖

―Ah, maaf, aku takut tersesat, jadi….‖


―Erm, apa kau mengkhawatirkan itu?‖

―Tidak. Umm, ini kebiasaanku sejak kecil. Aku berpegangan tangan dengan
adikku, untuk memastikan kalau dia tidak tersesat. ‖

―Begitu ya. Yah, aku juga pernah mengalami itu. ‖

Dia tak berniat untuk melepaskan tanganku, jadi aku tidak mengucapkan
apa-apa lagi, dan memegang tangannya dengan lembut.

Aku tak tahu seberapa banyak tenaga yang harus aku gunakan, dan sulit
untuk mencari tahu. Adik perempuanku Natsuna memiliki tangan yang lebih
kecil daripada Yuki, tetapi ini adalah situasi yang berbeda. Aku jauh lebih
gugup memegang tangan Yuki.

―Lebih erat lagi.‖

―Eh?‖

―Aku tahu kamu merasa khawatir, Yoshi-kun. Kamu ingin memperlakukanku


dengan lembut. Tapi sekarang, tolong pegang tanganku sedikit lebih erat,
sama seperti ketika kamu meraih tanganku di minimarket.‖

―Apa kejadian itu pernah terjadi?‖

Mendengar balasanku, untuk beberapa alasan, Yuki mengerahkan lebih


banyak kekuatan di tangannya, tampaknya dia marah.

―Ow.‖

―Tenaga sebanyak ini juga baik-baik saja.‖

―Tapi bukannya nanti akan terasa menyakitkan?‖

―Aku ingin kamu memegang tanganku ... erat. Tolong jangan lepaskan. ‖

―Baiklah.‖

Jadi aku dengan hati-hati mengerahkan tenaga ke tanganku. Telapak


tanganku mulai memanas, pipi serta telingaku juga ikutan terasa panas. Aku
diam-diam berharap kalau telapak tangan yang panas ini takkan
melepaskannya. Apa ini?

Nama kehangatan yang kurasakan ini adalah–

―Ya, sesekali tersesat rasanya tak terlalu buruk juga‖

Yuki mengangguk puas.

―Eh, ah, ya. Kurasa sesekali melakukan sesuatu yang tak biasa memang tidak
terlalu buruk.‖

―Bukan itu yang aku maksud.‖

Kami memutar balik sebentar, dan melihat jalan yang sudah kami kenali.
Sepertinya kami baru saja masuk ke sisi jalan yang jauh dari jalan yang
biasa. Menjorok turun, kami bisa melihat aula publik, dan kami tiba di jalan
utama.

―Apa? Jadi, kita tidak benar-benar tersesat. ‖

Yuki tiba-tiba melambaikan tangannya, tersenyum padaku. Tanganku


ditarik, dan aku akhirnya melambai juga. Ahahaha. Yah biarlah, yang
penting Yuki terlihat senang. Aku akhirnya mengayunkan tanganku
juga. Tubuh kecil Yuki tak pernah jatuh, dan ditarik kembali karena
mundur. Ahahaha. Aku pun ikut tertawa.

Aku pikir itu akan berlanjut, tapi Yuki dengan cepat berhenti.

Dia berhenti mengayun, dan mendadak diam ketika dia melihat papan
reklame di ruang publik. Apa ada sesuatu yang langka di sana?

―Ada apa?‖

―Itu.‖

Yuki menunjuk poster festival musim panas lokal. Pamflet hitam itu berisi
foto kembang api. Pada waktu seperti ini, poster-poster seperti itu akan
ditempelkan di seluruh jalan-jalan perbelanjaan dan sejenisnya; jadi, ini
bukanlah pemandangan langka.
―Ahh, festival Nobume? Dua hari nanti. Aku-―

―Hei, Yoshi-kun, jika kamu punya waktu….‖

―Tapi aku sudah janji untuk pergi dengan teman sekelasku.‖

Yuki yang telah mengambil keputusan, memanggilku, dan kata-kataku yang


tertinggal tumpang tindih dengan ucapannya.

――Eh???‖‖

Reaksi, tanggapan, dan emosi kami hampir dilakukan secara


bersamaan. Namun, Yuki kembali tenang sebelum diriku. Aku sendiri masih
belum bisa tenang; hatiku masih terasa kacau.

―Kapan?‖

―Eh?‖

―Kapan kamu diajak?‖

―Ehh ... dua hari yang lalu. Aku hanya ngikut semua yang ada di kelas. ‖

―Dua hari yang lalu? Awal liburan musim panas ya, aku ceroboh.‖

Yuki mendongak ke atas, tampak frustrasi oleh sesuatu saat dia menutup
matanya. Rambut depannya terurai ke wajahnya. Yah, aku menyaksikan
lehernya yang mulus itu indah. Dia mengerutkan kening, mendesah, dan
mengikhlaskan. Suhu tubuhnya menjadi jauh.

―... Kurasa janji itu akan hilang juga.‖

Yuki meninggalkanku, dan pergi menjauh. Aku bisa saja mengatakan


"Tunggu", tapi aku masih dilanda kebingungan, tidak bisa mengucapkan
kata sesederhana itu.

Sedikit lebih jauh dariku, Yuki berbalik, dan lalu menatapku. Ketika cahaya
matahari menyinari punggungnya, aku tidak tahu ekspresi macam apa yang
dibuatnya.

―Selamat tinggal.‖
Yuki kemudian berbalik lagi untuk pergi. Ketika dia mengucapkan selamat
tinggal, aku secara alami berpikir kalau kami akan bertemu lagi pada esok
hari, jadi aku melambai padanya, byebye,

Tetapi pada hari berikutnya, dan lusa, Yuki tak pernah muncul lagi di
perpustakaan.

❀❀❀

(Perubahan Sudut Pandang)

―Jika kamu tidak memakai ini, itu akan terlihat jelas.‖

Aku mendengar suara seseorang ketika aku hendak mengenakan yukata. Itu
adalah suara serak orang tua yang tegas, dengan dialek yang tidak
dikenal. Ya ya. Letakkan tangan melalui lengan baju, dan tarik. Bukannya
sudah bagus sekarang? Langsung keluar sisi itu. Tidak bisa berpakaian di
sana. Yap, terlihat bagus.

Aku melihat sekeliling, tetapi tentu saja, hanya ada aku di kamar hotel ini.

Di sebelah sini aku harus melilitnya.

Sudah setahun sejak aku tidak mengenakan yukata, tapi aku berhasil
memakainya dengan bantuan suara nenek tua yang membimbingku. Yukata
yang kupakai adalah yukata biru tua, bermotif ikan mas merah dan hitam
yang berenang di sungai. Ini adalah sesuatu yang nenek tua tinggalkan
untukku, meski aku hanya bertemu beliau sekali, dan tidak tahu namanya
sama sekali.

Aku berputar-putar di depan cermin, memeriksa apakah ada kerutan di


yukata. Tidak ada, sempurna. Sayang sekali, yukata-ku sepertinya tidak
sesuai dengan suasana kamar bergaya Barat ini.

Yukata benar-benar cocok dengan rumah tua nostalgia tempat nenek itu
tinggal.

Musim panas tahun lalu, aku bertemu nenek tua itu.


Pada hari itu, aku akan pergi ke festival musim panas bersama Yoshi-
kun. Jika membicarakan festival musim panas dan kembang api, maka
yukata juga harus disebutkan. Jadi, aku pergi ke rumah tua biasa.

Sebenarnya, aku selalu ingin tahu mengenai tempat itu.

Ada papan nama dengan tulisan 'Rental Yukata / Kimono'. Aku menggeser
pagar yang tingginya sepinggang, dan diikuti suara derit tersebut, aku
melihat jalan yang menghubungkan ke rumah. Nenek tua itu berada di ujung
rumah, sedang mengepakkan kipasnya.

Dia menyipitkan matanya, dan karena keriput, untuk sesaat, aku tidak tahu
di mana dia melihat. Rambut putih bersihnya terlihat terawat, halus dan
berkilau.

―Ada apa. Siapa kamu?‖

Suaranya terdengar keras, tapi ada kehangatan di dalamnya. Kenapa bisa


begitu?

―Erm, aku melihat papan nama di luar. Aku ingin menyewa yukata dari anda,
nek.‖

―Papan nama. Papan nama. Ahh, yang itu ya. Aku sudah tidak melakukan itu
lagi, Maaf.‖

―Eh, begitu ya.‖

Aku menurunkan bahuku dengan sedih. Aku benar-benar berharap untuk


memakainya.

Meski beliau meminta maaf, nenek tua itu pergi dengan gembira.

―Tapi Nona, wajahmu cantik. Kamu ingin menjadi lebih imut, ya?‖

―…Iya.‖

―Untuk anak laki-laki?‖

―Iya.‖
―Kamu menyukainya?‖

Nenek tua itu berseri-seri, tapi sayangnya, ini sedikit berbeda.

―Tidak. Tapi aku ingin Ia yang bilang kalau Ia menyukaiku.‖

―Kamu ini gadis yang jahat, ya.‖

―Anda pikir begitu?‖

Tentu saja, aku tahu itu, tetapi aku berpura-pura tidak mengetahuinya.

―Yah, memang bagus bagi seorang gadis untuk menjadi bersemangat, tapi
yah, kamu harus berpakaian lebih baik. Nenek tua ini tak bisa memakainya
lagi, jadi anggap saja ini takdir, ya. Ini sesuatu yang bagus untukmu, Nona
muda.‖

Yoisho, nenek itu berusaha untuk berdiri, dan pergi dari teras menuju ke
dalam rumah. Aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku hanya berdiri di
sana. Setelah beberapa saat, nenek itu memanggilku,

―Jangan bengong terus. Kemarilah. Nenek tua ini akan memberimu sesuatu
yang bagus.‖

Aku melakukan apa yang diperintahkan nenek, dan mengikuti di


belakangnya. Hanya ada sedikit barang, apalagi perabotan, dan sepertinya
hanya kebutuhan minimum yang ada. Ada lemari yang terlihat berkelas di
antara barang-barang ini, dan nenek tua tersebut dengan hati-hati
mengobrak-abriknya.

Ruangan itu dipenuhi aroma unik dari rumah tua. Udaranya kental, dipenuhi
dengan berbagai hal, kehidupan, usia, kematian, pengalaman hidup
manusia.

Aku melihat sekeliling ruangan, ―Ah, ini, ini.‖ gumam si Nenek.

―Meski sedikit jadul, ya, tapi masih bisa dipakai. Ayo, buka bajumu dan pakai
ini.‖

Nenek itu mengeluarkan apa yang kelihatannya yukata biru tua yang mahal.
―Eh?‖

―Ayo cepat.‖

Dengan suara keras nenek yang tanpa henti memaksaku, aku menelanjangi
diri, seperti yang diperintahkannya.

Dan tepat ketika aku hendak memakai yukata.

―Ya ampun, jika kamu tidak memakai ini, nanti bisa tembus pandang.‖

Usai mengatakan itu, nenek memberiku baju dalam. Alih-alih dipakai dari
lengan, slip yang jatuh dari dada ke pinggang tampak sangat
menyedihkan. Aku sedikit ragu, merasa bimbang apa aku harus
memakainya, tapi pada akhirnya aku mengenakannya dengan patuh.

―Ya ya. Letakkan tangan melalui lengan baju, dan tarik. Bukannya sudah
telihat bagus sekarang? Langsung keluar sisi itu. Tidak bisa berpakaian di
sana. Yap, terlihat bagus. ‖

Nenek itu memilih untuk tidak membantuku, dan berulang kali


mengingatkanku ketika aku melakukan kesalahan. Sementara aku kesulitan
bagaimana cara mengikat obi, beliau bertanya,

―Kamu hendak pergi ke festival Nobume-sama, ‗kan?‖

―Iya.‖

―Aku juga pernah ke sana bersama beberapa orang lain saat masih muda.‖

―Iya.‖

―Tapi sejak para tetua itu pergi, aku tak pernah ke sana lagi. Kembang api itu
tampak sangat tak berwarna bagiku. ‖

―Apakah begitu?‖

―Ini bukan masalah usia. Hanya masalah perasaan saja. Itu salah. Ya, tahan
di sana ya.‖

―Seperti ini?‖
―Ya. Kemudian tarik kembali. Benar, sudah selesai. ‖

Sebelum aku menyadarinya, aku melihat diriku di cermin. Aku sedikit


tersentuh.

―Hm, cantik sekali. Setiap laki-laki akan jatuh cinta pada kecantikan
semacam dirimu. Pergilah ke sana dan buat Ia berkata 'Aku
menyukaimu'. Ahh, pergilah ke sana dengan yukata ini dengan senyum imut
tahun depan, dan tahun depannya lagi. ‖

Aku berterima kasih kepada nenek itu, dan pergi ke tempat janjian untuk
bertemu dengan Yoshi-kun.

Begitu Ia melihatku, matanya melebar. Aku belum pernah melihat


ekspresinya seperti itu sebelumnya. Setelah itu, Ia menggelengkan kepalanya
seperti anak anjing yang basah kuyup. Sungguh imut sekali. Aku berharap Ia
mengatakan kata-kata seperti itu, jadi aku sedikit tidak senang dengan
jawabannya. Kurasa aku sedikit senang melihat wajahnya yang memerah.

Kami berjalan menyusuri jembatan, berdampingan, dan menunggu


pertunjukkan kembang api sambil makan es serut.

―Kau tahu, Yuki? Sirup es serut semua rasanya sama, cuma warnanya saja
yang berbeda. ‖

Aku berdiri di sebelah Yoshi-kun, yang lidahnya berwarna lemon, dan


membawa es biru ke mulutku. Awalnya terasa kenyal, tetapi semakin aku
mengunyah, esnya meleleh, dan menjadi tak bertekstur.

―Begitu ya.‖

Sebenarnya, aku tahu hal itu.

Hal itu ditulis dalam novel yang aku pinjamkan pada Yoshi-kun, tapi Ia tidak
tahu itu. Kenyataannya mungkin berubah sedemikian rupa sehingga Ia
akhirnya meminjam novel dari perpustakaan.

―Aku pernah membacanya di novel.‖

―Jadi itu milikku punya rasa yang sama dengan milikmu.‖


―Yah kemungkinan begitu.‖

―Aku ingin mencobanya.‖

Sebelum aku mendapat persetujuan Yoshi-kun, aku mengambil sesendok es


lemon dari cangkirnya, menggunakan sendokku, dan memakannya.
Ah. Serunya. Aku merasa rasanya sangat manis.

―Bagaimana?‖

―Hmm, tidak tahu. Bagaimana kalau kamu juga mencobanya? ‖

Kali ini, aku menyendok dari milikku, dan menjulurkan ke arahnya. Pada
saat yang sama, dia agak kelagapan, tapi aku pura-pura tidak
menyadarinya. Ada apa? Aku memiringkan kepalaku.

Dua detik kemudian, Yoshi-kun menyerah saat Ia menggigit sendok yang


kujulurkan.

―Bagaimana rasanya?‖

―Hmm, entah. Ini seperti rasa yang sama, tapi sedikit berbeda. ―

―Yah, yang namanya manis tetap saja manis.‖

Kami melanjutkan dengan obrolan santai, dan lalu sebuah kembang api
mekar di udara, seolah-olah mengakhiri pembicaraan kami sebelum
memudar. Dentuman suara kerasnya mengguncang hati kami, dan kembang
api, yang berwarna seperti lidah kami, secara bertahap mewarnai dunia
secara berbeda. Biru, hijau, kuning, merah.

―Cantik sekali.‖

Ujarku dengan nada takjub.

―Ya.‖ Balasnya.

Setelah itu, banyak hal berkembang secara alami.

―Aku ingin melihat ini lagi bersamamu tahun depan, Yoshi-kun.‖


―Oke. Ayo kita lihat lagi tahun depan. ‖

Mungkin ini pertama kalinya sejak kecelakaan itu, aku sangat menantikan
melihat masa depan setelah momen ini.

………………………………………………………………..

………………………………………………………..

………………………………………..

……………………………

Ya, masa depan itu tidak pernah terjadi.

Aku sendirian, mengenakan yukata yang sama, dan pergi ke kuil sendirian.

Setiap langkah yang aku tapaki, geta yang sedikit lebih besar dari kakiku
berbunyi. (TN : sandal kayu)

Aku tiba di rumah tua yang telah dijual, dan menghentikan langkahku.

Pagarnya dikunci oleh benda-benda seperti kawat logam. Ini sudah seperti
ini sejak beberapa hari usai festival tahun lalu.

– Pergilah ke sana dan buat Ia berkata 'Aku menyukaimu'.

Nenek tua yang tersenyum dengan beberapa gigi tersisa sudah tidak ada lagi.

Yukata ini adalah satu-satunya bukti bahwa aku pernah berinteraksi


dengannya.

―Maafkan aku, nek. Anda sudah melakukan begitu banyak untuk


mendandaniku, namun aku tidak bisa melakukannya. ‖

❀❀❀❀
(TN : Perubahan sudut pandang lagi, sekarang dari sudut pandang MC)

Aku pergi ke kuil, dan untuk beberapa alasan, langkah kakiku terasa berat.

Bukannya aku tidak senang pergi ke festival, tapi aku sudah seperti ini sejak
kemarin. Pikiranku selalu memikirkan gadis tertentu.

―Oh, kau beneran datang, Segawa.‖

Teman-teman sekelas yang berkumpul di halaman kuil berseru saat


melihatku.

Biasanya, aku takkan berpartisipasi dalam pertemuan kelompok semacam


ini, jadi mereka mungkin sangat terkejut melihat kehadiranku.

Aku biasanya pergi sendirian, dan mereka mungkin memiliki pandangan


kalau aku suka sendirian. Itu sama saat Festival Nobume tahun lalu. Aku
makan es serut sendirian, dan menyaksikan kembang api sendirian.

Para lelaki mengenakan pakaian yang sama, entah setelan kolor yang cocok,
atau celana jeans yang cocok. Beberapa gadis memakai yukata. Omong-
omong, Akane menyebutkan kalau dia akan mengenakan yukata.

―Hei, itu tidak sopan. Bukannya aku sudah bilang kalau aku akan datang, jadi
aku beneran datang. ‖

―Kenapa nadamu terdengar marah-marah begitu?‖

Nada bicaraku terdengar kasar karena suatu alasan, dan teman sekelas yang
lain menjauhkan diri dariku.

―Yah, Haru mungkin tidak terbiasa dengan ini. Mungkin Ia tidak tahu
bagaimana harus bereaksi.‖

Mengaitkan leherku dengan lengan berototnya adalah temanku,


Takuma. Yeah, ucapnya ketika dekat denganku, terdengar sedikit
mengintimidasi dan khawatir. Rasanya terlalu kekanak-kanakan bila aku
tidak mengubah sikapku setelah mengetahui hal itu. Aku mengendurkan
otot-otot pundakku. Jarang-jarang bagi aku untuk diajak main keluar, jadi
aku harus sedikit menikmatinya.
―Ah maaf. Sebenarnya, aku tidak banyak mengalami kemajuan dengan
tugasku. Cuma sedikit kesal saja. ‖

―Heh, jarang-jarang melihat Haru si murid teladan tidak bisa mengerjakan


tugasnya.‖

Aku mengerti apa yang Ia maksud, jadi aku dengan senang hati mengikuti
arus.

―Ngajak berantem? Kaulah yang punya nilai bagus.‖

―Yah, karena aku jenius.‖

―Oi, kalian pengen ngegebukin Takuma kagak?‖

Setelah mengatakan itu, beberapa anak laki-laki dengan sengaja bersorak


setuju.

Aku akan memukulnya dengan baik. Woke, waktunya festival darah. Aku
bisa mendengar kata-kata kejam seperti itu di luar imajinasiku. Tunggu,
tahan dulu, serius, jangan lakukan ini. Ow Orang bego mana yang tadi
mukul? Takuma dikelilingi oleh orang-orang, berteriak; Aku bertukar
pandang dengannya, dan melihat dirinya masih tertawa. Aku mengangguk
padanya. Suasana canggung dari sebelumnya telah hilang dalam sekejap. Ini
pasti bagus. Lihat, penting sekali untuk terus berjalan sampai akhir, tapi kita
masih anak-anak. Tak perlu bersikap begitu keras kepala.

Takuma kemudian meminta pertolonganku, bantuin gue, oi. Dia mengerjap


beberapa kali, memberiku beberapa ekspresi kaku.

Secara alami, aku menggelengkan kepala.

Adapun apa yang harus aku lakukan, situasinya sudah di luar kendali. Yang
benar saja. Usai mengucapkan kata-kata pasrah seperti itu, tubuh besar
Takuma berjongkok saat Ia menutupi kepalanya, menghilang dalam
kerumunan saat dirinya terus dipukuli oleh anak-anak kelas. Aku bertepuk
tangan. Namusan.

Tiba-tiba, aku merasa ada yang menatapku.


Aku menoleh, dan menemukan seorang gadis yang agak jauh dari kami. Dia
tampaknya sedang melihat sesuatu yang menyilaukan saat dia menyipitkan
matanya. Dia mengenakan yukata biru tua, dengan pola desain yang
menggambarkan sungai dengan ikan mas merah dan hitam di dalamnya.

Aku ingin memanggil namanya, dan keluar dari keributan. Saat aku hendak
memanggil namanya, namaku dipanggil seseorang.

―Hei, Haru–―

Yang memanggilku adalah Akane. Seperti yang dia katakan, dia juga
mengenakan yukata. Warnanya hijau polkadot, dengan pola bunga Morning
Glories hijau dan kuning. Warna-warna cerah yang cocok untuk dirinya yang
ceria.

Sementara aku terganggu oleh suara Akane, sosok gadis itu menghilang ke
dalam kegelapan. Tempat dirinya berdiri tak ada siapa-siapa lagi.

Diam-diam aku memanggil namanya.

Namun, itu tidak ada gunanya.

―Yuki.‖

Dan Akane, yang baru tiba di sampingku, memiringkan kepalanya dengan


bingung?

―Yuki? Padahal ‗kan sekarang musim panas.‖

Saat kami mengobrol, Takuma akhirnya berhasil kembali hidup-hidup dari


jurang Neraka, dan memanggil semua orang. Ayo pergi. Ajaknya, sambil
berjalan terhuyung. Aku pun mengikuti mereka di belakang.

Lalu, aku berhenti sebentar untuk menoleh kembali ke tempat itu dengan
harapan, namun apa yang kudapatkan hanyalah harapan palsu belaka.



Festival Nobume adalah festival turun temurun dari waktu 150 tahun yang
lalu.
Rupanya, festival ini adalah festival untuk merayakan gadis kuil bernama
Nobume yang menikahi dewa naga yang mengganggu umat
manusia. Namun, dewa naga di sini merujuk pada sungai, dan festival ini
diadakan untuk menghibur jiwa para gadis yang menjadi pilar manusia
untuk menghentikan banjir.

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, orang-orang memukul drum dan


meniup seruling untuk Nobume-sama.

Aku mendengar hiruk pikuk keramaian festival, dan duduk sendirian di


tangga batu, menjaga barang-barang yang lain.

Lima ayam panggang mentega, baby castellas. Bagi anak SMA seperti kami
yang memiliki uang saku terbatas, wajar-wajar saja untuk patungan pada
acara-acara seperti ini.

Semua orang pergi membeli makanan yang gampang dibagikan.

Setelah menunggu sejenak, Akane kembali sendirian. Dia memegang dua


botol ramune, tiga tusuk daging sapi, dan sebungkus takoyaki. Maaf sudah
membuatmu menunggu, katanya dengan malu-malu.

―Ini untukmu. Jaga rahasia ini dari yang lain.‖

Ujarnya sambil memberiku botol berawarna biru muda.

―Buat aku?‖

―Ya. Tapi ini hanya untukmu dan aku saja. Habiskan sebelum semua orang
kembali.‖

―Oke. Terima kasih. Apa semuanya sedang membeli yang lain? Mereka lama
sekali. Apa mereka terlibat masalah? ‖

Aku berterima kasih pada Akane dan menerima Ramune. Kurasa ramune ini
di simpan dengan es, karena rasanya dingin. Aku memegang gelas marmer
dengan lidahku, dan meminum air soda. Gelembung-gelembung itu
meledak, menyebabkan sensasi pahit di dalam mulutku.

―Tidak, aku tidak tahu apakah mereka terlalu khawatir, atau terlalu
pengertian.‖
―Apa maksudmu?‖

―Bukan apa-apa. Jika kamu tidak mengerti, lupakan saja. Kamu tidak perlu
tahu.‖

Akane duduk di sampingku, dia tampak tersipu saat mengangguk beberapa


kali.

Sambil duduk di sebelahnya, aku melihat pemandangan yang ramai dari


festival, terpesona saat mulutku berada di mulut botol Ramune, meneguk
sedikit demi sedikit. Ada berbagai suara yang bergema, warna-warna
mempesona yang menarik perhatianku, dan kerumunan orang yang
berkumpul di sekitarnya. Berbagai hal memenuhi tempat festival.

Jadi aku terus mengobrol dengan Akane, setelah menunggu beberapa lama,
tidak ada teman sekelasku yang muncul.

