Anda di halaman 1dari 204

The Imperfect

Memories

The Imperfect
Memories
Memori yang Tak Sempurna

Ditulis oleh:
Christopher Antoni
NIM: 14140110161
Ilmu Komunikasi E1

Untuk guruku; Ahmadun Yosi Herfanda,


keluargaku,
dan 3 sahabat terbaikku;
Heryanto Salim, Vivilia Sindra, & Sherren
Novena

The Imperfect Memories


Penulis: Christopher Antoni
Email: antoni.christopher@gmail.com

Desain Sampul:
Christopher Antoni
Diunduh dari:
www.weheartit.com
Percetakan:
Fast Print
Jl. Raya Serpong Km 9
Tangerang Selatan

ISBN: 14140110161
Cetakan pertama, Desember 2014
X + 204 hlm; 14.8 x 21 cm

Pengantar
Guru saya selalu bilang; Menulis
adalah skill, bukan bakat. Saya percaya
dengan pernyataan barusan. Saya terlahir
bukan sebagai seorang penulis. Saya
cenderung menikmati posisi saya sebagai
seorang pembaca yang baik. Dari balita, saya
tidak dibekali ilmu untuk menulis cerita.
Tetapi lewat novel ini, saya berusaha
menjadi novelis yang baik. Saya akan
berusaha sebaik mungkin menciptakan dunia
sendiri; dunia Nathan yang penuh konflik,
mimpi buruk, air mata, cinta, dan kenangan
yang tak sempurna.
Untuk Anda yang sedang membuka
halaman buku ini; selamat membaca!

Tangerang, 15 November 2014

Christopher A.

Daftar Isi
Pengantar .
Prolog
.
Bagian 1 Memori
Bab 1
.
Bab 2
.
Bab 3
.
Bab 4
.
Bab 5
.
Bagian 2 Penyingkapan
Bab 6
.
Bab 7
.
Bab 8
.
Bagian 3 Kepalsuan
Bab 9
.
Bab 10
.
Bab 11
.
Bab 12
.
Bab 13
.
Bab 14
.
Bagian 4 Kejatuhan
Bab 15
.
Bab 16
.
Bab 17
.
Bab 18
.
Epilog
.
Biodata
.

10

9
12
15
24
31
40
53
65
75
82
91
106
112
123
133
148
159
164
173
183
195
203

11

Prolog
Badanku terasa sakit. Penglihatanku
menjadi tidak jelas. Yang kulihat hanya
bayang bayang putih yang melintas tak tentu
arah. Sekilas aku mendengar sebuah nama
yang

dipanggil

terus

menerus.

Rose,

nyalakan lampunya. Rose, ambilkan aku


morfin. Rose, tolong usap keringatnya.
Persetan dengan nama itu. Sekarang
yang

kubutuhkan

hanya

waktu

untuk

beristirahat. Aku tidak ingat hal lain selain lima


menit terakhir di ruangan putih ini. Seketika
mataku terasa semakin berat. Bayang
bayang putih yang awalnya kulihat berubah
menjadi gelap, seakan akan ruangan ini mati
lampu. Seakan akan Tuhan memberiku
kesempatan, aku menghela nafas terakhirku.

12

Bagian 1

Memori

13

14

Bab 1
Ini hari Selasa klasik, dimana aku
memulai

aktifitas

sekolahku

dengan

berkendara ke sekolah bersama anak anak


gaul, belajar di kelas tanpa lupa untuk
mencorat coret buku dengan tulisan iseng,
nongkrong di kantin bersama gadis gadis
populer,

bermain

basket

dengan

tim

kebanggaan sekolah, dan berbagai aktivitas


anak keren di sekolah senior. Aku sangat
menikmati hidupku, yang dikerumuni oleh
anak anak lain yang berharap mereka bisa
menjadi seperti aku. Tentu saja.
Aku Nathan Brown, anak dari Nicholas
Brown,

CEO

dari

Grand

Mobile

Inc.,

perusahaan ponsel terbesar di kotaku. Aku


terlahir dari keluarga berkecukupan. Namun
aku bukan tipe anak yang hangout di club atau
yang lainnya. Aku lebih suka berbaur dengan

15

teman seusiaku, dan menjalani kehidupan


layaknya remaja lain.
***
Selasa sore. Waktu yang paling pas
untuk menghabiskan waktu dengan bermain
basket. Aku mengenakan baju basket merah
tuaku yang biasa kukenakan setiap selasa
sore. Disaat aku sedang menggiring bola, aku
mulai mendengar suara di kepalaku. Rose,
matikan
Aku mencoba berkonsentrasi pada bola
yang sedang kugiring. Namun suara itu tetap
saja

bergaung

di

kepalaku.

Rose,

ambilkan. Aku bingung bukan main. Obat


apa

yang

kuminum

siang

ini

sehingga

menimbulkan suara suara di kepalaku?


Rose,

usap.

Saat

suara

terakhir

berkumandang, mataku berkunang kunang,


rabun, dan semuanya menjadi gelap.

16

***
Saat aku tersadar, yang kurasakan
hanya nyeri dan pegal di sekujur tubuhku. Aku
membuka mata, dan melihat Grace, sahabat
baikku yang duduk di sisi ranjang untuk
menunggu hingga aku terjaga.
Hai lelaki lemah. Kau sudah sadar
rupanya. Grace menceletuk. Aku melihat
petugas kesehatan di sebelahnya tersenyum
kecil.
Dimana aku? jawabku dalam keadaan
setengah sadar.
Pertanyaan cliche. Kau sedang dalam
perjalanan ke rumahmu. Kau pingsan dengan
cara yang amat dramatis, seperti di sinetron.
Apakah selama basket tadi ada orang
yang berteriak nama Rose atau berdiri di
sampingku selama latihan? tanyaku.
Tentu saja tidak. Orang gila macam
apa yang melakukan hal seperti itu?

17

Omong omong, siapa itu Rose?


tambah Grace.
Aku tak tahu.
Tiga kata itu mengakhiri percakapan
kami. Sesampainya di rumahku, aku langsung
berpamitan dengannya dan berterimakasih
pada tim medis sekolahku. Aku memasuki
rumah dan menyapa ibu. Aku menaiki tangga
menuju kamar. Sesampainya di sana, satu
satunya hal yang terlintas dibenakku hanyalah
tidur

dan

beristirahat

hingga

hari

esok

menyambut.

***
Pagi hari kusambut dengan rasa lelah
yang masih melekat di badanku. Shower
mungkin bisa mengurangi rasa nyeri ini,
pikirku. Dengan malas, aku meraih gagang
shower dan mandi singkat. Aku segera

18

berpakaian dan menikmati sarapan pagi yang


telah disiapkan ibu.
Kau terlihat tidak sehat, apa yang
terjadi kemarin? tanya ibu.
Tidak ada apa apa. Aku hanya terlalu
lelah saja dengan tugas

tugas yang

diberikan guruku.
Baiklah. Kau belum meminum jus
jerukmu, Nat, sahut ibu ketika aku berdiri
dengan segera dan mengambil tasku di kursi
terdekat.
Maaf, bu, tapi aku sedang tidak mood
untuk

minum

jeruk,

jawabku

sambil

tersenyum. Aku pergi ya, tambahku.

***
Sesampainya di sekolah, gadis gadis
memandangiku sambil cekikikan dan anak laki
laki memandangiku dengan tatapan heran
disertai senyum yang tertahan. Ini pasti ada

19

kaitannya dengan kejadian kemarin sore. Well,


aku tak peduli. Hal yang kuinginkan di sekolah
hari ini hanyalah masuk kelas, melamun
disana, dan pulang ke rumahku yang nyaman.
Aku melakukan apa yang aku bilang
barusan. Melamun di kelas. Pelajaran hari ini
sejarah, yang tak diragukan lagi, adalah
pelajaran

paling

membosankan

seumur

hidupku. Selama dua kali empat puluh lima


menit,

aku

menghabiskan

waktu

dengan

melamun di balik buku tebal yang kutumpuk


dihadapanku.
Di alam bawah sadarku, aku melihat
bayangan putih yang melintas tak tentu arah
kesana kemari. Kurasa itu bayangan biarawan
biarawati yang biasa kutemui di gereja. Aku
mengamatinya lagi. Sepertinya aku salah.
Lamunanku

terhenti

ketika

Grace

menepuk pundakku dengan sangat keras,


hingga rasa sakitnya masih terasa hingga 5

20

menit kemudian. Aku tidak marah. Ini hal yang


lazim bagi kami berdua.
Lelaki macam apa yang melamun pagi
pagi begini? Apa yang kau pikirkan? Gadis
gadis seksi di situs dewasa? cetus Grace.
Tentu saja tidak. Apakah ada orang
orang berpakaian putih yang mondar mandir
di depan kelas kita tadi? tanyaku.
Ada. Jeremy Haynes. Si maniac video
game yang duduk paling belakang dan dia
tidak berdiri. Ia menghabiskan waktu untuk
memandangi bokong seksi milik Angela.
Kau ini kenapa sih? tambah Grace.
Tidak. Aku sehat. Sangat sehat. Aku
hanya sering melamun saja, efek dari kurang
tidur tadi malam. Aku berbohong.
Grace memalingkan wajah dan kembali
ke topik yang dibahas guru sejarah kami. Ini
pertama kalinya aku menyadari, bahwa Grace
adalah gadis yang sangat menawan, manis,

21

dan seksi. Tapi aku tak mungkin memilikinya


karena kami sudah berteman dari sekolah
dasar, dan orangtua kami sudah menjalin
hubungan bisnis dengan baik selama bertahun
tahun. Lagi lagi aku melamun. Aku
mencoba tetap terjaga hingga kelas sejarah ini
selesai. Pelajaran berakhir dengan satu tugas
tambahan, yang mau tak mau, harus kucari
referensinya di perpustakaan.
Aku ke perpustakaan seorang diri, dan
tanpa membuang waktu, aku segera mencari
buku referensi tersebut. Perang Dunia Kedua.
Tentu saja tak asing bagiku. Kehancuran
dimana mana, terutama Hiroshima dan
Nagasaki.

Pertumpahan

darah.

Jenazah

bertumpukan.
Ketika semua itu terlintas dibenakku,
rasa nyeri luar biasa muncul di tengkukku,
pinggang, dahi, serta betisku. Seperti dipukuli
dengan tongkat oleh lima orang sekaligus.

22

Dan

kakiku

panas,

seperti

terkena

api

rasanya. Sebelum aku sempat tumbang ke


lantai, rasa sakit itu menghilang. Ini hal aneh
yang datangnya berentetan dengan panggilan
Rose ditelingaku, dan bayang bayang putih
yang melintas dibenakku. Aku tahu bahwa
sesuatu tidak beres disini. Aku butuh psikiater.

23

Bab 2
Ruang tunggu psikiater hampir mirip
dengan ruang tunggu kepala sekolahku, yang
pernah kumasuki sekali karena bertengkar
dengan anak dari sekolah lain. Suasananya
sangat tenang, dengan meja resepsionis tepat
di sisi kanan pintu. Di meja itu terletak papan
nama bertuliskan: Sarah Mayland: Sekretaris,
yang tak lama kemudian memanggil namaku
untuk segera masuk ke ruang psikiater.
Ini pertama kalinya aku masuk ruang
praktik psikiater. Ruang itu didominasi warna
biru muda, dengan hiasan rak buku tinggi di
sekeliling tembok, dan di tengah ruangan
terletak satu kursi untuk berbaring, dan satu
set meja kursi kerja lengkap dengan lelaki
tua

yang

duduk

di

belakangnya

yang

kupastikan adalah dr. Gerald.


Silahkan duduk, Tuan Nathan, ucap
Sarah.

24

Terimakasih.
Setelah pintu di belakangku tertutup
yang menandakan Sarah sudah di luar, dr.
Gerald memulai konsultasi kami.
Pengunjung kami biasanya anak
anak autis atau lansia yang mulai pikun
dengan hidup mereka. Ini kejadian Sekali
Dalam Sepuluh Tahun bahwa seorang pria
muda gagah sepertimu mau mengunjungi
kami. Kau boleh menceritakan keluhanmu.
Kau punya waktu 30 menit.
Aku tidak butuh waktu 30 menit untuk
menceritakan kejadian janggal ini. Dalam
waktu singkat, cerita anehku keluar dengan
lancar dari mulutku. dr. Gerald sesekali
mencatat omonganku dengan tatapan heran,
seperti manusia hutan yang pertama kali
melihat ponsel.
Aku

mengakhiri

ceritaku

dengan

berkata bahwa aku sendirian di perpustakaan

25

dan aku merasa seperti dipukuli oleh banyak


orang. Tentu saja yang terlintas di benak
setiap orang ketika mendengar ceritaku adalah
bahwa aku sedang diusik setan. Tapi aku tidak
percaya pada hal semacam itu.
Begini,

nak.

Kasus

yang

biasa

kuhadapi adalah masalah kejiwaan. Jika kau


bercerita seperti barusan, aku merasa kau
mendatangi

orang

yang

salah.

Mungkin

seharusnya kau mengunjungi pastor atau


orang suci lainnya. ucap dr. Gerald.
Tapi aku bukanlah tipe remaja yang
paranoid terhadap hantu dan sebagainya. Aku
tidak percaya akan hal hal semacam itu.
Lagipula,

perpustakaan

sekolahku

sudah

diberkati setiap tahunnya oleh pastor. Mana


mungkin

ada

penunggu

nakal

yang

mendiaminya, bantahku.
Kau boleh saja beranggapan demikian.
Tapi kau tidak tahu fakta apa yang terkandung

26

di sekolahmu. Menurutku, beberapa arwah


sesat berusaha merasuki tubuhmu. Mereka
memasang memori memori buruk untuk
mengacaukan

pikiranmu.

Ditambah,

kau

sedang lelah. Kau tahu, setan lebih mudah


merasuki orang yang kelelahan.
Setelah 15 menit diceramahi tentang
setan yang merasuki tubuhku, aku merasa
kedatanganku

ke

psikiater

ini

hanya

membuang buang waktu dan tenagaku. Aku


yakin 99% bahwa aku tidak kerasukan. Aku
masih bisa berpikir jernih, buktinya.
Setelah keluar dari ruang psikiater gila
ini, aku segera menelpon Grace, yang kutahu
rumahnya hanya 2 blok dari sini. Aku minta
Grace menjemputku dan pergi makan siang
bersama. Tentu saja ia kebingungan ketika
kuminta untuk dijemput di praktik psikiater.
Mungkin saja ia mengira aku kelainan jiwa.

27

Setelah menunggu beberapa menit,


Grace

akhirnya

kuningnya

yang

muncul
kecil,

tak

dengan
lupa

mobil
dengan

celetukannya yang usil.


Kau ternyata tidak hanya pria lemah,
tetapi juga pria dengan kelainan jiwa. Ayo naik
ke mobil.
Kami berkendara menuju rumah makan
favorit kami, yang berada sekitar dua kilometer
dari rumahku. Sepanjang perjalanan, Grace
terus menanyai apa yang membuatku pergi
menemui psikiater, lalu apa yang dikerjakan
oleh psikiater kepadaku. Aku hanya membalas
dengan Entahlah, Tidak apa apa atau
Bukan masalah besar. Jawaban tersebut
tentu bukanlah tipe jawaban yang dapat
memuaskan hati wanita. Grace tetap bertanya
hingga kami makan bersama. Dan jawabanku
tetap Entahlah. Aku belum siap menceritakan

28

hal ini pada Grace. Aku belum siap dibilang


gila.
Sepulang dari makan siang, Grace
mengantarku pulang, tentu saja tidak lupa
dengan celetukannya.
Ternyata pria tampan yang gila lebih
memilih untuk diam. Baiklah. Wajar saja kalau
dia masuk klinik kejiwaan.
Apakah kau memanggilku tampan
barusan?
Entahlah. Balas Grace dengan meniru
gayaku.
Ia memutar arah mobilnya dan segera
meninggalkan halaman rumah. Sekilas aku
melihat senyum kecil di wajahnya. Mungkin
aku hanya mengada ada.
Aku memasuki rumah, menyapa ibu
yang sedang mencuci piring, dan menaiki
tangga menuju kamar. Sampai di kamar, aku
tidak terpikir lagi untuk tidur. Aku segera

29

mencuci muka dan menyalakan komputer. Hal


yang terlintas di kepalaku adalah mencari tahu
siapa itu Rose. Tentu ini bukan pencarian
mudah.

Karena

identitas

yang

kutahu

tentangnya hanya terdiri dari empat huruf.


Pencarian ini memakan waktu berjam jam.
Pencarian

ini

menyita

waktuku

dan

membuatku lupa akan makan malamku.


Akhirnya mataku lelah. Perutku lapar.
Aku memberanikan diri untuk melihat jam.
Pukul sepuluh malam. Pencarian yang luar
biasa memakan waktu, dan bodohnya, tanpa
hasil. Aku mencari makanan apa yang tersisa
di kamarku. Ternyata masih ada sebungkus
coklat dari Angela, yang sering menyapaku di
lorong sekolah. Setelah melahapnya, tanpa
sadar, aku merebahkan badanku dan tertidur
lelap.

30

Bab 3
Aku dibangunkan oleh dering alarm
bisingku. Dengan malas, aku menarik diri dari
selimut, dan mencoba berdiri. Aku segera
mandi dan turun ke dapur untuk sarapan.
Kau lupa makan malammu, nak, ucap
Ayah.
Maaf, yah, tapi tugasku benar benar
banyak.

Padahal

sudah

kukerjakan

dari

minggu lalu, aku berbohong.


Lain kali jangan diulangi. Kau bisa
terserang maag, sahut Ibu.
Aku meng-iya-kan nasihat Ibu dengan
tundukan kepala singkat. Sambil menyeruput
kopi, aku meraih surat kabar di meja makan
dan membolak balik halamannya seakan
akan ada hal menarik disana. Dan benar saja.
Ada hal menarik disana.
Tertulis judul besar, Rose McBryant
Ditemukan TEWAS di Kediamannya. Aku

31

terkejut dan senang pada saat bersamaan.


Apakah Rose ini yang disebut sebut dalam
pikiranku?

Apakah

mengetahui

mungkin

sesuatu

keluarganya

yang

bisa

menyelamatkan pikiranku dari bayangan


bayangan gila ini?
Diam diam aku mengambil halaman
koran itu dan melipatnya kecil kecil untuk
dimasukkan ke dalam saku. Dengan cepat aku
menghabiskan sarapanku dan berpamitan
dengan ayah & ibu. Aku meminjam mobil ayah
kali ini, dengan alasan sepulang sekolah aku
akan mengerjakan tugas di rumah teman.
Aku segera menuju kediaman Rose
yang tertera di surat kabar. Bangaley 4th
Street. Ini kali pertama aku membaca alamat
ini. Setelah mencarinya di peta, aku cukup
bersyukur karena lokasi ini hanya berada 5
kilometer

dari

Sacred

Heart

of

Jesus

Kindergarden, sekolah masa kecilku. Aku

32

mengendarai

mobil

dengan

kecepatan

standar, sambil mendengarkan musik rock


favoritku, Simple Plan. Ponselku tiba tiba
berdering dan menampilkan wajah Grace yang
sedang tersenyum. Aku menekan tombol hijau
dan loudspeaker.
Nat, jika kau tidak datang ke sekolah
dalam 5 menit, kau bisa ketinggalan pelajaran
paling penting di abad ini. Dimana kau? seru
Grace dari telepon.
Aku, eh Aku sedang tidak enak
badan, kau tahu. Aku sering pingsan akhir
akhir ini. Untuk hari ini, aku minta izin kepada
Mrs. Paula karena tidak bisa menghadiri
kelasnya. Jawabku.
Aku mendengar lagu Simple Plan. Kau
pasti
Pembicaraan

selesai

setelah

aku

menekan tombol merah. Semakin sedikit


informasi

yang

kuberikan

33

pada

Grace,

semakin baik. Setelah 30 menit perjalanan


membosankan,

akhirnya

aku

sampai

di

Bangaley 4th Street, jalan dimana rumah Rose


McBryant berada. Dengan cepat aku melihat
rumah yang halamannya dipenuhi garis kuning
polisi.

