Anda di halaman 1dari 49

SERIAL DEWI ULAR

MUSIBAH SEBUAH KAPAL

Oleh Tara Zagita


Cetakan pertama 1999
Gambar sampul oleh Fan Sardy
Penerbit Sinar Matahari, Jakarta
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Ali rights reserved
1
BEL tamu berbunyi tiga kali. Jam dinding baru saja berdentang sembilan kali. Rumah
indah berhalaman hijau rumput lembut itu terkesan sepi. Sang tamu yang ada di luar
pagar belum mau pergi. Ia yakin si pemilik rumah ada di rumah, sebab ia melihat mobil
BMW kuning menyala masih ada di dalam garasi. Pintu garasi terbuka sedikit,
menandakan masih akan ada orang yang menuju garasi untuk menutupi pintu tersebut.

Seorang perempuan berusia 40 tahun keluar dari dalam garasi. Perempuan berkebaya
dengan badan sedikit gemuk itu menuju ke pintu pagar. Ia menemui sang tamu yang
ternyata adalah seorang pemuda berambut panjang sebatas punggung dan agak ikal.
Pemuda itu baru saja turun dari mobilnya yang terkesan butut, tapi masih lumayan.
"Saya mau bertemu dengan Mbak Mala. Apakah beliau ada di rumah?"
Sambil membuka pintu pagar, perempuan yang menjadi pelayan setianya Kumala Dewi
itu menjawab dengan senyum ramah agak dipaksakan,
"Kebetulan Non Mala ada di rumah. Silakan menunggu di teras."
Pemuda berperawakan sedang, tak terlalu gemuk namun juga tidak kurus itu, duduk di
kursi tamu yang ada di teras. Mak Bariah bergegas masuk untuk memberitahukan
kedatangan tamunya kepada Kumala Dewi.
Teras yang bersih, terang dan berkesan nyaman itu, mendadak berubah suasana men-
jadi menyeramkan. Pemuda itu bergidik, bulu kuduknya meremang merinding. Hatinya
berdebar-debar cemas. Perasaan takut itu timbul setelah ia menghirup bau wewangian
aneh. Ia mengenali wewangian itu berasal dari asap kemenyan.
"Sialan! Belum-belum sudah bau kemenyan. lih, jangan-jangan di sekitar sini ada roh
halusnya? Atau... atau teras ini pernah dipakai bunuh diri oleh seseorang dan... dan roh
mayat itu masih ada di sekitar sini?!"
Sang tamu bergeser tubuhnya ke arah pintu masuk. Maksudnya, sewaktu-waktu
muncul sesuatu yang menakutkan, ia bisa lari masuk ke ruang tamu sambil
berteriak-teriak meminta tolong si pemilik rumah.
"Gawat! Baunya makin tajam?! Aduh, kenapa Mbak Kumala nggak keluar-keluar, ya?
Jangan-jangan pelayan wanita tadi bukan manusia sebenarnya? Jangan-jangan dia
manusia jelmaan? Aduh, aku jadi curiga; jangan- jangan aku salah masuk, bukan ke
rumah Mbak Kumala tapi ke rumah... ke rumah... oh, apa itu?!"

Pemuda berkulit sawo matang dan berhidung mancung itu menatap ke satu arah de-
ngan pandangan mata menjadi tegang. Arah yang ditatapnya itu adalah salah satu
tiang penyangga atap teras. Tiang yang ada di sudut itu tampak bergerak-gerak.
Seperti mau jebol. Tentu saja jantung pemuda itu juga merasa seperti mau jebol karena berdetak sangat
kuat dan cepat.

"Seperti ada yang ingin keluar dari dalam tiang itu?!" gumamnya dalam hati. Keringat
dinginnya mulai membasahi kening dan leher.

Makin lama tiang tersebut semakin bergerak-gerak secara nyata. Kapur dan beba-
tuannya mulai retak. Mata pemuda itu makin mendelik.

Dan tiba-tiba dari dalam tiang itu keluar sepotong kepala secara menyentak, sangat
mengejutkan dan menakutkan.
Bruuus...!

"Aahhhkk...!" pemuda itu melompat dengan suara pekikan tertahan. Ia tak mampu
bergerak. Hampir saja jatuh. Untung kedua tangannya buru-buru berpegangan pada
sandaran kursi. Ia hanya sempat berlutut, karena memang lututnya terasa lemas.
Kedua kakinya bagaikan tak bertulang lagi.

Kepala yang tersembul dari dalam tiang itu menyeringai menyeramkan. Rambutnya
hitam, agak panjang dan acak-acakan. Tepian matanya berwarna merah. Kulit
wajahnya berwarna pucat mayat. Ketika menyeringai, tampak giginya berlumur darah
dan taringnya masih meneteskan cairan merah darah.
Baru saja si pemuda berhasil memaksakan diri untuk dapat berlari masuk ke ruang
tamu, tiba-tiba dari arah belakangnya terdengar suara lembut. Suara lembut itu tak
disangka-sangka, sehingga si pemuda terlonjak kaget dan memekik pendek.

"Hentikan!"
"Haaahh...?!"

Pemuda itu jadi semakin panik. Walau hatinya sedikit lega, tapi gerak-geriknya masih
serba salah dan wajahnya masih dicekam ketakutan.

Ia merasa heran melihat kepala yang muncul dari dalam tiang batu itu segera terbenam
kembali. Wajah mengerikan itu sempat terbelalak kaget.dan ketakutan melihat
kemunculan si pemilik suara tadi.

Pemilik suara itu adalah Kumala Dewi sendiri. Sebelum ia menenangkan hati tamunya,
lebih dulu ia menghampiri tiang itu sambil menggeram jengkel.

"Lagi-lagi ulahmu bikin malu saja! Kumasukkan ke botol kau, Buron!"

"Sorry, sorry...!" suara itu segera terkubur ke dalam pilar berlapis keramik. Pilar itu
menjadi rata kembali dan tak sedikit pun ada kotoran di sekitarnya. Retak sedikit pun
tidak.
"Maaf, memang begitulah ulah temanku yang bernama Jin Layon. Dia memang jin usil,
dan kami memanggilnya dengan nama Buron! Dia cuma ingin berkenalan dengan
Anda. Silakan duduk lagi!"

Dengan napas terengah-engah, pemuda itu pun duduk kembali. Tapi begitu ia beradu
pandang dengan wajah cantik jelita itu, ketegangan dan ketakutannya cepat menjadi
susut. Seolah- olah kedua mata indah si. wajah cantik itu menyalurkan getaran gaib
yang dapat menenangkan hati tamunya.

Gadis cantik jelita yang malam itu hanya mengenakan celana pendek ketat dan kaos
kutang merah itu merasa heran melihat wajah tamunya. Menurutnya sang tamu punya
wajah lumayan. Ketampanannya akan tampak jelas jika ia mencukur pendek rambutnya
dan mengenakan pakaian lebih rapi lagi. Melihat penampilan sang tamu yang berjaket
hitam dan bercelana jeans, Dewi Ular alias Kumala Dewi, merasa yakin bahwa sang
tamu adalah type orang yang santai dan cuek.
"Anda mencari siapa, Bung" sapa Kumala Dewi sambil mengalihkan sikap agar tidak
terlalu lama dalam beradu pandang.

"Hmm, eeh... saya... saya mau bertemu dengan Mbak Kumala Dewi."
"Aku sendiri Kumala."

Kumala mengulurkan tangan. Mereka berjabatan. Kumala menambahkan kata kepada sang tamu.

"Kelihatannya kita baru kali ini bertemu,ya?"


"Benar, Mbak Mala. Saya...."

"Panggil saja Kumala. Nggak usah pakai Mbak. Kayaknya usia. kita berbeda dua tahun.
Anda berusia dua puluh enam tahun, bukan?"

"Hmm, eeh... iya. Memang benar," cowok itu tertawa malu. Belum-belum sudah berhasil
dikupas pribadinya.
"Sejak kapan Anda kerja di perfilman?"

"Dua tahun yang lalu," jawab cowok itu sambil kebingungan, sebab dia belum menje-
laskan di mana dirinya bekerja, tapi Kumala Dewi sudah menyebutkannya dengan
benar. Ia memang kerja di perfilman. Tepatnya, ikut sebuah PH yang sedang
getol-getolnya menggarap beberapa sinetron.

"Tapi aku belum tahu siapa namamu, Bung."


"Nama saya, eeh... hmmm, namaku.... Fandy."
"Hmm, namamu mudah diingat, Fan," Kumala. memberikan senyum tipis yang
menawan. Fandy tersipu kecil.
"Lalu, tujuanmu kemari?"
"Aku menemukan... menemukan suara- suara dari kubur." "Maksudmu?" Kumala berkerut dahi.

Buron bukan orang asing lagi bagi Kumala Dewi. Jin yang pernah dikalahkan Dewi Ular
itu sudah cukup lama mengubah diri menjadi sesosok pemuda berambut kucai, agak
tampan, tapi berkesan konyol Kesaktiannya sebagai Jin Layon sering dipakai untuk
menakut-nakuti tamu yang baru pertama kali datang ke rumah Dewi Ular, sehingga ia
sering dipanggil dengan julukan jin usil, (Bara serial Dewi Ular dalam episode:
"MISTERI PERUSAK MAHKOTA").

Bukan hanya Jin Layon yang 'ikut' Dewi Ular, tapi juga seorang mantan sopir taksi yang
bernama Sandhi, kini telah lama menjadi sopir pribadi gadis cantik anaknya Dewa
Permana dan Dewi Nagadini itu. Mak Bariah dan kedua pemuda itu punya hubungan
erat dengan Dewi Ular, bahkan menyerupai saudara sendiri. Tetapi untuk urusan mistik,
Buron alias si jin usil itu selalu tampil sebagai asistennya Dewi Ular Mak .Bariah urusan
rumah dan makanan.. sedangkan Sandhi urusan transportasi.

Padahal sebagai anak dewa, Kumala bisa saja pergi ke mana-mana tanpa
mengandalkan transportasi darat, laut, maupun udara, la bisa menggunakan jalur
gaibnya, yang dapat membuat dirinya tahu-tahu berada di lain kota, atau bahkan lain
benua. Namun hal itu jarang dilakukan Kumala kalau bukan dalam keadaan sangat
terpaksa .
Sebagai anak dewa yang dibuang dari Kahyangan karena dianggap anak haram dari hasil hubungan gelap
Dewa Permana dan bidadari cantik yang bernama Dewi Nagadini
itu, Kumala menjelma sebagai gadis cantik yang membaur dalam kehidupan manusia di
muka bumi. Maka ia ingin bertingkah laku sama seperti manusia lainnya.
Kadang-kadang jika sedang di tempat umum, ia sering menahan diri untuk tidak
menggunakan kesaktian kedewaannya. la selalu mencoba mengatasi beberapa
masalah dengan logika dan ilmiah. Hal itu dilakukan olehnya, supaya tidak semua
orang mengetahui bahwa ia adalah paranormal cantik keturunan dewa dari Kahyangan
yang patut dikagumi dan dihormati. Kumala. bukan gadis gila terhomat.

Maka ketika Fandy memanggilnya dengan sebutan 'Mbak' alias kakak, ia menolak
secara halus, la lebih suka dipanggil sebagai Kumala saja.' Panggilan itu terasa lebih
akrab. Dan setiap keakraban, menurutnya, akan selalu menghadirkan keterbukaan.

Oleh sebab itulah, Fandy bersikap apa adanya di depan Kumala. Ia juga berterus
terang mengungkapkan rasa takutnya terhadap hasil temuannya itu.

Bukan benda kuno yang ditemukan Fandy, melainkan suara-suara aneh yang masuk
dalam peralatan rekamnya. Peralatan rekam itu tergolong canggih, menggunakan
disket dan komputer kecil. Dalam mengeluarkan kembali suara yang terekam dalam
disket itu, cukup menggunakan box kecil semacam walkman.

"Pada mulanya tujuanku dan kedua temanku itu adalah merekam ombak lautan. Aku
harus mendapatkan sound effect ombak yang berdebur-debur untuk ilustrasi film yang sedang ku-edit.
Sebenarnya kami sudah mempunyai beberapa jenis sound effect,.
termasuk suara ombak lautan. Tetapi disket kami itu rusak. Jadi kami harus merekam
sendiri suara ombak itu."

"Di mana kau merekam suara ombak itu?",


"Di tepi pantai bertebing. Di daerah Anyer sana."

Dewi Ular manggut-manggut. Pandangan matanya menunjukkan minatnya mendengar-


kan seluruh penjelasan Fandy itu.

Pemuda itu mengeluarkan disket dari saku jaketnya.

"Tapi anehnya, hasil rekamanku ini bukan saja menangkap suara ombak yang
berdeburan, tapi juga suara-suara orang."

Fandy juga mengeluarkan box kecil yang dapat .mengeluarkan' suara-suara dari dalam
disketnya.

"Suara orang itu sangat tak kukenal. Apalagi dibarengi suara kesibukan, seperti
bongkar muat dan kepanikan di sana-sini. Bahkan aku juga mendapatkan suara hujan,
angin badai, guntur, serta jeritan orang-orang yang dicekam rasa takut," sambung
Fandy dengan serius.
"Apakah pada saat itu di sekelilingmu nggak ada orang lain?"

"Nggak ada! Cuma kami bertiga. Hmm, sebaiknya tolong dengarkan dulu hasil
rekamanku ini."
Kumala Dewi sedikit lebih maju lagi dari duduknya. Pandangan matanya tertuju pada
disket yang sedang mengeluarkan suara gemuruh seperti htmbusan angin. Suara
gemuruh itu mulai jelas dicampuri suara ombak.
Tapi ombak yang terdengar di situ adalah ombak yang tak begitu jelas deburannya.
Padahal menurut Fandy, mestinya deburan ombak itu sangat jelas, karena saat
merekamnya ia mengulurkan mickrofon ke bawah, dekat dengan dinding tebing.

Selanjutnya, suara gemuruh itu semakin kacau. Tak jelas dari mana datangnya. Kumala
menyimpulkan suara gemuruh itu adalah badai yang membelah lautan. Beberapa saat
kemudian, terdengar suara orang berteriak minta tolong, disusul dengan suara-suara
teriakan yang saling bersahutan.

"Awas, jangan di bawah tiang! Hoooii...! Lemparkan tambang kemari!"


"El... tolong akuu...!"
"Awas tiang pataaaah...!!"
"Aaaaaaa.... !"
"Vinooon...! Vinon, di mana kauuu...?!!"
"Tinggalkan tempat ini! Cepat pergi semuaaaa...!"

"Vinoooon...! Viiiinoooonn...!!"

Suara tiang patah terdengar bersama gelegar guntur menggemuruh. Debur ombak juga
terdengar jelas, tapi masih dicampur dengan teriakan-teriakan bersuara serak.

"Elbooo... bawa mereka ke pantaiii...!!"


"Dasti, oooohh... tolong akuuu... jangan tinggalkan aku, Dastiii...!!"
"Vinon...! Jawablah, di mana kau, Vinooon...!"
"Papaaaa...!!"
"Viiiin...! Viiiin...!"
"Dastiiii...! Kembali ke timur...!!"
"Tolooong...!"
"Vinoooon...!!"

Jeritan histeris terdengar. Teriakan orang- orang panik semakin pecah. Sulit dikenali
aksen dan intonasi suaranya. Deburan ombak berbaur dengan deru angin badai.
Lama-lama yang terdengar hanya suara angin badai bersama gemuruhnya hujan.
Sesekali suara guntur menggelegar bagaikan ingin menjebolkan loundspeaker alat
rekam itu. Dan tiba-tiba suara-suara tersebut hilang. Berganti suara desis panjang,
seperti cassette yang tiba-tiba putus pitanya.
Fandy menarik napas hampir bersamaan dengan Dewi Ular yang menghembuskan na-
pas. Duduk mereka menjadi tegak kembali, tidak membungkuk mendekati meja.
Pemuda itu pun mematikan alat rekam tersebut.

"Itulah suara misteri yang berhasil masuk dalam rekamanku," ujar Fandy dengan nada
pelan.

"Pada waktu merekam, apakah kalian nggak pakai headphone di telinga? Setahuku
orang merekam sesuatu selalu menggunakan headphone untuk mengetahui suara apa
yang masuk ke dalam rekamannya, atau bening dan tidaknya suara yang mereka
rekam itu."

"Ya, aku tahu maksudmu. Dan perlu kau ketahui, salah satu temanku yang bernama
Bintar, adalah staf ahli dalam bidang rekam-merekam. Tentu saja ia menggunakan
headphone di kepalanya. Dan menurutnya, saat itu ia mendengar suara deburan
ombak yang jernih dan hembusan anginnya juga terdengar samar-samar. Tetapi pada
kenyataannya, setelah kami chek hasilnya, ternyata yang keluar suara-suara seperti
tadi."

Kumala manggut-manggut tanpa menggumam.

"Terus terang, maksud kedatanganku kemari untuk menanyakan padamu tentang mis-
teri suara ini. Suara apa ini sebenarnya, dan siapa mereka itu?"
"Hmmm, yang jelas... suara itu adalah suara orang-orang kapal. Sebuah kapal meng-
alami.musibah. Kapal itu pecah dihantam ombak dan angin badai. Orang-orangnya
sibuk menyelamatkan diri dengan panik."

"Tapi pada waktu kami merekam suara ini, nggak kejadian seperti itu. Bahkan sepotong
papan pun nggak ada yang kami lihat ngambang di perairan pantai."

"Kapan kau melakukan rekaman itu?"


"Tiga hari yang lalu!"

Paranormal cantik itu berkata dengan tenang, "Kapal itu hancur pada masa lalu. Se-
kitar... yah, mungkin seratus tahun yang lalu. "

"Seratus tahun?!" Fandy membelalakkan matanya. Hatinya bimbang, antara percaya


dan tidak.

"Roh mereka masih menjerit-jerit, dan jeritan itu tertangkap oleh kepekaan alat
rekammu. Roh mereka sebenarnya melihat kalian bertiga sedang melakukan kegiatan
disana.

