Anda di halaman 1dari 8

Kesabaran Istri yang Dimadu

- Kisah Cinta dan Kesabaran Seorang Wanita


Kepada Suami dan Ibu Mertuanya Sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar.
Sepenggal kalimat tersebut mungkin terdengar sederhana, namun mempunyai kelebihan
tersendiri.
Seperti bagiku, menjadi orang yang sabar adalah kunci dari segalanya.
Aisyah, itulah namaku. Aku merasa menjadi perempuan yang paling bahagia, sejak aku
menikah
dan menjadi seorang istri dari seorang pria soleh dan penyayang bernama Ridho, 28.
Pernikahan kami berlangsung meriah.
Ridho adalah pria soleh, tampan, setia, perhatian dan pengertian. Ia memegang kuat
komitmennya
saat kami masih berpacaran. Kurang lebih lima tahun kami menjalani masa pacaran. Banyak
wanita yang tertarik akan ketampanannya. Namun, ia tetap pada pendiriannya, ia tetap setia
denganku, hingga masa itu pun tiba dimana ia mengucap
sumpah janji sehidup semati di depan wali dan para saksi.
Sebulan setelah pernikahan kami, kami pun berbulan madu di tanah suci sekaligus melakukan
ibadah umroh. Saat itu aku merasa hidupku sempurna, mempunyai suami yang sangat
memanjakanku, dan membimbingku ke jalan yang benar.
Memasuki bulan keenam kebahagiaan kami
bertambah sempurna dengan kabar akan hadirnya sosok mungil yang menemani kesepian
kami.
Ya aku hamil, kehamilanku yang tak terduga itu
memasuki usia tiga bulan.
Tapi entah kenapa, Allah memberikan kami sebuah cobaan.
Berawal dari pagi hari mas Ridho yang hendak berangkat ke rumah sakit, ya seperti biasanya.
Ia
adalah seorang dokter kulit di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta.
Entah kenapa pagi itu mas Ridho seperti berat untuk meninggalkanku pergi bekerja. Ia
berulangulang kali memelukku dan mencium keningku. Namun tak sedikitpun aku mempunyai
perasaan yang tak enak. Dan akhirnya mas Ridho pun
berangkat meninggalkan aku di rumah. Rumah mas Ridho terbilang cukup besar, tapi Ibu
mertuaku adalah orang yang giat, hingga ia tak
berkeinginan menyewa pembantu di rumahnya. Karena jenuh di rumah saja, akupun berniat
membersihkan kamar dan seluruh isi rumah itu. Ibu
mertuaku sempat melarangku, mengingat aku sedang hamil muda dan rentan keguguran, tapi
aku
tetap mengerjakan pekerjaan itu.
Satu persatu ruangan itu kubersihkan, hingga saatnya tiba aku membersihkan tangga di
rumah
itu, saat lantai licin aku pun terpeleset dari tangga hingga terjatuh kebawah. Dan
mengakibatkanku
pingsan dan mengalami pendarahan yang hebat. Ibu mertuaku terkejut dan berteriak histeris

