Anda di halaman 1dari 25

AKULAH SI TELAGA

Oleh : Sapardi Djoko Damono

akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;


berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
-- perahumu biar aku yang menjaganya

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

ANGIN, 1
Oleh : Sapardi Djoko Damono

angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak dari sudut ke


sudut dunia ini pernah pada suatu hari berhenti ketika mendengar
suara nabi kita Adam menyapa istrinya untuk pertama kali, "hei
siapa ini yang mendadak di depanku?"
angin itu tersentak kembali ketika kemudian terdengar jerit wanita
untuk pertama kali, sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh
lagi

-- sampai pagi tadi:


ketika kau bagai terpesona sebab tiba-tiba merasa scorang diri di
tengah bising-bising ini tanpa Hawa
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

ANGIN, 2
Oleh : Sapardi Djoko Damono

Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar


semalaman.
Seekor ular lewat, menghindar.
Lelaki itu masih tidur.
Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang
di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

AKU INGIN
Oleh : Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana


dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

ANGIN, 3
Oleh : Sapardi Djoko Damono

"Seandainya aku bukan ......


Tapi kau angin!
Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut
kamar,
menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu.
"Seandainya aku . . . ., ."
Tapi kau angin!
Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang
perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga.
"Seandainya ......
Tapi kau angin!
Jangan menjerit:
semerbakmu memekakkanku.Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

YANG FANA ADALAH WAKTU


Oleh : Sapardi Djoko Damono

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:


memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.
Perahu Kertas,Kumpulan Sajak,
1982.

Kumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono.


BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI
Oleh : Sapardi Djoko Damono

waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di


belakang

aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan

aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami


yang telah menciptakan bayang-bayang

aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara


kami yang harus berjalan di depan

BUNGA, 1
Oleh : Sapardi Djoko Damono

(i)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padang waktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketika nampak sekawanan gagak
terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.

Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku
ini si bunga rumput, pilihan dewata!"

(ii)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.

Ia kembang di sela-sela geraham batu-batu gua pada suatu pagi,


dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua
itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm
dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan
hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para
manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"
Perahu Kertas,Kumpulan Sajak,
1982.

BUNGA, 2
Oleh : Sapardi Djoko Damono

mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik


taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata
jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya -- tak ada
alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin
menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu
kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya
selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan
menjelma
pendar-pendar di permukaan kolam
Perahu Kertas,Kumpulan Sajak,
1982.

BUNGA, 3
Oleh : Sapardi Djoko Damono

seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat


ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu
tak ada sahutan
seuntai kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di
empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika
terdengar ada yang memaksa membuka pintu
lalu terdengar seperti gema "hai, siapa gerangan yang telah
membawa pergi jasadku?"
Perahu Kertas,Kumpulan Sajak,
1982.

HUJAN BULAN JUNI


Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak


Dari hujan bulan juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif


Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu(1989)
DALAM DIRIKU
Dalam diriku mengalir sungai panjang,
Darah namanya;
Dalam diriku menggenang telaga darah,
Sukma namanya;
Dalam diriku meriak gelombang sukma,
Hidup namanya!
Dan karena hidup itu indah,
Aku menangis sepuas-puasnya(1980)

Tiba-Tiba Malam pun risik


tiba-tiba malam pun risik
beribu Bisik
tiba-tiba engkau pun lengkap menerima
satu-satunya Duka

Di Atas Batu
ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali…
ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana ke mari…
ia pandang sekeliling :
matahari yang hilang – timbul di sela goyang daun-daunan,
jalan setapak yang mendaki tebing kali,
beberapa ekor capung
— ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
~*Sapardi Djoko Damono*~
Percakapan Malam Hujan
Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung, berdiri di samping tiang
listrik.
Katanya kepada lampu jalan,
“Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.”
“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah;
asalmu dari laut, langit, dan bumi;
kembalilah, jangan menggodaku tidur.
Aku sahabat manusia. Ia suka terang.”
~*Sapardi Djoko Damono*~
[Hujan Bulan Juni, 1973]

Bunga-Bunga di Halaman
mawar dan bunga rumput
di halaman: gadis yang kecil
(dunia kecil, jari begitu
kecil) menudingnya…
mengapakah perempuan suka menangis
bagai kelopak mawar; sedang
rumput liar semakin hijau suaranya
di bawah sepatu-sepatu…
mengapakah pelupuk mawar selalu
berkaca-kaca; sementara tangan-tangan lembut
hampir mencapainya (wahai, meriap rumput di tubuh kita)…
~*Sapardi Djoko Damono*~
[1968]