Fandy semakin terkesiap. Bulu kuduknya kontan merinding tanpa malu-malu lagi.
Wajah pemuda itu pun pucat kembali, seperti saat ditakut-takuti Buron tadi.
Sebagai anak dewa, Kumala dapat membaca jalan pikiran Fandy, juga dapat
merasakan kebimbangan hati tamunya itu. la memaklumi keragu-raguan Fandy dalam
mempercayai penjelasannya. Karena ia tahu, Fandy tidak mempunyai indera keenam,
sedangkan Kumala menggunakan indera ketujuh untuk melihat peristiwa itu dalam
sekejap tadi.

"Boleh kupinjam disketmu?"


"Un.., untuk... untuk apa?" tanya Fandy, sangat ingin tahu.

"Di kamarku ada komputer, tentu saja lengkap dengan monitornya. Aku bisa
menampilkan peristiwa yang terekam dalam disketmu melalui layar monitor. Kau bisa
melihat sendiri nanti."

Mulut pemuda itu hanya melongo. Mau tak percaya, tapi tak berani menyatakannya.
Mau menyanjung kagum, tapi ragu melontarkannya. Hanya menatap tak berkedip yang
dapat dilakukan Fandy pada saat itu.

"Boleh kupinjam disketmu, Fandy?!" Kumala mengulangi pertanyaannya tadi untuk


membuyarkan keterpakuan Fandy.

"Ooh. ya... silakan!" Fandy pun menyerahkan disketnya itu.


"Ikut aku ke kamar. Akan kuperllhatkan' padamu musibah hancurnya kapal niaga bertiang layar dua itu!"

Fandy memang bergegas mengikuti langkah Kumala Dewi. Tapi dalam hatinya masih
bertanya-tanya, "Apa benar musibah itu bisa ditampilkan dalam layar monitor?
Bukankah yang kurekam hanya suaranya saja?! Kami nggak bawa kamera kok. Mana
mungkin bisa terekam gambarnya dalam disket itu?!"

Fandy lupa, bahwa Kumala adalah anak dewa. Fandy tak banyak mengetahui tingkat
kesaktian gadis cantik bertubuh sintal itu; Maka timbullah rasa penasaran yang
membuatnya semakin bersemangat mengikuti langkah Kumala menuju ke meja
komputer.

***

2
ILMU apa pun tak dapat mengungguli ilmunya Dewi Ular. Bagaimana mungkin sebuah
disket berisi suara, dapat mengeluarkan gambar dari suara itu sendiri ke layar monitor
sebuah komputer. Bukan hanya Fandy yang terheran-heran melihat kenyataan itu, tapi
Sandhi, juga merasa heran, karena selama ia ikut Kumala Dewi belum pernah melihat
Kumala mengeluarkan keajaibannya melalui komputer.

Sandhi ikut bergabung di kamar Kumala, demikian juga Buron. Sebelumnya mereka
diperkenalkan lebih dulu oleh Kurnala kepada Fandy. Keramahan mereka membuat
Fandy merasa cepat menjadi akrab dengan Sandhi dan Buron.

Melalui pembicaraan Kumala dengan Fandy, secara garis besar saja Sandhi dan Buron
dapat menyimpulkan persoalan yang hadir di malam itu. Tentu saja Sandhi ikut menjadi
heran, karena gambar yang muncul di layar monitor itu cukup jelas, seperti sebuah film
dalam layar teve biasa. Hanya jin usil yang tidak tampak terheran-heran, sebab
keanehan seperti itu sudah bukan hal asing lagi baginya.

"Benar-benar mengagumkan sekali!" gumam hati Fandy. "Password apa yang digu-
nakan Kumala untuk membuat disketku bisa mengeluarkan gambar seperti ini?!"

Dewi Ular mendengar kecamuk hati Fandy. la tersenyum tipis dan berkata tanpa memandang pemuda
itu.

"Password-ku adalah password gaib. Jangankan mengeluarkan gambar seperti ini, di-
pakai' untuk menghubungi' orang tuaku di Kahyangan pun bisa!"

Pada awalnya memang mereka masih tenang-tenang saja. Tidak ada ketegangan apa
pun, selain ekspresi wajah penuh perasaan heran. Pada bagian awal, layar monitor itu
menampakkan gambar lautan lepas yang berombak tenang. Airnya biru
kehijau-hijauan. Gambar itu muncul selama sekitar dua menit. Suara ombak terdengar
samar-samar dari loundspeaker yang ada dalam komputer itu.

Lalu muncul sebuah titik hitam di. batas cakrawala. Kemunculan titik hitam itu mulai
menarik perhatian mereka lebih kuat lagi.

Mereka yakin, titik hitam itu adalah kemunculan sebuah kapal yang makin lama makin
jelas. Seolah-olah kapal itu mendekati sebuah kamera.

"Aku nggak bawa kamera pada waktu itu. Tapi kenapa gambar ini seperti sebuah film
yang direkam dengan kamera?!" ujar Fandy, bicara kepada Sandhi.

Kumala menyahut, "Kedua bola matamu adalah kamera yang bisa merekam alam gaib
tanpa kau sadari."
Bulu kuduk Fandy pun merinding.

"Benarkah kedua mataku adalah kamera?!" gumamnya pelan.

"Ya. Tapi rekaman gambarnya nggak bisa kau pahami, karena mata batinmu dalam
keadaan tertutup. Kalau kau bisa menggunakan mata batinmu, maka setiap benda
yang ada di alam gaib yang terlihat oleh kedua matamu itu akan terlihat pula oleh mata
batinmu. Itulah sebabnya ada orang yang bisa melihat roh halus, tapi ada juga yang
nggak bisa."

Sandhi menimpali dengan nada sedikit tegang, "Hei, lihat... ternyata titik hitam itu
memang sebuah kapal!"

Pemuda berambut panjang itu terperangah. Kini monitor itu semakin memperjelas
bentuk kapal yang sedang berlayar dengan tenang. Seperti kata-kata Kumala saat di
teras tadi, bahwa kapal itu adalah kapal niaga bertiang layar dua. Dalam monitor pun
terlihat kapal itu mempunyai dua layar besar berwarna putih polos. Tapi layar
merentang tegang, menunjukkan bahwa kapal itu mendapat hembusan angin cukup
besar. Jalannya pun semakin laju tanpa menggunakan dayung maupun mesin uap.

Tiba-tiba dari arah belakang kapal ada kabut yang bergerak seperti angin puting be-
liung. Kabut itu berwarna abu-abu dan bergerak memutar bagaikan gangsing. Layar
monitor menjadi buram. Hati mereka menjadi tegang. Hanya si cantik Dewi Ular yang tetap tenang
sambil duduk di bangku putarnya.

"Kabut apa itu?!" tanya Fandy sambil tangannya menuding hampir menyentuh layar
monitor.

"Kita akan tahu sebentar lagi!" jawab Kumala. Kini jari-jari tangannya bermain di atas
panel-panel keyboard dengan cepat sekali. Rupanya ia berusaha memperjelas gambar,
tapi ternyata gambar masih tetap buram.

"Kabut itu memburamkan gambar. Coba singkirkan, Mala!" kata Sandhi.

Kumala Dewi berusaha menjernihkan gambar, tapi gagal. Ia menghempaskan napas


dengan dahi berkerut, tampak serius sekali.

"Kabut itu bukan sembarang kabut," gumamnya setelah mendesah bagaikan mem-
buang rasa kesal dalam hatinya.

"Maksudmu, kabut itu adalah kekuatan mistik dari alam lain?" tanya Fandy.

"Ya, tapi... kita lihat saja dulu. Apa yang akan dilakukan kabut itu?!"

Fandy merinding-lagi. Jantungnya berdetak cepat sekali .la menarik kursi yang
didudukinya agar lebih dekat dengan Kumala. Sandhi dan Buron serius, tapi" tetap tenang. Sandhi mulai
terpengaruh oleh ketegangan Fandy, sehingga matanya semakin
dilebarkan dan hatinya ikut berdebar-debar.

Tampak oleh mereka orang-orang di kapal itu masih tetap tenang. Para awak kapal
tetap melakukan kegiatannya di atas geladak tanpa merasa terganggu oleh pusaran
kabut yang semakin mendekati kapal tersebut.

Namun tiba-tiba permukaan air laut seperti permadani yang dikibaskan. Ombak datang
bersama badai. Hujan turun secara tiba-tiba. Para awak kapal mulai tampak
kebingungan. Terdengar teriakan-teriakan dari mereka yang tak begitu jelas
artikulasinya.

"Gila! Kabut itu mendatangkan badai sebegitu kuatnya?!" gumam Fandy dengan suara
bergetar.

Dalam keburaman gambar, Fandy dan yang lainnya masih bisa melihat kapal itu
melambung tinggi terbawa ombak yang menggila. Bahkan adegan berikutnya, kapal itu
seperti dilemparkan ke samping dalam posisi masih tegak. Tapi orang-orang di atas
kapal itu semakin mengalami kepanikan. Mereka yang semula berada di kabin ataupun
berada di lambung kapal, terlempar keluar dan berhamburan di atas geladak.

"Hei, ada perempuannya segala?!" seru Sandhi.


"Iya, tuh: Ada tiga atau empat sih?!" timpal Fandy.
Gambar semakin buram. Mereka hanya hisa melihat sosok kapal bertiang layar dua itu
berputar-putar bagai ingin terhisap ke dalam pusaran arus air.

Kilatan cahaya petir menyambar sekeliling kapal itu. Salah satu kilatan cahaya itu
menghantam tiang layar bagian belakang l iang layar itu patah dan tumbang. Dua orang
awak kapal tertimpa tiang tersebut
Jeritan dan suara kepanikan mereka sama seperti yang didengar Kumala di teras tadi.
Akhirnya kapal itu pecah, para awaknya terlempar ke berbagai arah Yang masih hidup
berusaha menyelamatkan diri dengan papan atau potongan kayu kapal. Tapi kabut
semakin tebal dan gambar semakin buram.

"Wah, nggak kelihatan lagi'" sentak I andy, hampir saja tangannya mengusap layar
moni tor yang seperti mengandung embun itu.

Sebelum gambar itu hilang, Kumala berhasil memperbesar gambar potongan kayu.
Kayu itu mempunyai tulisan: BINTARA 1898.
"Itu nama kapal tersebut!" ujar Kumala. "Angka di belakangnya menunjukkan masa
pelayaran mereka."
"Gila! Tepat seratus tahun?!" suara Fandy mendesah pelan.

Tiba-tiba gambar hilang. Blubss. ! Komputer mengepulkan asap tipis dan menyebarkan bau sangit.
Mereka pun tercengang tegang. Saling pandang tapi saling membungkam.

Belakangan diketahui bahwa Fandy adalah teman Niko Madawi. la mendapat informasi
banyak tentang Kumala dari Niko. Bahkan Niko lah yang menganjurkan Fandy agar me-
nemui Kumala dan membicarakan kemisteriusan disketnya itu.

Sikap gadis paranormal itu semakin akrab setelah mengetahui bahwa Fandy teman
Niko. Baginya, Niko bukan orang lain lagi. Ia sering bekerja sama dengan Niko dalam
menangani beberapa kasus misteri yang sulit dipecahkan.

Kerjasama itu terjalin dengan sendirinya, karena Niko adalah seorang reporter dari teve
swasta, sekaligus pembawa acara Lorong Gaib. Acara tersebut ditayangkan setiap
malam Jumat, dan mempunyai kelompok penggemar tersendiri. Tak heran jika wajah
Niko pun cukup dikenal oleh masyarakat pemirsa, terutama para penggemar
kisah-kisah misteri, karena seminggu sekali wajahnya muncul di layar teve.

Kumala mengenal pemuda mantan peragawan itu ketika dalam kasus kuburan tua milik
Eyang Sapubumi, (Baca serial Dewi Ular dalam episode ': "ILUSI ALAM KUBUR").
Kumala cepat menjadi akrab dengan Niko bukan hanya lantara pemuda itu berwajah
tampan, gagah dan bermata bening saja, tapi juga karena Niko selalu tampil ceria, cuek
dan punya selera humor cukup tinggi. Bahkan kekonyolan Niko kadang-kadang
menghadirkan kesan tersendiri di hati Dewi Ular.
"Sekalipun wajahnya bersih tanpa kumis, tanpa jerawat, tapi dia tetap kelihatan jantan.
Lebih-lebih dengan potongan rambutnya yang cepak dan pakaian yang selalu rapi, ia
benar- benar mencerminkan pria sejati yang punya kelas tersendiri. Sayangnya, dia
memang rada konyol-. Kekonyolannya itulah yang sering bikin orang lain salah persepsi
tentang dirinya."

Pengakuan itu dilontarkan Kumala Dewi ketika Fandy datang ke kantornya.

Gara-gara Fandy menyampaikan salam dari Niko, akhirnya Kumala bicara sendiri
tentang penilaiannya terhadap Niko Madawi. Setelah sadar bahwa penilaian itu
sebenarnya merupakan rahasia pribadi, Kumala segera mengembalikan pembicaraan
ke persoalan semula.

"Jadi selama kau melihat adegan pecahnya kapal Bintara itu, kau selalu mimpi tentang
kapal itu?"

"Benar, Kumala. Tapi maksudku bukan hanya kapal itu saja yang hadir dalam mimpiku
selama empat hari ini. Kadang aku bermimpi tentang kapal lain yang terseret pusaran
arus air, atau sebuah kapal pesiar yang hancur karena menabrak gunung karang.
Bahkan tadi malam aku bermimpi seperti berada di kapal Titanic dan ikut menjadi
korban saat kapal itu menabrak gunung es."
"Kau pernah nonton filmnya?"
"Ya, memang dua hari yang lalu aku melihat film Titanic melalui laser disc milik
temanku."

Dewi Ular menyunggingkan senyum. Manis sekali senyum tipisnya itu. Hati kecil Fandy
merasakan detak jantungnya menjadi lebih cepat karena terpesona oleh senyuman
anak bidadari itu.

"Mimpi itu nggak punya arti apa-apa bagimu, Fan. Mimpimu selama ini hanya merupa-
kan visualisasi dari apa yang kau pikirkan. Aku yakin, pasti sejak kau melihat adegan
pecahnya kapal Bintara itu, kau pasti selalu memikirkannya. Benar, kan?"

"Ya, memang benar sih Aku memikirkannya karena aku sangat heran dengan muncul-
nya gambar itu dalam komputermu "

"Kau juga selalu terngiang-ngiang suara yang ada dalam disketmu itu?"

"Benar. Suara itu seperti selalu menggema di telingaku, terutama jika aku sedang sen-
dirian. Teriakan orang minta tolong, teriakan orang sekarat, seruan memanggil orang
yang bernama Desti dan Vinon... semuanya saling bermunculan silih berganti. "

"Itu lantaran kau juga selalu memikirkan hasil.rekamanmu itu!"


"Ya, memang begitu. Aku masih nggak habis pikir, mengapa yang masuk dalam alat re-
kamanku adalah suara-suara gaib itu."

"Tapi semalam ada hal baru yang kualami, Kumala."

"Tentang apa itu?" tanya Kumala dengan pandangan matanya yang lembut dan bening
itu menatap Fandy tanpa berkedip. Pemuda itu tampak lebih serius lagi dalam
bicaranya.

"Semalam aku seperti mendengar suara seorang perempuan yang memanggil-manggil


namaku. Suara perempuan itu bercampur dengan suara deru ombak. Sepertinya dia
kenal betul dengan diriku, padahal aku merasa nggak mengenali suara tersebut."

Fandy menceritakan peristiwa aneh yang dialami sekitar pukul dua malam. Waktu itu, ia
tersentak bangun karena dering telepon dari seorang teman yang menurutnya memang
rada sableng. Fandy menggerutu sambil turun dari ranjang untuk menyambut telepon
itu.

"Fan, sorry mengganggu nih...."


"Ada apa sih, BU..,? Gila luh ya? Ini kan sudah lewat dari pukul satu malam?!"

"Sorry! Penting sekali nih," ujar Billy, teman sekantornya. "Malam ini aku masih ada di
studio nih. Sedang meng-edit serial NYANYIAN PANTAI. Soalnya besok siang harus sudah diserahkan ke
produsernya. Ngomong- ngomong... sound effect hasil
rekamanmu di Anyer itu masih ada nggak?"

"Rusak! Disketnya terbakar."


"Yaah... sayang sekali. Padahal aku butuh suara kepanikan di tepi pantai."
"Pinjam aja sama Mas Adhi. Kayaknya dia punya suara pantai."

"Tapi dalam suasana panik, Fan."


"Iya, luh tanyain aja ke sana," jawab Fandy ' dengan nada kesal.

Mestinya ia ingin menikmati istirahat malam secara total. Sudah beberapa malam ini
masa istirahat, malamnya terganggu oleh beberapa hal. Namun agaknya malam itu
belum waktunya Fandy menikmati ketenangan dalam istirahatnya, sehingga hati pun
menjadi jengkel mendapat telepon dari Billy, temannya itu.

Kejengkelan itu semakin menggemaskan, karena sejak .selesai menerima telepon dari
Billy, Fandy sulit tidur kembali. Pada saat itulah ia seperti mendengar suara kepanikan
di kapal Bintara itu. Deru omhak dan angin badai membaur dengan jeritan mereka.

"Awas tiang pataah...'"


"Aaaaaah...!"
"Vinoooon...! Vinon, di mana kaauuu...!" "Tolong...! Fan... tolong aku, Fandyy...!"

Tersentak tegang pemuda itu mendengar namanya disebutkan di sela-sela suara gaib
itu. la sempat bangkit dan duduk di tempat tidur dengan dahi berkerut taiam. Telinganya
sengaja ditelengkan, seolah-olah memburu suara-suara itu agar lebih jelas lagi
didengarnya.

"Destiii...! Kembali ke timur...!"


"Toloooong...!"
"Fandyyyyy...! Fandy, aku di siniiii..,! Tolong aku, Fandyyy...!"

Pemuda itu makin merinding dan berdebar-debar.

"Fandy...?!" gumamnya lirih. "Kenapa ada suara perempuan memanggilku?! Kayaknya


di rekaman itu nggak ada suara perempuan memanggil nama Fandy? Kok sekarang
jadi ada sih?!"

Suara itu hilang. Malam menjadi sepi. Fandy menghembuskan napasnya untuk me-
ngendurkan ketegangan. Ia berbaring lagi sambil mencoba tidak memikirkan
suara-suara tersebut.

