Anda di halaman 1dari 143

My Liar Girl [Chapter 1]

Author : Ariana Nana

Cast : – Kim Ara

– Lee Yian

– Han Jihyun

– Oh Sehun

– Park Hana

– Kim Jong In

Genre : Romance, schoollife

Lenght : Chapter

Disclaimer : FF ini asli buatanku. Terinspirasi dari khayalan gilaku yang sudah mencapai
tingkat tertinggi dan teraneh sepanjang hidupku. Ff ini juga pernah di post di blog pribadiku
ffsekaiexo88.wordpress.com . Jika ada kesamaan tokoh dan ide, ketahuilah bahwa itu

hanyalah kebetulan belaka. Don’t bash and please RCL

***

“Jika aku mengatakan aku membencimu itu adalah sebuah kebohongan besar. Tapi jika aku
mengatakan bahwa aku mencintaimu.. aku bersungguh-sungguh tentang hal itu..”

— HAPPY READING —

“Tolong keluarkan aku dari sini.. tolong aku…”

Suara rintihan terdengar dari sebuah ruangan gelap di ujung koridor sebuah sekolah
menengah atas di Seoul. Suara itu berasal dari seorang gadis yang mencoba untuk membuka
pintu yang terkunci di depannya. Gadis itu terus mencoba walaupun kecil kemungkinan dapat
membuka daun pintu yang terkunci rapat itu. Seragam yang digunakan gadis itu robek dan
kotor. Penampilan gadis itu benar-benar berantakan dan sangat menyedihkan. Rambutnya
berantakan dan terdapat bercak darah di sudut bibirnya.

Gadis itu menggedor-gedor pintu lebih keras lagi, berhaap akan ada seorang malaikat yang
mau menlongnya. Di lihatnya jam yang bertengger manis di pergelangan tangan kirinya yang
menunjukkan pukul sembilan lewat sepuluh. Gadis itu ketakutan. Hari sudah mulai malam
dan ia terkunci sendirian di dalam ruangan yang gelap ini.

Tiba-tiba gadis itu menghentikan aksinya menggedor-gedor pintu saat ia mendengar langkah
kaki yang semakin mendekat ke arahnya. Gadis itu melangkah mundur menjauhi pintu,
mencoba untuk waspada. Ia mengambil bongkahan kayu yang berasal dari kursi yang rusak
dan memegangnya dengan kencang sambil bersiap-siap memukul siapa saja yang akan
melukainya. Detik berikutnya terdengar suara pintu yang terbuka dan gadis itu terkejut saat
menemukan seorang lelaki berdiri di belakang pintu itu.

“K-kau…”

“Apa kau tidak apa-apa?” tanya lelaki itu sembari berjalan mendekat. Gadis itu hanya diam di
tempatnya. Bibirnya terlalu kelu untuk mengucapnya sepatah kata yang ingin ia ucapkan.

Gadis itu bahkan masih saja diam saat lelaki itu memeriksa setiap inci tubuhnya. Memastikan
bahwa tidak ada luka serius yang dialami gadis itu. Gadis itu hanya memperhatikan lelaki
yang tidak dikenalnya sama sekali itu. Dari sorot matanya, gadis itu bisa melihat bahwa lelaki
itu cukup khawatir dengan keadaannya. Tapi, siapa lelaki itu? Gadis itu benar-benar tidak
mengenalnya.

“Kenapa kau hanya diam? Aku mencarimu kemana-mana tadi.”

Kini lelaki itu memeluk gadis itu dengan erat. Gadis itu hanya diam dalam dekapan lelaki itu.
Pikiranya masih memproses, mencari tahu siapa sebenarnya lelaki yang menolongnya ini? Ia
seperti tidak asing namun sama sekali tidak mengenalnya. Tak ada satu namapun yang
muncul di otaknya. Gadis itu mendongakkan kepalanya, menatap lelaki yang lebih tinggi
lima belas senti senti darinya itu.

“Siapa kau?”

Mendengar pertanyaan yang diajukan gadis itu, lelaki itu melepaskan pelukannya. Ia menatap
gadis itu lekat-lekat. Jarak diantara keduanya sangat dekat. Lelaki itu menatap mata coklat
milik gadis itu dalam-dalam. Ia memegang bahu gadis itu lalu tersenyum lembut.

“Kau benar-benar tidak tahu siapa aku? Kau tidak mengingatku?”

Kembali gadis itu hanya diam. Ia menggeleng lemah menandakan bahwa ia tidak mengenal
lelaki itu sama sekali. Melihat respon dari gadis itu, lelaki itu hanya tersenyum miring lalu
mendekatnya wajahnya.

“Tapi kau pasti akan mengingat yang ini..”

CHUUP~~

Lelaki itu tiba-tiba saja mencium gadis itu yang sontak membuat sang gadis membelalakkan
matanya saat merasakan sebuah material lembut nan basah yang menempel di bibirnya. Gadis
itu mencoba melepaskan pagutan bibir mereka saat lelaki itu mulai melumat bibirnya pelan.
Tak mau kegiatannya berakhir begitu saja, lelaki itu justru kembali menarik gadis itu ke
dalam dekapannya. Sebelah tangannya ia gunakan untuk memegang pinggang gadis itu dan
sebelahnya lagi ia gunakan untuk menarik tengkuk gadis itu agar semakin memperdalam
ciuman mereka.

Sang gadis merintih pelan saat lelaki itu mulai berani menggigit bibirnya. Bahkan kini tangan
lelaki itu yang tadinya berada di pinggangnya, mulai merangkak masuk ke kemeja putihnya
dan mengelus punggungnya yang polos. Gadis itu mulai kehilangan akal sehatnya. Ia bahkan
mulai membalas ciuman lelaki itu dan tangannya yang bebas ia gunakan untuk membuka
kancing kemeja lelaki satu persatu. Terus membukanya hingga tersisa satu kancing. Dan saat
ia berhasil membuka semua kancing kemeja itu, tiba-tiba saja…

BYURRR~~

“Aaarrggghhh~~~~”

Gadis itu tiba-tiba saja berteriak dan melompat bangun dari ranjangnya saat merasakan
sesuatu yang dingin mengguyur tubuhnya. Ia segera membuka matanya dan menemukan
Ibunya tengah berdiri di depannya, menatapnya dengan tajam dan sebelah tangannya
memegang sebuah ember kecil. Gadis itu langsung mengusap wajahnya yang basah dengan
kasar.

“Ibu!!!! Kenapa Ibu menyiramku dengan air lagi??!!!” kembali gadis itu berteriak sambil
mencak-mencak tak karuan karena kembali mendapati Ibunya menyiramnya dengan air
dingin untuk membangunkannya. Ini bukan pertama atau kedua kalinya, tapi ini sudah terjadi
sejak setahun yang lalu.

“Salahmu sendiri kenapa tidak bangun-bangun. Saat Ibu masih membangunkanmu dengan
manis, harusnya kau segera bangun. Lagipula, apa yang kau mimpikan barusan? Kau
memonyongkan bibirmu sambil mendesah tak karuan. Kau pasti bermimpi kotor kan??!!”

Gadis itu hanya bengong di tempatnya saat mendengar apa yang dikatakan Ibunya. Ia tak
berani menjawab ataupun berteriak lagi. Ia justru memegang birbinya. Jadi, tadi hanya mimpi?
Kenapa rasanya sangat nyata?

“Ayo cepat mandi dan antar Ibu ke pasar!” perintah Ibunya sambil meninggalkan putri
semata wayangnya yang masih terdiam di tempatnya berdiri.

“Kim Ara.. cepat mandi!!” perintah Ibu kembali karena gadis yang ternyata bernama Kim
Ara itu tak kunjung melakukan apa yang di perintahkan Ibunya. Terpaksa Ara menyeret
kakinya keluar kamar menuju kamar mandi yang tak jauh dari kamarnya.

“Huh.. aku tidak percaya aku bisa bermimpi hal-hal senista itu.” Gumamnya sambil
melangkah pergi.

***

Ara berjalan mengekori Ibunya sambil membawa kantong belanja yang penuh dengan
sayuran dan ikan-ikan yang baru dibeli Ibunya. Ia menghembuskan nafas berkali-kali karena
Ibunya sangat tidak peduli dengan keadaannya yang membawa banyak barang sedangkan
Ibunya hanya berjalan santai sambil membawa tas jinjingnya. Ara berhenti berjalan dan
berteriak kesal.

“Ibu, setidaknya bantu aku membawakan ini.” Katanya membuat Ibunya langsung berhenti
berjalan dan berbalik menatapnya.
“Hei, seharusnya siapa yang memerintah siapa? Kau kan sudah Ibu perintah untuk
membawakan semua barang belanjaan Ibu.” Jawab Ibunya santai sambil mengipasi dirinya
dengan kipas yang tadi di bawanya karena udara cukup panas.

“Tapi bukan berarti Ibu tak membawa apapun kan? Aku lelah membawa semua belanjaan ini,
Bu.” Keluh Ara.

“Nyonya Kim, apa yang terjadi disini?” tanya seorang wanita yang seumuran dengan Ibunya
Ara pada Ibu Ara. Mengetahui ada orang lain disekitar mereka, Ibu Ara langsung memasang
senyum manisnya.

“Tidak ada apa-apa. Hanya saja seseorang mulai mengabaikan perintahku.” Jawab Ibu Ara
sambil melirik pada Ara yang menatapnya kesal.

‘Apa-apaan ini? Apakah Ibu berniat menyindirku?’ batin Ara.

“Memangnya siapa? Owh ada Ara.. kau baik sekali nak mau membawakan semua barang
belanjaan Ibumu.” Kata wanita itu beralih menatap Ara, membuat Ara langsung
menyunggingkan senyum miring pada Ibunya.

“Ah tidak juga. Dia hanya akan membantuku saat dia mau. Selebihnya dia malah asyik
dengan dunianya sendiri.” Komentar Ibunya sambil tersenyum mengejek pada Ara.

“Kim Ara? apakah kau mengisi waktu liburanmu dengan membantu Ibumu di kedai? Waah..
kau sangat perhatian.” Kini seorang gadis yang seusia dengan Ara ikut bicara, padahal sedari
tadi ia hanya diam di belakang wanita itu.

“Owh, apakah ini Han Jihyun? Kau cantik sekali..” puji Ibu Ara sambil menatap Jihyun dari
atas hingga bawah membuat Ara mengerucutkan bibirnya sebal.

‘Ibu selalu saja seperti itu jika melihat ada gadis yang lebih cantik dariku.’ Batin Ara, lagi.

“Terimakasih, Bibi.” Kata Jihyun dengan manis membuat Ara ingin muntah.

“Andaikan aku memiliki putri sepertimu, yang cantik, baik dan pintar. Kau sangat beruntung,
Nyonya Han. Tidak seperti aku yang memiliki putri seperti itu.” Kata Ibu Ara sambil melirik
Ara dengan dengan ekor matanya. Ara semakin kesal saja apalagi ia sempat melihat Jihyun
yang tertawa mencibir padanya.

“Tidak juga, Nyonya Kim. Putrimu juga cantik, dia juga penuh perhatian pada Ibunya.” Kata
Nyonya Han pada Ibu Ara.

“Ibu, ayo kita pulang. Cuaca jadi semakin panas.” Kata Ara pada Ibunya, namun Ibunya
masih saja asyik mengobrol hal-hal yang tidak penting dengan Ibunya Jihyun.

“Ibu….” panggil Ara.

Karena kesal Ibunya tak mempedulikan, dan juga karena Ibunya merendahkannya di depan
teman sekelasnya itu, Ara memilih pergi dari sana. Ia juga meninggalkan barang belanjaan
yang tadi dibawanya di pinggir jalan. Ia lalu berjalan dengan cepat di jalan setapak yang kecil
menuju rumahnya yang letaknya sudah tak jauh lagi.

“Ibu benar-benar keterlaluan. Hanya karena aku tidak secantik dirinya bukan berarti dia harus
mengejekku di depan mereka. Andai saja Ibu tidak menikah dengan ayah, pasti aku juga tidak
akan sejelek ini.” Rutuk Ara dalam hatinya sambil terus berjalan. Cuaca semakin panas
membuat Ara semakin mempercepat laju jalannya. Apalagi desanya terletak di pinggir laut,
membuat cuaca yang panas menjadi semakin panas.

“Hei, Kim Ara.” panggil seseorang sambil menghampiri Ara yang masih saja terus berjalan.
“Ara.. apa kau mendengarku?” panggilnya lagi sambil menghentikan sepedanya di depan Ara.

Ara langsung berhenti saat sebuah sepeda berhenti di depannya. Ia menatap pemiliknya
dengan kesal sambil berkacak pinggang. “Hei, kau tidak bisa naik sepeda dengan benar ya?”
tanya Ara dengan kesal.

“Salahmu sendiri daritadi aku panggil tapi kau tak mendengarku. Kau sedang melamun ya?”
kata orang itu dengan wajah penasarannya.

“Yian oppa, aku sedang tidak ingin bercanda denganmu.” Kata Ara dengan nada ketus pada
orang yang bernama Yian itu, tepatnya Lee Yian.

“Hei.. hei.. jangan marah-marah seperti itu, nanti kau semakin jelek saja.” Ejek Yian sambil
terus berjalan disamping Ara dengan menuntun sepedanya.

“Tidak marahpun aku juga sudah jelek, oppa.” Ralat Ara tanpa menoleh pada Yian, hal itu
membuat Yian merasa bersalah.

“Kata siapa kau jelek? Kau cukup cantik jika kau mau merawat dirimu dengan baik. Dan satu
lagi, jangan mudah marah. Seorang gadis akan terlihat jelek jika sedang marah-marah.” Kata
Yian mencoba menasehati Ara.

“LEE YIAN!!!! Jika tak ada hal berguna yang ingin kau katakan, sebaiknya kau pergi saja.”
Teriak Ara kesal pada Yian, membuat Yian langsung menutup telinganya karena mendengar
suara cempreng Ara.

“Yaak!!! Kim Ara, bisakah kau tidak berteriak? Kau justru akan membuat telingaku tuli.”
Kata Yian kesal. “Kau ini, beginikah kau bersikap pada orang yang sudah bersahabat padamu
selama sepuluh tahun? Temperamenmu benar-benar buruk.” Sambungnya sambil
mengerucutkan bibirnya.

“Hei, melihatmu seperti itu membuatku ingin langsung menciummu, oppa.” Celetuk Ara
karena melihat Yian yang mengerucutkan bibirnya. Sontak saja Yian langsung menutup
bibirnya dengan telapak tangannya.

“Hahahaha….” Ara tertawa keras melihat sikap Yian yang seperti itu. “Aku hanya bercanda,
Oppa. Baiklah, apa yang ingin kau katakan padaku?” tanyanya pada Yian. Kini mereka sudah
duduk di bangku panjang yang ada di taman.
“Kau tahu kan jika kita sudah sepuluh tahun bersahabat?” tanya Yian yang dijawab anggukan
kepala oleh Ara. “Kau juga tahu kan jika selama ini tak ada rahasia apapun diantara kita?”
kembali Ara mengangguk. “Itulah mengapa aku berniat mengatakan hal ini padamu.”

“Apa?” tanya Ara penasaran.

“Kim Ara, sebenarnya aku menyukai seseorang. Dan itu sudah berlangsung sejak lama.”

“A-APA?????” Ara langsung terlonjak kaget mendengar pengakuan Yian. Ia bahkan


mencubit pipinya sendiri karena tak percaya jika Yian mau mengatakan hal itu padanya.

“Aku serius, Ara.” kata Yian karena melihat tingkah Ara.

“Siapa gadis yang beruntung itu? Apa aku mengenalnya?” tanya Ara antusias.

“Dia.. teman sekelas kita, dan tentu saja kau mengenalnya.”

‘Siapa ya gadis yang disukai Yian Oppa? Aku mengenalnya? Apakah itu aku? Aahh!!! Tentu
saja itu tidak mungkin.’ Batin Ara menduga-duga hal yang tidak-tidak.

“Hei, kau mendengarku?” tanya Yian karena Ara hanya terdiam sejak tadi.

“Apa? Owh, tentu saja aku mendengarkanmu, Oppa.” Jawab Ara cepat. “Daan.. apa kau
berniat untuk mengungkapkannya?”

“Tentu saja. Tapi, aku tidak yakin, Ara.”

“Beritahu aku siapa orangnya agar aku bisa membantumu.” Kata Ara.

“Kau pasti sudah mengenalnya. Dia sangat dekat denganku, selalu ada saat aku
membutuhkannya dan kami sudah mengenal sejak kecil.” Kata Yian memberikan clue pada
Ara.

‘Sudah mengenal, dekat dari kecil dan selalu ada… Apa jangan-jangan gadis yang disukai
Yian Oppa itu aku? Benarkah? Rasanya aku akan berteriak histeris sekarang jika memang
benar Yian Oppa juga memiliki perasaan yang sama denganku.’ Batin Ara, lagi.

“Kalau begitu, cepat nyatakan perasaanmu padanya.” Kata Ara. ‘Karena aku sudah
menunggunya sejak lama, Oppa.’, sambungnya dalam hati.

“Baiklah. Kau pasti akan tahu siapa dia saat aku sudah menyatakan perasaanku padanya.”
Kata Yian bersemangat, membuat Ara tersenyum senang.

‘Tentu saja. Aku berharap gadis beruntung yang kau sukai itu adalah aku, Oppa.’ Batinnya
menjawab.

“Terimakasih sahabat kecilku. Kau membuatku yakin jika dia juga memiliki perasaan yang
sama denganku. Aku beruntung memilikimu sebagai sahabatku, Ara.” kata Yian sambil
mengacak-acak rambut Ara yang hanya dibalas senyuman oleh Ara. Dalam hati ia juga
berharap jika gadis itu adalah dirinya.
***

Hari berganti menjadi malam. Matahari sudah kembali ke peraduannya dan digantikan oleh
sang dewi malam. Cuaca sangat cerah malam itu. Langit yang dihiasi cahaya bulan di temani
oleh kerlap-kerlip dari sinar bintang yang tersebar di seluruh cakrawala. Di sebuah kedai
kecil di tepian pantai, banyak orang yang berdatangan mengunjungi kedai yang cukup
terkenal tersebut.

Di dalam kedai yang ramai dengan pengunjung tersebut, Ara tengah melayani seorang
pelanggan. Ia menanyakan apa yang ingin di pesan oleh pelanggan itu, mencatatnya dan
kemudian mengantarkan pesanan itu. Kedai itu milik Ibu Ara dan sudah sejak kecil Ara
terbiasa membantu Ibunya. Apalagi setelah kepergian Ayahnya yang membuat Ibunya harus
bekerja lebih keras lagi.

Selesai melayani pelanggan terakhirnya, Ara mengusap titik-titik keringat yang menempel di
pelipisnya sembari duduk di salah satu kursi yang kosong. Nampan yang di pegangnya ia
gunakan sebagai kipas karena udara cukup panas malam ini, maklum saja sekarang adalah
musim panas. Mata Ara menerawang keluar, menatap deburan ombak yang dapat terlihat
dengan jelas dari dalam kedai. Tak lama matanya menangkap sosok lelaki yang sangat
dikenalnya tengah bersama dengan seorang gadis. Lee Yian dan Han Jihyun.

Melihat hal itu, Ara segera bangkit dari duduknya. Ia meletakkan nampan yang dipegangnya
dan berpamitan pada Ibunya untuk pergi keluar sebentar. Setelah mendapat ijin dari Ibunya,
Ara segera berlari mendekati kedua orang yang sangat dikenalnya itu. Dua menit kemudian ia
sudah berdiri di belakang kedua orang itu.

“Yi-“

“Kau tidak percaya padaku, Jihyun?”

Kata yang ingin diucapkan Ara menggantung di udara saat mendengar Yian bertanya pada
Jihyun. Ia memilih diam sebentar karena tak berniat mengganggu kedua orang itu.

“Bukan begitu. Aku pikir, ini terlalu tiba-tiba, Yian.” Kata Jihyun, menatap ke laut yang ada
di depannya.

“Tapi bagiku ini tidak mengejutkan. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Awalnya
aku mengira ini hanya rasa simpati saja. Tapi semakin lama aku sadar jika aku memang
benar-benar menyukaimu, lebih dari teman.” Jelas Yian, membuat Ara mengerutkan
keningnya. Ia pikir ia salah dengar. Maksudnya, apa yang sedang Yian bicarakan dengan
Jihyun?

“Sebenarnya aku juga menganggapmu lebih dari sekedar teman. Tapi aku tak berani
mengatakannya.” Jawab Jihyun.

“J-jadi.. kau juga menyukaiku?” tanya Yian, terkejut dengan penuturan Jihyun yang
menurutnya sangat mengejutkan baginya. Jihyun hanya mengangguk malu-malu dan itu
membuat Yian tersenyum bahagia. Jadi selama ini ia tidak sia-sia menyimpan perasaan pada
teman sekelasnya itu.
“A-apa yang sedang kalian bicarakan? Yian Oppa, k-kau…” perlahan Ara tak dapat
menyembunyikan dirinya di belakang mereka. Ia mengeluarkan suaranya, begitu terkejut
dengan kenyataan yang baru di dapatnya.

“Ara?” Jihyun dan Yian menoleh bersamaan setelah mendengar suara Ara di belakang
mereka. Segera Yian menarik Ara mendekatinya dan meletakkan lengannya di bahu Ara.

“Ara, aku sangat bahagia.” Kata Yian, dengan senyum cerah di bibirnya membuat matanya
yang sipit membentuk bulan sabit.

“K-kenapa?”

Yian mendekatkan dirinya di dekat Ara. “Dia, ternyata juga menyukaiku.” Bisik Yian.

“Maksudmu Jihyun? Jadi kau menyukai Jihyun?” tanya Ara dengan wajah penuh
kebingungan.

Dan anggukan kepala Yian membuat Ara semakin yakin jika apa yang dilihatnya itu nyata.
Bahkan kini ia melihat Yian dan Jihyun yang menggandeng tangan mereka dengan malu-
malu. Ara sendiri hanya diam dengan wajah penuh kebingungan serta keterkejutan
menyaksikan orang yang disukainya itu sudah bersama dengan orang lain.

‘Jadi, orang yang dimaksud Yian Oppa itu Jihyun? Kupikir, dia juga menyukaiku.. Jadi, aku
hanyalah seseorang yang cintanya bertepuk sebelah tangan? Kenapa?’ batin Ara sedih.

“Ara, kau baik-baik saja? Apa kau menangis?” tanya Jihyun saat melihat Ara yang hanya
diam, lalu tiba-tiba menitikkan airmata.

Segera Ara tersadar dan mengusap airmatanya dengan cepat. “Aku… aku hanya bahagia
melihat Yian Oppa bahagia bersama orang yang disukainya. Selamat untuk kalian berdua.”
Kata Ara dengan kikuk. Ia tersenyum sangat lebar, senyum yang dipaksakan membuatnya
terlihat sangat aneh.

“Terimakasih, Ara.” kata Jihyun dan Yian bersamaan.

“Kurasa, aku harus segera pulang. Aku masih harus membantu Ibu di kedai.” Kata Ara cepat
saat airmatanya mulai meluncur kembali. Tanpa menunggu jawaban dari keduanya, ia segera
berlari sambil memegangi dadanya yang terasa sakit.

‘Jadi, beginikah rasanya cinta tak berbalas? Kenapa sangat menyakitkan?’

Bukannya kembali ke kedai seperti apa yang tadi ia katakan, Ara kustru berlari menuju
dermaga yang letaknya tak jauh dari tempat ia berada tadi. Dermaga itu cukup sepi, sehingga
Ara berhenti di sana dan membiarkan dirinya menangis sepuasnya. Ia bahkan menangis
dengan keras dan sampai sesenggukan.

Ara menyalahkan dirinya, kenapa ia begitu percaya diri jika Yian itu menyukainya? Jelas-
jelas Yian hanya menganggapnya sebagai sahabat saja. Apalagi jika dibandingkan dengan
Jihyun, Ara jelas tidak ada apa-apanya. Jihyun begitu cantik, murah senyum, baik hati dan
juga pandai. Apalagi Jihyun adalah anak kepala desa di desanya. Sedangkan ia, hanyalah
anak seorang janda yang menjual makanan di kedai sederhana, tidak cantik dan tidak terlalu
pandai. Mana mungkin ia memiliki pemikiran jika Yian akan menyukainya? Pastilah Yian
yang anak seorang kaya, pasti akan memilih seseorang yang sederajat dan pantas dengannya.
Bukan dirinya yang berada di kelas bawah. Ara merutuki dirinya sendiri.

Angin laut yang membawa udara dingin menerpa rambut panjang Ara yang terurai.
Merasakan hembusannya, Ara mengeratkan jaket tipis yang dipakainya sambil mengusap
airmatanya yang sedaritadi terus mengalir. Ditatapnya laut luas yang membentang di
hadapannya. Pikirannya menerawang jauh entah kemana, sehingga ia tak sadar jika sedari
tadi ada seseorang yang berdiri tak jauh di belakangnya.

“Menangis tidak akan menyelesaikan masalah, Nona.” Celetuk seseorang yang berada di
belakang Ara, membuat Ara terlonjak kaget dan menoleh ke belakang.

“Siapa kau?” tanya Ara dengan suara sengau, sambil mengusap air mata di pipinya dengan
kasar.

“Hanya seseorang yang kebetulan lewat. Kau tak seharusnya menangis hanya karena cinta
yang bertepuk sebelah tangan. Apalagi jika berpikir bahwa kau tak pantas untuknya hanya
dari segi fisik.” Kata seseorang itu yang ternyata adalah seorang lelaki.

Ara menatapnya dengan bingung. Bagaimana bisa lelaki itu tahu? Apa ia bisa membaca
pikiran Ara? Lelaki jangkung berkulit putih susu yang memiliki wajah cukup tampan itu
menatap Ara balik. Ia tersenyum misterius lalu berjalan mendekati Ara.

“Jangan berpikir jika aku bisa membaca pikiranmu, itu tergambar jelas di wajahmu.” Kata
lelaki itu sambil menunjuk Ara dengan telunjuknya. “Hei, aku memiliki tahi lalat di bawah
bibirmu, dan itu sangat indah.”

“Hah???” Ara hanya mampu terbengong mendengarkan apa yang dikatakan lelaki asing itu.

“Jangan menangis lagi, karena itu akan membuat matamu semakin tak terlihat. Baiklah,
sampai jumpa.” Kata lelaki itu, seolah tak mempedulikan Ara yang kebingungan
dihadapannya. Lelaki itu lalu berjalan menjauhi dermaga sambil memasukkan tangannya di
kedua saku celananya. Sementara Ara hanya menatapnya dalam diam.

“Ara, apa yang kau lakukan disini? Ibu mencarimu kemana-mana.” Pandangan Ara beralih
pada Ibu Ara yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depannya. Ara menatap Ibunya sejenak.
“Kau kenapa? Kenapa kau pergi keluar selama itu?” sambung Ibunya dengan nada khawatir.
Ara hanya diam menatap Ibunya, memperhatikan wajah cantik Ibunya dengan seksama.

Memang, jika diperhatikan Ibu Ara memiliki wajah yang cantik sedangkan Ara yang
notabene adalah anaknya sama sekali tidak mewarisi kecantikan Ibunya. Bahkan banyak
tetangga mereka yang menyangsikan bahwa mereka adalah Ibu dan anak. Dan entah kenapa,
Ara juga tidak tahu kenapa, ia justru memiliki wajah seperti Ayahnya. Dan ia cukup kecewa
dengan itu.

“Ibu… bagaimana jika aku berubah menjadi cantik?”

“Hah??!!!”
TBC

Preview…

Malam sudah semakin larut namun Ara belum juga pulang, dan tentu saja itu membuat
Ibunya khawatir. Setelah menutup kedainya, Ibu keluar dan mencari Ara. Seingat Ibu, Ara
mengatakan bahwa ia ingin pergi ke pantai sebentar. Dan berbekal itulah Ibu pergi ke pantai.
Disana ia mendapati pantai yang sudah sepi dan gelap. Ibu berpikir mungkin Ara sudah
pulang sekarang, jadi Ibu segera berbalik menuju rumah. Di perjalanan, Ibu bertemu Yian
dan Jihyun yang sedang berjalan bergandengan tangan.

“Bibi…” sapa Yian sembari melepaskan genggaman tangannya pada Jihyun, takut jika Ibu
Ara akan melihatnya. Padahal Ibu Ara juga sudah melihat itu.

“Owh Yian, apa kau melihat Ara? Bibi sedang mencarinya.” Tanya Ibu Ara pada Yian.
Sekilas Ibu Ara melihat Jihyun yang sedari tadi hanya diam saja.

“Tadi kami memang sempat bertemu dengannya. Tapi dia bilang bahwa dia akan pulang
lebih dulu. Apa Ara belum pulang, Bi?” tanya Yian bingung.

“Iya, tadi Ara agak sedikit aneh karena langsung pergi begitu saja.” Timpal Jihyun memberi
penjelasan.

Ibu melihat sekeliling yang mulai sepi. “Kemana anak nakal itu? Selalu saja membuatku
khawatir.” Gumam Ibu Ara. “Bukankah ini sudah malam, apa yang sedang kalian lakukan?”
tanya Ibu mengubah topik pembicaraan sambil memperhatikan kedua anak remaja yang ada
di depannya ini.

“Kami baru saja akan pulang, Bi.” Jawab Jihyun lirih. Ia mengusyaratkan pada Yian dengan
pandangan matanya untuk segera pergi.

“Ya, kami memang akan pulang.” Yian juga ikut menimpali.

“Apa kalian sedang berpacaran?” tanya Ibu Ara penasaran. Mendengar pertanyaan itu, Yian
dan Jihyun hanya terdiam sambil menundukkan kepala mereka. “Owh.. kupikir kau menyukai
Ara.” sambung Ibu Ara seakan tahu bahwa arti kediaman mereka adalah jawaban ‘iya’.

“Apa?! Aku menyukai Ara?” Yian tiba-tiba kaget atas pernyataan Ibu Ara barusan.

Mendadak Ibu Ara jadi terdiam karena ia sadar bahwa ia sudah mengucapkan sesuatu yang
salah. Ia kemudian mulai menebak-nebak, mungkin Ara pergi setelah mengetahui bahwa
Yian menyukai Jihyun atau entahlah. Ibu Ara sendiri bingung. Karena menurut
pengamatannya, Yian menyukai Ara begitu juga sebaliknya. Hal itu terlihat jelas dari
kedekatan mereka sejak kecil. Tapi ternyata.. tiba-tiba Ibu Ara merasa cemas dengan keadaan
anaknya.

“Lupakan saja. Kalian segeralah pulang. Bibi masih akan mencari Ara.” kata Ibu Ara dengan
cepat sambil berlalu.
“Tunggu..” Yian mencegah Ibu Ara pergi. “Bibi pulanglah, biar aku yang mencarinya.”
Sambungnya.

Ibu Ara menggelengkan kepalanya. “Ara adalah anakku. Aku lebih tahu dia dibandingkan
siapapun.” Jawab Ibu Ara, membuat Yian dan Jihyun hanya mampu memandangi kepergian
Ibu Ara dengan pandangan bingung.

Ibu Ara berjalan dengan cepat menuju dermaga. Ia tidak tahu apakah Ara ada disana atau
tidak. Tapi setidaknya, jika Ara sedang sedih karena mendapat nilai buruk dalam ujiannya
ataupun baru saja dimarahi Ibunya, Ara akan langsung pergi kesana. Ya, Ibu Ara sangat
yakin jika itulah satu-satunya tempat dimana Ara bisa melarikan diri dan menangis sepuasnya
disana. Karena tempat itulah, saat-saat terakhir ia melihat Ayahnya sepuluh tahun yang lalu.

“ARA!!!!” teriak Ibu saat ia sudah sampai ke dermaga. Ibu berlari kesana kemari hingga ia
melihat putrinya tengah berdiri di pinggir dermaga sambil menatap laut lepas.

Ibu berjalan mendekati Ara. “Ara, apa yang kau lakukan disini? Ibu mencarimu kemana-
mana.” Pandangan Ara beralih pada Ibu Ara yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depannya.
Ara menatap Ibunya sejenak. “Kau kenapa? Kenapa kau pergi keluar selama itu?” sambung
Ibunya dengan nada khawatir. Ia sangat khawatir Ara akan sakit hati di usianya yang masih
belia itu, lima belas tahun. Ibunya tidak pernah membayangkan jika cinta pertama putrinya
itu tidak berbalas. Ara hanya diam menatap Ibunya, memperhatikan wajah cantik Ibunya
dengan seksama.

“Ibu… bagaimana jika aku berubah menjadi cantik?”

“Hah??!!!”

Chapter 2

Satu tahun kemudian…

Jalanan di kota Seoul cukup ramai walaupun hari masih pagi. Banyak kendaraan dari roda
dua dan empat yang berlalu lalang. Kebanyakan dari mereka adalah orang yang akan
berangkat bekerja, berangkat ke sekolah ataupun bepergian ke luar kota. Begitu juga dengan
bus berwarna hijau yang berhenti di depan sekolah ternama di kota ini, SMA Seoul. Saat
pintu bus terbuka, beberapa siswa yang memakai seragam dari sekolah itu turun dan langsung
memasuki sekolah yang terkenal dengan segudang prestasinya itu. Salah seorang dari mereka
–yang juga berpakaian sama- berhenti memandangi gedung sekolah yang besar dan megah ini.
Dia yang seorang gadis, merapikan roknya yang sepuluh senti diatas lutut itu –yang sedikit
berantakan karena duduk di dalam bus tadi- lalu menyisir rambut coklat sepunggungnya
dengan jemarinya.
“Semangat untuk hari pertama.” Gumam gadis itu menyemangati dirinya sendiri. Tak lama
setelah gadis itu berkata demikian, sebuah pesan masuk ke ponsel yang tengah di
genggamnya. Gadis itupun langsung membukanya.

“Ibu harap hari pertamamu di SMA berjalan dengan baik. Berperilakulah yang baik dan
belajar dengan giat. Sekarang Ibu sedang dalam perjalanan kembali ke Namhae. Kau baik-
baiklah di Seoul bersama Bibi Nayoung. Dan.. jangan lupa untuk meminum obatmu, Kim
Ara!!!’

Gadis yang ternyata adalah Kim Ara yang kini sudah berubah menjadi cantik jelita itu hanya
menghembuskan nafasnya pelan setelah ia selesai membaca pesan dari Ibunya itu. Ia hanya
membalas ‘Iya’ untuk sebuah pesan yang termasuk panjang itu. Ara berpikir, bukankah
Ibunya tadi malam sudah mengatakan jika ia akan pulang ke Namhae- kampung halaman
mereka-? Lalu kenapa harus mengatakanya lagi? Ara merasa Ibunya sangat overprotective
sejak kejadian itu. Tapi tak apalah, mungkin Ibu Ara sangat menyayanginya hingga ia seperti
itu.

Ara memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah melihat jam yang melingkar di pergelangan
tangannya menunjukkan hampir pukul tujuh pagi. Ia segera masuk ke dalam gerbang besar di
depannya dan berjalan dengan penuh percaya diri. Dalam hati, ia berharap semoga apa yang
ia rencanakan saat mendaftar di sekolah ini akan berjalan dengan baik semuanya. Lagi pula,
ia memang sangat ingin bersekolah di sekolah ini. Selain karena ia akan mudah masuk ke
universitas ternama setelah lulus, lelaki yang masih sangat ia sukai, juga bersekolah disini.

Ia terus berjalan dengan penuh percaya diri. Bahkan saat ia melewati gerombolan siswa laki-
laki yang tengah duduk di koridor, ia menunjukkan senyum termanisnya pada mereka hingga
salah seorang dari mereka terus melihatnya. Ara sendiri tidak keberatan. Lagipula, ia sudah
cantik sekarang. Tak ada hal yang perlu dikhawatirkan dan tak ada yang perlu ditakutkan jika
akan ada orang yang mengatainya jelek lagi. Dan karena alasan itulah ia berani mendaftar
kesini. Karena Lee Yian juga bersekolah disini dan karena ia sudah cantik. Jadi ia berniat
mengambil hati sabahat yang sudah setahun tak ia temui ini dengan parasnya yang
mempesona.

“Hei, kau!!”

Langkah kaki Ara terhenti saat ia mendengar teriakan seseorang. Ia menoleh sebentar dan
melihat seorang gadis yang memakai seragam yang sama dengannya tengah menatap ke
arahnya. Ara berpikir mungkin bukan dia yang dimaksud gadis itu. Jadi Ara kembali
melanjutkan langkahnya menuju kelasnya yang bahkan ia sendiri belum tahu dimana
letaknya.

“Yaak!!! Berhenti kau!!!”

Kembali teriakan itu terdengar dan sekali lagi membuat Ara menghentikan langkahnya. Ia
memutar bola matanya dengan malas sambil berbalik –lagi-. Dan lagi-lagi ia melihat gadis
yang tadi itu tengah menatapnya. Ara melihat ke belakangnya, siapa tahu bukan ia yang
dimaksud gadis itu. Mungkin seseorang yang ada dibelakangnya ataupun siapalah yang lewat
di jalan itu. Namun Ara tak menjumpai siapapun dan ia justru menemukan gadis itu
menunjuk dirinya.
“Aku?” tanya Ara sambil menunjuk dirinya sendiri dengan wajah polosnya.

Gadis itu menghembuskan nafas kasar –merasa jengah- karena sedaritadi Ara tak peka
dengan teriakannya. “Iya. Tentu saja kau. Siapa lagi siswa baru yang memakai rok sependek
itu selain dirimu, huh?” kata gadis itu sambil berjalan mendekati Ara.

“Memangnya apa masalahmu?” tanya Ara, merasa tidak suka dengan kata-kata yang
dilontarkan gadis itu.

“Kau berani berkata seperti pada sunbaemu? Kau benar-benar hoobae yang berani ya?” gadis
itu menatap Ara dengan tatapan tajamnya. Namun Ara tak gentar sedikitpun.

“Apa yang salah dengan itu? Sudahlah, jangan mencari masalah denganku.” Kata Ara,
mencoba menghindari gadis yang mengaku sebagai kakak kelasnya itu dengan kembali
berjalan. Namun, gadis itu justru menahan tangan Ara.

“Bukankah kau yang mencari masalah denganku?” tanya gadis itu membuat kerutan tercipta
diantara kedua alis Ara. “Dimana perlengkapanmu, huh?” sambung gadis itu, membuat Ara
semakin bingung.

“Perlengkapan ap-“

Belum selesai Ara bertanya, gadis itu sudah menunjuk barang-barang aneh yang dikenakan
beberapa siswa baru dengan ekor matanya. Ara menatapnya aneh. Sebagian besar dari siswa
baru itu memakai tas dari kantong bekas belanjaan dan memakai topi dari kardus. Bahkan
ada yang wajahnya di coret dengan sesuatu yang berwarna hitam karena suatu alasan tertentu.
Ara mengernyitkan dahinya.

“Apakah itu harus?” tanyanya dengan wajah polos. Ia merasa asing dengan hal-hal seperti itu.
Seingatnya, dulu saat ia masuk SMP tidak ada yang namanya seperti itu. Mungkin, apakah
karena di Seoul jadi semuanya terasa berbeda?

“Tentu saja! Kau siswa baru dan kau harus mengikuti masa orientasi.” Bentak gadis itu tepat
di depan wajah Ara.

“Bagaimana jika aku tidak mau?” tanya Ara menantang.

“Apa aku memintamu untuk memilih?” sebuah senyum miring muncul di wajah gadis itu.
“Jika saja kau mendapat surat izin dari kepala sekolah untuk tidak mengikuti kegiatan ini, kau
akan kubebaskan, Kim A.. Ra.” Sambungnya sambil membaca nametag yang tertempel di
dada sebelah kiri seragam Ara.

Ara hanya terdiam sambil menatap kakak kelasnya yang bisa dibilang cukup cantik dan
menyeramkan dalam waktu yang bersamaan. Hei, tapi kenapa ia harus takut? Bukankah
kakak kelas itu seumuran dengannya? Tentu saja! Ara kan berhenti satu tahun setelah lulus
SMP karena suatu hal. Itu artinya, ia seumuran dengan gadis itu. Tapi, apakah ia akan
mendapat hukuman karena tidak mengikuti kegiatan orientasi ini? Ia tidak diberitahu saat ia
mendaftar ulang. Tapi jika ia tetap bersikukuh, ia bahkan sama sekali tidak mendapat surat
dari kepala sekolah. Bagaimana ini?
“Karena kau diam maka kuanggap kau bersedia untuk dihukum.” Kata gadis itu memecah
lamunan Ara. “Kai.. cepatlah kemari!!!” gadis itu berteriak pada seorang lelaki yang dari tadi
sedang duduk dengan wantai sambil melihat siswa-siswa baru yang sedang dimarahi oleh
kakak kelas lainnya.

“Ada apa, Hana?” lelaki yang dipanggil Kai itu berlari menuju tempat Ara dan gadis yang
dipanggil Hana itu.

“Tolong beri dia hukuman yang layak untuk seorang siswa baru yang tidak mau mengikuti
orientasi dan memakai rok pendek itu.” Kata Hana santai sambil berlalu. Ia menyerahkan Ara
pada lelaki berkulit cukup gelap dibandingkan orang Korea kebanyakan itu. Sebelum benar-
benar menghilang dari pandangan matanya, Ara sempat melihat nametag gadis itu. Park Hana.

***

Kim Ara hanya mampu terdiam dengan mulut terbuka sedikit begitu melihat hukuman apa
yang diberikan padanya. Kakak kelas yang ia tahu bernama Kai itu sedang menjelaskan apa-
apa saja yang perlu ia kerjakan dalam waktu sehari itu, namun tak begitu Ara dengar karena
ia sedang bergelayut dengan pikirannya sendiri. Hari pertama di SMA dan sudah diberi
hukuman? Menurut Ara itu adalah sesuatu yang benar-benar sesuatu!! Terdengar sangat
ironis!!

“Apa kau mengerti?” pertanyaan Kai membuyarkan lamunan Ara. Ia menjentikkan jarinya di
depan wajah Ara begitu tak mendapat respon dari gadis itu.

“Ya?” Ara setengah tersadar menatap wajah kakak kelasnya yang cukup tampan itu.

“Kau tidak mendengarkanku kan?” Kai kesal dan mengacak rambutnya frustasi. Ia sudah
menjelaskan panjang lebar tapi tak di dengarkan oleh gadis itu? Bagaimana bisa? Apakah ia
terlihat seperti seorang guru killer yang tengah menjelaskan pelajaran yang begitu
membosankan? “Baiklah, anggap saja kau mendengarkan semuanya. Dan sekarang, kerjakan
semua itu sampai waktu pulang tiba!!!” sambungnya Kai setengah berteriak. Tentu saja ia tak
mau kharismanya sebagai kakak kelas hancur hanya karena diacuhkan oleh seorang gadis
yang jelas-jelas tak ia kenal itu.

“Apa? Ini masih pagi? Jika aku harus mengerjakannya sampai jam pulang, itu artinya
seharian aku mengerjakan hukuman ini? Benar-benar tidak adil!!” omel Ara saat Kai
melemparkan pel pada Ara.

“Tentu saja!! Bukankah aku tadi sudah mengatakannya, gadis kecil? Jadi segera bersihkan
seluruh koridor di sekolah ini!!!” kata Kai dengan penekanan disetiap kata-katanya yang
tentu saja membuat Ara hanya terdiam dengan perasaan kesal dan dongkol.

Bagaimana bisa hari pertama menjadi seburuk ini? Tidak ada yang memberitahunya akan
adanya kegiatan orientasi. Ibunya juga tidak memberitahunya padahal jelas-jelas Ibunya juga
yang menyuruhnya bersekolah di sekolah ini. Yah.. mau bagaimana lagi. Lebih baik Ara
segera mengerjakannya daripada nanti ia mendapat masalah lagi dengan kakak kelas. Ia tidak
mau hidup sehina itu.
Ara mulai mengepel koridor dengan setengah hati. Untung saja saat ini koridor sepi karena
jam pelajaran sudah dimulai. Ia mengepel dengan bersih karena memang ia sudah terbiasa
mengepel lantai saat masih di Namhae dulu. Dulu ia sering sekali mengepel kedai milik
Ibunya karena ia selalu disuruh-suruh oleh Ibunya. Dan sekarang setelah ia berpikir sudah
terbebas dari Ibunya, kini ia disuruh oleh kakak kelasnya? Benar-benar.

“Apa yang tengah kau lakukan saat jam pelajaran seperti ini?” sebuah suara bernama tegas
terdengar ke telinga Ara. Ia yang masih mengepel dengan khidmat itupun menoleh dan
mendapati seorang pria setengah baya dengan wajah berkharisma yang tengah menatapnya.

Ara yang terkejut langsung menjatuhkan pel-pelannya hingga gagangnya mengenai kaki pria
itu. Tentu saja pria itu langsung mengaduh kesakitan dan Ara segera mengambilnya –berniat
untuk menolongnya- dan naasnya ia tak sengaja terpeleset hingga menyenggol pria itu dan
membuat buku-buku yang tengah dibawa pria itu jatuh.

“Ooopsss~” seru Ara seraya kembali berdiri dan tak lupa memunguti buku-buku milik pria
itu yang berjatuhan. Dalam hati ia merutuki kecerobohannya yang selalu berdampak buruk
bagi orang lain. “Apa anda baik-baik saja?” tanya Ara hati-hati saat menyerahkan buku itu.

Pria itu menerima buku yang diberikan Ara dengan kesal. Ia menatap gadis berseragam itu
karena sebelumnya ia belum melihatnya dan betapa terkejutnya ia melihat seperti apa rupa
gadis itu. Seketika kekesalan dalam dirinya hilang tergantikan oleh senyum hangat yang
terpatri di wajah pria itu.

“Aku tidak apa-apa. Kau siswa baru?” pria itu masih menatap Ara dengan senyum yang juga
masih menghiasi wajahnya yang terbilang masih cukup tampan walau usianya sudah tidak
muda lagi.

“Iya, Pak.” Jawab Ara kaku. Pasalnya ia tidak tahu siapa pria itu dan bagaimana ia harus
memanggilnya. Tapi ia menduga jika pria itu pasti salah satu guru di sekolah ini. Jadi, tak
masalahkan jika ia memanggilnya demikian?

“Kenapa tidak mengikuti kegiatan orientasi dan malah membersihkan koridor?” tanya pria itu
lagi, menatap perlengkapan mengepel – pel dan ember berisi air- yang ada di belakang Ara.

“Itulah masalahnya dan alasan kenapa saya melakukan hal ini.” Jawab Ara sekenanya.
Sejujurnya ia agak takut jika pria itu akan marah tadi, tapi ternyata pria itu justru tersenyum
padanya. Ia merasa agak aneh.

“Jadi kau dihukum? Di hari pertamamu?” pria itu seolah bisa menebak semua yang sudah
terjadi pada Ara dan hanya dijawab anggukan oleh Ara. “Siapa yang menghukummu?
Apakah seniormu?”

“Iya. Tapi itu kesalahan saya karena saya tidak membawa perlengkapan untuk kegiatan
orientasi, Pak.” Kata Ara sambil menundukkan kepalanya.

“Tidak seharusnya mereka melakukan itu padamu. Aku sudah memberitahu mereka bahwa
ada seorang siswa yang tidak mengikuti itu, dan kenapa mereka tidak tahu?” pria itu seolah
berbicara pada dirinya sendiri membuat Ara menatapnya dengan bingung karena tidak
mengerti apa yang dimaksud pria itu. “Berhentilah membersihkan koridor. Kau tidak perlu
khawatir karena aku yang akan mengurusnya, Kim Ara.” sambung pria itu.

Kim Ara? Hei, apa Ara tidak salah dengar? Kenapa pria itu mengetahui namanya? Apa ia
mengenal Ara? Atau Ara pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya? Tapi, bagaimana bisa?
Ara saja tidak tahu siapa pria itu.

“Nama yang tertera di nametagmu. Kim Ara. Nama yang bagus.” Kata pria itu seolah tahu
apa yang tengah dipikirkan oleh Ara. Belum sempat Ara menjawab, pria itu sudah pergi
dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya.

***

“Ayo cepat.. Pertandingannya sudah dimulai…”

Kegiatan mengepel Ara terhenti saat ia mendengar suara-suara berisik yang diikuti oleh
langkah kaki dibelakangnya. Ia menoleh ke belakang, matanya mendapati beberapa orang
gadis yang berseragam sama dengannya tengah berlari, terlihat sangat tergesa-gesa.

“Sebentar, tunggu aku!! Kau tidak lupa kan jika kakiku masih sakit karena terjatuh dari
tangga kemarin?”

Suara kesal diantara gadis-gadis itu terdengar begitu teman-temannya berlari mendahuluinya.
Meninggalkan dirinya yang berusaha berlari dengan langkah yang terpincang-pincang. Ara
sedikit kasihan melihat gadis itu. Tapi mengetahui bagaimana langkah-langkah kaki gadis-
gadis itu yang melewatinya, membuat lantai yang masih ia bersihkan itu kembali kotor
dihiasi dengan jejak sepatu yang terlihat… eeerr mengerikan di mata Ara.

“Hei, kalian membuat lantai kembali kotor.” Tegur Ara dengan suara keras, menimbulkan
gema di sepanjang koridor yang masih lengang ini. Gadis-gadis itu berhenti, mencari sumber
suara itu berasal dan wajah mereka langsung berubah menjadi begitu aneh dan sulit ditebak di
mata Ara saat mereka melihat Ara berdiri tak jauh di belakang mereka dengan pel di
genggaman tangannya.

“Oh. Maafkan kami.” Kata salah seorang dari gadis itu dengan wajah menyesal.

“Kau bisa mulai membersihkannya lagi, kan? Apa susahnya?” sambung gadis di sebelahnya.

“Apa kata kalian?? Kalian pikir mudah membersihkan koridor sepanjang itu??” Ara mulai
kesal dengan jawaban yang dilontarkan oleh gadis-gadis itu. Enak saja mereka bicara, batin
Ara.

“Oh sudahlah.. kami minta maaf, oke? Dan sekarang izinkan kami pergi karena kami tidak
mau melewatkan pangeran-pangeran tampan itu beraksi di tengah lapangan. Ayo teman-
teman, kita pergi..” kata seorang dari mereka mencoba menengahi perdebatan yang mungkin
jika masih terus berlangsung akan menimbulkan pertengkaran dan mungkin perkelahian.
Gadis-gadis itu, yang menurut Ara terlihat seperti gadis-gadis tokoh antagonis yang pernah ia
lihat di drama-drama lokal, berlari dengan wajah dihiasi senyum kegembiraan. Ara sendiri
tidak tahu apa yang membuat mereka begitu bahagia.
Dan ngomong-ngomong tentang kebahagiaan, Ara bahkan melupakan fakta bahwa dirinya
harus mulai membersihkan koridor ini lagi, setelah apa yang dilakukan oleh gadis-gadis itu.
Ara menghembuskan nafas kesal. Sudah hampir satu jam ia mengepel dan sekarang, ia harus
mengulanginya lagi? Oh Tuhan, apa ini hukuman bagi Ara? maksudnya, di hari pertamanya?

Entah mengapa Ara merasa ia harus melakukan balas dendam pada gadis-gadis itu. Gara-gara
mereka, Ara akan kehilangan satu hari pertamanya di sekolah ini. Dan Ara juga penasaran,
sebenarnya apa yang membuat mereka begitu excited? Apa karena ada pertandingan?
Memangnya pertandingan apa? Tadi Ara sempat mendengar mereka mengatakan tentang
pangeran. Lalu pangeran seperti apa yang melakukan pertandingan di sekolah ini? Di tahun
2015? Apakah masih ada pangeran yang melakukan sayembara untuk mendapatkan hati putri
impian mereka? Atau, pertandingan semacam pergulatan dengan banteng atau harimau? Oh
Tuhan, tolong hentikan pemikiran Ara yang mulai melenceng dari akal sehat.

“Permisi, boleh aku tahu ada pertandingan apa disini?” Ara memberanikan dirinya bertanya
pada seorang lelaki yang berdiri di dekat pintu masuk setelah ia memutuskan untuk
mendekati tempat yang menurutnya terlihat seperti lapangan indoor.

Lelaki itu menoleh, mengalihkan tatapan matanya dari ponsel tochscreennya kepada Ara. Ia
sedikit terkejut melihat Ara. Bukan karena seragam Ara yang berantakan dan sedikit kotor,
tapi karena gadis itu masih tetap cantik walau penampilannya sedikit terlihat seperti.. seorang
pembantu rumah tangga. Lihat saja penampilannya. Tangan memegang pel, rambutnya
dikuncir asal, blazernya sudah ia lepaskan dan kemejanya sudah keluar dari rok. Untuk yang
terakhir, kau paham kan maksudku? “Basket. Kali ini giliran sekolah kita melawan SMA
Parang.” Jawabnya setelah matanya berhasil menjelajahi seluruh tubuh Ara.

Oh Tuhan, betapa Ara ingin sekali mencongkel kedua mata lelaki itu. Memangnya ia pikir
Ara gadis seperti apa? Tentu saja ia tidak terima ditatap seperti itu. Tapi, sekali lagi Ara
mencoba bersabar. Ini hari pertamanya dan ia tidak mau berbuat lebih buruk lagi. Sebaiknya
ia segera mencari gadis-gadis itu, meminta mereka bertanggungjawab atas perbuatan mereka.
Oh, setidaknya ia harus mendengar permintaan maaf yang lebih manusiawi dan terdengar
tulus dibanding permintaan maaf seperti tadi. Ya, Ara bertekad untuk meminta keadilan.

Kini langkahnya menuntunnya memasuki lapangan yang terlihat sangat luas dan megah ini.
Ia melangkah menuju bangku penonton dan matanya menatap liar kesekeliling, mencari
dimana keberadaan gadis-gadis tadi. Dan tak perlu menunggu lama, matanya sudah
menangkap keempat sosok gadis yang memang penampilannya sangat mencolok
dibandingkan siswi-siswi yang lainnya yang sebagian besar menjadi penonton di
pertandingan kali ini. Tak mau menunggu lama, Ara kembali melangkah, dengan langkah
kakai yang sedikit lebih lebar agar ia bisa segera mencapai gadis-gadis itu.

“Ayo, Oppa!!! Semangat!!! Kalahkan mereka semua!!!”

“Love you, Oppa!!!!”

Ara menggelengkan kepalanya saat telinganya mendengar teriakan-teriakan histeris dari


siswi-siswi yang kebanyakan berseragam sama dengannya. Ia menatap mereka dengan jengah.
Oh ayolah.. apakah lelaki-lelaki yang tengah bertanding itu terlihat seperti artis? Atau
setidaknya boyband seperti EXO yang perlu diagung-agungkan seperti itu? Bagi Ara sendiri,
mereka tak ubahnya seperti fans fanatik. Ara berani taruhan, pasti gadis-gadis itu bahkan
sampai memiliki poster mereka di kamarnya serta memimpikan hal-hal aneh. Oh, itu benar-
benar membuang-buang waktu karena Ara sendiri pernah melakukannya dulu.

“Yian Oppa.. saranghae!!!!”

DEGG

Teriakan dari salah seorang gadis di dekatnya membuat Ara menghentikan langkah kakinya.
Matanya dengan cepat langsung menuju ke tengah lapangan, dimana terlihat banyak lelaki
yang tengah berlari kesana-kemari demi mendapatkan sebuah bola basket lalu
memasukkannya ke dalam ring. Tapi mata Ara hanya tertuju pada satu orang yang tengah
mendribble bola. Sesekali ia mengoper bola pada teman setimnya yang berkulit pucat itu. Ara
memperhatikan dengan seksama bagaimana lelaki itu berlari, bagaimana rambut hitam
legamnya yang bergoyang saat ia berlari dan bagaimana tatapan itu masih mampu
memporak-porandakan kinerja jantungnya. Ara mencubit pelan pipinya, dan saat ia
merasakan sakit, ia sadar jika ia memang tidak bermimpi. Lelaki yang dilihatnya itu, memang
benar Yian Oppanya. Dia memang benar Lee Yian yang selama setahun ini ia rindukan.

“Yian Oppa, akhirnya aku menemukanmu di sekolah ini.” Gumam Ara dengan perasaan
berbunga-bunga.

Kini tujuan awalnya masuk ke lapangan ini buyar setelah ia melihat lelaki yang masih
disukainya itu. Ia masih berdiri dengan mata yang tertuju pada Yian, mengamati setiap gerak-
gerik lelaki itu dengan mata penuh cinta.

“Sehun, terima ini!!” teriakan terdengar menggema dari tengah lapangan walaupun riuh
penonton lebih mendominasi. Ara masih bisa mendengarnya karena ia sangat hafal siapa
pemilik suara bass itu. Ara bahkan sempat terbuai saat Yian mengoper bola pada lelaki
berkulit pucat yang bernama Sehun –tertulis dengan jelas di punggung kaosnya- itu dengan
gerakan yang sangat indah di mata Ara.

“Yian Oppa…… Hwaiting!!!!”

Tanpa bisa Ara kendalikan, ia berteriak sangat keras membuat gadis-gadis di dekatnya
menoleh dengan tatapan sinis padanya. Mengetahui kebodohannya, Ara hanya menundukkan
kepalanya sambil menggumamkan kata maaf. Ara berpikir, mungkin jiwa fansnya sudah
kembali lagi. Padahal baru saja ia mencemooh perilaku gadis-gadis yang tergila-gila pada
pemain basket itu.

Beberapa menit kemudian, mata Ara sudah kembali ke tengah lapangan. Pertandingan
semakin seru apalagi waktu menunjukkan tinggal lima menit lagi dan skor diantara kedua tim
sama. Bola masih di bawah kendali pemain yang bernama Sehun itu. Di belakang Sehun ada
Yian yang akan menerima operan bola dari Sehun jika lelaki itu kembali di hadang oleh tim
lawan. Namun sepertinya, sejauh ini Sehun berhasil melewati lawan-lawan yang
menghadangnya dan kini ia sudah ada di dekat ring. Senyum tipis terukir di bibirnya karena
tak lama lagi ia akan mencetak poin dan sudah dipastikan kemenangan untuk timnya.

Namun sesuatu terjadi sesuatu yang tak pernah ia duga. Salah seorang pemain tim lawan
muncul di dekat Sehun, ia sengaja menyenggol Sehun yang tengah melambung (?) untuk
memasukkan bola ke ring hingga tubuh Sehun terpental dan jatuh ke lantai lapangan. Hening
seketika. Bahkan penonton yang tadinya riuh meneriakkan nama Sehun pun hanya terdiam
melihat apa yang terjadi pada pemain itu. Tak terkecuali dengan Ara, ia bahkan terdiam
dengan mulut menganga.