Rumah

itu

terlihat

biasa;

rumah

penduduk yang dicat pink dengan bunga


bunga yang ditanam rapi di halamannya. Aku
mencoba memasuki rumah itu lewat pintu
depan yang sayangnya telah terkunci. Aku
mengelilingi rumah, mencoba satu per satu
pintu yang ada, dan menemukan satu pintu
yang tidak terkunci di bagian belakang rumah.
Aku memutar engsel pintu dengan melapisi
tanganku dengan saputangan terlebih dahulu.
Yang jelas terasa dari rumah ini adalah
nuansa ketiadaan. Di wastafel dapur, tampak
setumpuk piring kotor. Di sebelah mesin cuci,
tampak sekeranjang pakaian kotor. Dan yang
lebih angker lagi, tali tempat leher Rose

34

McBryant tergantung masih ada di tengah


tengah dapur. Jenazahnya sudah diamankan.
Aku mencoba mencari informasi lain di
ruang tamu. Tampak foto berhias pigura
terletak di meja tamu. Foto menampilkan
gambar wanita berpakaian perawat yang
tersenyum ramah. Lalu ada tiga belas tangkai
mawar merah segar yang tersusun rapi dalam
vas. Sepengetahuanku, tiga belas merupakan
angka kematian. Tetapi mungkin saja ini tidak
ada kaitannya dengan kematian Rose.
Lalu,

aku

memasuki

kamar

Rose.

Kamar itu tampak berantakan. Isi lemari baju


berserakan di lantai, selimut tampak kusut di
atas ranjang, dan aroma kamar tercium amis
dan apak. Ini bukan aroma yang wajar untuk
seorang perawat wanita yang biasanya sangat
peka terhadap kebersihan.
Aku juga memasuki kamar mandi yang
berantakan. Sabun tumpah ke lantai, tisu

35

jatuh, cermin belepotan, dan keranjang sikat


gigi jatuh. Lalu aku meninggalkan kamar
mandi.
Karena tidak menemukan petunjuk lain
(dan muak akan aroma apak rumah ini), aku
keluar rumah dengan jalan yang sama ketika
aku masuk. Tentu saja aku tidak lupa untuk
melapisi tanganku dengan sapu tangan ketika
memegang engsel pintu. Aku mengitari rumah
ke bagian pekarangan dan menunggu di sana.
Keadaan rumah lain juga sama matinya
dengan rumah Rose. Seakan akan penghuni
lain takut jika rumah Rose berhantu, dan
mereka menginap di rumah kerabat mereka.
Seakan akan keberuntungan berpihak
padaku,seorang polisi yang sedang bertugas
di sekitar rumah Rose melewatiku.
Selamat pagi, pak polisi. Aku adalah
kenalan Rose McBryant yang meninggal, dan
aku

memiliki

sedikit

36

hal

yang

perlu

diperbincangkan

kepada

keluarganya,

sapaku.
Mohon maaf, Anda siapa? jawab polisi
itu.
Eh, Nathan Brown, pelajar dari Sunrise
Academy, ditugaskan untuk mewawancarai
keluarga dari Rose McBryant. Tugas ini sangat
penting, pak, sebagai nilai akhir semesterku.
Apakah

Anda

mau

menolongku

dengan

memberikan alamat dari keluarga Rose?


bohongku.
Ini

sebenarnya

dilarang

dalam

pekerjaanku, untuk memberitahukan informasi


korban kepada orang lain.
Aku sangat mohon bantuan Anda, pak.
Aku tidak tahu harus mencari topik apa lagi
selain

kematian

Rose

McBryant

aku

mencoba terlihat menyedihkan.


Setelah tawar menawar panjang yang
berujung pada sekotak rokok (aku tidak

37

merokok, aku hanya membelinya untuk polisi


sialan itu), polisi itu berhasil dibujuk. Aku pura
pura berterima kasih dan naik ke mobil. Aku
berniat mengunjungi alamat yang diberikan
polisi tersebut.
Sayangnya, waktu seakan akan tidak
mengizinkanku untuk absen lebih lama lagi,
aku

harus

kembali

ke

sekolah.

Aku

meninggalkan rumah Rose dengan kelajuan


cepat, dan sampai di sekolah dalam waktu 20
menit. Waktu yang cepat untuk jarak yang
cukup jauh. Aku segera memarkirkan mobilku,
dan masuk ke kelas dengan santai, tak lupa
menyapa anak lain.
Grace memandangku dengan tajam
ketika aku melewatinya di kelas, padahal aku
sudah menyapanya. Ketika aku menanyakan
Kenapa?, seperti biasa, seorang gadis akan
menjawab Tidak apa apa, padahal aku

38

tahu bahwa ia pasti kesal padaku karena


menutup telponnya.
Setelah melewatkan pelajaran hari ini
dengan rasa lelah, aku lekas pulang dan
membenamkan diriku dalam kasur.

39

Bab 4
Yang kulihat hanya kegelapan dimana
mana. Tapi aku dapat mendengar dengan
jelas, Ini kesempatan keduamu. Gunakanlah
dengan baik dan bijak.
Suara itu menghilang. Dan aku kembali
melihat kegelapan kosong hingga akhirnya
terbangun tepat di pagi hari. Suara itu masih
teringat

di

kepalaku.

Apa

maksudnya?

Kesempatan kedua apa? Apa yang akan


kumanfaatkan? Setelah lamunan panjang, aku
putuskan diriku untuk mandi dan turun ke
dapur untuk sarapan.
Bu? sapaku.
Apa, Nat? jawab ibu.
Apakah Ibu pernah bermimpi tentang
mendengar suara suara?
Ketika Ibu bermimpi, tentu ibu juga
mendengar apa yang orang lain katakan
dalam mimpi ibu. Memang kenapa?

40

Aku mendengar sesuatu yang janggal


tadi malam. Aku tidak bermimpi, hanya
mendengar suara yang mengatakan aku
memiliki kesempatan kedua, jawabku.
Itu hal yang menarik, Nat. Tidak semua
orang memiliki kesempatan kedua. Yang kita
miliki adalah masa depan untuk memperbaiki
kesalahan masa lalu kita. jawab Ibu.
Aku hanya terdiam. Aku masih teringat
akan kalimat dalam tidurku itu. Aku segera
menghabiskan sarapanku dan berpamitan
dengan ibu. Hari ini, aku memilih untuk
berjalan kaki ke halte bis terdekat dan
menunggu bis ke sekolah. Di sepanjang
perjalanan, kalimat itu terus mengulang di
kepalaku. Jika hal ini terus berlanjut, aku bisa
benar benar gila.
Di

kelas,

semua

pelajaran

yang

dijelaskan terasa memantul dari kepalaku.


Semuanya

tergantikan

41

oleh

kalimat

kesempatan

kedua.

perhatianku,

aku

kosong

Untuk

mencorat

dihadapanku.

mengalihkan
coret

kertas

Biasanya

aku

menggambar karikatur tokoh terkenal, seperti


Einstein atau Lincoln. Aku menggerakkan
pena di atas kertas sembari melamun. Alih
alih menggambar sosok, aku menulis sebuah
nama, Evelyn. Ini benar benar gila. Aku
bahkan tidak pernah membayangkan nama ini,
dan

seketika

Apakah

ini

aku
hanya

menuliskan
lamunan

namanya.

biasa,

atau

memang pertanda bahwa aku tidak baik


baik saja?
Tiba tiba Grace yang duduk di
depanku memalingkan badan dan mengambil
kertas di hadapanku. Ia melihatnya, dan
dengan tatapan tajam mengembalikannya. Ia
terlihat kecewa. Aku tidak mengerti mengapa
ia melakukannya dengan raut muka yang tidak

42

menyenangkan. Apakah Ia kesal karena aku


menulis nama Evelyn?

***
Tiga jam pelajaran berlalu dengan
lambat, dan aku menghabiskan waktu di
sekolah

dengan

memikirkan

kesempatan

kedua dan siapa itu Evelyn?. Bel berbunyi.


Aku langsung keluar kelas dengan cepat.
Selama di lorong, aku dipandangi oleh anak
anak lain. Mereka terlihat bingung, mungkin
karena sifatku berubah drastis akhir akhir ini.
Aku terlalu sibuk memikirkan hal hal gila ini.
Jadi, kuputuskan untuk duduk di taman
sekolah untuk menarik udara segar. Aku
meraba raba saku jaketku dan menemukan
secarik kertas bertuliskan alamat. Aku menjadi
ingat kembali. Ini alamat keluarga Rose.
Seketika, aku menjadi bersemangat kembali
untuk melakukan pencarian ini. Aku segera

43

mengemas barang barangku dan berlari ke


halte bis. Untung saja ini waktunya pulang, jadi
aku tidak akan kena teguran kabur dari
sekolah. Aku segera menaiki bis dengan
tujuan

halte

terdekat

rumahku.

Setelah

sampai, aku segera berlari lagi menuju rumah


dan makan siang, lalu berpamitan dengan ibu
dan meminjam mobil ayah. Aku segera melaju
ke alamat yang tertulis.
Aku tiba di lokasi setelah menempuh
perjalanan selama 45 menit. Ini adalah sisi
kota yang jarang aku kunjungi. Tetapi aku
langsung hafal rutenya dan segera mencari
rumah keluarga Rose. Rumah tersebut tidak
sulit ditemukan, karena jumlah rumah yang
terbilang sedikit di daerah itu, serta rumah
keluarga Rose adalah satu satunya rumah
yang dicat warna ungu pucat. Aku segera
menghampiri

rumah

itu

dan

mengetuk

pintunya. Dengan segera, pintu terbuka, dan

44

tampak seorang wanita tua dengan pakaian


rumah

sederhana,

serta

senyum

yang

dipaksakan di wajahnya. Aku melihat kantong


mata ekstra besar dan hidungnya yang
berwarna merah, seperti terkena flu selama
seminggu. Ia berkata,
Selamat

siang,

ada

yang

bisa

kubantu?
Selamat siang, aku Nathan Brown,
siswa Sunrise Academy. Aku diberi tugas oleh
guruku untuk melakukan sedikit wawancara
tentang kepergian Rose McBryant. Kuharap
Anda dapat membantuku.
Mohon maaf anak muda, tetapi aku
sedang tidak ingin membicarakan kematian
keponakanku,

jawab

wanita

itu

sembari

menutup pintu. Aku menahan pintunya seraya


berkata,
Nyonya, tolong. Bantulah aku. Ini demi
tugas akhir semesterku. Aku berjanji tidak

45

akan bertanya hal hal yang tidak kau


perkenankan.
Baiklah, sedikit wawancara tidak akan
membunuhku. Silahkan masuk.
Aku melepaskan sepatuku dan duduk di
ruang kelurga. Ruangan itu sangat hangat dan
nyaman, sayangnya sedikit berantakan.
Kau menyukai teh? tanya wanita itu.
Ya, dengan sedikit gula. Terima kasih.
Sementara wanita itu membuatkan teh
di dapur, aku melihat ke sekitar. Banyak foto
bergantungan di dinding. Terdapat foto Rose
yang pernah kulihat di rumah mendiang, persis
dengan seragam putihnya. Lalu aku melihat
foto wanita tua itu, Rose, dan satu lelaki yang
tak kukenal. Lalu aku melihat ijazah kelulusan
Marie McBryant dari sekolah keperawatan.
Dan seketika wanita tua itu kembali dengan
membawa senampan teh dan biskuit. Ia
menyajikannya dan duduk di sofa seberangku.

46

Baiklah, anak muda. Siapa namamu


tadi? Jonathan? Nathanael? tanyanya.
Eh, Nathan saja. Jika aku boleh tahu,
siapa nama Anda, nyonya? balasku sambil
mengeluarkan buku catatan dan pena dari tas.
Marie

McBryant.

Kau

bisa

memanggilku Marie saja.


Baiklah, nyonya Marie. Apakah relasi
Anda dengan Rose?
Aku kakak perempuan ayahnya. Rose
dan kakaknya kehilangan kedua orangtua
mereka ketika masih kanak kanak. Jadi,
mereka besar bersamaku. Mereka seperti
anakku sendiri. Oh, ya aku lupa menjelaskan.
Nama kakak Rose adalah Daniel. Jika kau
sudah melihat foto di dinding itu, dialah
orangnya. Dia sedang menjaga jenazah Rose
di rumah sakit. Marie menunjuk foto yang tadi
kulihat.

47

Oke, aku sudah melihatnya. Aku juga


melihat ijazah kelulusanmu dari Akademi
Keperawatan.
Ya. Aku dulunya seorang perawat.
Rose mengikuti jejakku. Dia bersekolah di
sekolah yang sama, dan bekerja di rumah
sakit yang sama sepertiku.
Baiklah. Apa nama rumah sakit tempat
ia bekerja dulu? tanyaku.
Sunny Hill Hospital. Jawabnya.
Oke. Apakah selama bekerja Rose
pernah merasa gelisah atau murung yang
merujuk pada kepergiannya?
Aku sudah bilang, aku tidak ingin
membicarakan kematian Rose, ucap Marie
sambil menatapku tajam.
Eh, aku sungguh minta maaf, Nyonya,
jawabku sopan sambil menundukkan kepala.

48

Tapi kulihat, kau sangat membutuhkan


hal ini. Baiklah, aku akan bercerita. Ia
menambahkan,
Selama 20 tahun ia bekerja disana, ia
hanya sekali tampak gelisah dan takut.
Sekitar 17 tahun yang lalu, rumah sakitnya
kedatangan pasien yang dapat dikatakan
sangat kritis. Beberapa tulang rusuk, bahu,
dan punggungnya retak. Tubuhnya memar
dan ada sedikit luka bakar di kakinya. Darah
memenuhi wajahnya. Pokoknya benar benar
parah. Rose merawatnya dan menyaksikan
lelaki itu menghembuskan nafas terakhirnya.
Di sisa nyawanya, lelaki itu menggumamkan
sesuatu. Rose mendengar nama Evelyn,
ucap Marie sambil mengusap matanya yang
mulai basah.
Evelyn. Aku tidak bertanya pada orang
yang

salah.

Inilah

informasi

butuhkan.

49

yang

aku

Siapa nama lelaki itu? tanyaku sopan.


Kalau aku tidak salah ingat, namanya
Matthew. Tapi aku lupa nama belakangnya,
jawab Nyonya Marie.
Lalu,

adakah

usaha

Rose

untuk

mencari tahu identitas lelaki kritis itu dan


Evelyn? tanyaku.
Sepertinya,

Rose

tertarik

untuk

menguak masalah lelaki itu. Semenjak hari itu,


Rose jadi sering telat pulang ke rumah.
Sesampainya di rumahnya, ia hanya makan
sebentar, dan langsung naik ke kamarnya.
Ketika kutanyai, ia sedang sibuk dengan
komputernya, dan sekilas aku melihat ia
mengetik nama Evelyn. Waktu itu, Rose masih
tinggal bersamaku, jadi aku tahu banyak.
Mohon maaf jika aku menjadi emosial begini,
aku sangat menyayangi Rose, jelas Marie
dengan suara serak. Lalu ia mengusap
matanya kembali.

50

Apakah kau tahu dimana Evelyn ini


berada?
Ia mencari info tentang Evelyn di
internet,
sangat

dan
susah

ia

menemukannya

payah.

Evelyn

dengan

tinggal

di

kawasan konglomerat di pusat kota tetangga,


Silver Stars Residence. Aku mengetahuinya
karena Rose pernah sekali meminjam mobilku
dan berkunjung ke situ. Ia mengatur GPS
nya ke situ. Tetapi, belakangan ini aku
mengetahui, jika Evelyn berada di rumah sakit.
Ia menjalani rawat inap dari 3 tahun yang lalu.
Baiklah.

Barusan

itu

adalah

percakapan yang sangat membantu, Nyonya


Marie, tanggapku.
Aku menjelaskan apa saja yang aku
ingat. Apa saja yang dapat mengungkapkan
kematian Rose. Aku tidak percaya jika Rose
bunuh diri. Ia hanya menggubris tentang
Evelyn & Matthew selama 1 bulan. Akhir

51

akhir ini dia tidak menunjukkan gejala apapun


untuk bunuh diri.
Aku terkejut mendengar pernyataan
Nyonya Marie. Nyonya Marie yakin bahwa ada
dalang di balik kematian Rose, namun ia tidak
dapat membuktikannya karena tidak ada bukti
yang

kuat.

Aku

tidak

dapat

membayangkannya.
Dengan sopan, aku menyeruput tehku,
lalu berdiri dan berpamitan dengan Nyonya
Marie. Aku segera menaiki mobil dan berniat
untuk menuju ke Sunny Hill Hospital. Aku
menghidupkan mesin, mengatur kopling, dan
meninggalkan rumah itu dengan senyuman.

52

Bab 5
Perjalanan ke rumah sakit terasa cepat.
Dalam dua puluh menit, aku telah tiba di
Sunny

Hill.

Aku

segera

bertanya

ke

resepsionis dan mencari Nyonya Evelyn. Aku


segera

diberitahu

nomor

kamarnya.

Aku

menuju ke eskalator, dan menekan tombol.


Ketika

eskalator

terbuka,

aku

melihat

beberapa orang keluar dari dalamnya; dua


orang perawat, seorang pekerja kebersihan,
dan seorang lelaki yang kurasa agak tua
berpakaian

mahal

dengan

wajah

yang

menyerupai moai di Pulai Paskah yang tidak


pernah tersenyum. Ia mengenakan setelan
coklat dan ada saputangan biru muda terselip
di sakunya. Ia berjalan dengan lambat, tanpa
memalingkan mata kemanapun. Aku sudah
sering melihat orang seperti pria ini, namun
aku merasa pernah melihatnya dulu. Tapi

53

dimana?

Dan

kapan?

Mungkin

hanya

perasaanku.
Aku segera menekan tombol tiga,
lantai dimana Evelyn beristirahat. Setelah
sampai, aku segera menuju ke ruang 322. Aku
melihat ke dalamnya melalui kaca, dan melihat
ruangan itu sepi. Aku mengetuk pintu, dan
mendengar

seorang

wanita

mengatakan

masuk. Aku memasuki ruang itu.


Aku melihat wanita itu berbaring di
ranjangnya sendirian. Sangat kurus, pucat,
namun tetap cantik. Usianya belum terlalu tua
kurasa,

sekitar

tangannya

yang

empat

puluh,

namun

kurus

seperti

ranting

menimbulkan kesan Ia sudah tua, namun tetap


menawan. Dan aku merasa pernah melihatnya
dahulu, lama sekali. Tetapi aku tidak ingat.
Ketika

Ia

melihatku,

Ia

tersenyum,

bertanya,
Selamat malam. Anda siapa ya?

54

dan

Selamat

malam.

Perkenalkan,

aku

Nathan Brown, siswa Sunrise Academy. Aku


kesini untuk menjenguk Anda, dan bertanya
sesuatu. Apakah Anda Evelyn? tanyaku balik.
Ya. Aku Evelyn Carey. Apa yang ingin
kau tanyakan, anak muda? Aku belum pernah
melihatmu sebelumnya.
Ya, kita belum pernah bertemu. Tetapi
aku merasa pernah melihatmu dulu, jawabku.
Ini

aneh,

tanggapnya

sambil

tersenyum.
Nyonya Evelyn, aku ingin bercerita
sedikit. Apa kau keberatan?
Tidak. Aku senang mendengar cerita
orang lain. Hidup di dalam kamar ini sungguh
membosankan, kau tahu.
Aku menceritakan kejadian dimana aku
pingsan, aku mendengar suara, kematian
Rose, aku mencari tahu kepada keluarga
Rose, hingga aku menulis nama Evelyn di

55

coretan. Aku juga bercerita tentang Matthew.


Mata Evelyn seakan akan membelalak. Ia
terkejut. Evelyn tetap mendengar ceritaku
dengan

seksama.

