Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang


besar, perubahan iklim global yang mengakibatkan banjir maupun
kekeringan, gerakan patahan bumi yang mengakibatkan gempa bumi dan
tsunami, penebangan liar yang berakibat tanah longsor serta bencana
konflik dan terorisme. Setiap tahun ribuan orang meninggal dunia, ratusan
ribu yang lain kehilangan kehidupan mereka. Banyak korban yang selamat
menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja, ternak, dan peralatan
menjadi rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak psikologis
akibat bencana, misalnya ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati rasa
secara emosional, dan kesedihan yang mendalam. Bagi sebagian penyintas,
dampak ini memudar dengan berjalannya waktu. Tapi untuk banyak orang
lain, bencana memberikan dampak psikologis jangka panjang, baik yang
terlihat jelas misalnya depresi , psikosomatis (keluhan fisik yang
diakibatkan oleh masalah psikis) ataupun yang tidak langsung : konflik,
hingga perceraian.
Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respons langsung
terhadap kejadian traumatic dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain
juga akan menyusul, ini adalah dampak tidak langsung dan bersifat jangka
panjang. Dampak interpersonal, ekonomi dan sosial dari bencana.
Beberapa tahun paska bencana, beberapa orang menjadi orang yang
berbeda, lebih kejam, lebih agresif dan memiliki relasi yang buruk dengan
orang lain, bahkan dengan anggota keluarganya sendiri. Ekonomi
mengalami kemunduran, masyarakat tumbuh menjadi kelompok orang
yang saling curiga dan penuh prasangka terhadap kelompok lain. Tidak
hanya level individual yang terancam oleh bencana. Bencana dapat
menciptakan ketegangan social, merusak tatanan suatu masyarakat.
Bencana mampu merobek kehidupan sosial yang lebih besar, yakni

1
2

kehidupan masyarakat sebagai komunitas, bahkan negara secara


keseluruhan.
Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang
dengan baik, banyak korban bencana akan mengalami depresi parah,
gangguan kecemasan, gangguan stress pasca-trauma, dan gangguan emosi
lainnya. Bahkan lebih dari dampak fisik dari bencana, dampak psikologis
dapat menyebabkan penderitaan lebih panjang, mereka akan kehilangan
semangat hidup, kemampuan social dan merusak nilai-nilai luhur yang
mereka miliki.
Menurut National Geographic sebanyak 60% anak-anak di dunia
ternyata merupakan korban bencana alam. Hal ini menjadi persoalan serius
karena pada 10-20 tahun tahun mendatang dampak bencana akan
mempengaruhi fisik serta psikologis mereka.
Indonesia menjadi rawan bencana karena beberapa alasan.
Diantaranya karena disebabkan oleh faktor alam dan iklim di Indonesia.
Indonesia berdiri di atas pertemuan lempeng-lempeng tektonik. Akibanya
negeri ini berada di atas jalur gempa. Selain rentan dengan bencana gempa
bumi, saat ini indonesia tercatat memiliki 127 gunung berapi aktif. Hal
inilah yang membuat Indonesia menjadi bagian dari Cincin Api Pasifik.
Iklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi sehingga memudahkan
terjadinya pelapukan juga menyebabkan bencana alam seperti longsor dan
banjir bandang. Bahkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
mencatat selama tahun 2017 telah terjadi 654 bencana di seluruh Indonesia
Direktur Yayasan Lestar Indonesia Aris Sustiyono di Yogyakarta,
ia menyatakan bahwa anak-anak merupakan kelompok rentan saat terjadi
bencana. Saat terjadi bencana, secara psikologis, mereka mudah frustasi.
Namun mereka juga lebih cepat mempelajari sesuatu serta menyerapnya.
Anak-anak menjadi golongan yang rentang menjadi korban bencana alam.
Selain kondisi fisik yang masih lemah, rasa cemas dan khawatir juga akan
mempengaruhi psikologis mereka yang masih dalam masa pertumbuhan
dan masih tergantung dengan orang dewasa. Mengalami kejadi menjadi
3