Kisah
Kau pergi, sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang
tercetak di plat alumunium itu…
Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka tak pernah melihatmu lagi…
Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi…
Hari ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu,
seperti mencari sesuatu…
la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya namamu nyaring-nyaring.
Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu..
~*Sapardi Djoko Damono*~
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

Hatiku Selembar Daun


Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak…
Terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;
Sesaat adalah abadi sebelum kausapu
tamanmu setiap pagi…
~*Sapardi Djoko Damono*~

Pada Suatu Hari Nanti


Pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi…
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri…
Pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi…
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati…
Pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi…
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari…
~*Sapardi Djoko Damono*~

Kumpulan Puisi/Prosa

 “Duka-Mu Abadi”, Bandung (1969)


 “Lelaki Tua dan Laut” (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
 “Mata Pisau” (1974)
 “Sepilihan Sajak George Seferis” (1975; terjemahan karya George Seferis)
 “Puisi Klasik Cina” (1976; terjemahan)
 “Lirik Klasik Parsi” (1977; terjemahan)
 “Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak” (1982, Pustaka Jaya)
 “Perahu Kertas” (1983)
 “Sihir Hujan” (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
 “Water Color Poems” (1986; translated by J.H. McGlynn)
 “Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono” (1988; translated
by J.H. McGlynn)
 “Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
 “Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia” (1991; antologi
sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
 “Hujan Bulan Juni” (1994)
 “Black Magic Rain” (translated by Harry G Aveling)
 “Arloji” (1998)
 “Ayat-ayat Api” (2000)
 “Pengarang Telah Mati” (2001; kumpulan cerpen)
 “Mata Jendela” (2002)
 “Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?” (2002)
 “Membunuh Orang Gila” (2003; kumpulan cerpen)
 “Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an
– 1910an)” (2005; salah seorang penyusun)
 “Mantra Orang Jawa” (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa
Indonesia)
 “Kolam” (2009; kumpulan puisi)

Buku

 “Sastra Lisan Indonesia” (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan


A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
 “Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan”
 “Dimensi Mistik dalam Islam” (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel
“Mystical Dimension of Islam”, salah seorang penulis.

Pustaka Firdaus

 “Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia” (2004), salah seorang penulis.


 “Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas” (1978).
 “Politik ideologi dan sastra hibrida” (1999).
 “Pegangan Penelitian Sastra Bandingan” (2005).
 “Babad Tanah Jawi” (2005; penyunting bersama Sonya Sondakh,
terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura,
Balai Pustaka 1939).

AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:


dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

PADA SUATU HARI NANTI


pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari

GADIS KECIL
Ada gadis kecil diseberangkan gerimis
di tangan kanannya bergoyang payung
tangan kirinya mengibaskan tangis
di pinggir padang,ada pohon
dan seekor burung…

DALAM BIS
langit di kaca jendela bergoyang
terarah ke mana wajah di kaca jendela
yang dahulu juga
mengecil dalam pesona
sebermula adalah kata
baru perjalanan dari kota ke kota
demikian cepat
kita pun terperanjat
waktu henti ia tiada…

HATIKU SELEMBAR DAUN


hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

KETIKA JARI-JARI BUNGA TERLUKA


Ketika Jari-jari bunga terluka
mendadak terasa betapa sengit, cinta kita
cahaya bagai kabut, kabut cahaya
di langit menyisih awan hari ini
di bumi meriap sepi yang purba
ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata
suatu pagi, di sayap kupu-kupu
disayap warna, suara burung
di ranting-ranting cuaca
bulu-bulu cahaya
betapa parah cinta kita
mabuk berjalan diantara
jerit bunga-bunga rekah…
Ketika Jari-jari bunga terbuka
mendadak terasa betapa sengit, cinta kita
cahaya bagai kabut, kabut cahaya
di langit menyisih awan hari ini
di bumi meriap sepi yang purba
ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata

BUAT NING
pasti datangkah semua yang ditunggu
detik-detik berjajar pada mistar yang panjang
barangkali tanpa salam terlebih dahulu
januari mengeras di tembok itu juga
lalu desember…
musim pun masak sebelum menyala cakrawala
tiba-tiba kita bergegas pada jemputan itu

Pada Suatu Pagi Hari

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk
sepanjang lorong itu.
Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri
saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin
membakar tempat tidur.
Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik rintik di
lorong sepi pada suatu pagi.