Tapi beberapa menit kemudian, ia mendengar suara gemuruh. Sangkanya hujan turun
di malam itu. Ternyata bukan. Malam tetap tanpa hujan. Suara gemuruh itu terdengar samar-samar.
Jeritan dari kapal Bintara kembali mengusik pendengarannya, namun
dalam kondisi antara terdengar dan tidak.

"Fandy...! Ooh, tolonglah aku, Fandy. Jemputlah aku, Fan... oooh, huk, huk, huk...!"

Fandy bangkit kembali. "Ada suara perempuan menangis?! Dia seperti bicara padaku.
Suaranya seperti ada di seberang jendela kamar ini?!"

Fandy penasaran sekali, la buru-buru membuka jendela pelan-pelan, agar tak me-
nimbulkan bunyi yang dapat mengganggu siapa pun. Angin berhembus, dingin
mencekam.

Yang ada di depannya hanya kegelapan malam yang membentang, tak ada siapa pun
di sana.. Suara itu pun hilang dengan sendirinya. Bulu kuduk Fandy kembali meremang
tegang.

Wajah cantik si Dewi Ular tampak serius merenungi pengakuan Fandy itu. Pemuda
tersebut masih melanjutkan kata katanya dalam sebuah pengakuan pribadi.

"Aku benar-benar nggak ngerti apa maksud suara gaib itu. Dan aku menjadi ketakutan
sekali. Sampai pukul lima pagi aku baru bisa tidur kembali."

"Ada yang nggak beres dalam dirimu," kata Dewi Ular dengan nada pelan, seperti orang menggumam.
"Nggak beres bagimana, maksudmu?"

"Entahlah. Belum bisa kuselidiki saat ini, karena sebentar lagi ada orang yang akan me-
neleponku dan bicara tentang bisnisnya yang kacau balau itu."

"Ta... tapi kira-kira suara perempuan itu milik siapa? Atau benarkah suara itu memang
ada, dan bukan hanya suatu halusinasi saja bagiku?!"

Kumala Dewi baru mau menjawab, tiba-tiba telepon di mejanya berdering. Kumala se-
gera menyambut telepon itu. Fandy semakin kagum dan terheran-heran pada
ketajaman indera keenam Kumala. Sebelum telepon berdering, ternyata gadis cantik
berbibir sensual itu sudah mengetahui lebih dulu.

"Tapi kenapa dia nggak bisa jelaskan sekarang juga ketidak beresan dalam diriku ini,
ya?" pikir Fandy sambil termenung dalam bungkam, memberi kesempatan kepada
Kumala untuk bicara bersama si penelepon.

***

3
FANDY tinggal di rumah kontrakan. Rumah itu mungil, tapi punya halaman samping
agak lebar. Halaman tersebut dipakai untuk taman, lengkap dengan sebuah payung
pantai. Di situlah biasanya Fandy menikmati masa santainya sambil menikmati
ikan-ikan berlarian di kolam berair jernih.

Di rumah itu, Fandy tinggal bersama adik perempuannya. Ginna, adik perempuannya
itu, sudah berusia 24 tahun. Seusia dengan Kumala Dewi. Hanya gadis itulah
satu-satunya saudara Fandy.

Ginna berprofesi sebagai pramugari di sebuah maskapai penerbangan. Ginna jarang


berada di rumah. Kadang dua minggu sekali Ginna baru pulang ke rumah kakaknya itu.

Selain Ginna punya tempat kost sendiri yang dekat dengan bandara, ia juga lebih
sering berada di angkasa. Rute penerbangan ke luar negeri membuat Ginna lebih suka
bertugas daripada mengambil cuti.Praktis pemuda berwajah tampan itu lebih sering
bengong sendirian di rumah kontrakannya itu. Untung ia masih mampu menggaji
seorang pelayan lelaki. Ubay, namanya. Usianya masih tergolong remaja. Masih 18
tahun. Tapi selain rajin, Ubay juga pintar memasak dan enak diajak ngobrol.
Kadangkala kesepian Fandy terhibur oleh obrolan ringannya dengan Ubay.

Petang itu, pukul tujuh kurang Fandy sudah sampai rumah. Ubay menyambutnya dengan membukakan
pintu garasi. Pelayan bertubuh agak kurus itu sedikit heran
melihat majikannya pulang sebelum pukul sembilan malam. Sebab biasanya Fandy
selalu pulang di atas pukul sembilan malam.

"Ada yang cari aku tadi, Bay?" sambil Fandy keluar dari mobilnya.
"Pak Usman menelepon dua kali, Tuan."
"Usman? Qoh, ya... ada pesan apa dia?"

"Pesannya cuma... nanti kalau Tuan sudah sampai rumah, Tuan diminta meneleponnya
ke rumah Pak Usman."

"Hmm, terus siapa lagi yang menelepon?" sambil Fandy melangkah menuju ruang
makan lewat pintu tembus garasi. Ubay mengikutinya dari belakang sambil
membawakan tiga cas- sette video ukuran VHS hasil pekerjaan Fandy di studio.

"Nyonya Connie juga minta dihubungi malam ini juga."


'Ooo, Tante Connie...?!"

"Katanya, beliau tadi siang menelepon ke studio dan ke kantor Tuan, tapi Tuan nggak
ada di tempat. Maka beliau menelepon kemari."

Fandy tertawa pelan. "Sebenarnya aku ada di studio. Tapi malas mau terima telepon
darinya."
Ubay meletakkan tiga cassette video itu di meja kerja Fandy. Ketika Ubay ingin mening-
galkan kamar Fandy, ia sempat berhenti sebentar di depan pintu.

"O, ya... tadi ada tamu yang kemari, Tuan. Sekitar... lima belas menit yang lalu."
"Siapa?" Fandy melepas kemejanya.

"Seorang perempuan muda, Tuan. Dia mendesak agar saya menelepon ke kantor Tuan
dan memberi tahu kedatangannya. Tapi saya tetap nggak berani menghubungi Tuan."
"Perempuan muda?!" Fandy berkerut dahi. "Sudah pernah ke sini apa belum?"
"Kayaknya sih... belum pernah. Tuan. Tapi dia bilang, dia sudah kenal dengan Tuan."
"Siapa namanya?"

Ubay mengingat-ingat sambil merogoh saku celana pendeknya. Rupanya ia mengambil


selembar kartu nama yang dititipkan kepadanya. Ia membaca kartu nama itu sambil
melangkah mendekati Fandy.

"Namanya.... Vinon Samora."

"Vinon...?!" Fandy menggumam dengan nada heran, hatinya tersentak oleh nama de-
pan yang disebutkan Ubay.
Ubay menyerahkan kartu nama itu sambil tersenyum dan berkata, "Namanya cantik sekali, Tuan. Sama
cantiknya dengan wajah orang itu."

"Vinon...?!" Fandy menggumam lagi semakin tajam nada herannya. Sebab pada saat
itu ia teringat suara-suara gaib yang masuk dalam rekaman disketnya. Salah satu dari
teriakan orang di kapal Bintara itu ada yang memanggil-manggil nama Vinon.

Tanpa disadari bulu kuduk Fandy mulai merinding. Detak jantungnya menjadi cepat.
Kecemasan meremas hati, menghadirkan keresahan tersendiri. Ia membaca kartu
nama yang berlogo sebuah cafe.

Di bagian atas kartu nama berwarna pink itu tertera tulisan sebuah cafe yang pernah
beberapa kali dikunjungi Fandy: Imagine Cafe. Di bawah tulisan nama Vinon Samora
terdapat tulisan: manager. Selain alamat cafe tersebut, juga tertera alamat tempat
tinggal si pemilik kartu nama itu.

"Aku nggak kenal dengan perempuan ini!" kata Fandy seolah-olah ditujukan pada
dirinya sendiri.
"Tapi dia tahu kalau Tuan kerja di kantor film."

"Banyak sih yang tahu aku kerja di mana, cuma yang ini aku benar-benar nggak tahu
siapa dia! Orangnya kayak apa sih, Bay?"

Ubay menceritakan ciri-ciri perempuan muda yang bertubuh tinggi, sekal dan berdada padat berisi.
Menurut Ubay, kecantikan perempuan muda itu seperti bintang film
Hollywood.

"Mirip... mirip Brooke Shields deh, Tuan."


"Ah, ngaco aja luh! Kayak udah pernah .ketemu Brooke Shields aja!"
"Saya kan sering nonton filmnya dari laser disc yang Tuan beli itu?"
"Tapi... tapi aku nggak punya kenalan yang punya kecantikan seperti Brooke Shields!"

"Kalau begitu biar jadi kenalan saya aja, Tuan, ujar Ubay dalam canda. Fandy tertawa,
geli-geli kesal.
"Dia bilang apa padamu, Bay?"

"Yaah... cuma mendesak saya supaya menghubungi Tuan. Dia mau bicara dengan
Tuan. Tapi karena saya tetap nggak mau, dia kasih saya kartu nama itu. O, ya... kalau
nggak salah di belakang kartu nama itu dia menulis pesan buat Tuan."

Fandy membalik kartu nama pink itu. Ternyata memang ada pesan yang tertulis di situ
dengan tinta biru. Tulisannya kecil-kecil tapi bagus sekali. Jelas dibaca.

"Tolong luangkan waktu untukku.


Ada yang perlu kita bicarakan empat mata.
Kutunggu di Imagine Cafe malam ini.
From me: VINON'S."
Tertegun Fandy setelah membaca pesan tersebut. Kesan yang timbul saat itu adalah
hubungan yang sudah lama terjalin akrab. Padahal Fandy benar-benar merasa belum
pernah punya sahabat atau kenalan yang bernama Vinon Samora, lebih-lebih yang ber-
wajah seperti Brooke Shields, sama sekali tidak ada. Jika pesan itu merupakan
permainan dari seorang teman yang kepingin ngerjain dirinya, mengapa harus
membawa-bawa nama Vinon Samora?

Ketegangan Fandy ditinggalkan oleh Ubay. Satu-satunya cara untuk melegakan liati
yang penasaran adalah dengan menghubungi Im- agine Cafe melalui nomor telepon
yang ada di kartu nama itu.

"Maaf, Tuan Zus Vinon belum ada di tempat. Mungkin satu jam lagi beliau datang,"
jawab si penerima telepon di Imagine Cafe

"Tapi apa benar manager cafe ini bernama Vinon Samora?"

"Benar, Tuan. Coba nanti satu jam lagi Tuan telepon lagi. Mudah-mudahan Zus Vinon
sudah datang."

Kurang puas hati Fandy walau sudah mendapat kepastian, bahwa manager di cafe itu
memang Vinon Samora. Ia segera menelepon Kumala Dewi. Ia ingin tanyakan tentang
apa yang harus dilakukannya dalam menghadapi keanehan tersebut.
Sayangnya Kumala Dewi tidak ada di rumah. Mak Bariah yang menerima telepon dari
Fandy mengaku tidak tahu nomor handphone Kumala.

Rasa penasaran semakin meresahkan jiwa. Akhirnya Fandy memutuskan untuk datang
ke Imagine Cafe. Ia ingin membuktikan apakah kasus itu sebuah permainan konyol dari
teman-temannya, atau sebuah misteri yang ada hubungannya dengan musibah kapal
pada 100 tahun yang lalu itu?

***

Malam itu Kumala Dewi menghadiri resepsi perkawinan seorang teman: Antonio dan
Immelda. Pesta perkawinan itu diselenggarakan di auditorium sebuah hotel berbintang,
la harus hadir dalam perkawinan itu, karena kenal dekat dengan Immelda.

Kumala hadir bersama Pramuda agar kesendiriannya tak terlalu menyolok di antara
para undangan. Kebetulan Pramuda sendiri sangat kenal dengan Antonio, yang selama
ini menjadi rekanannya dalam berbisnis.

Tapi hubungan Kumala dengan Pramuda bukan hubungan antara sepasang kekasih.
Pramuda adalah orang pertama yang menemukan Dewi Ular saat si anak dewa itu
jatuh ke bumi, (Baca serial Dewi Ular dalam episode pertama: "ROH PEMBURU
CINTA"). Hanya si bujang lapuk itu yang mengetahui rahasia Kumala, di mana setiap bulan purnama tiba,
gadis cantik itu akan berubah menjadi seekor ular bersisik emas
dan berkepala manusia.

Itulah sebabnya Pramuda tidak mau menjalin hubungan asmara dengan Dewi Ular. la
tak berani menanggung resiko yang dapat menjadi buruk di kemudian hari. la memilih
menjalin hubungan persaudaraan dengan Dewi Ular. Dan ternyata persaudaraan itu
membawa keberuntungan tersendiri bagi Pramuda. Usahanya makin meningkat dan
berkembang setelah Kumala duduk dalam perusahaan tersebut sebagai konsultan.
"Kapan kau akan mengadakan pesta seperti ini, Pram?" bisik Kumala. "Seharusnya
sudah sejak tahun kemarin kau mengadakan pesta seperti ini. Nggak usah banyak pilih
deh, ntar bulukan luh! Ingat, usiamu sudah banyak. Ubanmu juga banyak!"

Pramuda menggerutu tak jelas. Kumala tak mempedulikan gerutuan tersebut.

"Kudengar dari Sandhi, kau sedang menjalin hubungan akrab dengan Andani, putri
konglomerat itu. Iya?"

"Kamu ini!" sentak Pramuda. "Dari rumah aku kan sudah bilang, aku mau barengan ka-
mu kemari, tapi aku nggak mau kamu bicara tentang pribadiku yang satu itu!"

Kumala justru tertawa geli. Sayang Sandhi tidak ikut di samping mereka. Sandhi
menunggu di mobil. Kalau saja ada Sandhi di samping mereka, Kumala akan semakin menggoda
Pramuda dengan sindiran yang dilontarkan kepada Sandhi.

Denting suara sendok dan- piring beradu bertaburan di sana-sini. Gemuruh percakapan
mereka bagaikan rombongan lebah sedang berpesta pora. Maklum, kala itu acara
santap malam dimulai, para undangan mengambil hidangan sendiri-sendiri secara
prasmanan.

Kumala Dewi sedikit kaget karena ada yang menegurnya dari belakang dengan nada
canda.

"Hati-hati, sendoknya jangan sampai ikut ditelan. Dewi."

Siapa lagi orang yang menyapa Kumala dengan panggilan Dewi kalau bukan si
pembawa acara Lorong Gaib di televisi itu: Niko Madawi. Gadis bergaun biru dengan
wewangian yang khas menyebar memenuhi ruangan itu buru-buru berpaling ke
belakang. Pramuda yang sedang dalam posisi memunggunginya juga ikut berpaling ke
belakang, dan memberikan senyum persahabatan kepada pemuda berambut cepak itu.

"Hei, Nik...?! Sama siapa kamu?" Kumala Dewi balas menegur ramah.
"Yaah, elu lagi, Nik?! Kirain mertuanya si Immelda?!" timpal Pramuda.

"Enak aja. Memangnya aku udah kelihatan setua Oom Hans, papanya Anfonio itu?"
sambil Niko tertawa lepas saja. "Oh, ya.... Kenalin nih asistenku yang baru: Nanu namanya."

Kumala Dewi dan Pramuda berjabatan tangan dengan Nanu. Dia seorang pemuda se-
baya dengan Niko yang punya badan sedikit lebih gemuk dari Niko sendiri. Rambutnya
agak lebat, tapi tak sampai sepundak.

"Baru datang kamu, Nik?"

"Udah dari tadi. Tapi aku tadi asyik mojok sama Pak Susman di sebelah sana."

"Pak Susman yang dikenal sebagai kolektor benda-benda pusaka itu?" sahut Pramuda.
Niko mengangguk, karena mulutnya sudah telanjur mengunyah kerupuk udang.

"Makan di mejaku aja, yuk?" usul Kumala Dewi yang tampak berharap sekali agar
dapat makan bersama Niko. Agaknya Niko dan Nanu tidak keberatan atas usul
tersebut.

"Kamu kenal sama Immelda, ya?" tegur Kumala kepada Niko.

"Yang kukenal adalah Antonio nya, bukan Immeldanya. Antonio cukup banyak mema-
sukkan iklan dalam acaraku itu."

"Ooo, pantas," sahut Pramuda lagi. la menambahkan kata sambil melirik Nanu.
"Pantas si Niko tambah gemuk. Rupanya ia panen duit dalam acaranya setiap malam
Jumat itu."

Nanu dan Niko tertawa. Nanu mengomentari dengan canda pula.

"Saya dengar si Niko malah mau kawin, sekaligus empat istri!"


"Gila!" sentak Kumala dengan geli.

"Buat ngabisin duit iklannya itu!" tambah Nanu membuat suasana mereka semakin
ceria.

Tawa mereka sesekali meledak tanpa mempedulikan keadaan mereka sedang makan.
Hanya si Dewi Ular yang tawanya tidak sampai terbahak-bahak. Sesekali saja
terdengar seperti orang menggumam dengan senyum yang amat menawan, yang
menjadi sasaran mata nakal para undangan lainnya.

Secara diam-diam Kumala sering mencuri pandang ke arah Nanu. Kadang pemuda itu
memergoki tatapan mata itu, membuatnya grogi. Tapi kadang tak tahu kalau sedang
diperhatikan gadis cantik bermata jeli.
Dalam satu kesempatan, Pramuda yang rupanya mengetahui gerak-gerik pandangan
mata Kumala itu sempat berbisik kepada saudara angkatnya.
"Kamu naksir dia, ya?"
"Naksir siapa maksudmu?"
"Nanu...?"

Kumala.hanya mencibir tipis. Saat itu Nanu dan Niko sedang memperhatikan sepasang
mempelai yang sedang foto bersama dengan para undangan lainnya.

"Goblok amat kamu. Cowok kayak gitu ditaksir?!"


"Elu yang goblok!" balas Kumala berbisik. "Siapa bilang gue naksir Nanu?"
"Arah pandangan matamu sejak tadi ke sana!"
"Karena aku melihat ada keganjilan pada dirinya."
"Keganjilan apa?"

"Ada yang bergerak-gerak di balik kulit wajahnya," bisik Kumala semakin pelan.

