Anda di halaman 1dari 6

Tentang Cuaca Sastra di Lampung*)

Iswadi Pratama

Sebelum saya melukis “cuaca” sastra di Lampung, perkenankan terlebih dahulu pada
bagian pertama ini saya berkabar tentang para pelaku sastra di provinsi yang dulu sempat
berjaya dengan hasil cengkih, lada, dan kopinya ini tetapi kini terpuruk masuk dalam salah
satu daftar provinsi termiskin di Indonesia.

Namun, sebelum terlanjur dianggap menjadi “fasis”, saya memaklumkan kepada pembaca
bahwa tulisan ini bukanlah usaha untuk memetakan sejarah sastrawan dan kesusasteraan
di Lampung. Ini sekadar catatan yang terserpih-serpih tentang peristiwa, sosok, dan karya
sastra yang telah pernah ada di Lampung.

Sebagaimana yang bisa dan mungkin terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia, setiap kali
ada upaya-upaya pemetaan para sastrawan dan karya sastra maka masalah-masalah
berkaitan validitas data akan menjadi titik pangkal perdebatan. Namun, bukan perdebatan
sangat yang hendak saya hindarkan. Melainkan klaim-klaim yang kontra-produktif yang
melumpuhkan akal-sehat yang hendak saya jauhi. Oleh sebab itu, sekali lagi perkenankan
saya menggeser tempat duduk sejenak untuk sekedar berkabar tentang para petani yang
sempat dan masih mencangkuli lahan sastra di Lampung.

Sastrawan Lampung Era 80-an Hingga 2000


Memandang ranah sastra di Lampung, sulit untuk menghindari sebuah “lokus” bernama
Isebedy Stiawan Z.S. Penyair cumm Cerpenis cumm “apparatus” kesenian di Dewan
Kesenian Lampung ini telah menebar karya-karayanya di berbagai media massa cetak di
Indonesia sejak era 80-an. Hingga hari ini tenaga Isbedy untuk menulis bukannya
mengendur malah berlipat-lipat. Hampir setiap pekan ada saja karyanya--entah puisi entah
cerpen—dimuat di media massa cetak di Indonesia. Buku-buku kumpulan puisi dan cerita
pendeknya pun terus menyambangi toko-toko buku. Terakhir kumpulan puisinya bertajuk
“Laut Akhir” diterbitkan Bukupop, Jakarta, Januari 2007.

Sebagai sastrawan, Isbedy tumbuh bersama rekan-rekan segenerasinya. Di antaranya Iwan


Nurdaya Djafar, Sugandhi Putra, Hendra Z., Achmad Ric, Dadang Ruhiyat, Juhardi Basri,
dan seorang cerpenis yang lebih “senior” dari mereka yakni AM. Zulkornain. Setelah
generasi ini sederet nama penyair di Lampung juga bermunculan pada era 90-an, yakni
Syaifur Irba Tanpaka, Christian Heru Dwicahyo, Sutarman Sutar, Panji Utama, Ahmad
Yulden Erwin, Oyos Saroso HN, Dahta Gautama, Edy Samudera Kertagama, Budi P.
Hatees. Di Penghujung Abad 20, lahirlah generasi baru sastrawan Lampung: Ari Pahala
Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Rivian A. Chepy, Dyah Indra
Mertawirana, Arman A.Z., Hendri Rosevelt, Alex Robert. Nersalya Renata, Imas Sobariah,
Dina Octaviani, Lupita Lukman, Eliza Harda, Fitriani. Sebenarnya, di barisan generasi ini
ada pula nama Y. Wibowo. Tapi penyair ini baru kembali ke Lampung pada tahun 2000-
an setelah menamatkan kuliahnya di Yogya dan melahirkan satu buku kumpulan puisi
bertajuk “Opera Kebun Lada”.

1
Dari lebih dua lusin sastrawan yang ada di Lampung (dari era 80-an hingga sekarang),
hanya kurang dari separuhnya yang karyanya masih terpublikasi baik di media massa cetak
maupun beredar melalui even-even diskusi dan pembacaan puisi.
Dari era 80-an—selain Isbedy—Iwan Nurdaya Djafar masih menulis puisi namun lebih
konsisten menggarap karya-karya terjemahan mulai dari Khalil Gibran, Octavio Paz,
Jalaludin Rumi, Omar Khayam, hingga Ogi Mori. Satu buku kumpulan puisi Iwan Nurdaya
Djafar bersama Sugandhi Putra “Seratus Sajak” diterbitkan pada tahun 1986. Setelah itu,
keduanya tak pernah mempublikasikan puisi lagi. Belakangan Sugandhi telah pula
menjadi Pelukis dan Da’i.