kala melihat aku terjatuh. Segeranya aku dilarikan ke


rumah sakit tempat suamiku bekerja.
Aku pun tak sadarkan diri, ya menurut cerita keluargaku. Aku mengalami koma menahun,
janinku tak dapat diselamatkan. Mas Ridho pun tertegun memandangi aku yang tak berdaya.
Yang hanya mengandalkan alat-alat medis untuk dapat bertahan hidup. Seluruh keluarga mas
Ridho pun menjenguk keadaanku.
Hari berganti hari, tanpa terasa memasuki bulan
keenam aku belum kunjung sadar juga. Mas Ridho dengan kesetiaannya tetap menjaga aku
disaat aku
tertidur panjang.
Alunan-alunan suaranya yang merdu melafalkan ayat-ayat alquran mengiringi setiap
malamku.
Ingin rasanya aku menjerit meminta bantuan Allah agar segera menyadarkanku dari koma
panjang ini.
Ya Allah aku sangat merindukan suamiku, aku ingin
sekali memeluk erat tubuhnya. Ibu, Ayah, aku merindukan kalian. Dan mertuaku, apa yang
ada di
pikiran kalian ketika melihat anakmu terluka melihat istrinya yang tak bisa apa-apa. Janinku,
bagaimana dengan bayi yang ada dalam rahimku,
selamatkah engkau wahai calon anakku?
Tanpa terasa besok adalah hari jadi pernikahanku dan mas Ridho.
Pagi itu, seperti biasa mas Ridho sarapan pagi bersama Ibu dan Bapak mertuaku serta kedua
adik
iparku. Mas Ridho yang terlihat ceria di pagi itu membuat Ibu mertuaku kebingungan dengan
sikapnya yang tak biasanya seceria pagi itu. Ibu
mertuaku pun menanyakannya.
Mas Ridho hanya menjawab
Hari ini hari jadi pernikahan aku dan Aisyah, aku ingin merayakannya jawab Ridho sambil
mengambil makanan yang tersaji di meja
makan.
Ibu mertuaku pun bertambah sedih
mendengar ucapan mas Ridho yang seakan-akan sudah dibutakan oleh keadaan. Bagaimana
bisa ia
merayakan hari jadi pernikahan kami, sedangkan aku saja belum sadarkan diri.
Sampai tiba suatu hari kedua orangtua mas Ridho merencanakan untuk menjodohkan mas
Ridho
dengan gadis pilihan mereka. Ia lah Risma, teman dekatku sewaktu masa kuliah dulu.
Hati mas Ridho pun hancur yang kala itu tau bahwa dirinya hendak dijodohkan dengan
wanita
yang jelas-jelas teman dekat istrinya. Namun Ibu mertuaku menjelaskan, perjodohan ini
dilakukan
semata-mata untuk kebaikan kami semua. Ibu mertuaku yang tak tega melihat kesedihan
panjang
anak pertamanya. Yang tiap hari seperti orang yang tak waras, hanya untuk mengobrol
denganku
yang tak sepatah katapun aku dapat menjawabnya.

Dipilihnya Risma sebagai pendamping mas Ridho agar Risma bisa membantu mereka
merawatku.
Dan alasan lain adalah karena Ibu mertuaku telah mendambakan seorang cucu.
Awalnya mas Ridho tak menyetujui permohonan ibu mertuaku. Hingga akhirnya ia pun mau
menikah
lagi dengan temanku Risma, karena pada dasarnya mas Ridho adalah anak yang penurut apa
kata kedua orangtuanya. Dengan syarat pernikahan itu berlangsung di rumah
sakit tempat aku di rawat.
Awalnya Ridho meragukan Risma untuk menjadi istrinya, namun setelah melihat kebaikan
Risma yang hampir tiap malam melantunkan pengajian di
sampingku. Ia pun menjadi bangga, dan rasa bangga itupun tumbuh menjadi cinta. Hingga di
usia pernikahan mereka yang baru genap lima bulan, Risma dinyatakan hamil. Keluarga mas
Ridho yang mendengarkan kabar itu
pun sangat bergembira. Mas Ridho memperlakukan Risma sama seperti ia memperlakukanku
sewaktu
hamil dulu. Apalagi Ibu mertuaku, ia sangat memanjakan Risma. Tak satupun pekerjaan
rumah
yang boleh Risma pegang, mengingat ia trauma akan kejadian yang menimpaku dulu.
Hari pun berlalu, hingga tiba saatnya saat kehamilan Risma hampir memasuki usia 7 bulan.
Dan tibalah saat yang aku tunggu-tunggu.
Ya aku pun terbangun dari koma panjangku, sesaat setelah Risma membacakan surat yasin di
depanku.
Perlahan-lahan aku membuka mataku. Dan melihat-lihat benda-benda di sekelilingku.
Dimana aku?.
Itulah pertanyaan yang pertama kali terbesit dalam pikiranku. Rupanya aku tengah berada di
rumah sakit. Akupun menoleh ke arah kakiku. Dan
ada seorang perempuan yang sedang tertidur pulas sambil memegang Alquran.
Siapakah dia?
Mungkinkah ia Ibuku, atau adikku, atau adik iparku, atau mungkin Ibu mertuaku?
Aku hanya bisa
bertanya dalam hati karena aku takut
membangunkannya.
Akupun masih terdiam dan berpikir, separah inikah kondisiku hingga aku harus dirawat
dengan bantuan alat-alat ini?
Dan aku terkejut saat melihat rambutku yang panjang, padahal seingatku kemarin saat
sebelum
aku di rawat di rumah sakit ini, rambutku pendek, karena aku baru memotongnya. Ya aku
memotong
rambutku. Tapi mengapa rambutku tiba-tiba jadi panjang terurai seperti ini. Aku pun makin
bingung.
Disaat kebingungan sedang mengisi pikiranku, perempuan itu pun terbangun dari tidurnya.
Dan
alangkah terkejutnya aku, ia adalah Risma teman dekatku sewaktu kuliah dulu, yang sudah
hampir dua tahun setelah wisuda kami tak pernah
bertemu. Tapi Risma lebih terkejut melihatku sudah sadar.
Ia pun langsung menghubungi dokter.
Dokter yang memeriksaku pun mengatakan bahwa aku sudah sembuh dan diperbolehkan
pulang dalam waktu dekat ini.