Mereka tak melanjutkan kasak-kusuk itu, karena Nanu dan Niko sudah tidak
memandang ke arah mempelai lagi. Tapi secara diam-diam Pramuda memperhatikan
wajah Nanu yang polos tanpa kumis selembar pun.

"Eh, Dewi... bagaimana dengan temanku itu: si Fandy?" tanya Niko.


"Sudah kusarankan agar dia jangan keluar malam ini."
"Kenapa kau sarankan begitu?"
"Ada yang nggak beres pada dirinya." "Maksudmu...?!" Niko berkerut dahi dan menyembunyikan
kecemasannya.

Sebelum Kumala menjawab, tiba-tiba Nanu tersentak dengan menarik mundur kepala-
nya. Ia terpekik pelan.

"Auh...!" sambil memegangi pipinya yang kiri.

"Hahh...?!" Niko terperanjat dengan mata terbelalak, la melihat dengan jelas ada
belatung yang keluar dari pori-pori pipi Nanu. Binatang seperti belatung berwarna,
hitam itu meloncat dari wajah dan jatuh di atas piring kotor.

"Apaan itu, Nu?!" Niko kelihatan semakin cemas. Nanu menggeleng dengan kebingungan.

"Tahu tuh...! Tadi waktu kita ada di pfo- jokan sana juga begitu. Sepertinya ada ulat
yang keluar dari kulit wajahku dan... dan. Auuuh!"

Pluk...! Ada satu lagi binatang seperti belatung yang loncat dari kulit kening Nanu...,
Pramuda memandang dengan terbengong melompong. Dewi Ular menatap Nanu
penuh curiga.

Untung saat itu acara makan mereka sudah selesai. Kalau belum, tentu saja akan
membuat perut menjadi mual, terutama perut Pramuda yang tak bisa melihat benda menjijikkan pada
saat sedang makan. Dan ternyata benda yang meloncat sendiri dari
pori-pori kening dan pipi Nanu itu masih dalam keadaan hidup walaupun berada di atas
permukaan piring kotor.

Benda itu bergerak-gerak seperti belatung.

Besarnya sama persis dengan belatung pada sesosok bangkai. Pramuda dan Niko
menjadi merinding saat memperhatikan gerakan hewan aneh itu.

Nanu tampak pucat. Pasti dia menahan rasa malu yang luar biasa besarnya. Tapi dari
raut wajahnya pemuda itu tampak bingung sendiri. Rupanya ia tidak tahu apa yang
telah membuatnya mengeluarkan belatung hitam berlendir.

"Kau bawa-bawa binatang apaan ini, Nu?" tanya Niko nyeplos saja.
"Nggak tahu! Hmrnrn, sebaiknya kita pulang saja deh, Nik. Kepalaku rasanya pening
sekali."

"Tunggu dulu!" cegah Pramuda. "Kenapa pipimu berlubang kecil, dan keningmu juga
begitu? Kenapa lubangnya seperti hangus, Nanu?"

"Entahlah. Aku sendiri bingung. Perih dan panas sekali rasanya. Kayak disundut pakai
api rokok," sambil Nanu mengusap-usap pipinya. Tapi di luar dugaan, dari salah satu
lubang hidung keluar lagi binatang aneh seperti belatung hitam itu. Pluk, pluk..:!
"Hahh...?! Dua lagi?!"' gumam Niko dengan mendelik, karena kali ini belatung hitam itu
jatuh di permukaan meja bertaplak putih itu. Warna putih dari taplak meja tersebut
membuat gerakan belatung hitam semakin
jelas.

"Auuh...! Oouh.! Uuhk...!"

Nanu tersentak-sentak beberapa kali. Pramuda dan Niko sama-sama tak bisa bergerak
untuk sesaat. Mereka melihat jelas beberapa belatung hitam berlompatan keluar dari
kulit wajah Nanu. Setiap tempat yang dijadikan jalan keluarnya belatung hitam itu selalu
meninggalkan bekas seperti luka kena sundut api rokok.

"Celaka!" gumam Dewi Ular yang sejak tadi memandang Nanu tanpa berkedip. "Cepat
carikan tempat yang sepi untuknya!"

"Ad... ada apa... dengan dirinya, Dewi?!" Niko mulai tak bisa tenang.
"Ada kekuatan gaib yang ingin merusak dirinya!"

Dewi Ular bangkit secepatnya.

"Nik, Pram... carikan tempat aman untuk si Nanu! Dia dalam bahaya yang...."
Kata-kata gadis paranormal itu terhenti seketika, karena kini ia dan yang lainnya melihat sesuatu yang
bergerak-gerak di balik kulit wajah Nanu. Sesuatu yang bergerak-gerak
itu seperti segerombolan semut yang berusaha keluar dari balik kelambu. Gerakan itu
memutar wajah, bahkan menyelusup di balik kulit kepala Nanu yang berambut lebat itu.

"Hei, lihat...! Di lengannya juga ada gerakan yang serupa dengan... dengan...."
Pramuda tak berani meneruskan kata-katanya. Tiba-tiba saja tengkuk kepalanya
menjadi merinding dan hatinya iba kepada Nanu. Pemuda teman Niko itu tampak
kebingungan mencari tempat yang aman dari jangkauan mata para undangan.

Tiba-tiba Nanu yang ingin melangkah pergi itu memekik panjang.

"Aaauuh...!"

Pekikan itu memancing perhatian tamu lainnya. Semua mata tertuju pada Nanu. Tubuh
Nanu sendiri menjadi oleng, sepertinya tak sanggup lagi untuk melangkahkan kakinya.

Bruuul...! Jeritan keras itu disebabkan oleh loncatan puluhan ekor lebih belatung hitam
yang menyebarkan bau tak sedap.

Bruuull...!

"Aa'oow...!" Nanu terpekik lagi, karena kini dari lehernya keluar serombongan binatang
aneh tersebut. "Aaoow...! Uuuh, haaakk...! Ooouuhh...!"
"Kumala, ada apa dengan temanku itu?!" seru Niko mulai panik.

Nanu jatuh berlutut. Wajahnya mengalami kerusakan di bagian pipi. Kulit wajah itu
seperti habis terbakar. Kulit tersebut koyak di sana-sini akibat belatung-belatung hitam
berhasil menjebol kulit tubuh Nanu lagi. Beberapa orang yang melihat kengerian itu
bukan hanya merinding saja, melainkan juga ikut menjerit karena ngeri dan ketakutan.
"Aaaaoow...!" Nanu berguling-guling di lantai dengan gerakan menggila. Selama dalam
bergerak cepat itulah kulit tubuh Nanu menjadi robek dan berlubang-lubang. Sementara
itu, di lantai sana-sini tampak rombongan belatung, hitam merayap, seolah-olah ingin
menguasai tempat tersebut.

Padahal saat itu Nanu sedang memekik dan menjerit-jerit menahan rasa sakit."Bawa
dia ke mobil!" seru Kumala Dewi kepada Niko. Maka dengan rasa jijik dan
mendebarkan hati, Niko dan Pramuda memaksakan diri menggotong Nanu untuk keluar
dari ruangan tersebut. Kumala Dewi bergegas mengikuti mereka, karena ia tak ingin me
lakukan pengobatan di depan mata umum.

"Ooaaaahhhhkk...!!"

Akhirnya Nanu berteriak dengan histeris. Teriakan itu membuat para undangan menjadi
panik dan saling dicekam perasaan takut. Mereka sama-sama merasa ngeri melihat perut Nanu bagaikan
jebol. Dari jebolan perut itu berhamburanlah ratusan belatung
hitam berlendir yang menyebarkan bau amis bercampur bau busuk.

Prarnuda tersentak kaget dan sangat jijik melihat ratusan belatung hitam. Rasa
kagetnya membuat pegangan tangannya pada lengan Nanu dilepaskan. Gerakan
refleks itu juga dilakukan oleh Niko. Akibatnya, Nanu jatuh ke lantai dan
menggelepar-gelepar dalam keada an sekujur tubuhnya rusak, seolah-olah ada yang
mencabik-cabiknya dengan senjata tajam tanpa kenal belas kasihan sedikit pun.

"Nanuuu...! Nanu, ada apa dengan dirimu sebenarnya?! Kenapa kau jadi kayak gitu,
Nanuuu...!" seru Niko dengan panik dan ketakutan.

Dewi Ular segera bertindak. Tak peduli di depan umum, tak peduli akan dianggap
pamer ilmu, yang jelas gadis itu harus menyelamatkan nyawa Nanu, melawan kekuatan
gaib jahat yang berbentuk ratusan belatung hitam itu. Namun apakah Dewi Ular
berhasil menyelamatkan nyawa Nanu, jika keadaan Nanu menjadi lebih parah lagi?
Punggungnya ikut jebol dan menyemburkan ratusan belatung hitam, bahkan sampai
telapak kakinya juga ikut koyak menyemburkan hewan-hewan kecil yang menjijikkan
itu.

Setiap orang bertanya-tanya dalam hati, apa yang menjadi penyebab Nanu mengalami
siksaan seperti itu?

***

4
IRAMA musik lembut mengalun dengan nuansa romantis. Malam itu, Imagine Cafe
dihibur oleh permainan piano tunggal yang dimainkan oleh seorang wanita pianis
berwajah indo. Para tamu menikmatinya sambil menikmati hidangan dan perbincangan
pelan.

Fandy masuk ke cafe itu dengan tenang. Sekalipun hatinya diliputi keresahan, namun ia
bisa menutupi dengan penampilannya yang kalem. Ia langsung menuju meja bar, dan
seorang bartender pun mendekatinya. Senyum sang bartender adalah senyum
keramahan penyambutan tamu dan langganan.

"Bisa saya bantu, Bung?"


"Hmmm, saya mau bertemu dengan manager cafe ini. Vinon Samora."
"Ooh, sebentar. Silakan duduk dulu!"

Bartender itu segera pergi ke meja aiphone. Ia bicara sebentar, entah apa yang
dibicarakan.

Fandy sengaja menunggu sambil memandangi wajah-wajah tamu yang hadir malam itu.
Dalam hati Fandy menggumam seperti bertanya pada diri sendiri, "Di mana wajah
cantik mirip Brooke Shields itu? Kayaknya di sini nggak ada?!"
Bartender itu mendekatinya dan bicara dengan sopan.

"Maaf, Bung. Apakah Anda yang bernama Bung Fandy?"


"Ya, benar. Saya Fandy!"
"Ooh, kalau begitu.... Anda ditunggu Zus Vinon di ruang kerjanya."
"Di mana ruang kerjanya?"
"Anda bisa melewati jalanan menuju toilet itu. Sebelum sampai pojok, ada pintu berkaca
buram. Masuk saja. Itu ruang kerja manager kami yang baru."
"Oo, Zus Vinon manager baru di sini?".
"Benar. Baru satu minggu beliau menggantikan posisi Tante Monie, manager kami yang
lama ."

Fandy manggut-manggut dengan gumam lirihnya. Setelah mengucapkan terima kasih,


Fandy pun melangkah mengikuti petunjuk bartender tadi. Hatinya sempat
berdebar-debar diliputi kecemasan dan perasaan minder. Tapi perasaan seperti itu
berhasil ditenangkan sebelum ia mengetuk pintu kamar berkaca buram.

Hampir saja Fandy tak mempercayai penglihatannya sendiri pada saat seorang wanita
membukakan pintu itu dengan senyum menawan. Ternyata apa yang dikatakan Ubay
memang benar. Wanita muda yang baru berusia sekitar 27 tahun itu memang mirip
sekali dengan Brooke Shields. ia bertubuh tinggi, berbadan sekal, pinggulnya meliuk
indah penuh kepadatan, dadanya juga membusung indah berkesan montok.
"Masuklah Jangan bengong aja di situ!" tegur perempuan berambut hitam berkilauan
sepanjang punggung. Rambut itu bergelombang dan mirip sekali dengan rambutnya
Brooke Shields ketika berperan dalam film Blue Lagon.

"Anda yang bernama Vinon Samora?" tanya Fandy menunjukkan rasa kurang percaya
pada dirinya sendiri.

Wanita cantik' yang mengenakan blazer biru tua dengan hiasan benang emas itu hanya
semakin melebarkan senyumannya ketika mendengar pertanyaan Fandy itu. Ia
mempersilakan Fandy untuk duduk dengan bahasa isyarat. Fandy pun duduk di sofa
panjang yang ada di sudut ruangan tersebut. Sang manager cantik itu duduk pula di
sofa depan Fandy, tak peduli sikap duduknya itu membuat span ketat yang dikenakan
sedikit tersingkap naik dan ' membentuk celah tersendiri yang mengundang kenakalan
mata Fandy. Tentu saja napas Fandy menjadi lebih sesak lagi, dan ia terpaksa
menghelanya dalam-dalam untuk mengatasi debar-debar dalam dadanya.
"Betisnya indah sekali?!" gumam hati Fandy penuh kekaguman. "Putih, mulus, tanpa
stocking, dan... ya ampun! Betis belalang itu mempunyai paha yang mampu membakar
hasratku yang mengeringkan seluruh darahku. Gila bener nih orang!"

Wanita cantik berbibir sensual sekali itu menatap Fandy dengan pandangan sedikit
sayu. Senyum tipis yang masih tetap mekar di bibirnya telah membuat Fandy merasa ditantang untuk
saling beradu pandang. Namun gemuruh dalam dada Fandy tak
sanggup menerima tatapan mata selembut itu. Fandy terpaksa mengubah suasana
agar tak terlalu lama saling membisu.

"Terus terang, aku sangat terkejut dan terheran-heran ketika pelayanku menyerahkan
kartu namamu. Aku masih sangsi, apakah benar kartu nama itu untukku atau mungkin
salah alamat?"

"Memang untukmu," jawab sang manager berjari lentik. Ia mengambil sebatang rokok
putih dan menyalakannya dengan cuek. Santai sekali kelihatannya.

"Sebenarnya... sebenarnya aku merasa asing denganmu. Rasa-rasanya aku belum


pernah kenal denganmu, Vinon."

"Tapi sekarang kau sudah mengenalku, bukan?"


''Ya, tapi... tapi itu lantaran kau memaksaku datang kemari."
"Aku terpaksa mengundangmu karena aku yakin sulit sekali untuk menemuimu di
rumah."

Suaranya yang terdengar sedikit serak tapi bernada mesra itu sempat membuat hati
Fandy semakin deg-degan. Diakui oleh hati kecil Fandy, perempuan cantik itu memang
mempunyai daya pikat yang sangat tinggi. Ia seperti magnit , yang sulit dihindari daya
tarik oleh logam mana pun juga.
"Apakah kau merasa kecewa bertemu denganku?" sambil si manager cantik itu pindah
duduknya ke sebelah Fandy. Aroma parfumnya terserap tajam ke hidung Fandy. Aroma
parfum itu punya kelembutan dan wewangian yang memaksa seseorang harus
berkhayal tentang asmara dan ranjang.

"Bukan soal kecewa atau tidak Bagiku, undanganmu ini benar-benar sesuatu yang
sangat sensasional. "

Si manager cantik tertawa pelan. Suara tawanya terdengar serak-serak basah.

"Sebenarnya... sejak kapan kau mengenalku?"


'Sejak kapan itu tak perlu. Yang perlu kau ketahui, aku kenal dirimu dari seorang
teman."

"Siapa nama temanmu itu?"


"Syanne."

Dahi pun berkerut tajam. "Siapa itu Syanne?! Aku nggak punya teman atau kenalan
yang bernama Syanne?! Baru sekarang kudengar ada nama Syanne."
"Tapi nama Vinon sudah kau dengar, bukan?"
"Hmm, eeh... aku... aku memang pernah' mendengar nama Vinon. Tapi... tapi itu... aah,sudahlah! Sulit
bagiku menjelaskannya. Pada dasarnya aku belum pernah kenal
denganmu dan baru sekarang bertemu dengan yang bernama Vinon."

"Akulah yang bernama Vinon. Masa' kamu nggak percaya sih?"


"Iya. Aku percaya kau bernama Vinon Tapi sebelum ini kita nggak pernah bertemu,
bukan?"

"Pernah. Tapi mungkin kau memang lupa," jawab Vinon sambil berdiri dan melangkah
mendekati meja kerjanya yang berwarna coklat mengkilat dan bertepian kuning emas
itu. Fandy masih berkerut dahi, merasa heran dengan pernyataan tersebut, la
memandangi Vinon yang seolah-olah tak mempedulikan tatapan mata tamunya itu.
Vinon membuka laci meja kerjanya. Ada sesuatu yang diambilnya dari dalam laci itu.
Kemudian ia kembali duduk di samping Fandy dengan langkahnya yang gemulai. Saat
duduk kembali itu, span ketatnya lebih tersingkap lagi, Sehingga kemulusan pahanya
seolah-olah sengaja dipamerkan di depan mata Fandy.

"Kau masih ingat gadis dalam foto ini?"

Vinon menyodorkan sebuah foto tanpa bingkai. Foto itu tampak kumal dan buram.
Warnanya hanya hitam putih dan mempunyai bercak-bercak coklat di bagian sudutnya.
Tepian foto itu pun geripis, seperti dimakan ngengat. Jelas foto itu adalah foto usang
yang mungkin usianya jauh lebih tua dari usia Fandy sendiri.
Di dalam foto itu ada gambar seorang gadis bergaun putih panjang, berpotongan kuno
sekali. Si gadis membawa payung dan mengenakan topi kecil pada rambutnya yang
disanggul itu. Wajahnya masih terlihat cantik. Tapi kecantikan itu menurut Fandy adalah
kecantikan klasik yang hanya dimiliki oleh putri-putri bangsawan Belanda pada zaman
dulu.

"Aku nggak kenal dengan gadis ini. "


"Ini adalah Syanne, putrinya Mister Goverr Mook, hakim yang terkenal bijak dan adil itu.
Apakah kau masih belum ingat?"

"Bukan ingat, tapi semakin heran! Mungkin kau salah orang. Bukan Fandy aku orang
yang kau anggap kenal Syanne dan kenal dirimu. Mungkin Fandy lain."

Vinon menggeleng-geleng dengan senyum manis.

"Aku nggak salah alamat, kau memang Fandy-ku."

