Anda di halaman 1dari 75

Pernikahan Simulasi

“Aku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus menikah.”


gerutuku.

Idan tertawa, “Ibumu menanyakan calonmu lagi?”.

Aku mengangguk cemberut.

“Apa jawabanmu kali ini?” godanya.

“Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke
kamar.”

Idan terbahak, “Kau kekanak-kanakan,” katanya.

“Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan
alasan, kehabisan stok bohong, dan ibuku malah makin gencar menteror.”

Idan tersenyum,”Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadi ibumu,


apa kau tidak akan blingsatan kalau anakmu belum juga menikah pada usia 33
tahun?”

“Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,”
komentarku.

Alis Idan terangkat, “Kenapa?”.

“Pernikahan hanya merumitkan hidup perempuan.”

“Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit.”

“Persis!” potongku.

“Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanya kesulitan?”

“Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara


keuntungannya lebih banyak?”

“Sok tahu,” cibirku. “Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu tentang
keuntungan menikah.”

“Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah 35 tahun,
kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.”
“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik
tanpa perlu lagi menikah?”

Idan tersenyum. “Ya, memang.”

“Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!”

“Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, loh. Aku hanya
masih menunggu calon yang pas.”

Dan aku menghela nafas panjang. “Ah, ya, calon”.

“Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?”

“Ya”, gumamku enggan.

“Bukan karena kau sama sekali anti menikah.”

Aku menggeleng. “Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku kepingin


juga digandeng seseorang saat datang ke pesta.”

“Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?”

“Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus,” komentarku pahit.

“Maksudku, aku mau orang yang sama menggandeng tanganku kemanapun aku
pergi.”

“Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu kemana-


mana? Ini zaman susah. Banyak pengangguran.”

“Idan!” kuayunkan tanganku, tapi begitu hapalnya ia dengan reaksiku ia


menghindar sambil tertawa.

“Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekedar mengontrak penggandeng
tetap?” tanyanya kemudian, lebih serius.

“Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang
salah. Kalau saja, “ aku terdiam.

“Apa?”

“Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik hati
setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau lelaki
yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka memukuli, mencaci maki,
menghina, orangnya pelit, cemburuan, suka berbohong dan berkhianat.”

“Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali.”

Aku menggeleng. “Semua laki-laki binatang.”

“Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.”

“Kau bukan laki-laki, Dan. Kau malaikat.”

Idan terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.

“Idan!” desisku. “Nanti orang-orang memperhatikan kita!”

“Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh
dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,” dan ia kembali terkulai, mata tertutup,
lidah terjulur.

“Idan, Idan” desahku.

“Kalau kau mau menikah, berobatlah.” Ia tergelak.

“Dan kau, kalau kau mau menikah, percayalah setidak-tidaknya pada satu
orang saja dari golongan laki-laki.”

“Aku tidak bisa, Dan”

“Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan. Dan
kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara kau akan makan
makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan…?”

“Idan!” walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum
mendengar pernyataan konyol itu. Setelah 20 tahun menjadi sahabatku, ia benar-
benar telah memahamiku.

“Apa kau pernah berfikir tentang ibumu?” katanya kemudian. Seperti biasa ia
bisa berhasil menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang waktu
sepersekian detik. “Ia pasti sangat ingin kau segera mendapat pasangan tetap. Ia
akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya seseorang yang akan menemani dan
melindungimu.”

“Jangan bicara begitu,” cetusku. Aku kembali manyun.


“Satu, ini hidupku, bukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih. Tapi kalau
suamiku berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua,
aku tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri. Kalau itu yang
aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu, plus bodyguard kalau
perlu.”

“Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah,” Idan membungkuk dalam-
dalam. “Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan menikah,
apa yang ingin kau capai dengan itu?”

Aku tertunduk lemas. “Itulah, Dan,” desahku. “Aku tidak tahu. Apalagi yang
aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang lumayan. Jadi
menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan untukku. Aku punya teman-
teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi kesepian juga bukan alasan bagiku untuk
menikah.”

“Bagaimana dengan keturunan?”

“Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi,
kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya. Kalau aku
mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka. Jadi tolong,
jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku sendiri, mengambil
risiko dilukai lahir atau batin. Tak ada kepastian sama sekali bahwa pernikahan itu
akan bertahan sepanjang hidupku. Disamping itu, kalau pernikahan itu hancur di
tengah jalan, aku akan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa,
Dan? Untuk apa?”

Idan termenung agak lama. Akhirnya ia menjaawab,”Cinta mungkin?”

“Kau terlalu banyak menonton film romantis,” olokku. “Kau tahu berapa lama
cinta bertahan dalam suatu pernikahan?”

“Berapa lama?”

“Satu sampai 3 bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustasi dan


imajinasi.”

“Imajinasi?”

“Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci seklaigus
yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan menikah dengan Rischard
Gere atau kau bisa jadi gila.”
“Astaga,” gumam Idan. “kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang harus
kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?”

“Gorila,” jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa.

“Idan”,keluhku. “Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang


membicarakan masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus.”

Wajahnya serta-merta menjadi serius. “Aku tidak menertawaimu. Kalau kau


benar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah, yang
tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akan merasa jauh lebih
baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi, tertawalah. Tertawalah keras-
keras.”

“Idan, kau benar-benar tak terlong lagi,”gumamku. “Aku perlu solusi, dan
bukan ide-ide konyol.”

Idan membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.

Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati. “Pit, aku tahu ini akan kedengaran
gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa menyelesaikan kedua masalahmu.
Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras laki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu
kenapa kau butuh seorang suami.”

Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik


seriusku walaupun ide yang akan dilontarkan Idan nantinya ternyata kelewat sinting
dan karenanya teramat sangat kocak.

“Sebelumnya aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting , jadi aku
perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?”

Kutatap Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selama 20 tahun.
Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya 6 lelaki telah hadir dan
menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang tak berganti. Ia sekan-akan selalu siap
mengulurkan tangan menolongku, sementara sense of humor-nya tak pernah gagal
membantu keluar dari depresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di
dunia yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan orangnya. “Ya. Aku
percaya kepadamu.”

“Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk


kebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat terselubung
di balik ideku ini. Percayalah.”
“Idan!” potongku tandas. “Ide apa?”

“Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen,” ia bicara dengan


hati-hati, kedua matanya terpancar pada ekspresi wajahku. “Kita akan melakukan
pernikahan”.

“Apa?”

“Simulasi!” lanjut Idan sesegera mungkin. “Tentu saja lengkap dengan semua
formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon….”

“Bulan madu?”

Idan mengangkat tangannya menyuruhku diam. “Simulasi. Sekali lagi, simulasi.


Setelah itu kita akan menjadi suami istri – simulasi- sambil mempelajari kenapa
kebanyakan manusia yang normal dan waras begitu berambisi untuk berumah tangga.
Kalau pada akhir eksperimen kau merasa yakin bahwa kerugiannya tidak sebanding
dengan keuntungannya , kita bercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-
lamanya. Kalau ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai dan kau
bisa cari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini sebagai tes untuk melihat
apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpa penalty.
Bagaimana?”

“Idan”, desisku. “Ini ide terbodoh yang pernah kudengar.”

“Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya,” sanggah Idan mantap.

“Pikirkan, Pit. Ini satu-satunya cara supaya supaya kita bisa belajar seperti
apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh menikah. Kau tidak
mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki sifat
ksatria, dapat dipercaya dan teguh pendirian…”

“Serius, Idan, serius!”

Dan kau sama sekali tidak melalukan pengorbanan apapun. Kau tidak akan
mengalami kerugian apapun.”

“Kecuali jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan..”

“Simulasi.” Idan mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.

“Oke. Pernikahan simuasi,” geramku. “Dan aku akan menyandang status janda
setelah kita bercerai.”
“Simulasi”

“Idan!”

“Upit!”

“Oh, Tuhan.” Aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Idan segera
menjejeriku.

“Upit, kau tidak perlu semarah ini,” katanya. “Apa aku sejelek itu dimatamu
hingga kau bahkan tidak mau pura-pura menikah denganku?”

Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan kemudian menggeleng.

“Biarpun wajahmu seperti bunglon sekalipun, aku akan tetap memujimu di


depan perempuan malang manapun yang mencintaimu.”

Matanya berbinar.”Kau tidak marah lagi, kan?”

Aku menggeleng.” Aku bukan marah karena idemu, Dan. Aku tahu otakmu
memang selalu korslet tiap kali memikirkan jalan keluar dari suatu problem serius.
Aku mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinya tidak peduli dengan
masalahku.”

“Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Pit,” ekspresinya
tampak begitu tulus.

“Terimakasih. Tapi ide itu memuakkan.”

“Pikirkan ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah, denganku,
orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat kepada orangtua, ulet,
tangguh…” ia berhenti saat melihat raut wajahku. “Ibumu akan sangat bahagia, Pit.
Pikirkan juga dirimu.”

Ia diam sejenak. “Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta.


Dimanapun.”

Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu.


Kalau saja di antara bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itu kepadaku, aku
pasti sudah lama sekali menikah, pikirku sebelum menertawakan diri sendiri.
Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung, tapi haus digandeng tangannya. Aku
pasti sama kurang warasnya dengan Idan.

“Apa aku harus menciummu?” tanyaku nyaris berbisik.


“Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam-diam mengawasi,” matanya
kembali tertawa. “Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kita hanya berdua,
kau bebas untuk meninjuku, menjambakku….”

“Idan,” teguran itu lebih lembut daripada yan kuinginkan dan Idan tersenyum.

***

Suaranya bergetar. “Saya terima nikahnya Puspita Kirana binti Anwar Daud
dengan mas kawin tersebut, tunai.”

Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apa ia
terjaga berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya, seperti aku yang
nyalang nyaris sepanjang malam tadi?

Ibuku meneteskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. Ibu
Idan, walau menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia. Seharusnya aku
juga bahagia hari ini. Idan juga. Mungkin dengan orang-orang lain. Tapi seharusnya
aku merasa bahagia. Bukan diam-diam mencatat seperti seorang ilmuwan yang teliti :
perasaanku, reaksi para tamu, wangi melati dan wajah Pak Penghulu.

Pak penghulu menyuruhku suami baruku. (Simulasi, Upit, jangan lupa itu.
Suami baru simulasi). Tangannya dingin. Ekspresi wajahnya aneh, kedua matanya
gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku mendongak setelah mencium jemarinya. Ia
mengecup dahiku dengan bibirnya yang nyaris putih. Lalu kami berdua duduk
berdampingan mendengarkan petuah Pak Penghulu. Idan menunduk menatap pantalon
putihnya dan mataku terpaku pada kain batikku.

Akhirnya kuberanikan diri untuk berbisik, “Kau pucat sekali.”

“Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi.”

“Terlalu nervous?”

“Telat bangun. Aku nonton bola sampai shubuh.”

Aku tersenyum.

“Bagaimana aku tadi?” bisiknya.

“Meyakinkan. Berapa lama kau latihan?”

“Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau beri tercuci dengan
celanaku.”
Ah. Idan, Idan. Menikah dengannya tidak akan pernah membosankan.
Simulasi. Menikah simulasi dengannya tidak akan membosankan, koreksiku.

***

Tiga hari pertamaku sebagai istri Idan –simulasi- kulewatkan di rumahku


sendiri. Tiga hari berikutnya dilewatkan dirumah Idan, karena kondisi ibunya, yang
memang telah sangat lama sakit, memburuk : mungkin karena ketegangan yang
disebabkan persiapan acara pernikahanku dengan Idan.

Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan sendiri. Dan setelah
seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan, malam itu kami
lewati dengan tidur.

Esok paginya, aku terbangun karena mendengar suara-suara didapur. Aku


menemukan Idan disana, sedang mendadar telur, sementara di atas meja terhidang
nasi goreng dan sepoci kopi yang harumnya menggoda.

“Aku ada rapat pukul setengah delapan,” seru Idan sambil membalik dadar
telurnya. “Aku mesti berangkat sebelum setengah 6.”

Kucicipi nasi goreng buatannya. “Aku tidak tahu kau pintar memasak.”

“Pramuka,” komentar Idan tersenyum. Diletakkannya telur di atas meja dan ia


duduk untuk sarapan. “Aku juga pandai tali-temali, semapour, menjahit.”

“Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan
memperbaiki keran dan genting bocor, plus membabat rumput.”

Idan terbahak. “Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak setiap
pagi.”

“Apalagi aku. Kita perlu cari pembantu.”

“Jangan,” Idan menggeleng. “Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar
berbeda.”

“Jadi?”

Idan menggaruk kepalanya. “Bisakah kau masak nasi tiap hari?” pintanya.

“Aku punya rice cooker.”


Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berfikir, haruskah? Ini hanya sebuah
permainan. Tidakkah Idan akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya? Tapi di
lain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang istri,
mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya.

“Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik.”

Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin
merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantunng di dinding dapur.

“Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah


keluarga,” katanya saat kembali ke kursinya.

“Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati”, lanjutnya.
“Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang terlambat.”

Dahiku berkerut. “Untuk apa?”

“Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang
terlambat?”

Aku menggeleng. “Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri
dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh.”

“Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan dimana kau
kalau pulang terlambat.”

“Kau kedengaran seperti diktator.”

“Kurasa aku tidak minta terlalu banyak.”

“Itu terlalu banyak untukku.”

Idan meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa
kapan terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah membaca
gelagatnya kali ini. Ia benar-benar marah.

“Ingat,” lanjutku hati-hati. “Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak punya
hak untuk mengaturku seperti itu.”

Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih.


Dan ruang makan itu menjadi sangat sunyi senyap. “Baik. Kalau itu maumu,” desisnya
kemudian.
Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Aku ingin mengatakan bahwa aku sama
sekali tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku dengan Idan
memburuk. Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku yakin Idan akan semakin
berang karenanya.

Idan meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnya


untuk bersiap-siap ke kantor. Tak lama ia kembali menemuiku di ruang makan.

“Aku pergi, Pit”, katanya dingin.

Aku bangkit dari meja menghampirinya, berniat untuk memperbaiki situasi.


“Sebagian teman-temanku menyarankan ini,” ujarku sambil meraih tangan kanan
Idan dan menempelkannya di bibirku. “Kupikir ada baiknya kucoba. Oh, ya. Mereka
bilang kau harus mencium keningku.”

Ia membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya yang terkatup dan


berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi.

Dasar tidak tahu terimakasih!

Aku sengaja pulang terlambat malam itu. Dalam perjalanan pulang kusinggahi
kafe yang belum pernah kukunjungi, sebagian untuk memperoleh kesendirian dan
sebagian untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang pasti diberondongkan
kawan-kawan yang biasa bersamaku menghabiskan sore hari.

Perasaanku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku tahu
Idan telah banyak berkorban untuk permainan ini. Tapi walau aku sungguh-sungguh
ingin mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang istri, meski kuakui bahwa aku
belum terbiasa menganggap Idan sebagai suamiku. Bagiku, ia hanya masih seorang
sahabat. Dan seorang sahabat tidak boleh menuntut terlalu banyak.

Mataku tertaut pada cincin emas mungil yang disisipkan Idan di jari manisku
selepas akad nikah. Ini hanya permainan,batinku. Tapi dalam permainan ini, Idan
adalah suamiku. Dan sebagai suamiku, tuntutannya wajar. Kalau aku lantas tidak suka
dengan keterbatasannya, itu hanya satu pelajaran pertama dari permainan ini.
Kupejamkan mataku dan kutarik nafas dalam-dalam. Aku benci kekalahan. Tapi kali
ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal dari semua ini. Bagaimana
mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan. Getir memang. Aku yakin Idan
akan menertawaiku. Kalau ia tidak marah-marah dulu.

Alangkah terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong. Sudah pukul
setengah dua belas malam dan Idan belum pulang?
Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox. Dengan
menggunakan berbagai tipu daya, memperhitungkan lemahnya kondisi ibu mertuaku,
kutelepon rumahnya. Aku bahkan mencoba mengontak kantornya, tanpa hasil. Idan
tidak ada dimana-mana.

Inikah balasannya atas penolakanku tadi pagi? Kekanak-kanakan sekali!

Tapi tak urung, dengan melarutnya malam, aku jadi semakin cemas. Apalagi
hingga pagi Idan tidak kembali. Ia bahkan tidak pergi ke kantor. Aku minta izin
pulang setengah jam lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat.

Tapi saat aku tiba di rumah, Idan tetap tidak ada. Malam itu kulewatkan di
sisi telepon, berfikir untuk menghubungi polisi dan rumah sakit. Pukul tiga telepon
berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas dibenakku saat aku mengangkat
receiver.

“Upit?”

“Idan?” jeritku. “Kau dimana?”

“Pit, aku minta maaf karena marah dan minggat begitu saja. Boleh aku
pulang?”

“Idan, ini rumahmu!” meskipun aku tersenyum, air mata kelegaan mulai
meleleh di pipiku. “Kau dimana?”

“Di luar”.

“Di luar rumah?”

“Ya. Dan aku lapar.”

“Oh.Tuhan…”

Aku lari ke luar rumah. Di gerbang kulihat Idan berdiri di sisi mobilnya. Entah
sudah berapa lama ia disana.

“Kau keterlaluan! Aku sudah berfikir untuk menelepon kantor polisi!” teriakku
kepadanya.

“Aku juga rindu kepadamu!” balas Idan tertawa. Dan mataku rasanya semakin
perih melihat tawanya lagi.

“Dimana saja kau dua hari ini?”


“Di hotel kecil dekat kantor.”

Ia baru saja menghabiskan piring ketiga sop buntut kesukaannya. Ia tidak


berkomentar ketika melihat bahwa aku sudah membeli semua makanan
kegemarannya. Ia hanya makan dua kali lebih lahap. “Kenapa kau akhirnya
memutuskan untuk pulang?” suaraku bergetar.

“Aku perlu baju bersih,” ia tertawa malu. “Laundri hotel mahal sekali.”

