Anda di halaman 1dari 5

SENI MILIK SEKAR

Oleh : Istianingsih Ujilestari

Senja baru saja tiba, namun senyum mentari masih menyisakan sedikit
hangatnya. Terlihat keteduhan yang mulai menangkupi beberapa bangunan di sepanjang
jalan Senopati. Bayang-bayang matahari senja nampak di aspal badan jalan. Sekar masih
menelusurinya dengan langkah pasti. Komplek Dalem Istana Mangkunegaran semakin
dekat dijelajah kaki mungilnya. Sebentuk senyum bulan sabit terbias di wajah
anggunnya. Bola mata indahnya tertuju pasti. Langkahnya semakin diperlambat sebelum
akhirnya tiba di sebuah sanggar tari terkenal di kota Solo.
Hingar- bingar gending Jawa dari dalam sanggar tari yang berlokasi di
Prawedanan Mangkunegara kota Solo itu selalu menarik hati Sekar untuk singgah
sejenak menikmatinya. Sekar segera meletakkan tampah dagangannya. Gadis itu
perlahan duduk di pilaran. Keringat yang membaluri kening dibasuhnya dengan
selendang lurik yang biasa dipakai untuk alas tampah dagangan di kepalanya. Gurat letih
dalam bola matanya kentara sekali, namun seketika berubah menjadi riak gembira
acapkali telinganya menangkap suara gending dari tempat itu. Dilihatnya beberapa anak
gadis yang sebaya dengannya tengah asyik menari. Sekar selalu mengagumi keluwesan
dan kelihaian mereka yang begitu lemah gemulainya mengikuti irama gamelan.
Sekar nampak semakin asyik. Tanpa sadar kepalanya ikut melenggak-lenggok
mengikuti irama gamelan. Dalam situasi seperti itu ia merasa bukanlah seorang Sekar
yang harus berbagi waktu antara sekolah dan bermain, juga bukanlah seorang Sekar yang
setiap pulang sekolah berjalan keluar masuk pasar menjajakan kue-kue pasar buatan
mboknya, melainkan kini tengah menjadi seorang Sekar yang memiliki cita rasa seni,
yang pandai menari seperti Mawar puteri pemilik kios barang antik di pasar Triwindu .
Kios ayah Mawar tak pernah luput dari keramaian pengunjung yang sebagian besar
orang-orang dari mancanegara. Tentu saja Mawar tidak memiliki beban hidup seperti
Sekar. Tak ubahnya Wulan puteri pak guru Tejo pun nampak semangat dan ceria
mengikuti latihan tari di sanggar itu, dan dilihatnya juga Yatri putrinya H.Abas pemilik
toko emas di pinggir jalan utama kota Solo. Mereka semua nampak sumringah mengikuti
latihan sore itu.
Sekar selalu memperhatikan dengan cermat setiap gerakan yang diajarkan bu
Nani. Beberapa bagian awal dari gerakan tari Serimpi itu sudah dapat diingatnya.
Semalam Sekar sempat memperagakannya di rumah secara diam-diam. Selendang lurik
penyunggi tampah itu dipakainya. Gerakan dalam tari Serimpi itu didominasi oleh
gerakan tangan, kaki, dan kepala. Gerakannya lembut dengan memainkan selendang
yang diikat di pinggang. Sekar sangat mengagumi dinamikanya. Perubahan gerak dan
variasi dalam penggunaan tenaga dalam gerakan selaras dengan tempo tarian sehingga
membuatnya tak pernah jemu untuk terus menatap keluwesan mereka. Ya, penampilan
mereka mampu memberi kesan tersendiri yang membuat tarian itu menjadi menarik dan
tidak membosankan. Pergantian posisi penari pun cenderung menarik hati Sekar untuk
mengamatinya sedemikian rupa. Sungguh baginya suguhan itu merupakan suatu
kesatuan yang fantastis. Sekar kini masih termangu di tempatnya. Gadis itu begitu
mengilhami bunyi gamelan pengiring yang terus membawanya berkhayal indah.
Berhentinya suara gamelan seketika membelah kekhusukannya. Kesadaran
yang seutuhnya mengacau khayalan mewah yang kerap bergantungan di hatinya. Sekar
sadar sepenuhnya. Keterpakuannya kini membuatnya terpukul. Gelak ceria gadis-gadis
remaja itu membuatnya semakin tertunduk. Akh, mengapa ia harus memikirkan seni
yang jelas tidak mungkin dapat diwujudkannya? Sementara itu ia pun harus memikirkan
kue-kue dagangannya yang masih separoh lagi. Jelas-jelas itu pekerjaan utama, pekerjaan
