Anda di halaman 1dari 18

ia

Pertarungan Terakhir

PADA suatu malam gerimis, ketika dedaunan bugenvil menampar-nampar jendela kaca
rumah, aku kehilangan tokoh utama ceritaku. Tiba-tiba alur kisah yang tengah kurangkai
menjadi buntu, seperti menumbuk bidang datar yang pejal. Tema, konflik, deskripsi suasana,
segalanya menjadi tanpa arah, tak ubah tersesat di hutan antah berantah.
Ke mana ia? Padahal aku tengah bergairah menjadikan dia seorang bramacorah. Aku
hendak mempertemukan dia dengan seorang musuh bebuyutan dalam pertarungan terakhir di
sebuah lembah yang basah di kaki Gunung Salak dan akan menjadi penentuan siapa sebenarnya
bramacorah yang paling hebat dalam sejarah. Sang musuh sudah mengadang, dengan baju dan
celana hitam komprang serta golok panjang di pinggang, dan sekarang tokoh utamaku
menghilang. Apakah ia mendadak menjadi lelaki tanpa nyali?
Kubongkar tumpukan kertas buram yang biasa kupakai untuk merancang-rancang
secara kasar cerita-cerita pendek. Barangkali ia terselip di sana, menyembunyikan diri dari
angin dingin yang menyelinap melalui ventilasi, atau sengaja bertemu dengan tokoh-tokoh lain
rekaanku. Tak ada.
Kubuka folder demi folder di komputerku, siapa tahu ia menyelimpat di salah satu di
antara puluhan file naskah jadi atau setengah jadi. Barangkali ia ingin sejenak jalan-jalan
membuang kejenuhan, lagaknya pengarang yang kadang dilanda kekeringan gagasan. Tak juga
kujumpai di sana.
Beberapa waktu lalu, dua kali ia menghilang. Pertama, ia lenyap ketika aku
menjadikannya seorang pejabat yang ketahuan mencuri uang negara. Cerita ini terinspirasi oleh
fakta mutakhir di sebuah kabupaten bahwa bupati, wakil bupati, sekretaris daerah, dan anggota
dewan, semuanya menjadi tersangka korupsi. Tak tersisa. Ia kutemukan di saku bajuku,
tokohku itu, di secarik kertas kuitansi honor dari sebuah media.

Kedua, ia raib dari bidang layar komputer ketika cerita hampir mencapai klimaks dan ia harus
menghadapi istrinya yang montok macam timun suri selingkuh dengan bosnya. Ia kutemukan
pagi hari tengah mematung di kolam kecil di depan rumahku, memandang ikan-ikan yang
kedinginan. Aku memintanya masuk karena udara mengandung embun yang membekukan, tapi
ia bergeming seperti patung salju. Aku menduga ia tengah berangan-angan menjadi kodok
jantan, untuk menemani kodok betina di balik batu di sudut kolam.
Namanya Surandil, tokohku itu. Sulit aku memerikan sosoknya. Ia pernah kupakai menjadi
banyak karakter. Ketika menjadi mahasiswa, ia berwajah biasa-biasa saja sehingga terbiasa
patah hati karena selalu mendambakan mahasiswa yang cantik luar biasa, kerap berlagak
sebagai pencinta binatang tapi membenci tak alang kepalang kucing milik ibu kos karena selalu
membikin gaduh di genting kamar tatkala ia berkonsentrasi mengerjakan tugas-tugas kuliah.
Ketika menjadi pengemis, Surandil bertubuh kumuh seperti patung jerami pengusir burung,
bertopi pandan dan berkaki pengkor, dengan baju berwarna campuran segala benda kotor dan
bau seperti got mampat.
Ketika menjadi anggota DPR, ia memakai jas, dasi, dan sepatu pantofel mengilat, pintar berjanji
tanpa perlu menepati, duduk nyaman di jok mobil Alphard yang menguarkan harum magnolia
seraya jemarinya sibuk mengubah-ubah status Facebook dan Twitter, kemudian menyandar
tenteram di kursi empuk ruang sidang dengan mata lelap terpejam, atau menitip tanda tangan
dan meluncur ke sebuah ruang yang samar dan temaram.
Aku menyukai nama Surandil tanpa sebab. Di dunia nyata, pastilah yang ada Suranto, Suratno,
Suharto, dan yang sejenisnya, tapi aku tak yakin apakah ada nama Surandil. Nama ini muncul
begitu saja seperti putik bunga pada pagi hari dan berseminya putik tidak perlu karena sebab
tertentu. Tentu saja Surandil tidak tampil dalam setiap cerita. Tapi seperti Seno Gumira dengan
Sukab, AS Laksana dengan Seto, dan Mahwi Air Tawar dengan Madrusin, Surandil seperti
belahan jiwa bagiku. Soulmate.
***
INGIN kutanya istriku di mana gerangan Surandil. Tapi risikonya terlalu tinggi. Pertama, ia
tengah lelap dan dengkurnya hilang-timbul di tengah desau angin malam. Oh, istriku cantik dan
seksi. Jadi, tak ada hubungannya antara dengkur dan kecantikan. Ia akan marah, atau setidaktidaknya cemberut berat, kalau kubangunkan di tengah mimpinya. Ia sekretaris sebuah
perusahaan penerbitan buku dan ia harus bangun pagi karena selalu berangkat pukul tujuh dari
rumah. Kami sudah hampir lima tahun menikah dan kami saling mencintai, setidak-tidaknya
aku yakin kami saling mencintai, meskipun belum dianugerahi sesosok bayi. Kedua, ia akan
bertanya macam-macam, siapa itu Surandil. Akan makin runyam kalau ia menyangka Surandil
adalah manusia nyata.
Esoknya, kusambangi rumah temanku sang komponis lagu. Rumahnya hanya berselisih satu
rukun warga dengan rumahku. Sesekali aku mampir jika hendak menjemput inspirasi di taman
kompleks. Kadang jalan kaki, tapi kali ini menunggangi motor bebekku. Rumahnya menghadap
taman, asri seperti iklan-iklan perumahan elite. Lagu-lagunya sedang digandrungi anak muda,
memadukan rock, blues, keroncong, tarling, dan orkes gambus seperti adonan ketoprak betawi.
Bagaimana lagu-lagu acakadut seperti itu digemari, ah, selera anak-anak muda tak pernah bisa
kita duga.

