Anda di halaman 1dari 58

KUMPULAN KISAH UNTUK AYAHBUNDA DAN ANAKCUCU

VOL 1

PAULO COELHO

Tentang Penulis:

Paulo Coelho, pengarang dari Brazil lahir pada tahun 1947 di kota Rio de Janeiro.
Sebelum mengabdikan seluruh hidupnya bagi kesusastraan” ia bekerja sebagai
pimpinan teater dan aktor, lirikus dan jurnalis. Pada tahun 1986, Paulo Coelho
melakukan perjalanan ziarah menelusuri jalur st james de compostela, pengalaman
tersebut kemudian ia bukukan dalam The Pilgrimage. Tahun berikutnya, Coelho
menerbitkan Novel The Alchemist. Penjualannya yang lambat membuat penerbit
menghentikan peredarannya. Namun kemudian Novel tersebut menjadi Novel Best
Seller sepanjang masa di Brazil. Judul-judul yang lain diantaranya Brida (1990), The
Valkyries (1992), By The river Piedra I sat down and wept (1994), koleksi catatan
kolom terbaiknya Maktub (1994) dimuat dalam Koran nasional Brazil Folha de Sao
Paulo, kompilasi tulisan Phrases (1995), The Fifth Mountain (1996), Manual of a
Warrior of Light (1997), Veronika decides to die (1998), The Devil and Miss Prym
(2000), kompilasi dongeng tradisional untuk ayahbunda dan anakcucu (2001), Eleven
Minutes (2003), The Zahir (2005), The Witch of Portobello (2006) and Winner Stands
Alone (2009). Paulo juga menjadi pionir dan memperluas eksistensinya di internet
dengan blog hariannya di Wordpresss, Myspace & facebook. Ia juga hadir dalam
dalam situs-situs berbagi lewat media seperti Youtube dan Flickr, tidak hanya
menawarkan teks seperti biasanya, namun juga menawarkan video dan gambar
kepada penggemarnya. Ketertarikan yang intensif dan penggunaan internet ini
melahirkan proyeknya yang terbaru: The Experimental Witch dimana ia mengundang
pembacanya untuk mengadaptasikan karyanya, The Witch of Portobello ke dalam
layar. Paulo Coelho benar-benar meyakini internet sebagai media baru dan ia adalah
pengarang best-seller pertama yang giat mendukung distribusi online gratis dari
karya-karyanya.
Kemahiran sejati

Yogi Raman adalah seorang mahaguru seni memanah. Suatu pagi, dia mengundang
murid terbaiknya untuk menyaksikan peragaan keahliannya memanah. Sang murid
telah menyaksikannya ratusan kali, walaupun demikian ia tetap mematuhi titah
gurunya.
Mereka pergi ke hutan di sebelah biara. Ketika mereka sampai di dekat pohon oak
yang besar, Raman mengambil bunga yang ia selipkan di bajunya, lalu menaruhnya di
salah satu cabang pohon itu.
Ia lalu membuka tasnya, dan mengeluarkan tiga buah benda; busurnya yang megah,
yang terbuat dari kayu bermutu, anak panah, dan saputangan warna putih dengan
bordir bunga bakung.
Sang yogi mundur seratus langkah dari pohon tempat ia meletakkan bunga.
Berhadapan dengan targetnya, dia meminta muridnya untuk menutup matanya dengan
saputangan bordiran.
Sang murid lalu melaksanakan perintah gurunya.
”Seberapa sering kau menyaksikan aku berlatih olahraga panah ’warisan leluhur’
yang mulia ini?” Raman bertanya kepadanya
”Setiap hari,” muridnya menjawab. ”Dan biasanya guru selalu memanah bunga itu
dalam jarak 300 langkah.”
Dengan mata tertutup saputangan, Yogi Raman memsang kuda-kuda, menarik tali
busur, dan dengan perkiraannya, membidik bunga yang ditaruh di cabang pohon oak,
lalu melepaskan panahnya.
Panah itu melesat di udara, namun bahkan tidak menancap di pohon, meleset
dengan sangat memalukan dan jauh dari sasaran.
”Apakah aku berhasil memanah bunga itu?” tanya Raman sambil membuka ikatan
saputangan yang menutup matanya.
”Tidak guru, guru benar-benar meleset, ” muridnya menjawab. ”Saya mengira guru
akan memperlihatkan kekuatan fikiran dan kemampuan guru bermain sulap kepada
saya.”
”Aku baru saja mengajarkan kepadamu pelajaran yang paling penting mengenai
kekuatan fikiran” Raman menjawab. ”Ketika kamu menginginkan sesuatu, pusatkan
fikiranmu hanya kepada hal tersebut: tak ada yang dapat mencapai sasaran yang tak
dapat dilihat
Ingin Selalu Dikenang

Di dalam biara Sceta, Kepala biara Lucas mengumpulkan para saudara dan
berkhutbah.
”Mungkin kamu semua akan dilupakan ” ia berkata
”Tapi mengapa ” salah seorang saudara bertanya. ”Bukankah itu berarti teladan kita
tak akan pernah bermanfaat untuk menolong mereka yang membutuhkan?”
”Ketika semua orang benar, tidak ada yang akan memperhatikan orang yang
bertindak untuk menjadi teladan.” Kepala biara menjawab. ”Setiap orang melakukan
yang terbaik, tanpa pernah berfikir bahwa dengan bertindak seperti itu mereka
melakukan hal itu untuk saudaranya. Mereka mencintai saudaranya karena mereka
mengerti bahwa ini merupakan bagian dari hidup dan mereka mematuhi hukum alam.
Mereka membagi kepemilikan mereka agar tidak menimbun lebih dari yang mampu
mereka bawa, karena perjalanan terus berlangsung seumur hidup. Mereka hidup
bersama dalam kebebasan, memberi dan menerima, tidak menuntut apapun dan tidak
menyalahkan siapapun. Itu sebabnya mengapa amalan mereka tidak pernah
dibicarakan dan itu pula sebabnya mereka tak pernah meninggalkan kisah. Jika saja
kita mampu mencapai hal yang sama sekarang: untuk membuat kebajikan sebagai hal
yang biasa sehingga kita tidak perlu memuji orang yang menjalankan hal tersebut.”
Membangun Kembali Dunia

Seorang Ayah terus menerus diganggu oleh anaknya ketika sedang membaca koran.
Akhirnya sang ayah yang lelah diganggu menyobek salah satu halaman koran yang
bergambar peta dunia, ia lalu mengguntingnya menjadi beberapa bagian, lalu
menyerahkannya kepada anaknya.
”Ya, sekarang kamu punya pekerjaan yang harus dilakukan. Kuberikan padamu peta
dunia, aku ingin melihat apakah kamu bisa menyatukannya kembali seperti sediakala

Mengetahui bahwa tugas tersebut akan membuat si anak sibuk sepanjang hari, Sang
ayah pun melanjutkan membaca korannya. Namun, seperempat jam kemudian si anak
kembali dengan petanya.
”Apakah Ibumu belum mengajarkanmu Geografi?” sang Ayah bertanya dalam
keheranannya.
”Aku bahkan tidak tahu apa itu geografi”. si anak menjawab. ”Tapi ada foto seorang
lelaki di balik halaman peta dunia itu. Maka aku menyatukannya hingga kembali utuh
dan menemukan bahwa hal itu juga akan menyatukan gambar dunia seperti sediakala.
Memikirkan Kematian

Zilu berkata kepada Confucius (Filsuf Cina yang hidup pada abad ke 6 SM)
“Bolehkah saya mengetahui pendapat anda mengenai kematian?”
“Anda boleh bertanya” Confusius menjawab. “Namun jika kita masih belum
mengerti hidup, mengapa kita harus mengetahui kematian. Tinggalkan pertanyaan
mengenai kematian ketika hidup telah berakhir.”
Membayar dengan Harga yang Pantas

Nixivan mengundang kawan-kawannya untuk makan malam dan memasak daging


yang lezat untuk mereka. Tiba-tiba, dia sadar bahwa ia tak punya garam.
Kemudian Nixian memanggil anaknya.
”Pergilah ke desa dan belilah sebungkus garam, tapi bayarlah dengan harga yang
pantas; jangan terlalu mahal ataupun terlalu murah.”
Anaknya pun terkejut.
”Saya bisa mengerti mengapa kita tak boleh membayar terlalu mahal Ayahku, tetapi
jika kita mampu menawar lebih murah, mengapa kita tidak menghemat uang kita
saja?”
”Hal itu merupakan sebuah pemikiran yang wajar jika kita hidup di kota besar,
namun hal itu dapat menghancurkan desa kecil seperti desa kita.”
Ketika tamu-tamu Nixian yang mendengar pembicaraan mereka ingin mengetahui
mengapa mereka tidak boleh membeli garam lebih murah padahal mereka mampu,
Nixian lalu menjawab:
”Satu-satunya alasan orang untuk menjual garam lebih murah dari biasanya adalah
karena dia sangat membutuhkan uang. Dan barangsiapa yang mengambil keuntungan
dari keadaan itu, maka ia tidak menghormati keringat dan perjuangan dari mereka
yang telah bekerja keras untuk mehasilkan garam itu.
”Namun hal yang kecil seperti itu tak akan mungkin sampai menghancurkan sebuah
desa.”
”Awalnya, hanya sedikit ketidak-adilan yang terjadi di dunia ini, namun orang yang
datang setelah itu kemudian menambah porsinya, mereka selalu berpikir bahwa itu
adalah hal yang kecil dan tidak penting. Dan sekarang, lihatlah apa yang terjadi
dengan dunia ini.”
Balok Kaca yang Hilang

