Anda di halaman 1dari 23

[DOCUMENT

TITLE]
[Document subtitle]

[DATE]
[COMPANY NAME]
[Company address]
PG. 0
KALA SOBO
By
Simpleman

Selimut dibalik
kematian
1
Malam ini terlihat lain dari biasanya. Suhu udara
jauh lebih dingin, angin berhembus sesekali namun
rasanya membuat seluruh badan menjadi lunglai seperti
diselimuti kengerian yang tidak dapat dicari
keberadaannya. Di sebuah jalanan berbatu, sebuah mobil
hitam merek pickup lawas keluaran tahun 80’an baru saja
melintas. Ada keganjilan di dalam pemandangan ini, tidak
biasanya mobil seperti itu melintas menuju kepedalaman
alas di-tengah-tengah malam seperti ini.

Tapi, nampaknya siapa pun yang sedang duduk dibangku


sopir memiliki alasannya sendiri kenapa dia harus memacu
mobilnya yang sedikit berkarat itu dengan kecepatan tinggi,
bahkan, tak dihiraukannya jalanan yang ada di depan yang
dipenuhi sedikit lumpur akibat hujan disore tadi.

Tak lama setelah dia berhasil melewati halang rintang,


menyusuri kegelapan alas yang seperti ingin menelannya
hidup-hidup, Ia berhasil sampai disebuah rumah kayu. tak
lama kemudian terlihat seseorang yang melangkah turun
dari dalam mobil, rupanya, itu adalah Pardi, seorang lelaki
paruh bayah yang biasa dikenali oleh orang-orang sebagai
petani sayur, Ia juga biasa mengenakan topi kain yang
sudah menjadi ciri khasnya.

Pardi dikenal ramah dan baik oleh orang-orang kampung,


namun, semua itu tidak bisa menutupi kalau sudah menjadi
rahasia umum kalau selain sebagai petani sayur, Pardi
memiliki pekerjaan yang lain sebagai ANGGENG. Salah
satu dari pekerjaan yang membuatnya disegani atau lebih
tepatnya, ditakuti.

2
Pardi sempat mengambil sesuatu dari bak belakang
mobilnya yang diselimuti kain terpal, dengan benda itu yang
kini ada di-tangannya, Pardi kemudian berjalan mendekat,
entah apa tujuannya datang ke rumah kayu ini karena Pardi
berjalan perlahan-lahan menuju ke rumah kayu tersebut.

Sesampainya dia diluar pintu, digedorlah pintu kayu itu


dengan cara membabi buta. "BLARR!! BLARRR!!
BLARRR!!”

Tak lama kemudian seorang pria tua renta yang badannya


sekurus gagang sapu membukakan pintu. dengan nada
suara yang kasar Pardi kemudian berbicara, “Aku merene
mergo oleh perintah soko Kanjeng Puteri, kanggo nagih
janjimu, pak poh?” (Aku kesini karena mendapat perintah
dari Kanjeng Puteri, untuk menagih janjimu, pak tua?), pria
tua itu menatap Pardi dengan tubuh gemetar hebat,
mulutnya ikut menanggung beban ketakutan, sehingga
kosakata- kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar
gagap dihadapan Pardi yang rupanya membawa sebilah
parang berwarna hitam ditangannya.

“ngapunten mas, ngapunten, kulo janji bakal ngasih nopo


sing sampun kulo janji-aken, tapi, kulo nuwun, nek janji sing
wes kulo gawe mbiyen kulo ateng kanggo nyowo—ku
dewe” (maaf mas, maaf sekali, saya berjanji akan
memberikan apa yang sudah pernah saya janjikan, tapi,
saya mohon, kalau bisa janji yang sudah saya buat itu
ditukar dengan nyawa saya sendiri)

Tanpa membuang-buang—waktu, Pardi kemudian


menghunuskan parang hitam tepat dileher pria tua itu yang

3
kini celananya basah karena terkencing-kencing, menukar
dengan nyawa dia bilang, lihat parang saja sudah kencing
berdiri, tapi, sebelum Pardi menggorok batang leher pria
tua yang mungkin berkisar diumur 70—tahunan itu, dari
dalam rumah terdengar sebuah suara, suara dari bayi yang
sedang menangis.

