Anda di halaman 1dari 41

[DOCUMENT

TITLE]
[Document subtitle]

[DATE]
[COMPANY NAME]
[Company address]
BAB 4

1
Malam ini udara sangat dingin, angin juga

berhembus kencang beberapa kali, pak Badi sedang berdiri


ditepi jendela memandang kosong kearah pemandangan
taman belakang dari jendela kamar miliknya. Sejenak Ia
nampak sedang memikirkan sesuatu sebelum isterinya
menepuk bahunya lalu menarik lembut tangannya dan
membawa orang tua itu duduk bersama dengan
keluarganya yang sejak tadi sudah menunggu dirinya di
atas meja makan. Mereka semua nampak bahagia karena
untuk pertama kalinya pak Badi meminta semua sanak
keluarganya datang berkumpul di rumah ini untuk sebuah
acara keluarga yang sangat jarang bisa mereka lakukan
ditengah-tengah kesibukan kehidupan mereka masing-
masing, untungnya semua orang bisa datang dan
menghadiri acara ini dimulai dari kesebelas anak-
anaknyanya, kedelapan menantu-menantunya sampai
ketiga anak-anak angkatnya, memberikan waktu luang
mereka untuk menghadiri undangan ini meskipun beberapa
diantara mereka merasa curiga, karena tidak biasanya pak
Badi sesentimentil ini terhadap mereka. Orang tua itu lebih

2
suka dilihat sebagai orang yang keras dan disiplin
dibandingkan orang yang hangat terhadap keluarga, tapi
semua pikiran yang buruk itu berusaha mereka tepis dan
lebih memilih menikmati canda tawa diatas jamuan paling
mewah dan senda gurau antar saudara, saat itu lah pak
Badi menyadari kalau tidak ada yang lebih penting dari
sebuah keluarga, karena bagaimanapun orang
memandang hubungan ini, keluarga adalah tempat dirimu
untuk pulang.

Selepas jamuan makan malam dan canda tawa sepanjang


hari ini, selesai. Satu per-satu dari mereka akhirnya
melangkah pulang, diikuti bergulirnya jarum jam yang ada
diatas dinding, pak Badi mulai merasakan kesendiriannya
lagi, hanya Isteri dan beberapa anaknya yang masih duduk
menemani dirinya diruang tengah, mereka semua saling
berbicara satu sama lain tentang sesuatu seperti urusan
remeh temeh yang terdengar membising ditelinga pak
Badi, saat itu lah orang tua itu akhirnya melihatnya. sosok
itu melintas dari balik lorong rumah menuju ke pintu
kamarnya yang tiba-tiba terbanting dengan suara yang
begitu keras. Semua orang sontak tertuju memandang ke

3
sumber suara tersebut, tapi pak Badi segera menenangkan
mereka, apa yang baru saja mereka dengar mungkin
disebabkan oleh angin yang berhembus dari jendela yang
ada di kamar pak Badi, awalnya Isterinya melihat pak Badi
dengan tatapan curiga tapi pak Badi segera berdiri
kemudian berjalan pergi sembari mengatakan kepada
mereka semua kalau dia akan menutup jendela kamarnya
karena sewaktu-waktu angin kencang bisa berhembus lagi
dan masuk kedalam rumah ini. Dalam kesunyian malam
yang semakin larut pak Badi melangkahkan kaki perlahan-
lahan menapaki lantai keramik yang entah kenapa tak
menimbulkan suara seperti biasanya, tepat setelah sampai
didepan pintu kamarnya pak Badi melangkah masuk
namun, aneh, tak dia temui siluet sosok yang sempat dia
lihat tadi, tapi hembusan angin yang menerpa wajah pak
Badi membawa dirinya melihat ke sebuah pintu gudang
dibelakang rumah dimana pintunya dalam kondisi terbuka,
seketika pak Badi tahu maksud dari semua ini. “rupanya
sosok itu sedang menunggu dirinya di dalam sana”.

Detik itu juga, setelah mengenakan mantel malamnya, pak


Badi melangkah keluar, Ia berusaha tak menimbulkan

4
suara sedikit pun agar keluarga-keluarganya tidak ada
yang tahu, nampaknya mereka masih asyik berbincang-
bincang di ruang tengah, lewat pintu belakang pak Badi
kemudian menyusuri halaman belakang menuju ke gudang
tua tempat pak Badi biasa meletakkan semua perkakas dan
barang-barang antik miliknya, dengan langkah kaki yang
cepat Ia menyusuri tanah dengan rumput-rumput yang
tumbuh subur, tapi, langkah orang tua itu terhenti sejenak
ketika dari arah belakang dia mendengar suara yang
familiar sedang memanggil dirinya.

“kowe kate nang ndi bengi-bengi ngene?” (mau kemana


kau malam-malam begini?)

Pak Badi berbalik, menoleh melihat ketempat isterinya


sedang berdiri memandangi dirinya dengan ekspresi wajah
yang terlihat janggal.

