Anda di halaman 1dari 56

POLA KONSUMSI OLAHAN JAGUNG DAN POTENSI

PAPARAN AFLATOKSIN DI INDONESIA

LAILI INDAH PERMATASARI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2022
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “POLA


KONSUMSI OLAHAN JAGUNG DAN POTENSI PAPARAN
AFLATOKSIN DI INDONESIA” adalah karya saya dengan arahan dari
dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bontang, Agustus 2022

Laili Indah Permatasari


F24180115
RINGKASAN
LAILI INDAH PERMATASARI. Pola Konsumsi Olahan Jagung dan Potensi
Paparan Aflatoksin di Indonesia. Dibimbing oleh DIAS INDRASTI dan YULI
SUKMAWATI.

Konsumsi pangan sumber karbohidrat utama penduduk Indonesia masih


bergantung pada satu jenis pangan yaitu beras. Beras merupakan makanan pokok
yang paling digemari oleh masyarakat. Konsumsi beras di Indonesia akan terus
meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Sehingga diperlukan
upaya pemerintah untuk melakukan program diversifikasi pangan lokal untuk
mengonsumsi pangan sumber karbohidrat selain beras. Salah satu komoditas bahan
pangan lokal sumber karbohidrat adalah jagung. Jagung banyak ditemukan dan
dikenal luas di kalangan masyarakat Indonesia karena berpotensi untuk dikonsumsi
sebagai pangan sumber karbohidrat. Pola konsumsi pangan mencakup jenis, jumlah
dan frekuensi pangan yang dikonsumsi dalam selang waktu tertentu. Tetapi iklim
tropis di Indonesia memungkinkan jagung untuk tercemar oleh kapang Aspergillus
flavus penghasil aflatoksin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola
konsumsi jagung dan olahannya serta kontribusi terhadap asupan karbohidrat, dan
mengevaluasi potensi paparan aflatoksin pada jagung yang dikonsumsi di Indonesia.
Metode yang digunakan adalah metode survei dengan semi quantitatif food
frequency questionnaire (SQ-FFQ).
Berdasarkan hasil penelitian, olahan jagung dapat dikonsumsi sebagai
makanan pokok (pengganti nasi) dan makanan selingan/snack. Olahan jagung di
Indonesia lebih banyak dikonsumsi sebagai makanan selingan/snack. Bentuk
olahan jagung yang paling banyak dikonsumsi sebagai makanan pokok adalah
jagung rebus dan nasi jagung. Sedangkan bentuk olahan jagung yang paling banyak
dikonsumsi sebagai makanan selingan/snack adalah jagung rebus, bakwan/perkedel
jagung dan jagung bakar. Berdasarkan hasil survei, provinsi dengan konsumsi
jagung paling tinggi adalah Sulawesi Tengah, Papua Barat dan Gorontalo,
sedangkan berdasarkan in-depth interview provinsi Riau, Sulawesi Tengah dan
Kalimantan Utara. Terjadi pergeseran daerah konsumsi jagung. Jumlah kontribusi
konsumsi jagung terhadap asupan karbohidrat tiap individu adalah sebesar 0,52%
dari angka kecukupan gizi orang dewasa.
Konsumsi jagung di Indonesia berdasarkan hasil survei sebesar 9,00
g/kapita/hari atau 0,28 kg/kapita/bulan sedangkan hasil in-depth interview sebesar
8,71 g/kapita/hari atau 0,26 kg/kapita/bulan. Hasil ini menunjukkan peningkatan
dibandingkan data konsumsi susenas tahun 2021. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi konsumsi jagung yaitu ketersediaan jagung provinsi, keberagaman
jenis olahan berbahan dasar jagung dan kebiasaan konsumsi pangan rumah tangga
(budaya dan selera makan). Jagung termasuk komoditas yang mudah terserang
kapang Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Kapang Aspergillus flavus yang
menghasilkan aflatoksin banyak ditemukan mencemari jagung selama tahap
pascapanen. Potensi paparan aflatoksin dari mengonsumsi jagung Indonesia
tergolong rendah karena jagung yang dikonsumsi dikonsumsi kebanyakan dalam
bentuk olahan dari jagung segar.

Kata kunci: Aflatoksin, jagung, karbohidrat, olahan jagung, pola konsumsi


SUMMARY
LAILI INDAH PERMATASARI. Consumption Patterns of Processed Corn
and Potential Aflatoxin Exposure in Indonesia. Supervised by DIAS INDRASTI
and YULI SUKMAWATI.

The consumption of food as the main source of carbohydrates for the


Indonesian population still depends on one type of food, namely rice. Rice is the
staple food that is most favored by the people. Rice consumption in Indonesia will
continue to increase along with the increase in population. So the government's
efforts are needed to carry out a local food diversification program to consume food
sources of carbohydrates other than rice. One of the local food commodities as a
source of carbohydrates is corn. Corn is widely found and widely known among the
people of Indonesia because it has the potential to be consumed as a food source of
carbohydrates. The pattern of food consumption includes the type, amount and
frequency of food consumed within a certain time interval. But the tropical climate
in Indonesia allows corn to be contaminated by the aflatoxin-producing Aspergillus
flavus mold. This study aims to analyze the consumption pattern of corn and its
processed products and their contributions to carbohydrate intake, and to evaluate
the potential exposure to aflatoxins in corn consumed in Indonesia. The method
used is a survey method with a semi-quantitative food frequency questionnaire (SQ-
FFQ).
Based on the research results, processed corn can be consumed as a staple
food (substitute for rice) and as a snack. Processed corn in Indonesia is mostly
consumed as a snack. The processed forms of corn that are most widely consumed
as staple foods are boiled corn and corn rice. While the processed forms of corn that
are mostly consumed as snacks are boiled corn, bakwan/corn cakes, and roasted
corn. Based on the survey results, the provinces with the highest corn consumption
were Central Sulawesi, West Papua, and Gorontalo, while based on in-depth
interviews the provinces were Riau, Central Sulawesi, and North Kalimantan. There
is a shift in the area of corn consumption. The contribution of corn consumption to
each individual's carbohydrate intake is 0.52% of the adult nutritional adequacy rate.
Corn consumption in Indonesia based on survey results is 9.00 g/capita/day
or 0.28 kg/capita/month, while the results of in-depth interviews are 8.71
g/capita/day or 0.26 kg/capita/month. These results show an increase compared to
the 2021 Susenas consumption data. Factors that can affect corn consumption are
the availability of provincial corn, the diversity of types of processed corn based on
corn and household food consumption habits (culture and appetite). Corn is a
commodity that is susceptible to the aflatoxin-producing Aspergillus flavus mold.
The mold Aspergillus flavus which produces aflatoxins, was found to contaminate
maize during the post-harvest stage. The potential for exposure to aflatoxins from
consuming Indonesian corn is low because the corn consumed is mostly processed
from fresh corn.

Keywords: Aflatoxin, corn, carbohydrate, corn processing, consumption pattern


1

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2022


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
POLA KONSUMSI OLAHAN JAGUNG DAN POTENSI
PAPARAN AFLATOKSIN DI INDONESIA

LAILI INDAH PERMATASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana pada
Program Studi Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2022
Tim Penguji pada Ujian Skripsi:
1. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS, IPU
Judul Skripsi : Pola Konsumsi Olahan Jagung dan Potensi Paparan Aflatoksin di
Indonesia
Nama : Laili Indah Permatasari
NIM : F24180115

Disetujui oleh

Pembimbing 1:
Dr. Dias Indrasti, S.TP, M.Sc.
NIP: 19820308 200501 2001 __________________

Pembimbing 2:
Yuli Sukmawati, S.TP, M.M __________________
NIP. 19800711 200910 2002

Diketahui oleh

Ketua Departemen:
Dr. Eko Hari Purnomo S.TP, M.Sc __________________
NIP: 19760412 199903 1004

Tanggal Ujian: 5 Agustus 2022 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT berkat segala karunia-
Nya sehingga penulis telah berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “Pola
Konsumsi Olahan Jagung dan Potensi Paparan Aflatoksin di Indonesia”. Penulisan
skripsi ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah
memberikan bantuan serta dukungannya selama proses penulisan skripsi sebagai
berikut:
1. Dr. Dias Indrasti S.TP, M.Sc. sebagai dosen pembimbing yang telah
membimbing dan memberi arahan, masukan, kritik selama penyusunan dan
penulisan skripsi.
2. Yuli Sukmawati S.TP, M.M sebagai dosen pembimbing ke 2 yang telah
memberikan arahan, masukan dan kritik selama penyusunan dan penulisan
skripsi.
3. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS, IPU sebagai penguji skripsi yang telah
bersedia dan memberikan masukan dan saran selama pengujian
berlangsung.
4. Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI yang telah
memberikan dukungan dan pendanaan pada penelitian ini
5. Kedua orang tua yaitu Bapak Trihana dan Ibu Ari Nuryati serta kakak
Hanief Nur F. dan adik Nadia Febrian A. yang telah membantu memberikan
motivasi penyemangat, dukungan dan doa kepada penulis selama penulisan
skripsi.
6. Teman-teman (YPK dan ITP angkatan 55) yang telah memberikan bantuan,
dukungan, doa, semangat, menemani dan membersamai penulis selama
menjalani masa perkuliahan agar terus maju dan menjadi lebih baik.
7. Afrizal Hidayat, Milania Fransiska, Zahratiza Nayami, Dhini, Waffa,
Abdan, Shada, Kamil, Talia dan Fatah selaku teman dekat penulis.
8. Dinda Handayani, Mutia Khaerunnisa, As Syifa Amanda Putri, Alfan Setya
Budi, Faizal, Muhammad Aushol Amri, Raden Rani Oktaviani, Raihan
Fadhilah Afra Yuliandi, Adininggar Murti Feri Eka Abdurahman, Agung
Muhajir, Adininggar Murti dan Shella Putri selaku teman dekat penulis
selama menjalani perkuliahan di IPB.
9. Semua pihak yang telah bersedia membantu, meluangkan waktu selama
pengumpulan data dan kelancaran penulis dalam penulisan skripsi yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi masih terdapat
kekurangan. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada para
pembaca dan pihak yang membutuhkan.

Bontang, Agustus 2022

Laili Indah Permatasari


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv


DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv
I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
1.4 Manfaat 2
II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 3
2.1 Jagung 3
2.2 Produk Olahan Jagung 4
2.3 Pangan Lokal 5
2.4 Pola Konsumsi Pangan dan Konsumsi Karbohidrat 6
2.5 Cemaran Aflatoksin pada Jagung 7
III METODE ......................................................................................................... 8
3.1 Waktu Penelitian 8
3.2 Alat dan Bahan 8
3.3 Tahapan Penelitian 8
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 12
4.1 Profil umum responden survei 12
4.2 Pola Konsumsi Olahan Jagung dari hasil survei 16
4.3 Kontribusi konsumsi jagung terhadap asupan karbohidrat di
Indonesia dari hasil survei 20
4.4 Profil Umum Responden in-depth Interview 21
4.5 Pola Konsumsi Olahan Jagung dari Hasil In-depth Interview 22
4.6 Kontribusi konsumsi jagung terhadap asupan karbohidrat di
Indonesia hasil in-depth interview 25
4.7 Cemaran aflatoksin pada jagung dan potensi paparan aflatoksin dari
jagung di Indonesia 26
V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 29
5.1 Simpulan 29
5.2 Saran 29
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 30
LAMPIRAN .......................................................................................................... 34
Lampiran 1 Daftar pertanyaan kuesioner (survei) 34
Lampiran 2 Daftar pertanyaan kuesioner (in-depth interview) 40
Lampiran 3 Surat keterangan lolos kaji etik 41
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 42
xii

DAFTAR TABEL

1 Tabel 1 Kandungan gizi jagung (manis, kuning, mentah) 4


2 Tabel 2 Faktor konversi olahan jagung 11
3 Tabel 3 Jenis kelamin responden 12
4 Tabel 4 Rentang usia responden 12
5 Tabel 5 Pendidikan responden 13
6 Tabel 6 Pekerjaan responden 13
7 Tabel 7 Pendapatan responden 14
8 Tabel 8 Jumlah anggota keluarga responden 14
9 Tabel 9 Posisi responden dalam keluarga 15
10 Tabel 10 Asal provinsi responden 15
11 Tabel 10 Asal provinsi responden (lanjutan) 16
12 Tabel 11 Kontribusi konsumsi jagung terhadap asupan karbohidrat
individu 20
13 Tabel 12 Lokasi tempat tinggal responden 21
14 Tabel 13 Asal provinsi responden 21
15 Tabel 13 Asal provinsi responden (lanjutan) 22
16 Tabel 14 Kontribusi konsumsi jagung terhadap asupan karbohidrat
individu 25
17 Tabel 15 Kandungan aflatoksin pada olahan jagung 27
18 Tabel 16 Perbandingan konsumsi jagung dan kandungan aflatoksin 27

DAFTAR GAMBAR

19 Gambar 1 Komposisi biji jagung (NCGA 2013) 3


20 Gambar 2 Tahapan penelitian 8
21 Gambar 3 Bentuk konsumsi olahan jagung 17
22 Gambar 4 Konsumsi olahan jagung sebagai makanan pokok 17
23 Gambar 5 Konsumsi olahan jagung sebagai makanan selingan/snack 18
24 Gambar 6 Rata-rata konsumsi olahan jagung provinsi 19
25 Gambar 7 Rata-rata konsumsi olahan jagung hasil in-depth interview 23
26 Gambar 8 Konsumsi jagung per provinsi hasil in-depth interview 24
27 Gambar 9 Konsumsi olahan jagung responden 24
28 Gambar 10 Konsumsi jagung secara rutin dan tidak rutin 25