Kata-kata Vinon itu semakin membuat Fandy jadi senewen sendiri. Ia tak paham betul
apa maksud kata-kata 'Fandy-ku' tadi. Timbul kecurigaan di hati Fandy tentang wanita
cantik berbeiahan dada lebar itu sebagai wanita yang terganggu kesehatan jiwanya,
alias gila. Merinding juga bulu kuduk Fandy membayangkan duduk bersama dalam
ruangan tertutup tanpa orang lain kecuali seorang wanita gila.
"Barangkali dengan melihat yang satu ini, kau akan ingat tentang hubungan kita,
Fandy."

Vinon menyodorkan selembar foto lagi. Foto itu juga terkesan kuno dan tanpa warna,
kecuali warna hitam dan putih. Walaupun keadaan foto itu sudah memburam dan akibat
dimakan usia, tapi gambar yang ada pada foto itu masih bisa dilihat dengan jelas.

Fandy terkejut sekali dengan, mata melebar dan tangannya segera menyambar foto
tersebut. Ia memandangi foto itu lebih dekat lagi dengan jantung berdetak sangat cepat.
Tangan yang memegangi foto itu menjadi gemetar, karena dalam foto itu terdapat
gambar sebuah kapal yang sedang bertolak dari pelabuhan.

Kapal itu adalah kapal yang dilihat Fandy dalam layar monitor komputernya Kumala. Di
bagian depan kapal bertiang layar dua itu tertera jelas tulisan yang berbunyi: BINTARA
- 1898. Beberapa orang yang berdiri di dack tampak melambaikan tangan kepada si
pemotret.

Ada juga empat perempuan bergaun panjang yang ikut melambaikan tangan. Salah
satu dari keempat wanita tersebut melambaikan tppinya. Perempuan yang
melambaikan topinya mempunyai wajah yang mirip Vinon.

Semakin sesak lagi pernapasan Fandy setelah mendekatkan foto itu ke matanya. Dan
ia melihat gambar seorang lelaki berkemeja lengan panjang berdiri di samping perempuan yang
melambaikan topi. Lelaki berkemeja lengan panjang itu berambut
pendek dan ikut melambaikan satu tangan. Tetapi bukan sapu tangan tersebut yang
membuat Fandy tegang, melainkan wajah lelaki itulah yang mendebarkan hati Fandy.
Wajah tersebut mirip sekali dengan wajahnya sendiri jika sedang berambut pendek.

"Ak... aku... aku nggak tahu... apa... apa maksudmu menunjukkan foto ini padaku,
Vinon?' ucap Fandy dengan suara bergetar dan terputus-putus.

Belum sempat Vinon menjawab, terdengar seseorang mengetuk pintu. Karena keadaan
pintu tidak terkunci, maka Vinon hanya berseru dari tempatnya.

"Masuk...!"

Seraut wajah manis berambut pendek muncul dari balik pintu. Wajah manis itu milik
gadis yang tadi membukakan pintu saat Fandy mau masuk ke cafe. Gadis itu
mengenakan celana dari bahan kain hitam dan kemeja lengan panjang warna putih,
ditambah dengan dasi kecilnya yang berwarna hitam pula.

"Ada apa, Innes?" sapa Vinon yang cepat berubah sikap menjadi tegas, penuh wibawa.

"Zus Lieza datang lagi!"

"Hahh...?!" Vinon tersentak kaget. Lalu ia kelihatan gugup dan kebingungan.


"Hmmm, eeh... tolong kau hambat dulu dia. Jangan sampai masuk kemari. Kalau dia
menanyakan diriku, bilang saja aku sedang bicara penting dengan seorang relasi,
begitu!"

Innes pun pergi. Tapi wajah Vinon masih tampak tegang. Tentu saja ketegangan
tersebut membuat Fandy terheran-heran memandanginya. Sekalipun Vinon berusaha
menyembunyikan kepanikannya, tapi dari sorot matanya Fandy dapat .„melihat rasa
ketakutan yang mencekam hati Vinon. Perempuan cantik itu seolah-olah tak bisa
mendapatkan ketenangan seperti tadi.

"Fan, kumohon kau keluar sebentar lewat pintu samping toilet itu. Sebentar saja, dan ja-
ngan ke mana-mana! Nanti kalau keadaan sudah aman, kau akan kubawa masuk
kemari lagi."

"Hei, hei... ada apa ini?! Kenapa kau menjadi tegang sekali begitu?"
"Lieza datang! Lieza sudah ada di sini!"
"Siapa itu Lieza...?! Mengapa kau sangat ketakutan dengan Lieza?!"

"Pokoknya keluarlah dulu lewat pintu samping!" sambil Vinon mendorong-dorong Fan-
dy. "Jangan sampai Lieza melihatmu ada di sini. Pergilah dulu sesaat!"

Dengan hati kesal, Fandy pun akhirnya keluar lewat pintu samping. Sebenarnya ia bisa saja langsung
pulang, bersikap masa bodoh terhadap si cantik Vinon dan cafenya.
Tetapi foto yang mengejutkan tadi telah membuat hatinya sangat penasaran. Ditambah
lagi dengan ketegangan Vinon terhadap kedatangan perempuan bernama Lieza, telah
membuat hati Fandy sendiri menjadi sangat ingin tahu siapa Lieza itu sebenarnya?

***

Nanu dibawa pulang ke rumah Pramuda, karena rumah yang paling dekat dengan hotel
tersebut adalah rumah Pramuda. Sementara itu, Niko yang diliputi perasaan takut dan
cemas itu mengemudikan mobilnya sendiri, mengikuti BMW kuning yang dikemudikan
oleh Sandhi.

Niko tak henti-hentinya memikirkan nasib asistennya itu. Dugaan awal yang muncul di
benak Niko adalah faktor keracunan: la menyangka Nanu keracunan makanan yang
membuat munculnya belatung-belatung hitam berlendir itu. Tapi separuh hatinya sendiri
membantah dugaan tersebut.

"Kalau benar Nanu keracunan makanan di tempat pesta tadi, mengapa hanya dia yang
mengalami nasib semalang itu? Mengapa aku nggak seperti dia, Pramuda, Kumala dan
para undangan lainnya nggak mengalami hal yang sama? Atau... mungkin dia
keracunan dari tempat lain?!"

Praduga tentang faktor keracunan itu segera disingkirkan dari enaknya setelah ingat, bahwa sejak tadi
siang, Nanu selalu bersamanya. Bahkan mereka sempat makan siang
bersama di sebuah restoran dengan menu yang sama pula. Jika racun itu ditelan Nanu
dari restoran tersebut, maka Niko pun pasti akan mengalami nasib yang sama. Toh
ternyata dia tidak mengalami peristiwa ganjil, seperti Nanu?

"Untung kami tadi bertemu dengan Kumala. Kalau nggak ada Kumala, mungkin saat ini
Nanu sudah kehilangan nyawanya."

Niko masih terbayang saat Kumala turun tangan.. Gadis paranormal itu mengeluarkan
cahaya putih dari telapak tangannya yang diarahkan ke tubuh Nanu. Erangan sekarat
yang dialami Nanu pun lama-lama berhenti setelah cahaya putih dari telapak tangan
Dewi Ular meresap di sekujur tubuh Nanu.
Bukan hanya rasa sakit Nanu yang hilang pada saat itu, tapi juga belatung-belatung
berlendir itu lenyap tanpa tersisa satu pun. Mereka hilang bagaikan terserap angin dan
tak meninggalkan bekas sedikit pun. Sementara itu, luka-luka parah di tubuh Nanu pun
mengeluarkan asap, bergerak-gerak pelan, dan akhirnya merapat kembali. Para
undangan yang mengerumuni Nanu terperangah tanpa bisa melontarkan sepatah kata
pun melihat tubuh Nanu bersih dari luka. Rasa kagum mereka kepada gadis cantik
berhidung mancung itu telah membuat mereka bagaikan kehilangan seribu bahasa.

Suasana tempat pesta menjadi sepi. Sunyi sekali. Band dan kegiatan apa pun terhenti.
Seolah-olah alam dibuat mati dalam beberapa saat oleh kesaktian Dewi Ular. Bahkan sampai Sandhi
datang dan menggotong Nanu yang lemas bersama Pramuda, semua
orang masih terbungkam tanpa suara. Mereka hanya memandangi kepergian Dewi Ular
dengan mata sulit berkedip.

Setelah Dewi Ular dan yang lainnya masuk ke mobil, suasana pesta itu kembali riuh.
Sepertinya mereka baru sadar dari keterpakuan yang misterius. Alam bagaikan hidup
kembali. Tapi mereka tak sempat bertanya ini-itu kepada Dewi Ular, sebab BMW kuning
dan Escudo merahnya Niko sudah meluncur pergi meninggalkan areal parkir hotel
tersebut.

Nanu dibawa ke rumah Pramuda atas usul Dewi Ular. Keadaan Nanu seperti orang
linglung, tak tahu apa-apa. Tubuhnya bagaikan tak bertulang. Lemas, lunglai,
seolah-olah bisa dilipat-lipat untuk dimasukkan dalam dompet.

"Kekuatan gaib jahat nyaris merenggut nyawanya," kata Kumala saat di dalam mobil.
"Kekuatan gaib itu.sangat besar dan berbahaya sekali."

"Dari mana asalnya?" tanya Pramuda yang memangku kepala Nanu di jok belakang.

"Belum kuselidiki dari mana asalnya. Yang jelas, lolosnya energi gaib itu telah membuat
seluruh urat-syaraf Nanu menjadi lumpuh."

"Apakah dapat dipulihkan kembali?"


"Bisa. Tapi butuh waktu secepatnya dan tempat yang tersendiri. Nggak bisa kulakukan
di tempat seramai tadi. Nanti orang sangka aku dukun cabul yang mau pamer ilmu di
depan orang banyak."

"Dukun cabul?!" gumam Sandhi pelan sekali. Kumala mendengar gumam yang menjadi
simbul ketidakpahaman itu. Maka ia pun menambahkan kata dalam penjelasannya.

"Pengobatan itu harus dilakukan dengan telanjang bulat."


"Hahh...?!" Pramuda dan Sandhi sama-sama terperanjat. "Kau mau telanjang bulat?!"
"Bukan aku yang telanjang bulat, tapi Nanu!"
"Ooooo...," Pramuda dan Sandhi sama-sama menggumam lega.
"Dasar otak kalian ngeres melulu!" gerutu Kumala sambil bersungut-sungut.

"Membebaskan seluruh urat syaraf dari kelumpuhan gaib harus dilakukan dengan
telanjang bulat. Nggak boleh terhalang selembar kain pun."

"Wah, kalau begitu kamu akan menyaksikan pemandangan yang indah dong," sindir
Sandhi dengan nyengir konyol. Pramuda tertawa pelan.

"Justru itu aku minta kalian ikut berada di sekelilingnya! Aku nggak berani
melakukannya sendiri. Takut."
"Takut apa?" pancing Sandhi.
"Takut ada yang bangun."

Sandhi dan Pramuda sama-sama tertawa lagi. Tapi mereka tak berani tertawa keras-
keras atau berkepanjangan. Karena ;pada saat itu sikap Kumala menunjukkan
keseriusan.

Sampai di rumah Pramuda, pengobatan secara gaib itu benar-benar dilakukan. Kumala
memejamkan mata lebih dulu, kemudian Niko dan Pramuda melepasi pakaian Nanu
yang dibaringkan di atas lantai beralaskan kasur lipat. Dengan begitu, Kumala tidak
melihat apa saja yang terpapar di depannya pada saat melakukan pengobatan
terhadap diri Nanu.

Kedua tangan Dewi Ular bergerak menyamping. Gerakan itu menimbulkan cahaya hijau
yang menyiram sekujur tubuh Nanu. Tubuh tersebut segera bergetar. Makin lama
makin kuat. Nanu tersent^k-sentak dengan suara mengerang lirih.

Dalam sekejap kemudian, cahaya hijau itu padam. Nanu terhempas lemas dan
terengah-engah Tapi ia sudah dalam keadaan sadar, anggota tubuhnya sudah bisa
bergerak sebagaimana mestinya. Pramuda segera melemparkan sarung kepada Nanu.

"Ad... ada apa?! Ada apa dengan diriku?!" Nanu tampak kebingungan sekali. Ia
buru-buru mengenakan sarung itu untuk menutupi bagian tertentu.
"Nanu sudah memakai sarung, Dewi!" bisik Niko. Maka gadis cantik itu pun mulai berani
membuka matanya.

Rupanya pada saat perut Nanu jebol didesak ratusan belatung gaib itu, ia sudah, mulai
tak sadar. Tapi awal terjadinya loncatan belatung yang jatuh ke piring kotor, masih ada
dalam ingatannya. Wajah yang sudah segar itu menjadi semburat pucat kembali
setelah Ku- mala bicara dengan nada serius kepadanya.

"Ada kekuatan gaib yang mengancam nyawamu. Entah dari mana asalnya, yang jelas
kekuatan gaib itu seakan menuntut balas jasa padamu. Kau harus membayarnya
dengan nyawamu.'

"Ooh... celaka aku ini!" geramnya dengan nada sangat ketakutan.

"Aku melihat seraut wajah cantik di kedua bola matamu," kata Kumala yang sejak tadi
menatap Nanu tanpa berkedip. "Seraut wajah cantik itu bertahi lalat kecil di sudut
bibirnya. Dialah si pemilik kekuatan gaib yang mengharapkan kematianmu!"

"Wajah cantik...?! Bertahi lalat kecil di bibir?!" Nanu menggumam sambil mencoba
mengingat-ingat wajah yang dimaksud Kumala Dewi itu.

***
5
HAMPIR setengah jam lamanya Fandy berada di samping bangunan yang dipakai
sebagai cafe itu. Hampir saja ia berang dan pergi tanpa pamit. Namun sebelum niatnya
itu dilaksanakan, ia segera melihat Vinon keluar dari pintu samping juga.

"Di mana mobilmu, Fan?"


"Ada di depan sana!"
"Kalau begitu, cepat ambil mobilmu dan jemput aku di tikungan jalan itu."
"Kita mau ke mana nih?"
"Lakukan saja!" tegas Vinon sambil bergegas melangkah. Ia sempat pula
menambahkan kata dengan suara sedikit berseru, "Kalau ada yang menyapamu
diamkan saja. Jangan menengok. Anggap saja namamu bukan Fandy!"

"Aneh...?!" gumam pemuda tampan itu sambil menyingkapkan rambut panjangnya yang
sempat meriap di pipi kanan.

Fandy mengikuti perintah itu. Vinon benar-benar menunggunya di dekat tikungan jalan.

Setelah perempuan cantik itu masuk ke mobil butut Fandy, tanpa diminta ia sudah
bicara lebih dulu.
"Soalnya, si Lieza masih ada di dalam sana. Kebetulan tadi kulihat dia sedang bicara
dengan seorang pemuda sebaya denganmu. Aku takut dia keluar dan memergokimu di
tempat parkir."

"Memangnya kalau dia memergoki diriku, kenapa sih?"


"Nanti saja kuceritakan. Apakah kau juga nggak ingat tentang Lieza?"
"Mampus saja aku kalau kau buat kebingungan terus-menerus begini!" gerutu Fandy,
tapi Vinon justru tertawa kecil bernada manja.

Eeh, perempuan cantik itu justru bersandar di pundak Fandy. Sikapnya seolah-olah
menunjukkan bahwa ia sudah biasa dimanja oleh Fandy. Tentu saja hal itu membuat
Fandy menjadi kikuk dan kian kebingungan. Laju mobilnya sempat labil karena kedua
tangannya gemetar merasakan sentuhan kepala Vinon itu.

"Usahakan jangan sampai dia menyentuhmu lagi, Fandy."

"Omonganmu makin ngaco aja! Kenal sama Lieza aja belum, bagaimana mungkin
akudan dia akan bersentuhan?!"

"Syukurlah kalau kau yakin nggak akan bersentuhan dengannya."

Tiba di perempatan lampu merah, Fandy dibuat bingung oleh arah.


"Hei, mau ke mana kita ini?"
"Pulang saja ke rumahku."
"Ya, tapi ke mana arahnya? Lurus, ke kiri, ke kanan, atau mundur?" Fandy
menampakkan kekonyolannya buat menghibur hatinya sendiri. Vinon tertawa sambil
mencubit lembut pipi pemuda itu.
"Ke kiri dong. Masa' mau ke kanan?"
"Habis aku memang belum tahu di mana tempat tinggalmu?!"
"Tempat tinggalku di apartemen!"

Apartemen tersebut mempunyai sebelas lantai. Hanya orang-orang eksekutif yang


menempati apartemen tersebut, terutama orang asing dan beberapa pengusaha yang
menyimpan istri mudanya. Vinon menempati unit apartemen di lantai tiga. Di sana ia
tinggal seorang diri. Sungguh janggal bagi wanita secantik Vinon untuk menempati
apartemen sendirian. Tapi itulah kenyataan yang terjadi, menurutnya.

"Aku mempunyai satu foto lagi yang mudah-mudahan dapat mengembalikan ingatan-
mu," katanya. Lalu, ia menyodorkan selembar foto ukuran poscard. Lagi-lagi Fandy
merasa kesal karena disodori foto kuno yang sudah buram dan berwarna hitam-putih.
Sekalipun demikian, gambar dalam foto itu masih bisa dilihat tanpa harus
menggunakan kaca pembesar.

Tapi ternyata foto itu juga membuat Fandy berkerut dahi penuh rasa heran. Gambar dalam foto itu
menampakkan empat orang gadis mengenakan gaun model kuno.
Mereka tampak bergaya di sebuah taman berumput halus. Di antara empat orang gadis
itu, ada seorang pemuda yang berdiri di tengah-tengah mereka. Pemuda yang ada
pada foto itu mempunyai wajah mirip sekali dengan Fandy, sedangkan gadis yang ada
di sebelah kirinya mirip sekali dengan Vinon. Potongan rambut gadis itu juga serupa
dengan potongan rambut Vinon; hitam bergelombang dengan panjang melewati bahu.

Vinon menunjuk gadis-gadis yang ada di deretan ujung kanan dan kiri.

"Ini Maria dan ini Syanne."