“gak nang ndi-nang ndi buk, kowe dewe nyaopo nang kene,
wes muleho, engkok bapak nyusul” (tidak kemana-mana
kok bu, kau sendiri ngapain di sini, sudah pulang saja, nanti
bapak menyusul)

5
Wanita itu tak bergeming dari tempatnya berdiri, sebaliknya
dia justru mendekati pak Badi yang masih diam mematung,
tak lama kemudian, wanita itu lalu berkata kepadanya,
“Kanjeng Puteri ndayo nang omah e kene, kowe ra onok
masalah kan karo tuan Baduro Sobo?” (aku melihat
Kanjeng Puteri bertamu di rumah kita, kau gak ada masalah
kan dengan tuan Baduro Sobo)

Pak Badi tidak langsung menjawab pertanyaan isterinya, Ia


terdiam cukup lama seperti sedang menikmati momen ini.
Angin benar-benar berhembus lebih kencang malam ini,
pak Badi lalu memeluk tubuh Isterinya kemudian
membisikkan kalimat itu ditelinganya, “KALA SOBO sudah
memanggilku”

Isteri pak Badi nampak melotot melihat wajah suaminya,


ada guratan tidak percaya pada ekspresi wajahnya. “tapi
tenang, aku wes gawe perjanjian maneh karo tiang nek
keluargaku ra bakal kenek imbas—e, nanging gawe
gantine wes tak tulis nang surat wasiat gok jero ne laci,
bukaken, lakonono, ben kabeh iso ngelanjutke urip dewe-
dewe” (tapi tenang saja, aku sudah membuat perjanjian lagi

6
dengan dia kalau keluargaku tidak akan terkena imbasnya,
namun sebagai gantinya sudah kutulis sebuah surat wasiat
di dalam laci, bukalah itu nanti dan lakukan semuanya
seperti yang tertulis di sana agar terhindar dari bahaya ini
dan semuanya bisa melanjutkan hidup masing-masing)

Pak Badi kemudian melepas pelukan isterinya, lalu


menyuruh wanita itu untuk pulang dan merahasiakan
semuanya. Ditengah-tengah malam yang kian bertambah
sunyi, bulan purnama sedang terbit tinggi diatas langit, pak
Badi melangkah masuk ke gudang tua miliknya seorang diri
dan seketika itu Ia melihat sosok itu sedang duduk berayun
diatas sebuah kursi goyang sambil bersenandung lirih,
makhluk itu rupanya sedang berkidung tentang perjanjian
lama dengan trah Rayit, suaranya begitu lembut dan halus,
membuat siapa pun yang mendengarkannya akan
terhanyut di dalam alunan sendu dan pilu.

Pak Badi sering mendengar tentang Kanjeng Puteri dari


orang-orang yang pernah memiliki urusan dengan keluarga
Sobo sebelum-sebelumnya. Konon tidak ada yang tahu
seperti apa wujud asli dari makhluk ini, karena sosok yang
selama ini sudah menjadi penjaga sekaligus pegangan
7
kuat turun temurun dari keluarga Sobo ini begitu adikuasa,
dan dia bisa menampakkan dirinya dalam rupa dan wujud
yang berbeda-beda, ada yang bilang, Kanjeng Puteri
adalah sosok wanita kuno yang sangat cantik, bahkan jauh
lebih cantik dari wanita-wanita yang selama ini mendiami
adi—dalem kerajaan-kerajaan lama, ada pula yang
bersaksi demi nama tuhan, kalau Kanjeng Puteri memiliki
wujud wanita dengan sanggul batawalang, gaun yang dia
kenakan dari sutera berwarna emas dan sekali saja dia
tersenyum maka apa pun yang menjadi tujuan dari orang
itu akan terwujud dengan cara yang teramat mudah, tapi,
rumor lain tentang Kanjeng Puteri juga santer terdengar,
konon, wajahnya lebih mengerikan bahkan dari Manak
abang, hidungnya panjang dengan kulit berwarna merah
darah, rambutnya putih panjang dan memiliki taring hingga
dagu manusia, kuku jarinya pun panjang dan bisa merobek
apa pun yang dia kehendaki, tapi, keburukan dan
kengerian Kanjeng Puteri jarang sekali terdengar karena
mereka yang seharusnya menceritakan hal ini semuanya
sudah menjadi mayat.

8
Pak Badi berjalan perlahan-lahan mendekati sosok yang
kalau dilihat dari belakang menasbihkan gambaran
seorang wanita yang dengan anggun sedang menikmati
singgasananya.

Namun, ada kengerian yang tidak bisa pak Badi jelaskan


terutama saat sosok itu berhenti berkidung dan membuat
ruangan ini mendadak menjadi sunyi senyap. Hening sekali
sampai pak Badi bisa mendengarkan deru nafasnya yang
terdengar memburu.

“Badi..” kata sosok itu dengan suara yang lembut. “aku isih
iling kowe sing jalok tolong aku mbiyen, kowe sek inget too
opo sing mok jalok nang aku..?” (aku masih ingat kamu dulu
pernah meminta tolong kepadaku, kamu masih ingat kan
apa yang kamu minta kepadaku?)

Tentu saja. Pak Badi tidak akan mungkin bisa lupa apa
yang dulu dia minta kepadanya, seratus hektar tanah untuk
bisnis lahan tebu miliknya dan juga dua belas anak yang
lahir dari rahim isterinya, hanya saja ada yang janggal
dengan semua permintaan itu. “Kanjeng, memang saya
tidak pantas lagi hidup apalagi kalau tuan Sobo sudah

9
memutuskan, tapi, apakah adil, semua tugas yang saya
dapat selalu saya selesaikan dengan cara yang paling
sempurna, tapi, saya masih belum mendapat anak kedua
belas saya, lantas, tidak kah saya seharusnya masih hidup
untuk menagih anak kedua belas saya”

Hening. Suasana di dalam ruangan itu seperti gelas


kosong. Baik makhluk itu mau pun pak Badi tak ada satu
pun dari mereka yang berbicara lagi, sementara bagi pak
Badi yang bisa melihat makhluk itu hanya dari
punggungnya merasakan intimidasi yang membuat
keringat dikeningnya bercucuran dengan sendirinya. Tak
lama kemudian terdengar suara tertawa yang membuat
pak Badi tersentak mundur karena ketakutan.

“Badi, kowe ngaruno aku yo” (Badi, apakah kau meragukan


aku?)