Sambil

tersenyum,

Ia

menanggapi ceritaku.
Kau punya cerita yang sangat aneh.
Kita belum pernah bertemu sebelumnya, tetapi
kau menulis namaku di coretan. Baiklah, aku
belum memiliki tanggapan spesifik terhadap
ceritamu, tetapi aku juga ingin bercerita
tentang hidupku, tentang Matthew yang kau
sebutkan tadi.
Baiklah,

aku

senang

mendengar

cerita, jawabku.
Sembilan belas tahun yang lalu, aku
bekerja sebagai seorang pengacara. Aku jatuh
cinta dengan seseorang. Namanya Matthew.
Ia

seorang

jurnalis.

Kami

bertemu

di

pengadilan di suatu sidang. Kami menyukai


satu sama lain pada pandangan pertama.

56

Kami

mengobrol,

malam

bersama,

jalan
dan

bersama,

makan

akhirnya

kami

berpacaran. Kami menjalani hubungan kami


dengan baik selama 2 tahun. Pada 1997, aku
berniat

mengenalkan

Matthew

pada

keluargaku. Kelurgaku tahu bahwa Matthew


adalah seorang jurnalis. Mereka melarangku
untuk melanjutkan hubungan dengan Matthew.
Sebagai

gantinya,

aku

akan

dijodohkan

dengan pria kaya raya yang usianya 15 tahun


lebih tua dariku. Aku marah dan menemui
Matt. Aku bilang semuanya akan baik baik
saja. Kami akan menikah, punya rumah dan
anak yang sehat, serta harta yang cukup.
Yang

paling

kebahagiaan.

penting,
Tapi

kami

harapan

memiliki

kami

tidak

berlangsung lama.
Evelyn menghela nafas dan meminum
air dari gelasnya, lalu melanjutkan bercerita.

57

Aku

dipaksa

keluargaku

untuk

menemui pria tua itu di rumahnya. Namanya


Edmund.

Aku

sangat

marah.

Setelah

mendengar rencana pernikahanku dengan


Edmund, aku meninggalkan rumahnya dengan
sangat tidak sopan. Aku segera menuju ke
rumah Matt dan membicarakan untuk menikah
diam diam. Matt bingung. Ia tidak mau
pernikahan kami nantinya diliputi rasa takut.
Tetapi aku meyakinkannya. Akhirnya dia
setuju.
Tetapi, seminggu setelah pertemuan
kami, aku mendengar berita buruk bahwa Matt
mengalami kecelakaan berat dan meninggal
dunia. Aku tidak boleh mengunjunginya di
rumah sakit. Aku mencoba kabur dari rumah,
tetapi aku dihalangi oleh penjaga. Aku juga
tidak

diperbolehkan

untuk

mengunjungi

makamnya. Aku hanya bisa menangis dan


meraung

di

kamarku.

58

Orangtuaku

tetap

membujukku untuk menikahi Edmund. Aku


menolak dan terus menolak, hingga aku
sampai pada titik jenuhku, dan mencoba untuk
berpaling kepada Edmund. Pernikahan kami
berjalan

lancar.

Semuanya

terasa

baik,

sampai ia mengetahui bahwa aku tidak dapat


memiliki keturunan. Rahimku lemah. Edmund
sangat kecewa, dan menelantarkanku. Pada
saat itu, aku sangat benci pada diriku sendiri.
Aku

melampiaskan

kemarahanku

dengan

bekerja lebih keras sebagai pengacara. Aku


bahkan sering lupa makan dan tidur, yang
membawaku ke rumah sakit ini.
Aku

prihatin

mendengarnya.

Aku

memberanikan diri untuk bertanya.


Apakah kau masih memiliki perasaan
untuk Matt?
Tentu saja, nak. Dia lelaki terbaik yang
pernah kutemui. Ia tidak pernah memarahiku.
Ia memelukku disaat aku membutuhkannya.

59

Tetapi, Ia pergi disaat kami akan mengikat


janji suci kami. Tetapi aku masih tidak percaya
jika Matt kecelakaan. Setelah mencuri dengar
tentang kondisi jenazah Matt, hampir mustahil
jika

luka

separah

itu

merupakan

hasil

kecelakaan. Lebih mirip penganiayaan. Tapi


aku tidak dapat membuktikannya.
Pernyataan

Evelyn

barusan

mengejutkanku. Nyonya Marie tidak percaya


jika Rose bunuh diri, Evelyn juga tidak percaya
bahwa Matt kecelakaan, melainkan dibunuh.
Apakah ini ada kaitannya?
Perawat mengetuk pintu dan masuk. Ia
mengatakan bahwa ini saatnya Nyonya Evelyn
untuk beristirahat. Sebenarnya aku juga sudah
sangat lelah. Jadi aku memutuskan untuk
berpamitan dan pulang. Setelah mengucapkan
terimakasih, aku segera keluar dari kamar dan
memasuki elevator. Aku berjalan ke parkiran
dan mengemudikan mobilku dengan memutar

60

musik rock keras keras agar aku tidak


tertidur di jalan pulang.

61

62

Bagian 2

Penyingkapan

63

64

Bab 6
Yang kuingat selanjutnya adalah aku
dibangunkan oleh sinar matahari pagi yang
menyilaukan. Aku pasti sangat kelelahan
sampai sampai

tidak bisa mengingat

kejadian tadi malam. Aku baru tersadar kalau


hari ini adalah hari Sabtu. Aku terbebas dari
sekolah, tetapi aku memiliki lebih banyak
waktu untuk menyelesaikan masalah pribadiku
ini.

Sekarang

adalah

mandi

yang

kuinginkan

dengan

air

sekarang

hangat

agar

pikiranku lebih tenang. Selama mandi, sangat


banyak hal yang terlintas di benakku. Hidupku
berubah sejak suara suara itu datang ke
kepalaku. Aku tidak lagi dikenal sebagai sosok
yang populer di sekolah, orang menilaiku
sebagai
Memang

pribadi

yang

benar.

berkomunikasi

Aku

dengan

65

introvert

sekarang.

menjadi
teman

jarang
teman

sekolahku, termasuk Grace. Grace bahkan


kesal denganku saat ini.
Aku berusaha menyingkirkan pikiran itu.
Kepalaku bisa meledak jika memikirkannya
terus. Setelah selesai shower, aku keluar
kamar

dan

mengenakan

pakaian

santai

terbaikku hari ini. Lalu aku menelpon Grace.


Halo? sahut Grace.
Grace, apa kau ada waktu hari ini?
Memangnya kenapa?
Aku ingin mengajakmu jalan, jawabku.
Bukannya kau sudah punya pacar?
Siapa namanya? Evelyn itu?
Dia bukan pacarku. Bahkan aku tidak
mengenalnya. Ayolah, Grace, kok kamu jadi
tidak asik seperti dulu?
Hah? Siapa bilang. Baiklah, jemput aku
di rumah setengah jam lagi, jawab Grace.
Nada suaranya berubah menjadi lebih ceria.

66

Aku senang Grace tidak marah lagi.


Aku segera berpamitan dengan ayah & ibu
dan meminjam mobil ayah untuk menjemput
Grace. Sesampainya di rumah Grace, ia
mengenakan kaos dan celana pendek musim
panas yang sangat seksi menurutku, lengkap
dengan

kacamata

hitam

menempel

di

hidungnya yang mancung. Ia memohon untuk


menyetir

mobilku.

Aku

tidak

keberatan.

Kubiarkan ia menyetir mobilku. Aku tidak tahu


kemana tujuan kami. Grace menyetir dengan
tenang, sambil memutar lagu dari American
Authors. Ia tertawa dan tersenyum selama
perjalanan. Aku mengakui, Grace terlihat
sangat cantik, di bawah sinar matahari,
dengan angin yang menyibak rambutnya yang
ikal,

dan

kacamata

hitam

keren

yang

digunakannya. Sebenarnya aku menyimpan


rasa untuk Grace dari dulu, tapi aku merasa ia

67

tidak

seperasaan

denganku.

Sampai

sekarang, kami hanya bertahan di friendzone.


Ternyata Grace menyetir ke taman
hiburan terbesar di kotaku, Crazy Bunny Land,
dengan rollercoaster tercepatnya, bianglala
tertinggi di negaraku, arung jeram buatan,
pantai tropis nan hangat, dan badut badut
unik di dalamnya. Kami segera memarkirkan
mobil, dan membeli dua tiket untuk kami. Kami
menaiki rollercoaster, bianglala, merry go
round, rumah hantu, dan wahana keren
lainnya.

Grace

mampu

menyihirku

yang

sedang penat dengan masalahku, menjadi


pribadi yang menyenangkan ketika berada di
sisinya.
Grace lalu mengajakku untuk memasuki
tenda peramal. Aku tidak percaya ramalan,
tetapi Grace tetap memaksaku memasukinya.
Akhirnya

aku

menurut.

Peramal tersebut

seorang wanita berusia tiga puluhan. Ia

68

mengenakan gaun gypsy berwarna ungu


dengan bandana merah tua di kepalanya.
Rambut

ikalnya

dibiarkan

bergurai

di

punggungnya. Ia menyambut kami di tendanya


dengan senyuman misterius. Kami lalu duduk
di dua kursi di hadapan meja peramal itu.
Dengan biaya murah, Grace mempersilahkan
peramal membaca garis tangannya, memilih
kartu Tarot, dan Grace hanya terpana ketika
peramal menjelaskan tentang masa depan
dirinya. Ketika selesai, Grace memaksaku
untuk diramal juga. Setelah membayar, aku
mempersilahkan

peramal

membaca

garis

tanganku.
Ekspresi

peramal

itu

berubah.

Ia

menyipitkan kedua matanya agar dapat lebih


berkonsentrasi.

Dengan

tatapan

tajam,

peramal itu berkata kepadaku.


Aku memang seorang peramal murah
di taman hiburan ini, tetapi aku memiliki bakat

69

asli yang diturunkan dari ibuku. Biar kutebak.


Namamu Matt?
Bukan. Aku Nathan, jawabku santai.
Aku tidak salah. Aku melihat sesuatu
yang buruk di masa lalumu, Matt. Aku juga
melihat banyak darah di masa depanmu. Kau
harus

lebih

bijak

dalam

menentukan

pilihanmu. Kau harus bisa terlepas dari masa


lalumu, Matt.
Aku tidak mengerti apa maksudmu,
tanyaku dengan keras kepada peramal itu.
Aku mungkin terdengar gila, tetapi
harus kukatakan padamu, kau mengalami
reinkarnasi secara tidak sempurna. Hal ini
menyebabkan kau masih mengingat masa
lalumu secara samar. Jujur saja, kau sangat
penasaran dengan wanita bernama Evelyn itu.
Dia adalah calon istrimu di masa lalu, jawab
peramal itu dengan tenang.

70

Grace menatapku dengan tatapan Ini


tidak mungkin. Aku sendiri bingung bukan
main, sampai sampai dahiku mengeluarkan
keringat sebesar biji jagung. Lalu peramal itu
melanjutkan.
Jangan cemas, Nathan. Kau tidak
selamanya akan terjebak dalam masa lalumu.
Aku tahu kau sudah sering terbayang akan
masalah ini. Kau bisa memperbaikinya. Kau
bisa menolong dirimu sendiri, Evelyn, Marie,
dan yang lainnya. Setelah arwah Matt tenang,
kau pun juga dapat hidup dengan tenang, ujar
peramal itu.
Aku masih tidak percaya. Bagaimana
kau bisa tahu tentang diriku?
Percayalah.

Aku

sudah

meramal

ribuan orang seumur hidupku, dan aku sangat


jarang salah. Pengunjungku banyak yang
kembali

kepadaku

dan

71

bercerita

betapa

menyesalnya

mereka

tidak

menghiraukan

ucapanku.
Aku sudah cukup muak dengan omong
kosong di tenda ini. Aku pun berkata.
Maaf, Nyonya Peramal, tetapi aku tidak
pernah percaya pada ramalan siapapun.
Terima kasih telah memberikanku sedikit
pencerahan, kataku seraya keluar dari tenda
dengan

cepat.

Grace

mengikutiku

dari

belakang. Dia meraih lenganku. Ketika aku


mengatakan Beri aku waktu, Grace dengan
tenang

melepas

genggamannya.

Ia

mengikutiku untuk duduk di tepi pantai.

***
Selama satu jam, aku dan Grace hanya
terduduk diam disana sambil memandangi laut
yang beranjak jingga. Akhirnya Grace meraih
tanganku dan berkata,

72

Semuanya akan baik baik saja.


Semua yang dikatakan peramal itu tidak
benar.
Tidak,

Grace.

Dia

benar.

Dia

mengetahui segala sesuatu tentang diriku. Dia


pasti mengatakan yang sebenarnya. Dia
Grace
yang

mencium

hangat

keningku.

Ini

menciumku.

terasa

keningku.
sangat

pertama
Ketika

nyaman

kalinya
ia

Bibirnya
di

Grace

melepaskan

kecupannya, pipinya terlihat merah. Dengan


tatapan paling manis yang pernah kulihat, ia
menggenggam tanganku dan berkata,
Jika kau tidak berani menghadapi
hidupmu, aku mau jadi pendampingmu. Aku
akan

selalu

ada

di

sampingmu

untuk

menemani di masa masa sulitmu, ucap


Grace. Kata katanya barusan sungguh
membuatku menemukan kembali semangat

73

dalam

membuka

misteri

Matt.

Dengan

spontan, aku bertanya pada Grace,


Grace, kau mau jadi pacarku?
Grace tertawa. Dia berkata,
Aku sudah menunggumu menanyakan
hal ini sejak berbulan bulan yang lalu. Tentu
saja aku mau.
Sambil memandangi matahari senja,
dia menyenderkan kepalanya ke bahuku.

74

Bab 7
Selama satu malam, kami bercerita
lewat telepon sampai pukul 2 malam. Kemarin
adalah hari terbaik dalam hidupku. Akhirnya
gadis yang kuanggap sahabatku selama ini
mau menjadi pasanganku. Memang benar
kata orang, sahabat adalah awal dari pacaran.
Pagi harinya, di hari Minggu, aku tidak
bangun siang seperti biasanya, aku bangun
awal untuk memasak sarapan untuk diriku
sendiri, lalu mandi dan menjemput Grace di
rumahnya. Ketika tiba di rumahnya, Grace
ternyata juga sudah bangun. Ia langsung
berganti pakaian ketika aku mengajaknya
mengunjungi suatu tempat.

***
Aku mengendarai mobilku ke Sunny Hill
Hospital, untuk menceritakan apa yang aku
dapat

dari

peramal

Crazy

75

Bunny

Land.

Mungkin ini terdengar gila, tapi aku harus


melakukan yang terbaik demi diriku sendiri.
Kami

tiba

di

Sunny

Hill.

Setelah

memarkir mobil, aku segera menggenggam


tangan Grace dan mengajaknya berjalan
setengah berlari ke ruang 322, tempat Evelyn
beristirahat.
Di

dalam

terbangun,

dan

ruangannya,
sedang

Eve

membaca

sudah
The

Notebook karangan Nicholas Sparks. Aku dan


Grace masuk. Eve bertanya dengan lembut,
Nathan, ada apa pagi pagi kesini?
Dan siapa gadis manis yang menemanimu?
Perkenalkan. Nyonya Eve, ini Grace.
Grace, Nyonya Eve.
Eve

&

Grace

bersalaman

sambil

tersenyum hangat. Eve memuji gelang Grace


yang berbentuk bintang. Lalu aku melanjutkan
omonganku.

76

Nyonya Eve, aku datang kemari untuk


menceritakan sesuatu. Mungkin ini terdengar
sangat gila, tetapi aku benar benar harus
menceritakannya.
Tentu saja kau boleh bercerita. Aku
punya banyak waktu luang, candanya.
Baiklah. Kemarin aku pergi ke suatu
taman hiburan. Aku bertemu seorang peramal
handal. Dia bahkan tahu identitasku sebelum
aku memberitahukannya. Lalu ia berkata
sesuatu.
Aku

terdiam

sesaat

sebelum

aku

memberitahukan fakta yang benar benar


gila. Setelah menghela nafas pendek, aku
melanjutkan.
Ia mengatakan bahwa aku adalah
reinkarnasi Matt. Aku mengalami reinkarnasi
yang tidak sempurna, yang menyebabkanku
sering teringat akan masa lalu Matt secara

77

samar. Dan sekarang, aku mau membantumu


untuk mengungkapkan kematian Matt.
Eve menatapku dengan tatapan yang
sangat

mengherankan,

lalu

memberikan

tanggapannya.
Aku masih tidak percaya. Bagaimana
seseorang yang sudah mati terlahir kembali
dengan memori yang tidak sempurna? Semua
ini tidak masuk akal. Kau harus pulang, Nat.
Aku tidak mau lagi mendengar omong kosong
ini, ucap Eve ketus.
Kau

harus

percaya.

Aku

akan

mengungkapkan kematian Matt dan Rose. Aku


tidak ingin hidup dibayangi oleh masa lalu
Matt. Aku bisa berakhir di rumah sakit jiwa.
Eve, kau harus percaya.
Grace menggenggam lenganku dan
berbisik mengajakku meninggalkan ruangan.
Aku menolak dan berkata,

78

Nyonya Eve, aku memang terdengar


gila, tapi inilah faktanya. Aku percaya akan
omongan peramal itu
Diam

kau!

Perawat!

Tolong

aku!

Pemuda ini mencoba menakutiku!


Perkataanku terputus oleh teriakan Eve.
Ia berteriak menyuruhku pergi dari ruangannya
sambil melempar benda apapun yang ada di
sekitarnya ke arahku. Petugas medis pun
masuk dan menenangkan Eve, dan mengusir
kami.

Dengan

gusar,

aku

meninggalkan

ruangan. Grace mengikutiku dari belakang.


Kami berjalan cepat menuju mobilku. Sampai
di dalamnya, aku baru tersadar bahwa Grace
terkena lemparan gelas keramik di dahinya. Ia
terluka dan mengeluarkan sedikit darah.
Grace, tunggu disini, akan kuambilkan
plester dan iodin untuk lukamu, kataku sambil
meninggalkan mobil.

79

Aku pergi ke apotek terdekat dan


membeli kedua barang itu. Ketika aku kembali
ke mobil, Grace mengusap dahinya dengan
tisu. Aku segera memberinya iodin dan
menempelkan plester ke dahinya. Setelah
plester tertempel dengan sempurna, Grace
bertanya,
Nat, aku sangat bingung dengan apa
yang terjadi barusan. Selama ini kau hanya
diam dan tak bercerita apapun tentangmu.
Kau menutup dirimu. Kali ini, aku mohon,
ceritakanlah apa yang terjadi selama ini.
Aku

menghela

nafas,

dan

mulai

bercerita tentang awal mula aku mendengar


suara suara, melihat bayangan putih, tiba
tiba merasa sakit sendiri, lalu percakapanku
dengan Marie & Eve tentang Rose dan
Matthew.

Setelah

kuceritakan

semuanya,

Grace meraih tanganku dan berkata,

80

Semua

orang

di

dunia

boleh

mengatakan kalau kau gila. Tetapi tidak


denganku. Aku akan membantumu mengatasi
semua ini, tidak peduli seberapa pun sulitnya.
Semua akan kita akhiri bersama. Kita akan
menemukan pembunuhmu di masa lalu, dan
menendang bokongnya.
Aku tertawa. Di saat semuanya terasa
sulit, satu satunya orang yang berhasil
membuat hidupku terasa lebih mudah adalah
Grace.
Aku sangat beruntung memilikimu,
ucapku. Grace tersenyum dan memintaku
untuk meninggalkan parkiran rumah sakit ini.

81

Bab 8
Aku

mengendarai

mobil

menuju

McDonald. Disana kami memesan dua burger


dan tertawa bersama selama dua jam penuh.
Kami membicarakan anak anak di kelas
kami, guru guru kami yang menyebalkan,
dan tidak sedikit pun menyentuh pembicaraan
tentang masalahku. Segala masalah di dunia
terasa sirna ketika Grace berada di dekatku.
Senyum
semua

manisnya

mampu

kebingunganku,

dan

menyingkirkan
membuatku

berani menghadapi kenyataan di depanku.