Saat ia mencuci piring makanannya, dengan punggungnya ke arahku, ia


menyambung. “Selain itu, aku khawatir karena kau sendirian disini.” Dan dadaku
tiba-tiba terasa ngilu.

“Aku akan pulang terlambat besok,” ucapku perlahan. Aku harus lembur.
Dikejar deadline.”

Ia berhenti membilas piring dan aku tahu ia berbalik menatapku. Tapi mataku
terpaku pada es krim di hadapanku.

“Oke,” katanya. “Kau keberatan kalau aku makan malam duluan?”

“Asal kau sisakan cukup untukku,” aku tersenyum.

Paginya kulihat lingkaran merah kedua di kalender.

Aku bisa mentolerir kebiasaan Idan membiarkan Koran yang telah dibacanya
berserakan di ruang tamu. Aku bisa memaklumi kegemarannya nonton film action—
genre yang paling tidak kuminati, dan sepakbola? Olahraga yang menurutku amat
membosankan. Aku bahkan bisa memaafkan kebiasaannya mengeluarkan pasta gigi
dengan memencet bagian tengah tubenya, tidak dari bawah seperti yang biasa
kulakukan.

Hanya satu yang aku belum sanggup terima. Caranya menghabiskan akhir
pekannya. Setiap minggu pagi ia berangkat sebelum pukul enam untuk bermain sepak
bola dengan teman-temannya, dan sorenya, sekitar pukul setengah empat, ia pergi
memancing.

Untukku yang selalu menghabiskan waktu luang dengan pergi dari satu galeri
ke galeri lain, dari satu pameran lukisan ke yang lain, dari mal ke mal, dan berakhir
dengan acara makan-makan, kebiasaan Idan itu sama sekali tidak bisa kupahami. Aku
tak sanggup menontonnya main bola atau menemaninya memancing, karena aku
dengan sangat cepat akan merasa jemu.
Sebulan pertama aku berusaha mengerti. Ia selalu pulang dengan mata
berbinar hingga aku tak tega mengeluh dan protes. Tapi dipekan kelima kesabaranku
tandas, dan pagi itu, saat ia tengah memasukkan botol air minum dan kotak rotinya
ke dalam tas, aku memintanya untuk tidak memancing. “Temani aku jalan-jalan ke
mal sore ini,” pintaku.

“Kau kan bisa pergi sendiri,” katanya sambil. Memasukkan kaus bersih dan
handuk kecil.

“Seingatku kau berjanji untuk selalu menggandeng tanganku kemanapun.”

“Aku tidak bisa mangkir memancing hari ini, Pit,” ia masih tetap tak
memandang ke arahku, sibuk dengan sepatu bolanya. “Aku sudah janji dengan kawan-
kawanku untuk mencoba tempat memancing baru.”

“Kau bisa mencobanya minggu depan.”

“Tadi malam tidak ada bulan, Pit. Ikan-ikan akan sangat rakus hari ini,” ia
tersenyum sambil melompat-lompat dengan sepatu bola barunya. “aku bisa
memecahkan rekor sepuluh kilo sore nanti!”

“Minggu depan voucher diskon salonku sudah tidak berlaku lagi,” gumamku.

“Pakai voucher dariku saja,” sahutnya ringan sambil mulai lari-lari di tempat.
“Berapa diskon yang kau dapat dengan voucher itu? Kalau kuberi Rp 15.000; cukup?”

“Idan! Itu hanya cukup untuk beli minum selama di salon.”

“Aku bisa cukur rambut plus dipijit plus minum kopi sengan Rp 15.000;.”

“Oh, Tuhan..”

Idan berhenti berlari-lari dan berdiri di hadapanku dengan tangan di


pinggang. “Pit, kau sudah cantik begini. Tidak perlu kesalon lagi.”

“Aku sudah cukup yakin dengan kecantikan, terimakasih. Yang aku butuh cuma
keluar dari rutinitas harianku, dan aku memilih melakukannya dengan jalan-jalan.”

“Jadi? Apa yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarangmu. Kalau kau
bawakan aku oleh-oleh, aku akan lebih tidak keberatan.”

“Ini bukan masalah kau melarang atau tidak, Dan. Apa enaknya jalan-jalan
sendirian? Aku perlu teman.”
“Kalau begitu ajaklah teman-temanmu.”

“Sudah. Mereka punya acara sendiri-sendiri. Dengan suami-suami mereka.”

Idan mengerutkan keningnya. “Kau mau melewatkan hari Minggu denganku?”

“Ya!”

“Kenapa tidak bilang dari tadi. Tentu saja kau boleh ikut ke lapangan sepak
bola lagi. Aku akan senang kalau kau disana.”

“Idan!” jeritku. “Kau ini buta, tuli atau imbesil sih? Kau tahu aku benci
sepakbola dan lebih benci lagi memancing!”

Mata Idan menyipit. “Dan kau tahu aku alergi jalan-jalan ke mal,” desisnya.

”Kupikir sudah waktunya kau mengalah sekali-kali.”

“Mengalah!” suaranya meninggi. “Apa aku masih kurang mengalah selama ini?
Pit, kau sudah menyita 6 kali 24 jam waktuku, apa kau tidak bisa memberiku…”

“6 kali 24 jam? 6 kali 2! Kita hanya benar-benar bertemu dan bicara 1 jam
saat sarapan dan 1 jam waktu makan malam!”

“Kita bisa mengobrol lebih banyak kalau kau mau lebih banyak melewatkan
waktu denganku! Tapi tidak! Kau lebih memilih mengurung diri di kamar dengan
Pavarotti dan Flamingo….”

“Placido Damingo! Maaf, Dan, waktuku terlalu berharga untuk dipakai


menyaksikan orang-orang saling membunuh tiap 2 menit atau 22 orang
memperebutkan satu bola kulit!”

“Setidak-tidaknya itu lebih jujur dan bisa dimengerti dari film-filmu yang
becek air mata itu!”

“Kau kekanak-kanakkan!”

“Dan kau, Tuan Putri, kau egois!”

Ia menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar lewat pintu samping.

Aku masuk ke ruang makan dan membanting pintu di belakangku. Seperti


inikah perasaan para istri setelah bertengkar dengan suaminya? Dadaku sesak dan
kepalaku sakit. Aku benci menjadi cengeng, tapi air mata kecewa mulai membuat
mataku perih. Aku sama sekali tidak mengira sesuatu seperti ini terjadi padaku. Aku
tahu Idan melakukan semua ini, simulasi ini, untukku, tapi selama ini aku tidak
pernah menuntut apapun darinya.

Sebaliknya, aku telah berkorban banyak sekali sejak aku menikah—simulasi—


dengannya, pulang dari kantor sesegera mungkin, memperhitungkan apa ia akan
menyukai makanan yang kubeli. Apa ia telah berbuat sama banyaknya untukku?
Tidak!

Kubuka lemari es dan kukeluarkan satu kotak es krim cokelat kesukaanku.


Pagi itu kulewatkan di depan televisi, menyaksikan film melankolis, air mataku
kubiarkan meleleh tanpa henti, dan sekotak es krim itu pun habis tanpa terasa.

Idan kembali pukul setengah 11, masih cemberut. Ia langsung mandi dan tak
lama kemuian kembali ke ruang duduk sudah rapi dengan t-shirt dan celana jins.

“Kalau kau mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan dandan sedikit,” katanya.

“Aku tidak mau pergi ke mal.”

“Kau bilang tadi pagi…”

“Aku tidak mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau gatal-gatal karena alergimu
kumat.”

“Upit, kalau kita tidak pergi sekarang, kita bisa pulang terlalu sore. Aku ada
janji jam 4…”

“Aku bilang aku tidak mau ke mal! Kau bisa pergi memancing sekarang kalau
kau mau.”

“Jangan seperti anak kecil begini, Pit,” geramnya.

“Tidak! Dan kalau kau marah dan mau minggat seperti dulu lagi, silahkan!”

Wajah Idan benar-benar merah sekarang. “Upit! Jangan main-main


denganku!” Aku tidak mau kau menolak pergi jalan-jalan lalu menghukumku dengan
cemberut sepanjang hari begini. Mandi sekarang. Kita pergi setengah jam lagi.”

“Aku bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi.”

“Oke. Terserah! Kalau kau mau duduk disini seharian, makan es krim dan
cokelat sambil mengasihani diri sendiri dan melar dan melar dan melar…”
“Idan!” jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke arahnya. Ia terlambat
mengelak dan sisa es krim yang telah mencair melumuri t-shirtnya.

Aku lari ke kamarku, membanting pintunya dan melempar diri ke ranjang,


sesenggukan. Ku dengar ia memaki dan menendang pintu. Saat itu aku takut, takut
sekali. Ia seperti telah menjadi manusia lain yang tak ku kenali sama sekali, asing
dan mengerikan. Kututup telingaku dengan bantal dan aku kepalaku yang berat
memaksaku tertidur kelelahan.

Sorenya aku keluar mengendap-ngendap. Idan pasti telah pergi memancing.


Memikirkan bahwa ia pergi sementara aku masih menangis karena kata-kata
kasarnya membuatku makin marah kepadanya. Kali ini aku yakin tak ada pilihan lain
kecuali meninggalkannya dan kembali ke rumah orangtuaku. Maka selesai mandi aku
segera memasukkan semua pakaianku ke dalam koper.

Saat itu Idan datang. Ia kedengaran sangat gembira, bersiul-siul sejak ia


memasuki pintu gerbang. Siulannya berhenti saat ia melihat koperku dari pintu
kamar yang terkuak.

“Apa-apaan kini, Pit?” tanyanya.

“Aku pulang ke rumah Ibu.”

Ia masuk dan duduk di atas kasurku, mengawasi gerak-gerikku. “Semudah ini


kau menyerah?”

“Ini diluar dugaanku.”

“Apa?”

“Aku tidak mengira aku menikahi monster.”

Idan terdiam, menunduk.

“Aku...”, katanya lirih. “Aku bawa pizza kesukaanmu.”

“Aku sudah terlalu gemuk.”

Ia menggeleng dengan ekspresi bersalah. “Tidak. Kau cantik.”

“Aku tidak butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat?” Penilaianmu tidak
punya arti apa-apa.”

“Aku sudah mencoba jadi suami yang baik.”


“Kau gagal!”

“Setidaknya aku mencoba. Kau…kau tidak melakukan apapun supaya


pernikahan kita berhasil…”

“Simulasi.”

Ia menghela nafas panjang dan mengangguk singkat. “Simulasi”.

“Kau salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajar terlalu
banyak. Dan aku sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan menikah. Aku tidak
suka menikah. Apalagi denganmu.”

Ia tak mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia keluar dari kamrku, aku
ambruk ke atas tempat tidur. Semua topeng ketegaranku hancur berkeping-keping.
Aku tak pernah menduga Idan bisa menyakitiku sehebat ini. Lama kemudian, setelah
aku bisa sedikit menguasai diri, aku bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret
koperku keluar.

“Setidaknya tunggulah sampai hujan reda,” suara Idan menyambutku.

“Terlalu lama,” gumamku. “Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu.

Aku tak peduli hujan yang serta merta mengguyurku basah kuyup. Saat aku
membuka pintu gerbang. Meninggalkan Idan secepatnya, hanya itu yang ada di
benakku. Dan ketika mobilku mulai tersendat terendam genangan air hujan hanya 50
meter dari rumah, aku begitu putus asa hingga aku keluar dari mobil dan menendang
pintunya, meninju atapnya, air mataku larut dalam siraman hujan.

Saat itu aku melihat Idan datang. Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabut
kunci mobilku dan mengunci mobil itu dari luar.

“Ayo pulang,” katanya.

Aku menggeleng tanpa berani menatap wajahnya.

Dan ia mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan perlawananku. Ia


membopongku sampai ke rumah, tak memberiku kesempatan untuk melarikan diri.

Setiba di dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di saku.

“Ganti bajumu,” katanya.

“Semua bajuku di dalam koper.”


“Ambil bajuku,”

“Tidak akan pernah.”

Ia mencengkeram pergelangan tanganku dan menatapku lurus dengan mata


berkobar. “Ini bukan waktunya melawanku, Pit. Kau bisa sakit!”

“Monster,” desisku.

Malam itu suhu tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit dan tenggorokan nyeri.
Aku masih ingat saat Idan menyuruhku menalan sebutir tablet penurun panas dan
aku membangkang. Kettika abangku datang untuk memeriksa keadaanku, aku masih
bisa menangis dan merengek minta diantar pulang ke rumah orang tuaku.

Setelah itu semuanya kabur. Kesadaranku kembali dalam kelebatan-kelebatan


singkat. Ketik aku terjaga dan menemukan Idan tengah mengganti kain kompres di
dahiku, sentuhannya begitu sejuk dan menentramkan. Ketika aku tiba-tiba tersentak
dari salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan tengah membersihkan ceceran
muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari tidurku yang gelisah dan merasakan
tangannya erat menggenggam jemariku.

Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyala api
dalam kepala dan dadaku telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya
matahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dari rumpun di luar
kamarku. Ibuku tengah duduk di dekat jendela, membaca.

“Ibu.”

Ibuku menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat ia menghampiriku.


“Bagaimana? Sudah enakan?”

“Idan mana?” bisikku.

Ah, pertanyaan bodoh. Mungkin seharusnya aku bertanya dimana aku


sekarang atau setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa pertanyaan pertamaku harus
tentang Idan? Rutukku pada diri sendiri.

“Masih dikantor. Sebentar lagi juga pulang.”

Aku sakit dan dia pergi ke kantor. Suami teladan.

“Ibu sudah berapa lama disini?”

“Dari pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi ini?”


Aku mencoba menggeleng dan kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi yang
paling menyakitkan adalah, Idan sama sekali tak peduli aku sakit. Aku berbalik dan
memejamkan mata. Air mataku yang panas luruh satu-satu.

Sore itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali belum
siap untuk bicara lagi dengannya.

“Bagaimana, Bu?” tanyanya, suaranya mendekati tempat tidurku. Dan


kemudian tangannya hinggap di dahiku, sejuk dan membawa ketenangan. Dengan
punggung tangannya ia menyentuh leherku, dan kalaupun aku sanggup menepiskan
tangannya dengan tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau melakukannya.

“Tadi bangun sebentar, menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya
sudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu.”

Tangan Idan berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut. Jangan
berhenti, jangan berhenti, jangan berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia bangkit dan
merapikan selimutku sambil terus bicara dengan ibuku.

“Kalau Ibu capai, Ibu bisa ambil cuti besok.”

Ibu tertawa kecil. “Kau sendiri? Kau tidak tidur entah berapa malam dank au
mengerjakan semuanya. Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Upit. Apa kau
todak capai?”

“Saya pakai baterai Ebergizer, Bu.”

Ibu tertawa lagi. “Idan, Idan. Kau mesti istirahat juga. Kalau kau sakit, Ibu
tidak yakin Upit bisa mengurusmu sesabar kau merawat dia.”

Ibu! Idan itu hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!

“Sudah tanggung jawab saya, Bu.”

Alangkah klisenya!

Sunyi. “Kau betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?”

“Terimakasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Ibu lagi.”

“Baik kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupa obatnya.
Kalau ia mau, ibu sudah masak bubur di sapur. Kalau tidak, beri saja apa yang dia
mau.”
“Ya, Bu.”

“Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan.”

Baik, Bu.”

Dan saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk
untuknya.

Aku ingin menghukumnya karena kata-katanya yang menyakiti perasaanku.


Aku ingin menghukumnya karena ia melukai harga diriku. Dan aku ingin
menghukumnya karena ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yang membuatku
sakit dan entah berapa lama tak berdaya, bahkan terpaksa membiarkannya
mengurusku seperti bayi.

Ia harus membayar untuk semua penghinaan itu. Aku benci, sangat benci
padanya. Aku membuat segalanya sangat sulit untuk Idan malam itu. Aku
memberontak saat ia mencoba menyuapiku. Aku menolak saat ia memintaku makan
obat.

Aku memintanya membuka jendela karena aku kepanasan, lalu menutupnya


lagi, karena aku kedinginan, lalu membuka lagi, menutup lagi entah berapa belas kali.
Aku memintanya membuatkanku susu yang tidak ku minum, merebuskan mi instan
yang tidak ku makan, menyiapkan roti yang kubuang ke lantai, mengupaskan apel
yang kubiarkan di meja hingga berubah coklat dan memasakkan omelet yang hanya
kucuil sedikit. Pijatannya di kakiku terlalu keras, terlalu lembek, terlalu kasar, tidak
terasa. Dan saat ia mulai terkantuk-kantuk di kursi, aku membangunkannya untuk
menyalakan televise agar aku bisa menyuruhnya mengganti saluran tiap kali ia mulai
mengangguk terlelap.

Semua itu akan membuatku sangat puas kalau saja Idan mau menolak,
memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan memakiku seperti dulu. Tapi ia sama
sekali tidak mengeluh, tidak membantah. Kesabarannya merusak segalanya. Makin
lama aku makin menyadari kelembutan dalam suaranya, yang hanya bisa lahir dari
kekhawatiran dan kelelahan di matanya, yang aku tahu hanya bisa datang dari
keputusasaan.

Aku dibuatnya merasa bersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan
dirinya sendiri, menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan.
Dan kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sma sekali tak
kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan.
Menjelang fajar, saat mengawasinya tertidur meringkuk di kursi, aku
mengingat lagi pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Aku mengulang lagi
setiap kalimat yang kuucapkan, dan aku tiba-tiba merasa malu. Kenapa semuanya
harus terjadi hanya karena suatu seremeh itu. Selama 20 tahun persahabatanku
dengan Idan, hobi dan kegemarannya tak pernah membuatku merasa terganggu.
Masih banyak hal lain yang menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa
melupakan itu dan membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?

Aku tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Idan
menemaniku kemanapun. Dan ia juga sama bersalahnya denganku karena
mengobarkan pertengkaran konyol itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati untuk
menyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru memupuk dendam dan benci
padanya. Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam kontes kedewasaan ini?

