Anda di halaman 1dari 29

"Love and Hate!

"

Author : Mikumiku

Tittle : I Want to Kill You, But... (Part 6)

Category : NC17, Married Life, Sad, Chaptered.

Main Cast :

Cho Kyuhyun
Min Ha Ri
Kim Sera
Han Si Woo
Kim Nana

And other Cast

Author's Note:

Terimakasih kepada para Admins yang sudah meluangkan waktunya mempos hasil
karya sederhanaku ini. Terutama Ka Soo Yeon yang begitu sabar menjawab semua
pertanyaan gak bermutuku di line. Terimakasih juga kepada para Reader yang sudah
meluangkan waktunya untuk membaca.

Di part ini aku banyak menjelaskan tentang masalalu Min Ha Ri pake sudut pandang
orang pertama, jadi supaya kalian paham harus baca dari part 1 dan bacanya secara
perlahan. Kalo cuma baca di part ini saja pasti bakalan bingung. Tapi kalo yang
ngikutin dari part awal pasti bakal ngerti. Aku bakal kupas misterinya perlahan-lahan,
jadi buat reader dimohon sabar menunggu.

Sorry for Typos


And Happy Reading...

Summary :

Kurasa aku mulai mencintainya, seonggok hati tak berpenghuni ini kini mulai
menemukan seseorang, cintanya - Min Ha Ri

I Want to Kill You, But... (Part 6)


-- "Love and Hate!" --

Min Ha Ri POV

Kupikir mimpi dan rasa takut itu sudah hilang terbawa waktu. Ternyata tidak.
Ketakutan setengah mati, ketika kupikir kemarin aku akan mati konyol, ternyata tidak.
Buktinya sampai sekarang aku masih bisa bernafas, duduk di ujung kasur empuk ini.
Di dalam rumah berlantai 4 dengan segala fasilitas bintang lima. Suamiku, benar.
Sekarang aku bahkan sudah menjadi istri seorang pria tampan dengan segala
kuasanya.

Mimpi kelam itu kembali menghantuiku. Apa yang harus aku lakukan? Semuanya
terasa hitam dan menakutkan. Pesta ulang tahun. Aku takut dengan pesta ulang tahun.
Eommaku meninggal mengenaskan tepat saat pesta ulang tahunku yang ke-16.
Semuanya terjadi secara tiba-tiba dan mendadak. Pesta bertema Disney Carnaval
impianku seketika berubah menjadi pesta kematian yang menakutkan. Ketika bibirku
akan meniup lilin yang tertancap di kue ulang tahun, suara tembakan tiba-tiba saja
menggelegar.

Tembakan kedua melesat cepat mengenai kepala Eomma. Ia langsung jatuh dengan
darah segar mengalir dari kepala belakangnya. Aku melihatnya dengan kedua mataku
sendiri, Eomma... dia terjatuh tepat di depan kakiku. Detik itu juga, Eomma
menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan Appa.

Menjerit menggema sampai ke pojok ruangan. Aku menjerit menangis menyerukan


suara memanggil Eomma. Mengguncangkan tubuhnya agar ia mendengar suara
tangisanku. Aku tak tinggal diam, kuguncangkan tubuh Appa yang terduduk pasrah
merangkul kepala Eomma. Meminta kepastian bahwa Eomma akan baik-baik saja.
Appa menggeleng menahan tangis, tangan kanannya merengkuh tubuhku, mencoba
memberikan ketenangan batin sebisanya.

Kututup kedua telingaku rapat-rapat sambil berjongkok di depan tubuh Eomma yang
sudah tak bernyawa. Pesta itu bagai kabut kelabu yang menakutkan. Di hari yang
membahagiakan itu, kenapa Tuhan mengambil orang yang begitu aku cintai?

Sejak saat itu aku selalu ketakutan dengan pesta ulang tahun. Saat waktu meniup lilin
dan memotong kue, tubuhku pasti langsung lemas. Lengkap dengan nafas tercekat
dan wajah pucat. Aku tidak menyukai pesta ulang tahun, sungguh. Itu terlalu
menyakitkan. Wajah dan darah segar yang mengalir dari kepala belakang Eomma.
Kabut itu selalu menyelimuti otakku.

Bisikan kesunyian yang Appa selipkan di telingaku. Air mata kesakitan yang ia
tumpahkan saat acara pemakaman Eomma di bawah rintikan hujan adalah sesuatu
yang tak pernah habis terkikis di dalam memoriku. Appa selalu menguatkanku,
mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, mengatakan bahwa ia akan selalu
di sampingku sampai kapanpun. Nafasnya nafasku juga, ia hanya akan hidup untukku,
Min Ha Ri. Ia selalu mengajarkanku untuk menjadi wanita yang kuat. Seorang ayah
yang luar biasa. Super hero kelas dunia yang tak akan pernah terganti oleh apapun.

Penderitaan itu nyatanya tak kunjung usai. Tepat saat usiaku menginjak 20 tahun,
Appa meninggalkanku untuk selamanya. Ia menjadi korban jatuhnya pesawat saat
perjalanan bisnis ke Polandia. Pesawat yang Appa tumpangi jatuh ke dalam laut lepas.
Aku tak pernah menyangka kehidupanku akan sesakit ini. Kedua orang tuaku
meninggal dengan cara yang membuatku selalu ingin menuntut kepada Tuhan.
Eomma yang tergeletak ditembak oleh orang misterius dan sampai sekarang
pelakunya tak dapat ditemukan pihak kepolisian. Jasad Appa yang bahkan
menghilang tak ditemukan.

Itulah sebabnya mengapa ketika aku ingin bertemu Appa, aku akan datang ke laut tak
jauh dari pusat Distrik Seoul. Membawa sebuket bunga lili putih, mengapungkannya
di atas air laut. Kuharap Tuhan menyampaikan rasa rinduku untuk jasad Appa yang
sampai saat ini belum ditemukan. Ku anggap laut di Polandia adalah laut di Seoul.
Meski tim pencarian negara Polandia dan Korea sudah angkat tangan mencari
keberadaan jasad Appa yang tenggelam di laut Polandia, aku tak akan pernah angkat
tangan untuk berhenti mengharapkan Appa kembali ke sisiku.

Dua tahun, dua tahun aku menunggu kabar Appa. Dan selama dua tahun itu juga aku
sering kelaparan. Rumah dan barang-barang berharga kami disita oleh bank. Bank
nengatakan bahwa Tn. Min Ha JinAppaku memiliki banyak hutang dan terus
berbunga. Aku didepak dari rumah megahku sendiri. Kuliah kedokteranku yang baru
berjalan 4 semester terpaksa kuhentikan. Sejak awal aku memang tak ingin
mengambil kuliah kedokteran, aku takut darah dan takut rumah sakit. Namun Appa
selalu memaksaku untuk bangkit.

Ia tak ingin aku terus-menerus berjibaku dengan ketakutanku. Ia ingin aku menjadi
dokter ahli forensik yang handal. Namun setelah kematian Appa, aku tak bisa
melanjutkan kuliah. Biaya kuliahku terlalu besar, aku tak sanggup jika harus
membayarnya setiap bulan. Semua uang begitupun surat berharga yang ada di
rekening dan brankas Appa disita oleh bank. Aku terkatung-katung di jalanan.

Sempat bekerja di apotik, sungguh aku sangat bahagia ketika Bong Ahjussi
menerimaku menjadi pegawai apotiknya, ia begitu ramah kepadaku. Paman Bong
juga memberikanku uang untuk menyewa sebuah flat sederhana yang bisa ku tinggali,
memberikannya secara Cuma-cuma. Namun entah mengapa tepat saat masa kerjaku
menginjak satu tahun, sikap paman Bong tiba-tiba saja berubah. Semenjak ada aduan
pelanggan bahwa aku salah memberikan takaran obat. Pelanggan itu menuntut ganti
rugi pada apotik paman Bong.
Seingatku, aku tak salah memberikan takaran obat. Selalu mengecek dan menanyakan
umur pembeli yang akan membeli obat di apotik paman Bong. Tanpa mengatakan
apapun, Paman Bong langsung memecatku. Raut wajahnya seperti menahan tangis
ketika ia menyodorkan amplop berisi uang pesangon yang akan aku terima darinya.
Gaji terakhirku sebagai pegawainya. Sambil menitikan air mata, kujulurkan tanganku
mengambil amplop coklat itu. Paman Bong mengarahkan pandangannya ke samping,
seperti tak ingin melihat wajahku.

"Kau bukan pegawaiku lagi. Mulai besok jangan pernah datang ke apotikku lagi,
pakailah uang itu untuk membiayai hidupmu!" kata-kata ketus itu meluncur cepat dari
mulut mungil seorang paman yang sudah ku anggap seperti paman kandungku sendiri.
Senyuman kehangatan yang setahun ini selalu ia sematkan untukku, detik itu bahkan
tak ia sematkan untuk perpisahan terakhir kami. Susah payah berdiri di depan
apotiknya, aku mematung menahan tangis ketika melihat wajah paman Bong untuk
terakhir kalinya.

Laki-laki berumur 47 tahun itu hidup sendirian. Ia lebih memilih tinggal di apotik
ketika istrinya meninggal 7 tahun yang lalu. Pegawainya yang lain seakan acuh dan
tak peduli. Aku takut ia tak menjaga makannya, aku takut tak ada yang
membuatkannya bubur dan sup ayam ginseng seperti apa yang aku buatkan untuknya.
Dia laki-laki baik, sungguh Paman Bong seseorang yang sukses membuatku dekat
pada Tuhan. Ia selalu memberikanku kata-kata mujarab yang mampu merubahku
menjadi lebih baik. Kami juga sering pergi ke tempat beribadah bersama.

Tangan halusnya yang sering membelai rambutku, suara lembutnya yang membuatku
tenang. Tapi sosok itu mengapa berubah menjadi dingin dan datar? ia hanya berdiri
sambil menatapku yang masih setia berpijak di depan apotiknya. Hanya 5 menit,
biarkan seperti ini 5 menit lagi. Aku ingin menatapnya di 5 menit terakhirku
bersamanya.