Pardi kemudian mendorong, menyingkirkan tubuh pria tua


itu dari hadapannya, dengan ekspresi bengis dia berjalan
menuju kearah kelambu serambi yang ada didalam rumah
dan ketika Pardi menyibak tirai tersebut, dia menemukan
pemuda yang sejak tadi dia cari rupanya sedang berdiri
bersama dengan seorang perempuan muda, mereka
menatap Pardi dengan ekspresi ketakutan, sementara
ditangan si perempuan dia sedang menggendong bayi
kecil, terjadi keheningan didalam rumah itu. Pardi yang
sejak tadi bingung kini mengerti apa yang sebenarnya
terjadi di rumah ini.

Dalam sekali hembusan angin yang bertiup


menggoyangkan ranting-ranting diatas pohon, Pardi
kemudian berkata, “kowe ra ngerti karo sopo kowe
berurusan pak poh” (kamu tidak mengerti dengan siapa
kamu berurusan pak poh), “nek aku dadi kowe, aku bakal
minggat karo anak lan mantuku sak putuku sak iki, sak
adoh-adohe, ojok sampe dekne nemokno kowe, soale,
menungso sing kowe ikat janjine iki, guguk menungso
sembarangan, kowe bakal milih gawe janji ambek Kaudro
pisan ae, timbangane ambek siji tekan Trah sing paling ra
nduwe welas asih, Trah Rayit iku ngunu nduwuro jelmaane
IBLIS!! NGALIHO!! TIMBANGANE AKU BERUBAH
PIKIRAN, OJOK SAMPEK KOWE MBALIK MANEH NANG

4
TANAH IKI, NGERTI!!” (kalau aku menjadi kalian, aku akan
pergi membawa anak dan mantuku serta cucuku sekarang
juga, sejauh mungkin, jangan sampai dia menemukan
kalian, karena manusia yang kalian ikat janjinya ini, bukan
manusia sembarangan, kalian akan lebih baik kalau
memilih membuat janji dengah setan gunung sekalian,
daripada dengan saty dari Trah yang paling tidak punya
rasa kasihan, Trah Rayit itu jauh lebih sinting bahkan dari
jelmaan IBLIS sekali pun!! PERGILAH!! DARIPADA AKU
BERUBAH PIKIRAN, JANGAN SAMPAI KALIAN KEMBALI
KE TANAH INI, MENGERTI!!)

Pria itu kemudian berlari masuk menuju kedalam rumah, Ia


berkata kepada anak dan menantunya, “kowe kabeh wes
krunungu opo sing diomongke karo ANGGENG mau,
cepert jupuken opo sing iso digowo, trus ayok kene minggat
sing adoh!!” (kalian semua dengar apa yang baru saja
dikatakan oleh ANGGENG tadi, cepat ambil apa yang bisa
dibawa lalu kita segera pergi jauh)

Pardi kemudian duduk termangu diam diatas kap mobil


miliknya, ia memandangi langit hitam yang tak sekali pun
ada bintang diatasnya, dengan rokok tembakau yang dia
balut dengan kertas miliknya sendiri, Ia hembuskan
kepulan asap sampai memenuhi udara yang semakin lama
semakin terasa dingin, tak berselang lama, Pria tua itu
menemui dirinya untuk terakhir kali, sekilas Pardi melihat
kearah anak dan menantunya yang berdiri sambil memeluk
bayi mungil itu.

5
“lapo kowe gelem nolong keluargaku padahal kowe iku
Anggeng?” (kenapa kamu mau menolong keluargaku
padahal kamu adalah Abdi-nya?)

Pardi kemudian tersenyum tulus untuk pertama kalinya


sejak terakhir kali dia bisa tersenyum seperti itu sewaktu
kemarin melihat isterinya yang baru saja melahirkan
seorang anak perempuan, “aku sek tas nduwe anak, dadi
aku ngerti perasaanne cah kui” (aku baru saja memiliki
seorang anak, jadi aku mengerti perasaannya anak itu),
ucapnya sambil menunjuk anak lelaki dari pria tua tersebut.
bagaimana pun dia tidak tahu apa hubungan antara
perjanjian orang itu dengan pria tua ini yang melibatkan
putera laki-lakinya ini.

“maturnuwun, maturnuwun sanget!!”, kata pria tua itu


sembari menunduk, ari matanya berlinangan, bersama-
sama mereka kemudian pamit pergi.

“wes budalo, tingglno nggon iki, ojok sampe mikir mbalik


nang kene!!” (sudah berangkatlah!! Tinggalkan tempat ini,
jangan sampai berpikir untuk kembali kesini!!)