―Bukannya mereka terlalu lama? Aku akan pergi mencari mereka– ‖

Setelah mengatakan itu, aku berniat bangun, tapi Akane mengucapkan…

―.. Aku merasa agak pusing sekarang.‖

―Eh? Ah, ini festival. Wajar saja kalau kau merasa capek.‖

―Hm? Sungguh? Kurasa begitu jika kamu mengatakannya.‖

Angin sepoi-sepoi bertiup, membelai rambutku dengan lembut.

―Tapi kamu tampak sedikit terganggu hari ini.‖

―... Kurasa tidak.‖

Aku berkata jujur. Aku tidak berbohong. Aku benar-benar menikmati hari
ini, bermain-main dengan Takuma dan yang lainnya, menikmati
pemandangan gadis-gadis yang dibalut Yukata, menikmati suasana
festival. Aku benar-benar menikmati semuanya, tapi–

―Lalu, kamu mau pergi kemana?‖

―Sudah kubilang kalau aku akan mencari mereka.‖


―Sungguh? Bukan itu, ‗kan? Kamu mungkin tidak menyadarinya, Haru, tapi
Kau terlihat terganggu. Apa yang sedang kamu cari?‖

Begitu dia bertanya, aku mendapati diriku terdiam.

Terganggu, ya?

Mungkin itu benar mengenai apa yang dikatakan Akane.

Aku bersenang-senang, bercanda ria dengan semua orang, tapi pikiranku


sibuk dengan seseorang . Aku melihat sekeliling, bahkan ketika kami sedang
mengantri di stand-stand, atau ketika menunggu di tangga batu dengan
semua orang. Aku sebenarnya tidak mencari teman sekelasku. Aku tengah
mencari Yuki

Hanya ada satu gadis yang ingin aku temui.

Hatiku mengingat kelembutan telapak tangannya, perasaannya, serta


kehangatannya.

Begitu aku menyadari perasaan tersebut, tubuhku mulai bergerak.

―Maaf, waktu habis.‖

―Eh?‖

―Aku akan memanggil seseorang. Berkumpul kembali dengan semua orang


terlebih dahulu, Yuki. ‖

Tunggu, sementara Akane memanggil di belakangku, aku terus berlari.

Aku terus berlari, mencari, dan ingin mengajaknya untuk melihat kembang
api. Aku ingin menggunakan semua keberanian yang aku kumpulkan untuk
mengajaknya.

Apa dia akan terkejut? Apa dia akan bahagia? Jika dia bahagia, baguslah. Bila dia
bisa tersenyum bahagia, itu bahkan lebih baik.

Aku menuju ke kerumunan, melihat sekeliling, dan mencari. Adegan berubah saat
aku berjalan ke area lain. Aku melihat sekeliling, namun belum berhasil juga, jadi
aku terus berlari, mengulangi kejadian terebsut.
Di jalan, aku bertemu dengan Takuma.

―Haru, ngapain kau di sini? Bagaimana dengan Akane? ‖

―Maaf, aku akan menjelaskannya nanti. Ini penting.‖

―Ahh? Serius, kau mau pergi kemana? Hei, dimana Akane? ‖

Suara sedih Takuma memudar di belakangku.

Dimana dia? Dimana Yuki berada?

❀❀❀❀

(Perubahan Sudut Pandang lagi~)

Dunia masih terasa sunyi seperti biasa. Rasanya seakan-akan waktu telah
terhenti. Diam-diam aku menghitung mundur. 3, 2, 1, 0. Setelah itu selesai, aku
bisa mendengar suara keras yang merobek keheningan, dan pada saat berikutnya,
ada suara sorakan.

Sepertinya pertunjukkan kembang api sudah mulai.

Dipicu oleh suara kembang api, bayangan dari sebelumnya muncul di benakku. Ia
dikelilingi oleh teman-teman sekelasnya, terlihat sangat bahagia, bersenang-
senang. Entah kenapa, aku merasa hatiku sakit ketika melihatnya.

Aku benar-benar tidak bisa menangani perasaanku sendiri ketika aku mencari
sumber suara.

Kembang api merah menerangi kegelapan.

Namun cahaya itu langsung lenyap.

Eh, ada apa? Itu aneh.

Aku memiringkan kepalaku.

Warna-warna dunia perlahan hilang.


Begitu pula suaranya.

Baru tahun lalu, aku mengtahui bahwa kembang api itu indah, tapi pada saat ini,
mereka tampak hambar dan monoton, terlihat hitam dan putih di mataku.

Rasanya seperti aku menonton TV hitam putih tanpa suara.

Jadi ketertarikanku sudah hilang ya, menatap poster di depanku dengan


enggan. Poster itu memiliki gambar kembang api tahun lalu. Warnanya hitam dan
putih juga di sini. Ahh, sangat membosankan. Aku sedikit bosan. Padahal, akulah
yang membuat janji tahun lalu.

Dan dengan suara yang tak bisa didengar orang lain, aku bergumam,

―Idiot.‖

❀❀❀❀

(Sudut Pandang MC )

Mulainya pertunjukkan kembang api semakin membuatku cemas. Suara


ledakannya terdengar cukup kuat untuk menembus udara
malam. BANG. BANG. Saat kembang api berdentum, detak jantungku menjadi
lebih kencang.

Tiga puluh menit lagi, pertunjukkan kembang api akan berakhir. Ada seseorang di
luar sana yang meneriaki ―Tamaya‖ selama pertunjukan, sementara di tempat lain
ada orang yang berteriak ―Kagiya‖ dengan suara yang tidak kalah kerasnya.

Aku berlari ke belakang arena, jembatan yang merupakan tempat terbaik untuk
melihat kembang api.

Dia tidak ada disini.

Aku bergegas menerobos kerumunan yang menuju ke stasiun. Ada anak-anak,


bersama dengan kakek yang memegang tangan anak-anak tersebut. Ada lima anak
SD. Orang yang mengambil foto dengan smartphone mungkin adalah mahasiswa.

Dan ketika semua orang melihat ke atas langit, hanya aku satu-satunya yang
berlari.
Tenggorokan terasa sakit. Napas beratku tidak bisa tenang. Ahh. Rasanya sulit
bernafas. Hah hah. Tak peduli seberapa banyak aku terengah-engah, oksigen yang
kuhirup tak cukup. Kepalaku pusing. Ini melelahkan. Hah, aku merasa tidak kuat
lagi.

Aku mengelap keringatku yang bercucuran, dan menyeka keringat yang jatuh ke
mataku. Meski tubuhku terasa sangat lelah, aku terus berlari.

Aku tidak bisa menemukannya, baik di stasiun maupun di perpustakaan.

Ahh, bintang milikku mulai. Berbagai suara bergema saat kembang api menerangi
langit dengan warna-warna yang berbeda. Pertunjukkan sudah hampir mencapai
klimaks.

―Sialan.‖

Aku mengumpat sambil terus berlari menuju gang tempat dimana aku pernah
membawa Yuki.

Kami pernah berpegangan tangan, saling mengayun-ayunkan lengan, saling


tertawa, dan menghabiskan waktu bersama.

Api menyala di langit gelap gulita, dan hujan cahaya menimpalinya. Pemandangan
yang menakjubkan meluncur seperti bintang jatuh. Ketika aku terus berlari, aku
diam-diam berdoa memohon kepada ratusan cahaya yang tertinggal.

–Ini bukan harapan konyol. Jadi tolong bantu aku.

–Bawa aku ke tempat gadis itu berada.

Aku melewati gang, dan terus berlari, namun aku langsung berhenti.

Cahaya samar-samar bilik telepon menyinari gedung sebelah yang kukenal.

Aku menghela nafas lega.


Yuki ada di sini.

Dia berdiri di papan iklan di depan aula publik, tangannya menyentuh poster
festival musim panas. Dia memakai yukata yang kulihat dua jam yang lalu, tapi dia
tidak melihat kembang api yang bermekaran di langit. Wajah sampingannya
berwarna biru, kuning, hijau dan merah.

―Yuki.‖

Aku merasa capek, mungkin karena rasa lega. Aku tak punya kekuatan untuk terus
berlari, jadi aku terhuyung langkah demi langkah untuk mendekatinya.

―Kenapa kamu ada di sini?‖

Wajah Yuki menunjukkan kebingungan dan keterkejutan, dan dia mengerutkan


kening, sebelum menatapku dengan tatapan tajam. Wajahnya secantik biasanya,
dan dia yang mengangkat alisnya sedikit membuatku agak terintimidasi.

Tapi, meski begitu, aku tidak bisa mundur.

―Dengar, aku di sini untuk mendengar ucapan yang tidak kamu selesaikan.‖

Kata-kata tertinggal yang menghilang ketika dia berbicara pada saat yang
bersamaan dengan apa yang kukatakan.

―Kamu membicarakan itu sekarang? Yoshi-kun, kamu jahat.‖

―Ya.‖

Lima langkah lagi. Wajah Yuki menunduk ke bawah.

―Kamu tahu apa yang ingin aku katakan.‖

―Yah kurang lebih.‖

Empat langkah lagi. Sosok Yuki semakin dekat.

―Padahal kamu tahu apa yang ingin aku katakan, tapi kamu tidak mengatakan apa-
apa.‖
―Maaf.‖

Aku mengambil langkah ketiga.

―Dan, dan, kamu itu laki-laki, dan kamu ingin seorang gadis mengatakan itu?‖

Dua langkah lagi.

―Dasar tidak tahu malu.‖

Dengan semua keinginanku, aku mengambil langkah terakhir.

Yuki tepat ada di hadapanku.

―Jadi aku akan mengulanginya lagi. Apa kau mau menonton kembang api
bersamaku? Jika aku bersamamu, aku merasa senang.‖

―…‖

―Tidak mau?‖

―…Tidak.‖

―Kenapa?‖

―Karena pertunjukkan kembang apinya sudah berakhir.‖

Yuki mengangkat kepalanya. Ada tanda kesedihan dan kemarahan di matanya,


tetapi pada saat ini, dia terkikik.

―Kau juga sama jahatnya, Yuki.‖

Saat Yuki menatap langit, kembang api kecil mekar di langit dengan suara bang.

Berdiri di samping Yuki, hanya aku satu-satunya yang melihat mata hitamnya,
diterangi oleh cahaya merah.
Pertemuan 213 - Pengakuan Cinta ke-214

―Kamu siapa?‖

Aku didekati oleh seorang gadis yang belum pernah aku temui sebelumnya.

Ini terjadi setelah aku meninggalkan Yoshi-kun, dan pergi ke hotel depan
stasiun.

Suara gadis itu dipenuhi dengan keberanian, bersamaan dengan sedikit


kegelisahan.

Tiba-tiba, aku teringat dengan anak laki-laki yang bersamaku tadi.

Sebuah firasat tak enak membuat mulutku kering. Sebagian besar firasatku
tentang sesuatu yang baik hampir tak menjadi kenyataan, sedangkan firasat
yang buruk sering menjadi nyata. Ini konyol, kali ini, pasti–

―Kamu siapa?‖

Aku menurunkan nada suaraku, berusaha memastikan bahwa dia takkan


bisa menebak pikiranku. Sebagian besar dari lawan bicaraku takkan
berbicara setiap kali aku melakukan ini. Sepertinya ada suatu tekanan dariku
setiap kali aku melakukannya.

Dan tampaknya gadis di hadapanku terintimidasi oleh tekanan suaraku,


karena dia membelalakkan matanya karena terkejut.

Aku ingin berbalik dan segera pergi, tapi siku tanganku dicengkram, tidak
bisa lolos.

―Apa?‖

―Erm.‖

Suaranya tidak memiliki keberanian dari sebelumnya, tapi meski begitu, dia
tidak mundur, dan malah menatap mataku dengan saksama. Mata itu
tampak menyilaukan layaknya cahaya matahari musim panas; panas, tajam,
namun mempesona.

Saat itulah aku sekali lagi menyadari kalau aku tidak bisa melarikan diri. Tak
peduli bagaimana aku mencoba menghindarinya, dia takkan membiarkan
aku pergi sampai aku memberikan jawaban yang tepat. Aku perempuan, dan
dia juga sama. Yah, aku sangat memahami itu.

―Setidaknya, beritahu namamu.‖

―Ahh, begitu. Maaf. Namaku Akane Rindou. Dan, erm, kamu?‖

Aku punya ingatan yang samar tentang nama itu.

Yoshi-kun sering menyebutkannya berkali-kali.

Firasatku semakin menjadi nyata. Rasanya sama tidak nyamannya dengan


sesuatu yang menjilati leher dan punggungku dengan kasar.

Namun meski begitu, aku mengekang berbagai hal yang muncul di hatiku,
menghela napas, dan membawa rambutku yang menjuntai ke belakang. Aku
tidak tahu apakah aku terlihat cukup sombong. Tapi setidaknya, akan baik
jika aku bisa menahannya sebentar.

―Aku Yuki Shiina. Jadi kamu ya yang namanya Akane-chan? Aku sering
mendengarmu dari Yoshi-kun.‖

―Siapa itu Yoshi-kun?‖

―Haruyoshi Segawa-kun. Begitulah caraku memanggilnya. Kamu dari


angkatan yang sama dengannya, kan?‖

Bahkan sebagai perempuan, Akane-chan adalah gadis yang cantik.

Badannya yang tinggi dan langsing tampak gesit. Di bawah bulu matanya
yang panjang itu terdapat mata yang berapi-api dan penuh kebanggaan,
namun ada beberapa kejujuran yang tersembunyi di dalamnya, dan
kelemahan yang menyertainya. Rambut yang lembutnya sangat membuat iri.

Kurasa sebagian besar anak laki-laki tak bisa menolak gadis semacam
dirinya.
Tenggorokanku semakin kering.

―Lalu, apa kamu punya urusan denganku, Akane-chan?‖

―Ermm, ya. Sebenarnya, aku ingin bertanya, apa hubunganmu dengan Haru,
Shiina-san? ‖

Tiiinnnnn.

Klakson mobil terdengar dari suatu tempat. Kedengarannya dekat, dan jauh.

Ini terjadi di musim dinginku yang ke-19.

Begitulah pertemuanku dengan Rindou Akane.

Ini bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan sepatah kata belaka,
begitulah aku memberi tahu pada Akane-chan, dan tanpa membalas
pertanyaannya, aku pergi ke kafe yang sering kukunjungi beberapa
kali. Begitu aku melihat lampu-lampu interior kafe kosong yang tampak
tidak mengesankan itu, aku menghela nafas lega. Aku mendorong pintu ke
samping, dan bel berbunyi.

Selamat datang, ucap seorang Onee-san sambil tersenyum. Tolong untuk


dua orang, ujarku padanya, dan pergi ke tempat dekat jendela, sama seperti
yang aku lakukan saat pertama kali mengunjungi tempat ini bersamanya.

―Erm, Shiina-san.‖

Saat aku baru duduk, Akane-chan memanggil namaku.

Untungnya, suaranya cukup lembut sehingga aku bisa berpura-pura


mengabaikannya. Aku memesan kopi hitam panas. Akane-chan tidak
memesan apa-apa, dan menatapku dengan penuh perhatian.

Begitu pelayan Onee-san itu pergi, aku bertanya dengan suara yang lebih
keras dari yang diniatkan.

―Apa kamu pernah ke toko ini sebelumnya?‖

―Tidak pernah.‖
―Begitu ya. Aku pernah mengunjungi tempat ini bersama Yoshi-kun
sebelumnya. ‖

Buat apa aku pamer? Akulah yang kalah jika mengatakan hal-hal seperti itu
di sini. Kenyataan kalau aku datang ke toko ini bersamanya sudah tidak lagi
ada di dunia ini.

Aku merasa menyedihkan dan tragis karena harus bergantung pada fakta-
fakta semacam itu.

―Aku harap kamu akan menjawab pertanyaanku.‖

Dia kembali ke topik, mungkin tidak senang dengan apa yang aku katakan.

Bagaimanapun juga, suaranya tetap terdengar lembut.

―…Tentang apa?‖

―Hubunganmu dengan Haru.‖

Aku tidak ingin memesan yang lain, tetapi aku perlahan membolak-balik
halaman buku menu di tangan. Nasi kari, roti isi. Yoshi-kun menyukai pasta
Napolitan. Hei, apa kamu tahu hal ini, Akane-chan?

―Meski kamu bertanya padaku tentang hubungan kami, aku tidak tahu harus
berkata apa.‖

Aku membalik ke halaman berikutnya. Ada kopi Blue Mountain, Kilimanjaro


dan lain-lainnya. Berbagai nama kopi terdaftar dengan bagus. Di halaman
yang berdekatan, ada nama-nama teh hitam. Aku ingat Yoshi-kun pernah
mengatakan sesuatu seperti, siapa juga yang mau memesan minuman
seperti ini, mungkin bos perusahaan.

―Seorang teman?‖

―Entah?‖

―Kenalan?‖

―……...‖
―... Kamu bukan pacarnya, ‗kan?‖

Aku membanting menu secara naluriah. Uh oh. Tidak ada pilihan. Aku hanya
bisa meletakkan kembali buku menu ke posisi semula. Akhirnya, aku melihat
ke arah Akane-chan.

―Hei, katakan, memangnya itu ada hubungannya denganmu? Kamu cuma


teman sekelasnya, ‗kan? ‖

―Kami bukan hanya teman sekelas.‖

―Terus apa? Kenalan? Teman?‖

Aku membalas balik dengan kata-kata yang baru diucapkannya sepuluh detik
yang lalu.

―Kamu bukan pacarnya, kan?‖

―Tidak juga.‖

Pada saat ini, mata Akane-chan menyala dengan emosi yang sangat berbeda.
Kemarahan, atau lebih tepatnya, kebencian. Ahh, ini memudahkanku. Kita
bisa berkelahi di sini.

Karena aku akan menemukan diriku sangat menyedihkan di hadapan


kejujuran itu. Aku tak bisa lagi melihat siapa pun dengan mata seperti itu
lagi.

―Kalau begitu, tidak masalah apa hubunganku dengan Yoshi-kun


sekarang. Aku tidak punya sesuatu untuk dikatakan kepada teman sekelas
belaka– ‖

Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, sebuah suara berbunyi.

Plak.

Aku menyadari kalau aku ditampar, karena pipiku terasa panas.

―Sudah kubilang kalau aku bukan teman sekelas biasa. Aku selalu
menyukainya. ―
―Tapi itu hanyalah apa yang kamu inginkan.‖

Begitu aku menjawabnya dengan tenang, Akane-chan mengangkat


tangannya lagi.

Kali ini, aku sudah siap secara mental, karena aku tahu amarahnya sudah di
ambang batas.

Tapi tangannya yang terangkat perlahan jatuh, dengan lemas.

Dia menggigit bibirnya dengan keras, matanya dipenuhi air mata saat dia
dengan ceroboh meraih tasnya. Maaf sudah menamparmu, katanya, dan lari
meningkalkan kafe.

Fiuh, aku menghela nafas, dan bahuku menjadi lemas. Tanganku


gemetaran. Untung dia tidak menyadarinya. Aku benar-benar tidak ingin
melakukan itu. Tetapi karena dia takkan membiarkanku pergi, aku tak punya
alasan untuk mundur.

Apalagi karena dia seorang gadis yang sangat mempesona, rasanya sungguh
menjengkelkan.

Karena kami berdua takkan mundur, kami hanya akan menjadi musuh
selamanya.

Segera setelah itu, pelayan Onee-san membawa kopi pesananku. Dia tidak
mengatakan apa-apa, dan meletakkannya di atas meja dengan senyumnya
yang biasa. Ahh, mengapa aku memesan ini lagi? Aku menyesap kopi panas,
dan meringis.

―Ow.‖

Lidahku kepanasan.

Kopi ini jauh lebih pahit dibandingkan dengan semua yang pernah aku
rasakan.

❀❀❀❀
Pagi hari. Aku terbangun, dan menemukan fragmen-fragmen dari mimpiku
perlahan menghilang.

Ini sering terjadi dari waktu ke waktu. Layaknya kepingan salju yang
tergenggam di tanganku perlahan mencair, aku tidak bisa menahan
kepingan-kepingan di dalam ingatanku.

Dalam mimpiku, aku berpegangan tangan dengan seseorang. Aku


tersenyum.

Tetapi saat aku terbangun, aku tidak ingat siapa orang itu. Emosi di hatiku
juga ikut lenyap. Akhirnya, aku juga lupa kalau aku memiliki mimpi seperti
itu.

Ini mungkin sama seperti bagaimana diriku lenyap dari ingatannya.

Yoshi-kun, yang dulunya kelas 2 SMP, sekarang sudah duduk di kelas 3 SMA.

Sejak itu, Ia, yang dulunya lebih pendek dariku, sekarang tumbuh jauh lebih
tinggi, dan aku tak punya pilihan selain agak mendongak untuk
melihatnya. Melihat bagaimana wajahnya tidak lagi banci, kurasa tak ada
lagi yang akan mengatakan bahwa Ia terlihat seperti seorang gadis sekarang.

Ini adalah bukti bahwa empat tahun telah berlalu, periode masa yang
tidaklah singkat.

Tapi dalam empat tahun kehidupan Yoshi-kun ini, keberadaanku tak pernah
ada.

Setiap Selasa malam, pukul 10.54 malam, dunia akan menghapus


keberadaanku.

Benar-benar tanpa jejak, layaknya salju putih yang meleleh saat musim semi
tiba. Keberadaanku takkan pernah ada di dunia ini.

Dan setiap hari, aku akan bertemu Yoshi-kun lagi dan lagi.

Semuanya demi satu tujuan, yaitu untuk membuat Yoshi-kun menyukaiku


apa pun yang terjadi.
Aku selesai mandi, dan memulai persiapanku. Gaya rambut yang Yoshi-kun
suka. Pakaian yang Yoshi-kun suka. Sepertinya Ia menyukai gadis yang
mengenakan mantel yang agak besar. Tampaknya Ia menganggap itu imut
saat aku meluarkan beberapa jari dari lengan bajuku. Ia bilang itu disebut
Moe atau apalah. Aku lupa kapan ketika Ia menceritakan hal itu dengan
penuh semangat.

Aku tidak bisa sepenuhnya mengerti. Tapi yah, karena Ia menyukainya, ya


sudah. Aku akan menjadi gadis imut untuknya.

Setelah sekian lama, akhirnya aku mendandani diriku menjadi sesuai apa
yang Yoshi-kun inginkan.

Dan dengan perasaan yang tulus, aku menyemprotkan aroma yang manis.

Ini adalah parfum sakura yang katanya takkan Ia lupakan.

Ketika aku meninggalkan hotel, langit benar-benar berwarna kelabu.

Sepertinya akan turun salju lagi.

Biarkan salju menumpuk, jadi aku berdoa.

Aku meninggalkan hotel, dan berputar balik lagi, melemparkan sarung


tangan merah ke tempat tidur. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan
dengan tangan pucatku sekarang seusai melepas sarung tanganku, jadi aku
menekuk ujung jari yang memerah, sebelum pergi ke sekolah untuk bertemu
Yoshi-kun lagi.

Hingga saat ini, aku sudah berbicara dengan Yoshi-kun sebanyak 213 kali.

Tetapi tak pernah sekalipun Yoshi-kun mengatakan kalau Ia menyukaiku.

❀❀❀❀
Aku mendengar pekikan tajam dari kursi yang berdecit di lantai, dan
mengangkat kepalaku yang terbaring di atas meja.

Ruangan kelas anak kelas 3 punya banyak kursi kosong, karena sekarang
adalah waktu dimana para murid bebas untuk bersekolah. Nijou, orang yang
duduk di depanku, belum pernah masuk selama seminggu, jadi sudah lama
aku tidak mendengar kabarnya.

Namun, orang yang duduk bukanlah teman sekelasku dengan rambut


runcing ikoniknya. Orang yang duduk adalah seorang gadis dengan rambut
pendek sebahu. Jika dia tidak berbicara, dia akan menjadi gadis yang imut,
cantik, tapi dia tidak berniat menyembunyikan kepribadiannya yang kasar
saat dia berseri-seri.

―Yo, Haru.‖

―Apa, Akane?‖

―Apa maksudmu, apa? Aku disini. Emangnya kamu punya masalah dengan
itu? "

Dialah yang tampaknya memiliki masalah saat dia cemberut. Jika ini adalah
rutinitas biasa, tindak lanjutnya akan menjadi pukulan ringan. Jujur, aku
ingin menghindarinya.

Untungnya, ada hal lain untuk didiskusikan, jadi aku bisa memanfaatkannya.

―Tidak juga. Hanya sedikit kaget. Jarang-jarang melihat rambutmu tidak


dikuncir, dan aku tidak tahu. Rasanya memberi kesan yang sangat
berbeda. Kamu memanjangkannya sejak setengah tahun lalu, ‗kan? ‖

―Ahh, ya. Kakak perempuanku memberitahu cara merawat rambut, dan aku
bekerja keras untuk itu. Sangat menyenangkan, meski ada beberapa bagian
yang menyusahkannya. ‖

Sejak Akane pensiun dari aktivitas klub di musim panas, tindak-tanduknya


berubah menjadi sangat feminim.