Setelah menghabiskan makanan kami,
aku mengajak Grace untuk ke rumah Marie.
Grace setuju dan dalam waktu 45 menit, kami
sudah tiba di rumah Marie. Aku mengetuk
pintu, dan wajah Marie muncul di pintu
rumahnya, kali ini dengan ekspresi yang lebih
ceria. Ia mempersilahkan kami masuk.

82

Sebelum

kami

duduk,

aku

memperkenalkan Grace kepada Marie. Lalu


kami duduk. Marie bertanya apakah kami ingin
teh, aku menjawab iya. Grace menggenggam
lenganku yang menandakan Kau tidak perlu
teh, tetapi Marie sudah pergi ke dapur terlebih
dahulu.
Selama
menggerakkan

kami

menunggu,

kepalanya

ke

Grace
sekeliling

ruangan dan melihat lihat isi rumah Marie.


Marie kembali dengan senampan teko teh dan
dua cangkir bermotif bunga. Marie berkata,
Oke, Nathan. Apa yang ingin kau
ceritakan sehingga kau jauh jauh kemari?
Kuharap ini kabar baik.
Ini kabar super baik. Aku mau
membantumu

mengungkapkan

Rose, jawabku.

83

kematian

Marie membelalak, begitu juga Grace.


Mereka sama sama terlihat bingung. Lalu
Marie berkata kembali
Nathan,

mengungkapkan

kematian

Rose bukanlah hal mudah. Dan kau masih


siswa SMA. Aku tidak ingin hal buruk terjadi
padamu.
Grace

juga

menambahkan,

Nat,

Nyonya Marie benar. Membongkar kematian


seseorang sama saja dengan berhadapan
dengan pembunuhnya. Kau mau mati konyol
di

tangan

seorang

pembunuh

berdarah

dingin?
Aku sudah berpikir matang matang
tentang

hal

ini.

Aku

akan

membongkar

kematian Rose dan Matthew, calon suami


Evelyn, jawabku. Aku memilih untuk tidak
bercerita tentang reinkarnasiku. Jika aku
melakukannya, aku pasti sudah diusir dari
rumah ini.

84

Tapi,

apa

alasanmu

untuk

membantuku? Maksudku, kita baru kenal, dan


kau mau membantuku membongkar kasus ini,
tanya Marie.
Nyonya Marie, aku tidak tega melihat
betapa banyak nyawa tak bersalah yang mati
di tangan orang orang jahat, bohongku. Ini
alasan yang benar benar bodoh dan tidak
masuk akal.
Nat, aku berterima kasih padamu
karena sudah peduli pada kematian Rose.
Tapi, semua orang akan mati pada akhirnya,
entah bagaimana caranya. Aku sudah cukup
kehilangan Rose, dan aku tidak mau nyawa
lain berjatuhan karena hal ini, ujar Marie
dengan lelah.
Bibi,

biarkan

dia

membantuku

menyelesaikan masalah Rose, ucap seorang


pria muda yang keluar dari pintu kamarnya.
Wajahnya tampak lelah, tampak dari besarnya

85

kantong mata yang tergantung di bawah


matanya. Wajahnya tampak kusam, yang
setelah kupikir pikir mungkin dia belum
mandi.
Nathan, perkenalkan, ini Ryan, kakak
kandung Rose. Ryan, ini Nathan, ujar Marie.
Ryan menyalamiku dengan tegas. Lalu
ia bertanya padaku,
Berapa usiamu?
Tujuh belas.
Oke. Kau sudah cukup umur. Kau akan
ikut denganku untuk membongkar kasus ini,
ucap Ryan.
Ryan,
membongkar

Nathan
kematian

tidak
Rose.

berhak
Ia

bisa

omongan Marie terputus oleh perkataan Ryan.


Bibi, aku sudah cukup muak untuk
tutup mulut tentang kematian adikku. Aku tidak
rela jika kematian Rose yang tidak diketahui
sebabnya

dibiarkan

saja.

86

Aku

harus

menyelesaikannya. Beruntung Nathan mau


membantuku.
Nyonya Marie tidak dapat berkata apa
apa

lagi.

melakukan

Ia

akhirnya

apa

yang

membiarkan

kami

seharusnya

kami

lakukan.
Baiklah.

Tapi,

Ryan,

tolong

jaga

Nathan baik baik. Jangan sampai hal buruk


terjadi padanya, Marie memberi pesan pada
Ryan.
Ryan

menanggapinya

dengan

mengangguk pelan, lalu Marie meninggalkan


ruang keluarga tersebut. Grace hanya bisa
diam. Ia tidak tahu apa lagi yang dapat ia
lakukan untuk mencegahku. Akhirnya Ryan
duduk di sofa seberang kami dan berkata,
Jadi, mari kita susun rencana.

87

88

Bagian 3

Kepalsuan

89

90

Bab 9
Ryan mengantar kami sampai ke pintu
depan rumahnya. Sebelum kami naik ke mobil,
ia berkata kepada kami,
Pembongkaran kasus ini tidak akan
memakan waktu sebentar, otomatis waktu
istirahatmu sedikit berkurang. Aku tidak akan
memintamu untuk bolos sekolah. Kau bisa
mencari

waktu

luang

untuk

menjalankan

rencana kita.
Baiklah. Aku mengerti. Akan kuhubungi
lagi jika masih ada yang perlu kutanyakan,
jawabku.
Oh, ya. Kau punya kamera? tanya
Ryan.
Ya. Untuk apa? tanyaku balik.
Pokoknya

bawa

saja.

Kita

akan

jalan,

Ryan

membutuhkannya, jawab Ryan.


Sebelum

mobil

berbisik di telingaku,

91

kami

Nat, kurasa Grace tidak perlu ikut


dalam masalah ini. Kau pasti tak ingin dia
terluka kan?
Aku menyetujui perkataannya dengan
sebuah anggukan. Akhirnya kami pulang ke
rumah kami. Grace memutar lagu Imagine
Dragons di radio dengan volume sedang.
Selama perjalanan, kami hanya diam satu
sama lain. Tak ada hal yang perlu kami
bicarakan. Sampai akhirnya kami sampai ke
rumah Grace, ia membuka mulutnya.
Nat, aku setuju akan pilihanmu untuk
membuka kasus Rose & Matt. Tapi aku
mohon, jangan lakukan sesuatu yang bodoh.
Grace

keluar

dari

mobil

dan

meninggalkanku untuk berpikir. Grace benar.


Apakah aku terlalu gegabah untuk mengambil
keputusan

ini?

Tapi

jika

aku

tidak

mengakhirinya, apakah aku bisa hidup tenang


dengan suara - suara ini?

92

***
Sesampainya

aku

di

rumah,

aku

menyadari, ini adalah hari Minggu yang berat.


Aku

menghabiskan

makananku

sambil

berpikir. Jika bisa dilihat, otakku pasti sudah


basah kuyup oleh keringat. Setelah makan,
aku mulai menyiapkan materi untuk aksiku
besok.

***
Esok harinya, aku memasukkan segala
sesuatu yang kuperlukan untuk penyelidikankami.

Setelah

mandi

dan

sarapan,

aku

berangkat ke sekolah menggunakan sepeda


motor ayah (kendaraanku banyak, ya?). Aku
menjalani hari Senin dengan berpura pura
bersemangat. Grace tidak berkata apa apa
hari ini. Setelah bel pulang sekolah berbunyi,
aku segera ke parkiran dan pergi secepat

93

mungkin

ke

kantor

Ryan

menggunakan

motorku.
Sesampainya di sana, aku menelpon
Ryan dan dia segera keluar dari kantornya. Ia
telah menggunakan jaket dan helm nya
sendiri. Ia memintaku untuk pergi ke Galaxy
City Office Building, yang letaknya cukup jauh
dari kantor Ryan. Aku menurut dan pergi
kesana.
Sesampainya disana, sudah banyak
wartawan

yang

menunggu.

Aku

segera

memarkirkan motor dan Ryan bergabung


dengan wartawan tersebut. Setelah menunggu
10 menit, seorang lelaki berjas hitam dengan
tampang yang sepertinya kukenal keluar dari
pintu utama gedung itu. Tak salah lagi, pria itu
adalah Edmund Carey, suami Eve yang
pernah kujumpai di lift Sunny Hill.
Kulihat Ryan terus mengejarnya sambil
bertanya keras keras kepada Edmund, tetapi

94

ia tidak menghiraukan. Edmund naik ke mobil


merahnya dan pergi dengan mobilnya dengan
cepat. Ryan kembali ke motorku dan berkata,
Sial. Aku belum mendapatkan apapun
darinya. Ikuti dia!
Tanpa

berkomentar

apapun,

aku

menurut dan mengendarai motorku dengan


cepat menyusul mobil Edmund. Sopir Edmund
ternyata orang yang sangat mahir dalam
mengendarai mobil. Aku sedikit kewalahan
mengikutinya, tapi aku tetap berhasil ke
tempat tujuan Edmund.
Ia berhenti di depan sebuah caf
modern. Ia turun sendirian, tanpa ditemani
bodyguard nya. Sementara aku dan Ryan
masih menunggu di motor kami, ia memesan
segelas minuman, sambil sibuk memainkan
ponselnya. Setelah sepuluh menit menunggu,
kami turun dari motor dan menghampiri

95

Edmund. Ia tampak kesal dan berkata kepada


kami,
Aku

sangat

membenci

reporter

reporter bodoh yang selalu mengejarku dan


tidak memberiku waktu untuk sendirian.
Kami bukan reporter bodoh, pak. Ini
kartu pengenal kami. Kami jurnalis handal
yang ingin mengabadikan kesuksesan Anda
lewat buku yang akan kami tulis. Kami telah
melakukan
Sekarang

berbagai
kami

riset

hanya

tentang

butuh

Anda.

wawancara

khusus dengan Anda, bohong Ryan. Aku


berpura pura memegang kamera seakan
akan aku seorang fotografer.
Aku

tidak

perlu

biografi,

bantah

Edmund. Ia meneguk minumannya yang


kutebak pasti kopi, lalu ia berkata dengan
kasar, Pergi sana.
Di luar caf, bodyguard Edmund turun
dari mobil dan berdiri di depan kaca sambil

96

memperhatikan kami. Ryan belum menyerah


rupanya. Ia balas berkata,
Tuan Edmund, Anda pasti sadar bukan
jika perusahaan real estate yang Anda pimpin
sedang

mengalami

resesi

karena

berkurangnya penjualan Anda selama tiga


tahun

terakhir.

Pemegang

saham

mulai

kecewa akan perusahaan Anda. Reputasi real


estate Anda juga mulai menurun karena
kurangnya

dana

yang

masuk

untuk

yang

berat,

perawatannya.
Dengan

nada

suara

Edmund menjawab,
Apa maumu?
Kami hanya ingin membantu Anda
untuk membangun kembali citra Anda di mata
masyarakat.

Anda

tentu

dapat

melaksanakannya dengan bantuan kecil dari


kami. Dan untungnya,
membayar.

97

Anda tidak perlu

Edmund menyerah. Ia melambaikan


tangan kepada bodyguard nya dan berkata,
Baiklah. Kau boleh bertanya. Aku
punya lima belas menit.
Ryan mengeluarkan catatannya dan
mulai melakukan aksinya.
Baiklah. Pertanyaan pertama. Masa
kecilmu

kau

lalui

sebagai

anak

yang

berkekurangan, namun sekarang kau adalah


seorang

milyader.

Bagaimana

kau

membangun bisnis ini?


Aku meminjam uang bank, sampai
sampai rumahku disita. Aku meminjam uang
dari banyak orang. Aku menjalin hubungan
baik dengan Barry Heathrow, ayah Evelyn;
istriku. Dengan perekrutan pekerja yang baik,
aku berhasil membangun usaha ini.
Sejauh mana kau mengenal Barry?
Dia

rekan

bisnisku,

dan

ayah

mertuaku. Kami saling mendukung. Dia adalah

98

orang yang sangat kaya, kau tahu. Aku tidak


tahu dari mana ia mendapat kekayaannya.
Edmund mengeluarkan sekotak rokok dari
sakunya. Ia menawari aku dan Ryan. Kami
menolak dengan sopan. Ia memasukkan
rokoknya dan menyalakan satu untuk dirinya.
Apa kau sudah puas dengan apa yang
kau miliki sekarang?
Tidak. Aku belum mampu memuaskan
diriku sendiri. Dengan seorang istri yang
mandul dan sakit - sakitan? Ayolah. Lelaki
mana yang tidak ingin mendapatkan seks
yang baik dari pasangannya?
Pria ini benar benar bangsat pikirku.
Kalimat itu hampir keluar dari mulutku, tapi aku
menjaganya dengan baik.
Lalu, apa yang kau lakukan untuk
memenuhi keinginanmu?
Club penuh dengan wanita bugil yang
muda dan cantik. Aku mudah saja menyewa

99

mereka

dan

memuaskan

diriku

sendiri.

Kepalaku terasa berat. Sepertinya aku butuh


air mineral.
Biar kuambilkan, kata Ryan. Ia pergi
sesaat dan kembali dengan segelas air
mineral di tangannya. Ia memberikannya
kepada Edmund. Edmund meneguknya.
Aku bahkan lupa kalau air mineral
dapat berasa sangat aneh seperti ini, hehe,
kata Edmund sambil memegangi kepalanya. Ia
mabuk.
Astaga. Akhirnya kusadari bahwa Ryan
berusaha membuat Edmund mabuk agar ia
tidak sadar akan perkataannya.
Ryan melanjutkan pertanyaannya,
Tuan Edmund, apakah Anda pernah
merasa dirugikan oleh Barry Heathrow?
Ya,

terkadang.

Ia

sering

lupa

mengurus izin tanah kantorku, dan sering lupa


mengurus berkas - berkas perusahaan. Dia itu

100

pria bodoh. Ia menjadi kaya begitu karena


menikah dengan ibu Eve.
Perkataannya

barusan

membuka

kesadaranku. Pria mesum ini menggerogoti


ayah

mertuanya

sendiri.

Ia

melanjutkan

omongannya.
Aku

menikahi

Eve

karena

aku

menyukainya. Tapi itu bukan tujuan utamaku.


Edmund berhenti untuk batuk sejenak, lalu
melanjutkan, Kau pasti tahu tujuan utamaku
kan?
Ryan

memancing

Edmund

dengan

menjawab,
Tidak, Pak. Kami tak tahu.
Kalian memang jurnalis yang kurang
cerdas ya. Kalian tentunya bisa menangkap
omonganku dari tadi. Bisnis. Uang. Barry
adalah

penjamin

finansial

perusahaanku.

Untung si tua goblok itu sudah mati, he, he,

101

Edmund menjawab dengan linglung karena


efek obat Ryan.
Lalu, apa yang kau lakukan untuk
semakin

menjamin

kesuksesan

perusahaanmu?
Apa kau perlu tahu? Aku tidak mau
jawab, jawab Edmund.
Wah,

ternyata

ia

masih

bisa

menyangkal. Masih sadar dia rupanya.


Lalu, apakah kau mengenal Rose
McBryant? Ryan kembali bertanya.
Rose?
mengunjungi

Perawat
istriku?

Ya.

yang
Ehem.

rutin
Aku

mengenalnya. Ia tak punya kerjaan lain ya


selain mengunjungi Eve? Maksudku, ayolah.
Ia terlalu sibuk mengurusi Eve dan kematian
Matt sialan itu.
Apakah

kau

tahu

sesuatu

yang

berkenaan dengan kematian Rose? tanya


Ryan kembali.

102

Dia bunuh diri. Kan sudah jelas tertulis


di koran, jawab Edmund.
Kau bohong, aku berkata dengan
suara kecil karena refleks. Ryan menginjak
sepatuku, yang memberikan kode Diam,
jangan

berkomentar!

kameraku.

Sepertinya

Aku

kembali

Edmund

ke
tidak

mendengar omonganku barusan. Ia sibuk


mengusap matanya. Ryan lanjut bertanya,
Apa yang menyebabkanmu berpikir
bahwa Rose bunuh diri?
Itu semua sudah jelas. Tali yang
tergantung di dapurnya, lalu kamar yang
berantakan. Ia pasti sangat stress ketika itu,
makanya ia mengacaukan seisi rumahnya.
Lalu, apa yang kau ketahui tentang
Matthew? tanya Ryan.
Matt? Dia dulunya calon suami Eve.
Tapi dia mati karena kecelakaan, jadi, batal
deh. Dia tidak pantas mendampingi Eve.

103

Jurnalis kan uang nya sedikit, heh heh, jawab


Edmund.
Apakah kau tahu bagaimana kondisi
jenazah Matt? Apakah ia benar benar
meninggal karena tertabrak mobil? tanya
Ryan lagi.
Mana

kutahu.

Memangnya

aku

petugas otopsi mayat?


Jawabannya tidak masuk akal, semakin
lama semakin melantur. Kami butuh bukti lebih
banyak, tetapi tidak dari lelaki mabuk ini.
Tuan Edmund, kami sudah merasa
cukup dengan informasi yang kami dapatkan
barusan. Kami masih harus meliput hal lainnya
di lokasi berbeda. Kami mohon pamit, ucap
Ryan.
Ya, ayo kita selesaikan percakapan ini.
Aku juga sudah muak dengan pertanyaan
bodoh kalian. Memangnya siapa yang peduli
pada kematian Rose dan Matt? Ha ha.

104

***
Brengsek

benar

si

Edmund

itu,

ucapku dalam perjalanan kami ke lokasi


selanjutnya.
Omong omong, mau kemana lagi
kita? tanyaku pada Ryan.
Kantor catatan kriminal. Autumn Oak
Boulevard 3 no. 28. Kita akan mengotopsi
beberapa jenazah, jawab Ryan.
Memangnya kita punya surat izin?
tanyaku lagi.
Tenang, semuanya sudah kuatur.
Jadi aku hanya diam dan menambah
kecepatanku menuju kantor tersebut.

105

Bab 10
Kantor yang kami tuju ternyata sebuah
bangunan yang cukup tua. Temboknya kuning
pucat. Jendelanya terlihat kusam. Bangunan
itu bertingkat dua. Luasnya sedang sedang
saja. Di atas pintu depannya tertulis Kantor
Catatan Kriminal. Kami memasukinya.
Kami langsung disambut pemandangan
yang sepi. Di ruang tamu hanya terdapat
sebuah meja resepsionis lengkap dengan
petugasnya yang masih muda. Di kanan kiri
ruangan itu terdapat pintu kayu yang menuju
ke

ruang

berbeda.

Kami

tidak

menghiraukannya. Kami menuju ke meja


resepsionis itu.
Ada

yang

bisa

kubantu?

tanya

petugas itu ramah.


Aku ingin melihat catatan otopsi Rose
McBryant. Dia adikku, jawab Ryan.

106

Oke. Lalu siapa pria muda yang ikut


denganmu ini?
Dia sepupuku yang baru datang dari
luar kota. Ia juga ingin mengetahui kondisi
jenazah Rose, bohong Ryan.
Baiklah.

Boleh

kupinjam

Kartu

Penduduk mu?
Ryan menyerahkan kartunya. Setelah
petugas itu mengecek di komputernya, ia
berkata,
Mari, ikuti aku.
Kami

mengikutinya

ke

pintu

yang

terletak di sebelah kiri ruang tamu. Setelah


pintu itu terbuka, tampak suatu ruang kecil lagi
dan dua buah pintu yang berjejer. Pintu kiri
bertuliskan Catatan Tindak Kriminal Ringan,
pintu kanan tertulis Catatan Otopsi. Petugas
tersebut mengantar kami ke ruang sebelah
kanan. Kami memasukinya.

