1. Pendahuluan
Wisanggeni, Sang Buronan (selanjutnya disebut WSB) adalah
novel(et) karya Seno Gumira Ajidarma, yang tokoh serta ceritanya
didasarkan pada cerita wayang. Wisanggeni adalah nama tokoh dalam
pewayangan. Ia merupakan anak Arjuna dari Dewi Dresanala, seorang
putri kayangan. Kisah mengenai Wisanggeni sebenarnya terdapat dalam
epik Bharatayuda1, kisah peperangan dalam dunia pewayangan.
Cerita wayang telah begitu lekat pada masyarakat Indonesia
terutama masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali. Banyak penyair dan
pengarang yang menjadikan cerita wayang sebagai sumber rujukan bagi
ceritanya. Menurut Nurgiyantoro (2003:1) munculnya unsur cerita wayang
dan bentuk-bentuk transformasinya pada karya fiksi Indonesia baru
terlihat pada pertengahan tahun 70-an, yaitu dengan terbitnya cerpen
panjang Sri Sumarah karya Umar Kayam, dan beberapa tahun
sebelumnya Danarto menulis cerpen Nostalgia yang bersumber pada
cerita Abimanyu Gugur. Setelah itu karya-karya berikutnya menyusul
seperti Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi), Burung-burung Manyar dan
1 Satu epos yang diambil dari Mahabharata, disebut juga Bharatayuda Jayabinangun, dari buku
Bharatayuda karya Wawan Susetya (2007)
secara
nyata
memfungsionalkannya
dalam
jalinan
cerita.
modifikasi.
Perubahan-perubahan
ini
akan
dijadikan
kajian
ontran-ontran di
3. Postmodernitas
Postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan
ide-ide zaman modern (yang mengutamakan rasio, objektivitas, dan
kemajuan). Postmodern mengkritik modernism yang dianggap telah
menyebabkan desentralisasi di bidang ekonomi dan teknologi, apalagi hal
ini ditambah dengan pengaruh globalisasi. Selain itu, postmodern
menganggap media yang ada saat ini hanya berkutat pada masalah yang
sama dan saling meniru satu sama lain (www.wikipedia.com).
Post-modernisme
"Collage"
menawarkan
suatu
cara
alamiah
untuk
motif kritik maupun parodi (Sean Homer: 104). Contoh yang baik dalam
kasus ini adalah produksi dan distribusi film-film nostalgia bikinan
Hollywood. Film-film ini sebenarnya diproduksi atas dasar konsep
pastiche yang hanya mengcopy dan meniru saja peristiwa-peristiwa
sejarah masa lalu. Apa yang ditekankan film-film ini adalah sekadar
bentuk dan kualitas citra/gambar (image) dengan isi yang dibentuk seolah
nyata. Padahal jenis konsumsi budaya semacam ini tidak mereferensikan
kompleksitas konstekstualnya, dalam artian film semacam itu sama sekali
tidak menunjuk pada realitas konteks yang sesungguhnya melainkan
hanya mengeksploitasi pencitraan dan stylization yang hampa makna,
yang ditujukan untuk komodifikasi dan konsumsi. Menurut Jameson
fenomena stylization atau pastiche ini merupakan gejala runtuhnya
historisitas, suatu keterputusan dengan sejarah, dan sekaligus gejala
ketidakmampuan kita merepresentasikan pengalaman kekinian kita sendiri
(Jameson, 1991: 21).
Pastiche menyusun elemen-elemen yang dipinjam dari pelbagai
pengarang atau seniman masa lalu. Karena itu, pastiche bisa mempunyai
konotasi negatif yakni miskin orisinalitas. Menurut Linda Hutcheon,
pastiche adalah bentuk imitasi murni, tanpa pretensi politis seperti parodi.
Ia mengambil pelbagai gaya dan bentuk dari pelbagai keping sejarah,
mencabutnya dari semangat zamannya, dan menempatkannya dalam
konteks masa kini. Pastiche merupakan apa yang disebut Baudrillard
sebagai titik balik sejarah. Fredric Jameson mangatakan Pastiche
5. Analisis
Imitasi, Interstyle, dan Anakronisme
Menurut Hutcheon (Piliang,2003: 190), pastiche merupakan imitasi,
tidak saja dari satu teks, akan tetapi dari kemungkinan teks-teks yang tak
berhingga, yang pengombinasiannya disebut oleh Hutcheon dengan
interstyle (istilah ini harus dibedakan dengan dari interteks). Tujuan dari
imitasi adalah menekankan persamaan ketimbang perbedaan.
Karena terdiri dari kemungkinan berbagai teks, maka dalam novel
pastiche juga terjadi anakronisme. Hal ini
penampilan baru:
adalah tempat orang berjual beli. Pasar yang dilewati oleh Wisanggeni
sama seperti pasar tradisional yang sering kita temui di sekitar kita, kumuh
dan tidak teratur.
Pada hari pasar yang meriah tentu tak ada seorangpun yang
memperhatikan kehadiranya. Ia menyelip disela-sela orang banyak
yang sibuk melakukan tawar menawar. Sepanjang jalan adalah
pasar. Di gang-gang, di pojok-pojok jalan, dimuka pintu setiap
rumah, di mana saja, orang berjualan.
Gelang perak! Kalung perak! Ukiran Pancala! Jual murah! Siapa
beli?
Sutera Magada! Ditanggung halus dan tahan lama! Cocok untuk
dipakai ke pesta!