DAFTAR LAMPIRAN

29 Lampiran 1 Daftar pertanyaan kuesioner (survei) 34


30 Lampiran 2 Daftar pertanyaan kuesioner (in-depth interview) 40
31 Lampiran 3 Surat keterangan lolos kaji etik 41
1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berdasarkan Badan Ketahanan Pangan (2014), konsumsi pangan merupakan
makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh seseorang, kelompok maupun
penduduk dalam jumlah tertentu guna memenuhi kebutuhan gizi. Idealnya,
makanan yang dikonsumsi oleh keluarga harus bergizi, beragam, sehat dan aman
seperti yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mencapai pola pangan sehat. Pola
konsumsi pangan yang beragam baik untuk kesehatan. Namun, banyak keluarga
yang tidak dapat mengakses pangan secara beragam. Sehingga diperlukan upaya
untuk memfasilitasi agar mendapatkan pangan yang beragam dengan jumlah yang
cukup (Adha et al. 2019). Pangan beragam yang dimaksud adalah pangan yang
tidak hanya berpusat pada satu bahan pokok saja. Seperti sebagai sumber
karbohidrat, tidak hanya berasal dari beras tetapi juga dapat berasal dari sumber
bahan pokok lokal lainnya seperti jagung, singkong, kentang, talas, pisang dan sagu.
Pola konsumsi masyarakat di daerah dipengaruhi oleh ketersediaan bahan
pangannya. Hasil alam yang tersedia di wilayah tempat tinggal akan digunakan
sebagai kebutuhan masyarakatnya.
Konsumsi pangan sumber karbohidrat utama penduduk Indonesia masih
bergantung pada satu jenis pangan saja yaitu beras. Beras merupakan makanan
pokok yang paling digemari oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
karbohidrat. Konsumsi beras penduduk Indonesia tahun 2019 sebesar 94,9
kg/kapita/tahun (Badan Ketahanan Pangan 2020). Konsumsi beras akan mengalami
peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia.
Pengetahuan masyarakat terhadap pangan lokal sumber karbohidrat selain beras
perlu ditingkatkan. Adapun pangan lokal lain yang dapat dikonsumsi oleh
masyarakat sebagai sumber karbohidrat selain beras adalah jagung.
Di Indonesia, jagung menduduki peringkat kedua sebagai sumber karbohidrat
setelah beras (Purwono dan Hartono 2011). Kandungan karbohidrat pada jagung
manis sebesar 18,70 g per 100 g bagian yang dapat dimakan (USDA 2019). Jagung
dikenal luas di kalangan masyarakat Indonesia karena dapat dijadikan sebagai
makanan pokok pengganti nasi dan berbagai makanan olahan. Penduduk di daerah
Madura dan Nusa Tenggara, Sulawesi dan Jawa menjadikan jagung sebagai
makanan pokok. Menurut Kementerian Pertanian (Kementan) (2013), berdasarkan
jumlah kebutuhan jagung dalam negeri, lebih dari 58% digunakan sebagai pakan,
sedangkan untuk pangan hanya 30% dan sisanya digunakan untuk benih dan
kebutuhan industri lainnya. Sehingga diperlukan upaya peningkatan dalam
konsumsi jagung sebagai pangan.
Tanaman jagung tumbuh di daerah tropis sehingga cocok untuk ditanam di
Indonesia. Budidaya tanaman jagung dapat dilakukan di dataran rendah maupun
dataran tinggi. Namun, kondisi tersebut membuat jagung mudah terkontaminasi
kapang (Aristyawati et al. 2017). Salah satu jenis kapang yang sering ditemukan
mengontaminasi jagung adalah Aspergillus flavus. Aspergillus flavus menghasilkan
toksin aflatoksin. Cemaran aflatoksin menjadi indikator keamanan pangan.
Penelitian dibeberapa daerah menemukan jumlah cemaran aflatoksin jagung
melebihi 20 ppb (Tandiabang 2011). Jumlah ini melebihi batas maksimum yang
telah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan BPOM (Broto 2018).
2

Tingkat cemaran aflatoksin pada komoditas jagung masih tergolong tinggi pada
beberapa provinsi sehingga perlu diketahui penyebab terjadinya cemaran
aflatoksin.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan yang
dapat dirumuskan dalam penelitian yaitu:
1. Bagaimana gambaran pola konsumsi pangan lokal jagung dan olahannya di
Indonesia?
2. Bagaimana kontribusi konsumsi jagung dan olahannya terhadap asupan
karbohidrat di Indonesia?
3. Faktor apa saja yang dapat memengaruhi pola konsumsi pangan lokal jagung
dan olahan terhadap asupan karbohidrat di Indonesia?
4. Bagaimana potensi paparan cemaran aflatoksin pada jagung yang dikonsumsi di
Indonesia?

1.3 Tujuan
Berdasarkan hasil rumusan masalah yang telah ditentukan, tujuan yang ingin
dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pola konsumsi jagung dan olahannya di Indonesia sebagai sumber
karbohidrat.
2. Menganalisis kontribusi konsumsi jagung dan olahannya terhadap asupan
karbohidrat di Indonesia.
3. Mengidentifikasi faktor yang dapat memengaruhi pola konsumsi jagung dan
olahannya terhadap asupan karbohidrat di Indonesia.
4. Mengevaluasi potensi paparan cemaran aflatoksin pada jagung yang dikonsumsi
di Indonesia

1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat:
1. Menambah wawasan mengenai pola konsumsi pangan di Indonesia
2. Memberikan informasi jenis olahan jagung yang banyak dikonsumsi dan faktor
yang memengaruhi konsumsi jagung sehingga dapat dilakukan pengembangan
produk olahan hasil jagung untuk memenuhi sumber karbohidrat.
3. Mengetahui faktor apa saja yang memengaruhi terjadinya cemaran aflatoksin
dengan produksi jagung di Indonesia sehingga dapat memberikan gambaran
untuk mengurangi cemaran aflatoksin pada jagung.
4. Memberikan gambaran kepada pemerintah dalam upaya pengembangan
program perencanaan diversifikasi pangan lokal sumber karbohidrat khususnya
untuk produk jagung dan olahannya
5. Menjadi referensi atau literatur bagi peneliti selanjutnya dengan topik yang
berkaitan dengan penelitian ini.
3

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jagung
Jagung (Zea mays L.) merupakan serealia berbiji tunggal (monokotil). Jagung
di Indonesia menjadi sumber karbohidrat kedua setelah beras dan berperan penting
terhadap pertanian dan perekonomian (Purwono dan Hartono 2011). Tanaman
jagung termasuk dalam tanaman yang dapat tumbuh pada daerah dataran rendah
hingga daerah pegunungan dengan ketinggian tidak lebih dari 1800 mdpl. Tanaman
jagung memiliki tinggi 150-200 cm dengan jumlah daun bervariasi dari 8-15 helai
berwarna hijau. Kedudukan taksonomi tanaman jagung diklasifikasikan sebagai
berikut (Paeru dan Dewi 2017) :

Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledone
Ordo : Graminae
Famili : Graminaceae
Genus : Zea
Species : Zea mays L.

Tanaman jagung merupakan tanaman yang hampir seluruh bagiannya dapat


dimanfaatkan dan bernilai ekonomis. Batang dan daun tanaman jagung dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak, buah jagungnya dapat dikonsumsi seperti
diolah menjadi bakwan jagung, mie jagung, popcorn maupun dikonsumsi hanya
dengan direbus. Biji jagung terdiri atas bagian kulit buah, daging buah dan inti buah.
Biji jagung memiliki komposisi yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Komposisi biji jagung (NCGA 2013)


Jagung merupakan komoditas yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi
bahan pangan pokok alternatif. Kandungan gizi yang terkandung dalam jagung
terutama karbohidrat dan protein dinilai cukup tinggi sehingga dapat dijadikan
sebagai pangan pokok alternatif sumber karbohidrat. Kandungan kimia dan gizi
pada jagung dapat dilihat pada Tabel 1. Tanaman jagung dapat tumbuh pada daerah
dengan tingkat kesuburan tanah yang baik. Menurut Riwandi et al. (2014), terdapat
beberapa wilayah di Indonesia yang tercatat sebagai penghasil jagung yaitu
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa
Timut, D.I. Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi Utara, dan
4

Sulawesi Selatan. Jagung umumnya dikonsumsi sebagai makanan pokok oleh


penduduk daerah Madura dan Nusa Tenggara. Selain itu, jagung tidak hanya
dibudidayakan dan dikonsumsi sebagai pangan manusia tetapi juga sebagai pakan
ternak dan digunakan sebagai kebutuhan bahan baku industri lainnya.

Tabel 1 Kandungan gizi jagung (manis, kuning, mentah)

Kandungan nutrisi Satuan Kandungan per


100 g
Air g 76
Energi kkal 86
Energi kJ 360
Protein g 3,27
Lemak g 1,35
Karbohidrat by difference g 18,70
Serat pangan g 2
Kadar Abu g 0,62
Besi (Fe) mg 0,52
Kalsium (Ca) mg 2
Magnesium (Mg) mg 37
Fosfor (P) mg 89
Kalium (K) mg 270
Thiamin mg 0,155
Riboflavin mg 0,055
Natrium mg 15
Sumber: United States Department of Agriculture 2019 (Food Data Central (usda.gov))

2.2 Produk Olahan Jagung


Produksi jagung di Indonesia semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Jagung merupakan bahan pangan lokal yang mudah dalam pengolahannya. Seiring
bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan industri lainnya, pemanfaatan
jagung dinilai semakin meningkat tiap tahunnya. Program diversifikasi pangan
lokal ditujukan agar masyarakat dapat mengonsumsi pangan lokal yang beragam
selain beras. Dengan mengonsumsi olahan jagung maka telah berkontribusi
terhadap program diversifikasi pangan. Olahan jagung diyakini menjadi sumber
karbohidrat, protein dan energi yang bermanfaat sebagai ketahanan pangan.
Jagung memiliki warna, bentuk dan tekstur yang berbeda tergantung dari
jenisnya. Jagung terbagi menjadi enam jenis berdasarkan bentuk bijinya. Enam
jenis jagung tersebut adalah dent, flint, flour, sweet, pop corn, dan pod corn.
Terdapat tiga jenis jagung yang umum digunakan sebagai produk olahan. Pertama
adalah dent corn yaitu memiliki biji keras dengan dua jenis jagung yaitu jagung
kuning dan jagung putih biasanya diolah dalam produk pangan. Kedua adalah flint
corn yang memiliki biji keras dan bulat. Jika sudah tua dapat diolah menjadi tepung
sedangkan jika masih muda dapat dikonsumi sebagai jagung rebus maupun diolah
menjadi sayur. Terakhir adalah sweet corn jenis jagung ini yang paling banyak
dikonsumsi karena memiliki rasa yang manis dan dapat diolah menjadi sayur.
5

Jagung manis dapat dikonsumsi dalam bentuk segar seperti jagung rebus atau
jagung bakar. Selain itu, bentuk olahan jagung yang populer adalah nasi jagung,
mie jagung, grontol jagung, bakwan jagung dan brondong jagung (popcorn).
Dahulu, masyarakat Indonesia mengonsumsi nasi jagung sebagai pengganti nasi
beras. Nasi jagung banyak dikonsumsi oleh masyarakat pedesaan namun saat ini
banyak dari masyarakat perkotaan yang juga mengonsumsi nasi jagung. Menurut
Novianti et al. (2017), nasi jagung merupakan makanan khas Indonesia dengan
berbahan dasar jagung. Nasi jagung dapat digunakan sebagai pangan pokok
pengganti nasi beras karena kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi dan juga
memiliki indeks glikemik yang rendah. Nasi jagung banyak dikonsumsi oleh
masyarakat di daerah Madura dan beberapa daerah di Jawa Timur. Selain itu, mie
jagung merupakan makanan yang dapat dikonsumsi oleh berbagai kalangan usia.
Tepung jagung menjadi alternatif pengganti tepung lain sebagai bahan baku dalam
pembuatan mie jagung (Suryaningrat et al. 2010). Mie jagung merupakan produk
mie yang tergolong baru di pasaran dimana produk ini memiliki indeks glikemik
yang rendah sehingga dapat dikonsumsi oleh penderita diabetes (Kusuma dan
Mayasti 2014). Grontol jagung merupakan bentuk olahan jagung yang digemari
oleh masyarakat di sekitar Sumatra, Madura dan Jawa. Grontol jagung adalah
olahan jagung rebus yang kemudian diberikan tambahan kelapa parut dan gula
sehingga menciptakan rasa yang manis dan gurih.
Olahan jagung lainnya yang cukup populer adalah bakwan jagung, dimana
pembuatan bakwan jagung mudah untuk dilakukan. Bakwan jagung dapat
dikonsumsi sebagai makanan selingan/snack. Selain itu, produk olahan lainnya
adalah berondong jagung (popcorn). Menurut Maisalis et al. (2017), popcorn
digemari di kalangan anak-anak hingga orang dewasa sebagai makanan
selingan/snack karena memiliki aneka ragam varian rasa yang lezat dan dapat
dikategorikan ke dalam cemilan diet (bebas kolesterol dan kadar gula cukup rendah).

2.3 Pangan Lokal


Pangan merupakan kebutuhan mendasar dalam kehidupan manusia yang
harus dipenuhi untuk dapat bertahan hidup. Sebagai sumber energi dan zat gizi,
pangan sebagai kebutuhan pokok yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah tertentu.
Dalam jangka panjang ketika kelebihan maupun kekurangan dalam mengonsumsi
pangan akan berdampak buruk bagi kesehatan (Banita 2013). Pangan dapat
dikategorikan menjadi dua berdasarkan sumbernya, yaitu bahan pangan nabati dan
bahan pangan hewani. Bahan pangan nabati berasal dari tanaman seperti akar,
batang, daun, bunga dan buah (kacang-kacangan, biji-bijian, sayuran, buah dan
umbi-umbian) sedangkan bahan pangan hewani berasal dari hewan ataupun produk
olahannya. Menurut Gustiyana et al. (2018), bahan pangan nabati berpengaruh
besar terhadap pola konsumsi pangan. Hal ini disebabkan pada bahan pangan nabati
memiliki sumber serat, mineral dan vitamin yang baik bagi tubuh.
Menurut undang-undang pangan Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan,
pangan lokal merupakan makanan lokal yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat
berdasarkan potensi dan kearifan lokal. Lokal yang dimaksud adalah budaya makan
setempat dan sumber daya pangan. Sehingga jenis pangan dapat dikatakan sebagai
pangan lokal jika diproduksi dan dikonsumsi dalam bentuk segar maupun olahan
sesuai budaya setempat dapat dijadikan sebagai makanan khas daerah. Menurut
6

Utami dan Budiningsih (2015), pangan lokal di Indonesia sangat beragam.