107

Ruangan tersebut juga sama tuanya


dengan tampak depan gedung ini. Ruangan ini
tinggi, dan cukup luas. Isinya hanya rak rak
dokumen

yang

tersusun

rapi.

Petugas

mengantar kami ke rak berlabel M. Dari Rak


tersebut terdapat laci laci kecil yang diberi
label huruf. Petugas bertanya pada Ryan,
Namamu MacBryant atau McBryant?
McBryant, tanpa A, jawab Ryan.
Petugas itu mencari laci berlabel C.
Setelah menemukannya, ia membukanya dan
dengan mudah mencari data Rose McBryant.
Ini, kau boleh mengeceknya. Aku akan
menunggu disini, kata petugas itu.
Ryan menggumamkan terima kasih
dan membuka dokumen itu. Ia membacanya
sebentar

dan

menyerahkan

dokumen

itu

kepadaku. Ia menunjuk kepada sesuatu yang


tertulis: Tidak ada luka. Hanya lebam di
sekitar leher yang disebabkan oleh cekikan

108

tambang. Jenazah ditemukan pukul 3 sore


oleh tetangganya yang melihat bayangan
korban dari jendela. Ketika ditemukan, korban
masih mengenakan seragam perawat lengkap
dengan sepatunya.
Ini membingungkan, kataku.
Ada yang lain. Disini tertulis bahwa
ruangan

lain

di

rumah

kami

terlihat

berantakan. Diduga bahwa korban mencari


sesuatu yang sangat penting baginya sebelum
bunuh diri, kata Ryan kembali.
Tapi, benda apa itu?
Aku tak tahu. Hari hari sebelum Rose
bunuh diri terlihat baik baik saja. Ia pulang
tepat waktu. Ia tidak terlihat sedih atau yang
lainnya. Jadi, hampir mustahil jika adikku mati
bunuh diri, jawab Ryan.
Lalu aku mengusulkan Ryan untuk
melihat

catatan

kematian

Matt.

Petugas

mengantar kami menuju rak tempat dokumen

109

Matt berada. Ia membuka lacinya dan mencari


dokumen otopsi Matt. Ia menyerahkannya
pada

kami.

menemukan

Kami
fakta

membacanya

bahwa

Matt

dan

memang

meninggal karena tertabrak mobil. Jenazahnya


ditemukan pada pukul lima pagi di suatu
daerah terpencil bernama Janovsky Ville. Ia
ditabrak oleh seorang supir yang mengantuk
saat tengah malam, dan tidak ada saksi mata.
Supir itu sendiri juga meninggal karena
serangan jantung yang terjadi setelah ia
menabrak Matt. Tim otopsi menyatakan bahwa
tubuh Matt dipenuhi luka lebam dan lecet,
seperti pada korban kecelakaan lalu lintas
lainnya. Tetapi pertanyaanku adalah: Apa
yang Matt lakukan pada tengah malam begitu?
Dari mana dia? Mau kemana dia?
Aku mengucapkan hal serupa yang
terlintas di benakku kepada Ryan. Ia tampak
sama

bingungnya

denganku.

110

Dia

juga

bertanya balik: Mengapa ia tidak membawa


kendaraannya sendiri di malam hari seperti
itu?
Semua pertanyaan ini membangkitkan
kembali

semangat

kami

untuk

mengungkapkan kematian kedua orang ini.


Lalu dengan spontan aku bertanya pada Ryan,
Apakah kau pernah mencoba mencari
informasi kepada rumah sakit tempat Rose
bekerja?
Ryan tampak terkejut dan menepuk
dahinya.
Astaga, mengapa tidak pernah terpikir
olehku!

111

Bab 11
Penyelidikan

kami

berlanjut

esok

harinya setelah jam sekolahku dan jam kerja


Ryan sudah berakhir. Kali ini Ryan yang
menjemputku di sekolah. Kami meninggalkan
sekolah dan menuju ke rumah sakit tempat
Rose bekerja dulu, Autumn Breeze Hospital.
Setelah tiga puluh menit perjalanan, kami tiba
di sebuah rumah sakit tua yang dicat coklat
pucat. Rumah sakit ini bertingkat 3, dan dari
luar

terlihat

lebih

mirip

asrama.

Kami

memasukinya. Seorang perawat menyapa


Ryan.
Hai Ryan. Ada apa sehingga kau
mengunjungi rumah sakit tua ini?
Aku butuh sedikit informasi tentang
Rose, jawab Ryan.
Perawat

itu

tampak

bingung.

Ia

memalingkan pandangannya ke arahku. Lalu


ia bertanya,

112

Lalu, siapa pria muda ini?


Aku Nathan. Sepupu Ryan. Dari luar
kota, jawabku. Sekilas aku melihat Ryan
menahan senyum dari sudut mataku. Lalu
perawat itu menjawab,
Oh.

Rose

tidak

pernah

bercerita

tentang kau. Baiklah, Ryan, apa yang ingin


kau ketahui?
Aku ingin tahu apa yang dilakukan
adikku di sini sehari sebelum kematiannya dan
pagi hari sebelum kematiannya, jawab Ryan
tegas.
Baiklah. Aku akan menceritakannya
sebisaku. Ayo ikut aku. Kebetulan ini jam
istirahat.

***
Perawat itu mengantar kami ke ruang
konsultasi kosong. Ia duduk di kursi besar
yang biasanya ditujukan untuk dokter. Kami

113

berdua menduduki kursi pasien. Lalu perawat


itu membuka mulutnya.
Sehari sebelum kematiannya, Rose
tampak baik baik saja. Itu paginya. Di siang
hari, ia mendapat kiriman tiga belas tangkai
bunga mawar merah dari orang tak dikenal. Di
bunga itu terdapat sepucuk surat. Aku tidak
tahu apa isinya. Setelah membacanya, Rose
tampak

lemas.

Tetapi

ia

berusaha

menyembunyikan perasaannya. Tidak satu


orang pun di rumah sakit tahu apa yang ia
rasakan, termasuk aku. Ia membawa pulang
mawar itu. Ia pulang berjalan kaki.
Aku tidak melihat Rose membawa
pulang mawar itu, ucap Ryan.
Entahlah, aku tak tahu dikemanakan
mawar itu. Tapi aku ingat benar bahwa Ia
membawanya pulang, jelas perawat itu.
Lalu,

ceritakan

padaku

pagi

sebelum Rose meninggal, pintaku sopan.

114

hari

Ia datang ke rumah sakit dengan wajah


kelelahan. Tapi ia tetap menyapa seisi rumah
sakit. Sekitar pukul sepuluh pagi, ia menerima
sebuah

panggilan

di

ponselnya.

Ia

menjawabnya sebentar, lalu menutupnya. Ia


terlihat panik.
Sebentar. Apakah kau tahu siapa yang
menelponnya? tanyaku.
Tidak.
ponselnya.

Ia

segera

Kutebak

menyembunyikan

bahwa

penelpon

itu

menghubungi Rose terus menerus. Hingga


pada

pukul

satu

siang,

seseorang

menelponnya kembali, kali ini lewat telepon


rumah

sakit.

Rose

mengangkatnya,

dan

percakapan di telepon tersebut merubah raut


wajahnya menjadi sangat cemas. Ia pucat dan
penuh keringat. Ia segera mengambil tasnya
dan pulang. Ketika kutanyai ada apa, ia
menjawab

bahwa

tetangganya

115

menelpon,

Rose lupa mematikan kompor di rumahnya. Ia


pulang menaiki bis kota.
Cerita berakhir disana. Kami sudah
tahu kelanjutannya. Suatu akhir yang pahit
bagi Rose. Aku bertanya lagi.
Apakah Rose menggunakan tas yang
sama selama dua hari terakhir tersebut?
Tidak. Sehari sebelum kematiannya, ia
mengenakan sebuah tas hitam kulit. Pagi hari
sebelum kejadian itu, ia mengenakan tas kulit
cokelat muda, jawab perawat itu.
Aku bertanya kepada perawat itu,
Satu hal lagi. Apakah kau masih ingat
dengan Matthew? Pasien yang kau rawat
dengan Rose, yang tewas karena kecelakaan
mobil tujuh belas tahun lalu?
Apakah kalian memiliki relasi dengan
orang ini? tanya si perawat.

116

Kami teman dekatnya. Percayalah,


kematian Rose ada kaitan eratnya dengan
kematian Matt, jawab Ryan.
Perawat

itu

diam

sejenak,

lalu

aku

mengingatnya.

menjawab,
Sepertinya

Kondisinya sangat parah pada saat itu.


Apakah
diucapkannya

kau

ingat

kepada

sesuatu

yang

Rose?

Atau

kepadamu?
Tidak. Ia tidak mengatakan apapun. Ia
hanya mengerang kesakitan. Aku sangat
kasihan padanya saat itu, jawab si perawat.
Apakah kau ingat persis bagaimana
kondisi Matt saat itu?
Ia

diam

sejenak,

mengeluarkan

saputangan dari kantongnya dan mengusap


keringat di dahinya. Lalu ia melanjutkan,
Kucoba ingat sebisaku. Tubuhnya luka
parah, goresan aspal. Di wajahnya banyak

117

terdapat

baret

dan

lebam.

Pergelangan

tangannya sedikit lebam kebiruan. Matanya


juga lebam, ya, yang sebelah kiri jika tak
salah.
Aku dan Ryan terdiam untuk berpikir
sejenak. Ini membingungkan. Kondisi jenazah
Matt menunjukkan ia sempat terluka sebelum
ditabrak

truk

itu.

Namun,

apa

yang

dilakukannya malam malam begitu sehingga


menyebabkan kondisi yang demikian?
Lalu perawat itu mengalihkan topik,
Apa

kau

pernah

bertanya

pada

tetanggamu, Ryan? Mengenai Rose


Ya. Mereka tidak tahu apa apa. Yang
mereka ingat hanya melihat bayangan hitam
menggantung di dapur. Mereka menggedor
gedor pintu rumah kami, dan mendobraknya.
Mereka ke dapur dan melihat jenazah Rose
sudah tergantung.
Dengan spontan aku berkata,

118

Ryan, ayo kita ke rumah Rose lagi.


Aku teringat sesuatu. Nyonya perawat, terima
kasih

atas

penjelasanmu

yang

sangat

membantu.
Sama sama, nak. Aku berharap
kasus kematian Rose dapat terselesaikan
dengan baik. Dia adalah orang yang sangat
baik, jawab perawat itu.

***
Kami meninggalkan Autumn Breeze
dan menuju ke Bangaley 4th Street, rumah
masa lalu Ryan dan Rose. Sesampainya kami
disana, aku langsung turun dari motorku dan
masuk lewat pintu belakang rumah yang tidak
disegel. Rasa lapar di perutku tidak lagi aku
hiraukan. Aku membuka pintu dan hipotesisku
benar. Ada yang janggal di ruangan itu.
Jika

Rose

memang

gantung

diri,

mengapa tidak ada bangku terguling di bawah

119

tali

tambang?

Tidak

mungkin

seseorang

gantung diri tanpa memanjat bangku terlebih


dahulu.
Lalu, aku mengeluarkan saputanganku
dan melihat alat pengukur kadar gas. Jarum
menunjukkan ke indikator maksimum, yang
menandakan bahwa gas tidak bocor dan
kompor tidak dibiarkan menyala pagi hari itu.
Aku beranjak ke ruang tamu, dimana
terdapat tiga belas tangkai mawar merah di
dalam vas. Tetapi tidak ada surat disana.
Kamar Ryan tidak tersentuh sama
sekali. Ketika kumasuki, kamar itu sangat rapi.
Tentunya hal ini sangat janggal dibandingkan
dengan kamar Rose yang seperti kapal pecah.
Aku juga memeriksa kembali kamar
tidur Rose. Laci mejanya jatuh ke lantai,
semua

isinya

berhamburan.

Meja

buffet

berantakan, dan ujung cerminnya sedikit retak.


Aku mendorong meja buffet itu sedikit untuk

120

melihat

sebuah

benda

berkilau

di

belakangnya. Selapis silet tergeletak di balik


meja buffet itu. Silet itu sedikit terkena noda
darah. Aku mengambilnya dengan tisu dan
menyelipkannya,

lalu

memasukkannya

ke

sakuku.
Aku

beranjak

menuju

lemari

yang

berada di samping meja buffet. Pintu lemari


terbuka lebar. Aku melihat ke dalamnya.
Aku

melihat

tas

hitam

kulit

yang

dibicarakan perawat itu. Dengan hati hati,


aku membongkar isinya. Aku melihat secarik
kertas bertuliskan Sebuah rahasia dapat
membunuh dirimu sendiri. Kutebak itu adalah
kertas dari bunga mawar yang dikirimkan
tersebut. Aku mengantonginya dan mengamati
lemari kembali.
Di

atas

tumpukan

baju

terdapat

cekungan seperti seakan akan ada yang

121

pernah duduk di dalam lemari itu untuk waktu


yang cukup lama.
Itu dia. Ada yang pernah duduk di
dalam

lemari

itu,

bersembunyi,

sambil

menunggu Rose pulang. Seorang pembunuh


menunggu di dalam lemari itu.

122

Bab 12
Yang kulihat selanjutnya adalah tatapan
penuh

amarah

menceritakan

di

mata

semua

Ryan.

penemuanku

Aku
di

rumahnya. Ditambah lagi, penemuan silet di


balik meja buffet dan secarik kertas di dalam
tas hitam Rose. Semua hal ini menjadi lebih
jelas. Rose tidak bunuh diri. Ia dibunuh. Tapi
pertanyaan kami adalah: siapa pembunuhnya?
Kami hening sejenak selama 10 menit.
Kami terlalu sibuk memikirkan kaitan dari hal
hal janggal yang kami temukan di rumah ini.
Lalu, Ryan bertanya,
Darah siapa yang ada di silet itu?
Bukan darah Rose. Kau ingat, catatan
otopsi menyebutkan bahwa tubuh Rose tidak
terluka sama sekali, jawabku.
Percakapan

kami

terputus

setelah

peryataanku tadi. Kami keluar dari rumah itu.


Langit sudah gelap. Aku harus pulang. Aku

123

meninggalkan rumah itu bersama Ryan. Aku


mengantarnya

pulang,

dan

ia

berpesan

padaku untuk selalu berhati hati, dan


gunakan waktu untuk beristirahat.
Aku

meninggalkan

rumahnya

dan

pulang. Sesampainya di rumah, aku disambut


ibu yang sangat cemas akan kepulanganku
yang

terlalu

telat.

menyembunyikan

Aku

berusaha

kelelahanku

dengan

menghibur ibu yang panik bukan main. Aku


makan banyak malam itu, agar ibuku tidak
cemas lagi jika aku kelaparan.
Sesudah kenyang, aku naik ke loteng,
merebahkan

tubuhku

di

kasur,

dan

memejamkan mata. Sial. Aku teringat akan


tugasku yang menumpuk. Aku bangun, cuci
muka, dan mengerjakan tugasku. Dua jam
kemudian, aku tidak tersadar dan tertidur
pulas.

124

***
Pagi harinya, aku terbangun dengan
posisi kepala yang terkulai di meja. Untungnya
pagi itu aku tidak telat, hanya, tugasku menjadi
kusut. Namun apa boleh buat, aku segera
mandi,

membereskan

meja

belajar,

memasukkan segala yang ada ke tasku, dan


turun. Aku sarapan dengan cepat, dan pergi.
Aku sampai di sekolah. Grace sudah
menunggu

di

bangku

depan

kelas.

Ia

tersenyum padaku. Aku duduk di sampingnya.


Ia bertanya,
Bagaimana kemarin?
Aku merasa seperti detektif paling
keren di kota ini, jawabku.
Yang serius, Nat, tegurnya.
Baiklah.

Sangat

banyak

hal

yang

kutemukan kemarin, bisa sampai sore bila


kuceritakan.
Ceritakan sedikit saja, please?

125

Aku

menceritakan

pada

Grace

bagaimana semua ini begitu ruwet. Aku


bercerita bagaimana aku dan Ryan menipu
Edmund, kunjungan kami ke Kantor Catatan
Kriminal, pembicaraan kami dengan perawat
di rumah sakit, dan penemuan penemuan
janggal kami di rumah lama Rose. Grace
menanggapinya

dengan

mengelus

punggungku.
Kasus ini terlihat semakin ruwet, Nat.
Kuharap kau bisa menjaga dirimu. Aku tak
ingin hal buruk terjadi padamu, katanya
sambil menatapku.
Ya, Grace. Aku akan menjaga diri.

***
Pulang sekolah, aku menuju gerbang
sekolah dengan menggenggam tangan Grace.
Namun, aku telah disambut oleh Ryan. Ia

126

parkir

tepat

di

depan

gerbang

dengan

mobilnya.
Nat, kurasa kau harus ikut aku. Ada hal
yang harus kutunjukkan padamu, katanya.
Tapi, aku ada janji dengan Grace,
bung, jawabku.
Oh, oke, tak apa. Kalian jalan saja
berdua, aku mau mengerjakan pekerjaan
rumahku, sanggah Grace.
Hei, Grace, bagaimana jika kau ikut
saja? tawar Ryan.
Aku menatap tajam Ryan, ia hanya
tersenyum. Sedangkan Grace menatap kami
dengan pandangan penuh ketertarikan. Ia pun
menjawab,
Baiklah jika kalian mengizinkan.

***
Kami

naik

ke

mobil

Ryan

dan

berkendara cukup jauh, sekitar dua jam dari

127

sekolah kami. Kami berhenti di suatu jalan


sepi yang sesekali dilewati truk truk besar
yang menuju kota tetangga. Di sisi jalan,
pepohonan menghiasi. Kami turun dan berdiri
di tepi jalan. Ryan membuka mulutnya,
Kita telah sampai di lokasi kematian
Matt. Kita berdiri persis di tempat truk
menabrak Matt dan menewaskannya.
Aku

menatap

jalan

tersebut.

Aku

membayangkan ketika Matt berlari tak tentu


arah dan sebuah truk yang melintas menjadi
hal terakhir yang dilihatnya. Satu satunya hal
yang tidak masuk akal adalah apa yang Matt
laukan pada malam selarut itu? Pasti ada
sesuatu yang menyebabkan ia berlari ke
jalanan dan menabrak truk itu.
Aku
melihat

ke

memandang
arah

sekelilingku.

pepohonan.

Aku

Naluriku

mengatakan bahwa ada sesuatu disana. Aku


berjalan kearahnya.

128

Nat, apa yang kau lakukan? tanya


Grace.
Aku

ingin

mengecek

sesuatu,

jawabku.
Aku berjalan diantara pepohonan. Di
tanah terdapat jalan setapak yang sudah lama
tidak dipakai, tampak dari lebatnya rumput
yang tumbuh di atasnya. Aku tetap mengikuti
jalan tersebut. Grace dan Ryan mengikutiku.
Kami berjalan cukup lama, sekitar 45 menit,
sampai kami menemukan sebuah pondok tua
kecil nan bobrok yang dibangun di tengah
tengah pepohonan ini. Rasa ingin tahuku
bertambah. Aku memasukinya.
Pondok

itu

berbau

sangat

apak.

Atapnya sudah bolong bolong. Dindingnya


akan runtuh hanya dengan sentilan anak kecil
sekalipun. Di tengah tengah pondok itu
terdapat sebuah kursi yang terguling dan
sebuah

meja

kayu

129

jelek

yang

dibuat

sembarangan. Di atas meja itu ada beberapa


botol kaca bekas, sebuah pisau, dan sebuah
kain lap lusuh. Aku mencium mulut botol itu.
Baunya sudah tidak tercium lagi. Tetapi dari
bentuknya, kutebak itu adalah botol alkohol.
Dan di kursi yang terguling tersebut,
terikat tali tambang kecil yang dipotong
sembarangan.