Ketika aku terbangun esok paginya, Idan menyambutku dengan baki sarapan
pagi dan senyum lebar. Ia membantuku ke kamar mandi dan aku tidak memprotes
ketika ia memintaku untuk tidak mengunci pintu. Ia telah menyediakan bangku di
sekat wastafel agar aku tak perlu berdiri saat menggosok gigi. Di rak ia telah
menyediakan pakaian bersih untukku dan bahkan meletakkan bedak dan sisirku,
hingga saat aku keluar dari kamar mandi, aku merasa jauh lebih segar dan hidup.

Ketika aku kembali ke kamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku telah
rapi kembali dan bunga di dalam vas di dekat tempat tidurku telah diganti dengan
yang baru. Ketika Idan duduk di pinggir ranjangku, menambahkan gula pada susu
cokelatku dan mengupaskan telur sarapan pagiku, aku hamper menangis karena
terharu.

“Kau tidak ke kantor?” tanyaku mencoba membuka percakapan, kata-kata


ramah pertama yang ku ucapkan padanya setelah pertengkaran kami.

“Ini hari Minggu, Pit.”

“Aku sudah sakit selama seminggu?” bisikku tak percaya.

“Ya.” Idan tersenyum. “Tapi aku senang kau sudah sembuh sekarang. Aku
tidak bisa tenang di kantor memikirkanmu.”

“Ibuku kan disini.”

“Ya. Aku terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar tidak bisa


meninggalkan pekerjaanku minggu lalu. Maaf.”
Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya. Kulirik jam di atas
mejaku. Pukul setengah delapan pagi. “Tidak main bola?”

Ia menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi dengan selai nanas. “Aku
mau member kesempatan pada Agus. Sudah 2 bulan dia cuma duduk di bangku
cadangan.”

Aku tersenyum.

“Dia kurang berani menyerang. Tidak seperti aku.Maklum sudah agak gemuk.
Tapi, siapa tahu,” ia mengangkat bahu dan tersenyum.

“Kau mau pergi memancing nanti sore?”

Ia menggeleng lagi.

“Kenapa?”

“Aku harus member kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Pit. Kalau
kutangkap terus, mereka bisa punah.”

“Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada mereka,
ya.”

“Terimakasih untuk apa?”

Untuk menunjukkan sisi lain dari Idan yang tidak kuketahui sebelumnya,
batinku. Tapi yang keluar dari mulutku adalah, “ Karena meminjamkanmu untukku
hari ini.”

Senyum Idan serta merta surut. Diulurkannya tagannya dan disentuhnya


lenganku. “Lain kali kalau kau ingin kuantar kemanapun, bisakah kau bilang minimal
sehari sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku sudah berjanji dengan
teman-temanku, aku tidak bisa begitu saja membatalkannya kan?”

Aku mengangguk dengan leher tersumbat.

“Aku juga janji tidak akan sering nonton film action lagi,” katanya kemudian.

“Kita memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, Pit. Nanti air
jerukmu asin.”

***
“Selamat ulang tahun, Pit.”

Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. “Idan! Untuk apa kau sepagi ini di
kamarku.!”

“Memberimu selamat ulang tahun,” jawabnya polos. Dan ia bangkit dari


kursinya di sisi tempat tidur dan menarikku hingga berdiri.

“Ayo! Aku mau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!”

Ia menyeretku ke ruang kerja dan menyuruhku duduk di depan komputerku.


Ada dua computer di ruangan itu, satu milik Idan, yang sarat dengan berbagai
programming software yang digunakannya untuk bekerja. Dan satu lagi milikku, lebih
sederhana dan tidak secanggih milik Idan.

Idan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar.


Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Idan
untukku. Puisi? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng dalam hati,
Idan tidak cukup romantic untuk itu.

“Kau lihat?” Idan memotong renungku.

“Apa?”

“Hadiahku?”.

Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan computer itu.
Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Star. Tidak ada yang berubah. Tapi
Idan kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah membuka file-file ku dan
sekali lagi tidak menemukan apapun, aku berpaling kepada Idan dengan ekspresi tak
berdaya.

“Kau tidak menemukannya?” tanya Idan, dengan setitik kecewa dalam


suaranya.

Aku menggeleng.

“Aku menambah memori komputermu,” akunya kemudian. Dan melihat raut


wajahku yang tak berubah, menambah.

“Komputermu sekarang bisa bekerja leboh cepat.”

Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan begitu bangga dengan


hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadar bahwa aku kecewa.
“Oh,” hanya itu yang bisa kukatakan. “Terimakasih.”

“Kau boleh memelukku kalau mau,” katanya tersenyum dan membentangkan


kedua tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlalu seperti hari-
hari kemarin.

Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum


penuh arti. Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapa mereka tampak
seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah kotak panjang dengan
tutup selofan. Setangkai mawar putih. Sesaat jantungku rasanya berhenti
berdenyut.

Hati-hati ku ambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketika kepada
teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.

Jika ya, aku menunggu di tempat biasa. Mungkinkah? Aku keluar untuk makan
siang lebih awal, mengabaikan godaan teman-temanku yang tak kenal ampun.

Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak aku
melihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Idan. Idan mustahil bisa seromantis itu.
Hanya satu orang yang ku tahu pernah dan selalu memberiku mawar putih. Dan ia
adalah milik masa lalu yang tak pernahkubayangkan bisa dan akan kembali. Tapi
pesan itu?

Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan tidak mencolok di
bagian luarnya, tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian dan ketenangan
dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan kolam-kolam kecil berisi teratai
merah jambu dan putih serta suara gemericik air terjun buatan di sepanjang satu
dindingnya.

Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor 5 itu masih sedikit di sudut,
terhalangi serumpun gelagah. Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidak lagi
merasa sebagai Puspita yang berusia 34 tahun, yang dewasa dan percaya diri, tapi
seorang gadis berusia 23 tahun, yang tercabik di antara cinta dan ambisi. Di meja
itu harusnya seseorang menantiku, seperti 10 tahun yang silam. Sebagian hatiku
mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembali lagi.

Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga aku sulit memisahkan kini dan
saat itu. Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku dan menyebutkan
namaku.
“Ita,” kelembutan suaranya masih seperti yang kuingat. Dan wajahnya, walau
mulai sedikit berkerut, masih persis seperti yang kukenang.

“Kau datang.”

“Halo, Pram,” sapaku sembari duduk di hadapannya, tak melepaskan mataku


dari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar dengan rasa rindu yang lama tak pernah
kugubris, dahaga yang bertahun-tahun tak kuijinkan untuk ada. Perasaanku
berkecamuk, galau yang belum pernah lagi kurasakan tentang siapapun juga.
Menggelikan sekali kalau seorang perempuan seusiaku masih demikian terguncang
karena pertemuan dengan bekas kekasihnya.

“Terimakasih mawarnya,” ujarku sedater yang mampu kulakukan. Sayangnya


getaran di suaraku membeberkan semuanya.

“Kau masih ingat.”

“Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun,” katanya tersenyum.

“Kapan kau pulang?”

“Tadi pagi.”

“Dengan anak istrimu?”

Pram tertawa kecil. “Ini agak memalukan. Tapi aku masih sendiri, Ita.”

Jawabannya begitu mengejutkanku hingga sesaat aku tak tahu harus


mengatakan apa.

“Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan siapapun selain denganmu,”


senyumnya padam dan simatanya bergelora lagi pesona yang pernah dan mungkin
masih bisa meluluhkan hatiku.

“10 tahun aku mencari dan aku tetap tak bisa menemukan penggantimu, Ita.”

Aku menunduk, bibirku terkatup erat. 10 tahun lalu, di tempat ini juga, ia
melamarku, dan aku menolak. Aku tak bisa membiarkan peluang karier yang telah
susah payah kurebut tersia-sia begitu saja, bahkan untuk satu-satunya lelaki yang
ingin kunikahi. Aku tak bersedia hanya menjadi bayangannya, terperangkap dan layu
di negeri asing, walau ia adalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi.
Di awal perpisahan surat-suratnya dtang dengan teratur, tak satupun ku balas.
Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan Lebaran, yang semua
kubakar, sampai suatu hari tidak ada lagi kartu yang datang. Dan dengan sedih aku
harus mengakui bahwa lelaki sesempurna Pram pun suatu ketika akan melupakanku.

“Kau sendiri bagaimana, ta?”

“Aku sekarang editor senior,” jawaban itu terdengar menyedihkan, hampa


makna. Apa artinya seuntai jabatan disisi… cinta? Kesetiaan?

“Selamat!” ia kedengaran tulus tapi di hatiku kata itu menyakiti.

“Aku selalu yakin kau yang terbaik untuk pekerjaan itu.”

“Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua,” ujarku lirih. Apa jadinya kalau
dulu kukatakan “Ya?” 10 tahun bersama Pram, seperti apa? Ia menggeleng.

“Aku hanya memintamu memilih.”

Matanya tertambat pada cincin di jari manisku. Suaranya pelan saat ia


bertanya. “Kau sudah menikah?”

Aku mengangguk. Ia tertawa kecil, aku gugup. “Siapa?” tanyanya lirih.

“Idan,” jawabku kaku.

“Idan? Irdansyah temanmu?”

“Sahabatku.”

“Sahabatmu,” desahnya, “Sudah berapa putramu?”

Aku menggeleng. “Belum ada,” bisikku.

Pram mentapku lekat. Dua kali ia tampak seolah akan bicara, tapi setiap kali,
ia berhenti. Akhirnya, dengan senyum kecil ia mengeluarkan sebuah kotak mungil
dari sakunya. “Aku….” di bukanya kotak itu.

“Aku sendiri menganggap diriku gila, karena membawakanmu ini. Tapi, Ta,
maaf kalau aku terus terang seperti ini, di benakku kau masih Ita-ku yang dulu. Aku
tahu dalam 10 tahun segalanya bisa terjadi dank au pasti sudah menikah. Tapi….”

Dikeluarkannya sebuah gelang mungil berhias batu-batu semi-mulia.

Aku terkesima.
“Aku tahu kau suka perhiasan antic. Ada kenalanku yang membuka took
barang antic di Muenchen,” tanpa meminta izinku, ia telah memasangkan gelang di
tanganku.

“Terimakasih,” gumamku terpesona. “Cantik sekali.”

“Kau suka?”

Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun dari Idan.

“Kau… sebetulnya kau tidak perlu repot-repot….” Suaraku keluar dengan


susah payah.

“Sebetulnya aku mau membawakanmu karpet antic yang aku yakin akan
membuatmu etrgila-gila. Aku sudah membelinya karena itu mengingatkanku padamu.
Setiap kali aku berbelanja barang antic aku tak bisa tidak mengingatmu,” ia tertawa
kecil. “Tapi aku tidak bisa membawanya ke sini. Bawaanku sudah banyak sekali.
Ibuku memesan oleh-oleh untuk sanak family dalam radius 250 km.”

Aku tersenyum kecil. Tapi dalam benakku berkelebat pertanyaan demi


pertanyaan. Apakah Idan tahu hadiah seperti apa yang akan membuatku bahagia?
Apa ia mengenal selera dan kegemaranku? Aku menggeleng dalam hati. Tidak. Tidak.

Pram masih bicara panjang lebar, tentanf bisnis yang dilakukannya di Jerman.
Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasan wawasannya. Apalagi 10
tahun berada di Negara lain telah menjadikan Pram yang dulu kukenal lembut dan
peka, semakin lapang hati dan terbuka. Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua
itu hanya menjadikannya sempurna. Dan pikiran itu menorehkan nyeri di hatiku.

Sudah terlambat, sambatku kepada diri sendiri. Ia bercerita tentang barang-


barang antic yang juga jadi salah satu kegemarannya. “Kalau saja kau bersamaku,
ta,” katanya dengan mata berbinar. “Kita bisa menghabiskan waktu mengaduk-aduk
Eropa mencari barang antic……..” ia melihat ekspresi wajahku dan berhenti bicara.

“Maaf,” katanya sejenak kemudian.

“Aku harus kembali ke kantor,” gumamku kaku.

“Baiklah. Mau ku antar?”

“Aku ada mobil.”


Ia menahan tanganku saat aku hendak berdiri. “Ita, aku tahu semuanya
berbeda sekarang. Tapi, kalau kau tidak keberatan, bisakah kita bertemu lagi
sekali-sekali selama aku disini? Aku perlu teman yang bisa mengantarku jalan-jalan
mengunjungi galeri dan art shop,” katanya.

Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi benakku serta merta dengan
masa lalu dan janji akan sesuatu yang lebih istimewa lagi. Kalau saja aku bisa
mengucapkan ya.

Pram membaca keraguanku dan sesaat sorot matanya meredup. “Kita bisa
jalan-jalan bertiga, kau, Idan dan aku,” katanya. “Aku tidak punya banyak teman
disini.”

“Aku pikir-pikir dulu,” jawabku cepat-cepat, sebelum hatiku di kuasai


kehausan untuk berlama-lama dengan Pram.

Pram merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Dibelakangnya


ia menuliskan sederet nomor. “Hubungi aku kalau kau bersedia. Aku menunggu.”

Malamnya aku berbaring dikamar, menatap kartu itu lekat-lekat seperti gadis
belia yang sedang mabuk kepayang. Aku bukan remaja lagi dan seharusnya aku lebih
bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri.
Kehadiran Pram membangunkan lagi semua harapan dan hayalan yang kukira telah
lama lenyap. Tapi masih adakah kemungkinan antara aku dan Pram?

Ia mengira dan aku telah meyakinkannya, kalau aku telah menikah dan
segalanya telah berakhir. Yang ia tidak ketahui, pernikahanku dengan Idan hanya
sebuah permainan yang bisa kusudahi kapanpun aku mau. Tapi, kalaupun ia tahu,
apakah segalanya akan berbeda? Apa pendapatnya kalau aku menceritakan semua
padanya?

Aku ingin tidak memikirkan Pram lagi. Apa yang kuharapkan bersamanya
mustahil terjadi. Tapi hidup dengan Idan seperti ini selamanya juga tidak mungkin.
Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat atau lambat. Apakah
kembalinya Pram suatu kesempatan kedua yang semestinya kuraih karena mungkin
tidak akan pernah ada lagi? Tapi bagaimana?

Kiriman bunga kedua datang 2 hari kemudian. “Aku memikirkanmu.”

Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum, mata dan wajah
dan suaranya dari benakku? Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan.
Maaf kalau kau menganggapku lancing karena terus mencintaimu. Tapi bisakah
kau menghentikan badai? Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh
di hatiku sendiri. Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu mustahil.

Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang sudah kuhapal diluar kepala
itu. “Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan di galeri baru dekat
kantorku.”

“Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak, Ita.”

Dan esok harinya kuhabiskan bersama Pram, mendiskusikan lukisan dan benda
seni, sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi. Aku tak bisa memungkiri betapa
menyenangkannya bercakap-cakap dengan pram, membicarakan seribu satu hal yang
tak pernah kusinggung saat bersama Idan. Setelah lama membicarakan masalah seni
rupa, Pram tiba-tiba bertanya.

“Kenapa kau menikah dengan Idan?”

“Kenapa kau bertanya?”

“Seingatku, ia bukan tipemu.” Aku tertunduk.

“Kenapa, Ita?”

“Idan mencintaiku,” bisikku pelan.

“Apa kau mencintainya?”

Kebisuanku memberinya jawaban.

“Apa kau bahagia?” lanjutnya lirih.

Kutatap matanya yang teduh dan hangat. “Ya.”

“Jangan berbohong.”

“Idan suami yang baik.”

“Tapia pa kau bahagia?”

Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa sebahagia saat itu,
melewatkan waktu bersamanya?

“Berapa lama kau menikah dengan Idan?”


“Setahun.”

“Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa kau menikahinya karena
terpaksa? Karena usia dan….”

“Stop.” Aku bangkit dan meninggalkannya.

Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena pertanyaanku. Tapi bisakah kau
renungkan perasaanku sendiri? Bagaimana hatiku tersiksa ketika tahu pernikahan
tidak membuatmu bahagia?

Kartu itu bergetar di tanganku dan tulisannya kabur dalam genangan air
mataku.

“Ita,” tanya sekretarisku yang entah kapan, telah memasuki ruangan. “Ada
apa?”, tanyanya.

“Tidak apa-apa,” bisikku, mencoba mengendalikan diri. “Tolong keluar


sebantar. Aku harus menelepon Idan.”

Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Idan. Aku tiba-
tiba sadar bahwa sejak menikah dengannya aku tak lagi pernah mengadu dan
bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hati dan perasaan. Dan
kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya, seperti dulu, sebelum ia
menjadi suami simulasiku.

“Idan”.

“Upit? Ada apa pagi-pagi begini?”

“Aku…. Kau tahu….”, aku terbata. Bagaimana mulai menceritakan kepada


suamiku—walaupun simulasi—bahwa aku sedang dirudung kasmaran kepada lelaki
lain? Idan tidak akan marah, aku tahu. Dia tidak berhak untuk itu. Tapi itu tidak
membuat segalanya mudah. Ia bukan lagi sekedar seorang sahabat, tempat curahan
keluh kesah dan semua masalahku. Ia adalah suamiku, simulasi atau bukan sekalipun.
Dan menceritakan hal seperti kartu dari Pram dan bunga mawar putihnya terasa
sangat tidak pantas dan kejam untuk dilakukan.

“Ya?” desak Idan.

“Aku…..Idan, kau kenal Indri, kan?”

“Sekretarismu? Tentu.”
“Bekas pacarnya yang pilot itu kembali.”

“Lalu?”

“Sekarang mereka sering bertemu. Suami Indri tidak tahu, tentu. Tapi
sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan bekas pacarnya itu. Dan
si bekas pacar ini pun ingin menikahi Indri.”

“Tapi Indri sudah punya anak dua kan?”

“Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah. Mereka boelh memilih
untuk tinggal dengan siapa.”

“Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?”

Aku menghela nafas. “Indri bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku tak bisa
menjawab.”

