“Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke
kamar.”
“Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan
alasan, kehabisan stok bohong, dan ibuku malah makin gencar menteror.”
“Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,”
komentarku.
“Persis!” potongku.
“Sok tahu,” cibirku. “Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu tentang
keuntungan menikah.”
“Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah 35 tahun,
kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.”
“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik
tanpa perlu lagi menikah?”
“Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, loh. Aku hanya
masih menunggu calon yang pas.”
“Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?”
“Maksudku, aku mau orang yang sama menggandeng tanganku kemanapun aku
pergi.”
“Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekedar mengontrak penggandeng
tetap?” tanyanya kemudian, lebih serius.
“Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang
salah. Kalau saja, “ aku terdiam.
“Apa?”
“Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik hati
setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau lelaki
yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka memukuli, mencaci maki,
menghina, orangnya pelit, cemburuan, suka berbohong dan berkhianat.”
“Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh
dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,” dan ia kembali terkulai, mata tertutup,
lidah terjulur.
“Dan kau, kalau kau mau menikah, percayalah setidak-tidaknya pada satu
orang saja dari golongan laki-laki.”
“Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan. Dan
kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara kau akan makan
makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan…?”
“Idan!” walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum
mendengar pernyataan konyol itu. Setelah 20 tahun menjadi sahabatku, ia benar-
benar telah memahamiku.
“Apa kau pernah berfikir tentang ibumu?” katanya kemudian. Seperti biasa ia
bisa berhasil menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang waktu
sepersekian detik. “Ia pasti sangat ingin kau segera mendapat pasangan tetap. Ia
akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya seseorang yang akan menemani dan
melindungimu.”
“Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah,” Idan membungkuk dalam-
dalam. “Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan menikah,
apa yang ingin kau capai dengan itu?”
Aku tertunduk lemas. “Itulah, Dan,” desahku. “Aku tidak tahu. Apalagi yang
aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang lumayan. Jadi
menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan untukku. Aku punya teman-
teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi kesepian juga bukan alasan bagiku untuk
menikah.”
“Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi,
kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya. Kalau aku
mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka. Jadi tolong,
jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku sendiri, mengambil
risiko dilukai lahir atau batin. Tak ada kepastian sama sekali bahwa pernikahan itu
akan bertahan sepanjang hidupku. Disamping itu, kalau pernikahan itu hancur di
tengah jalan, aku akan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa,
Dan? Untuk apa?”
“Kau terlalu banyak menonton film romantis,” olokku. “Kau tahu berapa lama
cinta bertahan dalam suatu pernikahan?”
“Berapa lama?”
“Imajinasi?”
“Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci seklaigus
yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan menikah dengan Rischard
Gere atau kau bisa jadi gila.”
“Astaga,” gumam Idan. “kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang harus
kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?”
“Idan, kau benar-benar tak terlong lagi,”gumamku. “Aku perlu solusi, dan
bukan ide-ide konyol.”
Idan membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.
Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati. “Pit, aku tahu ini akan kedengaran
gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa menyelesaikan kedua masalahmu.
Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras laki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu
kenapa kau butuh seorang suami.”
“Sebelumnya aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting , jadi aku
perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?”
Kutatap Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selama 20 tahun.
Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya 6 lelaki telah hadir dan
menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang tak berganti. Ia sekan-akan selalu siap
mengulurkan tangan menolongku, sementara sense of humor-nya tak pernah gagal
membantu keluar dari depresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di
dunia yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan orangnya. “Ya. Aku
percaya kepadamu.”
“Apa?”
“Simulasi!” lanjut Idan sesegera mungkin. “Tentu saja lengkap dengan semua
formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon….”
“Bulan madu?”
“Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya,” sanggah Idan mantap.
“Pikirkan, Pit. Ini satu-satunya cara supaya supaya kita bisa belajar seperti
apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh menikah. Kau tidak
mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki sifat
ksatria, dapat dipercaya dan teguh pendirian…”
Dan kau sama sekali tidak melalukan pengorbanan apapun. Kau tidak akan
mengalami kerugian apapun.”
“Oke. Pernikahan simuasi,” geramku. “Dan aku akan menyandang status janda
setelah kita bercerai.”
“Simulasi”
“Idan!”
“Upit!”
“Oh, Tuhan.” Aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Idan segera
menjejeriku.
“Upit, kau tidak perlu semarah ini,” katanya. “Apa aku sejelek itu dimatamu
hingga kau bahkan tidak mau pura-pura menikah denganku?”
Aku menggeleng.” Aku bukan marah karena idemu, Dan. Aku tahu otakmu
memang selalu korslet tiap kali memikirkan jalan keluar dari suatu problem serius.
Aku mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinya tidak peduli dengan
masalahku.”
“Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Pit,” ekspresinya
tampak begitu tulus.
“Pikirkan ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah, denganku,
orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat kepada orangtua, ulet,
tangguh…” ia berhenti saat melihat raut wajahku. “Ibumu akan sangat bahagia, Pit.
Pikirkan juga dirimu.”
“Idan,” teguran itu lebih lembut daripada yan kuinginkan dan Idan tersenyum.
***
Suaranya bergetar. “Saya terima nikahnya Puspita Kirana binti Anwar Daud
dengan mas kawin tersebut, tunai.”
Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apa ia
terjaga berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya, seperti aku yang
nyalang nyaris sepanjang malam tadi?
Ibuku meneteskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. Ibu
Idan, walau menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia. Seharusnya aku
juga bahagia hari ini. Idan juga. Mungkin dengan orang-orang lain. Tapi seharusnya
aku merasa bahagia. Bukan diam-diam mencatat seperti seorang ilmuwan yang teliti :
perasaanku, reaksi para tamu, wangi melati dan wajah Pak Penghulu.
Pak penghulu menyuruhku suami baruku. (Simulasi, Upit, jangan lupa itu.
Suami baru simulasi). Tangannya dingin. Ekspresi wajahnya aneh, kedua matanya
gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku mendongak setelah mencium jemarinya. Ia
mengecup dahiku dengan bibirnya yang nyaris putih. Lalu kami berdua duduk
berdampingan mendengarkan petuah Pak Penghulu. Idan menunduk menatap pantalon
putihnya dan mataku terpaku pada kain batikku.
“Terlalu nervous?”
Aku tersenyum.
“Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau beri tercuci dengan
celanaku.”
Ah. Idan, Idan. Menikah dengannya tidak akan pernah membosankan.
Simulasi. Menikah simulasi dengannya tidak akan membosankan, koreksiku.
***
Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan sendiri. Dan setelah
seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan, malam itu kami
lewati dengan tidur.
“Aku ada rapat pukul setengah delapan,” seru Idan sambil membalik dadar
telurnya. “Aku mesti berangkat sebelum setengah 6.”
Kucicipi nasi goreng buatannya. “Aku tidak tahu kau pintar memasak.”
“Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan
memperbaiki keran dan genting bocor, plus membabat rumput.”
Idan terbahak. “Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak setiap
pagi.”
“Jangan,” Idan menggeleng. “Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar
berbeda.”
“Jadi?”
Idan menggaruk kepalanya. “Bisakah kau masak nasi tiap hari?” pintanya.
“Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik.”
Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin
merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantunng di dinding dapur.
“Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati”, lanjutnya.
“Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang terlambat.”
“Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang
terlambat?”
Aku menggeleng. “Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri
dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh.”
“Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan dimana kau
kalau pulang terlambat.”
Idan meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa
kapan terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah membaca
gelagatnya kali ini. Ia benar-benar marah.
“Ingat,” lanjutku hati-hati. “Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak punya
hak untuk mengaturku seperti itu.”
Aku sengaja pulang terlambat malam itu. Dalam perjalanan pulang kusinggahi
kafe yang belum pernah kukunjungi, sebagian untuk memperoleh kesendirian dan
sebagian untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang pasti diberondongkan
kawan-kawan yang biasa bersamaku menghabiskan sore hari.
Perasaanku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku tahu
Idan telah banyak berkorban untuk permainan ini. Tapi walau aku sungguh-sungguh
ingin mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang istri, meski kuakui bahwa aku
belum terbiasa menganggap Idan sebagai suamiku. Bagiku, ia hanya masih seorang
sahabat. Dan seorang sahabat tidak boleh menuntut terlalu banyak.
Mataku tertaut pada cincin emas mungil yang disisipkan Idan di jari manisku
selepas akad nikah. Ini hanya permainan,batinku. Tapi dalam permainan ini, Idan
adalah suamiku. Dan sebagai suamiku, tuntutannya wajar. Kalau aku lantas tidak suka
dengan keterbatasannya, itu hanya satu pelajaran pertama dari permainan ini.
Kupejamkan mataku dan kutarik nafas dalam-dalam. Aku benci kekalahan. Tapi kali
ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal dari semua ini. Bagaimana
mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan. Getir memang. Aku yakin Idan
akan menertawaiku. Kalau ia tidak marah-marah dulu.
Alangkah terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong. Sudah pukul
setengah dua belas malam dan Idan belum pulang?
Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox. Dengan
menggunakan berbagai tipu daya, memperhitungkan lemahnya kondisi ibu mertuaku,
kutelepon rumahnya. Aku bahkan mencoba mengontak kantornya, tanpa hasil. Idan
tidak ada dimana-mana.
Tapi tak urung, dengan melarutnya malam, aku jadi semakin cemas. Apalagi
hingga pagi Idan tidak kembali. Ia bahkan tidak pergi ke kantor. Aku minta izin
pulang setengah jam lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat.
Tapi saat aku tiba di rumah, Idan tetap tidak ada. Malam itu kulewatkan di
sisi telepon, berfikir untuk menghubungi polisi dan rumah sakit. Pukul tiga telepon
berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas dibenakku saat aku mengangkat
receiver.
“Upit?”
“Pit, aku minta maaf karena marah dan minggat begitu saja. Boleh aku
pulang?”
“Idan, ini rumahmu!” meskipun aku tersenyum, air mata kelegaan mulai
meleleh di pipiku. “Kau dimana?”
“Di luar”.
“Oh.Tuhan…”
Aku lari ke luar rumah. Di gerbang kulihat Idan berdiri di sisi mobilnya. Entah
sudah berapa lama ia disana.
“Kau keterlaluan! Aku sudah berfikir untuk menelepon kantor polisi!” teriakku
kepadanya.
“Aku juga rindu kepadamu!” balas Idan tertawa. Dan mataku rasanya semakin
perih melihat tawanya lagi.
“Aku perlu baju bersih,” ia tertawa malu. “Laundri hotel mahal sekali.”
“Aku akan pulang terlambat besok,” ucapku perlahan. Aku harus lembur.
Dikejar deadline.”
Ia berhenti membilas piring dan aku tahu ia berbalik menatapku. Tapi mataku
terpaku pada es krim di hadapanku.
Aku bisa mentolerir kebiasaan Idan membiarkan Koran yang telah dibacanya
berserakan di ruang tamu. Aku bisa memaklumi kegemarannya nonton film action—
genre yang paling tidak kuminati, dan sepakbola? Olahraga yang menurutku amat
membosankan. Aku bahkan bisa memaafkan kebiasaannya mengeluarkan pasta gigi
dengan memencet bagian tengah tubenya, tidak dari bawah seperti yang biasa
kulakukan.