Suatu ketika, ketika saya dan istri saya sedang bepergian, aku menerima fax dari
sekretarisku.
”Ada satu balok kaca yang hilang untuk pekerjaan renovasi dapur,” Ia berkata. ”
Aku mengirimkan rancangan orisinal bersama Rancangan baru sebagai gantinya.”
Satu tangan saya memegang rancangan yang dibuat oleh istri saya: garis-garis
harmoni balok kaca dengan sebuah lubang ventilasi. Sementara tangan yang satu lagi
memegang rancangan yang dibuat untuk mengatasi masalah balok kaca yang hilang:
benar-benar seperti sebuah puzzle dimana balok skaca itu tersusun tidak teratur dan
mengabaikan estetika.
”Sudah saja beli lagi balok kaca yang baru.” Tulis istri saya. Merekapun
melaksanakannya dan kembali ke rancangan yang asli.
Sore itu saya merenungkan apa yang telah terjadi; Seringkali, karena kekurangan
satu balok kaca, kita mengubah rencana hidup kita yang sejati.
Renungan Epictetus pada sebuah pertemuan

Epictetus (55 A.D.- 135 A. D.) terlahir sebagai seorang budak, kemudian menjadi
salah satu filsuf terbesar di Roma. Ia diusir dari kota itu pada tahun 94 A.D. Sewaktu
dalam pengansingan ia menemukan metoda untuk mendidik murid-muridnya. Ini
adalah sebuah kutipan dari seni hidupnya.
”Ada 2 hal yang mungkin terjadi ketika kita bertemu seseorang: apakah kita akan
berteman atau kita mencoba meyakinkan orang itu untuk mengikuti keyakinan kita.
Hal yang sama juga terjadi ketika arang yang tengah membara bertemu dengan arang
lainnya; mungkin ia akan berbagi apinya atau kewalahan oleh ukuran arang yang lain
dan kemudian ia padam.
Namun karena pada umumnya kita merasa tidak aman ketika kita bertemu
seseorang, kita lebih suka untuk memperlihatkan sikap acuh, arogan, ataupun
kerendahan hati yang berlebihan. Hasilnya adalah kita berhenti untuk menjadi diri kita
sendiri, dan malah berpindah ke dalam dunia yang aneh yang bukan tempat kita.
Untuk menghindari hal-hal seperti itu, munculkan perasaan nyamanmu secepatnya.
Arogansi mungkin hanya menjadi topeng yang tipis untuk menutupi kepengecutan,
Namun hal itu bisa menghalangi hal-hal penting berkembang dalam hidup kita.”
Sebuah Cerita
karya Kahlil Ghibran

Aku sedang berjalan dalam taman di sebuah rumah sakit jiwa ketika kemudian
bertemu seorang anak muda yang sedang membaca buku filsafat.
Tingkah laku dan keadaannya yang terlihat sehat membuatnya berbeda dari teman-
temannya.
Kemudian aku duduk di sampingnya dan bertanya:
”Apa yang sedang kau lakukan disini?”
Ia terkejut dan menatapku. Namun demi melihat bahwa aku bukanlah salah satu
dokternya, ia menjawab:
”Jawabannya sederhana sekali. Ayahku adalah seorang pengacara brilian yang
menginginkan aku seperti dirinya. Pamanku yang memiliki sebuah toko besar
menginginkan aku untuk mencontoh dirinya. Kakak perempuanku selalu menjadikan
suaminya daripada aku sebagai contoh orang yang sukses. Saudara laki-lakiku
mencoba melatihku untuk menjadi atlit seperti dirinya.
Hal yang sama juga terjadi di sekolah. Guru piano dan guru bahasa inggrisku yakin
bahwa mereka adalah contoh terbaik untuk diikuti. Tak ada satupun dari mereka yang
melihatku sebagai manusia, mereka melihatku seperti mereka melihat pada sebuah
cermin.
Itulah alasan mengapa aku memasuki rumah sakit ini. Setidaknya aku dapat menjadi
diriku sendiri.
Bertemu Sang Raja

Seorang Raja persia bertanya kepada Saadi dari Shiraz:


”Dalam pengembaraanmu melewati kota-kota di kerajaanku, Apakah kamu
mengingatku dan hasil karyaku?”
”Yang Mulia, hamba selalu mengingat Yang Mulia ketika hamba lupa kepada
Tuhan.” Orang bijak tersebut menjawab.
Hanya Satu yang Bersalah

Seorang Raja yang bijaksana melakukan kunjungan ke sebuah penjara. Lalu ia mulai
mendengarkan keluhan para tahanan.
”Saya tidak bersalah,” seorang tahanan yang dituduh membunuh berbicara. ”Saya
disini hanya karena saya ingin menakut-nakuti istri saya, namun tanpa sengaja saya
membunuhnya.”
”Saya dituduh menerima suap,”sahut salah seorang yang lain,”Padahal yang saya
lakukan hanyalah menerima hadiah.”
Semua tahanan mengungkapkan ketidakbersalahan mereka kepada Raja Weng,
hingga salah satu dari mereka, seorang anak muda yang baru berumur duapuluhan
berkata:
”Saya bersalah. Saya telah melukai saudara saya dalam sebuah perkelahian dan saya
berhak untuk dihukum. Tempat ini telah membuat saya menyadari rasa sakit yang
telah saya timbulkan.”
”Keluarkan tahanan ini dari penjara sekarang juga!” Perintah Raja Weng. ”Kelak ia
akan menodai semua orang disini yang tidak bersalah.”
Membantu Bangsa

Zizhang mencari Konfusius ke seantero Cina. Saat itu Cina sedang mengalami
pergolakan sosial yang hebat, dan ia takut terjadi pertumpahan darah.
Ia menemukan Tuannya sedang bermeditasi di dekat sebuah pohon ara.
“Tuan, kami membutuhkan kehadiran anda di Pemerintahan.” Ia berkata. “Negara
sedang dalam keadaan kacau.”
Konfusius tetap melanjutkan meditasinya.
”Tuan, anda mengajarkan kepada kami bahwa kita tidak boleh bermalas-malasan,”
Zizhang melanjutkan.”Anda berkata bahwa kita semua bertanggung jawab terhadap
dunia.”
”Aku berdoa untuk bangsa ini,” Konfusius menjawab. ”Nanti aku akan pergi
membantu seseorang yang tinggal di dekat sini. Dengan melakukan apa yang ada
dalam jangkauan kita, kita menguntungkan semua orang. Dengan ide untuk
menyelamatkan dunia semata, kita bahkan tidak membantu diri kita sendiri. Ada
beribu cara untuk terlibat dalam politik; Aku tidak butuh menjadi bagian dari
Pemerintah.
Dimana Monyet Menaruh Tangannya

Aku berkata kepada seorang kawan:


”Sebuah Peribahasa mengatakan, seekor monyet tua tidak pernah menaruh
tangannya dalam periuk. ”Ya, tapi hal tersebut dapat dimengerti. ” Ia menjawab. ” Di
India, pemburu membuat lubang kecil dalam sebuah kelapa, menaruh pisang di
dalamnya dan menguburnya. Kemudian seekor monyet menemukan kelapa itu, lalu
menaruh tangannya pada lubang itu untuk mengambil pisang. Namun bukannya
membuat pisang itu terlepas, sang monyet tetap disana dan sibuk bergulat dengan hal
yang tidak mungkin dan akhirnya tertangkap basah.”
Hal yang sama juga terjadi dalam hidup kita. Kebutuhan untuk memiliki hal-hal
tertentu, seringkali hal-hal kecil yang tidak berguna, akhirnya membuat kita menjadi
tawanan dari keinginan kita sendiri.
Memilih Takdir Kita

Dahulu kala, Hiduplah seorang manusia yang mampu mencintai dan memaafkan
semua orang yang ia temui. Karena itu, Tuhan mengirimkan malaikat untuk berbicara
kepadanya.
”Tuhan memerintahkan kepadaku untuk mengunjungimu dan menyampaikan pesan
dari-Nya bahwa Dia ingin memberi ganjaran atas kebaikanmu.” Malaikat berkata.”
Kau dapat memiliki ganjaran yang kau inginkan. Apakah kamu ingin diberikan
kesehatan?”
”Tentu saja tidak.” kata orang itu. ”Aku lebih menginginkan Tuhan memilih mereka
yang harus disembuhkan.”
”Bagaimana kalau anda diberikan kemampuan untuk membimbing mereka yang
berdosa untuk kembali ke jalan yang benar?”
”Itu pekerjaan untuk malaikat sepertimu. Aku tak ingin dimuliakan oleh siapapun
dan tak ingin menjadi tauladan abadi.
”Dengarkan aku, aku tak bisa kembali ke surga jika belum memberikanmu mujizat.
Jika kamu tidak memilih, maka aku yang akan memilihkannya untukmu.”
Ia berpikir sejenak, lalu berkata:
”Baiklah, aku ingin agar kebajikan dapat disebarkan melalui diriku, tapi tanpa
seorangpun mengetahuinya, termasuk diriku, agar aku terhindar dari dosa
keangkuhan.”
Kemudian Malaikat mengatur agar bayang-bayang si lelaki memiliki kekuatan
penyembuhan, namun hanya pada saat mentari menyinari wajah lelaki itu. Dengan
cara seperti itu, kemanapun ia pergi, mereka yang sakit disembuhkan, tanah menjadi
subur kembali, dan mereka yang sedih kembali menemukan kebahagiaan.
Lelaki itu berkeliling dunia selama bertahun-tahun, tanpa menyadari mujizat yang
ia hasilkan. Karena ketika ia menghadap matahari, bayang-bayangnya selalu berada di
belakang. Dengan cara ini, ia mampu untuk hidup dan mati tanpa menyadari
kesuciannya sendiri.
Pencarian yang Sia-sia