“Dan kau bertanya pada pak gurumu? Baik, Eh! Tunggu sebentar.”

Meskipun ia menutup mikrofon telepon, aku bisa mendengarnya berteriak


kepada seseorang di ujung sana. “Tunggu sebentar, ini istriku! Ya, mulailah dulu, aku
menyusul.”

Istriku. Aku istrinya. Istrinya. Dan jantungku rasanya melesak ke dalam bumi.

“Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku….” Suara Idan


kembali di telepon.

“Karena kau yang membuatkan kopi?”

“Kau!” ia tertawa, lalu segera kembali serius. “….kupikir Indri dan pacarnya
terlalu egois. Mereka tidak bisa lagi hanya memikirkan keinginan mereka sendiri.
Ada suami Indri dan anak-anaknya yang juga harus diperhitungkan.”

“Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi menikah dengan suaminya, apa perkawinan
itu harus dan bisa dipertahankan?”

“Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar mencintai bekas pacarnya
itu atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa mereka benar-
benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin mengulang keindahan masa
pacaran mereka dulu? Kalau hanya itu yang mereka inginkan, mereka akan kecewa
kalau terus bersama, karena Indri dan pacarnya sudah jadi orang-orang yang
berbeda, sudah lebih dewasa, bukan lagi remaja yang masih hijau.”
“Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan suaminya. Ia tidak pernah
mencintai suaminya.”

“Kalau begitu kenapa dulu ia menikah?”

“Keadaan.”

“Maksudnya?”

“Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi oraang tuanya tidak


mengizinkan karena mereka tidak mau Indri dilangkahi.”

“Astaga. Kasihan sekali.”

“Jadi bagaimana?”

Idan diam sejenak. “Aku tidak tahu, Pit.Yang aku tahu, aku tidak mau jadi
penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri untuk meninggalkan
pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia karena merasa terpaksa terus
bersama suaminya. Kalau ia meninggalkan suaminya, aku juga tidak menjamin ia akan
bahagia dengan orang yang hanya mengenalnya di permukaan, tidak utuh, seperti
suaminya.”

“Lantas aku mesti bilang apa?”

“Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja ini saran dari pakar
perniakhan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi ….”

“Kau sama sekali tidak membantu,” desahku.

“Ini bukan keran bocor atau tv rusak yang bisa diperbaiki begitu saja, Pit.
Sedangkan memperbaiki tv rusak saja aku menyerah, jangan lagi mengurusi rumah
tangga orang.”

“Bodohnya lagi aku bertanya kepadamu.”

“Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku dan
terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang tak berguna.”

Aku tertawa pahit. “Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terimakasih
untuk saran dan waktumu.”

“Sama-sama. Oh! Bosku kesini. Aku harus pergi. I love you, darling!”, ia
berteriak. Lalu kudengar suaranya sedikit jauh dari telepon.
“Iya, Pak, sebentar, Istri saya…..”

Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri.

***

“Kita tidak bisa bertemu lagi Pram,” ujarku kepada Pram di telepon. Separuh
jiwaku rasanya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan.

“Kenapa? Idan melarangmu?”

“Dia tidak tahu apa-apa.”

“Kenapa ka uterus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau sudi
menghabiskan hidupmu dengan otang yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau
bisa mendapatkan semuanya?”

Kugigit bibirku saat setetes air bergulir dipipiku.

“Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu akan
lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Idan, hidup kita hanya
mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai hidup, setelah kita bersama. Saat
ini kau tidak punya apa-apa, Ta, tidak juga masa depan, tapi berdua, kita akan
memiliki segalanya….”

“Hentikan,” potongku dengan suara bergetar.

“Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau hanya
buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh mundur. Ini
menyangkut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku
tidak akan berhenti sampai kau kembali denganku.”

“Aku tidak bisa….”

“Kenapa tidak?”

Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan


memang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali
memutuskannya?

“Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya, jadi bukan
kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya. Satu-satunya perasaan yang layak
kau simpan untuknya Cuma iba, karena ia tidak akan pernah bisa mendapatkan
hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan perempuan yang mencintai lelaki lain.”
“Aku….”

“Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir.”

Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela nafas panjang. Seluruh


tubuhku rasanya terbajar dan lunglai dan dunia seperti berputar makin cepat.
Kupejamkan mataku.

“Aku tidak mencintaimu,” gumamku.

“Lebih keras lagi.”

“Aku tidak mencintaimu.”

“Kau berbohong.”

Lama sekali aku terdiam, sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, “Ya.”

“Ita,” suara Pram gemetar. “Aku berjani untuk selalu membuatmu bahagia.”

Aku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Idan akan berakhir, cepat
atau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa aku harus
bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Idan sendiri tidak berhak dan
tidak mungkin menghentikanku. Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan
keputusanku itu, karena akhirnya ia bisa membendahi hidupnya sendiri lagi.

Mustahil ia akan menolak berpisah denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat
menyayangiku dan ingin aku bahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada
Pram adalah yang terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan
didukung oleh Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapapun. Kenapa aku
harus segan menyampaikannya pada Idan? Mula-mula aku berjanji kepada diriku
sendiri untuk mencari waktu yang tepat.

Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku dilanda keraguan dan
akhirnya membatalkan niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.

“Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau harus
menempuh masa idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat orang lain
yang berkomentar kalau kau menikah denganku setelah masa idahmu selesai. Dan
aku hanya disini sepuluh bulan.”

“Aku tahu. Aku juga berfikir begitu. Tapi…. Entahlah.”

“Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?”


“Aku….” Aku tergagap dan menggeleng.

“Jadi, bicaralah dengan Idan.”

Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicara
dengan Idan malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi. Begitu aku tiba dirumah,
Idan sudah menungguku di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku
mendekati teras, hingga aku jadi berfikir, ada apa sebenarnya.

“Kenapa kau sudah dirumah?” tanyaku.

Idan menyilangkan telunjuknya didepan bibir dan menggandeng tanganku ke


dalam rumah.

“Ada apa?”

“Ssst!”

Ia membawaku ke serambi samping. Dengan bangga dikembangkannya


tangannya. Disana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk 3
orang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang, berwarna hijau
dengan gambar… mawar putih?

“Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita,” katanya.

Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Idan benar-benar
sumringah. Dimatanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti telah
berubah warna.

“Aku…aku tidak punya hadiah apa-apa,” guamamku sambil kembali menatap


ayunan itu, menyembunyikan kalutku. “Aku lupa…”

Idan tertawa. “Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri,” katanya.

Ia duduk di ayunan itu. “Ayo,” katanya sambil menarik tanganku.

Aku duduk disampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benar
tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan menikah, simulasi. Kenapa Idan
harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku sendiri sama sekali tak
mengingatnya?

Idan mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku. Ia sedang


menceritakan sebuah kejadian lucu dikantornya, tapi aku sama sekali tak
mendengarkan. Dikepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segera kuucapkan
padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya tegas dan
jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang telah aku bangun runtuh
berserpihan.

“Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal,” teguran Idan
membuyarkan renunganku.

“Ada apa?”

Kutatap matanya, “Dan, Pram pulang.”

Dahinya berkerut. “Pram?”

“Pacarku yang pergi ke Jerman.”

“Oh,” ia mengangguk. “Kapan?”

“Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun.”

Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu. “Dia
sudah menikah?” tanya Idan, seperti mendorongku bicara.

Aku menggeleng.

“Lalu?”

“Dia ingin menikah denganku,” ujarku cepat-cepat tanpa memandang


wajahnya. “Ia disini hanya 10 bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita segera bercerai.”

“Oh.”

Idan tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya ia


ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu. “Kau yakin ia mencintaimu?”

Aku mengangguk.

“Kau yakin akan bahagia dengannya?”

Sekali lagi aku hanya mengangguk.

“Kalau begitu, selamat,” ketulusannya terdengar hangat. “Aku ikut bahagia.”

Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik
pun kekecewaan disana. Rasa lega meruahi hatiku.
Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan semuanya kujawab dengan
antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu,
aku sadar kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.

“Dan?” tegurku.

“Ya?”

“Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?”

“Aku sedang berfikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau
punya alasan untuk bercerai denganku.”

***

Malam itu, aku terbangun saat Idan mengguncang bahuku.

“Pit, bangun!”

“Ada apa?” gumamku.

Jam alarm disisi ranjangku baru menunjukkan pukul 03.15 dini hari.

“Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal.”

Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar, “Kapan?”

“Baru saja.”

“Di?”

“Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat 5 menit lagi.”

“Idan….”

Ia membanting pintu kamar didepanku.

Aku kembali de kamarku dan bergegas mengganti piyamaku dengan baju yang
pantas. Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depan masih
tertutup. Juga pintu kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.

“Dan, aku sudah siap.”

Tidak ada jawaban.


Aku menyelinap masuk. Kamar Idan gelap, tapi dengan cahaya lampu taman
aku bisa melihatnya meringkuk disudut, wajahnya tersembunyi dibalik kedua
tangannya. Ia menepis tanganku, bahkan mendorongku terjungkal saat aku
menyentuh bahunya. Tapi ketika untuk ketiga kalinya kuulurkan tanganku, ia tidak
lagi menghindar dan dalam rangkulanku ia menangis.

Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu ia kembali
menjadi Idan yang rasional dan berkepala dingin, yang mengurus pemakaman,
menerima para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannya dengan
ketenangan yang nyaris mengerikan.

***

Sore harinya saat aku tengah membantu merapikan kembali ruang tamu,
kakak tertua Idan, Kak Ira, menghampiriku.

“Pit, bawa Idan pulang.”

“Apa tidak sebaiknya dia disini dulu, Kak?”

Kak Ira menggeleng. “Coba lihat sendiri,” katanya sambil menunjuk ke


halaman belakang.

Idan kutemukan disana, sedang menghisap sebatang rokok. Ia sudah 17 tahun


berhenti merokok dan melihatnya kembali pada kebiasaan itu membuatku sadar ia
sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam dari yang ditunjukkannya.

Ketika aku mendekat, kulihat asbak disampingnya telah penuh dengan punting
rokok dan kotak diatas meja tinggal berisi sebatang. Kucabut rokok itu dari antara
jemarinya dan kubunuh di asbak. Idan tidak memprotes, ia bahkan tidak menatapku.
Aku sadar Kak Ira memang benar. Aku harus segera membawa Idan jauh-jauh dari
semua kenangan tentang ibunya.

“Aku mau pulang, Dan,” ujarku sambil memegang tangannya. Ia menggeleng


pelan.

“Aku akan menginap disini. Kau pulanglah sendiri. Besok aku pulang naik bus
saja.”

“Aku tidak mau sendirian dirumah.”

Idan menghela nafas berat dan akhirnya bangkit. Ia berpamitan kepada


kakak dan iparnya dan keluar untuk mengambil mobil. Saat itu Kak Ira menggamit
tanganku dan berbisik, “Aku senang Idan sudah menikah denganmu. Kau pasti bisa
menghiburnya dalam saat-saat seperti ini. Ia paling merasa kehilangan dengan
meninggalnya Mama. Kau tahu, ia tinggal dengan Mama selama 33 tahun.”

Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak Ira dengan hati menggigil/
Bagaimana bisa kukatakan kepadanya bahwa aku dan Idan sepakat untuk mengakhiri
pernikahan ini secepatnya?

***

Sesampai dirumah, Idan langsung menuju ke kamarnya.

“Kau mau kumasakkan nasi goreng, Dan?”

“Nanti saja. Aku tidak lapar.”

“Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh. Nanti kau sakit. Mau ya?”

Idan mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi semakin khawatir melihatnya.

“Tunggu disini,” ujarku lagi. “Aku tidak akan lama.”

Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari es, aku mendengar suara
Idan dikamar mandi. Ia kutemukan membungkuk di wastafel, menangis dan muntah
hamper bersamaan. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkanku dan aku hanya bisa
terpaku diambang pintu, tak pasti apa yang harus aku lakukan. Insting pertamaku
adalah lari keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan dalam
keadaan seperti itu. Kuhampiri Idan dengan ragu.

Perlahan kuelus punggungnya dan sentuhanku agaknya sedikit


menenangkannya, dan lambat laun isaknya mereda. Ini membuatku lebih yakin
dengan apa yang mesti aku lakukan selanjutnya. Kupijat tengkuknya dan kuseka
keringat didahinya. Tapi tiba-tiba saja ia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera
meraihnya ke dalam pelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah
ia ke kamar dan kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang baasah dan
kuselimuti badannya yang menggigil

“Maaf, Pit,” bisiknya. “Aku tidak bisa menangis di depan kakak-kakaku.


Mereka…”

“Aku tahu. Tidak apa-apa,” tanganku masih gemetar saat aku mengelus
rambutnya.
“Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya.” Ia mengangguk dan aku
beranjak meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia kelihatan agak lebih baik.

Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnya tidak lagi pucat setelah itu.
Ketika aku merapikan kembali selimutnya, ia memegang tanganku.

“Terimakasih.”

“Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku.”

“Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan buatan,” ia


tersenyum nakal.

“Oh, kau!” aku ikut tersenyum, lega.

“Dan untuk menikah denganku,” lanjut Idan kemudian, ekspresinya begitu


serius.

“Setidak-tidaknya sebelum meninggal. Mama bisa tenang karena mengira aku


sudah beristri.”

Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat aku bicara, “Aku yang
mesti berterimakasih kepadamu.”

“Untuk apa?”

“Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu.


Pengorbananmu.”

Idan tersenyum kecil. “Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai. Ini
setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang berterimakasih.”

“Jangan memaksa,” aku mencoba bercanda. “Aku yang harus berterimakasih.


Mengalah sedikit.”

Idan tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan itu
melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.

“Aku masih ttidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide
gilaku ini,” katanya.

“Entahlah, Dan,” aku tertawa kecil. “Mungkin aku sudah sangat capai berkilah
tiap kali ibuku meronrong soal perkawinan. Dan aku melihat usulmu itu sebagai
jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan 2 masalah sekaligus, keenggananku
untuk menikah, karena tidak ada calon yang pas dan keinginan ibuku yang menggebu-
gebu untuk segera melihatku menikah.”

“Apa yang kau dapat setetlah setahun kita menikah?” tanyanya dengan mimik
lebih serius.

Aku terdiam sejenak. “Banyak,” jawabku akhirnya. “Aku belajar bahwa aku
tidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yang punya
kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku
belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan
tidak sealu berarti kekalahan, tapi boleh jadi ssuatu kemenangan bersama.”

Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan kesetiaan


seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk menyatakan semua
itu.

“Kau memang selalu pintar bicara,” Idan tersenyum.

“Kau sendiri? Apa yang kau pelajari selama ini?”

“Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah
kau pergi.”

Aku tertegun. “Apa maksudmu?”

Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku. “Tahun ini adalah saat
paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku
jadi berfikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap malam waktu
aku pulang dank au tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi manusia paling
beruntung di seluruh jagad ray. Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu
bahkan mulai berharap kau akan bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu,
konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan
kehilangan akal sehat.”

Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia


tampak sangat tenang dan serius.

“Aku masih belum mengerti,” bisikku.

“Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Pit. Ini adalah
pernikahan sesungguhnya untukku.”

“Apa maksudmu kau mencintaiku?” suaraku tercekik.


“Apa yang tidak kau paham? Aku mencintaimu,” kata-kata Idan begitu lugas,
menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku terhempas.

“Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas kelincimu, 20


tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan tahun. Dan aku tidak pernah
bisa berhenti mencintaimu hingga kini.”

“Kau….kau tidak pernah….”

“Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta
dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dank au selalu datang kepadaku
menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak
menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilang sebuah lukisan itu bagus, aku
tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago pidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai
di SMA. Aku bkan aktivis kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah
dulu. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan
aku benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian,
belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu.”

“Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan,” ujarku lirih. “Kau istimewa dengan
caramu sendiri.”

Ia mengangkat bahu, “Tidak cukup untuk kau cintai.”

Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Idan, mencari tanda-
tanda kalau semua ini hanya ssalah satu dari sekian banyak permainannya. Tapi ia
kelihatan sungguh-sungguh.

“Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti ini?
Apa yang kau inginkan?” tanyaku datar.

Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak
pernah kutemukan sebelumnya. “Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mesti
mengatakan semua ini kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan
karena aku berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi.
Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi,
bahkan jika akhirnya kau benci kepadaku atau melupakanku sekalipun.”
Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia
kembali menatapku. “Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau disini
bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar
mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah cintaku padamu. Tapi
setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya sekedar sahabatmu, tapi kekasihmu.
Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan.”

Ia menghela nafas berat. “Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu.


Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga.”

Lama kami berdua saling berpandangan.

“Terimakasih, Dan”, desahku akhirnya. Kupeluk ia erat-erat, menyembunyikan


air mataku.

***

“Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses
perceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal
perceraian saat ini.”

“Berapa lama?”

“Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin.”

“Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda
kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi.
Mungkin tidak setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu
yang mestinya bisa kita lewati berdua.”

“Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan sekarang. Dia
membutuhkan aku.”

“Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa kau
tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?”

Aku menghela nafas panjang. “Entahlah, Pram,” bisikku.

“Apa maksudmu?” suara Pram terdengar kaget.

“Aku…. Aku tidak akan bahagia kalau Idan menderita.”

“Ita! Kau tidak….. Dengar, pikir baik-baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa
hidup dengannya, ia akan bahagia?”

“Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya.”

“Tapi kau tidak bahagia!”


“Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Idan
membuatku bahagia.”

“Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar lagi
kau akan berubah fikiran dan saat itu kau akan menyesal karena membuang
kesempatan ini.”

“Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri.”

“Ita, kau tidak mencintainya!”

“Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup.”

“Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapia pa kau lupa kalau aku sangat
mencintaimu?”

“Aku tidak pernah akan lupa, Pram.”

“Lantas apa yang membuatmu berubah fikiran secepat ini?”

“Idan mengajarkanku tentang cinta.”

“Hanya karena itu?”

“Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya.”

“Ita….”