Hanya satu yang aku belum sanggup terima. Caranya menghabiskan akhir
pekannya. Setiap minggu pagi ia berangkat sebelum pukul enam untuk bermain sepak
bola dengan teman-temannya, dan sorenya, sekitar pukul setengah empat, ia pergi
memancing.
Untukku yang selalu menghabiskan waktu luang dengan pergi dari satu galeri
ke galeri lain, dari satu pameran lukisan ke yang lain, dari mal ke mal, dan berakhir
dengan acara makan-makan, kebiasaan Idan itu sama sekali tidak bisa kupahami. Aku
tak sanggup menontonnya main bola atau menemaninya memancing, karena aku
dengan sangat cepat akan merasa jemu.
Sebulan pertama aku berusaha mengerti. Ia selalu pulang dengan mata
berbinar hingga aku tak tega mengeluh dan protes. Tapi dipekan kelima kesabaranku
tandas, dan pagi itu, saat ia tengah memasukkan botol air minum dan kotak rotinya
ke dalam tas, aku memintanya untuk tidak memancing. “Temani aku jalan-jalan ke
mal sore ini,” pintaku.
“Kau kan bisa pergi sendiri,” katanya sambil. Memasukkan kaus bersih dan
handuk kecil.
“Aku tidak bisa mangkir memancing hari ini, Pit,” ia masih tetap tak
memandang ke arahku, sibuk dengan sepatu bolanya. “Aku sudah janji dengan kawan-
kawanku untuk mencoba tempat memancing baru.”
“Tadi malam tidak ada bulan, Pit. Ikan-ikan akan sangat rakus hari ini,” ia
tersenyum sambil melompat-lompat dengan sepatu bola barunya. “aku bisa
memecahkan rekor sepuluh kilo sore nanti!”
“Minggu depan voucher diskon salonku sudah tidak berlaku lagi,” gumamku.
“Pakai voucher dariku saja,” sahutnya ringan sambil mulai lari-lari di tempat.
“Berapa diskon yang kau dapat dengan voucher itu? Kalau kuberi Rp 15.000; cukup?”
“Aku bisa cukur rambut plus dipijit plus minum kopi sengan Rp 15.000;.”
“Oh, Tuhan..”
“Aku sudah cukup yakin dengan kecantikan, terimakasih. Yang aku butuh cuma
keluar dari rutinitas harianku, dan aku memilih melakukannya dengan jalan-jalan.”
“Jadi? Apa yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarangmu. Kalau kau
bawakan aku oleh-oleh, aku akan lebih tidak keberatan.”
“Ini bukan masalah kau melarang atau tidak, Dan. Apa enaknya jalan-jalan
sendirian? Aku perlu teman.”
“Kalau begitu ajaklah teman-temanmu.”
“Ya!”
“Kenapa tidak bilang dari tadi. Tentu saja kau boleh ikut ke lapangan sepak
bola lagi. Aku akan senang kalau kau disana.”
“Idan!” jeritku. “Kau ini buta, tuli atau imbesil sih? Kau tahu aku benci
sepakbola dan lebih benci lagi memancing!”
Mata Idan menyipit. “Dan kau tahu aku alergi jalan-jalan ke mal,” desisnya.
“Mengalah!” suaranya meninggi. “Apa aku masih kurang mengalah selama ini?
Pit, kau sudah menyita 6 kali 24 jam waktuku, apa kau tidak bisa memberiku…”
“6 kali 24 jam? 6 kali 2! Kita hanya benar-benar bertemu dan bicara 1 jam
saat sarapan dan 1 jam waktu makan malam!”
“Kita bisa mengobrol lebih banyak kalau kau mau lebih banyak melewatkan
waktu denganku! Tapi tidak! Kau lebih memilih mengurung diri di kamar dengan
Pavarotti dan Flamingo….”
“Setidak-tidaknya itu lebih jujur dan bisa dimengerti dari film-filmu yang
becek air mata itu!”
“Kau kekanak-kanakkan!”
Idan kembali pukul setengah 11, masih cemberut. Ia langsung mandi dan tak
lama kemuian kembali ke ruang duduk sudah rapi dengan t-shirt dan celana jins.
“Kalau kau mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan dandan sedikit,” katanya.
“Aku tidak mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau gatal-gatal karena alergimu
kumat.”
“Upit, kalau kita tidak pergi sekarang, kita bisa pulang terlalu sore. Aku ada
janji jam 4…”
“Aku bilang aku tidak mau ke mal! Kau bisa pergi memancing sekarang kalau
kau mau.”
“Tidak! Dan kalau kau marah dan mau minggat seperti dulu lagi, silahkan!”
“Aku bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi.”
“Oke. Terserah! Kalau kau mau duduk disini seharian, makan es krim dan
cokelat sambil mengasihani diri sendiri dan melar dan melar dan melar…”
“Idan!” jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke arahnya. Ia terlambat
mengelak dan sisa es krim yang telah mencair melumuri t-shirtnya.
“Apa?”
“Aku tidak butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat?” Penilaianmu tidak
punya arti apa-apa.”
“Simulasi.”
“Kau salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajar terlalu
banyak. Dan aku sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan menikah. Aku tidak
suka menikah. Apalagi denganmu.”
Ia tak mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia keluar dari kamrku, aku
ambruk ke atas tempat tidur. Semua topeng ketegaranku hancur berkeping-keping.
Aku tak pernah menduga Idan bisa menyakitiku sehebat ini. Lama kemudian, setelah
aku bisa sedikit menguasai diri, aku bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret
koperku keluar.
“Terlalu lama,” gumamku. “Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu.
Aku tak peduli hujan yang serta merta mengguyurku basah kuyup. Saat aku
membuka pintu gerbang. Meninggalkan Idan secepatnya, hanya itu yang ada di
benakku. Dan ketika mobilku mulai tersendat terendam genangan air hujan hanya 50
meter dari rumah, aku begitu putus asa hingga aku keluar dari mobil dan menendang
pintunya, meninju atapnya, air mataku larut dalam siraman hujan.
Saat itu aku melihat Idan datang. Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabut
kunci mobilku dan mengunci mobil itu dari luar.
“Monster,” desisku.
Malam itu suhu tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit dan tenggorokan nyeri.
Aku masih ingat saat Idan menyuruhku menalan sebutir tablet penurun panas dan
aku membangkang. Kettika abangku datang untuk memeriksa keadaanku, aku masih
bisa menangis dan merengek minta diantar pulang ke rumah orang tuaku.
Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyala api
dalam kepala dan dadaku telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya
matahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dari rumpun di luar
kamarku. Ibuku tengah duduk di dekat jendela, membaca.
“Ibu.”
Sore itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali belum
siap untuk bicara lagi dengannya.
“Tadi bangun sebentar, menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya
sudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu.”
Tangan Idan berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut. Jangan
berhenti, jangan berhenti, jangan berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia bangkit dan
merapikan selimutku sambil terus bicara dengan ibuku.
Ibu tertawa kecil. “Kau sendiri? Kau tidak tidur entah berapa malam dank au
mengerjakan semuanya. Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Upit. Apa kau
todak capai?”
Ibu tertawa lagi. “Idan, Idan. Kau mesti istirahat juga. Kalau kau sakit, Ibu
tidak yakin Upit bisa mengurusmu sesabar kau merawat dia.”
Alangkah klisenya!
“Baik kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupa obatnya.
Kalau ia mau, ibu sudah masak bubur di sapur. Kalau tidak, beri saja apa yang dia
mau.”
“Ya, Bu.”
“Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan.”
Baik, Bu.”
Dan saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk
untuknya.
Ia harus membayar untuk semua penghinaan itu. Aku benci, sangat benci
padanya. Aku membuat segalanya sangat sulit untuk Idan malam itu. Aku
memberontak saat ia mencoba menyuapiku. Aku menolak saat ia memintaku makan
obat.
Semua itu akan membuatku sangat puas kalau saja Idan mau menolak,
memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan memakiku seperti dulu. Tapi ia sama
sekali tidak mengeluh, tidak membantah. Kesabarannya merusak segalanya. Makin
lama aku makin menyadari kelembutan dalam suaranya, yang hanya bisa lahir dari
kekhawatiran dan kelelahan di matanya, yang aku tahu hanya bisa datang dari
keputusasaan.
Aku dibuatnya merasa bersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan
dirinya sendiri, menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan.
Dan kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sma sekali tak
kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan.
Menjelang fajar, saat mengawasinya tertidur meringkuk di kursi, aku
mengingat lagi pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Aku mengulang lagi
setiap kalimat yang kuucapkan, dan aku tiba-tiba merasa malu. Kenapa semuanya
harus terjadi hanya karena suatu seremeh itu. Selama 20 tahun persahabatanku
dengan Idan, hobi dan kegemarannya tak pernah membuatku merasa terganggu.
Masih banyak hal lain yang menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa
melupakan itu dan membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?
Aku tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Idan
menemaniku kemanapun. Dan ia juga sama bersalahnya denganku karena
mengobarkan pertengkaran konyol itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati untuk
menyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru memupuk dendam dan benci
padanya. Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam kontes kedewasaan ini?
Ketika aku terbangun esok paginya, Idan menyambutku dengan baki sarapan
pagi dan senyum lebar. Ia membantuku ke kamar mandi dan aku tidak memprotes
ketika ia memintaku untuk tidak mengunci pintu. Ia telah menyediakan bangku di
sekat wastafel agar aku tak perlu berdiri saat menggosok gigi. Di rak ia telah
menyediakan pakaian bersih untukku dan bahkan meletakkan bedak dan sisirku,
hingga saat aku keluar dari kamar mandi, aku merasa jauh lebih segar dan hidup.
Ketika aku kembali ke kamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku telah
rapi kembali dan bunga di dalam vas di dekat tempat tidurku telah diganti dengan
yang baru. Ketika Idan duduk di pinggir ranjangku, menambahkan gula pada susu
cokelatku dan mengupaskan telur sarapan pagiku, aku hamper menangis karena
terharu.
“Ya.” Idan tersenyum. “Tapi aku senang kau sudah sembuh sekarang. Aku
tidak bisa tenang di kantor memikirkanmu.”
Ia menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi dengan selai nanas. “Aku
mau member kesempatan pada Agus. Sudah 2 bulan dia cuma duduk di bangku
cadangan.”
Aku tersenyum.
“Dia kurang berani menyerang. Tidak seperti aku.Maklum sudah agak gemuk.
Tapi, siapa tahu,” ia mengangkat bahu dan tersenyum.
Ia menggeleng lagi.
“Kenapa?”
“Aku harus member kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Pit. Kalau
kutangkap terus, mereka bisa punah.”
“Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada mereka,
ya.”
Untuk menunjukkan sisi lain dari Idan yang tidak kuketahui sebelumnya,
batinku. Tapi yang keluar dari mulutku adalah, “ Karena meminjamkanmu untukku
hari ini.”
“Aku juga janji tidak akan sering nonton film action lagi,” katanya kemudian.
“Kita memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, Pit. Nanti air
jerukmu asin.”
***
“Selamat ulang tahun, Pit.”
Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. “Idan! Untuk apa kau sepagi ini di
kamarku.!”
“Apa?”
“Hadiahku?”.
Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan computer itu.
Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Star. Tidak ada yang berubah. Tapi
Idan kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah membuka file-file ku dan
sekali lagi tidak menemukan apapun, aku berpaling kepada Idan dengan ekspresi tak
berdaya.
Aku menggeleng.
Hati-hati ku ambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketika kepada
teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.
Jika ya, aku menunggu di tempat biasa. Mungkinkah? Aku keluar untuk makan
siang lebih awal, mengabaikan godaan teman-temanku yang tak kenal ampun.
Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak aku
melihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Idan. Idan mustahil bisa seromantis itu.
Hanya satu orang yang ku tahu pernah dan selalu memberiku mawar putih. Dan ia
adalah milik masa lalu yang tak pernahkubayangkan bisa dan akan kembali. Tapi
pesan itu?
Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan tidak mencolok di
bagian luarnya, tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian dan ketenangan
dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan kolam-kolam kecil berisi teratai
merah jambu dan putih serta suara gemericik air terjun buatan di sepanjang satu
dindingnya.
Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor 5 itu masih sedikit di sudut,
terhalangi serumpun gelagah. Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidak lagi
merasa sebagai Puspita yang berusia 34 tahun, yang dewasa dan percaya diri, tapi
seorang gadis berusia 23 tahun, yang tercabik di antara cinta dan ambisi. Di meja
itu harusnya seseorang menantiku, seperti 10 tahun yang silam. Sebagian hatiku
mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembali lagi.
Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga aku sulit memisahkan kini dan
saat itu. Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku dan menyebutkan
namaku.
“Ita,” kelembutan suaranya masih seperti yang kuingat. Dan wajahnya, walau
mulai sedikit berkerut, masih persis seperti yang kukenang.
“Kau datang.”
“Tadi pagi.”
Pram tertawa kecil. “Ini agak memalukan. Tapi aku masih sendiri, Ita.”
“10 tahun aku mencari dan aku tetap tak bisa menemukan penggantimu, Ita.”
Aku menunduk, bibirku terkatup erat. 10 tahun lalu, di tempat ini juga, ia
melamarku, dan aku menolak. Aku tak bisa membiarkan peluang karier yang telah
susah payah kurebut tersia-sia begitu saja, bahkan untuk satu-satunya lelaki yang
ingin kunikahi. Aku tak bersedia hanya menjadi bayangannya, terperangkap dan layu
di negeri asing, walau ia adalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi.
Di awal perpisahan surat-suratnya dtang dengan teratur, tak satupun ku balas.
Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan Lebaran, yang semua
kubakar, sampai suatu hari tidak ada lagi kartu yang datang. Dan dengan sedih aku
harus mengakui bahwa lelaki sesempurna Pram pun suatu ketika akan melupakanku.
“Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua,” ujarku lirih. Apa jadinya kalau
dulu kukatakan “Ya?” 10 tahun bersama Pram, seperti apa? Ia menggeleng.
“Sahabatku.”
Pram mentapku lekat. Dua kali ia tampak seolah akan bicara, tapi setiap kali,
ia berhenti. Akhirnya, dengan senyum kecil ia mengeluarkan sebuah kotak mungil
dari sakunya. “Aku….” di bukanya kotak itu.
“Aku sendiri menganggap diriku gila, karena membawakanmu ini. Tapi, Ta,
maaf kalau aku terus terang seperti ini, di benakku kau masih Ita-ku yang dulu. Aku
tahu dalam 10 tahun segalanya bisa terjadi dank au pasti sudah menikah. Tapi….”
Aku terkesima.
“Aku tahu kau suka perhiasan antic. Ada kenalanku yang membuka took
barang antic di Muenchen,” tanpa meminta izinku, ia telah memasangkan gelang di
tanganku.
“Kau suka?”
Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun dari Idan.
“Sebetulnya aku mau membawakanmu karpet antic yang aku yakin akan
membuatmu etrgila-gila. Aku sudah membelinya karena itu mengingatkanku padamu.
Setiap kali aku berbelanja barang antic aku tak bisa tidak mengingatmu,” ia tertawa
kecil. “Tapi aku tidak bisa membawanya ke sini. Bawaanku sudah banyak sekali.
Ibuku memesan oleh-oleh untuk sanak family dalam radius 250 km.”
Pram masih bicara panjang lebar, tentanf bisnis yang dilakukannya di Jerman.
Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasan wawasannya. Apalagi 10
tahun berada di Negara lain telah menjadikan Pram yang dulu kukenal lembut dan
peka, semakin lapang hati dan terbuka. Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua
itu hanya menjadikannya sempurna. Dan pikiran itu menorehkan nyeri di hatiku.
Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi benakku serta merta dengan
masa lalu dan janji akan sesuatu yang lebih istimewa lagi. Kalau saja aku bisa
mengucapkan ya.
Pram membaca keraguanku dan sesaat sorot matanya meredup. “Kita bisa
jalan-jalan bertiga, kau, Idan dan aku,” katanya. “Aku tidak punya banyak teman
disini.”
Malamnya aku berbaring dikamar, menatap kartu itu lekat-lekat seperti gadis
belia yang sedang mabuk kepayang. Aku bukan remaja lagi dan seharusnya aku lebih
bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri.
Kehadiran Pram membangunkan lagi semua harapan dan hayalan yang kukira telah
lama lenyap. Tapi masih adakah kemungkinan antara aku dan Pram?
Ia mengira dan aku telah meyakinkannya, kalau aku telah menikah dan
segalanya telah berakhir. Yang ia tidak ketahui, pernikahanku dengan Idan hanya
sebuah permainan yang bisa kusudahi kapanpun aku mau. Tapi, kalaupun ia tahu,
apakah segalanya akan berbeda? Apa pendapatnya kalau aku menceritakan semua
padanya?
Aku ingin tidak memikirkan Pram lagi. Apa yang kuharapkan bersamanya
mustahil terjadi. Tapi hidup dengan Idan seperti ini selamanya juga tidak mungkin.
Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat atau lambat. Apakah
kembalinya Pram suatu kesempatan kedua yang semestinya kuraih karena mungkin
tidak akan pernah ada lagi? Tapi bagaimana?
Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum, mata dan wajah
dan suaranya dari benakku? Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan.
Maaf kalau kau menganggapku lancing karena terus mencintaimu. Tapi bisakah
kau menghentikan badai? Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh
di hatiku sendiri. Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu mustahil.
Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang sudah kuhapal diluar kepala
itu. “Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan di galeri baru dekat
kantorku.”
“Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak, Ita.”
Dan esok harinya kuhabiskan bersama Pram, mendiskusikan lukisan dan benda
seni, sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi. Aku tak bisa memungkiri betapa
menyenangkannya bercakap-cakap dengan pram, membicarakan seribu satu hal yang
tak pernah kusinggung saat bersama Idan. Setelah lama membicarakan masalah seni
rupa, Pram tiba-tiba bertanya.
“Kenapa, Ita?”
“Jangan berbohong.”
Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa sebahagia saat itu,
melewatkan waktu bersamanya?
“Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa kau menikahinya karena
terpaksa? Karena usia dan….”
Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena pertanyaanku. Tapi bisakah kau
renungkan perasaanku sendiri? Bagaimana hatiku tersiksa ketika tahu pernikahan
tidak membuatmu bahagia?
Kartu itu bergetar di tanganku dan tulisannya kabur dalam genangan air
mataku.
“Ita,” tanya sekretarisku yang entah kapan, telah memasuki ruangan. “Ada
apa?”, tanyanya.
Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Idan. Aku tiba-
tiba sadar bahwa sejak menikah dengannya aku tak lagi pernah mengadu dan
bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hati dan perasaan. Dan
kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya, seperti dulu, sebelum ia
menjadi suami simulasiku.
“Idan”.
“Sekretarismu? Tentu.”
“Bekas pacarnya yang pilot itu kembali.”
“Lalu?”
“Sekarang mereka sering bertemu. Suami Indri tidak tahu, tentu. Tapi
sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan bekas pacarnya itu. Dan
si bekas pacar ini pun ingin menikahi Indri.”
“Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah. Mereka boelh memilih
untuk tinggal dengan siapa.”
Aku menghela nafas. “Indri bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku tak bisa
menjawab.”
“Dan kau bertanya pada pak gurumu? Baik, Eh! Tunggu sebentar.”
Istriku. Aku istrinya. Istrinya. Dan jantungku rasanya melesak ke dalam bumi.
“Kau!” ia tertawa, lalu segera kembali serius. “….kupikir Indri dan pacarnya
terlalu egois. Mereka tidak bisa lagi hanya memikirkan keinginan mereka sendiri.
Ada suami Indri dan anak-anaknya yang juga harus diperhitungkan.”
“Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi menikah dengan suaminya, apa perkawinan
itu harus dan bisa dipertahankan?”
“Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar mencintai bekas pacarnya
itu atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa mereka benar-
benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin mengulang keindahan masa
pacaran mereka dulu? Kalau hanya itu yang mereka inginkan, mereka akan kecewa
kalau terus bersama, karena Indri dan pacarnya sudah jadi orang-orang yang
berbeda, sudah lebih dewasa, bukan lagi remaja yang masih hijau.”
“Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan suaminya. Ia tidak pernah
mencintai suaminya.”
“Keadaan.”
“Maksudnya?”
“Jadi bagaimana?”
Idan diam sejenak. “Aku tidak tahu, Pit.Yang aku tahu, aku tidak mau jadi
penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri untuk meninggalkan
pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia karena merasa terpaksa terus
bersama suaminya. Kalau ia meninggalkan suaminya, aku juga tidak menjamin ia akan
bahagia dengan orang yang hanya mengenalnya di permukaan, tidak utuh, seperti
suaminya.”
“Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja ini saran dari pakar
perniakhan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi ….”
“Ini bukan keran bocor atau tv rusak yang bisa diperbaiki begitu saja, Pit.
Sedangkan memperbaiki tv rusak saja aku menyerah, jangan lagi mengurusi rumah
tangga orang.”
“Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku dan
terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang tak berguna.”
Aku tertawa pahit. “Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terimakasih
untuk saran dan waktumu.”
“Sama-sama. Oh! Bosku kesini. Aku harus pergi. I love you, darling!”, ia
berteriak. Lalu kudengar suaranya sedikit jauh dari telepon.
“Iya, Pak, sebentar, Istri saya…..”
***
“Kita tidak bisa bertemu lagi Pram,” ujarku kepada Pram di telepon. Separuh
jiwaku rasanya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan.
“Kenapa ka uterus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau sudi
menghabiskan hidupmu dengan otang yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau
bisa mendapatkan semuanya?”
“Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu akan
lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Idan, hidup kita hanya
mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai hidup, setelah kita bersama. Saat
ini kau tidak punya apa-apa, Ta, tidak juga masa depan, tapi berdua, kita akan
memiliki segalanya….”
“Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau hanya
buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh mundur. Ini
menyangkut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku
tidak akan berhenti sampai kau kembali denganku.”
“Kenapa tidak?”
“Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya, jadi bukan
kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya. Satu-satunya perasaan yang layak
kau simpan untuknya Cuma iba, karena ia tidak akan pernah bisa mendapatkan
hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan perempuan yang mencintai lelaki lain.”
“Aku….”
“Kau berbohong.”
“Ita,” suara Pram gemetar. “Aku berjani untuk selalu membuatmu bahagia.”
