Anda di halaman 1dari 45

1

KEDATANGAN

Berita itu sudah terdengar oleh masyarakat


Surabaya. Kedatangan kembali ras kulit putih ke tanah
Pulau Jawa. Mereka yang dalam tiga tahun lalu sudah
meninggalkan Indonesia, kini sudah kembali ke Jakarta.
Surat kabar maupun penyiaran di radio terus
memberitakan kabar tersebut. Hal ini telah menjadi
suatu pertanda yang tidak baik, bukan hanya bagi
masyarakat Surabaya, tapi bagi seluruh rakyat
Indonesia. Kali ini hanya dalam hitungan waktu, mereka
kelak akan kembali ke tanah Surabaya.
1942, adalah kali terakhir kami melihat orang-
orang itu menginjakan kaki di tanah ini. Terakhir kalinya
menginjakan kaki pada gedung-gedung penting di
Surabaya, dan terakhir kalinya mereka menginjakan kaki
pada kehidupan masyarakat Surabaya. Meskipun pada
akhirnya tiba masa yang lebih kejam dari mereka, namun
untuk sesaat kami berbahagia atas kepergian mereka dari
tanah Jawa. Satu hal yang kutahu pasti, kedatangan
mereka tidak akan membawa berita baik bagi bangsa ini.

1
Kita hanya bisa berharap laras panjang tersebut tidak
mengarah ke tubuh kita.
Soekarno dan Hatta pada saat itu telah
mengeluarkan perintah umum kepada rakyat Indonesia
untuk tidak berurusan dengan pasukan Inggris.
Kedatangan yang memiliki tujuan untuk melucuti
tentara-tentara Jepang menjadi suatu praduga lain
dengan adanya orang-orang NICA yang ingin
mempersiapkan kembali kondisi pemerintahan untuk
Hindia Belanda. Banyak hal yang tidak diketahui oleh
orang-orang Londo ini tentang kondisi Indonesia pada
saat ini.
Satu hal yang kutahu pasti, ada perjuangan lain
yang harus kita selesaikan. Yaitu mempertahakan
kemerdekaan ini untuk seluruh bangsa Indonesia.

2
SATU MALAM YANG BIRU

Yang kami takutkan kini sudah terjadi. Pada hari


ini, mereka telah datang ke tanah Surabaya. Dengan
jumlah yang tidak sedikit. Dengan sikap intimidatif,
mereka seraya menggertak kami agar mau menunduk di
ujung laras senjata mereka.
“Mereka telah berdusta, aku yakin kau juga
menyadarinya.”
“Apa maksudmu?” sahutku tidak mengerti.
“Mereka datang kemari bukan untuk
memulangkan para tentara Jepang dari tempat ini.
Mereka kembali untuk menjajah kita lagi,” Ujar Idris.
“Hanya dalam hitungan hari, Surabaya akan kembali
jatuh ke tangan Belanda jika kita tidak melakukan apa-
apa!”
Ia mengerutkan dahinya sembari meminum
secangkir kopi yang telah disuguhkan. Idris memang
merupakan orang yang keras. Abi telah lama
mengenalnya sejak pertama kali keluarganya menetap di
Surabaya. Dia merupakan sahabatnya yang berasal dari
satu sekolah yang sama sepertinya. Minatnya dalam

3
bidang sosial dan politik, menjadikannya sahabat yang
kerap mendiskusikan kehidupan sosial-politik maupun
kehidupan sehari-hari.
“Seperti yang kukatakan, kita semestinya tidak
hanya berdiam diri. Kita harus melakukan sesuatu
terhadap orang-orang Londo tersebut.”
“Aku mengerti keresahanmu, tetapi aku bukanlah
seorang pria yang penuh dengan kekerasan. Aku bahkan
tidak pernah mengangkat sebuah senapan.” Sahut Abi
untuk meyakinkan Idrus.
“Aku mengerti, kau masih bisa membantu tanpa
harus mengangkat senjata. Aku yakin orang
berpendidikan sepertimu akan bermanfaat bagi kami.”
Sambil melangkah ke luar teras “Senja sudah bergulir,
aku harus menghadiri rapat yang penting dengan
pemuda lainnya. “Sampaikan salamku kepada Dewi dan
juga Ibu Rahmi, terimakasih atas kopinya”.
Malam telah tiba, Ibu Rahmi dan Dewi telah
menyajikan makan malam di ruang makan. Pada malam
itu mereka menyajikan gudeg khas Yogya, masakan
yang membawa Abimanyu berlabuh ke relung masa
kecilnya. Sebelum menetap di Surabaya, dulu mereka
tinggal di sebuah rumah yang sederhana di Yogjakarta.
4
Setidaknya sebelum Abi melanjutkan pendidikan ke
HBS, bapaknya dipindah tugaskan untuk mengurus
administrasi di Surabaya. Sehingga Abi terpaksa
melanjutkan pendidikan di HBS Surabaya. Selama
bertugas di Yogyakarta, Bapak Harjo, mendapat julukan
“si tangan kilat” dari rekan-rekannya. Menurut rekan-
rekannya, ia sangat terampil dalam mengurus
administrasi, jauh lebih baik dibandingkan dengan
rekan-rekannya yang lain. Mungkin itu juga menjadi
salah satu alasan mengapa akhirnya ia dipindah tugaskan
ke Surabaya.
“Bapak yakin, kamu sudah mendengar beritanya
kan?” Tanya bapak kearah Abi memecah keheningan.
“Berita tentang apa? Belanda kembali lagi ke
Surabaya?”
“Iya tentang itu, sebenarnya bapak sedikit
bersyukur ketika mendengar berita tersebut.”
“Lho, piye ki bapak. Belanda balik lagi kok malah
bersyukur?” Tanya Dewi dengan sedikit keresahan.
“Yha bersyukur, setidaknya pekerjaan bapak di
kantor jadi lebih dipermudah. Hidup kita nggak akan
susah lagi seperti belakangan-belakangan ini. Lagipula,
memangnya kalian tau apa? Kalian juga kan masih kecil.
5
Sebelum Jepang datang kesini, upah bapak masih tinggi.
Yha kamu pikir, kalian bisa sekolah sampai jenjang
tinggi itu duit darimana? ”
“Tapi kan kita gabisa tutup sebelah mata pak.
Belum genap dua bulan negara kita sudah merdeka.
Seharusnya kan didukung, bukan justru mendukung
Belanda kembali”. Tegas Abi dengan sedikit geram.
“Waktu peralihan Jepang dari Belanda, kamu kira
upah bapak tetep sama? Karena alasan biaya
administrasi dan restorasi, upah pekerja dulu dipotong.
Apalagi sekarang, dari Jepang ingin dikelola sendiri.
Kamu pikir gak akan makan biaya juga? Bisa-bisa besok
bapakmu kerja cuma digaji satu cangkir beras tiap
minggu.”
“Saat ini dunia sedang berubah pak, bangsa-
bangsa kecil di dunia sudah melek akan penindasan
imperialisme. Semestinya kita bersuka cita ketika
bangsa kita menyatakan merdeka dari pendudukan
kolonialisme”. Sahut Dewi.
“Kamu tahu darimana? Dari pacarmu yang
mengaku militan dan revolusionis itu? Kamu itu cuma
termakan doktrin kepentingan politik saja.” Tegas
bapak.
6
“Loh, kenapa jadi membawa-bawa Idrus pak?
Terlepas dari siapa yang mengatakannya, tapi memang
begitu kenyataannya.” Jawab Abi dengan ringan,
berusaha menahan amarahnya. Bapaknya memang tidak
menyukai Idrus, ia beranggapan bahwasannya Idrus
merupakan seorang komunis yang hanya mencoba
menjalankan kepentingan internasionalisme nya,
sehingga ia begitu semangat dalam menentang
imperialisme oleh Belanda ataupun Jepang. Meskipun ia
tidak memiliki bukti dan hanya berdasarkan asumsi saja.
Sambil menggebrak meja, “Sudahlah, kalau kamu
merasa lebih benar dari bapak, lebih pintar dari
bapakmu, coba dibuktikan. Bapak menyekolahkan kamu
tinggi-tinggi bukan sekedar jadi penulis puisi atau
cerpen untuk surat kabar setiap hari Minggu! “ sahutnya
dengan nada tinggi. “Bagaimana kalau kamu sudah
menikah, sudah punya anak? Upahmu dari sastramu itu
tidak akan mampu untuk memberi makan mereka. Kamu
mestinya bersyukur, masih tinggal dibawah atap,
mampu makan nasi sehari dua kali, itu karena kerja keras
bapakmu.” Tambahnya, sedangkan Abi hanya diam
menunduk.