Mistikus Ramakrishna memulai pengabdiannya pada kehidupan spiritual ketika ia


berusia enam belas. Pada awalnya, ia selalu menangis dengan getir, karena meskipun
ia mengabdi dengan bekerja di biara, ia merasa mengalami kemandegan.
Kemudian, setelah ia dikenal orang, seorang kawan bertanya tentang masa-masa
yang menyedihkan itu. Ramakrishna menjawab:
”Jika seorang pencuri bermalam dalam sebuah ruangan dengan hanya sebuah
dinding tipis yang membatasinya dari ruangan lain yang penuh dengan emas, Apakah
kamu berpikir ia bisa tidur? Ia akan terjaga sepanjang malam, membuat rencana.
Ketika aku masih muda, aku menginginkan Tuhan sama seperti pencuri yang bernafsu
untuk mendapatkan emas itu, dan butuh waktu yang sangat panjang untuk menyadari
bahwa kebajikan terbesar dalam dunia spiritual adalah kesabaran.”
Krishna Akan Mendengar Doamu

Seorang janda dari sebuah desa miskin di Bengal tidak memiliki cukup uang untuk
membayar ongkos bus bagi anaknya. Karena itu, ketika sang anak mulai berangkat ke
sekolah, ia harus berjalan sendirian melewati hutan. Untuk meyakinkanya, ia pun
berkata:
”Jangan takut terhadap hutan anakku. Mintalah kepada Krishna Tuhanmu untuk
pergi bersamamu. Ia akan mendengar doamu.”
Sang anak kemudian mengikuti nasihat Ibunya, dan Krishna muncul tepat pada
waktunya, lalu mulai saat itu Krishna menemaninya ke sekolah setiap hari.
Saat gurunya berulang tahun, sang anak meminta uang kepada ibunya untuk
membeli hadiah.
”Kami tidak memiliki uang anakku. Mintalah kepada saudaramu Krishna agar
memberimu hadiah.”
Keesokan harinya, sang anak menceritakan masalahnya kepada Krishna, yang
memberinya seteko susu.
Sang anak dengan bangga memberikan susu tersebut kepada gurunya, namun hadiah
dari anak yang lain jauh lebih bagus dan gurunya bahkan tidak memperhatikan hadiah
darinya.
”Bawa susu itu ke dapur” kata Sang guru kepada pembantunya.
Pembantunya kemudian melakukan suruhannya. Namun ketika ia mencoba
mengosongkan teko tersebut, ia melihat bahwa teko itu segera terisi kembali dengan
takaran yang sama dengan sebelumnya. Ia pun segera memberitahukan hal itu kepada
sang guru, yang kemudian terkejut dan bertanya pada anak itu:
”Darimana kamu mendapatkan teko itu dan bagaimana bisa teko itu tetap penuh
sepanjang waktu?”
”Krishna, sang Dewa hutan yang memberikannya kepadaku.”
”Tak ada Dewa di hutan, itu murni tahayul” kata gurunya. ”Jika ia memang ada,
mari kita semua pergi dan melihatnya.”
Mereka semua kemudian berangkat ke hutan. Sang anak mulai memanggil Krishna,
namun Ia tidak juga memperlihatkan dirinya. Sang anak kemudian berseru untuk
terakhir kalinya.
”Saudaraku Krishna, guruku ingin bertemu denganmu. Kumohon perlihatkan
dirimu!”
Saat itu, sebuah suara muncul dari hutan dan bergaung melewati kota dan terdengar
oleh semua orang.
”Bagaimana mungkin ia ingin melihatku anakku? Ia bahkan tidak percaya aku ada!”
Seni Mendengarkan

Saadi dari siraz yang bijak sedang mempuh perjalanan dengan berjalan kaki bersama
muridnya ketika ia melihat seorang lelaki mencoba membuat keledainya bergerak.
Ketika binatang itu menolak untuk berpindah tempat, lelaki tersebut mulai
menyumpahinya dengan kata-kata terburuk yang terpikirkan olehnya saat itu.
”Jangan bodoh,” kata Saadi. ”Keledai itu tidak akan pernah mengerti bahasamu.
Akan lebih baik jika kamu tenangkan dirimu lalu pelajari bahasanya.”
Dan saat ia meninggalkan tempat itu, ia berkata kepada muridnya:
”Sebelum kamu berdebat dengan seekor keledai, ingatlah kejadian yang baru saja
kau saksikan.”
Terompet yang Mampu Mengusir Harimau

Seorang lelaki tiba di sebuah desa dengan membawa sebuah terompet misterius yang
dihiasi kain merah dan kuning, manik-manik dan tulang hewan.
”Terompet ini mampu mengusir harimau, ” kata lelaki itu. ”Mulai hari ini, dengan
bayaran harian yang pantas, aku akan memainkan terompet ini setiap pagi dan kalian
tidak akan pernah menjadi santapan binatang yang mengerikan itu.”
Karena ketakutan oleh serangan binatang buas, penduduk desa itu pun menyetujui
untuk membayar sesuai permintaan pendatang tersebut.
Tahun demi tahun berlalu, pemilik terompet menjadi kaya raya dan membangun
istana yang megah untuk dirinya. Suatu pagi, seorang anak lelaki yang lewat di depan
istana itu menanyakan siapa pemilik istana tersebut. Setelah mendengar semuanya, ia
memutuskan untuk pergi menemui si pemilik terompet.
”Kata orang-orang, anda memiliki sebuah terompet yang mampu mengusir
harimau.” kata anak lelaki itu. ” Namun harimau tidak terdapat di negeri ini.”
Pemilik terompet kemudian memanggil seluruh penduduk desa dan meminta si
anak lelaki untuk mengulangi perkataannya.
”Kalian dengar itu ?” seru pemilik terompet setelah si anak lelaki selesai berbicara.
”Sekarang kalian memiliki bukti yang tidak terbantahkan mengenai kekuatan
terompetku!”
Kesunyian Malam

Seorang guru sufi dan muridnya berjalan melintasi gurun Afrika. Ketika malam tiba,
mereka mendirikan tenda dan berbaring untuk beristirahat.
” Betapa sunyinya !” ucap si murid.
“ Jangan pernah berkata “ Betapa Sunyinya,” jawab sang guru. ” lebih baik berkata:
”Aku tak dapat mendengar alam.”
Pertemuan Matisse dan Renoir

Sebagai seorang anak muda, pelukis Henri matisse secara rutin kerap kali
mengunjungi Renoir yang Agung di studionya. Ketika Renoir terkena radang sendi,
Matisse mulai mengunjunginya setiap hari, mengambilkannya makanan, kuas, cat,
sembari tak henti mengingatkan sang guru bahwa ia bekerja terlalu keras dan butuh
untuk sedikit beristirahat.
Suatu hari, demi melihat bahwa setiap kali mencoretkan kuasnya Renoir selalu
berteriak kesakitan, Matisse tak mampu lagi menahan dirinya:
”Guru, anda telah menciptakan karya yang sangat banyak dan penting, mengapa
harus terus menerus menyiksa diri seperti ini?”
”Sederhana sekali jawabannya.” jawab Renoir. ”Keindahan itu abadi, sedangkan
rasa sakit itu sementara.”
Roti yang Jatuh dengan Sisi yang Salah

Kita semua memiliki kecenderungan untuk meyakini bahwa semua yang kita lakukan
ternyata salah. Karena kita berfikir bahwa kita tidak pantas untuk diberkati. Ada
sebuah kisah menarik yang menjelaskan perasaan tersebut dengan tepat.
Seorang lelaki dengan tenang menghabiskan sarapannya. Tiba-tiba, sepotong roti
yang telah ia olesi dengan mentega jatuh ke lantai.
Bayangkan betapa terkejutnya dia ketika ia menatap ke bawah dan melihat roti itu
jatuh dengan sisi yang bermentega menghadap ke atas! Lelaki itu berfikir bahwa ia
telah menyaksikan mujizat. Dengan gembira, ia pergi memberitahu teman-temannya
mengenai apa yang telah terjadi, dan mereka semua kagum karena ketika sepotong
roti jatuh ke lantai, selalu saja sisi yang bermentega menghadap ke bawah, mengotori
semuanya.
”Mungkin kamu adalah malaikat.” seorang temannya berkata. ”Dan ini adalah
sebuah tanda dari Tuhan.”
Tak lama kemudian seluruh desa pun mengetahuinya, dan mereka semua dengan
semangat mulai mendiskusikan kejadian tersebut: Bagaimana itu bisa terjadi,
berlawanan dengan semua perkiraan, bahwa sepotong roti milik laki-laki itu telah
jatuh dengan sisi yang bermentega menghadap ke atas? Karena tidak ada yang dapat
menjawab dengan tepat, mereka pun pergi menemui seorang guru yang tinggal tak
jauh dari sana dan menceritakan kejadian itu.
Guru tersebut kemudian meminta waktu satu malam untuk berdoa, merenung dan
meminta ilham ilahi. Keesokan harinya, mereka semua kembali, berharap untuk
sebuah jawaban.
”Benar-benar sangat sederhana.” jawab guru itu. ”Sebenarnya sepotong roti itu jatuh
tepat seperti seharusnya ia jatuh. Namun menteganya telah diolesi di sisi yang salah.”
Pembunuh Naga

Zhuangzi, seorang penulis terkenal dari Cina, menceritakan kisah Zhu Pingman, yang
mengembara mencari guru dengan tujuan mempelajari cara yang terbaik untuk
membunuh naga.
Sang guru melatih Pingman selama sepuluh tahun penuh, hingga ia selesai diasah
untuk menyempurnakan teknik membunuh naga yang paling mutakhir.
Pingman yang menghabiskan sisa hidupnya mencari naga guna memamerkan
kemampuannya merasa sangat kecewa karena ia tak pernah menemukan naga seekor
pun.
Penulis cerita ini kemudian berkomentar: ”Kita semua mempersiapkan diri kita
untuk membunuh naga, Namun berakhir sebelum dapat melahapnya karena hal-hal
kecil yang tak pernah membuat kita terusik untuk memperhatikannya.”
Tentang Tuan dan Guru