Beberapa kali aku membawa serta Surandil ke rumah sang komponis, tanpa sengaja, karena
tahu-tahu ia menyembul dari kepalaku, atau kadang lepas dari lepitan dompet. Kami,
maksudku aku dan sang komponis, kerap bertukar gagasan mengenai proses kreatif. Tak jarang
aku bertemu berbagai tokoh baru dari lagu-lagu gubahannya. Sebaliknya, dari karya-karya yang
kutunjukkan, ia kerap menciptakan lagu.
Kamu lihat Surandil? tanyaku, tanpa basa-basi melumat sepotong donat.
Sang komponis menghentikan petikan gitarnya. Keningnya berkerenyit, lapisan kulitnya
membentuk gelombang sinus-cosinus sejajar dari tepi ke tepi. Siapa Surandil?
Ditanya seperti ini, kelabakan juga aku menjawab apa.
Rasanya kamu tinggal berdua saja dengan istrimu. Adikmu? Atau keponakanmu? Seperti apa
rupanya?
Nah, pertanyaan ini juga sama sulitnya dijawab. Tak mungkin aku bilang dia anggota dewan
berjas wangi. Sama musykilnya kalau aku bilang ia pengemis berbau penguk dengan kaki
pengkor.
Karena aku diam saja, sang komponis kembali memainkan jemarinya di kawat-kawat gitarnya.
Terdengar genjrengan musik acakadut yang tengah digemari anak-anak muda.
Aku lebih baik permisi saja.
Setelah menyusuri jalanan tanpa tujuan, tahu-tahu aku sudah berhadapan dengan gerbang besi
tempa rumah sahabatku sang pelukis. Rumahnya lebih mewah dibanding rumah sang
komponis. Luas, dan sekilas menyerupai kastil dengan halaman yang seluas lapangan sepak
bola. Seorang pelayan membuka rantai gerbang dengan suara berkelontang, membawaku ke
studio sang pelukis di bangunan pinggirlebih besar dibanding rumahku. Kalau siapa pun ingin
menemukan sebuah kontras yang paling ekstrem, di sinilah tempatnya: gedung itu istana, sang
istri bak permaisuri, tapi sang pelukis tak lebih dari lelaki kurus, bungkuk, hidung bulat, bibir
maju, kulit gelap kusam. Tapi itulah, itu, satu lukisannya minimal seratus juta rupiah. Objeknya
gadis-gadis cantik molek tanpa busana. Dan ke sinilah aku masuk kalau sedang suntuk.
Tapi kali ini tujuanku bukan memuaskan dahaga penglihatanku. Aku coba menyisir setiap sudut
studionya, tapi tak kujumpai Surandil.
Kamu cari apa to? Aku tergeragap beberapa kejap.
Ya melihat-lihat lukisanmu.
Tapi matamu tidak menatap lukisan-lukisan.
Aku menoleh dan tertawa. Sang pelukis bukan orang yang tepat untuk berdiskusi tentang
Surandil.
Jadi, aku memutuskan pergi ke rumah sang novelis. Betul, siapa tahu Surandil sedang
berkumpul dengan teman-temannya sesama tokoh fiktif. Aku tahu sang novelis memiliki koleksi
tokoh yang tak terhitung. Ia tak suka memakai tokoh yang sama dua kali. Satu judul saja

menceritakan puluhan tokoh. Dan ia sudah menerbitkan puluhan novel. Berarti ada ratusan
tokoh di sana.
Novel-novelnya bak kue bronis. Laris-manis. Royaltinya ibarat Bengawan Solo, mengalir sampai
jauh. Jadi, untuk ukuran Indonesia sang novelis tergolong kaya. Rumahnya tingkat dua, sangat
menonjol di antara rumah-rumah di sekitarnya. Mobilnya dua. Meskipun jarang ke rumahnya,
aku mengagumi sang novelis karena ia tetap bersahaja.
Ada angin apa seorang cerpenis berlabuh di sini?
Ah, saya bukan cerpenis, baru senang menulis cerpen, dan tahu-tahu sudah terdampar di
pelabuhan ini.
Sang novelis berbalik dari laptopnya, mengangguk-angguk dengan senyumnya yang seteduh
pohon beringin.
Kamu lihat Surandil?
Kedua alis tebal sang novelis bergerak hendak menyatu. Tapi sejenak menjauh lagi seiring
dengan senyum di sudut kanan bibirnya yang lagi-lagi meneduhkan. Bukankah dia tokoh
kesayanganmu?
Benar. Aku sedang membutuhkan peran dia.
Lalu kuceritakan cerpen yang sedang kubuat.
Hmmm. sang novelis manggut-manggut macam perkutut. Mungkin ia tidak menyukai
perannya. Mungkin ia ingin menjadi tokoh lelaki muda yang tampan, kaya, rajin shalat, dan
punya kekasih perempuan cantik, juga kaya dan serba modern.
Sinetron sekali.
Bukankah itu yang digemari?
Seperti novel-novelmu?
Sang novelis tertawa.
Di mana aku harus mencari dia?
Tak perlu kamu cari. Tunggulah, dia akan kembali. Rumahmu adalah rumahnya.
***
PADA malam yang persis sama, gerimis, ketika dedaunan bugenvil menampar-nampar jendela
kaca, samar-samar terdengar ketukan di pintu rumah. Ketika kubuka pintu, di bidang remang
seorang lelaki muncul dengan penampilan yang membuatku terpana: berambut panjang yang
diikat di belakang, berbandana hitam, celana jins belel, dan kaus berlogo klub Liverpool

bertulisan Youll Never Walk Alone. Aku merasa tak asing lagi. Aku selalu melihatnya di cermin.
Sosok itu adalah diriku sendiri!
Siapa kamu?
Lelaki itu memberikan sorot yang menusuk melalui hitam matanya. Boleh aku masuk? Aku
memberinya jalan meskipun di dada berjejalan tanda tanya.
Kamu tak mengenalku? tanyanya sambil melewatiku.
Menguar bau udara basah dari tubuhnya.
Melihatmu sekilas, aku serasa sedang bercermin. Tapi kamu bukan aku. Aku di cermin tak
pernah memiliki raut menyeramkan seperti kamu.
Aku Surandil.
Kalau saja tidak tertahan pintu yang kututup di belakangku, aku pasti sudah terjengkang.
Logika fiksi pun tidaklah berjumpalitan seperti ini. Tidak mungkin.
Kamu tak bisa mengingkari kenyataan yang kamu lihat.
Surandil adalah tokoh ciptaanku. Akulah yang bisa menentukan dia mau menjadi apa. Dan aku
tak pernah menjadikan dia sebagai aku.
Lelaki itu tertawa.
Ia menghampiri meja di sudut ruang tengah. Meja dekat jendela kaca yang masih ditampartampar dedaunan bugenvil. Ia duduk menyandar sebentar di kursi, lalu memandang layar
komputer yang masih berupa bidang putih menyala. Dua jarinya sekaligus menekan tombol
CTRL + HOME dan layar memperlihatkan barisanbarisan kalimat cerpenku yang belum tuntas.
Kemudian ditekannya CTRL + H.
Aku menyerbunya. Apa yang kamu lakukan?
Tapi tangan kirinya seperti palang besi. Aku tertahan dan hanya bisa menatap layar komputer
ketika semua nama Surandil dalam cerpenku itu digantinya dengan namaku.
Kucoba mendorongnya dari kursiku. Tapi aku merasakan kekuatan yang lebih dahsyat ketika
aku malah terjengkang dan bagian belakang kepalaku menghantam tembok.
Mungkin sejenak aku kehilangan kesadaran. Ketika kubuka mata, tiba-tiba aku berada di
sebuah lembah yang basah di kaki sebuah gunung. Gunung Salakkah?
Akhirnya kamu datang juga.

