Anda di halaman 1dari 1

Browse  

YOU ARE READING

Rumah Tua di Ujung Jalan (Cerpen)


FANTASY

14 tahun aku tinggal disini, rumah itu masih saja tampak


seram. Cat rumahnya memudar dan mengelupas. Beberapa
jendela rumahnya pecah dan membuat tana...

cerita ceritapendek cerpen horror mis

Rumah Tua di Ujung Jalan (Cerpen)


 21.9K  152  21

By angela!racta

Well,cerita ini sebenarnya ku-upload duluan di


aplikasi punya developer sebelah. Aplikasinya sendiri
memang dikhususkan untuk buat cerpen di
smartphone. Nggak kayak wattpad, aplikasi itu bener-
bener buat cerpen. Cerpennya pun dibatasi cuma
10000 karakter (karakter termasuk spasi! Bukan
batasan kata). Bayangkan, 10.000 karakter!! Untuk
aku yang lebih suka buat novel, susah banget buat
menyingkat plot cerita dan mengefektifkan kalimat
sehingga sebuah alimat nggak perlu panjang-
panjang.

Jadi, inilah cerpen pertamaku di aplikasi itu. Kalau


ada temen-temen yang pake aplikasi yang sama
(nama aplikasinya "Thumbstory" punyanya
Gramedia) feel free to follow me with username
"angela!racta".

Dan ga bosan-bosanya mengingatkan, let's be a good


reader yeay: read, vote, comment, share!

------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------

Aku hampir tiba di rumahku saat aku melihat seorang


nenek tua terjatuh karena kerepotan membawa
barang-barang di tangan kanan dan kirinya. Segera
saja aku berlari menolong nenek itu dan
membantunya mengambil barang-barangnya yang
terjatuh.

"Terimakasih." Katanya.

"Nenek tinggal dimana? Biar kubantu membawa


barang-barang ini?"

"Tidak usah, tetapi terimakasih karena sudah


menawarkan." Nenek itu menolak tawaranku dengan
halus. "Rumahku tidak jauh dari sini."

"Baiklah kalau begitu."

Setelah mengucapkan salam perpisahan, aku kembali


pada tujuan utamaku, rumahku.

Sebelum aku benar-benar sampai dirumah, sekali lagi


aku menoleh kebelakang untuk melihat kembali
kearah nenek tua yang tadi kutolong. Tubuhnya yang
bungkuk membuatnya harus berjalan terseok-seok
apalagi harus berjalan sambil membawa beban berat.
Berapa umur nenek itu? 80? 90? 100? Atau mungkin
lebih dari seratus? Belum pernah aku bertemu orang
yang terlihat lebih tua dari dia. Tidak, bahkan di TV
sekalipun.

Nenek tadi terus berjalan sampai ke ujung jalan. Dari


ujung jalan tadi, nenek itu kemudian berbelok untuk
masuk ke sebuah rumah.

Hei, itu kan rumah tua tak berpenghuni di ujung jalan


kompleks rumahku.

Aku menggeleng dan buru-buru menuju rumahku.


Tidak tidak, tadi pasti hanya khayalanku saja. Atau
mataku saja yang salah. Oh, aku pasti terlalu lelah
dan perlu istirahat.

****

Hari Minggu pagi memang hari yang menyenangkan


untuk bermain dan membuarkan tubuhku
berolahraga. Karena itu aku dan beberapa temanku
memutuskan untuk bermain kasti di lapangan yang
dekat dengan rumah kami.

Lapangan ini, bukan benar-benar lapangan


sebenarnya, hanya tanah kosong tak bertuan. Tak
bertuan, tidak ada yang berniat membelinya. Tentu
saja tidak ada, tanah ini bersebelahan persis dengan
rumah tua di ujung jalan. Rumah tua yang kami juluki
sebagai rumah hantu.

"Masih saja seram" gumam Joey, salah seorang


temanku saat dia melihat rumah itu. "14 tahun aku
tinggal disini, rumah itu masih belum berubah"

Aku mengangguk setuju. Rumah itu memang seram.


