Anda di halaman 1dari 5

Cerpen Cinta Sedih: Akhir Sebuah Pagi

Tubuhku masih tergolek diatas kasur empuk dengan mata terpejam seakan
tak ingin mengakhiri sisa-sisa malam yang perlahan habis. Ingatanku
dengan segar mem-flash back kejadian menakjubkan di malam ini namun
kurasakan dengan pasti sinar matahari telah mengintip, memaksa
menerobos masuk melalui celah-celah jendela seakan ingin mengingatkan
kalau hari tak lagi malam. Dengkuran halus terdengar dari orang yang
rebah di sampingku.
Seulas senyum tersungging di bibirku. Masih dengan mata terpejam,
kugerakan tangan dan dengan lembut jari-jari halusku mulai menelusuri
lekukan wajah di sampingku. Aku mengenal lekukan wajah dan mengenal
setiap bagian dari tubuhnya dengan baik dan bahkan sangat baik. Aku
mengenali semua yang merupakan bagian dari dirinya seperti aku
mengenali diriku.
Kurasakan wajahku bersinar terang seterang matahari yang menyapa alam
di luar sana. Dengan perasaan hangat dan lembut, ku-rewind rekaman tadi
malam yang kusimpan rapat dalam memoriku dan kemudian kuputar
lambat-lambat.
Di sebuah kamar vila di kawasan Lembang yang sejuk, sebuah tempat yang
jauh dari keramaian kota Bandung, sebuah tempat yang cukup nyaman
untuk melepas semua lelah dengan segala kepenatan, sebuah tempat yang
cukup aman untuk melindungi diri dari peliknya problematika hidup, dan
juga sebuah tempat yang mampu membawa beberapa tahun silam kembali
dalam genggamanku.

Tadi malam, di tempat itu, ketika rembulan dengan malu-malu


menampakan diri, ketika gemintang berkelip tajam tanpa terhalang
mendung, ketika malam semakin pekat, ketika suara jangkrik dan binatang
lainnya bersahutan jauh di luar sana, ketika angin berhembus lirih, ketika
tembok dan seluruh isi di kamar itu diam membisu, aku dan dia terhanyut,
larut dalam kerinduan yang makin berkarat.

Kerinduan akan keindahan yang selama ini selalu kami inginkan, kerinduan
akan saat-saat seperti itu, yang ternyata terjadi bahkan setelah bertahun-
tahun perpisahan. Tak ada suara, tak ada kata-kata. Kebisuan kami
menambah bisunya ruangan itu. Hanya desahan nafas yang memburu,
bertarung dengan gelapnya malam yang kian pekat.

Seulas senyum tersungging di bibirku. Jari tanganku semakin lincah


menelusuri tubuh yang rebah di sampingku. Mataku masih terpejam tanpa
ada keinginan untuk membukanya.

Sungguh, malam ini begitu berbaik hati kepadaku sehingga aku bisa
bermimpi indah. Aku bisa melewati malam ini dengan baik dan lancar,
tanpa harus terbebani dengan berbagai perasaan yang selalu
menghinggapi setiap malamku: merasa jijik dengan bau keringat yang
selalu terasa asing meski telah sering kucium bau itu, merasa risih
mendengar deru nafas penuh birahi, merasa terganggu jika ada air ludah
bercampur dengan air ludahku, juga merasa perih dan tertusuk hatiku
hingga aku harus meneteskan air mata.
Sungguh, malam ini begitu menakjubkan. Ia mampu mengantarkan sebuah
keindahan yang kuinginkan dari beribu malamku yang terenggut. Ia
mampu mewujudkan mimpi dan kerinduan yang kian berkarat setiap
detiknya.

Ia mampu mengubah rasa jijik, risih, terganggu, atau rasa perih hati
menjadi sebuah keinginan dan harapan untuk terus bisa merasakan
damainya malam ini di malam-malam lainnya. Betapa keinginan itu terus
membara, betapa keinginan itu tak pernah padam meski tahun-tahun telah
aku lewati dengan berbagai dinamika kehidupan.

Sentuhan jari-jari tanganku sepertinya tidak mengusik tidur lelapnya. Ia


hanya menggeliat sejenak dan kemudian terlelap lagi. Akupun sama sekali
tak berniat membangunkannya.

Tiba-tiba bunyi nada polyphonic terdengar menggelitik telinga. Kuraih


telpon genggam miliknya, darimana bunyi itu berasal. Dengan segera aku
mengetahui dari siapa panggilan tersebut. Pandanganku berpindah-pindah
pada telpon genggam dan pada pria yang rebah di sampingku.
Haruskah aku membangunkannya? Pikirku ragu. Namun bunyi tersebut tak
pernah berhenti dan makin lama semakin kencang. Dengan hati-hati
akhirnya ia kubangunkan dan kusodorkan benda itu padanya yang ia
sambut dengan enggan.

“Pagi…,” sapanya dengan suara serak yang langsung mendapat jawaban


dari seberang.