Dia memanjangkan rambutnya, dan sepertinya dia juga mulai merias


wajahnya. Tidak terlalu jelas jika aku tidak memperhatikannya, tapi sedikit
riasan tersebut meningkatkan daya tariknya secara dramatis. Yang aku tahu
adalah bahwa selama setengah tahun terakhir, ada lima orang yang mencoba
merayu Akane.

Dia memainkan ujung jarinya, mungkin karena aku menatapnya, dan dia
bertanya,

―Apa menurutmu ini aneh?‖

Dia bertanya dengan ragu-ragu. Kurasa daya tariknya adalah ekspresinya


selalu berubah.

―Tidak, tidak sama sekali. Aku merasa malah itu manis.‖

―Benarkah? Syukurlah. Eh, ya. Aku sampai lupa mengenai apa yang ingin
aku bicarakan. Aku baru saja mengobrol dengan Takuma. Mau pergi ke kuil
untuk berdoa hari ini?‖

―Bukannya kita sudah ke sana?‖

―Bagaimanapun, kita bisa pergi ke sana berkali-kali, mungkin ...‖

Apakah begitu? Bukannya Tuhan akan merasa terganggu karena direcoki


oleh doa yang tak terhitung jumlahnya? Atau akankah dia memenuhi
keinginan orang-orang karena dia merasakan gairah dalam doa mereka?

Baiklah,

"Tidak, aku takkan pergi hari ini. Aku ada janji. ‖

Aku harus menggelengkan kepala dan menolak.

Karena aku punya janji dengan seorang gadis yang baru saja aku temui.

Begitu aku mengatakan itu, Akane mengerutkan kening, dan suasana hatinya
berubah 180 derajat. Yah, ini seperti hujan turun di musim panas. Beberapa
sensasi badai petir gila datang. Wajahnya benar-benar tertutup awan kelabu.

―... Dengan Yuki Shiina-san? Dia cantik ya.‖

―Hah? Bagaimana kau bisa tahu?‖


―Ah. Jadi benar ya. Kamu terus bersamanya akhir-akhir ini, ‗kan
Haru? Kurasa kamu punya banyak waktu luang sebelum ujian. Kita adalah
peserta ujian. Sudah tidak ada waktu untuk keluar dan bermain dengan
orang yang begitu konyol, tahu? ‖

―Bukan itu ...‖

―Pokoknya, itu janji.‖

Aku ingin menolaknya, tapi kata-kata Akane menelanku. Semua orang di


kelas menatap kami, karena suaranya yang keras. Beberapa dari mereka,
semuanya perempuan, menonton dengan mata berkilauan. Mereka seakan-
akan berharap melihat apa yang akan terjadi.

―Tidak, tunggu sebentar, Akane.‖

Akane meninggalkan ruang kelas, seolah-olah dia tidak mendengarku. Meski


begitu, aku harus berteriak.

―Aku sudah punya janji sama orang lain!‖

❀❀❀❀

Bel jam 3.30 sore berbunyi, dan aku berdiri, bergerak dari tiang listrik ke
gerbang sekolah. Kemarin, Aku berjanji dengan Yoshi-kun kalau kita akan
bertemu di gerbang sekolah.

Aku merapikan rambutku dengan bantuan dari cermin tangan, menggulung


syal-ku, dan menghirup udara ke ujung jari yang sakit dan beku. Rasanya
dihangatkan sebentar, namun segera mendingin lagi. Setelah Yoshi-kun
datang, ayo kita pergi dan makan sesuatu yang hangat. Aku akan
mentraktirnya sebagai hadiah atas kerja kerasnya.

Tapi segera, jam 4 sore berlalu, dan mendekati 4:30 sore, Yoshi-kun masih
belum menampakkan diri.
Aku tidak terlalu khawatir. Aku mengerti Ia punya alasan tersendiri untuk
belum hadir.

Misalnya, ada kemungkinan Ia bertanya kepada gurunya tentang pertanyaan


yang Ia selesaikan.

Tapi kakiku mengabaikan semua logika tersebut ketika aku pergi ke dalam
sekolah. Aku berpikir tentang gadis yang aku temui kemarin. Dia terlihat
cantik. Begitu aku mengingat kembali matanya yang jujur, dadaku terasa
sakit. Rasanya sungguh menyakitkan. Hei, Yoshi-kun. Aku sedang
kesakitan. Kenapa ini?

Ketika aku semakin dekat ke sekolah, ada banyak siswa yang hendak
pulang. Aku pun bergegas.

Ini pertama kalinya aku menjemputnya di sekolah.

Karena aku tidak pernah sekalipun memasuki kehidupan sekolah Yoshi-kun.

Karena kehadiranku, Yoshi-kun kehilangan banyak waktu.

Ia seharusnya menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-temannya,


tetapi malah berakhir dengan kesepian. Dalam ingatannya, Ia selalu
sendirian salam setiap kesempatan.

Jadi setidaknya, kupikir aku tidak mengambil ingatannya di sekolah.

Dan bagiku, pada saat ini, aku tidak berminat untuk mematuhi aturan yang
aku tetapkan.

Aku memasuki gerbang sekolah. Aku tidak mengenakan seragam sekolah,


dan tidak terlihat seperti seorang guru, jadi aku benar-benar
menonjol. Berbagai tatapan menyengat kulitku. Aku sudah terbiasa dengan
ini, tapi pada hari ini, aku sedikit terganggu.

Aku mulai berpikir, dengan cara yang tidak menguntungkan, bila aku jadi
seorang siswa di sini, tidak ada yang akan menatapku seperti ini.
❀❀❀❀

Tak peduli berapa kali aku mencoba berbicara dengan Akane, semuanya sia-
sia. Jarang-jarang melihatnya semarah ini. Tak diragukan lagi kalau aku
menyakitinya, tapi aku tidak tahu apa penyebabnya. Segera setelah pelajaran
selesai, aku pergi untuk berbicara dengannya lagi, tapi dia malah
bersembunyi di toilet perempuan, dan aku tidak punya kesempatan untuk
berbicara dengannya.

Setelah setidaknya mencoba 6 kali, sepulang sekolah.

―Sudah kubilang kalau aku sudah membuat janji. Dengarkan aku, Akane. ‖

Aku pergi ke koridor yang menghubungkan gedung klub dan gedung


sekolah. Lantai bambu bergetar sedikit karena bobot tubuh kami.

―Aku mendengarnya. Jadi maksudmu kamu lebih memilih kencan dengan


gadis yang baru saja kamu temui ketimbang diriku? ‖

―Tidak juga. Bagaimana kalau besok? Apa kau mau pergi ke kuil besok?‖

Akane mungkin merasa kesal karena mendengar kata-kata yang sama


berulang kali, dan akhirnya berbalik ke arahku.

Kemudian, sesuatu yang luar biasa terjadi. Aku pikir Akane akan benar-
benar marah, dan sudah siap dipelototi. Namun, dia melihat ke arahku,
pandangannya tampak tertegun, dan setelah beberapa saat,
memelototiku. Apa-apaan dengan reaksinya itu?

―…Oke. Kalau begitu, aku minta waktumu. Sebentar saja. Sebelah sini.‖

Kemudian, dia meraih ujung seragamku, dan menyeretku lebih jauh.

―Tunggu, Akane. Aku bisa berjalan sendiri. Jangan tarik aku seperti ini.‖

Aku mencoba menenangkan diriku, memastikan supaya tidak jatuh ketika


diseret olehnya.
❀❀❀❀

Aku sedang berada di dalam sekolah, mencari keberadaan Yoshi-kun. Aku


melewati halaman, dan pergi ke koridor yang berlawanan, mendengar
beberapa suara. Mereka dari belakangku. Beberapa orang yang berada di
koridor beru saja aku lewati.

―Sudah kubilang kalau aku sudah membuat janji..‖

Aku mencari sumber suara tersebut.

Tapi aku tak pernah bisa melihat ke belakang, dan bersembunyi di balik
pilar. Apa? Mengapa? Aku tak perlu bersembunyi segala. Aku harus
berbicara dengannya. Katakan sesuatu.

Tetapi tubuhku tidak mau menurut.

―Dengarkan aku, Akane.‖

―Aku mendengarnya. Jadi maksudmu kamu lebih memilih kencan dengan


gadis yang baru saja kamu temui ketimbang diriku? ‖

―Tidak juga. Bagaimana kalau besok? Apa kau mau pergi ke kuil besok?‖

Besok. Begitu aku mendengar kata tersebut, tubuhku langsung bergidik.

Besok, aku akan lenyap dari ingatannya. Hari 'Besok' tersebut akan diambil
oleh orang lain. Aku tiba-tiba kehilangan keseimbangan, dan terjatuh. Aku
tak bisa mengerahkan kekuatan di kakiku. Aku nyaris tak berhasil menopang
diri dari dinding, dan memandang ke arah sumber suara, lalu bertukar
pandang dengan seseorang.

Dia sedikit terkejut ketika dia melotot. Kemudian, katanya, memungkinku


untuk mendengarnya.

―…Oke. Kalau begitu, aku minta waktumu. Sebentar saja. Sebelah sini.‖
Dia kemudian menarik lengan Yoshi-kun, dan pergi begitu saja.

Mereka pergi, dan meninggalkan kekosongan yang kontras dengan keributan


sebelumnya, menyebar seolah-olah tertinggal di sana.

Mengapa meski aku ingin menangis, aku tak bisa mengeluarkan suara sedikit
pun?

Aku berdiri di sana sekitar dua menit, merasa terpana.

Meski begitu, aku mengumpulkan keberanianku, menggenggam sedotan


ketika aku pergi ke suara yang menghilang.

Jika aku tidak melakukannya, aku akan kehilangan sesuatu.

Firasat itu memaksaku untuk bergerak.

Keduanya menghilang ke gedung sekolah yang sepi.

Tampaknya itu adalah bangunan ruang klub. Pada hari festival budaya,
Yoshi-kun mengajakku keliling di sekitar sekolah, dan aku mengingat
suaranya, ―Aku terkadang bermain di kelas ini. Jangan bilang siapa-siapa
ya. ‖ Ia meletakkan jari telunjuknya di bibirnya, menyuruhku diam.

Aku bahkan bukan murid di sini. Kepada siapa aku seharusnya mengatakan
ini? Aku sedikit terkejut, tapi aku senang karena Ia bersedia berbagi rahasia
denganku, ya, jadi aku mengangguk patuh. Jika aku ingat, kelas itu–

Aku berlari menaiki tangga, dan pada belokan, aku melangkah cepat
lagi. Meraih pegangan, aku mengerahkan kekuatan ke pahaku saat aku
bergerak ke lantai dua. Aku tak bertemu siapa pun di jalan. Aku pergi ke
lantai tiga, persis seperti ini. Langkah kakiku sendiri bergema di koridor.

Akhirnya, aku tiba di depan ruangan paling barat di lantai tiga.

Ini adalah ruangan yang sudah tidak digunakan. Namun, ada hawa
kehadiran manusia di dalamnya. Aku tak bisa mendengar dengan jelas, tapi
aku tahu kalau ada orang yang berbicara. Yoshi-kun pasti ada di dalam. Ayo
pergi. Jika aku pergi sekarang, aku masih sempat.
Aku melakukan yang terbaik untuk mempertahankan senyumku sambil
meletakkan tanganku di daun pintu. Pada saat itu, suara nyaring terdengar.

―Aku menyukaimu, Haru. Tolong jadilah pacarku.‖

Matanya yang selalu tulus pasti memikat Yoshi-kun.

Aku menjauhkan tanganku dari daun pintu, dan berlari menuruni tangga.

Harus kemana aku pergi? Di dunia ini, tidak ada tempat bagiku untuk
pergi. Tempatku selalu diambil.

Namun, meski begitu, aku lebih mengutamakan melarikan diri, daripada


tetap tinggal.

❀❀❀❀

Pintu ruangan kelas yang kosong ditutup, Hanya ada aku dan Akane yang
ada di ruangan ini.

Pada saat itu, suasana di sekitar kami mendadak berubah.

Bahkan, diriku yang bodoh ini tahu apa yang akan terjadi mulai sekarang.

―Haru.‖

Namaku dipanggil, ya, dan aku menjawab, tetap kaku. Hmmph, Akane
mendengus.

―Kenapa kamu gugup begitu?‖

―Yah….‖

―Jangan khawatir. Aku takkan memakanmu. Dengarkan saja perkataanku,


oke? ‖
―Oke.‖

Aku mengangguk, dan menghadap gadis yang ada di hadapanku. Mata kami
bertemu. Sesuatu akan segera dimulai, atau lebih tepatnya–

―Ya. Makasih. Um, aku selalu tertarik padamu, Haru. Tapi aku baru
menyadarinya saat liburan musim panas SMP. Ingat ketika kita bertemu
sekali di halaman belakang sekolah?‖

Apa itu ketika di mana Akane sedang bimbang mengenai apakah dia harus
menyerah pada berenang?

―Dulu, kamu pernah bilang, setidaknya aku bisa mendengar


keluhanmu. Kamu mungkin berpikir itu tidak seberapa, tetapi bagi diriku,
itu sangat berarti.‖

Pencahayaan di sekeliling kami sedikit redup, jadi aku tidak menyadarinya,


tapi kaki Akane gemetaran. Mata jujurnya dipenuhi dengan cahaya yang
berkelap-kelip. Namun, dia adalah tipe orang yang mampu mengatasi
ketakutan atau kegugupannya.

―Aku sudah memikirkannya berkali-kali. Mengenai apa yang terjadi setelah


aku lulus dari SMA, atau jika aku masuk universitas. Tapi kurasa ini adalah
kesempatan terakhir. Aku akan mengatakannya sekarang ...‖

Akane kemudian mengucapkan kata-kata itu, dengan suara keras khasnya,

―Aku menyukaimu, Haru. Tolong jadilah pacarku.‖

Kata-katanya mirip seperti batu yang dilemparkan ke dalam hatiku. Itu


masuk dengan celepuk, dan riak menyebar. Dalam riak yang menyebar
tersebut, sekilas, aku melihat masa depanku bersama Akane.

Kami berdua tampak sangat bahagia.

Aku tidak membenci Akane.

Yah, jujur saja, aku memang menganggapnya imut.


Aku bisa membicarakan banyak hal dengannya, dan kami menyukai jenis
makanan yang sama. Kami mempunyai teman yang sama, dan kami senang
berolahraga di hari-hari libur.

Pasti ada saat di mana kami bertengkar. Atau malah bisa dibilang sering.

Tapi setelah bertengkar, kami selalu bisa baikan. Aku tak tahu sudah berapa
kali kami berdebat, tapi kami selalu bisa tersenyum dan memperbaiki
keadaan sampai sekarang. Aku benar-benar tidak bisa mengatakan kalau aku
menyukai Akane sebagai seseorang dari lawan jenis, tetapi aku yakin kalau
kami bisa terus perlahan-lahan menebus apa yang kurang.

Karena jelas, ada waktu yang kami habiskan bersama.

Meski begitu, kenapa?

Pada saat ini, aku dengan jelas mendengar seseorang memanggil


namaku. Itu adalah nama yang seharusnya tidak bisa kudengar.

―Yoshi-kun.‖

Hanya ada satu orang di seluruh dunia yang memanggilku begitu.

Aku tersadar, dan mendengar langkah kaki datang dari suatu


tempat. Langkah kaki tersebut semakin jauh. Ini mustahil, tetapi hanya ada
satu gadis yang ada di pikiranku.

Dan gadis itu bukanlah Akane.

―Maaf.‖

Tanpa aku sadari, aku sudah menundukkan kepala.

❀❀❀❀
Dadaku terasa sakit. Mungkin karena aku berlari, dan paru-paruku
menghirup banyak udara dingin. Iya. Pasti karena itu. Tidak ada alasan lain
lagi.

Karena aku tidak menyukai Yoshi-kun.

Siapa pun bisa. Hanya saja Yoshi-kun sepertinya cocok dengan yang aku
inginkan, dan kebetulan berada di depanku. Itu sebabnya aku memilihnya.

Dengan telapak tanganku yang membeku, aku melakukan yang terbaik untuk
mengusap penglihatanku yang buram. Aku tak tahu apakah aku
menggunakan terlalu banyak tenaga, tetapi mataku terasa agak panas,
terbakar karena rasa sakit. Seharusnya aku mengenakan sarung
tangan. Haah. Rasanya sulit sekali untuk bernafas. Tenggorokanku haus. Aku
menggertakkan gigiku dengan keras, sama seperti malam ketika aku menjerit
ke langit.

―Bodoh, bodoh bodoh bodoh bodoh bodoh bodoh bodoh bodoh — ‖

Sebenarnya perasaan ini milik siapa? Kepada siapa kata-kata ini ditujukan?

Akane? Yoshi-kun?

Atau diriku sendiri?

Aku mengulangi kata-kata itu berulang kali, tidak tahu mengapa.

Kata yang menandakan orang bodoh disampaikan berkali-kali ke dunia,


mencair ke dalam kegelapan malam.

❀❀❀❀

Pikiranku terlalu sibuk memikirkan Yuki.

Aku baru saja ditembak oleh gadis yang sudah lama aku kenal, namun
diriku, karena begitu tidak berperasaan, malah memprioritaskan gadis lain.
Satu jam telah berlalu sejak waktu pertemuan, dan seperti yang kuduga, dia
tidak ada di sana. Aku merasa hatiku sakit.

Jauh di dalam telingaku terdengar langkah kaki seseorang yang pergi, dan
itu membuatku bergerak.

Itu adalah pertama kalinya dalam hidupku–

Pertama kalinya aku sangat ingin bertemu seseorang.

Aku ingin bertemu Yuki.

Jadi aku terus berlari.

❀❀❀❀

Pada akhirnya, aku tidak mengetahui apa rasa sakit yang tersisa ini. Aku
terus berlari, berlari, sampai aku mencapai tanah kosong yang tidak terlalu
jauh dari stasiun.

Belum lama ini papan iklan di tanah ini diubah. Di musim semi yang akan
datang, sepertinya akan ada gedung pencakar langit yang dibangun di
sini. Hal lain yang penting bagiku akan diambil sekali lagi.

Di sinilah Shiro berbaring dalam istirahat abadinya.

Dengan napas terengah-engah, aku mencoba mengatur napasku. Mulutku


benar-benar kering, jadi aku terus menelan air liur. Mengapa? Karena
penasaran, aku terus menggosok mataku, tetapi itu tidak hilang.

Ini pasti kenyataan.

Tanyaku dengan enggan. Aku bertanya kepada orang yang entah bagaimana
tiba di tempat itu sebelum diriku, yang seharusnya tidak berada di ruang
kosong ini.
―Kenapa kamu ada di sini?‖

Ia menyatukan telapak tangannya, seolah-olah sedang berdoa. Begitu Ia


mendengar suaraku, anak laki-laki tersebut mengangkat kepalanya.

Anak laki-laki tersebut adalah Yoshi-kun, dengan mengenakan mantel


sekolah yang telah selalu Ia keluhkan. Tampaknya Ia takkan pulang ke
rumah dalam waktu dekat. Di kakinya ada tas sekolah tua.

―Dulu, ada kucing cantik yang aku kubur di sini. Aku kebetulan
memikirkannya ketika melewati jalan di sana, jadi aku memutuskan untuk
datang ke sini untuk mendoakan rohnya. ‖

Ujarnya sambil berdiri, lalu membersihkan lututnya.

―Akhirnya ketemu juga. Karena aku tidak dapat menemukanmu di tempat


yang kita sepakati, aku datang untuk mencarimu. ‖

―Aku akan kembali.‖

Aku berbalik, dan bergegas pergi. Namun, baru dua meter berjalan, tanganku
diraih. Tangannya sangat dingin, mungkin karena Ia berada di luar
sepanjang waktu. Dan tanganku yang seharusnya lebih dingin, sedikit lebih
hangat karena aku telah menggosok tanganku sendiri. Semuanya berbeda
dari masa lalu, suhu tangan, percakapan, orang yang dikejar. Aku yang
mengejarnya sampai sekarang.

―Apa yang sedang kamu lakukan?‖

―Maaf karena sudah melanggar janji. Apa kau marah?‖

―Tidak juga.‖

―Aku minta maaf padamu. Aku sangat menyesalinya.‖

―Maaf? maaf tentang apa?‖

Secara naluriah aku memarahinya.


―Bukannya kamu selalu seperti ini? Bukannya kamu sudah melanggar janji
kita berkali-kali? Mengapa kamu baru meminta maaf sekarang? Lepaskan
aku. Tanganku sakit!‖

Aku tahu aku hanya membuat ulah, tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku
belum menetapkan perasaanku. Kata-katanya hanya menambah bahan
bakar untuk emosiku yang tegang.

Aku butuh waktu untuk mengembalikan sifat diriku yang biasa.

Jadi lepaskan aku.

―Tunggu. Maaf. Tolong jangan menangis. Aku tak pernah menyangka kau
akan sesedih ini.‖

Ah, kamu masih mengatakan hal seperti itu sekarang? Apa kamu perlu
mengulangi kesalahpahaman ini lagi?

Aku tidak bisa menerimanya.

Aku tidak bahagia.

Aku terluka.

Aku merasakan panasnya air mata di pipiku.

―Karena tidak seperti ini. Karena kamu tidak tahu. Itu sebabnya aku tidak
bahagia, itu sebabnya aku sedih!‖

Aku menggebuk dada Yoshi-kun dengan keras. Setiap gebukan yang aku
berikan, tanganku sakit. Aku berdarah di dalam. Meski begitu, aku tak bisa
menahan diri untuk tidak menggebuknya.

―Aku kesepian karena kamu takkan menyukaiku. Aku menderita.‖

Yoshi-kun tetap diam saat Ia membiarkanku memukulnya.

―Karena, kamu milik orang lain selain diriku, dan besok, kehidupan sehari-
hari denganmu takkan ada lagi, Yoshi-kun. Aku merasa kedinginan, takut– ‖
Aku terus menggebuk sampai akhir, brak, menyebabkan hantaman
keras. Tanganku yang menyentuh Yoshi-kun terasa panas. Gedebuk. Aku
menjatuhkan keningku di dadanya. Dahiku panas. Aku merasakan detak
jantung Yoshi-kun. Inilah yang aku inginkan.

Inilah yang aku hilangkan.

―Jadi itu sebabnya kau menangis?‖

Butuh waktu lama untuk menagmbil nafas, dan aku hanya bisa mengangguk.

Rasanya sangat aneh.

Yoshi-kun lah yang seharusnya menderita. Yoshi-kun lah yang harus


menangis. Yoshi-kun lah yang seharusnya mengingat namaku.

Kenapa harus aku yang menderita?

Kenapa harus aku yang menanggung ingatan menyakitkan seperti ini?

Kenapa? Kenapa? Kenapa hanya aku yang mengingat Yoshi-kun? Ini tidak
adil. Kenapa sesuatu tentangku terus menghilang?

―Dengar, aku mengerti apa yang kamu katakan. Memang benar kalau aku
mungkin tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Tidak, aku benar-benar tidak
tahu tentang dirimu. Tapi…‖

Sambil mengatakan itu, Yoshi-kun mengulurkan tangannya menyentuh


pipiku. Dengan sentuhan yang lembut dan tak tertahankan, Ia mengangkat
kepalaku. Ini adalah tangan kasar dari seorang cowok. Bulir Air mataku
membasahi tangannya. Ia tersenyum, lalu mengerutkan kening.

―Aku tidak setuju dengan dua kalimat terakhir yang kau katakan, jadi aku
akan menanggapi itu.‖

―Heh?‖

Yoshi-kun menekuk jari tengahnya, dan menahannya dengan ibu


jarinya. Saat berikutnya, jari tengah dijentikkan ke dahiku. pletak. Itu tidak
terdengar seperti keningku dipukul. Aku merasakan dahiku sakit, dan buru-
buru menutupinya.
―Aduh. Apa yang sedang kamu lakukan?‖

―Kaulah yang duluan memukuliku. Aku juga kesakitan tau.‖

―Tapi kamu ‗kan cowok.‖

―Itu tidak ada hubungannya. Siapa pun yang dipukuli pasti akan merasa
sakit.‖

Bagiku.

Aku akhirnya berteriak.

―Aku lebih terluka ketimbang dirimu, Yoshi-kun. Kamu pacaran dengan


gadis yang bernama Akane-chan, kan? Dia menembakmu, ‗kan?‖

Kamu meninggalkanku. Aku sendirian karena kamu, tahu?

―Bagaimana kau bisa tahu?‖

Aku tidak bilang kalau aku menguping pembicaraan mereka. Sementara aku
tetap diam, Yoshi-kun menghela nafas.

―Ya, dia emang menembakku. Tapi aku menolaknya.‖

―Kenapa?‖

Menghadapi pertanyaanku, Yoshi-kun, yang dipukuli dan dimarahi, sedikit


goyah. Aku tak tahu apa yang menyebabkan dirinya membuat wajah seperti
itu.

Setelah memikirkannya sejenak, Ia lalu menutup matanya, dan kemudian


beberapa saat kemudian, membukanya, lantas berkata..

―Yah, karena aku menyukaimu.‖

Aku merasa jantungku terhenti. Sangat mengejutkan. Aku tak mengerti apa
yang Ia katakan. Apa, apa yang baru saja Yoshi-kun katakan?