SAJAK KECIL TENTANG CINTA


mencintai angin harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaiMu harus menjadi aku

DALAM DIRIKU

dalam diriku mengalir


sungai panjang
darah namanya…
dalam diriku menggenang
telaga darah
sukma namanya…
dalam diriku meriak
gelombang suara
hidup namanya…
dan karena hidup itu indah
aku menangis sepuas-puasnya…

NOKTURNO
kubiarkan cahaya bintang memilikimu
kubiarkan angin yang pucat
dan tak habis-habisnya
gelisah
tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu
entah kapan kau bisa kutangkap…

HUJAN BULAN JUNI


tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

HUTAN KELABU DALAM HUJAN


Hutan kelabu dalam hujan
Lalu kusebut kembali kau pun kekasihku
Langit di mana berakhir setiap pandangan
Bermula kepedihan, rindu itu

Temaram temasa padaku semata


Memutih dari seribu warna
Hujan senandung dalam hutan
Lalu kelabu, mengabut nyanyian

SAJAK KECIL TENTANG CINTA


Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
MencintaiMu(mu) harus menjadi aku

Sihir Hujan

Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan

swaranya bisa dibeda-bedakan;

kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.

Meskipun sudah kau matikan lampu.

Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan

menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh

waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan.


DI RESTORAN

Kita berdua saja, duduk

Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput kau entah memesan apa.

Aku memesan batu di tengah sungai terjal yang deras kau entah memesan apa.

Tapi kita berdua saja, duduk.

Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya, memesan rasa
lapar yang asing itu.

KETIKA KAU TAK ADA

ketika kau tak ada, masih tajam seru jam dinding itu
jendela tetap seperti matamu
nafas langit pun dalam dan biru, hanya aku yang
menjelma kata, mendidih, menafsirkanmu

kau mungkin jalan menikung-nikung itu


yang menjulur dari mimpi, yang kini
mesti kutempuh, sebelum sampai di muaramu
sungguh tiadakah tempat berteduh disini?

kalau tak ada di antara jajaran cemara itu


kepada Siapa meski kucari jejak nafasmu?
magrib begitu deras, ada yang terhempas
tapi ada goresan yang tak akan terkelupas

ANGIN 1
angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak
dari sudut ke sudut dunia ini
pernah pada suatu hari berhenti
ketika mendengar suara nabi kita Adam
menyapa istrinya untuk pertama kali,
“hei siapa ini yang mendadak di depanku?”
angin itu tersentak kembali
ketika kemudian terdengar jerit wanita
untuk pertama kali,
sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh lagi
– sampai pagi tadi:
ketika kau bagai terpesona
sebab tiba-tiba merasa scorang diri
di tengah bising-bising ini tanpa Hawa

ANGIN 2
Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar
semalaman.
Seekor ular lewat, menghindar.
Lelaki itu masih tidur.
Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang
di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.

ANGIN 3

“Seandainya aku bukan ……


Tapi kau angin!
Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar,
menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu.
“Seandainya aku . . . ., .”
Tapi kau angin!
Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku
tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga.
“Seandainya ……
Tapi kau angin!
Jangan menjerit:
semerbakmu memekakkanku.

YANG FANA ADALAH WAKTU


Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.

AKULAH SI TELAGA
akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
– perahumu biar aku yang menjaganya

Dalam sakit

waktu lonceng berbunyi


percakapan merenda
kita kembali menanti-nanti
kau berbisik,
siapa lagi akan tiba?
siapa lagi menjemputmu
berangkat berduka?
di ruangan ini
kita kait dalam gema
di ruang malam hari
merenda keadaan rahasia
kita pun setia memulai percakapan kembali
seakan abadi menanti-nanti
lonceng berbunyi

Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco

kabut yang likang


dan kabut yang pupuh
lekat dan gerimis pada tiang-tiang jembatan
matahari menggeliat dan kembali gugur
tak lagi di langit berpusing
di perih lautan

Sajak desember

kutanggalkan mantel serta topiku yang tua


ketika daun penanggalan gugur
lewat tengah malam. kemudian kuhitung
hutang-hutangku pada-Mu
mendadak terasa: betapa miskinnya diriku;
di luar hujan pun masih kudengar
dari celah-celah jendela. ada yang terbaring
di kursi letih sekali
masih patutkah kuhitung segala milikku
selembar celana dan selembar baju
ketika kusebut berulang nama-Mu; taram
temaram bayang, bianglala itu
1961