Karena wasit tak kunjung membunyikan peluit dan wkatu masih tersisa sekitar dua menit lagi,
pemain yang tadi menyenggol Sehun itu mengambil bola yang masih melambung di udara
lalu mendribblenya menuju kearah sebaliknya. Yian dan teman-teman setimnya tak tinggal
diam. Mereka berlari mengejar pemain itu. Tentu saja selain mereka kesal karena tim lawan
memakai cara kotor, tim Yian juga tidak ingin kalah begitu saja. Ara sendiri geregetan
setengah mati melihat nasib tim Yian yang berada diujung tanduk. Ia melihat dengan tajam
wasit yang hanya berdiri tanpa seikitpun berniat menghukum pemain yang sudah berbuat
kasar. Tanpa sadar, Ara melangkah maju agar ia bisa melihat dengan jelas dari arah bangku
penonton. Tak perlu menunggu waktu lama, Ara melemparkan pel yang dipegangnya hingga
mengenai wasit yang memang berdiri di bawahnya.

“Awwww…” suara teriakan dan keterkejutan sang wasit terdengar begitu gagang pel itu
mengenai kepalanya dengan keras, membuat pertandingan di tengah lapangan itu kembali
terhenti. Para penonton yang mendengar suara itupun, langsung mengalihkan tatapan mereka
pada Ara dan wasit itu.

“Kenapa kau hanya diam saja saat terjadi pelanggaran? Kau seharusnya memberikan pemain
itu kartu kuning bahkan jika perlu kartu merah atas kekerasan fisik yang dilakukannya.
Kasian Oppaku, dia harus berusaha lebih keras lagi.” Kata Ara dengan kesal. Setelah
mengatakan itu, Ara pergi begitu saja dari lapangan, membuat semua orang bertanya-tanya
apa yang baru saja gadis cantik itu lakukan.

***

BRAAAKKK

“Apa-apan kalian ini? Kalian pikir ini pertandingan anak SD yang diisi dengan tindakan
curang, hah??!!!”

Suara benda yang dihempaskan dengan keras diikuti dengan bentakan dari seorang pria paruh
baya terdengar di dalam ruangan yang cukup kecil ini. Pria itu menatap tajam pada beberapa
lelaki yang masih memakai kaos tim basket itu, sedangkan mereka yang ditatap, hanya
menunduk tak berani membalas tatapan tajam dari pelatih mereka.

“Maafkan kami, pelatih. Tapi tim lawan yang bermain curang.” Kata Yian, salah satu dari
mereka, berani bersuara untuk menjelaskan siapa yang berbuat curang dalam pertandingan itu.

Pelatih itu menatap Yian tajam. “Aku tahu, tapi tidak seharusnya kalian juga ikut melakukan
itu.” Mata pelatih itu kini tertuju pada lelaki berkulit pucat yang berdiri disebelah Yian.
“Apalagi jika kau mengikutsertakan kekasihmu itu, Oh Sehun.”

“Oh?” Otomatis Sehun mendongakkan kepalanya saat namanya disebut dan ia tak paham
sama sekali apa yang dikatakan pelatihnya itu.

“Gadis yang melempar pel dan memarahi wasit itu kekasihmu kan?” ulang pelatih menjadi
lebih jelas. Ingatan pelatih itu kembali pada saat Ara yang dengan percaya dirinya
membentak dan berteriak pada wasit itu. “Cantik. Tapi agak sedikit kasar.” Sambung pelatih
sambil membayangkan tingkah Ara.

“A-apa? Dia bukan kekasihku, pelatih.” Sangkal Sehun dengan cepat. Ya, Sehun memang
sempat melihat kejadian itu dan melihat dengan jelas siapa gadis itu. Tapi ia sama sekali tidak
mengenalnya.

Pelatih itu cukup terkejut dengan jawaban Sehun. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Sehun.
“Jika bukan kekasihmu, lalu siapa? Istrimu??” pertanyaan bodoh dari wasit itu sukses
membuat semua yang ada di dalam ruangan itu tertawa. Termasuk Yian yang juga tertawa
karena Sehun selalu menjadi bulan-bulanan pelatih yang terkenal galak itu. Apalagi Sehun
adalah kapten tim, jadi sudah sepatutnya pelatih melampiaskan amarahnya padanya karena
menganggap Sehun tidak bisa membuat tim mereka kompak.

Melihat Sehun yang hanya terdiam, pelatih menghembuskan nafasnya. “Kali ini kalian ku
ampuni. Tapi jika di pertandingan bulan depan kalian berbuat seperti ini lagi, kupastikan
kalian akan berakhir dengan menungging selama satu jam penuh.” Kata pelatih penuh
penekanan di setiap katanya. “Dan untukmu, Oh Sehun.” Pelatih itu kembali menatap Sehun,
“Katakan pada istrimu untuk tidak ikut campur pada semua pertandinganmu. Apalagi jika ia
sampai memukuli wasit lagi, kupastikan kau akan bercerai dengannya!!”

Dan setelah mengatakan kalimat mautnya, pelatih itu melenggang dengan penuh percaya diri
keluar dari ruangan itu, membuat atmosfer yang tadinya sangat tegang dan mencekam
berubah menjadi sedikit lebih rileks.

Yian mendekati Sehun yang masih sama diam karena kesal selalu dimarahi oleh pelatih. “Hei,
kau tidak pernah mengatakan padaku jika kau sudah punya kekasih.” Katanya sambil
menepuk pundak Sehun pelan, membuat Sehun menoleh padanya. “Harusnya kau mengajari
kekasihmu jika bola basket tidak seperti sepak bola. Kau tahu, dia pikir ini permainan apa
yang memerlukan kartu kuning ataupun kartu merah?” sambungnya. Yian bahkan terkikik
diakhir kalimatnya saat membayangkan betapa percaya dirinya gadis itu tadi. Yian berpikir
pasti gadis itu tidak tahu apa-apa tentang basket.

“Kubilang dia bukan kekasihku. Sial!!” rutuk Sehun masih merasa kesal.

“Jadi benar jika dia istrimu?” salah seorang dari temannya, Park Chanyeol ikut bersuara,
menimbulkan gelak tawa diantara semua teman-temannya.

“Ah, sudahlah!! Aku mau pulang.” Kata Sehun ketus. Ia sangat kesal apalagi jika teman-
temannya itu menjadikan bahan ejekan. Ia melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu.

“Hei, gadis itu cukup cantik juga untuk kau jadikan istri sungguhan. Tapi kurasa kau harus
berhati-hati dengan pelnya.”

“Sialan!!!” umpat Sehun saat ia kembali mendengar ledekan itu dari temannya. Buru-buru
Sehun berlari meninggalkan ruangan itu. Ia hendak menuju lokernya yang ada di gedung
seberang dan ingin segera pulang menuju rumahnya yang nyaman.

***
“Aaah~~ capeknya…”

Ara merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku karena sudah seharian ia
membersihkan seluruh koridor sekolah ini. Ia melihat jam yang bertengger manis di
pergelangan tangannya yang mneunjukkan pukul dua siang. Ara mengusap peluh yang ada di
dahinya lalu mendudukkan dirinya di bangku panjang yang tersedia disana.

Ia menyandarkan kepalanya di dinding yang ada di belakangnya sambil menikmati hembusan


angin yang terasa menyegarkan baginya. Ia bahkan tak butuh kipas ataupun pendingin
ruangan untuk membuat tubuhnya menjadi lebih segar. Dan ia sedikit bersyukur karena ini
bukan pertengahan musim panas.

“Kau sudah selesai?”

Terdengar suara yang menginterupsinya membuat Ara menolehkan kepalanya ke sumber


suara. Disana ia melihat kakak kelasnya yang tadi pagi memarahinya, jika tidak salah
namanya Park Hana, berdiri tak jauh darinya dengan sedikit senyum di bibirnya. Ara
melengos, masih merasa kesal karena ini semua adalah hukuman dari gadis itu.

“Apa kau tidak melihat betapa bersihnya koridor ini?” Ara malah balik bertanya dengan nada
dingin. Ia tak menatap gadis itu bahkan menjauhkan sedikit tubuhnya sedikit saat gadis itu
mulai duduk di sampingnya.

“Minumlah. Kau pasti haus.” Kata gadis itu, menyodorkan sebotol minuman pada Ara.

Ara melirik sedikit dari ekor matanya. Apa ada gadis itu hingga menawarinya minuman? Apa
karena ia merasa bersalah karena sudah menghukum Ara atau ini hanyalah tipu muslihatnya
untuk mencari kesalahan Ara lebih jauh lagi? Yaah.. harus diakui Ara memang haus. Sangat
haus malah. Tapi jika menerima tawaran gadis itu, itu artinya ia merendahkan dirinya. Tapi
jika tidaak… Oh ayolah, lihatlah betapa menariknya minuman itu. Ara tidak bisa
membayangkan bagaimana segarnya minuman itu jika sudah masuk ke kerongkongannya dan
membuatnya merasa lebih segar kembali serta…

TIDAK. Ara menggelengkan kepalanya keras. Ia tidak boleh tergoda dengan minuman itu.
Toh ia bisa membelinya sendiri nanti saat ia akan pulang.

“Tenang saja. Aku tidak memasukkan racun di dalamnya.” Kata Hana seolah mengerti apa
yang sedang dipikirkan gadis cantik dihadapannya. Tapi sebenarnya Hana salah besar. Ara
bahkan tidak peduli jika minuman itu sudah dicampur racun tikus ataupun obat tidur, yang
Ara perlukan adalah membasahi kerongkongannya yang sudah setengah kering itu. “Aku
akan merasa sangat bersalah jika kau tidak mau menerimanya.” Sambung Hana, sedikit
memaksa.

Mau tak mau Ara menerimanya. Ia mengambilnya dengan sedikit ragu dan meminumnya
cepat dengan gaya yang dibuat seanggun mungkin, membuat Hana sedikit terkejut akan
tingkah gadis itu yang agak terasa aneh baginya. Setelah meminumnya hampir setengah
isinya, Ara merasa seluruh energinya kembali lagi dan ia merasa segar.

“Terimakasih atas minuman dan juga.. hukumannya.” Kata Ara, meletakkan botol itu
disamping kanannya.
“Iya. Dan aku ingin meminta maaf.” Hana menyerahkan sebuah amplop yang langsung
diterima oleh Ara.

“Apa ini?” tanya Ara sedikit bingung saat ia membuka isinya.

“Itu surat rekomendasi dari kepala sekolah. Aku menerimanya tadi pukul sebelas secara
langsung dari kepala sekolah. Dan ia memintaku untuk membebaskanmu dari hukuman.”
Jelas Hana membuat Ara mengerti dan hanya menganggukkan kepalanya.

“Kenapa kepala sekolah memberikannya padaku? Aku bahkan tidak memintanya.” Gumam
Ara lebih kepada dirinya sendiri. Tapi tak apalah, yang penting ia terbebas dari masa orientasi
dan dari hukuman. “Baiklah, kau kumaafkan.” Kata Ara pada Hana.

“Oh ya, aku tidak sengaja melihat ID pelajarmu tadi. Kau berusia tujuh belas tahun?” tanya
Hana yang dijawab anggukan kepala oleh Ara. “Jadi, kita sebaya? Kau mau berteman
denganku?” tanya Hana lagi.

“Berteman? Kurasa tidak masalah.” Jawab Ara enteng. Tak apa baginya jika berteman
dengan kakak kelasnya, toh usia mereka memang sama.

“Aku Park Hana.” Hana mengulurkan tangannya sambil menyebutkan namanya. Dalam hati
Ara berkata jika ia memang sudah tahu siapa nama gadis itu.

“Dan kau pasti sudah tahu namaku kan? Kim Ara.” balasnya sambil membalas jabatan tangan
Hana dengan senyum manis yang terukir di bibirnya.

“Owh ya, ngomong-ngomong kenapa kau sekarang masih kelas satu di usiamu yang ketujuh
belas?” tanya Hana, kini mereka tengah berjalan bersama menuju lobi sekolah ini.

“Yaah.. terjadi sesuatu setahun yang lalu.” Jawab Ara seolah menyembunyikan sesuatu dari
raut wajahnya.

“Owh begitu. Kurasa aku harus segera pulang. Mobil jemputanku sudah datang.” Kata Hana,
menunjuk sebuah mobil berwarna hitam yang terlihat mahal mewah sudah terparkir di depan
lobi. “Daan.. mana mobilmu?” tanyanya saat melihat Ara hanya terdiam.

Ditanya seperti itu membuat Ara tersentak dan bingung. Pasalnya ia tidak mempunyai mobil.
Bahkan tadi pagi ia berangkat naik bus umum. Jadi apakah ia harus mengatakan pada Hana
jika ia naik bus? Oh Tidak!! Bagaimana jika Hana tahu jika ia hanyalah anak orang biasa?
Membayangkannya saja sudah membuat Ara merinding. Ia tidak ingin seperti Geum Jandi
ataupun Cha Eunsang yang dibully karena bukanlah anak orang kaya. Jadi, sebisa mungkin ia
harus menyembunyikan jati dirinya yang sebenarnya.

“Dimana ya…” gumam Ara sambil matanya melihat ke kanan ke kiri, mencari-cari sesuatu
yang bahkan ia sendiri tidak tahu. “Owh itu. mobilku juga sudah datang.” Kata Ara,
menunjuk sebuah mobil sedan berwarna putih yang tak kalah mewahnya dari mobil milik
Hana. mobil itu berada tepat dibelakang mobil milik Hana.

Melihat hal itu, Hana langsung menggandeng tangan Ara agar mereka berjalan bersama
kembali. Hana masuk ke dalam mobil dengan pintunga dibukakan oleh sopr pribadinya.
Persis seperti yang ada di drama-drama, pikir Ara. Sedangkan Ara, hanya terdiam menatap
Hana yang sudah masuk ke dalam mobilnya.

“Kenapa kau hanya diam? Cepatlah masuk dan segera pulang.” Kata Hana menyembulkan
kepalanya dari kaca di sampingnya.

Dengan kikuk, Ara mengangguk dan ia kembali menatap mobil itu. Ia menghembuskan
nafasnya dan melangkah perlahan membuka pintu belakang mobil itu. Dan ternyata pintunya
tak dikunci membuat Ara langsung saja masuk. Begitu masuk, Ara langsung menangkupkan
kedua tangannya di depan wajahnya, seperti orang yang sedang memohon.

“Tuan, maafkan aku karena sudah lancang masuk ke dalam mobilmu. Ada saat-saat
seseorang harus menolong seorang yang kesusahan dua menit sepanjang hidunya. Jadi,
tolong biarkan aku berada di dalam mobilmu dalam waktu dua menit. Hanya dua menit.”
Kata Ara memohon dengan wajah yang dibuat-buat.

Pemilik mobil yang berada di belakang kemudi itu menoleh, dan menatap Ara dengan
terkejut. “Kim Ara?”

Mendengar namanya disebut, Ara langsung mendongakkan kepalanya dan betapa terkejutnya
ia melihat sosok pria pruh baya ada di depannya. satu mobil dengannya. Dan pria itu adalah..
guru yang tadi Ara tabrak saat sedang mengepel.

“Ohhhh….”

TBC

HAPPY READING J

***

**

“Kebenaran adalah sesuatu seperti sepotong permen dan coklat saat bungkusnya dibuka.
Sama seperti kulit yang dibutuhkan untuk melindungi daging dan darah dibawahnya, sebuah
kebohongan diperlukan untuk menutupi kebenaran. Daripada tetap jujur dan
memperlihatkan jati diri yang sebenarnya, memasang wajah palsu dan berbohong terasa
lebih aman baginya..”

(Kutipan Drakor Flower Boy Next Door dengan sedikit perubahan)

Chapter 3

“Ohhhh….????”

Ara langsung menghentikan kegiatannya – memohon pada pemilik mobil untuk


mengizinkannya tinggal di mobil itu selama beberapa menit kedepan sampai mobil Hana
pergi – dan terdiam dengan mulut setengah terbuka. Ia nyaris berteriak histeris, bahkan
matanya langsung terbelalak – terkejut – melihat siapa pemilik mobil itu. Dia adalah pria
yang tadi Ara temui di koridor sekaligus orang yang sudah ia tabrak saat masih mengepel.

“S-Songsaenim?” mulut Ara tergagap saat mengucapkan kata itu. Ia benar-benar tidak
menyangka jika mobil ini milik gurunya – setidaknya itu yang ia tahu mengingat ia baru
sehari di sekolah ini -. “Maafkan saya, songsaenim. Saya benar-benar tidak tahu.. Maafkan
saya.”

Segera Ara turun dari mobil begitu ia melihat mobil yang dinaiki Hana sudah pergi menjauh.
Tak lupa ia terus menggumamkan kata maaf sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Ia merasa malu dan takut pada saat bersamaan. Tubuhnya terus berjalan mundur dengan
kepala yang masih menunduk, menatap langkah kakinya yang sepertinya memang lebih
menarik bagi Ara.

BRUKK

Ara merasa punggungnya menabrak sesuatu. Bukan sejenis dinding ataupun tiang yang keras.
Tetapi sesuatu yang terasa hangat dan tertutup kain. Ara segera berbalik karena sepasang
tangan kekar memegangi kedua pundaknya dan tak pelak juga membuatnya terkejut. Dugaan
Ara benar tentang sesuatu yang ditabraknya itu manusia dan ia laki-laki serta… Oh Tuhan!!
Terkutuklah mata Ara karena menatap wajah lelaki itu liar. Mengagumi betapa sempurnanya
lelaki di hadapannya ini. Matanya yang tajam namun mempesona, hidungnya yang mancung,
bibirnya yang berwarna peach serta rambut coklatnya yang basah namun justru membuatnya
tampak semakin menawan di mata Ara. Oh ya, dan jangan lupakan kulit putih susunya yang
mulus bagaikan porselen, membuat Ara penasaran dimana lelaki itu melakukan perawatan
wajah. Dan betapa Ara ingin sekali memiliki wajah semulus itu.

“Bisakah kau minggir? Atau kau memang ingin menabrakku lagi?” suara berat nan rendah itu
terdengar bagaikan melodi indah yang memasuki gendang telinga Ara, membuat gadis itu
tersadar dan langsung menundukkan kepalanya – lagi -.

“M-maaf.” hanya kata itu yang berhasil keluar dari mulut Ara setelah otaknya terlalu eror
karena memikirkan betapa sempurnanya lelaki itu dan betapa ia sangat iri akan mulusnya
kulit lelaki itu. Dalam pikiran Ara, bagaimana bisa seorang lelaki memiliki kulit yang sangat
diidamkan oleh kebanyakan gadis-gadis bahkan wanita di seluruh Korea?

Oh oke. Daripada menjadi gila karena memikirkan hal itu, Ara memutuskan untuk segera
angkat kaki dari tempatnya berdiri. Ia berjalan menjauh dari lelaki itu dengan sedikit tergesa-
gesa karena ia sudah sangat ingin sampai ke rumah.

“Sehun? Kau tidak mau masuk ke mobil?”

Terdengar suara pria yang sedari tadi berada di dalam mobil hitam itu menginterupsi kegiatan
Sehun yang masih menatap kepergian Ara. Mata lelaki itu tak bisa teralihkan dari Ara saat
matanya bertemu pandang dengan gadis itu. Sehun langsung terhenyak begitu melihat betapa
cantik dan menawannya gadis yang baru saja menabraknya. Dan entah kenapa hal itu
langsung membuat jantungnya berdegup kencang. Ia tak tahu pasti, yang jelas ia begitu
kagum akan kecantikan yang terpancar dari diri gadis itu dan Sehun langsung terpikat pada
Ara. Tetapi Sehun langsung tersadar, bukankah gadis itu yang tadi mengacaukan
pertandingannya hingga ia dimarahi pelatih?
Benarkah gadis itu?, batin Sehun, masih belum yakin jika gadis yang baru saja menarik
hatinya itu adalah gadis yang tadi memukul wasit dengan pel. Ah, sudahlah. Sehun langsung
menggelengkan kepalanya, mencoba melupakan kejadian barusan. Toh baginya, karena gadis
itu ia jadi dimarahi pelatih dan diejek oleh teman setimnya. Tapi, kenapa ia keluar dari mobil
itu? Tak pelak hal itu membuat Sehun penasaran.

“Siapa gadis itu, Ayah? Ku lihat dia turun dari mobilmu tadi.” Tanya Sehun saat dirinya
sudah duduk disamping kursi kemudi – disamping Ayahnya-. Ia melempar begitu saja
ranselnya ke jok belakang lalu menyandarkan kepalanya disandaran dengan santai.

“Dia siswa kelas satu? Kenapa? Bukankah dia cantik?” ucap pria yang dipanggil Ayah oleh
lelaki bermarga Oh ini sambil menghidupkan mesin mobil lalu mulai melajukannya, keluar
dari gedung sekolah yang sudah mulai sepi.

“Terlalu cantik untuk mengacaukan pertandinganku dengan melempar pel hingga mengenai
kepala wasit?” Sehun berkata sambil mengingat kembali kejadian beberapa jam yang lalu,
yang masih akan ia ingat dengan jelas sampai ia tua nanti. Ya, Sehun memang tak
memungkiri jika Ara itu cantik. Sangat cantik. Mungkin ia lebih cantik cinderalla ataupun
putri-putri yang ada di negeri dongeng itu.

“Apa?” Tuan Oh langsung mengalihkan tatapannya dari jalanan menuju anak tunggalnya
yang tengah duduk dengan santai di sampingnya. “Tidak mungkin kan Ara melakukan hal
seperti itu?”

“Jadi namanya Ara? Darimana Ayah tahu namanya?” tanya Sehun balik saat mengetahui
fakta bahwa Ayahnya mengetahui nama gadis itu.

Tuan Oh agak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Sehun. Namun sebisa
mungkin ia bersikap normal sambil terus menyetir agar mobilnya tidak menabrak sesuatu. Uh,
jalanan kota Seoul memang tak pernah lengang di siang hari. “Tentu saja karena dia adalah
siswaku. Sebagai kepala sekolah, bukankah Ayah harus mengenal setiap siswa yang
bersekolah disini?” elak Ayah Sehun.

Sehun menatap Ayahnya dengan tatapan setengah percaya setengah tidak. “Begitukah? Lalu
apa Ayah mengenal semua teman sekelasku?” tantangnya. Ia ingin mengetahui kebenaran
akan kata-kata Ayahnya.

“Hei, Ayah bukan petugas sensus penduduk. Kau tahu itu, kan?” Tapi Sehun masih menatap
Ayahnya, ia masih penasaran darimana Ayahnya tahu nama gadis pel itu. “Baiklah…” Tuan
Oh menghela nafasnya. “Ayah melihat nametagnya tadi. Kau puas?”

***

“Ibu, kenapa kau tak memberitahuku tentang masa orientasi itu, huh?” tanya Ara dengan
tangan kanan memegang ponsel yang di tempelkan di telinga kanannya. Ia sedang menelepon
Ibunya yang kini sudah ada di Namhae, di kampung halaman mereka.

“Kau kan tidak usah mengikutinya, Ara. Ibu sudah meminta izin.” Jawab Ibunya dari
seberang.
“Benarkah? Kenapa Ibu tidak bilang, huh? Aku kan jadi harus dihukum karena tidak
mengikutinya.” Kata Ara setengah marah pada Ibunya. Ia kini tengah berjalan di jalan kecil
di dekat tempat tinggalnya. Lampu-lampu berjajaran di sepanjang jalan untuk menerangi
jalan yang selalu gelap jika di malam hari.

“Apa? Kau dihukum? Bukankah Ibu sudah meminta izin? Apakah Ibu harus kesana lagi
untuk komplain dengan kepala sekolahmu itu?”

Ara menghembuskan nafasnya kesal mendengar penuturan Ibunya. “Ah sudahlah. Ibu tidak
usah ke sekolah karena kepala sekolah sudah memberikan surat rekomendasinya. Sudahlah,
aku masih sibuk.”

BIIP

Sambungan telepon langsung terputus. Ara memandangi ponselnya dengan wajah kesal.
Ibunya selalu bertindak tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Tapi, sudahlah. Toh besok ia
tidak akan dihukum lagi. Ia memasukkan ponselnya ke saku jaketnya lalu kembali berjalan
menuju apotek yang ada berada di ujung jalan. Tangannya ia masukkan ke saku jaket karena
udara cukup dingin malam ini.

“Selamat datang…” sapa seorang pelayan yang bekerja di apotek itu. Ara hanya memberinya
senyum tipis lalu melangkah mendekatinya.

“Aku ingin membeli obat yang seperti ini dua bungkus.” Katanya sambil meletakkan sampel
obat yang akan ia beli. Pelayan itu mengambil obat yang ada di meja, lalu menatapnya
dengan kening berkerut.

“Bukankah ini obat keras? Kau harus memiliki resep dari dokter jika ingin membeli obat ini.”
Kata pelayan, kembali meletakkan obat di tempat semula.

Ara menatap pelayan itu bingung. “Dokter bilang aku bisa membelinya di apotek jika aku
menunjukkan obat itu. Kau tidak lihat label nama rumah sakit yang ada di bungkusnya?”
mata Ara menunjuk bungkus obat yang bertuliskan nama sebuah rumah sakit terkenal di
Seoul.

Pelayan itu mengambilnya lagi. “Ya, memang begitu. Baiklah, akan ku siapkan.” Kata
pelayan itu akhirnya. Ia berjalan masuk ke dalam dan kembali sekitar lima menit kemudian.
“Ini obatmu.” Katanya sambil memberikan obat itu pada Ara.

Ara langsung menerimanya dan memberikan uang untuk membayarnya. “Terimakasih.”

“Oh ya, apa kau pernah mengalami kecelakaan?” tanya pelayan itu saat Ara hendak pergi.

“Ya… begitulah kira-kira.” Jawab Ara dengan malas. Ia langsung saja melangkah keluar dari
apotek untuk menghindari pelayan itu bertanya lebih jauh lagi. Ara adalah tipe orang yang
paling tidak suka pada orang yang ingin mengetahui semua darinya. Terlebih pada orang
asing seperti pelayan itu. Memangnya jika Ara mengatakan semuanya, pelayan itu akan apa?
Berteriak histeris begitu? Oh baiklah. Tolong abaikan hal ini.
“Ara…” panggil seseorang yang ada di belakang Ara, membuat Ara menghentikan
langkahnya lalu menoleh ke bekalang.

“Joonmyeon Oppa..” sebuah senyum langsung merekah dari bibirnya begitu ia melihat siapa
orang yang memangilnya. Ara langsung berlari kearah lelaki berwajah kalem yang berdiri tak
jauh dibelakangnya.

“Kau dari mana saja, heum?” tanya Joonmyeon, tepatnya Kim Joonmyeon. Dia adalah putra
dari Bibi Nayoung, kakak Ibunya.

“Membeli obat.” Jawab Ara sambil menunjukkan bungkusan plastik yang ada ditangannya. Ia
langsung menggandeng lengan Joonmyeon dan mereka berjalan bersama menuju rumah.

“Apakah sakit kepalamu kambuh lagi? Bukankah dokter bilang untuk jangan
mengonsumsinya terlalu berlebihan?” tanya Joonmyeon, menatap Ara yang berusia tiga
tahun lebih muda darinya.

“Seharian ini belum. Aku hanya berjaga-jaga, Oppa.” Kata Ara sambil tersenyum. Ia
mencoba untuk tidak membuat sepupunya itu khawatir. Sudah cukup ia membuat Joonmyeon
khawatir selama satu tahun ini.

“Jaga dirimu baik-baik. Jika sesuatu terjadi padamu sekali lagi, aku pasti akan langsung
berhenti bernafas saat itu juga.” Kata Joonmyen, terdengar bersungguh-sungguh dari kata-
katanya, dan mau tak mau membuat Ara tersenyum.

“Kau itu. Dan jika kau berhenti bernafas, aku takut banyak gadis yang akan patah hati, Oppa.”
Kata Ara yang diakhiri dengan kekehan, membuat Joonmyeon juga ikut tertawa.

“Dasar gadis kecil.”

***

Malam itu Ara tidak bisa tidur. Ia memilih berdiri di balkon yang ada di kamarnya, menatap
pemandangan kota Seoul di malam hari yang tampak lebih indah karena dihiasai oleh lampu-
lampu yang menyala dari segala penjuru. Ara mengeratkan jaket tipis yang dikenakannya saat
angin berhembus hingga menyibakkan rambut panjangnya, membuat rambut kecoklatan itu
menutupi sebagian wajah cantiknya. Ia hendak menyingkirkan rambut dari wajahnya saat
sepasang tangan melingkar di pinggangnya. Sontak Ara langsung terkejut ada seseorang yang
tiba-tiba menyentuhnya.

Ia jadi berpikir. Apakah itu Bibi Nayoung? Tapi tidak mungkin karena ini tangan lelaki. Lalu
apakah Joonmyeon Oppa? Setahu Ara kakak sepupunya itu tidak berani melakukan hal itu.
Lalu siapa? Paman Jongjin? Oh itu pasti sangat tidak mungkin. Ara berusaha melepaskan
tangan itu, namun justru pemilik tangan itu semakin mengeratkan pelukannya dan
menyandarkan dagunya di pundak Ara, membuat Ara kembali terkejut.

“Kau belum tidur, sayang?” tanya lelaki yang memeluk Ara. “Udara cukup dingin diluar,
kenapa kau hanya memakai jaket tipis, huh?” tambahnya. Kini lelaki itu membalikkan tubuh
Ara hingga ia bisa melihat wajah cantik gadis yang ada di hadapannya.
Ara menatap lelaki itu lamat-lamat. Lelaki itu memiliki postur tubuh tinggi tegap. Tapi
anehnya Ara tidak bisa melihat dengan jelas seperti apa wajahnya. Wajah lelaki itu gelap dan
abstrak. Apakah karena disini tidak ada cahaya dari lampu? Tapi walau begitu Ara masih bisa
melihat pot bunga serta kursi malas yang ada di balkon. Kenapa tidak dengan wajah lelaki ini?

“Sayang, kenapa diam saja? Apa kau tidak merindukanku?” lelaki itu kembali membuka
suara saat melihat Ara hanya diam.

Merindukannya? Hei, apa maksud perkataan lelaki itu? Kenal saja tidak, bagaimana bisa Ara
merindukannya? Ara ingin sekali bertanya siapa lelaki itu, tapi entah kenapa lidahnya terasa
kelu. Bahkan ia tak mampu mengeluarkan suaranya. Makanya sedaritadi ia hanya diam
menatap lelaki itu. Mencoba mencari tahu siapa lelaki yang sudah berani masuk ke dalam
kamarnya lalu dengan seenak jidat memeluknya. Tapi tetap saja Ara tak bisa menemukan
jawabannya.

Tiba-tiba saja lelaki itu memeluk Ara saat Ara sedang sibuk berpikir. Tanpa bisa Ara cegah
lagi, kini ia sudah berada dalam dekapan lelaki itu. Hangat. Hanya satu kata itulah yang
mampu di proses oleh otak Ara saat kepalanya berada dalam dada bidang lelaki itu. Ia bisa
mendengar dengan jelas jantung lelaki itu yang berdetak dengan normal dan hembusan
nafasnya yang mengenai puncak kepalanya. Sedetik kemudian Ara terhanyut dalam dekapan
hangat lelaki itu. Ia memejamkan matanya, merasakan kehangatan dari lelaki itu yang
seketika mengalir pada tubuhnya. Ia merasa sangat nyaman dan sangat ingin tidur dalam
dekapan lelaki itu.

“Hiks…hiks…hiks…”

Ara membuka matanya perlahan begitu ia mendengar suara tangisan yang berada tak jauh
darinya. Seketika ia melepaskan diri dari dekapan lelaki itu, menatapnya seolah bertanya dari
tatapan mata mengenai suara itu. Lelaki itu tersenyum sambil mengelus rambut panjang Ara.

“Kau tidak ingin tahu siapa yang menangis? Coba bukalah pintu kamarmu dan kau akan
menemukan jawabannya.” Kata lelaki itu yang entah kenapa langsung diiyakan oleh Ara.

Dengan langkah kaki ragu, Ara berjalan menuju pintu kamarnya. Sesekali ia menoleh ke
belakang, ke tempat lelaki itu masih berdiri sambil menatapnya. Lelaki itu menganggukkan
kepalanya seolah menyuruh Ara untuk cepat membuka pintunya. Dengan rasa penasaran
yang tinggi, Ara terus berjalan. Namun tidak sengaja kakinya terbentur kaki meja hingga
tubuhnya langsung jatuh ke lantai.

BUGGG

“Awww….”

Ara memekik pelan saat merasakan kepalanya membentur sesuatu. Ia membuka kedua
matanya dan langsung mengetahui bahwa kepalanya itu membentur sekat yang ada
disampingnya. Owh sekat? Ya Tuhan, Ara baru sadar jika ia ternyata tertidur di dalam bilik
toilet. Owh, bagaimana bisa? Ya, sekarang Ara baru ingat jika ia berangkat terlalu pagi hari
ini, jadi ia memutuskan untuk berada di toilet sebentar karena ia belum tahu dimana kelasnya
dan tidak tahunya ia malah tertidur di dalam bilik toilet.
“Dasar bodoh. Bagaimana bisa aku tertidur disini?” rutuk Ara sambil memukul pelan
kepalanya.

“Hiks.. hiks… hiks… hiks..”

Kembali Ara mendengar tangisan seseorang. Tidak!! Ia pasti sedang bermimpi sekarang.
Tapi bagaimana bisa jika sekarang Ara sudah terjaga? Kenapa suara tangisan itu sangat mirip
dengan yang ada dalam mimpinya? Tapi jika diperhatikan, suara tangisan itu tidak jauh dari
tempatnya berada. Apa mungkin berada dalam toilet ini? Penasaran, Ara membuka pintu bilik
yang ia tempati dan ia langsung menemukan seorang gadis yang tengah meringkuk di bawah
wastafel.

Siapa dia dan apa yang dia lakukan disini?, batin Ara. Ia kembali melangkah mendekati gadis
itu. Kerutan di keningnya langsung terbentuk saat melihat kondisi gadis itu. Seragamnya
sangat kotor, dipenuhi oleh tepung dan telur serta rambutnya yang hitam juga ikut-ikutan
berwarna putih dan berantakan. Ara memberanikan diri berjongkok disamping gadis itu.

“Permisi. Kau baik-baik saja?” tanya Ara agak ragu. Untuk sesaat gadis itu menghentikan
tangisnya. Ia mendongakkan kepalanya lalu menatap Ara dengan matanya yang memerah.
Pandangannya penuh selidik seakan mencoba takut Ara akan melakukan sesuatu yang buruk
padanya.

Gadis itu melihat dirinya sendiri lalu kembali menatap Ara. “Kau pikir aku akan baik-baik
saja dengan keadaanku yang sekarang ini?” tanyanya sarkastis. Ara agak terkejut namun
sebisa mungkin ia tetap bersikap baik.

“Yah, tidak juga. Kau bahkan tidak diperbolehkan masuk ke kelas dengan seragam penuh
tepung itu.” kata Ara sedikit mencemooh. “Hei, jika aku meletakkan lilin diatas kepalamu,
kau akan menjadi kue ulang tahun.” Sambungnya, berniat sedikit bercanda.

Gadis itu menatap Ara dengan pandangan tidak suka. Ia tidak menggubris ucapan Ara dan
malah memperhatikan Ara lebih detail lagi. “Kau siswa baru?” tanya gadis itu dengan raut
penasaran.

“Tepatnya siswa kelas satu.” Jawab Ara. “Kenapa kau menangis dengan penampilan seperti
ini?” tanya Ara tak bisa membendung rasa penasarannya.

Mendengar pertanyaan Ara, gadis itu berdiri lalu melihat pantulan dirinya yang ada di dalam
cermin besar di dalam toilet. “Oh ini bukanlah suatu hal yang perlu kau khawatirkan.”

Ara ikut berdiri lalu menyandarkan tubuhnya pada dinding toilet, menatap gadis itu.
“Sebenarnya aku tidak mengkhawatirkanmu. Aku hanya tidak suka melihat penampilanmu
karena itu membuatku terganggu.” Jawab Ara.

Gadis itu sedikit tersentak, mungkin kaget dengan apa yang barusan Ara katakan. Ia berpikir
sambil mengamati Ara dari ujung kaki hingga ujung kepala.

‘Dia sangat cantik dan baik, hanya saja dia sedikit arogan. Tapi sepertinya dia tidak tahu
siapa aku.’, batin gadis itu. lalu seulas senyum muncul di wajah cantiknya yang penuh tepung.
“Oleh karena itu, maukah kau menolongku? Aku ada ulangan di jam pertama sedangkan
seragamku kotor.”

“Jadi?”

“Bisakah kau mengambilkan baju ganti di lokerku? Tidak sulit kok menemukannya karena
semua orang tahu loker nomor 85. Jadi apa kau mau?” tanya gadis itu dengan wajah memelas.
Ara menatapnya sejenak. Melihat wajah mengenaskan gadis itu ia jadi tidak tega. Mungkin
dengan sedikit amal di pagi hari bisa membuatnya masuk surga.

“Baiklah. Aku akan segera kembali.”

***

Dengan berbekal rasa kasihan pada gadis di toilet itu, Ara memberanikan diri berjalan
menuju tempat loker khusus untuk siswa tingkat dua. Memang gadis itu tidak menyebutkan
dia siswa tingkat berapa, hanya saja bed yang ada di seragamnya menunjukkan bahwa ia
adalah siswa tingkat dua. Yaah mungkin dia juga seumuran dengannya sama seperti Hana.

Ara agak sedikit bingung saat kakinya sampai di koridor tertutup yang penuh dengan deretan
loker berwarna coklat gelap di sisi kanan kirinya. Ini baru hari ketiga ia berada di sekolah ini,
jadi ia belum sempat menjelajahi lebih jauh sekolahnya yang sangat luas bagaikan samudra
atlantik #abaikan. Kepalanya menoleh ke kanan ke kiri, mencari keberadaan loker bernomor
85. Namun sejauh ini ia baru melihat loker dengan deretan angka 50 sampai 70. Mungkin
harus masuk lebih jauh lagi, batinnya.

Jadi Ara kembali melangkah dengan ragu. Beberapa siswa laki-laki yang sedang bergerombol
di depan loker melihat Ara. Mereka menghentikan sejenak kegiatan mereka dan
memperhatikan Ara. Mata mereka tak bisa lepas dari setiap langkah yang Ara ambil karena
mereka begitu terpesona akan kecantikan wajah Ara. Dan tentu saja Ara menyadarinya,
sehingga ia berpikir untuk cepat menemukan loker itu dan pergi dari sini.

Namun langkah kaki Ara terhenti saat matanya menangkap sosok lelaki tinggi yang tengah
memasukkan buku kedalam loker. Dari jarak satu meter, Ara bisa melihat dengan jelas siapa
lelaki itu dan hal itu langsung membuat jantungnya berdetak cepat. Ara langsung
membalikkan tubuhnya seketika karena takut lelaki itu, Lee Yian akan melihatnya.

Owh bagaimana Ara melupakan hal ini? Yian kan tingkat dua sama seperti gadis di toilet itu,
jadi otomatis ada kemungkinan ia bertemu dengan Yian di sini. Namun ia hanya tidak
menyangka akan bertemu secepat ini. Timingnya benar-benar tidak tepat karena ia belum
menyiapkan mentalnya sama sekali. Bagaimana jika Yian mengenalinya dan terkejut dengan
perubahan drastis pada dirinya? Ia benar-benar takut jika Yian akan marah padanya dan
menjauhinya. Untuk berjaga-jaga agar tidak ketahuan, Ara melepas name tag yang terpasang
di kemejanya.

“Hei, kau siswa tingkat satu, apa yang kau lakukan disini?”

Bagaikan disambar petir, Ara serasa akan mati seketika saat mendengar suara itu. Matanya
melirik takut-takut pada sosok yang baru saja ia hindari. Apa yang membuat Yian mendekat
padanya padahal jelas-jelas ia sudah berbalik? Atau jangan-jangan Yian mengenalinya? Owh
Ara benar-benar tidak menginginkan hal itu. Tapi tadi Yian memanggilnya siswa tingkat satu,
jadi apa Yian tidak mengenalinya? Ara akan sangat bersyukur jika itu terjadi. Ia belum siap
hidup sehina itu jika Yian akan membencinya.

“Hei, kau tidak mendengarku?” Yian bertanya kembali karena gadis di hadapannya ini tak
kunjung menjawab pertanyaannya.

Sebenarnya Yian bukanlah orang yang akan menegur seseorang yang tidak kenalinya, bahkan
pada teman sekelasnya sendiri. Namun begitu melihat gadis itu berbalik, dari belakang Yian
seperti melihat seseorang yang dikenalnya dari postur tubuh tinggi dan langsing itu. Namun
Yian sendiri tidak begitu yakin siapa orang itu jadi dia berinisiatif mendekati gadis itu. dan
lagi, Yian juga sempat melihat melihat jika gadis itu baru tingkat satu. Kan sungguh aneh
melihat siswa tingkat satu berkeliaran di arena loker tingkat dua.

“Owh maaf. Aku sedang mencari loker nomor 85.” Jawab Ara takut-takut. Ia bahkan
menundukkan kepalanya dalam-dalam, takut jika Yian akan mengenalinya.

Yian cukup terkejut saat gadis itu tak berani menatapnya. Namun tunggu sebentar. Kenapa ia
merasa tidak asing dengan suara itu? Ia seperti pernah mendengarnya di suatu tempat, tapi
dimana ya? Ia agak sedikit lupa karena terlalu banyak hal yang memenuhi kepalanya saat ini.
Yian dengan cepat menggelengkan kepalanya, gadis ini pasti bukan orang yang dikenalnya.
Jadi untuk apa terlalu memikirkannya?

“Disana. Kau hanya tinggal berjalan lurus dan lokernya ada sebelah kirimu.” Kata Yian,
menunjuk tempat loker itu berada dengan lengannya.

“B-baiklah. Terimakasih, Sunbae.” Kata Ara cepat lalu segera berlalu dari hadapan Yian. Ia
benar-benar sudah tidak tahan lagi jika berlama-lama di dekat lelaki itu. Ia khawatir
jantungnya akan meledak karena berdetak abnormal.

“Loker nomor 85? Bukankah itu milik Choi Jina si hidung ganda itu?” seseorang
membuyarkan perhatian Yian yang tengah menatap kepergian Ara. Dia adalah Chanyeol,
teman sekelas sekaligus teman setim basket Yian.

“Owh benarkah? Ada apa gadis itu mencari loker Jina?” tanya Yian yang mulai keheranan.

“Hei, bukankah dia gadis pel itu?” tanya lelaki yang ada disamping Chanyeol, Byun
Baekhyun.

“Siapa?” tanya Yian dengan berkerut. Sedetik kemudian ia langsung paham. “Owh,
maksudmu kekasih Sehun? Gadis itu?” tambahnya sedikit tidak percaya. Gadis itu sangat
cantik dan terlalu cantik untuk seorang lelaki seperti Sehun. Yah, itu menurut Yian.

Ara sudah menemukan loker yang dicarinya tanpa mempedulikan keadaan disekitarnya. Ia
segera membukanya dan begitu terkejut melihat isi loker itu yang penuh dengan coretan
spidol merah. Namun Ara mengabaikannya dan segera mengambil seragam olahraga yang
ada di dalamnya. Setelahnya, Ara langsung menutupnya dan betapa ia dikejutkan kembali
dengan beberapa lelaki yang ada di depannya. Siapa dan mau apa mereka?

“Kenapa kau mengambil seragam olahraga Jina?”


“Kau mengenalnya?”

“Bukankah kau gadis yang melempar pel pada wasit dan mengacaukan pertandingan?”

“Waah.. ternyata dia cantik sekali ya. Apa kau benar kekasihnya Sehun?”

Mulut Ara langsung menganga begitu mendengar serentetan pertanyaan aneh yang
dilontarkan kepadanya. Apa-apaan mereka ini? Apakah dirinya ini artis sensasional yang
terkena skandal dengan pengusaha-pengusaha tua karena hanya ingin mengambil hartanya
saja? Owh tolong hentikan ini, otak Ara yang sudah terbalik ini mulai menduga yang tidak-
tidak.

“Hei, apa yang sedang kalian lakukan?”

Perhatian para lelaki itu langsung teralih saat mereka mendengar suara yang ada di belakang
mereka. Otomatis Ara dan keempat lelaki itu langsung mencari sumber suara dan mereka
menemukan Sehun dan seorang lelaki yang jika tidak salah bernama Kai berdiri di samping
Yian. Ara membelalakkan matanya. Tuhan, bukankah itu lelaki yang kemarin? Lelaki dengan
wajah mulus bak porselen itu? Dan Kai, apakah kakak kelas galak itu mengenal mereka?

“Sehun, lihatlah siapa yang kami temukan. Gadis yang melempar pel itu.” kata Chanyeol
dengan semangat sambil menoleh ke belakang. Namun ia begitu terkejut saat tak menemukan
siapapun karena Ara sudah kabur dari tempat itu dengan berlari.

“Apakah kalian ini berandalan yang mengganggu gadis lemah?” tanya Sehun. Ia berjalan
menuju lokernya. Nomor 109.

“Owh ya Sehun, aku sudah mengembalikan buku catatanmu tadi. Terimakasih banyak.” Kata
Yian yang tadi ternyata memasukkan buku yang dipinjamnya kedalam loker Sehun. Lalu ia
berjalan menuju lokernya yang berada tepat disamping Sehun dan mengambil beberapa buku
pelajaran hari ini.

“Baiklah. Pastikan di pelajaran berikutnya kau tidak ketiduran lagi, Yian.” Kata Sehun sambil
menepuk bahu Yian pelan.

“Akan kuusahakan. Owh ya, kekasihmu itu cantik juga ya.. Baiklah, aku akan ke kelas
terlebih dahulu.” Kata Yian lalu berlalu dari sana.

Kai yang sedaritadi hanya diam, mendekati Sehun dan menyandarkan tubuhnya pada loker.
“Kekasih? Kau tidak pernah bilang padaku mengenai hal itu.” katanya sedikit heran. Ia sudah
mengenal Sehun sejak mereka masih berada di taman kanak-kanak dan ia tahu semua
mengenai lelaki itu. Dan sekarang, ia seperti ketinggalan berita.

“Tidak mereka salah paham. Dia hanyalah gadis aneh yang mengganggu pertandingan kami
kemarin.” Jawab Sehun acuh. Ia memasukkan semua buku yang telah diambil ke dalam tas
ranselnya.

“Owh kejadian itu.. Andai saja kemarin aku ikut pertandingan, pasti aku bisa melihat
bagaimana kejadiannya.” Kata Kai dengan wajah kecewa. Jika saja ia tidak dipaksa untuk
ikut menjadi panitia kegiatan orientasi, ia pasti bisa ikut bertanding.
“Kuharap kau tidak akan ijin lagi karena pelatih sudah menyuruhku untuk membawamu ke
latihan berikutnya atau aku akan disuruh menungging lagi.”

“Baiklah. Sebaiknya kita segera masuk ke kelas.”

***

Sepanjang perjalanan menuju toilet Ara hanya terus berjalan sambil menundukkan wajahnya.
Ia benar-benar takut jika lelaki-lelaki itu akan mengejarnya dan kembali menanyainya dengan
berbagai pertanyaan aneh yang membingungkan. Apalagi jika ia berada disana lebih lama,
Yian pasti akan mengenalinya dan itu justru akan membuat keadaan semakin gawat. Untung
saja tadi ada lelaki porselen dan kakak kelas itu, jadi Ara bisa dengan bebas melarikan diri
dari sana.

Ia menatap seragam olahraga yang ada dalam dekapannya. Jika tidak salah salah satu dari
mereka mengatakan bahwa loker itu milik Choi Jina. Sebenarnya siapa gadis itu kenapa
mereka sangat penasaran saat Ara mencari lokernya? Dan juga apa pula yang menyebabkan
gadis itu berakhir dengan penampilan mengenaskan begitu. Rasanya ada banyak hal yang
membuatnya bingung di sekolah ini. Semuanya terasa berbeda dari sekolahnya dulu saat di
Namhae.

Tapi setidaknya Ara mesti bersyukur. Akibat kejadian ini, ia jadi tahu dimana letak loker
Yian. Jika tidak salah ada di nomor 109 kalau tidak 110. Ah entahlah, pokoknya ada disekitar
sana. Tapi apa pula yang akan Ara lakukan setelah mengetahui dimana letak loker Yian?
Berdiri di depan lokernya sambil menunggu Yian pulang lalu mengatakan siapa dirinya yang
sebenarnya? Ah tidak! Ara tidak berani melakukan hal ekstrem begitu. Lalu apa ya?

Tanpa terasa Ara sudah sampai di toilet dan ia menemukan gadis yang bernama Choi Jina itu
sedang membasuk rambutnya dengan air yang ada di wastafel. Penampilannya tidak seburuk
tadi karena ia sudah membersihkan tepung yang ada di beberapa bagian tubuhnya. Ara
mendekati gadis itu dan menyodorkan apa yang dibawanya.

“Ini seragam olahragamu. Ternyata kau cukup populer juga di sekolah, ya.” Kata Ara
mengingat kembali para lelaki tadi yang menanyainya.

Jina langsung mengambilnya dan mengernyitkan dahinya. “Populer? Tidak juga. Aku
hanyalah siswa biasa.” Katanya.

“Biasa apanya? Kau sangat cantik, Jina-ssi.”

“Kau tahu namaku?” tanya Jina heran.

“Hmm.. saat aku bertanya pada siswa lain dan mereka langsung tahu jika itu lokermu.” Jawab
Ara. Ia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Ia
harus bergegas untuk mencari dimana kelasnya berada.

“Terimakasih atas bantuanmu…. siapa namamu?”

“Maafkan aku, aku harus segera pergi.” Kata Ara cepat tanpa menjawab pertanyaan Jina. Ia
segera keluar dari toilet.
“Hei, Ara.” panggil seseorang membuat Ara segera menoleh. Ia mendapati Hana tengah
berjalan tak jauh darinya.

“Hei, Hana. Senang bertemu denganmu pagi ini.” Kata Ara, lalu mereka berjalan beriringan.

“Aku juga. Owh ya, aku dengar kau masuk di kelas unggulan ya?” tanya Hana masih terus
berjalan.

Ara menoleh dengan pandangan terkejut. “Benarkah? Ah, mungkin kau salah lihat.” Katanya.
Pasalnya ia tidak begitu pandai dan bagaimana bisa itu terjadi?

“Aku yakin. Kepala sekolah yang mengatakannya padaku kemarin. Jika kau tidak percaya,
sini kutunjukkan.” Kata Hana sambil menarik tangan Ara. Mereka lalu berhenti di depan
sebuah kelas dan Hana menunjuk sesuatu dengan telunjuknya pada kertas yang tertempel di
jendela kelas tersebut. “Lihatlah. Kim Ara. Namamu tertulis disini dengan jelas.”

Pandangan mata Ara langsung tertuju pada apa yang ditunjuk Hana. Ia mengeja tulisan itu
pelan dan sedetik kemudian ia mengetahui jika namanya memang tertulis disana. Bagaimana
bisa? Saat lulus kemarin, ia hanya mendapatkan peringkat ketiga paralel. Peringkat pertama
didapatkan oleh Yian dan kedua oleh Jihyun. Jadi bagaimana bisa siswa yang nilainya rata-
rata seperti dia bisa masuk ke kelas unggulan di sekolah favorit seperti SMA Seoul ini?
Sebenenarnya apa yang dikatakan Ibunya pada guru-guru di sekolah ini?

“Aneh tapi nyata.” Gumam Ara masih tak percaya.

“Masuklah karena sebentar lagi jam pelajaran akan dimulai. Aku akan menjemputmu disini
saat jam istirahat. Jadi, sampai jumpa lagim Ara.” kata Hana dan segera berlalu dari
pandangan Ara.

Dengan cepat Ara beralih dan berjalan memasuki ruang kelas yang luas dengan beberapa
fasilitas mewah di dalamnya. Ada pendingin ruangan, dua unit komputer dan proyektor.
Kelas ini juga terlihat sangat bersih dan nyaman. Tidak seperti kelasnya yang ada di SMP,
begitu pengap karena tak ada pendingin ruangan dan juga kotor.

“Permisi, boleh aku duduk disini?” tanya Ara pada seorang gadis gemuk yang ada di
depannya. Ia bertanya demikian karena ia hanya menemukan satu bangku kosong yang
tersisa di kelas ini dan mau tidak mau Ara harus bertanya terlebih dahulu.

Gadis gemuk yang ternyata sedang bermain dengan ponselnya itu menoleh dan menunjukkan
senyumnya saat pandangan matanya bertemu dengan tatapan Ara. “Benarkah kau mau duduk
disampingku?” tanya gadis itu memastikan.

Ara sedikit bingung dengan pertanyaan gadis itu. ia mencoba tersenyum walaupun
dipaksakan. “Mau bagaimana lagi. Disini sudah tidak ada kursi kosong selain disampingmu.”
Jawabnya, ekor matanya menunjuk kursi kosong disamping gadis gemuk itu.

“Owh Ya Tuhan akhirnya ada juga yang mau duduk denganku. Sebaiknya kita selca dulu
untuk merayakan hal itu.” kata gadis itu dengan girang lalu menarik tangan Ara hingga Ara
duduk disamping gadis itu dan segera saja ia mengarahkan kamera ponsel kearah mereka.
“Katakan Kimchi….”
JPREEET

Satu foto selca berhasil didapatkan gadis itu. Dalam foto terlihat si gadis gemuk yang
tersenyum tiga jari sedangkan Ara hanya terdiam dengan wajah bingung. Ya tentu saja Ara
bingung. Bagaimana bisa teman sebangkunya seaneh ini?

“Owh ya perkenalkan.. namaku Lee Yumi. Kau bisa memanggilku Yumi biar kita bisa lebih
akrab. Dan siapa namamu?” tanya gadis gemuk itu yang ternyata bernama Yumi sambil
mengulurkan tangannya.

“Kim Ara. Namaku Kim Ara.” jawab Ara, menjaba uluran tangan Yumi.

“Hei, darimana kau berasal? Maksudku, bisa kau ceritakan tentang keluargamu? Apa kau dari
keluarga berpengaruh hingga bisa masuk ke kelas ini? Aku dan yang lainnya, orang tua kami
adalah donatur tetap sekolah ini. Bagaimana denganmu? Kau bukan siswa yang masuk ke
kelas ini karena kepandaianmu saja kan?” tanya Yumi panjang lebar. Ara hanya menatapnya
dengan tidak percaya.

Apa yang barusan dikatakan olehnya? Sebagian siswa yang masuk ke kelas ini adalah siswa
dari keluarga berpengaruh. Lalu bagaimana dengannya? Bagaimana gadis kampung biasa
seperti dirinya dan dengan kepandaian yang biasa bisa masuk kesini? Jangan-jangan Ibunya
menyogok guru-guru disini lagi. Tapi darimana Ibunya dapat uang? Untuk membayar biaya
hidup di Seoul saja kesusahan. Ah.. ini benar-benar membuat Ara bingung setengah mati
sampai hampir mau gila rasanya.

“Hei, kenapa hanya diam saja?” tanya Yumi karena Ara tak kunjung menjawab.

“Aku… Ya bisa dibilang begitulah.” Jawab Ara akhirnya. Tapi untungnya guru yang akan
mengajar mereka di jam pertama sudah masuk jadi Ara tidak harus menjawab pertanyaan
gadis aneh itu lebih jauh lagi.

***

“Uuuh… benar-benar aneh setengah mati.”

Ara bergumam sambil mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia masih memikirkan perkataan


Yumi tadi dan hal itu masih membuatnya bingung sekaligus penasaran. Ara bahkan
melupakan Hana yang kini sedang menatapnya dengan tatapan heran. Mereka kini sedang
ada di kantin dan Ara hanya duduk sambil menatap meja yang kosong sambil bergumam
tidak jelas.

“Kau ini kenapa sih? Dari tadi ku perhatikan hanya bergumam tidak jelas. Kau ada masalah?”
Hana memberanikan diri untuk bertanya. Ia bahkan sampai meninggalkan kimbab yang tadi
tengah dinikmatinya demi menjawab rasa penasaran yang menyelimuti diri teman barunya itu.

“Tidak ada. Hanya saja.. aku penasaran kenapa aku bisa masuk ke kelas unggulan.” Jawab
Ara, kini ia menatap Hana dengan wajah lesunya.

Kening Hana langsung berkerut begitu mendengarnya. “Bukankah tadi sudah ku katakan jika
kepala sekolah yang memasukkanmu kesana? Lagipula nilaimu juga bagus.”
“Tapi kenapa kepala sekolah melakukan itu? aku bahkan tidak mengenalnya dan tidak tahu
seperti apa dia. Kenapa dia begitu peduli padaku? Kemarin dia membebaskanku dari
hukuman, dan sekarang memasukkanku ke dalam kelas unggulan. Aneh sekali, kan.” Jelas
Ara.

“Aneh apanya? Orang tuamu pasti sangat berpengaruh hingga kepala sekolah mau melakukan
ini.”

“Berpengaruh?” ulang Ara. Ia agak ragu. Memang Ibunya berpengaruh? Kalau berpengaruh
untuk menyuruhnya ini dan itu sih iya. Tapi ini lain ceritanya. Bagaimana bisa? Ah
memikirkan ini membuat Ara lapar saja. “Aku mau pesan makanan saja.” Katanya sambil
bangkit dari duduknya dan melihat-lihat sekeliling, mencari makanan apa yang ingin ia
makan.

Sebenarnya Ara tidak masalah ia makan apa saja. Ia adalah tipe manusia omnivora yang akan
memakan apapun asalkan itu layak untuk dikonsumsi manusia. Yang membuat Ara sedikit
bingung adalah harga makanan di kantin ini sangat mahal. Bagaimana bisa nasi goreng
kimchi dijual dengan harga dua kali lipat disini? Padahal jelas-jelas jika membeli di Namhae,
harganya akan lebih murah bahkan masih bisa ditawar. Jadi sebaiknya Ara makan apa ya?

Perhatian Ara langsung teralhi begitu ia melihat tiga orang yang memasuki area kantin. Entah
mengapa Ara langsung bisa mengenali lelaki itu apalagi lelaki yang berjalan di tengah. Dari
jarak ratusan meterpun Ara dapat tahu siapa lelaki. Dia adalah Yian bersama dengan lelaki
porselen dan kakak kelas itu. Tiba-tiba saja jantung Ara kembali berdetak kencang dan
matanya tak bisa lepas dari sosok Yian yang kini tengah berjalan menuju arahnya.

“Yian Oppa….” gumamnya tanpa sadar membuat Hana yang masih asyik dengan kimbabnya
menoleh dan mendapati Ara yang berdiri mematung dengan mata tertuju pada lelaki tak jauh
di depannya. Otomatis Hana mengikuti arah pandang Ara dan mengernyitkan dahinya begitu
mengetahui siapa yang ditatap Ara.

“Kau mengenalnya? Lee Yian?” tanya Hana bingung.

Ara segera menoleh dan terkejut. “Kau juga mengenalnya??”

TBC

HAPPY READING 
*

“Aku tahu semua ini salah. Tapi jika aku berhenti sekarang, semuanya akan berakhir lebih
buruk lagi….”