―…Hah?‖
―Sudah kubilang, ‗kan? Aku tak bisa setuju dengan dua kalimat terakhir. Aku
menyukaimu, jadi aku tak berniat jadi milik orang lain selain dirimu.‖

Sepertinya aku tidak salah dengar.

―Kapan itu terjadi?‖

―Mungkin dari saat kita pertama kali bertemu. Tidak. Kurasa aku jatuh cinta
padamu sejak kau pertama kali berbicara denganku. ‖

Inilah kata-kata yang benar-benar ingin kudengar.

Akan tetapi, seseorang di dalam hatiku bersikeras kalau perasaan itu


hanyalah rasa iba.

Jika memang demikian, aku tidak membutuhkannya. Pengakuan semacam


ini tidak ada artinya. Aku marah dan menangis, lalu Ia yang lembut hanya
mengatakan ini padaku.

―Cukup dengan kata-kata palsu itu!‖

Jika Ia tidak mengatakan kalau Ia menyukaiku dari lubuk hatinya, aku tak
bisa tetap di sana. Jika tidak ada panas yang membakar tubuh, tidak ada
yang bisa membuatku jatuh. Suatu hari, aku akan lenyap.

―Aku serius.‖

―Kamu bohong.‖

―Aku tidak berbohong.‖

Menurutnya, sudah berapa kali aku mencoba ini?

Aku melakukan berbagai hal untuk membuatnya menyukaiku. Tapi Ia tidak


pernah sekalipun berkata, aku menyukaimu. Perasaan yang Ia miliki
untukku tidaklah cukup untuk membuatnya mengaku.

Kali ini, kami hanya berjalan-jalan sepulang sekolah, tidak ada yang luar
biasa, dan mana mungkin Ia akan menyukaiku karena ini. Pada
kenyataannya, Ia bilang kalau Ia menyukaiku. Aku tidak bisa
mempercayainya. Aku tidak mempercayai diriku sendiriku.
―Kamu pikir aku mempercayaimu ketika kamu tidak tahu apa-apa?‖

―Lantas apa yang kau ingin aku lakukan supaya kau mempercayaiku?"

Setelah berpikir, kataku. Aku merasa seperti menyerah pada sesuatu.

―Aku akan memberitahumu sesuatu. Ini bukanlah sesuatu yang ada di mana
saja di dunia ini, tapi itu pasti sesuatu yang melibatkan diriku dan
dirimu. Jika kamu mendengar ini dan masih mengatakan sesuatu yang
bodoh seperti 'Aku mempercayaimu'– ‖

Aku tidak melanjutkan kalimatku.

Mana mungkin Yoshi-kun akan mempercayainya.

Bila Ia percaya padaku, itu berarti Ia meragukan dunia dan meragukan


ingatannya sendiri. Dibandingkan dengan dunia yang aku bicarakan, sudah
jelas yang mana yang lebih mungkin Yoshi-kun percayai.

Itu sebabnya aku tidak pernah menyebutkannya sekali pun.

Ia terus menatapku, tak mengalihkan pandangannya sedikit pun. Aku


menganggapnya sebagai ya, dan perlahan mulai menceritakan kepadanya.

Aku menjelaskan banyak hal yang terjadi sejak kecelakaan pada hari ulang
tahunku yang ke-7 .

Waktu terus berlalu ketika aku selesai berbicara.

Masih ada sepuluh menit tersisa sampai akhir dunia, atau lebih tepatnya,
pengaturan ulang dunia.

―Jadi apa kamu masih ingin percaya dengan apa yang baru saja aku
katakan?‖

―Aku mempercayaimu. Tidak, aku ingin percaya.‖

Ia menjawab tanpa ragu-ragu.

―Kenapa kamu masih bisa mengatakan hal itu?‖


Mendengar apa yang aku katakan, Yoshi-kun mendongak ke atas.

Di belakang awan kelabu tersebut, pasti ada Sirius yang berpijar, begitu juga
Betelgeuse dan Rigel. Dulu, kami pernah menghabiskan waktu mencari rasi
bintang. Kami tak punya pengetahuan tentang mereka, jadi kami terus
melihat buku-buku bergambar, mencari mereka.

Kamu juga tidak tahu tentang ini, ‗kan?

Segera setelah itu, Yoshi-kun bergumam. Ahh, serius, kau ini yang
merepotkan.

―Ap-Apa? Kenapa merepotkan? ‖

―Sangat merepotkan. Yah, kupikir kau lucu karena itu. Kurasa ini adalah
permainan, siapa yang jatuh cinta duluan, dialah yang kalah. Hei.. Yuki.‖

Dia menggaruk kepalanya, tersenyum, dan menatapku.

Persis seperti Malam Natal empat tahun lalu.

―Memang benar aku merasa apa yang semua kau katakan terasa aneh. Apa
yang kau katakan berbeda dari ingatanku, dan biasanya, sulit bagiku untuk
memercayaimu sepenuhnya. Sejujurnya, tak peduli apa yang kau katakan itu
benar atau tidak, itu tidak masalah bagiku. Bagaimanapun, aku akan
mengatakan sekali lagi, aku mempercayaimu. Aku tidak ingin kau salah
paham, ini bukanlah rasa kasihan. Ketika aku melihatmu kesakitan, hatiku
juga ikut merasa sakit, hatiku menderita. Jika kau bisa tersenyum, aku akan
percaya pada apa pun. Diriku yang selalu bersamamu selalu seperti ini, ‗kan?

Aku tidak bisa membantahnya.

Karena seperti yang Yoshi-kun katakan.

Empat tahun perasaan di hatiku tak memungkinkan diriku untuk


menyangkalnya.

Ah memang Yoshi-kun tak pernah menepati janjinya denganku, tapi Ia tidak


pernah mengecewakanku. Ia melakukan segala upaya demi memenuhi apa
yang aku harapkan. Setiap kali aku menyatakan frustrasiku, Ia akan
membantuku, dan Ia akan menjangkauku tak peduli kapan waktunya.

―Kurasa aku selalu menyukaimu sepanjang waktu.‖

Kata-kata ini mirip, tapi kali ini, ucapannya menyentuh hatiku.

Panas yang setara dengan telapak tangannya menyebar dalam diriku. Begitu
ya. Kurasa aku tidak punya pilihan.

Orang-orang mungkin menyebut kehangatan ini dengan nama 'cinta'.

Kalau begitu, aku juga mungkin sama. Untuk waktu yang sangat-sangat
lama.

Tanpa aku sadari, butiran salju melayang. Menutupi dunia dengan warna
putih.

―Ngomong-ngomong, kamu ini aneh sejak pertemuan pertama kita, Yoshi-


kun.‖

Aku tersenyum, seperti yang Ia inginkan, dan mengulurkan tanganku. Ia juga


tersenyum dan memegang tanganku.

Perjalanan panjangku harus berakhir di sini.

Aku terus hidup untuk saat ini, menginginkan Ia mengatakan kalau Ia


menyukaiku. Saat ini, keberadaanku pasti terukir di dalam hatinya.

Tapi tiba-tiba, aku merasa menyesal.

Aku belum bisa menyampaikan perasaanku kepada Yoshi-kun dengan benar.

Itu sebabnya ini tak boleh berakhir sampai di sini. Bagi kami, yang terus
bertemu meski kami tidak pernah mengucapkan selamat tinggal dengan
benar, itu adalah garis yang harus kami tkaui.

―Hei, Yoshi-kun, aku–―

Tapi kata-kataku tidak pernah mencapai pada Yoshi-kun. Itu baru saja
berakhir. Ah, begitu ya.
Begitu aku melihat ekspresi Yoshi-kun, aku langsung mengerti.

Sama seperti sebelumnya, Ia memberiku tatapan yang menatap orang tak


dikenal. Dihadapanku sudah tidak ada lagi cowok yang berkata kepadaku,
aku menyukaimu.

Hening, tanpa tanda apa pun, dunia ditulis ulang kembali.

Sebelum aku menyadarinya, tangan kami yang saling menggenggam telah


berpisah.

Tentunya, kenyataan bahwa Ia memegang tanganku telas terhapus. Meski


begitu, masih ada kehangatan yang tersisa di tanganku.

Ini cukup.

Ini saja sudah cukup bagiku untuk terus bergerak.

Jantungku berdebar kencang.

Aku menghela nafas dalam-dalam.

Aku melakukannya puluhan kali, ratusan kali, tetapi bahkan sampai akhir,
aku tak pernah terbiasa.

Setiap kali aku berbicara dengan Yoshi-kun ketika Ia tidak mengenalku, aku
selalu tegang.

Dan kata-kata yang aku katakan padanya selalu berbeda. Ini panas, ini
dingin ya, Kamu memang pekerja keras. Aku bahkan pernah mengatakan
kepadanya, bawa aku ke bioskop. Tolong bantu aku ambilkan buku.

Persis seperti itu, aku mendekati Yoshi-kun sebanyak 213 kali.

Tak sekali pun Ia merasa kesal karenanya.

Sapaan 'halo' yang aku katakan adalah upaya diriku yang kikuk untuk
mengaku.
Aku ingin Yoshi-kun menyukaiku, jadi aku terus mendekatinya. Untuk
alasan ini, aku terus bertemu dengannya. Dalam hal ini, bukankah ada
sesuatu yang lebih sederhana dan cocok?

Aku menguatkan tekadku.

Perlahan aku membuka mulutku. Udara bergetar.

Ayo, mari kita mulai dengan selamat tinggal pertama dan terakhir.

―Hei, Yoshi-kun. Aku menyukaimu.‖


Pertemuan 214 - Ini adalah Kisah Cinta Paling Bahagia di Dunia.

―Hei, Yoshi-kun. Aku menyukaimu.‖

Aku didekati oleh seorang gadis yang tidak pernah aku temui.

Ini terjadi saat aku sedang keluyuran di sekitar kota.

Suaranya sehangat mentari musim semi, dan selembut angin yang


berhembus diantara bunga-bunga.

Bila kuingat-ingat kembali, aku merasa terpesona oleh suara itu.

Kami berada di lahan kosong yang biasa terlihat di kota. Tempat ini tak ada
hubungannya denganku, selain kucing putih yang pernah aku kubur di sini.

Jadi tentu saja aku tak mengenal dirinya.

Kulitnya seputih porselen.

Rambutnya terlihat halus seperti awan.

Matanya yang besar jernih dan dalam.

Dan pengakuan dari gadis seperti itu membuat pikiranku benar-benar


kosong pada saat itu.

Akhirnya, yang tersisa hanyalah emosi yang tak pernah kurasakan dalam
hidupku. Rasanya panas serta menyakitkan, namun tidak terasa buruk. Aku
membiarkan diriku terlena oleh panas itu, dan dengan tulus menyampaikan
perasaanku.

Dan begitu aku menjawabnya, wajah gadis itu langsung berseri-seri.

Dia tampak sangat senang.

Namun pada saat yang sama, dia terlihat sedikit sedih.


Akhirnya, dia mengulurkan tangan kecilnya.

―Aku harap kamu mau memegang tanganku dengan sukarela.‖

Aku melakukan apa yang dia katakan, dan memegang tangannya.

Tangannya sangat dingin, mungkin karena dia tak memakai sarung


tangan. Namun, begitu kami berdua berpegangan tangan, kehangatan
menyebar dari sana. Demi memastikan aku tidak melukai tangannya, aku
memegangnya dengan hati-hati dan tegas.

―Terima kasih. Kalau begitu, aku akan memperkenalkan diri lagi. Namaku—‖

Itu terjadi pada musim dingin, saat aku duduk di kelas 3 SMA.

Begitulah pertemuanku dengan Yuki Shiina.

Keesokan harinya, Yuki dan aku bertemu di depan gerbang sekolah.

Kamu besok pergi ke sekolah, ‗kan? Aku akan menunggumu di gerbang


sekolah, jam 4 sore. Usulnya sambil memberiku tatapan yang tidak mau
kompromi. Karena itu, aku hanya bisa menganggukkan kepala.

Aku meninggalkan sekolah sedikit lebih awal dari waktu yang disepakati, dan
mendapati Yuki mengenakan mantel yang agak besar, tengah menungguku.

―Yuki.‖

Aku memanggil namanya, dan dia melambaikan tangannya yang


ramping. Rasanya seperti anak anjing melihat tuannya kembali, mengibas-
ngibaskan ekornya. Setiap gerakannya dipenuhi kegembiraan.

―Kenapa kau terlihat sangat senang?‖

―Karena kamu akhirnya memperhatikanku. Kamu memanggil


namaku. Itulah yang membuatku senang. ‖

―Begitu ya.‖

Aku mengulurkan tangan, dan Yuki meraih tanganku.


―Woah, dingin banget.‖

―Karena aku sudah menunggu sangat lama.‖

―Eh? Apa aku salah waktu?‖

Yuki menggelengkan kepalanya.

―Tidak. Hanya saja aku benar-benar menantikannya, jadi aku terus


menunggu. Aku selalu seperti ini.‖

Apa yang dia maksud dengan kata ―selalu‖?

―Omong-omong, pakailah sarung tangan.‖

―Jika tanganku dingin, itu akan memberiku alasan, ‗kan?‖

―Alasan apa?‖

―Untuk berpegangan tangan?‖

―Kau tidak perlu sampai bikin alasan begitu. Pasti ada yang lain. Ngomong-
ngomong, Yuki, kau dan aku ... yah, berpacaran, jadi kau bisa memegang
tanganku kapan pun yang kau mau ... eh, apa-apaan dengan ekspresi itu?

Mulut Yuki setengah terbuka saat dia mengedipkan mata. Beberapa detik
kemudian, dia tertawa. Aku tidak mengatakan sesuatu yang lucu,
bukan? Untuk beberapa alasan, wajahku jadi agak panas.

―Kamu luar biasa, Yoshi-kun. Yap, kita berpacaran sekarang. ‖

―Apa kamu menganggapku sebagai orang idiot?‖

―Itu tidak benar. Aku malah memujimu. ―

―Benarkah?‖

―Beneran kok. Sekarang, ayo pergi, darling. ‖


Yuki tiba-tiba meraih tanganku, dan menyeloning saja. Aku panik,
mengejarnya, dan berjalan di sampingnya. Tangan kami yang tergenggam
kebetulan berakhir tepat di antara kami.

Yuki dan aku berpacaran.

Tapi itu hanya berlangsung selama seminggu.

❀❀❀❀

―Sebenarnya, waktu pacaran kita hanya berlangsung selama seminggu.‖

Setelah Yuki menembakku, dan kami sepakat untuk menjalin hubungan, dia
menetapkan batas waktu.

―Tidak, tidak, tunggu sebentar. Apa maksudmu bilang begitu?‖

Aku bertanya, dan Yuki mulai menarik napas panjang. Setelah itu, dia mulai
bernapas dalam-dalam dengan manis, payudaranya yang cukup melebar dan
berkontraksi.

Setelah melakukan itu selama tiga kali, dia akhirnya tampak mengambil
keputusan, matanya tampak bersinar. Namun, cahaya tersebut segera
menghilang dari matanya lagi.

Meski demikian, dia tidak pernah menyerah.

Sekali lagi, dia menarik napas panjang, dan perlahan berbicara,

―Aku perlu memperjelas satu hal denganmu, Yoshi-kun.‖

Ini adalah kisah seorang gadis yang keberadaannya akan lenyap layaknya
kepingan salju dalam seminggu, dan dia bertemu dengan anak laki-laki
biasa.
Mereka beberapa kali bertemu, menghabiskan waktu bersama, dan
menciptakan kenangan bersama. Namun pada akhirnya, semuanya terhapus.

Tapi meski begitu, ketika Yuki membicarakan tentang kisah yang tidak bisa
dipercaya itu, dia tersenyum sedih, namun penuh kebahagiaan, seperti ketika
dia menembakku.

Kami melihat bunga di musim semi, kembang api di musim panas,


menyantap makanan lezat di musim gugur, dan pergi ke pantai di musim
dingin, Ujarnya.

―Kenapa mengunjungi laut di musim dingin?‖

―Karena tiba-tiba aku ingin pergi ke pantai yang sepi. Kamu mengeluh, dan
mengatakan, jika kau kepengen pergi, lebih baik pergi selama musim
panas, tapi pada akhirnya kamu tetap mengikuti keinginanku. Kamu ingat,
‗kan? Kenanganmu mungkin sedikit berbeda dari ingatanku. ‖

Aku mencoba mengingatnya, dan sepertinya itu memang terjadi.

Aku sendirian di pantai selama musim dingin.

Dengan tidak ada siapa-siapa di sebelahku.

Secara alami, hanya ada jejak langkah kakiku di pantai. Aku ingat betapa
dinginnya makanan itu. Ah, tapi saat aku dalam perjalanan pulang, aku ingat
membeli oden yang lezat di minimarket. Aku membeli banyak, dan
memakannya.

Apa yang Yuki bicarakan berakhir seperti itu.

Bukan karena aku yang lupa segalanya.

Jadi gadis bernama Yuki, yang seharusnya ada, telah lenyap dari kata masa
lalu, dan dunia baru mengubur kekosongan yang disebabkan oleh
menghilangnya dia. Bagiku, aku hanya mengambil dunia yang terpahat ini,
yang tampaknya tanpa cela. Jadi, aku tak pernah curiga. Atau lebih tepatnya,
mungkin dunia yang Yuki bicarakan salah, atau begitulah akal sehat dalam
diriku meronta. Namun-

―Jadi, apa kamu akan mempercayai ucapanku, Yoshi-kun?‖


―Ya. Tidak, aku mau mempercayainya.‖

Jawabku. Tanpa ragu-ragu.

―Karena aku menyukaimu.‖

Aku benar-benar menyukai wajahnya yang mungil, rambutnya yang sedikit


keriting, caranya mengenakan mantel yang agak kebesaran, dan ujung-ujung
jarinya yang halus mencuat dari lengan ... dadanya juga besar, dan suaranya
yang jernih juga. Aku suka segala sesuatu tentang Yuki, bahkan aura di
sekitarnya.

Dia mengeluarkan aroma sakura yang aku suka.

Itulah yang aku pikirkan saat pertama kali bertemu dengannya.

Sepertinya Yuki adalah gadis ideal yang diciptakan Tuhan untukku.

Tapi ternyata bukan itu kenyataannya.

Yuki tidak seperti ini sejak awal. Dia menghabiskan banyak waktu untuk
mencoba menjadi gadis idamanku.

Jadi, jawabannya sederhana.

Aku ingin percaya empat tahun yang dia ceritakan. Aku tidak bisa
menyangkal kata-kata dan perasaan Yuki hanya dengan akal sehat. Bagiku,
apa yang dia katakan dengan senyuman adalah kebenaran.

Kurasa itu saja sudah cukup.

―Kamu sama seperti biasanya, Yoshi-kun. Selalu jadi orang aneh. ‖

―Kau membenci orang aneh?‖

―Tidak, aku menyukainya.‖

―Kalau begitu, kurasa tidak masalah untuk menjadi orang aneh. Jika Kau
menyukai ku karena ini ... tidak, jika Kau bersedia tersenyum kepadaku
karena ini, maka aku baik-baik saja dengan itu.‖
Dan beginilah kami memulai periode cinta terbatas kami.

❀❀❀❀

Kami meninggalkan sekolah, dan sepanjang waktu, Yuki merasa senang. Dia
bersenandung. Itu adalah lagu cinta yang biasanya diputar di radio selama
musim dingin. Dia menyanyikan lagu cinta yang populer beberapa tahun
sebelum aku lahir, dengan suara yang indah dan ritme yang agak fales.

Kami melewati pusat permainan di depan stasiun, dan kemudian melewati


persimpangan. Kami melirik ke toko pachinko tua yang ditutup bulan lalu,
tiba di kantor pos, dan berbelok ke sudut ketiga.

Tangan kiriku masih memegang tangan Yuki, dan tangan kanannya terus
memegang tanganku.

Di tangan kami yang satunya memegang taiyaki. Beberapa saat yang lalu,
Yuki melihat sebuah toko di jalan perbelanjaan.

Dia sedang menonton toko kecil itu dengan mulut berliuran, jadi aku
bertanya, mau aku belikan yang itu? Dia terlihat senang,
benarkah? Jawabnya dengan wajah berseri-seri seperti anak yang polos.

Selama lima menit berikutnya, Yuki kebingungan memillih antara rasa


kacang merah atau krim custard.

Aku bermaksud membeli rasa taiyaki yang tidak dibeli Yuki, jadi jujur saja, 5
menit tersebut tidak ada artinya. Ini sederhana. Hanya ada kami berdua di
sini, masing-masing dari kami membeli satu rasa, dan bisa saling
bertukar. Aku tidak mengatakannya, karena melihat wajah Yuki yang
bermasalah seperti ini juga sangat lucu.

Jadi Yuki memilih rasa kacang merah, dan aku membeli rasa krim custard.

Kami berdua memiliki lidah kucing, jadi kami menunggu taiyaki sedikit
dingin sebelum kami berani memakannya. Kulit renyah dan krim pudingnya
bersatu padu, dan bagian dalamnya terasa lembut. Yap, enak. Aku menggigit
dan menikmatinya perlahan, tapi Yuki melahapnya dalam beberapa detik.

―Erm, kau cukup cepat juga.‖

Yuki mengunyah dalam beberapa kunyahan, dan dengan lahap menelan


taiyaki. Dia kemudian tersenyum padaku, ahhh, membuka mulutnya. Yang
pada dasarnya berarti, aku minta punyamu.

―Umm, itu.‖

―…‖

―Ini punyaku.‖

Ya, aku tahu kok. Terus? Yuki terus memandangku saat dia memiringkan
kepalanya.

―…‖

―... Erm ...‖

―…‖

―…Ini.‖

Aku benar-benar kalah total.

Mendengar apa yang aku katakan, Yuki menghabiskan 80% taiyaki yang
tersisa ke dalam mulutnya. Dia menggembungkan pipi kecilnya,
mengunyahnya dengan sepenuh hati.

―Tak disangk kamu ternyata rakus juga ya.‖

Aku mengatakan apa yang aku pikirkan, dan Yuki tampak sedikit panik. Dia
mengunyah lebih cepat dari sebelumnya, dan dengan cepat menghabiskan
taiyaki.

―Rasanya manis. Jadi, aku tidak bisa menahan diri.‖


Dia mengatakan itu sedikit lebih cepat dari biasanya.

―Meski kau bilang begitu, tapi kau sebenarnya khawatir dengan apa yang aku
pikirkan, bukan?‖

―Enggak juga, kok!!‖

―Benarkah?‖

―Beneran!‖

Aku menikmati wajah panik Yuki sambil terus berjalan. Tiba-tiba, sesuatu
yang merah muncul di pandanganku. Begitu aku melihat huruf di atasnya,
aku berhenti.

Begitu ya. Rabu depan–

Yoshi-kun, yang terus menggodaku dengan lelucon yang benar-benar kejam,


tiba-tiba terhenti. Ada apa? Pikirku, dan melihat ke arah yang Ia lihat. Aku
melihat bendera merah berkibaran, bendera toko kue kecil.

Orang yang berbicara duluan adalah aku,

―Ngomong-ngomong, itu minggu depan, ya?‖

―Ya.‖

Rabu depan adalah tanggal 14 Februari. Dikatakan kalau hari tersebut adalah
hari dimana anak cowok benar-benar ingin makan makanan manis. Setelah
masa pacaran kita berakhir, itu akan menjadi hari Valentine.

―Jika mungkin, bisakah kau memberiku cokelat?‖

―Kamu mau?‖

―Tentu saja. Yah, karena itu pemberian dari pacarku.‖


Yoshi-kun tampak malu-malu setiap kali Ia menyebut kata pacar, dan itu
sangat lucu.

―Tentu.‖

Kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak pernah memberinya cokelat sebelumnya.

Juga, aku berutang budi padanya. Lebih baik membalas apa yang aku bisa.

―Aku pernah menerima coklat darimu sebelumnya, Yoshi-kun.‖

―Memangnya hal itu pernah terjadi?‖

―Ya. Sekali.‖

Kamu mungkin tidak mengingatnya, tapi itulah awal hubungan di antara


kita. Cokelat yang aku terima darimu benar-benar manis. Sangat manis
sampai aku senang. Itu sebabnya aku terus ada.

―Begitu ya. Kalau begitu, tolong lakukan itu.‖

―Ya ya. Nantikan itu oke. Kemudian, tarik kembali apa yang barusan kamu
katakan.‖

―Yang aku katakan?‖

―Kalau aku ini orang yang rakus?‖

―Apa? Kau mencemaskan tentang itu?‖

Tentu saja. Lagipula aku ini seorang gadis.

❀❀❀❀
Pagi itu, aku bangun dari mimpiku, dan melihat hamparan dunia perak di
luar jendela.

Sepertinya salju yang turun sejak kemarin menumpuk. Sinar matahari yang
menyinari awan dibiaskan oleh salju putih, dan mataku yang baru saja
terbuka terasa perih. Aku menggosok mataku yang mengantuk,
meninggalkan ruangan, dan udara dingin yang menerpa membuatku
menggigil dan sadar. Lantai kayunya sangat dingin. Telapak kakiku terasa
sakit.