Alangkah bahagianya hati ini mendengar pernyataan dokter tersebut.


Dimana suamiku, aku sangat rindu padanya, dimana kedua
orangtua dan mertuaku.
Satu persatu dari mereka pun berdatangan ke dalam ruang rawatku
untuk menjenguk keadaanku. Tiba-tiba datanglah seorang pria, iya dia adalah pria yang
sangat
kutunggu kedatangannya.
Mas Ridho... Seruku sambil memeluk suamiku itu.
Air mata bergelimang membanjiri mataku, dan juga matanya. Seperti sudah lama tak
bertemu. Tak ada
yang berbeda dari mereka. Iya semuanya sama seperti waktu aku belum terbaring koma.
Hanya
saja aku heran saat melihat perut Risma yang membesar. Dan menanyakan keadaannya. Tapi
saat aku menanyakan perutnya yang besar itu Risma pun bungkam seperti merahasiakan
sesuatu.
Dua hari kemudian aku diperbolehkan pulang ke rumah. Aku memang sangat merindukan
rumah
keluarga mas Ridho, iya aku merindukan taman tempat aku dan mas Ridho bertukar pikiran
saat
malam sebelum kami tidur. Aku merindukan meja makan yang mengumpulkan aku dengan
keluarga
mas Ridho. Aku merindukan kamarku, tempat peristirahatan aku dan suamiku, melepas lelah
setelah seharian melakukan aktifitas.
Mengapa kini semua berbeda?
Ketika aku memasuki kamar aku dan suamiku, suasananya begitu berbeda, dan kutengok
sekeliling
kamar itu. Betapa terkejutnya aku, saat melihat foto pernikahan mas Ridho dan Risma. Ya itu
foto mereka. Tanpa disadari airmata telah membanjiri pipiku, segera kujalankan kursi roda
yang membawa tubuhku. Mas Ridho pun mengejarku yang saat itu pergi ke taman tempat
aku biasa berbagi cerita dengan suamiku itu.
Dengan menangis suamiku memelukku dengan erat. Ia menjelaskan semuanya. Ia menikahi
Risma karena Ibu mertuaku yang menyuruhnya agar mas Ridho tidak berlarut dalam
kesedihannya karena
istri kesayangannya koma selama hampir dua tahun. Hingga kini Risma tengah mengandung
hampir tujuh bulan.
Akupun tak kuasa menahan air
mataku. Ternyata selama ini aku tertidur panjang, hingga rambutku ikut terurai panjang
seperti ini?
Satu yang ingin kupertanyakan padamu Aisyah, apakah kau ikhlas bila kau membagi
cintamu untuk
Risma sahabat baikmu sendiri ? Tanya mas Ridho.
Ya Allah pertanyaan macam apa itu, sepahit inikah nasibku hingga aku harus menerima
keadaan
bahwa aku harus dimadu dengan sahabatku sendiri.
Aku pun tak menjawab, dan bergegas pergi, mas Ridho yang ingin membantuku kucegah.