“janjiku nang sampean, putu-ku engkok bakal tak jenengi


jeneng sampean” (janjiku kepada anda, kalau cucuku nanti
akan kuberi nama yang sama dengan nama anda)

Pardi kemudian kembali menghisap batang rokok miliknya


lalu berkata untuk terakhir kalinya kepada pria tua tersebut.
“ra usah gawe janji nek ra iso ditepati” (jangan pernah
membuat janji kalau tidak bisa menepatinya).

6
Malam itu juga, mobil pick up milik Pardi meninggalkan
kediaman rumah kayu milik pria tua itu yang menatap
dirinya bersama dengan keluarga kecilnya.

“semoga kalian semua bisa selamat”. Batin Pardi sembari


melihat kearah spion.

***

7 hari kemudian.

Pardi baru saja selesai dari ladang, Ia sedang berjalan


menuju ke rumahnya. Tapi, aneh, tak biasanya Isteri dan
anak-nya yang masih bayi tidak menyambut dirinya
didepan pintu rumah. Selain itu, entah perasaannya saja
atau bagaimana, sejak tadi, Pardi merasa banyak sekali
warga desa yang memandangi dirinya dengan sorot mata
dan ekspresi yang ganjil, beberapa melihatnya dengan
tatapan yang penuh simpati, sementara yang lain hanya
menggeleng-gelengkan kepala, namun ada juga yang
melihatnya dengan ekspresi menahan senyum. seperti
menahan dendam yang selama ini ada didalam hati
mereka.

Pardi kemudian membuka pintu lalu memanggil-manggil


nama isterinya, “dek—dek, kowe nang ndi?” (dek, dek,
kamu ada dimana?)

Tapi, hening. Tak ada seorang pun yang menjawab


panggilannya itu, tau ada yang tidak beres, Pardi mulai
memikirkan segala kemungkinan kemana isterinya pergi,
apa ke rumah ibuk, batinnya, tapi kenapa harus menjelang

7
malam seperti ini, lagipula Pardi bisa mengantarnya kalau
memang mau ke rumah ibuk. Namun, tak lama berselang
Pardi menyadari kalau dirinya mendengar suara wanita
seperti sedang berkidung, suaranya halus nan lembut, dan
Ia nampaknya sedang menyanyikan sebuah lagu malam,
lagu yang menceritakan tentang setan di dalam hutan yang
meminta imbalan setelah berhasil membunuh keluarga dari
suami yang pernah membuang isterinya.

Pardi terdiam sejenak, Ia tau kalau suara itu berasal dari


dalam kamarnya, aneh, apa ada orang yang masuk ke
dalam rumahnya, kalau benar, siapa, siapa yang berani
masuk ke dalam rumahnya. Semakin lama, suaranya
terdengar semakin senduh, membuat siapa pun yang
mendengarkan alunan kidung itu akan terhanyut
dibuatnya.

Pardi yang penasaran kini berdiri diluar pintu, Ia bersiap-


siap untuk melihat sosok dibalik tamu yang tak diundang
ini, yang dengan lancangnya menerobos masuk kedalam
rumahnya, namun, aneh, sewaktu Pardi membuka pintu
kamarnya, dia tidak menemukan apapun selain kamar
yang kosong, karena tidak mendapati siapa pun ditempat
ini, Pardi pun berniat untuk pergi meski pun dia sekarang
menjadi penasaran apakah suara yang dia dengar tadi
hanya imajinasinya belaka, sebelum, sesaat diujung
matanya Pardi melihat seorang wanita berambut panjang
sedang berdiri melihat dirinya dari samping ranjang tempat
tidurnya, tapi, saat Pardi akan memeriksanya, dia tidak
melihat siapa pun yang berada disana.

8
Ditengah-tengah kebingungan itu, tak lama kemudian Pardi
dikagetkan saat mendengar suara pintu rumahnya diketuk
oleh seseorang, Pardi yang berharap kalau yang mengetuk
pintu adalah isterinya seketika berjalan untuk melihat saat
Pardi dibuat terkejut karena yang datang bertamu ke
rumahnya rupanya adalah seseorang yang dia kenal,
Supri, kawan sekaligus Anggeng lain yang nampaknya
datang jauh-jauh hanya untuk bisa menemuinya.