"Mari...?" gumam Fandy pelan. Ia merasa asing dengan wajah milik Maria, sebab ia pu-
nya teman yang bernama Maria, tapi wajahnya tidak seperti gadis dalam foto itu. Kini
Vinon menunjuk wajah cantik di sebelah kanan dan kiri dari pemuda yang berpakaian
kuno itu.

"Ini dia si Lieza dan ini aku."


"Kau.,.?! Kau dan Lieza ada di sini?!"

Vinon mengangguk dengan tersenyum girang.

"Pemuda tampan ini adalah kau sendiri, bukan?!"


Werr...! Foto itu dibuang seenaknya oleh Fandy.

"Aku bisa gila dalam semalam kalau begini caranya!" gerutunya dengan cemberut.

"Kenapa kau bersikap begitu, Fandy?"

"Yang bener aja?! Masa' aku ada di foto itu?! Itu kan foto lama, mungkin lebih tua dari
usiaku!"

"Tapi ini memang foto kita, Fandy'" sambil Vinon mengambil foto itu kembali.
'"Mana mungkin?! Saat foto ini dibuat, aku belum lahir. Bahkan mamaku juga belum
lahir!"

Vinon sengaja meletakkan foto itu di meja depan sofa tempat mereka duduk. Dua foto
yang tadi diambilnya dari laci meja kerjanya juga ikut dipajang di atas meja tersebut.
Pandangan mata Fandy tertuju pada foto kapal BINTARA - 1898 itu.

"Jadi sedikit pun kau tak ingat padaku, Fandy?" suara Vinon semakin lirih, bernada
sedih. Matanya tetap memandangi foto-foto itu.

"Aku memang tak punya masa lalu sedikit pun denganmu, lebih-lebih dengan yang ber-
nama Lieza itu."
Vinon menatapnya, bola mata indah itu mulai berkaca-kaca. Keceriaannya sirna dari
wajah antik dan berganti kemurungan yang menduka.

"Kalau begitu sia-sia saja aku datang menjemputmu. Aku yakin, pasti kau sudah
berpaling kepada perempuan lain dan melupakan diriku."

Bola mata itu semakin basah. Fandy semakin serba salah. Pelan-pelan pandangan
mata Vinon beralih kepada foto-foto itu lagi. Tapi ia tetap berkata dengan suara
mengharukan.

"Sia-sia saja kubawa foto itu ke mana-mana untuk memulihkan ingatanmu, tapi rupanya
seluruh jiwamu telah tertutup kecantikan perempuan lain, sehingga kenangan dalam
foto itu tak membekas sedikit pun dalam hatimu."

Tersentuh hati Fandy mendengar kata-kata Vinon. la merasa tak seharusnya ngotot di
depan perempuan itu. Mungkin ada sesuatu yang mengguncangkan jiwa perempuan
tersebut, sehingga mestinya ia menanggapi dengan kelembutan dan kesabaran.

"Vin, mmm... maafkan aku...."

Vinon berpaling menatapnya. "Aku... aku rindu sekali padamu, Fandy...."

Ucapan yang membisik kian mengharu di hati Fandy. Air mata Vinon pun meleleh membasahi pipinya
yang halus lembut bak pipi bayi itu. Bibir sensual itu digigitnya
sendiri untuk menahan isak tangis yang terasa mendesak dada.

Pelan-pelan tangan Fandy pun menyentuh pipi itu. Pelan-pelan juga air mata Vinon
diusap dengan punggung jari-jari tangannya.

"Maafkan aku, Vin .. !. Aku benar-benar tak tahu siapa dirimu."


"Aku rindu padamu...," suara Vinon makin kecil, makin terkubur dalam duka.

Akhirnya tangis itu pun lepas tercurah. Vinon memeluk Fandy erat-erat Perasaan Fandy
semakin iba, dan ia tahu apa yang dibutuhkan perempuan itu. Maka pelukan Vinon pun
dibalasnya. Cukup erat Fandy memeluk Vinon, cukup lembut ia mengusap-usap kepala
dan punggung perempuan tersebut.

"Fan, aku ingin kita bersatu lagi seperti dulu. Aku ingin kemesraan kita tak diganggu lagi
oleh Lieza. Aku sangat mencintaimu, Fan... aku mencintaimu...," suara Vinon
timbul-tenggelam di sela-sela isak tangisnya. Fandy sengaja diam, menyimak duka itu
dengan lebih bijak lagi.

Kini wajah Vinon berada di depan Fandy. Kedua tangan Vinon mengusap-usap pipi
Fandy dengan air mata masih berderai. Sekalipun Fandy sibuk mengeringkan air mata
itu dengan tangannya, namun air mata itu terasa semakin deras mengalir membasahi
wajah berkulit lembut itu.
"Aku tak ingin Lieza merebutmu dari pelukanku. Aku tak mau kau jatuh dalam
pelukannya lagi. Akulah yang pertama-tama mencintaimu, Fandy. Akulah yang pertama
kali kau cium sebelum akhirnya kakakku merebutmu dari pelukanku."

"Siapa kakakmu itu?" tanya Fandy dengan tetap lembut.

"Lieza! Tapi biar dia kakakku, sekarang aku tak mau mengalah. Setelah kurasakan
sakitnya hati ini saat mendengar kau ingin bertunangan dengannya, aku bertekad untuk
merebutmu dari tangan Lieza!"

"Aku mengerti. Tapi jangan kau menangis lagi, Vinon."

"Aku menangisi penyesalanku. Aku menangisi kebodohanku. Mengapa kubiarkan Lieza


menguasai hatimu, padahal aku sangat membutuhkan dirimu. Aku ingin kau
menggenggam tanganku selamanya, seperti yang kau lakukan saat terakhir kita akan
berpisah."

"Kapan itu terjadi?"

"Sebelum akhirnya kapal kita hancur di .tengah lautan."

Werrrr...! Sekujur tubuh Fandy merinding mendengar ucapan lirih Vinon. Darahnya bagaikan mengalir
dengan deras, hingga membuat kedua kakinya terasa gemetar.

"Kau menggenggamku ketika badai itu menenggelamkan kita ke dasar samudera. Kau
tetap menggenggamku ketika jiwa kita melayang-layang tanpa tujuan, dan... dan kabut
hitam itu memenjarakan roh kita selama seratus tahun."

"Roh kita...?!" Fandy mendesah semakin cemas.

"Itulah sebabnya kubiarkan seruan Papa saat musibah itu terjadi. Tak kupedulikan
semua bencana yang ada, selama aku tetap dalam genggamanmu. Aku bahagia sekali
saat itu. Aku merasa kebahagiaan saat itu tak terganggu oleh kehadiran Lieza."

"Vin, ak... aku... aku...."

"Tapi kenapa saat kau dapat lolos dari kabut iblis itu, kau tidak menjemputku lagi, ,
Fandy? Padahal aku berharap, kau datang lagi untuk membebaskan jiwaku dari penjara
iblis itu."

"Maaaaf... maaf...." Fandy tak bisa bicara. Vinon memeluknya kembali.

"Tapi saat itu aku merasa terhibur oleh janjimu. Janji untuk hidup kembali setelah
seratus tahun iblis itu memperbudak roh kami; Maka ketika kebebasan itu datang,
kaulah yang kucari pertama kalinya. Kau yang kucari, karena hatiku sangat rindu padamu. Fandy...."

Getaran hati Fandy sempat bergumam cemas, "Kalau begitu aku pernah hidup di masa
seratus tahun yang lalu?! Benarkah begitu? Benarkah aku termasuk salah satu dari
awak kapal BINTARA yang dihancurkan kekuatan iblis di tengah lautan itu?! Ooh, kalau
begitu... siapa perempuan yang kupeluk sekarang ini? Apakah dia rohnya Vinon
Samora?!"

Malam semakin sepi, dan hati Fandy dicekam oleh kengerian yang masih meragukan
jiwanya. Satu-satunya cara untuk mendapat suatu kepastian dirinya, ia harus segera
menemui Kumala Dewi. Ia berharap, gadis anak dewa itu dapat menyingkapkan rahasia
pribadinya tentang benarkah ia pernah hidup pada tahun 1898 itu?

***

6
KESIMPULAN yang bisa diambil dari ratapan duka Vinon cukup jelas. Vinon dan Lieza
adalah kakak-beradik. Sebagai adiknya. Vinon ingin mengalah ketika Lieza jatuh cinta
pada seorang pemuda. Pemuda itu adalah Fandy. Tapi akhirnya cinta Vinon yang
begitu besar tak bisa mengalah begitu saja.

Rupanya tanpa setahu kakaknya, Vinon masih sering mencuri kesempatan untuk jumpa
dengan Fandy. Sampai akhirnya, mereka melakukan perjalanan laut dengan, kapal
BINTARA di tahun 1898. Kekuatan iblis berusaha menghancurkan mereka, roh mereka
diperbudak oleh kekuatan iblis tersebut. Tapi pada saat itu roh Vinon merasa bahagia,
karena ia dapat berada bersama-sama roh Fandy.

Pada suatu kesempatan, roh Fandy berhasil meloloskan diri dari kekuatan iblis yang
memperbudak mereka. Fandy memang tak sempat menyelamatkan roh Vinon. Tapi ia
berjanji untuk bertemu lagi setelah seratus tahun sang iblis memperbudak roh Vinon
dan roh para awak kapal lainnya.

Begitulah kesimpulan yang bisa ditarik oleh Fandy. Tapi kesimpulan itu sendiri
merupakan suatu teka-teki yang amat membingungkan baginya. Hanya Kumala Dewi
yang diharapkan bisa menjelaskan teka-teki tentang roh orang- orang kapal tersebut.

"Kalau memang benar Vinon adalah roh, mengapa bisa kupeluk? Dan kalau memang benar begitu,
apakah Lieza yang datang ke cafe itu juga sesosok roh?" pikir Fandy
dalam renungannya.

Sulit sekali bagi siapa pun untuk memastikan bahwa Lieza adalah roh atau manusia
biasa. Karena terbukti pada malam itu, Lieza berhasil mendapat kenalan seorang
pemuda sebaya dengan Fandy. Pemuda itu bersama Tomma. Ia berperawakan tinggi,
berkulit coklat bersih, rambutnya juga panjang berombak, wajahnya pun tak kalah
tampan dengan Fandy.

Sesuatu yang dinilai Lieza sebagai kelebihan dan Tomma adalah bentuk badannya
yang atletis, tampak kekar dan macho. Tidak seperti Fandy.

Lieza sendiri mempunyai kecantikan yang sepadan dengan Vinon. Hanya saja, ia
mempunyai rambut pendek, seperti potongan lelaki, dan bibirnya sedikit tebal namun
tetap sensual.

Perbedaan itu membuatnya tidak terlalu mirip dengan Brooke Shields.

Lieza juga mempunyai daya tarik yang menggetarkan hati lawan jenisnya. Bukan saja
berpinggul meliuk indah, padat dan berisi, namun juga mempunyai dada yang
membusung kencang. Saat itu ia mengenakan celana jeans dan blus ketat berbelahan
dada lebar, sehingga sebagian gumpalan dadanya tampak tersembul menantang
gairah lawan jenisnya.
Tomma tertarik sekali dengan perempuan itu. Sejak Lieza masuk cafe, Tomma sudah
mengincarnya. Maka ketika Lieza dari ruang kerja Vinon dan ingin keluar meninggalkan
cafe itu, Tomma sengaja menghadangnya di depan meja bar. Tatapan mata Tomma
secara terang-terangan diarahkan ke wajah Lieza. Sebelum perempuan itu lebih
mendekat lagi, ternyata ia juga menangkap gelagat nakal Tomma dari atas bangku bar.
Lieza pun berlagak singgah ke meja bar dan memanggil bartender.

"Kalau nanti ada orang mencariku atau cari Lieza, bilang saja aku ada di Donna Hotel."

"Baik, Zus Lieza. Nanti akan saya sampaikan."

"Suruh dia tanyakan pada resepsionis, di kamar Lieza berada. Pasti resepsionis akan
menunjukkannya."

"Baik, akan saya sampaikan!"

Agaknya kata-kata itu merupakan pancingan bagi Lieza. Ia sengaja bicara agak keras
supaya didengar oleh pemuda tampan yang sedang duduk sendirian itu. Ketika ia ingin
meninggalkan tempat, Tomma buru-buru menyapanya dengan sok akrab.

"Namanya Lieza, ya? Wah, kayaknya kita pernah kenal nih."


"Oh, ya...?!" Lieza pasang lagak angkuh. "Di mana kita pernah kenal?"
"Kalau nggak salah dulu kita ketemu di sebuah pameran batu permata. Bener nggak
sih?"

"Mungkin saja," jawab Lieza masih berlagak angkuh.

Percakapan itu jadi panjang, jadi akrab, jadi lebih berani lagi, bahkan lebih panas di-
bandingkan sepotong pisang goreng. Akhirnya Tomma berhasil membawa Lieza
menuju ke Donna Hotel.

"Kalau teman kencanmu nyusul bagaimana?" pancing Tomma saat mereka sudah
berada di kamar.

"Coret saja dari daftar tamu. Akan kusuruh resepsionis mengatakan bahwa Lieza sudah
punya teman kencan sendiri."
"Siapa maksudmu?"
"Siapa lagi kalau bukan... angin yang berlalu."

Lieza tertawa kecil, tapi Tomma tersenyum lebar dengan tawa menyerupai gumam.
Matanya memandangi Lieza yang duduk di sampingnya. Adu pandangan mata itu kian
membuat dada Tomma bergemuruh karena darah kemesraannya bagaikan mendidih.
Ingin segera diledakkan. Lieza sengaja diam. Tak mau mengawali apa-apa, tapi pandangan matanya
mulai sayu, dan senyumnya menantang keberanian lawan
jenisnya.

"Kau tampak menggairahkan sekali, Lieza," ucap Tomma lirih.


"Apanya yang menggairahkan?"
"Bibirmu, dadamu dan...."
"Mengapa kau tak mengambilnya sekarang juga?"
"Aku takut kau menolaknya."
"Aku sedang menunggu sentuhan mesramu."
"O, ya...?" sambil Tornma makin mendekat. Lalu membisik pelan, "Bagaimana kalau
yang kusentuh bibirmu dulu?"

Lieza menggeleng. "Dada lebih dulu."

"Aku akan menyentuhnya dengan kecupan. Okey?"

"Dengan lidahmu," sambil tangan Lieza meraba lembut pipi Tomma. Rabaan itu makin
ke tengkuk, tangan Lieza sedikit menekan kepala Tornma agar segera mencium
dadanya. Sementara itu, tangan Lieza yang satunya lagi dengan mudahnya melepas
kancing blus, lalu menyembulkan sesuatu yang terbungkus dalam keadaan kencang
dan montok itu.

Tomma pun menyapu tepian kulit dengan lidahnya. Bukit hangat semakin diputari, sampai akhirnya
sapuan lidah Tomma mencapai puncak bukit itu.

"Oouuhhhhh...!" Lieza mendesah dengan mata terpejam. Tomma memagutnya


bersama gigitan kecil.

"Aaauuhhhh...!" Lieza mengerang dengan kepala didongakkan. Tangannya


meremas-remas rambut Tomma, sambil membiarkan kedua tangan Tomma
melepaskan pengait yang ada di punggung. Begitu pengait itu lepas, maka dada Lieza
pun semakin bebas.

"Oooh, Tommaaa... kau seperti bayi kehausan, Sayang. Oouuhh... lepaskan pula ikat
pinggangku, Sayang. Lepaskan sekarang juga semuanya. Ooouuhhh... nikmat sekali
kelincahanmu, Tomma...."

Dalam beberapa saat kemudian, keduanya menjadi seperti bayi baru lahir. Lieza
ternyata lebih galak dari Tomma. Gairah perempuan itu lebih buas dari lawan jenisnya.
Tomma terkapar di ranjang sementara Lieza menyapukan lidahnya ke sekujur tubuh
Tomma.

"Liez.... Liiezzz... ooouuuhh, pintar sekali kauuu, uuuhff... ssss, aaahhhhh...!" Tomma
mendesah-desah diburu gairah yang kian berkobar. Lieza tak sabar mendengar desah
seorang lelaki yang sedang bergairah. Ia pun segera menguasai Tomma.
Layar terkembang, perahu pun melaju menuju puncak kenikmatan. Malam dibiarkan
menjadi saksi kemesraan yang terasa begituindah tiada duanya itu.

Tubuh mereka sama-sama terkulai lemas di atas ranjang. Keadaan ranjang sudah
acak- acakan. Seprai ke mana, bantal ke mana, gu ling entah ke mana. Ranjang itu
bagaikan desa yang tersapu angin badai. Amukan gairah. Lieza telah membuatnya
berantakan dan Tomma tertawa geli melihatnya.

"Aku ke kamar rnandi sebentar, ya?" kata Lieza sambil turun dari ranjang. Tomma
tertawa lagi melihat Lieza menggeloyor mau jatuh. Lieza pun tertawa geli-geli malu.

"Kakiku lemas, seperti nggak punya tulang. Hii, hii, hii...," ujarnya sambil menegakkan
badan, lalu meluruskan langkahnya ke kamar mandi.

Tomma menyalakan sebatang rokok, la menunggu kembalinya Lieza sambil


menghidupkan pesawat teve, Hatinya masih ditaburi bunga-bunga keindahan,
seolah-olah sentuhan mesra lidah perempuan itu masih merayap di sekujur tubuhnya.

"Luar biasa sekali perempuan yang satu ini," pikirnya. "Biar pertandingan sudah usai,
tapi sekujur tubuhku masih terasa nikmat, seperti dijamah oleh jari dan lidahnya."
Sebatang rokok sudah menjadi puntung. Tomma mematikannya ke dalam asbak.
Anehnya. pintu kamar mandi masih tertutup, walau tidak terkunci. Lieza masih belum
keluar dari dalam kamar mandi itu.
"Liez...?! Lama amat sih? Ngapain kamu di situ lama-lama?!" seru Tomma. Namun se-
ruan itu tidak mendapat jawaban dari dalam kamar mandi.

"Wah, kacau tuh orang! Jangan-jangan tidur di bak mandi?!" gumam Tomma dengan
konyol, akhirnya ia turun dari ranjang dan menjemputnya. Pintu kamar mandi mudah
terbuka dengan sedikit dorongan ringan saja.