Dalam salah satu obrolan keluarga, konfusius menuliskan sebuah dialog yang menarik
mengenai materi pelajaran.
Konfusius duduk dan beristirahat, lalu muridnya mulai bertanya kepadanya. Hari
itu suasana hatinya sedang baik, maka ia memutuskan untuk menjawab. Seorang
murid bertanya kepadanya:
”Anda mampu untuk menjelaskan semua yang anda rasakan. Mengapa anda tidak
pergi menemui Kaisar dan berbicara kepadanya?”
”Kaisar sendiri membuat pidato yang indah,” kata Konfusius, ”Tapi pidato yang
indah hanyalah soal teknik saja, ia tidak mengandung kebajikan di dalamnya.”
”Kalau begitu, kirimkan saja kumpulan puisi anda kepadanya.”
”300 puisi itu dapat dirangkum dalam dua kata: berpikir tepat. Itulah rahasianya.”
”Mencakup apa sajakah berpikir tepat itu?”
”Mengetahui bagaimana menggunakan pikiran dan hati, disiplin dan emosi. Ketika
kita menginginkan sesuatu, hidup akan membimbing kita, namun dengan alur yang
tak terduga. Seringkali kita kebingungan karena kita terkejut oleh alur tersebut dan
berfikir bahwa kita telah salah jalan. Itulah sebabnya mengapa aku pernah berkata,
biarkan dirimu terbawa oleh emosi, tapi milikilah disiplin yang cukup untuk
mengikutinya.”
”Itukah yang anda lakukan?”
”Pada umur lima belas, aku mulai belajar. Pada umur tiga puluh, aku tahu yang aku
inginkan. Pada umur empatpuluh, keraguanku muncul kembali. Pada umur lima
puluh, aku menemukan bahwa langit memiliki rencana untukku dan untuk tiap
manusia di muka bumi. Pada umur enam puluh, aku memahami rencana tersebut dan
dan menemukan ketenangan untuk mengikutinya. Saat ini, pada umur tujuh puluh,
aku dapat mendengarkan suara hatiku, namun tidak membiarkan hal tersebut
mengalihkan aku dari alurku.”
”lalu apa yang membuat anda berbeda dari manusia lain yang juga menerima
kehendak langit?”
”Aku mencoba berbagi pengetahuanku denganmu. Dan siapapun yang ingin
berdiskusi tentang kearifan masa lalu dengan generasi baru, maka ia harus
menggunakan kemampuannya untuk mengajar. Itulah satu-satunya kelebihanku,
menjadi guru yang baik.”
”Apa yang dimaksud dengan ”guru yang baik”?”
”Seseorang yang mempertanyakan semua hal yang ia ajarkan. Ide-ide lama tak
akan pernah mampu memperbudak manusia, karena mereka berubah dan menuju
bentuk yang baru. Jadi marilah kita menggunakan kearifan yang berlimpah dari masa
lalu, dengan tanpa melupakan tantangan dari dunia masa kini yang terbentang di
hadapan kita.
”Lalu apa yang dimaksud dengan ”murid yang baik” . ”
”Seseorang yang mendengarkan apa yang kukatakan, namun menyesuaikan
ajaranku dengan kehidupannya dan tidak menelannya bulat-bulat. Seseorang yang
tidak hanya mencari pekerjaan, tapi juga mencari pekerjaan yang bermartabat.
Seseorang yang tidak ingin mencari perhatian, namun ingin melakukan sesuatu yang
menarik perhatian.
Jembatan dan Papan

Setelah bertahun-tahun pengerjaan dan perenungan tentang cara yang terbaik untuk
menyebrangi sungai yang mengalir melewati rumahnya, seorang lelaki membuat titian
dari papan. Namun demikian, warga desa jarang sekali menggunakannya karena titian
tersebut tampaknya dibuat untuk keadaan darurat.
Suatu hari, Datanglah seorang insinyur. Dengan bantuan para penduduk, ia
membangun sebuah jembatan yang layak. Hal itu membuat gusar sang pembuat titian.
Ia akan berbicara kepada setiap orang yang mau mendengarkannya bahwa sang
insinyur tidak menunjukkan penghormatan kepada hasil kerjanya.
”Titian itu masih ada disana!” jawab warga desa yang lain.”Itu adalah sebuah tugu
bagi hasil keringat dan pemikiranmu selama bertahun-tahun.”
”Ya, tapi tidak ada yang menggunakannya!” jawab lelaki itu dengan marah
”Anda adalah warga yang sangat dihormati disini dan kita semua menyukai anda,
hanya saja kita menemukan jembatan baru yang lebih indah dan berguna dibanding
titian papan anda.”
”Tapi jembatan itu melewati sungaiku.”
”Sekarang, tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada hasil karya anda, harus
kami katakan bahwa sungai ini bukan milik anda. Kita bisa saja menyebrang,
berenang, atau mendayung, namun jika orang-orang lebih menginginkan untuk
menggunakan jembatan, mengapa kita tidak menghormatinya? Disamping itu,
bagaimana kita bisa percaya kepada seseorang yang lebih meluangkan seluruh
waktunya untuk mengkritik orang lain daripada menyempurnakan jembatannya
sendiri?”
(Diambil dari sebuah cerita oleh Silvio Paulo Albino)
Dalam Perjalanan ke Pameran Buku

Saya terbang dari New York Ke Chicago untuk menghadiri sebuah pameran buku
yang diselenggarakan oleh Asosiasi Penerbit Amerika. Tiba-tiba, seorang anak muda
berdiri di jalur antara kursi-kursi penumpang dan mengumumkan:
“Saya membutuhkan dua belas sukarelawan untuk membawa sebuah mawar setiap
orangnya saat kita turun dari pesawat.”
Beberapa orang mengacungkan tangannya, termasuk saya. Namun saya tidak
terpilih.
Meskipun demikian, Saya memutuskan untuk mengikuti mereka. Setelah mendarat,
anak muda tersebut memberikan sebuah tanda yang menunjuk kepada seorang wanita
muda di ruang kedatangan di bandara O’hare. Satu persatu, 12 penumpang itu
memberikan sekuntum mawar kepadanya. Akhirnya, di depan semua orang, anak
muda tersebut meminta gadis itu untuk menikah dengannya, dan gadis itu
menerimanya.
Seorang pramugari berkata kepada saya:
”Saya telah bekerja disini selama bertahun-tahun, dan ini adalah hal yang paling
romantis yang pernah terjadi di bandara.”
Hakikat Sebuah Pengampunan

Salah seorang prajurit Napoleon melakukan sebuah kejahatan (kisah tersebut tidak
menceritakan tentang kejahatannya) dan ia dituntut hukuman mati.
Pada pagi hari, sesaat sebelum ia akan ditembak, ibu dari anak itu datang untuk
memohon agar anaknya terhindar dari hukuman mati.
”Nyonya, perbuatan anak anda tidak pantas diampuni.”
”Saya tahu,” kata sang ibu. ”Jika hal tersebut dilakukan, maka itu bukanlah sebuah
pengampunan sejati. Untuk memaafkan adalah kemampuan untuk melampaui balas
dendam ataupun keadilan.”
Setelah ia mendengar kata-kata itu, Napoleon merubah hukuman mati untuk
prajuritnya tersebut menjadi pengasingan.
Jalan Tengah

Lukas sang pendeta berjalan melewati sebuah desa ditemani oleh muridnya.
Kemudian seorang kakek bertanya kepadanya:
”Wahai orang suci, bagaimana caranya agar aku dekat dengan Tuhan?”
”Perbanyaklah waktu untuk memanjakan diri sendiri, dan pujilah sang pencipta
dengan gembira.” jawabnya.
Mereka baru saja akan meneruskan perjalanan ketika seorang anak muda mendekati
mereka. Ia bertanya:
”Apa yang harus kulakukan supaya bisa lebih dekat dengan Tuhan?”
”Kurangilah waktu untuk memanjakan diri.” kata Lukas
Setelah anak muda itu pergi, muridnya berkata:
”Guru, tampaknya anda tidak yakin apakah kita harus memanjakan diri atau tidak.”
”Pencarian spiritual adalah sebuah jembatan yang melintasi jurang yang dalam
tanpa pengaman di pinggirnya,”jawab Lukas. ”Jika seseorang berjalan terlalu dekat ke
sisi kanan, maka aku berkata: ”Ke sebelah kiri!” Jika seseorang berjalan terlalu dekat
ke sebelah kanan, maka aku berkata: ”Ke sebelah kiri!” Karena tindakan ekstrim itu
dapat mengalihkan kita dari Sang Jalan.
Kenikmatan dan Lidah