“Kanjeng Puteri kepingin ketemu”

***

“Kowe ra gawe masalah to dek” (kamu gak buat masalah


kan dek)

Selama ini Supri sudah menganggap Pardi seperti adiknya


sendiri, sehingga tentu saja hal yang mengejutkan kalau
kanjeng puteri mengutus dirinya untuk menjemput Pardi
dengan cara yang seperti ini, kalau bukan masalah tentu
saja pasti ada alasan yang lebih penting menyangkut Pardi
yang tidak Supri ketahui sehingga kanjeng puteri harus
memanggilnya.

Pardi hanya diam saja, dirinya tidak mau menjawab


pertanyaan Supri, tapi Supri yang sudah memiliki banyak
pengalaman perihal masalah seperti ini bisa melihat kalau
ada gejolak ketakutan, kewaspadaan, dan kegelisahan di
mata Pardi, semua emosi itu bercampur menjadi satu.

9
Bersama-sama, mereka kemudian menembus jalanan
menuju kesuatu tempat nan jauh, melewati alas-alas yang
jauh lebih dalam menuju ke sebuah desa yang ada dilereng
gunung.

Supri tak memaksa Pardi menceritakan apapun yang


kemungkinan menjadi sumber masalah, dia hanya
meyakinkan kepada Pardi kalau ada sebab pastilah ada
akibat. Apapun yang sudah Pardi lakukan pasti mendapat
sebuah ganjaran yang entah apa yang saat ini sudah
menunggu mereka.

Setelah melewati jalan yang jauh, mobil yang dikendarai


oleh Supri sampai disebuah rumah megah dengan
bangunan khas peninggalan Belanda namun memiliki
bagian arsitektur kejawen pada beberapa titik, didepan
pagar megah itu juga tertulis sebuah nama Villa pribadi
milik seseorang. Villa—Angke-angke Andung. begitu orang
biasa memanggilnya.

Penjaga pagar seketika tau siapa yang datang dan


mempersilahkan mereka untuk masuk, tak lama kemudian
seroang pemuda datang menyambut Supri dan Pardi.

“wes suwe aku ra tau ndelok jenengan-jenengan, tuan


ngenteni nang Omah limo, monggo, kulo anteraken” (sudah
lama aku tidak melihat anda-anda sekalian, tuan sedang
menunggu di rumah lima, silahkan, saya antarkan)

Pardi dan Supri berjalan menyusuri taman dengan


berbagai tanaman-tanaman hias yang dirawat dengan
amat indah, selain itu, ada sedikit bagian-bagian yang tentu

10
saja membuat siapa pun yang datang melihatnya akan
senang saat menatapnya, patung-patung koleksi yang
dibentuk dengan wujud manusia-manusia dalam berbagai
pose terpampang luas diatas tanah-tanah berumput hijau,
mereka diukir dengan bahan keramik dan tembikar halus,
sehingga menampakkan keindahan yang bisa
memanjakan mata. siapapun yang melihatnya pasti akan
langsung jatuh cinta, terutama bagi mereka yang sangat
mencintai seni.

Pemilik Villa ini tentu adalah seorang penggila seni ukir


patung, atau bahkan mungkin beliau lah pelaku dibalik
keindahan-keindahan patung-patung ini.

Pardi dan Supri masih mengikuti pemuda tersebut yang


mungkin usianya sekitar 17 tahunan—tapi kejanggalan
saat dia berkata sudah lama dia tidak melihat mereka,
membuat Pardi berpikir, apakah dia pernah bertemu
dengan pemuda ini sebelumnya. Entahlah. Baik Pardi atau
Supri pasti tidak akan ingat, mengingat orang itu memiliki
banyak sekali dayang-dayang menawan yang ada
disekitarnya.

Saat akan memasuki halaman omah limo, pemuda itu


kemudian berhenti sebentar untuk melihat kearah dua
patung yang diletakkan didekat pohon beringin, anehnya,
patung-patung itu masih ditutupi oleh selembar kain
berwarna merah, Pardi dan Supri menyadari ada sesuatu
yang salah disini, tapi, pemuda yang memperkenalkan
dirinya dengan nama “Raka” itu, kemudian berkata kepada
mereka, “Tuan kepingin kulo nduduhke salah siji karyane
sing sek tas digawe nganggo tangan alus’e beliau, mas