yang menopang hidup mboknya serta dua orang adiknya sejak bapaknya meninggal tiga
tahun yang lalu.
Mengenai obsesinya? Wah, itu angan yang terlalu melambung. Sekar merasa
tidak akan pernah mampu untuk tampil di Pendopo Prawedanan pada setiap Sabtu Pon.
Pada malam itu pendopo tersebut digunakan untuk menggelar pertunjukan seni tari baik
klasik maupun kontemporer. Sekar hanya dapat menjadi penonton yang baik dan
antuasias di setiap pertunjukan. Sekar sadar, ia bukanlah mereka yang sudah tentu punya
banyak kesempatan. Akh! Sekar sendiri pun tidak pernah habis pikir, mengapa gadis
desa yang punya nasib seperti dirinya harus menyukai seni?
Sekar semakin termenung, kalau saja mendiang paklenya masih hidup, tentu ia
dapat belajar banyak tentang seni apa saja. Sayang, Sekar tidak pernah punya
kesempatan untuk itu. Sebelum ia lahir paklenya sudah tiada. Penyakit typus akut cepat
sekali membawanya pergi untuk selamanya. Padahal menurut mboknya, pakle Setyo
lelaki yang cerdas, tangkas, cakap, dan pandai dalam banyak hal. Beliau pintar bermain
gamelan, dagelan, juga menari. Pakle Setyo pun pandai membuat dekorasi panggung.
Semua warga menyukainya. Bila ada kabar ‘Kang Setyo bakalan manggung’ maka tanpa
dikomando warga desanya akan datang berduyun-duyun untuk menyaksikan
pementasannya.
Sekar kerap mengeluh, kalau saja pakle Setyo masih ada, tentunya ia pun
dapat terkenal sebagai penari, bukan hanya penjaja kue! Sekar akan tampil lihai menari
Serimpi atau Gambyong dengan gemulai, dapat pula menarikan cerita legenda dengan
logat ketegangan, seperti tari Anjasmara, Roromendut Pranacitra atau Kendit Birayung.
Tentunya ia pun dapat tampil memukau seperti gadis-gadis remaja sebayanya itu.
Tetapi kini? Ya, Sekar harus bisa menerima, kalau pun ia ikut latihan menari
di sanggar tari, lantas siapa yang harus membantu simboknya berjualan? Adiknya masih
kecil untuk setegar ia berkeliling kampung setiap hari. Lantas uang dari mana untuk
membayar bu Nani guru tari itu? Akh! Lagi-lagi Sekar terpaku dengan helaan napas
panjang. Perbedaan status sosialnya ternyata harus pula membawa perbedaan minat dan
bakat.
“Hidup tidak selamanya berada di bawah, Nduk. Roda kehidupan akan terus
berputar. Kemewahan tidak selalu membawa kenikmatan, juga kemiskinan tidak selalu
dikatakan penderitaan!”
“Mereka yang kaya belum tentu merasakan kenikmatan kita yang miskin,
yang bergelut tanah dan lumpur juga berteman terik dan hujan. Dan kenikmatan apa yang
kita dapat? Kita lebih dapat merasakan kehidupan yang nyata, perjuangan, pengorbanan,
dan kebersamaan untuk hidup. Bila kita merasakan betapa sulitnya mempertahankan
nyawa, maka keberhasilan yang sedikit-sedikit kita peroleh tidak akan kita nodai, tapi
kita hargai dengan rasa bersyukur.” begitu kata mboknya ketika melihat Sekar murung
merenungi kepapaannya.
“Hidup juga bukan untuk disesali. Hadapi segala yang ada dengan hati lapang,
sebab itu akan lebih membuka jalan pikiran untuk berbuat lebih baik lagi.”
“Janganlah mengeluh, sebab keluhan tidak akan pernah membantumu. Kamu,
Nduk, yang berjalan kaki setiap hari lebih bahagia dibanding mereka yang selalu berada
di atas mobil. Jantungmu berdenyut sehat dan darahmu mengalir normal, tidak seperti
mereka yang sebagian besar kalang-kabut berobat untuk mennyembuhkan jantung,
ginjal, darah tinggi dan penyakit lain yang mengerikan.” begitu ujar Simbok untuk
membesarkan hatinya yang letih berkeliling menapaki kerikil atau tanah kotor bila hari
hujan sambil menyunggi tampah berisi kue-kue jajanan pasar.
“Jangan bersedih kalau kamu belum sempat berlatih menari seperti mereka.
Seni memang milik semua, tidak pandang kaya atau miskin, terlebih bagi mereka yang