"Hahh...?!" Tomma terpekik dengan mata mendelik. Ternyata kamar mandi dalam
keadaan kosong tanpa siapa-siapa di dalamnya. Tak ada pintu keluar atau jendela yang
bisa dipakai untuk melarikan diri. Tapi mengapa Lieza tidak ada di dalam kamar mandi
itu?

Tomma menjadi tegang. Pakaian yang ditinggalkan Lieza di lantai dan di sofa juga ikut
lenyap. Padahal sewaktu Tomma mematikan rokok ke dalam asbak, ia masih melihat
pakaian dalam Lieza yang tergeletak disamping kaki meja itu.
"Aneh...?! Kok sekarang pakaiannya ikut lenyap sih?!" gumam Tomma dengan mulai
gemetar dan sekujur tubuhnya merinding semua.

Pada saat itu Tomma segera mencium bau busuk bercampur bau amis. Aroma itu me-
mang tak terlalu tajam, namun sempat membuat mual perut Tomma. Rasa mualnya itu
nyaris tak begitu dihiraukan, karena hati Tomma mulai dicekam perasaan takut.
"Kalau begitu... kalau begitu yang bercinta denganku tadi bukan manusia biasa?! Ooh,
benarkah begitu?!"

Tangan Tomma gemetar sekali saat mengangkat gagang telepon, la ingin melaporkan
peristiwa menakutkan itu kepada pihak hotel. Tapi jari-jarinya selalu salah menekan
angka- angka pada box telepon tersebut.

Eksekutif muda yang kadang tampil dengan kekonyolannya itu ternyata bukan orang
asing lagi bagi Dewi Ular. Dia adalah pimpinan group band yang menamakan
kelompoknya Buldog Band, dan kesehariannya menjabat sebagai seorang direktur di
rumah produksi. Tomma Tondanau pertama kali bertemu Dewi Ular di Paloma
Discotek, ketika Dewi Ular menangani suatu kasus misteri juga, (Baca serial Dewi Ular
dalam episode : "DARAH KORBAN PEMIKAT").

Merasa punya kenalan paranormal berpotensi tinggi, Tomma pun segera mengadukan
nasibnya itu kepada Kumala Dewi. Ia datang ke rumah Kumala pada esok harinya,
menjelang waktu adzan magrib tiba. Saat itu Kumala sedang berada di pendopo yang
dibangun di belakang rumah. Di dalam pendopo tanpa dinding itu Kumala sedang
bicara dengan Niko, Nanu, Sandhi dan Buron. Sejak tadi Buron memang tidak ikut
bicara, tapi ia menyimak setiap kata yang sedang dibicarakan oleh mereka.

Kedatangan Tomma membuat suasana menjadi sedikit lebih tegang lagi. Sebelumnya,
Kumala dan yang lainnya membicarakan tentang bayangan perempuan cantik yang dilihatnya dalam
kedua bola mata Nanu itu. Pada saat Tomma bergabung di situ,
Kumala Dewi menatapnya tanpa berkedip, karena" pandangan mata batinnya melihat
jelas bayangan perempuan cantik di kedua bola mata Tomma.

"Aku melihat bayangan perempuan cantik di kedua matamu, Tom. Apa yang telah
terjadi pada dirimu sebenarnya? Kulihat perempuan cantik itu mempunyai tahi lalat kecil
di sudut bibirnya dan...."

"Itu wajah Lieza!" sahut Tomma dengan cepat, sebab pada saast itu terbayang di
benaknya wajah Lieza yang memang mempunyai tahi lalat kecil di sudut bibirnya itu .

Tentu saja jawaban Tomma mengejutkan yang lainnya, termasuk Nanu sendiri. Hanya
Buron yang tidak tampak terkejut, sekalipun sebenarnya Buron sedang sibuk menarik
kesimpulan dalam hatinya. Ternyata perempuan yarrg dihadapi Nanu dan Tomma
adalah sama, yaitu Lieza.

"Aku juga terpikat olehnya. Aku berhasil dibawanya ke sebuah motel, dan kami bercinta
di sana menjelang fajar tiba. Esok sorenya aku mengalami...."

Belum habis Nanu bicara, tiba-tiba Tomma terkejut, kepalanya tersentak mundur.
Sesuatu yang mengejutkan dirinya adalah benda kecil yang meloncat dari lubang
pori-pori wajahnya. Piuk...! Nanu dan Niko sempat tersentak mundur menjauhi binatang
kecil yang tak lain adalah belatung hitam berlendir.
"Gawat kamu, Tom!" gumam Niko sambil memandang Tomma dan Kumala secara ber-
gantian. Sandhi pun menjauhkan jarak dengan Tomma. Ia takut kalau ada belatung lain
yang loncat dari balik kulit wajah Tomma dan jatuh di pangkuannya. Sandhi tak ingin
hal itu terjadi, karena ia akan menjerit dicekam rasa jijik yang menjengkelkan.

"Tom, coba kau mendekat kemari!" sambil Kumala menepuk lantai di sebelahnya. Ia
ingin Tomma duduk di sebelah kanannya.
Tetapi sebelum Tomma bergeser maju, tiba-tiba dari kulit di sekitar pelipisnya itu
muncul tiga belatung hitam berlendir yang langsung loncat secara bersamaan. Tomma
terpekik, karena keluarnya belatung itu menyakitkan kulit wajahnya, bahkan menimbul-
kan bekas luka.

"Ooh, ada apa ini?! Kenapa aku mengeluarkan belatung kayak gitu, Kumala?!"

"Berarti belatung iblis itu muncul setelah kalian melakukan kencan dengan perempuan
yang bernama Lieza!" kata Niko dengan nada tegang.

Tomma yang sudah berada di dekat Ku- mala - dan saling berhadapan itu terdorong
mundur dari duduknya. Kumala Dewi melepaskan semacam pukulan berhawa panas
yang memancarkan cahaya hijau ke dada Tomma. Saat itu sekujur tubuh Tomma
seperti dibakar api.
"Aooow...! Panaasss...!" Tomma meringkuk sambil mendekap dada dengan kedua ta-
ngannya. Keadaan itu sangat mencekam Niko dan yang lainnya.

Dewi Ular segera melepaskan cahaya hijau lagi yang kali ini segera membungkus tubuh
Tomma.

"Uuhkk...!" Tomma menjadi kejang dengan suara menyentak lirih, la tak sadarkan diri
dalam waktu sekitar sepuluh detik.
Setelah cahaya hijau itu "padam dan lenyap tanpa bekas, tubuh Tomma bergerak
kembali, la seperti sadar dari pingsannya. Suara erangan kecil terkesan seperti bangun
dari tidur nyenyaknya.

Semua mata memandang Tomma dengan tegang. Tapi ketegangan itu menjadi reda
setelah Tomma bangkit sendiri dan duduk di lantai sambil melemaskan urat-uratnya.

"Bagaimana rasanya sekarang?" tanya Ku- mala Dewi.


"Aku seperti bangun dari tidur. Badanku enak sekali. Nggak sepanas tadi."
"Belatung iblis dalam tubuhmu telah lenyap. Beruntung sekali nggak sampai seperti
Nanu...."

Tomma menyeringai ngeri ketika mendengar cerita menyemburnya belatung hitam dari
perut Nanu. la memang merasa beruntung ketimbang Nanu. Tapi kedongkolan masih menggerogoti
hatinya. Kebencian terhadap wajah cantik Lieza hanya bisa menggumpal
dalam dada Tomma, demikian pula dalam dada Nanu,

Suara adzan magrib terdengar. Mereka sengaja menghentikan kegiatan. Kumala Dewi
masuk ke kamarnya hingga beberapa saat lamanya. Pada waktu Kumala muncul,
petang mulai datang. Bertepatan dengan datangnya sang petang, datang pula dua
orang tamu yang ingin bertemu dengan Dewi Ular.

"Hei, siapa itu, Fan?!" sapa Niko saat Fandy berjalan menuju ke pendopo. Fandy tidak
datang sendirian. Ia bersama wanita cantik yang mirip Brooke Shields itu.

"Nik, kenalkan... ini calon istriku!" kata Fandy sambil mengerlingkan mata kepada Niko,
seakan memberi tanda agar Niko mau mempercayai kata-katanya tadi. Niko dan yang
lainnya berjabat tangan dengan Vinon.
Ketika tangan Vinon digenggam oleh Buron, jelmaan Jin Layon itu nyeletuk seenaknya
saja.

"Sejak kapan kau bangkit dari kematian?!"

Tentu saja kata-kata Buron itu mengejutkan Sandhi, Niko dan Tomma. Sapaan jin usil
itu juga membuat Fandy tak enak hati. Ia salah tingkah dan tak bisa bilang apa-apa.
"Jangan terlalu lancang mulutmu, Buron!" tegur Dewi Ular bernada wibawa.

"Apakah kamu nggak bisa merasakan getaran dari dalam kubur, Mala? Getaran itu
sangat kuat dan kurasakan datangnya dari gadis, cantik ini!"

"Buron! Jaga bicaramu!" hardik Kumala Dewi dengan mata menatap tajam. Buron pun
menjadi ciut nyali. Ia menghembuskan napas sambil mundur, lalu berdiri bersandar
pada tiang pendopo.
"Maaf, itu tadi hanya kekonyolan Buron yang gemar bercanda," kata Kumala Dewi .

"Maaf, itu tadi hanya kekonyolan Buron yang gemar bercanda," kata Kumala Dewi
kepada Vinon.

"Nggak apa-apa," Vinon mencoba untuk tetap memberikan senyum keramahan.

Fandy menimpali, "Justru dia kuajak kemari karena masalah yang dikatakan Buron tadi,
Mala."

"Hahh...?! Berarti dia memang benar-benar bangkit dari kematian?!" Sandhi


menggumam dengan nada tegang. Tomma dan Nanu pun melangkah mundur menjauhi
Fandy dan Vinon Buron tersenyum tipis dan tetap diam di tempatnya.

Vinon berkata kepada Kumala, "Fandy banyak bercerita tentang dirimu, Kumala. Justru itulah aku minta
pada Fandy untuk membawaku kemari. Kami mohon bantuanmu
menghindari gangguan kakakku: Lieza!"

"Ooh, jadi... jadi Lieza itu kakakmu?!" sentak suara Tomma dengan bibir gemetar.
"Benar. Dia kakakku. Tapi dia juga rivalku."

Vinon berkata kepada Kumala, "Lieza ingin merebut Fandy dari pelukanku. Sejak dulu,
sejak musibah kapal itu belum terjadi, Lieza sudah berhasil membuatku iba padanya
dan membiarkan dia akan bertunangan dengan Fandy. Tapi ketika musibah kapal itu
terjadi. aku merasakan genggaman tangan Fandy yang tak dapat kulepaskan lagi. Saat
itulah aku merasa, bahwa sebenarnya aku sangat mencintai Fandy dan ingin sehidup
semati dengan Fandy."

"Musibah kapal yang mana?" sela Sandhi agak ragu-ragu.

Fandy menyahut, "Yang kita tonton melalui monitor komputer tempo hari."

"Astaga...?!" Sandhi pun menegang dan lebih mundur lagi.


"Dia benar-benar dari alam kematian," bisik Sandhi kepada Tomma dan Nanu. Niko ikut
menelan ludah menahan rasa takutnya.

Dewi Ular menyuruh Vinon lebih mendekat. Bukan hanya Vinon yang mendekat, tapi Fandy juga ikut
mendekat.

"Ulurkan tangan kirimu, Vinon," sambil Kumaia memberinya contoh; mengulurkan


tangan kiri dengan telapak tangan menghadap ke atas. Vinon melakukan hal yang
sama. Ia berdiri di.sebelah kanannya Fandy.

"Ulurkan pula tangan kananmu seperti Vinon, Fandy."

Fandy tidak banyak komentar, lalu ikuti perintah itu. Kini tangan Fandy terulur dengan
telapak tangan terbuka ke atas, bersebelahan dengan tangan kiri Vinon.

"Naikkan sedikit."

Vinon dan Fandy sedikit menaikkan posisi tangan tersebut. Kini kedua tangan itu
terangkat sejajar dengan ulu hati masing-masing. Kedua tangan Kumala Dewi terulur ke
bawah tangan Vinon dan Fandy, namun tidak sampai menyentuh. Tangan Kumala
bergetar dalam jarak satu jengkal dengan tangan merek- berdua. Lalu tangan Kumala
segera ditarik mundur.
Ternyata tangan Vinon dan Fandy ikut menjadi bergetar. Semua mata memandanginya
dengan sedikit tegang. Kumala justru bersidekap tenang dalam posisi masih berdiri di
depan Vinon dan Fandy.

Getaran kedua tangan itu lama-lama berasap tipis. Asap tersebut bagaikan keluar dari tengah telapak
tangan. Beberapa kejap kemudian, kedua telapak tangan itu
mengeluarkan cahaya seperti percikan bunga api.

"Tahan napas kalian berdua!" perintah Kumala dengan suara pelan tapi berkesan tegas
dan jelas. Vinon dan Fandy pun menahan napasnya.

Crlaaaap...! Niko, Sandhi dan yang lainnya tersentak kagum. Telapak tangan Vinon dan
Fandy menyemburkan sinar biru bintik-bintik. Indah sekali. Sinar biru itu saling bertemu
di udara, sebelum masing-masing menyentuh atap pendopo. Kedua sinar yang saling
bertemu itu membentuk lengkungan tanpa putus, tanpa suara dan tanpa percikan
bunga api lagi. Tetapi butuh Vinon dan Fandy sama-sama bergetar dan berkeringat
dingin.

Dewi Ular segera mengibaskan tangannya seperti membuka gorden. Wuut...! Sinar biru
itu padam seketika. Getaran tangan Vinon dan Fandy ikut lenyap juga. Kedua tangan
itu terkulai lemas. Vinon dan Fandy menatap Kumala, seakan mereka menunggu
komentar si Dewi Ular tentang keajaiban yang baru saja mereka lakukan di luar
kesadaran itu.

Kumala duduk di lantai. Semuanya ikut duduk di lantai berlapis karpet itu. Karena
Kumala mengenakan celana pendek kasual, maka ia dapat duduk bersila dengan
badan tegak, terkesan penuh wibawa dan berkharisma tinggi. Vinon hanya bisa duduk
bersimpuh karena ia mengenakan span ketat yang ber- belahan pinggir.
"Vjnon, apakah kau sadar sekarang adalah tahun 1998...?" tanya Kumala dengan
pelan. Kedua matanya memandang lembut, tapj punya getaran halus yang tidak bisa
dirasakan oleh pihak lain kecuali Virion sendiri.

"Apa maksudmu, Kumala?"

"Tak bisa disembunyikan lagi, kau memang bukan orang abad sekarang. Kau berasal
dari abad 19. Tepatnya, kau pernah hidup di tahun 1898. Begitu pula halnya dengan
Fandy."

"Apa...?!" Fandy terperanjat.

"Kau pernah hidup di tahun 1898, Fandy. Kau pernah jatuh cinta pada Vinon di masa
itu. Tapi kau sembunyikan cintamu itu, tak sempat tercurah seluruhnya. Hal itu
dibuktikan dari pancaran sinar biru dari tangan kalian tadi, toh ternyata bertemu di
udara. Itu adalah pancaran kasih sayang. Warna biru itu menunjukkan pancaran kasih
sayang kalian sudah terlalu lama terpendam dalam hati, sudah sekitar 100 tahun
lamanya."

"Benarkah aku sudah lama jatuh cinta pada Vinon?!" Fandy berkerut dahi makin tajam.

"Kalau kau jatuh cinta dalam waktu belum lama ini, maka sinar yang keluar dari tanganmu tadi adalah
sinar kuning bening."

"Taap... taapi... tapi aku merasa baru sekarang bertemu dengan Vinon dan...."

"Karena ragamu menitis kembali, tapi rohmu belum sepenuhnya kembali sebagai roh.
masa lalu," potong Kumala. "Kau menggunakan roh baru, jiwa baru dan naluri baru.
Itulah sebabnya kau tidak kenal Vinon dan nggak ingat tentang musibah kapal itu.
Hanya sosok ragamu yang lahir kembali bersama insting gaib yang menyertaimu.
Insting gaib itu yang membuat orang tuamu secara kebetulan memberimu nama Fandy.
Padahal jauh sebelum kelahiranmu, sudah ada sosok raga seperti dirimu dengan nama
Fandy pula."

"Lalu, ke mana rohku yang sebenarnya, Kumala?"

"Rohmu yang asli sedang dalam proses menyatu dengan rohnya Vinon. Jika rohmu
yang sekarang mau menyatu dengan jiwa Vinon, maka rohmu yang pertama lebur
menjadi satu dengan rohmu yang sekarang."

"Aku punya dua roh?"


"Tetap satu! Karena peleburan tadi!"

Fandy tertegun sesaat sambil manggut- manggut. Yang lain diam terbungkam, masing-
masing merenungi penjelasan Kumala yang dianggap sebagai pengetahuan baru bagi kehidupan mereka.

"Bagaimana dengan Vinon sendiri, Kumala?" tanya Fandy.

"Vinon telah menemukan raga titisannya. Raga titisan ini terbentuk karena kekuatan
gaib cinta yang semakin bertambah usia semakin .besar pengaruhnya terhadap
kehidupan di alam nyata ini. Sebenarnya dia sudah tidak memiliki raga lagi, selain roh
dan jiwa."

Vinon sengaja diam, karena ia sendiri ingin mendengar beberapa hal tentang dirinya
yang belum dimengerti secara keseluruhan.

"Kekuatan iblis yang telah memenjarakan roh dan jiwanya, telah membuat roh itu
mempunyai semangat tinggi untuk keluar dari gelombang iblis, mencari kekasihnya.
Kekuatan cinta itulah yang telah membuat Vinon lahir kembali ke dunia melalui lorong
gaibnya."

"Hal itu kulakukan setelah seratus tahun aku memendam kerinduan pada Fandy,
Kumala."
"Benar. Sekalipun demikian, kau pasti sempat kebingungan hidup di abad 20 ini,
bukan?"
"Ya, aku sempat bingung. Namun aku cepat beradaptasi dan kucari kekasihku ini di
mana pun dia berada."
"Aku kagum dengan kekuatan cintamu, Vinon," puji Kumala dengan senyum tipis
melambangkan kebanggan hatinya. Vinon tersipu saat dilirik Fandy.