11
Pardi, mas Supri, mboten keberatan too nek kulo nduduhke
karya niku, amergo niki perintah langsung saka kangjeng
Puteri” (Tuan ingin menunjukkan salah satu karyanya yang
baru saja beliau buat dengan tangannya yang sangat
halus, mas Pardi, mas Supri, tidak kebetan kan kalau saya
menunjukkan karyanya itu, karena ini perintah langsung
dari Kanjeng Puteri)

Pardi dan Supri tidak menjawab, pun dengan Raka yang


tidak menunggu jawaban mereka, maka, Raka segera
menarik kain yang menutupi patung-patung tersebut
dengan tangannya, manakala ketika selembar kain itu
merangsek turun dari tempatnya, Pardi dan Supri bisa
melihat wujud patung tersebut. Yang membuat Pardi tidak
dapat berkata-kata adalah ketika Pardi melihat bagaimana
rupa patung itu yang terlihat familiar bagi dirinya.

“Karya niki dijenengi kale tuan, sebagai, Memeluk murka”


(Karya ini diberikan nama oleh tuan, sebagai, memeluk
kemarahan), ada yang aneh dengan Pardi setelah melihat
patung itu, tubuhnya gemetar hebat, diikuti keringat dingin
yang ada pada keningnya, hal ini sebenarnya disadari oleh
Supri yang memilih untuk diam saja, karena dia tidak tahu
menahu perihal apa maksud dari patung-patung ini.
sepertinya patung ini bukanlah untuk dirinya.

Raka kemudian menuntun mereka kembali, dan masuk lah


mereka ke omah lima, dimana didalamnya seperti tanah
lapang yang dibungkus dengan lantai-lantai dan tembok-
tembok kayu berbahan jati asli, dimana di dalam satu
ruangan yang besar terlihat seorang pria tua sedang duduk

12
diatas sebuah kursi. Beliau sedang menatap ke tempat
Pardi dan Supri yang sedang berdiri.

“Suwe aku ra ndelok Anggeng-Anggengku” (sudah lama


rasanya aku tidak melihat Anggeng-anggengku), katanya
lembut.

Pria tua itu memiliki kepala nyaris botak dengan tubuh yang
sedikit gempal, Ia melihat Pardi dan Supri dari kursi
singgasana tempatnya biasa mengisirahatkan badan.

“kulo pamit dulu nggih tuanku Kala Baduro Sobo!!” (Saya


pamit dulu ya tuanku Kala Baduro Sobo!!), ucap Raka
kemudian sembari meninggalkan ruangan itu.

****

Baduro Sobo, biasa dikenal sebagai orang paling masyur


dan kaya raya di daerah ini, tanahnya ada dimana-mana,
bisnisnya menggeliat bagaikan tangan gurita, bahkan
beberapa menjuluki beliau dengan berbagai nama, tuan
Saudra, Bapak Jenggolo, hingga, Kanjeng Puteri. Tidak
ada, satu orang pun yang tidak mengenal beliau, namun
siapa yang menduga dibalik kemegahan yang sudah beliau
bangun, Sobo bukanlah orang yang sembarangan dan
bukan juga orang yang bisa dipermainkan, Sobo adalah
Sobo, dan darah ningrat yang mengalir dan melumuri
tubuhnya, membuat dirinya sangat-sangat dihormati
sebagai tuan segalanya.

13
Wajahnya tenang dan bijaksana, penampilannya juga
sederhana, murah senyum dan selalu baik dengan semua
orang, fisiknya juga tidak kalah menakjubkan, meski pun
tubuhnya terlihat gempal seperti orang yang obesitas tapi
tenaganya seperti seribu kuda, tidak hanya itu saja,
tingginya nyaris dua setengah meter, tidak seperti tinggi
kebanyakan orang-orang jawa pada umumnya, dan kini dia
berdiri dihadapan Pardi dan Supri yang setinggi dagunya.

“melok aku, nang” (ikutlah denganku, lanang) lanang =


Laki-laki.

Baduro Sobo membawa Pardi dan Supri kedalam sebuah


ruangan khurus di omah limo, dimana jalan masuknya
semakin dalam jauh ke anak tangga yang menurun
kebawah, di sana, keheningan dan kesunyian seperti
sudah menjadi kawan dekat, suara yang kecil bisa bergema
hebat dalam sisi-sisi bangunan yang terasa sempit, hal itu
lah yang membuat Sobo seringkali mengingatkan kepada
Pardi dan Supri untuk melangkan kaki-nya selembut
mungkin, karena banyak kengerian yang menyelimuti
tanah tempat Sobo tinggal ini.

