Kepada Cium
Joko Pinurbo
Kepada Cium
Joko Pinurbo
Edisi terbaru "Kepada Cium" ini belum saya peroleh. Beberapa buku yang lain seperti "Baju Bulan", dan
beberapa karya beliau sudah saya baca. Apalagi, saya menulis skripsi saya tentang puisi "Doa Malam" karya
beliau. Mudah-mudahan saya akan memeroleh buku yang satu ini. Bagaimana isinya, saya akan tahu
nantinya. Amin.
2006
Kepada Cium-Joko Pinurbo
Michelle says
Kepada Cium
gieb says
orisinalitas memerlukan penjelajahan dalam tubuh sendiri. menjadi buku yang terbuka. menghampar pada
bunyi sunyi semesta. yang termaktub juga dalam ruang tubuh sebagai buku bacaan yang egaliter. kadang
menyimpan luka, senang, dan harapan.
joko pinurbo (jokpin) adalah salah satu yang mempunyai orisinalitas itu. dia memasuki wilayah yang tak
lazim bagi penyair kebanyakan. celana menjadi sebuah ruang dialektika jokpin dengan tuhannya. aneh kan.
gila kan.
dan demi untuk mendapatkan orisinalitas ini, beberapa orang -termasuk saya- terkadang harus menjadi 'gila'.
contoh, saya pernah membaca puisi di sebuah jembatan di kota malang dengan suara yang keras pada pukul
12 malam. apa coba yang saya cari waktu itu. atau dengan tiba-tiba, saya memelorotkan celana saya di
tengah kampus yang banyak orang lalu lalang dan kemudian teriak-teriak, "salju tengah turun di kota
moskow, salju tengah turun di kota moskow".
saya juga pernah dengan tiba-tiba, dalam sebuah kelas kuliah, berdiri dan menunjuk dosen yang sedang
mengajar, "dosen seperti anda ini layak diragukan kemampuan intelektualnya". kemudian saya ngeloyor
pergi dan meninggalkan dosen muda itu menangis. apa coba yang saya cari waktu itu. -tentu, saya tidak
pernah lulus mata kuliah itu-.
tetapi begitulah, seorang pencari sering dianggap gila, tolol, tidak tahu aturan, pecundang dan sejenisnya.
hanya pangeran diponegoro saja yang pemberontak tetapi dianggap sebagai pahlawan. ken arok pun tidak
pernah dianggap. padahal dia cikal bakal terwujudnya kerajaan majapahit.
dan penyair adalah sosok pencari. termasuk jokpin dalam kumpulan puisi ini. aduh. aduh. -tapi aku sudah
menemukanmu, sayang-.
saran saya: belilah buku ini di ninus (anggota goodreads). anda akan mendapat diskon 30%. lumayan
kan. urusan membaca, terserah anda..
gieb.
Endah says
Kira-kira demikianlah pengakuan tulus Joko Pinurbo kepada puisi, dunia kata-kata yang digelutinya sejak ia
masih remaja. Puisi bagi penyair bertubuh ceking yang biasa disapa Jokpin ini, adalah hidupnya. Menyatu.
Tak terpisahkan. Bagaikan mata dengan air mata.
“Puisi adalah kekasihku. Adalah kebahagiaanku”, ujarnya saat saya mewawancarainya pada satu kesempatan
tahun lalu. “Aku merasa eksis sebagai Jokpin berkat puisi. Aku paling bisa bicara dengan diriku dan dengan
dunia di luar diriku melalui puisi”, tambahnya lagi seperti ingin menegaskan betapa puisi adalah segalanya
bagi lelaki Jawa kelahiran Sukabumi, 11 Mei 1962 ini.
Dari tubuh yang tampak ringkih itu telah lahir ratusan puisi; di antaranya tertuang dalam 6 buah buku yang
sudah kita kenal : Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecil (2002), Telepon Genggam
(2003), Kekasihku (2004), dan Pacar Senja (2005) serta buku ke tujuhnya yang baru saja terbit : Kepada
Cium (2007).
Buat saya yang awam, puisi-puisi penyair ini bagaikan oase menyejukkan tapi sekaligus juga memerihkan
hati. Menyejukkan, sebab di sana saya menemukan kejujuran yang relijius, bukan saja kepada Tuhan tetapi
juga kepada diri sendiri. Puisi-puisi itu seakan cermin diri kita (manusia) yang serakah dan munafik sembari
tetap terus merayu-rayu Tuhan dalam setiap doa-doa kita. Misalnya saja pada puisi Sehabis Sembahyang
(hlm 11) dan Di Perjamuan (hlm.30) ini :
Dan memerihkan, itu sudahlah pasti. Yang perih-perih menyayat hati itu dengan mudah bisa kita dapatkan,
karena sebagian besar puisi-puisi Jokpin merupakan potret/rekaman nasib orang miskin yang berlumur
penderitaan, seperti tukang becak umpamanya (dalam buku ini ada 3 puisi tentang tukang becak, profesi
yang masih banyak di temukan di Yogyakarta di mana penyair kita ini bertinggal). Kendati demikian, puisi-
puisi tersebut tak lantas tampil mewujud berupa puisi cengeng yang mengiba-iba memohon belas kasihan.