Chapter 4~~
“Kau mengenalnya? Lee Yian?” tanya Hana sedikit bingung. Yah memang bukan hal yang
aneh jika banyak yang mengenal Yian, dia siswa yang cukup populer disini. Banyak gadis-
gadis yang tergila-gila padanya. Tapi yang membuat Hana bingung adalah, tatapan yang
diberikan Ara pada lelaki itu. Seperti… bukan tatapan kagum yang diberikan gadis-gadis
kebanyakan, atau.. entahlah.
Ara segera menoleh dan terkejut. “Kau juga mengenalnya??”

“Dia teman sekelasku, jika kau mau tahu. Dan.. dari mana kau mengenalnya? Ku pikir kau
kenal dekat dengannya.” Selidik Hana. Ara terdiam beberapa saat karena bingung harus
menjawab apa. Jika ia bilang bahwa ia dan Yian adalah sahabat sejak kecil, pasti Hana akan
kaget dan akan menimbulkan masalah. Jadi sebaiknya Ara harus menjawab apa ya?

“Emmm… aku melihatnya di pertandingan basket kemarin.” Jawab Ara dengan senyum
setengah dipaksakan. Ia tidak boleh terlihat jika ia sedang berbohong.

“Benarkah? Apa kau yakin?”

“Owh tidak.. mereka mendekat.”

Bukannya menjawab pertanyaan Hana, Ara justru kebingungan sendiri karena ketiga orang
yang menarik perhatiannya itu sekarang tengah berjalan mendekat. Memang bukan untuk
menghampirinya sih, tapi jika mereka melihat Ara, khususnya Yian, itu akan sangat buruk
bagi Ara mengingat ia belum menyiapkan mental sama sekali. Jadi, kini ia harus segera pergi
dari sini atau setidaknya menyembunyikan wajahnya agar tidak dikenali oleh Yian. Tapi, apa
yang harus ia lakukan? Owh ya, tiba-tiba Ara mendapatkan ide cemerlang.

“Hana, berpura-puralah kau tidak mengenalku. Aku akan menjelaskannya nanti.” Kata Ara
cepat pada Hana lalu ia segera menyembunyikan wajahnya dengan berpura-pura sedang tidur
dengan tangan yang menelungkupi kepalanya. Hana sendiri sedikit shock melihat tingkah
aneh teman barunya, ia ingin bertanya tapi diurungkannya karena Ara sudah terlebih dulu
melakukan apa yang ia inginkan.

“Hana, apa yang sedang kau lakukan?” tanya Kai saat ia bersama dengan Yian dan Sehun
berjalan melewatinya. Karena rasa penasarannya, tentu saja, Kai bertanya demikian. Hana
tidak biasanya berada di kantin sendirian. Setidaknya itu yang ia perhatikan.

“Owh.. Hai, Kai. Aku hanya sedang duduk sambil makan, tentu saja. Memangnya apa lagi?”
jawab Hana sekenanya. Jujur, ia agak terkejut mengetahui Kai dan kedua temannya itu tiba-
tiba ada di dekatnya.

“Siapa dia?” kini Sehun ikut bertanya. Matanya menunjuk pada Ara yang sedang tertidur
dengan wajah disembunyikan.

“Entahlah. Aku tidak mengenalnya.” Jawab Hana cepat. Ia berusaha sebisa mungkin
mempertahankan raut wajahnya agar tetap tenang. Pasalnya ia adalah tipe orang yang tidak
pernah bisa berbohong. Kalaupun bisa, raut wajahnya akan sangat tidak meyakinkan.

“Benarkah? Lalu kenapa kalian duduk di meja yang sama?” tanya Yian, ikut membuka suara.
Hana sendiri semakin kebingungan harus menjawab apa. Ya Tuhan, kenapa Ara membuat
suasana menjadi tidak menyenangkan? Dan kenapa pula ia harus terjebak di dalamnya?
“Apa peduli kalian? Sudahlah sana pergi. Jangan ganggu aku.” Kata Hana dengan ketus. Ia
segera mendorong Kai dan teman-temannya itu agar segera pergi menjauh darinya.

“Iya. Iya. Kau kasar sekali.” Dengus Kai.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Empat detik.

Ara merasakan keheningan di sekitarnya. Mungkin mereka sudah pergi, pikir Ara. Jadi Ara
dengan perlahan-lahan mengangkat kepalanya dan ia langsung menemukan Hana yang duduk
di depannya dengan wajah meminta penjelasannya. Ara membenarkan duduknya sambil
memberi Hana sedikit cengiran bodoh. Ia merasa agak bersalah telah melibatkan gadis itu.

“Bisa kau jelaskan padaku apa yang terjadi denganmu, Nona Kim?” tanya Hana dengan
penekanan disetiap kata-katanya.

Menghembuskan nafas pelan, Ara menatap Hana dalam-dalam. Menimang-nimang apakah ia


harus mengatakannya atau tidak. Sejujurnya Ara tidak terlalu suka jika harus mengatakan
sesuatu tentangnya apalagi pada orang yang baru saja dikenalnya. Bahkan pada ibunya
sendiri, Ara tidak terlalu suka jika ibunya tahu rahasianya. Tapi jika melihat seperti apa Hana
dua hari ini, mungkin Hana gadis yang bisa dipercaya. Mungkin Hana tidak seperti seseorang
yang sudah mengkhianatinya dulu. Mungkin saja. Dan tidak ada salahnya jika Ara
mencobanya.

“Kau tahu, Hana? Ada seseorang yang kusukai.” Aku Ara, sambil menundukkan kepalanya
dan memainkan jari-jemarinya.

“Dan dia adalah Lee Yian? Begitu?” tebak Hana cepat.

“Heum.. aku dan Yian Oppa, kami sudah mengenal sejak kecil. Dia sangat baik padaku dan
begitu perhatian. Kami bersahabat dan dia sudah seperti kakak bagitu. Namun lama-kelamaan
aku merasa aku harus mendapatkan seluruh perhatiannya. Aku akan marah jika berdekatan
dengan gadis lain dan kemudian aku sadar, jika aku menyukainya.” Jelas Ara panjang lebar.
Hana menatapnya dengan mata yang berbinar-binar. “Ya Tuhan, Ara. Kau sudah jatuh cinta
pada seorang Lee Yian. Kau harus menyatakan perasaanmu padanya jika kau tidak mau
kehilangan dia. Asal kau tahu, banyak gadis yang menyukai Yian. Dia lelaki yang baik dan
tipe semua gadis. Sainganmu banyak, Ara.”

“Lalu aku harus bagaimana, Hana? Jika aku menyatakannya, aku takut ditolak dan aku pasti
akan malu setiap bertemu dengannya.”

“Bagaimana kalau mengirim surat tanpa nama? Semacam secret admirer, jadi kau tidak perlu
takut ketahuan. Ah.. ini seperti yang dilakukan tokoh utama pada drama yang semalam ku
tonton.” Jawab Hana bersemangat. Entah mengapa ia merasa ia harus membuat Ara bersama
dengan orang yang disukainya.

“Itu ide yang bagus.” Kata Ara sambil mengangguk setuju. Tiba-tiba ia berdiri dan tersenyum
sumringah. “Kurasa aku harus mengisi otakku dengan makanan agar aku bisa membuat surat
cinta yang mengesankan.” Sambungnya.
Hana mengangguk sebentar. “Sana belilah sesuatu yang ingin kau makan. Seperempat jam
lagi bel masuk akan berbunyi.”

Lalu dengan segera Ara melangkah menuju salah satu penjual makanan yang ada di kantin.
Setelah memikirkannya matang-matang, ia memilih membeli kimbab. Walaupun harganya
sedikit agak mahal, tapi tak apalah. Toh ia bisa meminta uang lagi pada Ibunya.

“Bibi, aku mau kimbab satu porsi.” Katanya pada Bibi penjual. Bibi itu mengangguk lalu
mulai menyiapkan pesanan Ara. Tak lama kemudian pesanan Ara sudah jadi.

“Ini pesananmu, Nona. Selamat menikmati.” Kata Bibi penjual itu sambil menyerahkan
sebuah box berisi makanan pesanan Ara. Dengan segera Ara menyerahkan beberapa lembar
uang pas untuk membayar dan segera berbalik, hendak menuju ke meja tempat ia duduk
sebelumnya.

BRUKKK

Karena tak melihat sekitarnya saat berbalik, Ara menabrak seseorang hingga menjatuhkan
nampan yang sedang dibawa orang itu. Bunyi benda jatuh langsung terdengar dan membuat
semua yang ada di kantin itu menoleh, membuat Ara langsung menundukkan kepalanya
karena malu menjadi pusat perhatian.
‘Sial, kenapa aku selalu ceroboh, sih?’ batin Ara kesal. Ia berjongkok lalu meletakkan box
dan ponsel yang dipegangnya di lantai lalu mulai memunguti box tempat makanan yang
sudah kosong itu. ara bersyukur dalam hati karena box itu terbuat dari alumunium jadi tidak
akan pecah dan untungnya tidak ada makanan di dalamnya.

“Maafkan aku.” Kata Ara pelan, masih dengan kepala yang tertunduk sambil menyerahkan
box kosong itu pada orang di tabraknya. Owh ya, Ara baru sadar jika sedari tadi ia belum
melihat siapa orang yang di tabraknya. Tapi lebih baik tidak tahu saja, karena jika Ara tahu
siapa orangnya, itu akan membuatnya merasa bersalah jika mereka bertemu lagi nantinya.

“Lain kali berhati-hatilah. Dasar gadis pel.” Orang yang ditabrak Ara itu berkata dengan
dingin. Ternyata dia adalah laki-laki, suaranya terdengar sangat berat. Tunggu, gadis pel dia
bilang?
Mendengar lelaki itu mengatakan hal tersebut, Ara langsung mengangkat kepalanya dan
matanya langsung bertemu pandang dengan mata lelaki itu. Dia kan lelaki yang ditabraknya
kemarin dan juga yang ada di pertandingan basket itu. Kalau tidak salah lelaki berwajah
mulus itu namanya Sehun. Ya Tuhan, jika dilihat dari jarak yang sedekat ini, wajahnya
memang benar-benar putih dan mulus, membuat Ara penasaran produk kecantikan apa yang
dipakai lelaki ini.

“Hei, jangan menatapku seperti itu.” sentak Sehun karena merasa risih dipandangi oleh gadis
yang tak ia kenal. Apalagi dari jarak sedekat itu, Sehun bisa melihat dengan jelas manik
cokelat gelap yang sedang memperhatikannya.

“Owh, maafkan aku, sunbae.” Kata Ara lagi setelah tersadar. Bodoh sekali, kenapa ia bisa
menatap lelaki itu begitu lama? Ah, jika saja wajahnya itu tidak membuatnya iri, Ara tidak
akan melakukan itu. Dasar Kim Ara bodoh, rutuknya dalam hati.

“Dasar aneh.” Sehun mendesisi pelan. Ia mengambil ponselnya yang tadi ikut terjatuh lalu
segera berdiri dan menjauh dari Ara. Ini sudah kedua kalinya gadis itu menabraknya setelah
mempermalukannya saat pertandingan. Sehun sendiri bahkan sampai berpikir mungkin ia
sedang sial karena jika bertemu dengan gadis itu, kesialan akan selalu menyambanginya.

“Apa yang terjadi, Ara?” tanya Hana setelah Ara duduk di depannya. Memperhatikan Ara
yang tengah memakan kimbabnya dengan lahap, seolah tidak terjadi apa-apa.

“Aku hanya tidak sengaja menabraknya.” Jawab Ara enteng. Perhatiannya masih sepenuhnya
tertuju pada makanan di depannya.

“Kau beruntung karena ia tidak marah akan hal itu.” kata Hana. Ia kembali mengingat kejadia
barusan. Saat ia sedang asyik bermain dengan ponselnya, tiba-tiba ia mendengar bunyi benda
jatuh dan otomatis matanya langsung mencari ke sumber suara dan menemukan Ara yang
menabrak Sehun. Ia ingin menghampiri Ara dan menolongnya, tapi Hana takut jika Sehun
marah. Pasalnya Sehun adalah orang yang mudah terpancing emosi dan sangat kasar,
setidaknya itu yang ia tahu karena sejak masuk SMA sampai sekarang, ia selalu sekelas
dengan lelaki itu. Selebihnya ia tidak mau tahu dan tidak ingin berurusan dengan lelaki
bertemperamen buruk itu.

“Memangnya dia pemarah?” tanya Ara. Ia menyuapkan potongan kimbab terakhir ke dalam
mulutnya lalu mengunyahnya pelan.

“Sangat.” Jawab Hana cepat. Ia memajukan kepalanya agar lebih dekat pada Ara lalu
memelankan suaranya. “Kau tidak tahu saja jika ia pernah mengamuk waktu kelas satu
karena seragam olahraganya tertukar dengan milik siswa lain.”

Kening Ara langsung berkerut begitu mendengarnya. “Hanya karena itu? benar-benar parah.”
Hana mengangguk sekilas. “Ya, sangat parah. Ku harap kau tidak berurusan dengannya nanti.”

***

Jam menunjukkan pukul empat lebih dua puluh tiga detik saat bus berhenti di salah satu halte.
Ara langsung turun dari bus karena halte itu dekat dengan rumahnya. Ia merapikan roknya
yang sedikit kusut lalu mulai berjalan dengan santai. Untung saja rumahnya tidak terlalu jauh
dari halte ini. Hanya butuh berjalan kira-kira lima menit dan ia akan segera bisa merasakan
kasurnya yang empuk. Hari ini benar-benar cukup melelahkan bagi Ara. Ia belajar dari pagi
hingga pukul tiga lebih di sekolah dan itu benar-benar menguras tenaganya. Jadi Ara
berencana untuk segera tidur sampai pagi jika ia sudah sampai di rumah.

Langkah kaki Ara terhenti saat ia melihat seorang anak lelaki kecil yang berdiri di trotoar tak
jauh di depannya. Dengan sedikit berlari, Ara menghampiri anak itu dan langsung menepuk
pelan pundaknya.

“Jaehyun, apa yang kau lakukan disini?” tanya Ara pada anak kecil yang bernama lengkap
Kim Jaehyun itu. Dia adalah adik Joonmyeon dan usianya baru tujuh tahun.

Anak lelaki itu menoleh dan langsung tersenyum saat mengetahui bahwa kakak sepupunyalah
yang menepuk pundaknya tadi. Ia menatap Ara dan menyodorkan sesuatu pada Ara.

“Nuna, lihat apa yang ku temukan.” Katanya dengan suara khas kekanak-kanakannya dan
raut wajahnya yang polos serta menggemaskan itu.

“Owh? Dompet?” Ara mengambil benda itu. Dompet berukuran sedang berwarna cokelat
gelap. Jika dilihat, itu adalah dompet lelaki.

Karena rasa penasarannya, Ara membuka dompet itu dan matanya langsung terbelalak begitu
melihat beberapa lembar uang bernominal cukup besar ada di dalamnya. Juga beberapa kartu
kredit, kartu nama dan kertas-kertas kecil yang terselip disana. Pemilik dompet ini pastilah
orang kaya, pikir Ara.

“Jaehyun, lihatlah betapa banyaknya uang yang ada di dalam dompet ini.” Seru Ara, ia
berjongkok, menyejajarkan tubuhnya dengan tinggi badan Jaehyun yang hanya setinggi
perutnya lalu memperlihatkan isi dompet itu.
Dengan mata berbinar-binar, Jaehyun memperhatikan sambil mencoba mengira-ngira jumlah
uang yang ada dalam dompet yang di temukannya. “Waah.. uangnya banyak sekali, Nuna.
Kita harus segera mengembalikannya.” Kata Jaehyun dengan polosnya.

Mendengar hal itu, Ara langsung mengerutkan keningnya. Matanya menatap ke langit, seolah
sedang menerawang. “Mengembalikannya? Apakah harus? Tapi dengan uang ini aku bisa
membeli apapun yang aku mau. Dan jika memang benar pemiliknya itu orang kaya, ia pasti
tidak keberatan jika uangnya aku ambil semua.” Gumamnya pada dirinya sendiri, membuat
Jaehyun bingung dan menarik-narik rambut Ara pelan.

“Nuna, apa yang kau bicarakan?”

“Dengar, Kim Jaehyun. Ada kalanya kita tidak harus mengembalikan sesuatu yang kita
temukan. Barangkali orang ini memang sengaja membuang dompetnya dan tidak
membutuhkannya. Jadi anggap saja jika kita sedang beruntung hari ini.” Kata Ara seolah
memberi pengertian pada anak kecil yang sama sekali tidak bisa menangkap apa yang Ara
bicarakan.

“Maksudnya?”
“Begini. Kau bisa membeli banyak permen dan mainan dengan uang ini. Dan kita juga bisa
membeli rumah yang lebih bagus lagi. Bagaimana, apa kau setuju denganku?” kata Ara
dengan kalimat yang lebih sederhana. Ia mengedipkan sebelah matanya untuk merayu
Jaehyun agar mau sependapat dengannya.

Namun, Jaehyun malah mengambil dompet dari tangan Ara dan menggeleng dengan keras.
“Joonmyeon Hyung bilang, itu perbuatan yang tercela. Jika Nuna tidak mau membantuku
untuk mengembalikannya, lebih baik aku minta tolong pada Hyung saja.” Katanya sambil
menatap Ara tajam dengan matanya yang sipit.

“A-apa kau bilang? Jangan minta tolong padanya.” Cegah Ara saat Jaehyun hendak berjalan
menuju arah rumah. Lebih baik Joonmyeon tidak tahu mengenai hal ini. Jika sampai lelaki itu
tahu, tentunya karena Jaehyun yang mengatakannya padanya jika Ara tidak mau
mengembalikannya, Joonmyeon pasti akan menceramahinya sehari semalam sama seperti
waktu ia kecil dulu karena mencuri permen milik temannya. Dan tentu saja ia tidak mau hal
itu terjadi.

Dan lagipula, jika dipikir-pikir, pemilik dompet ini kan pasti orang kaya. Jadi besar
kemungkinan dia akan memberikan imbalan pada orang yang sudah menemukannya.
Walaupun jumlahnya tidak sebesar yang ada dalam dompet itu, tapi kan lumayan juga
daripada mendapat ceramah dari Joonmyeon. Itu bukanlah ide yang buruk juga.
Membayangkannya saja sudah membuat Ara tertawa evil dalam hati.
Ia mendekati Jaehyun dan mengambil dompet itu dengan lembut. “Dengar, aku akan
mengembalikannya. Jadi kau tidak perlu meminta bantuan pada Joonmyeon Oppa dan
kumohon jangan katakan apapun padanya tentang hal ini.” Katanya pelan.

“Bagaimana dengan memberiku tambahan uang saku selama seminggu sebagai uang tutup
mulut?” tawar Jaehyun. Sial, Ara baru ingat jika anak kecil ini cukup licik juga. Tapi bukan
Ara namanya jika kalah dengan anak kecil yang masih ingusan ini.

“Baiklah. Kita akan membagi dua imbalan yang kita terima sebagai uang tutup mulutmu.
Bagaimana?” tawar Ara, dengan senyum miring tercetak di wajah cantiknya.

“Oke.” Jaehyun mengangguk setuju. “Cepat hubungi dia.” Sambungnya.


Setelah memberikan tanda ‘OK’ dengan tangannya, Ara membuka dompet itu dan melihat
kartu nama di dalamnya.

“Prof. Oh Seunghyun, M.Si.” gumam Ara membaca nama yang tertulis di sana. Ara yakin
jika itulah nama sang pemilik dompet dilihat dari jumlah kartu nama yang bernama sama
cukup banyak disana. “Biar ku catat nomor ponselnya.” sambungnya. Jari-jarinya dengan
cepat menekan digit nomor itu ke dalam ponselnya.

“Kau tidak meneleponnya, Nuna?” tanya Jaehyun karena Ara sibuk mengetik sesuatu pada
ponselnya.
Ara menoleh sebentar lalu kembali melanjutkan kegiatan mengetiknya. “Tidak. Operatornya
berbeda dan akan mahal jika aku meneleponnya. Untuk apa mengeluarkan banyak pulsa
untuk menelepon jika aku punya banyak gratisan sms.” Jawabnya yang membuat Jaehyun
langsung terbengong seketika.
‘Tuhan, kenapa Nuna-ku ini sangat pelit dan perhitungan, ya? -_-’, kira-kira itulah yang ada
dalam pikiran Jaehyun, si anak kecil berusia tujuh tahun.

“Sudah terkirim. Kita hanya tinggal menunggu balasannya saja. Sebaiknya kita cari tempat
duduk, Jaehyun.” Kata Ara sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia berjalan
mendahului Jaehyun dan tidak memperhatikan ekspresi yang ditunjukkan Jaehyun padanya.

Beberapa menit kemudian….

“Owh, ada panggilan masuk. Pasti dari orang itu.” kata Ara lalu segera mengangkatnya.
“Halo… Selamat sore…”

“Selamat sore.” Jawab orang di seberang. Suaranya berat seperti suara laki-laki. “Owh
ternyata kau seorang gadis, aku pikir…”

“Ya, tentu saja aku seorang gadis, Tuan. Memangnya kenapa?” tanya Ara sedikit bingung.
Orang diseberang itu terkekeh pelan. “Aku hanya tidak menyangka saja jika putraku.. ah
sudahlah. Jadi, apa benar kau yang nemenukan dompetku?”

“Iya, Tuan. Apakah kita bisa bertemu agar aku bisa segera mengembalikannya pada anda?”

“Tentu saja. Kau ada dimana sekarang? Biar aku yang kesana.”

“Di Jalan *tuuuuut*. Aku berada di sebelah utara halte.”

“Baiklah, aku akan sampai dalam beberapa menit lagi.”

BIIIP

Sambungan telepon sudah terputus dan Ara segera menatap Jaehyun yang duduk
disampingnya. “Kau dengar kan? Orang itu akan datang beberapa menit lagi.”

“Ya. Kita tunggu saja, Nuna.” Jawab Jaehyun, ia menyandarkan tubuhnya pada dinding yang
ada di belakangnya, sedangkan Ara menendang batu kerikil yang ada di dekat kakinya.

“Owh ya, aku baru sadar jika aku memasang mode getar pada ponselku. Bukannya aku tidak
pernah memasangnya? Ini aneh sekali.” Gumam Ara pada dirinya sendiri yang masih bisa di
dengar dengan jelas oleh Jaehyun.

“Mungkin ponselmu berubah.” Celetuk Jaehyun cuek.


“Tapi bagaimana bisa? Biar aku lihat.” Katanya sambil mengeluarkan ponselnya dari saku
blazernya. “Yaah.. ponselku mati. Pasti baterainya habis.” Sambungnya dengan nada sedikit
kesal.

“Kau bisa mengisinya jika kita sudah pulang nanti. Bersabarlah sedikit, Nuna.” Jawab
Jaehyun masih cuek. Ia sudah terlalu sering mendapati kakak sepupunya berbicara pada
dirinya sendiri. Dan menurutnya itu adalah kebiasaan yang aneh.

“Benar juga katamu.”

Tak beberapa lama, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan tempat Ara dan
Jaehyun duduk, membuat Ara dan Jaehyun langsung menebak-nebak orang seperti apakah
yang ada didalamnya. Kemudian pintu mobil itu terbuka dan Ara langsung terkejut di
tempatnya. Bukankah itu guru yang waktu itu di tabraknya? Apakah dia yang bernama Oh
Seunghyun itu?

“Kim Ara? Ternyata itu kau?” tanya Tuan Oh saat mendapati Ara dan seorang anak kecil
duduk di depannya.
Ara langsung berdiri dan membungkukkan badannya, memberi hormat. “S-songsaemin..
maaf saya tidak tahu jika itu anda.” Jawab Ara dengan kepala tertunduk.

“Jadi pemilik dompet itu gurunya Nuna?” tanya Jaehyun dengan wajah polos.

“Iya. Jadi mana dompetku?”

“Ini, songsaenim.” Kata Ara sambil menyerahkan dompet itu pada lelaki paruh baya di
depannya. “Saya tidak mengambil apapun dari dalam dompet itu, selain melihat kartu nama
anda.” Sambungnya, memberitahu gurunya agar tidak berpikir yang aneh-aneh pada dirinya.

“Iya, aku tahu. Kim Ara, apakah kau mengenal putraku?” tanya Tuan Oh.

“Putra? Siapa maksud anda, songsaenim?” tanya Ara kebingungan. Ia tidak tahu apapun
mengenai gurunya ini, apalagi tentang anak serta keluarganya. Ara sangat tidak berminat
mencampuri urusan orang lain.

“Owh tidak, lupakan saja. Tapi aku senang putraku sudah besar sekarang.”
‘Apa yang dikatakan orang ini? Kenapa bicara ngawur dan tidak jelas begini?’, batin Ara
menatap lelaki yang ia ketahui sebagai gurunya ini dengan pandangan aneh. ‘Jangan-jangan
dia gila lagi.’, sambungnya, masih membatin.

“Owh juga…” gumam Ara dengan senyum yang dipaksakan.

“Terimakasih karena sudah menemukan dan mau mengembalikan dompetku. Kau memang
gadis yang baik, Ara. Dan sebagai rasa terimakasihku, ku mohon terimalah ini.” Kata Tuan
Oh, menyodorkan selembar uang senilai seratus ribu won.

“Tidak usah, songsaenim. Saya ikhlas melakukannya.” Kata Ara, berpura-pura tidak mau
menerimanya.
“Jangan begitu. Anggap saja ini hari keberuntunganmu.” Paksa Tuan Oh, ia lalu meletakkan
uang itu pada tangan Ara, membuat seulas senyum evil tercipa kembali.

“Terimakasih, songsaenim. Kalau begitu saya pulang dulu.” Kata Ara sambil menarik tangan
Jaehyun untuk segera mengikutinya. Dari tempatnya berdiri, Tuan Oh memperhatikan Ara
sampai gadis itu menghilang di persimpangan jalan.

“Nah, sebaiknya kita bagi rata hasil yang kita dapatkan.” Kata Ara, menghentikan
langkahnya lalu mengeluarkan uang itu dari sakunya. Ia melihat sekeliling, memastikan Tuan
Oh sudah tidak ada dan tak ada orang yang melihat mereka.

“Cepatlah. Hari sudah semakin sore dan Ibu pasti akan memarahi kita.” Kata Jaehyun.

“Iya. Iya.” Ara lalu mengeluarkan dompetnya yang ada di dalam tas. “Baiklah, karena kita di
beri seratus ribu won, jadi ini untukmu dan sisanya untukku.” Sambungnya sambil
memberikan selembar uang pada Jaehyun.
Jaehyun menerimanya dengan wajah aneh. “Sepuluh ribu? Kau bilang akan membagi rata?”
tanyanya, bermaksud untuk protes karena itu tidak adil baginya.

“Tentu saja aku sudah membaginya dengan rata, Jaehyun. Lihatlah, sepuluh ribu itu cukup
bagimu untuk membeli sebungkus besar permen cokelat kesukaanmu. Sudahlah, sebaiknya
kita pulang.” Kata Ara lalu berjalan meninggalkan Jaehyun yang masih merasa tidak terima.

“Nuna… kau benar-benar tidak adil.” Sentak Jaehyun lalu melemparkan sepatunya hingga
tepat mengenai kepala Ara.

BRUUK

“Aww… Jaehyun, apa yang kau-“

BRUKKK

Kembali Ara merasakan sepatu lain kembali mengenai kepalanya. Ia menoleh kebelakang
dan mendapati Jaehyun sudah bersiap melemparkan tas punggungnya pada Ara, membuatnya
langsung ketakutan dan mengambil langkah seribu sambil berteriak.

“Bibi…. Jaehyun melemparkan sepatu ke arahku…..Bibi…. tolong aku……” teriaknya


sepanjang jalan dengan Jaehyun yang berlari di belakangnya.

***
“Bibi…..” teriak Ara sambil berlari menghampiri Bibinya yang sedang memasak di dapur. Ia
segera bersembunyi di punggung Bibinya saat melihat Jaehyun yang sudah menyusulnya.
Bibi Nayoung yang sedang memasak, tepatnya menyiapkan makanan untuk pelanggan yang
datang ke kedainya, terlojak kaget dan segera menghentikan kegiatannya mengaduk sup yang
sedang dibuatnya. Ia menatap keponakan dan anak bungsunya dengan bingung.

“Apa yang kalian lakukan, hah? Seperti anak kecil saja.” Hardik Bibi Nayoung, membuat
Jaehyun langsung mengkerut ketakutan. Ara yang melihatnya malah menjulurkan lidahnya
pada Jaehyun membuat anak itu menatapnya tajam penuh amarah.

“Ibu, Ara Nuna tidak adil.” Kata Jaehyun, seolah mengadu pada Ibunya.

“Tidak, Bi. Jaehyun yang meminta lebih.” Sela Ara mencoba membela diri.

“Tidak. Nuna yang tidak adil padaku.” Teriak Jaehyun.

Bibi Nayoung yang melihat kedua anak itu berdebat, segera mematikan kompor karena takut
masakannya akan gosong. Ia melihat keduanya dengan alis saling bertaut. “Apa yang sedang
kalian perdebatkan? Apanya yang tidak adil, hah?” tanya Bibi Nayoung kebingungan.

“Ara Nuna memberiku sepuluh ribu seharusnya dia memberiku lima puluh ribu.”

“Jaehyun meminta lima puluh ribu padahal sudah aku beri sepuluh ribu.”
Bibi Nayoung semakin kebingungan karena Ara dan Jaehyun menjawab bersamaan. Ia mulai
kesal dan menatap keduanya dengan tajam sambil berkacak pinggang. “Ara, coba jelaskan
apa yang terjadi.” Pinta Bibi Nayoung mulai tidak sabaran.

“Begini, Bi. Tadi Jaehyun menemukan dompet dan aku membantunya mengembalikannya.
Lalu pemiliknya memberi kami uang seratus ribu dan aku memberi Jaehyun sepuluh ribu,
tapi ia malah meminta lima puluh ribu.” Jelas Ara dengan hati-hati.

“Owh.” Bibi Nayoung ber-oh ria dengan wajah datar. “Jaehyun, benarkah itu yang terjadi?”
tanyanya pada Jaehyun yang sedari tadi hanya diam.

Jaehyun menundukkan kepalanya dalam-dalam karena takut dimarahi Ibunya. “Memang


benar aku yang menemukannya. Tapi Nuna tidak berniat mengembalikannya karena uang
yang ada di dompet itu banyak. Jadi aku memaksanya untuk mengembalikannya dan dia
setuju karena sudah menebak pasti akan diberi imbalan oleh pemiliknya. Nuna juga berjanji
akan membagi rata imbalan itu. Tapi dia malah memberiku sepuluh ribu padahal kan
seharusnya lima puluh ribu.” Jelas Jaehyun dengan polosnya, membuat Ara ingin sekali
menjitak kepala anak kecil itu.

“Jadi begitu.” Kata Bibi Nayoung dengan wajah misterius. “Ara, berikan uangnya pada Bibi.”
Sambungnya. Dengan patuh, Ara mengeluarkan uang seratus ribu yang ada di dompetnya.
“Dan Jaehyun, berikan uang sepuluh ribumu.” Jaehyun pun menurutinya.

“Ibu akan membaginya dengan rata, kan?” tanya Jaehyun dengan wajah penuh pengharapan.

“Tentu saja.” Jawab Bibi Nayoung membuat mata Jaehyun langsung berbinar-binar
sedangkan Ara mendengus kesal.
“Jaehyun kan masih kecil, Bi. Dia belum memerlukan uang yang banyak.” Kata Ara,
membujuk Bibinya agar tidak membagi rata uang itu.

“Diamlah. Ara, ini untukmu dan ini untuk Jaehyun.” Kata Bibi Nayoung, memberikan Ara
dan Jaehyun uang masing-masing lima ribu won. “Dan sisanya, akan Ibu ambil. Bagaimana?
Adil, kan?”

“APA???!!!!!” teriak Ara dan Jaehyun bersamaan. Mereka berdua saling berpandangan satu
sama lain dengan wajah mengapa.

“Sudahlah. Ara, ajak Jaehyun mandi dan Bibi akan menyiapkan makan malam. Sekarang
Bibi mau mengantar ini dulu.” Bibi Nayoung berjalan dengan santai meninggalkan Ara dan
Jaehyun yang masih saling berpandangan.

“Ini semua karenamu, bodoh.” Rutuk Ara pada Jaehyun.

***
Lampu-lampu menyala menerangi lapangan indoor yang sedang digunakan untuk berlatih
basket ini. Mereka yang berlatih adalah Sehun dan timnya untuk menyiapkan pertandingan
ulang yang akan dilakukan minggu depan. Sudah hampir dua jam mereka berlatih sejak jam
sekolah berakhir dan kini mereka sedang mendengarkan pelatih berbicara.

“Aku harap kalian bisa lebih kompak lagi. Jangan mudah terpengaruh dengan gertakan lawan
dan-“
Ttoro wie yeogin run away
Nal baraboneun nun sog milky way
Just love me right, A-ha
Baby love me right, A-ha
Perkataan pelatih langsung terhenti saat ia mendengar reff dari lagu yang sedang hit di
kalangan pecinta boyband itu. Ia menatap siwa-siswa didikannya yang berbaris di depannya
satu-satu.

“Bukankah aku sudah mengatakan untuk menonaktifkan ponsel kalian saat sedang berlatih?”
tanya pelatih dengan mata memicing, mulai menduga-duga siapa yang menyalakan ponselnya.

“Kami sudah menontaktifkannya, pelatih.” Kata Kai dengan mantap.

“Tapi apa kau tidak mendengarnya? Lagu itu masih saja terdengar dan itu berasal dari salah
satu diantara kalian.” Kini pelatih mulai berjalan mengitari mereka dan berhenti di depan
Sehun. “Oh Sehun, bukankah ponselmu yang berbunyi?” tanyanya.

Sehun yang sedari tadi diam, menatap pelatihnya dengan bingung. “Bukan. Walaupun aku
tidak menonaktifkannya, tapi sudah memasang mode silent jika ada panggilan masuk.”
Jawabnya dengan santai.

“Tapi kenapa terdengar sangat jelas saat aku berada di dekatmu?”

“Jika anda tidak percaya, anda bisa mengeceknya sendiri.” Tantang Sehun.
Pelatih itu tersenyum miring lalu merogoh saku celana pendek yang dikenakan Sehun dan
senyumnya langsung terkembang saat melihat ponsel Sehun menyala dan lagu yang
merupakan nada dering panggilan dari ponsel itu masih saja terdengar.

“Kau lihat?”

“I-itu bukan ponselku.” Kata Sehun cepat. Ia mengambil ponsel dari tangan pelatih dan
segera menekan tombol reject yang ada disana. Ia mengernyit heran, kenapa ponsel ini bisa
ada di saku celananya? Bukankah tadi ia memasukkan ponselnya? Ponsel siapa yang sedang
dipegangnya ini dan dimana ponselnya?, batin Sehun keheranan.

“Oh Sehun, kau dihukum lari keliling lapangan lima kali.” Kata pelatih dengan tegas. Dan
untuk yang lainnya, kalian boleh istirahat dulu. Kita akan kembali latihan setengah jam lagi.”
Sambungnya lalu ia berjalan keluar dari lapangan.

“Sial.” Umpat Sehun, ia mulai berlari dan menghiraukan teman-temannya dan menatapnya
keheranan.
Beberapa menit kemudian…

“Minumlah.” Kata Kai seraya menyodorkan sebotol air mineral yang dengan segera diambil
oleh Sehun lalu meneguknya hingga tersisa setengah.

“Kau terlihat sangat kehausan.” Komentar Yian yang berada di samping Sehun.

“Tentu saja. Ini benar-benar menyebalkan.” Kata Sehun dengan nada kasar. Ia meletakkan
botol itu sembarangan dan mengelap keringat yang mengucur di lehernya dengan handuk
kecil.

“Omong-omong, sejak kapan kau mengganti dering ponselmu?” tanya Chanyeol, merasa
penasaran.

“Kau EXO-L, ya? Aku tidak menyangka kau juga menyukai boyband EXO itu.” Baekhyun
ikut nimbrung dengan melontarkan pertanyaan aneh. Dan sialnya, Sehun ingin sekali
melempar wajah temannya itu dengan boto mineral tadi.

“Itu bukan ponselku, bodoh.” Jawab Sehun.

“Lalu, itu milik siapa? Dan dimana ponselmu? Atau jangan-jangan itu milik kekasihmu?”
tanya Chanyeol bertubi-tubi. Ia mengambil ponsel yang diletakkan Sehun di lantai begitu saja
dan segera membukanya.

“Jika aku tahu, aku pasti sudah melemparnya dengan sepatuku.” Kata Sehun dingin. Ia masih
merasa kesal dengan ulah pelatih yang seenak jidat menghukumnya. Dia pikir Sehun siapa?
Jika Sehun mau, ia bisa melaporkan pelatih itu pada Ayahnya yang notabene adalah kepala
sekolah ini dan memecatnya. Tapi Sehun masih mempunyai hati sehingga ia tidak pernah
melakukannya sampai sekarang.

“Hei, ponsel ini ada passwordnya.” Kata Chanyeol setelah hampir satu menit mengutak-atik
ponsel berwarna putih di tangannya tapi tidak berhasil memecahkan kata sandinya.
“Sini, biar kucoba.” Sehun mengambil ponsel itu dengan cepat dan ia mencoba memasukkan
kombinasi angka.

“Haah.. sudah terbuka. Mudah sekali passwordnya.”

“Tentu saja kau tahu. Kan itu milik kekasihmu. Lihat saja wallpaper ponselnya.” kata
Chanyeol. Matanya menunjuk ponsel yang bergambar foto selca seorang gadis berambut
panjang yang sedang tersenyum dengan manis. Wajahnya benar-benar cantik dan menawan.

“Sialan. Ini milik Ara.” rutuk Sehun sambil melihat-lihat isi ponsel yang ternyata adalah
milik Ara.

“Ara? jadi itu nama kekasihmu?” tanya Kai yang sedari tadi hanya diam.

“Sial. Dia bukan kekasihku, bodoh.” Umpat Sehun, memberi tatapan tajam pada Kai.

“Lalu siapa?” tanya Kai, seolah mengejek Sehun.

“Ku bilang bukan kekasihku, bodoh. Dasar gadis sialan.” Jawab Sehun setengah membentak.

“Berhentilah mengumpat, Oh Sehun.” Hardik Yian yang dari tadi hanya diam menyaksikan
teman-temannya berdebat tak karuan.

Sehun menatap Yian yang sudah menghardiknya. “Sial… sial… sial…” umpatnya kembali,
seolah menantang Yian.

“Daripada mengumpat tidak jelas, lebih baik hubungi dia dan kalian bisa segera bertukar
ponsel kembali.” Kata Yian dengan malas. Ia benar-benar tidak habis dengan Sehun.
Temannya itu sangat suka mengumpat seenaknya jika sedang ada masalah dan hal itu justru
membuat masalah bertambah besar.

“Bodoh, kenapa kau tidak mengatakannya dari tadi?”

Dan Yian hanya memberi ekspresi wajah datar saja -_-

***
Ddrrrrrt…. dddrrrrrttt….

Ara yang sedang tertidur di meja belajarnya, lebih tepatnya ketiduran karena sibuk menulis
surat cinta untuk Yian seperti apa yang Hana sarankan tadi, terbangun karena mendengar
ponselnya bergetar. Segera Ara melepas kabel pengecharge yang sedang terpasang di
ponselnya dan melihat ponselnya dengan bingung.
Benarkah ini ponselnya? kenapa wallpapernya berbeda? Bukannya ia memasang foto dirinya
dan kenapa sekarang wallpaparnya abstrak begini? Tapi jika diingat, Ara memang sudah
merasa ponselnya agak aneh sejak tadi sore, tapi ia mengabaikannya karena berpikir mungkin
itu perasaannya saja. Tapi ternyata, ini bukan ponselnya!!! lalu, dimana ponselnya? jika jatuh
ke tangan orang yang salah, bisa gawat karena orang itu pasti akan menghabiskan pulsanya.

‘Hei, kau pemilik ponsel ini, kan? Ponsel kita tertukar dan bisakah kau kesini untuk
mengambilnya?’
Kedua alis Ara langsung bertaut saat membaca pesan yang berasal dari nomor ponsel
miliknya. Apa-apaan orang ini? Kenapa Ara yang harus datang kesana? Bukankah
seharusnya orang itu yang datang padanya dan meminta maaf karena sudah membuat ponsel
mereka tertukar. Tak ingin membuang-buang waktu, Ara menekan tombol panggil
bermaksud menelepon ke nomornya.

“Halo…” sapa Ara saat orang diseberang sudah mengangkatnya.

“Hei, cepat kesini dan kembalikan ponselku.” Sentak orang diseberang. Suara seorang laki-
laki.

“Kau yang seharusnya kesini.” Kata Ara dengan kesal. Ia bahkan sudah melupakan rasa
kantuknya akibat ketakutan pulsanya akan dihabiskan oleh orang yang memegang ponselnya
sekarang.

“Kau bodoh, ya? Bukankah kau sengaja menukar ponsel kita karena ingin menarik
perhatianku?” tanya lelaki itu dengan tegas, membuat Ara melongo sendiri.

“Apa katamu?” tanya Ara bingung.

“Cepatlah datang ke lapangan basket sekolah sebelum aku buang ponselmu ke selokan.”
Perintah lelaki itu dengan sedikit ancaman.

“YAAAAKKK!!! Apa yang kau-“

BIIIP

Sambungan telepon terputus sebelum Ara berhasil menyelesaikan kalimatnya. Ia melihat


ponsel di tangannya dengan kesal. Seolah enggan, Ara bangkit dari duduknya dan memakai
jaket tipisnya tanpa berniat mengganti rok pendek yang dikenakannya. Mau tak mau ia harus
mengambil ponsel itu sendiri. Bukannya takut dengan ancaman dari lelaki itu, tapi ia hanya
tidak mau jika ponselnya disalahgunakan. Bagaimana jika ponselnya digunakan untuk
meneror seseorang? Atau foto-foto dirinya yang ada di dalam ponsel itu di edit dan diganti
dengan tubuh polos seperti yang terjadi pada salah satu yang sedang naik daun itu. Ara benar-
benar tidak mau jika hidupnya akan menjadi sehina itu.

Setelah berpamitan dengan Bibi Nayoung, Ara segera berlari menuju halte bus. Beruntung
saat ia sampai disana, bus baru saja akan pergi jadi dengan cepat ia segera menaikinya dan
menemukan kursi kosong di dalamnya. Jam baru menunjukkan pukul tujuh malam saat bus
mulai memasuki jalan raya yang biasa ia lewati ketika berangkat ke sekolah. Lelaki tadi
mengatakan jika ia ada di lapangan basket sekolah. Itu artinya lelaki tadi pasti satu sekolah
dengannya dan kejadian ponsel tertukar itu pasti terjadi di sekolah. Tapi, bagaimana itu bisa
terjadi? Ara mencoba mengingat setiap kejadian yang ia alami seharian di sekolahnya ini.

***
“Bagaimana?” tanya Kai setelah Sehun mematikan sambungan teleponnya.

“Dia akan datang sebentar lagi.” Jawabnya acuh. Ia meletakkan ponsel itu kembali ke lantai
dan membaringkan tubuhnya di sampingnya. Waktu istirahat tidak tersisa banyak dan Sehun
akan memanfaatkannya dengan baik.

“Aku mau lihat foto-fotonya ah…” kata Chanyeol, mulai iseng dan mengambil ponsel itu.
“270714” gumamnya, menekan kombinasi angka yang digunakan sebagai password ponsel
itu. Sehun sudah memberitahunya tadi jadi Chanyeol bisa membukanya dengan mudah.

“Waaah… fotonya banyak sekali. Baek, coba kau lihat. Dia benar-benar cantik.” Komentar
Chanyeol saat melihat foto itu satu persatu.

“Mana-mana.. aku juga mau lihat.” Kata Baekhyun, yang diikuti oleh Kai dan beberapa
teman mereka yang lainnya.

“Dia benar-benar cantik seperti malaikat. Dan tubuhnya, sangat seksi.” Komentar Kai sambil
mengintip foto-foto itu. Sehun yang sedang memejamkan matanya, memukul punggung Kai
dengan tangannya.

“Bisakah kau hilangkan pikiran mesummu itu? dia hanyalah siswi tingkat satu. Seksi apanya
coba?” kata Sehun mencemooh. Ia bahkan tidak berniat melihat foto-foto itu sama sekali.

“Kalian ini.. bukankah itu mengganggu privasi orang? Kasihan gadis pemilik ponsel itu, kan?”
kata Yian, menasehati teman-temannya yang bersikap kurang ajar. Dari tadi ia hanya
memainkan game yang ada di ponselnya.

“Ayolah, Yian. Kau juga harus melihatnya. Gadis yang katanya Sehun bernama Ara ini
benar-benar cantik.” Chanyeol menarik tangan Yian, mengajak lelaki itu untuk ikut melihat.

Yian meletakkan ponselnya saat mendengar nama yang disebut Chanyeol. “Ara?” kedua
alisnya saling bertaut hingga membentuk kerutan di dahinya. “Namanya Ara?”

TBC

HAPPY READING J

“Kembali bertemu dengannya, itu artinya aku harus bisa mendapatkan hatinya karena inilah
kesempatan terakhirku….”

Chapter 5A

Yian meletakkan ponselnya saat mendengar nama yang disebut Chanyeol. “Ara?” kedua
alisnya saling bertaut hingga membentuk kerutan di dahinya. “Namanya Ara?” ulangnya.
Ia merasa tidak asing dengan nama itu. Yian masih ingat dengan jelas jika ia memiliki
sahabat yang juga bernama Ara di Namhae. Tapi Yian tidak tahu dengan pasti apakah Ara
yang dimaksud adalah Ara yang ia kenal. Ia menatap Sehun yang masih dalam posisi
berbaringnya, seolah tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Yian mendekatkan posisi
duduknya dan beralih duduk di sebelah Chanyeol yang masih berkutat dengan ponsel itu.

“Boleh aku melihatnya?” tanya Yian, yang kini sudah diliputi rasa penasaran. Ia hanya ingin
memastikan bahwa dugaannya itu tidak benar.

Chanyeol dan yang lainnya, menoleh mendengar pertanyaan Yian. Maka dengan senyum
lebar yang terpatri di wajahnya yang cukup tampan, Chanyeol menyodorkan ponsel yang dari
tadi di pegangnya. Saat Yian hendak meraihnya, sebuah tangan lain sudah lebih dulu
menjangkau ponsel itu.

“Sudah. Lihatnya nanti saja.” Itu adalah suara Sehun. Ia meletakkan ponsel yang baru saja
direbutnya kedalam ranselnya dan mulai berdiri. “Jam istirahat sudah habis.” Sambungnya
dengan ekor mata yang menunjuk kearah pelatih yang sedang berjalan memasuki lapangan.

“Yaaaah…” jawab yang lainnya serempak. Mereka dengan enggan mulai bangkit dan
berjalan menuju ke tengah lapangan.

***

Ara sampai di depan sekolahnya setengah jam kemudian. Jalanan di Seoul malam ini begitu
macet jadi perjalanannya menggunakan bus tersendat. Dengan cepat Ara memasuki gerbang
sekolahnya setelah meminta ijin kepada satpam. Sekolahnya terlihat cukup menyeramkan di
malam hari. Apalagi banyak pepohonan rindang sepanjang perjalanan memasuki gedung dan
itu membuatnya sedikit takut walaupun lampu-lampu taman berjajar di sepanjang jalan. Ia
hanya takut jika tiba-tiba saja ada yang mengikutinya dan saat berbalik Ara tidak menemukan
siapapun. Ah, mungkin Ara saja yang terlalu paranoid dengan hal itu.

Tak perlu waktu lama untuk mencapai lapangan indoor yang terletak di dalam gedung
sekolahnya yang megah. Dan kini Ara memberanikan diri membuka pintu yang tidak tertutup
rapat. Dari tempatnya berada, ia bisa mendengar suara yang berasal dari tim basket
sekolahnya yang sedang berlatih. Ara terus berjalan hingga mencapai bangku penonton
paling depan dan ia mendudukkan dirinya disana untuk sekadar mengusir rasa lelahnya.

“Ya Tuhan, Yian Oppa.” Kata Ara tiba-tiba. Matanya baru saja melihat sosok Yian yang
tengah berlari sambil mengoper bola di tengah lapangan dan itu mengingatkannya pada satu
hal yang paling ditakutkannya.

Bagaimana jika Yian melihatnya dan akan membencinya?!

Itu adalah satu pertanyaan sederhana yang mengganggu pikirannya sejak ia masuk kesini. Ia
memang berniat mengirimkan surat cinta untuk Yian, tapi untuk bertemu langsung secara
tidak terduga? Itu bukanlah pilihan yang tepat. Setidaknya dengan mengirim surat, ia bisa
menuliskan secara rinci apa yang terjadi dan segala hal yang Yian lewatkan tentangnya satu
tahun ini. Jadi, saat ia bertemu dengan Yian nantinya, Yian tidak akan salah paham ataupun
menduga-duga hal yang tidak-tidak. Dan yang lebih penting, Ara bisa memberikan waktu
bagi Yian untuk berpikir apakah akan membencinya atau tidak.
Bingung tidak tahu harus bagaimana. Tapi mana mungkin Ara langsung pulang tanpa
mengambil ponselnya? Ia tidak mau mengambil resiko jika ponselnya akan disalahgunakan.
Tapi, jika ia tetap berada disini, kemungkinan besar Yian pasti akan melihatnya dan mungkin
akan langsung mengenalinya. Bagaimana ini? Ara kebingungan setengah mati.

“Owh iya, aku kan punya masker di dalam tasku.” Katanya, mendapatkan ide yang terbilang
cukup cemerlang.

Maka dengan cepat, ia membuka tas selempang kecil yang dipakainya dan mengutak-atik
isinya. Tak lama, ia langsung menemukan benda yang ia cari dan langsung ia kenakan untuk
menutupi sebagian wajahnya. Ara mengambil kaca yang selalu dibawanya kemanapun ia
pergi dan mematut dirinya disana.

“Tidak buruk.” Gumamnya sambil tersenyum. Dalam hati ia memuji dirinya yang begitu
pandai dalam merencanakan sesuatu. “Dengan begini, Yian Oppa tidak akan mengenaliku.”
Sambungnya dalam hati.

“Sehun, sepertinya dia sudah datang.” Bisik Baekhyun tepat di telinga Sehun saat ia
mengoper bola padanya. Sehun langsung melihat ke sekeliling dan menemukan seorang gadis
yang tengah duduk di bangku penonton. Yian yang berdiri tak jauh dari Sehun, ikut melihat
kemana arah pandang Sehun. Ia memicingkan matanya agar bisa melihat dengan jelas sosok
yang berjarak cukup jauh darinya. Namun Yian tetap tidak bisa melihatnya dengan jelas.
Yang mampu ditangkap oleh retinanya hanyalah sosok gadis berambut panjang yang sedang
duduk di bangku penonton sambil berpangku tangan.

“Ternyata dia datang juga.” Gumamnya sambil mendribble bola dan bersiap memasukkannya
ke dalam ring. Latihannya akan selesai pukul setengah sembilan, jadi mungkin tidak apa-apa
jika gadis itu menunggu agak lama, batin Sehun tanpa rasa bersalah.

***

“Huh.. kenapa latihannya tidak selesai-selesai?” gumam Ara sambil mengacak-acak


rambutnya yang sudah kusut sejak tadi.

Bayangkan saja, Ara datang kesini dengan cepat berharap semoga ia bisa langsung
mengambil ponselnya dan segera pulang ke rumah lalu melanjutkan kembali tidurnya yang
sempat tertunda. Tapi apa yang ia lakukan sekarang? Duduk di bangku penonton seorang diri
sambil melihat para lelaki atau lebih tepatnya kakak kelasnya yang sedang berlatih basket di
malam hari? Orang-orang pasti akan mengira jika Ara adalah maniak yang sangat kurang
kerjaan.

Bahkan, saking bosannya, Ara sampai mengubah posisi duduknya. Dari mulai duduk dengan
anggun, mengangkat sebelah kakinya bahkan sampai berbaring di bangku penonton. Itu
semua ia lakukan karena ia sudah sangat bosan menunggu selama hampir satu jam tanpa
melakukan apapun. Matanya sudah mulai tidak mau diajak berkompromi dan yang lebih
parahnya lagi, sekarang sudah hampir jam setengah sembilan malam dan ia tidak bilang pada
Bibi Nayoung jam berapa ia akan pulang. Ia hanya bilang jika ia akan keluar sebentar. Dan
kenyataannya, ia sudah menghabiskan banyak waktu secara percuma. Ini tidak bisa dibiarkan.
Dan untunglah, doa yang dipanjatkan Ara dengan setulus hati dikabulkan oleh Tuhan. Pelatih
meniup peluit panjang tanda latihan sudah selesai. Ara melihat para lelaki itu yang mulai
menghentikan aktifitas awal mereka masih dengan posisi berbaringnya. Beberapa lelaki itu
mulai mengambil handuk yang mereka letakkan di pinggir lapangan untuk mengusap peluh
mereka. Mata Ara menatap mereka satu-persatu, mencari tahu siapakah orang yang tertukar
ponsel dengannya.

“Hei, kalian tahu siapa yang ditunggu gadis itu?” tanya pelatih, mendekati siswa didikannya
dengan mata menunjuk Ara yang ada di bangku penonton.

“Owh, dia menunggu Sehun.” Jawab Kai sambil berlalu.

Pelatih itu mengalihkan tatapannya dari Ara menuju Sehun yang sedang meneguk sebotol air
mineral. “Jadi benar jika dia itu istrimu?” tanya pelatih dengan wajah penasaran.

Sehun hampir saja tersedak ditanya seperti itu. Ia memberikan tatapan kesal pada pelatih dan
meletakkan botol air mineralnya yang sudah kosong. “Bukan. Status di kartu pendudukku
saja masih lajang.” Jawab Sehun dengan wajah masam. Pelatih itu tertawa.

“Jadi kalian menikah siri?” tebak pelatih yang masih saja tertawa.

“A-apa??!!!!” teriak Sehun kaget. Ia menatap pelatih itu kesal. “Pelatih, bercandamu tidak
lucu. Sudahlah, aku mau pulang.” Sambungnya sambil menyampirkan ransel ke
punggungnya.

“Hahaha.. dia benar-benar pemarah.” Gumam pelatih, masih tidak mampu menghentikan
tawanya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat Sehun berjalan menghampiri
gadis itu.

“Hei, bangun.” Sentak Sehun saat ia sudah berdiri di depan Ara yang tengah berbaring. Ia
menendang-nendang bangku panjang yang terbuat dari semen dan batu bata itu dengan
kakinya walaupun tak akan berpengaruh sama sekali.

Ara yang memang tidak tertidur namun setengah mengantuk, bangkit dan kembali
memposisikan dirinya untuk duduk. Ia mengucek matanya sebentar dan alangkah terkejutnya
ia saat melihat sosok jangkung yang ada di hadapannya. Apakah lelaki porselen ini yang
tertukar ponselnya denganku?, batin Ara.

“Jadi, kau orang yang tertukar ponselnya denganku?” tanya Ara, menyuarakan apa yang ada
di dalam hatinya.

Sehun menatap Ara dari ujung kaki hingga ujung kepala. Jadi memang benar gadis ini
pemilik ponsel itu. Kenapa harus dengan dia lagi sih? Apa tidak ada gadis lain di dunia ini?
Dan mengapa pula gadis ini harus memakai masker? Agar Sehun tidak mengenalinya? Lucu
sekali. Lihat sekilas saja Sehun sudah bisa tahu jika gadis ini adalah gadis yang sama dengan
yang waktu itu.

“Aku benar-benar sial kembali berurusan denganmu. Sepertinya kau memang gadis pembawa
sial.” Kata Sehun, menghembuskan nafasnya kesal.
“Apa kau bilang? Atas dasar apa kau mengatakan aku gadis pembawa sial?” tanya Ara,
merasa tidak terima dikatakan begitu oleh lelaki yang baru beberapa kali ia temui.

“Memang benar jika kau gadis pembawa sial. Setiap kali berurusan denganmu, aku akan
selalu sial, bodoh.” Sentak Sehun.

Ara menatap Sehun tajam sambil berkacak pinggang. “Bodoh kau bilang? Mulutmu benar-
benar kasar, ya!! Cepat, mana kembalikan ponselku!! Aku sudah kering menunggumu sejak
tadi.” Katanya, tidak mau berlama-lama berdebat dengan lelaki itu.

Sehun tertawa meremehkan. “Salahmu sendiri kenapa datang lebih awal. Kau pasti sengaja
menukar ponselmu dengan ponselku karena kau mulai tertarik denganku kan?”

“A-apa? Percaya diri sekali kau. Untuk apa tertarik pada lelaki kasar sepertimu, membuang-
buang waktu saja.” Kata Ara, sedikit tidak percaya dengan kenarsisan Sehun.

“Aku tahu gadis sepertimu pasti sangat tertarik dengan lelaki sekeren dan setampan aku. Jadi
aku tahu rencana licikmu itu. Jadi, mana ponselku?”

“Kita kembalikan bersama-sama.”

“Mana ponselku?”

Ara memutar bola matanya malas. Ia tidak habis pikir dengan lelaki ini. Kenapa dia begitu
keras kepala dan percaya diri? Ara sampai berpikir, apa kesalahan yang ia perbuat di masa
lalu hingga ia harus berurusan dengan lelaki aneh dan kasar seperti lelaki di hadapannya ini?
Tak mau membuang banyak waktu, Ara mengeluarkan ponsel Sehun dari tas selempangnya
yang langsung diambil begitu saja oleh Sehun.

“Ini milikmu.” Kata Sehun, setengah melempar ponsel milik Ara yang untungnya dapat
ditangkap dengan tepat oleh Ara. Ia bahkan tidak memikirkan apa jadinya jika Ara tak dapat
menangkapnya dan malah langsung membuka ponsel miliknya. “Kau tidak melihat-lihat isi
ponselku, kan?”

Ara yang masih mengusap-usap ponselnya karena baru saja dilempar oleh Sehun, menoleh
kearah lelaki itu dan menatapnya tajam. “Untuk apa aku melakukan itu. Kurang kerjaan
sekali.” Dengusnya sambil mempoutkan bibirnya. Padahal jelas-jelas tidak ada yang bisa
melihat ekspresi yang ditunjukkannya karena ia masih memakai masker. “Atau jangan-jangan
kau yang melihat-lihat isi ponselku.” Tuduh Ara.

“Apa katamu? Aku bahkan tidak tertarik pada gadis sepertimu. Sebelum kau menyatakan
perasaanmu, aku sudah akan menolakmu, Kim Ara.” kata Sehun dingin. Ara sedikit tersentak
mengetahui kenyataan bahwa lelaki itu tahu namanya.