Aku pun pulang ke rumah orangtuaku, dengan alasan aku rindu dengan mereka. Keluarga
mas Ridho pun mengizinkan. Mas Ridho yang ingin
mengantarkanku pun lagi-lagi kucegah, dan lebih menunggu adikku Hanafi menjemputku
dengan mobilnya.
Setiba di rumah orangtuaku, mereka pun menceritakan kejadian seperti apa yang diceritakan
mas Ridho. Ibuku menyuruhku agar mencoba
mengikhlaskan pernikahan itu. Tapi aku tak mau terhanyut dalam pembicaraan yang
membuat dadaku sesak itu.
Sepertiga malam, seperti biasanya aku selalu menunaikan solat istikhara, meminta petunjuk
dari
sang Ilahi apa yang harus kuperbuat. Aku yakin apa yang Allah berikan itulah yang terbaik
untukku.
Dan aku yakin dengan keyakinanku, bahwa aku akan mencoba ikhlas dalam membagi cinta
dengan sahabatku sendiri.
Aku pun pulang ke rumah mas Ridho, ia menjemputku dengan senang hati. Dan aku mencoba
membicarakan tentang apa yang menjadi
pertanyaannya kemarin.
Aku mencoba untuk ikhlas, jika semua orang yang aku sayang
bahagia, terlebih Ibumu, dia pasti sangat bahagia atas kelahiran cucu pertamanya nanti
Kataku sambil menahan sesak dadaku karena airmata yang tertahan.
Setelah pernyataan itu ku ucapkan, aku pun tidur guna meringankan sesak di dadaku. Tapi itu
tak
dapat mengeringkan airmata yang terus menetes di pipiku. Mas Ridho yang berusaha
menenangkanku,
kucegah dan menyuruhnya menemani Risma yang sedang hamil. Mas Ridho pun menuruti
permintaanku, untuk pergi ke kamar Risma.
Kehidupanku kini serba berubah, tak seperti dulu.
Dulu hanya aku yang ada di hati mas Ridho, hanya aku perempuan yang dikecup keningnya
sebelum ia
pergi bekerja, hanya aku yang menyiapkan sarapan paginya.
Kini itu semua terbagi, terbagi oleh Risma sahabatku sendiri.
Hari ini Risma berdandan rapi, seperti ingin pergi keluar.
Kutanyakan hendak kemana ia pergi, ia pun menjawab kalau ia ingin pergi berbelanja untuk
perlengkapan bayinya nanti bersama Ibu mertua
kami.
Aku pun ingin ikut bersamanya, namun Ibu mertuaku melarang aku ikut, dengan alasan
kondisiku belum sehat betul untuk berpergian.
Dengan berat hati aku mematuhi nasihat ibu mertuaku. Padahal dalam hatiku menangis,
mengingat posisiku telah digantikan Risma, sahabatku sendiri. Tapi aku tak pernah dendam
kepada Risma, karena biar bagaimanapun ia juga istri dari suamiku, menantu dari mertuaku.
Ia
berhak mendapatkan kasih sayang dari mereka.
Waktu pun terus berjalan, aku menjalani kehidupanku dengan penuh kesabaran. Melihat sikap
mas Ridho yang amat teramat perhatian

