TITLE]
[Document subtitle]
[DATE]
[COMPANY NAME]
[Company address]
PG. 0
KALA SOBO
By
Simpleman
Selimut dibalik
kematian
1
Malam ini terlihat lain dari biasanya. Suhu udara
jauh lebih dingin, angin berhembus sesekali namun
rasanya membuat seluruh badan menjadi lunglai seperti
diselimuti kengerian yang tidak dapat dicari
keberadaannya. Di sebuah jalanan berbatu, sebuah mobil
hitam merek pickup lawas keluaran tahun 80’an baru saja
melintas. Ada keganjilan di dalam pemandangan ini, tidak
biasanya mobil seperti itu melintas menuju kepedalaman
alas di-tengah-tengah malam seperti ini.
2
Pardi sempat mengambil sesuatu dari bak belakang
mobilnya yang diselimuti kain terpal, dengan benda itu yang
kini ada di-tangannya, Pardi kemudian berjalan mendekat,
entah apa tujuannya datang ke rumah kayu ini karena Pardi
berjalan perlahan-lahan menuju ke rumah kayu tersebut.
3
kini celananya basah karena terkencing-kencing, menukar
dengan nyawa dia bilang, lihat parang saja sudah kencing
berdiri, tapi, sebelum Pardi menggorok batang leher pria
tua yang mungkin berkisar diumur 70—tahunan itu, dari
dalam rumah terdengar sebuah suara, suara dari bayi yang
sedang menangis.
4
TANAH IKI, NGERTI!!” (kalau aku menjadi kalian, aku akan
pergi membawa anak dan mantuku serta cucuku sekarang
juga, sejauh mungkin, jangan sampai dia menemukan
kalian, karena manusia yang kalian ikat janjinya ini, bukan
manusia sembarangan, kalian akan lebih baik kalau
memilih membuat janji dengah setan gunung sekalian,
daripada dengan saty dari Trah yang paling tidak punya
rasa kasihan, Trah Rayit itu jauh lebih sinting bahkan dari
jelmaan IBLIS sekali pun!! PERGILAH!! DARIPADA AKU
BERUBAH PIKIRAN, JANGAN SAMPAI KALIAN KEMBALI
KE TANAH INI, MENGERTI!!)
5
“lapo kowe gelem nolong keluargaku padahal kowe iku
Anggeng?” (kenapa kamu mau menolong keluargaku
padahal kamu adalah Abdi-nya?)
6
Malam itu juga, mobil pick up milik Pardi meninggalkan
kediaman rumah kayu milik pria tua itu yang menatap
dirinya bersama dengan keluarga kecilnya.
***
7 hari kemudian.
7
malam seperti ini, lagipula Pardi bisa mengantarnya kalau
memang mau ke rumah ibuk. Namun, tak lama berselang
Pardi menyadari kalau dirinya mendengar suara wanita
seperti sedang berkidung, suaranya halus nan lembut, dan
Ia nampaknya sedang menyanyikan sebuah lagu malam,
lagu yang menceritakan tentang setan di dalam hutan yang
meminta imbalan setelah berhasil membunuh keluarga dari
suami yang pernah membuang isterinya.
8
Ditengah-tengah kebingungan itu, tak lama kemudian Pardi
dikagetkan saat mendengar suara pintu rumahnya diketuk
oleh seseorang, Pardi yang berharap kalau yang mengetuk
pintu adalah isterinya seketika berjalan untuk melihat saat
Pardi dibuat terkejut karena yang datang bertamu ke
rumahnya rupanya adalah seseorang yang dia kenal,
Supri, kawan sekaligus Anggeng lain yang nampaknya
datang jauh-jauh hanya untuk bisa menemuinya.
***
9
Bersama-sama, mereka kemudian menembus jalanan
menuju kesuatu tempat nan jauh, melewati alas-alas yang
jauh lebih dalam menuju ke sebuah desa yang ada dilereng
gunung.
10
saja membuat siapa pun yang datang melihatnya akan
senang saat menatapnya, patung-patung koleksi yang
dibentuk dengan wujud manusia-manusia dalam berbagai
pose terpampang luas diatas tanah-tanah berumput hijau,
mereka diukir dengan bahan keramik dan tembikar halus,
sehingga menampakkan keindahan yang bisa
memanjakan mata. siapapun yang melihatnya pasti akan
langsung jatuh cinta, terutama bagi mereka yang sangat
mencintai seni.
11
Pardi, mas Supri, mboten keberatan too nek kulo nduduhke
karya niku, amergo niki perintah langsung saka kangjeng
Puteri” (Tuan ingin menunjukkan salah satu karyanya yang
baru saja beliau buat dengan tangannya yang sangat
halus, mas Pardi, mas Supri, tidak kebetan kan kalau saya
menunjukkan karyanya itu, karena ini perintah langsung
dari Kanjeng Puteri)
12
diatas sebuah kursi. Beliau sedang menatap ke tempat
Pardi dan Supri yang sedang berdiri.