Seperti biasa, aku menuruni tangga dengan ragu-ragu, dan melihat ibu
menyapu kamar dengan tenang.

―Pagi Haru. Sarapan sudah siap. "

―Eh? Bukannya ini terlalu pagi, ‗kan? Ibu biasanya menyiapkan sarapan
setelah beres-beres.‖

―Semua karena salju ini. Natsuna sangat kegirangan pas pagi tadi. Dia bilang
dia ingin keluar untuk bermain, jadi dia membuatnya lebih awal.‖

―Oh, kalau begitu aku beruntung.‖

Usai menjawab begitu, aku membuka pintu depan, dan menuju ke kotak pos
untuk mengambil koran hari ini.

Ayah lebih takut kedinginan daripada diriku, jadi di musim dingin, biasnya
akulah yang mengambil koran. Natsuna tidak takut dingin, tapi dia tidak
nurut.

Halaman kecil rumah ini ditutupi dengan warna putih, bersamaan dengan
serangkaian jejak langkah kaki yang mengarah ke luar. Pastinya anak itu
berlari keluar sambil berteriak yahoo atau semacamnya. Aku bisa
membayangkan dengan jelas adik perempuanku bersenang-
senang. Mengingat seberapa dalam jejak langkah kakinya, jelas-jelas dia
berlari keluar dengan penuh semangat.

Uuu, tubuhku menggigil, dan nafas putih yang keluar dari mulut tertiup
angin yang sangat dingin. Aku menarik lengan bajuku, dan membuka kotak
pos, mengambil koran pagi yang disimpan dalam tas bening seperti biasanya.

Lalu, tiba-tiba, terdengar sebuah suara


―Jadi, kamu membaca koran ya, Yoshi-kun.‖

―Tidak, aku hanya akan memeriksa saluran TV. Ayah yang menyuruhku
untuk mengambilnya. Hm? Eh?‖

Aku mendongakkan kepalaku dari kotak pos, dan Yuki tengah berdiri di
sana. Ada aroma bunga, sedikit terlalu dini untuk cuaca dingin ini, datang
dari halaman yang tertutup salju putih. Kenapa dia sudah ada di sini pagi-
pagi begini?

―Salju menumpuk, jadi aku datang ke sini dengan bahagia. Yoshi-kun, apa
kamu punya waktu sekarang? Ayo habiskan waktu bersamaku. ‖

―... Apa kau sudah menunggu lama?‖

―Nggak. Aku beneran baru sampai. Aku siap menunggu sekitar dua jam, tapi
syukurlah kau keluar sepagi ini.‖

Aku pikir dia bisa saja meneleponku, tetapi Yuki tidak punya ponsel.

―Apa kau bisa menunggu sebentar? Aku mau bersiap-siap dulu.‖

―Kamu tidak perlu terburu-buru.‖

―Tapi di luar ‗kan dingin. Ah, kenapa kau tidak menunggu di dalam saja?‖

―Terima kasih, tapi tidak usah. Aku mau menunggu disini.‖

―Oke. Aku akan bersiap-siap dengan cepat.‖

Seperti yang aku katakan, aku bergegas kembali ke dalam rumah, dan
bersiap-siap untuk pergi. Aku meninggalkan koran di depan ayahku, yang
meringkuk sepenuhnya di kotatsu, melahap sarapan yang disiapkan
Natsuna, berganti pakaian, menyisir rambutku, dan memberi tahu ayahku,
yang tidak berniat meninggalkan kotatsu, kalau aku akan keluar. Ohh, Ia
menjawab dengan lemah, dan aku tidak yakin apakah dia memahami
perkataanku atau tidak.

Aku menggeser pintu ke samping, dan Yuki berkata dengan gembira,

―Itu cukup cepat. Mau pergi sekarang?‖


―Ya. Ayo pergi.‖

Permukaan salju yang baru ditinggalkan dengan jejak kaki kami sendiri.

Rumahku berada di pinggiran kota yang agak jauh dari pusat kota, dan
ladang-ladang yang tak berujung di sana tertutup warna putih
sepenuhnya. Ada banyak partikel cahaya kecil berkilauan di atas salju putih
murni tersebut.

―Cantik, bukan?‖

―Ya. Ini sangat cantik.‖

Setelah berjalan beberapa saat, aku mendengar seseorang meneriaki


namaku.

―Hei, Haru-nii.‖

Aku menoleh ke arah suara itu, dan melihat siluet kecil. Ternyata Shouta
yang memanggilku, bocah SD yang tinggal di lingkungan sini, dan sweter
birunya tertutup salju.

Wajahnya benar-benar merah, keringat di dahinya bercucuran dengan deras.

Ia berlari ke arah kami, syukurlah, dan akhirnya menghela napas lega.

―Haa ... haa ... itu kau, Haru-nii. Aku melihatmu, haa, dari jauh, jadi aku
berlari. Haa.‖

―…Apa?‖

―Tolong aku.‖

―Hah?‖

Aku tidak mengerti apa yang bocah ini katakan, dan bertanya-tanya apa Ia
sedang dikejar, jadi aku melihat ke arah belakangnya, namun yang kulihat
hanyalah beberapa siluet berlarian di ladang. Sepertinya mereka sedang
melakukan perang bola salju. Saat aku masih di sekolah dasar, aku ingat
bermain dengan beberapa temanku. Aku benar-benar menikmati masa-masa
saat itu.
Begitu aku mengingat ini, aku berhenti berpikir. Aku seharusnya
melakukannya, tapi sama seperti aku tidak bisa berhenti segera setelah
berlari, aku tidak bisa berhenti berpikir secepat itu. Ya, aku langsung
menyadarinya.

Memangnya ada orang yang pergi bermain pagi-pagi begini?

―Yuki, ayo pergi.‖

―Jangan lari. Kamu tahu apa yang Ia ingin kamu minta bantu? ‖

―Aku tidak tahu. Aku belum melihatnya.‖

―Kalau begitu lihatlah dengan benar.‖

―Tidak mau.‖

Aku menolak dengan tegas.

Aku tidak ingin menjadi pengasuhnya pada hari yang begitu berharga.

Namun tekadku segera berubah. Tanpa melihat, aku bisa mendengar tawa
gadis yang familiar dan jelas. Sangat jelas sekali.

―Nhahahaha.‖

Lihat, kamu tidak bisa lari sekarang, Shouta sepertinya memarahiku saat dia
memanggil namaku.

―Haru-nii!‖

―Berhenti. Jangan katakan apa-apa lagi.‖

Tapi Shouta mengabaikan permintaanku ketika dia menyebutkan penyebab


tawa itu.

―Monster (bakemono) itu berasal dari rumahmu, Haru-nii. Tolong lakukan


sesuatu!‖

Ahh, Ia mengatakannya.
Sial. Baiklah, aku mengerti. Iya. Aku akan melakukannya. Jadi aku menghela
nafas, dan menyerah melawan ketika aku melihat sumber suara tersebut. Tak
diragukan lagi.

―Ya. Bocah idiot kita (bakamono).‖

Itulah suara yang mulia adik perempuan kecil kami yang super duper lucu.

Yah, adik perempuanku, Natsuna Segawa, dia mirip seperti topan.

Dia lucu, dan cukup populer, tetapi dia selalu mengajak semua orang untuk
menghabiskan banyak energi yang dia miliki. Anak-anak SD terdekat sering
menjadi korbannya, dan mereka semua merasa takut padanya.

Kali ini, sepertinya hal ini juga sama.

Menurut Shouta, awalnya itu hanya pertarungan bola salju antar anak-anak,
tapi saat Natsuna melihat mereka. Dia, yang dari awal berhati tomboy, mana
mungkin bisa menahan keinginannya. Aku bisa membayangkan dia
bergabung dengan senyum cerah, tanpa peduli pada dunia.

Shouta dan yang lainnya mungkin berpikir rasanya akan lebih


menyenangkan jika ada banyak orang yang ikut bergabung, jadi mereka
mengijinkannya bergabung ...

Masalahnya, begitu Natsuna ikut bergabung, dia menambahkan aturan


bahwa pihak yang kalah harus menuruti perkataan pihak yang
menang. Sekelompok anak SD melawan seseorang yang kemampuan
atletiknya lebih unggul di antara anak SMP. Sekarang apa yang akan
terjadi? Mudah dibayangkan.

Bocah-bocah itu harus bertarung mati-matian untuk menghindari masa


depan menjadi antek Natsuna.

Ahh, itu sebabnya aku tidak ingin mendengarnya. Aku merasa sangat malu
sebagai kakaknya, dan depresi ...

―Aku mengerti situasinya. Aku akan memikirkan sesuatu. Tapi aku akan
mengalahkan Natsuna untuk menyelesaikan masalah. Aku tak peduli dengan
yang lainnya. Apa begitu saja tak masalah?‖
―Ya. Tidak masalah.‖

―Kalau begitu, maaf Yuki. Tolong tunggu sebentar.‖

―Heh? Kenapa?‖

Aku menoleh, dan melihat Yuki sedang meregangkan tubuh dan melakukan
pemanasan karena suatu alasan.

―Apa kau mau ikut bergabung dengan pertarungan bola salju ini?‖

―Iya. Kelihatannya seru. Aku juga tidak pernah melakukannya sebelumnya.‖

Shouta,yang memperhatikan senyumnya seperti malaikat, bertanya,

―Hei, Haru-nii. Aku ingin bertanya. Siapa kakak perempuan ini? Apa dia
artis?‖

Menghadapi pertanyaan polos Shouta, Yuki berlutut setinggi matanya, dan


tersenyum padanya. Ia langsung tersipu.

―Maaf, kakak ini bukan aktris. Sebenarnya, kakak ini Pacar dari Haru-nii. ‖

Mendengar balasan Yuki, mata Shouta berkilauan lebih dari yang pernah
kulihat darinya.

―Kau hebat Haru-nii. Kau punya pacar yang cantik. ‖

―Yah, begitulah. Ngomong-ngomong, Shouta. Kau tidak keberatan


membiarkan kakak ini bergabung dengan tim, ‗kan? ‖

―Tentu saja.‖

―Terima kasih. Tolong jaga dia.‖

―Iya. Senang bertemu denganmu.‖

Yuki mengatakan itu, dan Shouta, yang berjabatan tangan dengannya, tiba-
tiba mengerutkan kening. Ia menunduk ke bawah sambil meminta minta
maaf.
―Ah maaf. Onee-chan. Sepertinya kau harus bergabung dengan tim Natsu-
nee. ‖

―Mengapa?‖

―Yah, kau memiliki bau musuh.‖

―Bau musuh?‖

Yuki dan aku saling bertukar pandang.

Apa yang sedang terjadi?

Setelah Yuki bergabung, tim Natsuna memiliki sepuluh pemain.

Setelah aku bergabung, ada lima di tim.

Anggota tim lawan lebih banyak dua kali lipat dari timku, tapi dalam
pertarungan bola salju ini, siapa pun akan disuruh keluar dari pertarungan
ketika mereka jatuh terlebih dahulu, terjatuh, atau menyerah. Jika mereka
tidak terlalu panik, mereka mungkin takkan kalah. Itulah yang aku
pikirkan. Sebagai seorang pria, jika aku kalah dalam melawan pacarku dan
adik perempuan dalam hal ini, rasanya akan sangat memalukan.

Kedua tim telah membuat benteng tumpukan salju di kamp masing-masing,


dan meski tidak tinggi, kelihatannya masih mungkin untuk meringkuk dan
menggunakan salju itu sebagai dinding. Aku bersembunyi di bawah salju
yang paling dekat dengan musuh, diam-diam menunggu momen yang tepat.

Tiba-tiba, timku berhenti menyerang.

Natsuna suka membuat keributan, jadi setelah semuanya tenang, dia pasti
akan keluar sendirian. Tujuanku adalah mengejar hal-hal yang tidak terduga
dan melawan dengan geriliya.

Jadi aku menunggu sebentar. Seperti yang aku rencanakan, ada seorang
gadis barbar yang menyerbu ke kamp musuh.

Dia adalah gadis yang mencolok dengan syal merah, mantel merah, dan
sepatu boot merah. Gadis energik ini sangat menyukai warna merah.
―Nhahahaha. Ayo serang aku!‖

Teriaknya sambil berlari dengan kecepatan luar biasa. Ya, ada target yang
bagus. Aku membidik mulutnya yang terbuka lebar, dan melemparkan bola
salju dengan semua tenagaku.

"Hbuch!"

Mendarat sempurna.

Natsuna mengeluarkan suara aneh, dan berhenti berlari. Dia menyeka salju
yang menempel di wajahnya, dan terus meludahkannya.

―Apanya yang serang aku? Apa yang akan Kkau lakukan, Natsuna?‖

―Gek. Haru-kun. Ke-kenapa kamu bisa ada di sini? ‖

―Sekarang bukan waktunya untuk itu.‖

Natsuna terkejut dengan kehadiranku, dan seperti yang diharapkan, dia


kehilangan keseimbangan. Dia sering bertindak berdasarkan insting, dan
payah dalam berurusan dengan sesuatu yang tidak terduga. Meski begitu,
kemampuan atletik alami mencegahnya jatuh. Aku tahu itu dengan sangat
baik, jadi secara alami,

Aku membuat strategi untuk tujuan ini.

Aku melempar bola salju ke wajah Natsuna saat dia masih goyah. Setiap
lemparan ditujukan cukup tinggi baginya untuk menghindari jika dia
menunduk. Natsuna bisa mengelak dengan melompat, tetapi pusat
gravitasinya kembali sebagai hasilnya. Aku melempar bola salju yang
berikutnya sedikit lebih rendah, dan dia juga menghindari itu. Pusat
gravitasinya bergeser ke belakang.

Pada dasarnya, ini adalah tarian limbo.

Aku mengulangi tiga lemparan yang sama, dan Natsuna akhirnya kehilangan
keseimbangan saat dia mendarat kembali dengan bunyi gedebuk.

―Menang!‖
Aku mengangkat tangan, memberi tahu rekan setimku kalau aku
mengalahkan Natsuna. Dia, jatuh terduduk, terus mengeluh.

―Curang! Kamu curang! Kamu cowok, Haru-kun. Anak SMA


pula! Bagaimana bisa aku mengalahkanmu! "

Tampaknya dia tidak merenungkan tindakannya, jadi aku melemparkan bola


salju lagi ke arah pecundang.

―Puk! Uuu. Ahh, salju masuk ke mulutku lagi!‖

―Kau memanggilku curang? Kau sendiri anak SMP, dan kau malah ikut
bergabung dengan pertarungan bola salju anak SD?‖

Semuanya sudah direncanakan sampai titik ini. Tapi aku melupakan


sesuatu. Aku lupa bahwa di antara tim musuh, ada orang yang sebaya
denganku.

Ini pertama kalinya dia bermain bola salju.

Karena itu, dia tidak tahu taktik atau serangan balik.

Dan tanpa memikirkan apa pun, dia hanya melakukan apa yang disuruh
saudariku.

Ya, dia sama sekali tidak tahu apa-apa.

Dia tidak tahu ini adalah cara terbaik bagi mereka untuk mengalahkan kami.

―Ayo! Semuanya. Ikuti Natsuna-chan dan serang! ‖

―Ngh!‖

Dengan teriakan yang menggema, semua sembilan anggota tim musuh yang
tersisa datang menyerang dengan rentetan bola salju.

Jika jumlah timku sama, pihak timku akan diuntungkan. Timku bisa
membalas dengan serangan yang kulakukan terhadap Natsuna. Namun,
mereka hampir dua kali lipat dari jumlah timku. Jika mereka menyerang
sekaligus, mana mungkin kita bisa menanganinya.
―Hbuch!‖

Rentetan bola salju terlempar, dan salah satunya mendarat tepat di wajahku,
menyebabkanku membuat suara aneh yang sama dengan Natsuna.

Hm? Apa yang sedang terjadi? Salju ini wanginya harum. Aroma ini–

―Hei, Natsuna. Bukannya salju ini punya aroma sakura?‖

Natsuna, yang berpura-pura mati di atas salju, membuka matanya sedikit,


dan melirik ke arahku, lalu berkata,

―Aku menyemprotkan beberapa parfum sakura untuk mengidentifikasi bola


salju tim kami.‖

Itu menjelaskan banyak segalanya.

Itu sebabnya Yuki, yang memiliki aroma sakura di tubuhnya, dimasukkan ke


dalam tim lawan.

―Kenapa menyemprotkan parfum? Tidak, tunggu, dari mana asalnya? Mana


mungkin bocah-bocah itu punya parfum. Apa itu darimu?‖

Ah, sial. Ekspresi Natsuna mencerminkan seseorang yang tertangkap basah,


dan dengan cepat menoleh ke samping. Dia tidak bisa bersiul, tapi dia masih
cemberut, memonyongkan bibirnya ketika dia berpura-pura bersiul. Adik
perempuanku benar-benar putus asa.

Omong-omong, ibu ingin Natsuna, untuk bertindak lebih seperti seorang


gadis, dan memaksakan banyak hal padanya, tapi sepertinya dia tidak benar-
benar menerimanya.

―Jangan menyia-nyiakannya hanya karena kau tidak menggunakannya.‖

―Tidak, aku tidak menyia-nyiakannya sama sekali. Sudah kubilang ini untuk
mengidentifikasi.‖

―Tak perlu mengidentifikasi bola salju segala.‖

―Rasanya seperti bakal terasa lezat jika ada aroma wangi.‖


―Tolong, aku mohon padamu. Jangan memakannya. Kau akan melukai
perutmu. Lagi pula, mengapa menyemprotkan parfum sakura di
salju? Keduanya bukan dari musim yang sama.‖

Sementara kami masih berdebat, tim musuh datang menyerang, dan aku
dibombardir. Aku berniat untuk bersembunyi dibalik benteng, tapi mereka
tidak membiarkanku.

―Tunggu ... berhenti! Stop, stop! Ow ow!‖

―Rasakan ini! Semuanya, kalahkan kakak yang itu. ‖

Orang yang memimpin penyerangan dan melempar bola salju ke arahku


adalah seorang gadis yang beberapa menit yang lalu mengatakan kata-kata
menggemaskan yang luar biasa, kakak ini adalah pacar Haru-nii. Ucapan
Yuki terus bergema di pikiranku. Kakak ini adalah pacar Haru-nii, pacar,
pacar. Itu hanya imajinasiku. Khayalanku

Akhirnya, aku terjatuh. Wajahku kehilangan akal sehat sesaat setelah


dilempari bola salju habis-habisan. Aku tak tahu apa ini nyeri atau
kedinginan, dan aku tidak bisa mencium.

―Target terbunuh.‖

Yuki memandang diriku yang terjatuh, dan berpose layaknya pahlawan yang
mengalahkan penjahat.

―Tidak, aku belum mati.‖

―Mfufufu. Yoshi-kun, karena kamu kalah, kamu harus menuruti apa yang
aku katakan.‖

―Aturan itu berlaku untukku juga?‖

―Bukannya itu sudah jelas?‖

Benar, jadi yang kalah harus menuruti perkataan yang menang. Aku
mengangkat tangan untuk mengakui kekalahan dengan pasrah, dan Yuki
mengangguk dengan puas.
―Kalau begitu semuanya. Waktu untuk mengalahkan yang lainnya. Ayo
serbuuu! ‖

Jadi aku menyaksikan Yuki yang terus menyerang sisa timku. Di sebelahku,
Natsuna bertanya,

―Hei, Haru-kun. Siapa gadis cantik itu? Kenalanmu?‖

―... Mungkin dia peri salju dengan aroma sakura? ‖

Aku hanya bergumam, karena terlalu malas untuk menjelaskan. Itu aneh,
salju dan sakura ‗kan berada pada musim yang berbeda, gumam Natsuna,
seperti yang dikatakan orang tertentu.

Hari Selasa, 13 Februari.

Ini hari ketujuh Yuki dan aku menjadi sepasang kekasih. Pada hari ini, kami
memutuskan pergi ke taman hiburan yang berada di atap gedung swalayan.

Biang lala mini di sana berkarat karena terpaan angin dan hujan, dan dari
lima mobil yang dirancang dengan karakter anime, tiga di antaranya diberi
label 'tidak berfungsi'. Satu-satunya yang masih berfungsi adalah robot
kucing biru dan tikus listrik berpipi merah. Ada anak laki-laki yang duduk di
mainan tikus listrik, dan setelah bergerak sekitar 3 menit, ia berhenti tepat di
tengah taman bermain.

Tumpukan salju tebal kemarin sudah mencair sepenuhnya, dengan beberapa


masih meninggalkan genangan. Wajah-wajah manusia salju setengah
meleleh.

Kami duduk di bangku plastik. Ini adalah satu-satunya tempat bagi kami
untuk duduk dan beristirahat. Aku menatap langit yang kelabu, dan
bergumam.

―Jadi, kenapa kita ada di sini?‖

―Kamu kalah dariku dalam pertarungan bola salju, jadi kamu akan menuruti
perkataanku sepanjang hari.‖

Balasnya, seolah-olah itu adalah fakta.


Aku kalah dalam pertarungan bola salju kemarin, jadi aku harus menuruti
keinginan Yuki. Awalnya, aturannya adalah yang kalah harus mematuhi satu
hal yang diinginkan oleh pemenang, tapi sekarang karena suatu alasan, itu
malah menjadi aku harus mematuhinya sepanjang hari. Serius, para gadis
luar biasa dalam membuat orang lain menerima tuntutan mereka. Yah, aku
tidak terlalu membencinya.

Yuki bilang, permintaan pertamaku adalah, kencan. Ada dua tempat yang
ingin aku kunjungi bersamamu, Yoshi-kun.

Salah satunya adalah tempat ini.

―Aku mengerti apa yang kau katakan, tapi bukan itu. Kenapa taman hiburan
di atap ini?‖

―Karena aku menyukainya. Jadi aku ingin kamu datang ke sini, Yoshi-kun. ‖

―Kalau begitu, ini adalah tempat yang salah. Kita harus pergi ke tempat yang
lebih baik. ‖

―Tidak. Ini cukup layak untuk disebut taman hiburan. ‖

―Apa kau senang berada di sini, Yuki?‖

―Iya.‖

―Apa kau menikmatinya?‖

―Ya.‖

―Berarti tidak ada masalah.‖

Ya. Semuanya akan baik-baik saja selama Yuki bahagia.

Aku menepuk lututku, berdiri, dan mengulurkan tanganku ke Yuki.

―Mumpung kita di sini, kita mungkin bisa naik biang lala.‖

―Ehh, rasanya memalukan.‖


―Tidak apa-apa. Tidak ada orang lain selain kita di sini. Pikirkan tentang
itu. Kita sudah capek-capek ke sini, dan tidak mengendarai apa pun. Itu sulit
dipercaya, bukan? ‖

Yuki mencoba berbagai alasan untuk menolak ajakanku, sebelum akhirnya


dia memegang tanganku. Ini adalah kemenanganku karena mengabaikan
semua alasannya. Aku bertanya padanya wahana permainan mana yang
ingin dia naiki, dan karena dia suka kucing, kami pun memilih robot kucing.

―100 yen masuk.‖

―Kamu tidak ikut naik, Yoshi-kun?‖

―Ini cuma muat satu orang. Aku akan menaikinya nanti.‖

―Nanti?‖

Sementara Yuki memiringkan kepalanya dengan manis, aku memasukkan


koin.

―Aku sudah 18 tahun. Rasanya sangat memalukan untuk menunggangi ini."

―Ah, begitukah?‖

Setelah mendengar alasanku, Yuki merajuk marah, tetapi aku berhasil


melarikan diri dari robot kucing sebelum kepalan tangannya mencapai
wajahku. Itu mulai bergerak perlahan, diiringi dengan musik yang aneh.

Bocah yang mengendarai tikus listrik menunjuk Yuki,

―Mama. Boleh aku mengendarainya sekarang? ‖

―Tunggu giliran Onee-san selesai.‖

Ahh Ini sangat memalukan. Aku melihat ke arah Yuki, dan melihat wajahnya
yang memerah sampai ke bagian bawah lehernya, tangannya menutupi
wajahnya. Dia benar-benar lucu ketika dia bertingkah seperti ini. Aku diam-
diam memutuskan kalau aku akan membiarkan dia memukulku sekali atau
dua kali.
Akhirnya, Yuki menyuruhku mentraktirnya dengan jus dari mesin penjual
otomatis, bukannya memukuliku.

Aku memasukkan koin, dan lampu hijau muncul di tombol.

―Pilih yang kau suka.‖

Dia menatap dengan muram, bingung mau pilih mana, sebelum memilih
minuman kakao, dan aku juga membeli yang sama. Kami berdua tidak bisa
minum kopi hitam. Meski kami bukan anak-anak, kami belum cukup umur
untuk disebut orang dewasa. Pada titik ini, kita berada di antara batas dua
kelompok umur ini.

Kami bersandar pada tembok pembatas, meminum cokelat secara serempak.

Kami berdua berdekatan satu sama lain, dan aku hanya perlu bergerak
sedikit untuk menyentuh Yuki. Aku benar-benar bisa merasakan
kehadirannya, kehangatannya, dan aromanya. Tangannya berada di kaleng,
berusaha menghangatkannya, saat dia minum perlahan.