pada Risma dan kandungannya. Dan ibu mertuaku yang aku rasa lebih menyayangi Risma
dibandingku. Hingga pernah suatu ketika aku
mendengar pembicaraan antara mas Ridho dengan Ibunya, yang kala itu Ibu mertuaku
menyuruh mas
Ridho agar segera menceraikanku sesaat setelah kelahiran cucunya nanti.
Ibu ingin kamu segera menceraikan Aisyah setelah Risma melahirkan nanti, bagi Ibu
kebahagiaanmu setelah kamu menjadi ayah sudah cukup. Jadi untuk apa berlama-lama
menahan Aisyah? Dia kan belum bisa memberikanmu keturunan sampai
saat ini ! Cetus Ibu mertuaku.
Hatiku bagai teriris kala mendengar pembicaraan mereka dan tanpa sengaja aku menjatuhkan
gelas.
Hingga mas Ridho tau bahwa aku sudah mendengar pembicaraan mereka. Mas Ridho
mencoba menjelaskan semuanya, tapi aku hanya bisa pasrah dengan keadaan. Aku serahkan
semuanya kepada Allah, dan menyuruh mas Ridho
menuruti kehendak ibunya. Karena bagaimanapun, aku tak mau suamiku menjadi anak
durhaka kepada
orangtuanya hanya untuk menuruti egoku. Tak ada jawaban apa-apa dari mas Ridho. Ia tak
memberikan komentar apapun mengenai persetujuanku untuk diceraikan.
Suatu ketika Risma bercerita, ia pernah bertemu dengan Farid yakni mantan pacarnya yang ia
putuskan karena ia menikah dengan mas Ridho.
Farid pun mengatakan bahwa ia masih menunggu
Risma. Kegalauan yang dirasakan Risma muncul setelah itu, disatu sisi ia memang masih
mencintai
Farid, di sisi lain ia tak mau menghianati suaminya yang tak lain suamiku juga.
Aku menasehati agar Risma tetap bertahan dengan mas Ridho. Namun
Risma tidak berani mengambil keputusan saat itu.
Hingga tiba saat Risma melahirkan. Dan waktunya perceraian itu pun tiba, semua pikiranku
kacau
balau.
Aku yang tak pernah lupa meminta petunjuk kepada Allah agar memberikan yang terbaik
untuk
aku dan mas Ridho. Kelahiran anak pertama Risma menjadi berita gembira bagi keluarga mas
Ridho,
terlebih Ibu mertuaku.
Ia sibuk mencari-cari nama yang pas untuk anak pertama mas Ridho. Di samping rasa
bahagia yang
tengah kurasakan saat itu, ada rasa sedih dimana aku harus ikhlas melepas mas Ridho yang
sudah
lima tahun bersamaku, dan dua tahun lebih menjadi suamiku.
Ya Allah apa yang sekarang ada di pikiran mas Ridho?
Apakah ia benar-benar sanggup
memenuhi keinginan Ibunya?
Terlebih ia adalah sosok anak yang sangat berbakti dan selalu
menuruti keinginan orangtuanya. Tentu ia tak akan membuat Ibunya kecewa dengan lebih
memilih
hidup bersamaku.