“Selamat tinggal, Pram. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya,


atau mungkin lebih bahagia lagi.”

Telepon kututup sebelum air mataku luruh.

“Upit.”

Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Idan berdiri
di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil
duduk dilantai di sisi kursiku.

“Kenapa?” tanyanya.

Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia
menyeka pipiku dengan jarinya.
“Aku tak bisa melihatmu begini,” lanjutnya pelan. “Ini keputusan yang sangat
konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?”

Aku mengangguk.

“Dia akan membuatmu sangat bahagia, Pit.”

Aku mengangguk.

“Kau akan menyesal.”

Aku mengangguk.

“Kau akan sedih, kecewa…”

Aku mengangguk.

“Kau tidak mencintaiku.”

Aku menggeleng.

Idan terbelalak. “Upit!” pekiknya tertahan. “Idan!”

Ya. Begitulah pada akhirnya status “Simulasi” dalam pernikahan kami


berakhir. Waktunya menghadapi keseriusan bahwa aku sekarang sudah benar-benar
menjadi istri Idan yang sah meskipun sebenarnya dari awal pernikahan kami, akad
itu sudah sah menurut agama karena ternyata Idan mengucapkan ijab qabulnya
dengan sungguh-sungguh. Hanya aku saja yang waktu itu menganggap bahwa
pernikahan kami semata-mata hanyalah simulasi belaka. Namun nyatanya? Ian serius
mencintaiku yang malangnya aku tak pernah menyadarinya sebelumnya.

Dan berakhir pula hubunganku dengan Pram yang semula aku harapkan akan
jadi masa depan impianku. Namun, bukankah didunia ini apapun bisa terjadi?
Segalanya bisa berubah dengan sangat cepat semudah membalikkan telapak tangan
kita.

Pereceraian yang kami rencanakan sebelumnya pun batal. Dan kami hanya ingin
kami sajalah yang mengetahui perihal itu. Oh tidak hanya kami, tapi juga Pram yang
juga mengetahuinya. Biarlah keluarga, kerabat dan teman-teman tetap menganggap
tidak terjadi apa-apa yang serius diantara kami dan biarlah mereka tetap dengan
anggapan bahwa kami hidup bahagia selayaknya suami istri pada umumnya.

Masih terngiang betapa terpananya Idan ketika aku bilang aku juga
mencintainya. Ada gurat kebahagiaan tiada tara di wajahnya, pendar takjub di
matanya dan seulas senyum di bibirnya yang entah aku masih sulit mengartikan
senyum itu. Ia memelukku erat-erat seolah tidak mau lagi kehilangan diriku lagi. Dan
akupun memeluknya dengan haru diwajahku yang entah kurasa cukup untuk
mengatakan “Maafkan segala ketololan dan kebutaanku selama ini” karena saat itu
aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Tenggorokanku begitu tercekat menahan
tangisku. Tangis penyesalan atas segala kesalahan dan tangis keharuan atas
keputusan besar yang baru saja aku ambil.

Aku tidak tahu seberapa besar aku mencintainya setelah semua yang telah
terjadi namun hal itu sudah membuat Idan begitu bahagia. Yang jelas, sekarang aku
benar-benar sedang belajar mencintainya, memulai kembali aktvitas kami seperti
hari-hari awal pernikahan “simulasi” kami, dan merenda jalinan cinta sesungguhnya
yang tidak pernah ada di awal pernikahan kami yang aku anggap simulasi.

Aku mulai mengagumi segala kelebihan Idan dan aku mulai belajar menerima
kekurangannya, kebiasaan-kebiasaan buruknya dan segala kekonyolannya. Bahkan aku
mulai sering menemaninya menonton film-film action kesukaannya, menamninya
bermain bola pada akhir pekan namun konsekuensinya, dia juga harus menemani aku
jalan-jalan dan jadwalnya bergiliran. Dia juga tidak boleh protes jika aku sedang
menikmati music-musik orchestra kesayanganku. Impaslah istilahnya.

Awalnya memang sangat sulit dan menyiksa diri namun ketika bad mood itu
datang, kupandangi wajah Idan yang begitu bahagia saat aku temani,
keantusiasannya bercerita ini itu untuk menghiburku, ku ingat bahwa dia tidak
pernah mengeluh saat aku memintanya menemani aku jalan-jalan yang mungkin
sebenarnya sangat membosankan baginya. Pengorbanan.

Ya. Mungkin memang perlu pengorbanan dari masing-masing dalam menjaga


keharmonisan hubungan dalam rumah tangga. Setidaknya, itulah salah satu hal yang
kucatat ketika kami menjalani pernikahan simulai sebelumnya.

Idan pun makin lama kurasakan makin memanjakanku. Banyak hal yang
harusnya kulakukan sebagai seorang istri, malah Idan yang melakukannya. Sebelum
berangkat kerja dia masih sempat menyiapkan sarapan untukku. Bahkan jika aku
sedang kecapean dan tak sempat mencuci bajuku sendiri, dia pula yang mencucikan
dan menyetrikanya. Dan herannya aku tak bisa menolaknya. Justru aku
menikmatinya karena dia selalu melakukan hal-hal itu dengan senyum terkembang
yang sulit kuartikan. Hmmm paradox sekali dengan diriku beberapa tahun lalu saat
masih lajang, sebagai wanita karir yang terbiasa mandiri dan tak pernah mau
membebani orang lain.
Ada apa denganku? Tapi sebisa mungkin aku mengimbanginya dengan berusaha
membantu pekerjaannya dan menemaninya melakukan aktivitas rutin jika diperlukan.
Aku usahakan membuat kesan bahwa segala hal bisa kami lakukan bersama. Berdua.

Namun ada kalanya kami sibuk dengan keasyikan masing-masing. Tentu setiap
orang kadang butuh sendiri. Ya seperti sekarang ini, ketika aku sibuk menimang-
nimang dan menata baju-baju baru kesayanganku. Idan juga sibuk sendiri di depan
computer canggih kesayangannya.

Dengan sedikit mengendap-endap kuintip ia diruang kerjanya. Dia sedang


asyik membuka-buka program yang entah aku tak tahu apa fungsinya. Serius banget.
Hmmm mungkin perlu sedikit dikagetkan. Pelan-pelan kubuka pintunya dan diam-diam
aku berjalan di belakangnya dengan niatan menggelitikinya. Aku tahu banget kalau
Idan sangat sensitive jika digelitiki dan dia bisa sampai tertawa terbahak-bahak
sambil minta ampun.

Sedikit lagi sampai. Tapi sebelum aku sempat menyentuhnya, dengan cepat
Idan lebih dulu menarik tanganku sehingga aku jatuh ke pangkuannya dan justrru dia
yang lebih dulu menggelitiku.

“Aaaaa hentikan!” pintaku karena akupun tak tahan di gelitiki.

Idan terbahak. “Rasakan nona manis. Ini akibatnya jika berusaha menjahili
orang.”

“Kok bisa tahu sih?” tanyaku heran.

Dengan masih belum berhenti menggelitiku, mata Idan melirik nakal ke kaca
kecil yang terpasang di samping monitornya. Oooh ternyata cerdik juga orang ini.
Dia baru berhenti menggelitiku saat aku berontak dan balas menggelitikinya. Dia
menjerit-jerit minta ampun dan melepaskanku. Aku bergegas keluar ruangan dan
sebelum aku menutup pintu Idan masih sempat nyeletuk.

“Jangan kira kalau pangeran tampan ini gak tahu jika sang putrid suka diam-
diam mengintipnya hahahaha”

Huuuuh. Kututup pintu ruang kerjanya dengan sebel. Dalam hati aku merutuki
diriku sendiri kenapa sih akhir-akhir ini aku suka melakukan hal-hal yang aneh
seperti barusan. Bikin tengsin saja. Maluuuuu!!!

***
Pagi ini aku berusaha bangun lebih pagi dari biasanya mengalahkan keinginanku
untuk tidur lagi setelah shubuh. Kulirik sesosok lelaki di sampingku, tak seperti
biasanya Idan tidur lagi. Mungkin ia sangat kecapean setelah semalaman lembur
mengerjakan proyek terbarunya. Hmm di sampingku? Iya Idan tidur disampingku.
Perlu diingat bahwa kami sekarang sudah menjadi suami-istri yang sesungguhnya.
Bukan lagi “simulasi”.

Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidur kami. Aku keluar dan kututup
pintu pelan-pelan agar Idan tidak terbangun. Tiba-tiba kubuka kembali pintu itu.
Ingin sekali memandangi Idan yang tertidur pulas dengan wajah yang sama sekali
berbeda dari saat dia sadar dan penuh dengan kekonyolan. Manis juga.

Aku sengaja bangun lebih pagi karena aku ingin mempraktekkan resep yang
diam-diam telah kupelajari selama beberapa hari ini. Aku ingin menyiapkannya untuk
sarapan Idan. Sarapan yang belum pernah kusiapkan sekalipun untuknya selama kami
menjadi suami-istri. Biasanya selalu Idan yang menyiapkan sarapan kami. Maklum aku
kan tadinya suka bangun telat. Dan hebatnya lagi hal itu tidak pernah diprotes oleh
Idan.

Meskipun yakin aku telah hafal dan paham dengan resep masakan kemarin,
tapi aku masih ragu. Kubaca-baca kembali buku resepnya. Nah, sekarang aku sudah
yakin dan segera kusiapkan alat-alat dan bahannya. Duuuh Idan jangan bangun dulu
ya sebelum semuanya selesai? Ini pasti akan berantakan sekali.

***

Air dipanci masakanku sudah terdengar mendidih. Tandanya masakanku sudah


matang. Sup santan jagung asparagus, resep yang kudapatkan dari sebuah majalah
wanita langganan ibuku. Kuangkat dan kutuang ke mangkok besar pemberian Ibuku.
Dari aromanya sih tercium menggiurkan. Rasanya? Perlu kucoba dulu. Kuambil sendok
makan dan kurasakan sedikit. Hmmm sedap juga.

Baru kali ini aku berhasil masak dengan resep yang agak rumit. Sekali lagi
kucoba menyeruput satu sendok. Sedap. Tapi kenapa tiba-tiba perutku jadi agak
mual? Ah paling gara-gara masih pagi dan belum makan apa-apa.

Aku angkat mangkok besar itu untuk kutaruh di meja makan. Tiba-tiba mual
di perut tadi kembali menyerang dan sangat hebat dan kepalaku tiba-tiba pusing.
Sekonyong-konyong tubuhku pun oleng dan tanpa sengaja mangkok besar sup panas
tadi jatuh, pecah dan tumpah kemana-mana. Aku pun hamper ambruk sebelum
akhirnya Idan lebih siap menyanggaku dari belakang. Ternyata dia lebih sigap demi
mendengar suara pecahan mangkok parcelin yang sangat nyaring bunyinya.

“Astaga kamu kenapa Pit? Kalau lagi sakit jangan maksain diri buat masak
segala! Biasanya kan aku yang nyiapin sarapan buat kita? Sory tadi aku ketiduran
jadi gak sempet membuat sarapan. Tapi kita kan bisa beli diluar aja?” Idan berkata
sambil memapahku menuju kamar.

“Aku gak sakit kok tadinya” ujarku lemah. Aku tidak bilang kalau aku hendak
member kejutan buatnya. Malu kan jika mau member kejutan sekali saja langsung
gagal.

Tiba-tiba mual tadi menyerang kembali. Kali ini sudah tidak bisa ditahan dan
aku perlu kekamar mandi. Aku langsung masuk kamar mandi dan kututup pintunya.
Didalam aku langsung muntah-muntah hebat. Rasanya seperti dipencet perutku. Dan
setelah itu kepalaku langsung pusing-pusing.

Diluar Idan masih menungguku didepan pintu.

“Kamu gak apa-apa kan Pit?” tanyanya. Ada kekhawatiran dalam nada
suaranya.

Aku keluar dan segera dipapah ke tempat tidurku. Aku masih diam.

“Mending hari ini kamu tidak usah masuk kerja. Aku juga akan cuti sehari ini.
Akan ku antar kamu ke dokter.”

“Tidak usah Dan. Aku gapapa. Mungkin Cuma masuk angin sedikit. Kamu
berangkat kerja aja.”

Semula Idan tetap bersikukuh akan mengantarku ke dokter. Namun stelah


kuyakinkan kalau aku benar-benar tidak apa-apa akhirnya dia nurut juga. Dia
berangkat ke kantor dengan enggan. Tanpa kuantar sampai ke depan, tanpa
kurapikan dasinya, tanpa kucium tangannya dan tentu tanpa kebiasaannya mengecup
keningku sebelum pergi.

Sebelum pergi dia masih sempat menelepon ibuku untuk mengabarkan atau
lebih tepatnya mengadukan kalau aku sakit hari ini.

***

Idan memberikan teleponnya padaku. Katanya ibu ingin bicara.


Pelan-pelan kuucaapkan salam. Setelah menjawab salamku ibu langsung
menghujaniku dengan banyak pertanyaan. Kujawab seadanya sampai pada kesimpulan
sepihak dari Ibu.

“Jangan-jangan kamu hamil Pit!” dari sebrang sana ibu begitu histeris.

“Masak sih?” tanggapanku enteng. Aku yakin ini hanya masuk angin biasa tapi
kenapa ibu bisa menyimpulkan sampai sejauh itu?

“Udah pokoknya kamu periksa ke dokter sekarang biar kamu yakin. Minta
Idan mengantarmu sekarang!”

“Tapi Idan sudah berangkat ke kantor.”

“Kamu minta temanmu atau siapa lah terserah buat ngantar kamu ke dokter.
Ibu gak sabar ingin tahu.”

Klik! Telepon ditutup. Aduh kesannya kok maksa sih? Tapi aku penasaran juga.
Masak iya sih aku hamil? Apa tanda-tandanya Cuma seperti tadi?

Daripada penasaran akupun ke dokter. Aku masih sempat telepon ke kantor


tadi buat ijin tidak masuk kerja karena gak enak badan. Aku berangkat sendirian
dengan taksi. Masih sedikit pusing tapi kalau Cuma jalan beberapa meter masih kuat
lah.

Aku masih bertanya-tanya apa benar aku hamil?

***

“Selamat anda positif”, ujar dokter cantik itu sambil mengulurkan selembar
kertas yang isinya tidak kumengerti.

“Maksudnya dok? Saya kena penyakit apa?”

“Anda tidak sakit, anda positif hamil sekarang,” dokter itu tersenyum.

“Hamil?” tanyaku masih belum percaya.

“Iya dan selamat anda akan segera menjadi seorang ibu.”

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain senyum yang kupaksakan
tersungging didepan dokter itu karena di benakku masih ada sisa-sisa keterkejutan
yang teramat sangat. Entah bagaimana perasaanku sekarang aku masih belum paham.
Namun ada kebahagiaan tersirat didalamnya. Kebahagiaan macam apa ini? Apakah ini
rasanya jika akan menjadi seorang ibu? Rasanya akan punya anak yang lahir dari
rahim sendiri? Mungkin ini seperti yang dikatakan Idan jika punya anak sendiri pasti
berbeda rasanya dengan jika hanya anak angkat.

Kutelepon ibu. Kukabarkan kebenaran tebakan ibu tadi. Dari seberang sana
kudengar ibu histeris bahagia.

“Sudah kau beritahu Idan?”

“Belum” jawabku pendek.

“Segera beritahu dia! Dia pasti sangat senang!”

“Iya nantilah. Udah dulu ini taksinya sudah datang. Assalaamu’alaykum”

“Oh iya. Wa’aykumussalam”

Kututup handphoneku dan segera menyetop taksi yang lewat.

Dalam perjalanan pulang aku masih bertanya-tanya entah apa yang akan
kukatakan pada Idan nanti di rumah? Dan seperti apa nanti reaksinya?

***

Sampai rumah Idan belum pulang. Masih beberapa jam lagi dia biasanya baru
pulang.

Rasany sepi sekali sendirian begini. Padahal hari-hari sebelumnya biasa saja
rasanya sendirian di rumah. Kenapa tiba-tiba jadi sperti ini? Aku jadi merindukan
Idan. Aku ingin dia segera pulang sekarang.

Aku beranikan diri meneleponnya. Sesaat nada tunggu terdengar nyaring


ditelingaku sampai akhirnya suara orang yang kutunggu-tunggu itu terdengar.

“Halo Pit? Ada apa? Kamu udah baikan?”

“Kapan kamu pulang?” aku langsung pada pertanyaan intiku.

“Oh 2 jam lagi aku pulang. Sabar ya? Kamu mau dibelikan lauk apa buat makan
malam nanti? Mau guai kepala kakap gak?”

“Terserah apa aja. Aku mau bilang sesuatu ke kamu,” kataku. “Hati-hati
dijalan nanti.”

“O iya. Jaga diri baik-baik di rumah ya?”


Entah kenapa aku yang menginginkan Idan pulang cepat ternyata tidak punya
cukup keberanian untuk memaksanya pulang sekarang. Aku tidak ingin lebih dulu
merusak suasana karena aku ingin mengatakan sesuatu yang penting padanya nanti.

Aku tidak tahu harus ngapain sekarang sambil nunggu Idan. Akhirnya aku
duduk melamun didekat jendela sambil menunggunya pulang.

Berbagai fikiran melintas dibenakku sampai aku tersadarkan oleh suara


klakson didepan rumah. Tandanya Idan sudah pulang. Kuintip dari jendela lantai dua.
Kulihat dia tampak lelah sekali, keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk
sambil menenteng bungkusan yang aku tahu itu pasti lauk yang ia janjikan tadi.

Aku langsung turun dan menyambutnya.

“Hai Pit. Kamu tampak udah baikan sekarang,” sapanya.

“Aku kan sudah bilang aku tidak apa-apa.”

“Kita langsung makan malam yuk. Ini aku sudah bawakan gulai kakap yang aku
janjikan tadi.”

“Sebaiknya kamu mandi dulu dang anti pakaian. Bau sekali,” saranku padanya.
Ebtah kenapa aku merasa keringat Idan lebih bau hari ini.