7
“Sudah-sudah, tidak usah dipermaslahkan lagi.
Habiskan saja gudegnya” Sahut Ibunya.
“Kamu merasa sebagai orang yang berpendidikan,
tapi tak sedikitpun ilmu yang kau miliki pernah
bermanfaat bagi orang lain. Jangankan untuk orang lain,
untuk dirimu juga belum tentu bermanfaat!” Tegas
bapaknya sambil meninggalkan ruang makan.
*
Setelah keadaan carut-marut tersebut, Abi duduk
di perkarangan rumahnya. Dengan merenungi perkataan
yang telah dikatakan oleh bapaknya sebelumnya, ia
menatap kosong ke langit dan merenungi, “Aku tidak
pernah menjadi orang yang berkontribusi terhadap
negaraku, aku bahkan tidak pernah menjadi orang yang
bermanfaat untuk keluargaku. Seluruh pengetahuanku
hanya berasal dari buku-buku yang sudah usang. Ilmuku
bagaikan suatu emas yang tertimbun ratusan meter
dibawah tanah, tidak ada artinya dan tidak bermanfaat.”
Lekas ia kembali ke kamarnya, menggambil
beberapa barang-barangnya, lalu pergi meninggalkan
rumah. Ia hanya meninggalkan secarik kertas yang berisi
permintaan maaf kepada keluarganya. Abi ingin
membuktikan kepada keluarganya bahwa kelak ia
8
mampu menjadi orang yang bermanfaat setidaknya bagi
dirinya sendiri.
Tanpa memiliki tujuan yang jelas, Abi akhirnya
memutuskan untuk berjalan menuju Genteng. Menuju ke
tempat sahabatnya yang paling dikenalnya, Idrus.

9
SUATU PAGI DI GENTENG

“Apa yang sedang kau lakukan disini? Ini sudah


tengah malam, lagipula bagaimana kau bisa tiba
kemari?” Tanya Idrus, dengan mencoba membuka kedua
matanya yang sebelumnya telah terlelap.
“Aku memutuskan untuk meninggalkan rumah,
aku merasa hanya menjadi beban keluargaku. Bolehkah
aku menetap disini untuk sementara, setidaknya hingga
aku tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya.” Jawab
Abi dengan sedikit kelelahan.
“Baiklah, masukan barang-barangmu, sini biar
kubantu.”
Tanpa banyak berbicara, Idrus menuntun Abi
menuju kamar tidurnya dan segera meletakan barang-
barang yang dibawanya. Idrus memberikan segulung
tikar, dan menunjukan di mana Abi dapat merebahkan
tubuhnya.
Pada suatu pagi, di luar rumah terdengar suara
kericuhan dari pemuda-pemuda lainnya. Sayup-sayup
Abi mendengar kalimat “Londo Ngamuk” yang
terdengar dari luar ruang peristirahatannya tersebut.