Aku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Idan akan berakhir, cepat
atau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa aku harus
bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Idan sendiri tidak berhak dan
tidak mungkin menghentikanku. Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan
keputusanku itu, karena akhirnya ia bisa membendahi hidupnya sendiri lagi.
Mustahil ia akan menolak berpisah denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat
menyayangiku dan ingin aku bahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada
Pram adalah yang terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan
didukung oleh Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapapun. Kenapa aku
harus segan menyampaikannya pada Idan? Mula-mula aku berjanji kepada diriku
sendiri untuk mencari waktu yang tepat.
Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku dilanda keraguan dan
akhirnya membatalkan niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.
“Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau harus
menempuh masa idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat orang lain
yang berkomentar kalau kau menikah denganku setelah masa idahmu selesai. Dan
aku hanya disini sepuluh bulan.”
Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicara
dengan Idan malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi. Begitu aku tiba dirumah,
Idan sudah menungguku di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku
mendekati teras, hingga aku jadi berfikir, ada apa sebenarnya.
“Ada apa?”
“Ssst!”
Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Idan benar-benar
sumringah. Dimatanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti telah
berubah warna.
Idan tertawa. “Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri,” katanya.
Aku duduk disampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benar
tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan menikah, simulasi. Kenapa Idan
harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku sendiri sama sekali tak
mengingatnya?
“Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal,” teguran Idan
membuyarkan renunganku.
“Ada apa?”
Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu. “Dia
sudah menikah?” tanya Idan, seperti mendorongku bicara.
Aku menggeleng.
“Lalu?”
“Oh.”
Aku mengangguk.
Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik
pun kekecewaan disana. Rasa lega meruahi hatiku.
Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan semuanya kujawab dengan
antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu,
aku sadar kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.
“Dan?” tegurku.
“Ya?”
“Aku sedang berfikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau
punya alasan untuk bercerai denganku.”
***
“Pit, bangun!”
Jam alarm disisi ranjangku baru menunjukkan pukul 03.15 dini hari.
“Baru saja.”
“Di?”
“Idan….”
Aku kembali de kamarku dan bergegas mengganti piyamaku dengan baju yang
pantas. Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depan masih
tertutup. Juga pintu kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.
Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu ia kembali
menjadi Idan yang rasional dan berkepala dingin, yang mengurus pemakaman,
menerima para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannya dengan
ketenangan yang nyaris mengerikan.
***
Sore harinya saat aku tengah membantu merapikan kembali ruang tamu,
kakak tertua Idan, Kak Ira, menghampiriku.
Ketika aku mendekat, kulihat asbak disampingnya telah penuh dengan punting
rokok dan kotak diatas meja tinggal berisi sebatang. Kucabut rokok itu dari antara
jemarinya dan kubunuh di asbak. Idan tidak memprotes, ia bahkan tidak menatapku.
Aku sadar Kak Ira memang benar. Aku harus segera membawa Idan jauh-jauh dari
semua kenangan tentang ibunya.
“Aku akan menginap disini. Kau pulanglah sendiri. Besok aku pulang naik bus
saja.”
Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak Ira dengan hati menggigil/
Bagaimana bisa kukatakan kepadanya bahwa aku dan Idan sepakat untuk mengakhiri
pernikahan ini secepatnya?
***
“Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh. Nanti kau sakit. Mau ya?”
Idan mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi semakin khawatir melihatnya.
Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari es, aku mendengar suara
Idan dikamar mandi. Ia kutemukan membungkuk di wastafel, menangis dan muntah
hamper bersamaan. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkanku dan aku hanya bisa
terpaku diambang pintu, tak pasti apa yang harus aku lakukan. Insting pertamaku
adalah lari keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan dalam
keadaan seperti itu. Kuhampiri Idan dengan ragu.
“Aku tahu. Tidak apa-apa,” tanganku masih gemetar saat aku mengelus
rambutnya.
“Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya.” Ia mengangguk dan aku
beranjak meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia kelihatan agak lebih baik.
Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnya tidak lagi pucat setelah itu.
Ketika aku merapikan kembali selimutnya, ia memegang tanganku.
“Terimakasih.”
Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat aku bicara, “Aku yang
mesti berterimakasih kepadamu.”
“Untuk apa?”
Idan tersenyum kecil. “Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai. Ini
setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang berterimakasih.”
Idan tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan itu
melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.
“Aku masih ttidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide
gilaku ini,” katanya.
“Entahlah, Dan,” aku tertawa kecil. “Mungkin aku sudah sangat capai berkilah
tiap kali ibuku meronrong soal perkawinan. Dan aku melihat usulmu itu sebagai
jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan 2 masalah sekaligus, keenggananku
untuk menikah, karena tidak ada calon yang pas dan keinginan ibuku yang menggebu-
gebu untuk segera melihatku menikah.”
“Apa yang kau dapat setetlah setahun kita menikah?” tanyanya dengan mimik
lebih serius.
Aku terdiam sejenak. “Banyak,” jawabku akhirnya. “Aku belajar bahwa aku
tidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yang punya
kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku
belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan
tidak sealu berarti kekalahan, tapi boleh jadi ssuatu kemenangan bersama.”
“Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah
kau pergi.”
Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku. “Tahun ini adalah saat
paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku
jadi berfikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap malam waktu
aku pulang dank au tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi manusia paling
beruntung di seluruh jagad ray. Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu
bahkan mulai berharap kau akan bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu,
konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan
kehilangan akal sehat.”
“Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Pit. Ini adalah
pernikahan sesungguhnya untukku.”
“Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta
dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dank au selalu datang kepadaku
menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak
menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilang sebuah lukisan itu bagus, aku
tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago pidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai
di SMA. Aku bkan aktivis kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah
dulu. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan
aku benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian,
belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu.”
“Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan,” ujarku lirih. “Kau istimewa dengan
caramu sendiri.”
Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Idan, mencari tanda-
tanda kalau semua ini hanya ssalah satu dari sekian banyak permainannya. Tapi ia
kelihatan sungguh-sungguh.
“Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti ini?
Apa yang kau inginkan?” tanyaku datar.
Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak
pernah kutemukan sebelumnya. “Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mesti
mengatakan semua ini kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan
karena aku berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi.
Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi,
bahkan jika akhirnya kau benci kepadaku atau melupakanku sekalipun.”
Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia
kembali menatapku. “Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau disini
bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar
mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah cintaku padamu. Tapi
setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya sekedar sahabatmu, tapi kekasihmu.
Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan.”
***
“Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses
perceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal
perceraian saat ini.”
“Berapa lama?”
“Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda
kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi.
Mungkin tidak setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu
yang mestinya bisa kita lewati berdua.”
“Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan sekarang. Dia
membutuhkan aku.”
“Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa kau
tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?”
“Ita! Kau tidak….. Dengar, pikir baik-baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa
hidup dengannya, ia akan bahagia?”
“Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar lagi
kau akan berubah fikiran dan saat itu kau akan menyesal karena membuang
kesempatan ini.”
“Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapia pa kau lupa kalau aku sangat
mencintaimu?”
“Ita….”
“Upit.”
Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Idan berdiri
di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil
duduk dilantai di sisi kursiku.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia
menyeka pipiku dengan jarinya.
“Aku tak bisa melihatmu begini,” lanjutnya pelan. “Ini keputusan yang sangat
konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?”
Aku mengangguk.
Aku mengangguk.
Aku mengangguk.
Aku mengangguk.
Aku menggeleng.
Dan berakhir pula hubunganku dengan Pram yang semula aku harapkan akan
jadi masa depan impianku. Namun, bukankah didunia ini apapun bisa terjadi?
Segalanya bisa berubah dengan sangat cepat semudah membalikkan telapak tangan
kita.
Pereceraian yang kami rencanakan sebelumnya pun batal. Dan kami hanya ingin
kami sajalah yang mengetahui perihal itu. Oh tidak hanya kami, tapi juga Pram yang
juga mengetahuinya. Biarlah keluarga, kerabat dan teman-teman tetap menganggap
tidak terjadi apa-apa yang serius diantara kami dan biarlah mereka tetap dengan
anggapan bahwa kami hidup bahagia selayaknya suami istri pada umumnya.
Masih terngiang betapa terpananya Idan ketika aku bilang aku juga
mencintainya. Ada gurat kebahagiaan tiada tara di wajahnya, pendar takjub di
matanya dan seulas senyum di bibirnya yang entah aku masih sulit mengartikan
senyum itu. Ia memelukku erat-erat seolah tidak mau lagi kehilangan diriku lagi. Dan
akupun memeluknya dengan haru diwajahku yang entah kurasa cukup untuk
mengatakan “Maafkan segala ketololan dan kebutaanku selama ini” karena saat itu
aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Tenggorokanku begitu tercekat menahan
tangisku. Tangis penyesalan atas segala kesalahan dan tangis keharuan atas
keputusan besar yang baru saja aku ambil.
Aku tidak tahu seberapa besar aku mencintainya setelah semua yang telah
terjadi namun hal itu sudah membuat Idan begitu bahagia. Yang jelas, sekarang aku
benar-benar sedang belajar mencintainya, memulai kembali aktvitas kami seperti
hari-hari awal pernikahan “simulasi” kami, dan merenda jalinan cinta sesungguhnya
yang tidak pernah ada di awal pernikahan kami yang aku anggap simulasi.
Aku mulai mengagumi segala kelebihan Idan dan aku mulai belajar menerima
kekurangannya, kebiasaan-kebiasaan buruknya dan segala kekonyolannya. Bahkan aku
mulai sering menemaninya menonton film-film action kesukaannya, menamninya
bermain bola pada akhir pekan namun konsekuensinya, dia juga harus menemani aku
jalan-jalan dan jadwalnya bergiliran. Dia juga tidak boleh protes jika aku sedang
menikmati music-musik orchestra kesayanganku. Impaslah istilahnya.
Awalnya memang sangat sulit dan menyiksa diri namun ketika bad mood itu
datang, kupandangi wajah Idan yang begitu bahagia saat aku temani,
keantusiasannya bercerita ini itu untuk menghiburku, ku ingat bahwa dia tidak
pernah mengeluh saat aku memintanya menemani aku jalan-jalan yang mungkin
sebenarnya sangat membosankan baginya. Pengorbanan.
Idan pun makin lama kurasakan makin memanjakanku. Banyak hal yang
harusnya kulakukan sebagai seorang istri, malah Idan yang melakukannya. Sebelum
berangkat kerja dia masih sempat menyiapkan sarapan untukku. Bahkan jika aku
sedang kecapean dan tak sempat mencuci bajuku sendiri, dia pula yang mencucikan
dan menyetrikanya. Dan herannya aku tak bisa menolaknya. Justru aku
menikmatinya karena dia selalu melakukan hal-hal itu dengan senyum terkembang
yang sulit kuartikan. Hmmm paradox sekali dengan diriku beberapa tahun lalu saat
masih lajang, sebagai wanita karir yang terbiasa mandiri dan tak pernah mau
membebani orang lain.
Ada apa denganku? Tapi sebisa mungkin aku mengimbanginya dengan berusaha
membantu pekerjaannya dan menemaninya melakukan aktivitas rutin jika diperlukan.
Aku usahakan membuat kesan bahwa segala hal bisa kami lakukan bersama. Berdua.
