Anda di halaman 1dari 92

Puthut EA

Jam 9 Kita Bertemu


JAM 9 KITA BERTEMU
© Puthut EA, 2019

Pemeriksa aksara:
Ilustrator sampul:
Penata isi & sampul: M. Sadam Husaen

xii + 37 halaman
11 x 17 cm

Diterbitkan oleh

Drono Gang Elang 6E No. 8


Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
D.I. Yogyakarta 55581

@bukumojok
bukumojok@gmail.com

Penerbit Buku Mojok berusaha menerbitkan buku lewat proses yang


secermat-cermatnya. Namun, buku ini dikerjakan oleh manusia yang
punya potensi untuk keliru. Apabila Anda menemukan cacat fisik,
mohon kirimkan buku ini bersama alamat Anda ke alamat kami agar
kami bisa menggantinya dengan eksemplar lain yang tidak bercacat.
Puthut EA

Jam 9 Kita Bertemu


Prakonsepsi:
Jam 9 Kita Bertemu

Ini adalah kisah cinta segitiga. Dipanggungkan


dengan konsep cerita ‘ada cerita di benak’ dan
‘ada cerita di panggung’. Ini semacam seorang
ibu yang mendongeng, di mana ada sesuatu yang
didongengkan dan ada peristiwa di mana ibu
mendongeng. Yang pertama kurang-lebih adalah
yang dimaksud dengan ‘cerita di benak’ dan yang
kedua kurang-lebih yang dimaksud dengan
‘cerita di panggung’. Yang membedakan hal
tersebut dengan pentas pembacaan cerita pendek
adalah karena adegan-adegan di dalam panggung
beserta seluruh kompleksitas seni pertunjukannya.
Yang soal itu, tentu sang sutradara lebih tahu.
Durasi pementasan ini sekitar 60 menit.
Pementasan ini ibarat ‘makan soto’. Cukup,
cenderung agak kurang, tetapi kalau nambah

1
seporsi lagi, perut bisa kekenyangan dan mual.
Kata kunci lain yang bisa dianggap sebagai
pengantar sebuah naskah adalah kata
‘kemrengseng’, seperti air yang hampir
mendidih. Lakon ini tidak membidik titik didih,
tapi mengemas ‘kemrengseng’ itu tadi.

Seputar Tokoh

Lisa: Perempuan, kira-kira menjelang 27 tahun,


tenang, tegas. Sejak mahasiswa sudah bergiat
dalam pers kampus, lulus menjadi wartawan, dan
terlibat asmara gelap dengan tokoh laki-laki.

Kenes: Perempuan, hampir 27 tahun, agak genit,


suka menggerutu, tetapi juga romantis. Saat
mahasiswa mengikuti pola kuliah yang tertib.
Saat lulus menjadi aktivis LSM. Sehingga wacana
sosialnya agak kagetan juga.

Doni: Laki-laki, 28 tahun, sudah menikah. Sejak


kuliah mendalami kegiatan film, dan terlibat
sejarah asmara dengan banyak perempuan. Lulus
kuliah menjadi pembuat film. Profesi yang akhir-
akhir ini cukup seksi.

2
Istilah Teknis

Benak: back sound, narasi di luar.


Panggung: percakapan di dalam panggung.

3
Jam 9 Kita Bertemu
#1
Panggung

Kenes dan Doni ditampilkan secara bergantian.


Dalam aktivitas yang beku dan muram. Kenes
pulang dari kantor, lelah. Doni pulang dari kantor,
lelah. Lalu panggung kosong. Menyisakan hening.
Seperti menunjukkan bahwa jauh di dalam hati
kedua orang itu, kekosongan sedang melanda.
Rasa kosong yang biasanya didesak oleh aktivitas
harian kini balik melabrak ketika tubuh sudah
lelah, ketika mereka kembali sendirian. Hanya
permainan lampu yang menunjukkan benda-
benda mati. Menunjukkan bahwa pada saat
tertentu, manusia toh seperti tas, kursi, pakaian,
kertas, komputer. Benda-benda yang beku.

Benak

Kenes:
Semenjak pertama kali aku bertemu denganmu,
aku tahu, sesuatu pasti akan terjadi di antara kita.
Ya, itu bakal menjadi rumit. Tapi kita tetap
menjalaninya. Dan kita pasti sibuk menyusun

4
segenap alasan yang ada untuk terus bertahan
bahwa ini layak untuk dijalani. Atau karena kita
merasa tidak lagi punya jalan untuk
menghindarinya. Kalau perlu, kita akan
menghadang pertanyaan yang meletihkan dengan
rumus yang kekanak-kanakan: Ah, kita berada di
suatu pojok, di mana masa lalu tidak terletak
pada tempat yang sebenarnya.

Doni:
Kamu selalu mengulang hal semacam itu…
Seperti yang sudah-sudah..

Kenes:
Ya. Seperti yang sudah-sudah, ini hanya tinggal
menjadi perasaan tanpa masa depan.

Doni:
Tapi… Tapi inilah yang terjadi. Aku mencintaimu,
kamu mencintaiku. Tidak ada yang salah.
Kalaupun ada yang salah hanyalah karena kita
bertemu di saat aku sudah beristri. Itu saja

5
#2
Panggung

Kenes sedang berada di rumah Lisa. Ia sedang


tiduran seenaknya di atas sofa. Lisa, terdengar
suaranya tidak ada orangnya, mungkin di
kamar atau di dapur. Ia sedang menerima
telepon dari Doni. Suara Doni di seberang
terdengar serak, seperti baru bangun tidur. Dan
juga terdengar letih.

Benak

Doni:
Halo..

Lisa:
Halo…

Doni:
Tadi aku ketiduran, dan bermimpi tentang kamu.

Lisa:
Memang kamu sedang di mana?

6
Doni:
Di kantor. Begadang. Nungguin teman yang
ngedit filmku.

Lisa:
Pantes. Tumben nelepon jam segini. Ternyata
karena tidak sedang tidur nyenyak mendekap istri
tercinta…

Doni:
Jangan begitu, dong…

Lisa:
Kamu dong yang jangan begitu… Nelepon saja
tunggu harus menunggu mimpi dulu.

Doni:
Aku kangen kamu.

Lisa:
Bohong.

Doni:
Kamu enggak pernah kangen sama aku, ya?

7
Lisa:
Itu bedanya kamu dan aku. Kamu kangen aku
kalau sedang bermimpi tentang aku. Sedangkan
aku kangen terus sama kamu.

Doni:
Tapi kamu jarang meneleponku..

Lisa:
Kangen kan tidak harus selalu menelepon. Kangen
kok diobral. Lagi pula, kalau aku nelepon juga
belum tentu kamu angkat karena sedang bersama
istri.

Doni:
Sshh… Sudah ah… Aku sayang kamu.

Lisa:
Bohong.

Doni:
Ya sudah.

Lisa:
Aku juga sayang kamu.

8
Doni:
Seberapa?

Lisa:
Selemari.

Doni:
Lemari siapa?

Lisa:
Lemari pakaianku. Bukan lemari pakaianmu.