Pria tua itu memiliki kepala nyaris botak dengan tubuh yang
sedikit gempal, Ia melihat Pardi dan Supri dari kursi
singgasana tempatnya biasa mengisirahatkan badan.
****
13
Wajahnya tenang dan bijaksana, penampilannya juga
sederhana, murah senyum dan selalu baik dengan semua
orang, fisiknya juga tidak kalah menakjubkan, meski pun
tubuhnya terlihat gempal seperti orang yang obesitas tapi
tenaganya seperti seribu kuda, tidak hanya itu saja,
tingginya nyaris dua setengah meter, tidak seperti tinggi
kebanyakan orang-orang jawa pada umumnya, dan kini dia
berdiri dihadapan Pardi dan Supri yang setinggi dagunya.
14
Sobo berjalan menelusuri sebuah lorong panjang dimana
disamping kiri dan kanan, obor dari sebuah kayu menyala-
nyala dengan liar.
“nanging, aku iki keras koyok watu, nek aku wes ngomong
A kudu A, ojok sampe aku ngomong A trus oleh B, opo
maneh Z, iku bahaya nang, yo, paham?” (namun, aku ini
keras seperti batu, kalau aku sudah bicara A harus A,
jangan sampai aku ngomong A trus menjadi B, apalagi
dapat Z, itu sangat berbahaya nang, ya, paham kalian?)
“nang kene” (di sini), kata Sobo saat menemui sebuah pintu
diujung lorong, dia kemudian meraih kunci dari kantung
celana miliknya, dengan gerakan perlahan dia mendorong
15
pintu itu, menyebabkan gema suaranya menggelegar
sampai ke ujung yang lain.
Baik Pardi dan Supri awalnya saling melihat satu sama lain.
sebelum bersama-sama mereka masuk kedalam sebuah
ruangan yang gelap gulita, Sobo yang kemudian mengikuti
dari belakang mengambil salah satu obor yang ada
didinding luar, kemudian menyalakan apa yang ada
didalamnya.
16
sendirinya setelah Sobo menepuk tangannya, dan di sana
dibalik panggung itu, muncul dua orang yang membuat
Pardi seketika dibuat tercengang ketika melihatnya.
“janji adalah hutang nang, pak Tua itu dulu berjanji akan
memberikan anaknya yang sudah berusia matang
kepadaku atas jaminan seluruh tanah ladang yang sudah
dia garap bertahun-tahun, sekarang, setelah semua
janjinya terpenuhi, dia justru lari, pergi meninggalkan janji
yang sudah dia buat denganku, bukankah tuhan sendiri
yang sudah bertitah agar janji ditepati”
17
“onok opo nang, opo kowe ragu karo aku, atau, onok sing
kepingin kowe omong no karo aku?” (ada apa nang, apa
kamu ragu denganku, atau, ada yang ingin kamu katakan
kepadaku?)
18
ditangan Sobo, darah mereka mengalir turun dari batang
leher ke atas bak-bak yang sudah dipersiapkan
sebelumnya. Darah kental berwarna merah kehitam-
hitaman itu seketika menggenangi bak itu.
*******
19
“bagos!!” kata Sobo, “opo kowe wes njalanno tugas teka
Kanjeng Puteri?” (bagus!! Apa kamu sudah menjalankan
tugas dari Kanjeng Puteri??)
Pardi terdiam cukup lama, apakah orang tua ini bisa tahu
hal-hal seperti ini, Sobo nampak sedang menunggu
jawaban, sebelum dengan setengah terisak Pardi berkata,
“belum!!” “tapi—ta—tapi, kulo berjanji mulai sak niki ra
bakal ngelanggar sumpah kulo kale jenengan?!” (tapi, ta,
tapi, mulai sekarang saya berjanji tidak akan melanggar
sumpahku kepada anda?!)
“ya wes lek ngunu, tak sepuro awakmu, tapi, sumpah sing
wes dikhianati kudu onok imbalane nang, kowe siap?” (ya
sudah kalau begitu, ku maafkan, tapi, sumpah yang sudah
terkhianati harus ada ganti ruginya nang, kamu siap?)
20
Dengan wajah pucat, Pardi lalu berkata, “ki—ki—kiwo”
(ki—ki—kiri)
21
dibalik kain itu yang berhubungan dengan dirinya. Supri
yang sebenarnya sudah tidak tega sempat berkata kalau
lebih baik Pardi mengurungkan niat untuk melihatnya, tapi,
Pardi bersikeras bahkan mengancam akan membunuh
Supri saat ini juga kalau tidak melakukan apa yang dia
perintahkan, karena merasa kasihan, Supri menuruti apa
kata Pardi, dan setelah Supri selesai melakukannya, di
sana, Pardi dan Supri melihat patung isteri Pardi sedang
duduk menggendong bayi perempuannya.
22