Namun ada kalanya kami sibuk dengan keasyikan masing-masing. Tentu setiap
orang kadang butuh sendiri. Ya seperti sekarang ini, ketika aku sibuk menimang-
nimang dan menata baju-baju baru kesayanganku. Idan juga sibuk sendiri di depan
computer canggih kesayangannya.
Sedikit lagi sampai. Tapi sebelum aku sempat menyentuhnya, dengan cepat
Idan lebih dulu menarik tanganku sehingga aku jatuh ke pangkuannya dan justrru dia
yang lebih dulu menggelitiku.
Idan terbahak. “Rasakan nona manis. Ini akibatnya jika berusaha menjahili
orang.”
Dengan masih belum berhenti menggelitiku, mata Idan melirik nakal ke kaca
kecil yang terpasang di samping monitornya. Oooh ternyata cerdik juga orang ini.
Dia baru berhenti menggelitiku saat aku berontak dan balas menggelitikinya. Dia
menjerit-jerit minta ampun dan melepaskanku. Aku bergegas keluar ruangan dan
sebelum aku menutup pintu Idan masih sempat nyeletuk.
“Jangan kira kalau pangeran tampan ini gak tahu jika sang putrid suka diam-
diam mengintipnya hahahaha”
Huuuuh. Kututup pintu ruang kerjanya dengan sebel. Dalam hati aku merutuki
diriku sendiri kenapa sih akhir-akhir ini aku suka melakukan hal-hal yang aneh
seperti barusan. Bikin tengsin saja. Maluuuuu!!!
***
Pagi ini aku berusaha bangun lebih pagi dari biasanya mengalahkan keinginanku
untuk tidur lagi setelah shubuh. Kulirik sesosok lelaki di sampingku, tak seperti
biasanya Idan tidur lagi. Mungkin ia sangat kecapean setelah semalaman lembur
mengerjakan proyek terbarunya. Hmm di sampingku? Iya Idan tidur disampingku.
Perlu diingat bahwa kami sekarang sudah menjadi suami-istri yang sesungguhnya.
Bukan lagi “simulasi”.
Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidur kami. Aku keluar dan kututup
pintu pelan-pelan agar Idan tidak terbangun. Tiba-tiba kubuka kembali pintu itu.
Ingin sekali memandangi Idan yang tertidur pulas dengan wajah yang sama sekali
berbeda dari saat dia sadar dan penuh dengan kekonyolan. Manis juga.
Aku sengaja bangun lebih pagi karena aku ingin mempraktekkan resep yang
diam-diam telah kupelajari selama beberapa hari ini. Aku ingin menyiapkannya untuk
sarapan Idan. Sarapan yang belum pernah kusiapkan sekalipun untuknya selama kami
menjadi suami-istri. Biasanya selalu Idan yang menyiapkan sarapan kami. Maklum aku
kan tadinya suka bangun telat. Dan hebatnya lagi hal itu tidak pernah diprotes oleh
Idan.
Meskipun yakin aku telah hafal dan paham dengan resep masakan kemarin,
tapi aku masih ragu. Kubaca-baca kembali buku resepnya. Nah, sekarang aku sudah
yakin dan segera kusiapkan alat-alat dan bahannya. Duuuh Idan jangan bangun dulu
ya sebelum semuanya selesai? Ini pasti akan berantakan sekali.
***
Baru kali ini aku berhasil masak dengan resep yang agak rumit. Sekali lagi
kucoba menyeruput satu sendok. Sedap. Tapi kenapa tiba-tiba perutku jadi agak
mual? Ah paling gara-gara masih pagi dan belum makan apa-apa.
Aku angkat mangkok besar itu untuk kutaruh di meja makan. Tiba-tiba mual
di perut tadi kembali menyerang dan sangat hebat dan kepalaku tiba-tiba pusing.
Sekonyong-konyong tubuhku pun oleng dan tanpa sengaja mangkok besar sup panas
tadi jatuh, pecah dan tumpah kemana-mana. Aku pun hamper ambruk sebelum
akhirnya Idan lebih siap menyanggaku dari belakang. Ternyata dia lebih sigap demi
mendengar suara pecahan mangkok parcelin yang sangat nyaring bunyinya.
“Astaga kamu kenapa Pit? Kalau lagi sakit jangan maksain diri buat masak
segala! Biasanya kan aku yang nyiapin sarapan buat kita? Sory tadi aku ketiduran
jadi gak sempet membuat sarapan. Tapi kita kan bisa beli diluar aja?” Idan berkata
sambil memapahku menuju kamar.
“Aku gak sakit kok tadinya” ujarku lemah. Aku tidak bilang kalau aku hendak
member kejutan buatnya. Malu kan jika mau member kejutan sekali saja langsung
gagal.
Tiba-tiba mual tadi menyerang kembali. Kali ini sudah tidak bisa ditahan dan
aku perlu kekamar mandi. Aku langsung masuk kamar mandi dan kututup pintunya.
Didalam aku langsung muntah-muntah hebat. Rasanya seperti dipencet perutku. Dan
setelah itu kepalaku langsung pusing-pusing.
“Kamu gak apa-apa kan Pit?” tanyanya. Ada kekhawatiran dalam nada
suaranya.
Aku keluar dan segera dipapah ke tempat tidurku. Aku masih diam.
“Mending hari ini kamu tidak usah masuk kerja. Aku juga akan cuti sehari ini.
Akan ku antar kamu ke dokter.”
“Tidak usah Dan. Aku gapapa. Mungkin Cuma masuk angin sedikit. Kamu
berangkat kerja aja.”
Sebelum pergi dia masih sempat menelepon ibuku untuk mengabarkan atau
lebih tepatnya mengadukan kalau aku sakit hari ini.
***
“Jangan-jangan kamu hamil Pit!” dari sebrang sana ibu begitu histeris.
“Masak sih?” tanggapanku enteng. Aku yakin ini hanya masuk angin biasa tapi
kenapa ibu bisa menyimpulkan sampai sejauh itu?
“Udah pokoknya kamu periksa ke dokter sekarang biar kamu yakin. Minta
Idan mengantarmu sekarang!”
“Kamu minta temanmu atau siapa lah terserah buat ngantar kamu ke dokter.
Ibu gak sabar ingin tahu.”
Klik! Telepon ditutup. Aduh kesannya kok maksa sih? Tapi aku penasaran juga.
Masak iya sih aku hamil? Apa tanda-tandanya Cuma seperti tadi?
***
“Selamat anda positif”, ujar dokter cantik itu sambil mengulurkan selembar
kertas yang isinya tidak kumengerti.
“Anda tidak sakit, anda positif hamil sekarang,” dokter itu tersenyum.
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain senyum yang kupaksakan
tersungging didepan dokter itu karena di benakku masih ada sisa-sisa keterkejutan
yang teramat sangat. Entah bagaimana perasaanku sekarang aku masih belum paham.
Namun ada kebahagiaan tersirat didalamnya. Kebahagiaan macam apa ini? Apakah ini
rasanya jika akan menjadi seorang ibu? Rasanya akan punya anak yang lahir dari
rahim sendiri? Mungkin ini seperti yang dikatakan Idan jika punya anak sendiri pasti
berbeda rasanya dengan jika hanya anak angkat.
Kutelepon ibu. Kukabarkan kebenaran tebakan ibu tadi. Dari seberang sana
kudengar ibu histeris bahagia.
Dalam perjalanan pulang aku masih bertanya-tanya entah apa yang akan
kukatakan pada Idan nanti di rumah? Dan seperti apa nanti reaksinya?
***
Sampai rumah Idan belum pulang. Masih beberapa jam lagi dia biasanya baru
pulang.
Rasany sepi sekali sendirian begini. Padahal hari-hari sebelumnya biasa saja
rasanya sendirian di rumah. Kenapa tiba-tiba jadi sperti ini? Aku jadi merindukan
Idan. Aku ingin dia segera pulang sekarang.
“Oh 2 jam lagi aku pulang. Sabar ya? Kamu mau dibelikan lauk apa buat makan
malam nanti? Mau guai kepala kakap gak?”
“Terserah apa aja. Aku mau bilang sesuatu ke kamu,” kataku. “Hati-hati
dijalan nanti.”
Aku tidak tahu harus ngapain sekarang sambil nunggu Idan. Akhirnya aku
duduk melamun didekat jendela sambil menunggunya pulang.
“Kita langsung makan malam yuk. Ini aku sudah bawakan gulai kakap yang aku
janjikan tadi.”
“Sebaiknya kamu mandi dulu dang anti pakaian. Bau sekali,” saranku padanya.
Ebtah kenapa aku merasa keringat Idan lebih bau hari ini.
Idan menurut dan langsung ke kamar buat menaruh tas kerja, mandi dang anti
pakaian. Aku menunggunya di meja makan sambil mengeluarkan nasi yang belum
sempat dimakan tadi pagi dari ricecooker.
Idan datang ke ruang makan dengan wajah yang sudah lebih segar dari yang
tadi. Entah karena dia kurang bersih membilas sabun mandinya tadi atau apa, aku
merasa bau sabun mandi yang dikenakan Idan masih sangat menyengat.
Kami pun mulai makan. Idan membuka bungkusannya tadi dan menuangkannya
di mangkok sedang sambil bertanya.
“Iya, tapi kamu makan dulu aja. Aku takut setelah kubilangin, kamu jadi gak
jadi makan nanti.”
“Masak? Jadi penasaran nih. Jangan bilang kamu mau ngingetin berakhirnya
kontrak pernikahan simulasi kita lagi seperti dahulu hehehe,” canda Idan.
“Kamu gak apa-apa kan Pit? Kalau sakit ayo aku antarkan ke dokter.”
Didalam kamar mandi aku masih diam karena masih menahan muntah. Barulah
setelah muntahnya mereda aku keluar dan dengan dipapah Idan menuju kamar untuk
sekedar berbaring sejenak. Saat sudah berbaring Idan menungguku di samping
tempat tidur.
“Kamu makan aja dulu. Aku lagi gak selera makan,” perintahku padanya.
“Kamu masih sakit Pit. Ayo ku antar ke dokter!” Idan tidak memperdulikan
perintahku tadi.
“Tapi jelas kamu seperti ini! Bagaimana kamu bisa bilang gapapa?”
“Sendirian.”
“Sendiri? Kenapa tidak minta aku buat mengantarkan tadi pagi? Kalau aku
udah dikantor kenapa tidak minta ibu atau temanmu buat ngantarkan? Nanti kalau
kamu pingsan dijalan gimana? Siapa yang jagain?” Idan mencercaku dengan banyak
pertanyaan.
“Aku gamau ngerrepotin kamu dan ibu. Lagian aku gapapa kok. Buktinya aku
gak pingsan di jalan, masih bisa pulang dan ketemu kamu?”
“Tapi Pit, aku kan suamimu? Aku jelas khawatir!” Idan tampak gemas.
“Aku tahu. Udahlah jangan diperdebatkan lagi. Aku sedang tidak punya tenaga
untuk berdebat denganmu sepeti biasanya. Aku cuma mau ngomong sesuatu ke
kamu.”
Kutinju lagi tangannya. Dia mengaduh kesakitan. Dasar Idan tak pernah
berhenti mencandaku.
“Aku hamil Dan,” kataku pendek namun cukup untuk menghentikan tawa Idan
seketika.