Aku berbalik. Di hadapanku menjega sosok lelaki berbaju dan celana hitam komprang dengan
golok panjang di pinggang. (*)

Pertarungan
Kepala Nungku seakan mau pecah, saat darah mengalir cepat dari ribuan pembuluh di tulang
belakangnya. Telapak dan jemarinya panas, perih tergesek tali pancing. Bebuku jemarinya pun
terasa ngilu. Perutnya geli. Ombak menggulung berlapis, menyeret perahu kecil itu kemanamana, dihantam air dari segala arah, bikin lambungnya bergolak dan isinya serasa hendak
tumpah.
Di tengah deru badai, nelayan muda itu bertahan. Ia membatin: demi Tuhan yang hidup dan
matiku di tangan-Nya, sekarang bukan waktunya untuk menyerah.
Sebaiknya pakai perahu kakakmu saja, Nung. Mesinnya lebih besar dan kuat. Begitu saran
Maulida pada Nungku, sebelum ia melaut subuh kemarin. Saran ibunya itu kini terngiangngiang lagi di anak telinganya.
Bukannya Nungku tak mau mengindahkan saran itu. Dalam cuaca yang cerah, perahu kecil pun
bisa mengarungi laut yang tenang begitu. Sedari kecil hingga jadi pemuda begini, ia diajari
untuk percaya diri saat melaut sendirian. Kulitnya legam, juga karena terpanggang teriknya
matahari di laut. Segala bengkak, memar, dan retak di belulangnya, juga pengalaman yang
membenam di benaknya, tak ia dapat dari sekadar melihat.
Nungku memang harus membuktikan sesuatu.
Sehari berselang, pada bale bambu di pekarangan samping rumah ibunya, Nungku sedang
menyesap nikmat kopi hitam buatan Saimah, kakak iparnya. Dingin pagi ini belum benar-benar
pergi, tapi telinganya sudah kemasukan bualan Makati bersama dua kawannya. Peruntungan di
laut sudah habis, simpul mereka.
Aneh. Sekarang ini kan bukan musim angin barat, tak ada ombak pula, tapi kenapa laut di
depan sana tidur serupa bayi? Tenang sekali. Ikan pun tak ada. Gerutu Lasindu.
Tamba menimpal. Keadaan ini sudah nyaris lima bulan. Mobil-mobil pengepul tak mau lagi
datang ke desa ini, sebab tak ada ikan yang bisa mereka bawa pergi.
Mirip kerapu tua, kepala Maulida terangguk-angguk mendengar bualan kawan-kawan Makati,
putra tertuanya. Tapi di liang telinga Nungku, omongan itu terdengar putus asa. Seperti orang
raib harapannya sama sekali, begitu kata Nungku dalam hati.
Hilang harapan, maka hilang pula peruntungan, serupa tepung yang dibuyarkan angin. Terbang
sia-sia. Mereka itu saja yang tak suka mencoba-coba, Nungku membenak lagi.

Ia sesap lagi kopinya. Belum sehari lewat, ia berhasil menjaring dua keranjang ikan kecil di
sekitar karang selatan. Memang hanya ikan-ikan kecil, tapi satu keranjang setengah itu oleh
juragan dibayari 50 ribu rupiah. Sisa ikan ia bawa pulang dan itulah yang ditanak ibunya untuk
lauk.
Berputus harapan seperti itu, seolah mereka tak memikirkan akibatnya pada hidup anak-istri
sendiri. Saat dapur mereka sudah tak berasap lagi, barulah mereka kaget serupa ular yang
tersedak ranting.
Buat apa melaut. Toh perut laut tiada mengandung ikan seekor pun. Terdengar suara Lasindu
membangun alasan.
Buang-buang solar saja, pedar Tamba pula.
Sampai layar sobek dan jaring koyak pun, laut tenang seperti itu percuma diarungi. Kali ini,
Makati ikut bicara.
Saimah berjalan keluar dari pintu dapur sambil membawa tiga gelas kopi dan sepiring ketela
rebus. Kami ini lebih suka berharap saat kalian pulang membawa sesuatu yang bisa jadi uang.
Tapi melaut di kondisi seperti ini, kalian hanya akan membuat jantung kami berdenyut
mencemaskan kalian.
Wah, Saimah ikut menyahut juga. Menyela bicara kawan-kawan suaminya, sungguh bukan
sesuatu yang sopan. Nungku geleng-geleng kepala melihat tingkah iparnya itu.
Makati mendelik. Ia lempar matanya jauh-jauh, menyapu ujung pesisir utara hingga ke tanjung
di bagian selatan. Perahu-perahu tertambat rapi di pantai. Drum-drum solar berdiri kosong di
bawah bivak beratap pelepah kelapa. Debur ombak selalu asik didengar, walau kini tanpa suara
nelayan bersahutan kala menurunkan ikan dari perahu.
Nungku menandaskan kopinya, lalu masuk rumah. Ia harus menyiapkan keperluan untuk
melaut subuh esok. Ia rapikan gulungan tali pancing, lalu menegakkan dayung dekat keranjang
ikan. Walau masih muda dan belum menikah, malu juga ia hidup menumpang percuma di
rumah ibunya.
Nung, kulihat sudah tegak dayungmu itu. Apa kau hendak melaut sekarang? Maulida
memergoki kesibukan Nungku.
Besok subuh, Ina. Nungku menjawab ibunya.
Maulida tertegun. Jika berangkat saat subuh, artinya nelayan akan melaut jauh dari pantai. Kau
yakin, Nung?
Nungku mengangguk sambil tersenyum pada ibunya yang sepuh itu. Mendiang ayahnya yang
mengajarinya melaut. Walau ibunya juga tak melaut lagi karena uzur, tetap saja Nungku kerap
butuh pertimbangannyakendati ia boleh tak perlu menurutinya karena alasan tertentu.
Semoga kali ini aku lebih beruntung dibanding hari-hari sebelumnya.
Maulida membalas jawaban putra keduanya dengan senyuman.