5 menit.

Kuputarkan porosku ke samping. 5 menitku sudah berakhir. Ku-usap cepat pipi basah
ini dengan tanganku, tak sanggup mengatakan salam perpisahan untuknya. Paman
Bong terlalu baik, aku tak ingin merusak citranya di hatiku.
"Min Ha Ri-sshi....." jerit kecil suara Paman Bong memanggilku, gesekan suara aspal
terdengar nyaring mendekat ke arahku. Poros langkah ini seketika terhenti. Saat ku
balikkan tubuhku, tiba-tiba saja Paman Bong memeluk tubuh mungilku sambil
terisak.

"Jaga dirimu baik-baik, jangan pernah menyerah mencari kebahagiaan, doaku selalu
menyertaimu. Aku tahu, kau gadis tangguh. Jangan pernah menyalahkan takdir buruk.
Kau tahu, nasib baik dan takdir buruk selalu berdampingan. Semoga Tuhan selalu
menjagamu."

Itu adalah detik perpisahan terindah yang pernah aku rasakan. Karena Appa dan
Eomma meninggalkanku tanpa mengatakan apapun. Menghilang tanpa mengatakan
salam perpisahan sebaitpun.

Hidup tak selalu bahagia.

Aku menempelkan kata-kata itu di hati dan otakku. Berlarut-larut dalam kesedihan
juga tak akan membuatku menjadi gadis yang dikasihani orang lain. Aku tak mau
seperti itu. Tubuh ini makin semangat mencari kehidupan yang baru. Bahtera laut
yang harus ku arungi tak hanya satu dua hari saja. Aku harus makan dan makan harus
dibeli dengan uang.

Butuh waktu sekitar satu bulan sampai aku mendapatkan pekerjaan baru yang tetap.
Selama itu, aku mengerjakan apapun hanya untuk mendapatkan sebungkus nasi di
pinggir jalan yang dulu bagiku adalah makanan yang bahkan bisa aku beli tanpa harus
merengek. Tapi sekarang, aku mengerti. Keringat yang ku keluarkan untuk sebungkus
nasi ini tidaklah sedikit. Mencuci piring di kedai, berjualan kopi keliling, menjadi
pembersih jalan dan pekerjaan kasar lainnya aku kerjakan tanpa mengeluh. Sampai
akhirnya aku tak sengaja melihat kertas lowongan pekerjaan menjadi pelayan bar
yang di tempelkan di papan dekat tempat duduk halte.

Kubaca lamat-lamat setiap kata yang tercetak disana.

"Pelacur!"
"Wanita malam!"
"Penjudi!"
"Penjajah seks!"

Pikiran berkecamuk itu terus mencambukku tanpa ampun. Aku tidak ingin menjual
tubuhku kepada pria hidung belang jahanam di tempat itu. Harga diriku tidak akan
pernah aku tukar dengan lembaran won meski sangat kubutuhkan sekalipun, lebih
baik aku mati kelaparan daripada harus menjual tubuhku. Bulak-balik seperti
setrikaan, aku ragu dengan ini. Kududukkan tubuhku di kursi halte, menatap langit
Seoul yang begitu cerah dan menenangkan. Sesekali ku lirik kembali kertas lowongan
pekerjaan itu lamat-lamat.

"Itu lowongan pekerjaan di tempat bekerjaku. Hanya sebagai pelayan yang


mengantarkan makanan dan minuman untuk pelanggan. Jika kau memang berminat,
kau bisa langsung datang. Lowongannya akan ditutup besok." sebuah suara tiba-tiba
saja menyahut dari sebelah tubuhku. Kutolehkan kepalaku cepat.

Seorang gadis yang sepertinya seusia denganku, rambutnya coklat bergelombang.


Mata berbinar dan senyuman ramah dan kurasa ia gadis yang baik. Gadis itu duduk di
sampingku lalu memasangkan headset putih ke telinganya. Sedikit bersiul ria sambil
memakan coklat batang di tangannya. Ku tatap lamat-lamat gadis itu. Bukan ingin
mengintrogasinya, tapi bingung apa yang harus ku lakukan. Kehidupan bar bukanlah
kehidupan yang datar-datar saja. Resiko bekerja di tempat seperti itu sangatlah
banyak, tapi aku juga butuh pekerjaan, gaji yang ditawarkan bar itupun cukup besar.
Sewa flat ku harus segera di bayar. Bibi gempal sangar pemilik flat itu pasti tak akan
mengampuniku jika aku terus-menerus menunggak.

"Bisakah kau mengantarku ke tempat bekerjamu?" pasrah, aku pasrah menerima jalan
di depanku. Bahteraku harus kembali ku kayuh.

Setelah interview dan diberikan beberapa pertanyaan oleh Kepala Kepegawain Seoul
Bar aku langsung diterima menjadi pegawai magang di tempat itu. Aku mengajukan
beberapa hal, terutama masalah pakaian. Jika harus memakai pakain ketat dan seksi,
lebih baik aku mengundurkan diri saja. Tapi untunglah gadis baik yang ku temui di
halte membantuku bicara pada bosnya, sehingga aku diizinkan untuk memakai pakain
yang tertutup.

Kim Nana, gadis ramah itu bernama Kim Nana. Selama bekerja, ia adalah orang yang
benar-benar baik padaku. Gadis berahang mungil lengkap dengan senyuman indah,
meski begitu Nana juga dapat tegas kepada pelanggan yang menggodaku. Ia tak akan
segan melayangkan kata-kata menusuk jika seorang pria hidung belang mengajakku
untuk menemaninya minum.

Nana menjadi teman kerja pertamaku di tempat itu. Sikap care dan ramahnya
membuatku nyaman lama-lama berada di dekatnya. Kesakitanku, ia selalu
membujukku untuk menceritakannya.

Aku sahabatmu, kau sahabatku. Berbagi kesakitan adalah salah satu tugas seorang
sahabat. Kau harus ingat itu!

Senyumku mengembang mendengar ucapannya, kupeluk tubuhnya erat-erat. Sekali


lagi, Tuhan kembali mengirimkanku malaikat baik, Kim Nana.
Gadis itu memiliki rumah sendiri, menawariku untuk tinggal bersamanya. Namun aku
selalu menolak, tak ingin merepotkannya. Ia sudah terlalu banyak membantuku. Dan
lagi flat sederhana yang ku tempati adalah tempat tinggal yang sangat aku sayangi.
Jiwa Paman Bong ada disana, ia adalah orang yang memberikanku uang sewa flat
pertama kali. Kebaikannya tak akan pernah aku sia-siakan.

Entah mengapa, aku merasa sedikit aneh ketika pulang bekerja. Seperti ada seseorang
yang memperhatikanku dari jauh, kolebatan aneh yang terkadang membuat
bulukuduk-ku ikut naik dan merinding. Ini bukan terjadi satu atau dua kali saja,
melainkan berkali-kali. Membuat jantungku berdebar tak karuan. Tapi untuk apa
orang misterius itu mengintaiku? Aku tak pernah berurusan dengan orang asing
sebelumnya.

Sampai terlalu seringnya aku merasa diintai, aku terkadang menceritakannya kepada
Bibi Baek. Tetangga sebelah yang begitu baik padaku. Ia sering mengirimkanku
makanan dan minuman yang ia buat, tangan lembut dan senyuman ramahnya selalu ia
berikan ketika ia mengunjungiku. Tempat tinggal kami memang berdekatan, lebih
tepatnya berhadapan. Ia bahkan sudah ku anggap sebagai Eomma-ku sendiri.

Insiden pelemparan gelas ke kepala seorang pria pejabat negara yang tak sengaja ku
lakukan di bar adalah insiden yang tak pernah aku duga sebelumnya. Sungguh, aku
refleks dan panik. Pria itu akan melayangkan gelas ke kepala seorang wanita yang
memang sedang bertengkar dengannya, wanita itu sudah tersungkur limbung tapi pria
itu justru akan memukulnya dengan gelas yang tak ia ambil dari atas meja tak jauh
dari tempatnya berdiri. Aku yang saat itu hendak naik ke lantai 2 untuk mengantarkan
pesananan ke meja nomor 28 refleks langsung melayangkan gelas tepat ke kepala pria
itu. Ia langsung tersungkur dengan darah segar mengalir dari kepalanya.

Tubuhku langsung lemas ketika pria itu mendobrak pintu ruang istirahat karyawan
saat Nana tengah mencoba menenangkanku. Menuntut ganti rugi padaku. Dicekalnya
daguku cukup keras, aku yang menangis terisak pun tak digubris, ia tetap akan
meminta ganti rugi. Sampai tiba seorang pria berjas hitam bertubuh tegap yang
dengan cuma-cuma menolongku, membayar semua ganti rugi tuntutan pria yang
kulempari gelas.

Pria itu bernama Han Si Woo, ia menolongku secara cuma-cuma. Saat aku bertanya
kenapa ia menolongku padahal kami tidak pernah mengenal sebelumnya, ia hanya
tersenyum kikuk, lalu mengatakan bahwa ia menolongku atas suruhan atasannya. Lain
kali aku harus berterimaksih kepada atasannya itu.

Kesakitanku ternyata tak kunjung usai, bos besar memecatku tanpa memberikan
pesangon sepeserpun. Tertatih berjalan diantara lampu jalan yang remang, aku
kembali menitikan air mata. Persediaan makanan sudah habis dan aku tak menyimpan
uang sedikitpun. Jadi hanya air keran yang bisa aku minum. Bibi Baek yang begitu
baik ternyata sangat memahami kondisiku, ia datang membawa semangkuk nasi
hangat dan sup ayam ginseng yang memang sangat aku butuhkan. Semalaman
menahan lapar bukanlah perkara yang mudah.

Disela kunyahanku, Bibi Baek menyodorkan sebuah amplop lusuh. Dengan raut
wajah ragu, ia mendekatkan amplop lusuh itu ke depan tanganku, membuat
kunyahanku seketika terhenti dan beralih membukanya pelan.