Seorang guru Zen sedang beristirahat bersama salah satu muridnya, ketika tiba-tiba ia
mengambil buah melon dari dalam tasnya dan membelahnya menjadi dua agar
mereka berdua dapat memakannya.
Ketika mereka makan, muridnya bertanya:
”Guruku yang bijaksana, karena semua yang anda lakukan memiliki makna,
mungkin tindakan anda berbagi buah melon ini dengan saya adalah pertanda bahwa
anda ingin mengajarkan kepada saya sesuatu.”
Sang guru melanjutkan makan-nya tanpa menjawab.
”Sikap diam anda jelas sekali menyembunyikan sebuah pertanyaan,”Muridnya
bersikeras, ”Dan pertanyaannya pastilah begini: apakah kenikmatan yang aku alami
karena memakan buah yang lezat ini terletak pada melonnya ataukah pada lidahku?”
Sang guru tidak berkata apapun. Muridnya kemudian melanjutkan dengan
bersemangat:
”Dan karena semua hal dalam hidup ini memiliki arti, saya pikir saya telah dekat
mendekati jawaban dari pertanyaan itu: Kenikmatan adalah sebuah tindakan penuh
cinta dan ketergantungan antara kita, karena tanpa buah melon, maka tidak akan ada
objek kenikmatan. Dan tanpa lidah.....
”Cukup!” kata sang guru.”Orang bodoh sejati adalah orang yang mengira dirinya
sangat pintar dan menghabiskan seluruh waktunya untuk memaknai segala sesuatu.
Buah melon ini lezat, dan itu cukup. Sekarang biarkan aku makan dengan tenang!”
El Greco dan Cahaya

Pada sebuah sore yang cerah di musim semi, seorang teman datang mengunjungi El
Greco si pelukis. Yang mengejutkan, ia menemukan si pelukis di studionya dengan
seluruh tirai yang tertutup.
El Greco sedang mengerjakan sebuah lukisan yang tema sentralnya adalah Bunda
Maria. Dan ia hanya menggunakan sebuah lilin untuk menerangi ruangan. Temannya
yang kebingungan kemudian berkomentar:
”Aku seringkali diberitahu bahwa seorang pelukis membutuhkan cahaya matahari
untuk memilih warna yang tepat. Mengapa kamu tidak menyibakkan tirai-tirai itu?”
”Tidak sekarang,” kata El Greco. ”Itu akan mengganggu api inspirasi yang bersinar
cemerlang di dalam jiwaku, yang mengisi semua benda disekitarku dengan cahaya.”
Cara untuk Mendatarkan Dunia

Suatu masa ketika Konfusius mengembara bersama muridnya, ia mendengar kabar


tentang seorang bocah yang sangat cerdas yang hidup di sebuah desa. Konfusius pergi
menemuinya dan bercakap-cakap dengannya. Dengan setengah bercanda ia bertanya:
”Bagaimana caramu menolong kami untuk menghilangkan semua penyimpangan
dan ketidak adilan di muka bumi?”
”Mengapa?” tanya bocah itu. ”Jika kita meratakan gunung, burung-burung akan
kehilangan tempat tinggal. Jika kita mereklamasi laut dan sungai yang dalam, maka
ikan-ikan akan mati. Jika seorang kepala kampung memiliki kekuasaan sama seperti
orang gila, tidak akan ada orang yang tahu dimana mereka berada. Dunia ini cukup
luas untuk menanggulangi perbedaan.”
Kearifan si bocah meninggalkan kesan yang mendalam di hati muridnya. Dan
setelah mereka meneruskan kembali perjalanan ke kota berikutnya, salah satu dari
mereka berkomentar bahwa semua anak-anak seharusnya seperti itu. Konfusius
berkata:
”Aku banyak mengenal anak-anak yang sibuk untuk mencoba memahami dunia
daripada bermain dan melakukan hal-hal yang sesuai dengan umurnya. Tidak ada
satupun diantara anak-anak yang dewasa sebelum waktunya itu melakukan sesuatu
yang berdampak luar biasa dalam hidupnya karena mereka belum pernah mengalami
kepolosan dan ketidak bertanggung jawaban yang sehat dari masa kanak-kanak.”
Pentingnya Mengetahui Nama

Zilu bertanya kepada Konfusius:


”Jika Raja Wen meminta anda untuk mengatur negara, apakah tindakan pertama
yang akan anda lakukan?”
”Saya akan mempelajari nama-nama penasihat saya.”
”Omong kosong! Tindakan tersebut sangat sukar dimengerti sebagai perhatian
utama seorang perdana menteri.”
”Seseorang tidak dapat mengharapkan pertolongan dari apa yang tidak ia ketahui.”
Jawab Konfusius. ”Jika ia tidak memahami alam, ia tidak akan memahami Tuhan.
Demikian juga jika ia tidak mengetahui siapa yang berada di sampingnya, maka ia
tidak akan memiliki teman. Tanpa teman, ia tidak akan mampu untuk menyusun
rencana. Tanpa rencana, ia tidak akan mampu untuk mengarahkan tindakan
seseorang. Tanpa adanya arah, Negeri akan terjerumus ke dalam kegelapan, dan
bahkan para penari tidak akan mengetahui kaki yang sebelah mana yang akan
dijejakkan berikutnya. Tindakan mengenal nama seseorang di samping anda yang
tampaknya adalah sebuah tindakan yang dangkal mampu membuat dampak yang
sangat besar. Dosa yang selalu dikejar orang saat ini adalah bahwa semua orang ingin
memperbaiki keadaan secepatnya, dan mereka lupa bahwa untuk melakukan tindakan
seperti itu anda membutuhkan banyak orang.”
Kota dan Tentara

Menurut sebuah legenda, ketika Joan dari Arc berarak menuju Poitiers bersama
pasukannya, ia melintas dan menghampiri seorang bocah yang sedang bermain
dengan tanah dan ranting di tengah jalan.
”Apa yang sedang kau lakukan?” Joan dari Arc bertanya.
”Tidakkah kau lihat?” bocah itu menjawab. ”Ini adalah sebuah kota.”
”Bagus sekali, ”Ia berkata, ”Sekarang kumohon tinggalkan jalan ini, aku bersama
anak buahku hendak lewat dan meneruskan perjalanan.”
Bocah itu naik pitam dan berdiri di belakangnya.
”Kota itu tidak bergerak. Sekumpulan pasukan mungkin menghancurkannya,
namun kota itu sendiri akan tetap berada pada tempatnya.”
Joan dari Arc terenyum melihat kesungguhan hati bocah itu dan memerintahkan
pasukannya untuk meninggalkan jalan dan mengitari “Kota”.
Bukan sebuah Contoh

Rabi Elimelekh telah menyampaikan sebuah khotbah yang indah dan sekarang ia akan
kembali ke tempat asalnya. Untuk menghormatinya dan untuk menunjukkan rasa
terima kasih mereka, para pengikutnya memutuskan untuk mengantar kereta kudanya
hingga ke luar kota.
Di satu tempat, sang rabi menghentikan kereta kudanya dan meminta kusir untuk
terus melaju tanpa dirinya sementara ia bergabung dengan para pengikutnya.
“Contoh yang baik mengenai kerendahan hati.” Ucap salah seorang lelaki di
sampingnya.
“Kerendahan hati tidak ada hubungannya dengan ini, hanya sedikit kecerdasan
saja.” Jawab Elimelekh. “Kalian semua disini berjalan, bernyanyi, minum anggur,
bercakap-cakap satu sama lain, mendapat kawan baru, dan semuanya itu disebabkan
oleh seorang rabi tua yang datang dan berbicara kepadamu tentang seni hidup. Jadi,
marilah kita tinggalkan teoriku di kereta kuda, aku ingin menikmati pesta ini.”
Berdoa untuk Setiap Orang

Seorang buruh tani bersama istrinya yang sedang sakit meminta kepada seorang biksu
untuk memanjatkan serangkai doa. Sang biksu mulai berdoa, memohon kepada Tuhan
agar menyembuhkan semua yang sedang sakit.
”Tunggu sebentar.”Kata buruh tani. ”Saya meminta anda untuk berdoa bagi istriku
sedangkan anda berdoa untuk semua orang yang sedang sakit.”
”Saya berdoa untuk istri anda juga.”
“Ya, tetapi anda berdoa untuk setiap orang. Mungkin akhirnya anda akan menolong
tetangga saya yang juga sedang sakit, dan saya bahkan tidak menyukainya.”
“Anda tidak mengetahui apapun tentang penyembuhan,” Ucap Biksu itu sambil
berlalu. “Dengan berdoa bagi setiap orang, saya menyertakan doa saya bersama jutaan
orang sakit yang juga berdoa bagi kesembuhannya. Jika dikumpulkan bersama, suara
itu akan sampai kepada Tuhan dan menguntungkan semuanya. Namun jika terpisah-
pisah, ia akan kehilangan kekuatannya dan tak akan menuju ke arah manapun.”
Saadi dari Shiraz dan Pendoa

Saadi dari Shiraz biasa menceritakan kisah ini:


“Saat aku masih bocah dulu, aku biasa berdoa bersama ayahku, pamanku, dan
sepupuku. Setiap malam kami biasa berkumpul bersama untuk mendengarkan
lantunan ayat suci Al-Quran.
Pada suatu malam, ketika pamanku membaca sebuah ayat dengan nyaring, aku
melihat semua orang tertidur. Lalu aku berkata kepada ayahku: “Tidak ada satupun
dari orang-orang yang mengantuk ini yang mendengarkan ayat-ayat suci. Mereka
tidak akan pernah menggapai Tuhan.”
Dan ayahku menjawab: “Anakku sayang, lihatlah jalanmu sendiri dengan
keyakinan dan biarkan orang lain mengurus dirinya sendiri. Siapa tahu, mungkin
mereka berbicara kepada Tuhan di dalam mimpi mereka. Percayalah padaku, aku
lebih menginginkan kau tidur bersama mereka daripada mendengarkan kata-kata
kasar yang berisi penghakiman dan kutukan darimu.”
Ayah yang Berduka