Doni:
He-he…
Lisa:
Eh sudah dulu, ya… Ada teman di rumah.

Doni:
Oke. Selamat malam.

Lisa:
Malam.

9
#3
Panggung

Lisa keluar, mendapati Kenes seenaknya tiduran


di atas sofanya.

Lisa:
Kenes! Sofaku itu belum lunas!

Kenes:
Alah…

Lisa:
Tumben nongol lagi… Sudah enggak sibuk?

Kenes:
Masih.

Lisa:
Terus kenapa tiba-tiba nongol?

Kenes:
Bosan. Aku cabut dari workshop. Itu-itu saja.
Buang-buang waktu.

10
Lisa:
Kamu kapan sih berhenti jadi penggerutu begitu?
Kalau tidak ada workshop bilang kerjaanmu
monoton. Ada workshop kamu bilang buang-
buang waktu.

Kenes:
Kali ini fasilitator dan pesertanya enggak ada
yang cakep.

Lisa:
Kalau mau lihat orang cakep nonton tv, dong.

Kenes:
Kamu itu seperti mamaku, apa-apa sedikit
hubungannya dengan teve. Mau Magrib nonton
sinetron, habis Magrib masih pegang tasbih juga
nonton sinetron.

Lisa:
Jadi apa masalahnya?

Kenes:
Terang saja bermasalah. Apa baiknya nonton
sinetron? Aku tidak pernah membaca ada orang
yang setuju dengan tayangan itu. Menyebarkan

11
hal-hal yang tidak baik. Mimpi-mimpi yang
terlalu tinggi. Dan satu lagi, klise! Ceritanya
hitam putih. Tidak membuat orang pintar.

Lisa:
Mamamu pasti tahu kalau menonton sinetron itu
tidak membuat pintar. Dan mamamu pasti tahu
bahwa itu semua hanya tontonan.

Kenes:
Nah itu…

Lisa:
Maksudmu?

Kenes:
Persis seperti itu jawaban mamaku!

Lisa:
Terus?

Kenes:
Terus apanya? Ya kalian berdua sama persis! Itu
yang dari dulu selalu kukatakan, kenapa bukan
kamu saja yang jadi anak mamaku?

12
Lisa:
Kamu itu dari dulu selalu berlebihan.

Kenes:
Tapi kamu sering lihat sendiri, kan? Di acara-
acara kriminal itu, banyak pelaku yang mengaku
melakukan kejahatan karena pengaruh apa yang
mereka tonton. Tahu, kan?

Lisa:
Itu karena mereka diajari untuk menjawab seperti
itu. Karena jawaban seperti itulah yang paling
gampang diterima oleh orang lain. Coba kamu
bayangkan, seorang penjahat kelas teri, di bawah
ancaman ketakutan dan kekerasan dalam proses
pemeriksaan, bagaimana bisa memformulasikan
jawaban yang benar?

Kenes:
Nah, kamu yang berlebihan…

Lisa:
Enggaklah. Terang mereka diajari untuk mengaku
bahwa apa yang mereka lakukan karena mereka
menonton sesuatu di televisi.

13
Kenes:
Aku tidak suka dengan caramu berpikir.

Lisa:
Aku juga tidak suka dengan caramu menganalisa
yang berlebihan.

Kenes:
Berlebihan bagaimana?

Lisa:
Kamu itu kayak kebanyakan orang-orang sok
pakar yang bilang kalau tontonan televisi itu
membodohkan. Sepertinya penonton itu orang
yang bodoh, manut saja dengan apa yang mereka
tonton.

Kenes:
Ya tapi kan lebih baik menonton tontonan yang
bermutu?

Lisa:
Ya yang ada hanya itu! Dan hei, ingat ya… apa
yang kamu anggap tontonan bermutu dengan
menonton film, teater, musik klasik itu, sebetulnya
bukan melulu soal mutu.

14
Kenes:
Lalu?

Lisa:
Kamu saja yang ingin menjadi bagian dari mereka
biar dianggap punya selera bagus! Padahal kamu
juga belum tentu ngerti!

Kenes:
Eh, Lisa… Mmm… Boleh enggak aku tanya
sesuatu?

Lisa:
Apa?

Kenes:
Dulu ibumu nyidam nyeplus cabai ya saat hamil
kamu?

Lisa:
Enggak tahu, kenapa memang?

Kenes:
Omonganmu itu pedes banget!

15
Lisa:
Lah kalau ibuku nyidam nyeplus cabai, mamamu
pasti nyidam ngemut petasan!

Kenes:
Hah?!
&^$&(((^%$^&R (Mereka berdua saling timpuk
bantal sofa sambil tertawa cekikikan)

Lisa:
Kenes! Sofaku belum lunas!

16
#4
Panggung

Ini seperti sebuah pagi yang malas. Kenes masih


memakai piyama. Ia hanya terpekur. Malas
mandi, malas beraktivitas. Kesadarannya
dirampas oleh pagi yang lain, pagi yang
menggairahkan.

Benak

Kenes:
Kata orang, setiap pagi muncul berarti satu
lembar harapan sedang terbuka. Tapi senyatanya
tidak selalu seperti itu. Aku hanya suka pagi hari
di mana ada kamu. Di pagi seperti itu, udara
dipenuhi oleh bau roti panggang yang turun dari
lenganmu, dan aku masih mengaduk salad
sederhana. Kita bersampingan, sama-sama
menghadap jendela kecil di dapur kecil. Lenganmu
menyenggol lenganku. Aku menengok ke arahmu,
dan kamu merasa tidak sedang terjadi apa-apa.
Sengaja aku menyenggol lenganmu, dan kamu
diam, seperti tidak terjadi apa-apa. Aku
melanjutkan pekerjaanku. Aku merasa lenganmu
yang telanjang menyenggol lenganku yang juga

17
telanjang. Aku menghadapimu, melihatmu dari
samping. Kamu diam. Seperti tidak ada aku. Aku
menyentuh bahumu. Kamu menengok ke arahku.
Aku hadapkan tubuhmu ke tubuhku. Kamu
menatapku tajam, menyembunyikan senyummu,
dan lalu menjatuhkan matamu ke arah kananku,
jauh. Aku merengkuhmu, menghirup bau kopi
dari mulutmu, merebut bau roti dari tubuhmu.

Doni:
Tapi kemudian kamu pasti juga akan membantah
sendiri perkataanmu. Sebab pernah kamu bilang
kepadaku, pagi bersamaku adalah pagi yang
resah. Pagi yang bergerak seperti tirai jendela
yang bergoyang sedih. Aku teringat kali terakhir
kita bertemu. Tiba-tiba kamu mendekatiku,
menyalakan tungku di bibirku dengan bibirmu.
Air matamu jatuh dari matamu ke pipimu,
meleleh menuju bibirmu, terlumat bersama
ciuman kita, menetes dari bibirku ke dadaku.
Sangat deras dan hangat. Subuh tiba, dan kita
usai. Kamu bisikkan kepadaku sebuah kalimat
yang kita sama-sama tahu itu tidak mungkin. Kita
sama-sama tahu itu hal yang muskil. Tapi kamu
lalu mengulang kalimatmu dengan suara gemetar.
Dekat sekali dengan telingaku. Seakan-akan

18
kamu ingin memastikan bahwa apa yang kamu
katakan terdengar dengan baik olehku.