Aku menunggu reaksinya. Dia masih diam tak berkata apa-apa sambil
menatapku. Aku tak bisa membaca ada apa dibalik tatapannya itu dan tiba-tiba
dengan cepat Idan menarikku dan memelukku erat sambil berkata, “Aku belum
pernah sebahagia ini Pit.”
Aku pun larut dalam kebahagiaan itu. Kebahagiaan Idan. Kebahagiaan kami.
***
Tapi ada untungnya bagiku karena aku jadi bisa minta apa aja ke Idan. Tapi
aku masih berperasaan karena aku juga tak mau membuat Idan makin kelimpungan
disamping kesibukannya mencari nafkah yang sebenarnya aku sendiri juga mensuplai
cukup banyak untuk kebutuhan rumah tangga kami.
Dalam masa kehamilan ini sebenarnya aju tidak terlalu rewel untuk masalah
makanan dan susu nutrisi ibu hamil. Cuma mungkin agak sensi ketika bertemu dengan
makanan yang bersantan dan berbau menyengat saja, kali ini akan tercium berlipat-
lipat lebih menyengat dan membuatku mual-mual.
Setiap hari Idan sibuk membuat list apa saja yang harus dibeli untuk
kebutuhan bayi kami nanti. Ia bahkan membeli banyak buku-buku tentang kehamilan
dan persiapan melahirkan mulai dari tips dan trik sampai buku tentang nama-nama
anak yang bagus. Aku bahkan belum sempat membaca buku-buku itu. Kulihat Idan
juga jarang membacanya. Lalu untuk apa dibeli? Mungkin gejolak sesaat saja karena
ia masih gugup mengetahui dirinya akan menjadi calon ayah buat anak pertama kami
ini.
Yang jelas hari-hari kehamilanku tak kurang apapun, penuh kejutan dan
kebahagiaan selama ini sampai suatu sore ketika Idan pulang cepat dan mengabariku
kalau ia harus tugas keluar kota.
“Aku ada tugas keluar kota Pit. Jadi kamu akan sendirian dirumah untuk
beberapa waktu. Besok pagi aku berangkat.”
“Kenapa tiba-tiba sekali? Sampai berapa lama? Kok harus kamu sih? Apa gak
bisa orang lain? Temen-temenmu? Nanti kalau aku butuh sesuatu ke siapa dong? Kok
kamu tega sih ninggalin aku di saat-saat seperti ini?”
“Kamu jangan gitu dong Pit. Bukannya aku tega. Ini murni urusan pekerjaan.
Harusnyabosku yang bertemu dengan klien disana. Tapi tadi bos mendadak tidak
bisa dan dia mau aku yang menggantikannya. Dia Cuma percaya sama aku buat
menggantikannya mengingat proyek ini sangat penting bagi perusahaan kami.
Mungkin selama hampir 2 bulanan. Aku sudah telepon Ibu. Aku minta tolong beliau
agar menjagamu selama aku keluar kota.”
“Lagian gak lama-lama amat kok. Kamu pasti senang ditemani Ibu dirumah.
Kalian bisa sharing tentang pernak-pernik kewanitaan dan persiapan melahirkan
tanpa harus diikut campuri oleh laki-laki. Ibu tentu lebih tahu tentang itu.”
Panjang lebar dia mengungkapkan alasannya. Sejujurnya aku masih gak rela
jika dia pergi sekarang. Saat masa-masa aku sangat membutuhkan kehadirannya
namun aku tak kuasa menahannya lagi. Aku tak punya daya lagi untuk berbantah-
bantahan dengannya. Tubuhku terasa lemah sekali saat hamil ini dan malas
melakukan hal-hal yang menyita tenaga dan fikiran. Apalagi yang membuat stress.
Tapi bukankah saat ini saja aku sudah stress menghadapi kenyataan bahwa
selama 2 bulan ke depan aku akan sendirian tanpa Idan? Meskipun ditemani Ibu tapi
akan tetap sepi tanpa Idan. Aku heran mengapa aku jadi melankolis dan tak berdaya
seperti ini? Kontras sekali dengan aku dulu yang cenderung mandiri dan tak butuh
orang lain. Kulakukan banyak hal sendirian. Namun sekarang? Aku benar-benar tak
berdaya jika sendiri. Tak terbayang bagaimana hari-hariku nanti tanpa Idan.
Meskipun hanya sementara. Ya kuharap sementara saja.
Akhirnya kuijinkan dia dengan berat hati dan dengan segala konsekuensi.
Mulai besok pagi Idan akan berangkat keluar kota dan aku akan sendiri. Aku pasti
akan sangat merindukannya. Ah kuakui hari-hari yang telah kulalui dengan Idan
selama ini memang tak pernah membosankan.
***
“Jaga diri kalian baik-baik ya. Aku akan cepat kembali,” Idan berrpamitan
padaku sambil mengecup keningku.
“Hati-hati di jalan,” jawabku pendek.
Aku berusaha bersikap biasa saja saat dia berpamitan. Sebenarnya banyak
pesan yang ingin kusampaikan padanya : jaga diri baik-baik, jangan lupa makan, jaga
kesehatan, jangan lupa telpon aku setiap hari, jangan bikin masalah dengan orang
lain, cepetan balik dan banyak lagi.
“Cepat balik!”
Hanya kata itu yang terakhir bisa kuteriakkan padanya dari jauh disela-sela
senduku yang tertahan. Entah kenapa aku merasa sangat khawatir kali ini.
Tangisku tumpah saat mobilnya sudah tidak terlihat. Aku buru-buru masuk
rumah dan membenamkan wajahku di bantal. Aku sebal sekali kenapa aku bisa begitu
cengeng sekarang.
Dulu di awal-awal pernikahan saat Idan pergi dan tak pulang-pulang bahkan
aku nyaris tak peduli. Apa semua karena cinta?
Beberapa saat kemudian Ibu datang. Aku hapus air mataku dan keluar
menyambut Ibu.
“Kamu habis nangis Pit?” Ibu seperti bisa menangkap apa yang barusan
terjadi.
“Sudahlah, Idan kan Cuma pergi beberapa waktu saja. Ta akan lama. Kan ada
Ibu yang menemani sementara?” Ibu seperti faham dan memaklumi kebohonganku.
Aku Cuma tersenyum. Kujawab dalam hati. Iya bu memang tidak sendiri
karena Ibu temani. Tapi hatiku yang terasa sepi karena tidak ada Idan disisi.
***
Hari-hariku tanpa Idan benar-benar sepi. Meskipun aku bisa ngobrol sama ibu
tapi rasanya tetap beda. Ngobrol sama ibu lebih banyak seriusnya. Kadang ibu
berusaha menghiburku dengan lelucon-lelucon ala tahun 70-annya tapi buatku itu tak
lucu sama sekali. Idan tetap lebih lucu bagiku mengalahkan pelawak manapun.
Tiap hari Idan telpon mengabarkan dia lagi dimana, menanyakan apakah aku
baik-baik saja, bagaimana kesehatanku, apakah aku sudah makan atau belum, aku
lupa minum susu ibu hamil apa tidak dan banyak hal. Aku biasanya hanya menjawab
pendek-pendek saja. Yang kubutuhkan saat itu hanya mendengarkan suaranya saja.
Aku sudah senang.
Tanpa Idan yang setiap hari rajin mengurusku aku jadi malas makan dan malas
melakukan apa saja. Bukannya aku tak menghargai kerja keras ibuku yang beberapa
waktu ini mengurusku tapi sudah kubilang dari awal bersama Idan akan lain rasanya.
Aku sudah terbiasa apapun dengan Idan.
“Tapi nanti kalau kamu gak makan kan kamu sakit? Pikirkan kesehatanmu Pit!
Pikirkan anakmu! “ Ibu mulai menceramahiku.
“Apa? Idan masih diluar kota? Masak ya kamu minta dia balik cepat-cepat
hanya buat nyuapin kamu makan? Jangan kekanakan kamu Pit!”
Aku diam saja. Ibu kembali ke dapur sambil ngomel. Beberapa saat kemudian
datang lagi sambil bilang kalau Idan telepon.
“Udah makan? Kata ibu kamu susah makan akhir-akhir ini kenapa? Nanti sakit
lho.”
“Aku belum lapar. Nanti aja kalau dah lapar. Atau kalau kamu sudah pulang.”
“Hah? Jangan main-main kamu Pit. Aku kan masih sebulan lagi baru balik?
Sabar dong Pit pangeranmu ini akan segera datang hehe.”
***
Kondisi kesehatanku semakin buruk. Aku semakin susah makan dan minum
vitamin. Ibu jadi makin kerepotan mengurusiku yang makin rewel seperti bayi.
Berkali-kali ibu telpon Idan dan Idan membujukku tapi tak satupun bujukannya
kuhiraukan. Yang kumau sekarang adalah dia ada disini sekarang.
Paginya aku mengalami demam tinggi. Ibu panik dan menelepon dokter.
Setengah tak sadarkan ndiri samar-samar kudengar ibu juga menelepon keluarga di
rumah buat minta bantuan segera.
***
“Ibu?” pelan-pelan kubangunkan ibu. Aku ingin bertanya kenapa aku bisa
disini. Seingatku aku demam, kesadaranku mulai hilang dan… Ya Tuhan! Nyeri di
perut bagian bawahku masih terasa sampai sekarang. Bagaimana keadaan
kandunganku?
“Idan masih dalam perjalanan pulang Pit. Doakan saja cepat sampai.”
Tapi aku tidak mau berfikir buruk dulu. Saat ini aku masih sangat lemah dan
Idan bilang kemarin kalau aku tidak boleh terlalu stress. Kubalikkan badanku
membelakangi Ibu. Kuabaikan tatapan ibu dan ceritanya yang aku tahu hanya untuk
mengalihkan pembicaraan kami. Yang aku inginkan saat ini masih Idan. Aku ingin
Idan menemaniku sekarang. Secepatnya!
Tiba-tiba pintu dibuka dan salah satu kakak sepupuku masuk dengan tergesa-
gesa mengabarkan kalau pesawat yang ditumpangi Idan mengalami keterlambatan
sehingga tidak bisa datang cepat.
***
Tadinya aku sudah merasa lega karena terbangun dari mimpi burukku dan
kembali ke dunia nyata namun ternyata mimpi buruk itu justru ada di depan mata di
dunia nyata. Setelah kabar keterlambatan Idan yang sempat membuatku sangat
kecewa, kabar buruk lain datang dari dokter yang tadinya sempat disembunyikan
oleg Ibu.
Aku benar-benar merasakan kekecewaan yang sangat besar saat ini. Idan
yang tidak bersamaku, yang tidak menemaniku di saat-saat seperti ini. Saat ketika
aku sangat membutuhkannya. Suami macam apa dia yang lebih mementingkan
pekerjaaan daripada istrinya sendiri? Dan sekarang aku harus kehilangan
kandunganku? Kandungan pertamaku, anak pertamaku dengan Idan.
Terpuruk. Ya itulah kata yang tepat buatku sekarang. Aku pasrah. Upit! Apa
yang terjadi padamu? Mana kemandirianmu dulu? Mana ketegaranmu? Kenapa kamu
jadi seperti ini sekarang?
Idan baru datang hari berikutnya. Dia terlihat sangat letih dari perjalanan
jauhnya. Tapi aku tidak peduli. Aku masih sangat kecewa padanya. Aku masih marah
padanya. Dan apakah dia sudah tahu kabar gugurnya kandunganku? Ah pasti Ibu
sudah memberitahukannya.