Rabi abraham telah menjalani hidupnya dengan menjadi tauladan. Ketika ia wafat, ia
langsung dimasukkan ke surga, dan para bidadari menyambutnya dengan lagu-lagu
pujian.
Meskipun demikian, Abraham duduk sendirian, bertopang dagu, dalam kesedihan
yang teramat sangat, dan menolak semua hiburan. Akhirnya, ia dibawa ke hadirat
Yang Maha Kuasa dan ia mendengar suara lembut bergema dan bertanya kepadanya:
“Wahai pelayanku yang setia, derita apakah gerangan yang kau simpan dalam
dadamu?”
“Hamba tidak pantas untuk kehormatan yang dibebankan kepadaku,” Jawab sang
rabi. “Hamba dianggap sebagai tauladan bagi pengikut hamba, namun hamba yakin
hamba telah melakukan suatu kesalahan besar. Salah satu anak hamba, yang
kepadanya aku mencurahkan seluruh ajaran terbaik hamba, telah menjadi seorang
kristiani!”
“Oh, jangan khawatir mengenai hal itu,” Terdengar suara Yang Maha Kuasa. “Aku
juga memiliki anak satu-satunya dan ia melakukan hal yang persis sama!”
Ibu yang Berduka

Roberto Shiniashiky menasihati seorang ibu Yahudi yang mencoba untuk


mengarahkan anaknya sebisa mungkin sejalan dengan tradisi. Bagaimanapun, anak itu
memiliki kepribadian yang kuat dan hanya akan mengikuti kata hatinya.
Sang ibu, seperti rabi Abraham dalam kisah sebelumnya, langsung dimasukkan ke
dalam surga ketika ia meninggal, karena ia telah menjadi suri tauladan bagi kesetiaan
di bumi ini. Ketika ia tiba di sana, ia berbicara kepada ibu-ibu yang lain mengenai
penderitaan yang disebabkan oleh kelakuan anaknya, disana ia mengetahui bahwa
tidak ada satupun dari mereka yang merasa puas dengan jalan yang ditempuh oleh
anak-anak mereka.
Setelah bercakap-cakap seharian, ketika mereka menyuarakan penyesalan mereka
bahwa mereka tidak cukup kuat untuk mengatur anaknya, sekumpulan wanita itu
melihat Bunda Maria melewati mereka.
“Sekarang ia mampu mengatur anaknya dengan baik. ”Sahut salah seorang ibu.
Dan mereka semua berkumpul mengerumuni Bunda Maria, memuji-muji karir
Yesus, anaknya.
”Ia adalah seorang yang bijak, ”Mereka berkata. ”Ia mampu menyelesaikan apa
yang menjadi takdirnya, ia berjalan di jalan yang benar, tidak pernah menyimpang
sesaat pun, dan ia masih menjadi sumber kebanggaan bagi keluarganya.”
”Ya, ada benarnya perkataan anda,” Kata Bunda Maria, ”Tapi jika saja aku boleh
jujur, sebenarnya aku menginginkan dia untuk menjadi dokter.”
Tempat Dimana Tuhan Hidup

Ketika rabi Yitzhak Meir yang agung sedang mempelajari adat istiadat masyarakat
pengikutnya, salah seorang temannya berkata padanya dengan setengah bercanda:
”Aku akan memberikanmu satu florin(mata uang inggris kuno) jika kau bisa
menyebutkan tempat dimana Tuhan hidup.”
”Aku akan memberikanmu dua florin jika kau bisa mengatakan kepadaku tempat
dimana Tuhan tidak hidup.” Jawab Meir.
Waktu Fajar

Seorang rabi berkumpul bersama murid-muridnya dan bertanya kepada mereka:


”Bagaimana kita dapat mengetahui waktu yang tepat ketika malam tlah berakhir
dan fajar tiba?”
”Waktu yang tepat adalah ketika kita mampu membedakan kambing dengan anjing
dalam jarak pandang yang cukup jauh.” Kata seorang anak muda.
Sang rabi tidak puas dengan jawaban itu. Lalu murid yang lain berkata:
”bukan itu jawabannya, waktu yang tepat adalah ketika mampu membedakan
pohon zaitun dengan pohon ara dalam jarak pandang yang cukup jauh.”
”Tidak, itu juga bukan sebuah penjelasan yang baik.”
”baiklah, kalau begitu apakah jawaban yang benar?” Tanya anak itu.
Dan sang rabi menjawab:
”Ketika seorang asing mendekat, dan kita berfikir bahwa ia adalah saudara kita,
saat itulah waktu ketika malam berakhir dan fajar tiba.”
Karena di Depan juga Hujan

Berjuang melawan sesuatu yang akhirnya akan berlalu adalah sia-sia. Kisah singkat
dari Cina ini mengilustrasikannya dengan sangat baik.
Di tengah-tengah pedesaan, hujan mulai turun. Setiap orang bergegas mencari
tempat berlindung, kecuali seorang laki-laki yang terus melangkah pelan menyusuri
jalan.
”Mengapa anda tidak berlari mencari tempat berlindung?” Seseorang bertanya.
”Karena di depan juga hujan,” Jawabnya.
Nasrudin Selalu Membuat Pilihan yang Salah

Setiap hari Nasrudin pergi meminta derma di supermarket, dan orang-orang di sana
biasa mencandainya dengan sebuah permainan seperti ini: mereka akan menunjukkan
kepadanya 2 keping uang logam, salah satunya berharga sepuluh kali lipat dari yang
lainnya, dan Nasrudin selalu memilih uang logam yang lebih kecil.
Cerita ini menyebar hingga ke seluruh provinsi. Hari demi hari, sekumpulan pria
dan wanita akan menunjukkan dua keping uang logam, dan nasrudin akan selalu
memilih uang logam yang lebih kecil.
Hingga pada suatu hari, seorang pria baik hati yang lelah melihat kebodohan
Nasrudin, memberi isyarat kepadanya agar mengikutinya ke sudut lapangan, lalu ia
berkata:
”Ketika mereka menawarkan dua keping uang logam kepadamu, seharusnya kamu
memilih uang yang lebih besar. Dengan cara itu maka kamu akan mendapatkan lebih
banyak uang dan mereka tidak akan menganggapmu sebagai orang bodoh.”
”Sepertinya itu adalah nasihat yang bagus,” Nasrudin menjawab,”Namun jika saya
memilih uang logam yang lebih besar, maka orang-orang akan berhenti menawarkan
uangnya, karena mereka merasa senang demi mengetahui bahwa aku ini bahkan lebih
bodoh daripada mereka. Anda tidak tahu berapa banyak uang yang telah saya
dapatkan dengan siasat ini. Tidak ada salahnya terlihat seperti orang bodoh, bahkan,
anda menjadi sangat pintar.”
Orang yang Paling Perduli

Leo Buscaglia, seorang penulis, pada suatu waktu diundang untuk menjadi juri dalam
sebuah kompetisi sekolah untuk mencari ”anak yang paling perduli terhadap orang
lain.”
Pemenangnya adalah seorang anak yang tetangganya, seorang pria berumur diatas
delapan puluh yang baru saja menjadi duda. Ketika ia melihat lelaki tua itu duduk di
kebunnya dan menangis, bocah itu melompati pagar, duduk di pangkuan pria itu dan
berdiam disana dalam jangka waktu yang cukup lama.
Ketika ia pulang ke rumah, ibunya bertanya kepadanya apa yang telah ia katakan
kepada pria malang itu.
”Tidak ada,” Sahut anak itu.”Ia telah kehilangan istrinya dan itu pasti menyakitkan.
Aku hanya datang dan membantunya untuk menangis.”
Jawaban

Seorang pria bertanya kepada rabi Joshua ben Karechah:


”Mengapa Tuhan memilih bersabda kepada Musa dengan menampakkan diri dalam
semak berduri.”
Lalu sang rabi menjawab:
”Jika seandainya ia memilih pohon zaitun ataupun semak belukar, kamu pasti akan
tetap menanyakan pertanyaan yang sama. Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu tanpa
jawaban. Jadi akan kukatakan bahwa Tuhan memilih semak berduri yang malang itu
untuk mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada suatu tempatpun di bumi ini dimana
ia tidak bisa hadir.”
Jendela dan Cermin

Seorang anak muda yang sangat kaya pergi menemui seorang rabi untuk meminta
nasihat mengenai apa yang harus ia lakukan dengan hidupnya. Sang rabi menuntunya
ke sebuah jendela kaca dan bertanya kepadanya:
”Apa yang bisa kau lihat melalui kaca ini?”
”Aku melihat orang-orang yang lalu lalang dan seorang buta yang sedang meminta
derma di jalan.”
Kemudian sang rabi menunjukkan kepadanya sebuah cermin besar dan berkata
kepadanya:
”Lihatlah ke dalam cermin ini dan katakan apa yang kau lihat.”
”Aku melihat diriku sendiri.”
”Dan kamu tidak bisa melihat orang lain. Sebagaimana kita ketahui bahwa jendela
dan cermin itu keduanya terbuat dari bahan yang sama, yaitu kaca. Namun dalam
sebuah cermin, dimana kacanya dilapisi oleh sepuhan perak yang halus, maka yang
terlihat disana hanyalah dirimu sendiri. Kamu harus membandingkan dirimu dengan
kedua jenis kaca ini. Dalam Kekurangan, anda melihat orang lain dan merasa iba
kepada mereka. Dalam keadaan berkelimpahan- terbungkus oleh perak – anda melihat
diri anda sendiri. Kamu hanya akan bermanfaat dalam hal apapun ketika kamu
memiliki keberanian untuk merobek perak yang membungkus matamu agar mampu
melihat kembali dan mencintai sesamamu.”
Seorang Pria yang Tergeletak di Tanah