“Kau- dari mana kau tahu namaku, huh?” tanya Ara penasaran. Ia bahkan mendekatkan
dirinya pada Sehun agar bisa mendengar dengan jelas jawaban dari lelaki itu.

“Bukan urusanmu. Tapi jika kau mengira aku mencari informasi untuk mengetahui namamu,
kau salah besar. Baiklah, terimakasih atas ponselnya dan selamat malam.” Kata Sehun,
membalikkan badannya dan hendak pergi.
“Hei, kau sudah mau pulang?” tanya Ara, saat melihat Sehun berjalan menjauh. Ia juga
melihat sudah tak ada siapapun di dalam gedung itu selain dirinya dan Sehun yang akan pergi.

“Tentu saja. Kenapa? Kau tidak mau pulang?” tanya Sehun acuh. Ia masih terus berjalan
menuju pintu keluar.

“Tentu saja aku akan pulang. Karena siapa aku melakukan hal ini. Huh, berdekatan
denganmu membuatku sial.” Kata Ara tajam dan ia berjalan mendahului Sehun yang kini
malah terdiam di tempatnya sambil melihat kepergian Ara.

“Siapa yang sebenarnya sial disini?” gumam Sehun seolah bertanya pada dirinya sendiri. Ia
melihat kembali ponsel yang ada dalam genggaman tangannya. Sebuah senyum tipis terukir
di wajah tampannya saat melihat bahwa baterai ponselnya sudah penuh sekarang.
Kemungkinan besar gadis itu yang mengechargenya dan Sehun berterimakasih karena berkat
Ara, ia jadi tak perlu membuang listrik untuk mngecharge ponselnya yang tadi siang sudah
hampir low bat.

Setengah menghentakkan kakinya karena merasa sangat kesal dengan sikap Sehun, Ara terus
berjalan hingga keluar dari gedung dan sampai di halaman yang akan mengantarkannya
langsung menuju gerbang. Ia tak mau berlama-lama di sini, apalagi sekarang sudah malam
dan ia tidak terbiasa keluar di malam hari sejak tinggal di Seoul. Ibunya bilang, Seoul di
malam hari sangat berbahaya bagi seorang gadis dan Ara tentu saja mempercayai itu.

“Tunggu.”

Langkah kaki Ara langsung terhenti saat sebuah tangan menyentuh pundaknya. Maka dengan
ragu, Ara membalikkan badannya agar bisa melihat siapa pemilik tangan itu. Ara tidak ingin
jika ternyata itu adalah hantu penunggu sekolah ini ataupun makhluk halus yang kebetulan
lewat disana. Bahkan, Ara sudah mengucapkan doa pengusir hantu di dalam hatinya.

Namun apa yang dipikirkan Ara berbeda dengan kenyataan. Ternyata, orang itu bukanlah
hantu ataupun makhluk halus yang ia duga. Tapi parahnya, dia adalah Yian. Catat itu! LEE
YIAN sekarang ada di hadapan Ara. Owh Tuhan, apakah kau berencana mempertemukan
kami sekarang?, batin Ara.

“Benarkah kau yang bernama Ara?” tanya Yian, menatap gadis yang memakai masker di
hadapannya ini. Ia tidak melihat keseluruhan wajah gadis itu. Yang mampu dijangkau oleh
pandangan matanya hanyalah rambut hitam kecoklatannya yang panjang, mata yang bulat
dan hidung yang mancung. Selebihnya, ia tidak bisa melihat lagi. Yian mulai
membandingkan wajah gadis itu dengan Ara yang dikenalnya.

“Iya.” Jawab Ara lirih. Ia mengubah sedikit suaranya agar Yian tidak mengenalinya.

Masih menatap gadis di hadapannya, Yian mengulurkan tangannya untuk menyingkirkan


beberapa anak rambut yang menutupi dahi Ara, membuat Ara sedikit terkejut dengan
perlakuan Yian. “Apa kita pernah bertemu atau saling mengenal sebelumnya?” tanyanya
kembali. Matanya tak bisa lepas dari memperhatikan wajah Ara, membuat Ara sedikit risih
dan ketakutan di waktu yang bersamaan.
“Tidak.” Ara menjawab dengan cepat. Ia melangkahkan kakinya selangkah mundur karena
jarak diantara mereka begitu dekat. Ia tentu saja tidak mau Yian mengenalinya secepat ini.

“Benarkah?” gumam Yian. Ia masih saja menatap Ara. Pikirannya terus berusaha
membandingkan wajah gadis dihadapannya dengan wajah Ara yang ia kenal. Manik cokelat
gelapnya dan bentuk hidung mereka sangat mirip. Jika saja gadis itu tidak memakai masker,
Yian ingin sekali melihat bentuk bibirnya. Hanya untuk membandingkannya dengan milik
Ara. Tapi tentu saja Yian tidak mau bersikap kurang ajar karena jelas-jelas gadis ini
mengatakan jika mereka tidak saling kenal. Walaupun dalam hati Yian sedikit menyangsikan
pengakuan gadis itu.

“Yian, ayo kita pulang.” Teriak Kai yang berada tak jauh dari tempat Yian dan Ara berdiri
dari atas motor sportnya. Ia kini sudah memakai helm dan jaket serta mengganti celana
pendeknya dengan jeans.

“Owh, baiklah.” Kata Yian cepat. Ia menatap Ara sejenak, lalu mulai melangkahkan kakinya
meninggalkan Ara yang masih berdiri mematung di tempatnya. Tangannya bergetar dengan
hebat sejak tadi. Tapi untungnya Yian tidak melihatnya.

Setelah melihat kepergian Yian yang membonceng Kai dengan motornya, Ara langsung
menghembuskan nafanya panjang. Ia benar-benar lega karena Kai datang disaat yang tepat.
“Ya Tuhan, nyaris saja.” Gumamnya lalu mulai melanjutkan langkahnya yang sempat
terhenti tadi.

***

Malam sudah semakin larut dan Ara masih berada di halte saat itu. Sudah hampir setengah
jam ia menunggu bus datang namun hasilnya nihil. Ara melihat jam yang melingkari
pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Owh ya
Tuhan, Bibi Nayoung pasti akan memarahinya habis-habisan karena pulang lebih dari jam
malam yang diijinkan oleh Bibinya. Owh, bagaimana ini? Masa iya Ara harus pulang dengan
berjalan kaki? Jaraknya sangat jauh dan itu sangat tidak mungkin. Sempat terlintas dalam
benak Ara untuk naik taksi saja. Tapi, ketika ia melihat dompetnya yang hanya berisi uang
lima ribu won, ia mengurungkan niatnya karena uangnya sangat tidak cukup. Ah, benar-benar
sial.

“Sedang menunggu bus, cantik?”

Terdengar suara seorang lelaki yang diiringi dengan langkah kaki yang terdengar mendekat.
Ara langsung menoleh ke sumber suara dan matanya langsung menangkap tiga orang lelaki
asing yang berjalan mendekatinya. Mereka memakai pakaian serba hitam dan gaya mereka
seperti berandalan yang ada dalam music video salah satu boyband yang pernah ia lihat. Ara
merapatkan jaketnya dan langsung menggeser duduknya saat salah seorang dari lelaki itu
dengan beraninya duduk tepat di sebelah Ara.

“Hei, jangan takut, manis. Kami tidak akan menyakitimu.” Kata lelaki itu, tersenyum samar
hingga menampilkan deretan giginya yang rapi. Ara juga bisa melihat mata ketiga lelaki itu
yang menatap tubuhnya dari atas hingga bawah seolah ingin menelanjanginya. Baiklah, Ara
mulai tidak suka dengan situasi seperti ini.
Jadi ia memutuskan bangkit dari duduknya dan mengambil langkah seribu untuk menjauh. Ia
segera pergi dari halte itu dan berjalan sambil menyalakan ponselnya. Membuka daftar
kontak untuk menghubungi Joonmyeon. Hari sudah semakin larut dan jalanan tempatnya
berada juga semakin sepi. Kecuali kendaraan yang masih berlalu lalang di jalan raya yang
ada di sampingnya. Sedangkan pelajan kaki sepertinya, sudah tidak terlihat dan toko-toko pun
juga sudah mulai tutup.

“Cantik, kau mau pergi kemana? Ayolah bersenang-senang dengan kami sebentar.” Teriak
salah seorang dari ketiga lelaki itu yang ternyata mengikuti Ara.

Jantung Ara langsung berpacu dengan cepat. Ketakutan langsung menghinggapinya.


Tangannya yang memegang ponsel, gemetaran hingga ia tidak bisa menemukan kontak
Joonmyeon. Tak ingin menghambat langkahnya, Ara memasukkan ponselnya ke dalam tas
selempangnya dan mulai berlari menghindari kejaran ketiga lelaki itu.

Mata Ara menatap keseliling, mencari siapapun orang yang bisa ia mintai tolong. Namun
sepertinya nasib sial memang sedang menghampirinya. Di sepanjang jalan ini sudah sangat
sepi dan yang lebih parahnya lagi, ketiga lelaki itu masih setia mengejarnya sambil berteriak
memintanya untuk berhenti. Ara semakin mempercepat laju larinya. Nafasnya sudah mulai
tersengal-sengal karena ia tidak terbiasa berlari. Apalagi ia sangat tidak suka olahraga. Ia
akan lebih memilih tidur seharian di rumah saat liburan daripada ikut Joonmyeon ke gym
ataupun sekadar lari pagi. Dan Ara mulai menyesali hal itu karena ia sudah mulai tidak kuat
lagi berlari.

BRRUKKKK

“Awwww…..”

Ara meringis kesakitan saat pantatnya berbenturan dengan aspal yang keras. Ia terjatuh
karena sepatu wedges yang dipakainya membuat kakinya tidak bisa berlari dengan baik dan
malah menyandung kakinya yang satunya. Ara melihat ke belakang, ketiga lelaki itu belum
terlihat namun suara mereka sudah terdengar dari arah belokan. Itu artinya mereka sudah
semakin dekat.

Tak mau tertangkap dan nasibnya akan menjadi lebih buruk lagi bila ia jatuh ke tangan ketiga
lelaki itu, Ara mulai bangkit. Namun sayang kaki kirinya terkilir dan menyebabkannya sulit
untuk berdiri. Suara mereka sudah semakin dekat. Ara semakin ketakutan karena ia tak bisa
berlari dengan keadaannya yang seperti ini. Ia memutar otaknya, berusaha mencari cara agar
ia bisa terbebas dari ketiga lelaki asing yang pasti akan berbuat buruk padanya.

‘Berpikir berpikir berpikir…. ayo, berpikir, Ara…’ batin Ara.

“Ah, aku tahu.” Celetuk Ara tiba-tiba saat ia mendapatkan sebuah ide. Lalu dengan sekuat
tenaga, ia mulai bangkit dan bergegas menjalankan idenya sebelum terlihat oleh ketiga lelaki
asing itu.

***

Semburat cahaya kemerahan mulai terlihat dari ufuk timur. Sinarnya yang kemilau sedikit
menyibakkan cahaya gelap yang ditimbulkan sang dewi malam. Terdengar langkah kaki yang
menapaki jalanan kecil beraspal ini. Langkah kakinya yang sedang berlari, terdengar konstan
dan berirama mengisi keheningan pagi buta kali ini.

Masih pukul lima pagi saat Sehun memutuskan untuk berhenti sejenak dari aktifitas lari
paginya dan beristirahat di salah satu bangku di pinggir jalan yang ada di bawah pohon maple.
Ia mengeluarkan sebotol air mineral dari saku jaketnya dan menenggaknya hingga habis.
Disandarkannya tubuhnya pada batang pohon yang besar dan kokoh itu. ia mengelap sedikit
keringat yang membasahi wajahnya dengan ujung jaketnya.

GEDEBUGGG

“Adduh…” pekik Sehun saat sesuatu menimpa kepalanya. Ia mendapati sebuah tas
selempang kecil yang jatuh dari atas. Dipungutnya tas berwarna hijau toska itu dan
mengamatinya. “Sialan, tas siapa ini? Kenapa bisa jatuh dari atas?” tanyanya pada dirinya
sendiri.

Kepalanya lalu menengadah ke atas dan alangkah terkejutnya saat ia melihat sesosok manusia
yang tengah tertidur pulas di dahan pohon itu. Mulut Sehun sedikit terbuka saat mengetahui
bahwa sosok itu adalah seorang gadis. Matanya langsung beralih pada kaki jenjang gadis itu
yang menggantung. Sehun berdiri dan sedikit berjinjit untuk menyentuh kaki itu. Namun
pandangannya justru beralih pada rok pendek yang dikenakan gadis itu yang sedikit tersibak.
Dari bawah, Sehun bisa melihat hotpants berwarna putih yang dikenakan gadis itu di bawah
roknya.

Ya Tuhan, apa yang sedang ia lihat sebenarnya?

Seolah tersadar bahwa ia tak seharusnya melihat hal itu, Sehun mengalihkan pandangannya
dan matanya langsung terbelalak saat melihat wajah gadis itu. Kenapa dia sangat mirip
dengan gadis pel itu, ya? Pikir Sehun saat melihat bagaimana miripnya dia dengan Ara.
Dengan iseng, tangan Sehun terulur dan menarik salah satu kaki gadis itu hingga gadis itu
terbangun dan kehilangan keseimbangannya.

GUBRAAKKK

Terdengar suara dari sesuatu yang terjatuh dan itu adalah gadis yang tadi tertidur yang
ternyata adalah Ara dan ia jatuh menimpa Sehun. Ara yang sedang tidur nyenyak di atas
dahan pohon setelah semalam dikejar oleh tiga orang tak dikenalnya itu, memutuskan untuk
memanjat pohon sebagai aksinya untuk kabur dari orang-orang itu. Dan setelah ketiga orang
itu pergi, Ara hendak turun namun ia tak bisa karena kakinya terasa sangat sakit apalagi
setelah tadi dipaksakan untuk memanjat. Jadi, Ara akhirnya menghubungi Bibinya dan
berkata ia tidak pulang karena menginap di salah satu rumah temannya.

Sebenarnya Ara ingin meminta Joonmyeon datang dan menjemputnya. Namun niat itu
diurungkannya mengingat Joonmyeon yang pasti kelelahan setelah seharian kuliah dan
bekerja di salah satu perusahaan jasa yang ada di Seoul. Ara tidak ingin merepotkan
Joonmyeon jadi ia terpaksa tidur disana hingga tidak tahunya ia terbangun karena kakinya
ditarik oleh seseorang.

Perlahan, Ara membuka matanya yang masih terasa mengantuk. Ia mendengar bunyi jatuh
tadi tapi kenapa ia tidak merasakan sakit? Ara mengedipkan matanya untuk menormalkan
pandangannya dan ia sangat terkejut mengetahui bahwa sekarang ada di atas tubuh seseorang.
Ara tidak bisa melihat wajah orang itu karena wajahnya jatuh tepat mengenai dada bidang
orang itu yang bisa Ara pastikan bahwa dia adalah lelaki.

“Sial. Kau jatuh menimpaku, bodoh.” Desis lelaki itu. Dan owh.. Ara seperti pernah
mendengar suara itu.

Ara mencoba mengingat suara itu pernah ia dengar dimana dan milik siapa. Namun
konsentrasinya terganggu saat ia merasakan sebuah tangan menyentuh bagian belakang
tubuhnya. Tubuh Ara langsung kaku saat tangan itu menyibak roknya dan menyentuh
pantatnya. Dengan cepat, tanpa mempedulikan keadaan orang yang ada dibawahnya, Ara
bangkit dan langsung menampar orang itu.

PLAKKK

“Dasar cabul!!!!” teriak Ara sembari merapikan kembali roknya. Matanya langsung
membulat seketika saat mendapati Sehun lah orang yang tadi ia timpa dan yang barusan ia
tampar.

Tuhan, kenapa bisa lelaki itu lagi?

“Sialan, kenapa kau menamparku, bodoh?” sentak Sehun sambil bangkit dari posisi
telentangnya. Tangan kanannya masih memegang pipi kanan yang baru saja menjadi korban
kekejaman tangan Ara. “Tuhan, badanku rasanya mau remuk.” Gerutunya.

“Dasar lelaki cabul. Kau mencoba memperkosaku, ya?” bentak Ara, menunjuk-nunjuk wajah
Sehun dengan jari telunjuknya.

Sehun yang masih merasakan sakit pada punggung dan pipinya, menatap Ara dengan heran.
“Memperkosamu? Hei, kau pikir aku lelaki seperti apa? Dan tarik kembali ucapanmu soal
aku lelaki cabul.” Kata Sehun merasa tidak terima.

“Lalu apa? Kau menyibakkan rokku dan menyentuh pantatku.”

“Owh, jadi tadi itu pantatmu? Pantas saja terasa agak gimana gitu….” jawab Sehun yang
diakhiri kekehan diakhir kalimatnya. Membuat Ara langsung memberinya tatapan tajam.
“Aku tadi berniat mendorongmu agar menyingkir dari tubuhku. Eh, tidak tahunya aku malah
menyentuh pantatmu. Ah, mungkin itu karunia dari Tuhan untukmu.” Sambungnya.

“Sialan…” desis Ara pelan. Ia mencoba untuk berdiri namun gagal. “Ya Tuhan, kakiku…”

Sehun yang masih pada posisi duduknya, langsung berdiri saat melihat Ara yang akan
terjatuh. Refleks, ia segera menangkapnya dan posisi mereka kembali sama seperti tadi. Ia
berada di bawah Ara. “Kau tidak bisa berdiri, ya?” tanya Sehun. Kini wajahnya tepat
berhadapan dengan wajah Ara dan sangat dekat. Hidung mereka bahkan sampai bersentuhan.
Hanya dengan sedikit gerakan, kemungkinan bibir mereka juga akan menempel.

Ara langsung bangkit begitu melihat wajah Sehun yang hanya berjarak beberapa senti darinya.
Ia menormalkan jantungnya yang berdetak cepat akibat kejadian barusan. Tangannya
digunakan untuk mengipasi wajahnya yang terasa panas dan kemungkinan wajahnya juga
sudah memerah sekarang. Ini masih pagi dan kenapa harus dengan lelaki semacam Sehun?

Sedangkan Sehun, juga ikut bangkit dan mengusap wajahnya dengan kasar. Nafasnya terasa
sesak karena sempat berhenti bernafas tadi. Bagaimana tidak? Tubuh mereka berdua
menempel untuk yang kedua kalinya dan wajah mereka juga berdekatan. Sebagai lelaki
normal pada umumnya, Sehun merasa ia sedang diuji sekarang. Dan sebisa mungkin, Sehun
harus bisa bertahan agar ia tidak lepas kendali. Bagaimanapun, semenyebalkan apapun Ara
dimata Sehun, dia tetaplah seorang gadis dan Sehun tidak bisa memungkiri bahwa tubuh
gadis itu memang cukup bagus seperti apa yang dikatakan Kai.

Oh sial, pikiran kotor apalagi ini?

“Hei, apa kau tidur di atas pohon semalam?” tanya Sehun, membuka suara untuk
memecahkan keheningan yang menyelimuti mereka.

Ara yang sudah bisa menormalkan detak jantungnya, menoleh ke belakang, ke tempat Sehun
berada. “Seperti yang kau lihat. Karena seseorang yang menyebabkan aku pulang larut, aku
jadi dikejar orang aneh dan akhirnya aku bersembunyi diatas pohon.” Kata Ara sambil
menyindir Sehun. Namun orang yang disindir malah tetap tenang.

“Memangnya kemana sopirmu?” tanya Sehun, terlihat cuek.

“Aku tidak punya sopir, bodoh.” Jawab Ara cepat. Sedetik kemudian ia langsung menutup
mulutnya. Kenapa ia berkata demikian? Bukankah ia tidak mau menunjukkan pada siapapun
siapa dirinya yang sebenarnya saat di sekolah? Kenapa ia justru jujur pada lelaki ini?

“Owh.” Satu kata keluar dari mulut Sehun dan wajahnya terlihat datar. Tidak seperti yang
Ara bayangkan jika lelaki ini akan menanyainya macam-macam tentang status sosialnya. “Ya
sudah, aku mau pulang.” Sambungnya dan mulai berdiri.

Ara menatap Sehun dari posisinya yang masih duduk. Ia memperhatikan setiap gerakan yang
dilakukan Sehun. “Kau tidak mau pulang?” tanya Sehun karena melihat Ara yang masih
duduk.

“Aku tidak bisa berdiri. Semalam kakiku terkilir saat berlari.” Jawab Ara setengah malu-malu.
Sehun mendengus pelan dan matanya menatap kaki Ara.

“Salahmu sendiri berlari memakai hak setinggi itu. Cih, perempuan memang suka menyiksa
diri mereka.” Kata Sehun. “Dimana rumahmu?” sambungnya.

Ara mengerjapkan matanya beberapa kali saat Sehun bertanga demikian. Apa lelaki ini
berniat mengantarnya? “Di jalan *tuuuuut*” jawabnya jujur.

“Baiklah. Aku akan mengantarmu. Ayo bangun…” kata Sehun sambil mengulurkan
tangannya. Ara menatapnya dengan wajah bodoh. Ia sama sekali tidak menyangka seorang
Oh Sehun yang sangat menyebalkan sejak pertama kali ia temui kini tengah mengulurkan
tangannya untuk membantunya. “Cepatlah. Kita harus berangkat ke sekolah nanti.”
Sambungnya karena Ara tak kunjung bergerak.
Dengan ragu, Ara mulai menggapai tangan Sehun dan Sehun langsung membantu Ara berdiri.
Ia berjongkok dan menyuruh Ara untuk naik ke punggungnya yang dengan cepat langsung
dituruti oleh Ara. Sehun sendiri bingung kenapa ia mau menolong gadis ini. Mungkin karena
rasa bersalahnya yang membuat gadis ini pulang larut hingga berakhir dengan tertidur di atas
pohon karena dikejar orang asing. Sehun mulai berjalan dengan Ara yang berada di
gendongannya.

“Hei, kenapa kau mau menolongku?” tanya Ara, penasaran dengan alasan lelaki itu. Ia kini
berada dalam gendongan Sehun yang menurutnya, punggung lelaki itu hangat dan nyaman.
Apalagi bau parfum yang menguar dari jaket yang dikenakannya, sangat menenangkan
namun tetap maskulin.

“Tidak tahu. Mungkin karena kau terlihat menyedihkan, jadi aku kasihan.” Jawab Sehun
sekenanya. Ia berbohong. Bukan itu alasan utamanya.

“Cih. Aku tidak semenyedihkan itu.” dengus Ara. “Owh ya, kenapa kau bisa membuka
ponselku? Padahal kan aku sudah memberinya password.” Tanya Ara lagi, ia jadi teringat apa
yang ingin ia tanyakan tentang ponselnya semalam.

“Maksudmu 270714 itu? salahmu sendiri memberi password semudah itu.” jawab Sehun.
“Apa itu tanggal ulang tahunmu?”

“Bukan. Itu tanggal bersejarah dalam hidupku.”

“Tanggal jadianmu?”

“Bukan.”

“Kau diputuskan oleh kekasihmu?”

“Hei, aku tidak senaas itu.”

“Lalu?”

“Bukan urusanmu. Tapi kenapa kau bisa tahu?” tanya Ara, penasaran.

“Tanggal itu, mengingatkanku pada sesuatu.” Jawaban Sehun membuat kening Ara berkerut.
Ia jadi semakin penasaran.

“Apa itu?”

Sehun menghentikan langkahnya. Ia terdiam dan menolehkan kepalanya untuk menatap Ara,
membuat Ara ikut terdiam dan memperhatikan setiap gerakan Sehun. Ara berpikir, apakah
Sehun marah karena bernyata seperti itu?

“Kim Ara, berapa ukuran bramu? Kenapa aku bisa merasakan dengan jelas dadamu yang
menempel di punggungku, ya?” tanya Sehun polos.

Ara yang mendengarnya, langsung berusaha menjauhkan dirinya dari Sehun. “Apa
katamu??!!!!”
“Hei, jangan bergerak. Kau bisa jatuh tahu.” Sentak Sehun saat merasakan Ara yang mulai
memberontak dalam gendongannya.

“Ara????”

Gerakan Ara langsung terhenti saat telinganya mendengar suara yang menyebut namanya. Ia
langsung menoleh ke sumber suara dan matanya langsung membulat saat melihat orang yang
memanggilnya tadi.

“Joonmyeon Oppa?”

TBC

HAPPY READING J

**

“Kembali bertemu dengannya, itu artinya aku harus bisa mendapatkan hatinya karena inilah
kesempatan terakhirku….”

**

CHAPTER 5B

“Joonmyeon Oppa?”

Begitu matanya langsung menemukan sosok yang dikenalnya sebagai Joonmyeon, Ara
langsung turun dari gendongan Sehun tanpa mempedulikan keadaan kakinya. Tangan kirinya
ia gunakan untuk berpegangan pada lengan Sehun agar ia bisa berdiri dengan seimbang.
Manik matanya tak lepas menatap Joonmyeon yang tengah menatapnya dengan tatapan
penasaran.

“Siapa dia? Apa semalam kau menginap di rumahnya?” tanya Joonmyeon tanpa basa-basi. Ia
menarik lengan Ara, membawanya berdiri di dekatnya. Ia tidak suka jika adik sepupunya
berdekatan dengan lelaki yang tak ia kenal.

“Aww.. jangan menarikku, Oppa. Kakiku sedang sakit.” Ara setengan meringis saat kakinya
dipaksa bergerak karena tarikan oleh Joonmyeon. Joonmyeon menatap kaki Ara seolah ingin
tahu apa yang terjadi dengannya, tapi ia bersikap seolah tak peduli.

“Kau tidak mendengar pertanyaanku tadi?” tanya Joonmyeon sekali lagi kini dengan nada
setengah membentak. Ara sendiri bahkan sampai terkejut karena Joonmyeon tak pernah
seperti ini padanya. Ia selalu bersikap lembut dan perhatian pada Ara walaupun Ara baik-baik
saja.
“Aku menginap di rumah Hana semalam, Oppa.” Jawab Ara, berbohong. Ia melirik Sehun
yang hanya diam sambil menatap dirinya dan Joonmyeon. “Dan dia.. temanku.” Sambungnya.

Kerutan di kening Sehun langsung terbentuk begitu ia mendengar kalimat terakhir Ara. Ia
menatap gadis yang masih meliriknya dan melihat wajah memelas Ara yang memintanya
untuk membantunya. Sehun memutar bola matanya malas lalu mengalihkan tatapannya pada
lelaki berwajah innocent itu. “Perkenalkan namaku Oh Sehun. Aku temannya Ara.” kata
Sehun dengan sopan.

Joonmyeon menatap Sehun dari ujung kepala hingga ujung kaki. Memperhatikan penampilan
lelaki yang usianya lebih muda darinya itu yang mengenakan jaket serta celana training
selutut dan sepatu olahraga biasa. Dari penampilannya Sehun terlihat seperti lelaki baik-baik,
itu menurut penilaian Joonmyeon. Tapi Joonmyeon harus waspada. Siapapun yang ingin
mendekati Ara, dia haruslah orang baik-baik dan dari keluarga yang baik-baik pula.
Joonmyeon tidak peduli dia kaya atau biasa saja, yang penting bukanlah seorang bad guy.

“Kenapa kau bisa bersama dengannya, Ara?” tanya Joonmyeon pada Ara, menghiraukan
Sehun yang ada diantara mereka. Dan membuat Sehun merasa kesal karena diacuhkan oleh
orang yang tidak dikenalnya.

“Aku tidak sengaja bertemu dengannya saat dia sedang lari pagi, Oppa.” Jawab Ara dengan
seulas senyum untuk meyakinkan Joonmyeon. “Iya kan, Hun-ah?” ia melirik pada Sehun
seolah meminta dukungan dari lelaki itu.

“Hun-ah?” gumam Sehun mengulang panggilan Ara padanya barusan. Panggilan macam apa
itu? Apa gadis ini sedang mencoba akrab padanya atau hanya sok akrab? Hei, mereka
bukanlah teman dan tidak akan pernah menjadi teman karena melihat penampilan Ara saja
sudah tidak sesuai dengan kriteria seseorang untuk dijadikan teman. “Owh, tentu saja.”

“Ayo kita pulang, Ara. Kau kan harus berangkat ke sekolah.” Kata Joonmyeon,
menggandeng tangan Ara. Sebelum berbalik, ia menoleh pada Sehun. “Dan terimakasih
sudah mau menolong adikku, Oh Sehun.” Sambungnya.

“Hmmm” Sehun hanya menjawab dengan gumaman yang masih bisa didengar oleh
Joonmyeon. Ia menatap kepergian kakak beradik itu dengan ekspresi wajah yang sulit
diartikan.

***

Derap langkah kaki terdengar menggema memenuhi koridor panjang yang masih sepi ini.
Pemilik langkah kaki itu, Park Hana, berjalan dengan tatapan mata yang tertuju sepenuhnya
pada ponsel dalam genggamannya. Ia menatap sebuah foto yang menjadi wallpaper
ponselnya. Foto seorang lelaki yang memakai hoodie namun wajahnya tidak nampak jelas
karena saat foto itu diambil, lelaki itu tidak menghadap ke arah kamera. Jelas sekali bahwa
foto itu diambil secara diam-diam oleh pemiliknya.

Langkah kakinya terhenti saat ia melihat jam yang berada dalam ponselnya yang masih
menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit. Ia menggeram pelan. Dihembuskannya
nafasnya pelan sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku blazer. Ini masih pagi dan
banyak siswa yang belum berangkat. Pasti karena hari ini ia berangkat terlalu pagi jadi ia
merasa kesepian. Harusnya ia berangkat lebih siang sedikit, setidaknya seperti biasa ia
berangkat. Namun karena suatu hal, dan ia tak ingin ketahuan oleh siapapun, jadi ia
memutuskan untuk berangkat lebih awal.

Hana memutar bola matanya saat ia bertemu kembali dengan petugas kebersihan yang sedang
menyapu halaman. Ia tadi memutuskan untuk berjalan menuju halaman sekolah, sekadar
menghirup udara segar namun lagi-lagi ia belum menemukan siswa lain yang berangkat.
Mungkin jika ada nominasi siswa tergiat, Hana pastilah akan menjadi pemenangnya karena ia
berangkat pagi kali ini.

Pandangan mata Hana langsung teralihkan saat ia mendengar deru suara motor memasuki
indera pendengarannya. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan ujung matanya
menangkap sebuah motor sport berwarna putih yang melaju di jalan sepanjang halaman ini.
Ia melihat seorang gadis, yang sepertinya siswa sekolah ini, karena memakai seragam yang
sama dengannya, membonceng pengendara motor yang sepertinya laki-laki itu.

Saat motor itu hampir mendekat ke arahnya, Hana menyembunyikan dirinya di balik semak-
semak yang ada di dekatnya. Sebenarnya apa yang Hana lakukan? Ia kan tidak melakukan
perbuatan yang melanggar hukum, jadi untuk apa bersembunyi?

Motor itu berhenti beberapa meter dari tempat Hana bersembunyi. Gadis yang membonceng
itu turun lalu membuka helm yang dikenakannya. Dari tempatnya berada, Hana langsung bisa
mengenali bahwa gadis itu adalah teman barunya, Kim Ara. Kenapa Ara berangkat sekolah
naik motor? Dan siapa lelaki yang mengantarnya? Itulah yang ada dipikiran Hana.

Gadis yang notabene adalah Ara, memberikan helmnya pada lelaki yang tak lain adalah
Joonmyeon. Hari ini Joonmyeon sengaja mengantar Ara karena gadis itu tak bisa berdiri
dengan baik dikarena kakinya yang terkilir yang memang belum diobati karena keterbatasan
waktu. Sebenarnya Ara bisa saja ijin tidak masuk hari ini, tapi Joonmyeon tidak mau hanya
karena luka sekecil itu menghambat semua kegiatan Ara. Jadi ia memaksa gadis itu berangkat
walaupun sebenarnya Ara sangat tidak ingin.

Joonmyeon menerima helm yang diberikan Ara dan menggantungnya. “Kau berangkat terlalu
pagi, Ara. Lihatlah, sekolahmu masih sepi.”

Mata Ara melihat sekeliling lalu mengendikkan bahu. “Who cares? Aku lebih suka tidak ada
yang melihatku, Oppa.”

“Kenapa memangnya?” tanya Joonmyeon penasaran. Terkadang ia tidak mengerti dengan


yang dikatakan adik sepupunya.

Ara mengibaskan tangannya di depan wajah. “Bukan apa-apa. Sudahlah, bukankah Oppa
harus segera pulang untuk bersiap-siap berangkat kerja? Cepatlah, sana. Nanti kau terlambat.”
Katanya mengalihkan pembicaraan.

Joonmyeon memutar bola matanya malas. “Baiklah.” Dan ia menghidupkan mesin motor
yang tadi sempat ia matikan lalu mulai melajukannya meninggalkan Ara yang terdiam
menatap kepergian Joonmyeon.
“Aku harus segera masuk ke kelas sebelum ada yang melihatku.” Gumam Ara, matanya
masih menatap sekeliling dengan waspada. Dengan langkah yang sedikit terpincang-pincang,
ia berjalan dari tempatnya berada tadi.

Dari tempat persembunyiannya, Hana melihat Ara yang berjalan masuk. Segera ia
melangkahkan kakinya mengikuti gadis itu dari jauh. Ah, sepertinya ia terlihat seperti stalker
jika begini. Dan ia tak mau ada yang berpikiran aneh tentangnya. Mungkin lebih baik ia
menghampiri Ara dan menyapanya. Dan mungkin, sedikit basa-basi akan menjawab
pertanyaan yang sedari tadi berputar di pikirannya.

“Hai, Ara.” Hana sedikit berlari untuk menjangkau Ara lalu menyentuh bahu gadis itu saat
sudah berada di sampingnya. Ia melihat wajah keterkejutan Ara yang menurutnya sangat
berlebihan. Namun ia bersikap biasa dan tak mau mempersalahkannya.

“Owh… Hana, kau membuatku terkejut setengah mati.” Pekik Ara. Ia memegangi dadanya
dan bisa ia rasakan jantungnya yang berdebar kencang. Rasanya jika ia dikejutkan sekali lagi,
mungkin jantungnya akan lepas dari tempatnya.

“Hari ini kau berangkat pagi, ya.” Kata Hana, tak menggubris keterkejutan Ara. Lengan
kanannya segera mengapit lengan kiri Ara dan mereka berjalan berdampingan. Di sekitar
mereka, nampak beberapa siswa lain yang sudah mulai berdatangan ke sekolah.

“Begitulah. Aku tidak ingin terlambat.” Jawab Ara cepat. Ia masih berusaha menormalkan
detak jantungnya. Hana benar-benar mengagetkannya tadi. Ia kan sedang berusaha tidak
terlihat oleh orang-orang, malah Hana mengejutkannya dan membuatnya takut. Ia takut jika
Hana melihat tadi saat Ara berangkat.

“Memangnya kau naik apa ke sini? Kenapa takut terlambat?” tanya Hana, mulai menanyakan
pertanyaan yang membuatnya penasaran.

“Aku….” Ara menggerakkan bola matanya ke kanan dan ke kiri sembari memikirkan
jawaban apa yang harus ia berikan. Menurutnya Hana ini orangnya terlalu ingin tahu dan ia
tidak ingin ketahuan oleh gadis ini. “Owh, aku diantar kakakku.” Jawab Ara akhirnya. Hana
menganggukkan kepalanya berkali-kali.

“Aku tidak tahu jika kau memiliki kakak.” Katanya, matanya melirik kearah Ara, ingin tahu
ekspresi gadis disebelahnya.

“Dia hanya kakak sepupuku. Kau tahu, aku anak tunggal.”

“Benarkah? Aku ingin sekali menjadi anak tunggal. Sayangnya, aku memiliki seorang kakak
lelaki. Uh, dia sangat menyebalkan.” Kata Hana, membicarakan kakaknya dengan semangat.

Kepala Ara menoleh dan ia menatap Hana. “Untungnya Joonmyeon Oppa sangat perhatian
padaku.” Katanya.

“Jadi namanya Joonmyeon? Kakakku bernama Park Jimin. Untungnya dia sedang kuliah di
Amerika. Jadi aku tidak perlu repot berebut mobil dengannya.”
Apa? Kuliah di Amerika? Kakaknya Hana? Ara hanya bisa terdiam dengan mulut setengah
terbuka. Ia takjub. Sangat takjub. Dan ia sangat penasaran, sebenarnya seberapa kayanya
temannya ini? Pastinya Hana bukan dari keluarga biasa. Lihat saja penampilannya yang
terkesan mewah walaupun ia memakai seragam. Ia juga diantar dan dijemput mobil pribadi
sama seperti siswa lain di sekolah ini. Dan kakaknya, bersekolah di luar negeri. Tentu saja
temannya ini sangat kaya. Ara jadi merasa ia begitu tidak ada apa-apanya dibanding gadis ini.

“Hei, kau kenapa?” Hana menyentil kening Ara karena gadis di sebelahnya ini hanya terdiam
selama beberapa detik tadi.

“Owh, apa?” Ara langsung tersadar dan menoleh pada Hana.

“Kau baik-baik saja?” tanya Hana.

“Tentu saja.” Jawab Ara cepat dengan senyum mengambang di wajahnya. Ia tidak ingin Hana
tahu apa yang sedang dipikirkannya.

Hana memicingkan matanya. “Benarkah? Tapi kenapa kau berjalan terpincang-pincang


begini? Kakimu kenapa?” tanyanya bertubi-tubi.

“Owh ini.” Ara menyentuh kaki kirinya. “Aku terkilir saat sedang berlari semalam.” Ia
mengingat-ingat kejadian semalam. “Semua ini karena Oh Sehun sialan itu.” sambungnya
yang diakhiri dengan tubuhnya yang bergidik saat mengingat apa yang dikatakan Sehun tadi
pagi.

“Sehun? Kau bertemu dengannya semalam?” Hana langsung berhenti berjalan dan menggeser
posisinya menjadi berhadapan dengan Ara, menatapnya dengan wajah keingintahuan yang
sangat.

Ara mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya pada dagu sambil mengingat kejadian semalam
yang berakhir buruk baginya. Tepatnya bagi kakinya. “Owh, kau harus tahu, Hana. Karena
aku menabraknya kemarin di kantin, ponsel kami jadi tertukar dan aku harus mengambilnya
semalam.” Kata Ara dengan wajah kesal.

“Dan apa hubungannya dengan kakimu yang terkilir?” tanya Hana, belum bisa mengerti
sepenuhnya apa yang diceritakan Ara.

“Dia benar-benar menyebalkan, Hana!!! Aku menunggunya selesai latihan selama satu jam
lebih dan karenanya aku pulang larut malam. Lalu aku dikejar orang aneh dan jatuh hingga
kakiku terkilir. Dia benar-benar menyebalkan.” Ara menghentak-hentakkan kakinya karena
terlalu kesal pada Sehun. Ia juga meremas ujung blazernya untuk melampiaskan rasa
kesalnya. “Kau tahu?” Ia menunjuk wajah Hana dengan telunjuknya. “Dia itu lelaki yang
kasar, egois, pemarah dan yang terpenting, dia itu cabul. Dia hampir saja m-“

“Sudah ku katakan bukan aku yang melakukannya!!!!” perkataan Ara langsung terhenti saat
terdengar suara gebarakan pintu mobil dan teriakan seorang lelaki tak jauh di belakangnya. Ia
dan Hana, mata keduanya langsung tertuju pada objek yang membuat mereka penasaran. Dan
hasilnya, mata mereka menangkap sosok Sehun yang keluar dari mobil sambil marah-marah.
Wajahnya yang biasanya terlihat datar kini menjadi merah padam menahan gejolak emosi
pada dirinya.
Ara langsung terpaku di tempatnya. Apakah Sehun mendengar apa yang ia katakan tadi
hingga ia sampai marah begitu? Apa perkataan Ara menyinggungnya? Tapi kalau dipikir lagi
sikap Sehun itu memang keterlaluan padanya. Ia masih kesal pada lelaki itu dengan kejadian
semalam ditambah lagi dengan apa yang dilakukan lelaki itu pada dirinya. Ia merasa seperti
sudah dinodai oleh tangan nakal Sehun. Tubuhnya yang sudah ia jaga selama delapan tahun
itu di sentuh begitu saja oleh lelaki kasar, pemarah dan egois itu. Uh, Ara tidak peduli jika
Sehun mendengar ucapannya dan tersinggung. Ia sudah menyiapkan mental untuk berperang
dengan lelaki dingin itu.

“Ayah ‘kan hanya bertanya, Sehun.”

Pikiran Ara langsung berhenti saat sosok lelaki paruh baya keluar dari dalam mobil yang
sama dengan Sehun. Kalau tidak salah dia adalah lelaki yang kemarin dompetnya
dikembalikan oleh Ara. Lelaki yang Ara pikir adalah gurunya dan yang ia tabrak di hari
pertamanya. Namanya kalau tidak salah adalah Oh Seunghyun. Ya, benar pasti lelaki itu. Ara
masih ingat dengan jelas wajah lelaki yang mungkin hampir berusia setengah abad itu. Tapi,
kenapa ia bisa satu mobil dengan Sehun? Tunggu, ia mengatakan ‘Ayah’? Yang benar saja!!!

“Oh Sehun!!! Berhenti sekarang juga!!!”

Tuan Oh kembali berteriak memanggil Sehun saat lelaki muda itu terus berjalan
meninggalkannya dengan emosi yang masih menggelayuti dirinya. Ia mengerang frustasi, tak
habis pikir dengan tingkah putra tunggalnya yang sangat mudah tersulut emosinya. Tadi ‘kan
ia hanya bertanya saja. Tapi Sehun langsung marah dan keluar dari mobil sambil menggebrak
pintu. Sebenarnya, apa yang salah dengan pertanyaannya tadi?

Perhatian Tuan Oh langsung teralih pada dua sosok gadis yang sejak tadi berdiri terdiam tak
jauh dari tempatnya memarkirkan mobil. Ia berdehem pelan lalu menyunggingkan senyum
saat mengetahui bahwa mereka adalah Hana dan Ara, siswanya. Ia berjalan mendekati
keduanya dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya.

“Aku minta maaf kalian melihat apa yang seharusnya tak kalian lihat. Sehun, anakku
memang sedikit kekanak-kanakan.” Kata Tuan Oh pada Hana dan Ara.

Hana membalas dengan tersenyum, walau sedikit dipaksakan dan menyibakkan tangannya.
“Ah tidak apa-apa, Saem. Kami akan melupakan apa yang barusan kami lihat dan berpura-
pura tidak tahu.” Kata Hana meyakinkan Tuan Oh. Ia tak memperhatikan Ara yang berdiri di
sampingnya sedang terkejut setengah mati mengetahui kenyataan bahwa Oh Sehun adalah
anak dari Tuan Oh Seunghyun alias gurunya. What the…

“Ara, kau baik-baik saja?” Tuan Oh mengalihkan tatapannya pada Ara yang hanya terdiam
dengan ekspresi wajah yang sulit dijelaskan. Ia agak bingung dengan tingkah gadis yang satu
ini yang menurutnya sangat aneh dan membuat ia penasaran.

“Ara….” bisik Hana sambil menyenggol pelan lengan Ara karena gadis disampingnya ia ini
tak kunjung merespon perkataan Tuan Oh.

“Owh- aku baik-baik saja, Saem.” Kata Ara setelah dengan kikuk. Ia memaksakan seulas
senyum tanda bahwa ia ‘baik-baik saja’.
“Baiklah, jika kau tidak apa-apa. Kalau begitu, aku masuk dulu. Kalian, belajarlah dengan
baik.” Kata Tuan Oh lalu berjalan meninggalkan Ara dan Hana di halaman.

Setelah kepergian Tuan Oh, Ara langsung menatap Hana. “Kau tidak memberitahuku jika Oh
Sehun sialan itu adalah anak dari pria itu, Hana!!!” pekiknya dengan histeris. Hana bahkan
sampai mundur beberapa langkah mendengar suara cempreng Ara.

“Kau yang tidak bertanya, Ara.” Hana membela dirinya sendiri. “Lagipula, apa peduli jika
Sehun adalah anak kepala sekolah?”

Kini mulut Ara kembali menganga mendengar kalimat terakhir Hana. “Ke-kepala sekolah
kau bilang? Jadi, pria itu adalah kepala sekolah? Pria yang bertanya Oh Seunghyun itu?? kau
tidak bercanda, ‘kan???” tanya Ara bertubi-tubi membuat Hana menggelangkan kepalanya.

“Ckckck… Ara, kau ini kudet atau bagaimana? Masa iya kau tidak tahu jika kepala sekolah
kita bernama Oh Seunghyun? Ah, kau benar-benar payah.” Kata Hana sedikit kesal. Ia
kemudian berbalik, berjalan meninggalkan Ara yang masih berusaha menenangkan diri dari
dua hal yang membuatnya terkejut di pagi ini.

***

Berjalan dengan emosi yang masih memuncak, Sehun akhirnya sampai di tempat loker. Ia
berjalan menuju lokernya dan membukanya dengn sedikit kasar hingga menimbulkan suara
dan membuat beberapa siswa yang ada disekitarnya melihatnya dengan wajah panasaran.
Sehun mengambil beberapa bukunya dari dalam loker, tak memperhatikan tatapan
keingintahuan yang ditujukan padanya. Ia sedang dalam suasana hati yang buruk dan tak mau
memperburuk keadaannya lagi.

Jika saja Ayahnya tidak menanyakan hal itu saat mereka sedang dalam perjalanan ke sekolah,
Sehun pasti tidak akan semarah itu. Ayahnya benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa ia
bertanya pada Sehun apakah Sehun setuju jika Ayahnya berencana untuk menikah lagi? Hei,
yang benar saja. Memang kedua orangtua Sehun sudah bercerai. Tapi bukan berarti Sehun
bisa semudah itu mengganti posisi Ibunya dengn wanita lain yang tak ia kenal. Lagipula,
penyebab perceraian kedua orangtuanya ‘kan karena Ayahnya. Jika saja Ayahnya tidak
mengusir Ibunya dari rumah, Ibunya pasti tidak akan mengajukan surat gugatan cerai dan
mungkin keluarga mereka masih baik-baik saja hingga sekarang. Sehun benar-benar belum
bisa memaafkan sikap Ayahnya yang keterlaluan itu.

“Hai, Man, kurasa kau perlu air untuk mendinginkan kepalamu.” Kai, yang baru saja
berangkat, melihat Sehun berdiri di depan lokernya. Ia mendengar suara gebrakan yang
ditimbulkan dari pintu loker Sehun dan ia berjalan mendekati lelaki itu.

Sehun yang baru selesai memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya, menutup resleting tas
dan menoleh, menatap Kai dengan mata yang masih bersinar penuh amarah. “Sialan, kau
ingin membuatku basah kuyup apa?”

Kai hanya tertawa renyah mendengar nada suara Sehun yang terkesan dingin dan kasar. Ia
tidak tersinggung, karena sudah sepuluh tahun lebih ia berteman dengan lelaki berkulit pucat
dihadapannya ini. “Kau bertengkar dengan Ayahmu lagi?” tebak Kai, yang memang benar
adanya. “Kapan kau akan berdamai dengannya?”
“Apa pedulimu, huh? Pria itu benar-benar membuatku marah. Jika saja dia bukan Ayahku,
aku ingin sekali melempar wajah arogannya dengan bola basket.”

“Hhahaha… kau sudah mengatakan itu sejak setahun lalu, Sehun. Tepatnya setelah kedua
orangtuamu bercerai dan aku belum melihat kau melakukannya.” Kata Kai, dengan tawa
yang masih terus terdengar, membuat Sehun kesal dan memukup pelan bahu lelaki berkulit
gelap itu.

“Bicara denganmu membuatku kesal, Kim Jongin.” Sentak Sehun. Ia melangkah


meninggalkan Kai masih tak bisa menahan tawanya.

“Hhahaha… dia benar-benar sedang marah kali ini. Benar-benar…” gumamnya. Ia


mengalihkan tatapannya dan membuka lokernya yang berada tepat di samping loker Sehun.
Begitu loker terbuka, ada sesuatu yang meluncur jatuh tepat mengenai ujung sepatunya. Kai
yang penasaran, langsung mengambilnya dan matanya sedikit membulat. “Surat….”

***

Sudah setengah jam perhatian Kai hanya terpusat pada selembar kertas yang ada dalam
genggamannya ini. Ia tak mendengarkan gurunya yang sedang memberikan materi pelajaran
dan telinganya seolah tuli karena masih terkejut begitu ia membaca isi surat itu saat
menemukannya terjatuh dari dalam lokernya. Mata Kai kembali menyapu jajaran tulisan rapi
yang ada dalam surat itu, membacanya kembali dan seulas senyum kembali terbit dari bibir
penuhnya. Ia tak menemukan identitas penulis surat itu dan itu membuatnya penasaran,
karena baginya, kata-kata dalam suar itu begitu romantis dan menyentuh hatinya.

Ah, siapa pula gadis yang berani memberika surat cinta padanya? Ini memang bukan yang
pertama kalinya ia mendapatkan surat cinta. Dulu saat masih SMP, Kai sering
menemukannya terselip di lokernya setiap minggunya. Tentu saja seorang Kim Jongin, yang
tampan dan menawan itu, banyak gadis-gadis yang akan menyukainya. Biasanya ia akan
segera tahu siapa pengirimnya karena Kai akan tahu dari bentuk tulisannya. Tapi surat kali ini
berbeda. Surat ini ditulis dengan ketikan. Jadi, bagaimana Kai bisa tahu siapa pengirimnya?
Ini benar-benar membuatnya penasaran. Ia ingin tahu apakah gadis yang menulis surat ini
cantik atau hanya biasa saja. Ah, membayangkannya membuat Kai tersenyum-senyum sendiri.

DUGGG

Sebuah penghapus spidol melayang dan tepat mengenai kepala Kai, membuat sang objek
lemparan mengaduh pelan dan memegangi kepalanya yang menjadi korban. Ia mengalihkan
tatapan ke depan dan menemukan gurunya, seorang wanita muda bermata empat, berdiri tak
jauh di depannya dengan tangan terlipat di depan dada. Kai langsung sadar bahwa guru itu
yang melempar penghapus padanya.

“Kim Jongin, apa materi yang kuterangkan itu membuatmu bahagia? Kenapa kau tersenyum
sendiri?” tanya guru itu dengan tajam. Kai mendengus pela. Sial, ia tertangkap tak
memperhatikan pelajaran. “Jika memang begitu, kau boleh berdiri di depan kelas sampai
pelajaranku berakhir!!!” sambungnya bak perintah raja pada prajurit yang langsung dilakukan
oleh Kai. Ia berjalan dengan cepat keluar dari kelas tanpa memperhatikan Sehun yang duduk
di sebelahnya, yang menatapnya dengan aneh.
Tak hanya Sehun, Hana yang duduk dua meja di depan Kai pun memperhatikan Kai yang
tengah berjalan melewatinya hingga punggungnya menghilang di balik pintu. Ia tertawa
dalam hati saat melihat ekspresi wajah Kai saat ditegur oleh gurunya. Baginya, eksprsi seperti
itu sangat jarang ia lihat. Karena biasanya, Kai hanya akan diam saat pelajaran. Entah
memperhatikan atau tidak. Yang terpenting matanya menatap ke depan. Tak tahu ia melihat
ke arah guru yang ada di depan atau objek lain. Jika ada yang tahu kenapa Hana bisa tahu?
Jawabannya mudah, Hana memasang kaca spion di samping mejanya hingga ia bisa melihat
apa yang dilakukan lelaki itu saat pelajaran. Terdengar konyol memang.

“Park Hana, apa ada yang lucu? Kau ingin juga menemani Jongin di luar?” tegur sang guru
saat melihat Hana yang tengah menahan tawa. Mendengar hal itu, Hana langsung
menghentikan kegiatannya dan meminta maaf pada gurunya. Ia tidak ingin berakhir dengan
berdiri di samping lelaki itu. Bisa hancur reputasinya sebagai siswa teladan di sekolah ini.

***

Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore saat Ara berjalan mengendap-endap
menuju koridor khusu tempat loker tingkat dua. Ia sengaja menunggu satu jam lebih sampai
semua siswa di sekolah ini pulang atau setidaknya hingga keadaan sekolah sudah sepi. Dan
setelah melihat tempat parkir yang sudah kosong, Ara memberanikan diri melangkahkan
kakinya, tentu saja dengan langkah yang masih terpincang-pincang, menuju loker tingkat dua.

Saat kakinya pertama kali menapaki tempat itu, matanya menatap awas sekeliling. Dan saat
tak melihat siapapun selain dirinya disana, ia langsung meluncur menuju loker bernomor 109
yang sudah ia ketahui dimana tempatnya. Begitu sampai di depannya, Ara mengeluarkan
sesuatu dari saku blazernya. Sebuah amplop berwarna kuning dengan gambar hati di
depannya. Dengan hati-hati, Ara menyelipkan amplop itu diantara sela-sela pintu loker dan
memastikan tak akan terlihat oleh siapapun. Setelah dirasa tak kelihatan, Ara segera pergi
dari tempat itu.

Ia langsung lari terbirit-birit sambil memegangi kakinya yang masih terasa sakit jika
digerakkan menjauhi koridor itu. Walaupun keadaan sudah sepi, Ara tetap takut masih ada
siswa lain selain dirinya yang ada di sekolah ini yang melihat apa yang ia lakukan. Bahkan,
Ara sampai melepas name tagnya untuk berjaga-jaga ada orang lain yang melihatnya. Jika
kemungkinan ketahuan itu benar terjadi, mereka tidak akan tahu nama Ara karena tak
menemukan identitas apapun pada diri Ara kecuali mereka bisa mengenali wajah Ara.

Terlalu ketakutan akan ketahuan, Ara sampai tidak melihat sekeliling saat berlari. Ia terus
saja berlari hingga sampai di belokan, ia tak sengaja menabrak seseorang hingga ia dan
dirinya terjatuh ke lantai. Ara meringis kesakitan dan juga orang yang ia tabrak. Telinganya
mendengar suara beberapa gadis yang berteriak terkejut di dekatnya. Mata Ara langsung
membulat sempurna dengan mulut setengah terbuka saat matanya mendapati wajah seseorang
yang ditabraknya dan yang kini berada di lantai bersamanya. Owh My God!!!! Dia adalah….

“Han Jihyun??”

TBC
HAPPY READING J

***

“Ada hal yang tidak bisa disembunyikan seseorang tak peduli bagaimanapun orang itu
menutupinya….”

***

“Han Jihyun?”

Mulut Ara menggumamkan sebuah nama yang sudah lama tak pernah ia sebut sebelumnya.
Tubuhnya langsung menegang saat matanya tak sengaja menemukan sosok gadis yang ada di
hadapannya. Gadis yang ia tabrak barusan. Tak mau ketahuan, Ara segera menutupi
wajahnya dengan rambut panjangnya.

“Apa kau menyebut namaku tadi?” tanya Jihyun. Ia bangkit dari posisinya yang terjatuh di
lantai dengan dibantu kedua orang temannya. Ditatapnya gadis yang sudah menabraknya itu.
Hei, kenapa ia menutupi wajahnya dengan rambutnya?

Ara yang juga sudah berdiri, menundukkan kepalanya membuat Jihyun dan kedua temannya
menatapnya heran. “M-mafkan aku, sunbae. Aku tidak sengaja.” Katanya dan langsung pergi
menjauh dari ketiga gadis yang masih menatapnya heran.

“Ya Tuhan, dia aneh sekali.” Komentar salah seorang teman Jihyun.

“Benar. Dasar hoobae yang tidak tahu diri. Sudah menabrak Jihyun tapi malah pergi begitu
saja.” Timpal yang satunya.

Jihyun masih menatap Ara yang sudah berjarak cukup jauh darinya. Pikirannya masih tertuju
saat Ara mengucapkan namanya dan ia merasa tidak asing dengan suara itu. Andai saja
Jihyun bisa melihat wajahnya, mungkin Jihyun akan tahu siapa gadis itu.

“Eh.. apa ini? Bukankah ini nametag?” salah satu teman Jihyun, tak sengaja menginjak
sesuatu dan menemukan nametag yang ada di lantai. Ia memungutnya dan langsung direbut
oleh Jihyun.

“Kim A-Ra…” Jihyun membaca tiga suku kata yang tercetak di nametag yang ditemukan
temannya. Matanya langsung tertuju pada Ara, yang sudah tidak terlihat lagi sekarang seolah-
olah Ara masih ada di hadapannya dengan pandangan yang sulit diartikan.

“Kau mengenalnya, Jihyun?” tanya temannya, melihat reaksi Jihyun yang sedikit aneh.

Jihyun memasukkan nametag Ara kedalam saku blazernya lalu tersenyum miring.
“Sepertinya aku menemukan seseorang yang sudah hilang dari hidupku…”

***
“Ara, kau pulang terlambat hari ini.” Tegur Bibi Nayoung saat Ara baru saja memasuki
kedainya dan langsung mendudukkan dirinya di salah satu kursi yang ada di dekat jendela.

“Maaf, Bi. Ada hal yang harus aku lakukan tadi.” Jawab Ara, memberikan seulas senyum
tanda penyesalan. Ia lupa memberitahu Bibinya jika ia akan pulang terlambat hari ini.”

“Kau baik-baik saja?” tanya Bibi Nayoung, saat melihat Ara dengan nafas yang masih
memburu sejak ia masuk ke dalam kedai.

Ara menggelengkan kepalanya pelan. “Aku baik-baik saja. Tadi aku berlari dari halte karena
takut Bibi khawatir.” Jawabnya, sedikit berbohong. Ia memang berlari, bahkan sejak dari
sekolah karena untuk menghindari Jihyun. Itu lebih tepatnya. Dan takut Bibinya khawatir, itu
juga termasuk.

Bibi Nayoung mengusap kepala Ara dengan lembut. “Lain kali kau harus memberitahu Bibi.
Kalau terjadi apa-apa di jalan dan Bibi tidak bagaimana?” Mendengar hal itu Ara hanya
tersenyum, merasa sedikit bersalah. “Sudahlah. Sana ganti baju lalu makan.” Sambungnya.

“Iya, Bi.” Kata Ara dan mulai beranjak dari duduknya. “Owh ya, bolehkan aku membantu
Bibi lagi di kedai?” tanyanya.

Bibi Nayoung yang semula akan masuk ke dapur, membalikkan badannya dan menatap
kembali keponakannya. “Tugas sekolahmu pasti sudah banyak, kan? Kau tidak akan punya
waktu cukup untuk belajar nanti.”

“Tidak, Bi.” Jawab Ara cepat. “Aku bisa melakukannya. Kau tidak ingat saat aku masih di
Namhae? Saat itu sepulang sekolah aku selalu membantu Ibu.” Sambungnya, meyakinkan
Bibi Nayoung.

Melihat kesungguhan di mata Ara, Bibi Nayoung menghembuskan nafasnya panjang.


“Baiklah, jika kau bisa melakukannya.” Katanya, akhirnya.