Rumah besar itu aku yakin dulunya bercat putih.
Sekarang cat putih itu menguning dan mengelupas di
beberapa bagian. Beberapa jendelanya pecah
membuarkan tanaman-tanaman merambat masuk
kedalam bagian rumah. Empat pilar besar berdiri di
bagian depan rumah menambah kesan
menyeramkan pada rumah tua yang letaknya diujung
jalan itu.

Aku tidak mau memikirkan rumah menyeramkan itu


terlalu lama, lebih baik aku berkonsentrasi dengan
permainan kasti yang sedang kami mainkan.

"Neil, tangkap!" Joey berlagak seakan-akan dia


pelatih grup kami, sedari tadi dia sibuk member
perintah ini-itu kepada para pemain. Aku yang baru
saja disuruh menangkap berlari secepat mungkin
mengejar bola tetapi...

Bola itu melayang terlalu tinggi, sangat mustahil


kutangkap. Dan....

PRANg!

"Ouch!" Aku meringis

"Tidak!" Ucap Joey. "Neil, bagaimana kau bisa


sebodoh itu dalam menangkap bola! Lihat bolanya
pergi kemana!"

Bola milik Ethan tadi melayang kearah rumah tua


yang tadi kuceritakan dan sukses memecahkan satu
lagi jendela di lantai dua rumah itu.

"Kau harus bertanggungjawab, Neil. Kau ambil bola


itu, sekarang!" Joey lagi-lagi mencerewetiku

Berbeda dengan Joey, Ethan menepuk bahuku dan


berkata ringan, "Sudahlah, kau tidak perlu
mengambilnya. Lagipula itu hanya sebuah bola."

"Tidak." Jawabku. "Aku akan mengambil bola itu."

*****

Teman-temanku menunggu di luar rumah tua yang


sedang kumasuki, terlalu takut untuk mengikutiku
kedalam. Aku menghela nafas dan membuka pintu
masuk rumah besar ini.

Kakiku gemetaran begitu aku mulai melangkah


kedalam rumah misteri ini. Bulu kudukku berdiri, aku
ketakutan. Sial! Kenapa tadi aku harus sok berani
menawarkan diri untuk mengambil bola sialan itu!

Bagian dalam rumah itu tampak sama tuanya dengan


bagian luar rumah ini. Daun-daun berguguran yang
entah datang darimana bertebaran di lantai
marmernya. Tidak terlihat banyak barang disini,
kalaupun ada, paling hanya barang rusak ataupun
barang-barang kayu yang dimakan rayap.

Angin yang bertiup melewati jendela-jendela


berlubang itu membuat tubuhku semakin merinding.
Oh, aku harus cepat-cepat menemukan bola sialan
itu!

Aku berusaha membayangkan kembali kearah mana


bola itu terlempar agar aku bisa menyesuaikan arah
terlemparnya bola dari luar dengan lokasi didalam
rumah. Lantai dua di bagian kanan rumah, jendela
paling ujung.

Kakiku melangkah lebih cepat ke lokasi dalam


bayanganku agar aku bisa lebih cepat keluar dari sini.
Di bagian kanan rumah, lantai dua, ah, pasti ada
dibalik pintu itu.

Pintu besar dihadapanku benar-benar terlihat


berbeda dengan kondisi seluruh penjuru rumah ini.
Jika bagian rumah lain sudah rusak dan tua, pintu ini
masih terlihat bagus dan baru. Aku berani
bersumpah, bahkan aku bisa mencium aroma cat
kayu dari pintu ini seakan-akan pintu ini baru saja
dicat.

Tanganku gemetar saat aku meraih handle pintunya.


Sekali lagi dengan susah payah kukumpulkan
keberanian untuk menarik handle pintu itu.

Kututup mataku sambil perlahan aku mulai membuka


pintu itu. Pelan-pelan, dan...

"Hai." Sebuah suara mengagetkanku. Suara


perempuan.

Kubuka mataku perlahan untuk menerima kejutan ini.


Dihadapanku terhampar sebuah kamar lengkap
dengan tempat tidur, lemari, dan meja rias. Ruangan
itu bercat putih, tetapi sinar-sinar senja membuat
ruangan ini menjadi bernuansa oranye. Aku dapat
merasakan panasnya matahari senja disini karena
jendela ruangan ini menghadap langsung kearah
barat tempat matahari terbenam.