Pada tanggal 1 Juli, pada pukul lima lebih satu menit pada sore hari, terlihat seorang
pria berumur lima puluhan {sedang berbaring} di depan laut di Copacabana. Saya
melirik sekilas ketika lewat di depannya, lalu terus berjalan menuju tangga tempat
saya biasa minum air kelapa muda.
Sebagai penduduk Rio de Janeiro, ratusan atau bahkan mungkin ribuan kali saya
harus melewati pria, wanita, atau anak-anak yang sedang terbaring seperti itu. Sebagai
seseorang yang telah bepergian ke berbagai tempat di dunia, saya melihat kejadian
yang sama hampir di setiap tempat yang saya kunjungi. Dari mulai Swedia yang
makmur, hingga Rumania yang miskin. Saya telah melihat orang-orang berbaring di
tanah pada berbagai musim: dari musim dingin yang bersalju di Madrid atau Paris
atau New York, dimana mereka berkumpul di dekat ventilasi uap panas di luar stasiun
kereta api bawah tanah; demikian pula dibawah terik mentari di libya, di bawah
reruntuhan gedung yang dihancurkan oleh bertahun-tahun peperangan. Orang-orang
terbaring di tanah, mabuk, lelah, dan tanpa tempat tinggal bukanlah pemandangan
baru bagi siapapun disana.
Saya meminum air kelapa muda saya. Saya harus cepat pulang ke rumah kali ini
karena saya punya jadwal interview dengan Juan arias dari El Pais, sebuah koran
Spanyol. Ketika berjalan kembali ke arah yang tadi saya lewati, saya melihat laki-laki
itu masih tetap di sana, terbaring di bawah mentari, dan semua orang yang melaluinya
berbuat hal yang sama seperti saya: melirik sekilas ke arahnya kemudian kembali
berlalu.
Tanpa saya sadari, hati saya menjadi lelah melihat kejadian yang sama berulang
terus menerus. Ketika saya kembali melalui pria itu, tiba-tiba ada sebuah kekuatan
dari dalam diri yang membuat saya berlutut dan mencoba untuk mengangkatnya.
Ia tidak merespon tindakan saya. Saya membalikkan kepalanya dan melihat darah
di pelipisnya. Apa yang harus saya lakukan? Apakah ini luka yang serius? Saya
mengusap kulit pelipisnya dengan kaus saya; sepertinya tidak ada luka yang serius.
Dalam saat-saat tersebut, pria itu mulai menggumamkan sesuatu yang terdengar
seperti ”Buatlah mereka berhenti memukuliku”. Ternyata ia masih hidup; sekarang
apa yang harus saya lakukan adalah mengeluarkannya dari terik mentari dan
menelefon polisi.
Saya menghentikan orang pertama yang kebetulan lewat di depan saya dan
memintanya untuk membantu saya menyeret pria yang terluka ke tempat yang teduh
di pinggir pantai. Ia mengenakan setelan jas dan menjinjing sebuah koper dan
membawa banyak bungkusan, namun ia menaruh semua itu untuk menolong saya.
Hatinya juga lelah melihat kejadian yang sama.
Setelah kami meletakkan pria itu di tempat yang teduh, saya berjalan menuju ke
rumah saya. Saya tahu bahwa di dekat sana ada pos polisi militer dimana saya dapat
meminta bantuan. Namun sebelum saya sampai di sana, saya bertemu 2 orang polisi.
”Ada seorang lelaki yang sepertinya telah menjadi korban pemukulan,” Saya
berkata. ”Saya telah membaringkannya di pasir. Alangkah baiknya jika kita segera
memanggil ambulan.”
Dua orang polisi itu berkata bahwa mereka akan segera bertindak. Betul, saya telah
melakukan tugas saya. Seorang pandu selalu siaga. Selesai sudah kebajikanku hari ini.
Masalah itu sekarang telah ditangani oleh yang berwajib, terserah kepada mereka
bagaimana cara untuk menyelesaikannya. Dan wartawan Spanyol itu mungkin telah
tiba di rumah saya.
Saya telah beranjak sepuluh langkah, ketika seorang asing menghentikan langkah
saya. Dalam bahasa Portugis yang kacau ia berkata:
”Saya telah bercerita kepada polisi mengenai orang itu. Mereka berkata bahwa
karena ia bukan seorang pencuri, maka ia bukan urusan mereka.”
Saya tidak menunggu hingga orang itu selesai bicara. Saya kembali ke tempat
polisi itu berada, lalu meyakinkan mereka bahwa mereka pasti akan mengetahui siapa
saya, bahwa saya menulis di surat kabar, dan bahwa saya muncul di televisi. Saya
melakukan hal itu dalam sebuah pandangan yang salah, bahwa kadang-kadang
kesuksesan dapat membantu menyelesaikan masalah.
”Apakah anda seorang pejabat ?” Salah satu dari mereka bertanya ketika saya
bersikeras meminta agar mereka menolongnya.
Ternyata mereka sama sekali tidak mengenal saya.
”Bukan, Tapi kita akan segera menyelesaikan masalah ini sekarang juga.”
Pada saat itu, di tempat tersebut saya bermandi keringat, mengenakan kaos yang
bernoda darah dan sepotong celana pendek yang terbuat dari potongan celana jeans
tua. Saya hanyalah orang biasa, orang tidak dikenal yang tidak memiliki kekuasaan,
terlepas dari keletihan saya yang selama bertahun-tahun telah menyaksikan orang
terbaring di tanah namun tidak pernah melakukan apapun.
Dan hal tersebut mengubah segalanya. Ada saat-saat dimana secara tiba-tiba anda
bebas dari kekangan rasa takut. Ada saat-saat dimana dalam mata anda terdapat
cahaya yang berbeda dan orang lain mengetahui bahwa anda benar-benar serius.
Akhirnya para polisi itu mengikuti saya dan memanggil ambulan.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, saya merenungkan tiga pelajaran yang telah
saya pelajari dari kejadian tersebut: (a) Siapapun bisa mengurungkan sebuah tindakan
ketika tindakan tersebut adalah romantisme murni. (b) Selalu saja ada seseorang untuk
berkata kepada anda:”Karena kamu telah memulainya, maka selesaikanlah.” Dan (c)
setiap orang, lelaki ataupun wanita mempunyai kekuasaan sebagai seorang pejabat
ketika ia sangat yakin dengan apa yang ia lakukan.
Nha’ Chica dari Baependi

Apakah keajaiban itu?


Terdapat sebuah definisi untuk berbagai macam keajaiban: mungkin hal itu adalah
sesuatu yang berlawanan dengan hukum alam, sebuah campur tangan Tuhan dalam
saat-saat kritis, sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, dsb.
Saya memiliki definisi saya sendiri: keajaiban adalah sesuatu yang mengisi jiwa
dengan kedamaian. Kadang ia menjelma dalam sebuah kesembuhan atau harapan
yang terkabulkan, apapun itu- hasil akhirnya adalah, ketika keajaiban terjadi, kita
merasakan sebuah penghormatan yang mendalam atas keagungan Tuhan yang telah di
anugerahkan kepada kita.
Sekitar dua puluh tahun yang lalu, Ketika saya menjalani fase hippie saya, saudara
perempuan saya meminta saya untuk menjadi ayah baptis bagi anak perempuannya
yang pertama. Saya sangat senang dan merasa tersanjung karena ia tidak meminta
saya untuk memangkas rambut saya (pada saat itu, rambut saya sepinggang
panjangnya), ia pun tidak meminta hadiah pembaptisan yang mahal (saya tidak
memiliki cukup uang untuk membelinya).
Sang bayi pun lahir, setahun telah berlalu dan tidak ada pembaptisan. Saya berfikir
mungkin saudara perempuan saya telah merubah rencananya, lalu kemudian saya
mendatanginya untuk menanyakan apa yang telah terjadi. Ia menjawab: ”Kamu masih
tetap sebagai ayah baptisnya, hanya saja aku telah berjanji kepada Nha’ Chica dan aku
menginginkan anakku di baptis di Baependi karena ia telah mengabulkan
permintaanku.”
Saya tidak mengetahui daerah Baependi dan saya juga belum pernah mendengar
nama Nha’ Chica. Masa-masa hippie saya pun berlalu, dan saya menjadi seorang
pekerja eksekutif pada sebuah perusahaan rekaman. Saudara perempuan saya telah
memiliki seorang anak lagi dan masih belum ada pembaptisan untuk anaknya.
Akhirnya, pada tahun 1978, keputusan pun diambil. Kedua keluarga, yaitu keluarga
kami (kakak perempuan saya) dan keluarga mantan suaminya pergi ke Bapaendi. Di
sana saya mengetahui bahwa Nha’ Chica yang tidak memiliki uang untuk membiayai
dirinya sendiri telah menghabiskan waktunya selama tiga puluh tahun terakhir untuk
membangun sebuah gereja dan membantu kaum papa.
Saat itu saya sedang mengalami masa-masa pergolakan hidup dan saya tidak lagi
meyakini Tuhan, atau mungkin saya tidak lagi meyakini pentingnya dunia spiritual.
Yang terpenting (saat itu) adalah hal-hal nyata dan apa yang mampu kamu raih dalam
dunia ini. Saya telah mengabaikan mimpi gila masa muda saya, diantaranya adalah
menjadi seorang penulis, dan saya tidak menginginkan untuk kembali ke dunia mimpi
itu lagi. Saya berada di gereja tersebut hanya untuk memenuhi kewajiban sosial saya.
Ketika saya sedang menunggu acara pembaptisan, saya berkeliling di sekitar gereja
dan akhirnya memasuki rumah Nha’ chica yang sederhana yang terletak di samping
gereja. Dua kamar, sebuah altar kecil dengan beberapa foto santa, dan sebuah vas
bunga yang berisi dua mawar merah dan satu mawar putih.
Dalam sebuah dorongan hati, dan kesunyian dari ketetapan fikiran saya saat itu, saya
berjanji bahwa jika suatu hari saya berhasil menjadi penulis seperti yang saya
inginkan, saya akan kembali ke tempat ini pada umur lima puluh dan saya akan
membawa dua mawar merah dan satu mawar putih.
Saya membeli sebuah potret Nha’ Chica, murni sebagai suvenir pembaptisan.
Dalam perjalanan pulang ke Rio, terjadi sebuah kecelakaan: sebuah bus di depan
kendaraan saya mengerem mendadak, dan dalam waktu sepersekian detik, tanpa sadar
saya berhasil berbelok keluar dari jalan, begitu pun dengan saudara ipar saya. Namun
mobil yang berada di belakang kami terus melaju ke arah bus tersebut, terjadi sebuah
ledakan dan beberapa orang meninggal dunia. Kami berhenti di sisi jalan, tanpa
mengetahui apa yang harus kami lakukan. Saya merogoh ke dalam saku saya untuk
sebungkus rokok dan terogoh potret Nha’ Chica dengan sebuah pesan sunyi
perlindungan.
Perjalanan saya untuk kembali kepada mimpi, kepada pencarian spiritual dan
kesusasteraan dimulai dari sana, dan pada suatu hari, saya menemukan diri saya
kembali berjuang dalam sebuah perjuangan yang baik, perjuangan yang kita jalani
dengan hati yang penuh kedamaian, karena hal tersebut adalah hasil dari keajaiban.
Saya tidak pernah melupakan ketiga mawar tersebut. Akhirnya, hari jadi saya yang ke
lima puluh, yang terasa sangat jauh pada saat kejadian itu terjadi-pun tiba.
Dan janji saya hampir saja terlewatkan. Meskipun saat itu sedang berlangsung piala
Dunia, saya pergi ke Baependi untuk memenuhi janji saya. Seseorang melihat saya di
Caxambu’, tempat saya bermalam, dan seorang wartawan datang untuk
mewawancarai saya. Ketika saya menceritakan kepadanya tentang hal yang sedang
saya lakukan, ia berkata:
”Sudikah anda bercerita tentang Nha’Chica. Tubuhnya telah digali kembali minggu
ini dan sekarang sedang dalam proses beatifikasi di vatikan. Masyarakat seharusnya
mengabarkan pengalamannya dengan beliau.”
“Tidak, “Saya berkata. “Hal tersebut terlalu pribadi. Saya hanya akan berbicara
mengenai hal tersebut jika saya telah mendapat pertanda.”
Lalu saya berkata kepada diri saya sendiri: ”Pertanda seperti apakah itu? Satu-
satunya pertanda yang mungkin adalah seseorang yang berbicara atas namanya!”
Keesokan harinya saya membeli bunga, lalu mengendarai mobil saya ke Bapaendi.
Saya berhenti tak berapa jauh dari gereja, mengenang kembali seorang eksekutif dari
sebuah perusahaan rekaman yang telah mengunjungi gerja itu bertahun-tahun yang
lalu dan berbagai kejadian yang telah membawa saya kembali. Pada saat saya baru
saja akan memasuki rumah, seorang wanita muda keluar dari sebuah toko baju dan
berkata:
“Saya mengetahui bahwa buku anda yang berjudul Maktub dipersembahkan untuk
Nha’ Chica. Saya yakin ia pasti akan sangat bahagia mengetahui hal itu.”
Hanya itu yang ia katakan. Namun itu adalah pertanda yang saya nantikan. Dan ini
adalah sebuah pernyataan publik yang harus saya lakukan.
Membaca Pertanda