Buah labu, buah durian , dan buah kurma! Sudah diawetkan! Asli
dari Jawa dan timur Tengah!......
Babi panggang! Sudah diawetkan! Asli dari Tiongkok!
.......... Gading Muangthai, Ukiran Bali! (WSB hal. 2)
Pencampuran ini, memungkinkan suatu identitas lintas dunia: batas antara
dunia nyata dan dunia fiksi dirusak, atau apa yang oleh McHale (dalam
Allen, 2004:188) disebut skandal ontologis.
Dunia wayang adalah dunia fiksional yang terstruktur dan
mempunyai pakem yang jelas. Dengan mencampurkan dunia yang
terstruktur itu dengan dunia kekinian yang fiksional membentuk
anakronisme kreatif. Dalam hal ini, dunia wayang akan dianalogikan
sebagai dunia historis.
khasanah
kesusasteraan
Indonesia,
telah
banyak
pengarang yang memakai cerita wayang sebagai hipogram untuk novelnovel atau cerpen-cerpennya, misalnya Burung-burung Manyar, Durga
Umayi (Mangunwijaya), sri sumarah (Umar kayam), Perang (Putu
Wijaya)2. Menurut Nurgiyantoro (2003: 9-10) pengangkatan cerita wayang
2 Baca misalnya Pamela Allen; Membaca, dan Membaca Lagi
Pengaktualan
penokohan
paling
tidak
meliputi
(1)
novel
WSB
ini,
SGA
melakukan
penghipograman
10
oleh
semua
lapisan
masyarakat.
(http://nurulhuda.wordpress.com/2007/05/15/ )
Dalam pewayangan, setiap gerak, setiap ciri, ucapan, pakaian
seorang tokoh mempunyai simbol tertentu yang sangat khas dan mandiri.
Dengan atribut baru, Wisanggeni dalam WSB mengalami kedangkalan
citra, menjadi sosok yang akrab, sosok yang kita temui dalam novel-novel
silat seperti Wiro Sableng4. Kresna, salah satu tokoh yang sangat agung
dan provokatif , dalam WSB juga berubah penampilan mejadi sosok yang
akrab dan bijaksana. Sosok yang manusiawi.
Tercium bau sedap dari asap lele yang dibakar Sri Kresna.
Wisanggeni memperhatikan lelaki itu dengan kagum. Ia bisa
muncul sebagai apa saja di dunia ini, sedangkan aku hanya bisa
menjadi seorang Wisanggeni yang ditolak, tidak bisa tidak. Kresna
mengangkat kayu yang memanggang lele itu. Memang cukup
besar untuk mereka berdua.
Ayolah kita bersantap, Wisanggeni, kamu tentu lapar, ujar Sri
Kresna. 79-80
Melihat kutipan di atas, meskipun terlihat lucu, akan tetapi tidak
merupakan parodi, atau menurut Jameson (Piliang, 2003: 188) hanya
merupakan parodi kosong (blank parody), yaitu parodi tanpa cemoohan,
tanpa sense of humour. Representasi tokoh Kresna dan wisanggeni pada
kutipan di atas, hanya dimaksudkan untuk membuat citra atau image yang
akrab dan manusiawi.
Dalam cerita aslinya Baratayuda 5, Karakter Wisanggeni adalah
mungkak kromo (tidak menggunakan bahasa kromo ketika bicara dengan
4 Novel cerita silat karya Bastian Tito
5 Seno mengambil cerita ini dari komik karya RA. Kosasih. Dalam hal seri Wisanggeni, yang saya
judulkan menjadi Wisanggeni, Sang Buronan, babonnya adalah Lahirnya Bambang Wisanggeni
(Bandung: PT Melodi, 1970, 4 jilid a 82 halaman). (SGA, ix)
11
winarah
(mampu
melihat
hal
yang
belum
terjadi).
(http://id.wikipedia.org/w/index.php).
Dalam WSB, Wisanggeni menjadi lelaki yang santun, oleh karena bahasa
Indonesia sendiri tidak memiliki tingkat bahasa (undak usuk).
Menurut Jameson fenomena
12
13
adalah
fragmentaris.
Di
dalam
narasi
Baratayuda,
perang
tersebut.
Dalam
WSB,
Kresna
berperan
untuk
14
15
6. Simpulan
16
17
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. 2000. Wisanggeni, Sang Buronan. Yogyakarta:
Bentang
Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan Membaca Lagi. Re interpretasi Fiksi
Indonesia 1980-1995. Terjemahan Bakdi Soemanto. Mgelang:
Indonesia Tera.
Jameson, Fredric. 1991. Postmodernism, or, The Cultural Logic of Late
Capitalism .Durham: Duke University Press
Jencks, Charles. 1989. What is Post-Modernisme? 3d ed. New York: St
Martin's Press.
Malpas, Simon. 2005. The Postmodern. London and New York:
Routledge.
Nurgiyantora, Burhan. 2003. Wayang dalam Fiksi Indonesia. Dalam
Humaniora volume XV no.1/2003. Yogyakarta.
Piliang, Yasraf Amir. 1994. Tamasya di antara keeping-keping Masa Lalu.
Seni pada Titik Balik Modernitas. Dalam Kalam, Edisi 2 1994.
Jakarta: Yayasan Kalam.
---------- 2003. Hipersemiotika:Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna.
Yogyakarta: Jalasutra.
18
19