--- Gadis mungil itu selalu menyusahkanku. Ia manja dan tidak bisa mandiri. Saat
usinya 10 tahun, ketika gadis seusianya sudah bisa naik bus tanpa harus ditemani
kedua orang tua mereka, gadis manja itu berbeda. Ia tak bisa jauh-jauh dari
Eommanya yang luar biasa cantik. Warna favoritnya adalah biru, gadis itu
mengatakan bahwa setelah besar nanti ia akan menjadi wanita sukses yang
mempunyai banyak perusahaan besar. Menggelikan sekali, Min Ha Ri. Kau selalu
menjadi gadis kecil Appa yang menggemaskan sampai kapanpun. Tak peduli meski
usiamu sudah tak bisa dikatakan anak kecil lagi. Kau akan selalu menjadi gadis
kebanggaan Appa. Maaf Appa belum memberikanmu kebahagiaan, Appa bahkan
hanya bisa membuatmu menangis setiap malam. Eommamu.. aku bahkan tak bisa
menjaganya dengan baik. Aku terlalu bodoh dan naif, aku bukan Appa yang baik.
Min Ha Ri Appa minta maaf, mianhaeyo. Ada satu hal yang ingin Appa katakan
padamu berapa usiamu sekarang? Kuharap saat kau membaca surat ini, usiamu
masih 5 tahun. Setidaknya masih ada sisa 17 tahun lagi untuk dirimu memilih takdir.
Meski aku Appamu, aku tak bisa melakukan apapun. Apa yang bisa kau banggakan
dari pria brengsek sepertiku? aku bahkan masih ingat. Kau selalu mencium pipiku
setiap pagi dan malam hari mengatakan bahwa aku adalah Appa yang hebat,
bagaimana ini? rasanya aku tak pantas mendapatkan itu. Ha Ri ya, mianhaeyo
Appa mianhae.

Bagaimana aku harus mengatakannya padamu?aku-ak-ak-aku....

Aku menjodohkanmu dengan seseorang, laki-laki pilihan Appa. Kuharap kau bisa
menerimanya dengan baik, hiduplah dengannya, laki-laki itu sosok yang akan
menggantikan Appa menjagamu.

Saranghae Ha Ri-ya, Appa Saranghae. --

Bulir bening itu jatuh dari kedua mataku, ini benar tulisan Appa. Aku dapat
mengingatnya dengan jelas. Dadaku sesak membaca kata demi kata yang tercetak tak
timbul di kertas lusuh itu. Bagaimana mungkin Appa mengatakan hal konyol seperti
ini melalui secarik kertas?
Seminggu sebelum kehilangan Appa, aku memang jarang pulang ke rumah. Tugas
kuliahku sangat banyak dan memaksaku untuk mengerjakan di rumah temanku. Tapi
Appa bisa menghubungiku jika memang ia akan berniat menjodohkanku dengan
seorang pria pilihannya, bukan dengan menghilang meninggalkanku tanpa jejak dan
menitipkan surat ini pada Bibi Baek yang ternyata sahabat karib kedua orang tuaku.

Aku sempat mengantarkannya ke Bandara Incheon ketika Appa akan lepas landas ke
Polandia. Appa tak mengatakan apapun dan hanya mengatakan agar aku menjaga diri
selama ia pergi melakukan perjalanan bisnis ke Polandia. Tapi mengapa justru Appa
memberikan secarik kertas ini kepada Bibi Baek?

Aku semakin tersiksa ketika pagi itu, wanita gempal sangar pemilik flat menagih uang
sewa yang sudah jatuh tempo. Sungguh, aku tak punya uang sepeserpun. Bos besar
tak memberikanku uang pesangon ataupun uang lelah yang harusnya ku terima. Ia
hendak mengambil semua barang-barang yang ada di dalam flatku. Mataku berbinar
ketika ia mengambil radio usang kesayangan Appa, aku langsung menahan kakinya
dan memohon. Memohon agar radio usang itu tak ia sita, hanya itu yang kumiliki
sebagai kenangan dengan Appa. Bibi Gempal itu tersenyum sinis melihat aku yang
terduduk memohon di kakinya.

"Semua barang-barang kumuhmu saja tak bisa melunasi hutangmu! Radio usang itu?
Kau pikir aku menginginkannya? Cihhhh. Bahkan jika dijual pun tidak akan mampu
membeli sebuah baju bekas. Tapi karena kau begitu menginginkannya, bagaimana
jika aku mengajukan syarat?" kata-kata klimaks yang ia keluarkan membuatku
menelan ludah susah payah. Tak punya waktu untuk berfikir, bagaimanapun radio itu
harus aku selamatkan secepatnya. Tak ada pilihan.

"Apa syaratnya?" tanyaku to the point dengan tatapan melemah.

"Kau bisa mengambil radio usang itu kembali, tapi dengan 10 tamparan dariku?
Bagaimana? Heuh?" kupasrahkan pipiku padanya, tak apa. Radio itu jauh lebih
penting dibanding kesakitan yang akan aku terima dari Bibi gempal sangar ini.
Kepalaku pening ketika ia menamparku terus-menerus tanpa jeda, tak iba meski
pelipis dan sudut bibirku mengeluarkan darah segar akibat ulah kasarnya.

Pria asing yang tiba-tiba saja datang membuatku tercengang. Melemparkan segepok
amplop yang ku yakini bahwa isinya adalah uang jutaan won. Bibi Baek merengkuh
tubuhku, mengatakan bahwa pria pilihan Appa sudah datang menjemput. Kepalaku
menggeleng cepat, masih terduduk lemas sambil memeluk radio usang kesayangan
Appa. Sudut bibirku yang mengeluarkan darah pun tak ku gubris sedikitpun.
Berceceran mengenai baju santaiku.

Bibi Baek kembali dengan membawa koper besar milikku, meletakkannya tak jauh
dari tempatku merenung menahan tangis dengan posisi terduduk menyedihkan.

"Ikutlah dengan pria itu Ha Ri-ya, dia akan mengantarkanmu pada seseorang pilihan
Appamu." seru Bibi Baek lemah sambil mengeratkan pelukannya pada tubuhku, aku
mendengar menahan isakan tangis dari mulut mungilnya. Tangan lembutnya
menungkup di tanganku, mencoba menatap mataku binar.

Kembali ku kayuh bahteraku, kali ini apalagi yang harus ku terjang?

Kakiku berhenti tepat di sebuah rumah yang sangat megah, sungguh rumah berlantai
4 ini bagaikan istana yang pertama kali aku lihat dengan kedua mataku sendiri.
Pelayan berseragam menyambutku dengan ramah, menundukan kepala mereka
sebagai salam hormat. Kekikukan-ku cukup kentara disana.

"Kau bisa ikut denganku Nona, Tuan Muda ada di lantai dua di dalam kamarnya." ujar
pria berjas hitam tegas memberikan instruksi agar aku mengikutinya. Ku ikuti
langkahnya dari belakang. Mataku terbelakak ketika ia memencet sebuah tombol besi
alumunium mengkilap.

"Sebuah lift" gumamku pelan.

Rumah besar ini nampak tertutup dari luar. Gerbang besar bagai pembatas dunia luar
yang sulit diruntuhkan, menjulang setinggi 5 meter. Penjagaan ketat dari beberapa
pria berbadan besar pun membuat kesan menakutkan. Namun ketika masuk, oh God.
Ini istana mewah.

Lamunanku tersentak ketika pria berjas hitam di depanku menoleh ke belakang, aku
sampai tak menyadari bahwa kini aku berada di depan sebuah kamar.

"Masuklah, Tuan sudah menunggu Nona di dalam." intruksi pria itu, kulangkahkan
kakiku masuk ke dalam ruangan itu, berdiri mematung ketakutan lengkap dengan
jantung berpacu cukup kencang. Tanganku mengepal kuat-kuat. Aku takut dengan
pria yang berdiri mematung di depanku, pria itu bertubuh tegap dan tinggi, rambutnya
hitam pekat, ia memakai pakain wol berwarna putih corak abu dengan celana coklat
muda, sepatu putih cocok sekali dengan pakaian santainya. Aku dapat melihatnya
dengan jelas, hanya saja aku belum melihat bagaimana wajah pria di depanku ini.
Menghempaskan nafas lemah, sesekali kusentuh dadaku yang terasa sesak.

Pria itu membalikkan tubuhnya, berhadapan denganku. Dengan gerakan cepat


kutundukan kepalaku dengan kedua tangan menyentuh ujung pakaian yang ku
kenakan. Berfikir cukup keras, aku harus mengatakan sesuatu pada pria ini. Ia sudah
menolongku membayar tunggakan sewa flat.
"Kamsahamnida, kau sudah membantuku, aku sangat berterima kasih padamu. Aku
tidak akan melupakan kebaikanmu padaku, Tuan." seruku dengan sisa tenaga
seadanya, tetapi belum berani mengangkat kepala. Kupejamkan mataku kuat-kuat,
kepalaku semakin pening.

Pria itu mendekat, mengangkat daguku. Detik itu mata kami bertemu. Garis hidung
tegas yang membuat jantungku mengernyit, rambut berantakannya dan kulit putih
susu. Pria di depanku ini terlihat begitu sempurna. Kedua iris tegasnya yang
membuatku kesulitan menghirup nafas di dalam ruangan ini.

"Mianhae, karena aku datang dalam keadaan menyedihkan." ucapku lemas dengan
sisa tenagaku. Tamparan dan tendangan wanita gembal pemilik flat itu ternyata
berimbas cukup banyak terhadap tubuhku. Kusentuh pelipisku, laki-laki di depanku
seperti berbayang, tatapan ini seketika buyar, pendengaranku semakin kecil dan
menghilang, yang terakhir ku ingat, pria di depanku ini bergerak cepat merengkuh
tubuhku. Setelah itu semuanya gelap.