Idan menurut dan langsung ke kamar buat menaruh tas kerja, mandi dang anti
pakaian. Aku menunggunya di meja makan sambil mengeluarkan nasi yang belum
sempat dimakan tadi pagi dari ricecooker.

Idan datang ke ruang makan dengan wajah yang sudah lebih segar dari yang
tadi. Entah karena dia kurang bersih membilas sabun mandinya tadi atau apa, aku
merasa bau sabun mandi yang dikenakan Idan masih sangat menyengat.

Kami pun mulai makan. Idan membuka bungkusannya tadi dan menuangkannya
di mangkok sedang sambil bertanya.

“Katanya mau bicara sesuatu padaku?”

“Iya, tapi kamu makan dulu aja. Aku takut setelah kubilangin, kamu jadi gak
jadi makan nanti.”

“Masak? Jadi penasaran nih. Jangan bilang kamu mau ngingetin berakhirnya
kontrak pernikahan simulasi kita lagi seperti dahulu hehehe,” canda Idan.

Aku melengos dan kutinju tangannya. Dia mengelak.


Sesaat kulihat gulai kepala kakap yang sepintas sangat menggiurkan. Namun
saat kusendok sedikit ke piringku, tiba-tiba baunya jadi sangat menyengat dan mual-
mual yang sempat menyerangku tadi pagi terasa kembali. Aku langsung lari ke kamar
mandi diikuti Idan yang terkejut.

“Kamu gak apa-apa kan Pit? Kalau sakit ayo aku antarkan ke dokter.”

Didalam kamar mandi aku masih diam karena masih menahan muntah. Barulah
setelah muntahnya mereda aku keluar dan dengan dipapah Idan menuju kamar untuk
sekedar berbaring sejenak. Saat sudah berbaring Idan menungguku di samping
tempat tidur.

“Kamu makan aja dulu. Aku lagi gak selera makan,” perintahku padanya.

“Kamu masih sakit Pit. Ayo ku antar ke dokter!” Idan tidak memperdulikan
perintahku tadi.

“Aku gapapa,” desahku.

“Tapi jelas kamu seperti ini! Bagaimana kamu bisa bilang gapapa?”

“Aku beneran gapapa Dan. Tadi aku sudah ke dokter.”

“Kamu ke dokter? Diantar sama siapa?”

“Sendirian.”

“Sendiri? Kenapa tidak minta aku buat mengantarkan tadi pagi? Kalau aku
udah dikantor kenapa tidak minta ibu atau temanmu buat ngantarkan? Nanti kalau
kamu pingsan dijalan gimana? Siapa yang jagain?” Idan mencercaku dengan banyak
pertanyaan.

“Aku gamau ngerrepotin kamu dan ibu. Lagian aku gapapa kok. Buktinya aku
gak pingsan di jalan, masih bisa pulang dan ketemu kamu?”

“Tapi Pit, aku kan suamimu? Aku jelas khawatir!” Idan tampak gemas.

“Aku tahu. Udahlah jangan diperdebatkan lagi. Aku sedang tidak punya tenaga
untuk berdebat denganmu sepeti biasanya. Aku cuma mau ngomong sesuatu ke
kamu.”

Tatapan Idan pun melembut dan bertanya. “Mau ngomong apa”


“Janji jangan kaget ya?” pintaku sambil mengulurkan jari kelingkingku sebagai
tanda persetujuan janji.

Idan menyambutnya sambil berkata. “Asalkan jangan bilang mau ngingetin


berakhirnya kontrak pernikahan simulasi kita aja. Kalau yang itu mungkin aku akan
kaget setengah mati, kena serangan jantung dan mati mendadak hehehe.”

Kutinju lagi tangannya. Dia mengaduh kesakitan. Dasar Idan tak pernah
berhenti mencandaku.

“Aku hamil Dan,” kataku pendek namun cukup untuk menghentikan tawa Idan
seketika.

Aku menunggu reaksinya. Dia masih diam tak berkata apa-apa sambil
menatapku. Aku tak bisa membaca ada apa dibalik tatapannya itu dan tiba-tiba
dengan cepat Idan menarikku dan memelukku erat sambil berkata, “Aku belum
pernah sebahagia ini Pit.”

Aku pun larut dalam kebahagiaan itu. Kebahagiaan Idan. Kebahagiaan kami.

***

Aku menjalani masa-masa kehamilan selayaknya perempuan-perempuan hamil


yang lainnya. Gak boleh begini, gak boleh begitu, gak bisa ini gak bisa itu, gak boleh
makan ini gak boleh makan itu. Setiap hari selalu dicereweti Ibu yang tiap hari
telepon buat memastikan kalau anak perempuannya benar-benar baik-baik saja.
Menyebalkan tapi aku nikmati saja saat-saat seperti ini. Mungkin inilah asyiknya
pernak-pernik jika menjadi calon ibu.

Idan juga makin memanjakanku. Tiap hari ia membelikanku berbagai macam


hadiah kejutan. Katanya biar aku senang. Jika aku senang maka anak dalam
kandunganku pun juga senang. Apapun yang kumau juga diusahakan oleh Idan untuk
dipenuhi. Idan menuruti saja apa kata ibu yang bilang kalau orang hamil minta
sesuatu tidak dituruti, maka anaknya nanti akan jadi ngileran. Ah tahayul
menurutku. Emang ada penjelasan ilmuahnya?

Tapi ada untungnya bagiku karena aku jadi bisa minta apa aja ke Idan. Tapi
aku masih berperasaan karena aku juga tak mau membuat Idan makin kelimpungan
disamping kesibukannya mencari nafkah yang sebenarnya aku sendiri juga mensuplai
cukup banyak untuk kebutuhan rumah tangga kami.
Dalam masa kehamilan ini sebenarnya aju tidak terlalu rewel untuk masalah
makanan dan susu nutrisi ibu hamil. Cuma mungkin agak sensi ketika bertemu dengan
makanan yang bersantan dan berbau menyengat saja, kali ini akan tercium berlipat-
lipat lebih menyengat dan membuatku mual-mual.

Idan pun menyesuaikan diri dengan membuat makanan-makanan yang baunya


tak menyengat, jika membuat sayur menghindari yang bersantan dan dia harus rela
meninggalkan makanan kesukaannya : gulai yang paing tidak harus ia hindari sampai
aku melahirkan nanti. Makan di luar? Tetap tidak bisa karena jika pulang nanti pasti
aku masih bisa mencium baunya.

Setiap hari Idan sibuk membuat list apa saja yang harus dibeli untuk
kebutuhan bayi kami nanti. Ia bahkan membeli banyak buku-buku tentang kehamilan
dan persiapan melahirkan mulai dari tips dan trik sampai buku tentang nama-nama
anak yang bagus. Aku bahkan belum sempat membaca buku-buku itu. Kulihat Idan
juga jarang membacanya. Lalu untuk apa dibeli? Mungkin gejolak sesaat saja karena
ia masih gugup mengetahui dirinya akan menjadi calon ayah buat anak pertama kami
ini.

Aku masih bekerja meskipun mungkin agak berkurang intensitasnya. Idan


sudah melarangku bekerja. Namun itu berarti aku harus meninggalkan pekerjaanku
sekarang dan aku gak mau itu sampai terjadi. Aku pun bersikeras kalau aku gak
ngapa-ngapain justru malah akan makin bosan, susah, capek pikiran dan malah jadi
gak sehat. Idan pun mengijinkanku bekerja sampai masa-masa ketika aku perlu cuti
nanti dengan catatan aku tidak boleh terlalu capek, stress dan harus banyak-banyak
istirahat. Aku mengiyakan saja.

Yang jelas hari-hari kehamilanku tak kurang apapun, penuh kejutan dan
kebahagiaan selama ini sampai suatu sore ketika Idan pulang cepat dan mengabariku
kalau ia harus tugas keluar kota.

“Aku ada tugas keluar kota Pit. Jadi kamu akan sendirian dirumah untuk
beberapa waktu. Besok pagi aku berangkat.”

“Kenapa tiba-tiba sekali? Sampai berapa lama? Kok harus kamu sih? Apa gak
bisa orang lain? Temen-temenmu? Nanti kalau aku butuh sesuatu ke siapa dong? Kok
kamu tega sih ninggalin aku di saat-saat seperti ini?”

Aku menjejalinya dengan pertanyaan-pertanyaan kebingunganku. Sebenarnya


bukan karena “jika aku butuh sesuatu minta ke siapa” karena aku juga bisa sendiri
atau minta ke ibu. Yang aku butuhkan saat ini adalah Idan. Aku butuh bersama dia,
aku butuh dia menemaniku di masa-masa labilku sekarang ini.

“Kamu jangan gitu dong Pit. Bukannya aku tega. Ini murni urusan pekerjaan.
Harusnyabosku yang bertemu dengan klien disana. Tapi tadi bos mendadak tidak
bisa dan dia mau aku yang menggantikannya. Dia Cuma percaya sama aku buat
menggantikannya mengingat proyek ini sangat penting bagi perusahaan kami.
Mungkin selama hampir 2 bulanan. Aku sudah telepon Ibu. Aku minta tolong beliau
agar menjagamu selama aku keluar kota.”

“Lagian gak lama-lama amat kok. Kamu pasti senang ditemani Ibu dirumah.
Kalian bisa sharing tentang pernak-pernik kewanitaan dan persiapan melahirkan
tanpa harus diikut campuri oleh laki-laki. Ibu tentu lebih tahu tentang itu.”

Panjang lebar dia mengungkapkan alasannya. Sejujurnya aku masih gak rela
jika dia pergi sekarang. Saat masa-masa aku sangat membutuhkan kehadirannya
namun aku tak kuasa menahannya lagi. Aku tak punya daya lagi untuk berbantah-
bantahan dengannya. Tubuhku terasa lemah sekali saat hamil ini dan malas
melakukan hal-hal yang menyita tenaga dan fikiran. Apalagi yang membuat stress.

Tapi bukankah saat ini saja aku sudah stress menghadapi kenyataan bahwa
selama 2 bulan ke depan aku akan sendirian tanpa Idan? Meskipun ditemani Ibu tapi
akan tetap sepi tanpa Idan. Aku heran mengapa aku jadi melankolis dan tak berdaya
seperti ini? Kontras sekali dengan aku dulu yang cenderung mandiri dan tak butuh
orang lain. Kulakukan banyak hal sendirian. Namun sekarang? Aku benar-benar tak
berdaya jika sendiri. Tak terbayang bagaimana hari-hariku nanti tanpa Idan.
Meskipun hanya sementara. Ya kuharap sementara saja.

Akhirnya kuijinkan dia dengan berat hati dan dengan segala konsekuensi.
Mulai besok pagi Idan akan berangkat keluar kota dan aku akan sendiri. Aku pasti
akan sangat merindukannya. Ah kuakui hari-hari yang telah kulalui dengan Idan
selama ini memang tak pernah membosankan.

Mungkin akan jadi membosankan jika tanpa dia.

***

Pagi-pagi sekali Idan berangkat dijemput temannya.

“Jaga diri kalian baik-baik ya. Aku akan cepat kembali,” Idan berrpamitan
padaku sambil mengecup keningku.
“Hati-hati di jalan,” jawabku pendek.

Aku berusaha bersikap biasa saja saat dia berpamitan. Sebenarnya banyak
pesan yang ingin kusampaikan padanya : jaga diri baik-baik, jangan lupa makan, jaga
kesehatan, jangan lupa telpon aku setiap hari, jangan bikin masalah dengan orang
lain, cepetan balik dan banyak lagi.

Namun semua terasa berhenti di tenggorokan. Aku sangat


mengkhawatirkannya namun aku tak kuasa menyampaikannya karena aku takut
ketegaranku didepannya akan runtuh seketika ketika aku berbicara lebih banyak
dan tangisku tumpah. Aku jadi agak cengeng akhir-akhir ini.

“Jangan khawatirkan diriku. Justru aku yang mengkhawatirkan dirimu. Dan


anak kita tentunya,” Idan seperti bisa membaca gundah dibenakku.

Aku mengangguk. Idan meninggalkan rumah dengan tetap menatapku.


Kekhawatiran yang sangat mendalam dalam sorot matanya. Aku berusaha tetap
tersenyum mengantarkan kepergiannya.

“Cepat balik!”

Hanya kata itu yang terakhir bisa kuteriakkan padanya dari jauh disela-sela
senduku yang tertahan. Entah kenapa aku merasa sangat khawatir kali ini.

Tangisku tumpah saat mobilnya sudah tidak terlihat. Aku buru-buru masuk
rumah dan membenamkan wajahku di bantal. Aku sebal sekali kenapa aku bisa begitu
cengeng sekarang.

Dulu di awal-awal pernikahan saat Idan pergi dan tak pulang-pulang bahkan
aku nyaris tak peduli. Apa semua karena cinta?

Beberapa saat kemudian Ibu datang. Aku hapus air mataku dan keluar
menyambut Ibu.

“Kamu habis nangis Pit?” Ibu seperti bisa menangkap apa yang barusan
terjadi.

“Enggak. Cuma kelilipan tadi,” sanggahku.

“Sudahlah, Idan kan Cuma pergi beberapa waktu saja. Ta akan lama. Kan ada
Ibu yang menemani sementara?” Ibu seperti faham dan memaklumi kebohonganku.
Aku Cuma tersenyum. Kujawab dalam hati. Iya bu memang tidak sendiri
karena Ibu temani. Tapi hatiku yang terasa sepi karena tidak ada Idan disisi.

***

Hari-hariku tanpa Idan benar-benar sepi. Meskipun aku bisa ngobrol sama ibu
tapi rasanya tetap beda. Ngobrol sama ibu lebih banyak seriusnya. Kadang ibu
berusaha menghiburku dengan lelucon-lelucon ala tahun 70-annya tapi buatku itu tak
lucu sama sekali. Idan tetap lebih lucu bagiku mengalahkan pelawak manapun.

Saat jadi sahabatku ia selalu berhasil menghiburku dengan lelucon-lelucon


konyolnya bila aku lagi sedih. Meskipun kadang malah membuatku makin sebel dan
dia jadi sasaran tinju dariku.

Tiap hari Idan telpon mengabarkan dia lagi dimana, menanyakan apakah aku
baik-baik saja, bagaimana kesehatanku, apakah aku sudah makan atau belum, aku
lupa minum susu ibu hamil apa tidak dan banyak hal. Aku biasanya hanya menjawab
pendek-pendek saja. Yang kubutuhkan saat itu hanya mendengarkan suaranya saja.
Aku sudah senang.

Tanpa Idan yang setiap hari rajin mengurusku aku jadi malas makan dan malas
melakukan apa saja. Bukannya aku tak menghargai kerja keras ibuku yang beberapa
waktu ini mengurusku tapi sudah kubilang dari awal bersama Idan akan lain rasanya.
Aku sudah terbiasa apapun dengan Idan.

“Ayolah Pit makan. Ibu sudah capek-ccapek membuatkanmu bubur ayam


masak gak disentuh sedikitpun?”

“Belum laper,” jawabku sekenanya.

“Tapi nanti kalau kamu gak makan kan kamu sakit? Pikirkan kesehatanmu Pit!
Pikirkan anakmu! “ Ibu mulai menceramahiku.

“Aku maunya disuapi Idan.”

“Apa? Idan masih diluar kota? Masak ya kamu minta dia balik cepat-cepat
hanya buat nyuapin kamu makan? Jangan kekanakan kamu Pit!”

Aku diam saja. Ibu kembali ke dapur sambil ngomel. Beberapa saat kemudian
datang lagi sambil bilang kalau Idan telepon.

“Halo Pit?” suara di seberang sana tampak sedang gembira sekali.


“Ya?” jawabku pendek.

“Udah makan? Kata ibu kamu susah makan akhir-akhir ini kenapa? Nanti sakit
lho.”

“Aku belum lapar. Nanti aja kalau dah lapar. Atau kalau kamu sudah pulang.”

“Hah? Jangan main-main kamu Pit. Aku kan masih sebulan lagi baru balik?
Sabar dong Pit pangeranmu ini akan segera datang hehe.”

Kali ini sama sekali tak lucu. Ya tak lucu.

***

Kondisi kesehatanku semakin buruk. Aku semakin susah makan dan minum
vitamin. Ibu jadi makin kerepotan mengurusiku yang makin rewel seperti bayi.
Berkali-kali ibu telpon Idan dan Idan membujukku tapi tak satupun bujukannya
kuhiraukan. Yang kumau sekarang adalah dia ada disini sekarang.

Paginya aku mengalami demam tinggi. Ibu panik dan menelepon dokter.
Setengah tak sadarkan ndiri samar-samar kudengar ibu juga menelepon keluarga di
rumah buat minta bantuan segera.

Rasanya kesadaranku semakin memudar. Kurasakan nyeri yang teramat sangat


di perut bagian bawahku. Sesuatu yang paras membasahi rok dan sprei tempatku
terbaring. Dan selanjutnya gelap…

***

Berat mata kubuka dan seketika cahaya putih berpendar menyeruak


menyilaukan pandanganku. Dimana aku? Lambat laun aku tahu bahwa aku sudah ada
di rumah sakit. Disampingku sudah ada ibu yang tertidur sambil duduk dengan
kepala menyandar ke ranjang tempatku berbaring. Tangannya masih erat
menggenggam tanganku.

“Ibu?” pelan-pelan kubangunkan ibu. Aku ingin bertanya kenapa aku bisa
disini. Seingatku aku demam, kesadaranku mulai hilang dan… Ya Tuhan! Nyeri di
perut bagian bawahku masih terasa sampai sekarang. Bagaimana keadaan
kandunganku?

“Ibu?” sekali lagi kubangunkan ibu dan pelan-pelan ibu terbangun.


“Upit? Alhamdulillah kamu sudah siuman nak!” Melihat diriku yang sudah
siuman, beliau langsung berucap syukur dan memelukku.