10
Sontak semuanya keluar dari ruangan dan menanyakan
apa yang terjadi.
“Londo Ngamuk! Hotel oranye pasang bendera
merah putih biru.” Singkat jawab seorang pemuda yang
berada di sekitar rumah tersebut. Lekas Idrus kembali ke
dalam rumah dan membawa bedil yang disimpannya di
dalam lemari dan bergegas menuju hotel oranye. Abi
kebingungan, ia hanya membawa buku catatan kecil dan
sebuah pena dan bergegas mengikuti Idrus.
Setibanya di hotel oranye, sontak keduanya
terkejut melihat banyak masyarakat surabaya yang
sudah mengelilingi gedung tersebut dengan membawa
senjata api maupun senjata tajam. Di sekitar loby hotel
sudah diawasi oleh para tentara NICA dan tentara
Jepang, dengan laras panjangnya bersiap menmbak
siapapun yang mencoba memberontak masuk. Tentara
Jepang berada di tempat untuk bertugas mengamankan
keadaan status quo dari Surabaya itu sendiri. Langkah
Abi berhenti melihat keadaan yang cukup memanas
tersebut. Sehingga ia memutuskan untuk
menyaksikannya dari kejauhan dan mencatat peristiwa
yang terjadi. Tidak lama dalam keadaan yang tidak
kondusif tersebut, akhirnya datang salah seorang
11
Residen Surabaya didampingi dengan dua orang
pemuda pada saat itu untuk melakukan perundingan
dengan Mr. Ploegman, orang yang bertanggung jawab
atas kericuhan yang terjadi di pagi hari tersebut. Dengan
mempercayai residen tersebut, masa yang berada di luar
gedung mencoba untuk tetap kondusif dan menghindari
pergesekan dengan tentara-tentara Belanda tersebut.
Setelah beberapa menit semenjak kedatangan
wakil residen tersebut, terdengar suara tembakan dan
teriakan dari dalam gedung hotel. Masa yang berada di
luar menyadari bahwa perundingan tidak berjalan
dengan baik. Sontak masyarakat yang berada di luar
gedung mencoba menerobos loby hotel tersebut.
Residen Sudirman digiring keluar oleh salah satu
pendampingnya yang bernama Hariyono. Pertikaian
antara keduanya tidak dapat dihindari, suara senapan
dari tentara NICA dan tentara Jepang yang berada di
loby hotel justru semakin membakar semangat
masyarakat Surabaya. Diantara orang-orang yang
mencoba menerobos masuk ke hotel tersebut, Abi
melihat Idrus dengan bedilnya. Bayonet yang terpasang
pada senjatanya, telah menumpahkan darah dari tentara-
tentara NICA yang mencoba menghadangnya.
12
Dengan keadaan loby hotel yang penuh darah,
masyarakat yang tersisa memasang tangga untuk
mencapai tiang bendera tersebut. Abi mulai
memberanikan diri memasuki kerumunan tersebut untuk
mencari sahabatnya yang entah berada dimana.
Pandangannya semakin kabur, melihat jenazah yang
tergeletak di sekitar gedung tersebut. Sayup-sayup ia
terus mendengar kata “Merdeka” berkumandang dari
arek-arek Suroboyo. Diatas gedung, bendera merah
putih biru telah diturunkan, dan disobek warna birunya.
Abi melihat keatas, dan melihat sahabatnya berada pada
salah satu titik di gedung tersebut.
“Lihat itu, kau tahu apa artinya?” Tanya Idrus
kepada Abi yang telah berada di ruang pertemuan. “Ini
artinya pertumpahan darah akan terjadi dalam waktu
dekat. Dia adalah Mr. Ploegman, orang-orang Londo itu
tidak akan diam saja. Hal berikutnya yang kau tahu, kau
bisa saja berada dalam kamp penyiksaan mereka.”
“Idrus, mari kita kembali ke markas. Banyak yang
mesti kita bicarakan!” Ujar Tigor, salah satu kawan Idrus
dari persatuan pemuda militannya.
“Ikutlah denganku, kita memerlukan semua tenaga
yang kita miliki.” Ajak Idrus kepada Abi.
13
*
Ruang pertemuan sudah hampir terisi penuh.
Beberapa diantaranya yang hadir masih membawa
senjata-senjata yang sebelumnya digunakan di hotel
oranye. Tidak sedikit dari yang hadir bersimbah peluh
ataupun darah di pakaiannya. Tak lama sesudahnya,
Idrus mulai memasuki ruangan. Dan pembahasanpun
mulai dilaksanakan, Tigor memulai pembahasan-
pembahasan dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu.
Sebelum akhirnya membahas pokok permasalahan pada
hari itu.
“Kalian sudah melihat apa yang terjadi hari ini.
Yang berikutnya mereka akan lebih membabi buta!”
Bentak Tigor dalam pertemuan dengan para militan
lainya.
Tigor memang memiliki watak yang keras, bahkan
lebih keras dibandingkan Idrus. Ia merupakan kelahiran
Sumatra Utara, ia datang ke Surabaya sebelum masa
pendudukan Jepang dengan alasan untuk mencari
penghidupan yang lebih baik. Namun yang ia temukan
justru tidak jauh berbeda. Penindasan atara pribumi dan
golongan kulit putih masih nampak. Meskipun berasal
dari Sumatera Utara, hal itu tidak membuatnya sulit
14
beradaptasi dengan arek-arek Surabaya. Justru ia
mengagumi bagaimana arek-arekSurabaya sangat
terbuka terhadap perbedaan suku itu sendiri.
“Kita harus mempersiapkan masa, mempersenjatai
mereka yang ingin berjuang bersama. Kita juga harus
menyebarkan propaganda agar rakyat Surabaya ingin
berjuang bersama kita juga!” Tambah Idrus.
“Tujuan Inggris ke sini adalah untuk melucuti
tentara Jepang dan memulangkan mereka kembali.
Terakhir regu pengintai melihat, Residen Sudirman telah
melakukan kerjasama untuk proses penyerahan senjata
tentara Jepang ke tangan Inggris dan Belanda. Jadi pihak
Residen kita akan menjadi perantaranya, kita bisa
memanfaatkan senjata tersebut untuk melawan Inggris.
Untuk apa kita berikan itu semua ke tangan orang-orang
Londo itu?” Ujar Farid, selaku pimpinan dari regu
pengintai.
“Meskipun kita telah memiliki persenjataan yang
lengkap, tidak akan ada artinya jika kita hanya berjuang
sendiri. Orang-orang Inggris hanya akan menganggap
gerakan kita sebagai gerakan kecil suatu kelompok saja,
bukan penolakan umum arek-arek Surabaya.” Jawab
Idrus, membuat seluruh ruangan seketika hening.
15
“Aku bisa membantumu dalam membuat
propaganda untuk arek-arek Surabaya.” Sahut Abi dari
belakang, “Aku cukup ahli dalam membuat tulisan-
tulisan, dan aku juga punya kenalan dari Soeara Asia”.
Tambahnya.
“Ide yang bagus, kita bisa memanfaatkan juga
surat kabar untuk menyebarkan kebencian terhadap
orang-orang Londo tersebut. Tempelkan juga poster-
poster disetiap gedung-gedung dan jalan yang terdapat
di Surabaya. Sehingga mereka juga akan tergerak untuk
melawan Inggris dan Belanda”. Tambah Idrus sambil
mempersiapkan menutup pertemuan tersebut.
Pertemuan tersebut diakhiri dengan menyanyikan
lagu Indonesia Raya oleh setiap peserta yang hadir.
Gaungan “Merdeka!” juga turut meramaikan suasana
pembubaran perkumpulan itu. Di luar ruangan, Abi
melihat adiknya sedang berdiri menunggunya di depan
pintu, lekas ia segera menghampirinya.
“Aku tahu kau pasti akan berada disini,” Ujar
Dewi yang tidak terlalu lama menunggunya. “Ibu cemas
kamu kenapa-kenapa kak. Ayo kita pulang.” Ajaknya
kepada kakaknya tersebut.