“Ya, Papa baru bangun. Seminar kemarin sangat menguras energi sehingga
terasa melelahkan,” ujarnya.

“Apa? Hp Papa mati? O…ya, tadi malam sengaja dimatikan supaya tidak
mengganggu istirahat Papa. Papa terlalu capek hingga tertidur lelap dan
tidak tahu lagi apa yang terjadi hingga Mama membangunkanku.” kulihat
keningnya berkerut mendengar ocehan dari ujung sana.

“Ya…ya, Papa usahakan segera pulang. Mungkin sore atau malam ini akan
tiba dirumah. Okay, baik-baik dirumah ya, byebye, mmuach…,” katanya
yang dengan segera mengakhiri pembicaraan tersebut dengan meletakkan
kembali telpon genggam itu pada tempat semula. Tanpa berkata apa-apa
ia menarik selimut yang sedang kupakai dan kemudian membenamkan
tubuhnya ke dalam selimut tersebut.

“Istrimu?” tanyaku dengan nada cemburu.

Ia tidak menjawab. Telunjuknya menempel di bibirku. Jari-jari tangannya


menyibakkan lembar-lembar rambut yang menutupi sebagian kening dan
mataku. Kemudian dengan erat ia membenamkan wajahku di tubuhnya
sehingga dapat kurasakan degup jantungnya.

“Aku tak ingin pagi ini berakhir. Aku tak ingin lagi melewati malam-malam
tanpamu. Aku ingin… aku ingin selalu merasakan indahnya tadi malam,”
ucapku tersendat.

Ia membelai rambutku dan dengan lembut berkata.

“Kita tak ingin saat indah ini berakhir. Kita tak ingin mengakhiri malam,
mengakhiri pagi dan mengakhiri segalanya. Dulu pun kita tak ingin
mengakhiri kebersamaan kita meski kemudian semuanya berakhir,”

“Berjanjilah..,” ucapku bergetar,

“Berjanjilah bahwa akan selalu ada hari lain, malam lain, dan kita akan selalu
saling memiliki,”

Ia melepaskan pelukannya dan terlentang dengan mata lurus menatap


langit-langit kamar. Dijadikannya kedua tangan sebagai bantal. Desah nafas
panjang terdengar darinya.

“Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi setelah bertahun-tahun


perpisahan yang menyakitkan itu. Dan di sinilah kita sekarang, di sebuah
tempat yang dulu selalu kita idam-idamkan. Apakah aku bermimpi?”
desisnya.

“Tidak, kau tidak bermimpi, kita tidak sedang bermimpi. Kita sedang
berusaha mewujudkan impian dan harapan kita dan aku yakin kita akan
bisa melakukannya bersama-sama seperti apa yang kita inginkan dulu,”
ujarku penuh semangat.

Ia terdiam. “Aku tahu kau terluka. Aku pun begitu. Kita sama-sama terluka.
Hanya saja aku tidak bisa mencucurkan dan bersimbah air mata
sepertimu…” katanya tercekat, “Aku tak pernah berhenti mencintaimu. Tapi
ingatlah, kita masing-masing telah mempunyai keluarga dan tidak bisa
meninggalkan mereka,” lanjutnya kemudian.

“Kau… kau tidak tahu betapa menderitanya aku melalui malam-malam


menjijikan. Mencium bau keringat orang yang tidak aku sukai,
memperhatikannya, dan melahirkan anak untuknya. Kenapa aku tidak
melahirkan anak untukmu? Kenapa? Semua itu begitu menyakitkan,” kataku
disela isak tangis.

Ia memejamkan mata. Wajahnya menyeringai kesakitan; bibirnya bergetar.


Perlahan dari sudut matanya kulihat butiran bening yang kemudian
membasahi bulu-bulu matanya. Aku tertegun. Betapa ia pun merasakan
sakit yang sama sepertiku.

Begitulah, akhirnya pagi pun berakhir, berlalu dalam kepedihan. Keindahan


sekejap di malam itu tak mungkin lagi aku miliki. Dengan tegar namun
hampa, kubuka gorden kamar; kubuka jendela. Kubiarkan matahari
menerobos langsung menerpa kulitku. Dan sepertinya bukan hanya
matahari yang akan menerpaku, tapi akulah yang akan menyongsong dan
menantangnya dengan segala ketegaran yang kumiliki.

Kutatap hari dengan penuh kehampaan. Kubiarkan rasa di hatiku hancur


berkeping-keping hingga aku berharap tak akan ada lagi rasa dalam diriku.
Biarlah rasa ini mati; biarlah gulita selalu menyelimuti hidupku karena
bagiku bersinar atau tidaknya matahari tak berarti banyak.

“Kapan seminarnya berakhir, Ma? Cepat pulang ya, Nia kangen…,” rengek
suara dalam telpon genggamku. Aku tertegun. Mataku menatap tajam,
membelah matahari yang kian memerah.

Anda mungkin juga menyukai