Saimah yang baru masuk membawa nampan, sempat terlanga di dekat pintu dapur. Ia
tersenyum melihat tingkah Nungku.
Kenapa kau senyum macam itu?
Ah, tidak. Semoga beruntung ya, Nung. Sinis Saimah.
Nungku mendelik. Ya. Oloklah aku sesukamu, Saimah. Kelak kau yang akan susah jika tak
punya uang. Suamimu itu tak mau melaut, sebab bertahan dengan sangkaannya.
Sebaiknya kau pakai perahu kakakmu saja, Nung. Mesinnya lebih besar dan kuat. Saran
Maulida pada putra keduanya itu.
Tak apa-apa, Ina. Perahu kecil itu cukup kuat diajak melaut saat cuaca cerah begini.
Ibunya mengangguk. Kau hati-hatilah, pesannya.
Kau serius, Nung? Kita sudah jarang melaut jauh dari pantai. Makati memastikan aduan
Saimah. Selepas dua kawan suaminya pergi, Saimah mengadukan tingkah adik iparnya itu
pada Makati.
Tidak terlalu jauh. Aku hanya rindu pada laut saja. Jawab Nungku.
Tak ada ikan besar di laut sana, Nung.
Nungku tersenyum pada kakaknya. Kalau benar begitu, maka aku bisa pulang lebih cepat,
bukan?
Makati berpaling pada istrinya yang hanya bisa angkat bahu. Ia pantas mencemaskan niat
adiknya yang tiba-tiba itu. Di bagian mana kau melaut nanti?
Di laut dalam, 10 kilometer jaraknya dari pesisir utara. Di bagian itu matahari tak begitu terik
saat siang. Jadi aku bisa pulang sebelum sore.
Makati tak mungkin menahan adiknya yang sedang merindui laut seperti itu. Nungku pasti
kecewa jika ia halang-halangi. Niatan serupa itu wajar keluar dari benak seorang nelayan muda
seperti adiknya. Suhu air di pesisir utara masih hangat di akhir bulan Juli ini, sehingga jika
beruntung, adiknya masih bisa mengumpulkan ikan selebar telapak tangan.
Maka saat subuh datang, pergilah Nungku menuju pantai. Makati meminjamkan solar pada
adiknya itu. Dayung sudah ia lapisi lilin, agar garam tak memenuhi pori kayu dan membuatnya
berat saat dikayuh. Saimah membekalinya dengan ketela rebus dalam rantang plastik dan air
minum dalam jerigen kecil.
Ia dorong perahu kecil itu agar melabuh. Udara kering laut menerobos paru-parunya,
membuatnya nyaman dan hangat di subuh yang dingin itu. Empat ratus meter selepas pantai,
arus balik mendorong perahu ke tengah laut. Bagus sekali. Nungku bisa menghemat bahan

bakar. Ini angin timur dan Nungku menuruti nalurinya; ia arahkan perahu ke bagian utara. Mesin
perahu menderu-deru saat laju, dan lunastegak-nya membelah air.
Maulida didera cemas luar biasa. Awan gelap menghalangi cahaya matahari sore yang
seharusnya condong ke ufuk. Sebenarnya, cemasnya itu sudah lebih dulu datang saat hadirnya
hembusan angin yang terasa aneh sejak siang tadi.
Tak hanya ibunya yang cemas macam itu, tapi Makati juga. Terang saja mereka berdua
mencemaskan Nungku. Sesuai janji Nungku, mestinya perahu adiknya itu sudah tampak sejajar
dengan horison langit selepas siang tadi. Tapi perahu Nungku tak nampak.
Para nelayan di desa Talaga Besar ini selalu berharap perubahan cuaca adalah pertanda baik
berakhirnya paceklik ikan di perairan di depan desa mereka. Tapi bisa jadi itu pertanda lain. Tak
sesiapa pun yang dapat menebak cuaca dengan persis.
Maulida mengutarakan cemasnya pada Makati sekali lagi. Makati pun paham kekhawatiran
ibunya. Lalu Makati minta pertimbangan pada istrinya: akankah Saimah melarang, jika saat ini
hendak ia susul adiknya ke tengah laut?
Terang saja Saimah protes dengan memasamkan muka. Bukannya ia tak sayang pada adik
iparnya itu, tapi melepas suaminya ke tengah laut saat angin menderu ganas macam ini,
bukanlah hal yang patut ia timbang-timbang lagi.
Tapi, Imah. Kau lihat sendiri seperti apa cemasnya Ibu. Tak di saat begini pun, Ibu kadang
mengkhawatirkan Nungku jika memancing di karang selatan. Aku juga cemas membayangkan
Nungku melawan ombak sendirian.
Lantas subuh tadi, kenapa Abang izinkan dia?
Kita tidak tahu akan begini cuacanya, Imah. Kau kan tahu seperti apa gairah si Nungku itu
pada laut. Ia gagal kuliah selepas SMA, maka jadi nelayan ia pikir satu-satunya hal yang pantas
ia baktikan pada Ibu. Ia ingin seperti Ayah, katanya. Satu-satunya orang yang bisa membuatnya
meninggalkan laut hanyalah mendiang Ayah. Bila gairahnya itu datang, bagaimana mungkin ia
hendak kau tahan?
Hanya itukah cara Abang membawa Nungku kembali ke darat?
Makati terdiam. Pertanyaan inilah yang tak mau ia dengar. Makati masygul sekarang. Tak kuasa
melakukan apa-apa. Tak mungkin meminta pertimbangan ibunya yang sedang didera cemas.
Ibunya pasti mengizinkan, namun Saimah sudah terang tak akan setuju.
Ayolah, Nung! Gumam Nungku menyemangati dirinya sendiri. Persis begitu ucapan ibu
setiap kali menyemangatinya. Di tengah kesendiriannya di tengah laut begini, di saat badai
sedang mengintai, hanya kata-kata ibunya saja yang membuat ia merasa tak sedang sendirian.