traumatis dan mengerikan akibat bencana dapat mengakibatkan stress dan


taruma mendalam bagi anak-anak bahkan orang dewasa sekalipun.
Pengalaman trauma yang dialami anak apabila tidak segera di atasai maka
berdampak buruk bagi perkembangan mental dan sosial anak.
Tidak mudah memulihkan kesehatan psikis dan mental anak-anak
korban bencana. Perlu waktu panjang serta metode yang tepat untuk
menangani mereka. Namun yang masih manjadi polemik adalah
penanganan anak-anak korban bencana dari trauma berkepanjangan masih
diwarnai dengan kepentingan politik dan ego masing-masing lembaga atau
organisasi mengklaim hanya merekalah yang boleh menanganinya.
Seharusnya penanganan anak-anak korban bencana dilakukan tanpa batas
dan diberi kebebasan seluas-luasnya.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana komunikasi yang efektif bagi anak-anak korban bencana?
2. Bagaimana penanggulangan trauma pada anak-anak korban bencana?
C. Tujuan penulisan
1. Dapat menjelaskan komunikasi yang efektif bagi anak-anak korban
bencana
2. Dapat menjelaskan bagaimana penanggulangan trauma pada anak-anak
korban bencana
D. Sistematika penulisan
Sistematika penulisan makalah ini dibagi menjadi 3 BAB yang terdiri dari :
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
a. Latar Belakang
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Penulisan
d. Sistematika Penulisan
BAB II Tinjauan Teori
a. Komunikasi Terapeutik
4

Definisi Komunikasi Terapeutik


Tujuan Komunikasi Terapeutik
Komunikasi Terapeutik Pada Anak
b. Bencana Alam
Definisi Bencana Alam
Dampak Bencana Alam Terhadap Psikologis Pada Anak
BAB III Pembahasan
BAB IV Penutup
a. Kesimpulan
b. Saran
Daftar Pustaka
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Komunikasi Terapeutik

Definisi Komunikasi Terapeutik


Komunikasi terapeutik adalah suatu pengalaman bersama antara
perawat-klien yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien. Maksud
komunikasi adalah mempengaruhi perilaku orang lain.
Komunikasi adalah berhubungan. Hubungan perawat-klien yang
terapeutik tidak mungkin dicapai tanpa komunikasi (Budi Anna Keliat).
Hubungan terapeutik sebagai pengalaman belajar baik bagi klien
maupun perawat yang didentifikasikan dalam empat tindakan yang harus
diambil antara perawat-klien, yaitu:
- Tindakan diawali perawat
- Respon reaksi dari klien
- Interaksi dimana perawat dank lien mengkaji kebutuhan klien dan
tujuan
- Transaksi dimana hubungan timbal balik pada akhirnya dibangun
untuk mencapai tujuan hubungan.
Kalthner, dkk (1995) mengatakan bahwa komunikasi terapeutik
terjadi dengan tujuan mendorong pasien yang dilakukan oleh orang-orang
yang professional dengan menggunakan pendekatan personal berdasarkan
perasaan dan emosi. Di dalam komunikasi terapeutik ini harus ada unsur
kepercayaan.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan
secara sadar dan bertujuan dan kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan
pasien, dan merupakan komunikasi professional yang mengarah pada
tujuan untuk penyembuhan pasien (Heri Purwana, 1994).
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal yaitu
komunikasi antara orang – orang secara tatap muka yang memungkinkan