Sehingga jenis, jumlah dan kualitas produk pangan lokal setiap wilayah akan
berbeda tergantung pada kondisi setempat. Pangan lokal sumber karbohidrat yang
dapat ditemukan di Indonesia adalah jagung, singkong/ubi kayu, sagu, pisang, talas
dan kentang. Pangan lokal jagung banyak digunakan oleh penduduk daerah Nusa
Tenggara Timur dan Madura. Sagu untuk daerah Papua dan Maluku. Singkong
untuk daerah Jawa bagian selatan dan Lampung. Talas sebagai pangan lokal masih
sangat jarang dikonsumsi.

2.4 Pola Konsumsi Pangan dan Konsumsi Karbohidrat


Konsumsi pangan di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya, hal ini
sesuai dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. Pola konsumsi
pangan Indonesia umumnya masih didominasi oleh beras sebagai pangan pokok
utama. Menurut Badan Ketahanan Pangan (2020a), pada tahun 2019 konsumsi
beras penduduk Indonesia sebagai konsumsi langsung rumah tangga sebesar 94,9
kg/kapita/tahun. Pola konsumsi pangan merupakan jenis, jumlah pangan dan
frekuensi yang dikonsumsi seseorang maupun sekelompok orang dalam selang
waktu tertentu (Baliwati et al. 2010). Sehingga pola konsumsi pangan dapat
mengetahui komoditas yang sering dikonsumsi dan memberikan gambaran
kebiasaan pangan individu maupun kelompok. Terdapat beberapa hal mendasar
yang dapat memengaruhi pola konsumsi pangan di Indonesia yaitu seperti faktor
internal dan faktor eksternal rumah tangga. Faktor internal konsumsi pangan berupa
pendapatan rumah tangga, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan,
pengetahuan gizi dan pengeluaran pangan. Faktor eksternal konsumsi pangan
berupa ketersediaan pangan, sosial budaya dan lingkungan (Alfiati 2018).
Pola konsumsi pangan untuk setiap daerah di Indonesia sangat berbeda
sehingga menyebabkan keragaman konsumsi pangan. Perbedaan ini disebabkan
akibat perbedaan letak geografis (perkotaan dan pedesaan), potensi sumber daya
alam setempat dan budaya konsumsi pangan. Selain itu, kendala ketika proses
distribusi antar daerah akan menyebabkan pola konsumsi pangan bervariasi
(Nuzrina 2016). Budaya dan lingkungan sekitar akan memengaruhi perilaku
seseorang termasuk dalam menentukan kebutuhan pangannya. Berdasarkan
Sulistyoningsih (2011), budaya konsumsi pangan berpengaruh terhadap rumah
tangga dalam menentukan apa dan bagaimana suatu bahan pangan dikonsumsi.
Karbohidrat dibutuhkan oleh manusia sebagai zat gizi yang dapat
menghasilkan energi sehingga dapat melakukan aktivitas. Menurut Almatsier
(2010), karbohidrat termasuk kedalam zat gizi makro yang dapat menghasilkan
energi bagi tubuh. Karbohidrat sebagai sumber energi utama dengan empat kalori
(kilojoule) energi pangan per gram. Karbohidrat berperan dalam karakteristik
makanan seperti warna, rasa dan tekstur. Asupan karbohidrat yang disarankan
menurut Peraturan Kepala (Perka) BPOM (2019) adalah 325 g/2150 kalori. Seiring
dengan kesadaran dan kebutuhan masyarakat yang meningkat terkait pola hidup
yang lebih baik, konsumsi pangan masyarakat menjadi berubah. Selain sebagai
kebutuhan pokok, pangan juga dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan gizi dan
kesehatan (Zebua et al. 2019). Menurut Mutakin (2016), kesadaran masyarakat
terkait konsumsi pangan sumber karbohidrat selain beras perlu ditingkatkan. Upaya
yang dilakukan dalam rangka diversifikasi pangan lokal sumber karbohidrat agar
7

masyarakat tidak hanya berfokus pada satu jenis pangan pokok melainkan
melakukan variasi makanan pokok. Hal ini dapat dilakukan dengan mengonsumsi
pangan sumber karbohidrat selain beras seperti jagung, talas, singkong, kentang,
sagu dan pisang sesuai dengan potensi yang tersedia di daerah dan menjadikan
sebagai makanan pokok ataupun makanan selingan. Keenam komoditas tersebut
memiliki potensial untuk dikembangkan agar lebih disukai oleh masyarakat.

2.5 Cemaran Aflatoksin pada Jagung


Indonesia memiliki iklim tropis sehingga komoditas pangan dan pakan rentan
mengalami kontaminasi aflatoksin akibat suhu udara dan kelembapan yang tinggi.
Jagung termasuk salah satu komoditas pangan yang rentan mengalami kerusakan.
Kerusakan yang dapat ditemukan adalah terjadinya kontaminasi aflatoksin.
Aflatoksin pada jagung berasal dari produksi kapang Aspergillus flavus yang dapat
menyerang jagung selama proses pra dan pasca panen. Kapang Aspergillus banyak
ditemukan pada daerah yang memiliki iklim panas dan lembap (Aini 2012).
Aflatoksin yang paling banyak ditemukan pada jagung adalah aflatoksin B1 (AFB1).
Keberadaan aflatoksin B1 sangat merugikan dari segi kualitas dan mutu jagung serta
memiliki dampak buruk bagi kesehatan. Aflatoksin termasuk senyawa karsinogen
yang jika terkonsumsi secara berlebihan akan menyebabkan kanker hati baik pada
manusia maupun hewan ternak (Miskiyah dan Widaningrum 2008). Badan
Pengawas Obat dan Makanan tahun 2009 menetapkan kadar maksimum aflatoksin
B1 pada produk olahan kacang-kacangan, jagung dan rempah-rempah bubuk
sebesar 15 ppb dan aflatoksin total sebesar 20 ppb. Tingginya cemaran aflatoksin
pada jagung dibeberapa daerah memberikan dampak negatif kepada para petani,
pedagang maupun konsumen sehingga diperlukan upaya untuk dapat
menguranginya.
8

III METODE

3.1 Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan selama 10 bulan, mulai dari bulan September 2021
hingga Juli 2022. Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner ke seluruh
provinsi di Indonesia. Sumber data yang digunakan adalah data primer kuesioner
dan data sekunder.

3.2 Alat dan Bahan


Bahan penelitian yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh berdasarkan data kuesioner online yang telah disebarkan di 34
provinsi di Indonesia. Selain itu, penelitian juga menggunakan data sekunder data
yang diperoleh dari Kementerian Pertanian (Kementan), Badan Pusat Statistik
(BPS), United States Department of Agriculture (USDA), Kementerian Kesehatan
(Kemenkes), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Ketahanan
Pangan (BKP) dan sumber lain yang berkaitan dengan topik penelitian. Alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Google Form yang digunakan untuk
penyusunan kuesioner dan aplikasi pengolahan data adalah Microsoft Excel 2013.

3.3 Tahapan Penelitian


Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap yaitu penyusunan kusioner,
pengumpulan data (primer dan sekunder), analisis data yaitu analisis deskriptif
menggunakan Microsoft Excel 2013 dan penarikan kesimpulan. Tahapan penelitian
dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Tahapan penelitian


9

3.3.1 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup pada penelitian ini hanya mencakup komoditas
jagung dan olahannya sebagai makanan pokok dan makanan selingan/snack.
Makanan pokok merupakan makanan utama yang dianggap penting dan
dikonsumsi dalam jumlah yang besar karena dapat memenuhi sumber
nutrisi bagi tubuh manusia (Setiasih et al. 2017). Sedangkan makanan
selingan/snack merupakan makanan tambahan yang dikonsumsi diluar
waktu makanan utama seperti diantara waktu sarapan dan makan siang
(Nurhayati et al. 2012). Konsumsi komoditas jagung dan olahannya
dinyatakan dalam jumlah, jenis olahan, dan porsi yang dikonsumsi.
Konsumsi ini berdasarkan jangka waktu dua minggu terakhir sebelum
dilakukan survei dan in-depth interview.

3.3.2 Survei
Metode survei merupakan metode yang menggunakan kuesioner
untuk mengumpulkan data dari responden. Pertanyaan yang diajukan
berhubungan dengan topik penelitian dengan variabel yang disesuaikan,
sehingga diharapkan dapat memberikan jawaban yang sesuai. Menurut
Adiyanta (2019), metode survei menggunakan alat pengumpul data pokok
berupa kuesioner dan mengambil sampel dari satu populasi. Survei yang
dilakukan pada penelitian ini menggunakan pengisian kuesioner yang
dibuat dengan Google Form. Penyusunan metode survei terdiri beberapa
tahap sebagai berikut:
a) Penyusunan kuesioner online
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini berupa draft
pertanyaan yang ditujukan kepada responden. Tahapan penyusunan
kuesioner dimulai dengan membuat daftar pertanyaan melalui Google Form.
Pertanyaan pada kuesioner terbagi menjadi tiga bagian: (1) informed
consent, (2) identitas dan karakteristik keluarga, (3) konsumsi pangan lokal
– jagung sebagai makanan pokok dan makanan selingan/snack (Lampiran
1). Metode yang digunakan dalam penyusunan adalah berdasarkan semi
quantitatif food frequency questionnaire (SQ-FFQ). Berdasarkan Fitri
(2013), metode SQ-FFQ adalah metode yang digunakan untuk memperoleh
data frekuensi konsumsi berbagai jenis makanan yang dikonsumsi dalam
jangka waktu tertentu (misalnya harian, mingguan, bulanan dan tahunan).
Penentuan ukuran makan, porsi serta acuan gambar porsi olahan jagung
berdasarkan Porsimetri Kementerian Kesehatan 2014. Selain itu, metode
frekuensi makanan dapat memperoleh gambaran kualitatif pola konsumsi
makanan. Makanan yang tercantum dalam kuesioner adalah olahan
makanan yang sering dikonsumsi responden. Kuesioner yang digunakan
pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tim peneliti membuat ethical clearence atau kelayakan etik
(Lampiran 3) sebelum dilakukan survei kepada responden. UNICEF (2015)
menyebutkan bahwa kelayakan etik merupakan keterangan tertulis yang
diberikan oleh Komisi Etik Penelitian untuk riset yang melibatkan makhluk
hidup dan menyatakan suatu proposal riset layak dilaksanakan setelah
memenuhi persyaratan tertentu.
10

b) Penetapan jumlah responden


Penetapan jumlah responden dilakukan berdasarkan Tabel Krejcie
dan Morgan (1970) pada tingkat kepercayaan 99% dan margin of eror
sebesar 5% dengan jumlah responden minimal pada penelitian ini
sebanyak 663 keluarga. Kriteria responden adalah keluarga di seluruh
Provinsi Indonesia. Menurut data BPS (2019), jumlah kartu keluarga di
Indonesia sebanyak 68.700.700 kartu keluarga. Untuk mendapatkan data
yang lebih baik maka responden yang disurvei lebih dari 663 keluarga
sehingga didapatkan responden awal yang mengisi survei ini adalah
sebanyak 904 keluarga.
c) Validasi kuesioner
Validasi kuesioner bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh
pertanyaan dalam kuesioner telah sesuai dengan lingkup penelitian dan
pemahan responden (Heryanto et al. 2019). Berdasarkan Sanaky et al. 2021),
validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner.
Kuesioner dapat dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu
mengungkapkan sesuatu yang akan diukur pada kuesioner tersebut.
Kuesioner penelitian ini diujikan kepada 70 responden, kemudian
dilakukan uji validasi oleh ahli (tiga orang) yang sudah berpengalaman dan
berkompeten terhadap survei konsumsi pangan. Hasil validasi kuesioner ini
adalah form kuesioner pada Lampiran 1.
d) Pengumpulan data
Pengumpulan data primer survei menggunakan Google Form.
Penyebaran kuesioner dilakukan dengan menyebarkan kuesioner penelitian
secara daring (dalam jaringan internet). Penyebaran kuesioner dilakukan
melalui media sosial dengan menggunakan beberapa aplikasi seperti
WhatsApp, Instagram dan Line. Sehingga diharapkan kuesioner dapat
tersebar dengan baik ke seluruh Provinsi di Indonesia. Selain itu
pengumpulan data sekunder dilakukan berdasarkan data yang bersumber
dari instansi, lembaga dan literatur yang memiliki data relevan dengan
penelitian.

3.3.3 In-depth Interview


In-depth interview merupakan proses untuk memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara bertatap muka antara pewawancara
dengan orang yang diwawancarai (Linarwati et al. 2016). In-depth interview
dilakukan setelah memperoleh hasil data survei untuk mendapatkan
jawaban lebih mendalam terkait jenis dan kebiasaan dalam konsumsi jagung
Daftar pertanyaan in-depth interview disajikan pada Lampiran 2. Jumlah
responden pada in-depth interview sebanyak 123 responden individu yang
mengonsumsi jagung pada tahap survei. Pengumpulan data primer in-depth
interview dilakukan dengan menggunakan Zoom Meeting atau WhatsApp.

3.3.4 Analisis Data


Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis
deskriptif dan analisis kuantitatif. Data hasil yang didapatkan dari pengisian
11

kuesioner diolah dengan bantuan software Microsoft Excel 2013. Analisis


deskriptif pada penelitian ini bertujuan untuk mengubah data mentah
menjadi bentuk data atau informasi yang lebih ringkas sehingga lebih
mudah untuk dipahami. Analisis deskriptif dilakukan untuk memberikan
deskripsi atau gambaran mengenai data yang terkumpul (Ashari et al. 2017).
Analisis deskriptif dalam penelitian ini dilakukan pada hasil data survei
responden berdasarkan sosiodemografi responden, pola konsumsi jagung
serta olahannya dan kontribusi asupan karbohidrat yang disajikan dalam
bentuk tabel dan grafik.
Pengolahan data yang dilakukan untuk mengetahui jumlah
konsumsi jagung dan olahannya, dihitung melalui jenis olahan, frekuensi,
porsi yang dikonsumsi dan jumlah anggota keluarga. Jumlah konsumsi
olahan jagung dihitung dalam bentuk jagung mentah menggunakan satuan
g per keluarga. Perhitungan konsumsi tersebut dilakukan dengan
menggunakan faktor konversi. Hal ini digunakan untuk mengetahui faktor
konversi olahan jagung ke dalam bentuk mentah berdasarkan komposisi
jagung mentah terhadap komposisi produk olahan jagung. Faktor konversi
olahan jagung (bentuk mentah) dapat dilihat pada Tabel 2 berdasarkan
Kemenkes (2018).