―Hei, Yoshi-kun. Terima kasih.‖

Tiba-tiba, Yuki mengatakan itu.

―Kenapa kau berterima kasih? Aku tidak melakukan apa-apa.‖

―Itu tidak benar. Kamu membelikan kakao, membawaku ke sini, dan dirimu
yang lain membuat banyak, banyak kenangan bersamaku. Hei, kurasa ini
seharusnya menjadi alasan yang cukup untuk berterima kasih, ‗kan? ‖

Yuki memejamkan matanya, seakan mengingat sesuatu.

―Aku sangat suka melihatmu tersenyum, melihat wajahmu yang marah,


wajahmu yang menangis, wajahmu yang malu-malu, wajahmu yang
bermasalah, dan wajahmu yang cemas. Aku kira, sebelum aku mati, aku pasti
akan mengingat setiap hari sejak saat aku bertemu denganmu. Suatu hari, ini
akan seperti yang kamu katakan, Yoshi-kun. Walau aku terus berjuang, dan
meski aku mencapai tempat itu, namun tidak menemukan apa yang aku
inginkan, pasti ada sesuatu yang lebih berharga di sana ... ―
Usai menngucapkan itu, Yuki berhenti sejenak. Dia mungkin ingin aku
bertanya apa yang ingin dia katakan, karena dia menungguku untuk
bertanya.

―Apa yang kau temukan di sana?‖

―Aku menemukanmu di sana. Kamu ada di sana, Yoshi-kun, di hatiku yang


kupikir itu kosong.‖

Nn, gumamnya, dan membuka matanya perlahan dengan kepuasan.

―Setiap hari aku hidup, ada kamu di sampingku, Yoshi-kun.‖

Kenapa?

Itu bukanlah kata-kata yang bisa menyebabkan air mata, namun aku merasa
hidungku sedikit gatal. Aku menatap langit untuk menyembunyikan
pemandangan ini, menatap awan yang memerah di ujung sana. Merah,
menyengat menyinari mataku.

Tiba-tiba, Yuki mengulurkan tangannya, menepuk kepalaku. Dia tidak


setinggiku, jadi dia berjinjit. Tempat yang disentuhnya sangat hangat, sangat
nyaman.

―…Apa yang sedang kau lakukan?‖

―Hm? Aku menghiburmu, Yoshi-kun. Kamu terlihat seperti akan menangis.‖

―Aku bukan anak kecil.‖

―Itu bukan hal yang buruk. Aku pikir tadi cukup memalukan, jadi kamu
harus mengalaminya, Yoshi-kun. ‖

Sekarang kita impas, ujarnya sambil membelai rambutnya.

Ahh, gatal. Apa yang sedang terjadi? Mengapa aku merasa sangat bahagia
dengan karena hal kecil seperti ini? Aku bisa merasakan sentuhan lembut
tangannya, dan akhirnya tersenyum.

Syukurlah, ucap Yuki setelah melihatku tersenyum.


―Kamu akhirnya tersenyum.‖

Matahari terbenam, dan tempat yang kami tuju setelah taman hiburan
adalah sekolah SMA-ku.

Itulah tempat lain yang ingin Yuki kunjungi.

Sekarang sudah lewat jam 7 malam, dan dalam gelap, lampu sekolah sudah
mati. Satu-satunya tempat dengan lampu oranye menyala adalah kantor,
ruang belajar mandiri, dua ruangan kelas dua dan satu ruangan kelas
satu. Mereka yang mengikuti ujian masuk mungkin masih ada di ruang
belajar mandiri. Semua ruangan kelas tiga benar-benar gelap, ini
kesempatan yang bagus untuk kami.

Aku memegang tangan Yuki saat aku menyelinap dalam kegelapan malam,
menyelinap ke sekolah.

Langkah kaki kami bergema di tangga yang gelap. Di perjalanan, kami


melihat seorang guru, jadi aku menyembunyikan Yuki di belakangku,
memberi tahu guru bahwa aku lupa sesuatu. Oh, jadi responsnya sebagai
guru membuat kami pergi. Kurasa gurunya tidak bisa melihat wajah Yuki
dengan jelas karena gelap.

Begitu guru menghilang dari pandangan, kami menghela nafas lega, sebelum
kami pergi ke ruang kelasku.

Untungnya, ruangan kelas tidak dikunci. Aku menggeser pintu ke samping,


dan dengan deritan yang akrab, ruang kelas dan koridor saling terkait.

Cahaya bulan suci yang bersinar melalui jendela mewarnai ruangan kelas
menjadi setengah perak.

Ini adalah ruang kelas yang sangat akrab bagiku, tetapi bagi Yuki, ini adalah
pemandangan baru saat dia melihat sekeliling dengan penuh semangat.
Wow. Dia menjerit kegirangan, menyentuh meja seolah-olah itu adalah batu
permata. Ahh, ada coretan, serunya sambil berkeliaran di ruang kelas,
sebelum dia tiba-tiba melihat ke arahku.

―Hei, yang mana mejamu, Yoshi-kun?‖

―Eh? Ahh, baris ketiga dari kanan, kursi keempat. ‖


Aku terpesona saat melihatnya, dan responku agak lambat. Namun, entah
bagaimana aku menjawabnya. 1, 2, 3, 4, Yuki menghitung ketika dia pergi
menuju ke tempat dudukku.

―Yang ini?‖

―Iya, yang itu.‖

Aku pikir dia akan duduk di kursi di sebelah kursiku, tetapi untuk beberapa
alasan, dia mengambil yang di sebelahnya, dan kemudian,

―Baiklah, Yoshi-kun, ini keinginan kedua. Kamu akan duduk di sini.‖

Dia menepuk kursiku. Apa lagi yang harus aku lakukan? Tentu saja, aku akan
duduk di tempat yang ditunjukkannya.

Aku seharusnya terbiasa dengan pemandangan ruang kelas ini dari tempat
dudukku sendiri, tapi dengan Yuki yang duduk di sebelahku, semuanya
tampak baru. Meja-meja tua, papan tulis dengan bekas goresan kapur,
kertas-kertas dengan absen kelas yang membosankan semuanya dipenuhi
cahaya.

―Rasanya akan lebih menyenangkan bila kau jadi teman sekelasku, Yuki.‖

―Kamu memahaminya?‖

Aku mengutarakan pikiranku, dan untuk beberapa alasan, Yuki menjawab


dengan wajah yang tampak sangat gembira.

―Aku ingin tahu siapa tiga tahun lalu yang bilang Ia tidak tahu apa bagusnya
tempat ini?‖

―Memangnya ada orang sebodoh itu?‖

―Ya, ada. Ah, meski kita berada di sekolah yang sama, kita mungkin tidak
bisa masuk di kelas yang sama. Bagaimanapun juga, aku ini lebih tua satu
tahun. Ya ya. Panggil aku Shiina-senpai. "

Suara Yuki sangat dekat. Untuk setiap gerakan yang dia lakukan, meja
bergetar. Sesuatu dalam diriku terus terguncang.
―…Shiina-senpai.‖

Setelah aku mengatakan itu, Yuki menyeringai.

Hei, ulangi lagi. Tidak mau. Kumohon. Apa boleh buat, ya, Shiina-
senpai? Bagus, sekarang sekali lagi. Shiina-senpai. Sekali lagi, sedikit lebih
intim. Yuki-senpai? Tidak buruk tidak buruk. Sekali lagi. Seriusan deh,
Yuki. Kau seperti orang cabul tau. Matamu bersinar. Kamu memanggilku
cabul? Kasar sekali.

Apa pun yang aku katakan, Yuki akan tertawa, marah, terlihat kecewa, atau
cemberut.

Di dalam kelas ini, Yuki dan suaraku saling bergema satu sama lain.

Sementara kami mengobrol, jadi kenapa? tanyaku. Aku benar-benar ingin


menanyakan hal ini sejak awal.

―Kenapa kau ingin datang ke kelasku.‖

―.... Yah, aku sudah bilang pada Akane-chan.‖

Begitu nama tersebut tiba-tiba disebutkan, aku terkejut.

―Kamu hanya teman sekelas biasa, ‗kan? Kalau begitu, tidak masalah apa
hubunganku dengan Yoshi-kun sekarang. Setelah itu, aku tidak senang
dengan hal itu. Meski dia hanya teman sekelas, aku iri padanya. Aku tidak
tahu bagaimana dirimu di sekolah, Yoshi-kun. Ini yang terakhir.‖

Dia berdiri dari kursi, dan membuat jarak dariku. Angin sepoi-sepoi
mengangkat rok panjangnya.

Dia berada di kegelapan, berdiri di sana seperti jurang pemisah antara terang
dan gelap.

―Terakhir.‖

Aku mengulangi kata-kata ini, dan segera merasakan rasa sakit di seluruh
tubuhku.
―Kamu akan lulus, Yoshi-kun. Aku ingin datang ke kelasmu sebelum itu. Ini
adalah kesempatan yang sempurna. "

―Ahh, begitu.‖

Sepertinya dia tidak merencanakan hal lain.

Yuki bilang kalau kami sudah bertemu ratusan kali. Tentunya di masa depan,
kami akan bertemu berkali-kali lagi. Hei, bukankah begitu?

―Hey, Yuki-senpai.‖

Aku memanggilnya untuk memohon padanya, dan dia menyipitkan matanya,


menggaruk pipinya, dan akhirnya menggelengkan kepalanya.

―Kedengarannya bagus, tapi aku lebih suka yang biasa. Panggil aku Yuki.‖

―Yuki.‖

Namanya seperti preset karena berasal dari mulutku.

―Aku menyukaimu. Aku benar-benar sangat menyukaimu. ‖

―Aku tahu. Kamu sudah mengatakannya berkali-kali. Aku juga menyukaimu,


Yoshi-kun. ‖

Tiba-tiba, dorongan tiba-tiba melandaku. Aku tidak bisa menolaknya. Aku


bergegas menuju Yuki, dan memeluk tubuh mungilnya sedikit. Aroma sakura
yang manis tercium. Tidak, bukan itu.

Bagiku, ini sudah menjadi aroma khas Yuki.

―Wawa, kenapa tiba-tiba sekali?‖

―Ini salahmu, Yuki.‖

―Salahku?‖

―Ya, salahmu, Yuki. Semuanya salahmu. ‖


―Begitu ya. Mau bagaimana lagi. Ini salahku kamu sering terlibat denganku.

Ini semua salah Yuki karena membuatku seperti ini.

Aku mendekatkan wajahku ke wajah Yuki yang tertawa.

Sepertinya Yuki tahu apa yang ingin aku lakukan ketika dia menutup
matanya dengan erat, pipinya memerah saat dia akhirnya siap
menerimaku. Dia sangat imut; Aku benar-benar tidak tahu berapa kali aku
memikirkan itu.

Di sudut dunia ini yang bahkan tidak bisa dijangkau oleh cahaya rembulan,
kami berciuman tanpa diketahui orang lain.

Saat kami bersentuhan, bibirnya sangat dingin, bergetar. Rasanya kikuk,


hanya ciuman lembut di antara bibir, tapi kami sangat yakin dengan
perasaan satu sama lain, kehangatan satu sama lain, dibandingkan dengan
pengakuan dan pegangan tangan yang tak terhitung jumlahnya.

Manusia sebagai spesies telah menggunakan tindakan ini untuk


mengidentifikasi dengan jelas keberadaan satu sama lain.

Setelah melewati lima detik abadi, Yuki membenamkan wajahnya ke dadaku,


tampaknya menutupi wajahnya sendiri saat dia merajuk. Tapi aku tahu dia
menyembunyikan rasa malunya.

―Ini ciuman pertamaku.‖

Dia benar-benar imut dalam keadaan itu, jadi aku tersenyum. Lihat, itu
semua salah Yuki, kan? Mana ada anak laki-laki yang bisa menolaknya ketika
ada seorang gadis imut di depannya.

―Tidak diragukan lagi itu ciuman pertamaku juga.‖

―Hei.‖

Yuki mengangkat kepalanya. Wajahnya, dan bahkan sampai telinganya,


benar-benar semerah tomat.

―Permintaan ketigaku. Sekali lagi?"


Jadi bibir kami terus bersentuhan lagi dan lagi.

Yuki dan aku berpisah di gerbang depan, dan saat aku berjalan pulang,
ringtone smartphone di kantongku berdering.

'Nomor publik' adalah nama pemanggilnya. Biasanya, aku takkan pernah


menerima telepon ini, tetapi aku langsung mengangkatnya. Karena sebuah
alasan.

Aku merasa aku tahu siapa yang menelepon.

―Hei Yuki?‖

Sebelum dia menyebutkan namanya, aku memanggilnya. Kamu benar,


jawabnya.

Suara dari telepon terdengar sangat lembut, namun sepertinya lebih dekat
dari biasanya, dan aku bahkan bisa mendengarnya suara nafasnya. Itu
adalah sesuatu tepat di sampingku, di dalam tanganku.

Aku pergi ke lampu jalan, yang masih berdengung menjauh, dan


menyandakan punggungku di tiang, menatap langit. Di mana dia
sekarang? Jadi aku berpikir sambil menajamkan telinga untuk
mendengarkan.

―Aku ingin bicara sedikit lagi, jadi aku meneleponmu. Mau ngobrol sebentar
lagi? ‖

―Tentu saja. Tapi ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?‖

―…Kenapa kamu bertanya begitu?‖

Yah, alasannya sederhana, tapi aku tidak bisa mengatakannya. Aku menelan
ludah, dan mempersiapkan diriku. Karena. Kali ini, aku berhasil
mengatakannya. Jadi aku harus melanjutkan,

―Suaramu terdengar bergetar.‖

Bahkan diriku yang bodoh ini tahu bahwa suaranya karena dia merasa
kedinginan.
―Suaraku bergetar?‖

―Ya.‖

―Begitu ya. Jadi suaraku bergetar. Aku rasa begitu. Hei, Yoshi-kun, aku akan
menanyakan sesuatu. Kamu tidak ingin melupakanku, bukan? Kamu ingin
terus mengingatku, bukan? ‖

―Tentu saja.‖

―Tidak peduli apapun bayarannya?‖

―Iya.‖

Aku menjawab tanpa banyak berpikir.

Aku tidak menyadari bahwa ini adalah persimpangan jalan terakhir.

―Ya kamu benar. Aku tahu kamu akan mengatakan itu, Yoshi-kun. Kalau
begitu, aku punya satu permintaan. Ini permintaanku yang terakhir. Apa
kamu mau mendengarnya?‖

―Tentu saja. Aku menghabiskan sepanjang hari untuk memenuhi


keinginanmu. ‖

―Terima kasih. Lalu…‖

Tolong bawa aku ke taman hiburan. Tolong bawa aku ke sekolah. Dengan
kehangatan yang sama seperti ketika dia mengatakan keinginan ini, Yuki
berkata,

―Tolong tersakiti demi diriku.‖

―Eh?‖

―Tolong sukai aku, cintai aku, benci aku. Tolong sesali diriku, menderita
demi diriku. Tolong gunakan semua emosimu untuk mengikat hati kita
bersama. Tolong jangan lupakan aku. ‖

Ini adalah keinginan terakhir Yuki.


Aku segera melihat jam tanganku. Masih ada satu jam hingga pukul 10.54
malam. Keringat perlahan merembes dari punggungku. Cuacanya dingin,
tapi entah kenapa, aku merasa panas yang tak tertahankan. Aku tidak ingin
mendengar apa-apa lagi. Aku ingin menutupi telingaku, untuk meraih
kebahagiaan yang ada di tanganku beberapa saat yang lalu, pulang ke rumah,
dan tidur.

Ahh, andai saja ini bisa berakhir seperti yang aku inginkan? Tapi Yuki segera
mengubahnya menjadi ilusi.

Dia dengan lembut menggumamkan kata-kata itu.

–Aku akan mati sekarang.

Suaranya terdengar dipenuhi sukacita, dan air mata.

―Kenapa?‖

―Aku sudah menyita banyak dan banyak waktu darimu, Yoshi-kun. Aku
mengambil waktu yang seharusnya ada di hatimu, ingatanmu, dan
segalanya. Sampai detik ini, aku sudah melakukan banyak hal kejam.‖

―Itu tidak benar.‖

―Tidak. Itu benar, tetapi kamu mengatakan kepada aku kalau kamu
menyukaiku. Aku senang. Sangat senang. Karena itu, aku benar-benar
berdoa supaya keberadaanku bisa tetap berada di hatimu. Bahkan jika itu
menyakitimu, Yoshi-kun, bahkan jika aku dibenci olehmu, aku tetap
bertahan pada keinginanku. Bila ada tempat beristirahat di dunia ini
untukku, itu pasti di hatimu.‖

Itu bukan jawaban untuk pertanyaanku. Yuki sendiri mungkin mengerti ini,
dan dengan sengaja mengucapkan kata-kata ini.

Meski begitu, aku menyadari bahwa tidak ada kepura-puraan dalam kata-
katanya.

Sekali lagi, aku berlari menuju jalan yang kutempuh.

Aku melewati jembatan, dan berlari ke taman. Lampu toilet umum menyala
remang-remang di jalan. Aku menapaki langkahku ke persimpangan, ragu-
ragu ke mana aku harus pergi. Ahh, sial. Aku membuang-buang waktu yang
berharga. Pada akhirnya, aku pergi ke stasiun.

―Hei, Yuki, tunggu di sana oke. Aku sedang dalam perjalanan menuju
tempatmu, sekarang. Kita akan membahas masalah itu nanti, oke. ‖

―Bukannya kamu bilang kalau kamu akan mendengarkan keinginanku tak


peduli apa isinya? Apa kamu akan mengingkari janji ini lagi?‖

―Lagi?‖

―Ya, lagi. Kamu selalu seperti ini, Yoshi-kun, selalu membuat janji yang tidak
bisa kamu tepati.‖

―Janji apa yang aku ingkari?‖

―Kamu bilang kamu akan ingat.‖

―Eh?‖

―Kamu bilang kalau kamu akan mengingatku ketika mencium aroma


sakura.‖

―…….‖

"Kamu bilang kamu takkan pernah melupakannya.‖

―……‖

―Kamu bilang akan mengajakku pergi ke bioskop.‖

―……‖

Yuki terus menyerukan janji-janji yang dibuat tidak ada di dunia ini, tapi di
dalam hatinya. Aku bahkan tidak bisa meminta maaf padanya. Tidak, aku
tidak punya hak untuk meminta maaf.

―Bukannya itu semua bohong!?"

Bentaknya, suara Yuki melemah, setidaknya penuhi janji ini!


―Itu harus kamu. Aku tidak bisa lagi mengatakan bahwa siapa pun bisa
melakukannya. Aku tidak ingin melakukan ini jika bukan dirimu. Aku tak
peduli apa bentuknya, aku ingin tetap berada di hatimu sepanjang
waktu. Aku tak ingin dilupakan olehmu. Aku tidak ingin mengambil apapun
dari dirimu. Sedikit saja tak masalah, apapun tak masalah, aku ingin tetap di
hatimu. Hanya Ini satu-satunya cara untuk melakukan itu ... ―

Aku tiba di stasiun.

Aku tidak melihat tanda-tanda keberadaan Yuki.

Aku melihat sekeliling, aku menabrak paman yang mengendarai sepeda,


tersandung. Kalau jalan lihat-lhat! Jangan melepon sambil lari! Paman itu
melotot dan meneriakiku dengan meradang. Aku sedikit menundukkan
kepalaku meminta maaf, dan berlari ke balai kota. Aku bisa mendengar apa
yang paman katakan, tapi aku tidak melihat ke belakang.

Aku terus berlari, semuanya demi mencari Yuki.

………………………………..

Sejak hari dimana aku kehilangan segalanya, aku berjalan sendirian sampai
detik ini.

Kekosongan tanpa tujuan, kemarahan dan kebencian tanpa disadari menjadi


alasanku untuk terus hidup. Tanpa ada hal itu, aku mungkin takkan sanggup
berdiri lagi.

Sampai suatu hari Ia memanggilku.

Ini bukanlah metafora maupun lelucon. Dunia berubah sejak hari itu.

Ia membantu mengubahku.

Aku mendapat mimpi.

Itu menjadi alasanku untuk hidup.

Ia memenuhi banyak hal yang diriku lebih muda ingin lakukan.


Tanpa aku sadari, kekosongan, kemarahan, dan bahkan kebencian tersapu
lenyap, dan sesuatu yang lebih hangat justru mengisi diriku. Aku tidak bisa
lagi berpaling dari perasaan ini.

Ah, benar juga.

Aku jatuh cinta untuk pertama kalinya.

Apa yang harus aku sebut hari-hari yang lucu dan indah ini? Aku bertanya-
tanya, dan menggelengkan kepala. Ini bukan sesuatu yang pantas disebut.

Kami ingin bersama, selamanya.

Menuju ke ujung dunia bersama.

Tapi itu tidak mungkin, ini mustahil.

Akhir dari keseharian ini, akhir cerita kita akan dipenuhi dengan kesedihan.

Kami terus bertemu satu sama lain, demi perpisahan yang satu ini.

❀❀❀❀

Jalan di depan balai kota cukup lengang, tidak ada orang di jalan, dan sepi di
mana-mana. Lampu jalan yang bundar membuat prisma bulat. Melihat ke
bawah, aku melihat tiga bayangan di kakiku, satu menghadap ke kanan, satu
menghadap ke kiri, dan satu menghadap ke depan. Mungkin ada sumber
cahaya dari setiap arah; kanan, kiri dan lurus.

Sisi mana yang harus aku ambil untuk sampai ke tempat Yuki?

Aku tidak tahu.

Dan tanpa sadar, aku melangkah ke depan. Aku tidak tahu persis kenapa,
tapi aku diam-diam yakin akan sesuatu.
Yuki ada di depanku.

Jadi, ya, aku berlari ke depan.

Jarak terdekat, kecepatan tercepat yang mungkin, menuju Yuki.

…………………………

Cahaya oranye menyinari diriku yang bersembunyi di balik kaca


bening. Angin menderu di luar, dan sebuah poster berkibar karena angin,
mungkin karena paku yang memegangnya di atas papan iklan telah lama
terjatuh.

Aku mencoba mengulurkan jariku ke depan, tetapi terhalang oleh kaca, tidak
dapat menyentuhnya.

Aku menggerakkan jari-jariku, dan ada tanda sentuhanku di atasnya.

Saat ini, aku masih ada di dunia ini. Ya, aku masih ada di hatinya.

Tentunya, bagi Yoshi-kun, aku adalah gadis yang sangat imut.

Jika Ia menganggapku lucu, itu tidak masalah. Ahh, tapi Yoshi-kun bilang
aku sangat keras kepala dan pelit padanya, selalu mengekor padanya, jadi
mungkin tidak lucu. Aku menunjukkan kepadanya sisi jelekku. Ia bilang aku
benar-benar rakus.

Dan pada akhirnya, semuanya akan terhapus. Kesedihan, penderitaan dan


keputusasaan pasti akan mengambil wujudku, menggantikan tempatku di
hati Yoshi-kun.

Jika aku bisa melakukan sampai segittunya, aku akhirnya bersemayam di


hatinya.

Ini adalah satu-satunya cara untuk tetap di hatinya.

Awalnya, alasan mengapa semua jejakku lenyap adalah karena aku ingin
pergi ke masa depan. Dunia harus terus menghapus keberadaanku karena
aku hidup. Kalau begitu, jika aku mati, tidak ada alasan bagiku untuk
dihapus. Tentu saja, jejak masa lalu yang terhapus takkan kembali, tapi masa
kini yang belum diambil akan tetap ada.
Aku sudah menunggu saat ini.

Menjadi kekasihnya hanya selama satu minggu.

Pikiran kami benar-benar terjalin.

Selama periode berharga itu, aku mungkin telah mengukir diriku dengan
kuat-kuat di dalam dirinya.

Lebih penting lagi, Yoshi-kun merindukanku. Ia mengulurkan tangannya,


merangkak ke arahku. Dia terus berjuang untukku.

Tetapi, setelah semua itu, tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan
seseorang pasti akan menyebabkan luka dalam yang tidak pernah bisa
hilang. Ia akan menangis, menahan rasa sakit, dan mengingatku. Dengan
demikian, aku bisa terus tetap berada di hatinya.

Aku bisa mendengar Yoshi-kun terengah-engah dari ujung telepon.

Aku bisa mendengarnya berlari kencang.

Semuanya berjalan sesuai rencana.

Maaf. Aku ingin mengatakan kata egois ini, tapi aku menahannya kembali.

Kata-kata itu terlalu tajam, sehingga aku, yang memaksa diriku untuk
menahannya, hampir menangis.

❀❀❀❀

Tanganku sakit.

Kakiku sakit.

Hatiku sakit.
Butir-butir keringat mengalir di pipiku. Tubuhku terasa panas dan berat.

Tapi aku tidak boleh berhenti. Aku harus terus berlari.

