Anda di halaman 1dari 5

Asma Kinarya Japa

Ku intip kotak suratku, barangkali aku menerima surat darimu. Tapi ternyata nihil. Kosong.
Sama seperti hari-hari sebelumnya.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain menunggu keajaiban. Sebelumnya mungkin aku menunggu
kabar, namun hari ini dan hari-hari seterusnya mungkin lain. Selain pasrah, aku hanya bisa
menunggu.
Aku tahu, kita bukan siapa-siapa dan nanti aku dan kamu ‘mungkin’ tidak akan pernah menjadi
kita. Kamu pasti faham ‘kan mengapa aku berkata mungkin disini? Kamu yang melabeli diriku
dengan cap keras kepala. Disisi lain aku menjadi orang super sabar menghadapimu, aku pun
selalu optimis terhadap segala hal. Jadi biarlah aku yang menanggung akibat dari perbuatanku
ini, kamu hanya perlu tahu satu hal. Aku menunggumu.
Dan akan selalu begitu!
Kendati teman-temanku berulang kali memperingati diriku bahwa dirimu tidak layak, bukan
lelaki hebat, bukan lelaki baik, kamu hanyalah usaha yang membuang-buang tenaga, kamu
hanyalah manusia ala kadarnya yang tidak berarti apa-apa. Hehehe cukup buat sematan buruk
mereka padamu. Intinya kamu itu buruk.
Teman-temanku menegurku sekali lagi dan berulang kali, usahaku akan sia-sia, tak berharga, aku
bukan siapa-siapa, di hidupmu, di matamu. Aku tersenyum, jauh di dalam diriku aku memang
mengiyakan ucapan mereka. Aku sadar itu, aku tahu itu. Tapi, aku ini keras kepala bukan?
Ku intip kotak suratku, tak ada suara, yang terdengar santer hanya sumbang entah dari mana ia
datang.
Barangkali kamu bertanya tanpa suara, mengapa aku tidak marah atau cemburu ketika kamu
bercerita tentang wanita-wanita di sekelilingmu, wanita-wanita yang pernah kamu kecewakan,
wanita-wanita yang pernah kamu kencani, wanita-wanita yang sedang mengharapkanmu, dan
sebagainya. Barangkali kamu bertanya mengapa aku begitu sabar menjadi pendengar setiamu
tentang mimpi yang tidak pasti, tentang hidup yang kian meredup, tentang pekerjaan yang
semakin lama semakin berat tuk dilakukan, barangkali juga kamu bertanya padaku lewat tatapan
mata itu, mengapa aku berjuang demimu padahal kamu tahu kamu tidak akan berjuang demiku,
kamu tidak bertanya mengapa aku begitu lapang menyuruhmu meminta maaf pada wanita-
wanita yang kamu sakiti, yang kamu abaikan begitu saja, pada orang yang telah menyakiti
hatimu sekalipun. Mengapa? Aku sendiri tidak bisa menjawabnya.
Teman-temanku heran padaku, andai kamu tahu. Mereka bertanya mengapa aku begitu sabar
menghadapimu, dan berjuang walau sedari awal kamu sudah menegaskan tidak menerimaku.
Hahaha aku tertawa. Setidaknya di permukaan saja, mereka tidak perlu tahu kekhawatiranku dan
ke-ambyar-anku selama ini.
Kamu tahu? Selama hati manusia terbuat dari segumpal darah dan daging, aku yakin hal sekeras
apapun pasti bisa berubah. Sekeras kepala apapun dia, sekeras apapun sifatnya, sekuat apapun
prinsipnya, segalanya akan melunak. Tidak rasional, namun, hei… aku yakin itu! Kamu tahu
juga kan senjataku apa lagi untuk membuatmu mengerti? Apalagi kalau bukan doa? Rentetan
diksi klasik yang mengudara setiap masa, hal terakhir yang dilakukan ketika putus asa selain
pasrah.