Tabel 2 Faktor konversi olahan jagung

No Olahan Jagung Faktor Konversi


1 Jagung rebus 0,4
2 Jagung liwet 0,4
3 Jagung perkedel 0,9
4 Jagung bakar 1,2
Sumber: Kementerian Kesehatan (2018)(diolah)

Beberapa olahan jagung yang belum terdapat faktor konversi, akan


dihitung berdasarkan pendekatan dari Kemenkes (2018). Pendekatan yang
akan dilakukan adalah faktor konversi dengan pangan sejenis dan
pengolahan sejenis yang paling mendekati dengan olahan jagung tersebut.
Konsumsi jagung keluarga (g/hari) dihitung berdasarkan jumlah frekuensi
olahan jagung dikalikan banyaknya porsi dan dikalikan konversi gram dan
faktor konversi olahan jagung. Kemudian dibagi dengan rentang waktu
konsumsi (14 hari). Konsumsi jagung per kapita dihitung berdasarkan total
konsumsi jagung keluarga dibagi dengan total jumlah dari anggota keluarga.
Selanjutnya rata-rata konsumsi jagung per kapita (g/kapita/hari).
Kemudaian dikonversi kedalam bentuk asupan karbohidrat jagung per
kapita. Menurut USDA (2019), jumlah karbohidrat pada jagung manis,
kuning, mentah setiap 100 g adalah 18,70 g karbohidrat bagian yang dapat
dimakan. Dalam penelitian ini menggunakan angka kecukupan karbohidrat
(AKK) yaitu 325 g/kapita/hari. Kontribusi jagung terhadap asupan
karbohidrat dihitung dengan konsumsi karbohidrat jagung dibagi dengan
angka kecukupan karbohidrat (persentase).
12

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Profil umum responden survei


Responden yang digunakan pada survei online ini merupakan keluarga.
Responden yang mengisi survei online merupakan responden yang mewakili
keluarganya dalam menjawab pertanyaan. Responden yang didapatkan berasal dari
34 provinsi di Indonesia. Jumlah responden awal yang didapatkan berdasarkan hasil
survei adalah 904 responden tetapi setelah melalui tahapan verifikasi terdapat 8
responden yang menyatakan tidak bersedia dan sebanyak 107 responden tidak
memenuhi kriteria seperti pengisian data tidak lengkap, data yang kosong. Total
responden yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 789 responden dengan
3220 anggota keluarga. Profil umum responden yang didapatkan berupa jenis
kelamin, usia, pekerjaan, pendidikan, pendapatan, asal provinsi, posisi dalam
keluarga dan jumlah anggota keluarga.
Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui dari 789 responden yang telah mengisi
survei sebanyak 64% (502 responden) berjenis kelamin perempuan dan 36% (287
responden) berjenis kelamin laki-laki. Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas
responden yang mengisi berjenis kelamin perempuan dengan posisi sebagai istri
(Tabel 9). Menurut Poerwanto et al. (2016), perempuan memiliki peran besar
dalam penyiapan dan pengolahan pangan dalam rumah tangga. Konsumsi pangan
beragam dalam keluarga biasanya ditentukan oleh istri/perempuan sehingga
memudahkan dalam mengisi survei.

Tabel 3 Jenis kelamin responden

Jenis kelamin Jumlah responden Persentase (%)


Perempuan 502 63,62
Laki-laki 287 36,38
Total 789 100,00

Tabel 4 Rentang usia responden

Rentang usia Jumlah responden Persentase (%)


≤20 tahun 37 4,69
>20 – 30 tahun 154 19,52
>30 – 40 tahun 184 23,32
>40 – 50 tahun 265 33,59
>50 – 60 tahun 139 17,62
>60 tahun 10 1,27
Total 789 100,00

Berdasarkan Tabel 4, rentang usia responden dibagi menjadi enam kategori


yaitu ≤20 tahun, >20 – 30 tahun, >30 – 40 tahun, >40 – 50 tahun, >50 – 60 tahun
dan >60 tahun. Responden yang mengisi survei online mayoritas berada pada
rentang usia 40 – 50 tahun sebanyak 33,59% (265 responden). Usia tersebut
menunjukkan responden berada pada rentang usia produktif berpenghasilan. Selain
13

itu, pada usia 40 – 50 tahun responden telah memiliki jumlah penghasilan yang baik
(Tabel 7) sehingga pemilihan konsumsi pangan dapat lebih beragam. Hal ini juga
sesuai dengan sasaran responden pengisi survei, dimana pengisi survei merupakan
orang dewasa yang berperan sebagai pembuat keputusan dalam konsumsi pangan
rumah tangga. Responden yang berada pada usia <20 tahun, biasanya jarang
membuat keputusan konsumsi pangan dalam keluarga, biasanya hanya mengikuti
keputusan orang tua/orang dewasa yang berada dalam rumah.
Pendidikan berpengaruh terhadap keputusan dalam mengonsumsi pangan.
Menurut Fazrina et al. (2013), tingkat pendidikan responden memengaruhi cara
berfikir, cara pandang serta persepsi terhadap produk pangan yang akan
dikonsumsinya. Pendidikan responden (Tabel 5) terbagi menjadi enam kategori
yaitu SD, SMP, SMA, Diploma, Sarjana dan Pascasarjana. Mayoritas responden
yang mengisi survei memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu sarjana (D4/S1)
sebanyak 55,01% (434 responden) dan pascasarjana sebanyak 22,31% (176
responden). Responden ini memiliki tingkat pendidikan yang tinggi sehingga sesuai
dengan sasaran responden yang kompeten dalam menjawab pertanyaan survei
online.

Tabel 5 Pendidikan responden

Pendidikan Jumlah responden Persentase (%)


SD 5 4,69
SMP 9 19,52
SMA 132 23,32
Diploma (D1/D2/D3) 33 33,59
Sarjana (D4/S1) 434 17,62
Pascasarjana (S2/S3) 176 1,27
Total 789 100,00

Tabel 6 Pekerjaan responden

Jenis pekerjaan Jumlah responden Persentase (%)


Mahasiswa/pelajar 106 13,43
PNS/ASN 399 50,57
Karyawan swasta/BUMN 69 8,75
Wirausaha 87 11,03
Dosen/guru 11 1,39
Ibu rumah tangga 64 8,11
Petani/nelayan 9 1,14
TNI/POLRI 2 0,25
Honorer 30 3,80
Perangkat desa 3 0,38
Pensiunan 9 1,14
Total 789 100,00

Berdasarkan Tabel 6, responden memiliki jenis pekerjaan yang berbeda-beda.


Mayoritas responden bekerja sebagai tenaga PNS/ASN sebanyak 50,57% diikuti
dengan responden yang berstatus sebagai mahasiswa/pelajar 13,43%, para
14

wirausaha 11,03% dan sebanyak 8,11% merupakan ibu rumah tangga. Sehingga
responden memiliki pekerjaan yang baik. Berdasarkan Tabel 7, responden
mayoritas memiliki pendapatan per bulan pada rentang Rp3.750.000 – Rp
7.500.000 dan lebih dari Rp7.500.000 yaitu sebanyak 283 orang dan 256 orang. Hal
ini menunjukkan bahwa responden yang mengisi survei termasuk ke dalam
golongan empat dengan jumlah pendapatan sangat tinggi yaitu lebih dari
Rp3.500.000 (Rakasiwi dan Kautsar 2021). Responden memiliki jumlah
pendapatan yang baik sehingga dapat memberikan gambaran terhadap pembelian
kebutuhan pangan, pemilihan variasi makanan dan menentukan keanekaragaman
jenis pangan dalam belanja untuk memenuhi konsumsi pangan keluarga.

Tabel 7 Pendapatan responden

Pendapatan per bulan Jumlah responden Persentase (%)


≤Rp750.000 23 2,92
>Rp750.000 – Rp1.500.000 75 9,51
>Rp1.500.000 – Rp3.750.000 152 19,26
>Rp3.750.000 – Rp7.500.000 283 35,87
>Rp7.500.000 256 32,45
Total 789 100,00

Tabel 8 Jumlah anggota keluarga responden

Anggota keluarga Jumlah responden Persentase (%)


<3 87 11,03
3 143 18,12
4 278 35,23
5 193 24,46
>5 88 11,15
Total 789 100,00

Jumlah anggota keluarga responden sangat bervariasi seperti yang tertera


pada Tabel 8. Mayoritas responden memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak
empat dan lima orang (278 responden dan 193 responden). Selain itu sebanyak 143
responden memiliki jumlah anggota keluarga tiga orang, 87 responden memiliki
anggota keluarga < 3 orang dan sebanyak 88 responden memiliki jumlah anggota
keluarga lebih dari lima orang. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah anggota
keluarga yang semakin banyak akan memengaruhi jumlah dan pengeluaran
konsumsi pangan dalam keluarga tersebut.
Posisi responden dalam keluarga terbagi menjadi tiga yaitu suami, istri dan
anak seperti pada Tabel 9. Mayoritas posisi responden yang mengisi adalah sebagai
istri sebanyak 48,92% (386 responden). Hal ini sesuai berdasarkan mayoritas jenis
kelamin responden adalah perempuan dengan posisi dalam keluarga sebagai istri.
Selain itu, istri memiliki peran utama dalam hal pemilihan konsumsi pangan
beragam keluarganya, sehingga lebih mudah bagi responden dalam mengisi survei
mengenai pola konsumsi pangan keluarga.
15

Tabel 9 Posisi responden dalam keluarga

Posisi dalam keluarga Jumlah responden Persentase (%)


Suami 230 29,15
Istri 386 48,92
Anak 173 21,93
Total 789 100,00

Survei yang dilakukan untuk mengetahui pola konsumsi jagung diberbagai


provinsi berbeda di Indonesia. Sehingga target survei yang dilakukan memiliki
sebaran responden keluarga di 34 provinsi di Indonesia. Survei ini dilakukan
dengan menggunakan teknik non-probability sampling dengan convenience
sampling method. Berdasarkan Widya (2018), convenience sampling method
digunakan dengan pertimbangan yaitu kemudahan peneliti saat mengumpulkan
data, kesediaan responden dalam mengisi survei dan kemudahan dalam mengakses
kuesioner. Penyebaran kuesioner dilakukan melalui media sosial seperti instagram,
line, WhatsApp serta keluarga dan pihak Badan Ketahanan Pangan dari tiap provinsi
di Indonesia.

Tabel 10 Asal provinsi responden

Provinsi Jumlah Jumlah anggota Persentase


responden keluarga (%)
Bali 21 86 2,66
Banten 32 132 4,06
Bengkulu 5 16 0,63
Daerah Istimewa 14 59 1,77
Yogyakarta
DKI Jakarta 30 111 3,80
Gorontalo 3 10 0,38
Jambi 4 17 0,51
Jawa Barat 118 488 14,96
Jawa Tengah 55 213 6,97
Jawa Timur 74 284 9,38
Kalimantan Barat 8 36 1,01
Kalimantan Selatan 36 139 4,56
Kalimantan Tengah 7 31 0,89
Kalimantan Timur 18 84 2,28
Kalimantan Utara 22 84 2,79
Kepulauan Bangka 32 117 4,06
Belitung
Kepulauan Riau 8 28 1,01
Lampung 24 96 3,04
Maluku 2 8 0,25
Maluku Utara 8 31 1,01
Nanggroe Aceh 12 52 1,52
Darussalam
16

Tabel 11 Asal provinsi responden (lanjutan)

Provinsi Jumlah Jumlah anggota Persentase (%)


responden keluarga
Nusa Tenggara 4 14 0,51
Barat
Nusa Tenggara 9 47 1,14
Timur
Papua 3 13 0,38
Papua Barat 15 61 1,90
Riau 8 28 1,01
Sulawesi Barat 7 30 0,89
Sulawesi Selatan 52 227 6,59
Sulawesi Tengah 4 19 0,51
Sulawesi Tenggara 8 39 1,01
Sulawesi Utara 81 324 10,27
Sumatera Barat 14 59 1,77
Sumatera Selatan 18 71 2,28
Sumatera Utara 33 166 4,18
Total 789 3220 100,00

Hasil yang didapatkan adalah responden yang mengisi survei berasal dari 34
provinsi seperti pada Tabel 10. Jumlah responden yang didapatkan sangat bervariasi.
Mayoritas paling banyak responden yang mengisi berasal dari provinsi Jawa Barat
sebanyak 14,96% (118 orang), Sulawesi Utara sebanyak 10,27% (81 orang) dan
Jawa Timur sebanyak 9,38% (74 orang). Jika dilihat berdasarkan asal responden,
mayoritas responden berada di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan kemudahan dari
responden dalam mengakses kuesioner. Kuesioner lebih banyak tersebar di Pulau
Jawa karena jaringan kelurga atau pertemanan peneliti terdapat di pulau ini. Selain
itu, sebanyak 56% penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa (BPS 2020).
Sedangkan terdapat 5 provinsi dengan jumlah responden di bawah lima orang.
Provinsi tersebut adalah Provinsi Gorontalo, Jambi, Maluku, Nusa Tenggara Barat
dan Papua. Jumlah responden yang sedikit ini dapat disebabkan akibat respon dari
responden terhadap kesediaannya mengisi survei, selain itu sebaran kuesioner yang
masih terbatas sehingga kurang menjangkau provinsi tersebut.

4.2 Pola Konsumsi Olahan Jagung dari hasil survei


Jagung termasuk ke dalam salah satu komoditas pangan lokal yang
dikonsumsi sebagai sumber karbohidrat utama selain beras. Jagung dapat
dikonsumsi sebagai makanan pokok (pengganti nasi) maupun makanan
selingan/snack. Makanan pokok (pengganti nasi) merupakan makanan yang
dikonsumsi sebagai makanan utama dalam sehari-hari. Sedangkan untuk makanan
selingan/snack merupakan makanan selingan yang dimakan diantara makan utama
seperti pada siang, sore atau malam hari. Berdasarkan Gambar 3, sebanyak 53,61%
responden mengonsumsi olahan jagung sebagai makanan pokok (pengganti nasi)
dan juga sebagai makanan selingan/snack. Kemudian sebanyak 43,60%
mengonsumsi olahan jagung hanya sebagai makanan selingan/snack. Hal ini
17

menunjukkan bahwa responden mengonsumsi jagung dalam bentuk olahan yang


bervariasi.