Ia memejamkan mata. Merasakan angin mengenai wajahnya. Liang telinganya seperti pekak
saat dipenuhi angin yang berkesiur. Air laut mengayun perahu kecil itu. Nalurinya harus peka
saat ini. Awan hitam yang bergulung, terdengar seperti menggelegak di atas sana. Mendiang
ayah sering bilang, seorang nelayan harus menyatukan batinnya dengan laut. Ia harus menyatu
dengan suasana di sekelilingnya. Telinganya akan berubah peka. Perasaannya akan tajam.
Gelap subuh tadi membuatnya tak awas, dan betapa kaget ia mendapati pagi saat berada di
bagian lautan ini. Ada kelabu menutupi ufuk, sedang ia sudah sangat jauh dari pantai. Jauh dari
orang-orang yang mungkin sedang mencemaskannya.
Kakinya sampai kebas dan tulang ekornya sakit karena duduk terlalu lama di undakan papan
pada buritan perahu. Nungku tak mau berkilah pada dirinya sendiri. Di tengah laut begini, ia
merasa seperti tamu. Duduk sendiri di hadapan tuan rumah yang sedang tak ramah. Masih
beruntung, arus tak mendorongnya kian masuk ke mulut samudera.
Menjelang siang, belum ada seekor ikan yang menyambar satu umpan pun, dari 20 mata kail
yang ia sebar. Sesekali Nungku menarik tali rawai seraya menatap langit di atas kepalanya.
Perlahan rawai itu ia gulung kembali. Ia membawang, karena kesal tak ada ikan di ujung setiap
mata kail dan kakinya mulai kesemutan.
Perahu kecil itu bagai noktah hitam di tengah laut. Di lazuardi, kelabu segera menjadi hitam
yang menakutkan. Saat ini, seharusnya gelombang membuat ikan-ikan aktif bergerak, sehingga
lapar dan bikin mereka memakan apa saja yang tampak berkilau.
Kelelahan membuat tubuh Nungku gayang. Di benaknya, terus terulang-ulang tekad untuk
menjinjing pulang seekor ikan besar buat ibunya. Cukup seekor saja, dan itu cukup untuk
mengakhiri spekulasi para nelayan lain di desanya.
Pantulan awan kelabu di atas sana, membayang hitam di permukaan laut. Lalu rerintik hujan
mulai curah dari langit. Tapi tak terlalu lama, rerintik itu berubah seperti panah air yang lesak
deras, menusuk daging. Angin menderu-deru. Air laut sudah bergejolak. Laut siap mendulang
badai yang sejak tadi menghantui angkasa. Jujur saja, situasi ini membuat Nungku cemas luar
biasa.
Lalu badai benar-benar datang. Perahu kecil itu diombang-ambingkan gelombang. Dihantam
ombak dari segala arah. Diterpa air hingga dinding perahu terdengar berderak seperti mau
lepas. Nungku mengikatkan tali ke pinggangnya pada undakan di buritan perahu. Ia jungkit
mesin perahu, lalu memasang kitir. Bersiap-siap menghadapi badai yang mungkin akan
menggila. Semua yang pernah diajarkan ayahnya sudah ia lakukan. Perahu kecil itu kini siap
menari di sela gelombang.
Berbekal kitir di tangan kanan, cukup lincah Nungku mengikuti ayunan gelombang. Matanya tak
mau lepas dari tali rawai yang ia gulung dengan tangan kiri, lalu silih-berganti mengawasi setiap
puncak gelombang yang menuju ke arahnya, agar ia bisa lekas belok menghindar. Jangan
pernah berada dalam cekungan di antara dua bukit gelombang, sebab salah satunya

kemungkinan akan mendorong perahu ke dekat gelombang lainnya, mengurung dan


memecahkan perahu dalam himpitan gelombang. Begitu kata ayahnya. Nungku bergidik
membayangkan akibatnya.
Ayunan gelombang memainkan perahu kecil itu seperti batang korek api yang diaduk dalam
tempayan. Gelora kini berhimpun di dadanya, bercampur cemas dan keberanian yang ia
bangkit-bangkitkan. Satu per satu pelajaran dari ayahnya bergegas datang ke kepalanya,
seperti saling berebutan memberi saran dalam suara yang ribut dan Nungku harus merukunkan
mereka agar bisa mengambil keputusan terbaik sebelum bertindak.
Sedikit demi sedikit perahu kecil itu kemasukan air. Horison langit sudah raib dari matanya.
Semuanya tampak hitam belaka, menyembunyikan batas pertemuan langit dan bumi. Nungku
terus berharap agar awan gelap menyingkir secepatnya hingga ia bisa melihat ufuk di tengah
hujan yang memanahi punggungnya. Mesin tak akan berguna di saat seperti ini. Sebatang kitir
itu semoga bisa membawanya keluar menuju tepian badai.
Saat sedang menggulung tali rawai ke-16, sesuatu seperti bergerak-gerak liar di ujungnya.
Kena kau! Desis Nungku. Tarikan ikan di ujung tali rawai itu seolah hendak menjerumuskan
perahu kecilnya ke dasar samudera. Nungku menyangkutkan kitir, lalu ia pisahkan tali kailnya
dari himpunan rawai sebelum ia sentak kuat-kuat. Tampaklah di matanya seekor ikan Layar di
ujung sana. Ikan itu gelenyar tak henti-henti berusaha melepaskan diri.
Luar biasa besar ikan Layar di ujung tali kail Nungku. Dua meter panjangnya, nyaris sebesar
perahunya. Lelaki muda itu berdiri di buritan, mengimbangi perahu dengan dua kakinya.
Sesekali ia ulur tali saat ikan itu menjauh. Telapak tangannya panas terkikis tali. Belum apaapa, ikan itu sudah menguras separuh tenaganya.
Air laut, hujan dan angin tak henti menghantam perahu dan tubuhnya, tapi Nungku tak mau
menyerah. Ia mengulur tali, sesekali menyentak seraya menggulung dengan cepat, agar ikan
itu segera kehabisan tenaga dan kian dekat ke perahu. Sesekali pula ia harus berjongkok
menahan kitir yang bergetar hebat saat perahunya condong memanjati ombak. Nungku nyaris
terlempar dari perahu, saat segulung ombak besar menghantam tubuhnya dari sisi kiri. Ia buruburu merebahkan diri sambil berpegangan erat pada bibir perahu.
Saat duduk kembali, perahu kecil itu tampak aneh. Rupanya, segulung ombak tadi telah
mematahkanjarangka di sisi kiri dan menghanyutkannya entah kemana. Kini jarangka
perahunya tinggal satu dan ia harus meneruskan pertarungan untuk pulang. Di tengah prahara
macam ini, tak mau ia mati percuma. Ia tak sudi melepas nyawa sebelum pertarungan usai.
Menjelang subuh berikut, agaknya pertarungan mereka belum akan usai. Nungku melayani ikan
Layar itu sampai di batas tenaganya akan pungkas terkuras. Angin sedikit mereda, namun
gelombang masih mengaduk permukaan air. Dua makhluk Tuhan itu gigih saling mengalahkan.
Sebenarnya Nungku sedang menunggu sebuah kesempatan untuk segera mengakhiri
perlawanan si ikan Layar. Ia menanti, namun tak jua kesempatan itu datang. Ikan besar itu