Kenes:
Ah, bersamamu… gairah dan resah hanya seperti
rambutmu yang dibelah tengah. Sedikit angin
saja, bisa mengubah arah. Saat-saat bersamamu
hanyalah seperti menempuh musim yang kacau.
Tapi pagi ini, aku hanya ingin mengenangmu. Dan
itu membuatku malas mengerjakan hal lain…

19
#5
Panggung

Doni juga sedang berada di pagi yang malas. Ia


hanya bisa duduk di lantai. Malas beringsut.
Malas bangkit. Kesadarannya terlempar ke
sebuah peristiwa terakhir kali ia bertemu
dengan Kenes.

Benak

Doni:
Kata orang, mengingat adalah sebuah cara untuk
merawat kenangan. Tapi kerap kali, sulur-sulur
kenanganlah yang tumbuh liar, merambat di
tembok-tembok peristiwa. Mencengkeram. Ia
tidak sama dengan secangkir kopi yang merawat
pagi hariku. Tidak sama seperti jus buah yang ikut
menjaga kebugaranmu. Kenangan adalah dunia
yang tidak pernah tertib waktu dan tertib rumus.

Kenes:
Aku suka Sabtu pagi saat bersamamu. Hari terasa
masih panjang. Seperti baru dimulai. Jumat
malam kamu datang, tapi aku selalu butuh waktu.
Tidak gampang meng-hilangkan jejak istrimu di

20
tubuhmu di setiap malam pertama begitu kamu
datang ke sini. Di saat seperti itu aku masih
merasa sebagian dari dirimu adalah milik or-ang
lain dan sebagian adalah milikku.

Doni:
Selalu tidak ada sarapan di Sabtu pagi dan di
Minggu pagi jika bersamamu…

Kenes:
Terlalu sayang melewatkan waktu untuk itu,
sementara ada kamu di sisiku…

Doni:
Dan Minggu malam selalu seperti malam terakhir,
seakan tidak ada waktu lagi yang akan membuat
kita bertemu… Kamu lebih banyak menangis dan
lebih banyak memelukku… Juga lebih banyak
berbisik dengan getar parau.

Kenes:
Aku benci Senin pagi. Pagi yang selalu membuatku
salah tingkah. Kamu selalu bergegas pergi ke
bandara, kembali ke istrimu lagi. Hanya sempat
mencuci muka dan mencium keningku. Dan selalu
tiba pada adegan yang paling kubenci. Kamu

21
memintaku untuk memeriksa seluruh bagian
tubuhmu, adakah bekas ciuman dan gigitanku
yang tertinggal di tubuhmu. Kalau ada jejak cinta
itu, kamu selalu marah. Selalu mengancam tidak
akan pernah datang lagi untukku. Terakhir, pagi
ketika kamu pergi, hanya kancing bajumu yang
tertinggal di ranjangku… Dan hanya gara-gara
itu, berhari-hari kamu tidak mengangkat
teleponku, tidak pernah membalas email dan sms-
smsku.

22
#6
Panggung

Lisa sedang di rumahnya. Ia sedang bersiap


untuk berangkat kerja. Kemudian ada sesuatu
yang membuatnya berhenti sejenak, berpikir. Ia
seperti menahan sesuatu. Ia ragu. Tapi
kemudian ia memutuskan: menelepon Doni.

Lisa:
Halo…

Doni:
Halo…

Lisa:
Sedang apa?

Doni:
Sedang apa lagi? Biasa…

Lisa:
Iya, sedang apa?

Doni:
Kenapa, sih?

23
Lisa:
Ya takut kalau mengganggumu..

Doni:
Kan kalau kuterima berarti tidak menggangguku…

Lisa:
Berarti tidak sedang dengan istrimu ya?

Doni:
Enggaklah…

Lisa:
Sudah mandi?

Doni:
Belumlah. Kayaknya enggak mandi, males…

Lisa:
Dasar! He-he…. Dulu, kalau aku datang dengan
segar, mandi dulu, berdandan dulu, kamu justru
kucel, baru bangun tidur dan masih bau bantal.

Doni:
Kan dulu kalau aku mau mandi dulu, kamu
melarangku.

24
Lisa:
Iya.

Doni:
Kenapa?
Lisa:
Kan aku sudah pernah cerita.

Doni:
Pengen dengar lagi. Kenapa?

Lisa:
Kamu cakep kalau baru bangun tidur. Dan aku
suka bau badanmu. Membuat aku kangen terus.

Doni:
Kamu masih simpan kaus kotorku yang kamu
ambil dari tasku?

Lisa:
Masih.

Doni:
Tidak takut ketahuan pacarmu?

25
Lisa:
Ah, sudah ah… enggak mau ngomongin itu…

Doni:
Oke…

Lisa:
Eh, kemarin aku membuka pas aku sedang
merapikan file-file di komputerku, aku
menemukan email-emailmu kepadaku…

Doni:
Kamu masih menyimpannya?

Lisa:
Ya masih lah…

Doni:
Terus?

Lisa:
Kubaca lagi.

Doni:
Syair lagu, dong…

26
Lisa:
Sialan!

Doni:
Kangen enggak setelah membaca email-emailku?

Lisa:
Kalau hanya untuk supaya kangen sih aku enggak
perlu baca email-emailmu. Setiap saat juga
kangen.

Doni:
Gombal!

Lisa:
Kamu tuh yang pintar menggombal. Aku baru
sadar pas baca email-emailmu kemarin. Kamu
benar-benar jago merayu, ya….

Doni:
Tapi kan kamu yang merayuku lebih dulu.

Lisa:
Tapi kan kamu yang meneleponku dulu.

27
Doni:
Kamu ingat enggak, kamu yang menciumku
dulu...

Lisa:
He-he…. habis kamu pengecut. Masak telepon-
teleponan terus.

Doni:
Kan aku sedang punya pacar saat itu...

Lisa:
Buktinya kamu mau kucium. Malah sering
meminta cium. Dan minta lebih dari itu…

Doni:
He-he. Kok kamu dulu yakin sih kalau aku mau
kamu cium?

Lisa:
Memangnya ada orang yang menolak dicium
orang secakep aku?

Doni:
Narsis!

28
Lisa:
Kenapa ya kita tidak pernah bisa jadi pacar
beneran?

Doni:
Enggak tahu. Aku juga heran.

Lisa:
Aku selalu jadi selingkuhanmu.

Doni:
Aku juga selalu jadi selingkuhanmu.

Lisa:
Kamu sebetulnya enggak pernah mau benar-benar
jadi pacarku.

Doni:
Kamu yang enggak pernah benar-benar mau jadi
pacarku.

Lisa:
Kamu!

Doni:
Kamu!