Tidak Makanan pokok


mengkonsumsi; (pengganti nasi);
0,76% 2,03%

Makanan pokok
Makanan dan makanan
selingan/snack; selingan/snack;
43,60% 53,61%

Gambar 3 Bentuk konsumsi olahan jagung


Bentuk olahan jagung yang dikonsumsi sebagai makanan pokok (pengganti
nasi) terbagi menjadi enam bentuk olahan yaitu jagung rebus, nasi jagung, mie
jagung, bubur jagung (bose), grontol jagung dan produk olahan lainnya. Olahan
jagung ini berdasarkan bentuk olahan umum yang banyak dikonsumsi sebagai
makanan pokok. Berdasarkan Gambar 4, bentuk olahan jagung yang paling banyak
dikonsumsi sebagai makanan pokok adalah jagung rebus dengan rata-rata jumlah
konsumsi jagung rebus sebesar 1,63 g/kapita/hari dan diikuti oleh olahan nasi
jagung dengan rata-rata konsumsi sebesar 0,27 g/kapita/hari. Jagung rebus
merupakan olahan jagung yang paling banyak dikonsumsi karena mudah ditemui
dan mudah pengolahannya. Jagung rebus terbuat dari jagung manis yang dibeli
dalam bentuk sayur segar maupun pipilan (Maherawati dan Sarbino 2018),
kemudian direbus/kukus dengan air.

Produk olahan lain 0,13


Jenis olahan jagung

Grontol jagung 0,03

Bubur jagung (bose) 0,05

Mie jagung 0,07

Nasi jagung 0,27

Jagung rebus 1,63

0,00 0,50 1,00 1,50 2,00


Rata-rata konsumsi individu (g/kapita/hari)

Gambar 4 Konsumsi olahan jagung sebagai makanan pokok


18

Selain itu, nasi jagung banyak dikonsumsi karena nasi jagung dapat
dikonsumsi menjadi makanan pokok utama yang dikonsumsi bersama dengan lauk
pauk. Menurut Suharko (2019), nasi jagung dapat diolah dengan alat tradisional
(lumpang dan alu) atau modern (mesin penggiling), jagung pipilan ditumbuk
menjadi tepung jagung halus atau jagung pipilan digiling menjadi butiran kecil dan
diayak. Selanjutnya jagung pipilan yang telah diayak direndam air bersih selama
dua sampai tiga hari, setelah direndam dapat dicuci bersih dan ditiriskan. Kemudian
jagung pipilan hasil rendaman masih perlu ditumbuk/digiling agar mendapatkan
jagung lebih halus. Hasil ini dapat dimasak menjadi nasi jagung (Suharko 2019).
Sedangkan bentuk olahan jagung sebagai makanan pokok (pengganti nasi) yang
sedikit dikonsumsi adalah bubur jagung (bose) dengan rata-rata jumlah konsumsi
sebesar 0,05 g/kapita/hari dan grontol jagung dengan rata-rata jumlah konsumsi
sebesar 0,03 g/kapita/hari. Olahan bubur jagung (bose) sedikit dikonsumsi karena
bubur jagung (bose) merupakan olahan khas dari Nusa Tenggara Timur (Asbanu et
al. 2020) sehingga jarang dikonsumsi di daerah lainnya. Olahan grontol jagung
jarang dikonsumsi karena sudah jarang ditemui dan membutuhkan waktu yang lama
dalam pengolahannya.
Bentuk olahan jagung yang dikonsumsi sebagai makanan selingan/snack
terbagi menjadi enam bentuk olahan yaitu jagung rebus, jagung bakar,
bakwan/perkedel jagung, popcorn, sereal jagung dan bentuk olahan lainnya.
Berdasarkan Gambar 5, olahan jagung yang paling banyak dikonsumsi adalah
jagung rebus dengan rata-rata konsumsi sebanyak 2,35 g/kapita/hari, diikuti olahan
bakwan/perkedel jagung dengan rata-rata konsumsi sebanyak 1,92 g/kapita/hari
dan jagung bakar dengan rata-rata konsumsi sebanyak 1,66 g/kapita/hari. Jagung
rebus, bakwan/perkedel jagung dan jagung bakar banyak dikonsumsi sebagai
makanan selingan/snack karena pengolahan mudah dan umum di masyarakat.
Jagung rebus termasuk ke dalam kategori makanan pokok dan makanan selingan
karena jagung rebus dapat dikonsumsi menjadi makanan pengganti nasi karena
jagung dapat memenuhi sumber karbohidrat. Jagung rebus sebagai makanan
selingan karena dapat menjadi cemilan yang mengenyangkan. Sedangkan untuk
olahan jagung yang paling sedikit dikonsumsi oleh keluarga responden adalah
sereal jagung. Sereal jagung jarang dikonsumsi sebagai makanan selingan/snack.

Produk olahan lain 0,15


Jenis olahan jagung

Sereal jagung 0,16

Popcorn 0,57

Bakwan/perkedel jagung 1,92

Jagung bakar 1,66

Jagung rebus 2,35

0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50


Rata-rata konsumsi individu (g/kapita/hari)

Gambar 5 Konsumsi olahan jagung sebagai makanan selingan/snack


19

NANGGROE ACEH DARUSSALAM 8,78


D I YOGYAKARTA 8,50
PAPUA 6,70
PAPUA BARAT 30,00
MALUKU UTARA 8,80
MALUKU 1,93
SULAWESI BARAT 6,84
GORONTALO 25,30
SULAWESI TENGGARA 11,37
SULAWESI SELATAN 7,90
SULAWESI TENGAH 31,31
SULAWESI UTARA 7,99
KALIMANTAN UTARA 8,06
KALIMANTAN TIMUR 6,49
KALIMANTAN SELATAN 10,24
KALIMANTAN TENGAH 10,45
Provinsi

KALIMANTAN BARAT 13,70


NUSA TENGGARA TIMUR 16,92
NUSA TENGGARA BARAT 3,67
BALI 12,77
BANTEN 9,91
JAWA TIMUR 8,09
JAWA TENGAH 7,64
JAWA BARAT 6,78
DKI JAKARTA 5,62
KEPULAUAN RIAU 4,48
KEPULAUAN BANGKA BELITUNG 12,65
LAMPUNG 7,75
BENGKULU 5,97
SUMATERA SELATAN 8,66
JAMBI 16,90
RIAU 9,46
SUMATERA BARAT 12,16
SUMATERA UTARA 6,66
0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00

Rata-rata konsumsi jagung provinsi (g/kapita/hari)

Gambar 6 Rata-rata konsumsi olahan jagung provinsi


Konsumsi jagung berdasarkan provinsi dapat dilihat pada Gambar 6.
Berdasarkan hasil yang didapatkan, provinsi yang memiliki konsumsi jagung paling
tinggi adalah Sulawesi Tengah dengan rata-rata konsumsi jagung sebesar 31,31
g/kapita/hari, diikuti oleh Papua Barat sebesar 30,00 g/kapita/hari dan Gorontalo
sebesar 25,30 g/kapita/hari. Berdasarkan BKP (2020b) mengenai roadmap
diversifikasi pangan (2020-2024), target peningkatan konsumsi jagung difokuskan
kepada tujuh provinsi dengan konsumsi, produksi serta luas panen jagung yang
tinggi yaitu Gorontalo, NTT, NTB, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Bali dan
Lampung. Hal ini telah sesuai dengan hasil survei yang dilakukan bahwa provinsi
Sulawesi Tengah dan Gorontalo telah memiliki jumlah konsumsi jagung yang
tinggi. Berdasarkan BPS (2018), produksi jagung di Gorontalo mengalami kenaikan
sebanyak 4,38% sedangkan Provinsi Sulawesi Tengah mengalami kenaikan
sebanyak 1,69% dari tahun 2017 ke tahun 2018.
Menurut Shodiq dan Haryanto (2021), jagung merupakan komoditas
tanaman pangan unggulan selain padi di Provinsi Gorontalo. Provinsi dengan
20

jumlah konsumsi jagung yang rendah adalah di Provinsi Maluku. Konsumsi yang
rendah ini disebabkan karena jagung bukan komoditas pangan unggulan di Maluku,
masyarakat Maluku lebih banyak mengonsumsi sagu untuk memenuhi kebutuhan
sumber karbohidratnya. Sagu termasuk makanan pokok di daerah Maluku, lahan
sagu banyak tersedia di Maluku sehingga tingkat konsumsi sagu lebih tinggi (Ansar
2021).

4.3 Kontribusi konsumsi jagung terhadap asupan karbohidrat di Indonesia


dari hasil survei
Jagung kuning manis memiliki kandungan karbohidrat sebesar 18,70 g/100 g
bagian yang dapat dimakan (USDA 2019). Jagung dapat dikonsumsi sebagai
makanan pokok dan selingan untuk memenuhi asupan sumber karbohidrat (Suarni
dan Subagio 2013). Asupan karbohidrat untuk populasi umum yang disarankan
menurut Perka BPOM (2019) adalah 325 g/kapita/hari. Kontribusi konsumsi jagung
terhadap asupan karbohidrat individu dapat dilihat pada Tabel 11 berikut.

Tabel 12 Kontribusi konsumsi jagung terhadap asupan karbohidrat individu

Rata-rata Rata-rata asupan Asupan


Konsumsi jagung konsumsi jagung karbohidrat karbohidrat
(g/kapita/hari) jagung (%AKG
(g/kapita/hari) karbohidrat)*
Makanan pokok 2,18 0,41 0,13
(pengganti nasi)
Makanan 6,81 1,27 0,39
selingan/snack
Total 9,00 1,68 0,52
*Dihitung berdasarkan AKG karbohidrat (325 g/kapita/hari)

Tabel 11 menunjukkan rata-rata konsumsi jagung sebagai makanan pokok


sebesar 2,18 g/kapita/hari dengan rata-rata asupan karbohidratnya sebesar 0,41
g/kapita/hari sehingga kontribusi jagung sebagai makanan pokok terhadap asupan
karbohidrat sebesar 0,13%. Sedangkan untuk makanan selingan/snack rata-rata
konsumsi jagung sebesar 6,81 g/kapita/hari dengan rata-rata asupan karbohidrat
sebesar 1,27 g/kapita/hari sehingga kontribusi jagung sebagai makanan
selingan/snack terhadap asupan karbohidrat sebesar 0,39%. Adapun rata-rata
konsumsi jagung keseluruhan sebesar 9,00 g/kapita/hari atau 0,28 kg/kapita/bulan
dengan jumlah kontribusi konsumsi jagung terhadap asupan karbohidrat tiap
individu sebesar 0,52% dari angka kecukupan gizi orang dewasa. Berdasarkan data
BPS 2021, konsumsi jagung Indonesia tahun 2020 sebesar 0,28 kg/kapita/bulan dan
tahun 2021 sebesar 0,22 kg/kapita/bulan. Sehingga berdasarkan hasil survei
menunjukkan bahwa konsumsi jagung di Indonesia sama dengan tahun 2020 dan
mengalami peningkatan konsumsi dibanding tahun 2021.
Pola konsumsi olahan jagung berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa
konsumsi jagung didominasi sebagai makanan pokok dan makanan selingan/snack.
Bentuk olahan jagung yang banyak dikonsumsi sebagai makanan pokok adalah
jagung rebus dan nasi jagung sedangkan sebagai makanan selingan/snack adalah
21

jagung rebus, jagung bakar dan bakwan/perkedel jagung. Provinsi dengan konsumsi
jagung paling tinggi adalah Sulawesi Tengah, Papua Barat dan Gorontalo.

4.4 Profil Umum Responden in-depth Interview


Setelah hasil survei diperoleh, diperlukan adanya tahap konfirmasi
selanjutnya yaitu In-depth interview. In-depth interview dilakukan untuk
memperoleh jawaban lebih mendalam terkait konsumsi jagung dan kebiasaan
konsumsi jagungnya dalam jangka waktu dua minggu terakhir sebelum dilakukan
in-depth tersebut. Responden yang digunakan pada tahap in-depth interview adalah
individu yang keluarganya mengonsumsi jagung saat mengisi survei. Jumlah
responden yang bersedia untuk dilakukan wawancara lebih lanjut adalah 123
responden. Profil umum responden yang didapatkan berupa lokasi tempat tinggal
(perkotaan dan pedesaan) dan asal provinsi.

Tabel 13 Lokasi tempat tinggal responden

Lokasi Jumlah responden Persentase (%)


Perkotaan 88 71,54
Pedesaan 35 28,46
Total 123 100,00

Responden in-depth interview memiliki lokasi tempat tinggal yang berbeda.


Lokasi tempat tinggal terbagi menjadi dua yaitu perkotaan dan pedesaan.
Pembagian wilayah perkotaan dan pedesaan berdasarkan kemudahan, pemahaman
dan pengertian dari responden dalam mengartikan lokasi tempat tinggalnya.
Berdasarkan Tabel 12, mayoritas responden berlokasi tempat tinggal di daerah
perkotaan yaitu sebanyak 71,54%. Responden yang bertempat tinggal di daerah
pedesaan sebanyak 28,46%. Responden yang bersedia untuk diwawancara hanya
berasal dari 31 provinsi seperti pada Tabel 13. Terdapat tiga provinsi yang tidak
terdapat responden adalah Gorontalo, Maluku dan Papua. Tidak terdapatnya
responden ini disebabkan pada tiga provinsi ini termasuk ke dalam provinsi dengan
jumlah responden sedikit (survei) dan ketika dihubungi untuk dilakukan in-depth
interview responden tidak bersedia, tidak menanggapi untuk dilakukan
diwawancara. Provinsi yang memiliki jumlah responden paling banyak adalah Jawa
Barat sebanyak 14,96% diikuti oleh Jawa Timur sebanyak 9,38% dan Jawa Tengah
sebanyak 6,37%. Sedangkan provinsi dengan jumlah responden yang sedikit adalah
Jambi, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah
dan Sulawesi Barat.