Malah yang sering terjadi adalah puisi arif yang dengan bijak menertawakan kemalangan :
Tetapi kali ini yang paling membuat saya begitu tersentuh (percaya nggak? Saya sampai meneteskan air mata
membacanya) adalah sajak Harga Duit Turun Lagi (hlm.14). Dalam sajak itu, Jokpin berkisah tentang
seorang anak yang mati menggantung dirinya sendiri karena malu telah menunggak uang sekolah selama
berbulan-bulan. Kemiskinan yang melilit orang tuanya menyebabkan bocah kecil itu putus asa dan memilih
mengakhiri hidupnya yang baru saja mulai. Barangkali, puisi ini dicipta Jokpin karena terinspirasi peristiwa
riil serupa yang terjadi di beberapa tempat di tanah air (salah satu kasus ditemukan di Provinsi Jawa Tengah)
beberapa waktu silam.
Sajak ini serasa menggedor-gedor perasaan saya. Kebetulan saya membacanya di tengah-tengah ramainya
berita perihal pengadaan sejumlah besar laptop seharga 20 juta rupiah untuk para anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Emosi saya yang telah tersulut marah oleh berita tersebut semakin terbakar oleh sajak ini.
Alangkah tumpulnya mata hati para pejabat ini, tak terusik oleh realita memilukan yang dialami rakyat
seperti bocah malang itu. Untunglah, belakangan usulan sinting yang tanpa nurani itu, dibatalkan.
Untung juga Jokpin tak lupa untuk beromantis-romantis ihwal cinta. Pada puisi Kepada Cium, Magrib
,Wintermachten, 2002, dan Cinta Telah Tiba, kita bisa temukan romantisme yang manis itu. Ia pun sempat
pula mengabadikan dua peristiwa bencana alam besar yang pernah menimpa negeri ini, yaitu tsunami di
Aceh (Aceh, 26 Desember 2004) dan gempa bumi di Yogya (Surat dari Yogya)
Buku tipis ini seluruhnya memuat 33 buah sajak Jokpin yang dibuat dalam kurun waktu 2005-2006.
Sebagian besar telah pernah dipublikasi di harian Kompas.
Menurut saya yang sekadar seorang penikmat puisi, sepanjang kariernya Jokpin telah sukses menelurkan
puisi-puisi yang baik dan indah, yakni puisi-puisi yang – seperti pernah dikatakannya – mampu menyentuh
dan menghidupkan perasaan dan pikiran; membuat imajinasi makin cerdas; dan bisa menyihir (pembacanya).
Dan saya - dengan segala kesadaran serta tanpa paksaan mengakui - adalah salah satu ‘korban’ sihir cium,
eh..maksud saya, puisi-puisi itu :)
Hanya dengan 33 puisi yang relatif pendek-pendek dan ditulis dalam bahasa yang sederhana, Jokpin
mengaduk-aduk emosi saya. Benda remeh atau peristiwa bisa menyimpan kejutan tak terduga dalam sajak-
sajaknya. Ia memang biasa bicara celana, kasih sayang, kenangan masa kecil, tubuh dan benda-benda rumah
dalam sajak-sajak sebelumnya. Tapi kali ini peristiwa tsunami Aceh, gempa Jogja, anak kecil yang hendak
bunuh diri karena tak sanggup membayar SPP dst, mendapat ruang yang relatif seimbang dengan tema-tema
yang membuatnya legendaris itu. Jokpin tampaknya menguasai betul tema-tema dan peralatan puitik yang
dimilikinya.
Irwan says
Kubaca ulang... dan kutanya ulang: ada apa dengan celana? :-)
------
Mobyskine says
Sebelum ini aku baca dalam bentuk pdf. Dapat dari kawan aku. Entah mana dah pergi fail pdf tu pun aku tak
tahu. Kali ini aku dapat bukunya terus. Ini karya pertama dari Jokpin yang aku baca sebelum yang lain-lain
(mengambil kira versi pdf sebelum ini).
Pertama kali baca dulu adalah first encounter aku tentang Jokpin. Puisi pertama dari buku ini yang aku baca
(Malam Insomnia) telah buat aku jatuh cinta berguni-guni dengan karya Jokpin. *fangirling*
Banyak puisi-puisi dibuku ini yang menjadi kegemaran aku. Perasaannya seperti membaca sebuah cerpen
tapi dalam bentuk ritma senada yang beralun-alun. Antara yang aku suka (selain Malam Insomnia)- Pesan
Dari Ayah, Harga Duit Turun Lagi, Kepada Uang, Terompet Tahun Baru dan Malam Suradal (paling suka
sebab maknanya sungguh mendalam).
Selain celana, telepon genggam, kuburan dan mayat- aku rasa Jokpin juga menggemari ungu :)
e.c.h.a says
Kepada Mata
***
htanzil says
Seperti biasa sajak2 Jokpin itu sederhana, mudah dimengerti tapi berhasil menyeret pembacanya berkelana
ke imaji tanpa batas.
1248th - 2011
~IBF 2011~
Fahd says
malam ini
aku mau minum di bibirmu
Rhea says
Maghrib (hal.21)
Gharonk says
kali ini mungkin karena tekanan komersialisme, mas jokpin yang orangnya sangat sederhana sepertinya
diburu buru untuk bikin sajak, karena apa? karena sajaknya laris manis. Ia adalah penyair paling kaya saat ini
(maksudnya kaya dari hasil hak atas kekayaan intelektualnya). ia bisa hidup enak hanya dari menulis puisi.
sayang, beberapa puisinya menurut saya kualitasnya tak sebaik dalam telepon genggam, terlebih
dibandingkan kumpulan puisinya yang pertama yang bertajuk celana...
meski demikian satu dua puisi pendeknya masih sempat mencuri perhatian saya