29
#7
Panggung

Doni sedang bersiap berangkat kerja. Ia


bercermin. Ia terlihat gamang dan kemudian
malas. Ia duduk lagi.

Benak

Doni:
Hidup ini kadang-kadang seperti ‘roti lima rasa’.
Setiap kita adalah para pembeli dengan bekal
keinginan mencicipi rasa keju. Kamu pembeli itu,
kamu meng-usahakannya, dua potong telah kamu
betot dan memakannya, tapi ternyata baru yang
berisi kacang dan coklat. Masih tiga ruas, dan
kemudian seorang teman datang meminta rotimu.
Ia membetot satu ruas, dan kamu masih
mempunyai dua ruas pengharapan lagi.
Matematika mengajari bahwa kemungkinan
besar, kamulah yang akan mendapatkan itu
semua. Tapi peristiwa memastikan bahwa dia,
temanmu itulah yang menemukan sekepal keju
tertanam di dalam daging roti yang empuk itu.

30
Kenes:
Tidak seperti itu, menurutku. Peristiwa adalah
permainan layang-layang. Masa sekarang adalah
benang yang kita permainkan, dan masa lalu
adalah layang-layang. Masa lalu digerakkan
untuk tujuan-tujuan tertentu. Tujuan, tafsir,
hasrat dari kesekarangan, campur menjadi satu
pola untuk menggerakkan masa lalu. Dan karena
itu, sejarah selalu diperebutkan, masa lalu
senantiasa digunakan untuk memenangi sesuatu.
Sehingga masa lalu tidak akan pernah rampung.

Doni:
Sudahlah…

Kenes:
Apanya yang sudah? Semua serba belum jelas!

Doni:
Kamu mau aku cerai?

Kenes:
Enggak…

Doni:
Tapi itu yang kutangkap dari kalimat-kalimatmu…

31
Kenes:
Istrimu tahu kalau kancing bajumu lepas satu?

Doni:
Tahu…

Kenes:
Terus?

Doni:
Ya tidak apa-apa…

Kenes:
Dia tidak curiga?

Doni:
Kenapa? Kancing baju bisa lepas di mana saja…

Kenes:
Maksudmu kancing bajumu biasa lepas di mana-
mana?

Doni:
Kamu, ah!

32
Kenes:
Tapi kenapa kamu marah-marah sampai seperti
itu saat tahu kalau kancing bajumu lepas satu?

Doni:
Karena kamu selalu tidak bisa mengontrol
tingkahmu di tubuhku.

Kenes:
Tapi kamu bisa melakukan apa saja di tubuhku.
Kamu meninggalkan bekas gigitan dan kecupan
di mana-mana. Kamu bahkan meninggalkan
banyak jejak kamu di kamarku.
Doni:
Tapi kan kamu belum punya suami.

Kenes:
Jadi karena aku belum punya suami maka semua
hal yang terjadi di antara kita haruslah aku yang
menanggungnya?

Doni:
Kalau kamu keberatan, aku tidak akan
melakukannya lagi.

33
Kenes:
Bukan begitu..

Doni:
Lalu apa?

Kenes:
Ah, aku tidak tahu!

34
#8
Panggung

Lisa dan Kenes, sedang duduk di atas sofa. Kenes


terlihat suntuk. Mungkin ia terbebani dengan
masalah dengan Doni, tapi mungkin juga karena
pekerjaannya. Tapi yang jelas, kemudian yang
terungkapkan adalah perihal pekerjaannya.

Lisa:
Kamu kenapa kok kelihatan suntuk banget?

Kenes:
Kawan-kawanmu itu…

Lisa:
Kawan-kawanku? Maksudmu?

Kenes:
Semua media massa ngomongin korupsi di Aceh!

Lisa:
Terus?

Kenes:
Terus? Ya semua orang yang punya proyek di

35
Aceh sepertiku merasa tercoreng, dong! Kok
kamu senyam-senyum sih? Kamu seneng, ya?

Lisa:
Ya, kayaknya berita seperti itu kan sudah lama.
Kenapa kamu kesalnya baru sekarang?
Kenes:
Makin lama makin santer!

Lisa:
Begini saja, deh….Benar tidak apa yang
diberitakan oleh media massa?

Kenes:
Tidak semuanya benar!

Lisa:
Berarti banyak yang benar, dong!

Kenes:
Tapi banyak orang memberi tanggapan yang
berlebihan! Sekarang ini, kalau ada orang yang
bekerja di Aceh lalu pulang dan beli mobil, apa
kata mereka yang mengetahui itu? O, pantas, dia
kan kerja di Aceh… Seakan-akan di seluruh
penjuru kota ini ada banyak baliho besar

36
bertuliskan: Kalau mau kaya, pergilah ke Aceh!
Gila, enggak?

Lisa:
Cobalah Nes, pikir sederhana saja. Kamu kerja di
Aceh, tapi sebentar-sebentar ke Jakarta. Hampir
tiap pekan. Kalau tidak, kamu pergi ke Bali,
workshoplah, rapatlah, liburanlah. Sampai
enggak jelas, kamu itu sebetulnya kerja di Aceh
atau kerja di Jakarta atau Bali? Kerja di Aceh tapi
dugemnya di Medan dan Jakarta. Hampir tiap
akhir pekan lagi. Kamu sibuk bekerja atau sibuk
liburan?

Kenes:
Asal kamu tahu, Lis, kerja itu capek! Orang butuh
hiburan. Orang butuh liburan. Apa karena aku
dianggap pekerja sosial terus gak boleh senang-
senang?

Lisa:
Dari orang yang lihat kamu saja, pikiran bisa
macem-macem. Gak salah kan orang berpikir
sesuai dengan apa yang dia lihat?

37
Kenes:
Ya gak ada salahnya. Tapi gak perlu mikir yang
kebablasan. Hormati dong hak orang untuk
mencari kesenangan.

Lisa:
Mmm… Nes, boleh enggak aku memberi saran
kepadamu?

Kenes:
Apa?!

Lisa:
Kalau punya perasaan, jangan taruh di lengan…

Kenes:
Maksudmu?

Lisa:
Gampang kesenggol!

^^(*(*%^& (Mereka saling timpuk bantal sofa,


saling berteriak…)

Lisa:
Kenes! Sofaku belum lunas!

38
#9
Panggung

Lisa sedang bekerja, sedang menulis berita. Tapi


sepertinya ia tidak begitu berkonsentrasi dengan
pekerjaan yang sedang dilakukannya. Telepon
genggamnya berbunyi. Telepon dari Doni.
Wajah Lisa cerah.

Lisa:
Halo…

Doni:
Halo…

Lisa:
Sudah mandi?

Doni:
Gila, kamu! Ya sudahlah. Masak ngantor enggak
mandi?

Lisa:
He-he. Siapa tahu? Kamu kan jarang mandi.

39
Doni:
Mmm….

Lisa:
Kenapa?

Doni:
Kangen!

Lisa:
Aku juga.

Doni:
Bisa ketemu enggak?

Lisa:
Jangan ah, nanti terjadi hal-hal yang tidak kita
inginkan.