16
“Dewi? Apa yang sedang kamu lakukan disini?”
Tanya Idrus yang kebingungan melihat Abi dan Dewi
yang sedang berdiri di dekat pintu.
“Aku ingin mengajak mas Abi untuk pulang, mas.
Ibu cemas terhadap mas Abi.” Jawab Dewi.
“Maafkan aku, tapi aku tidak akan pulang
sekarang. Disini aku mencoba untuk membantu
sebisaku. Bapak benar, selama ini aku tidak pernah
menjadi orang yang bermanfaat. Sampaikan salamku
untuk Ibu dan Bapak.” Seketika berlalu meinggalkan
Idrus dan Dewi berdua.
“Mas, tolong jaga mas Abi ya. Aku tidak ingin hal
yang buruk menimpa dirinya. Pastikan ia baik-baik saja
sampai nanti ia kembali ke rumah.” Ucap Dewi dengan
menahan sedikit iba.
“Tenang saja, aku yakin kakakmu akan baik-baik
saja. Mungkin justru dia yang akan melindungiku nanti
dari para Londo.” Jawab Idrus kepada Dewi dengan
menggodanya.
“Ih tapi aku serius mas.” Dengan memukulnya
manja.

17
“Hari sudah mulai gelap, ayo mas anter ke
Tambaksari.” Ucap Idrus sambil mengantarnya keluar
ruangan itu.
*
Dengan menggunakan lampu pijar di meja
tulisnya, ia berusaha menuliskan sebuah catatan dalam
bukunya.
“Belum tiba satu purnama hariku di tempat ini.
Aku telah menyaksikan hal yang tidak pernah tergambar
dalam buku-buku usang itu. Bagaimana manusia begitu
kokoh terhadap keyakinannya dan menumpas mereka
yang meyakini hal yang berbeda. Tuhan, berikan aku
kekuatan untuk melakukan apa yang telah diwajibkan
kepadaku, jadikanlah aku manusia yang bermanfaat,
setidaknya bagi diriku sendiri.
Seketika ia menutup buku catatan tersebut dan
segera menuliskan kalimat-kalimat propaganda dalam
secarik kertas. “Ini akan menjadi malam yang panjang”
ujarnya dalam batin.

18
API DAN DARAH

Yang ditakutkan kini benar adanya. Setelah


terjadinya suatu insiden di hotel oranye, Inggris dan
Belanda tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang
ringan. Konflik antara arek-arek Surabaya dengan
tentara Inggris dan NICA terjadi di seluruh belahan Kota
Surabaya. Suara tembak-menembak tidak ada henti-
hentinya. Suasana sepanjang Stasiun Gubeng dan
beberapa titik lain di Kota Surabaya tidak kondusif.
Poster-poster propaganda yang terpajang diseluruh
penjuruh kota disobek bahkan dibakar. Bagi mereka
yang tertangkap basah menyebarkan poster-poster
tersebut menjadi buron dari pasukan Inggris.
Gelagat militan Surabaya mulai terbaca oleh para
tentara Inggris. Senjata yang selama ini disimpan oleh
rakyat Surabaya dipaksa untuk diberikan kepada Inggris.
Pamflet-pamflet kewajiban menyerahkan senjata
tersebut diturunkan di seluruh pelosok Kota Surabaya.
“Persons beeing arms and refusing to deliver them to the
Allied Forces are liable to be shot!” Bagi mereka yang

19
memegang senjata api namun enggan menyerahkannya
kepada tentara sekutu layak untuk ditembak!
Dalam keadaan yang genting tersebut, para tokoh-
tokoh besar di Surabaya mengadakan pertemuan untuk
menentukan langkah yang akan dilaksanakan. BKR
(Badan Keamanan Rakyat), Angkatan Muda Indonesia
(AMI), Pemuda Rakyat Indonesia (PRI) dan simpatisan-
simpatisan lainnya mendiskusikan apa yang akan terjadi
seandainya seluruh senjata yang diperoleh oleh rakyat
Surabaya diserahkan kepada Inggris. “Jika kita
menyerahkan seluruh senjata kita kepada Londo, itu
sama saja menyerahkan kedaulatan Indonesia kepada
Belanda. Kita tidak akan memiliki senjata untuk
menumpas pasukan mereka!” Seru salah satu hadirin
dalam rapat tersebut. “Jangankan demikian, dengan kita
tidak menyerahkan senjata itu kita semua akan dihabisi
juga!” Jawab salah satu hadirin.
“Para tentara Inggris kini telah mengakuisisi
gedung-gedung penting yang ada di Surabaya. Terakhir
kami melihat Gubeng, Ketabang kali, Darmo, Sawahan,
Bubutan, dan daerah pelabuhan telah dikuasai oleh
Inggris.” Tegas Farid.

20
“Adakah diantara kalian yang telah mendengar
kabar dari pasukan propaganda? Terakhir mereka
menuju ke gedung Radio di jalan Simpang, namun
hingga hari ini belum ada yang kembali.” Tanya Idrus
kepada rekan-rekannya yang lain. Namun tidak ada yang
menjawabnya, sebagian hanya menggelengkan kepala.
“Ini bukan waktunya bagi kita untuk berdiam diri!
Tanah kita sudah dikebiri lagi oleh para Londo, apakah
kalian hanya akan diam saja!?” Bentak Tigor untuk
menyulut semangat dari rekan-rekannya tersebut.
Serentak rekan-rekannya menjawab “TIDAK!”
“Kita beruntung, perjuangan kita tidak sendiri.
Tokoh-tokoh besar dari seluruh Surabaya ikut
mendukung menggulingkan Inggris dan Sekutunya dari
tanah Surabaya!” tegas Idrus. “Beberapa waktu lalu,
K.H Hasyim Ashari mengemukakan suatu Resolusi
Jihad! hukum membela Tanah Air adalah fardhu ain bagi
setiap islam di Indonesia. Tak hanya itu dalam Resolusi
Jihad juga ditegaskan bahwa muslimin yang berada
dalam radius 94 kilometer dari pusat pertempuran wajib
ikut berperang!” Tambah Idrus untuk meyakinkan.
“Bahkan para santri dari daerah pedalaman mau
untuk berjuang melawan orang-orang Londo. Kita tidak
21
boleh kalah, kita harus berjuang! MERDEKA!” Ucap
Tigor.
“MERDEKA!” Serentak seluruh hadirin dengan
semangat yang membara.
Pertempuran semakin memanas diseluruh pelosok
Surabaya. Idrus dan rekan-rekannya berusaha untuk
kembali menduduki gedung radio yang terletak di jalan
Simpang tersebut. Ia melihat beberapa kawannya yang
lebih dahulu dikirim ke gedung itu banyak yang telah
tertembak mati. Hal ini memicu amarah dari Idrus dan
kawan-kawannya. Adegan tembak-menembak tidak
dapat terelakan lagi, beberapa arek-arek Surabaya yang
nekat menghantam dengan senjata tajam menjadi
sasaran yang empuk bagi tentara Inggris dan Belanda.
Darah bertumpah ruah, bak hujan di bulan
desember. Hal ini menyulut kemarahan arek-arek
Surabaya lainnya, dan memutuskan untuk membumi
hanguskan gedung radio tersebut. Di antara kegaduhan
yang terjadi, Idrus melihat sahabatnya Abi sedang
terduduk dibawah sebuah pohon Cendana. Tangannya
berlumuran darah, sambil menahan sebuah luka
tembakan yang terdapat di bahunya. Lekas ia segera