Kamu memang berkata berulang kali, akan menikahi wanita lain, hanya saja belum bertemu
siapa dia. Standar mu tinggi-tinggi, harus cantik dan imut. Detik berikutnya kamu tertawa, aku
juga tertawa. Kamu memang berkata berulang kali kalau kamu tidak menyukaiku, tidak
mencintaiku, tapi kamu membiarkan aku menunggu, detik berikutnya kamu menyuruhku untuk
menikah dengan orang lain karena usahaku sia-sia saja. Kita bukan siapa-siapa, mungkin hanya
teman biasa. Katamu sambil menyesap kopi tanpa rasa.
Aku merutuk, aku memang bodoh, dan entah mengapa aku menikmati kebodohan ini. Aku
merasa terperangkap dalam masyarakat jahiliah, dimana yang jahiliah hanya aku seorang saja.
Aku tahu aku bodoh, aku sadar aku bodoh, namun aku menikmatinya, aku bebal, aku keras
kepala. Aku tahu. Aku tahu. Aku tahu. Aku tahu??? Bukankah selama ini aku tak mau tahu???
‘Buang-buang tenaga’
‘Sia-sia segala usaha!’
‘Kamu bukan siapa-siapa’
‘Bodoh! Budak cinta!’
Santer… omongan sana-sini semakin santer terdengar. Aku akhirnya memilih bungkam,
menyimpan segala pengharapanku diam-diam dalam sunyi paling sunyi, meluruhkan segala
pengharapanku pada malam yang paling kelam, hening yang dingin. Aku diam-diam
melangitkannya, aku ingin menggetarkan Tahta Tuhan sehingga dia tahu apa yang kuharapkan,
hingga dia tahu apa yang paling kuinginkan. Hingga dia tahu….. aku mencintai salah satu
mahluknya.
Aku marah saat aku tidak mendapatkan balasan atas rasaku, aku sedih, aku cemburu, aku malu,
aku menjadi brutal. Brutal dalam tawaku, senyumku, tatapan yang kubuat biasa-biasa saja. Aku
brutal dalam diam. Aku tidak bisa melampiaskannya, aku tak bisa melepaskannya. Aku tak tega
jika akibat perbuatan brutal ku, semua orang kena imbasnya, aku menahan. Aku tak sesabar itu,
andai kamu tahu. Aku hanya bisa mengendalikan amarahku, aku hanya bisa menyalahkan diriku.
Kotak surat itu kubuka, tidak ada hal yang berarti. Hanya undangan yang mesti dihadiri. Aku
menutupnya kembali.
Aku mengalihkan perhatian dengan memutar kotak musikku, lebih menenangkan ketika
mendengarkan alunan lagu yang tidak bisa aku nyanyikan dengan suaraku, aku diam, aku
bungkam, untuk itu aku lebih banyak mendengarkan daripada berbicara.
.
We’re leaving here tonight
There’s no need to tell anyone
They’d only hold us down
So by the morning light
We’ll be half way to anywhere
Where love is more than just your name
.
Ya, alangkah lebih baik jika kita tak perlu memberi tahu orang-orang. Alangkah lebih baik jika
kita bungkam saja, alangkah lebih baik aku diam, dan selalu diam, menunggumu dalam ruang
paling sunyi. Kamu masih ingat malam itu? Aku merasa menjadi milikmu, berjalan dibawah
lampu, menikmati kota yang tidak pernah berhenti bekerja, aku rapuh. Ternyata cinta dan rasa
suka bisa membutakan, bisa membuat manusia tidak seberdaya sebelum-sebelumnya, kehilangan
kuasa. Kini aku faham derita raja-raja yang kehilangan calon permaisurinya, kini aku faham
mengapa drupadi ingin sangkakala perang berkumandang, kini aku faham ken arok yang
menghalalkan segala cara demi mendapatkan tahta dan ken dedes yang serupa prajnaparamitha,
kini aku faham mengapa perang bubat terjadi hingga sampai sekarang majapahit dan pajajaran
yang mulai runtuh melahirkan mitos jawa-sunda.