“kabeh menungso iku nduwe rahasia, nanging ra onok


menungso sing bakal nduduhke rahasia ne, amergo,
rahasia iku bukan rahasia maneh nek wong sampek eroh
rahasia iku, ngerti nang” (semua manusia memiliki rahasia,
namun tidak ada manusia yang akan memberitahukan
rahasianya, karena, rahasia itu bukan lah rahasia lagi jika
orang sampai tau rahasia nya, mengerti nang)

14
Sobo berjalan menelusuri sebuah lorong panjang dimana
disamping kiri dan kanan, obor dari sebuah kayu menyala-
nyala dengan liar.

“Aku seneng nduwe Anggeng-anggeng koyok kowe-kowe


iki, tapi, onok waktune, yen menungso iso gawe salah.
bener gak omonganku nang?” (aku suka memiliki
Anggeng-anggeng seperti kalian, tapi, ada masanya, kalau
manusia itu bisa melakukan kesalahan. benar kan kataku
nang?)

Pardi dan Supri hanya mengangguk ketika Sobo


mengatakan hal itu, ada kejanggalan dengan matanya,
karena entah bagaimana Pardi melihatnya, sorot mata
Sobo beberapa kali seperti melihat kearah dirinya.

“nanging, aku iki keras koyok watu, nek aku wes ngomong
A kudu A, ojok sampe aku ngomong A trus oleh B, opo
maneh Z, iku bahaya nang, yo, paham?” (namun, aku ini
keras seperti batu, kalau aku sudah bicara A harus A,
jangan sampai aku ngomong A trus menjadi B, apalagi
dapat Z, itu sangat berbahaya nang, ya, paham kalian?)

Pardi dan Supri hanya diam saja. Mereka tidak mengatakan


apa-pun, namun, mereka berdua menyadari kalau ada
sesuatu yang coba disampaikan oleh Sobo kepada
mereka.

“nang kene” (di sini), kata Sobo saat menemui sebuah pintu
diujung lorong, dia kemudian meraih kunci dari kantung
celana miliknya, dengan gerakan perlahan dia mendorong

15
pintu itu, menyebabkan gema suaranya menggelegar
sampai ke ujung yang lain.

Tak lama kemudian, sebelum tubuhnya yang besar itu


melangkah masuk, Sobo lalu berkata, “aku bakal nduduhno
rahasiaku nang kowe, nanging onok bayarane nek kowe
kepingin eroh salah siji rahasiaku” (aku akan menunjukkan
kepada kalian rahasiaku, namun ada bayaran kalau kalian
ingin tau salah satu rahasiaku ini), “aku ra nerimo
penolakan, dadi kowe –kowe ra nduwe hak nolak, sak iki
langsung ae, timbangane ruwet monggo melebu disek..”
(aku tidak menerima penolakan, jadi kalian berdua tidak
memiliki hak untuk menolak, sekarang, langsung saja,
daripada semua bertambah rumit, silahkan masuk lebih
dulu..)

Baik Pardi dan Supri awalnya saling melihat satu sama lain.
sebelum bersama-sama mereka masuk kedalam sebuah
ruangan yang gelap gulita, Sobo yang kemudian mengikuti
dari belakang mengambil salah satu obor yang ada
didinding luar, kemudian menyalakan apa yang ada
didalamnya.

di sana rupanya terdapat sebuah panggung kecil dengan


tiga kursi yang sudah dipersiapkan, “kowe-kowe lunggu
nang pinggirku, aku bakal nduduhno sesuatu nang kowe-
kowe iki” (kalian berdua duduk lah disampingku, aku akan
menunjukkan sesuatu kepada kalian berdua)

Pardi dan Supri menuruti apa kata Sobo, mereka duduk


mengapit pria tua bongsor itu yang tak lama kemudian, tirai
yang berada diatas panggung tiba-tibaterbuka dengan

16
sendirinya setelah Sobo menepuk tangannya, dan di sana
dibalik panggung itu, muncul dua orang yang membuat
Pardi seketika dibuat tercengang ketika melihatnya.

Mereka adalah Pria tua dan anak laki-lakinya yang pernah


Pardi temui 7 hari yang lalu, apakah mereka tertangkap
oleh abdi Sobo yang lain, tangan dan tubuhnya diikat
secara terbalik, sementara mulutnya disumpal oleh sejenis
kain berwarna putih kusam, mereka dibuat tergantung
dengan posisi tubuh terbalik diatas sebuah panggung kayu
dimana tepat dibawah kepala mereka terdapat satu bak
masing-masing yang sudah terpasang dibawahnya.