22
menghampirinya dan meminta bantuan beberapa
rekannya untuk mengungsikannya dari tempat tersebut.
Tatapan wajahnya kosong, nafasnya semakin berat
dan sekujur tubuhnya bergetar. Dengan tergagap-gagap
dia hanya menyebutkan”Londo... Londo..” Matanya
beralih kepada gedung radio yang kini telah dilahap oleh
si jago merah. “Bertahanlah, kita akan membawamu ke
rumah sakit.” Ujar Idrus sambil membopongnya, dan
memerintahkan kawannya yang lain untuk mengabarkan
keluarganya yang berada di Tambaksari.
Kondisi Surabaya yang semakin tidak kondusif
menyebabkan pimpinen Inggris Mayor Jenderal D.C
Hawthorn, mencoba mencari orang yang mampu
mengkondusifkan kondisi arek-arek Surabaya. Sehingga
akhirnya mengundang Sukarno dan beberapa perwakilan
dari pemerintah pusat untuk mengadakan gencatan
senjata. Dalam perjanjian gencatan senjata tersebut,
keduanya sepakat untuk membentuk suatu badan yang
bertanggung jawab atas penyelesaian konflik antara arek
Surabaya dengan pihak Inggris. Akhirnya Sukarno
keluar dan memberikan pernyataan kepada Arek
Surabaya untuk berhenti melakukan tindakan anarkis,
dan diberlakukannya gencatan senjata. Meskipun
23
banyak dari masyarakat Surabaya yang kecewa, namun
keputusan tersebut masih coba dihormati oleh
masyarakat.
*
Abi terbangun di rumah sakit, bahu kirinya
terdapat luka yang cukup dalam yang disebabkan oleh
peluru yang menerjang. Di sekitarnya sudah terdapat
keluarganya mengelilinginya, namun ia masih mencari
sosok sahabatnya dalam ruangan tersebut. Orang yang
telah menyelamatkannya dari malam yang penuh petaka
tersebut.
“Alhamdulillah nak, kamu sudah bangun.” Ujar
ibunya dengan sedu, dengan mencoba merangkulnya
untuk menenangkannya.
“Buk, dik, Idurs dimana? Aku belum sempat
berterimakasih kepadanya.” Ujar Abi sambil
memaksakan berdiri.
“Sudah mas, jangan banyak bergerak dulu,
istirahat saja.” Sahut Dewi dengan membantu
membaringkannya.
“Kamu kok berani-beraninya, meninggalkan
rumah malah untuk bertindak bodoh seperti itu. Gimana
kalo kamu sampai meninggal? Kamu gak mikirin ibu
24
sama adikmu juga?”Ujar Pak Harjo dengan sedikit
menyentaknya.
“Sudahlah pak, yang penting anak kita sekarang
sudah tidak apa-apa. Lagipula dia juga kan ingin
mengabdi kepada negaranya.” Seru Ibu Rahmi membela
anak cikal nya tersebut.
“Kalo ya ingin mengabdi silahkan ikut BKR,
jangan seperti itu. Ini namanya bunuh diri. Bahkan kamu
sendiri tidak bisa melindungi dirimu sendiri. Kamu
justru menjadi beban bagi rekan-rekanmu!”Seru
bapaknya dengan membentak. Seluruh ruangan menjadi
hening, Abi menyadari apa yang dikatakan bapaknya
memang adanya. Ibu Rahmi hanya terdiam mencoba
menahan isak tangisnya sambil memeluk Dewi.
“Selepas kamu pulang dari rumah sakit, bapak mau
kamu pulang ke rumah. Besok bapak daftarkan menjadi
pegawai di Stasiun Gubeng. Sampai kapan kamu mau
termakan oleh idealisme mu sendiri.” Tambahnya.

25
RIAK YANG MEMECAH AIR

Semenjak kedatangan Sukarno dan Hatta dengan


upaya diplomasinya, memberikan kekecewaan
dikalangan arek-arek Surabaya. Masyarakat yang sudah
siap bertempur melawan penindasan harus dikecewakan
dengan janji diplomasi yang sudah basi. Tanggal 29
oktober, perjanjian gencatan senjata tersebut telah resmi
ditanda tangani. Perjanjian yang telah diketahui oleh
arek-arek Surabaya hanya akan mengancam kedaulatan
Surabaya di hari-hari berikutnya. Upaya gencatan
senjata yang hanya dilakukan untuk menghimpun
kekuatan lebih besar untuk menghancurkan Surabaya
hingga akar-akarnya. Yang membuat arek-arek
Surabaya kecewa adalah, ketika melihat pimpinan
tertingginya tidak menghendaki suatu perjuangan
bersenjata, dan memilih berdamai dengan serigala.
Bentuk kekecewaan tersebut dirasakan hingga
pembuluh darah arek-arek Surabaya. Sepanjang
perjalanan dari gedung pertemuan, hingga Gedung
Internatio (tempat menetapnya perwira-perwira tentara
sekutu), selalu diiringi oleh masyarakat yang menghujat

26
para pimpinan-pimpinan sekutu tersebut. Sehingga
terjadi suatu peristiwa yang memicu tentara gurkha
menarik pelatuk laras panjangnya, menyebabkan arek
Surabaya berlarian meninggalkan lokasi dan
bersembunyi. BKR, AMI, PRI dan santri-santri militant
telah mengantisipasi hal tersebut. Di atas Jembatan
Merah, pertempuran sudah tidak dapat dihindarkan. Satu
mobil yang ditumpangi oleh Brigadir Jenderal A.W.
Mallaby meledak begitu saja. Hal tersebut justru
membuat tentara Inggris semakin membabi-buta,
mereka mengejar para militant yang masih mencoba
untuk bersembunyi.
*
Abi kini sudah pulang kembali ke rumahnya yang
berada di Tambaksari. Kondisinya masih belum
memungkinkannya untuk melakukan aktivitas yang
berat. Ia hanya menghabiskan hari-harinya membaca
buku-buku tentang sastra ataupun membantu pekerjaan
di rumah. Pak Harjo telah mendaftarkannya untuk
bekerja di Stasiun Gubeng, mengikuti jejaknya, Abi
didaftarkan untuk mengurus pekerjaan administrasi. Pak
Harjo cukup senang dengan keputusan yang telah