Yang membuatku terkejut, baik ruangan maupun


perabotnya masih bagus dan masih terlihat bagus.
Semua perabot itu terbuat dari kayu yang dicat putih.
Model maupun ukiran di perabot-perabot itu terlihat
kuno, tetapi menarik.

Itu bukan apa-apa dibandingkan dengan kejutan lain


yang kuterima. Seorang gadis sedang menatapku
ramah dan tersenyum kearahku dari sudut ruangan.

"Kau pasti yang bernama Neil dan lau sedang mencari


ini." Ya! Bola itu! Bola yang kucari ternyata berada di
tangan kanan gadis itu.

"Ba.. Bagaimana kau tahu namaku?" Tanyaku, masih


gemetaran.

"Itu." Gadis itu kini berjalan kearah jendela yang


pecah, pasti pecah karena bola ini. "Kau dan teman-
temanmu selalu bermain disitu bukan?"

Aku berjalan mengikutinya kearah jendela. Sinar


matahari terbenam sempat menusuk mataku saat
aku berusaha melihat pemandangan dari jendela.
Benar saja, lapangan tempat kami bermain memang
berada persis dibawah ruangan ini. Aku berani
taruhan, pasti suara bising kami saat bermain bisa
terdengar sampai ruangan ini.

"Namaku Luna." Gadis itu memperkenalkan diri


sambil menjulurkan tangannya kearahku. Awalnya
aku ragu-ragu tapi akhirnya aku sambut juga uluran
tangan dari Luna.

Kuperhatikan Luna dari atas sampai bawah sembaru


aku bersalaman dengannya. Wajah Luna agak bulat
tetapi serasi dengan bibir, hidung, rambut, dan
matanya. Matanya berwarna topaz, salah satu mata
yang paling indah yang pernah kulihat. Rambutnya
hitam, panjang, dan sangat lurus itu dibiarkannya
tergerai begitu saja.

Itu baru wajahnya. Luna lebih rendah beberapa senti


dariku. Gaun putihnya mengingatkanku pada gaun
putih Marilyn Monroe yang sangat iconic itu.
Meskipun tampaknya Luna seumuran denganku,
wajah dan penampilannya membawa aura dewasa
yang tidak bisa kujelaskan.

"Ini bolamu." Luna meneruskan.

Keheningan panjang sempat menyelimuti kami


berdua sebelum akhirnya Luna kembali berbicara.
"Jadi kau akan pergi sekarang, eh?"

Ada yang aneh dengan pertanyaan Luna barusan. Dari


nada serta dari kata-katanya tadi menyiratkan
seakan-akan Luna tidak ingin aku segera pergi.

"Kau tinggal disini?" Tanyaku untuk berbasa-basi agar


aku bisa tinggal lebih lama.

"Iya, begitulah."

"Sejak kapan?"

Luna terdiam sejenak. "Sejak aku lahir."

"Kenapa aku tidak pernah melihatmu?"

"Oh ya? Padahal aku selalu melihatmu loh." Luna


mendadak tersipu kemdian buru-buru
menambahkan. "Melihatmu dan teman-temanmu
lho."

"Kalau begitu kau harus menemui mereka. Ayo!


Mereka pasti senang mengenalmu!"

Tanpa menunggu persetujuan Luna, aku langsung


saja menarik tangan Luna untuk keluar dari ruangan
ini. Aku bisa merasakan penolakan dari tubuh Luna,
tapi sia-sia saja karena tenagaku jauh lebih besar
darinya.

"Tidak, Neil, aku tidak mau."

"Oh ayolah, aku jadi tidak sabar mengenalkanmu


pada mereka."

"Tidak Neil! Kyaaa!!!" Luna berteriak ketika kami


sudah berhasil keluar dari kamar Luna.

Aku berbalik, terkejut dengan teriakan Luna. "Luna,


kau tidak apa-apa?"