Mataku mengerjap ketika seberkas sinar sukses menyerang mataku. Kelopak mataku
terbuka perlahan, disana terdapat seorang pelayan yang tengah berdiri mematung tak
jauh dari tempatku berbaring. Aku beringsut bangun karena kaget. Pelayan itu
tersenyum ramah kepadaku, menyuruhku untuk segera membersihkan tubuh dan
segera turun ke bawah karena tuan mudanya sudah menunggu di meja makan. Aku
merasa kikuk ketika ia memanggilku dengan sebutan "Nona" perlakuan lembutnya
yang memperlakukanku layaknya seorang putri raja.

Aku tak sengaja bertemu dengan Han Si Woo ketika tubuhku baru saja keluar dari
kamar. Benar pria di depanku ini Han Si Woo. Jadi atasannya yang menolongku
membayar uang ganti rugi itu adalah orang yang dijodohkan Appa denganku. Kenapa
semuanya nampak saling berkaitan? Apa ini takdir? Benarkah ini semua adalah
takdir? Atau hanya ketidaksengajaan?

Si Woo mengantarku ke sebuah ruangan, menyuruhku untuk masuk ke dalam sana. Di


dalam ruangan itu, terdapat seorang pria yang tengah berdiri mematung
membelakangiku. Ku lihat ia menaruh cangkirnya di atas meja kerja sebelum
membalikkan tubuhnya ke arahku. Ia berjalan pelan mendekat. Menjalarkan senyum
kehangatan yang sama dengan kemarin, ya meski aku sedikit lupa, kurasa kemarin ia
juga tersenyum seperti itu.

Ia memperkenalkan namanya.

Cho Kyuhyun.
Nama yang begitu indah ketika ia mengeluarkan nama itu dari mulutnya sendiri.
Hidung dan garis tegas rahangnya membuat jantungku rasanya ingin melompat dari
tempat. Tangannya merengkuh tubuhku, mengajakku untuk sarapan bersama.

Ku edarkan pandangan kesegala arah, sebuah ruangan bergaya klasik dengan banyak
lukisan ratu Eropa dan bunga-bunga sakura di setiap sudut ruangan. Jendela kaca
besar menampilkan taman belakang yang sangat indah, di sudut ruangan dekat pintu
masuk terdapat wastafle warna abu-abu lengkap dengan cermin menempel di dinding.
Ruangan bergaya klasik sederhana, hanya ada meja makan dan kursi saja di ruangan
ini.

Seorang pelayan yang tadi menyiapkan makanan sudah keluar dari ruangan. Aku
bergidig ngeri, sebenarnya apa pekerjaan pria dihadapanku ini? Bagaimana mungkin
ia mempunyai banyak bodyguard dan pembantu muda di rumah sebesar ini? Rumah
berlantai 4 dengan lift seperti di mall besar saja. Aku sebetulnya benar-benar takjub,
namun aku tak mungkin menampilkan itu secara jelas.

Berapa banyak kekayaan Cho Kyunyun? apakah warisan orang tuanya?

Aku terdiam ketika menyadari sesuatu.

Sejak kedatanganku ke rumah mewah ini, tidak ada seorang wanita dan pria paruh
baya yang menyambutku. Atau mungkin kedua orang tua Kyuhyun tinggal terpisah?
Kepala ku menggeleng cepat, aku hanya gadis asing, tak etis jika menanyakan
seseorang yang tak ada kaitannya denganku.

Benar-benar suasana makan pagi yang flat. Batinku.

Meski begitu, sosok angkuh di depanku ini mengeluarkan energinya tersendiri. Aku
sesekali melirik, mencoba menetralkan hatiku, bagaimana mungkin hatiku gugup
tanpa alasan apapun. Aku menggeleng cepat. Jangan memikirkan perasaan apapun Ha
Ri, dia hanya orang asing.

Mencoba memberanikan diri, aku harus menanyakan semua yang terjadi padaku.
Meski terlihat lemah dan bodoh, aku tak sebodoh itu. Masih punya otak untuk
berfikir. Sejak kejadian malam itu jelas saja aku bukan tak mencurigai apapun. Tidak
mungkin ada orang asing rela mengeluarkan uang jutaan won untuk gadis yang
bahkan tak dikenalnya. Ini tak masuk akal sedikitpun.

Ditolong dan dibayarkan 2 juta won saat di bar, diberikan surat oleh Bibi Baek dari
mendiang ayahku, lalu dibayarkan sewa flat dan aku tahu bahwa kemarin pria berjas
hitam itu melemparkan segepok uang yang dirasa sangat banyak, lalu membawaku ke
rumah megah ini. Benarkah dunia saling berkaitan seperti itu? Apakah rantainya
seterkaitan itu?

"Sebenarnya apa yang terjadi? Tentang pertolonganmu padaku dengan jumlah uang
yang sangat banyak. Sebenarnya apa maksud semua ini? Ayahku? Benarkah Ayahku
menjodohkanku denganmu?" suaraku tertahan sambil menahan tangis.

Gerakan tangan Kyuhyun seketika terhenti, ia menaruh garpu dan sendoknya ke sisi
piring, lalu mengambil lap menyeka mulutnya pelan. Ia belum mengatakan apapun,
masih dengan ekpresi datar menatap wajahku yang mungkin nampak menyedihkan.
Tak lama tangannya meraih saku celana, mengambil ponselnya dan memutarkan
sebuah suara rekaman.

'Ha Ri-ya..... apa kau sehat? kuharap kau selalu sehat, Appa merindukanmu, sangat.
Appa juga mencintaimu, sangat. Maafkan aku, aku tak bisa mengatakan apapun,
kuharap kau bahagia dengan pilihanku. Menikahlah dengan laki-laki pilihan Appa.
Cho Kyuhyun, dia adalah anak sahabat karib Eommamu. Maafkan Appa Ha Ri-ya'

Pertahananku melemah, air mata itu meluncur dari mata kananku. Aku mengenal
suara itu.

Bip.

Cho Kyuhyun langsung mematikan ponselnya, ia menatap wajahku yang sembab


dengan air mata. Ia menatapku lirih, seakan merasakan apa yang aku rasakan.

"Benarkah itu suara Appa? Ayahku? Ayah kandungku yang menghilang 2 tahun lalu?
Bagaimana mungkin Ayahku mengatakan hal konyol seperti itu! Hikss... hikss...." aku
menangis tertahan dengan menekan dada.

"Ayahmu menyuruhku untuk menjagamu, dengan cara menikahimu."

"Ia tak ingin kau hidup sendirian dengan kesulitan, aku akan berusaha menjagamu
sebisaku."

"Aku memang orang asing untukmu, tapi percayalah. Aku sudah menganggap
Ayahmu sebagai Ayahku sendiri. Kuharap kau mau menerimaku."
Aku semakin mengencangkan tangisanku mendengar kata-kata kyuhyun, pria itu lalu
bangkit mengarahkan tubuhnya memelukku erat. Seakan mencoba membagi rasa sakit
untuknya.

"Menikahlah denganku, lusa kita akan segera melangsungkan pernikahan. Aku tak
ingin membuat mendiang Ayahmu semakin sedih, bersandarlah di bahuku." ucap
Kyuhyun pelan mengusap kepalaku dengan penuh kelembutan.

Appa, hari itu, aku sadar bahwa bahteraku mungkin tidak akan pernah berlayar lagi,
kesakitanku. Kau sudah mengambil semua kesakitanku dengan menjodohkanku pada
pria baik pilihan Appa. Cho Kyuhyunpria tampan dengan segala kuasanya. Kata-
kata dan usapan lembutnya membuatku tenang dan tak risau. Ia sudah berjanji akan
menjagaku dengan baik.

Pesta pernikahan megah yang kembali membuat irisku takjub, ia mampu menyewa
sebuah ballroom hotel mewah untuk janji suci kami. Mengikat janji sehidup semati di
depan saksi bisu penyambung antara kami dan Tuhan.

Aku sempat merasa aneh karena di pesta itu, tamu yang Kyuhyun undang tak begitu
banyak. Aku juga lebih sering melihat tamu berwajah asing dibanding yang berwajah
oriental Korea. Ohh mungkin Kyuhyun tak terlalu suka keramain. Ia mungkin ingin
upacara pernikahan yang lebih khidmat. Saat aku mengajukan keinginanku untuk
mengundang Nana, Kyuhyun juga sempat menolak. Ia mengatakan bahwa pesta ini
hanya untuk kalangan penting dan ia akan mengundang Nana secara spesial untukku.
Baiklah, aku menerima kata-kata Kyuhyun dengan senyuman.

Malam pertama kami, entah mengapa aku merasakan desiran aneh yang sulit
dijelaskan. Sikap kasarnya yang tiba-tiba saja muncul membuat otakku terkesiap. Ia
memperlakukanku dengan kasar ketika malam pertama kami. Saat itu ia memang
tengah mabuk dan kupikir ia mungkin kasar karena dalam pengaruh alkohol.
Kyuhyunku orang baik. Aku selalu menanamkan kata-kata itu dalam otakku.

"Jangan salahkan aku jika tubuhmu hancur seperti ponsel itu, satu senti saja kakimu
keluar dari gerbang rumah ini tanpa seizinku, maka aku tak akan segan
mengeluarkan darah dari tubuhmu!"

Mataku terbelakak mendengar perkataan Kyuhyun setelah ia berhasil melempar


ponselku sampai hancur ke dinding. Kutitikan air mata ketika menyentuh ponsel
lipatku yang sudah hancur, disana banyak sekali nomor penting. Terlebih nomor Kim
Nana, sahabatku.
Tatapan Kyuhyun padaku pun sarat akan kebencian. Ketika aku menanyakan padanya,
kenapa ia berubah. Ia justru mencium bibirku dengan lembut, sangat lembut. Decakan
dan keliahaian bibirnya mengeksplor lidahku. Ciuman dahsyat yang sarat akan
kehangatan. Aku disudutkan antara cinta dan kebencian.