Pak Badi seketika bersimpuh dibelakang makhluk itu yang


masih menggoyang-goyangkan kursinya, “mboten
kanjeng!! Mboten!! Kulo mboten ngeraguno panjenengan,
ngapunten!! Ngapunten sing katah kanjeng!!” (tidak

10
kanjeng!! Tidak!! Saya tidak pernah meragukan anda,
maaf!! Maaf yang sebesar-besarnya kanjeng!!)

Kanjeng puteri kemudian berkata kembali dengan suara


yang dalam, “asline aku iki seneng nduwe abdi koyo kowe,
gak akeh sing iso njalanke permintaanku seapik awakmu
anakku, tapi, onok waktu e menungso iku ra iso dicekel janji
ne, urusan anak—mu sing durung lahir kuwi sak iki bakal
tak kabulno, nanging ilingo, opo ganjarane?” (sebenarnya
aku suka dengan pengabdi yang seperti dirimu, tidak
banyak yang bisa menjalankan permintaanku sebagus
dirimu anakku, tapi ada kala waktunya manusia tidak bisa
dipegang janjinya, urusan anakmu yang belum lahir itu
sekarang akan aku berikan, namun ingat, bayarannya?)

Pak Badi termangu diam, Ia lupa dengan hutang yang


harus dia bayar, maka sewaktu kilasan di dalam kepala pak
Badi mengingatkannya dengan wajah Isterinya, pak Badi
kemudian memohon untuk tidak melakukan hal itu kepada
isterinya. “jangan kanjeng, jangan lagi jenengan sentuh
isteri saya. Biar saya yang menerima semua ini, ambil
nyawaku sekarang bila itu bisa menuntaskan semuanya”

11
Makhluk itu lagi-lagi tertawa, Kanjeng Puteri entah kenapa
sejak tadi merasa terhibur dengan sifat polos pak Badi yang
tidak mengerti maksud dan ucapannya, tak lama kemudian,
Kanjeng Puteri mulai berdiri dari tempat dia duduk, “kowe
ra ngerti yo anakku, aku ra kepingin blas nyentuh bojomu
maneh, nanging aku wes janji karo kowe nek bakal ngekeki
rolas anak, maka gawe gantine, anak kerolasmu bakal aku
gragat sak iki sakaligus bayaran gawe aku sing
mamudahno uripmu sampe sak iki!!” (kamu tidak mengerti
ya anakku, aku sama sekali tidak tertarik menyentuh
isterimu lagi, namun aku sudah berjanji kepadamu kalau
aku akan memberimu dua belas anak, maka sebagai
gantinya, anakmu yang kedua belas nanti langsung akan
aku makan sekarang dihadapanmu sekaligus bayaran
setelah ku permudah hidupmu selama ini!!)

Pak Badi yang terhenyak setelah mendengar ucapan


Kanjeng Puteri seketika langsung melangkah mundur, kini
Ia begitu ketakutan dengan makhluk yang ada
dihadapannya ini.

Makhluk ini tidak akan cukup hanya dengan membunuhnya


saja tapi dia akan membuat pak Badi dalam kondisi ingin
12
mati sampai semati-matinya nyawa manusia, dan benar
saja tiba-tiba pak Badi merasakan kalau ada yang salah
dengan tubuhnya, tiba-tiba saja rasa sakit yang teramat
sangat membuat pak Badi bersimpuh dan mengerang
sambil memegangi perutnya yang perlahan-lahan semakin
bertambah besar, pak Badi pun merintih, menjerit sekuat
tenaga sambil wajahnya masih melihat sosok Kanjeng
Puteri yang saat ini masih berdiri membelakanginya.

“Kaanjeeeeng!!” jerit pak Badi, tak lama kemudian, perut


pak Badi sampai dipuncaknya yang terlihat seperti wanita
yang sedang mengandung 9 bulan kehamilannya. Sosok
yang ada dihadapan pak Badi kemudian berbicara lagi,
“anakku, opo kowe ra pengen ndelok rai—ku?” (anakku,
apa kau tidak ingin melihat wajahku?)

Pak Badi hanya diam saja mendengar Kanjeng Puteri


berbicara kepadanya, Ia menahan sakit yang luar biasa,
seluruh badannya mengejang sampai pak Badi tidak bisa
menggambarkan rasa sakitnya. Ia terkapar dengan perut
menggelembung menghadap keatas.

13
“sak iki, kowe bakalan eroh yo opo wujudku sak durunge
kowe mati lan mati maneh terus sak lawase sampai dunyo
iki ra onok maneh, kowe bakal dadi budakku nang jero ne
neroko jahanam anakku” (sekarang, kau akan melihat
bagaimana rupaku sebelum kau benar-benar mati dan mati
lagi sampai seterusnya hingga dunia ini berakhir, kau akan
menjadi budakku di dalam neraka paling jahanam anakku)

Pak Badi mencoba merangkak dari tempat itu tapi ia tak


bisa melakukannya karena dari dalam lubang anusnya
darah mengalir keluar dan sosok Kanjeng Puteri yang
selama ini membelakangi dirinya mulai berbalik dan
bergerak menatapnya, saat pak Badi dibuat ngeri melihat
wujudnya yang mana dibagian kepala makhluk itu
terpasang kepala binatang babi dengan tubuh seorang
wanita yang pada bagian dadanya basah dengan darah
berwarna merah gelap dan membuat pak Badi merasa
ketakutan yang teramat sangat. Belum pernah beliau
menjumpai makhluk seburuk rupa ini selama pak Badi
hidup sebagai manusia.

14
Kanjeng Puteri pun berlutut dihadapan pak Badi yang
terlentang sebelum kedua tangannya menyentuh perutnya
yang semakin bertambah besar, Ia mengusap-usap lembut
perut pak Badi sembari berkata kepadanya, “Kala Sobo
memanggilmu nak!!”

