Anda di halaman 1dari 4

SEBUAH SURAT UNTUK R

Aku tak tahu harus mulai darimana ketika seseorang menanyakan tentangmu,
apakah hubunganku denganmu baik-baik saja, ataukah hubunganku denganmu diambang
kehancuran. Kurasa, aku selalu menarik nafas panjang ketika ditanya apakah aku masih
mencintaimu atau tidak. Kurasa itu adalah pertanyaan tersulit yang bahkan aku tak bisa
menjawab sampai sekarang. Bahkan ketika sudah sepuluh tahun berlalu, aku masih saja tak
bisa menjawab pertanyaan yang paling krusial ini. Siapapun yang bertanya kepadaku, hanya
akan mendapatkan senyuman saja atau anggukan kepalaku ketika menanggapi pertanyaan
itu.
Jika kuingat lagi, aku tak tahu sebenarnya awal mula kita mulai berkenalan. Kurasa,
dulu sekali diawal-awal dunia masih berjalan tanpa keterbukaan digital, aku mengenalmu
lewat selembar dua lembar tulisan yang sangat picisan. Kau yang saat itu begitu berapi-api
ketika mengapresiasi tulisanku, dan aku yang begitu bahagia meski aku tak peduli esensi
kritik tulisanmu kepadaku itu tentang apa. Sungguh, saat itu aku hanya ingin dipuji, tanpa
dicaci. Dan sungguh, saat itu aku tak terlalu peduli dengan kritikmu itu, sebab saat itu aku
adalah remaja yang begitu kesepian dan hanya butuh ditemani, tidak kurang tidak lebih.
Kuingat lagi kata-kata yang selalu kita perdebatkan ketika bersama,
“Kenapa ya, aku ngerasa udah pernah kenal kamu sebelumnya?”
Kata-kata itu membekas dengan pasti, seolah sebuah kode keras, semacam pertanda
yang kita yakini bahwa kita akan terus bersama. Seolah kita adalah sepasang kekasih yang
belum tuntas karmanya di masa sebelumnya, dan harus membayar hutang itu di masa
sekarang. Pun, saat akad itu kau ucapkan di depan penghulu, saat para tamu membaur jadi
satu, riuh ramai di pesta pernikahan kita, kau dan aku merasa bahwa ini semua adalah hal
yang sepatutnya terjadi. Bukankah sepasang kekasih yang saling mencintai harus menikah,
dan membangun mahligai rumah tangga? Agar kelak berkah di sisa usianya.
Selama perjalanan bersamamu yang bagiku terasa pendek ini, kita sudah tak pernah
berdebat lagi tentang pakaian apa yang cocok kau pakai, atau rok apa yang cocok kupakai.
Aku mulai tak tertarik untuk memilihkan warna yang cocok untukmu. Beda sekali ketika dulu
kau memintaku untuk memilihkan cover buku apa yang cocok untuk buku terbarumu,
kurasa sekarang keengganan itu semakin menjadi-jadi. Aku tak tahu kenapa perasaan itu
begitu saja muncul tanpa permisi. Dan sekarang sudah mengakar kuat di dalam diri, tak
terbendung lagi.
“Apa sih yang kurang dari dia. Karir oke, wajah oke. Tapi suaminya. hmmm.”
Kalimat semacam itu mengalir dari telinga kanan lalu merasuk dan membikin pusing
otakku yang mencernanya. Lalu tiba-tiba aku begitu muak dengan hal itu. Aku tak tahu
darimana rasa mual itu.
Kau selalu santai ketika keluarga besar mempertanyakan kapan punya momongan,
dan menanggapinya tanpa pernah baper sedikitpun. Aku tak tahu bagaimana hatimu
terbuat, hanya saja kurasa kita memang sama-sama jengah dengan pertanyaan itu.
Pertanyaan yang begitu menusuk dan mengoyak para pasangan yang belum berketurunan.
Ketika pulang pun, kau tak pernah mendiskusikan hal itu, bersikap wajar tanpa pernah ada
ganjalan sedikitpun.
Pernah aku mendiskusikan denganmu, bagaimana seandainya jika kita memiliki
anak? Apakah kita akan mengasuhnya dengan pola pengasuhan yang diktator ataukah
dengan pola pengasuhan yang demokratis? Apakah kita akan memanjakannya ataukah kita
akan membuatnya mandiri? Semua itu selalu kau jawab dengan hati-hati kepadaku, tak
tergesa, namun pelan dalam menimbang rasa.