5
6

setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung baik secara
verbal dan nonverbal (Mulyana, 2000)
Tujuan Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik dilaksanakan dengan tujuan::
1. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan
dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi
yang ada bila pasien percaya pada hal-hal yang diperlukan.
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang
efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri dalam
hal peningkatan derajat kesehatan.
4. Mempererat hubungan atau interaksi antara klien dengan terapis
(tenaga kesehatan) secara professional dan proporsional dalam rangka
membantu penyelesaian masalah klien.
Komunikasi Terapeutik Pada Anak
Cara yang terapeutik dalam komunikasi dengan anak adalah sebagai
berikut:
1. Nada suara
Bicara lambat dan jika tidak di jawab harus I ulang lebih jelas dengan
pengarahan yang sederhana. Hindari sikap mendaesak untuk di jawab
dengan mengatakan ‘’jawab dong’’
2. Mengalihkan aktivitas
Kegiatan anak yang berpindah pindah dapat meningkatkan rasa cemas
terapis dan mengartikannya sebagai tanda hiperaktif. Anak lebih
tertarik pada aktivitas yang disukai sehingga perlu dibuat jadwal yang
bergantian antara aktivitas yang disukai dan aktivitas terapi yang di
programkan
3. Jarak interaksi
Perawat yang mengobservasi tindakan non verbal dan sikap tubuh
anak harus mempertahankan jarak yang aman dalam berinteraksi
7

4. Marah
Perawat perlu mempelajari tanda control prilaku yang rendah pada
anak untuk mencegah tempertantrum. Perawat menghindari bicara
yang keras dan otoriter serta mengurangi kontak mata jika respon anak
meningkat. Jika anak mulai dapat mengontrol prilaku, kontak mata
dimulai kembali namun sentuhan ditunda dahulu
5. Kesadaran diri
Perawat harus menghindari konfrontasi secara langung, duduk yang
terlalu dekat dan berhadapan. Meja tidak diletakan antara perawat dan
anak. Perawat secara non verbal selalu memberi dorongan,
penerimaan dan persetujuan jika diperlukan
6. Sentuhan
Jangan sentuh anak tanpa izin dari anak. Salaman dengan anak
merupakan cara untuk menghilangkan stress dan cemas khususnya
pada anak laki laki
B. Bencana Alam
Definisi Bencana Alam
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
menyebutkan definisi bencana sebagai berikut:
Secara umum pengertian mengenai beberapa istilah
bencana dapat diuraikan sebagai berikut :
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda dan dampak psikologis.
Bencana Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan
dan tanah longsor.
8

Dampak Bencana Alam Terhadap Psikologis Pada Anak


Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang
besar, perubahan iklim globall yang mengakibatkan banjir maupun
kekeringan, gerakan patahan bumi yang mengakibatkan gempa bumi dan
tsunami , penebangan liar yang berakibat tanah longsor serta bencana
konflik dan terorisme. Setiap tahun ribuan orang meninggal dunia, ratusan
ribu yang lain kehilangan kehidupan mereka. Banyak korban yang selamat
menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja, ternak, dan peralatan
menjadi rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak psikologis
akibat bencana, misalnya - ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati rasa
secara emosional, dan kesedihan yang mendalam. Bagi sebagian penyintas,
dampak ini memudar dengan berjalannya waktu. Tapi untuk banyak orang
lain, bencana memberikan dampak psikologis jangka panjang, baik yang
terlihat jelas misalnya depresi , psikosomatis (keluhan fisik yang
diakibatkan oleh masalah psikis) ataupun yang tidak langsung : konflik,
hingga perceraian.
Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respons langsung
terhadap kejadian traumatik dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain
juga akan menyusul, ini adalah dampak tidak langsung dan bersifat jangka
panjang yang dapat mengancam berbagai golongan terutama kelompok
yang rentan yaitu anak-anak, remaja, wanita dan lansia.
Di bawah ini dampak psikologis bencana alam terhadap anak :
 Mudah merengek
 Jika menginginkan sesuatu, minta segera
 Tidak mau tidur sendiri
 Kesulitan untuk tidur
 Mimpi buruk
 Menangis tanpa alasan yang tepat
 Tampak sedih dan menarik diri
 Tampak sangat aktif
 Mudah marah
 Mudah frustasi
9