Kemudian terjadi sesuatu yang gila dimana daging perut


pak Badi seketika dirobek dengan kedua tangan kosong
Kanjeng puteri dimana didalamnya pak Badi melihat janin
seukuran batok kelapa dilumat habis oleh mulut makhluk
jahanam itu secara membabi buta hingga pak Badi hanya
bisa menjerit-jerit tanpa ada satu pun orang yang bisa
menolongnya.

Hanya sepasang bola mata yang sedang mengintip dari


celah tembok kayu yang ada di gudang, malam itu menjadi
malam yang tidak akan pernah bisa dilupakan oleh
sepasang mata yang kebetulan melihat kejadian dan
kekejian itu. Beginilah nasib ketika seorang manusia biasa
membuat perjanjian dengan seorang Songkor yang selama
ini hidup dalam bayang-bayang kehitaman sebuah ilmu
yang diturunkan oleh iblis-iblis gila.

15
Ketika Trah jahanam itu mulai menagih janji maka imbalan
yang dia minta jauh lebih mengerikan dibandingkan sebuah
kematian yang sudah ditetapkan oleh tuhan.

Isteri pak Badi berlari meninggalkan gudang tua itu sembari


menangis dan merelakan kepergian suaminya untuk
menjadi budak-budak iblis, selama-lamanya.

16
BAB 5

17
Kala Baduro Sobo, bukanlah orang yang

sembarangan. Ia lahir dari rahim pasangan suami isteri


yang masih memiliki jejak ningrat di dalam nadinya
sehingga darah abwi biru masih dipercaya mengalir di
tubuhnya. Tidak hanya itu saja, Baduro mewarisi semua
harta benda peninggalan pendahulu-pendahulunya yang
tidak pernah bisa dinilai berapa banyaknya, meskipun
begitu tidak ada satu orang pun yang tahu pasti bagaimana
rekam jejak keluarga Sobo pada jaman dahulu, bagaimana
cara mereka mengumpulkan tanah dan harta benda
sampai bertumpuk-tumpuk dan tidak bisa dihitung seperti
itu, entahlah, mereka hanya dikenal oleh generasi bawah
sebagai salah satu dari tujuh trah yang memikul nama
sebagai seorang “Rayit” yang memegang kendali tanah
dan kekuasaan mulai dari bukit Wilungetan sampai alas
Damping.

Banyak rumor tidak menyenangkan yang juga selalu


menyelimuti keluarga Sobo, yang mana dimana pun
keluarga Sobo berada rumor-rumor itu akan selalu
dibicarakan dan digaung-gaungkan sebagai pembenaran

18
bahwa keluarga Sobo adalah penyembah iblis, hanya saja,
tidak ada satu kepala pun yang berani mengatakan rumor-
rumor itu secara terang-terangan apalagi dihadapan para
pilar-pilar keluarga Sobo karena konon orang-orang masih
terikat perjanjian dan memegang teguh sumpah untuk tidak
membuat Trah Rayit murka. Kabar burung bahkan pernah
tersebar kalau ada satu orang dungu yang pernah
menuduh kalau keluarga Sobo lahir dari rahim binatang,
karena itu fisik dan mental mereka terlihat ganjil tidak
seperti manusia normal pada umumnya, kabar ini tentu saja
mengejutkan banyak orang, sebagian percaya dan
sebagian menganggap tuduhan itu terlalu berlebihan, yang
lain memilih untuk tetap diam dan tidak mau berurusan
dengan keluarga Sobo apalagi sejak kepala keluarga
dipegang oleh Baduro Sobo yang dijuluki sebagai bahu
semar, lalu pertanyaannya bagaimana nasib orang dungu
yang pertama kali menyebar rumor itu, menurut orang-
orang yang mengetahui peristiwa ini secara langsung
orang dungu yang mengatakan itu berakhir dikotak kndang
makanan babi-babi peliharaan keluarga Sobo sebagai
daging-daging cincang yang sudah halus.

19
Segila apa pun rumor atau gosip yang menyelimuti sepak
terjang keluarga Sobo, satu hal yang tidak bisa dirubah dari
keluarga ini ialah, betapa mengerikan dan berkuasanya
keluarga ini di wilayah ini. Dan itu faktanya.

***

Arman mendapat panggilan dari kediaman keluarga


Sobo setelah Andis, seorang pemuda berusia 14 tahun
yang menjadi abdi dalam di keluarga Sobo datang ke
rumahnya dan menyampaikan pesan ini kepadanya. Tapi,
di siang yang terik ini, sebelum Arman bersiap pergi ke
kediaman milik Sobo, pertama-tama Arman harus
menemui Pardi yang ingin bicara kepada dirinya di kebun
belakang rumah, tepatnya dibawah pohon-pohon kelapa
tempat Pardi biasa memotong kayu-kayu dengan kapak-
kapak miliknya.

Saudara iparnya itu sudah tiba tiga hari yang lalu, anehnya,
ada perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Pardi kepada
Arman, entah ini hanya perasaan Arman saja atau memang

20
benar kalau semenjak pulang dari kepergiannya itu, Pardi
menjadi lebih sengit dan tidak ramah terhadapnya. Hal ini
tentu saja membuat Arman bingung, apakah ada
kesalahan yang sudah dia lakukan kepadanya.

Dan hari ini, entah kenapa Isterinya, Untari, tiba-tiba datang


menemuinya dan menyampaikan kalau kakak iparnya,
Pardi ingin berbicara empat mata dengan Arman di—kebun
belakang tepat dibawah pohon-pohon kelapa.

Arman pun menuju kesana.

Benar saja. Pardi rupanya sedang berada di sana, ia


nampak sibuk menebas-nebas kayu dengan kapak yang
ada ditangannya meskipun salah satu tangannya tak
memiliki jari-jari sehingga Pardi hanya menggunakan
bantuan dari jari jempolnya untuk menekan selongsong
kapak sebelum mengayunkannya ke bawah.