“janji adalah hutang nang, pak Tua itu dulu berjanji akan
memberikan anaknya yang sudah berusia matang
kepadaku atas jaminan seluruh tanah ladang yang sudah
dia garap bertahun-tahun, sekarang, setelah semua
janjinya terpenuhi, dia justru lari, pergi meninggalkan janji
yang sudah dia buat denganku, bukankah tuhan sendiri
yang sudah bertitah agar janji ditepati”

Sobo kemudian berkata kepada Pardi, “kowe, jupukno


gelati nang mejo kui” (kamu cepat ambil pisau yang ada di
meja itu kepadaku), dalam kengerian yang dipenuhi oleh
teror, Pardi berjalan sambil melihat wajah pria tua itu dan
anak laki-lakinya yang melihat dirinya dengan mulut
tersumpal. “dimana isteri pemuda itu dan bayinya, apa
Sobo juga mendapatkannya. Gila. Orang ini benar-benar
gila dalam memperlakukan manusia” batin Pardi melihat
kegilaan ini.

Pardi terdiam menatap pisau yang ada dihadapannya.

17
“onok opo nang, opo kowe ragu karo aku, atau, onok sing
kepingin kowe omong no karo aku?” (ada apa nang, apa
kamu ragu denganku, atau, ada yang ingin kamu katakan
kepadaku?)

Pardi kemudian mengambil pisau tersebut, dia berjalan


perlahan-lahan menuju Sobo yang saat ini sedang berdiri
menungguinya. Wajah Sobo tersenyum menyeringai saat
melihat dirinya.

Dia kemudian melihat wajah orang-orang yang tergantung


itu setelah mendapatkan bilah pisaunya.

Sobo kemudian meraih patung kecil yang dibuat dari bahan


kain berwarna putih yang kesemuanya dibuat dengan
lilitan, “iki jenenge Pasak Jagor, aku lah seniman sing
paling pinter gawe ngene iki bahkan ilmu ku jauh gok
nduwure ATMOJO, dadi kowe-kowe sing wes ngingkari
janji, kudu nerimo ganjaran soko perbuatanmu yo..
HAHAHAHAHAHA!!” (ini namanya pasak Jagor, aku lah
seniman yang paling jenius dalam membuat ini bahkan
ilmuku jauh diatas ATMOJO, jadi kalian semua yang sudah
mengingkari janji, harus menerima ganjaran dari perbuatan
kalian)

Seketika, Sobo kemudian mengiris batang leher patung itu


dan entah bagaimana caranya, patung itu tiba-tiba saja
mengeluarkan cairan berwarna kemerah-merahan
layaknya seperti darah tapi dihadapan Pardi dan Supri,
mereka bisa melihat keanehan dimana dua orang yang
tergantung itu tiba-tiba saja menjerit seperti lehernya
disayat oleh bilah pisau seperti nasib patung kain yang ada

18
ditangan Sobo, darah mereka mengalir turun dari batang
leher ke atas bak-bak yang sudah dipersiapkan
sebelumnya. Darah kental berwarna merah kehitam-
hitaman itu seketika menggenangi bak itu.

Pardi hanya bisa melihat semua itu dalam keheningan, Ia


sekarang mengerti bahwa rumor yang menyebar itu benar.
Trah Rayit bukanlah Trah sembarangan. mereka sudah
tidak lagi memiliki hati bahkan dihadapan manusia lain.

*******

Semuanya berakhir ketika dua orang anak dan bapak itu


tubuhnya mengejang dalam waktu yang cukup lama,
mereka nampak tersiksa dengan segala kondisi siksaan
yang sudah Sobo lakukan kepada mereka, sebelum
akhirnya mereka benar-benar mati perlahan-lahan, dan tak
lama kemudian ketika Pardi berpikir bagaimana semua ini
bisa terjadi, Sobo kemudian menatap dirinya dengan sorot
mata yang tajam, “awakmu yo nduwe sumpah karo aku kan
nang?” (kamu bukankah juga punya sumpah denganku
kan?)