Otakku semakin dipaksa keras untuk berfikir ketika siang itu aku yang tengah
memakan mie mendengar penjelasan yang tak masuk akal. Han Si Woo tiba-tiba saja
mengatakan bahwa ia ingin mengeluarkanku dari rumah megah ini. Tapi kenapa?
Kenapa aku harus keluar dari rumah suamiku sendiri? Aku yakin, perlakuan kasar
Kyuhyun padaku mungkin hanya kehilafan dia saja.

Meski begitu, terkadang Kyuhyun juga mampu membuat jantungku bekerja lebih
cepat dari biasanya. Terlebih ketika ia membawaku ke sebuah acara teman bisnisnya,
ia merubahku layaknya wanita kelas atas yang memakai pakaian mewah.

"Jangan gugup, selipkan tanganmu disini, malam ini semua orang akan mengenalmu
sebagai Cho Ha Ri." kata-kata kelas dunia.

Sama seperti kejadian kelamku, aku mengalaminya lagi di pesta ulang tahun kolega
Kyuhyun. Aku ketakutan di ujung nafasku, semuanya nampak menakutkan dan sama
percis dengan waktu itu. Seperti orang gila, aku yakin semua tamu undangan yang
melihatku pasti menganggapku sudah gila. Aku mengecewakan Kyuhyun. Ia pasti
malu karena melihat istrinya nampak seperti wanita kelas bawah di depan koleganya.
Seharusnya aku menahan emosiku. Tapi tetap tidak bisa. Memori kelam itu masih
membekas, aku tak bisa menahan ketakutanku sendiri.

Otakku berfikir cukup keras, dimana keberadaan Kyuhyun saat aku ketakutan?
Kenapa ia justru tak kunjung kembali ketika keadaanku benar-benar menyedihkan?
Kenapa justru Han Si Woo yang datang? Sebetulnya apa yang terjadi? Sifat Kyuhyun
yang berubah-ubah juga membuatku berfikiran aneh. Sifat manisnya itu kini terasa
mulai menghilang. Tatapan sinis justru selalu tergambar dari sorot elangnya. Tatapan
yang sama seperti saat malam pertama kami, malam dimana ia mengambil mahkotaku
dengan kasar. Kupikir dia seperti itu karena senang mabuk. Tapi kurasa tidak.

Ada apa dengan Kyuhyun? Apakah aku pernah berbuat salah padanya? aku bahkan
baru mengenal sosoknya melalui perjodohan yang Appa buat. Aku juga bingung,
dibalik sifat kasarnya, ia terkadang mampu membuat jantungku berdebar tak karuan.
Pipiku bahkan seperti udang rebus saat ia membasuh tanganku yang malam itu tengah
mencuci piring, dia memarahi asistennya hanya karena aku mencuci piring.

Bukankah dia terlihat romantis? Aku nyaman dengan rengkuhan tangannya. Pagi ini,
ia memeluk tubuh ringkihku penuh kehangatan. Desiran yang muncul di dalam
hatiku, aku tak bisa menjelaskannya, mungkin aku mulai... mencintainya.

Detik itu aku sadar, aku menaruh hati padanya. Ia adalah pria pilihan Appa yang
bertugas merangkulku. Malaikat tanpa sayap yang datang untuk memelukku.
Menghentikan layaranku di atas bahtera, ia pasti ingin menghentikanku menerjang
ombak yang begitu menyakitkan.

Cho Kyuhyun, suamiku. Malaikatku.

Min Ha Ri POV End

****

Setelah selesai membersihkan tubuh ringkihnya dan bergumam sedikit sambil melihat
pantulan dirinya di dalam kaca rias kamar, akhirnya Ha Ri memutuskan untuk turun
ke lantai bawah. Langkah kakinya sedikit tersendat-sendat. Entah mengapa kondisi
tubuhnya pagi ini tidak terlalu sehat, mungkin karena kejadian kemarin. Pagi ini,
gadis itu juga mual dan memuntahkan cairan bening dari mulutnya. Kepalanya pusing
dan nafsu makannya berkurang. Dampak phobianya itu ternyata cukup ekstrim.

Berdiri mematung di depan pintu lift, Ha Ri terlihat kebingungan. Bibi Byul yang
melihat itu lalu menghampirinya, mengusap tangan gadis itu pelan.

"Kau sudah bangun Nona? Wajahmu terlihat pucat, apa aku harus menuntunmu ke
meja makan untuk sarapan bersama?" Bibi Byul menuntun langkah pelan Min Ha Ri
untuk duduk di kursi makan tepat di sebelah Kyuhyun. Setelah menuntun Nonanya,
Bibi Byul lalu pamit ke dapur.

"Ekhemm." dehemen Han Si Woo membuat kunyahan Kyuhyun seketika terhenti.


Diliriknya mata Si Woo dengan tatapan yang sulit diartikan. Sedangkan Min Ha Ri
justru melipat kedua tangan menenggelamkan kepalanya di atas lipatan tangannya itu.
Han Si Woo menggerakkan kepalanya sebagai isyarat bagi Kyuhyun untuk melakukan
sesuatu pada Ha Ri. Namun Kyuhyun malah mengacuhkannya.

"Ini susu hangatnya Tuan." sodor seorang pelayan Kyuhyun, ia meletakkan susu
hangat itu di dekat tangan Kyuhyun, menatap segelas susu hangat itu lamat-lamat,
ekor matanya sedikit melirik Ha Ri yang masih menenggelamkan kepalanya.

Susah payah bergulat dengan hatinya, pria berahang tegas itupun menggeser segelas
susu hangat tadi ke dekat kepala Ha Ri. "Minumlah." suruh Kyuhyun dengan nada
datar tanpa melirik Ha Ri. Gadis itu mendongakkan kepala menatap Kyuhyun, lalu
beralih ke arah depan menatap segelas susu hangat yang masih mengeluarkan uap.
Meraih gelas itu pelan, Ha Ri mencoba menuangkan susu itu kedalam
tenggorokannya. Namun belum beberapa menit ia langsung menaruh gelas itu ke atas
meja makan.

"Huekk-huek-huekk" gadis itu langsung berlari menuju dapur sambil menutup mulut,
memuntahkan isi perutnya yang terasa mual. Suara muntahannya bahkan sampai
terdengar oleh Kyuhyun dan Si Woo. Ini adalah muntahan kedua setelah di kamar
pagi tadi. Wajah Kyuhyun seketika cemas, refleks ia berlari mengejar Ha Ri. Namun
langkahnya tiba-tiba saja terhenti, berdiri diantara pintu dapur. Kyuhyun
menghempaskan nafas kasar lalu memijat pelipisnya pelan. Memutar arah kembali ke
meja makan.

"Ada beberapa urusan kantor yang harus aku selesaikan, kau antar gadis itu ke
dokter!" kata-kata Kyuhyun terdengar pelan, ia lalu mengambil tas kerja yang
diletakkan tak jauh dari tempat duduknya saat makan tadi. Pergi meninggalkan Si
Woo tanpa mengatakan apapun lagi.

****

Jaket berbulu tebal berwarna coklat dan dress santai selutut nampak pas dikenakan
oleh Ha Ri. Kedua tangannya sibuk memainkan kuku jarinya sendiri. Duduk di
sebelah kemudi tanpa mengatakan apapun. Gadis itu lalu menyenderkan kepalanya ke
sisi kanan dekat kaca mobil, melirik keluar mobil dengan perasaan menohok. Ia pikir,
Kyuhyun akan rela mengorbankan waktu untuk mengantarkannya pergi ke dokter,
dugaannya salah. Pria itu justru memerintahkan Han Si Woo untuk mengantarkannya
ke dokter.

"Suami menyebalkan!" gumam Ha Ri dihatinya.

Selama di dalam mobil, Han Si Woo hanya fokus menyetir, ia juga tak berniat
membuka pembicaraan. Begitupun dengan Ha Ri, meski Si Woo terlihat ramah, tapi
gadis itu masih ragu pada Si Woo. Pria itu seperti menyimpan sesuatu yang tak
diketahui Ha Ri.

SEOUL HOSPITAL

"Han Si Woo-sshi." panggil Ha Ri pelan, setelah tahan berlama-lama tak


mengeluarkan kata-kata apapun dari mulutnya selama di dalam mobil, Ha Ri pun
mencoba memberanikan diri berbicara pada Si Woo. Ha Ri menahannya ketika
sampai di pintu masuk rumah sakit. Lorong rumah sakit ini nampak sepi membuat
gadis itu sedikit bergetar takut. Mengepalkan tangannya kuat-kuat. Min Ha Ri
mencoba memanggil Si Woo yang berjalan di depannya. Menghentikan langkah pria
itu untuk membalikkan tubuh ke belakang. Si Woo membalikkan tubuhnya, berdiri
mematung di tengah-tengah koridor lorong rumah sakit. Menatap wajah Min Ha Ri
datar.

"Wae?" tanya Si Woo kemudian, melihat ada sesuatu yang aneh dari raut wajah Ha Ri,
Si Woo pun mendekat. Berdiri tepat di depan gadis itu.

"Aku takut." nada suara Ha Ri gemetar, ia menyentuh ujung jaket wol nya kuat-kuat.
Han Si Woo menghempaskan nafasnya kasar. Lalu menggenggam tangan gadis itu
lembut, berjalan bersama dengannya. "Semua akan baik-baik saja, tidak perlu takut,
aku disini. Kita hanya akan memeriksa kondisi kesehatanmu."

****

SG KINGDOM OFFICE

Ruangan bergaya modern minimalis dengan perpaduan warna abu-abu dan putih
menimbulkan kesan nyaman tersendiri. Gordyn coklat keemasan nampak pas dengan
isi ruangan. Furniture kantor mewah pun mengisi ruangan ini, ruangan CEO SG
Kingdom. Bergulat dengan berkas-berkas penting yang ia ambil dari ruangan arsip
dan map yang bertengger di meja kerja Kyuhyun. Sera berkutat dengan laptop, kertas
dan bolpoint di tangannya. Sesekali menatap sekeliling. Cukup lama tidak menghirup
ruangan ini dan kini ia bisa kembali.