Doni:
Terjadi hal-hal yang kita inginkan…

Lisa:
He-he….

40
Doni:
Masih sering pengen sama aku enggak?

Lisa:
Sejujurnya masih.

Doni:
Terimakasih.

Lisa:
Kamu?

Doni:
Masih sering. Sekarang pun aku pengen sama
kamu.

Lisa:
Tapi jangan, ya…

Doni:
Iya.

Lisa:
Kok kamu begitu sih?

41
Doni:
Begitu bagaimana?
Lisa:
Masak aku menolak begitu saja kamu langsung
menyerah?

Doni:
Lha, kamu maunya bagaimana?

Lisa:
Jangan menyerah, dong. Bujuk aku supaya mau
ketemu kamu!

Doni:
Wah….

Lisa:
Kamu enggak pernah benar-benar pengen sama
aku!

Doni:
Kok begitu?

Lisa:
Ya iyalah! Buktinya digitukan saja sudah nyerah.

42
Doni:
Kupikir kita memang benar-benar harus
mengakhiri itu semua….

Lisa:
Iya…..tapi aku kangen sama kamu. Masih pengen
sama kamu.

Doni:
Kamu hanya menggodaku.

Lisa:
Kamu enggak percaya, ya?

Doni:
Ya sudah. Mau ketemu sama aku?

Lisa:
Mmm… enggak, ah….

Doni:
Nah, kan….

Lisa:
He-he….

43
Doni:
Sialan…

Lisa:
He-he…Kan aku pengen dimanja…

Doni:
Sudah ya, aku mau makan siang dulu.

Lisa:
Ngambek, ya….

Doni:
Enggak.

Lisa:
Alah, pasti ngambek….

Doni:
Enggak.

Lisa:
Oke. Ya sudah. Selamat makan siang….

Doni:
Kok kamu begitu, sih?

44
Lisa:
Begitu bagaimana? Kamu pasti mau balas aku,
ya?

Doni:
Enggak. Kamu benar-benar sudah tidak sayang
lagi sama aku.

Lisa:
Aku sayang kok sama kamu.

Doni:
Bohong!

Lisa:
Ya sudah.

Doni:
Peluk…

Lisa:
Peluk juga...

Doni:
Ya sudah, ya…Mmm… Boleh aku tanya sesuatu?

45
Lisa:
Apa?

Doni:
Enggak jadi, ah…

Lisa:
Kamu selalu begitu. Kamu harus jadi bertanya.
Bikin penasaran!

Doni:
Begitu saja marah….

Lisa:
Habis kamu….

Doni:
Iya deh. Mmm…kalau besok kamu sudah
menikah, masih sering kangen sama aku enggak?

Lisa:
….

Doni:
Halo….

46
Lisa:
…..

Doni:
Tuh, kan…..tahu kalau begini, aku enggak jadi
bertanya!

Lisa:
Enggak tahu.

Doni:
Ya sudah, deh…

Lisa:
Marah, ya?

Doni:
Enggak.

Lisa:
Ya sudahlah….

Doni:
Oke.

47
Lisa:
Bye.

Doni:
Bye.

48
#10
Panggung

Kenes sedang sendirian di tempatnya bekerja.


Mondar-mandir. Sebuah keputusan penting
sedang akan dibuatnya. Tapi keputusan itu
seperti membelitnya dengan berbagai
pertimbangan yang tidak gampang.

Benak

Kenes:
Kadang-kadang aku merasa kalau kamu selalu
mem-biarkan begitu saja bahwa hubungan kita
adalah sebuah kisah tanpa masa depan. Aku susah
menerima itu. Dan kamu selalu menolak jika
kutanya apakah ini semua sekadar seks? Tapi
prakeknya pertemuan kita hanyalah bercinta dan
selalu bercinta. Kamu bahkan tidak pernah mau
datang ketika aku sedang menstruasi!

Doni:
Aku pernah mendatangimu saat kamu sedang
menstruasi.

49
Kenes:
Sekali!

Doni:
Dua kali…
Kenes:
Oke, dua kali. Dan itu hanya karena kebetulan
kamu ada acara di Jakarta. Kamu tidak pernah
secara khusus datang dari Yogya ke Jakarta ketika
aku sedang menstruasi.

Doni:
Kamu kenapa sih akhir-akhir ini gampang marah?

Kenes:
Doni… Aku ingin bertanya dan tolong jawablah
dengan jujur: Sebetulnya aku ini siapa bagimu?

Doni:
Aku mencintaimu. Selebihnya aku tidak tahu.

Kenes:
Tapi benarkah cinta hanya menghasilkan
tindakan seperti ini?

50
Doni:
Tapi bukankah kamu sudah sadar sejak awal
bahwa kisah kita memang tidak gampang…

Kenes:
Kamu selalu berlindung di balik kata-kata ‘tidak
gampang’. Aku curiga, itu adalah ekspresi dari
perasaan enggan.

Doni:
Tidak baik menuduh seperti itu… Oke, kalau
kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan?

Kenes:
….
Doni:
Bahkan kamu pun setiap kutanya seperti itu kalau
tidak diam pasti menjawab: Tidak tahu.

Kenes:
Begini saja, aku akan memberitahumu sesuatu
tetapi kamu jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku
akan pindah ke Yogya.

Doni:
Apa? Ken, kamu gila, ya?

51
Kenes:
Don, Aku butuh dekat dengan kamu. Setidaknya,
aku butuh hidup di sebuah kota di mana aku tahu
persis, kalau kamu tidak begitu jauh jaraknya
dariku… Kamu takut hubungan kita akan tercium
oleh istrimu?

Doni:
Ya. Dan kamu tahu hal itu sejak dulu!

Kenes:
Kamu marah, Don?

Doni:
Aku tidak tahu…

Kenes:
Begini saja, Don… Anggap saja kalau aku tidak
tinggal satu kota denganmu…
Doni:
Mana bisa?

Kenes:
Kenapa tidak? Dan kamu ingat ini, selama aku
tinggal di Yogya nanti, aku tidak akan pernah
memintamu untuk menemuiku.

52
Doni:
Kamu mau minta hubungan kita selesai?

Kenes:
Aku tidak bilang seperti itu… Don, mari kita buat
hal ini menjadi sederhana saja. Aku tidak ingin
membebanimu… Kita tinggal di satu kota, kamu
boleh anggap aku ada di sana atau tidak.
Sederhana, bukan?

53
#11
Panggung

Lisa sedang di rumahnya, duduk di atas sofanya


yang belum lunas. Kenes datang.

Kenes:
Lis, kasih selamat dong ke aku…

Lisa:
Apa dulu, nih… Kamu dilamar? Kamu mau
menikah?

Kenes:
Gila, kamu! Enggak! Aku akan pindah ke Yogya.

Lisa:
Terus?

Kenes:
Ya enggak teruslah… Itu artinya aku enggak
diribetin dengan gosip-gosip tentang orang-orang
yang bekerja di Aceh.