Tabel 14 Asal provinsi responden

Provinsi Jumlah responden Persentase (%)


Bali 4 3,25
Banten 7 5,69
Bengkulu 3 2,44
Daerah Istimewa 4 3,25
Yogyakarta
DKI Jakarta 3 2,44
22

Tabel 15 Asal provinsi responden (lanjutan)

Provinsi Jumlah responden Persentase (%)


Gorontalo 0 0,00
Jambi 1 0,81
Jawa Barat 15 12,20
Jawa Tengah 9 7,32
Jawa Timur 10 8,13
Kalimantan Barat 3 2,44
Kalimantan Selatan 3 2,44
Kalimantan Tengah 2 1,63
Kalimantan Timur 8 6,50
Kalimantan Utara 1 0,81
Kepulauan Bangka 2 1,63
Belitung
Kepulauan Riau 1 0,81
Lampung 8 6,50
Maluku 0 0,00
Maluku Utara 2 1,63
Nanggroe Aceh 3 2,44
Darussalam
Nusa Tenggara Barat 1 0,81
Nusa Tenggara Timur 2 1,63
Papua 0 0,00
Papua Barat 3 2,44
Riau 3 2,44
Sulawesi Barat 1 0,81
Sulawesi Selatan 4 3,25
Sulawesi Tengah 1 0,81
Sulawesi Tenggara 2 1,63
Sulawesi Utara 6 4,88
Sumatera Barat 4 3,25
Sumatera Selatan 2 1,63
Sumatera Utara 5 4,07
Total 123 100,00

4.5 Pola Konsumsi Olahan Jagung dari Hasil In-depth Interview


Konsumsi olahan jagung dalam kurun waktu dua minggu sebelum dilakukan
wawancara, dapat diketahui dari 123 responden sebanyak 55 responden (46,34%)
mengonsumsi jagung dan 66 responden (53,66%) tidak mengonsumsi jagung.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa mayoritas responden
tidak mengonsumsi jagung dalam waktu dua minggu terakhir. Bentuk olahan
jagung yang dikonsumsi terbagi menjadi lima olahan yaitu jagung rebus, nasi
jagung, bakwan/perkedel jagung, jagung bakar dan produk olahan lain.
Berdasarkan Gambar 7, olahan jagung yang paling banyak dikonsumsi adalah
jagung rebus sebesar 5,65 g/kapita/hari dan bakwan/perkedel jagung sebesar 2,40
23

g/kapita/hari. Jagung rebus dan bakwan/perkedel jagung merupakan olahan yang


umum dan mudah untuk dikonsumsi. Tidak terdapat responden yang mengonsumsi
olahan jagung bakar pada saat in-depth interview. Produk olahan lain dari jagung
yang dikonsumsi adalah sebagai campuran sayur, popcorn, sup jagung dan bubur
jagung. Hasil yang didapatkan berdasarkan survei dan in-depth interview
menunjukkan hasil yang sesuai bahwa jenis olahan jagung yang paling banyak
dikonsumsi adalah jagung rebus dan bakwan/perkedel jagung.

Produk olahan lain 0,52


Jenis olahan jagung

Jagung bakar 0,00

Bakwan/perkedel jagung 2,40

Nasi jagung 0,14

Jagung rebus 5,65

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00


Rata-rata konsumsi jagung (g/kapita/hari)

Gambar 7 Rata-rata konsumsi olahan jagung hasil in-depth interview


Rata-rata konsumsi jagung per provinsi dalam dua minggu dapat dilihat pada
Gambar 8 di atas. Terjadi pergeseran provinsi yang mengonsumsi jagung. Provinsi
dengan jumlah rata-rata konsumsi paling tinggi adalah Riau sebesar 75,76
g/kapita/hari, Sulawesi Tengah sebesar 64,29 g/kapita/hari dan Kalimantan Utara
sebesar 37,29 g/kapita/hari. Hasil ini menunjukkan perbedaan dengan hasil survei
(Gambar 6), konsumsi tertinggi pada hasil survei terdapat di Provinsi Sulawesi
Tengah, Papua Barat dan Gorontalo. Hasil yang tidak sesuai disebabkan oleh
perbedaan jumlah responden pada survei dan in-depth interview. Adapun jumlah
responden in-depth interview yang sedikit di setiap provinsi sehingga kurang
representatif. Selain itu, penyebab pergeseran konsumsi jagung ini karena salah satu
responden di Provinsi Riau rutin mengonsumsi jagung setiap hari selama dua
minggu sebelum in-depth interview.
Pada in-depth interview terdapat pertanyaan yang menanyakan terkait
konsumsi jagung dapat dikonsumsi untuk menggantikan nasi. Gambar 9
menunjukkan konsumsi jagung responden, responden menyatakan bahwa
mengonsumsi jagung dapat menggantikan konsumsi nasi dengan persentase sebesar
20% sehingga jika sudah mengonsumsi pangan lokal jagung tidak lagi
mengonsumsi nasi. Sedangkan sebanyak 53% responden menyatakan
mengonsumsi jagung dapat mengurangi porsi konsumsi nasi. Pangan lokal jagung
dapat dikonsumsi sebagai lauk-pauk sehingga dapat mengurangi jumlah porsi nasi
(Winarso 2012). Sebanyak 27% mengonsumsi jagung tidak memengaruhi
konsumsi nasi. Konsumsi jagung oleh responden dilakukan terbagi menjadi secara
rutin dan tidak rutin. Gambar 10 menunjukkan konsumsi jagung secara rutin atau
tidak rutin. Dalam waktu dua minggu, sebanyak 39 responden menyatakan tidak
rutin mengonsumsi jagung. Alasan tidak rutin dalam mengonsumsi jagung karena
hanya mengonsumsi jagung ketika tersedia dirumah saja, ketika sedang ingin dan
24

alasan lain yaitu mengikuti jadwal makan (diet). Sedangkan untuk 27 responden
lainnya menyatakan mengonsumsi jagung secara rutin.

SUMATERA UTARA 1,20


SUMATERA SELATAN 3,00
SUMATERA BARAT 0,00
SULAWESI UTARA 1,72
SULAWESI TENGGARA 1,61
SULAWESI TENGAH 64,29
SULAWESI SELATAN 2,66
SULAWESI BARAT 0,00
RIAU 75,76
PAPUA BARAT 5,36
NUSA TENGGARA TIMUR 25,08
NUSA TENGGARA BARAT 0,00
NANGGROE ACEH DARUSSALAM 0,00
MALUKU UTARA 0,00
Provinsi

LAMPUNG 1,78
KEPULAUAN RIAU 0,00
KEPULAUAN BANGKA BELITUNG 34,07
KALIMANTAN UTARA 37,29
KALIMANTAN TIMUR 2,81
KALIMANTAN TENGAH 20,57
KALIMANTAN SELATAN 9,00
KALIMANTAN BARAT 2,00
JAWA TIMUR 7,33
JAWA TENGAH 4,22
JAWA BARAT 9,94
JAMBI 7,71
DKI JAKARTA 6,43
D I YOGYAKARTA 4,55
BENGKULU 19,31
BANTEN 7,86
BALI 10,61
0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00
Rata-rata konsumsi (g/kapita/hari)

Gambar 8 Konsumsi jagung per provinsi hasil in-depth interview

Tidak
Menggantikan
memengaruhi
nasi; 20%
konsumsi nasi;
27%

Mengurangi
porsi nasi;
53%

Gambar 9 Konsumsi olahan jagung responden


25

Alasan lain 2

Konsumsi jagung
Tidak rutin
Ketika tersedia 21

Ketika sedang ingin 16


Rutin
27

0 5 10 15 20 25 30
Jumlah responden

Gambar 10 Konsumsi jagung secara rutin dan tidak rutin

4.6 Kontribusi konsumsi jagung terhadap asupan karbohidrat di Indonesia


hasil in-depth interview
Kontribusi konsumsi kabohidrat berdasarkan hasil wawancara dengan hasil
survei menunjukkan jumlah yang berbeda. Tabel 14 menunjukkan rata-rata
konsumsi jagung sebesar 8,71 g/kapita/hari dengan rata-rata asupan karbohidratnya
sebesar 1,62 g/kapita/hari sehingga jumlah kontribusi konsumsi jagung terhadap
asupan karbohidrat tiap individu sebesar 0,50%. Hasil yang didapatkan mendekati
dengan hasil survei, namun mengalami penurunan 0,2% dibandingan dengan hasil
survei. Perbedaan hasil yang didapatkan ini disebabkan karena pada in-depth
interview responden lebih banyak yang tidak mengonsumsi jagung.

Tabel 16 Kontribusi konsumsi jagung terhadap asupan karbohidrat individu

Rata-rata Rata-rata asupan Asupan


Konsumsi jagung konsumsi jagung karbohidrat karbohidrat
(g/kapita/hari) jagung (%AKG
(g/kapita/hari) karbohidrat)*
Konsumsi olahan 8,71 1,62 0,50
jagung
Total 8,71 1,62 0,50
*Dihitung berdasarkan AKG karbohidrat (325 g/kapita/hari)

Terdapat faktor-faktor yang dapat memengaruhi konsumsi jagung


berdasarkan hasil survei dan in-depth interview. Pertama, ketersediaan jagung di
setiap provinsinya. Menurut Panikkai et al. (2017) produksi, luas panen jagung di
tiap provinsi setiap tahunnya mengalami kenaikan dan penurunan yang
menyebabkan ketersediaan jagung dengan jumlah permintaan tidak stabil. Kedua,
keberagaman jenis olahan yang tersedia di setiap daerah. Olahan jagung yang
tersedia di suatu daerah akan berbeda dengan daearah lainnya sehingga jumlah
konsumsi akan berbeda. Ketiga, kebiasaan konsumsi pangan lokal. Responden yang
tersebar di berbagai provinsi akan memiliki perbedaan dalam kebiasaan konsumsi
pangan. Perbedaan kebiasaan ini menentukan pola konsumsi pangan seseorang.
Konsumsi pangan yang berhubungan dengan kebiasaan tidak dapat diubah dalam
waktu yang singkat (Sayekti et al. 2021). Selain itu juga, ketersediaan pangan
dalam rumah tangga memengaruhi pola konsumsi pangan. Ketersediaan pangan ini
26

dapat dipengaruhi oleh kebiasaan dan selera makan dalam keluarga (Firmansyah et
al. 2010).
Berdasarkan hasil in-depth interview, responden lebih banyak tidak
mengonsumsi jagung dalam waktu dua minggu sebelum diwawancara. Responden
juga tidak rutin dalam mengonsumsi jagung. Konsumsi jagung didominasi hanya
mengurangi porsi konsumsi nasi bukan menggantikan konsumsi nasi. Bentuk
olahan jagung yang paling banyak dikonsumsi responden adalah sebagai jagung
rebus dan bakwan/perkedel jagung. Provinsi yang paling tinggi dalam
mengonsumsi jagung adalah Riau, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Utara.
Konsumsi jagung hasil in-depth interview mendekati hasil survei. Hasil yang
diperoleh berdasarkan survei dan in-depth interview menunjukkan jagung lebih
dominan dikonsumsi sebagai makanan selingan/snack dibandingkan sebagai
makanan pokok (pengganti nasi) dengan bentuk olahan jagung yang paling banyak
dikonsumsi sebagai makanan selingan/snack adalah jagung rebus, bakwan/perkedel
jagung dan jagung bakar. Upaya diversifikasi nasi dengan jagung masih tergolong
rendah, sehingga diperlukan upaya dari pemerintah untuk mensosialisasikan dan
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengonsumsi pangan lokal jagung
sebagai makanan pokok (pengganti nasi).

4.7 Cemaran aflatoksin pada jagung dan potensi paparan aflatoksin dari
jagung di Indonesia
Jagung termasuk dalam komoditas pertanian yang rawan terserang kapang
Aspergillus flavus yang dapat menghasilkan mikotoksin yaitu aflatoksin (Somantri
dan Miskiyah 2012). Aflatoksin merupakan senyawa non polar yang stabil terhadap
panas dan tahan perlakuan fisik maupun kimia (Aristyawati et al. 2017) dengan
sifat ini jika aflatoksin telah mencemari pangan maka sulit untuk dihilangkan.
Proses pengolahan pangan hanya dapat mengurangi kadar aflatoksin pada bahan
pangan tetapi tidak dapat menghilangkan kadar keseluruhannya (Musita 2018).
Konsumsi pangan yang tercemar oleh aflatoksin dapat menyebabkan penyakit
aflatoksikosis akut dan kronis. Menurut Broto (2018), aflatoksikosis akut terjadi
jika terpapar aflatoksin 20-120 µg/kg bobot badan/hari dalam waktu 1-3 minggu
yang dapat menyebabkan hepatotoksisitas sehingga menjadi hepatitis akut yang
menyebabkan kematian. Contoh kasus aflatoksikosis akut terjadi di Kenya tahun
2004 dengan jumlah kasus keracunan sebanyak 317 orang dan meninggal dunia
sebanyak 125 orang hal ini disebabkan mengonsumsi jagung yang tercemar
aflatoksin dengan kadar tinggi (Probst et al. 2007). Sedangkan aflatoksikosis kronis
terjadi jika terpapar aflatoksin dalam jumlah 25 kali lipat lebih rendah berisiko
menyebabkan gangguan imunitas, malnutrisi, dan karsinoma hepatoseluler (Broto
2018).
Cemaran aflatoksin lebih banyak ditemukan pada tahap pascapanen.
Pertumbuhan kapang Aspergillus flavus dapat terjadi ketika waktu panen, proses
penjemuran/pengeringan dan selama penyimpanan. Berdasarkan Tandiabang
(2011), waktu panen tanaman jagung sebaiknya sedini mungkin ketika telah
memasuki masak fisiologis. Keterlambatan waktu panen akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan kapang Aspergillus flavus sehingga meningkatkan
kandungan aflatoksin pada biji jagung. Selain itu, proses penjemuran di bawah sinar
matahari langsung dengan menggunakan atau tidak menggunakan alas akan
berpengaruh terhadap kontaminasi aflatoksin. Berdasarkan Fitriana et al. (2019),
27

penggunaan alas akan mengurangi kontaminasi mikroba dari tanah yang dapat
mempercepat proses pembusukan. Adapun proses penyimpanan biji jagung perlu
memperhatikan kondisi lingkungan sekitar seperti suhu, kelembapan relatif
(Somantri dan Miskiyah 2012), kemasan penyimpanan dan kebersihan tempat
penyimpanan (Miskiyah dan Widaningrum 2008). Upaya pencegahan yang dapat
dilakukan agar terhindar mengonsumsi bahan pangan yang terpapar aflatoksin
adalah memerhatikan tanda cemaran mikotoksin pada bahan pangan seperti tanda
adanya pertumbuhan kapang yaitu perubahan warna (Nguegwouo et al. 2018),
selain itu pemilihan bahan pangan dengan memisahkan dan membuang bahan
pangan yang rusak akan mengurangi cemaran aflatoksin (Broto 2018).