Ara tersenyum senang lalu memeluk Bibinya sebentar. “Kalau begitu, mulai hari ini aku akan
membantu Bibi. Setelah makan nanti, aku akan langsung kesini. Terimakasih, Bibi.” Kata
Ara lalu segera masuk ke dalam rumah yang terletak di belakang kedai kecil itu.

***

Hana sedang tiduran di kamarnya sambil mendengarkan musik kesukaannya saat jam
menunjukkan pukul lima tepat. Sejak pulang sekolah, Hana hanya berdiam diri di kamar
karena tak ada hal yang bisa ia lakukan. Apalagi rumahnya sepi saat ini. Yah, kecuali Bibi
Jung dan Paman Song, asisten rumah tangga di rumahnya. Orang tuanya sedang tidak ada di
rumah. Ayahnya sedang ada perjalanan bisnis ke luar negeri dan Ibunya sedang mengadakan
pameran rancangan busana terbarunya di Jeju. Ah, benar-benar menyebalkan bagi Hana
karena ia selalu saja ditinggal sendiri di rumah.

TOK.. TOK.. TOK..

Ketukan di pintu kamarnya terdengar, namun Hana mengabaikannya karena mungkin itu
pasti Bibi Jung. Hana sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun hari ini karena ia sedang
dalam suasana hati yang buruk. Namun, ketukan itu terdengar lagi dan kini makin keras.
Hana menghembuskan nafasnya kesal lalu mulai bangkit dari ranjang empuknya. Siapa sih
yang mengganggunya di sore hari begini?

Dengan kesal, Hana membuka pintu kamarnya dan ia menemukan seorang lelaki jangkung
yang tengah tersenyum dengan lebar seperti orang bodoh yang berdiri di hadapannya. Hana
memutar bola matanya malas lalu kembali melangkah menuju ranjangnya diikuti dengan
lelaki itu yang mulai memasuki kamar Hana.

“Kenapa kau kembali?” tanya Hana sedikit ketus. Ia kembali berbaring ranjang sambil
memeluk boneka panda kesayangannya.

Lelaki itu, yang kini duduk di pinggir ranjang Hana, menatap Hana dengan kesal. “Hei,
beginikah ucapan selamat datangmu pada kakakmu yang baru pulang dari Amerika?” tanya
lelaki itu yang ternyata adalah kakak Hana.

“Hei, Park Jimin, siapa juga yang menyuruhmu untuk pulang? Aku malah lebih suka jika kau
menetap di sana dan sekalian saja jadi orang Amerika.” Kata Hana, masih mempertahankan
nada ketusnya, membuat Jimin gemas dan menjitak kepala adiknya.

“Haah..” Jimin menghembuskan nafasnya. “Aku bosan tingal disana. Tidak ada yang menarik
dan tidak ada seseorang yang bisa ku kerjai.” Katanya sambil menatap Hana dengan senyum
miringnya.

“Kau ini… cari saja orang untuk kau kerjai. Aku bukanlah gadis bodoh yang bisa kau kerjai
lagi ya…” kata Hana, memukul pelan bahu kakaknya.

“Iya.. Iya.. aku tahu. Kau sudah bertambah tua sekarang.” Jimin setengah menjauh dari Hana
karena pukulannya adiknya cukup menyakitkan baginya. “Owh ya, untuk merayakan
kepulanganku, bagaimana jika kutraktir makan malam?”

Mata Hana langsung berbinar-binar saat mendengar kata-kata Jimin. “Traktir? Baiklah,
dengan senang, Oppa.” Katanya dengan nada yang dibuat-buat.

“Cih.. kau hanya memanggilku Oppa pada saat-saat tertentu saja.” Cibirnya. “Baiklah, kita
pergi pukul tujuh. Aku mau tidur sebentar karena masih masih setelah penerbangan yang
cukup yang lama.” sambungnya lalu melangkah keluar dari kamar Hana. Setelah kepergian
Jimin, suasana hati Hana mendadak berubah menjadi lebih baik. Ia akan ditraktir Jimin
malam ini.

***

“Untung saja latihan selesai lebih awal hari ini.” Kata Kai, saat dirinya, Sehun dan Yian
berjalan menuju loker mereka masing-masing malam itu. Jam menunjukkan hampir pukul
tujuh malam dan mereka baru saja selesai latihan. Mereka langsung menuju ke tempat loker
setelah latihan selesai karena mereka ingin cepat-cepat pulang malam ini.

“Mungkin pelatih sedang dalam suasana hati yang baik hari ini. Aah.. aku ingin tidur lebih
awal malam ini.” Timpal Yian, ia merenggangkan otot-ototnya yang tegang karena berlatih
hari ini.
“Jika saja dia seperti itu setiap hari, mungkin akan lebih bagiku.” Gumam Sehun yang masih
bisa di dengar oleh Kai dan Yian. Ia berjalan mendahului kedua temannya dengan menenteng
ransel dan handuk yang melingkar di lehernya.

Sesampainya di depan lokernya, Sehun langsung membukanya dan sesuatu langsung terjatuh
begitu pintu loker terbuka. Mata Sehun menemukan sebuah ampolp berwarna kuning dan
sekarang tergeletak di lantai. Ia melihat ke arah Kai dan Yian yang masih sibuk dengan loker
mereka. Begitu tahu tak ada yang akan melihatnya, Sehun langsung berjongkok dan dengan
cepat memungut amplop itu lalu memasukkannya asal ke dalam ranselnya. Ia akan
melihatnya saat ia sudah sampai di rumah nanti.

***

“Kita akan makan dimana, Jimin?” tanya Hana untuk yang kesekian kalinya pada Jimin yang
tengah mengemudkan mobil yang mereka tumpangi di sampingnya. Ia menatap Jimin kesal
karena kakaknya itu mengacuhkan pertanyaan yang dilontarkan olehnya.

Jimin mengecilkan volume musik yang sedang ia dengarkan lalu menoleh sekilas pada
adiknya yang cukup cantik walau hanya mengenakan dress model sederhana dan tanpa make
up. “Berhentilah bertanya dan jangan memanggilku hanya dengan namaku saja, Haneul.”
Sentak Jimin dengan kesal. Adiknya itu selalu saja memanggilnya dengan seenak jidatnya.

“Yaak.. namaku Hana bukan Haneul, bodoh.” Teriak Hana sambil memukul Jimin dengan tas
selempang yang dipakainya. Ia sangat tidak suka jika Jimin memanggilnya dengan Haneul,
karena pemilik nama itu –yang mereka kenal- adalah orang gila yang dulu suka sekali
berkeliaran di depan rumah mereka. Dan Jimin sangat suka mengerjai orang itu saat ia masih
kecil dulu.

“Tapi kau dan dia sama-sama bodoh, kau tahu kan? Hahaha…” kata Jimin yang diakhiri
dengan tawa yang keras.

“Dasar menyebalkan kau!!”

“Nah, kita sudah sampai.” Jimin mengabaikan perkataan Hana dan menghentikan mobilnya
di depan sebuah kedai kecil.

Hana segera turun dan matanya langsung menatap bangunan sederhana yang ramai dengan
pengunjung malam ini. Ia menatap Jimin yang kini sudah berdiri di sampingnya. “Kita akan
makan disini?” tanyanya, memastikan.

Jimin mengangguk sekilas lalu menarik tangan Hana. “Jangan protes, ya. Aku yang
menraktirmu jadi aku bebas memilih tempatnya.” Kata Jimin dengan senyum
kemenangannya. Hana hanya memutar bola matanya, malas menanggapi kakaknya yang
terlampau menyebalkan bagi dirinya. Tapi, tak masalah bagi Hana ia makan dimana saja.
Baginya, yang terpenting adalah gratis. Jadi ia bisa berhemat dan makan sepuasnya malam ini.

“Selamat datang…” sapa seorang pelayan wanita saat Jimin dan Hana memasuki kedai itu.
Mereka lalu duduk di salah satu meja yang masih kosong. Kedai ini sangat ramai jadi tak
banyak meja kosong yang masih tersisa.
“Kalian ingin memesan apa?” pelayan wanita itu menyodorkan kertas yang berisi daftar
menu pada Jimin dan Hana, keduanya langsung melihatnya dan mulai berpikir.

“Aku ingin menu spesial yang ada disini. Yang paling enak.” Kata Hana, karena ia belum
pernah makan di kedai ini sebelumnya.

“Aku juga.” Timpal Jimin. Pelayan itu mencatat pesanan keduanya lalu mulai pergi untuk
menyiapkan pesanan mereka.

“Hei, apa kau pernah kesini sebelumnya, Jimin?” tanya Hana, menatap kakaknya yang mulai
bermain dengan ponselnya.

“Seseorang pernah mengajakku makan disini sekali. Dulu, sebelum aku pergi ke Amerika.”
Jawab Jimin, matanya masih tertuju pada ponselnya.

“Apakah dia Jihee? Mantan kekasihmu itu?” tebak Hana. Jimin langsung menatap Hana –
melupakan ponselnya- dengan wajah terkejut karena Hana bisa menebaknya dengan tepat.
“Kenapa? Aku benar, kan?”

“Darimana kau tahu?” tanya Jimin dengan kesal. Adiknya itu selalu tahu apa saja tentang
dirinya, seperti peramal saja.

Hana tersenyum miring. “Tentu saja aku tahu. Siapa lagi orang yang dekat denganmu yang
akan mengajakmu pergi makan di tempat murahan seperti ini selain gadis yang putus sekolah
yang bekerja paruh waktu di restoran ayam itu?”

“Jaga bicaramu, Park Hana. Dia itu gadis yang hebat. Walau usianya masih mudah, dia
sudah-“

“Kim Ara…”

Perkataan Jimin terhenti saat Hana menggumamkan nama seseorang. Mata adiknya tertuju
pada sesuatu di belakangnya dan membuatnya penasaran. Ia menoleh ke belakang, mengikuti
arah pandang Hana dan menemukan seorang gadis dengan rambut yang diikat kuda yang
sedang mengantar makanan ke meja di belakang mereka. Apa adiknya mengenal gadis itu?,
pikir Jimin.

“Kau mengenalnya?” tanya Jimin, menunjuk gadis itu.

Hana mengendikkan bahunya. “Entahlah. Tapi dia seperti mirip dengan temanku. Tapi, mana
mungkin Ara bekerja disini? Dia bilang orangtuanya ada di luar kota dan ia tinggal sendiri di
Seoul.” Gumam Hana, seolah bicara pada dirinya sendiri.

“Permisi, ini pesanan kalian.”

Seorang pelayan datang, kali ini bukan pelayan yang tadi, membawakan pesanan Hana dan
Jimin dan meletakkannya diatas meja.

“Baiklah, terimakasih.” Kata Jimin sambil tersenyum manis, membuat pelayan itu tersipu.
“Owh ya, apa kau tahu siapa gadis itu?” tanya Hana, menghentikan langkah pelayan itu yang
akan pergi. Ia menunjuk seseorang yang ia yakini sebagai Ara dengan telunjuknya.

Pelayan iu mengikuti arah yang yang ditunjukkan Hana. “Namanya Kim Ara. Dia keponakan
pemilik kedai ini. Anda ingin aku memanggilnya, Nona?” jawabnya, membuat Hana
langsung terkejut. Jadi, benar jika gadis itu Kim Ara? temannya?

“Ah, tidak. Terimakasih. Kau boleh pergi.” Kata Hana setelah berhasil menguasai diri dari
keterkejutannya.

“Jadi, Kim Ara itu temanmu?” tanya Jimin, memastikan.

Hana menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran aneh yang mulai menguasai
dirinya. “Ah tidak mungkin. Pasti ada kesalahpahaman disini.” Gumamnya. Ia lalu menatap
Jimin. “Jimin, aku ingin besok malam kita datang kesini lagi. Kau masih lama kan kembali
lagi ke Amerika?”

“Emmm… baiklah.”

***

Sesampainya di rumah, Sehun langsung masuk ke kamarnya tanpa mempedulikan Ayahnya


yang sedang duduk di ruang keluarga saat itu. Ia masih marah dan kesal pada Ayahnya gara-
gara pertanyaan yang dilontarkan Ayahnya tadi pagi. Baginya, Ayahnya benar-benar sudah
keterlaluan. Selama ini ia diam dan tidak pernah mempermasalahkan perihal perceraian Ayah
dan Ibunya. Tapi untuk yang satu ini, Sehun tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Ayahnya
ingin menikah lagi? Yang benar saja!!

Ia masuk ke dalam kamarnya yang terletak di lantai dua dan langsung mengunci pintunya,
lalu melemparkan ranselnya ke atas ranjang. Ia lantas mengambil handuk yang tergantung di
belakang pintu dan langsung masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.
Beberapa menit kemudian, ia sudah selesai mandi dan keluar dengan wajah yang lebih segar.
Ia hanya memakai celana pendek selutut dan kaos oblong.

Di dudukkannya dirinya di atas ranjang sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.


Saat melihat ranselnya, ia jadi teringat akan amplop kuning yang jatuh dari dalam lokernya
tadi. Sehun lalu mengambil ranselnya, membuka resletingnya dan mulai mencari benda itu di
dalam ranselnya yang penuh dengan buku. Tak perlu waktu lama, amplop itu kini sudah ada
di tangannya.

Dengan rasa penasaran, Sehun membuka amplop itu dan ia menemukan selembar kertas yang
juga berwarna kuning ada di dalamnya. Itu terlihat seperti sebuah surat. Sehun jadi berpikir,
kenapa kuning semua? Apa tidak ada warna lain yang lebih bagus lagi? Atau memang
seseorang yang sengaja meletakkan ini di lokernya memang menyukai warna kuning. Huh,
ada-ada saja.

Seperti mimpi di musim panas…

Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi setelah satu tahun berlalu.
Ku harap kau tidak terkejut padaku.. semua hal yang ada di dunia ini pasti ada yang berubah,
kan?

Aku hanya ingin mengucapkan, Hai, selamat bertemu lagi J

Sahabat lamamu J

Sehun hanya terdiam setelah membaca isi surat bertuliskan tangan yang lebih tepat disebut
sebagai pesan singkat baginya. Pikirannya langsung berkelana kemana-mana. Ia mencoba
memahami isi surat tersebut yang terasa aneh baginya. Apa ia pernah memiliki sahabat atau
teman yang sudah setahun tidak ia temui? Rasanya, ia tidak pernah berpisah dengan
seseorang kecuali Ibunya. Apalagi sahabat. Baginya, hanya Kai lah sahabat yang ia punya
selain beberapa teman yang memang dekat dengannya.

Tapi jika diperhatikan lebih jauh lagi, surat ini seperti ditulis oleh seorang perempuan. Sehun
sangat yakin karena sejauh yang ia tahu, tulisan tangan lelaki tak akan sebagus ini. Apalagi,
bahasanya juga berbeda. Yah, itu hanya menurut pendapat Sehun saja. Ah, ini benar-benar
membuatnya bingung dan penasaran di waktu yang bersamaan. Sudahlah, lebih baik ia tidur
saja. Toh, lama kelamaan juga akan ketahuan siapa yang menulis dan mengirimkan surat itu
padanya.

***

“Dimana ya aku meletakkannya kemarin?” gumam Ara, bertanya pada dirinya sendiri.

Sejak ia sampai di sekolah pagi ini, ia langsung duduk di salah satu bangku taman dan
mencari-cari sesuatu di dalam ranselnya. Ia bahkan tidak peduli pada tatapan beberapa siswa
yang kebetulan lewat di depannya yang menatapnya dengan pandangan heran.

“Name tagku, dimana aku meletakkannya?” gumamnya lagi. Ternyata Ara sedang mencari
name tagnya.

Ia mengeluarkan seluruh isi tasnya, dan mulai mencari-cari benda kecil itu diantara tumpukan
bukunya. Seingatnya, ia selalu meletakkan name tag itu di dalam tasnya setelah ia
melepasnya dari blazernya. Tapi, kenapa tidak ada? Tidak mungkin kan ketinggalan di rumah?

Ara mencoba mengingat-ingat kapan ia terakhir kali memakai name tagnya. Jika tidak salah
ingat, kemarin Ara masih masih memakainya sampai jam pelajaran berakhir. Lalu ia
melepaskannya saat akan meletakkan surat di loker Yian, dan akhirnya ia terjatuh karena
menabrak Jihyun.

“Ya Tuhanku!!!” Ara memekik pelan sambil menepuk keningnya.

Bagaimana ini? Bagaimana jika ia menjatuhkan nametagnya saat ia menabrak Jihyun lalu ia
pergi begitu saja dan lupa mengambilnya? Dan, bagaimana jika Jihyun yang menemukannya?
Lalu ia akan tahu siapa dirinya dan mungkin, Jihyun akan membongkar semua yang sudah ia
sembunyikan. Bagaimana ini? Ia tidak ingin ketahuan bahkan sebelum ia melangkah lebih
jauh lagi!!

“Pagi, Ara!!” sapa Hana sambil menepuk pelan bahu Ara. Ia baru saja sampai di sekolah dan
langsung melihat Ara yang sedang duduk sendirian di salah satu bangku taman.

“Owh.. Pagi juga, Hana.” balasnya, sambil memberikan seulas senyum.

Hana melihat tas Ara yang berantakan dan langsung mengerutkan keningnya. “Apa yang
sedang terjadi? Kenapa tasmu berantakan?” tanya Hana, penasaran.

Ara langsung memasukkan buku-bukunya dengan cepat. “Bukan apa-apa. Aku hanya
memastikan apakah ada buku yang tertinggal di rumah atau tidak.” Bohong Ara. ia sengaja
tidak mengatakan jika ia sedang mencari nametagnya karena hal itu pasti akan berujung
dengan Hana tahu siapa Jihyun. Ia tidak mau itu terjadi.

“Owh..” Hana menganggukkan kepalanya. “Lalu apa ada yang tertinggal?”

“Tidak. Semuanya baik-baik saja sekarang.” jawab Ara cepat. Ia lalu berdiri dan mulai
mengajak Hana berjalan bersama, masuk ke dalam gedung sekolah.

“Owh ya, Ara.. ada yang ingin kutanyakan padamu.” Hana membuka suara setelah beberapa
detik tak ada yang bersuara diantara keduanya.

“Apa?” Ara menoleh dengan wajah ingin tahu.

“Semalam, apa yang kau lakukan? Maksudku, apa saja yang kau lakukan tadi malam?” tanya
Hana, sedikit bingung dengan kata-kata yang tepat untuk ia gunakan.

Ara mulai berpikir. Jelas sekali tak ada kecurigaan dalam dirinya sama sekali. “Setelah
belajar, aku langsung tidur. Kenapa?”

“Apa kau keluar saat malam hari? Seperti pergi ke suatu tempat?” tanya Hana lagi.

“Tidak. Aku hanya di rumah saja.” Kata Ara. Ia tidak berbohong. Semalam ia memang ada di
rumah, tepatnya di kedai milik Bibi Nayoung, membantu Bibinya.

“Benarkah?” Hana masih tidak puas dengan jawaban Ara.

“Tentu saja. Ada apa memangnya?”

“Ah, tidak. Mungkin hanya perasaanku saja.”

***

Malam harinya, Hana kembali ke kedai itu bersama Jimin. Untung saja Jimin mau
menemaninya dan bersedia menraktirnya lagi. Kakaknya itu memang baik, tapi hanya
kadang-kadang. Tapi tak apalah, Hana hanya ingin memastikan saja apakah itu benar Ara
atau bukan. Hana masih belum puas dan yakin dengan jawaban Ara. Menurutnya, gadis itu
seperti menyimpan banyak hal yang memang sengaja disembunyikan.
Saat masuk ke dalam kedai yang masih saja ramai seperti kemarin malam, Hana langsung
melihat gadis yang mirip dengan Ara yang sedang mencatat pesanan salah pelanggan. Hana
langsung memilih tempat duduk yang ada di dekat tempat Ara berdiri.

“Aku ingin memesan..” teriak Hana pada gadis yang ia yakini sebagai Ara.

Gadis yang tak lain adalah Ara, langsung menoleh karena ia sudah selesai mencatat pesanan
pelanggan yang barusan. Dan alangkah terkejutnya ia, saat melihat Hana yang duduk tak jauh
darinya, menatapnya dengan wajah yang sama-sama terkejut.

“Kau Kim Ara, kan?” tanya Hana, karena Ara hanya diam saja di tempatnya.

Tak tahu apa yang harus dilakukan. Ara terlalu terkejut mengetahui bahwa Hana melihatnya
sedang melayani pelanggan di kedai kecil milik Bibinya. Ah, bagaimana ini? Bagaimana jika
Hana tahu mengenai dirinya yang sebenarnya? Bagaimana jika Hana tidak mau berteman
dengannya lagi setelah mengetahui bahwa ia hanyalah dari keluarga biasa?

Banyak kata bagaimana yang memenuhi kepala Ara hingga ia benar-benar ketakutan. Tak
ada hal lain yang bisa dilakukan, Ara akhirnya memilih masuk ke dalam dan meninggalkan
Hana yang masih terus menatapnya. Hana yang melihat hal itu, semakin yakin bahwa dia
memang Ara, temannya. Tapi, kenapa Ara bekerja di kedai itu? dan, kenapa Ara tidak pernah
menceritakannya?

Salah seorang pelayan lain yang melihat Ara lari ke dalam, segera menghampiri Hana dan
meminta maaf. “Maafkan dia, Nona. Dia memang benar-benar tidak sopan pada anda.”
Katanya sambil membungkukkan badan berkali-kali.

Hana mengangguk ringan dan berusaha menguasai dirinya. “Namanya Kim Ara, kan?” tanya
Hana pada pelayan itu, matanya menunjuk tempat Ara berlari tadi.

“Iya. Apa anda mengenalnya? Dia keponakan pemilik kedai ini. Dia sangat pintar karena bisa
diterima di SMA Seoul.” Jawab pelayan itu sambil tersenyum.

Ditempatnya, Hana hanya terdiam. Jadi benar jika dia adalah Ara yang ia kenal. Tapi, kenapa
Ara melakukan hal ini? Kenapa Ara tidak pernah mengatakan jika tinggal bersama Bibinya?
Kenapa? Kenapa?

Nafasnya masih memburu saat Ara tiba di dalam kamarnya. Ia langsung mengunci pintu
kamarnya rapat-rapat karena tak ingin Hana mengejarnya sampai ke dalam walaupun itu
terlalu berlebihan. Ara kembali menormalkan nafasnya sambil duduk di pinggi ranjang. Ia
menatap ke jendela, yang menampakkan langit malam yang hitam bagaikan lautan tinta
malam ini.

Pikirannya kembali pada saat dimana ia melihat Hana di kedai beberapa menit yang lalu. Ia
masih tidak percaya jika Hana melihatnya yang sedang melayani pelanggan. Bagaimana jika
Hana mulai berpikir yang aneh-aneh tentang dirinya? Bagaimana jika Hana mulai tahu bahwa
ia sudah berbohong selama ini dan akan meninggalkannya? Ara benar-benar takut kehilangan
seseorang yang baik seperti Hana, walaupun belum lama mereka berteman.

***
“Hana.. tunggu! Aku akan menjelaskan semuanya…” teriak Ara sambil terus mengejar Hana
yang berlari menjauhinya.

Hari sudah malam dan udara cukup dingin. Namun Ara terus berusaha mengejar Hana yang
marah padanya setelah melihatnya di kedai. Ara berusaha menjelaskan pada Hana tentang
dirinya yang sebenarnya. Namun, Hana tidak mau mendengarnya karena masih marah dan
terus saja berlari.

Ara terus mengejar Hana, bahkan saat gadis itu berlari menyebarangi jalan yang cukup sepi
malam ini. Hana sudah sampai di seberang jalan saat Ara tiba di tengah jalan. Ia masih terus
berteriak memanggil nama Hana dan menyuruhnya untuk berhenti. Namun, sebuah suara
klakson yang memekakkan telinga membuat Ara berhenti tepat di tengah jalan. Kepalanya
langsung menoleh ke sumber suara dan matanya langsung menangkap cahaya silau yang
membuatnya tak mampu melihat dengan jelas. Hingga, ia merasakan tubuhnya dihantam
kendaraan besar yang dilihatnya itu dan ia merasa seperti terbang lalu detik berikutnya, ia
sudah terhempas ke aspal yang dingin.

“Aaaaaah……”

Ara langsung membuka matanya saat mimpi buruk itu kembali menghampirinya. Ia melihat
kedua tangannya yang masih utuh, lalu meraba-raba tubuhnya dan yang terakhir, ia
mengambil cermin untuk melihat wajahnya yang terlihat pucat akibat mimipi buruk barusan.

Tiba-tiba saja, Ara merasakan kepalanya kembali berdenyut. Rasanya sangat sakit seperti
ditusuk ribuan jarum. Lalu pikirannya kembali pada saat ia merasakan serpihan-serpihan
yang berasal dari pecahan kaca yang menerpa kepalanya dan wajahnya, membuat rasa sakit
itu kembali ia rasakan. Rasanya benar-benar sakit.

“Owh… kepalaku….” rintihnya.

Kedua tangannya yang bebas, meraba-raba sekelilingnya. Matanya tak bisa melihat apapun
karena efek dari sakit kepala yang luar biasa itu. jika pun ia bisa melihat, hal yang bisa ia
lihat hanyalah dunia di sekitarnya yang seakan berputar dan justru membuatnya jatuh karena
tak bisa menjaga keseimbangan.

Tak butuh waktu lama, Ara menemukan sesuatu yang ia cari. Obat yang tempo hari ia beli
yang kini sudah ia letakkan di dalam tabung kecil. Ia membuka tutup tabung itu, lalu
mengambil dua keping obat berwarna orange gelap itu dan menelannya. Tak lupa, tangannya
menggapai segelas air putih yang memang sudah ia sediakan setiap malam di atas nakasnya.
Ia hanya berjaga-jaga jikalau sakit kepalanya itu kambuh lagi dan malam ini memang terjadi.

Beberapa saat kemudian, Ara sudah merasa lebih baik. Kepalanya sudah tidak sesakit
sebelumnya. Ia lalu kembali mengambil cermin yang tadi sempat ia hempaskan begitu saja.
Ia memandang pantulan wajahnya. Bibirnya pucat pasi dan matanya memerah, sedetik
kemudian, buliran air mata meluncur membasahi pipinya. Untuk pertama kalinya, setelah
sekian waktu berlalu, Ara kembali menangis.

***

“Aku ingin bertemu denganmu di taman belakang sekolah sepulang sekolah.”


Hana kembali membaca memo kecil yang ada di tangannya. Ia menemukannya tertempel di
pintu lokernya saat ia berangkat tadi pagi. Dan Hana yakin, jika memo ini pasti ditulis oleh
Ara. Di remasnya memo itu hingga tak berbentuk. Ia lalu memasukkannya asal ke dalam saku
blazernya saat melihat Ara yang berdiri di bawah pohon sakura tak jauh darinya. Hana
menguatkan dirinya, ia harus mendengar penjelasan dari gadis itu sekarang.

“Kau menghindariku seharian ini.” Kata Hana, setelah ia berdiri di hadapan Ara. Ia menatap
gadis berparas cantik di depannya. Ada yang berbeda dari gadis itu hari ini, wajahnya..
sedikit pucat.

Ara memberanikan menatap Hana. “Maafkan aku, Hana..” hanya kata itulah yang mampu ia
ucapkan. Setelahnya, air mata kembali meluncur dari kelopak matanya.

“Aku kesini bukan untuk mendengarmu meminta maaf!!” sentak Hana, mulai tersulut
emosinya.

Tak jauh dari tempat mereka berada, tepatnya di salah satu bangku taman, Yian terbangun
dari tidurnya karena mendengar suara seseorang yang terdengar marah. Ia sedang menunggu
latihan basket dimulai, bahkan ia sudah mengganti bajunya dengan kaos kebesaran tim
mereka. Matanya menatap sekeliling dan ia menemukan dua orang siswi sekolahnya sedang
berdiri tak jauh darinya. Ia mempertajam telinganya agar bisa mendengar dengan jelas apa
yang sedang mereka bicarakan.

“Maafkan aku, Hana…” kembali Ara mengucapkan kalimat itu.

“Kenapa kau tidak mengatakannya padaku jika kau bekerja di kedai itu?” tanya Hana,
berusaha sekuat tenaga agar emosinya tidak semakin meluap.

Ara mengusap airmatanya. “Maafkan aku, aku terlalu takut untuk mengakui jika aku
bukanlah siapa-siapa. Aku hanyalah gadis biasa yang berasal dari keluarga biasa. Maafkan
aku, Hana. Aku berbohong agar bisa berteman denganmu.” Aku Ara.

Hana terdiam di tempatnya. Ia merasa gamang. Berbohong demi bisa berteman dengan
dirinya? Hana kembali mengulangi kalimat itu dalam hatinya. Apa-apaan ini? Jadi, dari awal
gadis itu sudah berbohong padanya? Demi bisa berteman dengannya? Apa Ara memiliki niat
tersendiri saat berteman dengannya?

“Kau… kau benar-benar tidak terduga, Ara.” Hana mengusap air mata yang mulai menetes.
“Kenapa kau berbohong? Kau kan bisa mengatakan yang sebenarnya!!” bentak Hana, dengan
suara yang keras.

Yian masih ditempatnya, mendengarkan mereka. Sebenarnya ia tidak bermaksud menguping.


Tapi saat tahu jika mereka adalah Hana dan Ara, teman sekelasnya dan gadis yang ia curigai
itu, Yian jadi penasaran. Ia cukup bingung dengan apa yang sedang mereka bicarakan hingga
mereka berdua sampai menangis begitu.

“Aku takut, Hana. Aku takut.. jika aku mengatakan semuanya, kau tidak mau berteman
denganku. Aku… maafkan aku…” Ara terus memohon maaf pada Hana. Bahkan, ia sampai
memegang kedua tangan Hana.
Sedangkan Hana, berusaha tidak menatap gadis itu. Ia tidak sanggup. Ia benar-benar kecewa
telah dibohongi oleh temannya. Satu-satunya orang yang ia anggap teman.

“Kim Ara, kau tahu?” Hana memberanikan diri manatap Ara. “Aku bukanlah tipe orang yang
mudah percaya pada orang lain. Banyak yang ingin berteman denganku hanya untuk
menumpang kepopuleran dariku. Kau tahu itu, kan? Tapi saat melihatmu, aku pikir kau
berbeda. Ku pikir, kau tidak seperti yang lainnya.” Hana berhenti sejenak untuk menyeka
airmatanya. “Tapi.. ternyata aku salah. Kau, sudah berani berbohong padaku. Bagaimana aku
bisa mempercayaimu kedepannya? Katakan padaku, apakah aku bisa mempercayaimu lagi?”

Ara hanya diam, tak bisa menjawab pertanyaan Hana.

“Selama ini aku selalu sendiri. Sejak aku dibohongi oleh seseorang sahabatku, aku sudah
tidak percaya pada siapapun. Tapi, kupikir kau berbeda. Saat melihatmu yang sangat percaya
diri dan gigih, kupikir kau bisa kujadikan penggantinya. Kau tahu? Daripada memiliki
sepuluh atau seratus teman lainnya, hanya memilikimu sebagai teman sudah cukup bagiku.
Tapi.. kau membuatku kecewa, Ara. Aku benar-benar kecewa padamu!!”

Setelah mengatakan hal itu, Hana langsung menghempaskan tangan Ara dan melangkahkan
kakinya, berlari menjauhi Ara. Saat ia berlari, tak sengaja ia menabrak Sehun yang sedang
berjalan menuju lapangan basket, membuat Sehun terlonjak dan hampir jatuh. Lelaki itu
sempat mengeluarkan sumpah serapahnya karena ditabrak oleh Hana. Namun, perhatiannya
langsung teralih saat matanya menangkap sosok Ara yang berdiri di bawah pohon sakura, tak
jauh di depannya.

“Hana.. maafkan aku…” rintih Ara, tak berniat mengejar Hana.

Dari tempatnya berdiri, Sehun bisa melihat Ara yang sedang menangis hingga sesenggukan.
Sehun mulai berpikir, mungkin gadis yang tadi menabraknya dan berlari itu memiliki
masalah dengan Ara. Sehun ingin mendekatinya, namun langkahnya terhenti saat ia melihat
Yian yang mulai melangkah mendekati Ara. Di sisi lain, Yian juga melihat Sehun yang
berdiri tak jauh darinya. Mereka mulai berpandangan dengan tatapan mata yang sulit
diartikan. Sedetik kemudian, mereka sadar jika mereka sama-sama memperhatikan Ara, gadis
yang sedang menangis di bawah pohon itu.

TBC

HAPPY READING J

“Daripada memiliki sepuluh atau seratus teman lainnya, hanya memilikimu sebagai temanku
sudah cukup bagiku….”

***

Kaki Yian bergerak mendekat seiring dengan kepergian Hana. Matanya tak lepas
memandangi sosok gadis yang bernama Ara, yang bagi dirinya masih membuatnya penasaran.
Ada banyak hal yang berkeliaran di pikirannya. Seperti apa masalah yang menyebabkan
mereka bertengkar atau apakah benar gadis itu adalah Ara yang dikenalnya? Ia ingin melihat
lebih dekat gadis itu dan memastikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa perkiraannya
tidak salah. Ia seperti melihat sahabat lamanya dalam diri gadis itu.

Langkah kakinya tiba-tiba saja terhenti saat ekor matanya menangkap sosok lelaki jangkung
yang juga tengah berjalan mendekati gadis yang sama. Kepalanya menoleh, matanya menatap
langsung mata elang milik seseorang yang dikenalnya, Oh Sehun. Dari tempatnya berada, ia
bisa melihat dengan jelas raut wajah Sehun yang menunjukkan ekspresi serupa dengan
dirinya, yang diliputi rasa penasaran akan gadis itu.

Keduanya saling berpandangan cukup lama, seperti saling melempar dan menjawab
pertanyaan lewat tatapan mata. Sehun sendiri masih berpikir, mencoba menerka-nerka apa
yang sedang terjadi. Kenapa Yian berniat mendekati Ara dan apa yang tengah terjadi pada
gadis itu hingga menangis saat ditinggalkan oleh gadis yang tadi menabraknya? Hal itu cukup
membuatnya penasaran dan ia sendiri tidak tahu kenapa ia jadi ingin tahu apa urusan orang.

Di sisi lain, tangis Ara mulai mereda. Ia menyeka sisa air mata yang menempel di pipi
mulusnya dengan kasar. Tangannya mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan mengeluarkan
sebuah cermin kecil. Dilihatnya pantulan wajahnya dari cermin itu. Ia menghembuskan nafas
panjang lalu mencoba tersenyum. Sebuah senyum yang sedikit dipaksakan mengingat
wajahnya masih terlihat sembab.

“Semua akan baik-baik saja, Ara. Tetaplah semangat menjalani hidupmu!!” gumamnya,
memberi semangat pada dirinya sendiri.

Ia lantas membalikkan tubuhnya berniat untuk pulang. Namun alangkah terkejutnya ia saat
menemukan dua orang lelaki yang ia kenal, tengah berdiri tak jauh darinya yang sedang
melempar tatapan yang sulit diartikan. Ara menatap keduanya bergantian. Yian dan Sehun,
apa yang kedua orang ini lakukan? Apakah mereka tahu jika Ara baru saja menangis? Atau,
jangan-jangan mereka melihat semuanya?

Sehun dan Yian, memutus tatapan mereka saat menyadari bahwa mereka sedang diperhatikan
oleh Ara. Mereka langsung menoleh bersamaan dan menatap gadis itu, memperhatikannya
dari ujung kaki hingga ujung kepala. Mungkin ingin mengetahui apakah gadis itu baik-baik
saja. Sedang Ara, yang ditatap seperti itu menjadi risih. Lantas ia memutuskan untuk segera
menarik dirinya dari situasi yang membuatnya merasa sedikit eeerrr.. salah tingkah.

Kedua lelaki itu menatap kepergian Ara dengan tatapan mata yang masih sulit diartikan.
Menatapnya lama seperti takut jika Ara akan hilang dari pandangan mata mereka. Hingga,
akhirnya Yian memutuskan untuk melangkahkan kakinya, mengikuti kepergian gadis itu.
Sedangkan Sehun, masih berdiri di tempatnya. Sebelah tangannya menyentuh dadanya, tepat
di jantungnya yang berdetak kencang. Matanya kembali menatap kepergian kedua sosok itu.

“Perasaan ini… kenapa aku merasakannya?”

***

“Unnie, hari ini aku saja yang mencuci piring. Kau mau ‘kan menggantikan tugasku di
depan?” tanya Ara pada seorang gadis yang usianya lebih tua darinya.
Gadis itu, menghentikan aktifitasnya yang sedang mencuci piring dan mengalihkan
tatapannya pada Ara. Kedua alisnya saling bertaut. “Kenapa? Biasanya kau sangat tidak suka
jika terllau lama berada di dapur.” Timpal gadis itu.

“Aku hanya ingin berganti suasana. Bagaimana, Jihee Unnie?” Ara mencoba membujuk
gadis yang dipanggil Jihee itu. Jihee nampak berpikir lalu sedetik kemudian ia mengangguk
pelan.

“Baiklah. Aku juga sudah lama tidak berada di depan.” Katanya, melepaskan sarung tangan
karet yang ia gunakan untuk mencuci piring. “Kau baik-baik saja?” wajah Jihee sedikit
khawatir saat melihat Ara yang tampak lemas hari ini. Gadis itu biasanya selalu ceria. Kenapa
hari ini sedikit berbeda?, batinnya.

Ara memaksakan seulas senyum sambil memakai sarung tangan karet bekas digunakan Jihee.
“Hanya ada sedikit masalah. Tapi, semuanya pasti akan baik-baik saja.” Katanya, mencoba
tak membuat gadis yang sudah ia anggap seperti kakaknya itu tidak khawatir. Walau Ara
baru mengenal Jihee setengah tahun ini, mereka sudah langsung akrab. Apalagi bagi Ara,
Jihee sangat dewasa dan itu membuatnya nyaman jika ia sedang berkeluh kesah pada Jihee.

“Ada apa? Ceritakan saja padaku, Ara.” Jihee memaksa Ara. Ia sangat tahu jika gadis di
hadapannya ini sedang ada masalah.

Ara menghembuskan nafasnya pelan. “Temanku marah padaku karena aku membohonginya.
Dia sangat kecewa padaku. Aku sudah meminta maaf tapi sepertinya dia sangat marah,
Unnie..”

“Kau berbohong? Tentu saja aku akan marah jika aku jadi dia. Memangnya, siapa yang mau
dibohongi oleh teman sendiri?” Komentar Jihee. Ia menyandarkan tubuhnya pada sisi tempat
mencuci.

“Aku tahu aku salah. Aku berbohong karena aku ingin menjadi temannya. Jika aku
mengatakan siapa diriku yang sebenarnya, dia pasti tidak mau berteman denganku karena aku
hanya orang biasa…”

“Orang biasa seperti apa yang kau maksud? Kau cantik dan pandai, Ara. Kau juga berasal
dari keluarga baik-baik. Ibumu-Bibi Miyoung-, Bibi Nayoung, Paman Jongjin dan
Joonmyeon, mereka sangat baik. Jika yang kau maksud dari segi harta kekayaan, kau akan
selalu merasa biasa saja dan bahkan tidak berkecukupan.” Jelas Jihee. Ia menghirup nafas
pelan lalu menghembuskannya. “Kau tahu, Ara? Seseorang akan terlihat berharga jika ia
memandang dirinya berharga. Tidak peduli darimana asalmu, status sosial ataupun kelas
ekonomi. Tapi jika kau menganggap dirimu biasa, sampai kapanpun kau tidak akan bisa
mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan padamu.”

Ara menundukkan kepalanya mendengar serentetan kalimat yang diucapkan Jihee yang
terdengar seperti ceramah. “Lalu aku harus bagaimana, Jihee Unnie?” tanyanya, seperti
seorang anak kecil yang meminta tolong pada kakaknya setelah ia memecahkan vas bunga
kesayangan Ibunya.
“Temui dia dan jelaskan semuanya. Katakan padanya semua yang kau sembunyikan. Jika dia
orang yang baik, dia pasti akan mengerti dan memaafkanmu. Tapi, jika dia masih marah
padamu, ketahuilah bahwa dia bukan orang yang layak dijadikan teman. Percayalah padaku..”

Senyum di bibir Ara langsung terbit setelah mendengar nasehat dari Jihee. Ia memeluk Jihee
sebentar lalu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Terimakasih, Unnie. Kau memang
yang terbaik.” Katanya dengan tulus.

Jihee tersenyum lalu mengelus rambut Ara pelan. “Jangan bersedih lagi. Jika ada masalah
kau bisa datang padaku. Aku selalu ada untuk mendengarkan ceritamu, Ara. Ya sudah, aku
harus kembali bekerja sekarang.” katanya lalu mulai melangkahkan kakinya keluar dari dapur.

Dari tempatnya berada, Ara menatap kepergian Jihee hingga ia menghilang dibalik pintu
yang menghubungkan dapur dengan tempat duduk pelanggan. Dalam hati Ara bersyukur
karena ia mengenal gadis itu. Jihee, gadis yang baru berusia dua puluh tahun, telah bekerja di
kedai milik Bibinya sejak beberapa tahun yang lalu. Jihee pulalah orang pertama yang ia
kenal saat dirinya baru keluar dari rumah sakit. Berkat Jihee, setidaknya ia bisa menjalani
masa-masa terburuk dalam hidupnya. Sampai sekarang, gadis itu masih mau berada di
samping Ara, bekerja membanting tulang untuk menghidupi dirinya dan dua orang adiknya
yang masih sekolah.

Jihee keluar dari dapur setelah berbicara sebentar pada Ara. Setidaknya ia memberi nasehat
pada gadis itu untuk bersikap lebih baik lagi, sebelum semuanya terlambat. Jihee tidak mau
gadis yang sudah ia anggap seperti adiknya itu, akan kehilangan seseorang yang berharga
hanya karena sebuah kesalahan yang tak sengaja dilakukan.

Perlahan Jihee mendekati meja kosong dekat jendela, ia mengambil serbet dan membersihkan
meja yang baru saja ditinggal pergi oleh penghuninya. Sore ini kedai agak sepi, jadi sudah
menjadi tugas pelayan di kedai ini untuk membersihkan meja. Saat Jihee sedang mengelap
meja, matanya menangkap sosok lelaki yang berdiri di bawah lampu jalan, di depan kedai.
Lelaki itu terus menatap ke dalam. Jihee sedikit penasaran lalu ia memutuskan untuk
menghampiri lelaki itu.

“Selamat sore.. Apa kau ingin makan di kedai kami?” tanya Jihee ramah. Matanya menelisik
lelaki di depannya yang terlihat lebih muda darinya, mungkin ia seorang pelajar, batin Jihee.

“Ah.. tidak.” Lelaki itu menggaruk belakang kepalanya sambil tersenyum canggung. “Aku
hanya ingin bertanya suatu hal.”

“Ya? Apa yang ingin kau tanyakan?”

“Begini… aku tadi melihat seorang gadis yang memakai seragam SMA Seoul masuk ke
dalam kedai ini. Tapi sampai sekarang, aku tidak melihatnya di sana. Apa kau tahu dimana
dia?” tanya lelaki yang tak lain adalah Yian.

Ya, berbekal rasa keingintahuannya, Yian memutuskan untuk mengikuti Ara sampai di kedai.
Saat Ara memasuki kedai setengah jam yang lalu, Yian tidak berani masuk karena takut Ara
akan melihatnya. Jadi Yian memutuskan untuk menunggu di luar. Mungkin Ara sedang
makan atau apa. Tapi, setelah setengah jam lebih belalu, Yian tak melihat gadis itu keluar
dari kedai ataupun berada di dalam kedai.
“Gadis?” Jihee mengerutkan keningnya. Apa mungkin yang dimaksud lelaki ini Ara? tapi,
siapa lelaki ini? “Memang ada. Tapi kau siapa, ya?”

Yian mengulurkan tangannya. “Namaku Lee Yian. Aku bersekolah di sekolah yang sama
dengan gadis itu. Anggap saja kami teman. Gadis itu, Ara, apa dia masih ada di dalam?”

Dengan ragu, Jihee menerima jabatan tangan Yian. “Aku Lee Jihee. Sedang bisa bertemu
denganmu.” Jihee mulai berpikir sejenak. Mungkin benar jika lelaki yang mengaku bernama
Yian ini teman Ara, batinnya. “Ara memang ada di dalam, karena disinilah rumahnya.”
Sambungnya, membuat Yian membelalakkan matanya.

Rumah Ara di kedai ini? Yang benar saja?

“Kau yakin?” Yian masih tidak percaya.

“Pemilik kedai ini adalah Bibi Ara. Jika kau memang temannya, kau pasti tahu ‘kan siapa
Bibi Nayoung?”

Bibi Nayoung? Pemilik kedai yang menjual serba-serbi makanan seafood khas Namhae ini?
Yian mulai berpikir. Jika tidak salah, Ara yang dikenalnya pernah bercerita jika ia
mempunyai Bibi yang tinggal Seoul. Ia membuka sebuah kedai yang sama dengan Ibunya
yang ada di Namhae. Bibi itu adalah kakak Ibu Ara –Hwang Miyoung-, dan jika Yian tidak
salah ingat, namanya adalah… Hwang Nayoung. Jadi, apakah….

“Apakah nama pemilik kedai ini Hwang Nayoung? Dulu dia pernah tinggal di Namhae?”
tanya Yian, memastikan dugaannya.

“Ah, kau benar.” Jihee menjentikkan jarinya sambil tersenyum. “Apa perlu ku panggilkan
Ara? Dia sedang mencuci piring.” Tawarnya.

Dengan cepat Yian menggelengkan kepalanya. “Tidak. Dia pasti sangat sibuk dan aku tidak
ingin mengganggunya. Terimakasih atas tawarannya, Jihee-ssi.” Kata Yian, bermaksud untuk
segera pergi.

“Owh, sama-sama, Yian-ssi.”

Maka dengan sebuah senyum samar yang menghiasi wajahnya, Yian pergi meninggalkan
kedai itu. Ia sudah curiga sebelumnya. Ara yang ia lihat di sekolah, ternyata memang benar
Ara yang ia kenal, sahabatnya. Tapi kenapa Ara tidak mengenalinya dan terkesan malah
menghindarinya? Dan satu lagi tanda tanya besar dalam kepala Yian. Kenapa wajah Ara
berubah??!!!!!

***

Masih dengan mata yang tertutup rapat, Ara bangkit dari ranjangnya. Ia berjalan, menyeret
kakinya menuju kamar mandi yang terletak tak jauh dari kamarnya. Begitu ia sampai di
dalam, masih dengan mata tertutup, Ara meraba-raba sekitarnya, mencari keran air dan
memutarnya. Kepalanya ia taruh di bawah keran, namun ia tak merasakan apapun. Perlahan
matanya terbuka, memastikan apakah ia sudah menyalakan keran atau belum. Dan memang
sudah, tapi tidak ada yang keluar.
Kembali Ara menyalakannnya namun hasil tetap nihil. Ia lalu mendekati wastafel dan
menyalakan kerannya dan tetap tak ada air yang keluar. Ara lantas berjalan menuruni anak
tangga menuju dapur tempat Bibi dan Pamannya tengah sarapan.

“Bibi, kerannya mampet..” katanya, setengah merengek pada Bibinya yang tengah
mengoleskan selai kacang pada roti bakarnya.

Bibi Nayong menoleh sebentar tanpa mengentikan aktifitasnya. “Listriknya mati dan kita
tidak mempunyai air untuk mandi. Bibi bahkan tidak bisa memasak, Ara.” jawab Bibinya
yang langsung membuat Ara membulatkan matanya.

“Apa?? Lalu bagaimana aku mandi, Bibi, Paman? Aku harus ke sekolah hari ini.” Katanya,
menuntut jawaban.

“Kau bisa menumpang mandi di rumah temanmu.” Paman Jongjin mencoba memberi saran,
tapi matanya masih tertuju pada koran yang sedang ia baca.

“Teman?” Ara menggumamkan kata pelan.

Ya, bisa saja Ara menumpang mandi di rumahnya temannya. Yang jadi masalah, siapa yang
akan ia tumpangi? Hana? Ara sedang bermasalah dengan dia. Jihee Unnie? Tidak, rumahnya
dan sekolahnya berlawanan arah dan ia pasti akan terlambat. Lalu siapa? Ara tidak
mempunyai teman lain. Teman sekelasnya? Lee Yumi? Owh, Big No!! Bisa-bisa mereka tahu
siapa Ara yang sebenarnya.

“Rumah teman-temanku jauh, Paman.” Bohongnya, dengan wajah meyakinkan.

“Kalau begitu, kenapa tidak mandi saja di sekolah?” Joonmyeon yang baru keluar dari
kamarnya, langsung menimpali. Ia berjalan menuju meja makan dan mendudukkan dirinya di
samping Ibunya, Bibi Nayoung.

“Hah? Nanti kalau ada yang melihat bagaimana, Oppa?” Ara terkejut dengan ide Joonmyeon.

“Ya itu artinya kau harus berangkat lebih pagi.” Jawab Joonmyeon enteng.

“Benar kata Joonmyeon.” Kata Bibi Nayoung, setuju. “Sekarang lebih baik kau bersiap-siap.
Masukkan seragammu ke dalam tas dan Joonmyeon akan mengantarmu ke sekolah.”
Sambungnya.

Ara kembali membulatkan matanya. “Apa Jaehyun juga akan disuruh mandi di sekolahnya?”
tanyanya, mengingat tidak ada air di rumahnya.

Bibi Nayoung menggelengkan kepalanya. “Tidak. Jaehyun tidak akan mandi pagi ini.
Lagipula, ia pulang lebih awal hari ini.” Jawab Bibi Nayoung enteng. “Ayo, lekaslah bersiap.”

What?? Apa Bibinya ini sedikit tidak waras? Ara disuruh mandi di sekolah dan Jaehyun ke
sekolah tanpa mandi? Ini benar-benar hal gila yang pernah ia temui. Kenapa Bibinya itu tidak
menyuruhnya untuk libur sehari saja? Kakaknya lagi, kenapa pula menyarankan hal bodoh
yang sangat tidak mungkin untuk di lakukan? Bayangkan saja, seorang Kim Ara harus mandi
di toilet sekolah. Huh, seperti gelandangan saja.
“Cepatlah bersiap, dasar siput.” Joonmyeon memecahkan pikiran Ara dengan mendorong
tubuh gadis itu untuk segera masuk ke kamarnya. Ara hanya menurut dan kakinya mulai
menaiki anak tangga satu persatu.

***

Walaupun awalnya agak tidak setuju dengan ide Joonmyeon dan Bibi Nayoung, namun Ara
tetap melakukannya, mandi di toilet sekolah. Ia berangkat pukul enam pagi dengan diantar
oleh Joonmyeon. Sesampainya disana, ia yang memang sudah membawa seragam sekolah
dan peralatan mandinya, langsung saja pergi ke toilet dan mulai mandi. Ara merasa ini agak
lucu. Ia merasa seperti pengungsi yang merupakan korban bencana alam sehingga harus
mandi di tempat-tempat umum. Padahal, dulu saat di Namhae, ia sama sekali tidak pernah
mandi di toilet umum sekalipun tidak air di rumahnya. Ia lebih memilih tidak mandi seharian
sampai ada air di rumahnya. Namun sekarang beda ceritanya. Masa iya ia mau berangkat ke
sekolah tanpa mandi?

Lima belas menit kemudian Ara sudah selesai mandi. Ia keluar dari salah satu bilik toilet
sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil yang tadi dibawanya. Ia berdiri di
depan cermin lalu mulai memoleskan make up tipis ke wajahnya, mulai dari pelembab
sampai lip balm. Selesai dengan hal itu, Ara mengemasi barang-barangnya dan
mengalungkan dasi yang tadi belum ia kenakan. Setelah memasukkan barang-barangnya ke
dalam tas, Ara berjalan keluar dari toilet.

Sepanjang koridor, Ara belum melihat satupun siswa lain yang berangkat. Ia melirik jam
tangannya dan cukup terkejut saat mengetahui waktu menunjukkan enam lebih dua puluh
lima menit. Masih ada banyak waktu untuknya sebelum jam pelajaran dimulai dan Ara mulai
berpikir untuk mencari kegiatan lain. Langkah kakinya terhenti saat ia kembali teringat
dengan kemarin dan kemarin malamnya lagi. Ia menghembuskan nafas penjang. Mungkin
memang ia harus melakukan apa yang disarankan Jihee semalam, pikirnya.Mulailah ia
kembali melangkahkan kakinya. Dengan penuh percaya diri ia melangkahkan kakinya
menuju area loker tingkat dua. Ia harus cepat sebelum ada siswa lain yang akan melihatnya.

Begitu sampai di area loker tingkat dua, Ara langsung menuju ke loker Hana yang sudah ia
ketahui dimana tempatnya karena Hana pernah memberitahunya beberapa waktu setelah
mereka saling kenal. Ia berhenti di depan loker bertuliskan nomor 123. Ara mengeluarkan
pena dan note kecil dari dalam tasnya dan mulai menuliskan sesuatu disana. Setelahnya, ia
menempelnya di depan loker Hana yang masih tertutup rapat.

“Semoga saja Hana mau menemuiku…” gumamnya. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia bisa
melalui hari ini dengan baik, lalu membalikkan badannya, berniat untuk pergi ke kelasnya.

“Jadi, kau tersangka yang menulis surat cinta itu?”

Tiba-tiba Ara mendengar suara berat seorang lelaki yang memasuki indera pendengarannya.
Ara yang sudah mulai melangkah pergi, menghentikan langkah keduanya lalu membalikkan
badannya. Damn! Ara kembali melihat sosok lelaki itu. Lelaki menyebalkan dan kasar yang
masih dengan jelas ia ingat namanya. Oh Sehun.

“Apa maksudmu?” tanya Ara, tidak mengerti dan tidak paham dengan maksud pertanyaan
Sehun.
Sehun berjalan mendekati loker Hana. Salah satu tangannya yang dimasukkan ke dalam saku
celana, ia keluarkan dan meraih note kecil yang tadi ditempelkan Ara di pintu loker Hana.

“Aku menunggumu di taman belakang sepulang sekolah. Datanglah dan aku akan
mengatakan semuanya. Dari Ara.” Sehun membaca isi note tersebut. “Kau yang menulisnya,
‘kan?” tanyanya, menyodorkan note itu pada Ara.

“Memang benar. Dan kumohon kembalikan itu ke tempatnya semula, Sunbae.” Kata Ara
dengan nada sopan. Ia sedang tidak ingin membuat masalah ataupun keributan di pagi yang
cerah ini.

Sehun menuruti apa yang dikatakan Ara. Ia kembali menempelkan note itu ke tempat semula.
“Omong-omong, kau mengenal Hana? Gadis keras kepala itu?” tanya Sehun, penasaran.

“Kurasa itu bukan urusanmu, Sunbae.” Kata Ara dingin. Ia segera berbalik dan beranjak pergi
dari tempat itu.

“Memang bukan urusanku.” Gumam Sehun yang tak dapat di dengar oleh Ara. Ia
mengeluarkan selembar kertas berwarna kuning –surat yang ia temukan jatuh dari lokernya-
dari saku celananya dan melihatnya bergantian dengan note yang tertempel di pintu loker
Hana. “Tulisannya mirip. Sangat mirip.” Gumamnya pelan. Seulas senyum miring lalu
tercetak di wajah tampannya. Matanya menatap punggung Ara yang sudah menjauh darinya.
“Kim Ara, I got you!!”

***

“Mau ku bantu menyelesaikan masalahmu dengan gadis yang bernama Ara itu?” Jimin
bertanya pada Hana saat ia mengantarkan Hana ke sekolah pagi ini. Ia berteriak dari dalam
mobil karena Hana sudah berada di samping mobilnya saat ini.

“Tidak usah. Masalah kami sudah selesai. Kau pulang saja sana, jangan ganggu aku.” Usir
Hana. Ia mengibaskan tangannya seakan yang diusirnya adalah kucing liar yang masuk ke
dalam kamarnya.

“Sudah selesai apanya? Kau masih saja uring-uringan sejak kemarin.” Kata Jimin sambil
menyembulkan kepalanya keluar melalui jendela mobil yang ia kendarai.

“Ah sudahlah jangan ikut campur. Cepatlah pergi. Hush.. hush..” kata Hana ketus. Ia
memasukkan kepala Jimin dengan paksa lalu mulai berjalan menjauh. Lelaki yang notabene
adalah kakak Hana itu mendengus kesal.

“Dasar gadis keras kepala. Awas saja kalau kau meminta tolong padaku nanti.” Gumamnya
kesal. Jimin melihat Hana yang sudah memasuki gerbang sekolahnya. Ia menghembuskan
nafas kesal. Adiknya itu memang sangat keras kepala dan susah di nasehati. Selalu semaunya
sendiri dan terkadang hal itu membuat Jimin kesal. Jimin sangat tahu masalah Hana dengan
Ara belum selesai. Hal itu terbukti karena sejak kemarin Hana terus saja menggerutu tidak
jelas dan moodnya sangat buruk. Jimin sendiri sampai geleng-geleng kepala melihatnya.

Hana menolehkan kepalanya ke belakang saat dirasa mobil Jimin sudah pergi. Ia
menghembuskan nafas lega karena kakaknya itu tidak mengikutinya sampai ke dalam
sekolah. Jika saja Hana tidak segera menyingkir dari hadapan Jimin, ia takut lelaki itu akan
terus mengoceh mengenai masalahnya dengan Ara dan dengan percaya diri akan
menawarkan bantuan untuk menyelesaikan masalahnya. Baginya Jimin itu sok tahu dan suka
ikut campur. Ia sangat tidak suka jika Jimin sudah bersikap begitu padanya. Jimin pikir, Hana
anak TK usia lima tahun apa yang belum bisa menyelesaikan masalahnya?, pikir Hana kesal.

Tak terasa Hana sudah sampai di koridor tempat loker tingkat dua. Ia terus melangkah
menuju lokernya. Keningnya berkerut saat melihat sebuah note kecil tertempel di sana. Hana
segera mengambilnya dan membacanya dengan seksama. “Aku menunggumu di taman
belakang sepulang sekolah. Datanglah dan aku akan mengatakan semuanya. Dari Ara.”

Otaknya langsung berpikir keras setelah selesai membacanya. Ara ingin bertemu dengannya.
Lalu apa yang akan ia lakukan? Menemuinya dan mendengarkan semua penjelasan gadis itu
lalu memaafkannya? Oh No!! Tidak semudah itu Hana memaafkan seseorang yang sudah
memaafkannya. Tapi mengabaikannya? Apakah Hana setega itu?

“Hei, jangan melamun!”

Hana langsung terlonjak dari tempatnya saat sebuah tangan menyentuh bahunya. Ia langsung
menoleh dan mendapati Kai yang tengah menatapnya dengan cengiran bodoh di bibirnya.
Hana memutar bola matanya malas. Lelaki ini benar-benar.