Pardi berhenti sebentar saat melihat Arman datang, dia


kemudian menancapkan mata kapak di balok kayu
sebelum mengambil kaos untuk mengelap tubuhnya yang
sudah dipenuhi keringat, Pardi juga meraih satu batang
rokok yang dia ambil dari kotak jati yang sebelumnya sudah

21
dia linting sendiri, sembari Arman memulai pembicaraan
kenapa Pardi memanggil dirinya ke tempat ini, Pardi
menawarinya rokok dari kotak jatinya tapi Arman
menolaknya dengan alasan sudah lama kalau dia mencoba
untuk berhenti merokok. Pardi mengangguk, mencoba
mengerti. “kowe iki asline bakal dadi bapak sing hebat
gawe anakmu sing mari ki lahir” (kamu ini sebenarnya akan
menjadi ayah yang hebat untuk calon anakmu yang akan
lahir)

Arman yang mendengar hal itu hanya tersenyum tipis, Ia


tidak mengerti kenapa tiba-tiba Pardi mengatakan hal itu.

“aku krungu teko wong-wong nek kowe pirang-pirang ndino


iki sering teko nang omah gedong sing onok nduwur bukit,
iyo?” (aku mendengar dari orang-orang kalau beberapa
hari ini katanya kamu sering datang ke rumah mewah yang
ada diatas bukit, apa benar?)

Jika rumah mewah yang dimaksud adalah rumah Sobo,


Arman pun membenarkannya, sementara Pardi menyesap
rokok dan menghembuskannya ke udara hingga memenuhi
udara dengan kepulan asap berwarna putih. “onok urusan

22
opo kowe nang omah iku?” (ada urusan apa kamu di rumah
itu?)

Arman yang mencoba meraba-raba kearah mana Pardi


sedang mencoba berbicara dengannya kemudian berkata.
“bisnis mas”

“bisnis”, sahut Pardi mengulangi kalimat itu. Ada raut kesal


dan marah tersirat di wajah Pardi dan Arman bisa
melihatnya dengan sangat jelas, tapi tetap saja, Arman
tidak mengerti kenapa juga Pardi harus kesal, lagipula
bukankah ini adalah urusannya dan sama sekali tidak ada
hubungannya dengan dirinya. Pardi kemudian meletakkan
kaos miliknya yang basah oleh keringat keatas tumpukan
kayu, dengan suara yang datar Pardi kemudian berkata. “ra
usah mrunu maneh Ar” (gak usah kesitu lagi Ar)

Mendengar itu tentu saja Arman semakin tidak mengerti,


apa maksudnya dia tidak boleh ke tempat itu lagi. Apa
urusannya dengan ini. Arman pun tidak menjawab, ia
memilih untuk tetap diam.

“kowe gak ngerti karo sopo kowe berbisnis iku” (kamu tidak
mengerti dengan siapa kamu berbisnis ini)

23
“opo maksudmu mas?” (apa maksudmu sebenarnya mas)

Pardi tidak langsung menjawab namun dia melihat wajah


Arman dengan sorot mata yang geram, “kowe nek kepingin
uripmu tenang tanpa onok sing ngeriwuki, saranku ra usah
mok lanjutke, kowe gak ngerti nggon iki koyo aku” (kamu
kalau ingin hidupmu berjalan tenang tanpa ada satu orang
pun yang menganggumu, saranku tidak usah lagi kau
melanjutkan hal ini, kamu tidak mengerti tempat ini seperti
aku)

Arman yang mulai merasa tidak nyaman dengan suasana


seperti ini kemudian berkata kepada Pardi, “aku
maturnuwun sampean purun nerimo aku kale Untari, tapi
mas, onok batase wong melu urusane wong liyane, kowe
sopo sampe ngelarang-ngelarang aku??” (aku
berterimakasih sekali kau mau menerima aku dan Untari,
tapi mas, ada batas bagi orang lain ikut urusan orang lain
lagi, kau siapa sampai harus melarang-larang urusanku??)

Pardi mengenggam kuat-kuat tangannya, ia tidak mau


kalau harus menghantam wajah Arman dengan
pukulannya, namun sejujurnya ada ketakutan yang teramat

24
sangat yang bisa sewaktu-waktu membahayakan Arman
dan adiknya tentang identitas siapa Sobo yang sebenarnya
yang bahkan tidak banyak orang yang tahu perihal rahasia-
rahasianya, apalagi sebentar lagi Untari akan melahirkan
seorang bayi yang mungil, Sobo pasti memiliki rencana dan
tujuan kenapa melakukan ini. Sayangnya, Pardi tidak tahu
detail apa yang sedang direncanakan oleh tua bangka
tersebut.

Arman pun melangkah pergi meninggalkan Pardi yang


hanya berdiri diam sambil memandanginya dari tempat
yang jauh. “aku harus menolongnya sebelum semuanya
terlambat”, batin Pardi saat itu.

25
****

Arman sudah sampai di kediaman milik Sobo, dan


pemuda yang mengantarkannya kali ini adalah Andis,
usianya baru menginjak 14 tahun, tapi entah kenapa
rasanya Arman baru menyadari kalau sebagian besar abdi-
abdi dalem yang hidup di dalam kediaman milik milik Sobo
merupakan seorang anak-anak muda yang nyaris ke—
semuanya berkelamin laki-laki. Tak hanya itu saja, rata-rata
mereka memiliki paras yang menawan bagi perempuan-
perempuan yang melihatnya, bahkan anehnya, Arman
tidak pernah menemukan satu pun perempuan tinggal di
rumah ini kecuali orang-orang khusus yang tidak selalu
datang setiap hari, sayangnya Arman tidak bisa mengulik
hal ini karena baik Andis mau pun Faiz tidak tau alasan
kenapa Sobo menerima mereka, tapi dari beberapa kabar,
Sobo mengangkat anak-anak ini sebagai anak dan ahli
waris untuk kelak menjadi salah satu orang-orang yang
berpengaruh yang akan ditempatkan dibeberapa bisnis

26
pribadi miliknya, meliputi lahan-lahan tanah, sampai
perkebunan besar seperti teh dan kopi, tapi apapun alasan
dibalik semua ini rasanya semuanya masih terasa janggal
bagi Arman.