Ketakutannya akan kehilangan, ditundanya beberapa waktu. Kini ia bisa bebas


kembali berada di dekat Kyuhyun. Pria yang begitu ia cintai. Semalam, saat ia
membuka email, mata Sera terpaku beberapa saat. Menatap pelan kotak masuk email,
di sana tertulis dengan jelas siapa pengirimnya. "Cho Kyuhyun". Masih dalam
keadaan syok, Sera membuka email itu dengan hati was-was.

Pemberitahuan pengabulan surat pengunduran diri,


Slip gaji pesangon dan gaji selama sebulan.

Sera memikirkan hal itu. Namun jantungnya begitu terkejut ketika berhasil membuka
email, membuat Sera terdiam terpaku beberapa saat.

--Kuharap kau bisa kembali ke kantor, menjadi sekretarisku. Jika kau tetap bersikukuh
ingin tetap mengundurkan diri, aku akan mengirim gaji dan pesangon ke rekeningmu.
Tapi jika kau bersedia untuk kembali, bekerjalah seperti biasa di kantorku--.

Isi email itu membuat jantung Sera melonjak dari tempatnya, benarkah Kyuhyun
kembali memintanya untuk menjadi sekretarisnya lagi? Pujaan hatinya kembali
merengkuh pundaknya.

Derap sepatu seseorang terdengar nyaring, semakin mendekat ke arah Sera. Wanita itu
mengangkat dagunya, terpaku beberapa saat ketika mata mereka berhasil bertemu.
Wanita itu butuh oksigen segera. Oh tidak, oksigennya terukir indah di depan
wajahnya. Berdiri sambil membenarkan dasi silvernya yang sedikit berubah posisi.
Rambut hitam pekat berantakannya, rahang tegasnya, dan wajah datarnya. Sera dapat
melihatnya dengan jelas. Meski pria itu tak tersenyum, tak apa. Menyuruhnya untuk
kembali ke kantor, itu hal yang lebih dari cukup. Bahkan sangat cukup.

Oksigen di dalam ruangan ini seketika seakan menghilang, terganti dengan sosok
yang begitu ia rindukan setengah mati. Jas biru dongker senada dengan celana
lengkap dan sepatu coklat mengkilap yang wanita itu tahu dibeli di Swiss setahun
yang lalu saat mereka melakukan perjalanan dinas ke negara di Benua Eropa tersebut
memberikan kesan yang luar biasa. Aroma maskulin yang dapat dicium meski jarak
mereka cukup jauh. Cho Kyuhyun, pangeran hatinya.

"Aku senang kau kembali, bekerjalah dengan baik, kuharap kau bisa lebih
profesional!" aura datar yang di tampilkan Kyuhyun membuat Sera menunduk
menatap tumpukan map di meja kerjanya. Menatap bolpoint merah yang tadi tengah
ia pakai, ia ingin mendengarkan suara Kyuhyun dalam diam. Ia sungguh merindukan
suara berat ini.

"Sungguh, aku sangat merindukanmu" batin Sera sedikit tersenyum.

Seperti biasa, Sera adalah sekretaris yang sangat cakap. Ia mampu bekerja dengan rapi
dan cepat. Mengatur semua jadwal pertemuan dan rapat Kyuhyun setiap harinya. Jadi
maklum saja ketika Sera memutuskan untuk mengundurkan diri, Kyuhyun kewalahan
mengatur jadwal hariannya. Tak ada cara lain, ia memang membutuhkan sosok Sera
di sisinya, sebagai seorang sekretaris handal.

Kyuhyun bukanlah tipikal atasan yang akan dengan mudah menyerahkan suatu tugas
kepada bawahannya. Ia termasuk atasan yang sangat memperhitungkan kecakapan
pegawainya. Hanya Sera sekretaris terlama yang pernah bekerja dengannya.
Sekretaris sebelumnya, mungkin hanya bisa bekerja tak lebih dari satu bulan saja.

"Tadi aku mendapat telepon dari Mr. Yuka bahwa minggu depan Cho Sajangnim harus
melakukan perjalanan dinas ke Jepang untuk membicarakan masalah kontrak
kerjasama pembangunan mall di daerah Osaka. Aku akan mengurus semua berkas
yang dibutuhkan." jelas Sera setelah selesai mengetik sebuah file penting di
laptopnya. Ia lalu menyodorkan map merah pada Kyuhyun.

"Nanti kau temani aku makan siang, kau tunggu aku di cafe depan perusahaan."
Kyuhyun mengatakannya pelan dengan tangan yang sibuk membalikan kertas di
dalam map merah itu.

Mata Kim Sera mengerjap cepat, ia lalu membungkukkan tubuhnya dan berjalan ke
luar ruangan. Mencoba menetralkan nafasnya yang terasa tercekat.

****

SEOUL HOSPITAL

Setelah melakukan pendaftaran di tempat administrasi pasien, Han Si Woo duduk di


kursi besi sebelah Ha Ri. Banyak sekali pasien yang sepertinya akan berobat,
sehingga mereka harus menunggu sampai nama Ha Ri dipanggil oleh petugas rumah
sakit.

"Jangan takut, aku akan menemanimu di dalam." tandas Si Woo pelan, sejak tadi pria
itu memang memperhatikan Ha Ri dari samping. Jari telunjuk gadis di sampingnya ini
terus beradu seperti orang yang terlihat khawatir dan ketakutan.

Menoleh cepat, Ha Ri hanya tersenyum kecil ketika menatap wajah Si Woo. Lalu
kembali menatap pintu ruangan dokter takut-takut.

"Pasien nomor 35, atas nama Nona Min Ha Ri" sebuah suara tiba-tiba saja menyahut
ketika seorang wanita muda berpakaian serba putih keluar dari ruangan yang tadi
tengah Ha Ri tatap. Han Si Woo langsung berdiri dan menarik tangan Ha Ri untuk
masuk ke dalam. Gadis itu sengaja menahan kakinya ketika berdiri tepat di depan
ruangan bertuliskan "Physicology Room".

"Kita pulang saja, aku takut. Tubuhku baik-baik saja." bohong Ha Ri dengan tatapan
memohon, melihat itu Si Woo malah tersenyum kecil. Ia justru langsung menarik
tangan Ha Ri untuk masuk ke dalam ruangan yang benar-benar Ha Ri benci.

Di atas bangsal empuk dan mewah ruangan periksa pasien psikologi, Ha Ri berbaring
menggertak-gertakkan gigi atas dan bawahnya. Menatap langit-langit ruangan serba
putih itu dengan hati menohok. Ia masih bisa mendengar perbincangan Si Woo dan
dokter psikologi meski tertutup oleh gordyn hijau toska yang menutupi seluruh
bangsal yang tengah ia tiduri.

"Kurasa Nona Ha Ri sudah makin membaik, aku akan memberikannya vitamin dan
obat penenang. Tapi ingat, jangan terlalu sering mengkonsumsi obat penenang. Obat
ini hanya boleh ia minum ketika phobianya tiba-tiba saja muncul. Dan masalah
keluhan mual yang Nona Ha Ri derita, kupikir itu bukan dampak phobianya. Namun
untuk memastikan lebih lanjut, tuan bisa mengeceknya di bagian pemeriksaan umum
rumah sakit. Disana Nona Ha Ri akan melakukan pemeriksaan darah atau urin untuk
mengetahui lebih pasti keluhan yang diderita Nona Ha Ri, jadi tuan da"

"Han Si Woo-sshi, aku ingin segera pulang." rengek Ha Ri tiba-tiba yang membuat
dokter menghentikan ucapannya. Kepala gadis itu menyembul diantara gordyn hijau
toska, sedikit memanyunkan bibirnya kecut. Kepala dokter dan Si Woo pun menoleh
bersamaan, menatap wajah kecut kesal ketakutan Min Ha Ri. Dokter itu hanya
tersenyum tipis, lalu segera memasukkan obat ke dalam kantung kecil dan
memasrahkannya pada Han Si Woo.

"Kau yakin ingin segera pulang? kita harus memeriksa keluhan mualmu, bukankah
tadi pagi sangat parah?" yakin Si Woo di ujung koridor rumah sakit, pria itu
menghentikan langkah Ha Ri. Memastikannya sekali lagi.

"Ini hanya mual biasa, tidak akan lama lagi juga hilang. Ayo cepat, aku ingin segera
keluar dari rumah sakit ini!" teriak gadis itu setengah kesal, ia lalu berjalan masuk ke
dalam lift bawah tanah menuju parkiran.

Berjalan cepat, Ha Ri langsung masuk ke dalam mobil mewah Han Si Woo.


Memasang seat belt cepat. Han Si Woo hanya melirik wajah khawatir gadis di
sampingnya itu dalam diam, melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang
meninggalkan rumah sakit.

"Aku takut rumah sakit, aku benci rumah sakit." cercah gadis itu pelan, Si Woo
menoleh cepat, sedikit menganggukkan kepalanya. Pantas saja gadis itu sejak tadi
menampilkan ekspresi ketakutan dan was-was, ternyata itu penyebabnya.

"Jika aku boleh tahu, semalam kenapa kau sampai terduduk lemas menyedihkan
seperti itu? apa kau phobia sesuatu?" mencoba bertanya pelan dengan nada lembut,
pria berambut coklat berantakan itu sedikit menurunkan kecepatan mobilnya.

Menelan salivanya susah payah, Ha Ri menatap jalanan Seoul dalam diam. Apakah ia
harus menceritakannya pada Si Woo? Apakah pria di sampingnya ini orang baik atau
justru sebaliknya? Melihat gerak geriknya yang mencurigakan membuat gadis itu
terkadang ragu. Namun jika dilihat lebih dalam, Han Si Woo juga begitu baik
padanya.

"Tidak usah bercerita jika itu membuatmu tertekan."

"Aku phobia pesta ulang tahun, ibuku tewas ditembak saat acara ulang tahunku yang
ke-16. Sejak saat itu, aku selalu ketakutan dengan pesta ulang tahun. Ak-ak-... hikss.."
menceritakannya sambil menahan tangis, Ha Ri mengusap air matanya cepat, namun
air mata itu semakin jatuh dari kedua matanya.