Lisa:
Memangnya kamu bisa menjamin di Yogya tidak

54
ada korupsi dana bencana alam?

Kenes:
Sudah deh, Lis. Mending kamu dan teman-
temanmu itu merasakan betapa beratnya kerja
menangani bencana di lapangan?

Lisa:
Loh, profesi orang kan beda-beda…

Kenes:
Lis, kamu ingat enggak beberapa tahun yang lalu,
saat kamu masih jadi wartawan baru?

Lisa:
Maksudmu?

Kenes:
Saat kamu harus nongkrong di kantor polisi, apa
yang kamu keluhkan? Uang amplop! Ingat?

Lisa:
Mmm… Terus?

Kenes:
Kamu risih setiap kali dapat uang amplop dari

55
polisi, dan kamu tidak tahu harus bagaimana.
Kamu ingat enggak saat itu ketika kamu kusinisi
setiap beli barang-barang baru, dan kubilang:
uang amplop ni ye…Kamu marah. Terus kamu
bilang: Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu
lakukan? Mau mengembalikan ke polisi lagi?
Pasti dimakan sendiri sama polisi itu. Belum lagi
kamu pasti akan dicibiri kolega-kolegamu sebagai
orang yang sok suci. Kamu mau kembalikan ke
atasanmu? Atasanmu dapat yang lebih banyak
dari sekadar recehan seperti ini! Ingat enggak
kamu pernah mengalami itu?

Lisa:
Mmm… Ya, ingat. Terus?

Kenes:
Apa bedanya denganku sekarang ini? Aku hanya
seorang arsitek yang kebetulan bekerja di Aceh
dan kemudian bekerja di Yogya.
Lisa:
Enggak. Tapi ada yang membedakan antara kamu
dan aku. Aku tahu risiko pekerjaanku, dan aku
menerimanya. Sementara kamu, terus merengek-
rengek dan cengeng.

56
Kenes:
Merengek-rengek dan cengeng? Maksudmu?

Lisa:
Ya iyalah. Setiap pekerjaan ada risikonya. Kamu
kerja di Aceh, dan di Aceh ada banyak korupsi
lalu kamu marah, merengek, minta pindah. Kalau
nanti di Yogya ada kasus seperti itu lagi, apa yang
kamu lakukan? Minta pindah lagi?

Kenes:
Kok kamu jadi galak gitu, sih?

Lisa:
Ya enggaklah, galak apaan. Lagian galak sama
kamu.. percuma…

Kenes:
Lis, kayaknya aku akan lama di Yogya…

Lisa:
Aku ngerti maksudmu…

Kenes:
Apa coba?

57
Lisa:
Selingkuhanmu di sana kan?

Kenes:
Pacarku, bukan selingkuhanku!

Lisa:
Bukannya dia sudah punya istri?

Kenes:
Ya kebetulan saja perempuan itu kenal lebih dulu
dengan pacarku! Ingat ya, yang lebih dulu bukan
berarti yang lebih dicintai!

Lisa:
Terus? Maksudmu, kamulah kekasih pacarmu itu
dan istri pacarmu itu adalah selingkuhannya?

Kenes:
Lisa!

Lisa:
Lah, terus maksudmu bagaimana?

Kenes:
Pokoknya aku enggak selingkuh!

58
Lisa:
Ya… aku tahu…

Kenes:
Tahu apa?

Lisa:
Tahu kalau kamu enggak selingkuh.

Kenes:
Nah, begitu dong…

Lisa:
Kamu berhubungan gelap!

Kenes:
Lisa!

Lisa:
Hayo! Jangan pegang-pegang bantal dan kalau
berani jangan di atas sofa!

$%^%&^%* (Mereka seperti biasanya…)

59
#12
Panggung

Doni sedang sendirian. Ia sedang menghadap


komputernya, seperti biasa terlihat begitu letih.
Tiba-tiba hujan turun di luar. Perhatian Doni
beralih ke hujan. Ia mendekat ke jendela,
memandang hujan. Ia suka hujan. Dan, bayang-
bayang Lisa mengental di kaca jendela…

Benak

Doni:
Di sini hujan, dan aku sendirian. Aku ingin di
saat-saat seperti ini berada di dekatmu. Kamu
bakal mencium kedua mataku yang lelah.
Mencium dengan pelan, hangat, lama…
bergantian dari mata kanan kemudian ke mata
yang sebelah kiri. Lalu kamu mengelus-elus pung-
gungku… Lembut dan mendamaikan…

Lisa:
Di sini juga hujan, dan aku juga sendirian. Aku
akan melakukan itu, lalu rebahan di dadamu. Aku
ingin mendengar kisah-kisahmu, impian-
impianmu, kekecewa-anmu… Biasanya dengan

60
cara seperti itu, kamu akan baikan…

Doni:
Aku lelah sekali…

Lisa:
Kamu gampang lelah, selalu seperti itu sejak
zaman kuliah…

Doni:
Kamu baik sekali. Sejak dulu. Kepadaku.

Lisa:
Kamu jahat sekali. Sejak dulu. Kepadaku.
Doni:
Sudahlah… Kamu hanya selalu membuatku
merasa bersalah…

Lisa:
Maaf… Mmm… Apa kabar istrimu?

Doni:
Baik…

Lisa:
Apa kabar selingkuhan-selingkuhanmu?

61
Doni:
Kok kamu begitu?

Lisa:
Sudahlah… Aku tahu siapa kamu…

Doni:
Semua kekanak-kanakan. Tidak ada yang seperti
kamu…

Lisa:
Maksudmu tidak ada yang sepertiku karena aku
tidak menuntutmu untuk serius, kan? Don, sejak
dulu, aku sebenarnya juga ingin kamu serius
denganku. Tapi aku tahu kamu. Kamu tidak akan
bisa. Dan kalaupun kamu bisa pasti kamu akan
membuatku sakit hati.

Doni:
Lis, kamu baik sekali.
Lisa:
Tidak perlu kamu ulang terus, Don…

Doni:
Bisakah aku meminta satu hal kepadamu?

62
Lisa:
Apa?

Doni:
Datanglah ke sini… Aku ingin sekali bertemu
denganmu..

Lisa:
Untuk apa?

Doni:
Untuk aku.

Lisa:
Iya, tapi…

Doni:
Paling tidak datanglah di pemutaran perdana
filmku di sini…

Lisa:
….

Doni:
Kamu pasti tidak mau. Kamu memang sudah
betul-betul tidak mau bertemu denganku…

63
Lisa:
Akan kuusahakan… Tapi kalaupun bisa, aku
tidak mau bertemu denganmu hanya berdua…

Doni:
Terserahlah… Aku hanya ingin melihatmu, dan
memas-tikan bahwa di saat yang sama, kamu pun
melihatku…

64
#13
Panggung

Kenes di tempat kerja. Ia terlihat linglung.