Tuan Sobo rupanya sudah menunggu kedatangan Arman


disebuah ruangan yang ada dilantai dua, sebuah tempat
dengan ruang terbuka dimana banyak ditemui tanaman-
tanaman merambat dengan berbagai jenis dan ukuran,
Arman pun jadi teringat kalau selain patung berbentuk
manusia, tuan Sobo menyukai tanaman-tanaman yang
langka yang berhasil dia kumpulkan sejak dia masih muda
dari berbagai hutan yang ada di negara ini, hal ini sekaligus
menyimpulkan sifat fokus serta pekerja kerasnya, Ia akan
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang
beliau mau meskipun harus menghilangkan nyawa
manusia sekali pun. meski begitu Arman tidak bisa
mengesampingkan kalau tuan Sobo masihlah orang tua
yang benar-benar misterius, melihat bagaimana dia
melakukan santet pada pak Badi tempo hari seakan
memberi Arman gambaran kalau orang tua ini bukan orang
yang sembarangan sekaligus berbahaya.

27
Sobo kemudian berkata kepada Arman yang baru saja tiba.
“Nang, piye kabarmu, nang nduwur mejo kui onok hadiah
sing wes tak persiapno kanggo kowe, terimoen” (Nang,
bagaimana kabarmu, diatas meja itu ada sebuah hadiah
yang sudah kupersiapkan untukmu, terimalah)

Arman yang tidak mengerti maksud ucapan Sobo lantas


melihat apa yang ada diatas meja yang katanya hadiah
untuk dirinya. Rupanya itu adalah sebuah berkas di-dalam
sebuah maps berwarna cokelat dimana didepannya ditulis
sesuatu yang membuat Arman tidak bisa percaya dan
berkali-kali melihat kearah tuan Sobo yang sedang
menyesap minuman dari cangkir mungil yang ada
disampingnya. “mulai sak iki iku ngunu nggonmu nang,
jogoen, aku percoyo karo kowe” (mulai sekarang itu semua
menjadi milikmu, jagalah, aku percaya kepadamu)

Arman masih tidak percaya kalau yang saat ini ada


ditangannya merupakan berkas dan surat-surat resmi
kepemilikan lahan luas milik pak Badi yang sebelumnya
menjadi sumber masalah antara Arman dan orang-orang
yang ada dibelakangnya, termasuk Jarot yang saat ini ada

28
di dalam kepalanya, betapa Arman membenci manusia itu
dan ia rela melakukan apapun untuk membuat Jarot
tersiksa selama akhir riwayat hidupnya.

Arman bertanya sekali lagi dan tuan Sobo mengatakan


kalau keluarga pak Badi yang memberikan semua
kepemilikan itu secara gratis kepada dirinya, namun
mengingat kesibukan tuan Sobo dengan berbagai bisnis
yang dia miliki alangkah lebih baik kalau tempat itu diurus
oleh orang yang kompeten dan tuan Sobo melihat semua
itu ada pada diri Arman, namun, tuan Sobo mengatakan
sesuatu kepada Arman karena ada sesuatu yang musti dia
pahami, Sobo bukanlah trah sembarangan dan tidak
semua orang bisa masuk dan keluar seenaknya. “aku
nduwe perjanjian sing kudu mok terimo yen kowe kepingin
siji nggal sijik mbalik nang awakmu” (aku memiliki
perjanjian yang harus kau terima kalau menginginkan satu
persatu semua yang dulu kau miliki kembali kepadamu)

Arman terdiam sejenak dan entah bagaimana caranya tiba-


tiba saja dirinya teringat dengan percakapannya bersama
dengan Pardi, “kau ndak kenal siapa orang itu Arman!!”,

29
teriak pria itu kepadanya, namun nyatanya, Arman tidak
merasakan tanda bahaya dari orang tua yang usianya
mungkin sekitar 60 sampai 70 tahunan ini, tapi tetap saja,
Sobo memang tidak seperti orang tua yang seumuran
dengan dirinya, bagaimana fisik tuanya nampak tidak
berpengaruh dengan stamina dan kesehatannya, hal yang
menurut Arman terasa begitu janggal dan jarang dimiliki
oleh orang pada umumnya.

Setelah mengatakan iya, Sobo nampak tersenyum puas. Ia


berdiri dan kemudian melemparkan dua lembar foto
seseorang keatas sebuah meja, “melu aku sak iki, tak dudui
carane ngajari wong yo opo ben menghormatimu!!” (ikut
aku sekarang, ku ajari cara membuat orang agar
menghormatimu)

Arman termangu melihat kedua foto tersebut yang rupanya


dia kenali sebagai dua orang yang ikut dalam perjanjian
bersama pak Badi, setelah tahu perihal ini, seketika Arman
berlari menyusul orang tua itu yang saat ini sudah duduk di
dalam sebuah mobil sedan hitam miliknya.

30
Di dalam mobil itu Arman melihat Faiz sedang duduk
dibangku sopir tepat disamping tuan Sobo yang nampak
menikmati tempat duduknya dengan tenang, beberapa kali
Arman juga melihat kalau tuan Sobo nampak tersenyum
setiap kali melihat Arman dari kaca depan mobil miliknya.
“kowe bakal eroh kenek opo selama iki aku dijuluki bahune
semar” (kau akan tahu alasan kenapa selama ini aku
dijuluki sebagai bahu semar), kata orang tua itu.