Pardi mengangguk, tubuhnya gemetaran, “opo sumpahmu


nang?” tanya Sobo, Pardi yang sudah diselimuti ketakutan
lalu berkata dengan suara terbata-bata, “mengabdi sampai
mati kale jenengan” (mengabdi sampai mati dengan anda)

19
“bagos!!” kata Sobo, “opo kowe wes njalanno tugas teka
Kanjeng Puteri?” (bagus!! Apa kamu sudah menjalankan
tugas dari Kanjeng Puteri??)

Pardi terdiam cukup lama, apakah orang tua ini bisa tahu
hal-hal seperti ini, Sobo nampak sedang menunggu
jawaban, sebelum dengan setengah terisak Pardi berkata,
“belum!!” “tapi—ta—tapi, kulo berjanji mulai sak niki ra
bakal ngelanggar sumpah kulo kale jenengan?!” (tapi, ta,
tapi, mulai sekarang saya berjanji tidak akan melanggar
sumpahku kepada anda?!)

“ya wes lek ngunu, tak sepuro awakmu, tapi, sumpah sing
wes dikhianati kudu onok imbalane nang, kowe siap?” (ya
sudah kalau begitu, ku maafkan, tapi, sumpah yang sudah
terkhianati harus ada ganti ruginya nang, kamu siap?)

Pardi terdiam, ia tidak tahu harus berkata apa kepada


Sobo. tubuhnya rasanya sudah mati rasa. Sobo kemudian
berkata,

“tangan kiwo opo tengen?” (tangan kiri apa tangan


kanan??)

Pardi tidak mengerti maksud pertanyaan Sobo kepadanya.


Dia hanya bisa melihat orang sinting itu kemudian matanya
beralih menatap ke Supri yang sejak tadi hanya diam saja
sambil menundukkan kepalanya, “apa maksudnya tangan
kiri atau tangan kanan ini?”

“jawaben, aku ra seneng ngenteni!!” (jawablah, aku tidak


suka menunggu)

20
Dengan wajah pucat, Pardi lalu berkata, “ki—ki—kiwo”
(ki—ki—kiri)

Sobo mengangguk, lalu menepuk bahu Supri yang seketika


mendekati Pardi yang hanya bisa diam membeku
ditempatnya, Supri menyeret meja kayu yang ada
didekatnya, lalu menarik paksa tangan Pardi dan
menempelkannya diatas permukaan meja sebelum
memotong keempat jari yang ada ditangan kiri Pardi yang
seketika menjerit-jerit karena kesakitan. Supri sebenarnya
tidak tega melakukannya namun kalau dia tidak melakukan
itu, Pardi tidak akan pernah belajar cara menjadi Anggeng
yang sebenarnya. Maka, malam itu, Supri berusaha sekuat
dan secepat mungkin memisahkan tulang-tulang jari Pardi
dan memberikannya untuk Sobo yang kemudian melengos
pergi. Tapi, sebelum Sobo pergi dari tempat ini, dia
menunjukkan tirai lain disamping panggung tempat dimana
terdapat patung lagi yang ditutupi oleh tirai.

“kowe wes ngerti rahasiaku, nek kowe sampe ngulangi


masalah iki maneh, kowe bakal ngerti yo opo, Kala Baduro
Sobo, ngancurno uripe wong cilik koyok kowe kabeh iki”
(kau sudah mengerti rahasiaku, kalau sampai kau
mengulangi kesalahan ini lagi, kau akan mengerti
bagaimana Kala Baduro Sobo dalam menghancurkan
hidup orang ekcil seperti kalian ini)

Pardi hanya bisa menangis sembari memegangi tangannya


yang sudah kehilangan keempat jarinya, dia kemudian
menatap ke tirai itu, dengan menahan sakit yang teramat
sangat, Pardi memohon kepada Supri untuk membuka kain
itu, karena entah kenapa dia merasa kalau ada sesuatu

21
dibalik kain itu yang berhubungan dengan dirinya. Supri
yang sebenarnya sudah tidak tega sempat berkata kalau
lebih baik Pardi mengurungkan niat untuk melihatnya, tapi,
Pardi bersikeras bahkan mengancam akan membunuh
Supri saat ini juga kalau tidak melakukan apa yang dia
perintahkan, karena merasa kasihan, Supri menuruti apa
kata Pardi, dan setelah Supri selesai melakukannya, di
sana, Pardi dan Supri melihat patung isteri Pardi sedang
duduk menggendong bayi perempuannya.

22

Anda mungkin juga menyukai