Tetapi begitu aku berbalik, bukan sosok gadis yang


kulihat melainkan sosok yang begitu kurus, seperti
hanya tinggal tulang berbalut kulit. Tubuhnya
bungkuk. Tulang-tulang pipinya menonjol dan tidak
ada gigi tersisa di mulutnya membuat bola matanya
terlihat lebih besar. Sosok tua itu memakai gaun putih
yang sama seperti yang dipakai Luna hanya saja gaun
putih itu kini terlihat lusuh. Dari balik gaun itu terlihat
jelas tulang-tulang rusuk yang menonjol.

Sosok paling mengerikan yang pernah kulihat.

"Aaaaaaaaaaa!!!!" Aku berteriak panjang sambil


berlari keluar dari rumah ini. Aku tidak peduli pada
sosok Luna atau siapapun itu, yang aku inginkan
sekarang hanyalah berlari sejauh-jauhnya dari sosok
itu.

Aku pastilah berlari sangat cepat karena sesaat


kemudian aku sudah keluar dari rumah itu dan
bertemu dengan Joey dan Ethan.

Aku masih sibuk mengatur napas saat Joey, Ethan,


dan yang lainnya sibuk bertanya padaku.

"Hey bodoh, kau kenapa? Kenapa lama sekali


didalam?"

"Itu, tadi ada.." Sebelum aku sempat menjelaskan,


kuperhatikan langit yang berada diatasku. "Masih
pagi?"

"Tentu saja masih pagi, bodoh. Kita hanya sempat


bermain sebentar sejak kita mulai pagi ini."

"Bukannya hari sudah senja?"

Ethan geleng-geleng melihatku kemudian


memutuskan untuk pergi meninggalkanku,
sedangkan Joey lagi-lagi mengataiku 'bodoh'
kemudian berlalu pergi mengikuti Ethan.

*****

"Hai." Sapa Luna ketika aku lagi-lagi berkunjung


tanpa diundang ke kamarnya. "Kukira kau tidak akan
kembali lagi."

"Aku hanya..." Ucapanku terhenti. Sesungguhnya


akupun tidak menemukan alasan yang tepat kenapa
aku kembali lagi kemari.

"Penasaran?" Jawab Luna melanjutkan kalimatku


dan menemukan kata yang tepat untuk
mendeskripsikan perasaanku. "Kukira kau terlalu
takut untuk penasaran."

Aku tidak menyangkal. Sejujurnya Aku ketakutan


setelah kejadian kemarin. Tetapi keingintahuanku
ditambah dengan hormon-hormon remaja yang
bergejolak dalam diriku membuat rasa penasaran ini
mengalahkan rasa takut untuk kembali berkunjung ke
rumah penuh misteri ini.

Ruangan ini masih terlihat sama seperti kemarin.


Masih bernuansa oranye karena cahaya jingga dari
senja yang memancar dari jendela kamar Luna.
Cahaya yang hangat refleksi kerinduan siang kepada
sang malam.

"Apa yang terjadi?" Tanyaku. "Rasanya hari masih


pagi saat aku masuk kesini."

"Waktu." Luna berjalan kearah jendelanya dan duduk


diatas window sill-nya. "Waktu berhenti di ruangan
ini. Ruangan ini selalu oranye, selalu hangat, dan
selalu senja, tidak pernah berubah. Sama seperti
waktuku yang terhenti di umur 14 tahun"

Aku masih tidak mengerti. Kutengok kearah jam


tangan yang kupakai untuk melihat pukul berapa
sekarang. Tapi jam itu berhenti.

"Lihat kan? Waktu berhenti disini."

Aku ikut memperhatikan jendela seperti yang


dilakukan Luna. Darisini aku melihat beberap anak
kecil berlari dengan lincahnya. "Tetapi bagaimana
dengan diluar? kalau waktu berhenti, seharusnya
mereka juga berhenti bukan?"

"Tidakkah kau mengerti? waktu berhenti HANYA


disini. Diluar waktu berjalan seperti biasa. Kau tetap
bertambah tua. Hari tetap berganti dari pagi, siang,
kemudian jadi malam." Luna meringis. "Dan aku akan
tetap mengikuti alur waktu saat aku keluar darisini."