Pondok

ini

seperti

bekas

tempat sandera. Tetapi, mengapa pondok ini


berada cukup dekat dengan lokasi kejadian
kecelakaan Matt? Apakah semua hal ini ada
kaitannya?
Nat, pondok ini sangat mencurigakan.
Mengapa segala hal yang berada di pondok ini
terasa seperti ada kaitannya dengan lokasi
kecelakaan Matt? tanya Grace.
Aku menggelengkan kepala dan keluar
dari pondok itu karena tak tahan dengan bau
apaknya. Grace dan Ryan juga keluar dari
pondok itu. Ryan mengambil beberapa foto

130

dari pondok itu dan mengajak kami pergi dari


pondok itu. Kami melewati jalan yang sama
seperti waktu kami datang.
Tiba tiba kepalaku pusing. Aku segera
mencari cari pohon terdekat untuk menjadi
penahan agar aku tidak jatuh. Pusing itu
semakin lama semakin terasa sakit. Lalu, aku
melihat semuanya menjadi gelap. Pepohonan
terasa

seperti

bayangan

hitam.

Nafasku

tersengal sengal. Aku merasa seperti berlari


diantara pepohonan ini. Aku berlari dan terus
berlari. Aku mendengar suara gaduh di
belakangku. Seseorang mencoba mengejarku.
Bukan, bukan seseorang. Beberapa orang.
Aku terus berlari mengikuti jalan setapak di
bawahku. Badanku terasa nyeri. Lalu, aku
melihat

jalan

raya.

Aku

mempercepat

langkahku, dan berteriak sekeras mungkin,


berharap

seseorang

menyelamatkanku.

mendengarnya
Lalu,

131

rasa

dan
sakit

menyerangku. Aku merasa terhempas dari


tempatku berdiri. Aku membuka mata, dan
semuanya menjadi terang kembali. Rasa
pusing itu masih membekas di kepalaku. Aku
merasakan seseorang memegang lenganku.
Grace menahanku agar tidak jatuh.
Matanya berkaca kaca. Lalu ia memelukku
sambil terisak kecil.

132

Bab 13
Kami pergi meninggalkan lokasi itu. Aku
duduk

bersama

Grace

dibelakang,

Ryan

menyetir. Aku memeluk Grace dengan erat. Ia


tertidur di pelukanku. Aku merasa sangat
nyaman memeluknya. Rasa sakitku yang tiba
tiba muncul tadi menghilang. Semuanya
tergantikan oleh hangatnya tubuh Grace. Kami
berjalan sekitar satu jam dan berhenti di
sebuah rumah makan. Grace bangun, dan
kami semua turun dari mobil.
Kami memasuki rumah makan itu dan
memesan

tiga

buah

burger

besar

dan

melahapnya.
Nathan, ini saatnya membicarakan hal
di hutan tadi. Apa yang kau rasakan? tanya
Ryan tiba tiba.
Dj vu. Bayangan itu kembali lagi.
Semuanya terasa sangat jelas. Aku merasa
seperti baru melarikan diri dari suatu tempat di

133

tengah hutan itu. Lalu aku tertabrak sesuatu


yang sangat besar. Badanku sakit, jelasku.
Suasana hening kembali. Ryan terlihat
seperti memikirkan sesuatu. Lalu ia membuka
mulutnya.
Aku menemukan sesuatu di rumah
lamaku, katanya sambil menyerahkan suatu
benda yang terlihat seperti kotak CD ke
hadapanku.

Aku

mengambilnya

dan

mengamatinya. Terdapat tulisan Voice Record


053.
CD apa ini? tanya Grace.
Itu bukti terkuat yang kita miliki. CD itu
berisi rekaman pembicaraan Edmund dengan
rekannya. Aku menemukannya di lemari baju
Rose, di tumpukan paling bawah baju
bajunya. Kutebak ini adalah CD cadangan
milik Rose. Satunya lagi pasti sudah diambil
oleh pembunuhnya. Aku ingat ketika dulu
Grace pulang kerja dan membawa dua kotak

134

CD yang sama persis di tangannya. Aku


sudah mendengarkan isinya, jawab Ryan.
Baiklah. Akan aku periksa, jawabku
sambil memasukkannya ke dalam kantong
jaketku, jawabku.
Lalu, ini satu lagi, ucap Ryan kembali
sambil

memberikanku

kotak

CD

yang

bertuliskan Voice Record 076 Edmund.


Ini

hasil

wawancara

kita

dengan

Edmund. Ini kopiannya, jelas Ryan.


Aku

mengambilnya

dan

memasukkannya ke dalam kantong.


Semuanya terasa makin jelas. Kita
dapat membongkar kasus ini, Nat, ucap
Ryan.
Aku menganggukkan kepala sebagai
bentuk persetujuan. Lalu aku menghabiskan
makananku dan mengajak mereka pergi dari
rumah makan itu. Kurasa semuanya sudah
cukup untuk hari ini. Ryan mengantar Grace

135

dan aku pulang ke rumah kami masing


masing. Sesampainya di rumah, aku langsung
merebahkan tubuhku ke kasur dan terlelap.

***
Esok paginya, aku terbangun pada
pukul empat pagi. Setelah mencoba tidur lagi
beberapa kali, aku terjaga sepenuhnya. Aku
mencuci mukaku, dan tiba tiba teringat pada
CD di kantong jaketku. Aku menyalakan
komputer dan memutar rekaman wawancara
kami dengan Edmund. Aku mendengarkan
dengan seksama. Semuanya terasa jelas di
CD ini. Suara Edmund tidak menunjukkan
kebohongan. Setelah mendengarkan hingga
selesai, aku beralih ke CD milik Rose. Aku
memutarnya dan mempersiapkan telingaku.
Muncul suara samar seorang lelaki yang tidak
asing bagiku. Ia mengatakan sesuatu yang

136

samar, seakan akan hal yang dikatakannya


sangat rahasia.
Uang yang kau terima sudah lebih dari
cukup, babi!
Kami tak mau melakukan apa yang
kau mau kecuali kau menambah bayaran
kami, jawab sebuah suara asing yang berat
dan sedikit serak.
Memangnya

untuk

apa

sih

uang

sebanyak itu?
Tidak perlu banyak tanya. Kami tak
mau membunuh kecuali kau membayar lebih.
Kau butuh berapa?
Terjadi hening sesaat. Lalu suara berat
dan serak itu menjawab,
Dua belas ribu dolar,
Baiklah. Aku akan menulis cek nya.
Tapi aku mau si Matthew itu benar benar
mampus. Kalian tak boleh meninggalkan bukti
dan jejak apapun.

137

Aku menelan ludah ketika suara itu


berkata demikian. Aku telah menemukan
pembunuh Matt. Tetapi, suara siapa di dalam
CD ini.
Aku

tak

membunuhnya

peduli

dimana.

kalian

Yang

ingin

terpenting,

lokasi itu harus benar benar jauh dari kota,


suara serak itu melanjutkan.
Rekaman

selesai.

Aku

langsung

menduplikat rekaman itu ke komputerku dan


memasukkan kembali CD sebelumnya. Aku
mendengarkan suara ketika Edmund sedang
mabuk. Suara Edmund dan suara serak itu
berbeda. Aku bisa saja menyimpulkan bahwa
Edmund bukan pembunuhnya. Tetapi aku
memiliki praduga kuat bahwa Edmund lah
yang membunuh Matt.
Aku menduplikat kembali rekaman itu
dan mematikan komputerku. Aku segera

138

mandi dan bertukar pakaian. Aku turun dan


mengendarai motorku menuju rumah Ryan.
Jam

tanganku

menunjukkan

pukul

setengah enam pagi. Aku sudah tiba di rumah


Ryan. Aku mengetuk pintunya dan segera
disambut wajah Ryan yang masih sembab.
Ini masih pukul setengah enam, Nat.
Apa yang kau lakukan?
Bisa

jadi

pembunuh

Matt

bukan

Edmund. Rekaman tersebut tidak mengarah


padanya.
Kita bisa bicarakan hal itu nanti siang,
Nat jawab Ryan sambil menutup pintu.
Aku menahannya dan berkata,
Aku memilih bergerak cepat, Ryan.
Apakah kau mau jika pembunuh Rose & Matt
bergerak lebih cepat dari kita? Apakah kau
mau jika pembunuh tersebut tahu tentang kita
dan berhasil menghilangkan bukti yang ada?

139

Ryan menyerah. Ia membuka pintunya


dan memberikan kode kepadaku untuk masuk
ke ruang tamunya. Aku duduk disana dan
mulai melanjutkan.
Kau

dengar

suara

lelaki

yang

membayar pembunuh itu? Suaranya berbeda


dengan suara Edmund.
Ya, kau benar.
Tapi aku curiga bahwa Edmund lah
yang membunuh Matt. Dan Rose.
Nat, kau pasti tahu, menuduh orang
tanpa

bukti

yang

kuat

sama

seperti

mengarahkan pistol ke kepalamu sendiri. Kau


tidak bisa menuduh Edmund sembarangan,
jawab Ryan.
Aku hanya bisa tertunduk diam, dan
menyetujui betapa benar ucapan Ryan.
Menurutmu, apakah pembunuh Rose
dan Matt adalah orang yang sama? tanyaku
pada Ryan.

140

Ia terdiam. Lalu setelah sekian saat, ia


menjawab,
Aku tak tahu. Bisa saja pembunuh
Rose dan Matt adalah dua orang yang
berbeda. Jika itu benar, artinya kematian Rose
dan Matt tak ada hubungannya. Tetapi hal itu
hampir mustahil karena bukti bukti yang
telah kita temukan. Bukti bukti itu saling
berkaitan.
Dan satu hal lagi. Ketika kita kembali
ke rumahku yang lama, aku membongkar tas
Rose. Aku menemukan ini, sambung Ryan.
Ia
memegang

menjulurkan
sebuah

tangannya

buku

tabungan.

yang
Aku

mengambilnya dan membukanya. Di halaman


pertama tertulis nama Rose McBryant.
Langsung saja ke halaman terakhir,
Nat, ujar Ryan.
Aku membuka halaman terakhir dan
terkejut dengan apa yang tertulis disana. Aku

141

memeriksa beberapa halaman sebelumnya,


dan tertulis pula detail yang sama.
Aku sama terkejutnya ketika membaca
buku tabungan itu. Selain itu, aku sempat
berkunjung ke kantor telekomunikasi. Aku
mengecek beberapa panggilan terakhir Rose
dari

telepon

genggamnya

sebelum

ia

meninggal. Dan hasilnya seperti ini.


Aku mengambil kertas yang diulurkan
Ryan kepadaku. Kertas itu berisi laporan
panggilan. Halaman kertas itu terisi penuh
dengan tulisan tulisan kecil hasil mesin
pencetak. Aku menyipitkan mataku untuk
membaca dengan fokus.
Beberapa

jam

sebelum

Rose

meninggal, ia sempat menghubungi polisi,


namun hanya dua detik. Kurasa ia tidak jadi
menelponnya. Tetapi, mengapa? Sebelum ia
menelpon polisi, sebuah nomor tak dikenal
juga menelponnya berkali kali, tapi tercatat

142

bahwa Rose menolak panggilan itu. Aku


bicara pada Ryan.
Apakah kau pernah melacak nomor
ini? Maksudku, apa kau tahu dia siapa?
Aku

pernah

menanyakannya

tapi

nomor

itu

polisi,

tidak

pada

terdaftar

di

kepolisian, sehingga tidak dapat kami lacak.


Pembicaraan

kami

terhenti

dengan

bunyi jam. Aku harus segera pulang. Aku


mengembalikan kertas dan buku tabungan itu
kepada

Ryan.

Namun

sebelumnya,

aku

mencatat nomor itu di telepon genggamku.


Aku pamit pulang dan mengendarai motorku
menuju rumah. Aku segera berganti pakaian,
sarapan, dan pergi ke sekolah.

***

Pelajaran hari ini berlangsung seperti


biasa. Namun pikiranku tetap saja melayang

143

kemana mana. Aku terlalu sibuk memikirkan


Rose, Matt, dan pembunuhnya.
Setelah bel berbunyi, tidak seperti
biasa, aku tetap duduk di kursiku. Grace
menghampiriku. Ia duduk di depan mejaku dan
menatapku

sambil

tersenyum.

Aku

membalasnya dan kami diam seperti sedia


kala. Grace mengusap tanganku, dan mulai
berkata sesuatu.
Nat? Kau baik baik saja?
Ya. Aku baik.
Nat, ada hal yang ingin kusampaikan
kepadamu.
Perasaanku jadi tak enak. Namun aku
tetap menjawab,
Apa itu?
Aku merasa kau terlalu sibuk dengan
kasus Rose dan Matt. Maksudku, kasus itu
memang perlu diselesaikan, tapi, kau terlihat
sangat obsesif kepada kasus itu. Kau lupa

144

makan, tidur, kau lupa hal hal penting


lainnya. Dan, kau seperti melupakan aku,
Grace menjelaskan dengan suara pelan.
Aku terdiam. Aku tidak dapat berpikir
jernih dengan kata kata Grace barusan. Lalu
aku menjawab omongannya.
Aku tidak melupakanmu, Grace. Aku
hanya ingin masalah ini selesai. Aku tidak
pernah mendiamkanmu, Grace.
Ya, aku mengerti. Mungkin aku cukup
egois karena memikirkan diriku sendiri. Tapi,
aku tidak bisa seperti ini terus, Nat. Aku tidak
bisa hanya diam sendiri, tidak menceritakan
masalahku sendiri kepada orang yang paling
kupercaya, dan melakukan hal hal lainnya
bersamamu. Hubungan ini terasa seperti,
hambar.
Grace, tolong jangan berkata seperti
itu.

Aku

berjanji

memperhatikanmu, jawabku.

145

akan

lebih

Maaf,

Nat.

tapi

hubungan

kita

sepertinya memang tidak akan berjalan lancar.


Aku

lebih

merasa

nyaman

sebagai

sahabatmu. Bagaimana kalau kita sudahi?


Aku terdiam. Mulutku terasa seperti
terjahit. Badanku membatu. Aku tidak mampu
berkata apapun. Aku menunduk, tenggelam
dalam

kekesalanku

sendiri.

Lalu

Grace

melanjutkan perkataannya.
Nat, tolong jangan marah. Aku tidak
bermaksud hal ini harus terjadi. Tapi, aku
sungguh merasa hubungan ini harus berhenti
disini.
Aku

mendengar

isakan

kecil

di

suaranya. Aku menatapnya. Matanya sudah


mulai berkaca. Lalu aku menjawabnya.
Baiklah. Kita tetap menjadi sahabat?
Grace tersenyum dan mengangguk.
Lalu dengan perlahan, ia mengendurkan
pegangan tangannya dan pergi meninggalkan

146

kelas. Tepat sebelum ia keluar dari kelas, ia


mengusap matanya dan terisak.
Aku merasa seperti pecundang besar.
Aku tahu, hubungan kami tidak akan baik
selanjutnya.

Aku

kembali

tertunduk

dan

meneteskan air mataku karena kebencianku


pada diri sendiri. Aku menghilangkan gadis
yang paling kusayangi dalam hidupku.

147

Bab 14
Aku segera membanting pintu kamarku
sesampainya

aku

menenggelamkan

di

kamar.

wajahku

ke

Aku
dalam

tumpukan bantal. Perasaanku terlalu kacau


untuk hari ini. Aku memilih untuk tidur sejenak.
Baru sekitar lima belas menit aku
berbaring, telepon rumahku berdering dan
terdengar suara ibu yang menjawab telepon.
Setelah

berbicara

singkat,

ibu

menutup

telepon dan aku mendengar langkah kaki


menuju kamarku. Ibu membuka pintu kamarku
dengan ekspresi panik. Ia berkata,
Nat, kau dan ibu akan ke Autumn
Breeze Hospital sekarang. Ayo, cepat!
Ada apa, bu? Apa yang terjadi?
Ayah.

Koma

disana.

Seseorang

menembaknya.
Aku terkejut dan butuh beberapa detik
sebelum akal sehatku kembali. Aku segera

148

mengambil ponsel dan dompetku, dan segera


turun ke bawah. Aku mengambil kunci mobil
dan pergi bersama ibu.
Sesampainya di sana, kami tidak perlu
menanyai dimana ayah. Kami segera berlari
ke ICU dan benar saja. Ayah berbaring lemah
di ranjang rumah sakit. Bahunya berlumuran
darah, selain itu, ayah baik baik saja. Untung
bahunya, pikirku. Nyaris sekali.
Seorang perawat keluar dari ICU dan
tanpa kami tanyai, ia langsung mengatakan
bahwa ayah kekurangan darah. Ia meminta
donor darah. Aku segera mengajukan diri. Aku
mengikutinya ke ruang pengecekan darah.
Setelah mengikuti cek darah dan menunggu
hasilnya

selama

lima

belas

menit,

aku

dinyatakan dapat mendonorkan darah kepada


ayah.
Sebuah jarum menusuk nadiku dan
menyedot sejumlah darah yang mengalir

149

didalamnya. Aku merasakan darah di lengan


kiriku tersedot perlahan. Kurang dari sepuluh
menit, kantong darah telah terisi penuh.
Lukaku langsung di tutup dengan kapas dan
aku diberikan sepiring kecil telur setengah
matang. Aku memegangnya di tanganku dan
memandanginya. Aku tak butuh apapun. Yang
kuinginkan hanyalah kesembuhan ayah.
Aku menelan telur itu dan keluar
menemui ibu. Ibu memelukku. Ia menangis
kecil. Aku mengusap rambutnya yang halus. Ia
berbisik padaku,
Ibu belum siap kehilangan ayahmu.
Tidak, bu. Semuanya akan baik baik
saja. Ayah akan sadar dan kembali sperti
semula. Aku janji, jawabku menenangkan ibu.
Johny, supir ayah, menghampiri kami.
Ia berkata,
Nat?

150

Tidak disini, Johny. Ayo kita pergi ke


tempat lain, jawabku.
Aku meninggalkan ibu di kursi depan
ICU. Aku dan Johny beranjak menuju lorong di
ujung rumah sakit. Ia membuka pembicaraan
kami.
Ada yang menembaknya.
Aku tahu itu. Ada hal lain?
Ayahmu baru pulang dari kantornya
dan beranjak ke mobil. Lalu suatu peluru
melukainya di bahu. Kami melihat lihat
sekitar, dan tidak menemukan penembak itu.
Ia pasti penembak yang sangat jitu sehingga
dapat menembak dalam jarak yang cukup
jauh, sehingga kami sulit mencarinya.
Kau

tidak

lihat

hal

lain

yang

mencurigakan? tanyaku.
Kami mengecek semua kendaraan
yang keluar dari kawasan kerja. Tidak ada hal
lain.

151

Bagaimana dengan
Nat,

kami

sudah

memeriksa

semuanya, potong Johny.


Aku terdiam kecewa. Aku yakin bahwa
Ayah akan bertahan. Tetapi penembakan ini
terkesan

seperti

suatu

peringatan

akan

sesuatu yang kulakukan. Kepalaku terasa


berputar. Aku segera merebahkan diri di
bangku terdekat.
Lalu, aku mendengar suara langkah
kaki mendekat. Ketika kulihat dengan jelas,
sosok

itu

memelukku

adalah
di

Grace.

bangku

Ia

langsung

tersebut.

Johny

meninggalkan kami berdua di lorong rumah


sakit tersebut. Grace berbisik padaku.
Ayahmu orang yang hebat. Dia pasti
bisa bertahan.
Aku

tidak

menjawab

perkataannya.

Dengan spontan, aku meneteskan airmata.


***

152

Setelah menunggu selama tiga puluh


menit, namaku dipanggil oleh seorang perawat
gemuk. Ia memintaku untuk masuk ke ruang
dokter.

Aku

menuruti

perkataannya

dan

menunggu sebentar di ruang tersebut. Lalu


seorang dokter memasuki ruang tersebut dan
duduk di kursi di seberang meja di hadapanku.
Ia menyalamiku dan berkata.
Selamat siang, Nathan. Aku dr. Jen.
Aku berbicara padamu karena ibumu terlalu
lelah untuk membicarakan hal ini. Baiklah, aku
akan langsung ke topik pembicaraan kita.
Aku memberikan persetujuan berupa
sebuah anggukan kepala.
Ayahmu akan baik baik saja. Peluru
mengenai tulang bahunya dan tidak akan
membuat lengan beliau lumpuh. Ia sudah
sadar diri. Ia dapat pulang dan melanjutkan
aktivitas seperti biasa setelah tiga hari rawat
inap.