Dengan sigap, Si Woo langsung memutar stir, memarkirkan mobilnya ke sisi jalan.
Merogoh sapu tangan di kantung celananya, lalu menyodorkannya pada Ha Ri.

"Maaf aku membuatmu sedih, jangan takut, semuanya akan baik-baik saja."

****

Kyuhyun berjalan sembari menatap jam tangan di tangan sebelah kirinya. Melangkah
cepat masuk ke dalam sebuah restoran mewah tepat di depan perusahaan SG
Kingdom. Menelisik segala penjuru arah. Matanya jatuh kepada seseorang yang
melambaikan tangan di pojok tempat duduk restoran.

Suasana makan siang yang cukup kondusif, Sera sudah memesan makanan kesukaan
Kyuhyun beberapa saat sebelum Kyuhyun sampai di restoran. Pria berkulit putih susu
itu tidak suka sayuran, sehingga Sera pun tak memesan makanan berbahan dasar
sayuran untuknya. Selera makannya pasti akan langsung buruk jika Sera memesan
makan berbahan dasar sayuran.

"Kupikir ada beberapa berkas yang kurang, surat kontrak kerja sama dengan
perusahaan Mr. Yuka tak ada di ruangan kerjamu Sajangnim, apa mungkin Han Si
Woo yang membereskannya?" disela makannya Sera masih saja sempat membahas
masalah pekerjaan, membuat Kyuhyun harus segera menelan makanan yang tengah ia
kunyah.

"Kau bisa mengambilnya di rumahku, mungkin Si Woo menyimpannya di lemari


arsip ruangan kerjaku. Sore ini aku harus bertemu dengan Tuan Ha, jadi kau urus
semua berkas penting yang ku butuhkan, kupercayakan semuanya padamu." Sera
hanya mengangguk mengiyakan, meneruskan kembali makannya.

GEUN CAFETARIA

Si Woo memesan minuman hangat dan beberapa makanan manis untuk Ha Ri.
Mencoba menenangkan perasaan Ha Ri yang kacau. Sembari menunggu Ha Ri
menikmati menu yang ia pesan, Si Woo mengeluarkan tab dari saku dalam jas nya.
Memeriksa beberapa pekerjaan yang bisa ia monitori melalui smartphone miliknya.
Jaman yang semakin canggih membuat ia bisa menghandle pekerjaan meski tak
berada di kantor.

Menatap wajah Si Woo lamat-lamat, Ha Ri membuka mulutnya namun menutupnya


lagi, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi ragu. Susah payah bergulat dengan
hatinya, gadis itu akhirnya mengeluarkan suara.
"Terimakasih karena semalam kau menolongku, mungkin aku akan mati konyol jika
kau tidak segera menolongku, maaf merepotkan." ucapan tulus Ha Ri membuat Si
Woo tersenyum tipis menatap wajah gadis itu.

"Bolehkah aku menanyakan sesuatu?" tanya Ha Ri pelan pada Si Woo.

"Silahkan." Si Woo mempersilahkan, sedikit menatap wajah Ha Ri dengan sedikit


senyuman.

"Apa kau mengenal pria paruh baya yang duduk di kursi roda yang berada di lantai
4?"

Sentuhan bibir cangkir kopi yang tengah Si Woo tempelkan di kedua bibirnya
seketika terhenti. Ia langsung membereskan tab nya, memasukkan-nya ke dalam saku
jas. Menghabiskan secangkir kopi pesanannya dalam satu tegukan.

"Aku akan segera mengantarkanmu pulang, masih banyak pekerjaan kantor yang
harus ku tangani!" tegas Si Woo bangkit dari tempat duduknya.

"Siapa pria itu? apa aku harus menanyakannya secara langsung kepada Kyuhyun?"
kata-kata Ha Ri membuat Si Woo langsung menoleh. Menghentikan langkah
cepatnya.

"Jangan tanyakan apapun padanya, jangan libatkan dirimu lebih dalam Min Ha Ri!
Kenapa kau begitu keras kepala!" teriak pria itu agak kesal. Gadis di depannya ini
memang begitu sulit di prediksi.

"Aku hanya iba padanya, bagaimana mungkin ia hanya duduk di kursi roda sepanjang
hari. Tanpa sentuhan pengobatan dari seorang dokter, pria paruh baya itu juga butuh
hiburan dan perhatian. Terduduk di kursi roda sepanjang hari, kau pikir dia nyaman?
Begitu? Hatiku teriris setiap kali aku melihat kondisinya. Bahkan Bibi Byul harus
susah payah memaksanya untuk makan dan minum obat. Dia tidak akan sembuh Si
Woo! Berapun obat yang ia konsumsi, ia tidak akan pernah sembuh. Pria itu butuh
hiburan! Bagaimana pun, aku akan membicarakannya pada Kyuhyun!" cercah Ha Ri
tak kalah tegasnya, berjalan melewati tubuh Si Woo yang berdiri mematung.

"Pria itu Cho Yeung Hwan, ayah kandung Kyuhyun." Ha Ri menghentikan


langkahnya, menyentuh ujung jaket wol nya.

"Jika kau ingin terus berada di sisinya, jangan pernah mengatakan apapun pada
Kyunyun. Jika kau sampai mengatakan masalah Tuan Cho pada Kyuhyun, bukan
hanya Tuan Cho yang terancam, kau dan Bibi Byul pun mungkin akan terancam."
meski menjawab dengan nada ragu, tapi nada itu sukses membuat Ha Ri tercengang.
Sebetulnya apa yang terjadi?

Di dalam perjalanan, suasana canggung kembali menyelimuti mereka berdua.

"Aku senang ketika mendengar kabar dari Bibi Byul bahwa kau begitu perhatian pada
Tuan Cho, kuharap kau bisa menjaganya dengan baik. Ia sudah seperti itu sekitar 2
tahun, dulu ia sering mengamuk dan menangis tiba-tiba sehingga Kyuhyun
mengurungnya di sebuah ruangan di lantai 4. Barulah setelah itu, Tuan Cho jarang
mengamuk. Justru ia lebih sering diam dan melamun."

"Lalu kenapa Kyuhyun tak mempekerjakan seorang suster yang dapat merawatnya
dengan baik? Kenapa ia malah memerintahkan Bibi Byul untuk merawat Tuan Cho?"

"Kyuhyun tak mengizinkan siapapun untuk masuk ke dalam ruangan itu kecuali aku,
dan Bibi Byul. Kuharap kau mengerti dan tak mengatakan apapun pada Kyuhyun jika
kau memang ingin semuanya baik-baik saja."

Ucapan terakhir yang di lontarkan Si Woo terpaksa harus ditelan gadis itu susah
payah. Lagi, lagi dan lagi, kenapa ia seakan tak diizinkan untuk mengetahui apapun?
Rasa penasaran dan keingin tahuannya selalu disiram sebelum mengembara.
Mulutnya selalu dinasibkan untuk terkunci rapat. Hal yang sangat Ha Ri benci.

Langkah pertamanya ketika memasuki rumah besar Kyuhyun seperti menciptakan


percikan aneh di hatinya, sama dengan langkahnya kali ini. Si Woo kembali bekerja
ke kantor setelah mengantarkan Ha Ri sampai di depan pintu gerbang. Membiarkan
Ha Ri berjalan dari pintu gerbang menuju pintu masuk rumah berlantai empat ini.
Seorang dari mereka berlari memberikan payung pada Ha Ri karena salju turun cukup
lebat. Masih sama dengan biasanya, para bodyguard bertubuh besar sudah berjaga di
depan, memonitori setiap gerak-gerik penghuni rumah ini terutama Ha Ri.

Menekan tombol lift, Ha Ri langsung masuk ketika lift terbuka lebar. Kakinya
menjalar keluar dari lift, masuk ke dalam kamar pribadinya bersama Kyuhyun. Ia
langsung membersihkan tubuh kotornya, berendam air hangat di bathub. Udara dingin
menusuk seperti ini memang sangat cocok untuk berendam air hangat. Salju masih
turun dengan intensitas cukup tinggi, dan sepertinya akan berakhir sekitar 1,5 bulan
lagi.

SG KINGDOM OFFICE

Seorang pegawai wanita baru saja keluar dari ruangan Kyuhyun. Ia meminta ijin
untuk cuti beberapa hari karena ia terus saja mual, bahkan saat pagi tadi
mengantarkan barang pesanan Kyuhyun pun, pegawai itu sempat menahan muntahnya
di depan wajah Kyuhyun.

Pria itu sedikit termenung, memainkan bolpoint mahal di tangan kanannya.


Pegawainya itu mengingatkannya pada kejadian pagi tadi ketika Ha Ri tiba-tiba saja
mual. Ini cukup mengganggu pikiran Kyuhyun. Ditatap ponsel canggih miliknya,
memfokuskan irisnya untuk tak bergeming pada benda apapun.

Ceklek.

Suara pintu terbuka mengangetkan lamunan Kyuhyun. Ia langsung mematikan layar


ponselnya yang tadi masih hidup, memasukkannya ke dalam laci. Si Woo melepas
jasnya, menggantungkan jas mahal itu ke sebuah gantungan coklat tak jauh dari
tempat duduk Kyuhyun. Ia langsung mengambil sekaleng minuman hangat dari
tempat kecil yang berbentuk seperti kulkas namun dikhususkan untuk menyimpan
minuman hangat yang disimpan pojok ruangan. Meneguknya dalam satu kali tegukan.

"Istrimu baik-baik saja, dokter sudah memberikannya obat penenang dan vitamin."
rancau Si Woo dengan posisi berdiri, tangan kanannya menggenggam gelas minuman
hangat. Kyuhyun hanya tersenyum tipis, kembali memeriksa berkas-berkas. Seolah-
olah acuh pada penjelasan yang dilontarkan Si Woo.