Diperjalanan, mobil yang dikendarai oleh Faiz mulai masuk


ke sebuah jalan yang sepi dan sunyi bahkan beberapa kali
Arman menemukan kalau mobil sempat melewati pohon-
pohon tinggi dan rindang sambil sesekali menerjang semak
belukar yang ada diatas jalan setapak.

Malam semakin larut, sementara mobil tak kunjung


menemukan jalan beraspal, Arman mulai mempertanyakan
kemana tuan Sobo akan membawanya karena sejak tadi
orang tua itu hanya terfokus pada jalanan yang ada
didepannya sembari menemani Faiz meski sesekali orang
tua itu nampak mencuri-curi pandang melihat ke tempat
Arman sedang duduk.

31
Setelah berkelut dengan jalan berbatu dan berlumpur,
Arman akhirnya melihat sekelebat bayangan sebuah pagar
kayu yang diterangi dengan api dari obor yang
digantungkan ditepian tiang pancang, seketika tuan Sobo
menoleh melihat ke tempat Arman sedang duduk. “selamat
datang di surga anakku”

Arman tidak mengerti maksud ucapan dari orang tua itu,


karena setelahnya Arman mengikuti tuan Sobo menyusuri
sebuah jalan yang memiliki banyak sekali lorong, bagunan-
bangunan ini berbentuk seperti rumah kayu yang
membuatnya terlihat seperti padepokan lama dengan
kamar yang terpisah-pisah. Disalah satu ruang itulah
Arman sempat melirik kalau ternyata setiap kamar yang
ada ditempat ini dihuni oleh orang yang berbeda-beda,
setelah berjalan cukup jauh bahkan keluar dari pondasi
bangunan, tuan Sobo membawa Arman kesatu tanah
lapang yang luas tempat dimana ada aliran air terjun
sedang menyembur, berbekal obor yang dibawa oleh Faiz,
Sobo memanggil Arman menyuruhnya kali ini untuk
telanjang bulat dan masuk kedalam aliran sungai, awalnya
Arman sedikit ingin menolak namun melihat ekspresi wajah

32
tuan Sobo yang menatap dirinya dengan sorot mata yang
dingin, Arman mulai menanggalkan satu persatu pakaian
yang dia kenakan.

Tak lama kemudian berbekal tubuh tanpa sehelai benang


pun, Sobo kemudian melakukan hal yang sama dengan
menanggalkan pakaiannya satu persatu, ia menuntun
Arman untuk mengikutinya menelusup masuk pada aliran
sungai dari sekitar area air terjun yang cukup dalam sambil
membelai-belai kepala Arman, orang tua itu kemudian
menenggelamkan Arman hingga seluruh bagian tubuhnya
melesat masuk kedalam buih air yang membuat dirinya
tidak bisa bernafas dengan bebas.

Arman seketika mengejang hebat, ia tak tinggal diam dan


mencoba untuk keluar dari tekanan yang sinting seperti itu
tapi aneh, tenaga yang dimiliki oleh Sobo seperti bukan
tenaga orang biasa, jangankan untuk melawan mampu
menahan otot lengannya saja merupakan hal yang luar
biasa, nafas Arman mulai tersenggal-senggal, diikuti
gerakan tangan dan kakinya yang mulai melemah, Arman
tidak mengerti tujuan dan alasan kenapa Sobo melakukan

33
ini kepadanya, hingga perlahan-lahan Arman mulai
kehilangan kesadaran, kegelapan mulai menyelimuti
pandangannya, dan saat itu juga, Arman kemudian jatuh
ditelan aliran sungai tanpa ada satu orang pun yang dapat
menolong dirinya.

***

Tak ada yang bisa menggambarkan bagaimana


kejadian itu terjadi, karena semuanya berjalan begitu cepat,
Arman tak pernah menduga sebelumnya jika Sobo rupanya
memiliki niat untuk mengakhiri hidupnya, tapi, kalau dia
memang menginginkan hal itu kenapa harus berlelah-lelah
menolong dirinya, kenapa tidak dia bunuh saja tanpa perlu
membantunya untuk mengakhiri nyawa Badi sialan itu.
Entahlah, karena yang saat ini Arman lihat adalah setitik
cahaya yang perlahan-lahan terus menerus membesar
hingga memberinya pemandangan yang buram tentang
sebuah kamar yang diterangi menggunakan cahaya dari
petromax yang tergantung diatas dinding anyaman. Arman
termangu, Ia melihat sesosok figur yang nampaknya dia
kenali, namun, tenaga Arman sudah terkuras habis hingga

34
ia hanya bisa menggerakkan tangannya untuk menyentuh
sosok yang sedang duduk membelakanginya tanpa sehelai
benang pun yang menutupi tubuhnya.

Tak lama kemudian, sosok asing itu menoleh sebelum


tersenyum melihat ke tempat Arman sedang tidur. “Santi”,
apa yang dilakukan oleh wanita itu di tempat ini, Arman
seketika memaksa tubuhnya untuk terjaga dan dilihatnya
dirinya tengah tertidur diatas ranjang kayu tanpa sehelai
benang pun menutupi tubuhnya juga.

Santi, sosok wanita yang pernah menjadi simpanan Arman


kini duduk disampingnya, ia membelai lembut rambut
Arman sambil membisikinya kalau dia menyesal dengan
apa yang sudah dia lakukan kepadanya. Sosok berparas
Santi itu juga berujar kalau mulai saat ini tidak akan pernah
lagi meninggalkan Arman apapun yang terjadi, ia ingin
sehidup semati bersama dengan Arman.