“Maafin aku Pit. Aku gak bisa menemanimu di saat-saat beratmu. Ibu dah
cerita semuanya dan aku juga sangat sedih Pit dengan kejadian yang menimpamu
saat ini. Yang menimpa anak kita juga.”
“Ayolah Pit, jangan begini terus. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf sekali
Pit. Aku rindu sekali padamu Pit.”
Kata-kata terakhirnya manis sekali. Tapi tidak untuk saat ini. Kamu harus
dihukum Dan. Kamu harus merasakan dan menyadari betapa kecewanya diriku
padamu.
Aku ingin menghukumnya seperti dulu. Seperti ketika dia membuatku sakit
selama seminggu dan terpaksa merelakan diriku dia rawat seperti bayi. Hanya saja
kali ini aku tidak berminat menyuruh-nyuruhnya melakukan ini itu lagi seperti dulu.
Terbukti sudah tidak mempan dan malah akan membuatku merasa iba padanya. Kali
ini aku hanya ingin mendiamkannya.
Tapi reaksinya ternyata sama saja. Dia sama sekali tidak protes seperti dulu
dan ikut-ikutan diam seribu bahasa. Huuh gimana sih? Kok tidak mengejar-ngejar
lagi? Kok tidak berusaha lagi minta maaf dan menyalahkan diri sendiri? Padahal kan
jelas dia yang salah? Payah!
Awas nanti! Ini akan berlangsung lama Dan! Jangan dikira aku hanya
mengertak saja.
Sesaat kemudian Ibu datang. Melihat interaksi kami yang terkesan dingin, ibu
pun mengajak Idan keluar dan bicara. Entah apa yang mereka bicarakan. Paling Cuma
bilang : Sabaaaaarrrrr..
Tapi, eh kok Idan jalannya agak pincang ya? Kenapa dia? Ah masa bodoh aku
gak peduli. Dia juga tidak memperdulikanku. Bahkan meninggalkanku di masa-masa
mengandung anak kami berdua. Aku sudah melarangnya tapi dia tetap bersikukuh
pergi. Egois!
***
Diperjalanan pulang kami tetap saling diam. Hanya Ibu yang lebih banyak
bicara dengan kami. Itupun bergantian. Kadang berbicara dengan Idan, kadang
berbicara denganku. Tidak ada interaksi yang hangat sama sekali di antara kami
bertiga. Aku tetap bersikukuh tidak mau bicara dengan Idan, dan Idan juga diam
saja di tempatnya menyetir mobil.
Sampai di rumah aku dipapah lagi oleh Ibu. Dan berat rasanya ketika ibu
berpamitan pulang karena tugasnya menjagaku sudah selesai. Sudah ada Idan
katanya. Ini berarti tidak ada orang yang bisa kuajak bicara. Tidak juga Idan karena
aku memang tidak ingin bicara padanya.
“Ibu pulang dulu ya? Jaga diri kamu baik-baik Pit. Jangan sedih lagi. Idan
udah pulang tuh.” Sebelum keluar pintu Ibu masih sempat menasehatiku. Aku hanya
mengangguk.
“Dan kamu Dan, ibu nitip Upit ya? Jagain baik-baik!”
“Wa’alaykumussalam.”
Setelah mengucap salam ibu pergi dengan taksi. Aku masih mematung di teras
sementara Idan masuk sendiri ke rumah.
***
Bukan ini yang aku harapkan. Setelah berbagai kejadian yang menimpaku,
kepulangan Idan dan kebersamaan kami lagi di rumah, bukannya membuat hubungan
kami kembali dekat tapi malah makin renggang.
Aku mendiamkan Idan namun ternyata Idan juga tidak menyapaku. Berusaha
mendekatiku pun tidak. Apa dia sudah tidak mencintaiku lagi? Apa dia kecewa
dengan sikapku? Sama kecewanya dengan kekecewaanku padanya? Atau jangan-
jangan dia kecewa karena aku gagal menjaga kandunganku? Gagal mempertahankan
anak kami?
Apalagi Idan makin sering pulang malam sekarang. Dan selama berhari-hari ini
tak ada interaksi sama sekali di antara kami. Bertemu pun jarang karena dia akan
berangkat sangat pagi dan pulangnya sangat larut malam. Dan kami juga tidak tidur
sekamar lagi. Dia lebih suka tidur di sofa ruang tengah.
Daripada penasaran mending aku selidiki apa yang dilakukan Idan pada jam-
jam siang begini di kantornya. Lagian aku bosan di rumah terus dalam masa
penyembuhanku saat ini. Selain itu aku juga harus bertemu dengan Idan dan bicara.
Aku ingin semua kembali baik lagi seperti dulu. Aku ingin semuanya jadi jelas.
Mungkin karena melihat pakaianku yang terlihat resmi dengan blazer merah
hatiku dan rok panjang hitamku dia mengira aku tamu penting yang biasa mendapat
perlakuan khusus.
Masuk area parker ternyata lumayan jauh dari pintu kantor. Kuparkir mobilku
dilokasi terdekat dengan pintu keluar agar tak repot nanti kalau mau balik.
Saat menuju pintu utama kantor, aku melewati sebuah kantin fastfood kantor
itu. Kantin itu terlihat besar dengan jendela kaca memenuhi sebagian dinding kantin
itu.
Saat lebih dekat, dari luar jendela besar itu aku lihat Idan sedang duduk
sendiri sambil membaca sebuah buku kecil dan menghadap secangkir kopi. Vergegas
aku mendatanginyaa.
Saat jarakku dengan jendela besar itu tinggal beberapa langkah lagi aku
berhenti karena kulihat Idan ternyata tidak sendiri. Ada seorang wanita muda
cantik menghampiri Idan, duduk semeja dengan Idan dan mereka terlihat
bercengkerama, tertawa-tawa bersama. Siapa dia? Jangan-jangan dugaanku benar?
***
Aku pun lari menembus hujan yang begitu deras menuju tempatku parker
mobil tadi. Aku tidak menghiraukan ketika seorang petugas cleaning service
mengejarku untuk menawariku paying. Aku hanya ingin segera pergi dari tempat itu
sekarang!
***
Aku menangis sampai ketiduran. Dari luar samar kudengar suara mobil. Idan
sudah pulang. Bersiaplah untuk perang besar Dan!
Aku keluar dari kamar dan menunggunya di ruang tengah tempat biasa kami
nonton tv. Aku duduk di sofa seolah aku sudah menunggunya berjam-jam disana.
Saat Idan sampai di ruang tengah dia terkejut ketika menemukan foto
pernikahan kami yang berukuran satu kali satu setengah meter itu hancur pecah
berserakan dilantai.
“Apa-apaan ini? Ada apa Pit? Kenapa foto ini bisa hancur seperti ini?”
tanyanya heran.
“Aku yang menghancurkannya! Kenapa? Kamu gak suka? Ini seperti halnya
kamu menghancurkan pernikahan kita Dan!” jawabku menantang.
Inilah kali pertamaku berbincang lagi dengannya setelah sekian lama kami
saling mendiamkan. Entah aku dapat energy darimana hingga aku kembali berminat
untuk bertengkar hebat dengannya.
“Dan satu lagi! Jika kamu juga kecewa padaku dan menginginkan berakhirnya
pernikahan kita kenapa tidak bilang dari kemarin-kemarin?”
“Apa maksud kamu Pit? Jangan bicara sembarangan!” Idan mulai bingung.
“Kenapa kamu harus sembunyi-sembunyi dariku jika kamu punya wanita idaman
lain? Jangan kira aku tidak tahu Dan! Aku sudah tahu semuanya!”
“Aku…” Idan seperti tercekat dan tak bisa berkata apa-apa lagi.
“Udahlah Dan semua sudah jelas. Aku tidak butuh penjelasan lagi dirimu.
Semuanya dusta dan aku sudah muak dengan semuanya.”
“Apa pedulimu aku mau kemana? Aku mau pulang ke rumah Ibu. Puas?”
“Kamu tidak perlu pergi dari rumah seperti ini. Biar aku saja yang pergi.”
Kata-kata Idan lebuh melunak kali ini. Aku tidak menghiraukan kata-kata
terakhirnya saat kemudian dia telah keluar dan meninggalkan rumah dengan
mobilnya.
Aku tidak peduli dia mau kemana. Paling juga ke hotel dekat kantornya
seperti dulu.
Meskipun Idan sudah pergi dari rumah, aku juga harus pergi. Aku tetap ingin
pulang ke rumah Ibu. Tidak hanya 2 atau 3 hari. Mungkin dalam waktu yang agak
lama. Atau malah selamanya.
***
Ternyata Idan sering telpon ke rumah Ibu menanyakan kabarku. Dia sudah
balik lagi ke rumah kami rupanya. Pasti dia kehabisan baju bersih lagi seperti dulu.
Aku selalu menolak jika ibu bilang kalau Idan ingin berbicara denganku di
telpon. Aku masih sangat marah kepadanya.
Di rumah Ibu sangat prihatin dengan keadaan hubungan kami. Berkali-kali Ibu
menyarankanku agar berbaikan dengan Idan. Namun selalu aku tampik dengan alasan
ini itu.
Sampai pada suatu ketika Ibu bercerita tentang pembicaraannya dengan Idan
saat aku masih di rumah sakit. Sebenarnya aku heran kenapa Ibu lebih membela
Idan daripada aku yang anaknya sendiri.
“Ibu tidak habis pikir dengan perlakuanmu terhadap Idan Pit. Idan itu pria
yang sangat baik tapi apa yang kau lakukan untuk membalas kebaikannya? Kamu
malah selalu berburuk sangka kepadanya?”
“Maksud ibu? Bukankah sudah Upit katakana alasan kenapa kami bertengkar?”
“Cuma karena itu? Ddarimana kamu yakin kalau Idan selingkuh dengan wanita
lain hanya dengan melihat Idan makan bareng dengan wanita itu?” Aku terdiam
dengan pertanyaan ibu itu.
“Apa jika kamu sedang di kantormu dan duduk semeja dengan teman
seprofesimu yang laki-laki lantas Idan bisa menyimpulkan kalau kamu selingkuh
dengan laki-laki itu?”
“Ingat Pit, kita para wanita memang diberi rasa cemburu yang lebih. Dan kita
lebih mendahulukan perasaan kita sehingga kadang terburu-buru menyimpulkan
segala sesuatu secara terrburu-buru dan sepihak. Sedangkan para lelaki lebih
cenderung menggunakan logika dalam setiap masalah. Namun itu bukan berarti
wanita tidak butuh menggunakan logikanya dan lelaki tidak butuh menggunakan
perasaannya. Harusnya kedua sifat dan kecenderungan itu bisa disatukan untuk
saling melengkapi.”
“Dan itu bisa terjadi jika kedua pihak mau berusaha menjaga keharmonisan
hubungan itu dengan mau saling mengerti dan berbagi. Bukan dengan saling buruk
sangka dan mencurigai. Gimana bisa saling mengerti jika kalian tidak saling
berbicara baik-baik?”
Aku masih terdiam merenungi hal-hal yang selama ini kulewati dan mencerna
setiap kata yang ibu ucapkan. Apakah aku memang terlalu bersikap keras terhadap
Idan? Padahal selama ini kuakui Idan memang lebih sering mengalah padaku. Egois.