Dari “kloter” sastra era 90-an di Lampung, sebagian besar masih terus berkarya. Syaiful
Irba Tanpaka setidaknya telah memiliki dua kumpulan puisi: “Buku Puisi” dan “Sajak
Cinta” yang diterbitkan dengan dukungan Dinas Pendidikan dan Kebudayan Lampung.
Lalu Panji Utama telah menerbitkan sendiri dua kumpulan pusinya: “Pasar Kabut” dan
“Kibaran Bendera”. Ahmad Yulden Erwin mengikuti jejak Iwan Nurdaya Djafar
menerjemahkan buku-buku “spiritual”. Diantaranya catatan Bahaudddin Walad, Ayahanda
Jalaluddin Rumi (2006). Edy Samudera Kertagama, Budi P. Hatees, Dahta Gautama, acap
masih membacakan sajak-sajaknya di berbagai even sastra di Bandar Lampung. Oyos
Saroso HN, sesekali puisinya nongol di media massa lokal dan nasional.

Adapun Hendri Rosevelt, tampak belum begitu bersemangat mensosialisasikan karya


selain satu-dua kali saja di media massa nasional dan antologi-antologi terbitan dinas-dinas
kebudayaan di Sumatera. Imas Sobariah lebih tekun menulis lakon-panggung, meskipun
beberapa puisinya sempat dimuat antologi “Surat Putih”. Demikian pula Nersalya Renata
setelah beberapa karyanya dimuat Kompas, Media Indonesia, dan Lampung Post kini
hijrah ke Jakarta menjadi isteri Nur Zaen Hae. Alex Robert yang telah memiliki satu buku
kumpulan puisi, juga melesat ke Jakarta. Selain itu Dina Octaviani, Dyah Indra
Mertawirana; keduanya telah memiliki buku kumpulan puisi dan cerita pendek—setelah
hengkang ke Yogyakarta. Sementara cerita-cerita pendek Arman AZ., juga telah
diterbitkan.

Generasi sastrawan Lampung yang belakangan paling sering mempublikasikan karya di


media-media massa nasional dan juga tampil dalam berbagai even festival sastra lokal,
nasional, dan internasional--sekali lagi, selain Isbedy Stiawan Z.S—adalah
Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Ari Pahala Hutabarat, Lupita Lukman dan
belakangan Fitriani.

Seluruh nama sastrawan yang telah saya sebutkan di atas jelas belum merepresentasikan
jumlah penulis puisi dan prosa yang ada di Lampung. Mereka hanyalah sebagian yang
sempat melintas dalam ingatan saya. Oleh karena itu wajarlah jika Nirwan Dewanto dalam
salah satu tulisannya di Koran Tempo beberapa waktu lalu menyebut Lampung sebagai
“Negeri Penyair”—walaupun belum menjadi negeri puisi.

Namun sebenarnya apakah yang menjadi “vitamin”, “pupuk”, atau “suplemen” sehingga
begitu banyak penulis di Lampung yang seolah sangat “keranjingan” menulis—terutama-
- puisi?

2
Di Lampung tak ada tokoh-tokoh sekaliber Taufik Ismail, Rendra, Sapardi, Goenawan
Mohamad, Umar Khayam, Sutardzi, Putu Wijaya, Emha Ainun Nadjib, Nirwan Dewanto,
atau sosok “penggembala” semacam Umbu Landu Paranggi. Di Lampung tak pernah ada
even-even festival sastra sebesar dan “seheboh” seperti yang pernah digelar di Pulau Jawa
selain Festival Sastra Internasional Teater Utan Kayu yang dilaksanakan di Bandar
Lampung pada 2005 lalu. Di Lampung sangat langka penerbit buku, apalagi karya sastra.
Bahkan acara-acara diskusi atau peluncuran buku sastra adalah “kemewahan” tersendiri.
Wacana-wacana dan diskusi sastra hanya berlangsung dalam kelompok-kelompok kecil
sesama penulis; acap hanya dua atau tiga orang saja. Atau dalam komunitas-komunitas
teater yang menjadi basis internal para penulis yang muncul pada penghujung abad 20 di
Lampung.

Komunitas-komunitas inilah—di antaranya Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni


(UKMBS) Universitas Lampung, Komunitas Berkat Yakin, dan Teater Satu—yang masih
bengal untuk selalu menciptakan ruang-ruang kreatif penciptaan seni (sastra dan teater).
Ketiga komunitas kesenian inilah yang kini menjadi “Three Musketeers” dalam
membangun dan memperjuangkan sastra dan teater di Bandar Lampung di luar lembaga-
lemba resmi semacam Dewan Kesenian Lampung, Dinas Pendidikan, dan Taman Budaya
Lampung.