Metamorfosis

ada yang sedang menanggalkan


kata-kata yang satu demi satu
mendudukkanmu di depan cermin
dan membuatmu bertanya
tubuh siapakah gerangan
yang kukenakan ini
ada yang sedang diam-diam
menulis riwayat hidupmu
menimbang-nimbang hari lahirmu
mereka-reka sebab-sebab kematianmu
ada yang sedang diam-diam
berubah menjadi dirimu

DukaMu Abadi
DukaMu adalah dukaku
Airmatamu adalah airmataku
Kesedihan abadimu
Membuat bahagiamu sirna
Hingga keakhir tirai hidupmu
Dukamu tetap abadi.
Bagaimana bisa aku terokai perjalanan hidup ini
Berbekalkan sejuta dukamu
Mengiringi setiap langkahku
Menguja semangat jituku
Karena dukamu adalah dukaku
Abadi dalam duniaku!
Namun dia datang
Meruntuhkan segala penjara rasa
Membebaskan aku dari derita ini
Dukamu menjadi sejarah silam
Dasarnya ku jadikan asas
Membangunkan semangat baru
Biar dukamu itu adalah dukaku
Tidakanku biarkan ia menjadi pemusnahku!

Sapardi Djoko Damono

Dalam buku syair “Duka Mu abadi”, sapardi memasang sebuah puisi bernama “prologue”,
sebagai pintu masuk ke dalam buku syairnya. dari pemakaian “M” dengan huruf kapital jelas
kita langsung tahu apa yang hendak dikatakan sang penyair, atau sang pengarang puisi yakni
sapardi djoko damono. Bahwa duka yang dibuat sang pencipta semesta dan itu artinya nasib
yang menimpa dunia dan seisinya, nasib buruk dan nasib baik, bahagia dan derita, kehilangan
dan kebersatuan, semua itu adalah dukaMu abadi, semua itu adalah dukaMu ya Tuhanku.

Bulan ini, hadir menyapa kita puisi-puisi dari buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang
Belanda karya Multatuli, diterjemahkan oleh H.B. Jassin. Kemudian ada pilihan puisi Toeti Heraty
dalam Nostalgi = Transendensi. Ngurah Parsua dengan 99 Puisi. Dharmadi dengan Aku Mengunyah
Cahaya Bulan dan Abdurrahman El Husaini dengan Bius Doa di KM 48. Salam Puisi. Selamat Tahun
Baru 2015.

Rabu, 02 Januari 2013


dukaMu Abadi

Data Kumpulan Puisi

Judul : dukaMu Abadi, Sajak-sajak 1967 - 1968

Penulis: Sapardi Djoko Damono

Cetakan : II, 1975 (Cet. I, Bandung, 1969)

Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta

Tebal : 52 halaman (42 puisi)

Gambar jilid : Popo Iskandar

Beberapa pilihan puisi Sapardi Djoko Damono dalam dukaMu Abadi

Prologue

masih terdengar sampai di sini

dukaMu abadi. Malam pun sesaat terhenti

sewaktu dingin pun terdiam, di luar


langit yang membayang samar

kueja setia, semua pun yang sempat tiba

sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota

sehabis menyekap beribu kata, di sini

di rongga-rongga yang mengecil ini

kusapa dukaMu jua, yang dahulu

yang meniupkan zarah ruang dan waktu

yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:

sepi manusia, jelaga

Kepada Istriku

pandanglah yang masih sempat ada

pandanglah aku: sebelum susut dari Suasana

sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara

terpantul di dinding-dinding gua

pandang dengan cinta. Meski segala pun sepi tandanya

waktu kau bertanya-tanya, bertahan setia

langit mengekalkan warna birunya

bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata

Di Stasion
pilar-pilar besi kekal menanti

di sebelahnya: kita yang mempercayai hati

seakan putih semata, senantiasa

seakan detik lupa meloncat tiba-tiba

sepi pun lengkap ketika kereta tiba

sebelum siap kita menerima

hari di mana

hari tak ada ketika kita menyusun kata-kata

Hari pun Tiba

hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa

kita berkemas sementara jarum melewati angka-angka

kau pun menyapa: ke mana kita

tiba-tiba terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya

tiba-tiba terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata

tiba-tiba terasa bahwa hanya tersisa gema

sewaktu hari pun merapat

jarum jam hibuk membilang saat-saat terlambat

Jarak

dan Adam turun ke hutan-hutan


mengabur dalam dongengan

dan kita tiba-tiba di sini

tengadah ke langit: kosong-sepi ...