153

Aku membalas perkataannya dengan


senyum kecil. Lalu ia melanjutkan.
Selain itu, operasi kami berlangsung
dengan

lancar.

Dan

kami

berhasil

mengeluarkan peluru ini.


Dokter mengulurkan tangannya yang
menggenggam sebuah sapu tangan putih. Aku
mengambilnya dan membuka isinya. Terlihat
seperti sebuah peluru kuningan yang terukir
tulisan di sekelilingnya.
Disana tertulis No verita nel mondo.
Aku merasa pernah membaca tulisan ini. Aku
berusaha keras mengingat setiap bacaan yang
pernah kubaca. Aku mulai teringat. Tulisan ini
muncul di suatu artikel online tentang orang
tak asing yang pernah kubaca. Ini adalah
prinsip hidupnyanya, yang berarti Tidak ada
kebenaran dalam hidup. Lalu dokter mulai
berkata kembali.

154

Tidak semua peluru memiliki tulisan di


atasnya, Nat. Dahulu, kami pernah menerima
pasien yang mengalami hal serupa dengan
ayahmu. Di peluru yang bersarang di otaknya,
tertulis

hal

yang

kematiannya

tak

sama.

Namun

pernah

kasus

terpecahkan.

Pembunuh menyimpan rahasianya dengan


sangat rapat. Bahkan seorang detektif sangat
kesulitan membongkarnya.
Jika aku boleh tahu, siapa korban
tersebut, dok? tanyaku penasaran.
Untungnya aku sudah menyiapkan
berkasnya. Silahkan melihat lihat. Kuharap
kau menemukan apa yang kau cari. Aku masih
harus menangani pasien lain. Asistenku akan
menemanimu. Permisi.
Doktre

Jen

tersenyum

dan

meninggalkan ruangan. Lalu seorang wanita


muda masuk ke ruangan dan tersenyum
padaku.

Ia

merapikan

155

kertas

keertas

dokumen diatas meja dan memeriksa isi


kontainer. Aku mulai membuka dokumen
pasien tersebut.
Tertulis bahwa namanya adalah Harlow
Black. Ia bekerja di Galaxy City Office. Dan
aku teringat bahwa gedung itu milik Edmund
Carey. Aku melanjutkan membaca. Pasien
ditemukan di Little Asia Avenue, setelah
seorang wanita lansia menelpon rumah sakit.
Dan aku teringat kembali bahwa tempat itu
berada hanya tiga blok dari caf tempat aku
dan Ryan mewawancarai Edmund.
Aku melihat lihat kembali dokumen
itu. Aku menemukan foto pasien tersebut. Dan
benar saja, aku ingat akan wajah ini. Wajah
tak asing yang memandangi kami selama
wawancara berlangsung.

156

Bagian 4

Kejatuhan

157

158

Bab 15
Aku menarik gas motorku lebih keras.
Aku segera berkendara ke rumah Ryan, untuk
mengungkapkan apa yang kutemukan di
rumah sakit. Aku mencapai rumahnya pada
sore hari. Aku segera menekan bel rumahnya,
dan segera disambut oleh wajah ramah Marie.
Nyonya Marie, Ryan ada? tanyaku.
Eh, ada. Ia sedang makan. Ada apa,
Nat? tanyanya kembali.
Aku

perlu

berbicara

dengannya,

jawabku cepat.
Marie langsung mempersilahkan aku
masuk. Aku segera menghampirinya di meja
makan. Sambil mengunyah makanannya, ia
memandangiku dengan tatapan bingung. Aku
segera berkata.
Cepat habiskan makananmu. Segera
ganti bajumu. Bawa pistol atau apapun yang

159

diperlukan untuk menjatuhkan musuh kita. Aku


sudah tahu siapa pembunuh adikmu.

***
Aku

mengendarai

motorku

menuju

rumahku untuk mengambil beberapa benda


yang

kuperlukan.

menungguku

di

memberanikan

Sementara
ruang

diriku

untuk

Ryan

tamu,

aku

menelpon

pembunuh itu. Aku melapisi speaker ponsel


dengan kain, dan menekan tombol nomor.
Untuk

beberapa

saat,

tidak

ada

yang

menjawab. Lalu suara berat seorang lelaki


menjawab ponselku. Aku mengenali suara ini.
Halo?
Halo. Kau masih ingat dengan Harlow
Black? Lelaki yang kau bunuh di pemukiman
orang Cina itu? Bagaimana dengan Rose
McBryant yang bunuh diri? Atau Matthew yang

160

mati karena tertabrak truk di suatu area jauh di


luar pusat kota?
Siapa kau? tanya suara itu.
Kau tidak perlu tahu siapa aku. Itu
tidak penting. Yang terpenting adalah aku
mengetahui semua kebusukanmu.
Kau mau apa?
Aku mau, malam ini, pukul sepuluh
malam, kau menemuiku di dermaga Saltwater
Lake. Tempat itu terletak hanya dua puluh
menit dari kota. Aku mau kau tidak membawa
siapa siapa, termasuk polisi dan anak
buahmu. Kau tidak perlu membawa senjata
api atau peralatan lainnya. Kau juga tidak
perlu membawa uang yang banyak, aku tidak
memerasmu. Aku juga tidak akan membawa
orang

lain.

Jika

kau

berani

melanggar

kesepakatan kita, kau akan berada di balik


jeruji besi hanya dalam waktu dua belas jam.
Mengerti?

161

B - Baiklah, aku mengerti, jawabnya.


Aku menutup pembicaraan kami dan
segera membuang kartu ponselku. Aku turun
ke bawah dan Ryan langsung menyambarku.
Apa yang kau pikirkan? Kau mau kita
menyerang pembunuh itu malam ini juga,
tanpa persiapan apapun?
Kau lihat? Sekarang masih pukul
delapan malam. Kita masih punya waktu dua
jam

sebelum

menemui

pembunuh

itu.

Sekarang ikut aku.


Kita mau kemana?
Aku tidak menjawab. Tapi Ryan tetap
mengikutiku. Kami menuju ke pekarangan
rumahku dan menaiki motorku.

***
Pada pukul sepuluh kurang lima menit,
kami

telah

tiba

di

dermaga

itu.

Kami

menunggu di bawah pohon. Ryan mulai

162

menyalakan rokoknya. Aku tidak tahu jika


Ryan adalah seorang perokok. Ia terlihat lelah
dengan rokoknya. Setelah menunggu dalam
hening selama lima belas menit, sebuah mobil
hitam datang dan berhenti di bawah pohon di
seberang kami. Lalu dari dalamnya keluar
seorang pria yang kami tunggu. Ia berkata,
Aku sendirian. Kau lihat?
Aku mengarahkan senterku ke arah
mobilnya. Benar saja, aku tidak melihat
siapapun di dalamnya. Lalu aku mematikan
senterku dan mulai mendekati lelaki itu. Ryan
mengikutiku.
Akhirnya kau mau mengakhiri kisah ini,
Edmund Carey, kataku.

163

Bab 16
Kau tidak bisa menuduhku seenaknya,
anak

muda,

ucap

Edmund

sambil

menyalakan rokoknya.
Tentu saja kami bisa. Jika memang
kau bukan pembunuh Rose, Matt, dan Harlow,
mengapa kau bersedia datang kemari?
Ia terdiam sesaat, menghisap rokoknya,
dan menghembuskan kepulan asap ke udara.
Ia kemudian berkata,
Ceritakan

padaku

apa

yang

kau

temukan.
Baiklah. Pertama, aku akan bercerita
tentang kematian Harlow Black. Bodyguard
mu yang kau bunuh karena membiarkanmu
mabuk untuk mengungkapkan semua rahasia
busukmu.
Aku melanjutkan,
Sepulang dari caf itu, kau dibantu
naik ke mobilmu. Di dalam mobil, kau cukup

164

tersadar

untuk

mengetahui

bahwa

kau

dibodohi oleh kami. Tapi mujurnya, kau lupa


bahwa kamilah yang membuatmu mabuk. Lalu
kau memberhentikannya di gang kecil di Little
Asia

Avenue

dan

menembak

kepalanya

dengan peluru sama yang kau gunakan untuk


menembak ayahku. Ini peluru yang kau
gunakan

untuk

menembak

mereka.

Bertuliskan No verita nel mondo; prinsip


hidupmu. Oh, ya. Kau akhirnya mengetahui
bahwa

kamilah

yang

membongkar

kebusukanmu setelah kau menjenguk Eve.


Eve menceritakan semuanya padamu. Lalu
kau menembak ayahku sebagai peringatan
pada kami karena kau mulai curiga dengan
kegiatan yang kami lakukan. Kau menyewa
seorang mata mata untuk menyelidiki apa
yang kami lakukan. Tentunya kau melakukan
hal ini tidak sendirian. Kau menyewa seorang
pembunuh.

165

Yang kedua, aku akan sedikit bercerita


tentang Matt. Kita akan bernostalgia ke
tujuhbelas tahun yang lalu. Bekerjasama
dengan Barry Heathrow, mertuamu sendiri,
kalian berniat menyingkirkan Matt. Kalian takut
bahwa

Matt

akan

mengambil alih

harta

keluarga Heathrow jika ia menikah dengan


Rose.

Lalu

kau

membayar

sekelompok

pembunuh untuk menculik dan menyiksa Matt.


Mereka membawanya ke tengah hutan, di
sebuah

gubuk

tak

berpenghuni

dan

menyiksanya disana. Namun sayangnya, anak


buahmu kurang cukup cerdas, Tuan Edmund.
Setelah Matt kabur dan tak sengaja
tertabrak

truk,

anak

buahmu

lupa

menyingkirkan bukti bukti yang ada. Mereka


cukup puas dengan kinerja mereka dan
segera

meninggalkan

lokasi.

Kau

cukup

beruntung karena polisi tidak menyelidiki


gubuk di tengah hutan tersebut.

166

Edmund menelan ludahnya. Jarinya


gemetaran.
pelipisnya.

Keringat
Lalu

dingin
Ryan

muncul

di

melanjutkan

omonganku.
Yang terakhir, kami akan bercerita
tentang Rose, perawat yang kau bunuh. Rose
terlalu penasaran pada Matt, dan mencari tahu
tentangnya. Akhirnya, ia menemukan Eve dan
menjadi teman baiknya. Rose mengetahui
bahwa Eve dan Matt sempat bersama hingga
maut memisahkan. Lalu Rose yang cukup
cerdas

mengetahui

membunuh
pembicaraanmu

bahwa

Matt.
dengan

Ia

kaulah

yang

mendengar
pembunuh

pembunuh itu. Karena gaji yang diterima


adikku tidak cukup untuk menghidupi dirinya,
ia mulai memerasmu dalam jumlah besar. Ia
berkata akan membocorkan rahasia busukmu
kepada polisi jika kau tidak membayarnya.
Kau cukup ketakutan dengan bukti yang

167

dimiliki Rose. Lalu kau membayarnya. Namun


akhirnya kau muak dan balik mengancamnya.
Namun kau tidak main main. Hingga suatu
hari kau menelponnya dan menerornya.
Ryan melanjutkan,
Kau menyewa pembunuh bayaran lagi
untuk

membunuh

menjerat

leher

Rose.

Rose

di

Pembunuh
rumahnya

itu
dan

menggantungnya, sehingga Rose terkesan


bunuh diri. Setelah membunuh Rose, ia
mengambil rekaman percakapanmu dengan
algojo - mu. Namun bodohnya, pembunuh itu
lupa

menghilangkan

jejak.

Ia

lupa

menjungkirbalikkan kursi tempat orang bunuh


diri. Ia juga lupa membenarkan bekas bokong
yang terdapat di tumpukan baju dalam lemari
baju

Rose.

Rose

sempat

menyayat

pembunuhmu dengan silet. Dan kau masih


sempat sempatnya mengirimi tigabelas
tangkai mawar merah kepada Rose lengkap

168

dengan surat ini. Sungguh tindakan yang


kurang cerdas, Edmund, ucap Ryan sambil
melempar surat itu di hadapan Edmund.
Edmund

membuang

rokoknya.

Ia

meludah ke tanah. Dan berkata,


Ku akui, kalian memang cerdas. Kalian
benar

soal

pembunuh

untungnya,

aku

bayaran

membawa

itu,

dan

mereka

bersamaku.
Dengan

refleks,

aku

menundukkan

badanku sehingga dekat dengan permukaan


tanah. Ryan seketika berteriak ketika bunyi
ledakan pistol memenuhi tempat itu. Aku
merangkak secepat mungkin menjauhi daerah
terbuka itu. Pembunuh itu menembaki kami.
Polisi yang sempat kutelpon sebelum
datang ke tempat ini juga keluar dari tempat
persembunyian

mereka

dan

menembaki

pembunuh pembunuh itu. Penembakan pun


terjadi. Tempat itu bagaikan suatu medan

169

perang

di

tepi

danau.

Tubuh

tubuh

berjatuhan, baik polisi, maupun pembunuh itu.


Aku menyipitkan mataku mencari Edmund di
tempat itu. Namun ia sudah tidak ada lagi
disana. Sambil merangkak di antara semak
dan pepohonan,

aku mencoba mengejar

Edmund.
Setelah

cukup

jauh

dari

daerah

pertempuran itu, aku berdiri dan berlari lebih


cepat untuk mencari Edmund. Lalu, secara
tiba tiba sebuah pukulan mengenai pelipis
kiriku.

Serentak,

aku

terjatuh

ke

tanah.

Seseorang duduk diatasku dan memukuliku


dengan keras berkali kali di wajahku. Aku
berusaha

menghalangi

pukulan

itu

dan

membalas orang itu dengan keras. Ia terjatuh


ke tanah. Ternyata orang itu adalah Edmund.
Sekarang, giliran aku yang duduk diatasnya
dan memukulinya berkali kali. Sambil

170

menahan rasa sakitku, aku tetap memukulinya


dengan keras.
Namun, suara keras bergema di udara.
Aku merasakan sebuah peluru menembus
lengan kiriku. Aku terjatuh di tanah dan
mengerang kesakitan. Edmund menembakku.
Ia berdiri tegak dengan lambat karena sakit,
dan mengarahkan pistolnya ke kepalaku. Ia
berkata,
Apa permohonan terakhirmu, bocah?
Kuharap kau pergi ke neraka seperti
jiwa jiwa jahanam lainnya, jawabku pelan
sambil menahan sakit.
Aku sudah berada di neraka, nak.
Selamat tinggal.
Namun

tepat

sebelum

ia

menarik

pelatuknya, peluru mengenai jantungnya dan


bagian tubuhnya yang lain. Darah mengucur
dari luka tembaknya. Ia terjatuh ke tanah di

171

sampingku. Aku terkulai lemas di tanah dan


memejamkan mataku.

172

Bab 17
Ketika

membuka

mataku,

cahaya

terang menyerang pupilku dengan sangat


cepat.

Membutakanku

sesaat,

hingga

beberapa detik kemudian aku bisa melihat


bayangan bayangan yang mengelilingiku.
Mereka

bergerak

sedikit,

menggerakkan

kepala mereka mendekatiku. Lalu, aku melihat


wajah

ibu

semakin

jelas.

Setelah

membiasakan mataku selama beberapa detik,


aku dapat melihat wajah ibu dengan jelas.
Ia tampak lelah. Kantung mata tampak
jelas pada kedua matanya. Ia tersenyum
padaku. Di sebelahnya, dokter berbicara pada
perawat.
Aku tidak perlu bertanya dimana aku.
Jelas saja, aku sedang berada di rumah sakit.
Ketika menggerakkan lengan kiriku, rasa pedih
menyerang

dan

kesakitan.

Ibu

aku

sedikit

segera

173

mendesah
membantuku

mengembalikan
semula.

posisi

Dokter

pembicaraannya

tanganku
pun

dengan

seperti

mengalihkan
perawat

untuk

memperhatikan aku. Ia berkata,


Jangan banyak bergerak dulu, Nat.
Lukamu baru selesai dijahit. Nanti bisa terbuka
lagi.
Aku
dengan

meng-iya-kan
anggukan

menggerakkan
ruangan.

Di

kecil.

pandanganku
samping

perkataannya
Lalu

aku

ke

seluruh

ranjangku

terdapat

sebuket bunga dengan kartu ucapan besar.


Tertulis bahwa itu dari tetangga kami. Aku
mengalihkan pandanganku ke jendela kamar.
Grace berdiri disana, memandangiku
dengan penuh kecemasan. Aku melambaikan
tangan kananku kearahnya. Ia membalas
dengan senyuman. Lalu aku berpaling kepada
ibu dan berkata,
Bagaimana Ryan?

174

Senyuman

ibu

lenyap,

tergantikan

dengan ekspresi datar. Ibu tidak menjawab.


Lalu kutanya sekali lagi.
Bu, dimana Ryan? Dia baik baik
saja?
Sudah pukul dua belas siang, kau
harus

makan.

Sini ibu

ambilkan

makan

siangmu, ucap ibu sambil berdiri.


Namun aku memegang pergelangan
tangan ibu dan berkata sekali lagi,
Bu, dimana Ryan?
Ibu tidak menjawab. Ia hanya terdiam
dan duduk kembali. Lalu Grace memasuki
kamarku. Ia berkata,
Nat, Ryan kekurangan darah ketika di
lokasi kejadian. Ia tidak terselamatkan.
Jawaban Grace menusuk dadaku. Aku
pun hanya bisa terdiam dan meratapi Ryan
yang

dalam

kuanggap

waktu

seperti

dua
kakakku

175

minggu
sendiri.

sudah
Aku

menangis pelan atas kematian Ryan. Aku


belum pernah merasakan sakit seperti ini,
sakit dimana aku kehilangan sahabatku. Grace
mendekatiku dan memelukku. Ibu keluar dari
kamar dan meninggalkan kami berdua.

***
Setelah menangis selama beberapa
menit, aku mengontrol emosiku, agar berhenti
menjadi cengeng. Lalu dengan suara bergetar,
aku bertanya kembali kepada Grace.
Edmund. Dimana dia?
Entahlah. Neraka, mungkin. Dia mati 3
pagi tadi.
Memangnya sekarang jam berapa?
tanyaku.
Sebelas siang. Kau belum makan, sini,
kusuapi.
Grace berdiri dan mengambil makan
siang yang berada di meja dekat ranjangku.

176

Selama makan siang itu, aku tidak berkata


apapun, Grace juga. Kami hanya tenggelam
pada kesunyian.
Aku menghabiskan makananku dalam
waktu yang cukup lama. Setelah makan,
Grace membereskan semuanya dan kembali
duduk di samping ranjangku. Aku mulai
bertanya lagi padanya.
Bagaimana ayah?
Cukup membaik. Dokter berkata besok
ia akan pulang. Darah hasil donormu sangat
membantu baginya.
Aku tersenyum, cukup bersyukur bila
ayah baik baik saja.
Marie. Bagaimana dia? tanyaku lagi.
Kau terlalu banyak bertanya. Sudah,
istirahat dulu.
Aku sudah tidur delapan jam lebih,
Grace. Aku tidak mengantuk lagi. Kau mau
temani aku jalan jalan?

177

Baiklah. Mau pakai kursi roda?


Tidak. Tongkat berjalan saja, jawabku.
Kami meninggalkan kamar dan berjalan
sepanjang lorong rumah sakit. Ibu yang duduk
di depan kamarku tersenyum menatap kami.
Kami terus berlalu.
Sepanjang lorong itu, aku melihat ke
sisi lain dari jendela. Aku melihat bayi
penderita hydrocephalus, lelaki dengan salah
satu

kakinya

yang

teramputasi,

gadis

seumuran Grace dengan kepala botak, dan


keluarga keluarga mereka yang larut dalam
tangisan.
perasaan

Lebih
putus

banyak
asa,

tetes

air

mata,

dan

kesedihan

dibandingkan denganku. Aku menghibur diriku


sendiri dengan berkata bahwa aku masih
beruntung memiliki keluarga yang utuh, Grace,
dan tubuhku yang masih berfungsi dengan
baik. Namun, ketika aku mencapai kamar
pasien paling ujung, aku melihat sosok yang

178

cukup kukenal. Aku menyentuh lengan Grace


dan memberi kode untuk memasuki ruangan
itu.
Kami

mengetuk

pintu.