“Dimana Idan bu? Bagaimana keadaan kandunganku?” tanpa basa-basi


langsung kutanyakan apa yang masih mengganjal dalam benakku saat ini.

“Idan masih dalam perjalanan pulang Pit. Doakan saja cepat sampai.”

“Bagaimana dengan kandunganku bu?” Sekali lagi aku ulangi pertanyaanku.


Namun ibu hanya tersenyum getir dan mengalihkan pembicaraan. Pasti ada sesuatu
yang tidak beres. Jangan-jangan?

Tapi aku tidak mau berfikir buruk dulu. Saat ini aku masih sangat lemah dan
Idan bilang kemarin kalau aku tidak boleh terlalu stress. Kubalikkan badanku
membelakangi Ibu. Kuabaikan tatapan ibu dan ceritanya yang aku tahu hanya untuk
mengalihkan pembicaraan kami. Yang aku inginkan saat ini masih Idan. Aku ingin
Idan menemaniku sekarang. Secepatnya!

Tiba-tiba pintu dibuka dan salah satu kakak sepupuku masuk dengan tergesa-
gesa mengabarkan kalau pesawat yang ditumpangi Idan mengalami keterlambatan
sehingga tidak bisa datang cepat.

Kubalikkan badanku menghadap mereka berdua. Kakak sepupuku ternyata


tidak menyadari jika aku sudah siuman dari tadi sehingga kabar itu langsung saja ia
lontarkan didepan ibuku. Aku berusaha tegar didepan ibu dan hanya bisa menitikkan
air mata dan menangis kecewa di dalam hati…

Sementara ibu dan sepupuku hanya berdiri menatapku iba, Ibu


menghampiriku dan menenangkanku. Aku berharap jadi tenang tapi justru malah
membuatku semakin merasakan kekecewaanku.

***

Tadinya aku sudah merasa lega karena terbangun dari mimpi burukku dan
kembali ke dunia nyata namun ternyata mimpi buruk itu justru ada di depan mata di
dunia nyata. Setelah kabar keterlambatan Idan yang sempat membuatku sangat
kecewa, kabar buruk lain datang dari dokter yang tadinya sempat disembunyikan
oleg Ibu.

Kandunganku…kandungan pertamaku, aku terpaksa harus merelakan


kandunganku di kuret karena kemarin aku ternyata mengalami pendarahan hebat
yang entah karena apa. Aku masih beruntung karena aku mampu bertahan melewati
masa-masa kritisku dan siuman dari koma berhari-hari.

Aku benar-benar merasakan kekecewaan yang sangat besar saat ini. Idan
yang tidak bersamaku, yang tidak menemaniku di saat-saat seperti ini. Saat ketika
aku sangat membutuhkannya. Suami macam apa dia yang lebih mementingkan
pekerjaaan daripada istrinya sendiri? Dan sekarang aku harus kehilangan
kandunganku? Kandungan pertamaku, anak pertamaku dengan Idan.

Terpuruk. Ya itulah kata yang tepat buatku sekarang. Aku pasrah. Upit! Apa
yang terjadi padamu? Mana kemandirianmu dulu? Mana ketegaranmu? Kenapa kamu
jadi seperti ini sekarang?

Yang jelas aku sangat kecewa saat ini!

Idan baru datang hari berikutnya. Dia terlihat sangat letih dari perjalanan
jauhnya. Tapi aku tidak peduli. Aku masih sangat kecewa padanya. Aku masih marah
padanya. Dan apakah dia sudah tahu kabar gugurnya kandunganku? Ah pasti Ibu
sudah memberitahukannya.

“Maafin aku Pit,” Idan datang menghamipiri tempatku berbaring dan


mengenggam tanganku. Kuhempaskan tangannya dan kubalikkan badanku
membelakanginya. Aku sangat rindu padanya tapi untuk saat ini aku sedang tidak
ingin melihat wajahnya.

“Maafin aku Pit. Aku gak bisa menemanimu di saat-saat beratmu. Ibu dah
cerita semuanya dan aku juga sangat sedih Pit dengan kejadian yang menimpamu
saat ini. Yang menimpa anak kita juga.”

Aku tetap ta bergeming. Pura-pura tak menghiraukan perkataannya. Aku


tidak tahu seperti apa ekspresinya sekarang tapi aku yakin pasti dia sedang pasang
tampang sok memelas seperti biasanya ketika meminta maaf.

“Ayolah Pit, jangan begini terus. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf sekali
Pit. Aku rindu sekali padamu Pit.”

Kata-kata terakhirnya manis sekali. Tapi tidak untuk saat ini. Kamu harus
dihukum Dan. Kamu harus merasakan dan menyadari betapa kecewanya diriku
padamu.

Aku ingin menghukumnya seperti dulu. Seperti ketika dia membuatku sakit
selama seminggu dan terpaksa merelakan diriku dia rawat seperti bayi. Hanya saja
kali ini aku tidak berminat menyuruh-nyuruhnya melakukan ini itu lagi seperti dulu.
Terbukti sudah tidak mempan dan malah akan membuatku merasa iba padanya. Kali
ini aku hanya ingin mendiamkannya.

Tapi reaksinya ternyata sama saja. Dia sama sekali tidak protes seperti dulu
dan ikut-ikutan diam seribu bahasa. Huuh gimana sih? Kok tidak mengejar-ngejar
lagi? Kok tidak berusaha lagi minta maaf dan menyalahkan diri sendiri? Padahal kan
jelas dia yang salah? Payah!

Awas nanti! Ini akan berlangsung lama Dan! Jangan dikira aku hanya
mengertak saja.

Sesaat kemudian Ibu datang. Melihat interaksi kami yang terkesan dingin, ibu
pun mengajak Idan keluar dan bicara. Entah apa yang mereka bicarakan. Paling Cuma
bilang : Sabaaaaarrrrr..

Tapi, eh kok Idan jalannya agak pincang ya? Kenapa dia? Ah masa bodoh aku
gak peduli. Dia juga tidak memperdulikanku. Bahkan meninggalkanku di masa-masa
mengandung anak kami berdua. Aku sudah melarangnya tapi dia tetap bersikukuh
pergi. Egois!

***

Beberapa hari kemudian kondisiku sudah agak baikan dan diperbolehkan


pulang. Saat keluar dari rumah sakit dan menuju mobil jemputan aku tidak mau
dipapah oleh Idan. Aku maunya sama Ibu saja. Ibu yang tahu kondisi hubungan kami
saat ini mengiyakan saja.

Diperjalanan pulang kami tetap saling diam. Hanya Ibu yang lebih banyak
bicara dengan kami. Itupun bergantian. Kadang berbicara dengan Idan, kadang
berbicara denganku. Tidak ada interaksi yang hangat sama sekali di antara kami
bertiga. Aku tetap bersikukuh tidak mau bicara dengan Idan, dan Idan juga diam
saja di tempatnya menyetir mobil.

Sampai di rumah aku dipapah lagi oleh Ibu. Dan berat rasanya ketika ibu
berpamitan pulang karena tugasnya menjagaku sudah selesai. Sudah ada Idan
katanya. Ini berarti tidak ada orang yang bisa kuajak bicara. Tidak juga Idan karena
aku memang tidak ingin bicara padanya.

“Ibu pulang dulu ya? Jaga diri kamu baik-baik Pit. Jangan sedih lagi. Idan
udah pulang tuh.” Sebelum keluar pintu Ibu masih sempat menasehatiku. Aku hanya
mengangguk.
“Dan kamu Dan, ibu nitip Upit ya? Jagain baik-baik!”

“Iya bu,” jawab Idan.

“Ya udah. Ibu berangkat dulu. Taksinya sudah nunggu daritadi.


Asssalaamu’alaykum.”

“Wa’alaykumussalam.”

Setelah mengucap salam ibu pergi dengan taksi. Aku masih mematung di teras
sementara Idan masuk sendiri ke rumah.

***

Bukan ini yang aku harapkan. Setelah berbagai kejadian yang menimpaku,
kepulangan Idan dan kebersamaan kami lagi di rumah, bukannya membuat hubungan
kami kembali dekat tapi malah makin renggang.

Aku mendiamkan Idan namun ternyata Idan juga tidak menyapaku. Berusaha
mendekatiku pun tidak. Apa dia sudah tidak mencintaiku lagi? Apa dia kecewa
dengan sikapku? Sama kecewanya dengan kekecewaanku padanya? Atau jangan-
jangan dia kecewa karena aku gagal menjaga kandunganku? Gagal mempertahankan
anak kami?

Apalagi Idan makin sering pulang malam sekarang. Dan selama berhari-hari ini
tak ada interaksi sama sekali di antara kami. Bertemu pun jarang karena dia akan
berangkat sangat pagi dan pulangnya sangat larut malam. Dan kami juga tidak tidur
sekamar lagi. Dia lebih suka tidur di sofa ruang tengah.

Ah berbagai dugaan yang kufikirkan makin membuatku gelisah berhari-hari.


Jangan-jangan Idan sudah memiliki wanita idaman lain seperti yang sering kulihat di
infotainment. Yang ketika hubungan suami-istri sudah mulai tidak harmonis maka
salah satu akan melampiaskannya dengan menggaet pasangan idaman lain? Ah
memikirkan itu saja sudah membuatku pusing dan bingung saat ini.

Daripada penasaran mending aku selidiki apa yang dilakukan Idan pada jam-
jam siang begini di kantornya. Lagian aku bosan di rumah terus dalam masa
penyembuhanku saat ini. Selain itu aku juga harus bertemu dengan Idan dan bicara.
Aku ingin semua kembali baik lagi seperti dulu. Aku ingin semuanya jadi jelas.

Aku pun bertandang ke kantornya dengan mengendarai mobilku sendiri.


Jalanan kota siang ini sering sekali macet dan itu membuatku makin sebel dan
stress. Langit terlihat mendung dan akan turun hujan, Kelam dan kalut sekalut
pikiranku sekarang.

Sesampai di kantor Idan dan memasuki pintu gerbang, satpam penjaganya


hanya sepintas melirikku saja tanpa memeriksa atau menginterogasiku seperti yang
biasa diklakukan terhadap tamu-tamu yang lain.

Mungkin karena melihat pakaianku yang terlihat resmi dengan blazer merah
hatiku dan rok panjang hitamku dia mengira aku tamu penting yang biasa mendapat
perlakuan khusus.

Masuk area parker ternyata lumayan jauh dari pintu kantor. Kuparkir mobilku
dilokasi terdekat dengan pintu keluar agar tak repot nanti kalau mau balik.

Saat menuju pintu utama kantor, aku melewati sebuah kantin fastfood kantor
itu. Kantin itu terlihat besar dengan jendela kaca memenuhi sebagian dinding kantin
itu.

Saat lebih dekat, dari luar jendela besar itu aku lihat Idan sedang duduk
sendiri sambil membaca sebuah buku kecil dan menghadap secangkir kopi. Vergegas
aku mendatanginyaa.

Saat jarakku dengan jendela besar itu tinggal beberapa langkah lagi aku
berhenti karena kulihat Idan ternyata tidak sendiri. Ada seorang wanita muda
cantik menghampiri Idan, duduk semeja dengan Idan dan mereka terlihat
bercengkerama, tertawa-tawa bersama. Siapa dia? Jangan-jangan dugaanku benar?

***

Aku hanya mematung diluar jendela menyaksikan kemesraan mereka berdua.


Saat itu juga mendung dilangit yang tadinya terbentang kokoh di angkasa akhirnya
runtuh juga. Membasahi bumi, membasahi hati dan menyamarkan air mataku yang
tanpa sadar setetes dua tetes menitik di pipi demi kekecewaanku saat ini.
Kekecewaanku atas pengkhianatan yang terjadi di depan mataku sendiri.

Jelas sudah sekarang semuanya. Jelas sudah jawaban atas pertanyaan-


pertanyaanku akhir-akhir ini. Seperti keyakinanku dulu, semua lelaki memang
brengsek. Tak terkecuali Idan yang dulu aku anggap beda ternyata sama saja
dengan yang lain.

Aku pun lari menembus hujan yang begitu deras menuju tempatku parker
mobil tadi. Aku tidak menghiraukan ketika seorang petugas cleaning service
mengejarku untuk menawariku paying. Aku hanya ingin segera pergi dari tempat itu
sekarang!

Begitu sampai di mobil, cepat-cepat kunyalakan dan kusetir dengan terburu-


buru. Dijalanan ku kebut mobilku biar segera sampai di rumah. Aku tidak
mempedulikan teriakan-teriakan pengendara-pengendara lain yang kusalip dengan
ugal-ugalan.

Sesampai di rumah kubuka pintu, ku banting tanpa menutupnya kembali. Saat


sampai ruang tengah dan kulihat foto pernikahan kami berdua, aku ambil dan
kubanting sampai hancur berkeping-keping. Setelah itu aku ke kamar dan
membenamkan wajahku ke bantal. Aku menangis sejadi-jadinya. Menangisi
kebodohan, kenaifan dan ketololanku selama ini.

***

Aku menangis sampai ketiduran. Dari luar samar kudengar suara mobil. Idan
sudah pulang. Bersiaplah untuk perang besar Dan!

Aku keluar dari kamar dan menunggunya di ruang tengah tempat biasa kami
nonton tv. Aku duduk di sofa seolah aku sudah menunggunya berjam-jam disana.

Saat Idan sampai di ruang tengah dia terkejut ketika menemukan foto
pernikahan kami yang berukuran satu kali satu setengah meter itu hancur pecah
berserakan dilantai.

“Apa-apaan ini? Ada apa Pit? Kenapa foto ini bisa hancur seperti ini?”
tanyanya heran.

“Aku yang menghancurkannya! Kenapa? Kamu gak suka? Ini seperti halnya
kamu menghancurkan pernikahan kita Dan!” jawabku menantang.

Inilah kali pertamaku berbincang lagi dengannya setelah sekian lama kami
saling mendiamkan. Entah aku dapat energy darimana hingga aku kembali berminat
untuk bertengkar hebat dengannya.

“Apa maksudmu aku menghancurkan pernikahan kita? Bukankah kamu yang


mulai semua ini? Kamu yang mulai mendiamkanku sehingga hubungan kita renggang
selama ini?” jawab Idan tidak terima dengan tuduhanku.

“Kamu pikir aku mendiamkanm itu tidak ada penyebabnya? Penyebabnya


adalah kamu sendiri Dan! Kamu egois! Mikirin diri sendiri!”
“Aku egois? Sisi mana dari diriku yang egois? Apa kamu pikir kamu sendiri
tidak egois? Aku dah banyak mengalah buatmu Pit!”

“Memang biasanya orang egois tidak menyadari keegoisannya sendiri Dan!


Termasuk kamu! Kamu yang meninggalkan aku di saat aku butuh dirimu! HIngga pada
akhirnya aku mengalami keguguran karena stress itu juga gara-gara kamu!” aku
sudah mulai kalap.

“Dan satu lagi! Jika kamu juga kecewa padaku dan menginginkan berakhirnya
pernikahan kita kenapa tidak bilang dari kemarin-kemarin?”

“Apa maksud kamu Pit? Jangan bicara sembarangan!” Idan mulai bingung.

“Kenapa kamu harus sembunyi-sembunyi dariku jika kamu punya wanita idaman
lain? Jangan kira aku tidak tahu Dan! Aku sudah tahu semuanya!”

“Aku…” Idan seperti tercekat dan tak bisa berkata apa-apa lagi.

“Bisa kujelaskan. Begini…”

“Udahlah Dan semua sudah jelas. Aku tidak butuh penjelasan lagi dirimu.
Semuanya dusta dan aku sudah muak dengan semuanya.”

Aku meninggalkannya sendirian di ruangan itu. Aku ke kamar dan


membereskan barang-barangku. Aku mau pulang ke rumah ibu.

“Mau kemana kamu?” tanya Idan saat dia masuk kamar.

“Apa pedulimu aku mau kemana? Aku mau pulang ke rumah Ibu. Puas?”

“Kamu tidak perlu pergi dari rumah seperti ini. Biar aku saja yang pergi.”
Kata-kata Idan lebuh melunak kali ini. Aku tidak menghiraukan kata-kata
terakhirnya saat kemudian dia telah keluar dan meninggalkan rumah dengan
mobilnya.

Aku tidak peduli dia mau kemana. Paling juga ke hotel dekat kantornya
seperti dulu.

Meskipun Idan sudah pergi dari rumah, aku juga harus pergi. Aku tetap ingin
pulang ke rumah Ibu. Tidak hanya 2 atau 3 hari. Mungkin dalam waktu yang agak
lama. Atau malah selamanya.

***
Ternyata Idan sering telpon ke rumah Ibu menanyakan kabarku. Dia sudah
balik lagi ke rumah kami rupanya. Pasti dia kehabisan baju bersih lagi seperti dulu.

Aku selalu menolak jika ibu bilang kalau Idan ingin berbicara denganku di
telpon. Aku masih sangat marah kepadanya.

Di rumah Ibu sangat prihatin dengan keadaan hubungan kami. Berkali-kali Ibu
menyarankanku agar berbaikan dengan Idan. Namun selalu aku tampik dengan alasan
ini itu.

Sampai pada suatu ketika Ibu bercerita tentang pembicaraannya dengan Idan
saat aku masih di rumah sakit. Sebenarnya aku heran kenapa Ibu lebih membela
Idan daripada aku yang anaknya sendiri.

“Ibu tidak habis pikir dengan perlakuanmu terhadap Idan Pit. Idan itu pria
yang sangat baik tapi apa yang kau lakukan untuk membalas kebaikannya? Kamu
malah selalu berburuk sangka kepadanya?”

“Maksud ibu? Bukankah sudah Upit katakana alasan kenapa kami bertengkar?”

“Cuma karena itu? Ddarimana kamu yakin kalau Idan selingkuh dengan wanita
lain hanya dengan melihat Idan makan bareng dengan wanita itu?” Aku terdiam
dengan pertanyaan ibu itu.