Seorang kenalan saya yang tidak mampu menyatukan mimpi dan kenyataan akhirnya
mengalami kesulitan finansial. Lebih buruk lagi, ia menyeret orang lain hingga
terpuruk bersamanya, menyakiti orang yang tidak ingin ia sakiti.
Karena tidak mampu membayar utangnya yang menumpuk, ia bahkan
mempertimbangkan untuk melakukan bunuh diri. Sampai pada suatu sore, ketika ia
sedang menyusuri jalanan, ia melihat rumah yang telah runtuh. ”Rumah itu adalah
aku,” ia berfikir, dan pada saat yang berharga itu, ia merasakan sebuah hasrat yang
menggebu-gebu untuk membangun kembali rumah tersebut.
Dia bertemu dengan pemiliknya dan menawarkan diri untuk membantu segala
pekerjaan yang perlu dilakukan. Sang pemilik menyetujuinya, meskipun ia tidak
mengerti maksud dari kenalan saya tersebut. Mereka bersama-sama membagi tugas
untuk mengangkut genting, pasir dan semen. Kawan saya mengerjakannya dengan
sepenuh hati, tanpa ia tahu mengapa dan untuk siapa. Namun segera setelah renovasi
tersebut berjalan, ia merasakan kehidupan pribadinya lebih meningkat.
Pada akhir tahun, rumah tersebut selesai dibangun. Dan semua masalah pribadinya
telah terpecahkan.
Mahatma Ghandi Pergi Berbelanja

Setelah ia mendapatkan kemerdekaan untuk India, Mahatma Gandhi mengunjungi


Inggris. Ia sedang menyusuri jalan-jalan di London dengan beberapa orang lainnya
ketika perhatiannya tertuju pada etalase dari sebuah toko permata yang terkenal.
Gandhi berdiri di sana mengamati batu-batu berharga dan perhiasan yang dibuat
dengan indah. Sang pemilik toko mengenali wajahnya dan kemudian keluar dari toko
tersebut untuk menyalaminya.
”Saya mendapat sebuah kehormatan besar dengan kehadiran anda di sini,
mengamati hasil kerja kami. Kami memiliki banyak barang dengan nilai, keindahan,
dan cita rasa seni yang luar biasa, dan kami ingin memberikan kepada anda sesuatu.’
”Ya, saya sangat tercengang dengan semua benda yang menakjubkan ini, ”Jawab
Gandhi.”Dan saya lebih terkejut lagi melihat diri saya, karena meskipun mengetahui
bahwa saya dapat menerima hadiah yang berharga, saya tetap mampu untuk hidup
dan di hormati tanpa membutuhkan perhiasan.”
Mengajari Kuda untuk Terbang

Mari kita bagi kata ”preokupasi” menjadi dua bagian, pre – okupasi yaitu, membebani
fikiran anda dengan sesuatu sebelum hal tersebut terjadi. Inilah yang mencemaskan,
mencoba memecahkan masalah yang bahkan tidak pernah terlihat, membayangkan hal
tersebut, kapan hal itu akan terjadi, akan selalu berubah menjadi yang terburuk.
Sewajarnya ada pengecualian untuk hal tersebut. Salah satunya adalah pahlawan
dari kisah kecil ini.
Seorang Raja tua di India menjatuhkan hukuman gantung kepada seorang lelaki.
Ketika sang Raja selesai membacakan putusannya, lelaki pesakitan itu berkata;
”Anda adalah seorang yang bijak, Yang Mulia, dan selalu ingin mengetahui tentang
apa yang dilakukan oleh pelayan anda. Begini Tuan, waktu saya kecil, kakek saya
mengajarkan saya cara untuk membuat seekor kuda putih dapat terbang. Karena tidak
ada orang lain di seluruh kerajaan ini yang mampu melakukan hal itu kecuali saya,
maka saya harus dibiarkan hidup.
Sang Raja segera meminta dibawakan seekor kuda putih.
”Saya butuh meluangkan waktu dua tahun dengan binatang ini, ” Sahut si
pesakitan.
”Baiklah, kuberikan kau waktu dua dua tahun,”Jawab sang Raja, lalu melanjutkan
dengan sedikit curiga. ”Namun bila kuda ini tidak mampu belajar terbang, kamu akan
digantung.”
Dengan gembira, lelaki tersebut kemudian pergi bersama kudanya. Sesampainya di
rumah, ia melihat seluruh keluarganya menagis.
”Apakah kamu sudah gila?” mereka semua berteriak. ”Sejak kapan di rumah ini
ada seseorang yang mampu membuat terbang seekor kuda?”
”Jangan khawatir, ” ia berkata. ”Pertama-tama, tidak ada yang pernah mencoba
mengajari kuda untuk terbang, dan mungkin saja kuda itu mampu belajar dengan baik.
Yang kedua, sang Raja sudah sangat tua dan ia mungkin saja wafat pada dua tahun
yang akan datang. Yang ketiga, Kuda itu mungkin saja meninggal dan kemudian aku
akan diberikan waktu dua tahun lagi untuk mengajar kuda yang baru, belum lagi jika
kita mempertimbangkan kemungkinan revolusi, kudeta dan pengampunan umum. Dan
bahkan jika segala sesuatunya tidak berubah, maka aku tetap telah mendapatkan
waktu hidup selama dua tahun dimana aku bisa melakukan hal-hal yang kuinginkan.
Apakah semua itu tampak tak berarti bagi kalian?
Agar Neraka Tetap Penuh

Menurut sebuah cerita tradisional, Pada saat sang Tuhan anak berakhir di tiang salib,
ia langsung menuju Neraka untuk menyelamatkan para pendosa.
Syetan pun menjadi sangat cemas.
”Aku tidak berguna lagi di alam semesta ini,”Ia berkata. ”Mulai dari saat ini, semua
berandalan yang melanggar aturan, berzinah, dan melanggar hukum agama akan
dimasukkan ke dalam Surga !”
Yesus menatap matanya, kemudian ia tersenyum;
”Jangan khawatir,” Ia berkata kepada Syetan yang malang itu. ”Semua orang yang
meyakini dirinya penuh dengan kebajikan dan karena hal tersebut mereka
menghabiskan hidupnya mengutuk mereka yang mengikuti kata-kataku, mereka akan
masuk ke sini. Tunggulah beberapa ratus tahun lagi dan kau akan melihat Neraka
yang jauh lebih penuh daripada sebelumnya !”

Anda mungkin juga menyukai