"Kau menghawatirkannya Kyu, kau tidak bisa membohongiku dengan berlagak tak
peduli pada gadis itu. Kau yakin akan baik-baik saja? Kau harus bertanya pada
hatimu, apa yang kau rasakan pada gadis itu. Semakin kau terlibat dengannya, kupikir
hatimu juga akan terlibat." Kyuhyun tertegun mendengar semua rancauan orang
kepercayaannya.

"Dapat kupastikan bahwa itu tidak akan pernah terjadi. Tidak akan pernah." yakin
Kyuhyun. Han Si Woo hanya menggeleng, melemparkan remukan gelas minumannya
ke dalam tong sampah.

"Apa kau yang memberitahu staf dan manager perusahaan bahwa aku melangsungkan
pernikahan?" Si Woo menatap Kyuhyun intens, mengerutkan keningnya bingung.

"Tidak, aku tidak mengatakan apapun. Apa ada masalah?"

"Kurasa ada seseorang yang mencoba menikam dan menghancurkanku dari


belakang." nada Kyuhyun nyaris naik pitam, ia meremukkan kertas putih yang entah
isinya apa.
****

Tubuh Ha Ri terasa lebih menyegarkan setelah berendam di dalam air hangat,


meneteskan parfum green tea kesukaannya yang mampu merelaksasikan pikiran
lelahnya. Merias wajahnya dengan makeup tipis seadanya, gadis bermarga Min itu
memang tak begitu menyukai makeup. Ia lebih suka tampil polos tanpa riasan, malah
terkadang ia hanya menggelung rambutnya. Tapi sekarang kan keadaannya sudah
berbeda, sebagai seorang istri dari CEO SG Kingdom ia harus sedikit peduli tentang
penampilannya.

TOK TOK

Ketukan pintu memecah keheningan di dalam kamar Ha Ri, ia merapikan rambutnya


cepat, lalu segera membuka pintu.

"Ada seseorang yang menunggu anda Nona, ia menunggu di ruang tamu."

Melangkah gontai turun ke lantai bawah, Ha Ri berjalan lamat-lamat. Pikirannya


berkecamuk tak henti, siapa orang yang akan menemuinya? Atau mungkin...... Kim
Nana. Hati Ha Ri mungkin akan langsung melonjak jika yang datang itu benar Nana.
Hampir satu bulan tidak bertemu Nana dan sekarang ia sangat rindu sekali. Kesulitan
menenggelamkan rindu berat ini lebih lama lagi.

Kepala gadis itu sesekali condong ke samping, ingin memastikan siapa orang yang
ingin menemuinya. Namun sepertinya orang itu duduk di tempat yang sulit Ha Ri
jangkau oleh penglihatannya. Atek-atek Kyuhyun yang berjaga di beberapa sudut
justru mengagetkan jantung Ha Ri.

"Rasanya aku seperti tinggal di dalam blue house saja." batin gadis itu sembari terus
melangkah. Mengembangkan senyuman cerah karena mungkin sahabatnya
mengunjungi dirinya. Senyuman cerah itu seketika menghilang saat Ha Ri menangkap
sosok asing yang tak ia kenal. Seorang wanita cantik, oh tidak. Bahkan sangat cantik,
mengenakan stelan blazer seperti pakaian yang biasa dikenakan oleh wanita-wanita
karir yang bekerja di kantoran. Tubuh tinggi proposionalnya bahkan memberikan
kesan elegan yang begitu kentara ketika wanita itu berdiri lalu menundukan kepalanya
90.

"Annyeonghaseyo Min Ha Ri-sshi." sapanya kemudian. Masih dengan ekpresi


kebingungan, Ha Ri membalas sapaan itu dengan kikuk, agak sedikit tersenyum
bingung.
"Nona, lama tidak bertemu." kicauan tiba-tiba Bibi Byul yang mengantarkan
minuman membuat Ha Ri semakin kebingungan. Bibi Byul langsung berlari memeluk
wanita itu erat, menyunggingkan senyuman kehangatan seperti orang yang sudah
lama tidak bertemu. Wanita itu juga sama, memeluk tubuh Bibi Byul yang mulai
keriput, mengusap punggung pelayan senior Kyuhyun itu lembut.

"Bibi permisi ke belakang, masih banyak pekerjaan di dapur." ijin Bibi Byul dengan
membawa nampan coklat di tangannya.

"Perkenalkan aku Kim Sera, sekretaris Kyuhyun."

Ruangan kerja Kyuhyun cukup besar, dengan dominasi warna coklat karamel yang
memberikan kesan maskulin khas seorang pria. Ha Ri hanya duduk di sofa sambil
memperhatikan Kim Sera yang tengah mengambil beberapa berkas dari lemari kerja
Kyunyun. Tangan cekatannya, Ha Ri dapat melihatnya dengan jelas meski dari jauh,
ia rasa Kyuhyun memilih seorang sekretaris yang sangat pintar dan cekatan. Kim Sera
juga merapikan ruangan kerja Kyuhyun, menaruh beberapa buku tebal ke tempat
masing-masing. Wanita itu seperti sudah mengenal semua tentang Kyuhyun, bahkan
sampai hal terkecil sekalipun seperti letak barang-barang Kyuhyun.

"Sepertinya... kau begitu mengenal Kyuhyun, sejak kapan kau menjadi sekretaris
Kyuhyun?" pertanyaan pertama Ha Ri, wanita itu sedikit tersenyum tipis. Tangannya
beradu satu sama lain, saling bergesekan untuk menciptakan kehangatan. Di luar, salju
turun begitu lebat, terlihat dari kaca jendela besar yang bertengger angkuh di sebelah
utara dan barat ruangan.

"Kami berteman sejak SMA, dan aku baru menjadi sekretarisnya 5 tahun terakhir.
Kami dekat, bahkan sangat dekat." Kim Sera menekankan kata-kata 'sangat dekat' di
akhir ucapannya.

"Kau, sejak kapan kau dekat dengan Kyuhyun? Apa kalian teman kecil? Kyuhyun tak
pernah mengatakan bahwa ia mempunyai kekasih, aku jadi sedikit terkejut ketika
mendengar bahwa ia akan melangsungkan pernikahan." nada suara Sera agak sedikit
mengejek merendahkan.

"Ayahku menjodohkan kami, dan kami belum pernah dekat sebelumnya." mata Sera
membulat sempurna mendengar penuturan Ha Ri, dugaannya benar. Kyuhyun
menikah dengan gadis yang bahkan tidak ia kenal dan tidak ia cintai. Pantas akhir-
akhir ini, sikap Kyuhyun aneh, ia seperti tertekan. Meski Kyuhyun tak mengatakan
apapun, tapi Sera dapat merasakannya.

"Apa kau menaruh hati padanya?" Ha Ri tertunduk tak menjawab pertanyaan Sera,
membungkam mulutnya dan tak mengatakan apapun.
"Kuharap kau tak menaruh hati padanya, kulihat Kyuhyun tak menginginkan
perjodohan ini. Ia mungkin menerimanya dengan terpaksa. Kau juga pasti mengerti,
perasaan yang di paksakan itu tidak akan pernah berjalan dengan mulus." berbicara
dengan nada pelan dan hati-hati, Sera sukses memasang wajah bak malaikat untuk
Kyuhyun di depan Ha Ri.

"Kyuhyun bukan tipikal orang yang mudah dekat dengan orang lain. Ia termasuk
orang yang tertutup dan tak menyukai dunia luar, jika ia tak menyukai seseorang, ia
pasti akan acuh. Kyuhyun tidak suka makan sayur, selera makannya pasti akan
langsung buruk jika ia tak sengaja makan sayur. Ia juga harus minum vitamin setiap
harinya, dia"

"CUKUP! Aku yang sekarang menjadi istri Cho Kyuhyun. Aku sangat berterimakasih
padamu karena kau begitu perhatian pada suamiku. Tapi kau jangan khawatir, aku
akan menjaganya sebisaku. Dan masalah kebahagiaan Kyuhyun, kau tidak punya hak
untuk itu, sekarang aku yang mempunyai hak akan Kyuhyun. Dan lagi, aku akan
selalu berada di samping Kyuhyun sampai kapanpun. Aku takkan melepaskannya.
Aku akan menyerah jika dia yang melepaskanku. Jadi, jika kau sudah selesai
mengambil berkas penting, silahkan keluar dari rumahku!" dengan sisa tenaganya, Ha
Ri mengatakan itu sambil menahan tangis. Matanya berair menahan sesak di dadanya,
walau bagaimanapun, ia tak ingin harga dirinya diinjak-injak oleh orang asing.
Dengan senang hati, Ha Ri membukakan pintu untuk Sera. Memerintahkan wanita
angkuh itu untuk keluar dari ruangan ini.

Sera melangkah mantap, mengambil berkas dan map nya dengan kasar. Matanya juga
berair menahan tangis.

"Aku akan mengambil hak-ku, Kyuhyun akan menjadi milikku. Milik Kim Sera. Bukan
Min Ha Ri si gadis tak jelas asal-usulnya. Akan kubuat Kyuhyun melepaskanmu.
Camkan itu!" batin Sera sebelum keluar dari ruangan itu, menatap wajah Ha Ri untuk
terakhir kali.

Gadis itu menekan dadanya kuat-kuat setelah menutup pintu. Ia menutup mulut agar
tangisannya tak terdengar, tubuhnya merosot lemah. Menangis tersedu menahan rasa
sakit di dadanya. Oksigen di ruangan ini seperti semakin berkurang, terduduk lemah
menangis di bawah pintu ruang kerja Kyuhyun.

_oo_
#To Be Continued....

Kan ada beberapa komentar yang bilang "kependekan thor, kurang panjang thor." Aku
usahain untuk buat part dengan cerita panjang. Berarti aku boleh dong minta komenan
"panjang" dari kalian? engga cuman "next thor, lanjutt thor, bagus thor"

Buat yang req kalo Kyuhyun itu dipanggil dengan sebutan "Kyu" sudah aku kabulkan
ya. Bagi yang ingin protes, bisa menghubungiku lewat twitter (@mikumiku_98)

See U Next Time :D

Anda mungkin juga menyukai