27
diambil oleh Abi, karena ia menginginkan anaknya
untuk mau belajar bertanggung jawab.
Suatu pagi, tanggal 2 November 1945. Seseorang
datang mengunjungi rumahnya. Abi masih terbaring di
kasurnya, tapi Dewi sudah berada di depan pintu untuk
menerima tamu tersebut. Seketika Dewi menghampiri
Abi yang setengah terlelap tersebut, mengatakan tamu
itu untuknya. Tanpa berbicara banyak, Dewi langsung
kembali ke kamarnya dan menutup pintunya. Ditemuilah
tamu tersebut, yang ternyata sudah dikenali juga
olehnya.
“Apa yang sedang kau lakukan dipagi hari seperti
ini Tigor?” Tanya Abi dengan masih sedikit mengantuk.
“Senang bisa melihatmu lagi, aku kemari
membawa suatu berita.” Jawab Tigor dengan nada yang
rendah. “Pada hari itu, kita turut mengawasi proses
berjalannya perundingan gencatan senjata yang
dilakukan oleh Sukarno dengan pihak Inggris. Peristiwa
menjadi keruh, kekecewaan masyarakat terhadap
Sukarno tidak dapat lagi digambarkan dengan kata-kata.
Sejak kembalinya para militer Inggris ke Gedung
Internatio, masyarakat menghujat para tentara Inggris
tersebut. Hal tersebut semakin diperburuk sejak
28
meledaknya mobil yang ditumpangi Mallaby. Baku
tembak sudah tidak terhidarkan. Sungai Kalimas
menjadi berwarna merah darah. Kita kehilangan banyak
orang dalam peristiwa tersebut, termasuk salah satu
diantaranya adalah Idrus.” Tambah Tigor sambil
menahan sedih.
Abi tidak mampu berkata-kata. Ia hanya terdiam
mendengar penjelasan yang telah disampaikan Tigor.
Matanya mulai berkaca-kaca, air matanya sudah mulai
mengucur. Ruang tamu tersebut terdiam mendengarkan
tangis dari Abi. Tigor yang sebelumnya berbicara
banyak, kini hanya mampu mendengarkan tangisnya.
“Jumlah kita semakin sedikit, kita memerlukan
semua tenaga yang ada. Kita membutuhkanmu.” Ucap
Tigor. Abimanyu hanya terdiam dan tidak menjawab
ajakan dari Tigor. “Jangan jadikan pengorbanan Idrus
sia-sia, perang akan segera datang. Balaskan dendam
Idrus terhadap orang-orang Londo tersebut.” Tambah
Tigor untuk meyakinkannya.
Abimanyu berdiri dari tempat duduknya dan
segera masuk ke kamarnya. Lekas ia mengambil tasnya
dan memasukan barang-barangnya ke dalam tasnya.
Ketika ia hendak keluar dari kamarnya, ia melihat Dewi
29
sudah berdiri menghalangi jalannya tersebut. Matanya
masih berkaca-kaca sehabis menangisi kepergian
kekasihnya. Tanpa berkata-kata, Dewi hanya berdiri saja
menunggu reaksi dari kakaknya tersebut.
“Jangan menghalangi jalanku, aku akan bergabung
dengan rekan-rekanku yang lainnya.”
“Mengapa kau masih keras kepala untuk kembali
kesana? Semestinya kau bersyukur untuk berada di
rumah pada saat ini. Lihat bahu mu itu! Itu adalah
pertanda, kau tidak akan bertahan lebih lama dari
sebelumnya di luar sana. Untuk apa lagi kau masih
memaksakan diri untuk terlibat dalam pertempuran?”
Ujar Dewi sambil menitikkan air mata.
“Aku tidak bisa hanya berdiam diri disini saja. Aku
harus melakukan sesuatu, dan aku yakin kau tahu betul
tentang itu.”
“Kau sudah dengar kabang dari Bang Tigor, Idrus
meninggal di tengah pertempuran tersebut! Aku tidak
akan nasib itu juga menimpa kakakku.”
“Tujuanku kembali kesana bukanlah untuk mati.
Aku tidak pernah sempat untuk mengucapkan
terimakasih kepada Idrus karena telah menyelamatkanku
dari gedung radio tersebut. Aku bisa saja mati di tempat
30
itu, aku tidak mungkin berdiri disini jika tidak dibantu
olehnya. Setidaknya izinkan aku untuk memperjuangkan
apa yang selama ini telah diperjuangkannya. Izinkan aku
untuk kembali lagi ke medan pertempuran.” Ujar Abi
sambil mencoba melalui adiknya.
“Mau kemana toh mas? Bahu kamu juga masih
belum pulih.” Ujar Ibu Rahmi ketika melihat Abi
mencoba untuk keluar dari kamar.
“Bu, Abi mau kembali lagi untuk berjuang
bersama rekan-rekan relawan lainnya. Semestinya Abi
bersyukur baru tertembak di bahu dan masih bisa berdiri
sampai sekarang. Tapi teman-teman Abi tidak begitu bu,
mereka masih mau berjuang sampai titik darah
penghabisan. Abi berhutang budi kepada Idrus, dan kini
Idrus sudah dikebumikan karena orang-orang Londo
tersebut. Abi akan tetap berangkat, meskipun ibu dan
bapak tidak akan mengizinkan.” Ucap Abi dengan nada
yang jelas.
“Ibu tidak akan melarangmu nak, jika menurutmu
itu merupakan hal yang benar ibu Cuma bisa mendoakan
keselamatanmu.”
Mendengar pernyataan tersebut, Abi seketika
duduk bersungkem kepada ibunya seraya berkata,
31
“Terimakasih bu, doakan agar Abi bisa kembali pulang
dengan selamat. Sampaikan salamku untuk bapak,
maafkan aku jika aku lebih memilih untuk berjuang
dibandingkan bekerja dikantor.” Tanpa mengulur waktu
lagi, Abimanyu dan Tigor melangkah keluar rumah dan
bergegas menuju tempat dimana teman-temannya telah
berkumpul. Sesekali Abi melihat ke belakang dan masih
melihat ibu dan adiknya melambaikan kearahnya.