mampu mencipta dan mewujudkan lewat aneka kreasi. Tetapi kalau kamu belum bisa
mewujudkannya, itu bukan berarti kamu tidak memiliki seni. Kamu bisa mencintai dan
melestarikan seni yang ada, dengan menghargai hasil karya orang lain atau dengan
menyaksikan pementasan seni seperti yang sering diadakan di pendopo misalnya.” itu
ucapan mboknya ketika Sekar mengeluarkan keluh kesahnya tentang dunia tari.
“Nduk, hidup ini keras, penuh tantangan dan kerikil-kerikil tajam. Itu pun
merupakan seni kehidupan. Selama ini kamu bisa menghadapinya tanpa pernah
mengeluh. Seni utama dalam hidup kita saat ini adalah berjuang untuk terus dapat
mempertahankan hidup dan mengubah kehidupan menjadi lebih baik lagi.”
“Suaramu yang melengking merdu saat menawarkan kue itu pun sudah
merupakan seni. Semua orang menyukai suaramu, terus memanggil dan membeli kue-
kuemu. Senyummu yang penuh bahagia saat kue-kuemu laris terjual juga merupakan
seni. Wajahmu yang ayu dan lugu adalah pancaran seni kehidupan yang nyata.” Kata-
kata indah itu yang sering diucapkan mboknya. Sekar senang mendengarnya. Mboknya
seperti pujangga kalau sedang bicara. Kalau kebetulan kue-kue dagangannya kurang
laris, mboknya akan selalu menghibur dengan mengatakan,
“Lain kali mungkin habis terjual, Nduk! Besok kita buat kue yang lain supaya
bervariasi, biar pembeli tak bosan. Dan itu contohnya seni kehidupan, bahwa hidup ini
tidak selalu sama. Sekarang begini, besok begitu dan lusa akan lain lagi.”
“Paklemu bilang itulah dinamikanya kehidupan. Seperti juga gamelan tari
yang punya tekanan-tekanan gerak. Lemah ke keras, keras ke lemah maka akan nampak
baik tiap-tiap atau bagian bentuk gerak sampai ke seluruhan bentuk tariannya, itulah
dinamika gerak, yaitu pengaturan dan pengendalian yang mempertegas gerak. Dengan
demikian, penari akan lebih hidup dan mampu membawa pengaruh pada penonton.
Sama seperti dinamika hidup ini,” begitu tutur mboknya dengan bijaksana.
Sekar terperangah. Bunyi gamelan dari dalam sanggar kembali terdengar,
pertanda latihan akan kembali dilanjutkan. Entah sudah berapa lama ia terpaku di pilaran
itu. Terlintas wajah simbok yang tengah menantinya di muka pintu. Wanita yang selalu
sabar mendampingi hidupnya beserta kedua orang adiknya. Wanita bijaksana yang selalu
menanti-nanti kedatangan dan senyumnya daripada uang yang diperolehnya. Simbok
yang akan bernapas lega bila ia datang dengan keceriaan, walau kue-kuenya masih ada
yang tersisa, sebab simbok senang Sekar tidak putus asa untuk terus berusaha tanpa
mengeluh.
Akh, Simbok! Aku harus kembali keliling menghabiskan kue-kue ini, agar
segera pulang dengan senyuman, dan panasnya terik di ubun-ubunku akan segera
terbasuh oleh kesejukan kasihmu, batin Sekar pasti. Tubuh ramping itu segera beranjak
meninggalkan halaman sanggar, meninggalkan suara gamelan yang selalu menggoda
hatinya untuk ikut melenggak-lenggok seperti mereka yang tak punya beban lain, seni
kehidupan sepertinya.
Ia akan segera pulang untuk mendengar wejangan-wejangan mboknya.
Wejangan yang amat berguna untuk hidupnya. Ya, wejangan yang selalu terdengar arif,
indah, bergaya dan berseni. Sekar segera mengayun langkah. Berteriak nyaring
menawarkan dagangannya. Semua berirama, sebab itu seni yang mampu diwujudkannya
saat ini. kue…kue….kue….!

(Cerpen dalam Festival Literasi Indie Literasi Club kategori Honourable Champions)

BIODATA PENULIS
Istianingsih Ujilestari, pendidikan S-2 Bahasa
dan Sastra Indonesia. Menyukai kegiatan
menulis dengan mengikuti berbagai
perlombaan menulis tingkat nasional dan
Asean. Menulis lebih dari 30 buku Antologi
(kumpulan puisi, kisah inspiratif, cerita anak
dan cerpen bersama tingkat nasional). Saat ini masih aktif sebagai
ASN di provinsi Banten.

Anda mungkin juga menyukai