Siapa sekarang yang egois?
“Setiap hari dia juga selalu merindukanmu. Itulah kenapa dia selalu
menelponmu setiap hari hanya untuk mendengarkan suaramu. Dan kalau bisa
keceriaanmu seperti dulu. Namun apa yang kamu lakukan? Kamu justru membuatnya
khawatir dengan rewel seperti anak kecil dan mengabaikan kesehatanmu sendiri.
Padahal kamu sedang mengandung anak pertama kalian.
“Jangan dipikir bahwa Idan menelepon rumah satu kali sehari Pit. Tapi
berkali-kali karena karena dia sangat menghawatirkanmu. Dia selalu mewanti-wanti
ibu agar menjagamu dengan baik, memastikan bahwa kamu sudah makan dengan baik,
sudah minum vitamin dan menjaga kesehatanmu.”
Jadi kaki Idan yang pincang waktu itu gara-gara kecelakaan disana? Ya Tuhan
betapa bodoh dan egoisnya aku tidak sempat menanyakan kenapa kakinya bisa
pincang seperti itu?
“Jadi jika saat kamu stress dan keguguran kamu menyalahkan Idan, kamu
salah Pit. Maaf bukan maksud ibu menyalahkanmu. Tapi Idan tidak sepenuhnya harus
menanggung kesalahan itu.”
“Saat kalian saling mendiamkan. Idan sering curhat ke Ibu kalau dia sangat
tersiksa dengan sikapmu. Disisi lain dia sangat merindukanmu, keceriaanmu, candamu
seperti dulu namun di sisi lain dia tidak ingin mengganggumu dan ingin menjauh dulu
agar kamu lebih tenang pasca keguguran. Tapi kamu malah makin berprasangka yang
tidak-tidak padanya gara-gara sikapnya itu.
“Kesampingkan rasa cemburumu yang berlebihan itu Pit. Itu agar mata dan
pikiranmu tidak dibutakan oleh prasangka yang tidak-tidak tentang suamimu. Ibu
yakin Idan tidak mungkin melakukan hal seperti yang kamu tuduhkan karena ibu juga
sangat mengenal Idan.”
“Selama puluhan tahun saat kalian baru sebatas sahabat hubungan kalian
baik-baik saja, saling menerima kekuarangan masing-masing dan saling mengerti.
Kenapa justru saat hubungan kalian semakin di dekatkan oleh ikatan pernikahan,
kalian malah semakin tidak mau saling mengerti? Yang karena sedikit
kesalahpahaman saja sudah meretakkan hubungan kalian. Camkan kata-kata ibu
baik-baik Pit. Sebelum semuanya terlambat dan memburuk lebih jauh.”
“Idan kemarin telepon jika dia mau pamitan ke kamu kalau dia mau ada tugas
kerja ke Taiwan. Sebaiknya kamu telepon dia balik. Berbicaralah dengannya dari
hati ke hati!”
Tiba-tiba aku merasa rindu sekali kepada Idan. Aku ingin meneleponnya balik.
Aku ingin minta maaf dan ingin mengungkapkan seluruh perasaanku agar semuanya
kembali clear. Meskipun aku tidak tahu apakah saat berbicara dengannya kata-
kataku akan benar-benar keluar atau tidak. Tampaknya aku lebih fasih
mengeluarkan isi hatiku ketika bertengkar daripada ketika berbicara dari hati ke
hati.
Ku tekan tombol-tombol pesawat itu dengan nomor rumah kami. Sesaat nada
sambung terdengar dan tidak ada jawaban. Kutelpon sekali lagi dan ternyata tidak
ada jawaban juga.
Sesampai di rumah ternyata sepi tidak ada orang. Untung aku masih bawa
kunci serep. Kubuka pintu dan dibawah pintu ternyata ada surat terselip. Ditujukan
buatku. Kubuka dan kubaca. Isinya surat pamitan kepadaku?
Ternyata Idan sudah berangkat dari tadi pagi! Dia akan segera berangkat ke
Taiwan dengan pesawat nomor penerbangan ini?
Aku harus mengejarnya sampai bandara. Jalanan kota ternyata macet lagi!
Aduuuh kenapa harus sekarang ketika aku sangat terburu-buru?
***
DEG!
Jantungku serasa berhenti. Bukankah itu pesawat yang ditumpangi Idan tadi?
Aku menjerit! Aku masih belum percaya ini! Apakah ini saat aku harus
kehilangan dia? Aku harus kehilangan Idan dan aku belum sempat mengucapkan
maafku padanya? Aku belum sempat bilang kalau aku sangat merindukannya dan aku
ingin hubungan kami kembali baik?
Seperti berjalan mundur melewati dimensi waktu aku kembali ke saat-saat
bersamanya selama ini. Masa persahabatan kami, pernikahan simulasi kami sampai
pernikahan kami yang sesungguhnya saat kami sama-sama menemukan cinta.
Saat sadar aku ternyata sudah ada di ruang medis pihak bandara. Petugas
bilang kalau aku sudah pingsan selama satu jam. Aku mengira kalau aku baru saja
bangun dari mimpi buruk namun saat kutanyakan perihal kecelakaan pesawat yang
baru saja terjadi, petugas itu membenarkannya.
Nyatakah ini?
Ibu datang sambil menangis dan langsung memelukku. Aku berusaha setegar
mungkin di depan keluargaku. Mereka bertanya ini itu namun aku enggan menjawab
semuanya. Aku belum sanggup untuk menjawabnya. Please jangan tanya dulu
sekarang.
Air mataku tumpah begitu aku berada didalam kamar mandi. Aku berusaha
membasuh mukaku dengan air agarair mataku luruh bersamanya. Namun sia-sia.
Tangisku justru semakin pecah dan aku jatuh bersimpuh di lantai meratapi
kebodohanku, kenaifanku, keegoisanku….. dan Idan…
***
Aku sudah mulai tenang dan bisa mengendalikan diriku. Aku tidak mau terlihat
cengeng di hadapan keluargaku nanti. Jika kakak-kakaknya Idan sudah menangis
tersedu-sedu seperti itu dan aku juga ikut-ikutan menangis, lantas siapa yang akan
menghibur dan menenangkan mereka nanti?
Saat berjalan keluar dari kamar mandi aku terburu-buru karena aku tidak
mau kalau sampai dicegat wartawan untuk ditanya-tanya karena aku salah satu
keluarga korban. Saat itulah aku bertubrukan keras dengan seseorang yang berjalan
sama terburu-burunya denganku sampai air di gelasnya tumpah semua ke bajuku dan
jaketnya.
“Aduh maaf mas gak sengaja.” Aku masih menunduk membersihkan bajuku
yang basah oleh minuman dingin itu.
“Uput! Kamu disini ngapain?” Idan menghampiriku dan memegang pipiku yang
masih basah oleh air mata.
Aku hanya bergeming menatapnya saat itu. Kami berdua terpaku sesaat saling
menatap penuh arti.
Sesaat kemudian Idan merentangkan kedua tangannya dan aku pun langsung
menubruknya dan memeluknya erat. Aku tak bisa berkata-kata apa-apa lagi saat ini.
Aku hanya ingin menumpahkan tangisku sejadi-jadinya di pelukannya. Tangis
kesyukuran bahwa aku belum kehilangan dia. Syukur bahwa sosok yang kucintai
masih berdiri tegak dan nyata di hadapanku saat ini. Ini bukan mimpi. Ya, ini bukan
mimpi.
***
Kami duduk berdua di lobi bandara. Keluarga besar kami sudah pulang semua.
Mereka sangat bersyukur dan bahagia karena Idan bukan salah satu korban
kecelakaan pesawat itu. Hanya nyaris. Bahkan mbak Ira, kakak tertua Idan tak
kuasa membendung keharuannya dengan mencubit Idan. Gemes karena bikin
khawatir satu keluarga besar.
Aku masih penasaran bagaimana kejadiannya tadi bisa seperti itu. Dan saat
kutanyakan hal itu kepada Idan, dia menjawab polos.
“Sampai bandara tadi aku tiba-tiba merasa sangat lapar. Aku baru sadar
kalau tadi pagi belum sempat sarapan jadi aku makan di kantin dulu. Dan karena
sangat lapar aku makan agak banyak jadi agak lama sampai tanpa sadar aku sudah
terlambat masuk pesawat. Akhirnya daripada terburu-buru sementara perutku baru
aja penuh isinya, maka aku berencana ikut pemberangkatan pesawat yang berikutnya
saja. Tiketnya gak masalah karena perusahaan yang nanggung.”
“Hmm beberapa hari ini nafsu makanku memang sangat berkurang sekali
karena mikirin kamu. Aku kangen sekali sama kamu tapi kalau aku telepon kamu
selalu menolak berbicara denganku. Aku semakin gak nafsu makan di rumah.
Ternyata gak enak makan sendirian.”
“Iya kamu memang tampak lebih kurusan sekarang,” kubelai pipinya yang
makin tirus.
“Emang makan sendiri gak enak. Tapi bukan berarti kamu boleh makan berdua
dengan wanita lain!” Aku mengingatkan kejadian waktu itu sambil menepuk pipinya.
“Lho kok?” Idan tampak terkejut dan heran namun sesaat kemudian langsung
menyadari apa yang barusan aku katakana.
“Itu kan Cuma kebetulan saja Pit! Sueeer! Kebetulan dia lewat dan lihat kursi
di mejaku kosong jadi dia makan disitu.” Idan menjelaskan dengan menggebu-gebu
sambil meringis menahan perih di pipinya.
“Iya iya aku gak marah kok. Aku sekarang yakin kalau kamu memang suami
paling setia yang pernah kutemui. Aku yakin kamu tidak akan pernah menghianatiku.”
Kataku kemudian.
“Ita Pit aku janji kalau hanya kamu satu-satunya wanita yang kucintai sampai
maut memisahkan kita. Dan kalau itu terjadi barulah aku cari wanita lain hehehe.”
“Oh jadi kamu doain aku lebih dulu mati?” Aku langsung manyun dan kutinju
tangannya. Dia menjerit mengaduh.
“Tidaaaaaakkk! Ampun non Puspitaaa!!” Idan pun lari keluar dengan aku yang
mengejarnya di belakang. Hari ini banyak sekali hal besar kualami. Sekali lagi,
menikah denganmu memang tidak pernah membosankan Dan…
***
Semua kembali pada pribadi kita masing-masing apakah bisa menjadi sosok
yang mampu mencintai menghargai pasangannya apa adanya, menerima segala
kelebihan-kekurangan dan melengkapinya dengan kelebihan-kekurangan kita. Dan tak
lupa, niatkan semuanya hanya untukNya.
Setelah kelar akupun keluar dari kamar mandi dan dipapah ke kamar oleh
Idan. Sesampai di kamar aku langsung di baringkan di ranjang.
“Kamu sakit lagi Pit? Aku antar ke dokter ya?” tanyanya cemas.
“Sebaiknya aku antar kamu ke dokter sekarang. Aku takut kamu kenapa-
kenapa lagi kaya dulu Pit!”
“Aku sudah bilang aku gapapa Dan! Aku Cuma terlambat datang bulan selama
seminggu ini.”
Aku hanya tersenyum penuh arti memandang wajah Idan yang masih tampak
bertanya-tanya penasaran. ^_^