Teringat olehku sosok mengerikan yang muncul saat


aku membawa Luna keluar dari ruangan ini. Sosok
wanita tua renta yang bahkan terlalu mengerikan
untuk dilihat.

"Diluar sana, aku kembali mengikuti alur waktu.


Kembali ke usiaku yang seharusnya, 117 tahun jika
kau ingin tau."

"Tapi bagaimana bisa?"

Luna memalingkan wajahnya. Sesaat kupikir dia tidak


mau menjawab, tapi tak lama kemudian terdengar
isak tangis darinya. Bahunya bergetar hebat tak
mampu menahan gelombang emosi di hatinya. "Aku
tidak tahu. Yang aku tahu, aku tertidur kemudian
terbangun saat hari sudah senja. Aku keluar kamar
sambil memanggil kedua orang tuaku. Tetapi kau
tahu apa yang terjadi?"

Aku menggeleng.

"Tiba-tiba aku melihat tanganku menjadi kurus dan


keriput. Mukaku menjadi mengerikan. Kutemukan
ayahku di ruang kerjanya dan ibuku di kamar utama.
Mereka berdua sudah tinggal tulang belulang waktu
kutemukan."

Aku beranjak untuk mendekati Luna. Kudekap kedua


bahu mungilnya berharap kedua bahu itu berhenti
bergetar. "Misteri. Terkadang ada hal-hal di dunia ini
yang tak mampu kita jelaskan."

Aku terus mendekap tubuh Luna. Luna juga balas


memeluk tubuhku. Kami berada di posisi itu untuk
waktu yang cukup lama hingga akhirnya bahu Luna
berhenti bergetar.

Luna lah yang lebih dulu melepas pelukannya. Saat


kami berhadapan, kulihat tubuh Luna yang sudah
berhenti bergetar tetapi dua sungai mungil masih
mengalir dibawah kedua matanya.

"Kau tahu, pasti ada hikmah dibalik semua peristiwa."


Kataku.

"Apa?"

Kembali aku mendekatkan tubuhku pada Luna.


Kubelai lembut ujung kepalanya, rambutnya,
telinganya, sampai ke pipinya. Kugunakan kedua
tanganku untuk merengkuh wajahnya. Perlahan
kukecup bibir mungil Luna dengan bibirku.

"Aku ingin kita berdua bisa selalu seperti ini."

Kemudian Luna berkata, "Tenanglah, waktu memang


berhenti disini."

Kali ini Luna yang maju terlebih dahulu untuk


menciumku kembali. Kami berdua kembali
berciuman, lebih dalam seperti melepaskan
kerinduan yang belum terbalas selama ratusan
tahun.

*****

Semenjak kejadian itu aku sering diam-diam


mengunjungi Luna. Aku merahasiakan hal ini dari
siapapun bahkan dari Joey dan Ethan. Luna hanyalah
milikku seorang dan waktu kami yang terhenti hanya
milikku dan Luna.

Terkadang kami hanya mengobrol di kamarnya.


Sesekali Aku mencium Luna atau Luna yang
menciumku. Kalau sedang bosan, kami berdua hanya
berbaring di kasur Luna dengan Luna berada di
dekapanku sambil menikmati matahari senja dari
jendela kamar Luna.

Sampai suatu hari....

Aku, Joey, Ethan, dan beberapa teman lainnya sedang


bermain kasti di lapangan kosong seperti biasanya.
Sebelum bermain, kusempatkan melirik kearah
jendela kamar Luna dan tersenyum. Darisini, jendela
kamar Luna memang terlihat gelap, rusak, sperti
tidak berpenghuni. Tetapi aku tahu, dari dalam
kamarnya, Luna pasti sedang memperhatikanku.

"Hey." Ethan menepuk bahuku. "Kau tahu, rumah itu


akan dibongkar besok."

Jelas aku sangat terkejut dengan berita ini. "Apa!?"

"Kenapa kau begitu terkejut? Wajar bukan? Rumah


tua itu lebih baik dibongkar dan..... Hey, mau kemana
kau!"