“Kau membuatku hampir mati karena jantungan, Kim Jongin!!” sentak Hana sambil
memelototkan matanya karena marah.

“Hei, jangan marah begitu. Aku ‘kan hanya mengingatkanmu saja. Pagi-pagi begini tidak
baik melamun. Nanti kau bisa kesurupan (?)” kata Kai, dengan nada biasa saja. Tidak terlihat
dalam diri lelaki itu jika ia tersinggung karena dibentak Hana.

“K-kau mengkhawatirkanku?” tanya Hana dengan ragu, membuat Kai langsung salah tingkah
dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Bukan begitu… aku hanya….” Kai kebingungan mengutarakan pembelaannya. “Aish.. kau
jangan salah paham begitu, Hana.” katanya lalu beranjak pergi, membuat Hana tertawa di
tempatnya berdiri. Baginya, sikap Kai yang begitu terlihat sangat lucu dan menggemaskan.

***

Saat jam istirahat, Ara sengaja pergi ke kantin melewati kelas Hana. Ia berjalan dengan pelan
agar bisa melihat Hana dari luar. Namun ia tak mendapati apa-apa karena kelas Hana kosong
siang ini. Tak ada siapapun di dalam, selain tas-tas milik penghuni kelas itu. Ara
menghembuskan nafas panjang, kecewa. Ia berpikir Hana jelas saja masih marah padanya
karena gadis itu tidak menghampirinya untuk pergi ke kantin bersama. Akhirnya Ara pergi ke
kantin seorang diri.

Sambil membawa nampan berisi makan siangnya, Ara mengedarkan pandangannya ke


sekeliling kantin yang sangat ramai dengan siswa-siswa yang tengah makan. Ia tak
menemukan Hana diantara siswa-siswa itu. Mungkin Hana sedang diet, pikir Ara. Tak mau
ambil pusing, Ara lalu mencari meja yang masih kosong. Beruntung ia menemukan satu meja
di samping jendela besar yang masih kosong. Ara segera pergi kesana sebelum ada siswa lain
yang menghuninya. Beruntung tak ada yang berniat duduk disana, jadi Ara bisa leluasa
duduk disana seorang diri tanpa ada yang mengganggu makan siangnya.

“Minggirlah. Itu tempat makan siangku.”

Kegiatan makan siang Ara terganggu saat seorang gadis menghampirinya dan menyuruhnya
pergi. Ara meletakkan sumpit yang dipegangnya sambil menoleh pada gadis itu yang ternyata
adalah Choi Jina, gadis yang tolong waktu itu. Jina segera mengenali Ara sebagai orang yang
sudah menolongnya saat ia sedang kesusahan beberapa hari yang lalu. Tapi ia tetap menyuruh
Ara pindah.

“Kau bisa cari tempat lain. Ini mejaku.” Ulang Jina.

“Choi Jina-ssi, kita ‘kan bisa berbagi meja yang sama.” Kata Ara. Ia mempersilahkan Jina
untuk duduk disampingnya.

“Kau tidak dengar apa yang aku katakan? Pergilah karena ini mejaku.” Jina mulai berbicara
dengan kasar. Ia bahkan menarik tangan Ara agar membuatnya berdiri. Ara menatap gadis itu
dengan shock. “Atau kau ingin Jihyun yang mengusirmu?” sambung Jina, kali ini ia berhasil
membuat Ara berdiri.

“Jihyun? Siapa maksudmu?” Ara tidak mengerti Jihyun mana yang dimaksud Jina.

“Han Jihyun. Siapa lagi memang? Cepat pergilah. Mereka sudah datang.” Kata Jina cepat. Ia
mengambil nampan milik Ara dan meletakkannya di tangan Ara sedang Ara masih berdiri di
tempatnya, tidak mengerti dengan semua ini. Jina langsung duduk di tempat yang tadi di
duduki Ara. Lalu Ara merasakan ada orang yang mulai mendekat padanya.

“Hei hidung ganda, apa menu makan siangmu?” seorang gadis mendekati Jina dan langsung
menarik nampan yang berisi makan siang Jina. Ara langsung mengenali jika gadis itu adalah
teman Jihyun. Tapi kenapa ia memanggil Jina dengan sebutan hidung ganda?

“Choi Jina, mau kusuapi?” tanya salah seorang lagi. Ia mengambil sumpit milik Jina lalu
menjatuhkannya ke lantai.

Ara masih berdiri seperti orang bodoh menyaksikan kejadian itu. Ia begitu terkejut melihat
bagaimana kedua gadis itu memperlakukan Jina dengan seenak jidat mereka sedangkan Jina
hanya diam tak berani melawan. Pikirannya masih bergelayut pada nama yang disebut Jina
tadi. Han Jihyun? Benarkah Jihyun yang ia kenal?

“Hei, kita kedatangan tamu hari ini.” Seseorang menepuk pelan bahun Ara. Seketika jantung
Ara langsung berpacu dengan cepat. Ia kenal suara itu dan ia bisa menduga jika memang
orang itu adalah Jihyun. Han Jihyun yang dikenalnya. “Owh, kau mau bergabung dengan
kami, Hoobae?” tanya Jihyun, menatap Ara dari atas hingga bawah.

“Tidak, Sunbae. Aku akan pindah ke meja lain.” Jawab Ara cepat lalu beranjak dari sana. Ia
tidak ingin Jihyun tahu siapa dirinya dan lagipula, ia tidak ingin berurusan dengan gadis itu.

“Lihatlah, Jihyun mulai mengganggu Jina lagi.” Ara mendengar seseorang berbisik tak jauh
dari tempat duduk barunya.
“Iya. Sudahlah lebih baik kita tidak usah ikut campur jika tidak ingin bernasib sama dengan si
hidung ganda itu.” timpal yang lainnya.

“Salah sendiri dia menggandakan hidungnya. Jadinya hal itu membuat Jihyun kesal karena
Jina jadi lebih cantik darinya.”

Ara mulai berpikir mungkin saja orang yang membuat Jina belepotan tepung waktu itu
karena ulah Jihyun dan teman-teman. Hal itu terlihat dengan jelas bagaimana ketiga gadis itu
memperlakukan Jina. Ara masih bisa melihatnya bagaimana mereka membuat Jina tidak
nyaman dengan mengganggu makan siang Jina. Apalagi Ara melihat sesekali mereka
menjambak rambut Jina dan memukul gadis itu walaupun di kantin. Mungkin, ini yang
dinamakan bulliying, batin Ara. Lebih baik ia menghindari mereka jika tidak ingin terkena
masalah.

***

Bel pulang sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu tapi Ara belum melihat Hana di
taman belakang. Sejak bel berbunyi, Ara langsung berlari menuju taman belakang dan
menunggu Hana. Ia sudah menunggu setengah jam lamanya dan gadis yang ditunggunya
tidak juga menampakkan batang hidungnya. Ara mulai khawatir jika Hana tidak datang.

Apa Hana masih marah dengannya dan tidak mau memaafkannya? Tapi setidaknya Hana
harus mendengarkan penjelasan Ara, barulah Hana bisa memutuskan apa ia akan memaafkan
Ara atau tidak. Ara akui ia memang salah dan sudah berbuat buruk. Tapi ia memiliki alasan
dan ia ingin meluruskan masalah ini. Ia sudah siapa jika Hana tidak mau memaafkannya
karena ia sadar kesalahannya sudah cukup banyak pada Hana. Tapi tetap saja, Ara berharap
banyak akan kedatangan Hana.

Maka dengan pertimbangan yang matang, Ara pergi menuju kelas Hana. Walaupun tidak
yakin Hana masih berada di kelasnya atau tidak, tetap saja Ara ingin memastikan dengan
mata kepalanya sendiri. Hanya butuh waktu lima menit, Ara sudah berada di depan pintu
kelas Hana yang tertutup. Ia mendengar kelas itu yang masih ramai, itu artinya kemungkinan
Hana berada di dalam kelasnya.

Tangan Ara hendak membuka pintu kelas, namun langsung berhenti di udara. Ia teringat
Hana pernah mengatakan jika ia sekelas dengan Yian. Hal itu membuatnya jadi berpikir
ulang untuk masuk ke dalam atau tidak. Bagaimana jika Yian melihatnya dan segera tahu
siapa dia? Apalagi jika Yian sudah membaca surat yang ia tulis waktu itu. Yian pasti akan
segera dan kemungkinan hal itu akan menambah masalah baru bagi Ara sedang masalahnya
yang sekarang belum selesai. Ara menjadi bimbang karena hal itu.

“Hei siswa tingkat satu, apa yang kau lakukan di sini?”

Pikiran Ara langsung buyar saat ia mendengar seseorang menegurnya. Ara menoleh dan
alangkah terkejutnya ia saat matanya bertatapan langsung dengan manik mata Jihyun. Ia
langsung memalingkan wajahnya, takut jika Jihyun akan mengenalnya. Ekor matanya juga
menangkap name tagnya, yang tertempel di blazer yang dipakai Jihyun, tertempel di atas
name tag Jihyun sendiri. Jadi benar dugaannya. Bagaimana ini?
“Kau gadis yang tadi di kantin, ‘kan?” tanya seorang teman Jihyun. Ara semakin
menundukkan kepalanya.

“Iya memang benar dia. Kenapa kau menundukkan kepalamu? Jangan takut padaku, adik
kecil.” Kata Jihyun. Ia memegang dagu Ara dan mengankt wajahnya. Seketika Jihyun
langsung terkejut. “Wah.. ternyata kau cantik sekali. Kau bahkan lebih cantik dari si hidung
ganda dan gadis sok populer itu.” sambung Jihyun, memuji kecantikan Ara.

“Siapa namamu? Kau tidak memakai name tag?” Jihyun mengamati blazer yang dikenakan
Ara dan ia tidak menemukan name tag yang tertempel disana. Iyalah, ‘kan name tagnya Ara
dipakai elo, Jihyun. *abaikan*

“Aku… a-aku…” Ara kebingungan. Tidak tahu harus berkata apa. Apakah ia harus
mengatakan siapa namanya? Jika Jihyun tahu bagaimana? dan bagaimana jika ia terlibat
masalah dengan gadis itu? tiba-tiba saja sekelebat bayangan terlintas di kepalanya.

FLASHBACK

“Kenapa kau melakukan hal itu padaku, Jihyun?” Ara setengah berteriak. Air matanya sudah
turun membanjiri pipinya yang masih chubby waktu itu. Di hadapannya, berdiri Jihyun yang
menatapnya tanpa ekspresi.

“Yian sendiri yang menyukaiku. Kenapa kau menyalahkanku?” tanya Jihyun balik. Ia bahkan
tidak iba sama sekali melihat temannya menangis.

“Tapi kenapa kau tidak pernah mengatakan jika kau juga menyukai Yian?” Ara masih tidak
mengerti kenapa Jihyun menerima cinta Yian padahal jelas-jelas Jihyun sudah tahu jika Ara,
teman dekatnya di sekolah itu menyukai lelaki itu.

“Memangnya harus ku katakan disaat kau dengan percaya dirinya menceritakan perasaanmu
padaku. Salahmu sendiri yang tidak cantik. Yian menyukaiku karena aku lebih cantik darimu.
Lihatlah dirimu, Ara. Kau bukan tipenya. Kau hanya gadis miskin yang beruntung karena
menjadi sahabatnya.” Ejek Jihyun, membuat Ara langsung terkejut.

“Jihyun, kenapa kau mengatakan hal itu? bukankah kau ini teman baikku? Kenapa kau
berkata begitu padaku?”

FLASHBACK END

“Hei, aku tanya siapa namamu?” ingatan Ara akan masa lalunya terhenti saat Jihyun kembali
bertanya siapa namanya. Ara hanya terdiam, terlalu bingung harus berkata apa.

“Hentikan tingkahmu sekarang juga, Jihyun!!”

Sebuah tangan langsung menghentikan tangan Jihyun yang akan mendorong tubuh Ara.
Orang itu yang tak lain adalah Yian, berdiri di depan Ara, bermaksud menghalangi Ara dari
pukulan Jihyun. Ara dan Jihyun sama-sama terkejut dengan kehadiran Yian. Tanpa berpikir
panjang, Ara langsung berlari dari tempat itu dengan ketakutan yang luar biasa. Ia bahkan
melupakan tujuan awalnya berada di tempat itu.
“Apa yang kau lakukan, Lee Yian?” sentak Jihyun tidak terima. Ia menatap Yian dengan
kesal.

“Berhentilah mengganggu siswa lain. Dia hanya hoobae kita dan ku harap kau tidak membuat
masalah lagi. Jina sudah cukup kurasa.” Bentak Yian, tak mau kalah. “Dan, lepaskan itu.
Namamu adalah Han Jihyun.” Sambungnya, sambil mengambil name tag Ara dari blazer
Jihyun.

“Hei, aku yang menemukannya.” Sentak Jihyun, namun Yian sudah buru-buru masuk ke
dalam kelasnya. Jam tambahan di kelasnya akan dimulai beberapa saat lagi.

“Kenapa Yian bersikap kasar padamu? Kau bilang kalian pernah menjalin hubungan?”
seorang teman Jihyun bertanya mengenai sikap Yian pada Jihyun barusan.

Jihyun menatap temannya dengan kesal. “Mungkin dia masih sakit hati karena aku
memutuskannya. Dia ‘kan sangat mencintaiku.” Jawab Jihyun dengan percaya diri. Kedua
temannya hanya saling menatap satu sama lain dengan tidak percaya.

“Owh.. Hai, Sehun…” raut wajah Jihyun langsung berubah saat ia melihat Sehun yang
berjalan bersama Kai menuju kelas mereka. Jihyun tersenyum semanis mungkin di hadapan
Sehun yang hanya dibalas dengan ekspresi datar oleh Sehun.

“Dasar gadis genit.” Gumam Sehun, terus berjalan melewati Jihyun dan teman-temannya
menuju kelasnya.

“Aku pasti akan mendapatkanmu, Sehun. Tunggu saja tanggal mainnya.” Gumam Jihyun saat
Sehun dan Kai sudah masuk ke dalam kelas.

***

“Hana, matikan ponselmu sekarang juga. Aku bosan mendengarnya.” Teriak Jimin dari sofa
tempat ia sedang berbaring sambil menonton televisi sore itu. Ia menatap tajam Hana yang
duduk tak jauh darinya, disampingnya ponselnya terus berdering tanda ada panggilan masuk
namun tidak diangkat oleh adiknya.

Hana hanya menatap Jimin malas lalu mengambil ponsel yang memang sengaja ia abaikan. Ia
menekan tombol reject dan ia langsung bisa melihat ada dua puluh panggilan tak terjawab
dan tiga puluh tujuh pesan yang semuanya dari Ara. Hana mengacak-acak rambutnya frustasi.

“Aaarrrggghhh…. aku bisa gila.” Teriaknya setelah membaca pesan singkat dari Ara yang
mengatakan bahwa Ara berada di taman tak jauh dari rumah Hana.

“Diamlah. Kau membuatku tidak bisa berkonsetrasi.” Kata Jimin kesal. Ia lempar bantal kecil
kearah Hana bermaksud membuat gadis itu menyingkir.

“Dia ada di taman dekat rumah, apa yang harus aku lakukan?” teriak Hana frustasi. Jimin
semakin kesal karena acara menonton televisinya terganggu lalu ia bangkit dari posisi
berbaringnya.
“Temui saja dia. Kasihan dia pasti sudah menunggumu sejak tadi.” Teriak Jimin. “Aku tidak
tahu apa masalah kalian, tapi aku yakin gadis itu pasti sangat menyesal karena ia ingin
bertemu denganmu. Setidaknya kau harus mendengar penjelasannya jika kau punya hati!!!”
sambung Jimin. Ia lalu mematikan televisi dan pergi ke kamarnya. Jimin sudah tidak mood
lagi nonton televisi.

Sepeninggalan Jimin, Hana terpaku di tempatnya. Ia mengulang kembali apa yang dikatakan
Jimin dalam otaknya. “Aku.. punya hati?”

***

Senyum di wajah Ara langsung merekah saat ia melihat Hana yang berjalan memasuki taman
tempat ia berada. Akhirnya setelah menunggu selama dua jam, Hana mau datang
menemuinya. Ara bersyukur setidaknya Hana mulai menanggapi dirinya dan ia tidak akan
menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia langsung berdiri dari duduknya untuk menyambut
kedatangan Hana.

Sedangkan Hana, ia sebenarnya masih tidak mau menemui Ara. Tapi karen Jimin marah-
marah padanya tadi, ia jadi memutuskan untuk datang menemui Ara. Ia tidak ingin dikatakan
tidak punya hati, apalagi oleh kakaknya. Setidaknya, Hana bisa mendengar penjelasan gadis
itu, lalu segera pergi. Ya, itulah rencanya.

“Apa yang ingin kau jelaskan padaku?” tanya Hana to the point saat ia sudah berhadapan
dengan Ara.

Ara mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya lalu memberikannya pada Hana. Hana
menerimanya, menatap selembar foto yang di berikan Ara padanya. Ia menatap Ara tidak
mengerti.

“Itu… adalah fotoku… sebelum aku kecelakaan.”

TBC

HAPPY READING 
*

“Menjadi seseorang yang baru, artinya kau harus melupakan jati dirimu, masa lalumu dan
kenanganmu, lalu menghapus semuanya. Namun tetap saja, aku tidak bisa menghapusnya
semudah itu…”

***
“Itu… adalah fotoku… sebelum aku kecelakaan.”

Kalimat yang diucapkan Ara tadi, benar-benar membuat Hana terkejut setengah mati. Demi
apapun, apakah Hana tidak salah dengar? Atau Ara yang salah bicara? Ya Tuhan, ini benar-
benar..
Hana melihat kembali foto yang ada dalam genggamannya, membandingkannya dengan
sosok gadis rupawan yang ada di hadapannya. Dan sekali lagi, Hana kembali terkejut. Gadis
dalam foto itu dan yang tengah berdiri di hadapannya saat ini, mereka benar-benar berbeda.
Mulai dari mata, bentuk wajah dan keseluruhannya, hampir berbeda. Yang masih terlihat
sama mungkin manik mata dan bibirnya. Hana menatap Ara tidak percaya.

“Kim Ara, jangan bercanda padaku. Ini benar-benar tidak mirip.” Hana menatap Ara dengan
mata menyala-nyala. Ia mengacung-acungkan foto di depan wajah Ara.
Seulas senyum kecut terbit di bibir Ara. “Itu memang fotoku saat aku baru saja lulus SMP.
Demi Tuhan, Hana.. aku serius. Setahun yang lalu, saat dalam perjalanan menuju Seoul, bus
yang kami tumpangi menabrak truk yang sedang melaju dengan kencang. Aku terpental
keluar dari jendela dan terluka parah.” Ungkapnya, setetes air mata meluncur saat ia
mengakhiri kalimatnya.

“B-bagaimana bisa? Kkau…” Hana tak mampu berkata apapun lagi. Ia cukup shocked dan
hal itu membuatnya tak bisa berpikir dengan jernih. Ia bahkan melupakan rencana awalnya
untuk meninggalkan Ara sesaat setelah ia mendengar penjelasannya.

Ara menundukkan kepalanya dalam-dalam. Diusapnya air mata itu dengan kasar. “Aku
hanyalah gadis kampung biasa yang tinggal di Namhae. Ayahku meninggal beberapa tahun
yang lalu dan aku hidup dengan Ibuku dari hasil berjualan di kedai.” Ia kemudian
mendongakkan kepalanya, menatap Hana dengan mata berkaca-kaca. “Maafkan aku, Hana.
aku berbohong padamu. Aku berbohong tentang semuanya. Aku bukanlah anak orang kaya
seperti yang pernah ku katakan dulu. Ibuku hanyalah orang biasa begitupun denganku.
Maafkan aku… maaf.. maaf..” sambungnya, kini air mata itu tak bisa dibendung lagi.

Melihat seseorang menangis di hadapannya, Hana menjadi tidak tega. Hatinya begitu
terenyuh mendengar pengakuan dari Ara. Entah mengapa, ia seperti bisa merasakan
bagaimana perasaan Ara, hal-hal berat yang menimpanya hingga keputusannya untuk
berbohong demi bisa berteman dengan dirinya. Hana merasa dirinya begitu egois. Ia hanya
mementingkan dirinya sendiri, tidak melihat dari sudut pandang Ara. Ia hanya berpikir, hanya
hatinya yang sakit karena dibohongi. Padahal, apa yang dirasakan Ara mungkin justru lebih
dari apa yang ia rasakan.

Entah mendapat dorongan dari mana, Hana memajukan tubuhnya dan merengkuh Ara ke
dalam pelukannya. Bisa ia rasakan, air mata gadis itu yang mulai membasahi bajunya. Ia
mengelus punggung Ara pelan. Setetes air mata ikut turun sebagai ungkapan hatinya.

“Tidak apa-apa, Ara. Harusnya aku yang meminta maaf padamu. Aku bersalah karena tidak
mau mendengarkanmu. Ini sangat sulit untukku. Tapi aku tahu, kau yang lebih kesulitan.
Maafkan aku, Ara.” katanya, masih terus memeluk Ara.

Tiba-tiba Ara melepaskan pelukan Hana. Ia menatap Hana dengan wajahnya yang penuh
dengan air mata. “Hana, bisakah kita kembali berteman lagi? Aku benar-benar menyesal
dengan apa yang telah ku lakukan.” Ara berkata dengan suara sengau. Ia mengusap kembali
air matanya.

Senyum diwajah Hana terbit mendengar permintaan Ara. “Dulu aku yang memintamu yang
menjadi temanku, dan sekarang kau yang memintanya. Kita impas, Ara.” katanya sedikit
bercanda. “Mari kita mulai semuanya sejak awal. Ayo kita ceritakan kisah hidup kita masing-
masing.”
Ara ikut tersenyum mendengar apa yang dikatakan Hana. Ia lantas memeluk gadis di
hadapannya ini. Benar kata Jihee, orang yang pantas dijadikan teman adalah mereka yang
mau menerima kita tak peduli kesalahan apa yang pernah kita perbuat. Dan Ara menemukan
hal itu dalam diri Hana. Ia berjanji, tidak akan membuat kesalahan yang sama pada temannya
ini.

***
Hari sudah malam saat Sehun keluar dari lapangan basket indoor. Ia masih memakai kaos tim
basketnya saat berjalan sambil menjinjing ranselnya. Ia menghembuskan nafas panjang,
merasa sangat lelah sekaligus kesal. Jika saja pelatihnya itu tidak memintanya untuk
merapikan gudang tempat peralatan olahraga, ia pasti sudah bisa pulang sejak setengah jam
yang lalu sama seperti teman-temannya. Pelatihnya itu memang sangat kejam dan keterlaluan
padanya. Mungkin Sehun memang harus mengadukan itu pada Ayahnya agar Ayahnya
segera memecatnya. Tunggu, itu ide hal yang buruk. Ia ‘kan sedang bertengkar dengan
Ayahnya. Bagaimana mungkin ia melakukan hal itu sekarang? Sehun menghela nafas
kembali merutuki dirinya sendiri.

Langkah kakinya terhenti saat matanya menangkap sosok seorang gadis yang tengah berdiri
di samping motor sport putihnya. Dari tempatnya berdiri yang masih berjarak beberapa meter,
ia bisa menebak siapa gadis itu jika dilihat dari penampilannya yang sudah sangat ia hafal.
Sedang apa gadis genit itu malam-malam berada disini? Menguji nyali?, pikir Sehun. Ia
kembali meneruskan langkah kakinya.

“Sehun.. aku sudah menunggumu sejak tadi.” Ungkap gadis itu yang tak lain adalah Jihyun.
Senyum merekah di wajahnya saat melihat Sehun mendekatinya.

“Apa yang kau lakukan disini?” tanya Sehun dengan nada ketus. Ia benar-benar tidak
menyukai gadis itu.
Jihyun semakin tersenyum lebar saat Sehun menanyakan dirinya. “Aku baru saja pulang les
dan langsung kesini.

Aku ingin kau mengantarku pulang.” Jawab Jihyun, dengan nada manja yang dibuat-buat.
Sehun memutar bola matanya malas. “Bukannya kau selalu bersama sopir pribadimu. Kenapa
mendadak ingin aku mengantarmu? Pulanglah sana. Aku juga akan pulang sekarang.”
katanya sambil menyingkirkan Jihyun yang bersender di motornya.

“Antarkan aku pulang. Bukannya rumah kita satu arah?” bujuk Jihyun. Ia tak kehilangan akal.
Segera ia duduk di boncengan(?) motor Sehun saat lelaki itu mulai menyalakan motornya.
Kembali Sehun menghela nafasnya. Ia membuka kaca helm yang menutupi wajahnya lalu
menoleh ke belakang.

“Turun.” Titahnya. Nadanya sangat tegas namun tak kunjung membuat Jihyun menyerah.

“Antarkan aku pulang atau aku akan berteriak dengan mengatakan bahwa kau akan
menculikku.” Ancamnya. Sehun menghembuskan nafasnya untuk kesekian kalinya. Ia
merasa tenaganya sudah terlalu sedikit untuk berdebat dengan gadis itu. Jadi ia diam saja dan
mulai menjalankan motornya. Sedangkan Jihyun, tersenyum puas dan mengalungkan
tangannya pada pinggang Sehun.

Tanpa mereka ketahui, Yian berdiri tak jauh dari tempat mereka berada tadi. Ia
melangkahkan kakinya keluar dari tempat persembunyiannya, dibalik pohon. Awalnya ia
berniat untuk membonceng Sehun menuju rumahnya karena Ayahnya tidak menjemputnya
malam ini. Namun saat ia melihat Jihyun, ia langsung mengurungkan niatnya. Matanya masih
terus menatap kepergian mereka. Sekilas bayangan masa lalu muncul di pikirannya.

FLASHBACK ON

“Aku ingin kita putus.”

Empat kata itu berhasil membuat jantung Yian seperti berdetak seketika. Raut wajahnya
menampakkan keterkejutan. Ia menatap gadis berparas cantik yang berdiri di hadapannya.
Memandanginya lama, mencaritahu apakah gadis itu bercanda atau tidak. Namun yang ia
temukan justru keseriusan dalam wajah gadis itu, terlihat jelas bahwa ia sedang tidak
bercanda. Yian sendiri bahkan seperti tidak mengenal gadis itu. Raut wajahnya terlihat asing
di matanya saat ini.

“Kenapa?”

Hanya satu kata yang keluar dari bibir Yian. Satu kata pertanda pertanyaan bodoh yang
membuat gadis itu tertawa sinis.

“Kau bertanya kenapa? Karena aku sudah tidak mencintaimu lagi.” Jawab gadis itu, Han
Jihyun.

“Apakah rasa cintamu itu hanya mampu bertahan selama satu bulan? Bahkan kita baru saja
masuk ke sekolah yang sama, Jihyun.” Ungkap Yian, merasa tersinggung akan mudahnya
Jihyun berkata demikian. “Apa ada lelaki lain yang kau sukai?” tebak Yian yang membuat
Jihyun mengangguk.

“Aku akan berkata jujur. Ku akui aku pernah mencintaimu, Yian. Tapi setelah satu bulan
berlalu, aku pikir itu hanya rasa suka dan saat melihatnya, aku yakin jika aku mencintainya.
Hatiku berdebar-debar hanya dengan melihatnya berjalan di depanku. Hubungan kita,
sebaiknya hanya pertemanan saja.” Jelas Jihyun, tanpa rasa bersalah pada raut wajahnya.

“Apakah dia Oh Sehun?” tebak Yian kembali. Jihyun hanya diam, yang bisa Yian artikan
sebagai jawaban ‘Iya’. Ia mengepalkan tangannya yang berada di samping tubuhnya. Jika
saja ia tidak bisa mengontrol emosinya, ia bisa saja langsung melancarkan bogem mentah
pada wajah cantik gadis itu. Namun ia berusaha tetap tenang dan tidak termakan emosi.

Melihat Yian yang hanya diam, Jihyun memutuskan untuk segera pergi. Mereka ada di atap
sekolah sore ini sepulang sekolah. Sopir pirbadinya pasti sudah datang dan Jihyun tidak mau
Ayahnya marah-marah karena ia pulang terlambat. Lantas, ia berbalik dan mulai
melangkahkan kakinya.

“Han Jihyun…” panggilan Yian membuat langkah kaki Jihyun terhenti. “Aku sudah
bertengkar dengan sahabatku karena mempertahankanmu dan kau membalasnya seperti ini?
Aku tidak akan menahan kepergianmu. Namun, lupakan bahwa kita bisa berteman kembali.
Benar apa katanya, kau tidaklah lebih dari manusia berhati dua. Datanglah padaku jika kau
sudah berhasil mendapatkan hatinya.” Kata Yian dengan nada menusuk. Lantas ia berjalan
meninggalkan Jihyun yang masih termangu atas kata-kata Yian.

FLASHBACK OFF
***

“Kau sudah membuatnya seperti yang aku katakan kemarin?” Hana bertanya saat ia bertemu
dengan Ara keesokan paginya di sekolah. Mereka sudah berbaikan kemarin dan sudah saling
menceritakan kehidupan mereka masing-masing sampai malam hari.

“Aku tidak tahu bagaimana menulisnya. Itu terlihat sangat memalukan, Hana.” kata Ara,
menghembuskan nafasnya pelan. Ia menatap amplop yang berada di tangannya.

“Memalukan apanya? Hanya dia yang akan tahu, Ara.” kata Hana. “Biar kulihat.” Ia
mengambil dengan paksa amplop yang di pegang Ara.

“Hai, Lee Yian. Senang rasanya bisa bertemu lagi denganmu. Ku harap kau masih
mengingatku. Apa kau hidup dengan baik selama ini? Aku kembali untuk berdiri di
sampingmu lagi.” Hana membaca isi surat yang semalam ditulis Ara. Ia menatap Ara dengan
wajah malas. “Surat macam apa ini? Jika kau menulisnya seperti ini, sampai samudra atlantik
mengering pun ia tidak akan tahu kau siapa. Sebaiknya begini saja..” Hana mengeluarkan
note kecil dari tasnya dan menuliskan sesuatu.

“Kutunggu sabtu malam ini. Datanglah, dan kau akan tahu siapa aku.” Ara membaca apa
yang ditulis Hana. Ia mengernyit sambil memandangi Hana yang mengeluarkan sesuatu dari
saku blazernya.

“Lihatlah apa yang ku punya..” kata Hana girang. Ia tersenyum lebar sambil mengibas-
ibaskan kertas yang di pegangnya.

“Tiket nonton bioskop?” Ara memandanginya heran.

“Jimin memberiku ini sebagai hadiah karena kita sudah berbaikan.” Ungkap Hana,
memperlihatkan keempat tiket yang ia punya. “Aku akan memberimu dua. Berikan ini pada
Yian dan aku akan memberikan itu padanya. Lalu kita akan pergi kesana bersama. Semacam
double date.” Jelasnya.

Ara menerima dua tiket itu. “Besok malam pukul tujuh? Hana, kau gila. Bagaimana bisa
secepat ini? Aku bahkan belum menyiapkan mentalku untuk bertemu dengan Yian. Ini akan
berlangsung dengan buruk, Hana.” ungkap Ara histeris. Ia tidak bisa membayangkan
bagaimana jadinya nanti reaksi Yian saat tahu bahwa pengirim surat itu adalah dirinya.

“Ayolah, Ara. Berpikir positif. Letakkan itu di lokernya segera. Aku akan menjemputmu
sabtu malam dan kau harus segera bersiap-siap. Okai?” kata Hana tak mau mendengarkan apa
yang dikatakan Ara. Ia segera pergi meninggalkan Ara menuju kelasnya karena jam belajar
sudah hampir dimulai.

“Ya Tuhan, bagaimana ini?”


***
“Ibu, bagaimana dengan yang ini?” tanya Hana disela-sela kegiatannya memilih pakaian yang
akan ia gunakan untuk nonton besok malam.

Nyonya Park mendekati putri bungsunya lalu mulai mencari-cari gaun yang cocok untuk
putrinya diantara koleksi gaun rancangannya. “Kurasa ini lebih cocok untukmu, sayang.”
Katanya, memperlihatkan sebuah gaun selutut berwarna biru muda dengan hiasan bunga-
bunga kecil di pinggangnya.

“Ini bagus, Bu. Tapi apa tidak terlalu pendek?” tanyanya, ia kembali melihat gaun yang
panjangnya tidak mencapai lututnya.

“Tidak masalah. Kau cocok memakai ini, sayang. Buatlah lelaki itu terpukau dengan
penampilanmu.” Kata Nyonya Park. Ia kemudian mengambil lagi sebuah gaun berwarna
putih dengan motif bunga-bunga. “Dan ini untuk temanmu. Kurasa ini cocok untuknya.”
Sambungnya, menyerahkan gaun itu pada Hana.

“Baiklah, terimakasih, Bu. Aku akan segera ke rumahnya dan memintanya untuk mencoba
ini.” Kata Hana, lalu segera pergi dari butik milik Ibunya setelah sebelumnya mencium pipi
Ibunya terlebih dahulu.

***
“Kau terlihat murung hari ini, Yian.” Komentar Kai, saat mereka bertiga, Kai-Yian-Sehun,
sedang berjalan menuju loker setelah mereka selesai mengerjakan tugas kelompok yang
diberikan oleh guru mereka.

Yian yang menjadi objek pembicaraan, menoleh pada Kai sekilas lalu kembali meneruskan
langkahnya. “Aku hanya lelah. Sebentar lagi kita akan bertanding dan aku belum siap.”
Akunya, tanpa melihat Kai.

“Jangan dibuat pusing. Santai sajalah. Jika ada aku, kita pasti menang.” Hibur Kai sambil
merangkul bahu Yian.

“Enak saja kau bicara. Di pertandingan akhir musim dingin lalu, kita kebobolan karena kau,
bodoh.” Rutuk Sehun yang sejak tadi hanya diam.

“Ah, kau ini.”

Yian hanya diam tak ingin menimpali. Ia memperhatikan Sehun yang berdiri di sampingnya
dengan pandangan yang tak biasanya. Melihat Sehun, sosok Jihyun dan Ara tiba-tiba melintas
di matanya. Bayangan akan saat-saat Jihyun mencampakkannya hanya karena lelaki itu. Dan
Ara, yang sudah beberapa kali ia lihat bersama lelaki itu.

Yian berpikir, apa yang dimiliki lelaki itu hingga kedua gadis yang dikenalnya, lebih tertarik
pada lelaki itu?

“Hei, jangan melamun, bodoh.” Sehun menepuk pelan bahu Yian saat lelaki itu hanya diam
di depan loker miliknya.
Yian langsung tersadar dan tersenyum kecut.
Selain tampan, populer dan kaya.. lelaki itu juga kasar. Apa itu juga termasuk nilai plusnya?,
pikir Yian.

“Owh.. lihatlah apa yang ku temukan.” Kai berteriak dari tempatnya. Ia mengacungkan
sebuah amplop yang di dapatnya dari dalam lokernya. “Aku mendapat ini untuk kedua
kalinya.” Sambungnya. Dari wajahnya tersirat kebahagiaan yang luar biasa. Entah apa yang
membuat lelaki ini bahagia padahal ia hanya mendapatkan surat.

“Dasar bodoh.” Ejek Sehun. Ia lantas berjalan mendekati lokernya dan membukanya.
Alangkah terkejutnya saat ia kembali mendapati sebuah surat terselip di pintu lokernya.
“Owh sh*t…”

“Berhentilah mengumpat, Oh Sehun.” Sentak Yian. Ia merasa telinganya akan rusak karena
setiap hari mendengar temannya itu mengumpat dan memaki tidak jelas begitu.

“Gadis itu benar-benar terpesona padaku tenyata. Dasar bodoh.” Sehun tak mempedulikan
perkataan Yian. Ia baru saja membaca isi surat yang berisi ajakan untuk menonton film
bersama itu.

“Hei, kau juga dapat surat? Apakah isinya juga sama?” tanya Kai, berlari mendekati Sehun
dan mengambil surat yang ternyata isinya sama dengannya. Yian juga ikut penasaran. Ia
mengambil kedua surat itu dan membacanya.

“Sepertinya kalian mempunyai pengagum rahasia yang sama. Tulisan mereka sama dan isi
suratnya sama.” Kata Yian mengungkapkan pendapatnya.

“Jadi kau pikir Ara juga menyukai Kai begitu?” tanya Sehun, tidak mengerti.

“Ara? Gadis yang mengirim surat untukmu ini adalah Ara yang itu?” Yian tercengang
mendengar pertanyaan tadi. Tidak mungkin! Ara, sahabatnya itu, tidak mungkin menyukai
lelaki kasar seperti Sehun ini.

“Tentu saja. Memangnya Ara yang mana lagi?” tanya Sehun.

“Apakah kita akan datang?” Kai bertanya, meminta pendapat Sehun.

“Tentu saja. Kurasa cukup menyenangkan bermain-main dengannya sebentar.” Katanya,


seulas evil smirk muncul di wajah tampannya, membuat Yian dan Kai saling berpandangan.

***
Mobil yang ditumpangi Hana berhenti di depan kedai milik Bibi Nayoung. Ia turun dari sana
dan mengatakan pada sopir pribadinya untuk menunggunya karena ia tidak akan lama.
Dengan penuh percaya diri, ia memasuki kedai yang sudah ramai walaupun hari masih sore.
Matanya langsung menangkap sosok Ara yang masih melayani pelanggan.

“Ara..” panggil Hana lirih. Ara segera menoleh dan mengatakan pada Hana untuk menunggu
sebentar dengan bahasa isyarat. Hana mengerti dan memilih duduk di salah bangku yang
masih kosong di sampingnya.
“Maaf menunggu lama.” kata Ara sesaat setelah ia selesai melayani pelanggan yang datang
ke kedai Bibinya. Ia duduk di depan Hana.

“Tidak apa. Ini untukmu.” Hana menyerahkan bungkusan yang tadi dibawanya. Ara
menerimanya dan langsung membukanya.

“Gaun? Untuk apa, Hana?” Kedua alis Ara saling bertaut. Ia menatap Hana dengan heran
karena ia merasa tak ada yang spesial hari ini.

“Pakailah itu besok malam. Kau juga harus berdandan yang cantik agar Yian terpesona
padamu.” Kata Hana, senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya.

“Kau yakin mereka akan datang?”

“Pesanan sudah siap…”

Obrolan Hana dan Ara terhenti saat Jihee datang membawa dua gelas orange jus di atas
nampannya. Ia meletakkannya di meja.

“Aku tidak memesan apapun.” Kata Hana, memberitahu Jihee untuk mengambil kembali
minuman itu.

“Ini gratis.” Jawab Jihee. “Ara, apa dia teman yang kau bicarakan waktu itu?” tanyanya,
mengalihkan pandangannya pada Hana.

Ara mengangguk dengan semangat. “Iya. Hana, kau harus berkenalan dengannya. Dia sudah
seperti kakakku sendiri.”

Hana berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangannya. “Park Hana..”

Jihee dengan senang hati menerima uluran tangan Hana. “Lee Jihee, kau bisa memanggilku
Jihee. Senang bisa bertemu denganmu.” Katanya dengan senyuman.

Mendengar nama Jihee, Hana langsung terdiam. Ia teringat akan gadis yang pernah disukai
kakaknya dulu. Tapi ia tidak pernah melihat seperti apa gadis itu. Apa mungkin Jihee yang
ini yang dulu disukai kakakknya?

“Kau baik-baik saja, Hana?” Ara menatap Hana dengan heran karena gadis itu tiba-tiba saja
terdiam.
Hana buru-buru menggelengkan kepalanya.”Ah, tidak apa-apa. Ini pasti salah.” Ia membuang
jauh-jauh segala pikiran anehnya.

***
Waktu berlalu begitu cepat hingga tanpa terasa hari sudah berubah menjadi hari Sabtu dan
jam juga sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Ara menunggu Hana di depan
kedai dengan memakai gaun pemberian Hana. Ia juga memoleskan sedikit make up pada
wajahnya membuatnya bertambah cantik malam ini. Berkali-kali ia membenarkan letak gaun
yang dipakainya karena ia merasa tidak nyaman memakai pakaian yang terlihat sangat mahal
di matanya ini.
Sebuah mobil yang sudah Ara kenal berhenti di depannya. Hana mendongakkan kepalanya
dari kaca jendela. Ia tersenyum melihat penampilan Ara. “Kau sangat cantik malam ini, Ara.”
puji Hana sambil membukakan pintu untuk Ara.

Ara tersenyum malu dan berjalan masuk ke dalam mobil Hana. “Kau juga. Ah tidak, kau
bahkan lebih cantik dariku, Hana. Seperti Putri di negeri dongeng.” Ungkap Ara sambil
melihat penampilan Hana. Gaun yang dikenakan Hana terlihat sangat pas di tubuh
langsingnya.

“Tapi aku gugup, Ara. Bagaimana jika mereka tidak datang?” aku Hana, menunjukkan
kekhawatirannya.

“Kau sendiri ‘kan yang bilang jika mereka pasti akan datang.” Kata Ara mengulang kembali
kalimat yang pernah diucapkan Hana.

“Baiklah. Kita lihat saja nanti. Paman, kita bisa berangkat sekarang.”

Hana memberi aba-aba pada sopir pribadinya untuk melajukan kembali mobilnya. Mobil
mewah itu lalu melaju membelah jalanan Seoul yang selalu ramai. Dari tempat mereka duduk,
keduanya terlihat sangat tegang. Tak ada yang membuka suara hingga mereka sampai di
depan bioskop.

“Kau yakin, Hana?” Ara kembali bertanya saat mereka akan masuk.
Hana mengangguk sekilas. “Tentu saja. Ini adalah saatnya dan kita harus memperjuangkan
cinta kita. Semangat!!!” kata Hana berapi-api. “Aku masuk duluan.”

Ara memandang kepergian Hana dengan wajah khawatir. Ia benar-benar tidak yakin dan
tidak siap. Hidupnya akan hancur jika ia bertemu dengan Yian malam ini. Lagipula, apa yang
harus ia katakan pada Yian? mengakui semuanya? Ia tidak yakin. Apa lebih baik ia pergi saja
dari sini?

***
Hanya berselang beberapa menit, sebuah mobil sport merah berhenti di depan bioskop.
Penumpangnya, kedua lelaki tampan itu keluar dengan penuh percaya diri. Dengan pakaian
casual yang terlihat santai, kedua lelaki ini –Sehun dan Kai- terlihat sangat tampan dan
memukau. Bahkan, diantara beberapa orang yang lewat, ada yang sampai tidak berkedip
melihat mereka. Mereka lantas berjalan menuju tempat yang mereka tuju. Dari arah
berlawanan, terlihat Jihyun dan kedua temannya yang juga berada disana.

“Oh Sehun, apa yang kau lakukan disini?” tanya Jihyun, menatap heran kedua lelaki tampan
di hadapannya ini.

“Jihyun, kau mengajak mereka menonton bersama kita?” salah satu teman Jihyun bertanya,
membuat Sehun dan Kai saling berpandangan.

“Kau sendiri, apa yang kau lakukan?” tanya Kai. Ia menatap Jihyun dan kedua temannya.
Dalam hatinya ia berpikir, apakah salah satu diantara gadis-gadis itu yang mengirim surat
padanya.

“Menonton film.” Jawab salah satu teman Jihyun dengan polos.


“Sehun, kurasa kita memang berjodoh.. saat aku ingin menonton film, kau juga sama.
Bagaimana jika kita menonton film romance saja?” kata Jihyun dengan hati berbunga-bunga.
Ia bahkan sudah bergelayut manja di lengan Sehun.

“Biar kulihat tiketmu.” Sehun merebut tiket yang di pegang Jihyun. Ia langsung tersenyum
lega karena nomor kursinya berbeda jauh dengan dirinya. Ia menatap Kai, memberitahunya
dengan pandangan mata jika bukan gadis-gadis itu yang menulis surat pada mereka. Karena
dalam surat itu, tertulis bahwa gadis pengirim surat itu duduk tepat di sebelah tempat duduk
mereka. Dan itu bukan Jihyun ataupun kedua temannya.

“Maafkan aku, Han Jihyun. Tapi kami sedang double date sekarang. Semoga kalian
menikmati filmnya..” kata Sehun dengan nada manis yang dibuat-buat sambil tersenyum. Ia
mengembalikan tiket Jihyun dan mengajak Kai segera masuk karena filmnya akan dimulai
sebentar lagi.

“Double date? Ini tidak bisa dibiarkan.” Gumam Jihyun. “Girls, ayo kita ikuti mereka..”

***
Lampu-lampu sudah dimatikan dan film juga sudah mulai diputar. Ara menatap kursi kosong
di samping kirinya. Pikirannya semakin kalut dan ia semakin takut juga gugup. Bayangan
akan Yian yang datang lalu duduk di sampingnya muncul di pikirannya. Ia benar-benar tidak
bisa berkonsentrasi pada film yang baru diputar ini.

Tiba-tiba saja hal yang tak ingin Ara bayangkan terjadi. Seorang lelaki baru saja menduduki
kursi di sampingnya. Ara berusaha menoleh tapi ia tidak bisa melihatnya dengan jelas karena
ruangan terlalu gelap. Lelaki itu juga sepertinya melihatnya. Buru-buru Ara memalingkan
wajahnya dan menatap lurus ke depan. Tangannya menggenggam ujung gaunnya dengan
kencang. Bahkan keringat dingin sudah membasahi wajahnya. Apa pilihannya untuk tetap
disini itu salah?

***
Dua jam kemudian film yang diputar selesai. Beberapa saat lagi lampu akan kembali
dinyalakan dan Sehun bisa melihat dengan jelas wajah gadis itu walaupun ia sudah tahu sejak
tadi ia datang. Walaupun keadaan gelap, Sehun masih bisa mengenali gadis itu dari garis
wajahnya. Senyum di wajah Sehun kembali terbit saat membayangkan ekspresi gadis itu saat
lampu kembali dinyalakan.

Tanpa diduga sebelumnya, gadis yang duduk di samping Sehun mulai bangkit padahal lampu
belum dinyalakan. Sehun segera menarik gadis itu hingga berada dalam pelukannya. Dan
tepat saat itu, lampu kembali dinyalakan hingga ruangan kembali terang benderang. Senyum
di wajah Sehun semakin bertambah lebar saat melihat Ara dalam jarak pandangannya.
Dugaannya memang benar.

“Jadi, kau berniat kabur?”

Keterkejutan tercetak dengan jelas di wajah Ara saat melihat sosok Sehun yang berada dalam
jarak sedekat ini padanya. Ia tidak salah lihat ‘kan? Kenapa bukan Yian yang datang? Apa
matanya sudah mulai rabun ataukah ini hanya ilusinya saja? Ara masih saja tidak percaya
dengan apa yang dilihatnya.
“Kim Ara, kau benar-benar terpesona padaku, ya?”
Pertanyaan Sehun tadi sukses membuat mulut Ara menganga lebar. Belum sempat ia
mengatasi keterkejutannya, sekarang, ia kembali dikejutkan dengan pertanyaan itu. Apa
maksudnya ini?

“Sunbae, apa yang kau lakukan disini?” tanya Ara, masih belum bisa lepas dari rasa terkejut.
Sehun tersenyum miring mendengar pertanyaan Ara. “Apa yang aku lakukan? Tentu saja
memenuhi permintaan suratmu, Ara.” jawab Sehun. Ia mengatakan hal itu tepat di telinga Ara
membuat gadis itu merinding.

“Bisakah kau melepaskanku? Orang-orang pasti sedang melihat kita sekarang.” kata Ara
sedikit memohon. Ia merasa tidak nyaman karena tangan Sehun tepat berada di pinggangnya
dan tubuh mereka saling menempel seperti itu.

“Who cares? Aku menikmatinya.” Kata Sehun. Ekor matanya menangkap Jihyun dan kedua
temannya yang sedang melihat mereka. Ia lalu memiliki sebuah ide cemerlang. “Kim Ara,
kau benar-benar menyukaiku?” tanyanya, menatap Ara.

Ara kembali terkejut mendengar pertanyaan Sehun. Menyukainya? Surat? What the.. apa Ara
salah mengirim surat? Bagaimana bisa? Bukankah ia sudah meletakkan surat itu pada loker
Yian? jadi, bagaimana bisa terkirim pada Sehun? Owh, ia jadi paham sekarang.

“Sunbae, kupikir ada kesalahpahaman disini.” Kata Ara, sambil memalingkan wajahnya
karena ia terlalu gugup ditatap dalam jarak sedekat oleh seorang lelaki.

“Tidak ada kesalahpahaman apapun diantara kita. Karena kau sudah mengatakan bahwa kau
menyukaiku, maka mulai detik ini.. kau resmi menjadi kekasihku, Sayang.” Ungkap Sehun
yang kembali membuat Ara terkejut.

“What?? Kau ber-“

CHUUP

Kalimat yang akan diucapkan Ara terhenti karena tiba-tiba saja bibirnya sudah dibungkam
oleh bibir milik Sehun. Matanya kembali membulat sempurna apalagi setelah menyadari
bahwa ia dicium oleh Sehun. Ciuman pertamanya dengan Oh Sehun???

TIDAAAAKKKKKK

TBC

HAPPY READING J

*
“Terkadang apa yang sudah aku rencanakan, berakhir dengan tidak sesuai harapan…”

**

Rasa terkejut itu kembali datang lagi saat Sehun tiba-tiba saja mencium dirinya. Ara tidak
bisa menduga kenapa lelaki itu melakukannya. Ara merasa dirinya seperti tersengat listrik
saat material lembut itu tiba-tiba menyentuh bibirnya. Matanya langsung membulat sempuran
dan jantung berpacu di luar kendali. Ia tak bisa melakukan apapun. Bahkan untuk sekadar
bergerak sedikitpun tidak bisa karena tubuhnya terasa. Ini pertama kali bagi Ara dicium oleh
seorang lelaki. Ia pernah mendengar dari seseorang, jika seorang gadis dicium oleh seorang
lelaki untuk pertama kalinya, maka gadis itu sangat beruntung. Tapi untuk dicium oleh lelaki
yang sama sekali tidak ia sukai, apakah ini bisa disebut keberuntungan??

Tanpa Ara duga sama sekali, bibir Sehun yang awalnya hanya menempel pada bibirnya mulai
bergerak dan membuat Ara sekali lagi merasa terkejut. Ia hampir saja tidak mampu
menopang tubuhnya jika saja Sehun tidak memegangi tubuhnya. Sehun melumat bibir Ara
seolah ingin merasakan bagaimana rasanya mencecap setiap inci dari bibir gadis itu.
Menggerakkannya sesuai dengan instingnya. Ia bahkan sama sekali melupakan niat awalnya
kenapa ia mencium gadis itu.

Setelah mampu menguasai dirinya dari keterkejutan yang bertubi-tubi, Ara langsung
mendorong tubuh Sehun dengan sekuat tenaganya, membuat lelaki itu langsung jatuh
menimpa kursi yang ada di belakangnya. Ara menatap lelaki itu dengan tajam. Wajahnya
langsung memerah menahan amarah sekaligus rasa malunya. Segera ia meninggalkan lelaki
itu yang masih termangu di kursi tempat ia jatuh.

Sepeninggalan Ara, Sehun seakan tersadar atas apa yang tadi ia lakukan. Ia menyentuh
bibirnya yang terasa lembab dan sedikit berminyak. Bisa ia rasakan lipgloss milik Ara yang
menempel di bibirnya. Ia memukul pelan kepalanya. Kenapa ia bisa bertindak sejauh itu?
Padahal ‘kan niatnya hanya untuk membuat Jihyun sakit hati dan berhenti mengejar dirinya
seperti orang gila. Tapi setelah melihat Jihyun pergi, ia merasa dirinya seperti hilang kendali.
Saat merasakan bibir Ara yang manis, tiba-tiba saja ia ingin melakukan hal yang lebih lagi.
Mungkin jika saja Ara tidak segera mendorongnya, ia akan melakukan hal yang lebih gila
lagi. Owh Ya Tuhan, Sehun pikir ia mulai gila sekarang. Namun, sepertinya ini akan sangat
menarik, pikirnya lagi.

***

Ara langsung berlari menuju toilet setelah ia berhasil mendorong Sehun menjauh dari dirinya.
Ia langsung berteriak histeris di dalam toilet saat mengingat kembali kejadian itu tanpa
mempedulikan tatapan beberapa pasang mata yang ada di dalam toilet. Mereka melihat Ara
dengan pandangan aneh. Mungkin berpikir jika Ara adalah orang gila atau sedang kesurupan
(?). Tapi Ara tidak peduli. Dengan penuh percaya diri, Ara berjalan ke salah satu wastafel
yang masih kosong dan menyalakan kerannya lalu memasuh bibirnya dengan air. Ia
menggosoknya dengan keras, berusaha untuk menghilangkan bekas ciuman Sehun yang
menurutnya sangat membuatnya tidak nyaman.
“Lelaki itu benar-benar gila!!! Bagaimana bisa ia melakukan hal ini padaku? Ia pikir aku ini
gadis gampangan apa? Mencium orang seenaknya… jika Ibu melihatnya, aku pasti sudah
digantung di bawah pohon mungkin. Owh Ya Tuhan, ini benar-benar membuatku gila!!!”
gumam Ara tanpa mempedulikan orang-orang disekitarnya. Bahkan seorang wanita yang
berdiri di samping Ara, menjauhkan sedikit tubuhnya karena takut dengan Ara.

“Aaaaarrrrrggggghhhh… kenapa masih terasa???!!!!!”

Ara kembali berteriak. Ia frustasi karena bekas ciuman itu tidak hilang-hilang. Masih bisa ia
rasakan bagaimana bibir Sehun yang menempel di bibirnya lalu melumatnya perlahan dan
sampai ia merasakan… CUKUP!!! Ara tidak mau mengingatnya lagi. Ia mulai berpikir jika ia
pasti sudah gila sekarang. Mungkin ini karena efek samping ciuman pertama atau.. Owh Ya
Tuhan!! Ara melupakan tentang Hana. Bagaimana dengan gadis itu ya? Hal itu membuatnya
menghentikan aktivitasnya sejenak lalu ia memutuskan untuk kembali ke tempat yang tadi.

Namun tanpa bisa ia sangka-sangka, saat dirinya keluar dari toilet, Ara justru menemukan
Sehun yang sedang berdiri dengan gaya coolnya di depan toilet wanita. Ara ingin
mengabaikannya namun tangan lelaki itu justru menarik tangannya agar tidak pergi.

“Lepaskan..” sentak Ara, berusaha melepaskan pegangan tangan Sehun.

“Aku akan melepaskannya jika kau berjanji tidak akan pergi dariku.” Jawab Sehun, masih
tidak mau melepaskan pegangan tangannya.

“Pergi darimu? Memangnya ada apa lagi? Bukankah urusan kita sudah selesai?” tanya Ara. Ia
tidak mengerti dengan sikap Sehun yang menurutnya aneh sekali.

“Kita ‘kan sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Jadi aku harus mengantarkanmu pulang.”
Jawab Sehun dengan enteng.

Ara memutar bola matanya malas. “Biar ku jelaskan, Sunbae. Kau salah paham tentang hal
ini. Surat itu bukan untukmu begitu pun aku juga tidak menyukaimu. Jelas?”

Sehun hanya ber-oh ria saat mendengarnya. Ia sama sekali tidak terkejut ataupun marah
seperti yang Ara duga. “Semua gadis memang sama saja. Saat mereka tertangkap basah
sudah menyukai seorang lelaki, mereka akan berkata sebaliknya dan mengelak. Aku paham
sekali hal itu.”

Mendengarnya, rahang Ara seakan mau melorot. Apa yang dia katakan? Untuk apa Ara
mengelak mengenai perasaannya? Ia sudah mengatakan hal yang sebenarnya dan Sehun
bilang ia berkata sebaliknya? Owh yang benar saja. Ara rasa berbicara dengan lelaki ini akan
menguras tenaga dan pikirannya. Mungkin ada baiknya ia mengalah saja agar tidak
memperpanjang masalah. Sudah cukup ia dibuat pusing dengan lelaki ini.

“Baiklah. Terserah bagaimana pendapatmu. Aku harus pergi.”

Setelah mengatakan hal itu, Ara melepaskan pegangan tangan Sehun pada tangannya dan
langsung berjalan menjauh. Namun lagi-lagi Sehun menahannya.

“Kau mau kemana? Biar aku antar.” tanya Sehun penuh keingintahuan.
“Aku mau mencari Hana.” jawab Ara singkat lalu kembali melepaskan pegangan tangan
Sehun dan melanjutkan langkah kakinya. Kali ini Sehun hanya diam dan mengikuti Ara dari
belakang.

“Dimana dia?” gumam Ara saat dirinya tak menemukan apapun di dalam bioskop yang sudah
sepi. Ia melangkah menuju bangku yang tadi ditempati Hana dan tak menemukan apapun
disana. Ara sangat yakin, sudah tak ada orang disana apalagi bioskop juga sudah mulai sepi
dari pengunjung.

“Jadi kau kesini bersama Hana? Kurasa dia meninggalkanmu, sayang.” Komentar Sehun
sambil melihat sekeliling. Ara yang mendengarnya, langsung mencibir saat mendengar Sehun
memanggilnya sayang. Ara bahkan sampai heran sendiri, kenapa Sehun begitu mudah
mengatakan hal itu? apa lelaki ini menyukainya?

“Mungkin aku memang harus pulang sendiri malam ini.” Kata Ara akhirnya setelah tak
menemukan sosok Hana disana. Ia kemudian melangkah meninggalkan Sehun yang masih
berdiri tak jauh darinya.

“Hei, kau mau kemana?” teriak Sehun saat Ara sudah berjalan cukup jauh darinya.

“Pulang.”

“T-tunggu. Aku akan mengantarmu. Kebetulan aku bawa mobil.” Cegah Sehun. Ia langsung
menarik tangan Ara menuju tempat ia memarkirkan mobilnya tadi.

“Dimana mobilmu?” tanya Ara saat mereka sudah sampai di parkiran. Ia cukup senang saat
Sehun mengatakan bahwa ia akan mengantarnya. Bukan karena Ara mulai ada perasaan
dengan Sehun, tapi karena ia bisa menghemat uangnya. Tadinya ia berencana naik mobil atau
kereta bawah tanah. Tapi karena Sehun akan mengantarnya, ia jadi tidak perlu repot-repot
membuang uangnya. Hahaha.. Ia tertawa dalam hati.

“Sialan, aku lupa jika kuncinya dibawa Kai tadi.” Sehun menepuk pelan keningnya saat
dirinya teringat akan hal itu. Tadi ia sengaja memberikan kunci mobilnya pada Kai karena
takut ia akan lupa dimana ia meletakkannya. Sehun adalah tipe orang yang akan lupa akan
barang-barangnya.

Ara kembali memutar bola matanya dengan malas. “Kalau begitu aku pulang naik bus saja.”

“Kita naik bus bersama.” Kata Sehun cepat. Lalu ia menarik tangan Ara untuk segera
meninggalkan bioskop. Ara jadi berpikir, apa dirinya itu orang buta yang tidak bisa berjalan
sendiri?