Tabel 17 Kandungan aflatoksin pada olahan jagung

No Jenis olahan Kandungan


aflatoksin (ppb)
1 Jagung pipil 11,98 – 19,63
2 Beras jagung 29,65
3 Jagung kaleng <4
4 Popcorn <4
5 Grontol jagung 4,99
6 Tepung jagung 38,84
7 Keripik jagung <4
Sumber: Kusumaningrum et al. (2010)

Berdasarkan penelitian Kusumaningrum et al. (2010), jagung pipil dan


produk setengah jadi (tepung/pati/beras jagung) memiliki persentase tercemar
Aspergillus flavus sebesar 58,6% dan 30% sehingga perlu diwaspadai berpotensi
terbentuk aflatoksin. Kandungan aflatoksin tertinggi ditemukan pada bahan mentah
yaitu tepung jagung dan beras jagung sebesar 38,84 ppb dan 29,65 ppb (Tabel 15).
Sedangkan produk akhir seperti jagung kaleng, popcorn, grontol jagung memiliki
kandungan aflatoksin <4 ppb sehingga masih berada di bawah dari batas maksimum
aflatoksin yaitu 20 ppb (Kusumaningrum et al. 2010).

Tabel 18 Perbandingan konsumsi jagung dan kandungan aflatoksin

Rata-rata Kandungan
Olahan jagung konsumsi jagung aflatoksin
(g/kapita/hari)* (ppb)**
Grontol jagung 0,03 4,99
Nasi jagung 0,27 29,65
Popcorn 0,57 <4
Sumber: *data survei, **Kusumaningrum et al. (2010)

Berdasarkan hasil survei dan in-depth interview untuk olahan yang banyak
dikonsumsi adalah jagung rebus, bakwan/perkedel jagung, jagung bakar dan nasi
jagung. Konsumsi olahan nasi jagung yang berasal dari beras jagung berpotensi
tinggi terpapar aflatoksin namun berdasarkan hasil survei jumlah nasi jagung yang
dikonsumsi hanyalah sedikit yaitu 0,27 g/kapita/hari (Tabel 16). Sedangkan untuk
konsumsi jagung rebus, grontol jagung, bakwan/perkedel jagung, dan popcorn
28

berpotensi rendah untuk terpapar aflatoksin. Seperti yang kita ketahui bahwa
bahaya aflatoksin bagi kesehatan tergolong tinggi. Berdasarkan hasil survei dan in-
depth interview, jumlah konsumsi jagung di Indonesia tergolong rendah dengan
waktu mengonsumsi jagung tidak rutin. Jagung lebih banyak dikonsumsi dalam
bentuk olahan dari jagung segar. Sehingga potensi paparan aflatoksin dari
mengonsumsi jagung Indonesia tergolong rendah karena kapang Aspergillu flavus
penghasil aflatoksin lebih banyak ditemukan mencemari jagung kering.
29

V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Pola konsumsi pangan jagung di Indonesia terbagi menjadi makanan pokok
(pengganti nasi) dan makanan selingan/snack. Olahan jagung lebih dominan
dikonsumsi sebagai makanan selingan/snack. Bentuk olahan jagung yang paling
banyak dikonsumsi sebagai makanan pokok adalah jagung rebus dan nasi jagung.
Sedangkan sebagai makanan selingan/snack adalah jagung rebus, bakwan/perkedel
jagung dan jagung bakar. Konsumsi jagung di Indonesia berdasarkan hasil survei
sebesar 9,00 g/kapita/hari atau 0,28 kg/kapita/bulan dan hasil in-depth interview
sebesar 8,71 g/kapita/hari atau 0,26 kg/kapita/bulan, hasil ini menunjukkan adanya
peningkatan konsumsi jagung dibandingkan data konsumsi tahun 2021 (data
susenas). Jumlah kontribusi konsumsi jagung terhadap asupan karbohidrat tiap
individu adalah sebesar 0,52% dari angka kecukupan gizi orang dewasa. Faktor-
faktor yang dapat memengaruhi konsumsi jagung yaitu ketersediaan jagung di
setiap provinsinya, keberagaman jenis olahan berbahan dasar jagung dan kebiasaan
konsumsi pangan dalam rumah tangga (budaya dan selera makan).
Berdasarkan hasil survei dan in-depth interview untuk olahan yang banyak
dikonsumsi adalah jagung rebus, bakwan/perkedel jagung, jagung bakar dan nasi
jagung. Konsumsi olahan nasi jagung yang berasal dari beras jagung berpotensi
tinggi terpapar aflatoksin namun berdasarkan hasil survei jumlah nasi jagung yang
dikonsumsi hanyalah sedikit yaitu 0,27 g/kapita/hari (Tabel 16). Sedangkan untuk
konsumsi jagung rebus, grontol jagung, bakwan/perkedel jagung, dan popcorn
berpotensi rendah untuk terpapar aflatoksin. Potensi paparan aflatoksin dari
mengonsumsi jagung Indonesia tergolong rendah karena jagung yang dikonsumsi
dikonsumsi kebanyakan dalam bentuk olahan dari jagung segar. Aflatoksin yang
telah mencemari bahan pangan sulit untuk dihilangkan. Sehingga diperlukan upaya
untuk mengurangi potensi paparan aflatoksin pada konsumsi jagung yaitu
memisahkan dan membuang bahan pangan yang telah rusak dan tercemar oleh
kapang Aspergillus flavus, memilih dan mengolah bahan pangan dengan kualitas
yang baik.

5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saran bagi peneliti untuk survei
sejenis ke depan yaitu dapat memperdalam survei terkait budaya konsumsi pangan
lokal jagung yang terdapat di provinsi sehingga dapat mengetahui hubungan antara
budaya pangan lokal dengan jumlah kosumsinya. Selain itu, jumlah responden
setiap provinsi lebih diperhatikan agar mendapat hasil yang lebih representatif dan
pentingnya edukasi dari pemerintah terkait program diversifikasi pangan lokal
ditujukan agar masyarakat dapat mengonsumsi pangan lokal beragam khususnya
komoditas jagung sebagai sumber karbohidrat pengganti beras.
30

DAFTAR PUSTAKA

Adha I, Rosada I, Sabahannur St. 2019. Pola konsumsi pangan masyarakat sekitar
kawasan hutan di Kabupaten Takalar. Jurnal Agrotek. 3(2):98–112.
Adiyanta FCS. 2019. Hukum dan studi penelitian empiris: penggunaan metode
survei sebagai instrumen penelitian hukum empiris. Administrative Law &
Governance Journal. 2(4): 697–709.
Aini N. 2012. Aflatoksin: cemaran dan metode analisisnya dalam makanan. Jurnal
Kefarmasian Indonesia. 2(2):54–61.
Alfiati S. 2018. Analsis faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan
rumah tangga. Journal of Economic, Business and Accounting (COSTING).
2(1):76–83.
Almatsier S. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Aristyawati NPD, Puspawati NN, Hapsari A NMI, Duniaji AS. 2017. Cemaran
Aspergillus flavus penghasil aflatoksin B1 pada jagung manis (Zea mays
saccharata) selama penyimpanan. Jurnal ITEPA. 6(2):51–60.
Asbanu H, Chan Y, Supriatna A. 2020. Kajian dasar perancangan mesin pengupas
kulit ari pada biji jagung. Jurnal Sains dan Teknologi. 10(2):93–102.
Ashari BH, Wibawa BM, Persada SF. 2017. Analisis deskriptif dan tabulasi silang
pada konsumen online shop di Instragram (studi kasus 6 universitas di Kota
Surabaya). Jurnal Sains dan Seni ITS. 6(1):D17–D21.
[BKP] Badan Ketahan Pangan. 2014. Statistik Ketahanan Pangan Tahun 2013.
Jakarta(ID): Badan Ketahanan Pangan.
[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2020a. Direktori Perkembangan Konsumsi
Pangan Seri 20 Tahun 2020. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan.
[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2020b. Roadmap Diversifikasi Pangan Lokal
Sumber Karbohidrat Non Beras (2020-2024). Jakarta(ID): Badan Ketahanan
Pangan
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2018. Produksi Jagung Menurut Provinsi, 2014-2018.
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2019. Rumah Tangga dan Rata-rata Banyaknya
Anggota Rumah Tangga Menurut Provinsi, 2019. Jakarta: Badan Pusat
Statistika.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2021. Pengeluaran untuk konsumsi penduduk
Indonesia per maret 2021. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2009. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba
dan Kimia dalam Makanan. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan.
[BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2019. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016
Tentang Acuan Label Gizi. Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
Baliwati YF, Khomsan A, Dwiriani MC. 2014. Pengantar Pangan dan Gizi.
Jakarta(ID): Swadaya.
Banita D. 2013. Analisis ketersediaan pangan pokok dan pola konsumsi pada rumah
tangga petani di Kabupaten Wonogiri [skripsi]. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.
31

Broto W. 2018. Status cemaran dan upaya pengendalian aflatoksin pada komoditas
serealia dan aneka kacang. Jurnal Litbang Pertanian. 37(2):81–90.
Fazrina R, Marsaulina I, Naria E. 2013. Hubungan karakteristik dan pengetahuan
tentang lingkungan sehat dengan keputusan konsumen dalam membeli
sayuran organik di carrefour plaza Medan fair tahun 2013. Lingkungan dan
Keselamatan Kerja. 2(3):1–9.
Firmansyah, Afzalani, Farhan M. 2010. Keanekaragaman dan kecukupan konsumsi
pangan hewani dalam hubungannya dengan kualitas sumberdaya manusia
keluarga di Provinsi Jambi. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri
Humaniora. 12(1):63–70.
Fitri N. 2013. Studi validasi semi-quantitatif food frequency questionnaire dengan
food recall 24 jam pada asupan zat gizi mikro remaja di SMA Islam Athirah
Makassar [skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin makassar.
Fitriana R, Soesetijo FXA, Sulistyaningsih E. 2019. Identifikasi kontaminasi
aflatoksin pada rempah-rempah yang dijual di sentra pasar di Kabupaten
Jember. Multidisciplinary Journal. 2(1):24–29.
Gustiyana W, Suandi S, Sativa F. 2018. Analisis tingkat kecukupan pangan dan gizi
nabati rumah tangga di Kecamatan Kayu Aro Barat Kabupaten Kerinci.
Jurnal Ilmiah Sosio-Ekonomi Bisnis. 20(2):3–10.
Heryanto CA, Korangbuku CSF, Djeen MIA, Widayati A. 2019. Pengembangan
dan validasi kuesioner untuk mengukur penggunaan internet dan media sosial
dalam pelayanan kefarmasian. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. 8(3):175–
187.
[Kementan] Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 2013. Data Statistik
Ketahanan Pangan tahun 2012. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian RI.
Kusuma PTWW, Mayasti NKI. 2014. Analisa kelayakan finansial pengembangan
usaha produksi komoditas lokal: mie berbasis jagung. Agritech. 34(2):194–
202.
Kusumaningrum HD, Suliantari, Toha AD, Putra SH, Utami AS. 2010. Cemaran
Aspergillus flavus dan aflatoksin pada rantai distribusi produk pangan
berbasis jagung dan faktor yang mempengaruhinya. Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan. 21(2):171–176.
Linarwati M, Fathoni A, Minarsih MM. 2016. Studi deskriptif pelatihan dan
pengembangan sumberdaya manusia penggunaan metode behavioral event
interview dalam merekrut karyawan baru di bank mega cabang Kudus.
Journal of Management. 2(2):1–8.
Maherawati, Sarbino. 2018. Diversifikasi produk olahan jagung manis sebagai
upaya peningkatan nilai tambah bagi petani jagung di daerah wisata pasir
panjang-Singkawang. Jurnal Pengabdi. 1(1):17–25.
Maisalis, Hurri S, Elfiana. 2017. Analisis kelayakan usaha popcorn di Gampong
Geulumpang Payong Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen. Jurnal S.
Pertanian. 1(3):195–202.
Miskiyah, Widaningrum. 2008. Pengendalian aflatoksin pada pascapanen jagung
melalui penerapan HACCP. Jurnal Standardisasi. 10(1):1–10.
Musita N. 2018. Kajian Kadar Aflatoksin dan Proksimat Tepung Jagung
Nikstamalisasi pada Berbagai Lama Perendaman. Prosiding Seminar
Nasional I Hasil Litbangyasa Industri. [Internet]. [diunduh pada 10 Juni
32

2022]:98-105. Tersedia pada file:///C:/Users/ASUS/Downloads/4466-15398-


1-SM.pdf.
Mutakin MD. 2016. Intensitas konsumsi pangan lokal sumber karbohidrat non
beras dalam upaya diversifikasi pangan di Desa Hargorejo Kecamatan Kokap
Kabupaten Kulon Progo. Jurnal Pendidikan Geografi. 16(2):92–104.
NCGA. 2013. World of Corn. Unlimited Possibilities. USA: National Corn Grower
Association.
Nguegwouo E, Sone LE, Tchuenchieu A, Tene HM, Mounchigam E, Njayou NF,
Nama MG. 2018. Ochratoxin A in black pepper, white pepper and clove sold
in Yaoundé (Cameroon) markets: contamination levels and consumers’
practices increasing health risk. International Journal of Food Contamination.
5(1):1–7.
Novianti M, Tiwow VMA, Mustapa K. 2017. analisis kadar glukosa pada nasi putih
dan nasi jagung dengan menggunakan metode spektronik 20. Jurnal
Akademika Kimia. 6(2):107–112.
Nurhayati A, Lasmana E, Yulia C. 2012. Pengaruh mata kuliah berbasis gizi pada
pemilihan makanan jajanan mahasiswa program studi pendidikan tata boga.
Jurnal Penelitian Pendidikan. 13(1):1–6.
Nuzrina R. 2016. Analisis perbedaan pola konsumsi makanan dan asupan zat gizi
makro masyarakat wilayah Pulau Sumatera dan Jawa. Nutrire Diaita.
8(2):114–125.
Paeru RH, Dewi TQ. 2017. Panduan Praktis Budidaya Jagung. Jakarta(ID):
Penebar Swadaya.
Panikkai S, Nurmalina R, Mulatsih S, Purwati H. 2017. Analisis ketersediaan
jagung nasional menuju pencapaian swasembada dengan pendekatan model
dinamik. Informatika Pertanian. 26(1):41–48.
Poerwanto, Supraja M, Harsoyo, Soeprapto. 2016. Model ketahanan pangan
berperspektif gender. Dimensi. 9(2):93–101.
Probst C, Njapau H, Cotty PJ. 2007. Outbreak of an acute aflatoxicosis in Kenya in
2004: identification of the causal agent. Appl Environ Microbiol. 98:2762–
2764.
Purwono, Hartono R. 2011. Bertanam Jagung Unggul. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rakasiwi LS, Kautsar A. 2021. Pengaruh faktor demografi dan sosial ekonomi
terhadap status kesehatan individu di Indonesia. Kajian Ekonomi &
Keuangan. 5(2):146–157.
Sanaky MM, Saleh LM, Titaley HD. 2021. Analisis faktor-faktor penyebab
keterlambatan pada proyek pembangunan gedung asrama MAN 1 Tulehu
Maluku Tengah. Jurnal Simetrik. 11(1):432–439.
Sayekti WD, Lestari DAH, Ismono RH. 2021. Kontribusi beras siger dalam pola
konsumsi pangan rumah tangga konsumen beras siger di Provinsi Lampung.
Journal of Food System and Agribusiness. 5(1):1–10.
Setiasih IS, Santoso MB, Hanidah I, Marta H. 2017. Pengembangan kapasitas
masyarakat dalam menggunakan hanjeli sebagai alternatif pengganti beras
sebagai makanan pokok dan produk olahan. Jurnal Penelitian & PKM.
4(2):147–152.
Siliyya F. 2021. Persepsi konsumen dalam keputusan pembelian produk minuman
teh kemasan siap minum di Kabupaten Tegal [skripsi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
33