seperti mengolok-olok kesabarannya dengan berenang cepat mengitari perahu, lalu tiba-tiba
melompat saat tali kail mengencang. Serasa hendak patah tungkai lengan Nungku dibuatnya.
Suatu kali, saat peluang itu datang, justru ketika perahunya itu berada di antara dua gelombang
yang membentuk bukit. Ia terpaksa mengayun kitir, membelokkan perahu untuk membelah
gelombang, sehingga peluang itu lepas begitu saja.
Namun kesabarannya terbayar. Saat peluang datang sekali lagi, mata Nungku membesar
melihat permukaan air yang tersibak, menyembulkan tombak di ujung hidung ikan Layar itu.
Nungku yakin, ikan itu akan memukul permukaan air kuat-kuat dengan ekornya sebelum
melesatkan tubuh ke udara. Ya. Itulah tandanya.
Nungku melilitkan tali kail di telapak tangan kanannya secepat yang ia bisa. Genggamannya
harus kokoh, sebelum ia bersiap menyentak tali kail sekuat tenaga. Tangan kirinya juga sigap
menahan rentangan tali dengan kuat. Cukup sekali peluang itu datang, maka seterusnya ada
tiga kali berturut-turut ikan akan bergerak seperti itu untuk meredakan efek benturan air.
Peluang itu dimanfaatkan benar-benar olehnya. Berulang ia sentak tali kailnya dan membuat
ikan Layar itu terbanting tiga kali. Semoga saja itu cukup mengakhiri perlawanan si ikan Layar.
Benar saja. Ikan itu terlihat payah saat Nungku menariknya ke sisi perahu. Agak repot ia
menjaga ikan itu tetap bersisian dengan perahu kecilnya saat gelombang terus mengayun dan
layar besar di punggung ikan tegak mengancam. Jika tak hati-hati, ujung tulang layar ikan yang
runcing itu bisa menusuk dadanya.
Nungku menghunus pisau besar dari pinggangnya. Kau hebat sekali tadi, bisiknya pada ikan
besar itu, aku menghormatimu di pertarungan ini. Tapi, maafkan aku, kawan. Kita harus
memenuhi takdir kita masing-masing.
Perlahan Nungku menekan pisaunya ke lambung ikan besar itu. Menahannya sejenak agar
darah ikan tak banyak keluar dan ikan bisa mati tanpa banyak kesakitan. Akan repot ia nanti jika
darah ikan justru mengundang datangnya kawanan hiu.
Aku janji akan menguburkan jantungmu di pantai. Nungku menjanjikan ritual Tosangia,
sebagai penghormatan bagi makhluk laut yang ia kalahkan dalam pertarungan. Ini penting. Tapi
ia harus kembali ke pantai dengan selamat untuk bisa memenuhi janjinya.
Tubuh ikan Layar itu ia ikat di sisi kiri perahu, di bagian jarangka yang patah. Ternyata
segelombang ombak terakhir yang menerjang perahunya telah pula mematahkan kitir, membuat
mesinnya kemasukan air dan tak bisa lagi dinyalakan. Hanya sebatang dayung saja
harapannya untuk pulang.
Langit belum cerah, dan ombak masih cukup tinggi. Hujan sudah selesai dan angin perlahan
mereda. Tapi Nungku harus pulang, semoga bisa mencapai pantai sebelum siang. Ikan di sisi
perahunya itu akan memupus sangkaan orang tentang laut, tentang peruntungan yang kata
mereka sudah habis. Sangkaan-sangkaan yang serupa buih ombak di setiap benak nelayan
desa Talaga Besar akan reda saat ia nanti mendaratkan ikan ini di pantai.

Terlintas wajah ibunya, juga wajah ayahnya. Wajah Makati dan istrinya. Wajah-wajah yang
menemani kesendiriannya dalam pertarungan di tengah badai tadi. Senyum ibunya masih
membekas di pelupuk matanya, seolah memberinya semangat untuk terus mengayuh menuju
pantai. Pertarungan yang membuatnya lebih percaya diri. Ia kian yakin pada petatah-petitih
yang kerap diucapkan ibunya: Tuhan tak pernah menyembunyikan setitik nikmat pun dari
hambanya.
Saatnya pulang. Terima kasih, Ibu.
Nungku mengayuh dayung menuju pantai. (*)

Molenvliet, 2013.

Catatan:
* Desa Talaga Besar : sebuah desa nelayan di pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara.
* Kerapu : sejenis ikan karang. Memiliki kemampuan hidup sangat lama dan berukuran besar.
Ikan ini anggota sejumlah genus dalam anak-suku Epinephelinae (suku Serranidae dalam
seri Perciformes). Kerapu disebut pula Grouper / Groper (Inggris), atau Garoupa (bahasa asli
Amerika Selatan).
* Bivak : semacam teduhan, atau gubuk kecil yang disanggah kayu seadanya.
* Ina : ibu.
* Lunas tegak : bagian depan dari kapal, selain dua jenis lainnya yaitu lunas dasar, dan lunas
lambung. Lunas pada kapal berfungsi melindungi kapal saat kandas, mengurangi olengan
kapal, dan memecahkan ombak agar perahu kian laju.
* Ikan Layar : atau ikan Layaran adalah jenis ikan yang tinggal di perariran hangat. Kebanyakan
berwarna biru keabu-abuan dan memiliki sirip punggung tegak yang mirip dengan layar kapal.
Moncong memanjang, menyerupai moncong ikan Todak. Ikan Layaran ada dua jenis;
Istiophorus albicans (Layaran Atlantik), dan spesies yang hidup di Indonesia, Istiophorus
platypterus (Layaran Indo-Pasifik).
* Jarangka : sebutan lain untuk cadik. Fungsinya sebagai penyeimbang perahu.
* Tosangia : sebuah kearifan lokal orang Moronene di desa Talaga Besar. Tradisi ini dilakukan
nelayan Moronene di sepanjang pesisir Talaga Besar dan Kabaena, berupa ritual mengubur
jantung ikan besar yang dikalahkan dalam sebuah prosesi penangkapan / pemancingan,
sebagai bentuk penghormatan yang tinggi.