Capek. Hidup satu kota dengan Doni tidak
seperti yang diduganya, malah menyimpan
banyak masalah …

Benak

Kenes:
Ini lebih parah dari yang kubayangkan. Satu kota
denganmu justru membuatku hidup dalam
perasaan tidak menentu. Kalau kita berjumpa di
tengah pertemuan dengan banyak or-ang, aku
hanya bisa memberimu senyum. Bahkan kadang-
kadang kamu pura-pura tidak mengenalku… Itu
perih sekali… Kamu benar-benar seperti ingin
melepaskanku…

Doni:
Yang kukhawatirkan benar-benar terjadi. Kita
satu kota. Kamu kenal teman-temanku, dan aku
kenal teman-temanmu. Kita sering berada dalam
satu ruangan yang sama, di pertemuan yang
serupa. Tiba-tiba panggung drama ini begitu

65
melebar. Sebelumnya, aku cukup bermain drama
di rumahku sendiri, saat bersama istriku. Dan kini
aku harus bermain drama nyaris saban hari…

Kenes:
Kalau dulu paling tidak dalam sebulan minimal
aku bisa bersamamu dalam satu rentetan waktu,
Jumat malam sampai Senin pagi… Kini, dalam
sebulan bahkan paling-paling kamu hanya bisa
bersamaku dua kali, itu pun dari jam sembilan
malam sampai jam duabelas malam…

Doni:
Kalau dulu aku masih bisa berkilah ke istriku
kalau aku ada tugas keluar kota. Ada tiket
pesawat sebagai buktinya. Sekarang? Dan kamu
tahu, kota ini terlalu sempit untuk hubungan
seperti ini… Juga soal perasaan, kupikir. Rasa
waswas karena kita berada di satu kota. Rasa
tidak nyaman, karena aku tahu persis di saat kita
bersama, di tempat yang tidak begitu jauh, istriku
sedang di rumah sendirian. Itu bukan soal
sederhana…

66
Panggung

Telepon genggam Kenes berbunyi. Dari Lisa.


Kenes berusaha merenyahkan suaranya.

Lisa:
Nes, seminggu lagi aku ada di Yogya..

Kenes:
Asyik! Nginap di tempatku saja ya?

Lisa:
Mmm… Gampang deh…

Kenes:
Ada acara apa?

Lisa:
Nengok kamu…

Kenes:
Bohong! Ngaku saja…

Lisa:
Bener!

67
Kenes:
Sumpah demi Tuhan?

Lisa:
Kok pakai sumpah-sumpah segala? Bawa-bawa
nama Tuhan lagi. Enggak sopan!

Kenes:
Ayo ngaku saja…

Lisa:
Mmm… Iya nengok kamu. Mmm… sambil
nengok yang lain…

Kenes:
Nah, kan… Ketahuan! Pacar lamamu yang susah
kamu lupakan itu ya?

Lisa:
Bukan pacarku. Selingkuhanku. Lebih tepatnya,
mantan selingkuhanku.

Kenes:
Apapun, deh… Tapi bukannya kamu bertekad
enggak bakal menemui dia lagi…

68
Lisa:
….

Kenes:
Hey…

Lisa:
Enggak tahu deh Nes, gitu saja dulu ya.. Entar
kukabar lagi…

Kenes:
Lis…

Lisa:
ya…

Kenes:
Mmm…

Lisa:
Kenapa, Nes? Kamu baik-baik saja kan?

Kenes:
Mmm… entar saja deh kalau kamu sampai Yogya
aku akan cerita. Ada sesuatu yang ingin kubagi
kepadamu. Aku tidak bisa menyimpannya sendiri…

69
Lisa:
Kamu yakin?

Kenes:
Iya…

Lisa:
Oke. Jaga diri ya… Tunggu aku datang. Jangan
bunuh diri. Ingat itu!

Kenes:
Sialan kamu!

70
#14
Panggung

Doni sedang di tempat kerja. Pikirannya terlihat


kalut. Ia merenung. Ekspresi wajah dan gerak
tubuhnya memperlihatkan bahwa ia seperti
sangat kesal terhadap dirinya sendiri.

Benak

Doni:
Dulu aku beranggapan bahwa dengan menikah
aku akan menyelesaikan babak-babak kisah yang
serba tidak menentu seperti ini. Aku punya istri,
punya tanggung-jawab, aku bersumpah setia di
depan para saksi, dan itu akan mendorongku
untuk lepas dari kelindan kisah-kisah yang tidak
jelas. Tapi ternyata tidak terjadi juga. Sialnya, aku
tidak pernah bisa lepas pula dari bekapan rasa
bersalah. Tetap saja ada rasa berdosa. Terlebih
ketika pulang ke rumah mendapati istriku
menyambut dengan riang dan mesra, seakan aku,
suaminya, baru pulang dari tugas suci.
……
Aku bahkan tidak sanggup menatap matanya
ketika semalam ia memberi kabar dengan wajah

71
bahagia kalau ia sedang hamil. Sedang
mengandung benihku. Aku bahkan ingin
meledakkan telingaku sendiri ketika ia bilang: Ini
benih cinta kita, Sayang… Cinta? Cinta yang
mana? Cinta yang seperti apa?
……
Aku akan menjadi seorang ayah. Kini bukan
hanya seorang istri saja. Tapi ada seorang bakal
bayi yang tengah tumbuh di rahim istriku. Dan
istriku akan mem-pertaruhkan hidupnya untuk
itu semua. O… tidak… tidak… ini semua harus
diakhiri. Mungkin kini saatnya. Aku tidak bisa
begini terus…

72
Panggung

Telepon genggam Doni berbunyi. Ia kaget dan


kacau. Telepon dari Lisa.

Lisa:
Halo

Doni:
Hey…

Lisa:
Doni, kamu baik-baik saja?

Doni:
Mmm… ya aku baik-baik saja.

Lisa:
Tapi suaramu… Biasanya kalau seperti itu kamu
sedang dalam masalah…

Doni:
Mmm… aku baik. Eh, bagaimana? Jadi datang, kan?

Lisa:
Ya, jadi… Pemutarannya Sabtu malam, kan?

73
Doni:
Ya. Kamu datang kapan?

Lisa:
Jumat malam. Penerbangan terakhir.

Doni:
Mm.. boleh enggak aku menjemputmu?

Lisa:
Jangan, Don…

Doni:
Ay o l a h , L i s a … H a n y a m e n j e m p u t m u .
Percayalah…

Lisa:
Don, kamu kan sudah berjanji. Kita sudah
berjanji hanya bertemu di pemutaran filmmu…

Doni:
Lisa, aku butuh bertemu denganmu. Aku butuh
bicara tentang sesuatu…

Lisa:
Don, please…

74
Doni:
Lis… Ini tidak akan seperti yang kamu bayangkan.
Percayalah…

Lisa:

Doni:
Lisa, please…

Lisa:
Semua terulang dengan cara seperti ini, Don…

Doni:
Kali ini kamu harus percaya kepadaku, Lis…

Lisa:
….Baiklah, Don.

Doni:
Terimakasih, Lisa. Sampai sini jam sembilan
malam, ya?

Lisa:
Ya. Jumat malam, jam sembilan.

75
#15
Panggung

Lisa sedang di dalam rumahnya. Ia juga kalut.