Besok adalah hari penentuan statusku, apakah aku akan tetap menjadi istri mas Ridho atau
aku
menjadi janda.
Di saat rasa ketakutan itu datang,
tiba-tiba kami dibuat bingung dengan
menghilangnya Risma yang entah pergi kemana. Kami mencari Risma kian kemari tapi
Risma tak ditemukan.
Hingga kami menemukan sebuah surat yang berisi
tulisan Risma.
Assalamualaikum..
Mas Ridho, maaf aku pergi tanpa pamit terlebih dahulu. Maaf juga kalau aku harua
meninggalkanmu, meninggalkan Ibu dan Ayahmu,
meninggalkan kalian semua yang ada disana.
Sekarang tugasku sudah selesai. Menjadi seorang istrimu yang tak pernah aku bayangkan
sebelumnya.
Maaf jika selama aku menjadi istrimu aku kurang mampu. Maaf juga aku tak bisa menjadi
istri soleha, yang selalu tepat waktu membangunkanmu
di waktu subuh seperti Aisyah. Maaf juga kalau masakanku tak senikmat masakan Aisyah.
Maaf
juga kalau aku belum mampu memakai jilbab untuk menutup aurat dan menjaga
kehormatanmu seperti
Aisyah. Maaf juga aku yang sering pergi tapi lupa untuk pamit, tidak seperti Aisyah yang tak
pernah
mau keluar kalau tak mendapat ijin darimu. Maaf atas segala kekuranganku itu.
Untukmu Aisyah, jagalah mas Ridho. Aku tau kamulah satu-satunya wanita yang paling
pantas untuk mendampingi mas Ridho. Cintamu yang begitu besar untuknya hingga kau rela
membagi cintamu kepadaku. Aku tau itu sangat menyakitkan. Tapi kaulah wanita hebat, kau
wanita
tegar yang pernah aku kenal. Jagalah slalu hatinya jangan pernah sekalipun kau
menyakitinya seperti aku yang telah meninggalkannya.
Untukmu Ibu mertuaku sayang, aku sudah menuruti keinginanmu agar menikah dengan
anakmu Bu,
aku sudah menuruti keinginanmu untuk membantumu menjaga Aisyah di sepanjang
komanya. Aku tau kau sayang sekali kepadaku hingga kau menyuruh mas Ridho agar cepatcepat menceraikan Aisyah. Aku hargai kasih sayangmu
itu Bu, tapi caramu itu salah. Aku menikah dengan anakmu bukan semata-mata karena cinta.
Jujur, aku belum bisa mencintai anakmu dengan hatiku, sampai aku tak pernah sedikitpun
cemburu saat ia menjaga Aisyah sewaktu tidur. Saat ia mencium kening Aisyah di depan
mataku. Aku tak pernah
cemburu seperti Aisyah cemburu kepadaku. Karena aku tidak benar-benar mencintai
anakmu, seperti Aisyah yang mencintainya. Aku lakukan ini semua karena aku tak ingin
engkau, orang yang
paling Aisyah cintai itu kecewa. Mas Ridho yang Aisyah cintai itu menderita karena Aisyah
koma
panjang. Ketahuilah mah, untuk mengikhlaskan pernikahan suaminya dengan perempuan
lain itu
tidaklah mudah, maka itu berbangga hatilah kau mempunyai seorang menantu sempurna

seperti
Aisyah yang rela membagi cintanya dengan perempuan lain. Perempuan yang tak pernah
sama sekali mencintai anakmu.
Kini aku memilih jalanku untuk melanjutkan hubunganku dengan Farid, aku mencintainya,
Bu.
Untukmu keluargaku, maaf kalau selama ini aku.merepotkan kalian semua. Terimakasih
sudah mau
menerimaku di tengah-tengah keluarga kalian. Terimakasih atas segalanya.
Aisyah, Ridho, tolong jaga anakku. Allah telah mempersatukan kalian bertiga tanpa adanya
penghalang. Tolong rahasiakan siapa Ibu kandungnya. Jika tiba saatnya, insya Allah aku
akan datang melihat keadaan anakku.
Terimakasih atas semuanya.
Wassalam.
Begitulah surat yang ditulis Risma kepada kami. Perasaan sedih masih menyelimuti kami
karena ditinggal pergi oleh Risma.
Tapi setelah kejadian itu, Ibu mertuaku pun meminta maaf kepadaku atas perlakuannya
terhadapku kemarin.
"Tanpa Ibu meminta maaf, aku sudah ikhlas memaafkanmu, Bu".
Dan kini akhirnya kami hidup bahagia. Tanpa mengetahui kabar Risma selanjutnya.
Yang kami dengar adalah Risma telah menikah dan tinggal bersama Farid di luar kota.
Bagiku menjadi seorang yang sabar adalah kunci dari segalanya. Kunci untuk meraih
kemenangan.
Seperti kesabaranku dulu yang ikhlas dimadu oleh sahabatku sendiri.

Anda mungkin juga menyukai