Aku berbelok ke kanan di jalan raya yang panjang, menuruni


lereng. Kemiringan yang sangat dalam. Aku diam-diam memperingati diriku
untuk berhati-hati, namun perasaan cemasku takkan membiarkan diriku
melambat. Setelah mengambil langkah pertama, langkah kedua berjalan
maju tanpa kendali. Uh oh. Jantungku berdebar kencang. Meski begitu, aku
tak bisa berhenti. Aku seperti lalat di langit, terus bergerak maju. Setiap kali
kakiku mendarat, akan ada kejutan puluhan kali lebih besar.

Aku terus berlari, dan secara alami, aku mencapai batas kemampuanku. Kaki
kanan menyerah untuk menopang berat badan saat membungkuk. Aku bisa
dengan jelas mendengar suara bodoh itu.

―Ahh.‖

Kemudian, aku terjatuh.

❀❀❀❀

Fuu. Aku menghela nafas panjang.

Hanya waktu satu-satunya hal yang berlalu.

Waktu sudah lama berlalu, aku ingin menutup telepon, tetapi aku tidak
bisa. Apa yang salah denganku? Batas waktu semakin dekat. Ayo, tutup
telepon. Mana mungkin Ia akan berhasil ke sini. Ini buang-buang waktu saja
bila terus ragu. Jika aku tidak mati sekarang, aku takkan tinggal di hatinya.

Tetapi tubuhku tidak bisa bergerak.

Yuki.

Namaku yang Ia panggil berkali-kali mengelilingi lenganku.


Yuki.

Aku menutup mataku, melihat senyum lembutnya, dan kakiku terasa lebih
berat.

Aku terus berpikir dan berpikir.

Aku terus merenung dan merenung.

Dan setelah itu, aku harus memilih keinginanku. Meski aku tahu itu akan
menyakitinya. Meskipun aku tahu itu akan membuatnya sedih.

Meski begitu–

Tiba-tiba, aku mendengar sesuatu.

Itu dari ujung telepon, ini dari dirinya.

Itu adalah suara seseorang yang menabrak, seseorang mengerang. Tidak, aku
bahkan tidak bisa mendengar suara itu.

Bagiku, satu-satunya kenangan yang tidak ingin aku ingat terbangun dalam
diriku.

Lupakan segalanya, aku memanggil namanya.

―Yoshi-kun, apa kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi? Hei! Yoshi-
kun. Jawab aku!‖

❀❀❀❀

Pada saat itu, aku meraih smartphone di tanganku dengan sekuat tenaga,
meringkuk, dan membawanya ke depan dadaku.
Karena itu, aku jatuh ke tanah tanpa menggunakan teknik ukemi. Ada rasa
sakit yang tajam menyerang bahu kiriku, membuatku mengerang. Setelah
berguling sebentar, aku berhenti.

Aku kesulitan bernapas, dan melakukan yang terbaik untuk berbicara,


menghirup udara musim dingin yang dingin ke paru-paruku dengan sekuat
tenaga. Tak peduli berapa banyak oksigen yang aku ambil, aku tetap
kesulitan bernapas.

Aku sudah tidak kuat berlari, dan seluruh tubuhku sakit. Ini
mengerikan. Aku bahkan tidak bisa berdiri. Secara fisik, dan mental.

Aku punya keraguan aneh yang tersisa dalam diriku.

Mengapa aku melakukan ini?

Seseorang dalam diriku berkata begitu.

Bukannya ini sudah cukup?

Yuki pasti menderita. Dia selalu sendirian, bekerja keras sampai saat
ini. Paling tidak, biarkan dia menjadi egois sampai akhir.

Aku terus memikirkan kata-kata yang menyuruhku untuk menyerah.

Dan bahkan jika aku menemukannya, apa yang ingin aku lakukan? Apa aku
siap untuk mengubah tekad Yuki?

Aku memiliki berbagai alasan yang muncul di benakku.

Aku sudah bekerja keras. Aku memiliki banyak pengalaman yang tak
tertahankan, dan membuatku blepotan dimana-mana. Ini sudah cukup,
bukan?

Setelah ini berakhir, tak ada yang akan mengeluh. Tapi-

Ada satu hal. Suara Yuki datang dari smartphone di tanganku. Yoshi-kun,
kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi? Hei! Yoshi-kun. Jawab aku!
Aku hampir tidak bisa menggerakkan tubuhku, dan akhirnya berbaring di
tanah, perlahan membuka mataku. Cahaya menyilaukan menyinari
penglihatanku. Cahaya rembulan bersinar ke arahku.

Sirius bersinar.

Aku bisa melihat Aldebaran.

Pikiranku benar-benar terjaga. Suara di benakku memudar, dan aku hanya


bisa mendengar suara seorang gadis.

Ahh, apa? Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Tapi aku sangat senang
tentang ini.

Aku memanggil namanya.

Saat dia memanggil namaku, aku pun memanggilnya.

―Yuki.‖

―Apa?‖

―Kau kejam.‖

Dengan suara gemetar yang sama, Yuki mendengus. Dia sepertinya tidak
menikmati ini.

―Aku pernah mengatakan ini sebelumnya, tahu? Ini sudah lama terjadi, dan
meski itu menghilang, aku memang bilang kalau aku akan melakukan
sesuatu yang kejam kepadamu. Aku memang bilang kalau kamu tidak bisa
tidak percaya dengan apa yang aku katakan.‖

―Jadi, apa yang aku jawab saat itu?‖

―…Bisakah kita bertemu lagi besok. Kamu bilang begitu kepadaku.‖

―Aku ini memang idiot.‖

―Iya. Orang idiot Karena itulah kamu menjadi sasaran gadis nakal ini. ‖
―Ya. Aku benar-benar idiot.‖

Seharusnya ada lebih banyak hal yang ingin dikatakan.

Seharusnya ada lebih banyak hal yang harus aku katakan.

―Aku seharusnya mengatakan aku menyukaimu.‖

―... Kamu ini memang aneh.‖

Itu seharusnya baik-baik saja.

Kau suka orang aneh, bukan?

Maka, aku akan menjadi orang aneh.

―Ya, aku ini orang aneh yang menyukaimu. Aku mungkin sudah banyak
berbohong, melanggar banyak janji, tapi hanya ini satu hal yang benar. ‖

Setelah diam beberapa saat, ya, Yuki bergumam. Dia tahu.

―Jadi, aku akan mendatangimu sekarang. Aku tak tahu apa yang kau
pikirkan, apa yang kau sangka, apa yang membuatmu frustrasi, apa yang
membuatmu khawatir, apa yang membuatmu memutuskan itu. Di masa
depan, aku ingin bertemu Kau berkali-kali, untuk mencintai, untuk hidup
bersama.‖

Masa lalu yang mengacu pada empat tahun lalu. Saat itu, ada seorang anak
lelaki yang tidak bisa jujur mengatakan apa yang Ia inginkan. Sebagian
besar, ia hanya memilih untuk bertahan, untuk menyerah. Bocah itu tak lagi
ada dimanapun di dunia ini.

Karena aku tak tahan untuk ini. Aku tidak dapat menerima bahwa Yuki
menangis.

Selama aku bisa memastikan bahwa gadis yang paling aku sayangi takkan
menangis, aku akan melakukan segalanya, bahkan jika aku harus
mengorbankan segalanya.

Aku akhirnya mendapatkannya.


Sesuatu yang sangat aku inginkan dari lubuk hatiku.

Sesuatu yang aku takut kehilangan.

Sesuatu yang aku rela kukorbankan segalanya.

Karena aku bertemu Yuki.

Karena, aku bertemu Yuki?

Tiba-tiba, berbagai hal terhubung dalam pikiranku. Garis-garis terbentuk,


seperti rasi bintang yang muncul di mataku. Aku melihat cahaya Orion.

Beberapa waktu yang lalu, aku memetakan bintang-bintang dengan buku


bergambar, menghubungkan bintang-bintang menjadi rasi bintang. Apa aku
benar-benar sendirian saat itu? Tentu saja tidak.

Ketemu!

Aku berseru. Iya. Aku akhirnya menemukan kaitannya.

―Yuki. Kau bilang semuanya tidak ada, tapi itu tidak benar. Kau bilang kau
mengambil semuanya dariku, tapi bukan itu. ‖

Akhirnya, aku bisa mengatakan dengan yakin kalau aku mempercayaimu.

―Kau tahu, karena aku ada di sini.‖

―Apa yang ingin kamu coba katakan?‖

Suara Yuki di telepon dipenuhi keraguan, tapi aku mengabaikannya, dan


terus melanjutkan.

―Seminggu yang lalu, kita bertemu di tanah kosong itu. Itu bukanlah
kebetulan. Karena Shiro tertidur di sana. Aku berhenti karena Shiro
dimakamkan di sana. Jika kau tidak meminta bantuanku empat tahun lalu,
mana mungkin kita akan bertemu di sana.‖

Di ujung telepon yang lain, Yuki tersentak.


―Karena keberadaanmu, Shiro tidak menjalani saat-saat terakhirnya
sendirian. Karena tekadmu, dia tidur di tempat yang penuh kehangatan. Dan
karena kau terus mengumpulkan keberanian untuk berbicara denganku, aku
di sini. Semuanya terhubung. Selama ini, kau sudah ada di hatiku. ‖

Aku pergi ke berbagai tempat sendirian, dan melakukan banyak hal. Aku
menikmati hal-hal ini dalam ingatanku, semua ini karena Yuki ada di
sebelahku. Tidak apa-apa, Yuki. Tidak apa-apa. Kau tidak mengambil apa
pun dariku. Bukan hanya itu, kau malah memberiku banyak hal.

Seorang gadis melakukan yang terbaik untuk mengubahku menjadi diriku


saat ini.

Yuki bergumam.

―Aku sudah ada di hatimu, Yoshi-kun?‖

―Ya itu benar. Kau sudah ada di sini, di dalam diriku.‖

― …..Begitu ya. Kurasa itu saja sudah cukup. Lalu hidupku sudah—‖

―Tidak, bukan apa-apa. Lebih penting lagi, hei, Yoshi-kun. Bisakah aku
mengubah sedikit permintaan terakhirku? Jika aku benar-benar ada di
hatimu, buktikan padaku. Sebut aku. Tolong. Panggil namaku.‖

Aku memejamkan mata erat-erat. Aku membukanya. Visi itu sangat terang.

―Aku akan pergi sekarang. Secepat mungkin.‖

―…Aku akan menunggu‖


Aku mengerahkan kekuatan ke tangan kananku. Aku merasakan
panas. Mungkin karena aku menggunakan ponsel untuk waktu yang lama
sehingga ponselku agak panas. Namun, itu tidak terbakar. Ini sehangat
telapak tangan Yuki.

Aku memeganginya.

Aku harus terus meraihnya, sehingga aku takkan kehilangan itu, supaya aku
takkan membiarkannya tergelincir.

Karena—

Kami menyebutnya panas itu dengan sebutan 'cinta'.

Aku berjongkok, dan berdiri.

Tsuu, haa. Aku merasakan rasa sakit di dalam tubuhku. Aku hampir
menangis. Tapi aku mengambil langkah pertama. Aku mengambil langkah
kedua. Aku mengertakkan gigi, dan mempercepat lariku.

Aku berlari melewati depan sekolah SMP-ku dulu. Sudah berapa kali aku
mengejar bayangan seseorang di sini? -dia tidak ada di sini.

Aku berlari melewati toko, yang sering aku lewati dalam perjalanan pulang
setelah aktivitas klub berakhir. Sudah berapa kali aku makan es krim
sendirian di sini? -dia tidak disini.

Aku melewati toko buku yang sering aku kunjungi. Sudah berapa kali aku
membeli publikasi novel baru? - dia tidak ada di sini.

Tanpa aku sadari, gedung perpustakaan sudah kulewati. Sudah berapa kali
aku berjuang dengan tugas matematika sendirian? - dia tidak ada di sini.

Aku melewati pusat permainan, karaoke, arena bowling, arena baseball,


bioskop. Dia tidak ada di antara tempat-tempat tersebut.

Kota ini dipenuhi dengan ingatanku yang kesepian.

Tak satu pun dari tempat tersebut memiliki kehadiran Yuki.

Aku sendirian.
Tapi pada titik ini, aku bisa melihat seseorang di sana. Setelah
keberadaannya terhapus, sesuatu selalu digunakan untuk menutupi
keberadaan seseorang, namun perlahan aku bisa mendengar
tawa. Kedengarannya sangat bahagia, milik gadis yang aku suka.

Aku berbelok ke kanan di persimpangan T, dan berlari lurus ke depan. Sudah


berapa kali aku berlari di jalan ini sendirian? Tapi saat itu, pasti ada Yuki di
depanku. Haa, haa. Aku terus menggerakkan kakiku. Aku melihat ke
depan. Itu jalan menuju Yuki, dari waktu yang hilang.

Jadi, aku percaya.

Aku melihat ke arah aula publik jauh.

Aku melihat papan iklan kecil.

Aku melihat seseorang di dalam bilik telepon umum yang bersinar redup
dalam kegelapan. Meskip aku hanya bisa melihat siluet, orang itu sedang
menelpon. Aku menemukannya. Aku menghela nafas lega.

Aku mengulurkan tanganku.

Tinggal sedikit….tinggal sedikit lagi.

Meski begitu, kenapa–

Jarum jam tidak berhenti.

Masih ada jarak di antara kami. Aku tidak bisa melihat wajah Yuki dengan
jelas. Aku tak bisa mendengar suara Yuki. Suaraku tidak bisa
menggapainya. Aku di sini, tetapi Yuki tak pernah menyadariku.

Berbagai emosi meluap dari dalam diriku.

Rasa cemas, sedih, marah. Dan yang terpenting, rasa takut.

Aku terengah-engah, kehabisan napas. Aku tak bisa mengeluarkan


suara. Kata akhir terlintas dalam benakku. Tidak, tidak, tidak. Aku tidak
ingin akhir yang seperti ini, tidak!

Yuki, yang diam sepanjang waktu, tiba-tiba berkata.


Suara itu datang dari telepon.

―Terima kasih banyak atas semuanya. Aku sangat senang. Aku sangat
menikmati diriku sendiri. Sebenarnya, sejak aku bertemu denganmu, aku
benar-benar bahagia. Rasanya sangat menyenangkan bisa hidup sampai
sekarang. "

Mengapa kau mengatakannya seolah-olah ini adalah akhir? Ini bukanlah


akhir! Ini masih belum selesai. Kau masih ada di sini, Yuki. Kau masih ada di
sini.

―Sebenarnya, apapun yang terjadi, aku mungkin takkan bisa mendapatkan


yang kuinginkan. Dulu aku hanyalah kerang yang kosong, namun kini, hatiku
dipenuhi dengan begitu banyak kenangan. Kita pergi ke tepi laut musim
dingin itu, tapi rasanya tidak dingin karena kita berdua bersama. Kita pergi
ke bioskop bersama, tapi aku menikmati diriku sendiri, karena kita
menonton film bersama. Ketika kita pertama kali berperang bola salju
bersama, aku benar-benar bersemangat. Aku mencoba banyak hal lezat, tak
diragukan lagi. Aku tidak membela diriku di sini, tapi aku bukan benar-benar
rakus, tau? Rasanya terlalu enak saat bersamamu, Yoshi-kun, jadi aku
makan terlalu banyak. Lagipula, makan adalah tanda seseorang itu hidup. ‖

Itu masih belum cukup, bukan? Ayo kita ciptakan banyak kenangan
bersama. Ayo pergi ke berbagai tempat. Ayo makan banyak dan banyak
hidangan lezat lainnya. Jadi….

―Kita berpegangan tangan berkali-kali. Tanganmu selalu hangat, dan aku


menyukainya. Jantungku berdegup kencang, kupikir itu akan meledak, tapi
rasanya enak. ‖

Tangan Yuki benar-benar dingin. Tapi segera menjadi hangat. Karena itu,
aku senang.

―Sejujurnya, ini baru pertama kalinya dalam hidupku aku menyukai


seseorang. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku menyukainya, dan Ia
bilang kepadaku kalau Ia menyukaiku. Aku mengatakan banyak hal yang
keras kepala kepadanya, dan bermain-main denganku. Merayu seorang anak
lelaki terasa nikmat. Hm Ya, rasanya benar-benar nikmat. ‖

Jika aku bisa mengatakan, itu adalah cinta pertamaku, rasanya pasti akan
hebat, tapi mungkin tidak. Kurasa aku jatuh cinta dengan orang tertentu
yang sama 214 kali. Orang yang sama. Itu kau.
―Ciuman pertama sebenarnya setelah sekolah, di dalam kelas. Itu benar-
benar pengalaman yang sangat dramatis. Omong-omong, di manga, orang
bilang ciuman pertama rasanya seperti lemon, tapi kurasa itu tidak
benar. Rasanya memalukan, hal yang menyenangkan untuk dicium, tak ada
cara untuk membandingkannya. Atau kau tau apa itu, Yoshi-
kun? Bagaimana rasanya ciuman pertama?‖

Mana mungkin aku bisa tahu.

Hei, Yoshi-kun.

Yuki memanggilku.

―... Bila di lihat dari sudut pandang orang luar, kisah cinta kita cukup
normal. Ini seperti anak laki-laki biasa berpacaran dengan seorang gadis
biasa, hanya sekedar cerita biasa. Tapi. Tidak. Sebenarnya, karena inilah aku
merasakan sesuatu yang layak untuk diberikan semua. Berkat dirimu, aku
bisa mengucapkan kata-kata ini sekarang. Eheheh. Rasanya agak
memalukan. Tapi aku akan mengatakannya sekarang. Dengarkan ini baik-
baik. Ini adalah hidupku. Hari yang penuh kilauan yang kuhabiskan
bersamamu, Yoshi-kun. ‖

Tentunya, Yuki tetap hidup demi kata-kata ini.

–Ini adalah Kisah Cinta Paling Membahagiakan di Dunia ini.

Suaranya tidak lagi bergetar.

Akhirnya, Yuki-ku tersayang mengucapkan kata-kata perpisahan, dengan


bangga seperti biasanya.

Dan pada saat yang sama, rasa sakit di dadaku menjadi panas saat meluncur
di pipiku.

―Kenapa kau mengatakan ini? Aku masih ingin bersamamu. Jadi, aku mohon
padamu. Hiduplah! Teruslah hidup!‖

Apakah kata-kataku sam tersampaikan padanya?

Apa dia mendengarku?


apa kita masih terhubung?

Cuma sedikit lagi. Yuki bisa merubah pikirannya lagi jika ada peluang, suatu
saat. Tetapi itu saja tidak cukup.

―Aku akan menunggu untukmu. Aku akan selalu menunggumu. Menunggu


untuk memanggil namaku!‖

Lututku terasa sakit. Aku menahannya, agar memastikan bahwa aku tidak
mengerang. Lututku gemetaran, dan aku tidak bisa mengerahkan
tenaga. Sepertinya tenagaku terkuras karena luka. Aku kehilangan
keseimbangan. Aku menghabiskan semuanya hanya dengan mengertakkan
gigi, memaksa diriku untuk tidak jatuh.

Kenapa!? Kenapa baru sekarang!? Ayo bergerak! Aku tak peduli kalau aku
tidak bisa bergerak lagi! Bawa aku ke Yuki! Kumohon! Gadis yang aku cintai
ada di sana!

―…Aku menyukaimu. Benar-benar menyukaimu! Aku menyukaimu lebih dari


siapapun, atau apapun!‖

Aku berteriak.

Aku memanggil nama yang paling aku sukai di dunia ini, ke arah cahaya kecil
itu.

Aku berdoa agar suaraku dapat menghubunginya.

―Yu, -‖

Hanya itu yang bisa aku lakukan.

Dan pada saat itu, dunia diam-diam berubah.

Pada saat itu, ketika keabadian tampak tertekan, aku bermimpi kalau aku
melihat seorang gadis.

Yuki yang mengatakan dia menyukaiku.

Yuki yang mencari alasan untuk berpegangan tangan.


Dia yang bertarung dalam pertarungan bola salju.

Dia yang pergi ke taman hiburan.

Dia yang berciuman di ruangan kelas.

Dia yang bilang akan menunggu. Tetapi aku-

Ingatan kami bersama, peristiwa masa lalu, suara Yuki, tingkahnya,


ekspresinya, masing-masing jatuh satu per satu, dan setelah kontak, tidak
ada yang menumpuk. Sebaliknya, mereka terlepas dari tanganku. Ahh,
tunggu. Tunggu sebentar.

Segera, kata-kata terakhir meleleh, dan jatuh.

―Sampai jumpa, Yoshi-kun. Kamu adalah satu-satunya orang yang ada di


pikiranku. Yuki Shiina adalah orang yang paling mencintai Haruyoshi
Segawa di dunia ini.‖

Senyum Yuki muncul di pikiranku. Ini adalah fragmen terakhir milik Yuki
dalam diriku.

Kecepatan kakiku melambat. Tak lama kemudian, aku berhenti.

Hanya ada satu suku kata dalam kalimatku.

Tapi aku tidak lagi tahu apa itu.

Aku tak pernah tahu apa yang dunia ambil dariku.

❀❀❀❀

Aku mengambil napas dalam-dalam untuk memulihkan diri.

Aku mau pergi kmana?


Tiba-tiba, aku merasakan sakit di lututku. Itu adalah luka yang menyerempet
setelah aku terjatuh. Aku jatuh tersungkur, dan berakhir dengan luka di
sekujur tubuh. Aku takut sakit, dan meneteskan air mata, tapi aku terus
berlari ke suatu tempat. Meski begitu, aku akhirnya berhenti.

Serius, apa yang sudah aku lakukan?

―Ahh sial! Ini sakit sekali! Sungguh! Aku ingin menangis!‖

Aku menangis, tetapi akhirnya aku pura-pura menahannya, dan suara itu
akhirnya tidak pernah mencapai siapa pun karena perlahan-lahan
menghilang.

Setengah rembulan menggantung di atas langit, dan sinarnya menyinari


mataku, sementara aku tidak tahu apa-apa.

Saluran telepon diam-diam terputus.

Sama seperti dua ratus kali sebelumnya, dunia dengan kejam memutuskan
kontakku dengannya.

Aku tak bisa berdiri sama sekali, dan tetap berlutut di bilik telepon. Tak perlu
menanggung lagi. Aku mengerut, memeluk diriku sendiri. Napasku sendiri
terdengar sangat berisik. Setelah ini memudar, aku mulai memperhatikan
gema jauh di dalam telingaku. Ini halusinasi. Aku tahu. Tapi…

Suara itu sangatlah kecil, tapi itu seperti bintang-bintang yang menyilaukan
di langit malam, berkilau di tengah hatiku.

Tunggu aku. Tetap hidup.

Kata-kata ini masih memanggilku.

Kata-kata tersebut seharusnya sudah menghilang.

Kata-kata tersebut seharusnya sudah tidak ada sama sekali.

Jadi, kenapa hal itu masih menggoncang hatiku?


Ia jahat. Ia orang yang menyebalkan. Ah, meski begitu,

Ia adalah orang paling aneh di dunia ini.

Sebelum aku menyadarinya, aku tersenyum. Aku bisa tersenyum.

Karena tanganku penuh dengan apa yang bisa kupegang.

Tempat yang akhirnya kutuju, tempat yang dipimpin Yoshi-kun, akhir yang
lebih indah dari yang kuharapkan. Di masa depan, Ia pasti akan
tersenyum. Ia akan tersenyum bersama dengan waktu yang lama Ia habiskan
bersamaku. Itu sebabnya aku cukup senang.

Aku menyeka air mataku, dan berdiri.

Aku memasukkan tanganku ke saku, dan jariku menyentuh sesuatu yang


keras. Apa ini? Aku mengeluarkannya, dan menemukan cokelat. Ini adalah
tipe yang sangat umum dijual di mana-mana. Harganya bahkan tidak sampai
100 yen, dan itu diberikan oleh bocah lelaki yang namanya tidak aku kenal
saat itu. Itu adalah awal kami.

―Jika mungkin, bisakah kau memberiku cokelat?‖

Suaranya terdengar penuh harapan.

―Tentu saja. Yah, karena itu pemberian dari pacarku.‖

Ekspresinya terlihat malu-malu.

Setidaknya, aku harus memberikan ini padanya. Karena kami sudah berjanji.
Bukannya anak lelaki bohong itu akhirnya memenuhi janji ini untukku?

Dia memanggil namaku. Setengah dari itu.

Itu hanya satu suku kata, tapi aku memang mendengarnya. Ini bukan suara
melalui saluran telepon, tapi suara jujurnya. Ayo kita memenuhi janji
itu. Ayah, ibu, Umi. Kalian bisa menunggu sedikit lebih lama ... hanya
sedikit?
Aku meninggalkan bilik telepon, dan di sudut mataku, aku melihat siluet
yang namanya tidak aku kenal, tapi aku tidak memeriksanya, dan pergi ke
arah yang berlawanan dengan orang itu.

Di ujung cakrawala nan jauh di sana, cahaya setengah bulan menyinari


wajahku.

Ini bulan yang indah.

Pikirku dengan jujur.

Sudah lama sejak aku sangat jatuh cinta dengan dunia ini.

Dulu saat aku mencintai dunia ini, aku sangat ingin hidup.
Epilog – Aroma Yuki

Pagi hari, aku bangun seperti biasa, sarapan, dan mencuci muka, hanya
untuk menyadari sesuatu. Tidak, aku sudah tahu tentang itu, hanya saja
hatiku dikelabui kenyataan.