 Mengeluh sakit
 Berperilaku seperti anak yg lebih kecil lagi (mis, mengompol,
menggingit kuku)
 Mudah merasa terganggu oleh sesuatu
 Bertindak agresif
 Bermain, membuat cerita atau gambar ttg kejadian traumatik
 Membicarakan peristiwa traumatik
 Menghindari pembicaraan mengenai peristiwanya saat ditanya
 Tampak takut pada sesuatu yang mengingatkannya tentang
peristiwa traumatik yang ia alami
 Sembunyi jika mendengar suara sirene ambulan
 Tidak mau bermain dengan teman-teman
 Menggambar symbol saat bencana secara berlebihan
 Agresif
 Mimpi buruk
 Ketakutan tanpa alasan yang tepat
 Tampak cemas
 Tampak sedih dan menarik dire
 Harus selalu ditemani
 Tampak terlalu aktif
 Mudah marah
 Mudah frustasi
 Sering mengeluh sakit
 Curiga berlebihan pada orang asing
 Mudah melawan aturan
 Pandangannya kosong
 Bermain, membuat cerita atau gambar ttg kejadian traumatik
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian Trauma Healing

Trauma dalam istlah psikologis menunjukan kondisi syok dan


tertekan oleh suatu peristiwa yang membekas relatif lama pada korban.
Beberapa kondisi yang dapat potensial menjadi peristiwa traumatis
menurut Taylor (2000) antara lain bencana, menjadi korban kriminal,
kehilangan orang yang dicintai, kehilangan harta benda.
Trauma healing adalah suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan
untuk mengurangi atau menghilangkan trauma yang ada. Di sisi lain,
trauma healing adalah suatu tindakan yang di lakukan untuk membantu
orang lain yang sedang mengalami gangguan dalam psikologisnya yang di
akibatkan syok atau trauma
B. Manfaat Trauma Healing
Kegiatan trauma healing mempunyai banyak manfaat bagi
masyarakat yang menjalani trauma healing ini, berikut ini merupakan
manfaat dari trauma healing:
1. Menghilangkan beban di pikiran
2. Membuat bahagia
3. Menjadi pribadi yang lebih ikhlas
4. Menjadi semangat kembali
5. Membuat hati tenang dan tentram
6. Lebih peka untuk menyikapi keadaan yang ada
C. Kegiatan Trauma Healing
Banyak cara atau teknik yang dapat dilakukan sebagai bentuk
upaya trauma healing, ini berbagai cara yang dapat dilakukan ketika akan
melakukan trauma healing di tempat bencana, yaitu:
1. Terapi bermain menurut Endah Nawangsih dalam jurnal nya Play
Therapy Untuk anak-anak Korban Bencana Alam Yang Mengalami
Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD).

10
11

Bermain adalah merupakan suatu aktifitas yang dilakukan


dengan sukarela atas dasar rasa senang dan menumbuhkan aktifitas
yang dilakukan secara spontan.
Terapi bermain merupakan salah satu kegiatan yang dapat
dilakukan dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja, karena dari
anak kecil sampai dewasa suka dengan yang namanya bermain.
Permainan yang dapat dilakukan dalam terapi ini tergantung situasi
dan kondisi yang ada. Contohnya ketika suatu tempat bencana disana
tidak ada apa-apa, kita sebagai mahasiswa juga tidak mempunyai
perlengkapan yang cukup untuk melakukan suatu permainan yang
besar, tapi semua itu tidak membatasi kita untuk melakukan terapi
bermain ini, kita bisa menggunakan permainan klasik yang adik-adik
di tenda penampungan biasa mainkan, kita harus bisa meyakinkan
mereka untuk bangkin, untuk melakukan aktifitas seperti biasa, dan
mensyukuri apa yang masih ada. Di sini lah kita sebagai mahasiswa
membutuhan komunikasi yang efektif untuk melakukan terapi,
terutama kepada anak-anak.
Dengan terapi bermain ini, pelakunya mampu menghilangkan
beban dihati, bisa tersenyum dan bahagia walaupun konsisinya saat ini
lagi kurang beruntung.
2. Terapi aktifitas kelompok
Terapi aktifitas kelompok adalah salah satu terapi modalitas
yang dilakukan oleh perawat kepada sekelompok klien yang
mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan
sebagai terapi dan kelompok digunakan sebagai target asuhan.
Sehingga di dalam kelompok tersebut terjadi dinamika interaksi yang
saling bergantung, saling membutuhkan dan menjadi laboratorium
tempat klien. Berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki
perilaku lama yang maladaptif (Buddi Anna Keliat dan Akemat, 2005)
12