"Tapi bagaimana cara menghindari roh 'kakakku: Lieza itu, Kumala? Dia selalu
menghalangiku jika aku ingin bertemu dengan Fandy."

Tomma dan Nanu saling lirik sesaat. Hati mereka berdebar mendengar nama Lieza
disebutkan kembali. Mereka memang belum sempat saling berbisik, karena Dewi Ular
segera bicara dengan suaranya yang merdu dan enak didengar itu. Kumala bicara
dengan mata terpejam, seolah-olah.meneropong sebentuk kehidupan yang perlu
dipelajari menggunakan kekuatan supranaturalnya.

"Lieza tidak bisa menjelma menjadi dirinya sendiri, seperti yang terjadi pada dirimu.
Karena kekuatan gaib cinta Lieza sangat kecil. Yang ia memiliki hanya... hanya nafsu
birahi dan egoisme berlebihan. Selama menjadi budak iblis, Lieza rela memberikan
kehangatan tubuhnya demi mendapatkan fasilitas kenyamanan di sana."

"Kau benar, Kumala. Berkali-kali kulihat Lieza mau melayani gairahnya si Nosada!"
"Siapa itu Nosada?!" tanya Fandy.
Buron buru-buru menyahut dengan lantang, "Iblis penguasa lautan!"
Semua mata memandang Buron.
"Nosada adalah musuh lamaku,", tambah Buron sambil mendekati mereka. "Dia selalu
merampok kebebasan manusia yang melewati batas wilayah perairan istananya. Siapa
pun yang lewat batas wilayah istananya, ia akan dijadikan budaknya selama seratus
tahun!"

"Rupanya kau banyak tahu tentang iblis itu, Buron?" kata Kumala.

"Sejak kulihat pusaran kabut di komputermu, hatiku sudah curiga, jangan-jangan kabut
itu adalah keusilan si Nosada. Tapi aku nggak sangsi karena kusangka Nosada sudah
hancur dan tak ada lagi. Sebab dulu aku dan ibuku pernah bertarung melawannya dan
dia hancur di jurang abadi. Rupanya sekarang dia sudah bangkit lagi!"
"Berarti kekuatan iblis Nosada telah mengalir dalam diri roh Lieza?"

"Kurasa begitu. Aku yakin belatung hitam itu adalah salah satu kekuatannya yang
mengalir dalam diri Lieza dan akan memakan korban lebih banyak lagi."

"Jadi bagaimana menurutmu?" pancing Kumala.

"Hancurkan roh Lieza. Kalau si Nosada ikut campur, biar kuhadapi sendiri!"
"Wah, bisa seru sekali nih?!" gumam hati Sandhi.

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh, seperti ratusan kaki kuda yang berlari dengan cepat. Suara gemuruh
itu sempat membuat tanah terasa bergetar. Semua wajah
menjadi tegang dan paling pandang. Hanya Dewi Ular yang kelihatan tenang dan
buru-buru menundukkan kepala dengan mata terpejam.

"Ada yang mau datang menyerang kita, Kumala!" seru Buron sambil bergegas keluar
pendopo. Kumala tetap diam, sementara itu Sandhi dan yang lainnya segera
bergerombol menunggu tindakan Buron dan Dewi Ular.

***

7
HEMBUSAN angin mulai terasa aneh. Bau amis menyebar, seperti ada orang buang
kepala udang di sekitar pendopo. Bau amis yang memualkan itu justru sekarang
bercampur bau busuk. Seperti busuknya bangkai mayat kuburan.

Semua orang merinding, kecuali Dewi Ular dan Buron. Sebagai manusia yang hidup
kembali karena kekuatan cinta, Vinon pun merasa takut dan merinding. Namun tak
sebesar rasa takut Fandy dan yang lainnya. Vinon menggenggam tangan Fandy,
seakan-akan ia takut akan kehilangan Fandy lagi.

"Ada yang mendekati kita, Kumala!" ujar Buron.


"Singkirkan sekarang juga, Buron!"

Blaab...! Buron seperti pecah seketika, dan berubah menjadi sinar kuning berpijar-pijar.
Sinar kuning itu melayang mengelilingi pendopo satu kali, lalu melesat dengan cepat ke
arah serambi samping rumah. Wess...! Dua detik kemudian terdengar suara ledakan
yang tak begitu keras. Tapi daya sentak dari ledakan itu sempat menggetarkan pohon
dan bangunan di sekitar tempat itu.

Daarrr...!

Sinar kuning tampak melesat masuk pendopo. Bruuusk...! Buron menampakkan diri sebagai sosok
manusia seperti semula. Ia dalam keadaan terguling-guling di lantai
pendopo. Namun dalam sekejap saja ia sudah bisa berdiri lagi. Wajahnya memar
membiru, dan telinganya melelehkan darah kental. Napasnya terengah-engah, matanya
memancarkan kemarahan.
Ketika Buron ingin bergerak kembali, Dewi Ular mencegahnya dengan isyarat tangan.
"Aku belum kalah, Kumala! Aku masih mampu menyerangnya!" Buron protes. Tapi
karena Kumala diam saja, seperti tak menghiraukan protesnya, Buron juga tak berani
nekat bergerak.

"Kumala, ada yang muncul dari tanah tuh!" sentak Fandy sambil menyingkir ke tengah
pendopo.
"Astaga...?!" Tomma terkejut dan menjadi tegang.

Belatung-belatung hitam muncul dari tanah. Jumlah binatang yang meloncat-loncat itu
lebih dari seribu. Bau amis dan busuk makin menyebar. Tak ada tempat kosong yang
tak terisi oleh belatung hitam. Permukaan semua tanah menjadi mirip tumpukan
belatung yang menyebar membentuk pemandangan menjijikkan sekali.

Bahkan dalam waktu singkat belatung-belatung hitam itu juga muncul dari kedalaman
batang pohon. Mereka berjatuhan dari dahan dan ranting. Sebagian dari belatung
busuk itu merayap di tepian lantai pendopo yang berbentuk panggung itu.
"Buron, jaga mereka! Aku akan bertindak!" seru Dewi Ular. Kemudian dalam sekejap
saja gadis cantik itu sudah berubah menjadi cahaya hijau yang berbentuk seekor naga.
Naga hijau itu melayang cepat ke mana-mana sambil menyemburkan asap hijau dari
mulutnya. Dalam beberapa waktu saja seluruh tempat sudah dipenuhi asap hijau.

Anehnya, asap hijau itu tidak membuat mereka terbatuk-batuk. Asap hijau itu seperti
kabut dingin yang amat menyejukkan. Asap tersebut makin tebal dan mencapai
ketinggian sekitar satu meter dari permukaan tanah.

"Aku takut, Fan...," terdengar suara Vinon bergetar, seperti orang mau menangis. "Kita
pergi saja dari sini, Fan."

"Jangan ada yang bergerak!'' seru Buron. Wajahnya semakin tertutup asap hijau,
sehingga ekspresinya tak begitu kelihatan.
Yang jelas, mereka semakin terpaku oleh gerakan sinar hijau yang berbentuk ular naga.
Sinar jelmaan Dewi Ular itu bergerak ke sana-sini dengan cepat. Nyaris menyerupai
sinar lampu laser dalam diskotek.

Tetapi beberapa kejap kemudian suara gemuruh itu datang lagi bersama getaran yang
lebih kuat. Lantai panggung pendopo berguncang, membuat mereka yang berdiri di
atasnya menjadi limbung ke sana-sini dan saling berpegangan. Menyusul kemudian
munculnya sinar kuning dari perubahan diri Buron yang segera mengelilingi mereka.
Seolah-olah kesaktian Jin Layon memberi batas perlindungan kepada Sandhi, Vinon dan yang lainnya.
Barangkali karena sinar kuning mengurung mereka maka kekuatan
gaib jahat yang sedang beraksi di sekitar tempat itu tak sempat menjamah mereka.

Suara letupan terjadi beberapa kali. Sepertinya belatung-belatung hitam itu meletup di
sana-sini dan menimbulkan suara semakin riuh gemuruh. Angin berhembus semakin
membadai.

Bluuuummm...! Dentuman besar terdengar. Ketegangan makin bertambah. Tetapi


suara gemuruh dan getaran menjadi lenyap seketika. Alam menjadi hening. Lengang
sekali, rasanya.
Sinar kuning telah berubah menjadi Buron kembali. Sinar hijau yang berbentuk naga itu
berubah menjadi Dewi Ular lagi. Asap hijau yang bergumpal-gumpal pun hilang disapu
angin tadi. Permukaan tanah menjadi bersih kembali. Tak seekor belatung pun yang
tampak tersisa di sekitar tempat itu.

Kumala Dewi tampak berdiri di atas permukaan air kolam. Sekerat hati menggumam
penuh kekaguman melihat kesaktian Dewi Ular itu. Sekerat hati itu ternyata milik Niko,
yang masih gemetar karena dicekam rasa takut. Mata Niko tak berkedip sejak tadi
memandangi Kumala Dewi. Rambut panjang gadis itu bergerak-gerak karena sapuan
angin lembut, kedua tangannya masih saling merapatkan telapak tangan di dada. Gadis
itu memandang ke sana-sini, seakan mencari lawannya yang menurutnya masih akan
melakukan serangan kembali.
Duar, prang...!

Semua orang tersentak kaget. Lampu di sudut taman pecah secara misterius.
Penerangan berkurang, tapi tak mengganggu pemandangan mereka. Lampu- lampu
taman lainnya masih menyala dengan benderang. Tapi tiba-tiba lampu di sudut lain
meletup juga dan menimbulkan letusan yang mengagetkan. Daar, praang. .! Semua
wajah berpaling ke arah sudut taman itu secara -serempak. Suasana tegang terasa
kian mendebarkan hati mereka.

Kumaia Dewi melompat dalam gerakan jungkir balik di udara. Gerakan cepatnya itu
mencengangkan Niko kembali. Sekalipun masih dicekam ketegangan tapi rasa kagum
Niko terhadap Dewi Ular semakin bertambah besar.

"Waaow...?!" desahnya dengan tak sadar."Mala, belakangmu! ' sentak Buron, la segera
melompat bagaikan terbang ke arah Kumaia Dewi. Pada saat itu Kumala berpaling ke
belakang, dan ternyata ia melihat seraut wajah cantik pucat yang sedang menerjang
dirinya. Terjangan wajah cantik pucat itu segera diterjang oleh Buron.

Bruuuss...! Bummm...!

"Lieza...?!" bentak Vinon dengan mata membelalak lebar.*


Roh Lieza terpuruk di bawah pohon, la mengeluarkan asap putih sebagai tanda bahwa
ia terluka akibat terjangan Buron.
Lieza pun bangkit dengan terhuyung-huyung. Wajah cantiknya masih memancarkan
dendam dan kebencian. Seringainya memperlihatkan sepasang taring yang keluar dari
giginya. Taring itu amat runcing dan memantulkan kilauan cahaya lampu taman.

. "Aku ingin membawa pulang Fandy!" serunya dengan suara serak, meremas hati
membuat orang makin ketakutan.

Tiba-tiba terdengar suara sentakan, "Dia milikku!"

Rupanya saat itu keberanian Vinon menyala berkobar-kobar. Ia bahkan berlari


meninggalkan pendopo berhadapan dengan Lieza.

"Kau harus berhadapan denganku lebih dulu jika ingin merebut Fandy dari pelukanku,
Lieza!" sentak Vinon. Rasa cinta yang luar biasa besarnya membuat Vinon punya
keberanian seperti itu.

Lieza menggerang kembali dengan mata memancarkan kebencian. Dewi Ular menarik
mundur tangan Vinon, sehingga kini ia berhadapan langsung dengan Lieza.

"Kuperintahkan padamu, kembalilah kepada tuanmu; iblis Nosada itu! Kembali


sekarang juga, Lieza!"
"Hiaak, haak, haak, haak, haak...," Lieza tertawa serak. "Apakah kau mampu
memaksaku pergi tanpa Fandy, hah?! Hiaak, haak, haak, haak...!"

Semakin keras tawanya semakin besar bentuk tubuhnya. Tawa panjangnya itu akhirnya
membuat tubuhnya tinggi, besar, berwajah lebar. Tingginya mencapai lima meter lebih.
Vinon berlari tunggang langgang menghampiri Fandy. Seolah-olah ia bersiap
melindungi Fandy dari jangkauan tangan Lieza yang telah berubah menjadi raksasa itu.

"Bereskan dia, Buron!" perintah Kumaia, lalu menyingkir ke samping pendopo.


Niko buru-buru mendekatinya.
"Dewi, kenapa Buron yang kau suruh menghadapinya?!"
''Kalau sudah begini, Buron mampu menyelesaikannya!"

Niko mau berkata lagi, tapi mulutnya terhenti dalam keadaan rrienganga. Pada saat itu
ia tersentak kaget melihat Buron berubah menjadi Jin Layon yang tingginya enam meter
dan berkulit hitam. Selain tubuhnya tinggi, besar, matanya juga .lebar dan merah
dengan kepala gundul tanpa rambut,

Niko jatuh lemas melihat Buron berubah menjadi Jin Layon. Siapa pun akan merasa
ngeri melihat sosok Jin Layon yang berkuku panjang itu.

Raksasa Lieza menyerangnya dengan kedua tangan seperti terpanggang api. Tangan itu diayunkan ke
leher Jin Layon, tetapi dengan tangkas kedua tangan Jin Layon.
menangkap tangan lawahnya. Dalam satu gerakan cepat dan suara menyentak
menggetarkan bangunan di sekelilingnya, Jin Layon berhasil mematahkan kedua
tangan raksasa Lieza.

"Huaaahk...!"
Kraaakk, kroook...!
"Aaaahkkkkrrr...!"

Raksasa Lieza menjerit mengerikan. Ia bermaksud menggigit dada Jin Layon. Tapi
.kepala Jin Layon sengaja dibenturkan ke kepala lawannya.
Proook...!
"Aaaakkrrrrhhh...!"

Kepala raksasa Lieza pecah, berlumuran darahnya, yang berwarna hitam itu. Bau amis
menyengat hidung. Sangat memualkan.

Dari mata Jin Layon segera keluar Sinar kuning yang melesat dan menghantam dada
raksasa yang sempoyongan itu.

Claap...! Buuuusss...!
Sosok raksasa itu lenyap bersama kepulan asap hitam berbau sangit yang melambung ke angkasa. Suara
teriakan histeris dari roh Lieza terdengar sama-samar, sampai
akhirnyalenyap tanpa gema sedikit pun.

"Grrrrhh...!" Jin Layon mengerang setelah melemparkan kedua tangan lawannya yang
tadi berhasil dipatahkan itu. Potongan tangan tersebut pecah di udara bebas, jauh dari
jangkauan pandang siapa pun.

"Kembalilah ke wujudmu, Baron!"

" Ini wujud asliku! Mau disuruh kembali ke mana lagi?!" sentak suara Jin Layon yang
bernada besar dan serak itu. Kumala Dewi tersenyum geli sambil melangkah
meninggalkan tempatnya .

Pada saat itulah Jin Layon lenyap dan berubah wujud menjadi pemuda berambut kucai;
Buron. Suasana menjadi tenang. Bau amis yang memualkan bagaikan tersapu bersih
oleh hembusan angin malam.

"Kalian telah bebas dari ancaman Lieza!" kata Dewi Ular kepada Vinon dan Fandy.
Yang lain berada di sekitar mereka, menyimak kata- kata Dewi Ular tanpa ikut bicara
sedikit pun.

"Apakah itu berarti dia tidak akan kembali lagi, Kumala?" tanya Fandy.
"Dia sudah kuhancurkan!" sahut Buron" sambil ngeloyor pergi.

"Benar. Buron telah menghancurkan roh Lieza. Kalian bebas menikmati hidup bersama,
dan aku yakin, pasti kalian bahagia. Vinon mempunyai cinta yang amat besar, yang
mengandung kekuatan gaib dan membuat dirinya hidup kembali."

"Sekarang aku memang merasa hidup kembali karena akan selalu bersama Fandy,"
kata Vinon sambil tersenyum malu. Tapi matanya melirik ke arah Fandy, membuat
pemuda itu pun mulai tersipu-sipu. Sambil menggenggam tangan Vinon, Akhirnya
Fandy berkata kepada Kumala dengan nada lembut.

"Terima kasih atas bantuanmu, juga atas bantuan teman-teman semua!"

Kumala mengangguk dengan senyum ceria. "Nikmatilah hidup ini dengan damai," kata
Kumala sambil melangkah ke tepi kolam.

Vinon memeluk Fandy erat-erat. Napas mereka terasa sesak, karena segunung
kebahagiaan terasa menyumbat di dada. Kumala Dewi dan yang lainnya hanya
memandangi kemesraan yang,kini telah menyatu dalam kehidupan mereka yartg
kedua. Wajah-wajah mereka pun berhias keceriaan, seakan menyambut datangnya
kehidupan baru yang akan dilalui Fandy dan Vinon dengan penuh kemesraan.

"Rasa-rasanya aku seperti mimpi melihat kenyataan ini," ujar Niko di samping Kumala Dewi. Gadis anak
bidadari itu meliriknya dengan senyum dan balas berbisik pelan.

"Kadang aku iri, mengapa hanya mereka yang bisa menikmati kemesraan dan keba-
hagiaan. Kenapa aku nggak bisa, ya?"

"Kalau kau mau, pasti bisa."


"Mau sih mau, tapi siapa yang bersedia memberiku kemesraan seperti itu?"
"Aku bersedia."

"Apa...?!" Kumala berpaling menatap Niko: Yang ditatap pun jadi gemetar dan salah
tingkah.

Kumala hanya tersenyum saat Niko melangkah meninggalkan dirinya di halaman


belakang. Niko bergabung dengan Tomma dan Sandhi yang saat itu sudah berada di
serambi samping. Tapi pandangan mata Kumala mulai tampak berbinar-binar,
senyumnya berseri-seri. Pertanda apakah itu?

SELESAI

Kakek Segala Tahu – Seribu Raga Seribu Sukma


Padepokan Kapak Maut Naga Geni 212

Anda mungkin juga menyukai