Salah satu media “alternatif” terpenting bagi para sastrawan dan pekerja teater di Lampung
saat ini adalah Jaringan Teater Pelajar dan Mahasiswa Lampung dan Bilik Jumpa Sastra
yang berbasis di markas UKMBS Universitas Lampung. Ini adalah salah satu media
sederhana yang sejak pertengahan 2006 lalu telah memancarkan sinar baru bagi cuaca
sastra di Bandar Lampung (Lampung).

Salah satu peristiwa yang telah mereka selenggarakan adalah pembacaan dan diskusi
karya-karya Isbedy Stiawan Z.S., Sang “Paus Sastra” Lampung. Peristiwa ini pulalah yang
akan saya jadikan sarana untuk memotret suasana dan gairah sastra di Bandar Lampung
dalam sub judul di berikut ini.

Bertahan di Tengah Dingin Cuaca Sastra


Malam itu, di paruh tahun 2006, saya menyaksikan lagi penampilan salah seorang penyair
terkemuka di provinsi (negeri) ini: Isbedy Stiawan Z.S, yang tampil di ruang kecil yang
nyempil di salah satu sudut gedung bernama Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas
Lampung. Dalam acara bertajuk “Bilik Sastra” yang diselenggarakan Unit Kegiatan
Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila setiap bulan itu, Isbedy “hanya” membacakan
lima sajak terbarunya.
Limapuluhan audiens yang datang malam itu barangkali 90 persen sudah saling mengenal
juga sudah tahu benar siapa dan bagaimana Isbedy dan sajak-sajak Isbedy. Inggit, penyair
perempuan yang tengah berada di tengah arus pusaran sastra Indonesia itu mengatakan,
Isbedy masih liris. Sajak-sajaknya penuh dengan ujaran—bukan penggambaran tentang
sesuatu hal. “Mengapa Isbedy tidak berusaha mengeksplorasi lagi bentuk-bentuk
pengucapannya?,” bisik Inggit pada saya. Dalam benaknya—demikian saya menduga—
berlintasan sajak-sajak Paz, Wallcot, Neruda, Emile, Sapardi. Saya tak bisa menjawab

3
pertanyaan Inggit itu, saya—ketika itu—hanya tahu bahwa yang sedang saya simak adalah
Isbedy. Penyair yang gemar memakai topi dengan rambut yang mulai abu-abu. Penyair
yang meletup jika sedang memanggungkan sajak-sajaknya. Penyair yang sebagian besar
kata dalam sajaknya bermakna tunggal (kata Rahmat Sudirman). Penyair yang kalimat-
kalimat dalam puisinya seperti mencelat dari ruang sempit yang tergencet tabrakan dua
realitas yang saling bertentangan. Penyair yang dijuluki Paus Sastra Lampung oleh
Almarhum HB. Jassin. Penyair yang disebut-sebut Iwan Nurdaya Djafar bisa menulis puisi
bahkan dari peristiwa kesandung batu sekalipun. Penyair yang karya-karyanya sudah
belasan tahun menghiasi koran-koran lokal dan nasional. Penyair yang juga menulis cerita
pendek dan telah menerbitkan banyak buku. Penyair yang pernah diundang menghadiri
forum “Dialog Utara-Selatan” di Thailand. Penyair yang juga Ketua Program Dewan
Kesenian Lampung. Penyair yang…..”Ah, Nggit, bahkan untuk menampung seorang
Isbedy volume otak di kepalaku terasa tak mencukupi lagi. Pengetahuanku hanya sanggup
menjangkau sedikit ihwal dari keseluruhan Isbedy.” Tiba-tiba saya merasa ruang lantai
dasar Gedung PKM yang sering digunakan teman-teman UKMBS Unila dan Komunitas
Berkat Yakin menggelar peristiwa seni itu makin menyempit. “Setting ruangan yang kalian
sediakan untuk Isbedy mungkin terlalu sederhana, sehingga auranya tidak keluar semua,”
kata Anshori Djausal, budayawan Lampung yang sudah lama tidak saya lihat dalam acara-
acara seperti itu.
Ya. Saya bersepakat dengan salah seorang dari The Most Thinker from Lampung yang biasa
saya panggil “Bang An”. Malam itu, saya merasa Isbedy agak lunglai. Ini amat berbeda
dari penampilan-penampilannya sebelum ini. Isbedy seperti “ikut mengecil” dalam ruang
yang nyempil dan audiens yang amat terbatas. Padahal dalam beberapa puluh menit yang
masih tersisa, saya berharap ruang pertunjukan PKM Unila itu akan membesar dengan
hadirnya Isbedy di sana.
Namun harapan saya itu seharusnya saya tepiskan terlebih dahulu. Sebab Panji Utama,
penyair yang ditugasi membahas Isbedy dan ihwal sajak-sajak Isbedy malam itu, sejak
mula telah mengajak audiens memasuki ruang pembicaraan yang lebih intim, meyempit,
dan rapat. Begitulah saya menafsirkan judul tulisan Panji: “Mengintip Isbedy dari Atap”.
Untuk mengintip kita harus merapatkan tubuh dan mata pada lubang sempit pandangan
melihat sesuatu yang lebih besar di seberang sana sedikit demi sedikit. Dan memang,
pengetahuan yang akan kita peroleh dari hasil mengintip tak akan lengkap. Selalu ada renik
dan bagian yang abai. Maka, Ari Pahala Hutabarat, penyair dan teaterawan yang
perkembangan pengetahuannya bak kereta cepat itu tak sabar untuk mengintai Isbedy dari
“lubang” yang ditawarkan Panji. Ia menerobos masuk. Mendobrak pintu dan langsung
menegaskan hal-ikhwal yang juga telah mengusik benak Inggit menyangkut proses kreatif
penciptaan yang dilakoni Isbedy.
Maka, “ruang intim” Isbedy pun terbuka. Lalu berhamburanlah pertanyaan dari Budi
Hutasuhut, Sugandhi Putra, Andika Sydik, Muhamad Yunus, dan saya sendiri yang sekadar
menanyakan alasan Isbedy memilih untuk berada dalam ruang intim penciptaannya kini.
Panji pun berusaha menjelaskan Isbedy dan ikhwal sajak Isbedy dari sudut pandang yang
dipilihnya. Sementara yang lain merasa itu tak mencukupi. Lalu, pertanyaan pun
berdesakan menunggu giliran di depan Panji dan Isbedy.
Ya. Malam itu, kita (kami) ingin sekali mendapatkan penjelasan ihwal Isbedy dan sajak-
sajaknya sekaligus berusaha mengidentifikasinya.