SIHIR HITAM
Belum sempat Mia menaruh tas yang dijinjingnya, terdengar suara teriakan dari rumah
sebelah. Rumah yang ditinggalkan pemiliknya sebulan lalu.
Tolong, tolong, tolong!!!
Mendengar suara itu ia lantas bergegas menuju asal suara. Mia melihat rumah itu dengan
pintu yang terbuka. Ketika hendak masuk, Mia dikejutkan dengan seonggok tubuh manusia yang
tergeletak di ruang tamu dengan darah segar yang mengalir. Terlihat jelas dari posisi Mia yang
terpaku tepat di tengah pintu. Refleks ia menjerit sejadi-jadinya.
Aaaaaaaa!!!
Darah masih mengalir dari lehernya, sehingga lantai putih itu menjadi merah bersimbah
darah. Mengalir di sela-sela ruang dan menggenang di sudut tembok. Ada sebuah pisau dapur
mengkilap tepat di muka mayat. Barangkali pisau itu yang telah digunakan pelaku untuk
menghabisi nyawanya. Mia sangat takut dengan kejadian ini apalagi orangtuanya baru saja dia
antar hendak pergi ke luar kota. Dia panik, lantas dia ke rumah Pak RT berharap secepatnya
kasus ini terselesaikan.
Pak tolong, ada mayat di rumah nomor 13, bibirnya masih bergetar, dengan nafas yang
tidak teratur.
Benarkah?
Iya Pak, benar
Ayo kalau begitu kita bergegas ke tempat kejadian
Pak RT lekas menghidupkan mesin motornya. Mereka buru-buru menuju tempat
kejadian. Motor Pak RT sudah tua ngambek, sehingga kami terpaksa jalan kaki dengan langkah
sangat cepat. Selama ini Mia belum kenal dengan pemilik rumah itu. Pemilik rumah yang sangat
tertutup. Tapi sebenarnya warga komplek ini telah hafal dengan tabiatnya. Pemilik rumah itu
datang dan pergi begitu saja. Wajar jika tidak ada yang mengenalnya. Aku memperkirakan
pembunuhan ini berlatar belakang perampokan.
Mereka sudah sampai di depan rumah. Tapi Mia heran dengan pintu yang sekarang
tertutup, tadi dia yakin pintu itu terbuka. Ketika Pak RT membukanya, sontak mereka dikejutkan
dengan sesosok wanita yang tengah duduk di sofa dengan buku di tanganya. Kontras dengan
pemandangan yang Mia lihat tadi. Kontras dengan apa yang Mia katakan pada Pak RT.

Dia tampak terkejut melihat kedatangan Mia dan Pak RT. Bukan wanita itu yang
membuat Mia tercengang, terlebih karena di samping sofa itulah tadi Mia melihat sesosok mayat
terbaring bersimbah darah.
Oh ada tamu ya ternyata, silahkan masuk!, wanita itu menyapa sambil berdiri
membenarkan rok lebarnya. Suara wanita itu aneh, terdengar menakutkan meski dengan suara
yang lembut.
Mmm Maaf, tadi ada pembunuhan di rumah ini, apa Ibu sudah tahu?
Saya dari tadi duduk di sini, jangan mengada-ada dong
Saya tidak mengada-ada Bu, benar tadi ada. Mayatnya tadi ada di lantai tepat di samping
sofa itu , Mia menunjuk tempat yang dia yakin di sanalah mayatnya tergeletak.
Kenyataannya tidak ada. Tidak ada apa-apa di sini!, wanita itu mulai merasa terusik
dengan kelancangan Mia.
Sudah! biar saya periksa dulu, ujar Pak RT menengahi pembicaraan.
Mia berfikir sejenak hendak membenarkan apa yang wanita itu katakan. Tapi dia belum
pikun, dan dia benar-benar masih ingat mayat itu mati di samping kursi tempat wanita itu duduk.
Pak RT masuk ke dalam rumah. Memeriksa semua ruang yang ada di rumah itu. Ruang yang
sangat lebar. Dia lihat semua sisi dari ruangan itu. Dan Mia masih terpaku di tempatnya dia takut
masuk ke dalam, hanya terpaku di pintu masuk. Beberapa saat kemudian Pak RT kembali.
Tidak ada apa-apa, Pak RT berbicara pada Mia, tapi dengan mimik muka yang berbeda
dengan tadi sebelum dia memeriksa rumah. Mia merasa ada yang aneh dengan sikap Pak RT.
Yakin Pak tidak ada?
Iya. Tidak ada
Lalu Mia dan Pak RT hendak pergi dari rumah itu. Setelah meminta maaf pada wanita itu.
Tapi sebenarnya bukan karena mereka telah yakin tidak apa-apa di sana. Bukan itu, tapi seperti
ada sesuatu yang masuk pada pikiran mereka, sesuatu yang membuat mereka tidak berani untuk
lebih jauh mencurigainya.
Loh tidak duduk dulu?, sahut wanita itu dengan nada yang masih aneh, lembut tapi
menakutkan.

Saat Mia menoleh, dia jadi salah tingkah sendiri melihat sorot mata itu menusuk dan
secara perlahan-lahan menggerogoti badannya. Ia merasa seperti ada yang memukuli jantungnya
untuk berdegup lebih cepat dan lebih keras lagi. Apalagi ketika wanita itu berkata, Loh tidak
duduk dulu?
Mia takut dia segera pulang begitu pula Pak RT. Tapi tetap saja wajah dan sikap Pak RT
berubah semenjak dia masuk ke rumah itu. Entah apa yang dia lihat. Mia tidak tahu apa yang dia
lihat, sebab tidak ada kata yang Pak RT ucap untuk menjelaskannya.
Gelap mulai merayap menyelimuti rumah-rumah yang ada di komplek itu. Tak terkecuali
rumah yang penuh misteri. Misteri yang baru Mia peroleh beberapa jam yang lalu. Dan masih
meninggalkan bekas yang mendalam di benaknya. Wanita dengan tatapan aneh.
Mia duduk di sofa ruang tengah. Tampak kedinginan meski sebenarnya hawanya tidak
sedingin itu. Dia mulai jengah menanti Rina yang berjanji menemaninya malam ini, sekedar
untuk mengurangi rasa takutnya.
Pintu rumah Mia diketuk keras dan tidak sabaran. Mungkin itu Rina yang berjanji akan
menemaninya malam ini. Hati Mia mulai rada tenang, meski belum tahu siapa yang sedang
berada di balik pintu.
Ya, sebentar!, teriak Mia.
Sebelum membuka pintu, Mia membuka gorden meyakinkan siapa yang datang. Tidak
kelihatan, mungkin dia di sisi yang tidak terlihat dari dalam. Lantas Mia buka pintunya. Berdiri
seorang wanita pemilik rumah itu menyodorkaan rantang dengan tatapan yang sama ketika
terakhir melihatnya tadi siang.
Untuk Mia
Mia hanya diam terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa kecuali meraih rantang yang ada
di depannya. Tenggorokan Mia tertahan tidak bisa dia mengucap sepatah kata pun. Perempuan
itu menatapnya sejenak lalu membalikan badan melangkah pergi perlahan meninggalkan Mia
yang sedang ketakutan.
Ketika perempuan itu sudah menghilang ditelan gelap. Barulah Mia sadar ada rantang di
tangannya. Dia takut bukan main, lalu dia lempar rantang itu ke tanah. Sungguh mengejutkan
ratang itu berisi sepasang bola mata dan sepasang telinga dengan kuah darah berwarna merah
pekat. Berbau anyir.Pemandangan yang menjijikan, darah itu mulai meresap ke tanah.