Dalam terapi ini masyarakat dibentuk dalam sebuah kelompok


teradap sekitar sepuluh orang. Di dalam kelompok tersebut kita
sebagai mahasiswa yang memimpin dan sebagai fasilitator.
3. SELF (Spiritual Emosional Freedom Technique)
SELF merupakan pengembangan dari EFT dari Hale Downskin,
dimana dalam teknik SELF ditambahkan dengan sugesti spiritual
kepada penyintas. Teknik ini mengkombinasikan teknik relaksasi-
mediatif dan akupuntur. Kegiatan SELF ini dilakukan sekitas 3-5
menit.
4. Terapi memasak
Memasak pada prinsipnya adalah proses atau pemberian panas
pada bahan makanan sehingga bahan itu menjadi mudah dicerna, aman
dan lezat serta mengubah bentuk penyajian. Terapi ini bisa diakukan
pada usia anak yang sudah lebih besar.
Terapi memasak ini dilakukan oleh masyarakat dengan cara
memasak secara berasama-sama- sehingga ada interaksi antar individu,
dan masing-masing individu tidak berlarut-larut dalam kesedihan
mereka masing-masing.
Pada terapi ini masyarakat saling berusaha membantu teman
atau saudaranya dengan menyediakan masakan untuk dimakan
bersama-sama.
5. Relaksasi
Relaksasi adalah upaya dari rilaks, bukan hanya fisik, tetapi juga
batin kita. Namun relaksasi bukanlah meditasi. Relaksasi adalah anak
tangga menuju meditasi.
Relaksasi ini dapat dilakukan dengan tujuan untuk menenangkan diri,
menyelaraskan apa yang ada pada diri individu, dan menghilangkan
beban yang ada, sehingga lebih rilaks dan merasa nyaman.
13

D. Cara Komunikasi Dalam Trauma Healing


Cara berkomunikasi saat melakukan trauma healing yaitu:
1. Mengajak ngobrol dan mendengarkan keluh kesahnya, hindari kesan
menasehati.
2. Jangan mengungkit kejadian penyebab trauma.
3. Memberikan pengertian dan motivasi bahwa musibah itu adalah ujian
untuk meningkatkan derajat seseorang. Jadikan diri penyintas menjadi
penting dan dibutuhkan orang sekitar.
4. Mengajak bermain denga permainan yang disukai penyintas anak.
Sedangkan terdapat langkah-langkah berkomunikasi dengan baik
menurut Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Diponegoro dalam jurnalnya Sekolah Petra (Penanganan Trauma) Bagi
Anak Korban Bencana Alam yaitu pertama, identifikasi masalah dengan
mengumpulkan data-data di lapangan; kedua, spesifikasi masalah
berdasarkan data-data yang telah diambil, sehingga terbentuk kelompok-
kelompok yang digolongkan berdasarkan tingkat trauma, permasalahan,
dan kepribadian penyintas, dan kategori lain yang dianggap penting;
ketiga, pemecahan masalah dengan mencari solusi yang tepat terhadap
penanganan masing-masing kelompok. Setelah terbentuk kelompok-
kelompok dengan metode penanganan masing-masing, maka komunikasi
dan proses perbaikan psikologi dapat dimulai. Lamanya waktu
pelaksanaan program ini disesuaikan dengan tingkat perkembangan korban
dan mengacu pada evaluasi yang dilakukan.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tidak mudah memulihkan kesehatan psikis dan mental anak-anak


korban bencana. Perlu waktu panjang serta metode yang tepat untuk
menangani mereka. Namun yang masih manjadi polemik adalah
penanganan anak-anak korban bencana dari trauma berkepanjangan masih
diwarnai dengan kepentingan politik dan ego masing-masing lembaga atau
organisasi mengklaim hanya merekalah yang boleh menanganinya.
B. Saran
Seharusnya penanganan anak-anak korban bencana dilakukan tanpa
batas dan diberi kebebasan seluas-luasnya.

14

Anda mungkin juga menyukai