Setelah

terdengar balasan, kami membukanya. Kami


berhadapan dengan wanita yang tak asing
lagi, Evelyn Carey. Ia tersenyum kepada kami,
senyum yang sama seperti saat pertama kali
aku mengunjunginya.Ia mempersilahkan kami
duduk di bangku yang terletak di ujung
ranjangnya. Grace membantuku duduk. Lalu
kami berhadapan dengannya.
Well, tadi pagi, aku diberitahu bahwa
Edmund meninggal. Secara teknis, ini bukan
salahmu, Nat. Entah mengapa, aku merasa
lega akan kematiannya. Ia bukan suami yang
pantas untukku.
Aku

tersenyum

sebagai

bentuk

persetujuan. Aku setuju dengannya. Suami


macam apa yang rela meninggalkan istrinya

179

sekarat di rumah sakit dan hanya memberikan


uang secara rutin? Eve lanjut berbicara.
Terima kasih, Nat. Kau akhirnya dapat
membongkar

kematian

Matt

dan

Rose.

Mereka tidak layak mati di tangan orang kotor


seperti Edmund. Maafkan aku yang semula
tidak percaya padamu.
Aku sudah memaafkan nyonya sejak
lama. Yang terpenting, sekarang semuanya
sudah berakhir, jawabku.
Ya,

kau

benar. Semuanya

sudah

berakhir baik. Namun aku turut berduka cita


atas

meninggalnya

temanmu.

Ia

sangat

berjasa dalam memecahkan kasus ini. Kalau


begitu, aku merasa bebanku disini juga sudah
selesai.
Alat
memelankan

pengukur

detak

suaranya,

jantung

detak

Eve

jantungnya

semakin lambat. Grace memegang tanganku


erat. Ia berbisik,

180

Nat,

harus

kupanggilkan

perawat

sekarang? Ini menakutkan.


Namun Eve menjawab Grace,
Tidak

perlu,

gadis

muda.

Aku

mendengar bisikanmu. Kurasa ini memang


sudah waktunya bagiku untuk kembali ke
Pencipta. Sekali lagi, terima kasih banyak,
Nathan Brown. Terima kasih
Eve

memjamkan

matanya.

Detak

jantungnya semakin melemah. Grace berdiri


dan keluar dari kamar Eve. Beberapa detik
kemudian,

alat

pengukur

detak

tidak

menunjukkan adanya detak jantung Eve. Garis


tidak lagi berbentuk gunung lembah, sudah
menjadi datar. Eve sudah benar benar
kembali kepada Sang Pencipta.
Lalu petugas medis memasuki ruangan
kami. Dokter mengenakan stetoskopnya dan
memeriksa keadaan Eve. Wajahnya tampak
kecewa.

181

Aku tidak perlu tahu ucapan dokter.


Semuanya sudah jelas seperti cahaya yang
masuk ke mataku.

182

Bab 18
Sore harinya, beberapa teman kelas
mengunjungiku. Mereka menunjukkan rasa
simpati

mereka

dengan

berdoa

untuk

kepulihanku. Setelah mereka pulang, aku


diberitahu bahwa prosesi pemakaman Eve
dan Ryan akan dilakukan besok pagi, di
tempat yang sama.
Setelah memohon pada dokter dan ibu
agar aku diperbolehkan untuk menghadirinya,
mereka meng iya kan permohonanku. Lalu
ibu

pulang

untuk

mempersiapkan

menjenguk

pakaianku

ayah

untuk

dan

besok.

Grace menemaniku selama ibu pergi.


Disaat saat seperti ini, kehadiran
Grace

sangat

membantuku

untuk

menghadirkan senyum di wajahku. Ia tidak


henti hentinya menceritakan cerita lucu
kepadaku. Ia juga memperdengarkanku musik

183

dari pemutar musiknya sampai aku tertidur


pulas.

***
Aku duduk di sebuah bangku di sebuah
ruang kosong. Aku tidak tahu aku ada dimana.
Lalu, pintu terbuka, dan seorang wanita muda
yang kukenal bersama seorang pria yang
sangat kukenal memasuki ruangan itu. Wanita
itu adalah Rose, dan lelaki itu Ryan. Sejenak
aku mengira bahwa aku pasti sudah gila, atau
sudah mati. Aku pasti berada di surga.
Tidak, Nat, kau belum mati, ucap
Ryan.
Bagaimana kau tahu apa yang sedang
kupikirkan? tanyaku.
Mudah saja. Mimpi adalah aktivitas
otak. Kami masuk ke dalam mimpimu, berarti
kami masuk ke dalam otakmu dan mengetahui
pikiranmu, jawab Rose.

184

Baiklah. Kenapa kalian ada dalam


mimpiku? tanyaku lagi.
Berterimakasih. Aku belum sempat
berterimakasih padamu. Kau tahu, salah satu
penembak itu menyerangku tepat di jantung.
Tapi aku bersyukur, aku tidak mati sia sia,
ucap Ryan sambil tersenyum.
Aku membalas senyumnya. Lalu Rose
melanjutkan perkataan Ryan.
Aku juga sangat berterimakasih, Nat.
Sekarang

kami

bisa

beristirahat

dengan

tenang.
Tetapi, Rose, mengapa kau tidak
mengalami reinkarnasi sepertiku? tanyaku.
Kau mengalami reinkarnasi karena ada
suatu hal yang harus kau selesaikan di dunia
ini. Sedangkan aku, tidak ada yang perlu
kulakukan lagi. Aku sudah tau sejak awal,
kaulah yang akan menyelesaikan semua
kegilaan ini, jawab Rose.

185

Kurasa

kami

harus

kembali,

Nat.

Pesanku, jagalah dirimu selalu. Dan jaga


Grace, dia gadis yang sangat baik. Kau sudah
seperti saudaraku sendiri, Nat, ucap Ryan.
Aku tersenyum. Lalu aku memeluk
Ryan dan Rose. Aku tidak kuasa menahan
airmataku.
melepaskan

Setelah

beberapa

pelukanku.

Ryan

detik,
dan

aku
Rose

meninggalkan ruangan dan menutup pintu.


Pada

saat

yang

sama,

cahaya

terang

menyerang mataku. Aku membuka mataku


dengan perlahan. Aku melihat ke

jendela.

Disana, ibu yang sudah menggunakan baju


hitam membuka tirai.
Mana Grace, bu? tanyaku.
Oh, dia pulang. Ia ingin berganti
pakaian. Ibu lihat sudah ada kantong mata di
bawah matanya. Dia berjanji akan datang
nanti di pemakaman.

186

Aku teringat bahwa pagi ini Eve dan


Ryan akan dimakamkan. Aku segera mencoba
bangun

dari

ranjangku,

namun

karena

tertahan oleh rasa sakit di lenganku, aku


kembali berbaring. Ibu memberikanku sekotak
tisu basah untuk mengelap badanku yang
kotor. Lalu ia tersenyum, pergi menutup
jendela dan meninggalkan kamarku.
Aku

segera

membuka

bajuku

dan

mengusap tisu ke sekujur badanku secara


perlahan. Setelah merasa cukup bersih, aku
mengenakan

kaos

dalamku

dan

celana

pendekku. Aku memanggil ibu, dan ibu masuk


kembali. Ia mengeluarkan setelanku

dari

penutupnya dan mengenakannya padaku. Ibu


juga memasangkan kain penyangga lengan
padaku. Lalu, setelah merasa cukup rapi, aku
mencoba berdiri dengan bantuan ibu, dan
berjalan keluar.

187

Di depan pintu, ayah sudah menunggu


kami. Ayah juga mengenakan kain penyangga
lengan sepertiku. Aku tersenyum pada ayah.
Ia

tersenyum

kembali.

Lalu

kami

menggunakan elevator untuk turun ke parkiran


bawah. Selama perjalanan kami di lorong,
semua perawat tersenyum padaku. Ini cukup
membingungkan, jujur saja. Aku membalas
tersenyum kepada mereka.
Ketika tiba di bawah, kami langsung
menaiki mobil menuju pemakaman. Perjalanan
lima belas menit ke pemakaman berlangsung
sepi di dalam mobilku, sampai ibu membuka
mulutnya.
Nat, kau masuk surat kabar kemarin, di
halaman pertama.
Ha?
Kau menjadi berita utama surat kabar
kota kemarin, Nat. Makanya semua orang di
rumah sakit tersenyum padamu.

188

Wow. Aku tidak bermaksud mencari


sensasi, jawabku.
Yang kau lakukan hebat, nak, puji
ayah.
Trims, jawabku singkat. Aku sungguh
kelelahan. Jadi kuputuskan untuk menjawab
segala sesuatu secara singkat.
Akhirnya kami tiba di pemakaman.
Ayah turun terlebih dahulu dari mobil, disusul
ibu. Aku turun dari sisi pintu yang lainnya.
Kami segera memasuki gerbang pemakaman.
Setelah berjalan sedikit, kami tiba di sebuah
kerumunan.

Kami

mendekati

kerumunan

tersebut.
Disana
dengan

sudah

pakaian

ada

serba

Nyonya
hitamnya.

Marie
Di

sebelahnya ada seorang gadis berusia dua


puluhan yang memegangi lengannya. Aku
tidak tahu siapa gadis itu. Nyonya Marie
menangis

kecil,

namun

189

tetap

tersenyum

padaku. Aku membalas senyumnya. Lalu ada


Grace yang membawa payung hitam dan
menghampiriku. Ada pula ibu ibu lain yang
kutebak adalah teman Eve, dan pemuda
pemuda yang mengenakan setelan hitam rapi.
Kutebak mereka adalah rekan kerja Ryan.
Selama

proses

pemakaman,

Kami

semua lenyap dalam keheningan. Selama


pastor

membacakan

ceramahnya

tentang

kematian, aku mendengar isakan kecil dari


kerumunan. Enta mengapa, aku tidak merasa
sedih

sama

sekali.

menyadarkanku

Mimpi

bahwa

tadi

mereka

malam
memang

harus pergi. Mimpi itu membuatku ikhlas akan


kepergian mereka.
Namun lamunanku terpotong ketika
namaku dipanggil oleh pastor.
Kepada Nathan Brown, selaku teman
dekat Ryan, Anda dipersilahkan memberikan
kata perpisahan Anda.

190

Aku hanya bisa terdiam. Lalu Grace


menyentuh bahuku dan memberikan kode
bahwa aku harus maju. Dengan linglung, aku
maju ke podium, dan segera membuka
mulutku.
Eh, aku tidak punya persiapan untuk
hal ini. Jadi aku akan mengatakan apa yang
aku rasakan. Aku bertemu Eve tiga kali. Saat
pertama, ia menganggap aku waras. Namun
pada pertemuan kedua kami, ia melemparkan
semua

benda

yang

ada

di

sekitarnya

kepadaku dan menganggap aku sinting. Dan


di pertemuan terakhir kami, ia meninggal di
ranjangnya. Namun, yang kukenal, Eve adalah
wanita yang kuat. Hanya itu yang bisa
kusampaikan.
Aku berhenti untuk menghela nafas dan
melanjutkan.
Aku mengenal Ryan seminggu yang
lalu, ketika aku ke rumahnya dan mengatakan

191

bahwa aku ingin membongkar kasus kematian


mendiang Rose. Kukira akulah satu satunya
orang

gila

di

kota

ini.

Namun

Ryan

menyatakan bahwa ia akan membantuku.


Dalam

beberapa

hari

saja,

kami

sudah

menjadi sahabat karib. Ia mendukungku untuk


menyelesaikan kasus ini.
Namun

aku

merasa

menjadi

pecundang paling bodoh di dunia. Ketika ia


memperjuangkan

segalanya

untuk

menolongku, aku tidak bisa menjaganya. Ia


mati tertembak di jantung sementara aku
selamat dan melarikan diri dari lokasi. Aku
sungguh sungguh minta maaf.
Aku tidak kuasa menahan air mataku.
Aku meraba raba kantong celanaku untuk
mencari saputangan, namun Nyonya Marie
menghampiri podium dan memelukku. Kami
menangis bersama selama beberapa detik.

192

Lalu ia mengulurkan saputangannya dan


berbisik,
Kau tidak bersalah apa apa, Nat.
Terima kasih banyak. Terima kasih
Aku mengambil saputangan itu dan
tersenyum. Aku mengusap mataku dan turun
dari podium. Ketika kembali ke kerumunan,
Grace mengusap lenganku dengan lembut.
Bersama sama, kami menyaksikan saat
saat terakhir sebelum Ryan dan Eve bersatu
dengan tanah.

Tamat

193

194

Epilog
Bunyi mesin mobil memenuhi garasi
rumahku. Aku menyentuh kap mobilnya, dan
memanggil

ayah

dan

ibu

untuk

turun

bersamaku. Ayah dan ibu pun turun dan


tersenyum padaku. Ibu menaiki mobil di
bagian belakang, dan ayah di bagian depan.
Kali ini aku menyetir mobilku ke sekolah,
menggunakan

kemeja

biru

muda

yang

kugunakan dengan rapi dan celana hitam.


Ketika membuka pintu mobil, aku teringat
sesuatu.
Bu, Yah, tunggu sebentar, ada yang
tertinggal, ucapku.
Baiklah, tapi jangan terlalu lama,
jawab ayah.
Aku segera naik ke tangga menuju
kamarku, dan membuka lemari bajuku. Disana
sudah

tergantung

wisudawan.

Aku

jubah

hitam

tersenyum

195

dan

topi

sejenak

dan

mengambilnya. Lalu dengan cepat, aku turun


kembali ke garasi.
Namun,

ternyata

layar

TV

masih

menyala dan menampilkan berita hari ini.


Tertera pada layar bahwa Sunrise Academy
akan mengadakan wisudanya yang ke 45. Aku
tersenyum sekali lagi kepada layar TV dan
mematikannya. Aku turun ke garasi dan
menaiki mobil kami menuju sekolah.

***
Sesampainya disana, kami langsung
turun. Selama ayah dan ibu beramah tamah
dengan guru dan orang tua siswa lainnya, aku
mengenakan jubah dan topiku. Kemudian
kami menuju ke tempat duduk kami di
halaman sekolah.
Setelah menunggu selama lima belas
menit,

acara

membacakan

dimulai.
susunan

196

Pembawa
acara.

Dan

acara
yang

pertama adalah sambutan kepala sekolah.


Seperti

biasa,

sambutan

kepala

sekolah

adalah salah satu hal paling membosankan


dari

sebuah

wisuda.

Namun

untungnya,

kepala sekolah menghentikan sambutannya


pada menit kesepuluh, karena durasi yang
diberikan panitia. Tepuk tangan memenuhi
halaman sekolah.
Kemudian
mengumumkan

pembawa
acara

selanjutnya,

acara
yakni

pengalungan medali kepada siswa siswi.


Setelah sekitar empat puluh anak dipanggil
keatas

panggung,

giliran

namaku

yang

dipanggil. Sambil tersenyum, aku berdiri dan


berjalan

menuju

panggung.

Lalu

kepala

sekolah menyalamiku, mengalungkan medali


di leherku, dan mengubah posisi tali topiku.
Aku turun dari panggung dengan wajah yang
berseri seri. Ketika tiba di tempat duduk,

197

ayah

menepuk

bahuku

pelan

dan

ibu

tersenyum padaku.
Setelah pengalungan medali selesai,
pembawa acara mengumumkan bahwa acara
selanjutnya adalah sambutan dari perwakilan
siswa siswi. Mereka memanggil nama Grace
Hunters. Grace pun berdiri dan dengan
senyuman, ia naik ke atas panggung dan
menuju podium. Ia mengeluarkan secarik
kertas dari jubahnya. Ia mengetuk mikrofon
perlahan

dan

mulai

membacakan

isi

pidatonya.
Aku berterimakasih atas kesempatan
yang

diberikan

kesempatan

sehingga

untuk

aku

diberikan

memberikan

kata

sambutan. Tak perlu berlama lama, aku


akan langsung ke intinya.
Ia tersenyum ke arah kepala sekolah,
dan melanjutkan kata katanya,

198

Kita semua terlahir untuk satu tujuan,


kebahagiaan.

Untuk

mencapainya,

setiap

manusia punya caranya sendiri sendiri. Ada


yang menjadi polisi, perawat, guru, petani, dan
wisudawan seperti aku sekarang. Namun, di
sekolah ini, aku menemukan tujuan hidupku.
Aku menemukan arti penting dari masa
remajaku. Gelak tawa, air mata, dan hal hal
lain

telah

kutemukan

disini.

Aku

juga

menemukan orang yang sangat berarti bagiku.


Dan untungnya ia juga hadir disini, di tengah
tengah kita.
Grace

menatap

kearahku

dan

tersenyum lebar, lalu melanjutkan.


Aku ingin berterima kasih kepada
orang tersebut. Karenanya, aku mengerti
betapa

pahitnya

manisnya

kehidupan,

perjuangan.

dan

betapa

Aku

juga

berterimakasih kepada sekolah dan teman

199

teman lain yang tak bisa kusebutkan satu


persatu. Terimakasih.
Ia mengakhiri sambutannya dengan
sebuah

senyuman

yang

sangat

manis,

senyuman termanis yang pernah kulihat sejak


tiga bulan yang lalu, ketika kami berkabung di
sebuah pemakaman. Lalu, secara serentak
semua wisudawan berdiri dari tempat duduk
mereka,

berteriak

sangat

keras,

dan

melemparkan topi mereka ke udara.

***
Grace

turun

dari

podium

dengan

anggun. Aku segera berdiri dari tempat


dudukku

dan

menghampirinya.

mendekat

kepadaku.

tanganku

ke

melingkarkan

Aku

pinggangnya,
lengannya

ke

Ia

pun

melingkarkan
dan
bahuku.

ia
Ia

berkata,
Bagaimana sambutanku, Pria Lemah?

200

Hemm, tidak buruk. Sayangnya kau


tidak menyebutkan namaku, candaku.
Hei, semua orang sudah tahu kalau
kita kembali bersama beberapa bulan yang
lalu, Lelaki Gila! serunya.
Hei, aku tidak lagi gila. Suara dan
bayang bayang itu tidak lagi menghantuiku!
balasku sambil tertawa.
Jadi, bagaimana? Kau akan pergi ke
Gareth Moss University, calon ibu dokter?
sambungku.
Aku

tidak

akan

pergi

tanpa

pangeranku, jawabnya.
Kabar baiknya, aku juga akan masuk
ke GMU, jurusan Kriminologi, balasku.
Dengan wajah yang terkejut dan tawa
yang keras, ia menciumku tepat di bibir dan
mengatakan,
Baiklah, ayo kita buka kasus baru, pak
detektif.

201

202

Biodata Penulis
Christopher Antoni lahir
di Bengkulu, 14 Oktober
1996.

Ia

dibesarkan

disebuah keluarga kecil


di Bengkulu dan bersekolah di TK, SD, SMP,
SMA Sint Carolus Bengkulu. Sekarang ia
tinggal

di

Gading

Serpong,

Tangerang

bersama kakak perempuannya. Ia


mengenyam

pendidikan

di

Multimedia

Nusantara

jurusan

sedang

Universitas
Ilmu

Komunikasi. Ia bercita cita untuk menjadi


Event Organizer dan seorang Public Figure.
Lewat buku ini, Christopher berharap
fanatsinya yang paling liar dapat terwujud
menjadi suatu cerita nan epic dan membawa
pembaca ke dunia lain yang penuh dengan
intrik berdarah.

203

204

Anda mungkin juga menyukai