***

Hari sudah semakin malam saat Yian berdiri di balkon kamarnya. Ia menatap ke bawah, ke
arah jalanan di depan rumahnya yang sudah sepi walaupun di siang hari juga tidak terlalu
ramai. Matanya lalu menangkap sosok Sehun yang berjalan seorang diri. Yian melihat jam di
ponselnya yang sudah menujukkan pukul sepuluh malam lebih. Ia jadi teringat jika Sehun
pergi menemui pengirim surat itu.
Jadi, apa benar jika pengirim surat itu adalah Ara?, batin Yian bertanya-tanya. Ia ingis segera
menanyakan hal itu pada temannya namun diurungkannya niatnya. Sehun pasti akan berpikir
yang tidak-tidak jika ia bertanya hal itu jika bukan sendiri yang menceritakannya. Tapi apa
Sehun akan menceritakan hal pribadinya? Selama mengenal Sehun, Yian tidak pernah
mendapati Sehun menceritakan hal pribadinya pada dirinya bahkan saat rumah mereka
bersebelahan. Yian sendiri juga tidak pernah berkunjung ke rumah Sehun karena Sehun itu
orang yang sedikit tertutup.

Setelah memperhatikan Sehun sampai lelaki itu masuk ke dalam rumahnya, Yian
mengeluarkan sesuatu dari saku celana training yang dipakainya. Selembar foto yang
menunjukkan dirinya yang masih kecil bersama seorang gadis kecil yang seusia dengannya
tengah tersenyum saat bermain pasir di pinggir pantai. Yian tersenyum kecil melihat gigi
depan gadis kecil itu yang ompong. Ia lalu membalik foto itu dan ada tulisan disana.

Namhae, 2007

Yian dan Ara adalah sabahat sejati selamanya…

Kembali Yian tersenyum saat memori-memori dirinya bersama Ara dulu di Namhae kembali
berputar dalam pikirannya. Ia ingat bagaimana bahagianya ia melalui setiap hari saat bersama
dengan gadis periang itu. Yian kembali melihat wajah Ara saat masih kecil dan
membandingkannya dengan wajah Ara yang ia ingat. Banyak yang berbeda dari keduanya.
Yian sangat penasaran kenapa bisa begitu. Apa jangan-jangan Ara melakukan operasi plastik?
Tapi kenapa?

***

Keesokan paginya, Ara turun dari bus yang ia naiki. Ia segera masuk ke sekolahnya karena
jam sudah menunjukkan hampir pukul tujuh dan itu artinya sebentar lagi jam pelajaran akan
dimulai. Ia mempercepat langkahnya dan tak lama kemudian ia sudah hampir mencapai
kelasnya yang ada di lantai dua. Ia terus melangkah hingga matanya menangkap sosok Sehun
yang berdiri di depan kelasnya. Otomatis Ara menghentikan langkahnya.

“Mau apa dia berdiri di depan kelasku?” gumam Ara heran. Otaknya langsung bekerja
dengan cepat dan ia langsung membalikkan badannya berniat menghindari Sehun. Ia tidak
mau harinya berjalan buruk karena lelaki itu.

“Sayang, kau mau kemana?”

Langkah kaki Ara langsung terhenti saat ia mendengar teriakan Sehun yang nyaring. Ekor
matanya menangkap beberapa siswa yang ada di sekitarnya menghentikan kegiatan mereka
dan menatap Sehun dengan heran. Ara tidak mau terpancing. Ia kembali melanjutkan
langkahnya.

“Kim Ara, kau mau kemana, sayang?”

Ara ingin sekali menyumpal mulut lelaki itu dengan sepatunya karena kembali berteriak.
Bahkan kali ini ia berani memanggil namanya. Yang benar saja, siswa yang lain pasti
mendengarnya dan mereka mungkin akan berpikir yang aneh-aneh tentang dirinya. Ia ‘kan
ingin menjalani kehidupan dengan di sekolah ini.
“Kau mau menghindariku, ya?” Sehun langsung bertanya saat ia berjalan mendekati Ara.
Ditatapnya gadis itu dari atas hingga bawah. “Wow.. aku tidak tahu jika kekasihku memakai
rok sependek itu.” sambungnya sambil menunjuk rok sepanjang sepuluh senti diatas lutut
yang dikenakan Ara.

Ara menatap Sehun tajam. “Hentikan pandangan matamu dan berhentilah mengoceh tentang
aku adalah kekasihmu. Sudah kukatakan jika aku tidak menyukaimu, Sunbae.” Kata Ara
ketus. Ia bisa gila karena pagi-pagi sudah bertemu dengan lelaki ini.

“Sayang, kenapa kau mengatakan hal itu? bukankah kau sendiri yang mengatakannya jika
kau menyukaiku?” Sehun sedikit meninggikan nada bicaranya sambil tersenyum penuh arti
pada Ara, yang membuat Ara merasa risih karena mereka menjadi pusat perhatian saat ini.
“Owh, dimana nametagmu?” tanyanya saat ia tidak melihat Ara memakai nametag.

“Aku menghilangkannya. Aiiisssh… Ini gila!!” Ara mengacak rambutnya frustasi. Ia berniat
meninggalkan Sehun namun lelaki itu menarik tangannya hingga kepalanya membentur dada
Sehun.

“Kau yang memulainya..jadi jangan mencoba untuk menghindariku sebelum aku mengakhiri
semua ini..” bisik Sehun tepat di telinga Ara. Posisi mereka yang terlihat sangat intim
langsung membuat siswa-siswa lain disekitar mereka salah paham. “Sepertinya ini akan
sangat menarik, sayangku..” sambung Sehun yang diakhiri dengan kecupan singkat di pipi
kanan Ara.

Kembali tubuh Ara terasa kaku setelah mendapatkan kecupan singkat itu. Ia memegang pipi
yang tadi dicium Sehun sambil melihat punggung lelaki itu yang mulai menjauh dari
pandangannya. “Dia menciumku.. untuk yang kedua kalinya…”

***

“Kau tidak membeli makanan?” tanya Hana saat melihat Ara yang tiduran di depannya.
Mereka kini ada di taman belakang sekolah.

“Tidak. Moodku sedang buruk, Hana. Kau juga tidak membeli makanan? Kenapa?” tanya
Ara balik, masih dengan posisinya berbaring diatas bangku taman.

Hana menyenderkan tubuhnya di sandaran bangku yang ia duduki. “Sama. Aku juga tidak
lapar.” Jawab Hana lirih. “Owh ya, maaf aku pulang duluan malam itu.”

“Tidak apa. Tapi, apa rencanamu berjalan lancar?” Ara tiba-tiba saja mengubah posisinya
dari berbaring menjadi duduk dan menatap Hana dengan mata berkilat-kilat penuh rasa ingin
tahu.

“Yaaahh.. begitulah.” Hana menghembuskan nafasnya panjang.

“Begitu bagaimana?” desak Ara. Ia sudah melupakan moodnya yang buruk dan kini kembali
bersemangat untuk mendengar cerita Hana. Ia yakin rencana Hana berjalan lancar, tidak
seperti dirinya.

“Kau pasti akan terkejut saat mendengarnya..”


“Apa? Cepatlah, Hana. Jangan berbelit-belit..”

FLASHBACK ON

Malam itu Hana sudah masuk ke dalam bioskop dan ia langsung duduk di kursi sesuai nomor
tiket yang ia miliki. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat Ara yang duduk jauh di depannya.
Ia menatap tempat duduk kosong yang ada di sampingnya. Dalam hati ia berharap semoga
orang yang ditunggunya datang.

Lampu sudah dimatikan dan film pun sudah dimulai. Hana merasakan ada seseorang yang
menduduki kursi kosong disampingnya dan Hana langsung tersenyum bahagia saat melihat
bahwa itu lelaki yang ditunggunya dilihat dari siluet wajah yang sangat ia kenal. Hana
menguatkan dirinya agar ia bisa bertahan sampai akhir.

“Apa kau orang yang mengirim surat cinta padaku?” Perhatian Hana yang masih menonton
film teralihkan saat ia mendengar suara yang sangat ia kenal itu. Hana menoleh ke
sampingnya yang langsung bertatap muka dengan lelaki itu, Kim Jongin.

“Park Hana…” Kai bergumam pelan saat melihat wajah yang amat ia kenal itu duduk di kursi
yang dimaksud dalam surat yang diberikan padanya. Ia sangat terkejut mengetahui kenyataan
bahwa.. Mungkinkah Hana yang mengirim surat itu padanya?

“Kai.. aku…” Hana tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata yang sudah ia rangkai untuk
dikatakan disaat-saat seperti ini lenyap dari ingatannya. Ia seakan tak mampu berkata apapun
dihadapan lelaki ini.

“Hana, jadi apa benar kau yang mengirim surat padaku? Kau yang menulisnya?” tanya Kai,
mengulang pertanyaan awalnya.

Hana terdiam. Wajahnya pias dan penuh kekhawatiran. “Aku… A-aku…”

“Jadi, kau yang melakukannya? K-Kau.. menyukaiku?” akhirnya pertanyaan yang Hana
takutkan terlontar dari bibir lelaki itu. Kai masih menatap, ia ingin tahu jawaban pasti dari
Hana.

“Aku…” Hana mencoba menguatkan hatinya. “Maafkan aku, Kai. Aku memang
menyukaimu tapi aku tidak berani melakukannya. Itu sebabnya aku mengirim surat padamu..
A-aku.. aku… Maukah kau menjadi kekasihku?”

Dari tempatnya, Hana bisa melihat keterkejutan di wajah Kai. Lelaki itu terdiam cukup lama
sambil menatap Hana. Sebenarnya Hana sendiri juga terkejut ia bisa mengatakannya secepat
itu. Padahal di rencana awalnya, ia akan mengatakannya setelah mereka berbincang cukup
lama. Namun pertanyaan Kai itu memicu dirinya untuk segera mengatakan hal itu. Mungkin
benar kata pepatah, lebih cepat lebih baik.

“Hana… Aku.. Aku tidak bisa melakukannya. Ini terlalu tiba-tiba. Aku minta maaf.” kata Kai
setelah lama terdiam. Ia langsung bangkit dan pergi dari tempat itu. Hana hanya terdiam
setelah mendengar apa yang dikatakan Kai. Jadi, lelaki itu menolaknya? Ia baru saja ditolak?

FLASHBACK OFF
“Ya Tuhan, Hana… bagaimana dia bisa mengatakannya semudah itu?” pekik Ara hiseris. Ia
sampai menjambak rambutnya sendiri sebagai pelampiasannya.

“Entahlah..” Hana mengendikkan bahunya. “Aku tidak habis pikir dengannya. Dia dengan
mudah mengatakan hal itu seperti tidak peduli padaku. Ara.. aku benar-benar merasa malu.”
Sambungnya dengan ekspresi wajah yang hampir menangis.

Ara mendekati Hana dan menepuk pelan bahunya. “Tidak apa-apa, Hana. Kau tidak
melakukan sesuatu yang salah. Kau hanya berjuang untuk cintamu. Itu lebih baik daripada
kau salah orang.” Katanya menenangkan Hana.

“Salah orang? Maksudnya?” Hana langsung memasang ekspresi penasaran di wajahnya. Ia


melupakan kesedihannya.

“Emmmm… Aku salah mengirim surat hingga jatuh ke tangan Sehun. Dia yang datang ke
bioskop malam itu dan dia pikir, aku benar-benar menyukainya hingga akhirnya dia
memutuskan bahwa kami resmi menjadi sepasang kekasih.”

“APA???!!! Demi kegilaan yang pernah kubuat, dia benar-benar lebih gila dariku!! Lalu, apa
yang kau katakan?” Hana langsung menjerit histeris mendengarnya.

“Iya dia memang lebih gila darimu, Hana.” Ara membenarkan ucapan Hana. “Aku sudah
berusaha menjelaskan padanya tentang aku yang salah mengirim surat dan bahwa dia salah
paham mengenai perasaanku. Tapi dia keras kepala dan mengira aku berbohong. Aku benar-
benar sudah gila karena menghadapi lelaki seperti dia.”

“Ya Tuhanku…” Hana menepuk keningnya. “Sudah ku katakan untuk tidak berurusan
dengannya. Dia itu orang aneh. Kau tidak akan bisa mengerti dirinya..”

“Lalu bagaimana, Hana?”

“Entahlah.. aku bingung..”

Dan mendengar hal itu, Ara hanya bisa menghembuskan nafasnya panjang.

***

Apa kau sudah pulang?

Ara memutar bola matanya malas saat membaca pesan singkat yang dikirimkan Sehun
padanya. Ia tidak berniat membalasnya dan memilih memasukkan ponselnya ke dalam blazer.

KRING

Ponselnya kembali berbunyi tanda ada pesan yang masuk. Ara sudah menduga jika itu pasti
dari Sehun lagi, maka ia mengabaikannya dan terus berjalan di koridor yang sudah cukup
sepi. Gara-gara tadi harus piket membersihkan kelas terlebih dahulu, ia jadi pulang terlambat
dan sekolah sudah mulai sepi. Ara mempercepat laju langkahnya.

KRING
Kembali ponselnya berdering. Ara menghembuskan nafas kesal lalu menghentikan
langkahnya. Ia membuka ponselnya dan membaca pesan singkat yang memang berasal dari
Sehun.

Kau sudah pulang belum? Jika belum kita bisa pulang bersama.

Hei, kenapa tidak menjawab pesanku? Kau tidak punya pulsa, ya?

“Dasar gila!1” gumamnya. Ia mengetik sesuatu di ponselnya.

Aku sudah pulang. Jadi pulanglah sendiri sana.

Ia mengetik balasan untuk Sehun dengan cepat dan segera mengirimnya. Setelah terkirim, ia
mematikan ponselnya karena tidak ingin diganggu oleh lelaki itu lagi. Hari ini ia sudah cukup
malu akibat ulah Sehun tadi pagi. Hal itu menyebabkan semua teman sekelasnya bertanya
apakah ia mempunyai hubungan dengan Sehun atau ada hal lain yang terjadi diantara mereka
berdua. Ara hanya menjawab sekenanya karena ia malas meladeni teman-temannya yang luar
biasa ingin tahu.

“Hei, kau gadis yang bersama Sehun di bioskop malam itu ‘kan?”

Ara menoleh ke depan begitu ada seseorang yang bertanya. Ia mendapati Jihyun dan kedua
temannya berdiri tak jauh darinya. Ara menoleh ke belakang, mungkin Jihyun berbicara
dengan orang lain tapi ia tidak menemukan siapapun di belakangnya dan itu langsung
membuatnya takut. Apa yang akan Jihyun lakukan padanya?

“Kau bertanya padaku?” tanya Ara takut-takut. Suaranya nyaris tak terdengar.

Jihyun tertawa miring dan melangkah mendekat hingga jarak keduanya hanya tinggal satu
langkah kaki. “Tentu saja aku bertanya padamu. Siapa lagi hoobae genit yang akan merayu
Sehun, huh?” sentak Jihyun dengan nada ketus.

Ara tertegun. Eh.. merayu? Siapa yang merayu siapa?

“Kupikir kau salah paham, Sunbae.” Kata Ara mencoba menjelaskan, namun Jihyun
memotongnya.

“Dimana letak kesalahpahamannya? Bukankah sudah jelas dari bagaimana Sehun


menciummu?”

Apa? Mencium? Apakah Jihyun melihat Sehun menciumnya di bioskop malam itu?

“Eh? Aku.. aku tidak benar-benar melakukan hal itu.” Ara mencoba mengelak.
“Hei, anak kelas satu!!” Jihyun menarik rambut Ara. “Yian membelamu waktu itu dan Sehun
menciummu malam itu. Sebenarnya kau itu siapa? Kenapa mereka berdua bisa terpikat
padamu? Siapa namamu??!!!”

“Auwww…” Ara meringis pelan saat merakan sakit di kulit kepalanya. “Sunbae, kumohon
jangan lakukan ini. Aku tidak ada hubungan apapun dengan mereka berdua. Kau bisa
mendapatkan mereka jika kau mau.”

Jihyun menatap Ara tajam. “Mendapatkan mereka berdua? Kau pikir aku tidak bisa
melakukannya? Tapi sebelum aku mendapatkan mereka, kau sudah harus lebih dulu
menyingkir.”

“Hah? Apa maksudnya?” kedua alis Ara langsung bertaut karena tak mengerti dengan apa
yang Jihyun katakan? Dirinya harus menyingkir? Maksudnya?

“Girls, kita bawa dia.” Jihyun memberikan komando pada kedua temannya yang sudah
seperti bawahannya. Kedua teman Jihyun langsung menurut dan memangi lengan Ara lalu
membawa Ara pergi. Ara mencoba memberontak namun setiap ia bergerak, Jihyun akan
menjambak rambutnya hingga ia memutuskan untuk diam dan melihat apa yang akan Jihyun
dan teman-temannya lakukan padanya.

Mereka ternyata membawa Ara menuju ke toilet dan langsung mendorong tubuh Ara hingga
jatuh terjerambab ke lantai. Ara merasakan tubuhnya sakit karena membentur lantai toilet
yang keras. Belum lagi, ia merasa jijik karena kuman-kuman yang ada disana pasti akan
menempel di tubuhnya.

“Katakan padaku, siapa namamu?” Jihyun mendekati Ara dan memegang dagunya hingga
mau tak mau Ara langsung bertatapan dengan manik mata Jihyun. Ia masih mengenal dengan
jelas manik mata itu, karena bagaimanapun, dirinya dan Jihyun pernah menjadi teman baik.

Tidak tahu harus menjawab apa, Ara hanya diam. Ia bingung harus menjawab bagaimana.
Apakah ia harus mengatakan jika namanya adalah Kim Ara atau tidak? Melihat Jihyun yang
seperti ini, Ara jadi takut untuk mengaku. Jika Jihyun yang belum tahu namanya saja sudah
berani melakukan hal ini padanya, bagaimana jika nanti jika Jihyun sudah tahu siapa jati
dirinya? Bisa-bisa Jihyun akan membuatnya pindah dari sekolah ini.

“Hei, bodoh. Kau tidak mendengarku, ya?” Jihyun kembali bertanya. Kali ini dengan menarik
kembali rambut Ara hingga Ara menjerit kesakitan.

“Auwwww… tolong hentikan, Sunbae.. Kumohon hentikan. Aku tidak ada hubungan apapun
dengan mereka berdua.” Kata Ara hampir menangis. Ia merasa sangat takut karena baginya,
Jihyun yang ia kenal bukanlah Jihyun yang seperti ini.

“Cih.. mulutmu mudah sekali melakukan hal itu. Mengingat kembali Sehun yang mencium
bibirmu benar-benar membuatku ingin muntah. Kau pasti merayunya dengan wajahmu yang
cantik ‘kan?” bentak Jihyun tepat di telinga Ara.

“Tidak, Sunbae.. aku benar-benar tidak melakukannya.. Aku minta maaf.. Ak-“

“Hentikan itu, Han Jihyun!!!!!”


Ara langsung menghentikan perkataannya saat tiba-tiba Sehun datang dan mendorong Jihyun
agar menjauh darinya. Sehun segera menarik tubuh Ara agar mendekat padanya dan menatap
Jihyun lekat-lekat.

“Dengar ini, Jihyun. Jika sekali lagi kau berani menyentuhnya, kupastikan Ayahku akan
menendangmu dari sekolah ini!!”

TBC

**

“Aku hanya ingin menghabiskan masa-masa sekolahku dengan tenang. Apakah keinginanku
itu terlalu berlebihan…??!!!”

**

“Dengar ini, Jihyun. Jika sekali lagi kau berani menyentuhnya, kupastikan Ayahku akan
menendangmu dari sekolah ini!!”

Suara Sehun terdengar menggelegar memenuhi toilet dan bahkan bisa terdengar sampai ke
koridor di depannya. Jihyun terdiam. Menatap Sehun dengan tatapan tak percaya. Ia benar-
benar tidak menyangka Sehun datang disaat yang tepat baginya dan hal itu membuatnya
sedikit takut jika penilaian Sehun mengenai dirinya berubah setelah melihat apa yang ia
lakukan pada Ara. Tapi memang salah Ara sendiri, kenapa dia mencari masalah dengan
seorang Han Jihyun yang sangat disegani di sekolah ini? Tentu saja Jihyun tidak akan tinggal
diam.

“Ayo pergi!!!”

Tak mau berlama-lama berada di toilet itu, Sehun menarik tangan Ara keluar dan
membawanya ke taman belakang sekolah. Sepanjang perjalanan menuju kesana Ara hanya
diam dan terus berjalan karena tangannya ditarik dengan keras oleh Sehun. Mungkin jika
Sehun sudah melepaskannya pergelangan tangannya akan memerah karena pegangan Sehun
sangat keras dan terasa sakit. Namun Ara hanya diam hingga mereka sampai di taman
belakang sekolah yang sudah sepi.

“Kau ini bodoh, ya??” Sehun mendorong tubuh Ara hingga punggung gadis itu membentur
batang pohon maple di belakangnya. Ia menatap Ara dengan wajah yang bersemu merah
menahan amarah. “Kenapa tidak melawannya?”

Ara menghembaskan tangan Sehun yang masih memegang pergelangan tangannya. Ia


menatap Sehun dengan wajah bersimbah air mata. “Iya. Aku memang bodoh. Kau pikir apa
yang harus aku lakukan? Melawannya? Apa aku sudah gila?” Suara Ara tak kalah kerasnya
saat mengatakan hal itu. Ia menghapus air matanya dengan kasar.
“Tentu saja kau harus melawannya. Jika kau hanya diam dan menjadi pihak yang lemah, kau
akan terus ditindas oleh Jihyun.” Suara Sehun masih sama kerasnya. “Kali ini kau bisa lolos
darinya. Tapi aku tidak menjamin jika Jihyun akan melepaskanmu begitu saja.”

“Karena siapa aku diperlakukan seperti ini?!! Ini semua karenamu, bodoh!!!” Ara berteriak
tepat di depan wajah Sehun. Ia memukul dada Sehun dengan kesal. “Oh Sehun bodoh!!
Karenamu Jihyun jadi melakukan hal ini padaku. Kau penyebab semua hal ini. Kenapa kau
memarahiku? Harusnya aku yang marah padamu!! Ya Tuhan.. kau benar-benar pembawa
sial!! Kau benar-benar jahat.. Oh Sehun.. aku membencimu!! Hiks.. hiks.. hiks..” kian lama
suara Ara kian melemah dan akhirnya hanya terdengar suara tangisan.

Sehun terkesiap melihat Ara yang tiba-tiba saja menangis di hadapannya. Ia hanya diam
sambil menatap gadis di hadapannya yang menangis sambil menutupi wajahnya dengan
telapak tangannya. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ara menangis karena dirinya
dan ia merasa telah menjadi orang yang jahat sekarang. Ibunya pernah mengatakan padanya
jika seorang lelaki membuat seorang gadis menangis, maka lelaki itu adalah orang yang jahat.
Dan lihatlah, kini ia benar-benar orang jahat sekarang.

Suara tangis Ara kian keras dan terdengar begitu miris. Oke, kali ini Sehun merasa sangat
bersalah. Dengan ragu, Sehun melangkah mendekat dan merengkuh tubuh Ara kedalam
pelukannya. Bisa ia rasakan tubuh Ara yang menegang di dalam pelukannya, namun ia
menghiraukannya. Perlahan tangannya menyentuh surai kecokelatan milik Ara dan
mengusapnya perlahan, sebelah tangannya lagi ia gunakan untuk menepuk bahu gadis itu,
seolah-olah mengatakan ‘tidak apa-apa’ melalui bahasa tubuh.

Tak lama, karena setelahnya Sehun melepaskan pelukannya setelah dirasa tangisan Ara mulai
berhenti. Bisa ia lihat wajah Ara yang memerah dan basah oleh air mata. Tanpa ia sadari,
kedua tangannya terulur dan menyentuh wajah Ara, mengusap air mata gadis itu dengan
kedua ibu jarinya dari bawah mata hingga ke sisi bibir Ara. Gerakannya terhenti saat ibu
jarinya tak sengaja menyentuh tahi lalat kecil yang ada di bawah bibir Ara. Ia
memperhatikannya lebih lama dan baru menyadari jika Ara memiliki tahi lalat di bawah
bibirnya yang sepertinya pernah ia lihat sebelumnya dimiliki oleh seseorang. Atau, mungkin
ia hanya salah mengingat.

“Jangan menatapku seperti itu!” pikiran Sehun terhenti saat Ara menyadarkannya dari
lamunannya. Ia langsung salah tingkah karena berpikir Ara pasti tahu apa yang sedang ia
lihat dan ia pun menjauhkan sedikit tubuhnya ke belakang karena jarak keduanya cukup
dekat.

“Maaf. Ku mohon jangan berpikir yang macam-macam.” Kata Sehun dengan kikuk. Ia
menggigit bibir bawahnya dan memilih mengalihkan tatapannya pada lingkungan di
sekitarnya.

“Aku tidak memikirkan hal seperti itu. Tapi sebaiknya, ini kali terakhir kita bertemu. Ku
harap kedepannya, berpura-puralah tidak mengenalku.” Kata Ara dengan tegas. Ia sudah
berhenti menangis sekarang dan ia ingin segera pulang ke rumah. Ia benar-benar lelah saat ini.
Maka ia mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Sehun yang masih terdiam setelah
mendengar perkataannya.
“Hei, tunggu! Bagaimana bisa kau mengatakan hal itu?” Sehun tersadar akan kenyataan dan
segera menyusul Ara yang belum jauh darinya. Ia berdiri di depan gadis itu dan
menghadangnya dengan merentangkan kedua tangannya. “Kau tidak bisa melakukan hal itu,
Kim Ara.”

Ara mengerutkan kedua alisnya. “Hah? Apa maksud perkataanmu?”

“Kita adalah kekasih sekarang. Jadi, bagaimana aku bisa berpura-pura tidak mengenalmu?”
Kini Sehun seperti sudah mendapatkan jati dirinya lagi dan melupakan rasa bersalahnya. Ia
tersenyum miring di depan Ara.

“Lalu?” Ara masih tidak mengerti maksud perkataan Sehun.

“Kau dan aku, kita harus selalu bersama. Aku akan menjagamu agar Jihyun tidak melukaimu
lagi. Dan kau, tidak boleh jauh-jauh dariku.” Ungkap Sehun dengan tegas. Ia tersenyum
penuh arti membuat Ara langsung waspada. Tidak mungkin ‘kan Sehun akan menuruti
permintaan gadis ini? Masa iya semuanya harus berakhir secepat ini? Akan sangat
membosankan jika Sehun melepaskan Ara begitu saja. Baginya, Ara adalah gadis polos yang
naif dan ia bisa memanfaatkan gadis itu untuk menghindari Jihyun. Bukankah itu ide paling
cemerlang yang pernah terpikirkan oleh seorang Oh Sehun?

“Ayo pergi. Aku akan mengantarmu pulang sampai ke rumah.” kata Sehun setelah lama
bergelut dengan pikirannya. Ia menarik tangan Ara dan mulai berjalan, namun Ara hanya
diam di tempatnya.

“Lepaskan tanganmu. Aku bisa pulang sendiri.” Ara kembali bersikap ketus pada Sehun. Ia
menatap Sehun dengan tajam.

“Ayolah, jangan keras kepala. Jihyun tidak akan menyerah begitu saja. Mungkin saja dia
akan menghadangmu di jalan.”

Memilih untuk diam, Ara berpikir sejenak. Perkataan Sehun tadi ada benarnya juga. Ada
kemungkinan Jihyun masih ada di sekolah dan menghadangnya di gerbang atau mengikutnya
lalu kembali melukainya lagi. Ara tahu benar jika Jihyun bukanlah orang yang akan
menyerah begitu saja. Ia sudah mengenal Jihyun cukup lama dan ia tahu betul jika Jihyun itu
orang yang akan teguh pada pendiriannya. Yah, setidaknya dulu dalam hal yang Ara anggap
baik. Dan lagi pula, mungkin Sehun yang akan membayar ongkos naik busnya seperti malam
itu. Jika dihitung-hitung, hal ini akan sangat menguntungkan baginya. Lalu, seulas senyum
tipis merekah dari bibir Ara.

“Baiklah.” Kata Ara singkat. Sehun yang mendengarnya, tersenyum samar lalu menarik
tangan Ara untuk berjalan mengikutinya.

***

Kini mereka sudah ada di dalam bus dan berdiri dengan beberapa penumpang lainnya karena
tidak mendapatkan tempat duduk. Bus sangat penuh karena sekarang adalah jam pulang
sekolah. Belum lagi, udara cukup panas dan terasa pengap apalagi jika berdesak-desakkan
dengan penumpang lainnya. Sehun sendiri bahkan sampai menggunakan tangannya untuk
mengipasi dirinya sendiri. Ia merutuk dalam hati, dirinya benar-benar bodoh karena lebih
memilih mengantar Ara naik bus dan meninggalkan motornya di sekolah. Akan lebih baik
baginya jika ia tidak manawarkan hal demikian. Ah, ini karena rasa bersalahnya pada Ara.
Harusnya ia tidak terlalu membawa perasaannya dalam hal ini.

Masih merutuki dirinya sendiri, tiba-tiba saja Sehun merasakan sebuah tangan yang
menyentuh pinggangnya dari belakang lalu meremas jaket yang ia gunakan. Sehun melirik ke
belakang, dimana Ara berdiri. Ia mendapati gadis itu menundukkan kepalanya tapi tangannya
masih terus meremas jaketnya. Sehun menyentuh tangan Ara yang ada di pinggangnya dan
membuat gadis itu mendongakkan kepalanya. Wajahnya masih terlihat sembab tapi kali ini
Sehun melihat ketakutan di wajah Ara membuat dirinya bingung.

“Ada apa?” tanya Sehun dengan sejuta kebingungan memenuhi kepalanya. Ara hanya diam.
Ia menatap Sehun dengan tatapan yang sulit diartikan. Tubuhnya gemetar dan Sehun bisa
merasakan tangan Ara yang semakin kuat meremas jaketnya. Sehun memutar tubuhnya
hingga menghadap Ara. “Kau baik-baik saja?”

“Itu… dibelakangku…” kata Ara lirih, nyaris tak terdengar. Sehun mengerutkan dahinya,
mencoba mencerna maksud perkataan Ara. Matanya melirik ke belakang Ara, ada seorang
lelaki yang memakai topi hingga wajahnya nyaris tak terlihat berdiri disana. Sehun masih
tidak mengerti namun sedetik kemudian ia paham maksud perkataan Ara saat matanya
melihat tangan lelaki itu yang menyentuh bagian belakang tubuh Ara.

What the..??!!

Melihat hal itu, rahang Sehun mengeras. Tangannya memegang tangan lelaki itu yang tanpa
tahu malu menyentuh tubuh Ara seenak jidatnya. Lelaki itu cukup terkejut saat tangan Sehun
menarik tangannya lalu memelintirnya dengan keras hingga ia mengaduh kesakitan. Otomatis
hal ini menarik perhatian beberapa penumpang yang ada di dalam bus.

“Sialan kau!! Jauhkan tangan kotormu dari tubuhnya!! Aku bisa melaporkanmu ke polisi
karena tindakan pelecehan.” Sentak Sehun dengan tegas. Wajahnya kini sudah memerah
menahan amarah. Ia hampir saja akan memukul lelaki itu jika Ara tak segera menahannya.

“Jangan lakukan itu. Kau akan dituduh melakukan kekerasan jika begini. Aku baik-baik saja.”
Kata Ara setengah menahan tangis. Ia menjauhkan Sehun dari lelaki itu dan menyuruhnya
untuk berhenti.

“Dasar maniak. Harusnya orang sepertimu pergi saja ke neraka!!” Sehun masih tidak bisa
memaafkankan tindakan lelaki itu padahal lelaki itu sudah meminta maaf dan memutuskan
untuk turun dari bus saat berhenti di halte.

“Sudahlah. Orang-orang memperhatikan kita.” Ara mencoba menenangkan Sehun. Memang


ia marah dengan tindakan lelaki itu pada dirinya. Tapi ia paling tidak suka menjadi pusat
perhatian apalagi karena hal ini. Benar-benar memalukan.

“Kau tidak apa-apa ‘kan? Dimana bajing*an itu menyentuhmu?” tanya Sehun khawatir. Ia
melihat tubuh Ara seolah-olah takut ada satu bagian yang kurang darinya.

“Disini.” Ara menyentuh paha bagian belakangnya yang tadi disentuh oleh lelaki itu. Sehun
menghembuskan nafas kesal.
“Salahmu sendiri kenapa memakai rok sependek itu. Kau ingin menggoda para lelaki, huh?
Besok kau harus mengganti rokmu. Jika kau masih memakainya, maka aku sendiri yang akan
menggantinya dengan kedua tanganku.” Kata Sehun tegas. Lantas ia mendorong tubuh Ara
ke kursi di sebelahnya yang baru saja ditinggalkan penghuninya.

“Cih.. kata-katamu seolah kau memang kekasihku.” Cibir Ara karena ia merasa telinganya
sangat gatal mendengar Sehun mengatakan hal itu. Lelaki kasar dan pemarah seperti dia tahu
apa soal trend fesyen masa kini?

“Pakai ini.” Sehun mengabaikan kata-kata Ara dan meletakkan jaket yang tadi dikenakannya
untuk menutupi separuh paha Ara yang terlihat karena memakai rok pendek. Diam-diam Ara
memperhatikan Sehun yang berdiri di sampingnya tengah menatap kearah jalanan. Ia
menyentuh jaket milik Sehun yang ada di pangkuannya lalu tersenyum samar.

***

Mobil hitam itu berhenti di depan sebuah butik mewah di kawasan elit kota Seoul.
Penumpangnya, Park Hana, keluar setelah sopir pribadinya itu membukakan pintu untuknya.
Ia melangkah memasuki butik milik Ibunya yang segera disambut oleh beberapa pegawai
yang bekerja disana.

“Selamat siang, Nona Hana.” sapa seorang pegawai sambil membungkukkan badannya,
memberi hormat pada Hana.

Hana tersenyum ramah sambil terus berjalan. “Selamat siang juga.” Ia melihat-lihat sekeliling.
“Dimana Ibuku?” tanyanya saat tak melihat Ibunya.

“Beliau sedang ada tamu di ruangannya.” Jawab pegawai itu dengan sopan. Hana
mengangguk mengerti lalu mendudukkan dirinya di sofa yang ada disana. “Anda ingin
minum?” tawar pegawai itu.

“Boleh. Es teh lemon saja, ya.” Kata Hana yang dijawab dengan anggukan kepala oleh
pegawai itu.

Setelah pegawai itu pergi, Hana membuka ponsel yang sejak tadi di pegangnya. Ia membuka
akun SNSnya sambil melihat-lihat kiriman dari beberapa temannya dan ia terkejut saat
melihat Kai yang mengupload sebuah foto bersama seorang gadis di akun SNSnya. Dalam
kiriman itu tertulis ucapan terimakasih Kai atas kesediaan gadis itu menemaninya pergi. Hana
langsung kesal dan melempar ponselnya asal.

“Arrgghhh.. lelaki itu benar-benar menyebalkan. Setelah dia menolakku, dia mengupload foto
dengan seorang gadis? Yang benar saja!! Lagipula dia tidak lebih cantik dariku. Awas saja
kau, ya!!!!” cerocosnya sambil memukuli sofa yang ia duduki. Beberapa pegawai Ibunya
nampak memperhatikannya namun Hana tak begitu peduli karena ia sedang kesal dan marah
saat ini. Lelaki itu benar-benar membuat suasana hatinya tambah hancur.

“Sayang, kau baik-baik saja?” Hana menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara Ibunya.
Bisa ia lihat Ibunya yang baru saja mengantar tamunya keluar.

“Ibu.. aku sedang buruk saat ini.” Aku Hana, mencoba menampilkan seulas senyum kecut.
Ibu Hana menghampiri putrinya dan duduk disampingnya. “Ada masalah di sekolah?”
tanyanya sambil mengelus rambut panjang Hana.

“Begitulah.” Jawab Hana cepat. Ia sedang tidak ingin menceritakan masalahnya pada Ibunya.
“Owh.. siapa tamu Ibu barusan? Kelihatannya dia bukan orang biasa.” Hana mencoba
mengalihkan pembicaraan dengan menyinggung tamu Ibunya. Tadi ia sempat melihat
seorang wanita paruh baya yang memakai pakaian mewah berjalan keluar dari butik ini.

“Dia Im Subin. Kau pasti mengenalnya.” Kata Nyonya Park.

“Im Subin? Aktris dan penyanyi itu?” tebak Hana yang dijawab anggukan oleh Ibunya.
Seketika itu juga Hana langsung melupakan kesedihannya. “Ibu, aku adalah fansnya. Jika dia
kesini lagi, aku harus meminta tanda tangan dan berfoto dengannya.”

Nyonya Park tertawa melihat tingkah putrinya. “Kau bisa melakukan itu karena dia akan
sering kemari.”

“Eh? Memangnya dia pelanggan Ibu?”

“Tidak juga. Tapi dia sedang memesan gaun pengantin.”

“Gaun pengantin? Im Subin akan menikah?”

“Hmm”

***

Tak beberapa lama kemudian, bus yang ditumpangi Ara dan Sehun berhenti di halte dekat
rumah Ara. Mereka segera turun dan Ara langsung mengembalikan jaket itu pada Sehun. Ia
lantas berjalan pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun dan hal itu membuat Sehun
bingung hingga memutuskan untuk menyusul Ara.

“Hei, aku tidak bisa kita berpisah dengan cara seperti ini.” Sehun menarik tangan Ara hingga
tubuh Ara berbalik dan menghadap Sehun. Ara mengarjapkan matanya karena terkejut.
Padahal ia ingin segera pulang dan tidak mau berlama-lama dengan lelaki itu karena hal itu
akan membuatnya menjadi aneh. Tadi saja saat di dalam bus, Ara tak bisa tidak
memperhatikan Sehun dan itu membuatnya bingung dengan dirinya sendiri.

“Ada apa lagi?” Ara berusaha bersikap secuek mungkin. Jantungnya berdebar-debar cukup
kencang saat ini apalagi Sehun terus saja menatapnya.

“Kau marah padaku?” tanya Sehun. Ia sendiri tidak begitu yakin kenapa ia bertanya begitu.
Mungkin ia hanya ingin memastikan apakah Ara baik-baik saja setelah kejadian di sekolah
dan di bus yang menimpa dirinya.

Mendengar hal itu Ara mendengus kesal. “Menurutmu? Sudahlah, aku mau pulang.” Kata
Ara cepat. Ia melepaskan pegangan tangan Sehun lalu kembali berjalan. Dilihatnya
tangannya yang tadi dipegang oleh Sehun. “Huh, aku pasti sudah gila.” Rutuknya.
Jujur saja, ia marah dengan Sehun. Terlebih, karena lelaki itulah ia jadi mendapatkan masalah
dengan Jihyun. Jika saja Sehun tidak mendekatinya, ia pasti bisa belajar dengan tenang di
sekolah tanpa di ganggu oleh siapapun dan kembali bersama Yian. Tapi semua rencananya
gagal dan ia malah mendapatkan masalah baru. Mungkin memang benar jika Ara mengatakan
bahwa Sehun adalah lelaki pembawa sial. Pasalnya, saat ia bersama dengan Sehun, ia selalu
saja sial. Tapi mengingat kejadian di bus tadi, saat Sehun menolongnya dan meletakkan jaket
di pahanya, ia merasa begitu tersanjung dan harus Ara akui, Sehun cukup gentle juga sebagai
seorang lelaki. Uh, apa-apaan ini? Kenapa ia jadi memuji lelaki kasar itu?

“Tidak boleh. Aku tidak boleh terpesona dengannya.” Ara menggelengkan kepalanya pelan
untuk mengusir pikiran aneh itu dari kepalanya. Lalu tanpa sadar, ia menoleh ke belakang
untuk melihat Sehun dan menemukan fakta bahwa lelaki itu sudah tidak disana. Mungkin
sudah pergi atau menghilang. Aduh, kenapa Ara jadi memikirkan lelaki itu lagi? Ara
memukul pelan kepalanya.

***

“Nuna, kau ada waktu?”

Ara masih tiduran di dalam kamarnya sore itu saat kepala Jaehyun melongok ke dalam
kamarnya lalu berjalan memasuki kamarnya. Ia bangkit dari posisi tidurannya dan melihat
Jaehyun yang mendudukkan dirinya di ranjang, tepat di sampingnya.

“Memangnya kenapa?” tanya Ara penasaran.

Jaehyun tersenyum dengan wajah polosnya lalu menunjukkan selembar uang senilai lima
puluh ribu won. “Lihat.. Ayah memberiku uang setelah melihat hasil ulanganku.” Katanya
dengan penuh kegembiraan.

“Bagus. Kau memang pandai.” Kata Ara sambil memberikan dua jempol tangannya.

“Mau membeli es krim bersamaku?” tawar Jaehyun. Ara mengerutkan keningnya.

“Kau mau mentraktirku dengan uang itu?” tanyanya keheranan. Tumben sekali bocah kecil
itu baik padanya.

“Tentu saja. Kau tidak mau? Jika tidak mau yasudah, aku bisa memberikannya pada Hyung.”
Kata Jaehyun cepat. Ia langsung bangkit dari ranjang dan mulai berjalan. Segera Ara ikut
bangkit dan mencegahnya.

“Hei, aku belum menjawabnya kenapa kau langsung menyimpulkannya begitu?” tanya Ara
kesal. Benar ‘kan katanya, Jaehyun tidak sebaik itu. “Aku mau. Kita akan pergi setelah aku
selesai berganti pakaian.” Sambungnya.

Jaehyun mencibir. “Kau sangat suka dengan namanya gratisan. Kau dan Ibu sama saja.”
Cibirnya, lantas berjalan keluar.

“Huh.. dasar setan kecil.” Sungut Ara. Tapi sedetik kemudian ia tersenyum miring. “Nanti
aku mau memilih es krim yang paling mahal dan enak mumpung dia masih berbaik hati
padaku. Hahaha..”
***

“Waah, enak sekali.” Kata Ara dengan semangat. Ia kembali memakan es krim rasa coklat
stoberry yang dibelikan Jaehyun dengan lahap.

“Nuna, kau curang. Kau sengaja ‘kan memilih es krim yang paling mahal?” Jaehyun yang
duduk disamping Ara cemberut. Mereka kini sedang duduk di taman kota sambil memakan es
krim yang baru mereka beli.

Ara berhenti memakan es krimnya dan menoleh. “Kau sendiri yang bilang jika aku boleh
memilih sesukaku. Lagipula aku suka, ini sangat enak.” Katanya, membela dirinya sendiri.

Jaehyun masih saja cemberut. “Jika bukan karena Nuna mengajariku matematika, aku tidak
akan mentraktirmu.”

“Sudahlah, jangan marah begitu. Aku akan membelikanmu es krim kapan-kapan jika aku
punya uang.” Ara mengusap rambut Jaehyun pelan sambil tersenyum manis. Itu adalah
triknya untuk membuat Jaehyun tidak marah padanya.

Dan benar saja, seulas senyum langsung terukir di wajah polos Jaehyun. “Benarkah? Janji,
ya.”

“Janji.” Ara menunjukkan jari kelingkingnya. Lalu sesuatu terlintas di kepalanya. “Jaehyun,
apa yang akan kau lakukan jika ada orang yang memukulmu?” tanyanya tiba-tiba. Ia teringat
dengan kejadian tadi di sekolah.

“Tentu saja aku akan membalasnya. Jika temanku melakukan hal itu, aku akan membalasnya
dua kali lipat.” Jawab Jaehyun polos.

“Bukankah itu tidak boleh?”

“Ayah bilang, jika temanmu menyakitimu, maka kau harus membalasnya dua kali lipat.”
Kata Jaehyun sambil menirukan gaya bicara Ayahnya.

Ara memasang wajah bingungnya. “Huh? Paman Jongjin pernah mengatakan hal itu? kenapa
ia mengajari anaknya seperti itu?” gumamnya.

“Memangnya ada yang memukulmu, ya?” tanya Jaehyun mulai penasaran.

Ara menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku hanya bertanya. Kemarin aku melihat temanku
dipukul oleh seseorang tapi dia hanya diam dan tidak berani melawan.” Kata Ara, sedikit
berbohong. Masa iya ia mau mengaku jika ialah yang dimaksud?

“Nuna, jika ada yang memukulmu, beritahu aku dan aku pasti akan membalasnya untukmu.”
Kata Jaehyun dengan nada penuh percaya diri, membuat Ara langsung tertawa melihat
tingkah lucu adik sepupunya itu.

“Baiklah..” katanya singkat. Tawa Ara tiba-tiba berhenti saat ia melihat sosok wanita yang
sangat ia kenal tengah memasuki sebuah mobil mewah. Walaupun dari jauh, Ara bisa
mengenali sosok wanita tersebut dan tanpa pikir panjang langsung mendekatinya. Ia berlari
kearah wanita itu namun terlambat karena wanita itu sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil
dan mobil yang ia tumpangi pun juga sudah melaju. Ara melihat kepergian mobil itu sambil
bergumam.. “Bukankah itu Ibu?”

***

Pagi harinya, saat memasuki gerbang sekolah, Ara bertemu dengan Hana yang baru saja
keluar dari mobil. Ia melambaikan tangannya pada Hana dan menghampirinya. Hana
tersenyum melihat Ara.

“Selamat pagi..” sapa Hana dengans senyum yang masih terkembang diwajahnya.

Ara membalas senyuman Hana. “Pagi juga. Kau terlihat bahagia pagi ini.” Komentar Ara.
Mereka lalu berjalan bersama sambil bergandengan tangan.

“Aku memang sedang bahagia. Kau tahu? Kemarin aku bertemu dengan Im Subin di butik
Ibuku.” Kata Hana, menceritakan kejadian kemarin saat di butik. Padahal ia tak sepenuhnya
bertemu dengan wanita itu.

“Im Subin yang bermain di drama Moment of Farewell itu?” tanya Ara. Itu adalah salah satu
drama kesukaannya. *Mian, judul dramanya ngarang abis*

Hana mengangguk ringan. “Iya. Dan kau tahu? Dia memesan gaun pengantin rancangan
Ibuku.”

“What? Jadi dia akan menikah? Ku pikir dia sudah menikah.” Ara sedikit terkejut dengan
informasi yang diberikan Hana.

“Hei, kau tidak tahu, ya? Dulu ia pernah menikah tapi sudah bercerai. Ku dengar anaknya itu
sudah besar.” Hana berbisik di telinga Ara agar tidak ada yang mendengar percakapan
mereka.

“Sungguh? Tapi dia masih terlihat cantik dan awet muda.” Komentar Ara sambil mengingat-
ingat wajah artis terkenal itu.

“Yup. Tepat sekali.” Sambung Hana dengan semangat.

Disisi lain…

“Hei, apa maksudnya ini?” Sehun menunjukkan ponselnya yang berisi foto yang diunggah
Kai di akun SNSnya. Kai melihat sekilas foto itu lalu tertawa.

“Bukan apa-apa.” Jawabnya enteng. Ia terus saja berjalan berdampingan dengan Sehun.

“Terimakasih Minah karena sudah menemaniku hari ini..” Sehun membaca isi kiriman Kai.
“Cih, memangnya adikmu menemanimu kemana?” cibirnya dengan wajah mengejek.

Kai mengendikkan bahunya. “Itu hanya sebuah kebohongan. Aku melakukannya agar Hana
menjauhiku.” Katanya beralasan.
“Kau masih menghindarinya? Merasa bersalah karena sudah menolaknya?” Tebak Sehun.

“Sudahlah, jangan dibahas lagi. Eh, itu kekasihmu.” Kata Kai sambil menunjuk Ara yang
berjalan di depan mereka dengan Hana. Sehun mengikuti arah pandang Kai lalu tersenyum
lebar.

“Hei, Kim Ara….” tiba-tiba Sehun berteriak dan memanggil nama Ara.

Ara dan Hana yang sedang berbincang-bincangpun menoleh dan langsung terkejut saat
mengetahui jika Sehunlah tersangka utama dari teriakan itu.

“Huft.. dia lagi. Benar-benar menyusahkan harus melihatnya sepagi ini.” Gumam Ara sambil
memutar bola matanya dengan malas. “Hana, kurasa aku-“

“Aku masuk ke kelas dulu, Ara. Sampai jumpa nanti..” potong Hana cepat. Ia tak
membiarkan Ara menyelesaikan kalimatnya dan memilih untuk meninggalkan tempat itu saat
ia melihat Sehun bersama Kai. Suasana hatinya akan buruk lagi jika ia melihat wajah Kai
kembali, dan untuk saat ini Hana benar-benar ingin menghindarinya walaupun tidak mungkin.

“Gadis itu, kenapa dia?” gumam Ara menatap kepergian Hana. Ia lalu merasakan Sehun yang
sudah berdiri di depannya dengan Kai yang mengikutinya. “Ada apa?” tanya Ara dengan
ketus.

“Hei, bisakah kau mengganti pertanyaanmu itu? aku bosan mendengarmu bertanya ‘Ada apa’
padaku setiap kali kita bertemu.” Cibir Sehun. Ara hanya diam karena tak ingin berdebat
dengan lelaki itu.

“Baiklah. Kalau begitu aku akan pergi.” Kata Ara cepat dan bersiap untuk kembali
melangkah.

“Tunggu.” Sehun mencegah kepergian Ara. Ia mendekati Ara dan mengambil sesuatu dari
saku celananya. Ternyata itu adalah nametag yang bertuliskan nama Ara lalu memasangnya
pada blazer yang Ara kenakan.

“Eh.. nametag-ku?” Ara menyentuh nametag yang baru saja dipasangkan oleh Sehun. Ia
menatap Sehun keheranan.

“Bukankah kau bilang jika kau menghilangkannya? Aku meminta Paman Sungjoon untuk
membuatkan ini lagi. Ku harap kau tidak menghilangkannya lagi.” Kata Sehun dengan
senyum manis yang terukir di wajahnya. Ia mengacak rambut Ara sebentar lalu pergi
meninggalkan Ara yang masih dilanda keheranan.

Kembali Ara menyentuh nametag itu. “Dia memberikan ini padaku?” gumamnya, bertanya
pada dirinya. Semburat kemerahan muncul di pipinya dan ia tersenyum sendiri tanpa
mengetahui jika ada seseorang yang berdiri tak jauh darinya. Lee Yian.

Dari tempatnya berdiri yang hanya berjarak satu meter dari Ara berada, Yian sedikit
menyembunyikan dirinya di balik pilar penyangga gedung sekolah. Ia baru saja melihat
dengan mata kepalanya sendiri jika Sehun memasangkan name tag pada Ara. Dilihatnya
benda kecil berbentuk persegi panjang yang ada dalam genggamannya itu. Yian mengepalkan
tangannya yang lain dengan wajahnya kembali menatap Ara yang masih tersenyum-senyum
sendiri d tempatnya berada. Rahang Yian mengeras, ia lantas melempar nametag milik Ara
yang berhasil ia rebut dari Jihyun itu ke tempat sampah.

“Oh Sehun, kau benar-benar…”

TBC

HAPPY READING

**

“Cinta pertama menyakitkan. Dan cinta tak berbalas menghancurkan hati…” –FBND-

**

Pagi itu Yian nampak berjalan seorang diri di sepanjang koridor sekolah. Sesekali ia
tersenyum ramah saat ada siswa lain yang menyapanya. Ia memang cukup terkenal di sekolah
ini, jadi tak heran jika banyak yang mengenalnya. Terlebih bagi beberapa gadis, Yian
termasuk ke dalam tipe mereka karena sifatnya yang baik pada wanita dan kalem. Perhatian
Yian teralih saat ia melihat Ara yang sedang berjalan bersama tak jauh di depannya. Ia jadi
teringat akan name tag yang ia ambil dari Jihyun waktu itu dan berniat untuk
mengembalikannya karena gadis itu pasti akan mencarinya. Diambilnya nametag yang ia
simpan dari dalam ranselnya dan melihatnya sambil tersenyum. Lantas ia mempercepat
langkahnya. Namun baru beberapa langkah, ia menghentikannya karena melihat Sehun dan
Kai yang menghampiri Ara.

Tak ingin terlihat, Yian menyembunyikan tubuhnya di balik pilar penyangga gedung sekolah
yang ada di sisi kanan sepanjang koridor ini. Bisa dipastikan mereka tidak bisa melihat Yian
namun Yian dengan jelas bisa melihat apa yang sedang mereka lakukan. Yian melihat dengan
mata kepalanya sendiri saat Sehun memasangkan sesuatu di blazer Ara dan bagaimana reaksi
Ara saat mengetahui bahwa itu adalah nametag atas namanya yang sengaja Sehun buatkan
untuknya. Sangat jelas dalam mata Yian jika Ara merasa senang sekaligus tersanjung
diperlakukan seperti itu. Tiba-tiba saja amarah Yian jadi meluap. Ia menatap nametag dalam
genggamannya dengan wajah kesal. Rahangnya mengeras saat melihat kembali wajah
bahagia Ara akibat perlakuan Sehun. Entah mengapa ia merasa tidak suka melihat Ara yang
bahagia karena lelaki lain. Ia merasa apa yang akan ia lakukan sudah tidak berguna lagi.
Lantas ia membuang nametag itu ke dalam tempat sampah sambil melihat punggung Sehun
yang sudah berjarak cukup jauh darinya.

“Oh Sehun, kau benar-benar….”

CHAPTER 11

“Apa yang sedang kalian lakukan?”


Ara kebingungan setengah mati saat menemukan seluruh teman sekelasnya berdiri di dekat
pintu masuk kelas sambil menatap dirinya yang baru saja memasuki kelas. Ara merasa
dirinya begitu diperhatikan dari awal ia masuk ke dalam kelas sampai dirinya berhasil duduk
di bangkunya.

“Kim Ara, apa benar kau berpacaran dengan sunbae itu?” Yumi langsung bertanya tanpa aba-
aba mewakili seluruh temannya. Mereka memang sudah mendengar kabar itu dan melihatnya
sendiri bagaimana kedekatan Ara dengan kakak kelas mereka yang sangat terkenal itu, tapi
mereka belum mengonfirmasikannya dengan Ara karena Ara selalu mengelak hal itu.

“Itu….” Ara bingung harus menjawab apa.

“Sudahlah, Ara. Jangan mengelak lagi. Jawab saja dengan jujur.” Potong salah satu teman
sekelas Ara yang disambut dengan koor persetujuan oleh yang lainnya, membuat Ara
semakin terpojok dan bingung harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak.

“Ayo jawab, Kim Ara! Jika kau diam begitu, kami tidak akan menganggapmu teman sekelas
kami.” Ancam yang lainnya, hingga membuat Ara terkejut saat mendengarnya.

Apa mereka bercanda? Atau mereka tidak punya pikiran? Masa hanya karena ia tidak mau
menjawab maka ia tidak dianggap teman sekelas mereka? Apa jangan-jangan sifat orang kaya
memang begitu? Selalu seenaknya sendiri?

“Itu… Sebenarnya terserah kalian mau mengartikannya bagaimana. Aku memang kenal
dengan sunbae brengsek itu, tapi hubungan kami tidak seperti itu.” kata Ara, menjawab yang
sejujurnya. Hei, ia memang tidak menganggap jika ia berpacaran dengan Oh Sehun. Lelaki
itu sendiri yang menggapnya demikian.

“Yak!! Berani-beraninya kau mengatai Sehun Oppa brengsek!!!” sentak seorang gadis yang
sejak tadi diam. Ia terlihat marah dengan perkataan Ara dan bisa ditebak jika gadis itu adalah
fansnya Sehun. Itu menurut penglihatan Ara.

“Ah, sudahlah. Kalian tenang saja, aku tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Jadi,
bisakah kalian bersikap biasa-biasa saja?” tanya Ara dengan suara yang keras. Ia tidak suka
menjadi pusat perhatian apalagi yang diperhatikan adalah hubungannya dengan Sehun. Hal
itu benar-benar akan mengganggunya.

“Iyadeh…” jawab teman-teman sekelas Ara serempak. Mereka terlihat enggan namun tetap
membubarkan diri mereka. Ada yang kembali ke tempat duduknya dan ada beberapa yang
memilih keluar kelas sambil menunggu guru mata pelajaran pertama masuk.

Diam-diam Yumi memperhatikan Ara sambil berjalan menuju bangkunya. Ia ingin tahu lebih
banyak mengenai teman sebangkunya yang menurutnya sangat misterius. Selama ini, Ara
selalu diam saat di kelas dan tidak pernah menceritakan apapun mengenai hidupnya ataupun
tentang keluarnya. Ia hanya akan membahas masalah pelajaran dan tidak ada bahan lain
untuk diperbincangkan.

“Ara…” panggil Yumi. Ara yang sedang membalas pesan dari Hana, menoleh dan menatap
Yumi. “Sebenarnya kau itu siapa? Kau berteman dekat dengan Park Hana dan berpacaran
dengan Oh Sehun. Apa kau sehebat itu?”
***

Suasana di kelas 2-A terlihat kondusif dan tenang karena jam belajar mengajar sedang
berlangsung. Seorang guru wanita tampak sibuk menulis sesuatu di papan tulis sedangkan
siswa-siswinya tampak memperhatikan apa yang sedang ditulis oleh sang guru tanpa ada
seorangpun yang bersuara. Benar-benar terlihat seperti suasana kelas yang sesungguhnya
dimana seluruh siswanya memiliki kesadaran dan semangat belajar yang tinggi.

“Perhatian.. Aku sudah membagi kalian ke dalam beberapa kelompok. Minggu depan, aku
ingin kalian mempresentasikan hasil analisa kalian bersama pasangan kalian.” Kata guru itu
setelah selesai menulis. Semua siswa nampak paham dan menganggukkan kepalanya.

“Songsaenim..” Kai tiba-tiba mengangkat tangannya membuat ia menjadi pusat perhatian di


dalam kelas.

“Ya, Kim Jongin?”

“Aku tidak mau berpasangan dengan Park Hana.” kata Kai dengan wajah serius sambil
melihat tulisan namanya dan nama Hana yang berada di dalam kelompok yang sama. Hana
yang duduk tak jauh di depannya, langsung menoleh ke belakang dengan wajah terkejut
sekaligus kesal.

“Kenapa memangnya? Kau tidak suka dengan Park Hana?” tanya sang guru penasaran.

Mata Kai menangkap Hana yang tengah melihatnya. Ia lantas mengalihkan tatapannya,
menghindari agar tidak bertemu pandang dengan Hana. “Aku merasa tidak nyaman jika
dengannya.” Aku Kai yang sekali lagi membuat Hana terkejut.

Tidak nyaman, katanya? Hana mengulangi kalimat itu dalam hatinya. Ia benar-benar tidak
mengerti kenapa Kai sampai mengatakan hal seperti itu. Jika tidak mau berpasangan
dengannya, bilang saja dan tidak usah memberikan alasan yang tidak masuk akal. Tidak
nyaman? Harusnya Hana yang mengatakan itu apalagi setelah Kai menolak cintanya.