32
ULTIMATUM

9 November, 1945.
Kematian Mallaby telah membawa kabar buruk
bagi seluruh arek-arek Surabaya. Di pagi yang cerah,
mereka telah menjatuhkan pamflet-pamflet ultimatum,
mereka memaksakan agar seluruh rakyat Surabaya
menyerahkan seluruh senjata yang dimiliki paling
lambat tanggal 10 November, pukul 6 pagi. Hal ini justru
dianggap sebagai suatu penghinaan bagi rakyat
Surabaya. Kematian dari Brigadir Jenderal tersebut
sepenuhnya disalahkan atas rakyat, meskipun
kebenarannya masih abu-abu. Dengan muslihatnya,
Inggris mengancam akan menjatuhkan hukuman ke
tanah Surabaya apabila persyaratan tidak dipenuhi.”
“Ini merupakan suatu penghinaan! Mengapa kita
harus membayar dosa atas sesuatu yang bukan
sepenuhnya salah kita.” Bentak Tigor yang sangat keras
menentang melaksanakan ultimatum tersebut.
Suasana perkumpulan relawan saling bercarut-
carut, meskipun mereka masih bingung bagaimana
merespon ultimatum tersebut. Sebagian banyak yang

33
menyarankan untuk menuruti permintaan tersebut,
sebagian lagi terang menentangnya. “Terakhir kali
mereka membabi-buta, mereka berhasil membunuh
Idrus dan kawan-kawan kita yang lainnya, jika kita tidak
menuruti mereka kita semua tinggal hidup dalam
hitungan detik!” Ujar salah satu orang yang mendukung
untuk melaksanakan ultimatum.
“Satu hal yang pasti, kita tidak bisa mengambil
keputusan ini seorang diri. Kita harus merundingkan ini
dalam jajaran forum yang lebih tinggi. Kita harus
mendengar pendapat dari Residen, Gubernur atau
siapapun yang memiliki otoritas lebih tinggi disbanding
kita. Meski kita melaksanakan ultimatum, tapi seluruh
dari masyarakat Surabaya menentangnya, kita hanya
akan menjadi orang bodoh yang begitu mudahnya
menyerah.” Ucap Abimanyu menengahi pertentangan
diantara kedua pendapat tersebut.
Tak lama berselang dari perundingan itu, para
pemuda berusaha mengumpulkan informasi untuk
berkordinasi bagaimana menyikapi ultimatum yang
telah diberikan tersebut. Salah satu diantaranya adalah
dengan mendengar Radio Pemberontakan, dimana Bung
Tomo memberikan perintah yang tegas untuk tidak
34
berhenti dalam berjuang melawan Inggris. Secercah
kalimatnya yang selalu terngiang di telinga pemuda
Surabaya
“Dan untuk kita saudara-saudara.
Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak
merdeka.
Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!”
Dilain kesempatan, pemuda-pemuda juga
menemukan pernyataan yang dikemukakan oleh
Gubernur Suryo yang meminta para pemuda untuk
menghimpun seluruh kekuatan yang ada. Dengan
demikian bulat sudah seluruh tekad dari para relawan
dalam menghadapi ultimatum yang akan ditolak
tersebut. Para pemuda terus menggunakan Radio
Pemberontakan sebagai sarana untuk mobilisasi
pergerakan.
Perlawanan tidak akan dapat dihindarkan, tinggal
menanti fajar dan berharap badai akan berlalu. Semoga
Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan
perlindungannya kepadaku dan keluargaku, gumam Abi
dalam malam yang panjang itu.

35
NERAKA DI TIMUR JAWA

Mansergh tidak bercanda mengenai ultimatum


yang diberikannya, sejak pukul 6 pagi jalanan Surabaya
sudah dipenuhi kendaraan lapis baja milik sekutu.
Kapal-kapal perang sudah menyiapkan meriamnya
disekitar pelabuhan dan perbatasan-perbatasan kota.
Langit terbelah oleh pesawat tempur yang siap
menjatuhkan bom-bomnya. Di sisi lain, arek-arek
Surabaya mencoba tetap berada di bawah radar dan
menunggu Inggris untuk menyerang terlebih dahulu.
Sekejap meriam-meriam dilepaskan, bom-bom
dijatuhkan dan peluru mulai menerjang. Bangunan-
bangunan mulai roboh, tiang-tiang serta pohon pohon
juga mulai tumbang. Banyak mayat bergelimpangan
seperti seekor binatang di sepanjang jalan dan selokan.
Namun hal tersebut tidak membuat rakyat Surabaya
mundur, dengan semangat perjuangan mereka berani
menghadang pasukan-pasukan Inggris. Bermodalkan
bambu runcing, senjata tajam dan segelintir senjata api
yang diperoleh dari tentara Jepang, tidak menggoyahkan
pasukan-pasukan tersebut.

36
Pidato-pidato dari Bung Tomo terus
berkumandang, Radio Pemberontakan menjadi api yang
membakar semangat arek-arek Surabaya. Para relawan
militan tidak menyerang di ruang terbuka, mereka
cenderung menyergap dalam jalan-jalan yang gelap.
Sesekali mereka menjadi pasukan taktis yang bertugas
menghambat mobilisasi dari pasukan-pasukan Inggris.
Begitu pula dengan Abi, meskipun tidak selamanya ia
mengangkat senjata api, namun bukan berarti ia tidak
berkontribusi. Dalam benaknya, ia hanya menginginkan
agar pertempuran ini cepat selesai, dan ia bisa kembali
bersama peluk hangat keluarganya. Namun dalam waktu
ini, ia harus terbiasa tidur berpindah-pindah, dengan
tanah sebagai alas dan bintang malam sebagai atapnya.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” Tegur Tigor
kepada Abi yang sedang melamun dengan pena nya.
“Aku tidak pernah menyangka pada akhirnya aku
akan menjadi bagian dari perjuangan ini. Bapakku
biasanya hanya menuntut ku untuk menjadi orang yang
pekerja keras, dan bertanggung jawab atas diriku sendiri.
Kau tahu? Beberapa kali aku sempat dimarahi olehnya
karena hanya menghabiskan waktuku untuk menulis