Kita Saksikan

kita saksikan burung-burung lintas di udara

kita saksikan awan-awan kecil di langit utara

waktu itu cuaca pun senyap seketika

sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya

di antara hari buruk dan dunia maya

kita pun kembali mengenalnya

kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata

saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia

Sajak Putih

beribu saat dalam kenangan

surut perlahan

kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh

sewaktu detik pun jatuh

kita dengar bumi yang tua dalam setia

Kasih tanpa suara

sewaktu bayang-bayang kita memanjang


mengabur batas ruang

kita pun bisu tersekat dalam pesona

sewaktu ia pun memanggil-manggil

sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil

di luar cuaca

Dua Sajak di Bawah Satu Nama

darah tercecer di ladang itu. Siapa pula

binatang korban kali ini, saudara?

Lalu senyap pula. Berapa jaman telah menderita

semenjak Ia pun mengusir kita dari Sana

awan-awan kecil mengenalnya kembali, serunya:

telah terbantai Abel, darahnya merintih kepada Bapa

(aku pada pihakmu, saudara, pandang ke muka

masih tajam bau darah itu. Kita ke dunia)

II

kalau Kau pun bernama Kesunyian, baiklah

tengah hari kita bertemu kembali; sehabis

kubunuh anak itu. Di tengah ladang aku tinggal sendiri

bertahan menghadapi Matahari

dan Kau pun di sini. Pandanglah dua belah tanganku


berlumur darah saudaraku sendiri

pohon-pohon masih tegak, mereka pasti mengerti

dendam manusia yang setia tetapi tersisih ke tepi

benar. Telah kubunuh Abel, kepada siapa

tertumpu sakit hati alam, dendam pertama kemanusiaan

awan-awan di langit kan tetap berarak, angin senantiasa

menggugurkan daunan; segala atas namamu: Kesunyian

Kupandang Kelam yang Merapat ke Sisi Kita

kupandang kelam yang merapat ke sisi kita

siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba

(malam berkabut seketika) Barangkali menjemputku

barangkali berkabar penghujan itu

kita terdiam saja di pintu. Menunggu

atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu

kenalkah ia padamu, desakmu (Kemudian sepi

terbata-bata menghardik berulang kali)

bayang-bayang pun hampir sampai di sini. Jangan

ucapkan selamat malam; undurlah perlahan

(pastilah sudah gugur hujan

di hulu sungai itu); itulah Saat itu, bisikku

kukecup ujung jarimu; kau pun menatapku:


bunuhlah ia, suamiku (Kutatap kelam itu

bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku

lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)

Gerimis Jatuh
kepada: arifin c. noer

gerimis jatuh kaudengar suara di pintu

bayang-bayang angin berdiri di depanmu

tak usah kauucapkan apa-apa; seribu kata

menjelma malam, tak ada yang di sana

tak usah; kata membeku, detik

meruncing di ujung Sepi itu

menggelincir jatuh

waktu kaututup pintu. Belum teduh dukamu

Lanskap

sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua

waktu hari hampir lengkap, menunggu senja

putih, kita pun putih memandangnya setia

sampai habis semua senja

Tentang Sapardi Djoko Damono


Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. Lulus fakultas Sastra UGM tahun 1964.
Semasa mahasiswa telah pula sibuk dengan kegiatan seni: mengasuh acara sastra RRI
Yogyakarta, menyelenggarakan diskusi dan lomba kesenian, menerjemahkan, main dan
menyutradarai sandiwara, dll. Aktivitasnya kemudian menjadi tenaga pengajar di beberapa
perguruan tinggi, hingga guru besar. (Tertulis di biodata al. begini: DukaMu Abadi pertama
kali diterbitkan tahun 1969 oleh pelukis Jeihan. Dua buku Sapardi yang lain yang sudah
terbit adalah Mata Pisau dan Akuarium, keduanya terbit tahun 1974). Saat ini, kumpulan
puisi beliau tentu telah bertambah.

Catatan Lain
DukaMu Abadi, yang dipersembahkan: "kepadamu, Mu" itu terbagi atas dua bagian, yaitu
berdasarkan angka tahun: 1967 (24 puisi) dan 1968 (18 puisi). Tak ada kata pengantar.
Puisi-puisi yang ada dalam kumpulan ini, yang pernah saya baca semasa sekolah antara lain:
Sajak Putih, Sonet: X, dan bagian II dari puisi Dua Sajak di Bawah Satu Nama

Anda mungkin juga menyukai