4
Tapi malam memang sudah larut. Isbedy tampak tak jenak lagi berada di situ dan seperti
diburu waktu. Ia memang tak perlu terus menerus meladeni pertanyaan kami. Karena Ia
memang sudah menempuh perjalanan cukup panjang untuk mengucapkan dirinya dalam
sajak-sajaknya. Semacam menyimpan rasa perih yang tak mau berhenti.

Rasa Perih yang tak mau berhenti. Inikah yang telah menjadi “tenaga” seorang penyair
menuliskan sajak-sajaknya? Apakah setiap puisi memang harus meradang, merintih,
berkesah tentang sesuatu hal? Adakah setiap puisi pada akhirnya tak luput menjadi--
meminjam istilah Octapio Paz--sekadar ujaran? Inilah wacana yang tengah memenuhi
setiap diskusi, obrolan sastra di antara sastrawan-sastrawan (muda) di Lampung.

Dalam perjalanan pulang dari menghadiri acara pembacaan sajak Isbedy saya melintasi
sebuah keramaian di salah satu sudut Jalan Imam Bonjol. Sudah cukup larut. Tapi
kerumunan orang-orang yang tengah asyik masuk menikmati hiburan musik dangdut yang
digelar pemilik hajatan justru makin seru. Dalam hajatan serupa ini, keramaian adalah
indikasi keberhasilan si pemilik hajat. Indikasi seperti ini juga sering dikenakan untuk
mengukur keberhasilan atau penting/tidak pentingnya hajat seni seperti diskusi sastra
barusan.