“Diberi atau tak diberi momongan, itu semua pilihan. Nanti kita harus siap jika diberi,
dan harus siap pula jika tidak diberi.”
“Tapi misal tak diberi, kita masih bisa kan mengusahakannya dengan bayi tabung?
Kita masih bisa untuk berusaha.”
“Kurasa itu bukan hal yang sesuai untuk kita. Kuyakin nanti ada jalannya.”
“Tapi kan kita harus berusaha dulu.”
Lalu diskusi itu terhenti. Masih kuingat diskusi itu terhenti tepat ketika anak-anak
kompleks datang untuk belajar kelompok. Selalu seperti itu, tiap malam mereka datang ke
rumah untuk belajar. Kadang selalu kutanya kepadamu mengapa kau tak pernah meminta
uang lelah sebagai jerih payahmu mengajari mereka. Saat itu kau tersenyum dan tidak
menanggapi pertanyaanku, hanya mengeluarkan candaan ringan,
“Nih, ini anakku semua. Banyak ya. Sekitar lima belasan orang.”
Masih kuingat bagaimana senyummu ketika bersama dengan anak-anak itu,
mengajari mereka pelajaran membaca dan hitungan matematika. Kurasa, itu adalah
pemandangan yang sangat menyejukkan hatiku. Rasanya seperti ada kekuatan yang luar
bisa ketika kau melakukannya. Sebab rasa yang terpancar saat itu menunjukkan
kesungguhanmu yang luar biasa, pengabdianmu yang tiada tara. Tanpa pernah kau
publikasikan kepada dunia.
Aku tak pernah menganggap pernikahan ini salah, pun tak jua mengangap
pernikahan ini benar. Kurasa, aku selalu merasa baik-baik saja dengan hubunganku
denganmu, terlepas banyak orang mempertanyakan hubungan macam apa yang kau dan
aku miliki. Banyak orang mengira aku akan mencapai titik bosan, hingga menyebabkan
hubungan kita berantakan. Tapi aku juga tak tahu pastinya, menurutku aku bukan bosan,
dan menurutku pula, aku tak merasa bahwa hubunganmu denganku berantakan. Kukatakan
berkali-kali dalam hatiku bahwa, hubungan kita baik-baik saja. Kau masih sama seperti dulu,
masih baik seperti dulu, tak ada yang berubah.
Kalau kuingat lagi bagaimana kita berpetualang, mungkin kereta K menjadi saksi dari
gejolak jiwa muda kami. Saat itu, dengan uang pas-pasan, aku nekat berangkat dari kota S,
menemuimu di kota M untuk menyusuri situs-situs purba. Aku tak tahu kenapa situs purba
begitu menarik bagi kami berdua. Apakah karena bangunannya yang sudah tua, ataukah
karena lokasinya yang kebanyakan rindang, ataukah ada kamu yang selalu menemaniku
berkelana. Mungkin ketiga prasyarat ini menjadi sempurna penelusuran kami di situs-situs
purba.
“Mungkin kita pernah bertemu di masa lalu, di tempat ini, saat situs ini berupa
kerajaan.”
“Ah, masa?”
“Iya, buktinya kita dipertemukan lagi untuk menyusuri tempat ini.”
“Kau percaya dengan reinkarnasi?”
“Entah. Tapi aku percaya kita dipertemukan untuk mengemban misi yang sama.”
“Apa itu?”
“Untuk menyelamatkan dunia.”
“Dunia sedang baik-baik saja. Kenapa harus diselamatkan?”
“Dunia sedang tidak baik-baik saja, dan mereka butuh kita.”
“Untuk apa?”
“Untuk mengerti bahwa ada kita yang berbeda dari cara pandang mereka.”
“Aku tak mau menyelamatkan dunia. Aku bukan power rangers. Untuk berjalan kaki
sampai kesini saja aku capek, apalagi menyelamatkan dunia.”
“Baiklah, sini aku gendong. Kita menyelamatkan diri sendiri dulu saja. Kalau sudah
menyelamatkan diri sendiri, baru kita bisa menyelamatkan dunia.”
