Anda di halaman 1dari 4

Cerpen: Atas Nama Cinta, Atas Nama

Kesetiaan

ATAS nama Cinta, atas nama kesetiaan dan kasih sayang. Demi tuhan,
semua itu telah membelengguku begitu erat. Tanah basah itu perlahan
mengering. Rumput dan pucuk-pucuk hijau menguning. Pohon-pohon
meranggas dan alam mengerang setiap kali perputaran musim berganti.
Namun aku tak bergeming, tetap mematung dalam belenggu cinta dan
kesetiaan.

Tanah basah lagi, tanah kering lagi. Rumput hijau lagi, rumput menguning
lagi. Alam meradang. Perputaran waktu telah mencekik leher dan
menyeretnya kedalam lingkaran ketuaan. Kulitnya semakin mengerut dan
wajahnya kusam. Rumput dan pucuk-pucuk telah berganti beberapa
generasi.
(Beberapa pinangan datang, namun semua berujung penolakan. Dan
pinangan pun pulang sia-sia, namun aku merasa tegar. Dengan senyum
kemenangan kukatakan : Atas nama cinta, atas nama kesetiaan).

Atas nama cinta dan kesetiaan. Aku terbelenggu, tanganku terikat, dan
kakiku terpasung dalam kesetiaan. Badanku semakin membesar dan
tambun. Orok dalam rahimku menendang dan menerjang-nerjang. Sesaat
dia menggeliat, kemudian diam. Aku menarik nafas lega.

Aku teringat pada malam-malam terkutuk yang menyeretku pada kenistaan


ini. Udara dingi, alam senyap, pekat memukat malam.

“Rebahlah disampingku, Dik. Aku akan menitipkan cinta ini padamu,”


ujarnya saat itu.

“Tapi… apakah yang aku kita lakukan ini benar?” tanyaku ragu.

“Tentu saja. Kita saling mencintai. Lantas apa lagi?” ujarnya


menenangkanku.

Aku membenarkan perkataannya. Aku tak berkutik. Dan aku tak menolak
saat tangannya melucuti kain yang kupakai satu persatu dan kemudian
tubuh kekarnya menindihku. Semua itu, setiap gerakan tubuhnya dan juga
penerimaanku, kujabarkan sebagai arti cintaku dan cintanya. Aku diam, atas
nama cinta, atas nama kesetiaan.

Malam yang indah itu berlalu. Kemudian kutemui malam-malam indah


lainnya. Seperti sebelumnya, gulitanya alam pun terlewati dengan penuh
gairah. Beberapa adegan percintaan dan kisah romantis tercipta dan terukir
menjadi sekelumit sejarah dalam kehidupanku.

Dan setiap suatu malam berujung, aku memulai lagi dengan malam yang
baru, dengan adegan cinta yang baru, namun dengan gelora yang tetap
membara. Lagi. lagi, dan lagi.

Aku tak perduli pada malam yang mengingatkanku. Aku tak malu pada
dinding yang menunduk sendu, pada tanah malam yang basah, pada udara
yang meneteskan embun-embun pagi. Aku tak perduli, aku tak merasa
malu. Atas nama cinta, atas nama kesetiaan.

Dan bahkan, saat mereka mengingatkanku, dengan lantang aku berteriak.

“Persetan dengan petuah dan nasihat kalian. Matilah. Aku berada pada
jalanku,” ucapku penuh kemarahan. Semua atas nama cinta, atas nama
kesetiaan.

“Tunggulah aku, Dik. Aku akan kembali suatu saat. Telah kusemaikan benih
di rahimmu, pertanda aku akan kembali. Karena itu, setialah padaku, dan
waktu akan menguji kesetiaanmu,”

Dengan lugu, aku pun mengangguk. Sompret! Kenapa aku bisa sebego itu?
Demi Tuhan. Cinta itu telah mengekangku. Kesetiaan telah
membelengguku. Dan kenistaan mengiringiku. Kecaman datang bertubi-
tubi. Mulut-mulut nyinyir menusukku. Sinar mata penuh jijik menamparku
berulang-ulang. Aku tertunduk. Rasa malu menggelayut. Perih mengiris-iris.

“Hhhh…” Desah penuh kebingungan keluar dari mulutku. Dadaku tersa


sesak dan berat. Orok semakin gencar menendang-nendang perutku. Aku
meringis. Atas nama cinta, atas nama kesetiaan. Shit!
Demi malam yang kutaburi dengan kenistaan. Demi perbuatan terkutuk
yang kulakukan. Demi cinta dan kesetiaan yang begitu keagungkan.
Lihatlah: aku terduduk lesu, terpuruk dalam belenggu cinta dan kesetiaan.
Namun, kenapa cinta itu tak memperdulikanku sama sekali? Kenapa ia tak
menoleh pada apa yang kusebut dengan pengorbanan?

Pengorbanan yang membelengguku dalam kata kesetiaan, hingga aku tak


boleh berpaling; pengorbanan yang menggantungku pada kenistaan
seumur hidup; pengorbanan yang membuat kecaman dan mulut nyinyir itu
mencabikku. Apakah cinta dan kesetiaan itu adalah ayat-ayat yang harus
selalu kuagungkan? Keparat!

Tanah basah lagi, tanah kering lagi. Aku masih tertunduk, merenda
penyesalan. Kabar darinya tak kunjung datang, cinta pun tak menyapa.
Hanya aku yang terkubur dalam kubangan kehinaan dan keputusasaan. Aku
menggigil kedinginan. Aku berteriak kepanasan.
Tak ada yang peduli. Tidak juga dengan dirinya. Nadiku semakin melemah.
Namun orok itu semakin menendang keras, pertanda bahwa ia semakin
kuat, dan tak lama lagi lahir.

Atas nama cinta, atas nama kesetiaan. Ah…

Anda mungkin juga menyukai