37
sajak-sajak cengeng, begitu dia biasa menyebutnya.”
Jawab Abi dengan sedikit berguyon.
“Kau tahu, terkadang aku merindukan Idrus.
Dalam keadaan seperti ini dia mampu membuat guyonan
tentang orang-orang Londo itu, tapi akan selalu tetap
sigap ketika harus berhadapan dengannya.” Ujar Farid,
sambil membenarkan posisi duduknya.
“Tanpanya aku tidak akan berada disini bersama
kalian. Aku bisa saja menjadi bangkai yang terduduk
dibawah pohon cendana di depan sebuah kantor radio
yang terbakar. Sayang aku tidak pernah punya
kesempatan untuk mengatakan terimakasih kepadanya.”
Jawab Abi dengan sendu.
“Jangan terlalu keras terhadap dirimu sendiri.
Kematiannya bukan merupakan salahmu, ia memilih
untuk berjuang atas apa yang dianggap benar bagi
dirinya. Kita semestinya bukan menangisi kepergian
Idrus, tapi justru menjadikannya sebagai motivasi kita
untuk meneruskan perjuangannya. Kelak, ketika ini
semua berakhir, kita akan kembali kepada hidup yang
normal. Dan sejarah kelak akan menuliskan cerita
tentang hari-hari ini.” Jawab Tigor seraya mencoba
menenangkan Abi.
38
*
Pertempuran berlangsung cukup lama, apa yang
diperkirakan hanya berlangsung kurang dari satu
minggu, kini telah memasuki paruh minggu kedua.
Inggris telah berhasil menguasai 2/3 dari keseluruhan
Kota Surabaya. Jalan-jalan besar menjadi sepi, kabel-
kabel telepon bergelantung hingga beberapa jengkal dari
permukaan tanah. Mayat-mayat manusia ataupun
binatang bergelimpahan mengisi sisi jalan dan selokan-
selokan. Sesekali terdengar gema suara peluru dalam
gedung-gedung yang kosong dan derap kaki yang
tenggelam dibalik genangan air. Suasana yang sangat
tidak layak disaksikan, seperti neraka telah jatuh
ditengah Surabaya.
Namun hal tersebut tidak menandakan perjuangan
telah berakhir begitu saja. Gabungan kekuatan arek-arek
Surabaya masih mampu menahan serangan-serangan
Inggris. Radio Pemberontakan telah diungsikan dari
Surabaya dikarenakan beberapa gedung penting telah
dikuasai atau bahkan hancur menjadi korban dari
serangan Inggris. Bagi pasukan-pasukan yang tersisah
mereka masih melakukan perlawanan yang bersifat

39
sporadis. Diantaranya, banyak warga sipil yang terjebak
dalam medan pertempuran ini.
“Jumlah amunisi kita sudah tidak akan mencukupi,
dari hari ke hari jumlah tentara Inggris terus meningkat.
Tank-tank lapis bajanya juga semakin sering berkeliling
di jalan raya. Kita tidak akan bisa menandingi kekuatan
mereka.” Ucap Farid dengan sedikit ketakutan setelah
mengamati pergerakan dari tentara infanteri-infanteri
Inggris. “Semestinya orientasi kita sekarang bukan
untuk melawan pasukannya lagi,tapi bagaimana kita bisa
mengungsikan warga-warga sipil dari tempat ini.”
Tambahnya.
“Tapi kita tidak boleh berhenti berjuang! Jika kita
berhenti dalam tahap ini, semua yang telah kita lakukan
akan sia-sia!” Ujar Tigor dengan nada yang membentak.
“Kita juga harus memikirkan masa depan dari
bangsa ini. Saat ini sudah tidak ada kemungkinan bagi
kita jika memaksa melawan mereka bermodalkan arit
dan bamboo runcing. Farid benar, kita harus
mengevakuasikan warga sipil dari kota ini. Kita boleh
kalah hari ini, tapi kita pastikan masa depan harus
menjadi milik kita!” Jawab Abimanyu dengan nada yang
tinggi.
40
“Apa kau sudah lupa dengan apa yang
diperjuangkan Idrus? Karenanya kau masih bisa berdiri
disini sekarang! Bahkan, jika ia masih ada disini, ku
yakin ia akan melakukan apa yang akan kulakukan. Aku
tidak berasal dari daerah ini, tapi aku rela mati berjuang
demi mereka. Semestinya kalian malu untuk
mempertimbangkan lari dari medan pertempuran!”
Bentak Tigor.
“Ini bukan masalah ego, ini tentang perjuangan.
Tidak akan lahir pejuang untuk memperjuangkan tanah
ini, jika seluruh rakyatnya dikebumikan dalam waktu
yang singkat!” Bentak Farid kepada Tigor.
Kelompok kecil relawan tersebut akhirnya
terpecah menjadi dua kubu. Farid, Abi dan segelintir
relawan lainnya berusaha untuk mengungsikan warga
setempat ke Solo. Sedangkan Tigor dan beberapa
relawan lainnya tetap untuk memutuskan bergeriliya
melawan serdadu-serdadu Inggris. Tidak ada perpisahan
yang istimewa diantaranya, hanya diiringi dengan
gaungan meriam dan bom yang menghantam gedung-
gedung di Surabaya.

41
SEBUAH CATATAN

Minggu ketiga, semenjak pertama kali Masergh


menghujani Surabaya dengan peluru dan meriamnya.
Kini dentuman-dentumannya sudah berhenti bergema
dalam lorong-lorong gedung yang kosong. Dari
kejauhan, kini yang nampak dari kota ini adalah asap
hitam yang pekat. Di sepanjang perjalanan ke Solo,
sesekali aku menengok ke belakang. Mengingat
bagaimana Ibu dan Dewi masih melambaikan tangan
kearahku. Semoga mereka baik-baik saja, aku percaya
Tuhan akan selalu melindungi mereka. Setidaknya kini
peluru tidak akan lagi menghujani diriku, hanya
kerinduan dan kehampaan yang bergema dari bilik
kalbu.
Ratusan ribu korban jiwa berguguran hanya untuk
menumpaskan beberapa ribu orang Londo. Meskipun
dalam batinnya mereka tahu untuk tidak lagi mengusik
Republik ini. Yakinlah yang terjadi dalam satu bulan
terakhir kelak akan berbalas hasil yang lebih baik.
Sesungguhnya jasamu tidak akan mampu tergantikan
oleh materi.

42
Mereka adalah bangsa yang bebas ketika kita
masih dirantai 350 tahun dalam kebodohan. Sampai
kapanpun, kita tidak akan bisa mengalahkan mereka
menggunakan senjata yang mereka miliki. Perjuangan
dengan senjata telah dilakukan. Kini jalan lain juga
harus ditempuh, satu jalan yang tidak menggunakan api
dan darah

43
44

Anda mungkin juga menyukai