Anda di halaman 1dari 3

Cerpen Sedih: Aku Wanita

Kuikat kata dalam mata batinku; kuredam rasa dalam sanubariku; kutelan
sakit yang merajai; dan harus kukatakan dengan tegar: aku adalah wanita.

Kurangakaikan kata demi kata, dan setelah sekian lama semua tercipta
menjadi sebuah pengungkapan dari alunan kepedihan. Kepedihan yang
telah mengeras yang kemudian menjadikan jiwaku membatu.

Ingin kubagi duka-lara, pada siapa aku bisa menyandarkan asa. Ingin
kuungkapkan kepedihan, dengan siapa aku bisa merasakan kebahagiaan
dan cinta.

Angan adalah tunas dari sebuah asa; khayal adalah impian dan keinginan.
Setelah sekian lama aku hidup dalam lumpur kepedihan, dalam sebuah
rumah tangga yang membuat rasaku sebagai wanita terhempaskan maka
salahkah bila aku berangan untuk mendapat kebahagiaan yang nyata?

Salahkah jika aku berkhayal bahwa aku, wanita, ingin dihargai seutuhnya?
Dan salahkah aku jika akibat dari perlakuan mengerikan dari partner
hidupku, maka aku lalu memimpikan kasih sayang yang lain?

Aku adalah seorang istri; aku adalah manusia. Kebutuhanku sebagai


seorang istri lebih dari sekedar permainan di atas ranjang. Aku butuh lebih
dari sekedar materi, kedudukan, ataupun gelar bahwa aku adalah istri yang
baik dan penurut. Perasaanku adalah sebagai wanita seutuhnya yang ingin
perhatian, kasih sayang dan kelembutan.

Aku merasa kesepian tatkala suamiku sering membiarkan aku kedinginan


bermalam-malam. Aku merasa sakit hati tatkala ia dengan sengaja
memasukkan perempuan diantara kami yang kemudian semakin
menghempaskan perasaanku sebagai seorang istri, sebagai seorang wanita.

Aku bukanlah robot yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhannya,


sementara ia mengabaikan kebutuhanku. Aku bukanlah sukarelawan yang
harus selalu memperhatikannya dan tak boleh mengharapkan imbalan
sedikit pun yang sebenarnya sangat kuinginkan: perhatian dan kasih
sayangnya.

Bahwasanya kehidupan yang selama ini kujalani tidaklah begitu


menyenangkan sehingga aku berharap seseorang datang mengeluarkanku
dari ketidakpastian yang menjemukan ini.

Namun atas dasar apapun, aku, wanita, pada akhirnya tetap harus melalui
ketentuan. Aku harus siap setiap kali suamiku membutuhkanku. Aku harus
tetap mengurus rumah tangga. Aku harus tetap melakukan semua
kewajiban meski suamiku bahkan telah lupa bahwa dia pun harus juga
melakukan kewajibannya.

Bahkan akupun harus rela menerima cacian tatkala kutemukan kedamaian


dan cinta dari pria lain yang mampu menunjukan kasih sayang
sesungguhnya. Ia adalah pria yang bersedia mendekapku di kala aku lelah
dan sedih. Ia adalah yang menasehatiku di kala aku melakukan kesalahan.
Bukanlah ia yang membiarkan aku lelah dan sedih. Bukanlah ia yang
bahkan tak tahu betapa cantiknya aku, betapa berharganya aku. Bukanlah
ia yang memarahi dan menamparku saat aku melakukan kesalahan.
Bukanlah ia yang selalu marah dan beringas saat problema melanda.

Kekasih adalah jiwa terindah yang pernah tercipta setiap dekapnya janjikan
kedamaian tuturnya adalah untaian cinta dan kelembutan dan semua
tentangnya adalah lukisan indah tentang kebahagiaan Dan aku terpasung
pada dinding sepi yang mendingin gelap bertaut di setiap relung mengiris
dan merambati dinding hati kemudian aku terhempas dalam bimbang dan
keputusasaan.

Namun berapa banyak pun perempuan yang menjadi mainan atau bahkan
menjadi maduku, maka tak boleh sedikitpun bagiku untuk menerima dan
memberi bahkan hanya untuk satu cinta yang lain. Semua perasaan itu
harus kuredam karena terbentur oleh norma yang mengikat.

Aku tak butuh orang membenarkan perkataanku. Aku tak butuh justifikasi
atas apapun atas apa yang kulakukan. Aku hanya ingin hidup damai dan
bahagia bersama orang yang kucintai, bersama orang yang rela
menghabiskan sisa hidupnya bersamaku.

Dan andai saja tak ada norma apapun yang mengikat, andai saja aku hidup
di negri dongeng, negeri angan dan khayal, maka dengan mudahnya aku
akan memilih jalanku untuk hidup bersama kekasih dalam kebahagiaan.
Dan aku selalu menunggu tibanya kebahagiaan. Mungkinkah ??

Anda mungkin juga menyukai