Tak kuindahkan Ethan yang berusaha memanggilku


berkali-kali. Aku berlari secepat yang aku bisa. Aku
ingin segera bertemu Luna.

"Luna!" Panggilku begitu aku berada di ruangan


oranye yang familiar ini. "Luna!"

Luna tidak menjawab, dia berjalan mendekatiku,


membelai kepalaku dengan lembut, kemudian
memelukku.

"Rumah ini, akan dibongkar"

"Aku tahu." Jawab Luna yang masih memelukku.

"Dan rumah ini akan dibongkar besok." Kali ini air


mataku mulai mengalir.

"Aku tahu." Jawab Luna.

"Ta.. Tapi kalau begitu..."

"Aku akan jadi tua, tak lama lagi aku pasti mati. Yah,
aku sudah tau itu semua. Cepat atau lambat aku
memang harus kembali ke waktuku yang seharusnya.
Tapi aku tak menyangka hal itu harus terjadi secepat
ini, terutama saat aku baru menemukanmu." Luna
melepaskan pelukannya untuk mengecup keningku.
"Senang mengenalmu, Neil. Aku akan
merindukanmu."

Aku tidak menjawab pertanyaan Luna melainkan


merengkuh wajah bulatnya dengan kedua tanganku.
Kutatap matanya yang berwarna topaz, kemdian
kucium bibirmya yang mungil dengan penuh emosi.

Ciuman perpisahan untuk kami.

*****

Alat-alat berat berdatangan dan mulai beroperasi


untuk membongkar rumah tua diujung jalan itu. Alat-
alat itu mengeluarkan bunyi bising, bunyi yang aku
tidak suka.

Aku meringis saat melihat kamar Luna dihancurkan.


Tidak akan ada lagi waktu yang berhenti. Tidak akan
ada lagi kamar yang selalu senja, selalu oranye, dan
selalu hangat.

Dari kejauhan, kulihat sosok tua yang begitu kurus


dan keriput. Sosok itu memakai jaket tebal dan
rambutnya disanggul ketat.

Tiba-tiba sosok tua itu berbalik. Menatapku, dan


tersenyum kearahku.

Aku membalas senyuman sosok tua itu. Kemudian


sosok itu melangkah dengan langkah yang terseok-
seok. Sedetik kemudian aku tidak melihatnya lagi. Dia
menghilang dibalik kerumunan orang-orang.

---------

Twitter: @angela!racta

Aah, selesai juga cerita ini. Mungkin ini adalah cerita


terpendek yang pernah kubuat. Bikin cerpen itu susah
ternyata, hehehehe

Please like, comment, and share. Bakalan seneng bgt


kalau ada yang ngomen-in cerita ini :)

Terimakasih udah baca cerita ini. Don't forget to


subscribe ya! :)

    

Continue Reading

You'll Also Like


AGAV
By
Teen Fiction
 3M  312K  60
FOLLOW akun WATTPAD ini terlebih dulu!
Kisah tentang Agav, seorang ketua basket
SMA Airlangga dan mantan ketua geng
motor yang punya musuh di mana-ma...
JADI KUCING?! [TAMAT]
By human
Fantasy
 1.8M  400K  51
[2] : [FOLLOW SEBELUM MEMBACA!]
BUKAN LAPAK BUAT PLAGIAT!!! _____
"wtf.. kenapa gue malah jadi kucing?!" Livi
Marcella atau sering dipanggil Livi, di...
Dunia Davin
By jiaaa
Romance
 6.6M  464K  33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya
lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak
menyangka jika rasa cintanya pada pria
yang ia sukai diam-diam membuat...
MY HUSBAND [OPEN PO]
By
ChickLit
 726K  55.3K  56
𝗝𝗔𝗡𝗚𝗔𝗡 𝗟𝗨𝗣𝗔 𝗙𝗢𝗟𝗟𝗢𝗪 𝗦𝗘𝗕𝗘𝗟𝗨𝗠
𝗕𝗔𝗖𝗔!! ||Sequel MTiMH|| WARNING
✓ bucin ✓ posesif ✓ pencemburu ✓ big
baby °°° Bagaimana jad...

© 2023 Wattpad

Anda mungkin juga menyukai