Guru itu nampak mengangguk mengerti. Ia mengalihkan tatapannya pada Hana. “Park Hana,
bagaimana denganmu? Kau mau berpasangan dengan Kim Jongin?”

“Jika dia tidak mau, maka saya juga tidak mau. Saya tidak mau berpasangan dengan orang
yang tidak nyaman dengan saya karena hal itu akan mengganggu hasil presentasi kami. Saya
tidak mau, hanya karena satu orang, nilai saya terancam buruk.” Ungkap Hana yang sengaja
menyindir Kai. Ia merasa tidak terima diperlakukan seperti itu.

“Baiklah. Kalau begitu, Kim Jongin akan berpasangan dengan Park Chanyeol dan Park Hana
akan berpasangan Jung Soojung. Semuanya sudah jelas?” kata sang guru mengemukakan
keputusannya yang dijawab anggukan kepala oleh seisi kelas. “Baiklah, pertemuan hari ini
kita akhiri sampai disini.” Sambungnya lalu berjalan meninggalkan kelas Hana.

***

Jam istirahat sudah berbunyi. Semua siswa berhampuran keluar dari kelas mereka setelah
bergelut dengan pelajaran yang membuat kepala sakit dan perut terasa lapar. Lantas
kebanyakan dari mereka pergi menuju kantin untuk mengisi perut yang sudah kosong karena
digunakan untuk berpikir seharian.

Sama halnya dengan Sehun, ia dan Kai sudah beranjak dari tempat duduk mereka dan hendak
berjalan keluar dari kelas. Namun Sehun menghentikan langkahnya dan berbalik menatap
Yian yang masih duduk di tempat duduknya sambil membaca komik. Sehun mendekati
teman baiknya itu dan menepuk bahu lelaki itu pelan.

“Kau tidak ingin makan siang?” tanya Sehun. Yian menghentikan kegiatannya sejenak dan
menatap Sehun dengan pandangan yang berbeda.

“Tidak. Pergilah sendiri.” jawabnya dingin. Sehun bahkan sampai terkejut mendengar nada
bicara Yian. Ia lalu mendudukkan dirinya pada kursi di depan Yian.

“Kau kenapa? Jika kuperhatikan, sejak tadi pagi kau hanya diam. Bahkan saat ku sapa, kau
malah mengacuhkanku.” Tanya Sehun baik-baik. Ia tidak mengerti kenapa temannya ini
terlihat sangat aneh hari ini.

“Apa kau ada masalah?” tanya Kai, yang sejak tadi hanya diam.

“Tidak. Aku hanya sedang tidak ingin melakukan apapun. Kalian, pergilah kekantin sana.”
Jawab Yian. Masih mempertahankan nada dinginnya.

Mau tak mau, Sehun dan Kai menuruti apa yang dikatakan Yian. Mereka beranjak pergi
walau tanda tanya besar masih menghantui pikiran mereka. Tidak biasanya Yian begitu.
Sehun ingin sekali tahu apa yang terjadi pada Yian, namun ia tidak ingin memaksa lelaki itu
bercerita jika memang ia tidak mau. Ia mencoba menghargai keinginan temannya. Ah, Oh
Sehun terlihat lebih manusiawi jika menyangkut soal teman baiknya.

“Omong-omong, kau tidak pantas bersanding dengan Kim Ara.”

Langkah kaki Sehun terhenti mendengar apa yang dikatakan Yian. Ia kembali berbalik
menatap Yian yang tengah menatapnya dengan pandangan yang sukar diartikan. Sehun
terdiam menunggu lelaki itu kembali mengeluarkan suara, namun Yian hanya diam dan
Sehun menatap lelaki itu dengan tajam.

***

Ara, maaf aku tidak bisa pergi ke kantin siang ini karena suatu hal. Kau bisa kesana sendiri
‘kan?

Sambil berjalan keluar dari kelas, Ara membaca pesan singkat yang baru saja Hana kirimkan
padanya. Ia sempat bingung karena tidak biasanya Hana seperti ini namun ia berusaha
memahaminya dan hanya menjawab bahwa ia mengerti. Ara lantas membalikkan tubuhnya,
berniat berbalik arah karena sebelumnya ia berencana untuk menghampiri Hana di kelasnya
sebelum ke kantin. Namun alangkah terkejutnya ia saat melihat Sehun yang sudah berada di
hadapannya. Apa dari tadi Sehun mengikutinya?
“Hai, sayang..” sapa Sehun dengan senyuman manis yang demi Tuhan, Ara bisa pastikan ia
akan meleleh jika terus menerus melihat lelaki setampan Sehun tersenyum kearahnya. Hanya
untuknya.

Sebisa mungkin Ara memasang wajah juteknya. “Ada yang bisa kubantu?” tanyanya. Ia
sengaja mengubah pertanyaan saat mengingat percakapan terakhirnya dengan Sehun tadi pagi.

“Kau benar-benar mengubah pertanyaanmu.” Kata Sehun sambil mengelus rambut Ara
perlahan, membuat Ara risih dan segera menyingkirkan tangan Sehun.

“Jangan lakukan itu. Ini tempat umum.” Ujarnya memperingatkan yang membuat Sehun
terkekeh pelan.

“Tidak apa. Mereka akan memahaminya.” Jawab Sehun enteng. “Kau mau kemana?”

“Kembali ke kelas.” Jawab Ara singkat.

“Ayo kita pergi ke kantin. Aku sangat lapar.” Ajak Sehun, sambil mengelus perutnya dan
menarik tangan Ara untuk berjalan menuju kantin.

“Yak! Kau bisa mengajak temanmu pergi kesana. Aku tidak lapar.” Tolak Ara dengan tegas.
Ia sengaja menghentikan langkahnya hingga membuat Sehun berbalik dan menatapnya.

“Aku bosan pergi ke kantin dengan mereka. Lagipula, kita ‘kan sepasang kekasih, apa
salahnya pergi bersama? Aku yang traktir. Kau bisa memilih makanan sesukamu.”

Mendengar kata ‘traktir’, sedikit demi sedikit Ara mengubah keputusannya. Ada untungnya
juga jika ia ke kantin bersama Sehun. Ia bisa memilih makanan sesukanya dan itu gratis.
Membayangkannya saja sudah membuat cacing-cacing yang ada di dalam perut Ara meronta-
ronta meminta diberi asupan makanan. Hitung-hitung, ia bisa menghemat uang saku yang
diberikan Ibunya. Tapi, jika ia pergi bersama dengan Sehun, apa tidak apa-apa? Maksudnya,
bagaimana dengan Jihyun dan teman-teman sekelasnya yang mungkin juga ada disana? Ia
tidak ingin menjadi pusat perhatian banyak orang.

“Hei, kita jadi ke kantin tidak?” Sehun menoyor(?) kepala Ara saat melihat gadis itu hanya
diam dan tidak melakukan apapun. Bisa Sehun pastikan Ara sedang melamun karena itu
terlihat jelas dari wajahnya.

“Eh? Bagaimana ya?” Ara malah balik bertanya seperti orang linglung. Jujur, ia seperti
sedang dilema.

“Sudah, jangan berpikir. Lebih baik kita makan.” Kata Sehun akhirnya karena Ara masih saja
diam. Ia benar-benar lapar dan tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Sedangkan Ara,
terpaksa menuruti permintaan dan berjalan di belakang lelaki itu.

Sepanjang perjalanan menuju katin, banyak yang memperhatikan Ara dan Sehun dan
bertanya-tanya apa yang sedang mereka lalukan. Ara bisa mendengar dengan jelas bisik-bisik
dari beberapa siswi yang memandangnya dengan tatapan tidak suka. Ia jelas merasa risih
dengan hal itu. Bukankah sudah aku katakan berulang kali jika Ara tidak suka menjadi pusat
perhatian? Ia lebih memilih menjadi tidak terlihat dan tidak dianggap daripada diperhatikan
karena nantinya ia sendiri yang akan merasakan ketidaknyamanan itu. Selama bertahun-tahun,
Ara terbiasa hidup menjadi sesorang yang tidak dipandang, jadi ia tidak begitu menyukai
keadaan yang sekarang.

“Kau mau makan apa? Biar aku pesankan.” Tawar Sehun saat mereka sudah sampai di kantin.
Ara melihat-lihat sekeliling dan bingung harus memesan apa.

“Sama denganmu saja.” Katanya. Sehun hanya mengangguk dan berjalan menuju ke salah
satu stand. Tiba-tiba saja Ara merasakan ponsel yang ada dalam saku blazernya bergetar. Ia
mengambilnya dan melihat Ibunya menghubunginya. “Sunbae, aku harus mengangkat
telepon dulu.” Kata Ara sambil menunjukkan ponselnya pada Sehun. Sehun mengerti dan Ara
pun berjalan menuju toilet yang letaknya tak jauh dari kantin.

“Iya, Bu?” katanya begitu ia sudah masuk ke dalam salah satu bilik toilet.

“Kenapa lama sekali mengangkatnya?” tanya Ibu Ara dari seberang.

“Maafkan aku. Aku sedang berada di kantin. Kenapa Ibu meneleponku di jam seperti ini?”

“Tidak apa. Ibu hanya ingin tahu perkembangan sekolahmu saja. Apa semuanya baik-baik
saja?”

“Iya. Aku belajar dengan baik. Tumben Ibu bertanya begitu.” Kata Ara keheranan. Pasalnya,
Ibunya itu bukanlah tipe orang yang akan menanyakan tentang keadaan anaknya di sekolah.
Tentang apakah anaknya belajar dengan baik atau berapa nilai ulangan yang di dapatkannya.
Ibu Ara selama ini cuek bahkan terkesan tidak peduli dengan keseharian Ara di sekolah, yang
terpenting adalah Ara bisa lulus dengan baik. Ya, itulah Hwang Miyoung. Sebelas-duabelas
dengan Bibi Nayoung.

“Owh, baguslah. Tidak apa-apa. Kau harus ingat jika kau bisa sekolah disana karena
mendapat beasiswa. Jadi pertahankan prestasimu dan jangan membuat Ibu malu.”nada
bicara Ibu Ara terdengar serius.

“Iya, Bu. Aku tidak akan membuat Ibu malu. Lagipula, kapan aku melakukannya? Bukankah
tidak pernah?”

“Memang tidak pernah dan jangan sampai. Kau sudah makan?”

“Aku akan makan tapi Ibu lebih dulu menghubungiku.”

“Baiklah. Aku akan menutup teleponnya.” Kata Ibu Ara saat tiba-tiba Ara teringat sesuatu.

“Tunggu, Bu. Aku ingin bertanya satu hal pada Ibu.” Cegah Ara agar Ibunya tidak menutup
telepon lebih dulu.

“Hmm?”

“Apa kemarin Ibu pergi ke Seoul? Aku melihat seseorang yang sepertimu masuk ke dalam
mobil mewah.” Tanya Ara sambil mengingat kejadian kemarin sore.
Terdengar Ibunya seperti menahan nafas di seberang. Ada keheningan yang lama diantar
keduanya. “Bukan. Kau pasti salah lihat. Terlebih, mana mungkin Ibumu naik mobil mewah.
Sudah ya, Ibu harus membuka kedai.” Kata Ibunya dan langsung mematikan sambungan
telepon. Ara melihatnya dengan kecewa.

“Ibu terlihat mencurigakan.” Gumamnya sambil menatap ponselnya. Dari nada bicaranya,
Ara yakin jika Ibunya itu sedang mencoba menyembunyikan sesuatu. Dan Ara sangat yakin
seratus persen, jika wanita yang dilihatnya kemarin memasuki mobil mewah itu adalah
Ibunya. Ia benar-benar yakin dan tidak mungkin. Mana mungkin ia salah mengenali
seseorang yang sudah melahirkannya dan merawatnya selama tujuh belas tahun? Ara sangat
yakin akan hal itu. Tapi jika benar itu memang Ibunga, mau kemana dia?

Sekali lagi Ara hanya bisa menyimpan pertanyaan itu dalam kepalanya. Tidak mungkin ia
akan mendesak Ibunya untuk mengaku jika Ibunya saja tidak mau berkata jujur padanya.
Atau mungkin, ia yang salah lihat? Ah, entahlah. Omong-omong, Ara sudah terlalu lama
berada di dalam toilet. Sehun pasti akan mencarinya. Jadi ia memutuskan untuk tidak terlalu
memikirkan masalah itu dan keluar dari bilik toilet. Namun, sialnya ia karena ia kembali
bertemu Jihyun di dalam toliet.

“Owh, kau ternyata.” Jihyun agak terkejut saat melihat Ara keluar dari salah satu bilik toilet.
Ara memasang sikap waspada. “Aku berpikir pernah mendengar suara itu sebelumnya.”
Sambungnya.

“Maksudmu?” Ara mengerutkan keningnya.

“Eh? Namamu Kim Ara?” Jihyun melihat nametag di blazer Ara dan cukup terkejut. Ara
langsung sadar dan menutupi nametagnya dengan tangannya. “Apa kita pernah kenal
sebelumnya?” Jihyun memicingkan matanya sambil menelusuri lekuk wajah Ara.

Ara menjauhkan tubuhnya sedikit ke belakang. “Aku hanya tau jika kau adalah Han Jihyun.
Gadis kasar yang suka mengganggu orang lain.” Jawab Ara dengan nada menantang. Jihyun
mengepalkan tangannya dengan kesal.

“Hei, mulutmu pedas juga ya.” Sindir Jihyun sambil menatap Ara dengan tatapan tajam. Ara
tak mau kalah dan balik menatapnya. Ia sedang berusaha menerapkan perkataan Jaehyun
kemarin.

‘Jika ada yang memukulmu, maka kau harus membalasnya dua kali lipat..’

“Memangnya apa urusanmu? Kenapa kau suka sekali mencampuri urusan orang lain?” tanya
Ara. Jihyun terdiam dan kesempatan itu digunakan Ara untuk keluar dari toilet.

“Hanya karena Sehun ada membelamu kemarin, kau jadi berani padaku?”

Langkah kaki Ara terdengar mendengar pertanyaan Jihyun. Ia membalikkan badannya dan
kembali bertatapan dengan mata Jihyun yang masih menatapnya tajam.

“Seseorang pernah mengatakan padaku, jika ada yang memukulmu, maka kau harus
membalasnya dua kali lipat. Dan ku pikir, orang itu ada benarnya juga.” Kata Ara dengan
tenang seolah ia sudah siap bertarung dengan Jihyun.
“Kau sudah mulai sombong rupanya. Hanya karena Sehun berkencan denganmu, bukan
berarti kau sudah menjadi separuh jiwanya. Bagaimana jika Sehun hanya mempermainkanmu
saja? Memanfaatkanmu mungkin?”

Rasa percaya diri yang sudah Ara kumpulkan tiba-tiba saja runtuh saat mendengar Jihyun
mengatakan hal paling tidak ingin ia dengar. Kemungkinan Sehun mempermainkannya dan
hanya memanfaatkannya saja? Ara memang masih bingung dan kadang heran sendiri dengan
sikap Sehun. Tiba-tiba saja mengajaknya berpacaran lalu segala sikap manisnya yang terlihat
begitu tidak nyata baginya. Jika dipikir memang agak mencurigakan. Namun Ara tidak mau
berpikir kesana dan menganggap mungkin Sehun sudah berubah. Terlebih ia mulai menyukai
sikap-sikap manis dan perhatian yang Sehun berikan padanya. Apalagi sejak Sehun
menolongnya dari Jihyun, Ara merasa bahwa Sehun begitu keren dan sangat bisa diandalkan.
Tapi, jika apa yang Jihyun katakan benar, apakah semuanya hanya kepura-puraan belaka?

“Han Jihyun, kenapa kau sangat suka mengurusi urusan orang lain?” tanya Ara setelah lama
terdiam. Ia meyakinkan dirinya bahwa Jihyun pasti hanya memanas-manasinya saja. “Lebih
baik, urus dirimu.” Sambungnya lalu berlalu dari hadapan Jihyun. Sedangkan Jihyun,
menatap kepergian Ara dengan wajah merah padam.

Dengan langkah cepat, Ara berjalan kembali menuju kantin. Ia sudah cukup lama berada di
toliet terlebih karena ada Jihyun, ia jadi menghabiskan banyak waktunya untuk meladeni
gadis itu. Ara mencengkeram nametagnya dan tak bisa dipungkiri ia merasa ketakutan jika
Jihyun akan mengenalinya dan semua hal yang ia sembunyikan akan terbongkar. Terlebih, ia
sudah memiliki kesan tidak baik dengan gadis itu dan kedepannya pasti akan sangat
merugikan bagi dirinya jika Jihyun sampai tahu. Mungkin akan lebih baik jika Ara tidak
berurusan kembali dengan gadis itu.

Ara sudah sampai di kantin dan ia melihat Sehun yang sedang duduk di salah satu bersama
Baekhyun dan Chanyeol. Ara bisa melihat ada dua piring diatas meja itu dan ia yakin itu pasti
untuknya dan Sehun. Ara mencoba berjalan mendekat namun ia menghentikan langkahnya
saat mendengar percakapan ketiga lelaki itu.

“Benarkah? Aku sudah yakin jika kau tidak serius dengannya.” Ara mendengar Baekhyun
berkomentar dan diakhiri dengan kekehan. Serius? Maksudnya?

“Hei, jangan keras-keras. Nanti ada yang dengar.” Tegur Sehun.

“Memangnya kenapa? Kau takut ada yang tahu jika kau sengaja menjadikan gadis tingkat
satu itu sebagai kekasihmu untuk menghindari Jihyun?” kata Chanyeol yang sukses membuat
Ara terkejut. Rahangnya seakan mau jatuh mendengar perkataan Chanyeol yang sulit untuk ia
percayai.

Jadi, apa yang Jihyun katakan benar? Sehun sengaja menjadikannya kekasih dan hanya
memanfaatkannya saja? Lalu perhatian-perhatian itu, benarkah hanya sebuah kebohongan
saja? Tak mau mendengar terlalu banyak hal yang pasti akan lebih mengejutkannya, Ara
memilih untuk angkat kaki dari tempat itu.

***
Sehun baru saja keluar dari kelasnya saat merasakan ponselnya bergetar di dalam saku celana.
Ia mengambilnya dan melihat sebuah pesan singkat dari Ara.

Temui aku di atap sekolah sepulang sekolah. Aku menunggumu.

Agak bingung, Sehun membacanya sekali lagi. Ia terlihat tidak mengerti mengapa Ara ingin
bertemu dengannya setelah meninggalkannya di kantin saat jam istirahat. Pasti ada yang
ingin gadis itu bicarakan karena tidak biasanya gadis itu mengajak bertemu. Apalagi
hubungan mereka tidak terlalu dekat sebelumnya.

Tak mau ambil pusing, Sehun menuruti permintaan Ara. Ia berjalan seorang diri menuju atap
sekolah yang terletak di gedung sebelah barat. Sekolah masih cukup ramai karena baru
beberapa saat yang lalu jam pelajaran usai dan kebanyakan dari mereka masih menunggu
jemputan dari sopir pribadi mereka. Di perjalanan Sehun sempat berpapasan dengan Yian.
Namun ia menghiraukannya mengingat kembali percakapannya dengan Yian di kelas saat
jam istirahat.

Sehun tidak tahu pasti kenapa Yian berkata demikian. Sejauh yang ia tahu, Yian tidak pernah
berkomentar tentang kehidupan percintaannya dan mereka sama-sama menghormatinya satu
sama lain. Namun, apa yang tadi Yian katakan benar-benar mengganggu pikirannya. Apa
maksudnya ia tidak pantas bersanding dengan Ara? apa jangan-jangan Yian memilki
perasaan pada gadis itu?

Tanpa sadar akhirnya Sehun sampai juga di atap sekolah. Ia menemukan Ara yang tengah
berdiri sambil menatap langit senja yang berwarna keemasan. Sinarnya menerpa rambut
kecoklatannya membuatnya nampak bersinar seperti dihujani ribuan bubuk kemilau
keemasan. Sehun melangkah mendekat dan disadari kehadirannya oleh Ara.

“Ada apa kau ingin bertemu denganku disini?” tanya Sehun to the point. Ara nampak tenang.
Ia memasang wajah datarnya sambil terus menatap Sehun.

“Sunbae, lebih baik kita akhiri saja semua ini.” Kata Ara singkat. Sehun nampak terkejut.

“Kuperhatikan, sejak kemarin kau ingin sekali hubungan kita berakhir.” Celetuk Sehun,
menampakkan ketidaksukaannya.

“Memang. Lagipula, hubungan ini tidak didasari dengan cinta. Kita sama-sama mengambil
keuntungan satu sama lain. Owh, tidak. Kau yang mengambil keuntungan dariku.”

“Maksudmu?” Sehun berjalan mendekati Ara. Ia tidak tahu kemana arah pembicaraan gadis
ini.

“Aku sudah tahu. Kau mendekatiku hanya untuk memanfaatkanku saja.” Jawab Ara dengan
tenang. Ia sudah memikirkan ini sejak tadi. “Jujur, aku merasa marah saat mengetahui hal ini.
Tapi mengingat kau yang menolongku kemarin, aku anggap kita impas. Jadi, mari kita akhiri
hubungan kepura-puraan ini.” Sambungnya dengan tegas. Tanpa berpikir panjang, Ara segera
pergi meninggalkan Sehun.

Masih tempatnya, Sehun nampak mencerna maksud perkataan Ara. Ia belum sadar benar apa
yang dimaksud gadis itu dengan memanfaatkan dan mengatahui semuanya. Tunggu!! Seolah
tersadar, Sehun langsung paham maksudnya. Ara pasti mendengar percakapannya dengan
Baekhyun dan Chanyeol tadi. Tidak! Ini tidak boleh dibiarkan. Sehun tidak akan melepaskan
Ara begitu saja. Lantas ia berniat mengejar gadis itu namun ponselnya tiba-tiba bergetar.

Perayaan kemenangan tim kita akan diadakan di cafe dekat sekolah malam ini. Aku akan
menjemputmu nanti.

Sedangkan disisi lain, Ara tampak berjalan menuruni beberapa anak tangga dengan perasaan
campur aduk. Antara kesal dan marah sekaligus kecewa di waktu yang bersamaan. Ia
memegang nametag yang baru tadi pagi di berikan Sehun padanya. Ara kembali meyakinkan
dirinya jika semua itu hanyalah kebohongan. Ia tidak boleh terlarut di dalamnya dan tidak
boleh sampai terjebak karena dirinya sendiri yang akan susah nantinya.

“Kim Ara…”

Bagaikan disambar petir, Ara mendengar suara yang beberapa hari ini tak ia dengar. Ia sudah
tahu betul siapa pemiliknya dan ia berbalik dengan ragu hingga akhirnya ia bisa melihat
dengan jelas sosok Yian yang berdiri tak jauh darinya.

Jantung Ara langsung berdegup kencang. Apa Yian baru saja memanggil namanya tadi?
Darimana lelaki itu tahu? Apa jangan-jangan, Yian sudah tahu siapa dirinya?

“Kim Ara…” ulang Yian, membuat Ara semakin takut dan waspada. “Bukankah itu
namamu?”

TBC

**

*
“Ada kalanya saat orang yang kau kira hanya sebentar melewatimu, tertinggal di hatimu
ketika ia pergi. Arti kehadirannya baru kau rasakan setelah ia meninggalkanmu. Dan sebelum
semuanya terlambat, ku pikir ada baiknya jika aku menghentikan kepergiannya….”
*
**
Bukan hal yang aneh lagi jika Ara harus kembali bertemu dengan Yian. Mereka berada dalam
sekolah yang sama dan ada kemungkinan mereka akan bertemu. Namun tetap saja, Ara selalu
merasa sekarang bukanlah waktu yang tepat. Entah kapan waktu yang tepat yang Ara maksud
itu. Ia selalu merasa terkejut, was-was sekaligus takut jika bertemu dengan lelaki itu. Padahal,
dalam hatinya, ia sangat ingin melihat wajahnya barang sekali. Yah, setidaknya itu adalah
salah satu tujuannya kenapa ia bersekolah disini.
Dan lagi-lagi, Ara hanya bisa terdiam dengan wajah terkejut saat lelaki jangkung itu
memanggil namanya. Secepat indera pendengarannya menangkap suara itu, secepat itu
pulalah Ara berbalik dan sesuai dugaannya, ia mendapati lelaki itu yang bersandar di dinding.
Sebelah tangannya dimaksukkan ke dalam saku celana dan sebelahnya lagi ia angkat seperti
sedang melambaikan tangan. Matanya menatap lurus tepat di mata Ara.
“Kim Ara…” Yian kembali mengucapkan nama itu. Seulas senyum terbit di wajahnya yang
demi Tuhan, membuat perasaan Ara seperti diaduk-aduk. “Bukankah itu namamu?”
DEGG
Ara sudah menduga jika hal ini akan terjadi. Tapi, kenapa selalu dalam situasi yang sulit?
Akan lebih mudah bagi Ara jika ia yang mengatakannya pada Yian siapa dirinya dan bukan
lelaki itu yang tahu lebih dulu. Ini akan semakin sulit mengingat bagaimana dirinya saat ini
dan situasi yang sudah berubah. Apa yang harus Ara lakukan?
“Kenapa diam saja? Tertulis dengan jelas di nametagmu.” Sambung Yian saat Ara masih saja
terdiam. Ia menegakkan tubuhnya dan berjalan menghampiri gadis itu.
“Owh.. Iya. Nametagku.” Gumam Ara sambil memegang benda persegi panjang yang
terpasang di blazernya. Ia merasa seperti orang bodoh sekarang.
Tentu saja semua orang akan tahu namanya karena dia memakai nametag. Kenapa harus takut
dan waspada? Memangnya ia buronan yang sedang dicari oleh seluruh dunia? Hei, Ara tidak
perlu mengkhawatirkan hal itu. Ia hidup dengan baik selama ini dan tidak pernah terlibat hal
seperti itu. Jadi sekarang yang menjadi tanda tanya besar bagi Ara adalah, kenapa Yian harus
bertanya jika ia sudah tahu nama Ara? Itu terdengar seperti orang yang sedang berbasa-basi.
“Boleh kuajukan beberapa pertanyaan?” Yian kembali bersuara setelah keheningan yang
cukup lama menyelimuti mereka. Ia berani bertaruh jika sejak tadi Ara masih berpikir tentang
dirinya. Yah, mungkin saja. Ia ‘kan bukan penyihir ataupun paranormal yang bisa membaca
pikiran orang lain.
“Eoh?” Ara mendongakkan kepalanya untuk menatap Yian. Ia pikir ia salah dengar.
“Pertama, apakah benar jika kau itu kekasihnya Sehun?” tanya Yian tanpa mempedulikan
ekspresi wajah Ara.
Ara mengerutkan kedua alisnya. “Bukan. Aku baru saja mengakhirinya.” Jawabnya meskipun
ia sedikit bingung kenapa Yian menanyakan hal demikian.
Seulas senyum kembali terbiat di wajah Yian begitu ia mendengar jawaban Ara. “Kenapa kau
mengakhirinya?”
“Kurasa itu bukan urusanmu.” Jawab Ara sarkartis.
“Baiklah. Ini pertanyaan terakhir..” Yian melangkahkan kakinya mendekati Ara. “Apa kau
mengenalku?” bisiknya tepat di telinga Ara dan sialnya, itu membuat jantung Ara berdetak
abnormal.
Hei, apa ada yang salah dengan beberapa orang hari ini? Kenapa banyak yang bertanya
tentang hubungannya dengan lelaki brengsek itu? Lagi pula, kenapa Yian dan Jihyun kompak
sekali bertanya tentang hal yang sama padanya. Apa jangan-jangan mereka sudah tahu jika
dia adalah Kim Ara. Maksudku, Kim Ara yang mereka kenal. Jadi, apakah Yian sudah
mengenalinya?
“Kenapa hanya diam, Ara? Kau tidak ingin memanggilku Oppa lagi?”
Damn it!! Ini benar-benar buruk!!

Chapter 12

“Kenapa lama sekali? Aku sudah kering menunggu sejak tadi.” Omel Kai begitu matanya
menangkap sosok Sehun yang baru keluar dari rumahnya. Matanya terus mengawasi Sehun
yang berjalan hingga berdiri di hadapannya.
“Bolehkah aku tidak datang?” tawar Sehun dengan nada keengganan yang tersirat dalam
kalimatnya. Kai berjalan memutari mobilnya hingga berhenti disamping pintu kemudi.
“Ada apa dengan pertanyaanmu. Kau harus datang karena ini perayaan kemenangan tim kita
atas SMA Parang. Dan lagi, kau ‘kan kapten tim kita.” Ucapnya sambil menatap Sehun
dengan malas. “Apa ada yang terjadi denganmu? Kau terlihat tidak bersemangat sekarang.”
Sehun mengendikkan bahunya lalu membuka pintu mobil dan duduk di samping kursi
kemudi dengan enggan. Beberapa saat kemudian Kai menyusulnya. “Yah.. bukan sesuatu
yang buruk. Hanya saja, Ara sudah tahu jika aku hanya main-main dengannya.” Akunya
sambil melihat-lihat isi playlist lagu pada pemutar musik yang ada dalam mobil Kai.
Kai nampak tidak terkejut sama sekali. Ia menyalakan memakai sabuk pengamannya dan
mulai menyalakan mesin. “Wow.. aku sudah menduga cepat atau lambat hal ini pasti akan
terjadi.” Komentarnya. Matanya fokus menatap jalanan di depannya.
“Dia benar-benar marah. Aku hanya merasa…” Sehun menggantungkan kalimatnya membuat
Kai menoleh sekilas.
“Menyesal, huh?” tebaknya dan membuat Sehun berjingkat dengan wajah tak percaya.
“Bukan kau yang menyesal karena telah menolak gadis sesempurna Hana?” Sehun
mengalihkan pembicaraan. Ia akan merasa tidak nyaman jika dirinya mulai tersudut.
“Huh.. jangan membahas dia, Sehun. Kumohon.. aku bahkan belum mempersiapkan ekspresi
apa yang akan ku berikan nanti di cafe.” Kata Kai dengan mata menerawang lurus ke depan.
Antara memperhatikan jalan dan memikirkan sesuatu.
“Hana akan datang?”
“Hmmm.. Dia ‘kan ketua OSIS.”
***
Jam menunjukkan tepat pukul tujuh malam saat semua orang telah berkumpul di cafe yang
terbilang cukup mewah di kawasan Apgujeong ini. Beberapa diantaranya yang hadir adalah
anggota tim basket dari SMA Seoul, beberapa orang guru olahraga termasuk pelatih dan
sisanya, gadis-gadis dari anggota cheerleader, termasuk Jihyun dan kedua temannya. Huh,
mereka benar-benar bersemangat dengan acara ini. Berbanding terbalik dengan Hana yang
sejak tadi hanya diam di pojokan sambil bersandar pada dinding disampingnya. Ia mulai
berpikir, seharusnya ia tidak datang saja dan menghabiskan malamnya dengan membaca
beberapa novel romance yang baru dibelinya. Lagipula, apa hubungannya dia dengan
perayaan ini? Dia ‘kan tidak ikut andil dalam pertandingan ini.
“Hana, minumlah ini. Kau belum menyentuh apapun sejak datang kemari.” Kim Taehyung,
lelaki yang duduk tepat disamping Hana, menyodorkan segelas jus stoberri. Hana hanya
memandangnya malas tanpa berniat menyentuhnya.
“Terimakasih, Taehyung. Aku akan meminumnya nanti.” Kata Hana pelan. Ia memberikan
seulas senyum pada lelaki itu, merasa tidak nyaman diperlakukan seperti ini. Taehyung
adalah wakil ketua OSIS dan dia berada di kelas sebelah. Banyak temannya yang
memberitahukan jika Taehyung naksir berat dengannya. Dan Hana baru mempercayainya
sekarang setelah melihat sikap Taehyung yang begitu perhatian padanya.
Ah, andai saja Guru Choi tidak memintanya untuk hadir di sini, ia pasti tidak akan terjebak
dengan lelaki ini dan bersama orang-orang yang tidak di kenalnya. Apalagi disana ada Jihyun
dan gadis-gadis tidak jelas yang membuat matanya sakit saat melihat penampilan mereka.
Dan Hana melupakan satu hal ini, ia akan bertemu dengan Kai disini!
Owh tidak!! Hana baru saja memikirkannya dan kini lelaki itu muncul bersama Sehun yang
langsung saja duduk di kursi yang berhadapan dengannya. Tidak tepat di depannya sih, tapi
‘kan Hana masih bisa melihatnya. Beberapa gadis nampak bersorak akan kedatangan mereka
yang langsung saja membuat Hana illfeel setengah mati terlebih melihat Kai yang tersenyum
pada salah satu gadis disana.
“Cih, tipemu gadis labil yang hanya tau cara berdandan, huh?” Cibirnya dengan suara kecil.
Di wajahnya tersirat akan ketidaksukaannya.
“Apa?” Taehyung yang duduk disamping Hana, menoleh dengan wajah bingung. Jelas ia
mendengar apa yang barusan Hana katakan.
“Owh tidak. Aku hanya bilang aku akan langsung pulang setelah ini.” Jawab Hana disertai
senyum kaku. Akan sangat menyebalkan jika ada seseorang yang mendengarmu berbicara
pada dirimu sendiri.
“Kenapa memangnya? Mau kuantar?” tawar Taehyung. Ia bahkan sudah bersiap untuk berdiri.
“Tidak. Aku dijemput sopirku.” Tolak Hana segera. Taehyung hanya ber-oh ria lalu kembali
melanjutkan percakapannya dengan lelaki yang ada di sebelahnya.
“Perhatian semuanya..” Guru Choi yang sejak tadi mengobrol dengan guru lain, berdiri dari
duduknya dan mengetuk meja untuk menarik perhatian. “Karena semuanya sudah hadir. Mari
kita mulai acara ini.” Sambungnya. Ia mengambil jeda sejenak. “Ini adalah perayaan
kemenangan tim basket SMA Seoul atas SMA Parang yang berlangsung beberapa hari yang
lalu. Aku senang akhirnya usaha tim kita tidak sia-sia. Kalian sudah berlatih sangat keras
belakangan ini, jadi perayaan ini kupersembahkan untuk kalian. Terimakasih atas kehadiran
kalian dan sekali lagi, aku ucapkan selamat.”
Semuanya bertepuk tangan setelah Guru Choi mengakhiri pidato singkatnya. Beberapa yang
lainnya mulai mengambil makanan yang sudah tersedia di meja dan tanpa malu-malu
memakannya dengan lahap. Hana hanya diam memperhatikan cara mereka makan yang
terlihat seperti orang kelaparan. Mereka anak orang kaya dan keluarga terhormat tapi tingkah
mereka seperti berandalan. Lihalah bagaimana mereka. Itulah sebabnya Hana tidak suka
bergaul dengan gadis-gadis di sekolahnya. Terlebih setelah ia tahu jika ia hanya
dimanfaatkan saja.
“Park Hana, kenapa tidak ikut makan?” Guru Choi yang kebetulan duduk tepat di hadapan
Hana, menegurnya yang membuat Hana langsung tersadar akan lamunanya. Kai yang
mendengarnya, melirik sekilas lalu mengalihkan pandangannya dengan cepat saat matanya
bertemu pandang dengan Hana.
“Owh ya. Saya akan memakannya, saem.” Jawab Hana kikuk. Ia mengambil sumpitnya dan
mulai memakan makanan yang sudah tersedia di piringnya. Ia melirik Kai yang sedang
makan sambil mengobrol dengan teman-temannya. Jelas sekali lelaki itu tidak menggubris
kehadirannya.
“Aku ijin ke belakang sebentar.” Kata Kai sambil berdiri. Ia tak perlu menunggu jawaban
dari yang lainnya dan segera pergi menuju toilet.
Hana tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia juga ikut ijin ke toilet dan segera menyusul
Kai. Ternyata, Kai tidak benar-benar pergi ke toilet dan berada di atap cafe ini.
“Sudah kuduga. Kau mengikutiku.” Kai segera menghentikan langkahnya dan berbalik, hinga
matanya bertemu pandang dengan mata Hana.
Hana sedikit terkejut. Kai tahu jika ia mengikutinya. Ini sedikit memalukan, pikirnya.
“Ternyata kau tidak benar-benar ke toilet.” Kata Hana sarkartis. Ia melipat kedua tangannya
di depan dada.
“Kau ingin aku ke toilet saat aku tahu jika kau diam-diam mengikutiku?” tanya Kai tak kalah
sarkartis, membuat Hana mendengus pelan.
“Oke, aku akui jika aku memang sengaja mengikutimu. Tapi Kai, kita perlu bicara.” Ungkap
Hana. Ia berjalan menghampiri Kai dan bersandar pada dinding pembatas bangunan ini.
“Tidak ada yang perlu kita bicarakan.” Timpal Kai cepat.
“Kau menghindariku sejak kejadian minggu lalu. Ada yang harus aku jelaskan disini.”
Walaupun terlihat enggan, Kai tetap diam di tempatnya. Ia berdiri tak jauh dari Hana tapi tak
berani menatap gadis itu. “Bicaralah..”
Hana menarik nafas sebelum memulainya. “Aku benar-benar serius dengan perasaanku saat
aku mengatakannya padamu waktu itu. Daripada terus menahannya, aku lebih memilih
mengungkapkannya walau ini terlihat sangat memalukan. Aku sudah siap dengan segala
konsekuensinya. Dan ternyata, kau menolakku.” Ia berhenti sejenak. “Well, harus ku akui
aku cukup terpukul mendengarmu bicara seperti itu. Tapi, aku merasa lebih baik seiring
berjalannya waktu walau tak bisa kupungkiri rasa sakit itu masih ada.”
Kai masih terdiam di tempatnya. Seperti menunggu sampai Hana menyelesaikan kalimatnya
tanpa memberikan reaksi apapun. Ia memainkan ujung sepatunya pada batu kerikil kecil yang
ada disana.
“Tapi kau berubah setelah kejadian itu. Kau menghindariku dan membuang wajah padaku.
Aku tidak menyukainya. Jujur, aku tidak suka orang yang mencampuradukkan antara urusan
cinta dan pertemanan. Walau kita bukan teman akrab, setidaknya kita hampir dua tahun
berada di kelas yang sama. Dan kupikir, ini akan sangat lucu jika mengetahui kenapa kita
menjadi seperti ini.” Hana berjalan mendekati Kai. Matanya terlihat berkaca-kaca. “Jadi
kumohon, bisakah kau menganggap kejadian itu tidak pernah terjadi dan kita berteman
seperti dulu? Jangan menghindariku. Dengan begitu, aku tidak merasa bersalah setelah
mengatakannya padamu.” Sambungnya. Lantas ia segera turun dari atap.
Memandangi kepergian Hana, hanya itu yang bisa Kai lakukan. Ia masih mencerna semua
kalimat panjang yang diucapkan Hana barusan. Semua kalimat itu masih terngiang-ngiang di
telinganya seperti dengungan lebah madu di musim panas. Kai masih tidak bisa percaya gadis
itu berani mengatakan semuanya dan yang ia lakukan hanya diam. Tak memberi reaksi
apapun. Bagus, Kim Jongin benar-benar pecundang sejati.
Kai tak bisa mengelaknya. Ada rasa tersendiri saat mendengarkan semua ungkapan hati gadis
itu. Seperti seorang anak kecil yang baru saja mengakui semua kesalahannya karena telah
mencuri permen, Hana mengatakannya dengan penuh perasaan. Kai merasa malu pada
dirinya sendiri. Ia terlihat seperti bukan lelaki sejati. Menghindari Hana karena telah
menolaknya? Owh, kenaapa hal itu terlintas di kepalanya?
Bukan hal yang mudah melakukannya. Setelah menyesal telah menolak gadis itu, Kai harus
berpura-pura tidak melihatnya. Itu benar-benar menyiksa dirinya sendiri. Sebenarnya bukan
tanpa alasan ia menolak Hana tempo hari. Harus ia akui sekarang, gadis itu memang cukup
menarik perhatiannya. Pintar, cantik, anak orang kaya, dan jabatannya sebagai ketua OSIS,
banyak siswa lain yang mengejarnya. Namun gadis itu terlihat cuek dan lebih suka
menyendiri. Diam-diam Kai selalu mengawasinya sejak pertengahan semester lalu.
Ia hanya sekadar mengagumi gadis itu. Atau.. entahlah. Ia tidak terlalu mengerti apa itu cinta
dan perasaannya sendiri. Baginya, hanya dengan melihat Hana, ia merasa bahagia walau ia
tak pernah menampakkannya. Ia juga bersyukur karena bisa sekelas lagi dengan gadis itu
pada semester ini. Tapi hal yang membuatnya mengatakan tidak untuk pernyataan cinta itu, ia
hanya merasa takut. Sungguh. Kai sudah melihat ini sepanjang hidupnya. Bagaimana orang
yang saling mengenal lalu mulai menjalin hubungan asmara. Dan saat hubungan mereka
berakhir, mereka bersikap seolah-olah tidak mengenal satu sama lain. Dan Kai sangat tidak
ingin jika hal itu terjadi.
“Aiissh.. aku tidak suka berada dalam situasi seperti ini.” Ia mengacak rambutnya dengan
gusar sebagai pelarian rasa frustasinya. Dan sedetik kemudian, sebuah pemikiran itu muncul
dalam kepalanya. “Aku harus mengejarnya…”
***
Suasana di cafe itu masih terlihat ramai dan penuh dengan keceriaan walau dua orang sudah
berkurang. Mereka tidak menyadarinya karena sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
Seperti halnya Sehun, sejak tadi ia hanya memperhatikan Yian yang sedang memainkan
ponselnya. Entah sedang melakukan apa. Memang, sejak datang kesini, ia tidak bertegur sapa
dengan Yian, begitupun sebaliknya. Yian terkesan menghindari tatapan dengan Sehun dan
jelas itu membuat Sehun frustasi.
Apa ini masih menyangkut tentang Ara? Apakah gadis itu begitu besar pengaruhnya bagi
hubungannya dengan Yian? Sehun benar-benar tidak mengerti bagaimana cara berpikir
seorang Lee Yian. Ia sudah lama mengenal lelaki itu. Tapi baginya, ia masih sukar
memahami diri Yian sampai sekarang.
Ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Mereka harus menyelesaikannya segera.
“Yian, ada yang ingin kubicarakan denganmu. Bisa ikut aku sebentar?” tanya Sehun, yang
membuat Yian dan beberapa orang lainnya menoleh kearah Sehun bersamaan. Tak terkecuali
Jihyun. Gadis itu memang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Sehun. Mirip seperti stalker
yang kurang kerjaan saja!
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Yian bangkit dari duduknya. Ia berjalan keluar dari
cafe yang buru-buru diikuti Sehun dibelakangnya. Tak beberapa kemudian Yian berhenti di
taman yang berada tepat di samping cafe. Ia berbalik dan menatap Sehun dengan wajahnya
yang dingin. Masih sama seperti tadi siang.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan dirimu. Tapi pasti ada kesalahpahaman diantara kita.”
Ungkap Sehun begitu ia berhadapan dengan Yian.
Air muka Yian masih sama seperti tadi. “Tidak. Aku serius saaat mengatakannya. Kau benar-
benar tidak cocok dengannya.” Balas Yian, dengan nada yang masih sedingin wajahnya.
Orang pernah berkata, kesabaran manusia ada batasnya. Dan Sehun pikir, ia sudah
kehilangan batas kesabarannya. Lelaki dihadapannya ini benar-benar sedang menguji dirinya.
Tidak! Sehun tidak boleh kehilangan kontrol. Ia harus tetap sabar meskipun ingin sekali ia
menghajar wajah Yian dengan kedua tangannya sendiri.
“Sial!!” Sehun mengepalkan tangannya erat-erat hingga buku-buku tangannya terlihat. “Apa
alasanmu mengatakan hal itu? Apakah kau, menyukai Kim Ara?” tebak Sehun.
Yian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeans yang ia pakai. Terlihat sekali
jika ia tidak terpengaruh dengan amarah Sehun. “Pertama, kau kasar. Kau egois, pemarah dan
suka seenaknya sendiri. Aku mengatakan ini sebagai temanmu.” Katanya dengan enteng. Ia
menarik sudut bibirnya hingga membentuk smirk yang terlihat menyebalkan di mata Sehun.
“Dan, kita tidak pernah saling mencampuri urusan pribadi masing-masing, ‘kan? Ku harap
kau masih mengingatnya.” Sambungnya. Dengan cepat, ia pergi meninggalkan Sehun.
Sehun menatap kepergian Yian, matanya berkilat penuh amarah. “Sialan kau, Lee Yian!!!”
Terus berjalan tanpa melihat ke belakang, Yian meyakinkan dirinya jika apa yang ia lakukan
ini benar. Ia tidak berniat merusak hubungan pertemanannya dengan Sehun. Namun, tetap
saja. Ia merasa khawatir akan kedekatan Sehun dengan Ara. Apalagi setelah mengetahui jika
Ara adalah sahabatnya, ia merasa perlu melindungi gadis itu dari lelaki semacam Sehun. Bagi
Yian sendiri, Sehun terlihat seperti remaja labil yang belum matang. Mana mungkin ia
menyerahkan sahabatnya begitu saja pada lelaki yang pasti tidak akan bertanggungjawab.
Yian sadar ia mulai memperhatikan gadis itu sejak kecurigaannya timbul, ditambah, fakta
bahwa dia adalah sabahatnya, Yian semakin gencar mengawasi Ara. Ia ingin sekali langsung
bertanya pada gadis itu mengapa berpura-pura menjadi orang lain. Tapi setiap kesempatan
yang ada, ia selalu tidak bisa mempergunakannya dengan baik. Melihat sikap kewaspadaan
Ara terhadap dirinya, menjadi alasan utama kenapa ia tetap diam dan tidak berani berkata
terus terang. Hanya dengan memberikan sedikit gertakan pada gadis itu, mungkin ia akan
menyadarinya sedikit demi sedikit. Dan begitu waktunya tiba, ia ingin mencoba mengerti Ara.
Ia merasa menyesal tidak memperhatikan gadis itu sejak dulu.
“Yian…” panggil Jihyun yang sejak tadi mengawasi Yian. Ia berdiri beberapa meter di
belakang Yian dan bisa Yian pastikan, bahwa gadis itu pasti mendengar semua yang ia
katakan pada Sehun. Benar-benar seperti penguntit saja.
Yian menghembuskan nafas panjang. Ia lelah harus kembali berurusan dengan Jihyun. Tanpa
berbalik, Yian menunggu apa yang ingin Jihyun katakan.
“Aku sudah mendengar semuanya. Tapi ada satu hal yang mengganjal pikiranku.” Kata
Jihyun. Ia terlihat agak ragu untuk mengatakannya. “Kim Ara.. Apakah itu dia?”
***
“Dia benar-benar menyebalkan, Ara. Bagaimana bisa dia hanya diam setelah mendengar
semua yang aku katakan? Aku bahkan rela menurunkan harga diriku hanya untuk
mengatakan hal itu. Aku tidak menyangka lelaki seperti dia benar-benar keterlaluan.”
Untuk kesekian kalinya Ara hanya menghembuskan nafasnya sambil mendengarkan semua
celotehan Hana. Ini sudah hampir sepuluh menit sejak Hana menghubunginya sambil
menangis dan menceritakan apa yang baru saja terjadi padanya dan Ara bisa memastikan
Hana pasti akan bicara lebih lama lagi.
“Kau masih disana, Ara?” Hana bertanya. Menghapus sedikit air matanya dengan tissu. Ia
langsung masuk ke kamar begitu sampai di rumah dan segera menghubungi Ara. Kau bahkan
bisa melihat berapa banyaknya tissu yang sudah ia gunakan untuk mengelap air matanya.
Mungkin jika tissu sudah punah dari dunia ini, kamar Hana pasti akan dipenuhi dengan air
mata dan mungkin akan menjadi danau. Owh, abaikan hal ini, oke?
“Ya. Aku masih setia mendengarkanmu.”Jawab Ara dari seberang. Nadanya terdengar ragu
namun Hana mengabaikannya.
“Terimakasih kau mau mendengarkan keluh kesahku.” Kata Hana. Ia mengusap kembali air
matanya. “Aku tahu kau pasti bosan mendengarnya. Tapi, aku harap kau masih mau
mendengarkan curhatanku kedepannya. Tidak ada orang lain yang kupercaya selain dirimu,
Ara. Kau satu-satunya temanku.”
“Ya. Dan kau juga teman terbaikku.” Balas Ara. “Kau sudah lebih baik?”
“Tidak juga. Jika dia ada di hadapanku sekarang, aku ingin sekali mencekik lehernya hingga
dia..”
TOK TOK TOK
Perkataan Hana terhenti dengan adanya ketukan di pintu kamarnya. Ia melirik sedikit dengan
waspada dan untunglah ia sudah mengunci pintu kamarnya. Apa jadinya jika orangtuanya
melihatnya tengah menangis sambil berbicara di telepon. Benar-benar akan buruk.
“Sudah dulu, Ara. Ada yang mengetuk pintu kamarku.” Katanya pada Ara.
“Owh, baiklah. Kuharap besok kau sudah lebih baik. Selamat malam, Hana.”
“Malam juga.” Timpal Hana dan ia segera mematikan sambungan teleponnya. “Siapa?”
tanyanya pada seseorang yang sejak tadi mengetuk pintu. Ia berusaha membuat suaranya
terdengar baik-baik saja.
“Nona, ada teman Nona di luar. Bibi tidak berani menyuruhnya masuk karena ada Tuan di
rumah.” kata Bibi Jung dari luar kamar Hana.
“Teman? Siapa, Bi?” tanya Hana kebingungan. Ia tidak pernah meminta temannya untuk
datang ke rumahnya.
“Maaf, Bibi tidak tahu, Nona. Dia seorang pemuda dan mengaku sebagai teman sekelas
Nona.”
Hana masih bingung dengan orang yang dimaksud Bibi Jung. Pemuda? Apa jangan-jangan
Taehyung? Tapi ‘kan Taehyung bukan teman sekelasnya? Siapa ya?
“Owh baiklah. Biarkan saja dia tetap diluar. Aku akan melihatnya dari balkon.” Katanya pada
Bibi Jung. Tanpa menunggu jawaban, Hana segera membuka pintu yang menghubungkan
dengan balkon di kamarnya. Ia melangkah keluar dan melihat ke jalanan di depan rumahnya.
Dari tempatnya, ia bisa melihat seorang lelaki yang bersandar di mobilnya yang terparkir di
depan gerbang rumahnya.
“Ya Tuhan, Kim Jongin!! Apa yang lelaki itu lakukan?” Hana menutup mulutnya yang
terbuka sebagai akibat atas keterkejutannya. Ia melambaikan tangannya agar Kai bisa
melihatnya. “Hei, Kim Jongin!!! Kai!!!” teriak Hana dari balkon kamarnya.
Kai yang memang sejak tadi menunggu Hana, langsung mencari sekeliling begitu mendengar
suara teriakan Hana yang memanggil namanya. Ia melihat Hana yang berdiri di balkon
kamarnya sambil melambaikan tangan. Kai sedikit tertawa melihat tingkah gadis itu.
“Hana…” panggil Kai.
“Apa yang kau lakukan disini, Kai? Merasa menyesal karena telah mengacuhkanku?” teriak
Hana dengan keras agar Kai bisa mendengarnya.
“Maafkan aku, Hana. Aku mengaku salah telah mengacuhkanmu. Maukah kau
memaafkanku?” balas Kai ikut berteriak. Ia sudah membulatkan tekadnya untuk meminta
maaf pada Hana.
Hana sedikit terkejut dengan perkataan Kai. Ia mendengus. “Gampang sekali kau meminta
maaf setelah apa yang kau lakukan padaku. Kau sudah menolakku dan mengacuhkanku. Kau
benar-benar tidak bisa dimaafkan, Kai!!!” teriak Hana, masih merasa kesal. Bahkan sisa-sisa
air mata masih ada di sudut matanya.
“Aku tahu jika kesalahanku sudah terlalu banyak, Hana. Dan, apa yang bisa aku lakukan agar
kau mau memaafkanku?”
Hana berpikir sebentar. “Bisakah kau terjun dari atap sekolah? Dengan begitu, aku akan
memaafkanmu!!1” teriak Hana sekali lagi. Ia masih sangat marah dan hancur di waktu yang
bersamaan dan ia tidak ada waktu meladeni lelaki itu. Ia sudah berbalik dan bersiap masuk
kembali ke dalam kamarnya.
“Park Hana!! Permintaanmu itu terlalu sulit. Aku terlalu muda untuk mati setragis itu. Jadi,
bisakah aku mengganti permintaanmu itu dengan menjadi kekasihmu?”
DEGG
Jantung Hana seperti berhenti berdetak saat itu juga. Ia menghentikan langkahnya dan
berbalik menatap Kai yang masih berdiri di depan gerbang rumahnya. Apakah ini mimpi?
Barusan itu, ia tidak salah dengar ‘kan? Hana merasa, ia pasti sudah gila. Bagaimana bisa
seorang Kim Jongin mengatakan hal itu?
“Hana, kenapa diam saja??!!!”
“Yak!!! Anak muda, berhenti di depan rumahku!!!!”
Tanpa di duga sebelumnya, Ayah Hana keluar dari rumah sambil membawa sapu. Ia
langsung membuka gerbang dan menemukan Kai yang tengah berteriak di depan rumahnya.
Tuan Park sedang asyik menonton televisi saat ia mendengar teriakan dari luar. Dan saat
bertanya pada Bibi Jung, ia tahu jika hal itu dilakukan oleh teman Hana.
“Dasar anak muda jaman sekarang. Benar-benar tidak tahu sopan santun!!” sentaknya lagi
sambil mengacungkan sapu kearah Kai. Membuat Kai langsung mengkerut ketakutan dan hal
itu sontak membuat Hana tertawa.
“Maafkan saya, Paman. Maafkan saya.”
***
Hari-hari berlalu begitu saja. Begitu cepat hingga tak terasa sekarang sudah hampir
memasuki awal musim gugur. Udara yang tadinya panas berubah menjadi dingin sedikit demi
sedikit. Belum lagi ditambah angin yang bertiup kencang akhir-akhir ini, membuat Ara mau
tak mau memakai syal saat ke sekolah. Ia tidak suka angin dan jika boleh memilih, Ara ingin
sekali berdiam diri di dalam rumah sambil tiduran dan menghangatkan diri. Pasti itu menarik.
Tapi karena Joonmyeon memaksanya untuk berangkat, akhirnya dengan berat hati Ara
menurutinya walaupun ia enggan. Dulu saat di Namhae, Ara kadang suka membolos saat
cuaca berangin seperti ini. Selain bisa menyebabkan beberapa penyakit, angin akan membuat
rambut yang sudah ia tata menjadi berantakan. Sama seperti sekarang ini.
“Sekarang sudah jam empat dan belum ada tanda-tanda kedatangannya sama sekali.” Ara
melihat jam tangannya dan menggerutu pelan. Ia membuka kembali ponselnya dan membaca
pesan singkat di dalamnya.

Kim Ara, bisakah kita bertemu di taman belakang sepulang sekolah? Datanglah karena aku
akan menunggumu sampai kau datang. Ada hal penting yang harus ku bicarakan denganmu.

“Apa-apaan ini. Sekarang, siapa yang menunggu siapa?” gerutu Ara, lagi.
Ia sangat kesal jika harus menunggu seseorang. Apalagi jika itu menyangkut dengan Sehun.
Ya, Sehun lah yang mengirimkan pesan itu padanya. Awalnya Ara tidak ingin datang karena
ia sudah memutuskan tidak ingin berurusan lagi dengan lelaki itu. Tapi entah mendapat
dorongan dari mana, kakinya melangkah begitu saja hingga sampai disini. Ara sendiri
bingung dengan dirinya.
“Maafkan aku. Kau sudah menunggu lama?” Ara mendengus kesal begitu matanya
menangkap sosok lelaki itu yang kini sudah ada di hadapannya. Ia nampak membenarkan
letak syal yang dipakainya.
“Datanglah karena aku akan menunggumu sampai kau datang.” Cibir Ara sambil mengulang
kembali apa yang Sehun tulis dalam pesannya. “Ya, aku yang menunggumu sampai kau
datang.”
“Aku ‘kan sudah minta maaf.” sentak Sehun. “Hei, kurasa kita benar-benar berjodoh.” Seulas
smirk muncul di wajahnya.
“Apa maksudmu?”
“Kita sama-sama memakai syal. Lihatlah..” ungkap Sehun dengan wajah yang terlihat
bahagia. Ia mengedipkan sebelah matanya yang membuat Ara berjengit sambil memundurkan
tubuhnya.
“Berjodoh apanya? Aku memakainya karena udara cukup dingin.” Jawab Ara masih dengan
wajah terkejutnya.
“Aku juga sama. Kita sama-sama tidak suka udara dingin ternyata.” Kata Sehun sambil
tersenyum yang Ara berani taruhan satu juta USD jika senyuman lelaki itu benar-benar
membuat setiap gadis meleleh. Termasuk dirinya.
“Coba lihat tanganmu.” Kata Ara setelah mengatasi dirinya dari rasa terkejut.
“Kenapa memangnya?”
“Lihat saja. Kemarikan tanganmu.” Kata Ara cepat. Tanpa malu-malu lagi, Ara mengambil(?)
tangan Sehun dan meletakkannya di telapak tangannya. “Orang bilang, jika garis tanganmu
dengan gadis yang kau sukai itu sama, maka kalian benar-benar berjodoh.” Ungkapnya
sambil menelusuri garis tangan Sehun.
“Lalu, apa garis tangan kita sama?” tanya Sehun penasaran.
“Hei, kau tanganmu besar juga ternyata, ya. Seperti dua kali lipat tanganku.” Ungkap Ara
sambil membandingkan tangannya dengan tangan Sehun.
“Tentu saja. Aku ‘kan laki-laki. Bahkan tanganku cukup untuk menutupi seluruh wajahmu.”
Kata Sehun dengan percaya diri sambil meletakkan tanganny tepat di depan wajah Ara.
“Lihat ‘kan, seluruh wajahmu tertutupi.”
Dengan kesal Ara menyingirkan tangan Sehun dari wajahnya. “Tanganku juga bisa menutupi
seluruh wajahmu.” Balasnya dan meniru apa yang Sehun lakukan. Bahkan ia lebih menekan
tangannya ke wajah Sehun.
“Yak!!! Hentikan. Kau akan merusak wajah tampanku!!” sentak Sehun, menyingkirkan
tangan Ara.
Bukannya marah, Ara justru tertawa melihat Sehun yang terlihat kesal. “Kenapa tertawa?”
tanya Sehun.
“Kau lucu.”
“Tepatnya aku tampan.”
“Kadar percaya dirimu tinggi juga, ya.”
“Kim Ara…”
“Ya?”
“Bagaimana jika aku benar-benar jatuh cinta padamu?”
TBC

Anda mungkin juga menyukai