Lengan seragam sekolah yang aku kenakan selama tiga tahun sudah tidak
lagi cocok untukku.

Pada akhir Februari, aku mengikuti ujian kedua. Bahkan belum seminggu
berlalu, dan hari ini adalah upacara kelulusan. Kemarin hasil
pengumumannya keluar.

Selama beberapa hari terakhir, aku terus berjuang keras.

Aku berniat memeriksa nomorku di komputer, untuk melihat apa aku


berhasil lulus atau tidak, tapi ayah sudah mengintip sebelumnya. Selamat,
ujarnya melalui telepon, suaranya bergetar. Terima kasih. Itu adalah
percakapan singkat yang kami lakukan. Begitu aku menutup telepon,
kegembiraan bangkit dari hatiku.

Aku segera jatuh ke tempat tidur, tanganku meraih cahaya oranye. Telapak
tanganku merasakan kehangatan, jadi aku mengepalkannya. Aku merasa
sedang mengambil sesuatu. Kemudian, aku membuka tangan. Tak ada apa-
apa di sana, tapi ...

Aku mengambil sesuatu.

Aku berganti ke baju dan celana jins, dan mengenakan kardigan, lalu menuju
jalan ke sekolahku yang sering kulalui selama tiga tahun. Selama
pertengahan Februari, ada banyak salju yang menumpuk, tapi pada titik ini,
musim semi sudah tiba.

Dengan matahari yang hangat menyinari, salju lenyap tanpa jejak.

Aku memandangi langit biru ketika terus berjalan, dan melihat sebuah wajah
yang familiar.
Sudah seminggu sejak kita bertemu, ‗kan? Sebelum itu, kami akan bertemu
setiap hari. Ini aneh. Masalah hubungan manusia ini dapat dengan mudah
putus seperti ini jika kita berdua tidak mempertahankannya. Hal-hal yang
tidak ingin kupasrahi, aku harus terus mengulurkan tangan untuk mereka.

―Yaa, pagi Akane.‖

Aku mengangkat tangan untuk menyambutnya, dan dia balas melambai,

―Pagi. Apa yang kamu lakukan pagi-pagi begini?‖

―Pergi lapor ke sekolah kalau aku lulus. Hasilnya baru keluar kemarin.‖

―Kamu terlalu serius. Aku menyelesaikannya melalui telepon.‖

―Yah, ada banyak guru yang membantuku, jadi aku ingin memberi tahu
mereka kabar baik secara langsung. Jika kau punya waktu, apa kau mau ikut
denganku, Akane?‖

―Tentu. Akane-san ini cukup baik untuk ikut denganmu. ‖

―Terima kasih.‖

Ada beberapa pejalan kaki di hari kerja ini, dan ada bayangan kecil di depan
kami, tidak ada orang lain yang terlihat. Ketika kami mendekatinya,
sepertinya siluet itu mendekati kami, menjadi sedikit lebih besar. Meskip
begitu, kami sangat jauh sehingga kami tidak dapat menentukan jenis
kelamin satu sama lain. Akankah siluet itu mendekati kami, melewati kami,
atau berbalik arah?

Tanpa berpikir terlalu banyak, aku mulai bertanya-tanya tentang hal yang
tidak berguna ini, dan itu sebabnya aku akhirnya mengatakan sisanya,

―Akane. Aku ingin bertanya sesuatu padamu, jadi berjanjilah, jangan marah,
oke? ‖

"Nggak. Bahkan jika aku bilang tidak, kamu akan bertanya. Kamu punya
kepribadian bagus ya, Haru. ‖

―Terima kasih untuk itu.‖


―Tidak, aku sedang tidak memujimu. Tadi itu sarkastik, tau.‖

―Tentu saja aku tahu itu.‖

Kataku dengan ekspresi bangga, dan Akane menghela nafas, sepertinya


sudah menyerah pada sesuatu.

―Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan?‖

―Hari itu, 14 Februari. Apa kau memberiku cokelat atau sesuatu ...? "

Untuk setiap kata yang aku katakan, ekspresi Akane jelas tampak semakin
jengkel. Hanya dengan melihat suasana hatinya saja, aku sudah tahu
jawabannya. Ahh, dia benar-benar marah. Tidak, dia hanya merajuk.

―Itu tidak pernah terjadi, kan?‖

Setelah aku mengatakan itu, Akane mencubit wajahku. Bagaimanapun, itu


menyakitkan.

―Kau bertanya pada gadis yang kau tolak?‖

―Itu sebabnya aku memintamu untuk tidak marah.‖

―Dalam mimpimu.‖

Akane mencubit pipiku yang lain dengan tangannya yang lain. Yay, yay, dia
bercanda sambil memainkan kedua pipik. Serius, apa ini? Ini sangat
menyakitkan.

Puhahaha, dia tidak bisa menahan tawa. Kamu benar-benar jelek, ujarnya.

―Haa, puas banget ketawanya. Karena aku orang yang pengampun, aku akan
menjelaskan ini. Jadi, apa yang kamu katakan? Ah, aku ingat. Kamu
menerima cokelat dari seseorang pada tanggal 14, ‗kan, Haru? ‖

―Iyha.‖

Pipiku ditarik lebar-lebar, aku tidak bisa membuka mulut, jadi aku belum
bisa menjawab dengan benar. Tampaknya Akane juga tahu ketika akhirnya
dia melepaskannya. Begitu aku merasa lega, aku ditamparnya dengan kedua
tangan. Rasanya lebih menyakitkan lima kali lipat dari sebelumnya.

―Kamu tidak tahu dari mana kamu mendapatkannya, jadi itu artinya, kamu
tidak menerimanya dari tangan orang itu, kan?‖

Aku mengusap pipiku, mengangguk.

―Itu ada di kotak surat rumahku. Aku menemukannya saat mengambil koran
pagi. Tidak ada nama pengirim di dalamnya, tapi aku rasa itu mungkin dari
seseorang yang tahu kebiasaanku yang mengumpulkan koran setiap pagi.‖

Itu hanya cokelat biasa. Ya, yang biasa dijual di toko terdekat, dan tidak
memiliki kemasan. Aku sering makan cokelat seperti itu pas SMP dulu, tetapi
rasanya berbeda dari apa yang aku makan saat itu. Rasanya sangat manis.

―Aku tidak tahu kalau kamu punya kebiasaan mengambil koran, Haru.‖

―Fumu. Jika bukan kau, Akane, lalu siapa? ‖

―Kamu bertanya siapa, tapi sekarang sudah tidak masalah, ‗kan? Orang itu
mungkin mengerahkan seluruh keberaniannya untuk mengirimkan cokelat
itu padamu. Saat ini, cokelatnya ada di tanganmu. Ya, benar. Cintanya
mungkin sudah terbayar. Lagipula cinta seperti itu memang ada. Dengar,
secara pribadi, aku tak berpikir cinta yang bertepuk sebelah tangan itu selalu
kejam.‖

Setelah aku diberitahu tentang itu, aku tidak melanjutkan masalah ini.

Aku tak bisa menanggapi keberanian dan kekaguman Akane. Tapi itu sudah
diduga. Selain itu,

―Mumpung kau masih marah, aku ingin bertanya sesuatu, oke?‖

―…Silahkan saja.‖

―Bagaimana rasanya menyukai sesuatu?‖

Akane menatapku.

―Aku belum pernah jatuh cinta.‖


Selama 18 tahun terakhir, aku tidak pernah memiliki hubungan asmara
dengan siapapun.

Sepanjang hidupku, aku tak pernah tahu tentang hasrat yang tak kenal takut
untuk menganggap dunia sebagai musuh, dan aku tahu bahwa ada rasa sakit
yang membakar di hatiku.

Tenang, kamu tahu cinta dengan sangat baik. Balas Akane membantah apa
yang aku katakan.

―Saat itu, Haru, ketika kamu menolak pengakuanku, kamu sudah jatuh cinta
pada seseorang. Tidak. Mungkin itu bukan cinta, tapi saat itu, hatimu pasti
merasakan sesuatu yang sangat menyala seperti cinta. Saat itu, hatimu pasti
mengandung keberadaan yang lebih penting daripada diriku. Karena itulah
kamu menolak pengakuanku, Haru. ‖

Akane, berjalan mundur sepanjang waktu, berbalik, dan melanjutkan dengan


punggungnya yang menghadapku.

―Gadis itu cukup kuat tau, sekaligus lemah, makhluk bodoh, kurasa. Laki-laki
mungkin takkan mengerti ini, kurasa. Ini seperti menaruh permata di laci,
dan membawanya keluar untuk melihat dan memuaskan perasaannya. Jika
ada permata atau sesuatu yang serupa di hati, maka tidak peduli
keputusasaan, seorang gadis dapat terus hidup. Aku pikir gairahmu menjadi
permata orang itu, Haru. ‖

―Kau terlalu melebih-lebihkannya. Tak ada bukti untuk apa yang kau
katakan.‖

―Ya. Tapi aku memiliki sesuatu yang lebih meyakinkan.‖

―Apa itu?‖

―Naluri seorang gadis.‖

Usai mengatakan itu, Akane berhenti berbicara. Punggungnya jelas


bertuliskan kata 'jangan tanya lagi'.

Saat itu, aku akhirnya memperhatikan sesuatu. Siluet yang seharusnya jauh
dari kami perlahan melewati kami. Kami mengobrol lama, ya? Sepertinya itu
perempuan. Kunci rambut panjang memasuki sudut mataku sejenak,
sebelum akhirnya pergi. Aku tidak bisa melihatnya. Namun aroma wangi
musim semi adalah bukti bahwa dia pernah ada, berlama-lama di udara.

Tiba-tiba, hembusan bertiup, mendorong punggungku.

Sebuah suara datang bersamanya.

Hanya satu kalimat.

Yoshi-kun.

Aku merasa bahwa aku dipanggil dengan namaku yang terakhir.

Setelah mendengar ini untuk pertama kalinya, aku buru-buru berbalik, tetapi
tidak ada seorang pun di belakang. Akane menyadari aku berhenti, dan
berbalik untuk melihat ke arahku.

Saat berikutnya, kami berdua terkejut dan dibuat takjub.

Di hadapan kami, ada pemandangan yang sangat indah.

Karena hembusan angin musim semi, sesuatu yang mirip dengan partikel
cahaya putih berkilauan, seolah memberkati dunia.

Dan tersebar.

Seperti butiran salju.

– kumpulan kelopak sakura tengah menari.

Aku membuka telapak tanganku, dengan lembut menggenggamnya, dan


membukanya untuk melihat kelopak putih tergeletak di atasnya. Kelopak itu
tidak meleleh karena telapak tanganku, dan tertiup angin sekali lagi, terbang
ke tempat yang tidak dikenal.

Ke tempat yang tidak bisa aku jangkau.

Aku merasa sedikit sedih. Kenapa aku merasa begitu?

Aku menghela nafas, dan menghirup udara segar musim semi ini.
―Rasanya seperti salju.‖

―Eh, mana mungkin. Sekarang ‗kan tidak ada salju. Ini aroma sakura.‖

Aku ingat pernah bermain bola salju melawan anak-anak SD musim dingin
kemarin.

Untuk membagi tim, kami menggunakan parfum sakura. Salju dengan


wewangian itu menghantam wajah u, membawa banyak rasa sakit dan
dingin. Hal tersebut, bersamaan dengan aroma sakura yang mengikutinya,
sudah tertanam kuat di benakku.

Salju mengeluarkan aroma sakura. Dua hal yang pasti tidak bisa hidup
berdampingan pasti disatukan. Bukannya itu menarik? Tidak ada yang aneh
tentang itu.

Ini seperti dunia berusaha menyembunyikan rahasia–

Kemungkinan besar, itu disebut keajaiban.

Pikirku sambil tersenyum, menyangkal kata-kata Akane,

―Tidak, ini aroma Yuki (salju).‖

Aku percaya bahwa di masa depan, setiap musim semi, aku akan mengingat
salju yang mencair.

Untuk beberapa alasan, itu saja sudah cukup bagiku untuk merasa bahagia.
Kata Penutup

Senang bertemu dengan Anda.

Dalam sebuah kalimat, saya akan mengatakan pekerjaan ini adalah 'Halo'
pertama dari saya untuk Anda. Saya sangat senang bisa bertemu dengan
Anda melalui kisah yang berat ini. Saya Aya Hazuki.

Mulai sekarang, tolong jaga saya.

Nah, sebelum saya mulai menulis, saya merasa bingung mengenai apa yang
harus saya tulis untuk kata penutup. Karena halaman yang terbatas, jadi saya
akan menulis episode kecil yang melibatkan saya dan pekerjaan ini.

Saat itu adalah akhir Maret 2017, pada waktu itu cuaca masih dingin. Pada
hari itu, saya mengirim naskah saya melalui internet, dan memimpikan diri
saya debut sebagai penulis, mengedit karya ini. Hari itu, saya berniat
mengubah nama pemeran wanita menjadi kanji, dan tangan saya menulis
terlalu cepat, lantas mengubahnya.

Akhirnya, layar memperlihatkan kanji yang saya pelajari di sekolah dasar. Itu
bukan Yuki (由 希), juga bukan salju (雪). Ketika saya melihat itu, ahh, pikir
saya, dan hanya bisa tersenyum sendiri.

Rasanya sungguh memalukan, akhirnya saya menyadari sifat cerita yang


saya tulis. Saat ini, saya menyadari bahwa kata-kata terakhir yang
ditinggalkan Yuki benar-benar tulus. Kami tidak pernah bertemu, tetapi saya
benar-benar yakin bahwa dia memang ada.

Itu sebabnya dia berkata dengan senyum secerah mungkin.

Ini adalah kisah cinta yang bahagia (幸, Yuki).

Nah, untuk ucapan terima kasih.


Mulai dari, para peguji yang menilai karya ini dengan 'penghargaan emas'
yang langka, dan melimpahi banyak gairah ke dalamnya. Buuta-san, yang
memberikan ilustrasi menakjubkan Yuki dan Haruyoshi. Desainer Kamabe-
san yang melegenda bagiku. Semua orang yang membantu saya, ini semua
berkat bantuan Anda bahwa buku ini adalah yang paling istimewa di
dunia. Bagi seseorang yang menyukai buku, ini adalah sesuatu yang paling
saya sukai.

Terima kasih banyak.

Tentu saja, rasa terima kasih saya yang tulus untuk Anda yang membaca
karya ini.

Andai, di pertengahan musim panas terpanas, festival budaya musim gugur


tertentu, atau malam bersalju, Anda dapat mencium aroma pagi musim
semi, dan mengingat sedikit ceritanya.

Ini akan menjadi sukacita terbesar untuk pekerjaan ini, dan bagi saya
sendiri.

―Maaf kalo rasanya mendadak, tapi apa saya boleh meminta sesuatu
darimu?‖

Jika suatu hari, jika Anda bisa mendengar suara ini bersama aroma sakura.

Tolong pikirkanlah gadis cantik layaknya salju yang sedang tersenyum


bahagia–

Desember 2017. Hari dimana Ia dan dia bertemu. Aya Hazuki.


Bonus 1- Ini adalah Kisah Cinta Termanis di Dunia

Aku terus menunggu Yoshi-kun sambil membaca.

Jarang-Jarang aku membeli buku yang dipajang di teras toko


buku. Tampaknya buku yang kubeli adalah kisah cinta yang sangat populer
di kalangan gadis SMP.

Ini bacaan yang manis, seakan-akan aku membaca manga shoujo.

Aku ingat kalau aku pernah mengalami masa dimana aku menantikan untuk
mengalami cinta.

Tokoh laki-lakinya adalah jagoan tim sepak bola dan bola basket, Ia juga
menjabat sebagai ketua OSIS, dan sering masuk sepuluh besar dalam
ujian. Sisi yang tidak diketahui dari bunga tinggi ini diketahui, dan
percintaan (kisah cinta) dimulai. Dalam buku itu, 'Aku', sang protagonis,
mengundang senior yang dia sukai untuk berkencan, oke, dan mendapat
balasan. Mereka pergi ke akuarium, dan dalam perjalanan pulang, mereka
mampir ke kafe. Dia sangat senang sampai-sampai dia membuat permintaan
berani yang biasanya takkan dia lakukan.

―Yuki.‖

Setelah membaca bagian ini, seseorang memanggil namaku. Sepertinya


orang yang aku tunggu akhirnya tiba. Aku menaruh tanda pada halaman,
dan menutup buku. Aku akan melanjutkan sisanya nanti.

―Maaf, apa aku membuatmu menunggu?‖

―Tidak juga. Aku tidak menunggu lama, kok ..‖

Aku mungkin membaca sekitar 80 halaman novel ringan.

―Jadi kau sudah lama menunggu ya. Aku benar-benar minta maaf.‖
―Sudah kubilang, kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu.‖

Aku tahu Ia akan menyalahkan dirinya sendiri, tapi aku menjawab sambil
menepuk pundaknya.

Hari ini, kami berencana pergi ke toko kue yang dibuka kembali di kediaman
pribadi. Ada masalah khusus pada koran lokal, dan setelah melihat ini, aku
berjanji untuk datang ke tempat ini bersamanya minggu lalu.

Alasan mengapa aku memutuskan untuk pergi hari ini adalah karena aku
berjanji padanya.

Kami duduk di salah satu dari lima meja yang tersedia; Yoshi-kun dan aku
masing-masing memesan kue pisang dan pai apel. Aku sempat menggigit pai
apel panas. Nnn. Rasanya sungguh luar biasa!

Kerenyahan pai yang dibubuhi mentega yang cukup, dan rasanya sungguh
luar biasa. Renyah sekali. Aku mengunyah, mengunyah, dan menelan. Yap,
ini sangat enak. Keasaman apel di dalamnya benar-benar memuji manisnya
pai.

Sementara Yoshi-kun terus memakan kue dengan garpu, kami mengobrol


tentang buku yang sudah kami baca baru-baru ini, dan aku memikirkan
sesuatu.

Tiba-tiba, aku ingin tahu mengenai akhir dari kencan tersebut. Tidak, aku
hanya penasaran apakah protagonis berhasil mencapai tujuannya. Jadi,
sembari memikirkan isi buku yang barusan kubaca, mungkin aku harus
mencoba hal ini.

Lalu, Aku dengan senang hati menghabiskan potongan terakhir pai apel. Hei,
Yoshi-kun, aku memanggil namanya sambil membuka mulutku, mirip
seperti anak yang menunggu untuk minta disuap.

Ini adalah replikasi dari novel yang baru saja aku baca.

Apa yang akan dilakukan Yoshi-kun nanti? Dengan gugup aku menunggu
jawabannya.
Yoshi-kun kemudian melihat sepertiga kue pisang yang tersisa, sebelum
melihat bolak-balik antara kue tersebut dan diriku. Lalu, Ia tersenyum. Ia
menyodok garpu di kue, yang ukurannya terlalu besar untuk ditelan penuh,
dan membawanya ke mulutku, seolah-olah mengatakan, jika kau
memakannya, maka cobalah ini.

Itu adalah jawaban yang Ia pilih, dan hasilnya sangat memuaskanku.

Jadi, aku tersenyum. Ah, Yoshi-kun, kamu benar-benar tidak tahu. Anak
gadis bisa menyelesaikan ini dengan mudah, terutama saat mereka manis.

Aku menelan seluruh kue, dan Yoshi-kun membelalakkan matanya. Dia


kemudian menunjukkan senyum yang berbeda dari sebelumnya. Senyum
lembut yang biasanya kulihat, layaknya sinar mentari di musim semi yang
hangat.

―Apa rasanya enak?‖

Ekspresi Yoshi-kun saat Ia bertanya padaku sangat mirip dengan ekspresi


jantan dari kakak kelas yang keren dalam novel.

Dan diriku yang mirip seperti protagonis dalam novel, mengangguk dengan
penuh rasa manis di hati.

Yoshi-kun secara pribadi menyuapiku kue, dan rasanya lebih manis dari apa
pun yang aku makan. Bagaimana ini mungkin?

Tidak senang dengan ini, aku takkan memberi tahu Yoshi-kun tentang
kemanisan ini ……

Omong-omong, wajahku, dan bahkan telingaku tampak memerah. Mungkin


aku punya bakat sebagai aktris. Itu ... ya.

…… Aku sama sekali tidak merasa malu.


Bonus 2 - Tempat Telapak Tangan Ini Berada—

―Hei, Haru-kun, ini untukmu——‖

Orang yang memberikan sesuatu padaku dengan senyuman adalah adik


perempuanku, Natsuna.

Dia memegang sangkar hijau di tangan kecilnya, dengan kumbang di


dalamnya.

Ini terjadi saat aku di kelas tiga SD.

Saat itu, hal yang populer bukanlah permainan video atau permainan kartu
kolektif, tapi menangkap serangga.

Saat itu, siapa pun yang punya kumbang besar yang terlihat keren akan
langsung populer, tetapi selalu teman-temanku yang menangkapnya. Aku
bisa mengingat dengan baik bahwa aku tidak bisa menangkap satu pun.

―Bagaimana dengan itu?‖

―Aku pikir kamu mungkin menyukainya, Haru-kun, jadi aku


menangkapnya.‖

Balas Natsuna dengan sangat gembira. Lengan rampingnya mengalami lecet


dimana-mana.

Dia lebih ceria ketimbang kebanyakan anak laki-laki, dan sering suka
bermain sepak bola dan bola basket dengan mereka, tapi dia hampir tak
pernah terluka, terutama karena dia memahami konsep-konsep
olahraga. Dan, dia sangat baik kepada ibu karena ibu selalu khawatir kalau
dia, seorang gadis, mudah terluka.

Hari ini terlihat berbeda. Jarang-jarang melihat Natsuna terluka.

Dia terluka karena diriku, dan karena itu, hidungku sedikit gatal.

―Rasanya sakit, ‗kan?‖


Dengan lembut aku menyentuh luka di wajah Natsuna. Dia secara naluriah
menutup matanya, tetapi dia menggelengkan kepalanya.

―Tidak apa-apa. Ini tidak sakit, kok. ‖

―Baru terasa saat basah pas mandi.‖

―Aku akan menahannya.‖

―Hey, Natsuna.‖

―Hm?‖

―Terima kasih.‖

Aku berterima kasih pada Natsuna, menyentuh kepalanya. Suara rambutnya


halus dan lembut, dengan sedikit wangi. Kami menggunakan sampo yang
sama, tetapi mengapa baunya bisa berbeda?

Jadi aku membelai rambutnya dengan lembut, menyebabkan suara yang


lembut dan gemerisik. Dia menunjukkan senyum pusing.

―Ehehe. Aku suka saat kamu mengelus kepalaku seperti ini, Haru-kun. ‖

―Sungguh?‖

―Bisakah kamu terus menggosok kepalaku di masa depan nanti?‖

Melihat adik perempuanku mengajukan pertanyaan ini dengan sangat polos,


aku mengangguk sambil meringis.

―Tentu, jika kau jadi anak baik, Natsuna.‖

Bahkan sejak itu, apa pun yang terjadi, Natsuna akan menjulurkan
kepalanya, dan aku akan mengelus kepalanya. Ini berakhir jadi kebiasaan
burukku. Setiap kali aku melamun, aku akan mengelus kepala siapa saja,
bukan hanya Natsuna. Seperti misalnya, temanku Akane.

Dan sekarang juga——


―Ini, Yoshi-kun, untukmu. Kamu sudah bekerja keras hari ini. Inilah
hasilnya.‖

Yuki memberiku jus.

Kata-katanya yang dibuat dengan cermat tampak megah, tapi aku tidak
membencinya. Dia tampak senang ketika mengatakan ini, wajahnya sedikit
gembira, agak mirip dengan wajah yang dibuat Natsuna muda.

Tentunya inilah alasannya.

Aku benar-benar tidak punya pikiran yang aneh-aneh di pikiranku, tetapi


tubuhku tidak menuruti ketika aku mengulurkan tanganku ke arah
Yuki. Tangan itu berhenti di udara, tidak menyentuh rambutnya. Perasaan
ingin menyentuh Yuki bertentangan dengan perasaan yang seharusnya tidak
kulakukan, membuat kesalahan.

Ini adalah pertama kalinya ini terjadi padaku, dan aku terkejut, terganggu
oleh perasaanku sendiri.

―Ada apa, Yoshi-kun?‖

Yuki memiringkan kepalanya, menatapku. Pada saat ini, dorongan untuk


menyentuh Yuki membuatku kewalahan, tetapi aku melakukan yang terbaik
untuk menahannya. Kami baru saja bertemu satu sama lain beberapa hari
yang lalu.

―Tidak apa-apa. Maaf. Aku pikir di rambutmu ada daun atau sesuatu, tapi
tampaknya aku salah lihat.‖

Aku membuat alasan, dan menerima jus dari Yuki. Aku bisa merasakan
dingin, perasaan tanpa cinta, sementara hatiku berpikir, ini bukan.

Apakah suatu hari telapak tanganku akan menemukan tempat yang


seharusnya?

Dalam waktu dekat (dekat masa lalu), aku akan menemukan jawaban itu.

Anda mungkin juga menyukai