“Apa jika kamu sedang di kantormu dan duduk semeja dengan teman
seprofesimu yang laki-laki lantas Idan bisa menyimpulkan kalau kamu selingkuh
dengan laki-laki itu?”

“Ingat Pit, kita para wanita memang diberi rasa cemburu yang lebih. Dan kita
lebih mendahulukan perasaan kita sehingga kadang terburu-buru menyimpulkan
segala sesuatu secara terrburu-buru dan sepihak. Sedangkan para lelaki lebih
cenderung menggunakan logika dalam setiap masalah. Namun itu bukan berarti
wanita tidak butuh menggunakan logikanya dan lelaki tidak butuh menggunakan
perasaannya. Harusnya kedua sifat dan kecenderungan itu bisa disatukan untuk
saling melengkapi.”

“Dan itu bisa terjadi jika kedua pihak mau berusaha menjaga keharmonisan
hubungan itu dengan mau saling mengerti dan berbagi. Bukan dengan saling buruk
sangka dan mencurigai. Gimana bisa saling mengerti jika kalian tidak saling
berbicara baik-baik?”
Aku masih terdiam merenungi hal-hal yang selama ini kulewati dan mencerna
setiap kata yang ibu ucapkan. Apakah aku memang terlalu bersikap keras terhadap
Idan? Padahal selama ini kuakui Idan memang lebih sering mengalah padaku. Egois.
Siapa sekarang yang egois?

“Saat kamu sakit dan dia datang mengunjungimu, kamu justru


mengacuhkannya. Idan merasa sangat sedih. Dia cerita ke ibu bahwa sebenarnya dia
juga tidak ingin pergi keluar kota saat itu. Namun jika tidak dia lakukan bukankah
perusahaan tempatnya bekerja bisa hancur kredibilitasnya? Dan saat itu memang
hanya Idan yang dianggap mampu menangani proyek itu.”

“Setiap hari dia juga selalu merindukanmu. Itulah kenapa dia selalu
menelponmu setiap hari hanya untuk mendengarkan suaramu. Dan kalau bisa
keceriaanmu seperti dulu. Namun apa yang kamu lakukan? Kamu justru membuatnya
khawatir dengan rewel seperti anak kecil dan mengabaikan kesehatanmu sendiri.
Padahal kamu sedang mengandung anak pertama kalian.

“Jangan dipikir bahwa Idan menelepon rumah satu kali sehari Pit. Tapi
berkali-kali karena karena dia sangat menghawatirkanmu. Dia selalu mewanti-wanti
ibu agar menjagamu dengan baik, memastikan bahwa kamu sudah makan dengan baik,
sudah minum vitamin dan menjaga kesehatanmu.”

“Bahkan saat dia mengalami kecelakaan di tempat kerjanya sehingga kakinya


sampai pincang seperti itu karena mengalani keretakan tulang, dia juga tidak
memberitahumu karena dia tidak ingin membuatmu khawatir dan bertambah stress.
Dia mengalami keterlambatan pulang karena itu.”

Jadi kaki Idan yang pincang waktu itu gara-gara kecelakaan disana? Ya Tuhan
betapa bodoh dan egoisnya aku tidak sempat menanyakan kenapa kakinya bisa
pincang seperti itu?

“Jadi jika saat kamu stress dan keguguran kamu menyalahkan Idan, kamu
salah Pit. Maaf bukan maksud ibu menyalahkanmu. Tapi Idan tidak sepenuhnya harus
menanggung kesalahan itu.”

“Saat kalian saling mendiamkan. Idan sering curhat ke Ibu kalau dia sangat
tersiksa dengan sikapmu. Disisi lain dia sangat merindukanmu, keceriaanmu, candamu
seperti dulu namun di sisi lain dia tidak ingin mengganggumu dan ingin menjauh dulu
agar kamu lebih tenang pasca keguguran. Tapi kamu malah makin berprasangka yang
tidak-tidak padanya gara-gara sikapnya itu.
“Kesampingkan rasa cemburumu yang berlebihan itu Pit. Itu agar mata dan
pikiranmu tidak dibutakan oleh prasangka yang tidak-tidak tentang suamimu. Ibu
yakin Idan tidak mungkin melakukan hal seperti yang kamu tuduhkan karena ibu juga
sangat mengenal Idan.”

“Selama puluhan tahun saat kalian baru sebatas sahabat hubungan kalian
baik-baik saja, saling menerima kekuarangan masing-masing dan saling mengerti.
Kenapa justru saat hubungan kalian semakin di dekatkan oleh ikatan pernikahan,
kalian malah semakin tidak mau saling mengerti? Yang karena sedikit
kesalahpahaman saja sudah meretakkan hubungan kalian. Camkan kata-kata ibu
baik-baik Pit. Sebelum semuanya terlambat dan memburuk lebih jauh.”

“Idan kemarin telepon jika dia mau pamitan ke kamu kalau dia mau ada tugas
kerja ke Taiwan. Sebaiknya kamu telepon dia balik. Berbicaralah dengannya dari
hati ke hati!”

Selepas mengatakan itu, Ibu meninggalkanku sendiri di teras rumah. Dalam


lamunan kesendirianku itulah aku merenungi kata-kata Ibu barusan. Ibu belum
pernah menasehatiku seserius ini. Bahkan saat dulu menganjurkan untuk segera
menikah.

Aku kembali merenungkan apakah sikapku ke Idan akhir-akhir ini terlalu


berlebihan? Bagaimana aku bisa sejahat ini? Bagaimana aku bisa menuduh Idan yang
ternyata begitu sayang padaku kalau dia selingkuh dengan wanita lain hanya karena
dia makan bareng dengan teman kerja wanitanya? Bukankah bisa saj waktu itu idan
memang sendiri dan tiba-tiba temannya itu ikut nimbrung disana? Ah kenapa aku
tidak bisa berfikir lebih jernih pada waktu itu? Aku terlalu terburu-buru
menyimpulkan .

Tiba-tiba aku merasa rindu sekali kepada Idan. Aku ingin meneleponnya balik.
Aku ingin minta maaf dan ingin mengungkapkan seluruh perasaanku agar semuanya
kembali clear. Meskipun aku tidak tahu apakah saat berbicara dengannya kata-
kataku akan benar-benar keluar atau tidak. Tampaknya aku lebih fasih
mengeluarkan isi hatiku ketika bertengkar daripada ketika berbicara dari hati ke
hati.

Ku tekan tombol-tombol pesawat itu dengan nomor rumah kami. Sesaat nada
sambung terdengar dan tidak ada jawaban. Kutelpon sekali lagi dan ternyata tidak
ada jawaban juga.

Ya Tuhan! Apa mungkin dia sudah berangkat ke Taiwan?


Aku harus ke rumah sekarang. Aku berpamitan ke Ibu dan langsung
bertandangan ke rumah dengan mobilku. Jalanan kota macet lagi. Ayolah!

Setengah jam kemudian mobilku baru bisa jalan. Kupercepat laju


kendaraanku. Aku berharap masih sempat bertemu dengannya dan mengucapkan
permohonan maafku. Akan kukesampingkan malu, gengsi dan egoku selama ini di
hadapannya nanti.

Sesampai di rumah ternyata sepi tidak ada orang. Untung aku masih bawa
kunci serep. Kubuka pintu dan dibawah pintu ternyata ada surat terselip. Ditujukan
buatku. Kubuka dan kubaca. Isinya surat pamitan kepadaku?

Ternyata Idan sudah berangkat dari tadi pagi! Dia akan segera berangkat ke
Taiwan dengan pesawat nomor penerbangan ini?

Aku harus mengejarnya sampai bandara. Jalanan kota ternyata macet lagi!
Aduuuh kenapa harus sekarang ketika aku sangat terburu-buru?

Beruntung macetnya tidak terlalu lama. Kukebut kendaraanku sampai bandara.


Aku sudah berusaha secepat mungkin.

Ternyata terlambat. Keberangkatan pesawat menuju Taiwan ternyata sudah


beberapa jam yang lalu. Terlamat sudah. Idan pergi dengan tetap membawa beban
kegundahannya padaku. Dan aku tetap disini dengan beban rasa bersalahku padanya.

***

Aku masih mematung di lobi bandara. Tatapanku nanar ke arah signboard


penunjuk keberangkatan maskapai pesawat.

DIsela-sela lamunanku kabar itu datang. Dari pihak bandara mengabarkan


bahwa pesawat terakhir yang berangkat ke Taiwan dengan nomor penerbangan
sekian dikabarkan mengalami kecelakaan.

DEG!

Jantungku serasa berhenti. Bukankah itu pesawat yang ditumpangi Idan tadi?

Aku menjerit! Aku masih belum percaya ini! Apakah ini saat aku harus
kehilangan dia? Aku harus kehilangan Idan dan aku belum sempat mengucapkan
maafku padanya? Aku belum sempat bilang kalau aku sangat merindukannya dan aku
ingin hubungan kami kembali baik?
Seperti berjalan mundur melewati dimensi waktu aku kembali ke saat-saat
bersamanya selama ini. Masa persahabatan kami, pernikahan simulasi kami sampai
pernikahan kami yang sesungguhnya saat kami sama-sama menemukan cinta.

Pandanganku tiba-tiba mengabur dan gelap…

Saat sadar aku ternyata sudah ada di ruang medis pihak bandara. Petugas
bilang kalau aku sudah pingsan selama satu jam. Aku mengira kalau aku baru saja
bangun dari mimpi buruk namun saat kutanyakan perihal kecelakaan pesawat yang
baru saja terjadi, petugas itu membenarkannya.

Nyatakah ini?

Sambil menahan tangis aku menelepon orang-orang rumah tentang kecelakaan


itu. Aku berusaha tegar saat mengabarkannya meskipun dalam hati aku sangat ingin
menjerit sejadi-jadinya. Orang rumah kaget dan segera menuju bandara untuk
menemuiku. Saat mereka sampai, di bandara sudah banyak sekali wartawan yang
ingin meliput kejadian itu.

Ibu datang sambil menangis dan langsung memelukku. Aku berusaha setegar
mungkin di depan keluargaku. Mereka bertanya ini itu namun aku enggan menjawab
semuanya. Aku belum sanggup untuk menjawabnya. Please jangan tanya dulu
sekarang.

Kami menunggu beberapa saat di bandara untuk menunggu kabar kepastian


siapa saja korban kecelakaan itu. Hidung dan telingaku mulai terasa panas. Mataku
sudah mulai pedih dan berkaca-kaca. Saat itulah aku mulai tidak tahan dan aku ijin
untuk ke kamar mandi sebentar. Aku hanya ingin menenangkan diri sebentar disana.
Aku ingin sendiri.

Air mataku tumpah begitu aku berada didalam kamar mandi. Aku berusaha
membasuh mukaku dengan air agarair mataku luruh bersamanya. Namun sia-sia.
Tangisku justru semakin pecah dan aku jatuh bersimpuh di lantai meratapi
kebodohanku, kenaifanku, keegoisanku….. dan Idan…

***

Aku sudah mulai tenang dan bisa mengendalikan diriku. Aku tidak mau terlihat
cengeng di hadapan keluargaku nanti. Jika kakak-kakaknya Idan sudah menangis
tersedu-sedu seperti itu dan aku juga ikut-ikutan menangis, lantas siapa yang akan
menghibur dan menenangkan mereka nanti?
Saat berjalan keluar dari kamar mandi aku terburu-buru karena aku tidak
mau kalau sampai dicegat wartawan untuk ditanya-tanya karena aku salah satu
keluarga korban. Saat itulah aku bertubrukan keras dengan seseorang yang berjalan
sama terburu-burunya denganku sampai air di gelasnya tumpah semua ke bajuku dan
jaketnya.

“Aduh maaf mas gak sengaja.” Aku masih menunduk membersihkan bajuku
yang basah oleh minuman dingin itu.

“Upit?” Suara itu memanggilku dan aku sangat mengenalinya!

“Idan!” kutatap sosok yang beriri tegap di hadapanku. Mimpikah diriku?

“Uput! Kamu disini ngapain?” Idan menghampiriku dan memegang pipiku yang
masih basah oleh air mata.

“Kamu habis nangis?”

Aku hanya bergeming menatapnya saat itu. Kami berdua terpaku sesaat saling
menatap penuh arti.

Sesaat kemudian Idan merentangkan kedua tangannya dan aku pun langsung
menubruknya dan memeluknya erat. Aku tak bisa berkata-kata apa-apa lagi saat ini.
Aku hanya ingin menumpahkan tangisku sejadi-jadinya di pelukannya. Tangis
kesyukuran bahwa aku belum kehilangan dia. Syukur bahwa sosok yang kucintai
masih berdiri tegak dan nyata di hadapanku saat ini. Ini bukan mimpi. Ya, ini bukan
mimpi.

***

Kami duduk berdua di lobi bandara. Keluarga besar kami sudah pulang semua.
Mereka sangat bersyukur dan bahagia karena Idan bukan salah satu korban
kecelakaan pesawat itu. Hanya nyaris. Bahkan mbak Ira, kakak tertua Idan tak
kuasa membendung keharuannya dengan mencubit Idan. Gemes karena bikin
khawatir satu keluarga besar.

Aku masih penasaran bagaimana kejadiannya tadi bisa seperti itu. Dan saat
kutanyakan hal itu kepada Idan, dia menjawab polos.

“Sampai bandara tadi aku tiba-tiba merasa sangat lapar. Aku baru sadar
kalau tadi pagi belum sempat sarapan jadi aku makan di kantin dulu. Dan karena
sangat lapar aku makan agak banyak jadi agak lama sampai tanpa sadar aku sudah
terlambat masuk pesawat. Akhirnya daripada terburu-buru sementara perutku baru
aja penuh isinya, maka aku berencana ikut pemberangkatan pesawat yang berikutnya
saja. Tiketnya gak masalah karena perusahaan yang nanggung.”

“Hmm beberapa hari ini nafsu makanku memang sangat berkurang sekali
karena mikirin kamu. Aku kangen sekali sama kamu tapi kalau aku telepon kamu
selalu menolak berbicara denganku. Aku semakin gak nafsu makan di rumah.
Ternyata gak enak makan sendirian.”

“Iya kamu memang tampak lebih kurusan sekarang,” kubelai pipinya yang
makin tirus.

“Emang makan sendiri gak enak. Tapi bukan berarti kamu boleh makan berdua
dengan wanita lain!” Aku mengingatkan kejadian waktu itu sambil menepuk pipinya.

“Lho kok?” Idan tampak terkejut dan heran namun sesaat kemudian langsung
menyadari apa yang barusan aku katakana.

“Itu kan Cuma kebetulan saja Pit! Sueeer! Kebetulan dia lewat dan lihat kursi
di mejaku kosong jadi dia makan disitu.” Idan menjelaskan dengan menggebu-gebu
sambil meringis menahan perih di pipinya.

“Iya iya aku gak marah kok. Aku sekarang yakin kalau kamu memang suami
paling setia yang pernah kutemui. Aku yakin kamu tidak akan pernah menghianatiku.”
Kataku kemudian.

“Ita Pit aku janji kalau hanya kamu satu-satunya wanita yang kucintai sampai
maut memisahkan kita. Dan kalau itu terjadi barulah aku cari wanita lain hehehe.”

“Oh jadi kamu doain aku lebih dulu mati?” Aku langsung manyun dan kutinju
tangannya. Dia menjerit mengaduh.

“Tidaaaaaakkk! Ampun non Puspitaaa!!” Idan pun lari keluar dengan aku yang
mengejarnya di belakang. Hari ini banyak sekali hal besar kualami. Sekali lagi,
menikah denganmu memang tidak pernah membosankan Dan…

***

Hari-hari berikutnya kami lalui dengan senyum kebahagiaan. Kami selalu


megngingat hal-hal yang telah kami lalui sebelumnya. Begitu berliku dan membuatku
belajar lebih banyak tentang cinta dan kesetiaan. Membuatku mengenal lebih
banyak tentang bagaimana seharusnya sepasang suami istri saling bicara dan
bagaimana mempertahankan keharmonisan rumah tangga kami.
Kami sadar bahwa mengarungi samudera kehidupan dalam bahtera pernikahan
tidaklah selalu berjalan mulus bak dongeng putrid yang pada endingnya selalu hidup
bahagia selamanya. Kadang juga ada badai dan batu karang yang melintang. Kadang
ada perompak yang menghadang.

Semua kembali pada pribadi kita masing-masing apakah bisa menjadi sosok
yang mampu mencintai menghargai pasangannya apa adanya, menerima segala
kelebihan-kekurangan dan melengkapinya dengan kelebihan-kekurangan kita. Dan tak
lupa, niatkan semuanya hanya untukNya.

Sebisa mungkin gunakan waktu kebersamaan yang ada sebaik mungkin.


Seperti saat itu, aku dan Idan sedang sarapan bareng sambil ngobrol kesana-kemari.

“Aduh perutku!” tiba-tiba perutku terasa mual-mual hebat.

Akupun langsung ke kamar mandi dan morningsick kembali menyerangku.


Didalam kamar mandi aku muntah-muntah sejadi-jadinya. Rasanya seperti di pencet
perutku. Di luar idan menungguku dengan harap-harap cemas.

“Upit kamu gapapa kan?” tanyanya.

Setelah kelar akupun keluar dari kamar mandi dan dipapah ke kamar oleh
Idan. Sesampai di kamar aku langsung di baringkan di ranjang.

“Kamu sakit lagi Pit? Aku antar ke dokter ya?” tanyanya cemas.

“Aku tidak apa-apa kok. Kamu berangkat ke kantor aja sekarang.”

“Sebaiknya aku antar kamu ke dokter sekarang. Aku takut kamu kenapa-
kenapa lagi kaya dulu Pit!”

“Aku sudah bilang aku gapapa Dan! Aku Cuma terlambat datang bulan selama
seminggu ini.”

“Terlambat datang bulan? Jangan-jangan?”

Aku hanya tersenyum penuh arti memandang wajah Idan yang masih tampak
bertanya-tanya penasaran. ^_^

Anda mungkin juga menyukai