Serba bimbang.

Benak

Lisa:
Kalau aku bertemu dengannya, pasti akan terjadi
lagi seperti yang sudah-sudah. Pasti… Kenapa
harus selalu begini? Kenapa aku selalu, di titik
tertentu, ketika aku sudah semakin bisa menjauh,
pasti mau bertemu lagi. Lalu tidak mampu
menahan hasrat dan kangen yang meletup-letup,
kemudian melakukan itu lagi. Berhubungan dekat
lagi. Dan kemudian aku menyadari bahwa aku
harus menjauh. Lalu aku benar-benar menjauh.
Tapi selalu terulang lagi… Duh…
….
Apakah benar rasa sayang itu berhimpit dengan
pikiran bebal? Banyak orang bilang kalau aku itu
cerdas. Tapi kenapa untuk soal seperti ini selalu
nalarku tidak jalan? Benarkah cinta bukan di
jalur nalar? Ah, aku tidak percaya. Tapi… tapi
buktinya bahkan aku mengiyakan saja saat ia

76
memintaku datang. Aku tetap tidak bisa menolak
saat ia minta menjemputku. Padahal aku tahu,
kalau aku bertemu lagi dengannya, pasti… Ah…
….
Mungkin butuh satu langkah yang tidak goyah
untuk mengatakan tidak. Lalu semua akan lebih
mudah. Mungkin.

Lisa Menelepon Kenes.

Lisa:
Nes, bisa enggak aku meminta tolong?

Kenes:
Pasti! Apa, Lis?

Lisa:
Jemput aku, ya…

Kenes:
Kapan?

Lisa:
Jumat besok, jam sembilan malam…

Kenes:

77
Oke. Aku jemput kamu.

Lisa:
Terima kasih, Nes. Tapi kamu perlu tahu
situasinya.

Kenes:
Maksudmu?

Lisa:

…Dia mau jemput aku…

Kenes:
Pacarmu itu…
Lisa:
Selingkuhanku! Dulu!

Kenes:
Iya… Tapi.. Kok malah aku juga kamu suruh
jemput?

Lisa:
Nes, kalau kamu enggak jemput, pasti akan
terjadi sesuatu di antara kami… Pasti!

78
Kenes:
Aku belum mengerti maksudmu…

Lisa:
Kenes! Aku enggak mau itu terjadi!

Kenes:
Tapi buktinya kamu mau dijemput oleh dia?

Lisa:
Dengerin, dong! Makanya, kamu harus jemput
aku. Kalau ada kamu kan tidak mungkin terjadi
apa-apa. Mau tidak mau dia akan mengantar kita
ke rumah kontrakanmu. Kamu ngerti, kan?

Kenes:
O, gitu… kamu yakin itu akan baik-baik saja?

Lisa:
Hanya ada cara itu di kepalaku..

Kenes:
Baik…

79
#15
Panggung

Kenes sedang sendirian. Cukup lama ia


merenungi sesuatu.

Benak

Kenes:
Semua orang yang kukenal selalu bilang kalau
aku orang yang beruntung. Karirku cemerlang,
dan mereka meng-anggap semua hal bisa kuraih
dengan lebih mudah lagi. Di depanku seakan
hanya ada tangga untuk naik dan naik lagi. Tapi
apa yang sebetulnya aku dapat? Uang? Ah
ternyata benar kata orang, gampang dapat pasti
gampang pergi. Dapat banyak tetapi tiba-tiba
kebutuhanku juga menumpuk. Akses? Benarkah?
Apakah dalam hubungan seperti itu aku benar-
benar di pihak yang beruntung? Bukannya
mereka yang disebut akses juga butuh orang-
orang sepertiku?
….
Yang jelas aku hanya punya dunia yang runyam.
Berharap selalu tiba di hari libur tetapi selalu
tidak pernah bisa lepas dari pekerjaan. Berpikir

80
dan berpikir terus. Harus selalu bertemu banyak
orang, berbasa-basi, saling memuji, dan selalu
balik-baliknya ke proyek lagi, proyek lagi.
Kerjaan lagi dan kerjaan lagi… Ini adalah dunia
yang cerewet dan menyebalkan!
….
Lalu apa yang sebetulnya aku miliki? Kekasih
yang sebetulnya pun aku tidak punya. Doni? Ah,
bahkan ia semakin terasa menjauh, selalu susah
diajak bertemu, dan seperti semakin tidak butuh.
Ah, bahkan dia terlalu pengecut untuk menerima
konsekuensi dari apa yang dirasakannya. Atau
jangan-jangan dia memang tidak punya perasaan
itu?

81
Panggung

Telepon genggam Kenes berbunyi. Dari Doni.


Kenes membiarkan telepon itu berbunyi lama. Ia
terlihat enggan mengangkat. Malas. Sebal. Tapi
kemudian mengangkatnya.

Doni:
Apa kabar?

Kenes:
Baik.

Doni:
Mmm… Aku butuh ketemu.

Kenes:
Kapan?

Doni:
Bisa malam ini?

Kenes:
Aku sibuk.

82
Doni:
Besok malam?

Kenes:
Aku juga sibuk.

Doni:
Kamu sudah tidak mau bertemu denganku?

Kenes:
Ayolah, Don. Kamu selalu pintar membolak-balik
kata. Kalau memang tidak mau bertemu ya tidak
usah bertemu. Tidak usah basa-basi.

Doni:
Ken, aku serius. Aku butuh bertemu denganmu.
Ada sesuatu yang harus kubicarakan.

Kenes:
Bisa lewat telepon atau email kan?

Doni:
Kenes, kamu tidak seharusnya seperti ini. Semua
masih bisa dibicarakan, bukan?

83
Kenes:
Tapi tidak harus bertemu.

Doni:
Tapi ini penting.

Kenes:
Penting buatmu, tapi tidak penting buatku.

Doni:
Ken…

Kenes:
Sudahlah, Don. Aku sibuk sekali.

Doni:
Oke, begini saja. Kalau kamu sudah tidak sibuk,
kamu hubungi aku ya?

Kenes:
Iya deh. Kalau aku tidak sibuk dan kalau aku ada
waktu.

84
#16
Panggung

Kosong. Tidak ada properti.

Benak

Suara pesawat terbang mendarat. Suara


pengumuman di bandara, memberi warta
kedatangan sebuah pesawat terbang dari
Jakarta…

SELESAI

85
Biodata Penulis

PUTHUT EA lahir 42 tahun lalu di Rembang,


Jawa Tengah, tepatnya pada 28 Maret. Ia
adalah seorang penulis sekaligus peneliti
yang hingga kini telah menganggit 32 judul
buku, baik karya fiksi maupun nonfiksi. Pria
yang menyelesaikan pendidikan formalnya di
Fakultas Filsafat UGM ini bisa dihubungi di
puthutea@yahoo.com. Sedangkan seputar
aktivitasnya bisa diikuti di www.puthutea.
com, maupun akun media sosial Twitter,
Instagram, dan Facebook: @puthutea.

86

Anda mungkin juga menyukai