Rasanya Mia mau muntah, tetapi tidak ada yang keluar dari perutnya. Ia berjuang keras
meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang terlihat, dan terbaui olehnya itu, sebetulnya
hanyalah sesuatu yang hanya dia khayal saja. Tapi tidak, darah itu masih merah, bola mata itu
masih di tanah seperti menatap tajam, dan dua telinga yang terserak.
Mia meuntup pintu dengan keras berharap rasa takutnya rontok bersama dengan hentakan
pintu. Dia kembali ke sofa, tubuhnya menggigil, wajahnya pucat pasi. Dia gigit kain selimutnya,
tak terasa keringat dingin menetes melalui pori-porinya. Mia sangat ketakutan.
Angin malam berhembus pelan masuk melalui cela dan menerpa tubuh Mia. Bulu
romanya mulai bergidik. Jantungnya terpompa, keringat dingin membasahi pakainya.
Grrrhhhuuekkhhh
Ada suara berdahak di dalam kamar mandi. Padahal hanya Mia yang berada di rumah ini.
Grrrhhhhuuekkkhhh lagi-lagi saura itu terdengar diikuti suara air kran yang
mengucur.Mia tidak tahan dengan kejadian-kejadian ini. Dia berusaha bangkit dan
memberanikan diri, memeriksa siapa yang ada di kamar mandi. Dengan langkah yang
mengendap-ngendap. Tubuhnya masih menggigil, dia lihat ada sesosok perempuan di balik pintu
kaca kamar mandi yang transaparan. Dia semakin mendekat, dia buka pintu itu meski ragu-ragu.
Grrrhhhuuekkkhhh, seorang wanita berpakaian serba putih berdahak memuntahkan darah
merah. Dengan spontan menatap Mia, sorot mata yang merah merembas darah dari matanya.
Sorot mata yang sangat menakutkan. Kran juga mengalir darah. Kamar mandi itu menjadi banjir
darah. Mia hafal wajah itu, dia adalah pemilik rumah yang menakutkan tapi dia sudah berubah
semakin manakutkan.
Bruuk, Mia banting pintunya dia lari sekuat tenaga hendak keluar rumah. Namun
lampu-lampu rumah satu per satu padam, hanya beberapa lampu remang berwarna kuning yang
masih menyala.
Pintu untuk keluar terkunci, entah siapa yang menguncinya. Dia tarik sekuat tenaga tapi
tidak berguna. Hanya sia-sia, pintu tetap terkunci, lantas Mia menangis sejadi-jadinya bersandar
di tembok dekat pintu. Tubuhnya menggigil hebat. Hanya keringat dingin yang menerjemahkan
keadaannya.
Wanita itu muncul dari balik kegelapan dan mulai mendekat, wanita dengan rambut
berantakan dan pakaian serba putih. Pakaian yang pajang, sehingga wanita itu melangkah dengan
menyeret pakaianya. Wajahnya penuh luka, kadang terdengar suara merintih, kadang suara tawa
keluar dari mulutnya.

Aku butuh bola matamu, aku butuh telingamu, aku butuh darahmu, suaranya pelan
tapi jelas terdengar di telinga Mia.
Tidak, tidak, tidak!!!, teriak Mia ketakutan.
Wanita itu semakin dekat sangat dekat, Mia palingkan mukanya dia takut menatap wanita
dengan darah yang merembes dari matanya, mata yang merah. Tapi tiba-tiba wanita itu
menghilang. Lampu-lampu menyala kembali.
Dan pintu yang disandarinya tiba-tiba terbuka. Sontak dia terkejut.
Aaaaaaaa!!!
Hey Mia, ada apa?, ternyata dia adalah Rina, lantas dia goyang-goyangkan tubuh Mia
yang kaku ketakutan.
Pagi yang kelabu, awan berwarna abu-abu. Sesekali terdengar suara gagak melintasi
rumah. Mereka duduk di serambi dan Rina masih memeluk Mia. Tubuhnya kaku, masih terlihat
semburat pucat di wajahnya. Mia tidak mengucap sepetah kata pun pada Rina semenjak dia
datang. Mulutnya kaku.
Bukan hanya langit yang kelabu, bukan hanya awan yang berwarna abu-abu. Warga
komplek pun dikejutkan dengan kabar yang kelabu. Pak RT meninggal dengan cara yang tragis.
Sepasang bola mata dan telinganya hilang. Dan pisau dapur berada tepat di depan mayatnya
sebelum polisi memeriksa.
Pagi itu bukan hanya Pak RT yang membuat warga komplek terkejut. Terpampang dalam
surat kabar diberita utama bahwa.
Ditemukan mayat wanita dan laki-laki di lereng gunung Merapi. Diperkirakan mayat itu
sudah mati sebulan yang lalu. Tapi anehnya kelopak mata dan telinga mayat wanita masih
terlihat segar meskipun anggota tubuh yang lain sudah membusuk. Dan juga ditemukan sebuah
kitab sihir di sisi perempuan itu.
Setengah misteri Mia mungkin telah terungkap. Namun tidak pula membuat rasa takutnya
berkurang. Justru dia semakin takut. Dia merasa mungkin saja berikutnya dialah yang kehilangan
bola mata dan telinga. Dengan apa dia akan melihat warna dunia ini jika matanya hilang. Dan
dengan apa pula dia mendengar deburan ombak jika telinganya hilang. Oh biarlah. Biar Mia saja
yang menanggung ketakutan.

Anda mungkin juga menyukai