Sirajuddin, Surmita, Trisna A. 2018. Survey Konsumsi Pangan. Jakarta(ID):


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Sodiq S, Haryanto T. 2021. Analisis efisiensi teknis usahatani padi dan jagung.
Gorontalo Development Riview. 4(1):1–11.
Somantri AS, Miskiyah. 2012. Sistem keamanan pangan berbahan baku jagung.
Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian. [Internet]. [diunduh 9 Juni 2022];
8(2):112–119. Tersedia pada file:///C:/Users/ASUS/Downloads/36702-553-
72898-1-10-20180122%20(2).pdf.
Suarni, Subagio H. 2013. Potensi pengembangan jagung dan sorgum sebagai
sumber pangan fungsional. Jurnal Litbang Pertanian. 32(2):47–55.
Suharko. 2019. Mempertahankan budaya pangan lokal berbasis jagung: studi kasus
di Desa Pagerejo, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Jurnal Sosiologi
Pedesaan. 1(1):57–64.
Sulistyoningsih H. 2011. Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta(ID):
Graha Ilmu.
Suryaningrat IB, Djumarti, Ruriani E, Kurniawati I. 2010. Aplikasi metode quality
function deployment (QFD) untuk peningkatan kualitas produk mie jagung.
Agrotek. 4(1):8–17.
Tandiabang J. 2011. Kajian pengendalian aflatoksin pada jagung. Seminar Nasional
Serelia. [Internet]. [diunduh 20 Juni 2022]; 419-425. Tersedia pada
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/6hpros11.pdf.
USDA National Nutrient Database for Standard Reference. Available from:
https://fdc.nal.usda.gov/fdc-app.html#/food-details/169998/nutrients
Diakses pada 14 oktober 2021.
Widya. 2018. Faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan PT. Esa di Jakarta
Barat. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni. 2(2):554–550.
Winarso B. 2012. Prospek dan kendala pengembangan agribisnis jagung di Propinsi
Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. 12(2):103–114.
Yusup F. 2018. Uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian kuantitatif. Jurnal
Tarbiyah: Jurnal Ilmiah Kependidikan. 7(1):17–23.
Zebua A, Hadi S, Bakce D. 2019. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pola
konsumsi pangan rumah tangga petani sayuran di Kabupaten Kampar. Jurnal
Agribisnis. 21(2):163–172.
34

LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar pertanyaan kuesioner (survei)

Pertanyaan Kuesioner

Bagian I Informed Consent


Saya menyatakan bersedia untuk berpartisipasi dalam pengambilan data atau
sebagai responden pada penelitian ini tanpa adanya unsur paksaan dari siapapun.
Bersedia
Tidak bersedia

Bagian II Identitas dan Karakteristik keluarga


1. Nama …
2. Nomer Kontak (HP/WA/Line) …
3. Alamat Email …
4. Jenis kelamin …
5. Usia .. Tahn (Tulis angka saja)
6. Asal Provinsi …
7. Asal Desa/kelurahan, Kecamatan, Kota/Kabupaten, (Misal: Babakan, Dramaga,
Kabupaten Bogor) …
8. Tingkat Pendidikan …
Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
Diploma (D1/D2/D3)
Sarjana (D4/S1)
Pasca Sarjana (S2/S3)
9. Total Pendapatan keluarga per bulan
<= Rp750.000
> Rp750.000 - Rp1.500.000,
> Rp1.500.000 - Rp3.750.000
> Rp3.750.000 - Rp7.500.000
> Rp7.500.000
10. Total pengeluaran untuk pangan keluarga per bulan (Rupiah) (Misal; 1 juta atau
1.000.000) …
11. Jumlah anggota keluarga (Termasuk anda)
1
2
3
4
5
Other
12. Posisi saudara dalam keluarga
Suami
35

Istri
Anak
Other

Bagian III Konsumsi Pangan Lokal - Jagung


13. Seberapa sering keluarga Bapak/Ibu/Saudara mengonsumsi pangan pokok
selain beras/nasi dalam 2 minggu terakhir?
0 kali
1 kali
2 kali
>= 3 kali

14. Apakah Bapak/Ibu/Saudara mengonsumsi jagung sebagai makanan pokok atau


makanan selingan/snack?
Makanan pokok (Pengganti nasi)
Makanan selingan/snack
Makanan pokok dan makanan selingan/snack
Other

Konsumsi Olahan Jagung sebagai makanan pokok


15. Sebagai Makanan Pokok, Olahan Jagung apa saja yang keluarga
Bapak/Ibu/Saudara konsumsi 2 minggu terakhir?
Tidak mengonsumsi
Jagung rebus
Nasi jagung
Mie jagung
Bubur jagung (bose)
Grontol jagung
Bentuk olahan lain

16. Sebagai makanan pokok, olahan Jagung apa saja yang keluarga
Bapak/Ibu/Saudara konsumsi dalam 2 minggu terakhir? dan berapa banyak
anggota keluarga yang mengonsumsinya? (catatan : setiap baris harus diisi, jika
tidak mengonsumsi pilih tidak ada yang konsumsi)
36

Tidak 1 orang 2 orang 3 orang 4 orang >=5 orang


konsumsi
Jagung
rebus
Nasi
jagung
Mie
jagung
Bubur
jagung
Grontol
jagung
Bentuk
olahan
lain

17. Sebagai makanan pokok, olahan Jagung apa saja yang keluarga
Bapak/Ibu/Saudara konsumsi dalam 2 minggu terakhir? dan berapa kali rata-
rata olahan tersebut dikonsumsi? (catatan : setiap baris harus diisi, jika tidak
mengonsumsi pilih tidak ada yang konsumsi)

Tidak 1 kali 2 kali 3 kali 4 kali >=5 kali


konsumsi
Jagung rebus
Nasi jagung
Mie jagung
Bubur jagung
Grontol jagung
Bentuk olahan
lain

18. Sebagai Makanan Pokok, olahan jagung apa saja yang keluarga
Bapak/Ibu/Saudara konsumsi dalam 2 minggu terakhir? dan berapa banyak rata-
rata olahan tersebut yang dimakan dalam satu waktu? (catatan : setiap baris
harus diisi, jika tidak mengonsumsi pilih tidak ada yang konsumsi) (Gunakan
Foto Berikut Sebagai Refrensi/Acuan)
37

0 porsi/ 1/2 porsi 1 porsi 1,5 porsi 2 porsi Jumlah


Tidak lain
konsumsi
Jagung
rebus
Nasi
jagung
Mie
jagung
Bubur
jagung
Grontol
jagung
Bentuk
olahan
lain

19. Silahkan isi porsi jumlah lain yang anda maksud (Misal; Jagung rebus 3 porsi;
Grontol jagung 4 porsi), Jika tidak memilih "Jumlah Lain" silahkan isi dengan
tanda strip (-)

Konsumsi Olahan Jagung sebagai Makanan Selingan/snack

20. Sebagai Makanan Selingan/snack, Olahan Jagung apa saja yang keluarga
Bapak/Ibu/Saudara konsumsi 2 minggu terakhir?
Tidak mengonsumsi
Jagung rebus
Jagung bakar
Bakwan/Perkedel jagung
Popcorn
Sereal jagung
38

21. Sebagai Makanan Selingan/snack, olahan Jagung apa saja yang keluarga
Bapak/Ibu/Saudara konsumsi dalam 2 minggu terakhir? dan berapa banyak
anggota keluarga yang mengonsumsinya? (catatan : setiap baris harus diisi, jika
tidak mengonsumsi pilih tidak ada yang konsumsi)

Tidak 1 orang 2 orang 3 orang 4 orang >=5 orang


konsumsi
Jagung
rebus
Jagung
bakar
Bakwan/
perkedel
jagung
Popcorn
Sereal
jagung
Bentuk
olahan
lain

22. Sebagai Makanan Selingan/snack, olahan Jagung apa saja yang keluarga
Bapak/Ibu/Saudara konsumsi dalam 2 minggu terakhir? dan berapa kali rata-
rata olahan tersebut dikonsumsi? (catatan : setiap baris harus diisi, jika tidak
mengonsumsi pilih tidak ada yang konsumsi)

Tidak 1 kali 2 kali 3 kali 4 kali >=5 kali


konsumsi
Jagung rebus
Jagung bakar
Bakwan/Perkedel
jagung
Popcorn
Sereal jagung
Bentuk olahan lain

23. Sebagai Makanan Selingan/snack, olahan jagung apa saja yang keluarga
Bapak/Ibu/Saudara konsumsi dalam 2 minggu terakhir? dan berapa banyak rata-
rata olahan tersebut yang dimakan dalam satu waktu? (catatan : setiap baris
harus diisi, jika tidak mengonsumsi pilih tidak ada yang konsumsi) (Gunakan
Foto Berikut Sebagai Refrensi/Acuan)
39

0 porsi/ 1/2 porsi 1 porsi 1,5 porsi 2 porsi Jumlah


Tidak lain
konsumsi
Jagung
rebus
Jagung
bakar
Bakwan/
Perkedel
jagung
Popcorn
Sereal
jagung
Bentuk
olahan
lain

24. Silahkan isi porsi jumlah lain yang anda maksud (Misal; Jagung rebus 3 porsi;
jagung bakar 4 porsi), Jika tidak memilih "Jumlah Lain" silahkan isi dengan
tanda strip (-)
40

Lampiran 2 Daftar pertanyaan kuesioner (in-depth interview)

Bagian I Identitas responden


1. Nama :
2. Usia :
3. Tinggi Badan :
4. Berat Badan :
5. Lokasi Tempat Tinggal (Perkotaan atau pedesaan)

Bagian II 24 hours recall


6. Makanan apa aja yang saudara/bapak/ibu konsumsi dalam 24 jam terakhir dari
sekarang? (waktu, jenis, porsi) :

Bagian III Konsumsi olahan jagung 2 minggu terakhir


7. Apakah dalam 2 minggu terakhir saudara/bapak/ibu mengonsumsi olahan
jagung? :
8. Jika ya, olahan apa saja yang saudara/bapak/ibu konsumsi? Berapa kali? Dan
berapa banyak olahan tersebut dikonsumsi? :
9. Apakah olahan jagung yang Saudara/Bapak/Ibu konsumsi menggantikan
konsumsi nasi atau tidak? :
10. Apakah dengan mengonsumsi pangan lokal tersebut, dapat mengurangi
jumlah/porsi konsumsi nasi saudara/Bapak/Ibu? (Contohnya: Biasanya
konsumsi nasi 300 g, karena telah mengonsumsi pangan lokal, maka konsumsi
nasinya menjadi 200 g) :
11. Apakah Saudara/Bapak/Ibu rutin mengonsumsi olahan jagung tersebut dalam 2
minggu terakhir? Jika tidak rutin, kapan biasanya Saudara/Bapak/Ibu
mengonsumsi olahan jagung tersebut? Jika rutin, sejak kapan
Saudara/Bapak/Ibu mulai rutin mengonsumsi olahan jagung tersebut? :
41

Lampiran 3 Surat keterangan lolos kaji etik


42

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Laili Indah Permatasari, lahir di


Bontang pada tanggal 8 April 2000. Penulis merupakan anak
kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Trihana dan
Ibu Ari Nuryati. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di
SD 1 Yayasan Pupuk Kaltim tahun 2012, SMP Yasayan Pupuk
Kaltim tahun 2015 dan SMA Yayasan Pupuk Kaltim tahun
2015. Penulis terdaftar dan diterima sebagai mahasiswa
Institut Pertanian Bogor tahun 2018 melalui jalur BUD
(Beasiswa Utusan Daerah) pada program studi Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.
Penulis selama menjalankan perkuliahan aktif mengikuti organisasi dan
kepanitiaan. Organisasi yang diikuti oleh penulis adalah HIMITEPA (Himpunan
Mahasiswa Teknologi Pangan) sebagai staff divisi Hico tahun 2019-2021. KOPMA
IPB sebagai anggota tahun 2018. Kepanitiaan yang diikuti oleh penulis adalah
Inagurasi ITP55, Suksesi Himit 2019, A-Talk x HBC 2020 dan EXIT x
BOOTCAMP 2021. Penulis juga mengikuti pelatihan sebagai penyelia halal dan
memperoleh sertifikat kompetensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi sebagai
Penyelia Halal. Pada akhir masa studi, penulis menulis skripsi yang berjudul “Pola
Konsumsi Olahan Jagung dan Potensi Paparan Aflatoksin di Indonesia” di bawah
bimbingan Dr. Dias Indrasti, S.TP, M.Sc dan Yuli Sukmawati, S.TP, M.M.

Anda mungkin juga menyukai