Kesetiaan
ATAS nama Cinta, atas nama kesetiaan dan kasih sayang. Demi tuhan,
semua itu telah membelengguku begitu erat. Tanah basah itu perlahan
mengering. Rumput dan pucuk-pucuk hijau menguning. Pohon-pohon
meranggas dan alam mengerang setiap kali perputaran musim berganti.
Namun aku tak bergeming, tetap mematung dalam belenggu cinta dan
kesetiaan.
Tanah basah lagi, tanah kering lagi. Rumput hijau lagi, rumput menguning
lagi. Alam meradang. Perputaran waktu telah mencekik leher dan
menyeretnya kedalam lingkaran ketuaan. Kulitnya semakin mengerut dan
wajahnya kusam. Rumput dan pucuk-pucuk telah berganti beberapa
generasi.
(Beberapa pinangan datang, namun semua berujung penolakan. Dan
pinangan pun pulang sia-sia, namun aku merasa tegar. Dengan senyum
kemenangan kukatakan : Atas nama cinta, atas nama kesetiaan).
Atas nama cinta dan kesetiaan. Aku terbelenggu, tanganku terikat, dan
kakiku terpasung dalam kesetiaan. Badanku semakin membesar dan
tambun. Orok dalam rahimku menendang dan menerjang-nerjang. Sesaat
dia menggeliat, kemudian diam. Aku menarik nafas lega.
“Tapi… apakah yang aku kita lakukan ini benar?” tanyaku ragu.
Aku membenarkan perkataannya. Aku tak berkutik. Dan aku tak menolak
saat tangannya melucuti kain yang kupakai satu persatu dan kemudian
tubuh kekarnya menindihku. Semua itu, setiap gerakan tubuhnya dan juga
penerimaanku, kujabarkan sebagai arti cintaku dan cintanya. Aku diam, atas
nama cinta, atas nama kesetiaan.
Dan setiap suatu malam berujung, aku memulai lagi dengan malam yang
baru, dengan adegan cinta yang baru, namun dengan gelora yang tetap
membara. Lagi. lagi, dan lagi.
Aku tak perduli pada malam yang mengingatkanku. Aku tak malu pada
dinding yang menunduk sendu, pada tanah malam yang basah, pada udara
yang meneteskan embun-embun pagi. Aku tak perduli, aku tak merasa
malu. Atas nama cinta, atas nama kesetiaan.
“Persetan dengan petuah dan nasihat kalian. Matilah. Aku berada pada
jalanku,” ucapku penuh kemarahan. Semua atas nama cinta, atas nama
kesetiaan.
“Tunggulah aku, Dik. Aku akan kembali suatu saat. Telah kusemaikan benih
di rahimmu, pertanda aku akan kembali. Karena itu, setialah padaku, dan
waktu akan menguji kesetiaanmu,”
Dengan lugu, aku pun mengangguk. Sompret! Kenapa aku bisa sebego itu?
Demi Tuhan. Cinta itu telah mengekangku. Kesetiaan telah
membelengguku. Dan kenistaan mengiringiku. Kecaman datang bertubi-
tubi. Mulut-mulut nyinyir menusukku. Sinar mata penuh jijik menamparku
berulang-ulang. Aku tertunduk. Rasa malu menggelayut. Perih mengiris-iris.
Tanah basah lagi, tanah kering lagi. Aku masih tertunduk, merenda
penyesalan. Kabar darinya tak kunjung datang, cinta pun tak menyapa.
Hanya aku yang terkubur dalam kubangan kehinaan dan keputusasaan. Aku
menggigil kedinginan. Aku berteriak kepanasan.
Tak ada yang peduli. Tidak juga dengan dirinya. Nadiku semakin melemah.
Namun orok itu semakin menendang keras, pertanda bahwa ia semakin
kuat, dan tak lama lagi lahir.