kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang
telanjang.
Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita
meraih keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta
dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa
dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.
Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika
peran usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan
seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan,
bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun
berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.
4. Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara
Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada
sebuah khayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah
ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu
memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini. Ketika sapaan
kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian
berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya
akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak
jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.
5. Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga
Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar
bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman.
Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan
menanam tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh. Petani itu
khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.
Mungkin, inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan surah
Al-Qashash ayat 77, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) dunia" dengan menyebut, "Ad-Dun-ya
mazraatul akhirah." (Dunia adalah ladang buat akhirat)
Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya
untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu
yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang
menghargai arti kehidupan.
-----------------------------INGAT MATI, HIDUP BERARTI
Hidup dan kematian seolah dua lembah yang saling berpisah. Satu sama lain
seperti tak berhubungan. Sebagian orang pun mengatakan, bersenangsenanglah di lembah yang satu. Dan, jangan pedulikan lembah lainnya.
Padahal, hidup dan kematian tak ubahnya seperti dua pintu dalam satu
ruang. Orang tak akan paham makna hidup, sebelum ia merasai bagaimana
kematian.
Tak ada sebuah hadiah yang begitu berarti buat seorang mukmin sepanjang
hidupnya melebihi kematian. Itulah hadiah Allah yang hanya mampu
diterjemahkan oleh mereka yang begitu rindu dengan Kekasihnya yang
sejati. Dunia, seberapa pun indahnya, tak lebih dari penjara yang
membelenggu diri dalam ketidaknyamanan dan keterpaksaan.
Seperti itulah ungkapan Rasulullah saw dalam sebuah hadits riwayat Ibnu
Abid Dunya, Thabarani dan Hakim. "Hadiah yang pelik untuk seorang
mukmin ialah kematian."
Itulah kematian. Ia bagaikan garis pemisah antara panggung kepura-puraan
dengan kehidupan yang sebenarnya. Garis yang memisahkan aneka lakon
dan peran dengan sosok asli seorang manusia. Garis yang akhirnya
menyatakan kesudahan segala peran dan dikembalikannya segala alat
permainan. Sayangnya, tak sedikit manusia yang lebih cinta dengan dunia
pura-pura.
Mereka pun berkhayal, andai kepura-puraan bisa buat selamanya. Bisa
berpuas diri dengan aneka lakon dan peran. Tanpa disadari, kecintaan itu
pun berujung pada kebencian. Benci pada kematian. Seperti itulah tabiat
anak kecil yang begitu asyik dengan main-mainnya. Mereka lupa kalau sore
sudah hampir lewat, dan malam pun akan menjelang. Bahkan, mereka pun
lari ketika diminta mandi. Padahal, mandi menjadikan tubuhnya terasa
nyaman berteman malam. Dan kemana pun sang anak lari, mereka tak akan
mampu bersembunyi dari kemestian malam.
Allah swt menggambarkan orang-orang yang lari dari kematian. Seperti
dalam firmanNya di surah Al-Jumuah ayat 8,
"Katakanlah: kematian yang kamu lari daripadanya itu sesungguhnya akan
menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada Tuhan Maha
Tahu hal yang tersembunyi dan yang
terang, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan."
Ketakutan adalah alasan yang paling lumrah buat mereka yang tetap lari dari
kematian. Banyak alasan kenapa harus takut. Pertama, mereka takut
berpisah dengan kehidupan. Bagi mereka, perpisahan ini berarti usai sudah
pesta kenikmatan. Karena kehidupan sudah terlanjur mereka
terjemahkan sebagai kenikmatan. Hanya kenikmatan. Kedua, ada ungkapan
batin yang tidak mereka sadari. Bahwa, mereka enggan berjumpa dengan
Allah. Sebagaimana, mereka selalu menghindar dari perjumpaan dengan
Allah dalam ibadah yang mereka lakukan. Keengganan itu
sebenarnya bukan cuma milik mereka. Karena Allah pun enggan bertemu
mereka, sebagaimana mereka enggan bertemu Allah.
Rasulullah saw menjelaskan hal itu dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
"Barangsiapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah juga benci
bertemu dengan orang itu."
Keengganan itu sangat bertolak belakang dengan kerinduan yang
diungkapkan seorang sahabat Rasul, Hudzaifah. Ketika tak lama lagi ajal
kematian menyambang, beliau r.a. berujar, ".Ya Allah, jika Engkau
mengetahui bahwa kemiskinan itu lebih baik bagiku daripada kekayaan, sakit
itu lebih baik daripada kesehatan, dan mati itu lebih membuatku bahagia
daripada hidup, maka permudahkanlah kematian itu untukku. Sehingga aku
dapat bertemu dengan-Mu."
Ketiga, boleh jadi ketakutan terhadap kematian lebih karena ketidaktahuan.
Persis seperti anak kecil yang lari ketika diminta mandi. Karena yang
diketahui anak tentang mandi tak lebih dari dingin, dipaksa ibu, dan berhenti
dari permainan. Begitu pun tentang kematian. Kematian bagi mereka tak
lebih dari rasa sakit, berpisah dengan keluarga, harta dan jabatan; serta rasa
kehinaan ketika jasad terkubur dalam tanah.
Di situlah perbedaan mendasar antara hamba Allah yang baik dengan yang
buruk. Abdullah bin Umar pernah mendapat pelajaran tentang kematian dari
Rasulullah saw. "Aku mendatangi Nabi saw sebagai orang yang kesepuluh
dari sepuluh yang mendatangi Rasul. Kemudian, ada seorang dari kaum
Anshar bertanya, Siapakah orang yang paling pandai dan mulia, ya
Rasulullah? Beliau saw menjawab, Yaitu, orang yang terbanyak ingatnya
kepada kematian, dan yang paling siap menghadapi kematian. Itulah orang-
orang yang akan pergi dengan kemuliaan dunia dan akhirat." (HR. Ibnu
Majah)
Bagi hamba Allah, tak ada kemuliaan apa pun dari tetap menjaga ingatannya
dengan kematian. Bahkan, seorang yang berada pada puncak kekuasaan
sekalipun. Setidaknya, itulah yang hendak diungkapkan seorang Khalifah
Umar bin Abdul Aziz. Hampir sepanjang usia kekuasaannya, tak
pernah ia lewatkan satu malam pun untuk mengingat kematian. Caranya
begitu manis. Ia panggil para pakar fikih, lalu satu sama lain saling
mengingatkan tentang kematian, hari kiamat, dan kehidupan akhirat.
Kemudian, semuanya pun menangis. Seakan-akan, di samping mereka ada
jenazah yang sedang ditangisi. Itulah mungkin, kenapa Khalifah yang punya
kekuasaan luas ini menjadi sosok yang terpuji. Semasa kekuasaannya,
hampir tak satu pun rakyatnya yang mengeluh. Mereka hidup sejahtera. Dan
inilah sebuah bukti, betapa hidup Umar bin Abdul Aziz begitu berarti ketika
kematian menjadi pengingat sejati.
Jadi, kehidupan dan kematian tak lagi menjadi dua lembah yang saling
terpisah. Kematian mengingatkan kehidupan agar tetap menjadi sesuatu
yang berarti. Bahkan, teramat berarti. Dan kehidupan mengingatkan
kematian sehingga menjadi sesuatu yang dinanti. Kematian mendidik
kehidupan, dan kehidupan merindukan kematian.