Selalu seperti itu, bahkan sampai sekarang, ajakanmu untuk menggendongku tak
pernah ku iya kan. Aku tak tahu sebabnya, tapi aku lebih suka berdiri dan berjalan dengan
kakiku sendiri, meski capek melanda. Aku tipe perempuan mandiri yang tidak mau
merepotkan orang lain, dan itu ternyata bukanlah sifat baik yang harus dipelihara. Kurasa,
kau menyukai sesekali dimintai bantuan, agar jiwa lelakimu terlampiaskan sebagai sosok
yang kuat dan tidak rapuh.
Masih kuingat bagaimana kau menyukai buku. Bahkan, di atas kasur pun ada rak
baca yang berisi buku-buku tebal yang kau baca menjelang tidur. Kurasa, buku tak pernah
baik jika diletakkan di atas kasur, dan aku selalu mendebat hal itu dengan berbagai macam
kalimat dari para ahli kesehatan. Aku selalu tak nyaman dengan buku-bukumu di atas kasur.
Hal itu membuat kita hanya terpaku untuk selalu terjaga dan membaca, tak lebih. Kita akan
selalu ingat untuk membaca tiap kali kita membuka mata. Dan aku mulai meninggalkan
kebiasaanku membaca dan beralih menyukai drama korea. Kau tahu, people change, dude.
Dan itu pun terjadi kepadaku. Yang awalnya militan sekali terhadap buku, sekarang yang
kuhadapi sudah berbeda, dapur dan segala jenis ragamnya. Apa yang kubaca, kulihat dan
kudengarkan ternyata berubah seiring usia dan kedewasaan kita.
Dan perihal buku, kau pernah begitu girang ketika aku menulis sebuah novel tentang
lelaki yang kesepian ketika hujan turun. Kau selalu menganalogikan lelaki itu dengan dirimu.
Dan aku selalu menolak pernyataanmu tentang tokoh utamaku yang kutulis, karena aku
menginterpretasikannya sebagai sosok yang lain, bukan dirimu. Dia adalah tokoh utamaku
yang sangat berbeda denganmu, tapi kau tetap saja merasa bahwa itu adalah kau. Sampai
aku tiba pada sebuah pernyataan bahwa tokoh utama yang kutulis di novelku itu sudah
tiada. Lalu kau bungkam dan tak pernah membahas hal itu lagi.
Kau tahu tidak, banyak orang jatuh cinta karena mereka punya hobi yang sama.
Kurasa itu tak berlaku untuk kita. Kau selalu menyatakan sebagai fans berat film india,
sedangkan aku adalah pecinta berat film eropa. Kau selalu tergila-gila dengan lagu india,
sedangkan aku sangat menyukai lagu bossanova. Bagaimana kau dan aku bisa melipat
perbedaan itu untuk menjadi satu? Sedangkan aku dan kau tak pernah punya titik temu?
Mungkin ini adalah salah satu rahasia Tuhan, mengapa banyak sekali ada perbedaan.
Mungkin dengan perbedaan, kita saling menemukan, karena sampai sekarang pun aku tak
pernah punya jawaban.
Kalau orang-orang selalu mempertanyakan, kenapa masih saja betah menjalin
hubungan denganmu? Aku tak tahu bagaimana menjawabnya. Dari perjalanan sepuluh
tahun menjalani pernikahan denganmu, kurasa kau sudah mulai kuanggap sebagai sahabat
sejati. Bagaimana tidak, tiap pagi kau akan mengoceh bahwa langit berubah menjadi malam,
padahal jelas-jelas hari sedang siang. Lalu ketika kusuapi, kau selalu merengek manja
macam anak TK yang meminta es krim segala rasa. Dan sejak itu, aku tak pernah
membawamu ke pertemuan keluarga, karena pernah kubawa sekali kau kesana, kau
berbicara dengan tertawa tawa di hadapan sanak saudara. Maka, sejak saat itu aku tak
pernah meninggalkanmu. Sesekali aku membenarkan pernyataanmu, bahwa mungkin kita
pernah bertemu di masa lalu dan saling menyelesaikan hutang di masa kini. Kadang, dalam
hening sering ku tanya kepada diri sendiri, apakah hutangku terlalu banyak untukmu, hingga
aku harus menebusnya sendiri?
Solo, 22.55.08.03.2021
Niken Bayu, berdomisili di Solo, Merupakan founder @perempuanberdaya. Dapat dihubungi
di +6285740888008 dan kinantiniken@gmail.com.

Anda mungkin juga menyukai