Maka, tak mengherankan bila dalam ajang sebesar Festival Krakatau atau festival-festival
seni-budaya lainnya di daerah (dan negeri ) ini sering disisipkan hiburan musik dangdut,
rock, dan yang serupa itu sebagai siasat mengundang keramaian. Hal ini juga berkaitan
dengan ketertarikan pihak swasta untuk menjadi sponsor atau pihak pemerintah dalam
menakar penting atau kurang pentingnya sebuah even seni.
Oleh banyak pihak, strategi seperti ini masih dipercayai sebagai cara jitu untuk
mensukseskan even kesenian. Tak perduli apakah “ke-ramaian” itu juga mencerminkan
kualitas kerja manajerial atau sekadar pemenuhan terhadap “hasrat” akan keramaian.
Oleh karena itu, karya-karya seni yang sesungguhnya membutuhkan ruang-ruang intim—
bukan exslusif—seperti pembacaan puisi, pentas teater, tari, musik kamar, pameran seni
rupa terpaksa diusung ke tengah pusaran khalayak demi meraih “keramaian”. Atau
kalaupun tidak, jika penyelenggaranya instansi pemerintah, akan dilakukan “mobilisasi
massa” dari sekolah-sekolah demi merayakan sebuah peristiwa kesenian (non-pop).
Dan dalam mobilisasi yang berlangsung adalah “bisnis” atau pendekatan kekuasaan. Daya
tahan massa yang dimobilisasi tergantung pada seberapa besar keuntungan yang mereka
peroleh dalam “bisnis” instant itu atau seberapa besar kekuasaan yang bekerja dan telah
mempengaruhi mereka. Tidak ada jaminan bahwa massa yang dimobilisasi untuk suatu
ketika datang atau menyaksikan sebuah even seni (non-pop) di sebuah gedung kelak akan
datang sendiri dalam even serupa. Meskipun ada segelintir orang yang kemudian jadi
tertarik dengan seni musik, tari, sastra, teater, seni rupa (apalagi yang bersifat tradisi),
prosentasenya teramat sangat kecil jika pendekatan seperti ini hendak dijadikan model
baku dalam membangun apresiasi masyarakat terhadap seni dalam jangka panjang. Cara
kerja seperti ini hanya pantas dilakukan untuk even-even yang bersifat instant dan dadakan.
Bukan untuk sebuah program pengembangan seni yang selayaknya telah dirancang dan
dipikirkan secara serius.

5
Di lain pihak, para seniman dan komunitas-komunitas seni yang tidak memiliki akses
terhadap kekuasaan dan kapital yang kuat tentu saja akan sangat kesulitan jika harus
memobilisasi massa agar peristiwa seni yang dihadirkannya menjadi “ramai”. Karena itu,
mereka harus rela dan bersabar melakoni seni dalam kesunyian masing-masing. Sampai
akhirnya mereka memiliki sebuah “pamor” yang bisa menyerap khalayak Tak ada jalan
lain bagi mereka selain melakoni dunia penciptaan seni sebagai seorang yang harus meraih
predikat “ke-empuan” yang auranya menebar ke segala jurusan dan mengundang banyak
perhatian. Hanya dalam taraf itu, seorang seniman—yang tidak memiliki akses terhadap
kekuasaan atau modal kapital yang kuat—bisa memikat hati para manajer, Even Organizer,
pengusaha, penguasa, cendikiawan, media massa, dan lain-lain di luar wilayah kreatif
penciptaan karya seni.

Sinisme semacam ini, saya kira, tak terelakkan jika kita melihat kondisi kesenian (non pop)
di lampung—dalam konteks “keramaian”-- hingga dewasa ini. Setiap kali peristiwa seni
digelar, kita seperti harus selalu menegaskan lagi bahwa seni itu penting sebagai refleksi
atas realitas sosial, politik, budaya, spiritual, pendidikan, bahkan ekonomi masyarakat. Kita
seakan mesti selalu meyakinkan lagi bahwa seni itu penting untuk membangun kedewasaan
sosial dan kultural, bahwa seni itu tidak boleh hilang dari kehidupan karena ia membuat
kita mengerti maknanya indah, agung, haru, dan sebagainya. Kita seperti harus selalu
berteriak ke dasar jurang hanya untuk mengatakan “tengoklah sejenak…” dan hanya gaung
suara kita yang terus menerus kita dengar sendiri.

Semua keadaan itu, saya kira, yang hendak disikapi oleh kawan-kawan penggagas “Bilik
Jumpa Sastra”. Mereka memutuskan untuk berhenti meratapi kesepian even-even sastra di
Lampung dan malah mencoba mencintai kesepian itu dengan menciptakan sebuah “bilik”;
sebuah tempat yang kecil dan amat terbatas. Mereka tak berhasrat lagi pada keramaian,
mereka merindukan sesuatu yang intens! Semangat untuk meraih sesuatu yang intens inilah
yang saya kira telah menafasi pertumbuhan dan perkembangan sastra di Lampung. Dan
telah membuat mereka bertahan dalam dingin cuaca selama bertahun-tahun.

*) Data sastrawan terakhir yang dicatat dalam tulisan ini adalah yang muncul hingga tahun
2006/2007.

Iswadi Pratama, lahir di Tanjungkarang, Bandar Lampung, 8 April 1971. Menulis esai
seni, puisi, prosa, naskah drama. Kini menjadi Direktur Artistik Teater Satu Lampung.

Anda mungkin juga menyukai