Arman yang mendengar semua itu sontak terbuai dalam


bujuk rayu wanita yang sempat membuat dirinya kecewa
hingga tercipta hasrat untuk membalasnya, tapi saat ini,
wanita itu sudah menyesal dan siap kembali kepelukannya,

35
maka, detik itu juga Arman menenggelamkan tubuhnya di
dalam hiruk peluk sosok Santi dan mereka bercinta sampai
lupa waktu, sampai Arman tidak bisa sadar lagi dan
berharap semua ini tidak akan pernah berakhir.

Benar apa yang Sobo katakan, ia kini hidup di dalam surga.

Sobo membangunkan Arman, ia tersenyum


kepadanya diatas sebuah kursi. “piye nang, opo kowe wes
ngerasakno yo opo rasane cah kui?” (bagaimana nang, apa
kau sudah merasakan bagaimana rasa perempuan itu?),
tak berselang lama, Sobo kemudian melemparkan
serangkaian pakaian kepada Arman. “gaween klambimu,
melu aku, kejutane mari ki kowe bakal eroh?” (pakai
pakaianmu dan kemudian ikut denganku, kejutan yang
sebenarnya akan segera kau ketahui), di atas sebuah
salazar berbatu itu lah, Sobo kemudian menunjukkan
kepada Arman sosok yang selama ini dia sembunyikan.

Arman melihat sesuatu dihadapannya dalam posisi ditutupi


oleh sebuah kain berwarna putih yang panjang, sesuatu
yang entah apa itu nampaknya terus bergerak-gerak,
hanya saja Arman tidak tahu menahu apa dan siapa yang

36
ada di dalam balutan kain itu. Sewaktu Sobo menepuk
bahu Arman dia segera memerintahkannya untuk
membuka selembar kain tersebut, rupanya, sosok dibalik
kain berwarna putih itu adalah Santi yang sedang diikat
dengan luka disekujur tubuhnya.

“getih e mungsumu iku ngunu bakal dadi pondasi jiwo mu


kanggo aku nang” (darah dari musuh-musuhmu akan
menjadi pondasi untuk jiwamu yang segera akan menjadi
milikku), Sobo kemudian memberikan Arman sebilah belati
kepadanya, ia menyuruh Arman untuk menggorok leher
wanita itu, tapi Arman terlalu ragu untuk melakukannya dan
lagi, membunuh manusia tentu saja berbeda dengan
membunuh binatang seperti sebelumnya, Sobo hanya
diam saja sembari dia duduk, pandangan matanya terus
menyorot ke tempat Arman sedang berdiri dalam
kebimbangan. “kowe ra nduwe nyali nganggo gorok gulune
cah kui, ilingo opo sing dilakokno karo cah cilik iki, nek kowe
ra wani ngelakoni iku, kowe ra bakal iso sampe nang jero
keluargaku” (apa kau tidak punya nyali untuk menggorok
leher anak ini, ingat apa yang sudah dilakukan anak kecil
ini kepadamu, kalau kamu tidak berani melakukan itu, kau

37
tidak akan pernah bisa menjadi salah satu bagian dari
keluargaku)

Santi berusaha melepaskan ikatan temali yang mengikat


dirinya diatas kursi itu, namun, ia tak bisa melakukan apa-
apa, sorot matanya mengiba seperti memohon kepada
Arman agar dia melepaskannya, tapi, dilain hal Arman
sudah tidak mengerti lagi betapa sintingnya Sobo yang
bahkan tidak dia ketahui sifat pembunuhnya selama ini
namun jika ia tidak segera melaksanakan perintah orang
tua itu, Arman takut Sobo akan melakukan hal keji kepada
dirinya dan keluarganya, maka dengan perasaan yang
bimbang Arman kemudian berjalan mendekati Santi
dengan tangan memegang sebilah pisau. Langkah kakinya
goyah sementara tangannya nampak gemetar hebat, Sobo
bisa melihat kalau Arman belum siap sampai sejauh ini,
namun Sobo ingin tahu sejauh mana keyakinan anak ini
kepada dirinya maka ketika Sobo melihat Arman sudah
mengacungkan bilah pisau dilehernya, ia berdiri dan
berkata kepada Arman, “hentikan, cukup nang, tanpa kau
membunuh anak busuk ini, dia akan segera menemui
ajalnya, bukan begitu nona yang cantik”

38
Sobo lalu menunjukkan kepada Arman guratan patung
yang sebelumnya dia buat, rupanya sejak pertemuan
pertama mereka Sobo sudah memikirkan raut wajah
patung ini yang ternyata dimiliki oleh kedua orang yang ada
di dalam foto yang sempat Arman lihat.

“kowe wes nggowo aku melbu nang permainan sing iso


njupuk nyowoku nang, kowe eroh sopo cah loro iki” (kau
sudah membawaku masuk kedalam permainan yang bisa
sewaktu-waktu mengambil nyawaku nang, apa kau tau
siapa dua orang ini)

Arman hanya menggelengkan kepala sambil sesekali


melihat kearah dua patung yang benar-benar menyerupai
bentuk dari orang-orang yang mebisik ditelinga pak Badi
waktu itu, dengan setengah bersemangat Sobo kemudian
berkata, “wong loro iki ngunu jenenge, Arjun lan Randu,
uwong sing wes dijamin karo menungso sing tentu aku wes
kenal njobo njero” (dua orang ini bernama, Arjun dan
Randu, orang yang sudah dijamin oleh manusia yang tentu
saja sudah aku kenal luar dalam),

39
“nyowo e cah loro kui ngunu dijamin karo ANGGODO!!
Salah siji tekan uwong sing koyok aku” (nyawa dua orang
ini itu ternyata dijamin oleh ANGGODO!! Salah satu dari
orang yang sepertiku), “urip tanpa tantangan iku mboseni,
sak iki ayok dimulai permainane, Trah Anom” (hidup tanpa
tantangan itu membosankan, sekarang mari kita mulai
permainannya, Trah Anom).

40

Anda mungkin juga menyukai