Lantas aku siapa? Hanya anonim yang anomali. Kamu tahu? Aku selalu menegaskan bahwa aku
melawan takdir dan tidak pernah ikut arus. Aku pasrah, namun aku tetap berusaha.
Mengembalikan segalanya kepada empunya adalah bijak, mempertahakan usaha yang telah
dirintis juga lebih bijak.
.
I have dreamt of a place for you and i
No one knows who we are there
All I want is to give my life only to you
I’ve dreamt so long I can’t dream anymore….
Let’s run away, I’ll take you there…
.
Ya, aku memimpikan sebuah tempat penerimaan, tidak harus ada siapa-siapa. Mungkin
keinginanku terlalu rumit untuk kamu tepati, dan selayaknya sebuah hati, tentu saja tidak boleh
dipaksa oleh siapa saja. Hidupmu bebas, kehendakmu lepas, hatimu bebas, kamu manusia lepas.
Bebas. Aku tak ada hak, tak punya kuasa atas tubuh yang bukan milikku.
Aku memintamu, dengan halus, dengan sunyi, dengan hening, namun riuh, namun ricuh, namun
memburu. Aku brutal. Aku diam. Aku brutal. Aku memegang kendali. Aku ambisi. Aku…
siapa?
Kotak surat itu masih kosong, tak ada apapun, kosong.

Aku memandang potretmu, potret yang sengaja kulukis, tanpa wajah, hanya muka rata. Aku
selalu suka gambar seperti itu. Terlalu abstrak dan surealis, misterius, seperti kamu…
Potret lelaki berbaju biru duduk dibawah pohon bersendeku. Diantara bunga-bunga warna ungu,
dibawah langit malam kelabu, tanpa ada bintang yang menghiasinya, hanya lampu jalanan biasa.
Aku mengubah warna bajumu menjadi biru agar cocok saja dengan warna latar belakangnya.
Hitam. Sebenarnya kaosmu hitam. Aku mengubahnya. Kamu tak pernah punya baju warna biru.
Aku mengada-ada hal yang tidak pernah ada.
Seperti katamu, aku ini keras kepala, tetap menanti tanpa ada hasil. Aku tidak mengatakan ini
sia-sia, walau hasilnya sudah kuterima di awal kita berjumpa dan sewaktu aku berkata segala hal
tentang rasa. Aku mendapatkan kamu yang menerimaku dengan penolakan. Namun, aku tak
berhenti berusaha merebut hatimu, melunakkan segumpal darah dan daging itu, yang menjadi
pusat kehidupanmu.
Entahlah, aku memang bodoh, aku memang aneh. Aku tidak sia-sia. Hanya itu yang kurasa.
Sudah cukup aku menunggu kotak surat itu terisi, sudah cukup aku menunggu kotak surat itu
menghasilkan sesuatu, menunggu kabar darimu lewat surat kabar yang diantar pagi buta serasa
cukup bagiku untuk memastikan keadaanmu baik-baik saja. Aku tidak akan menyerah, aku
hanya berkata ‘sudah cukup untuk hari ini, esok kita berjuang lagi. Takkan ada tenaga yang
terbuang selagi masih bisa diisi kembali’.
Kepada siapapun yang mencintai dan berusaha mencintai, aku tahu tak ada jalan lain selain
sunyi. Yakin saja akan kata hati. Cinta bisa kehilangan dan mendapatkan kuasa, jatuh cinta
memang berjuta rasanya. Aku tahu apa buruknya bagiku jika aku terus melanjutkan. Tapi aku
tidak punya cara untuk berhenti. Dan jika pun aku berhenti hari ini, maka kemana aku akan
menanti? Kemana aku akan mengganti? Karena ini adalah aku, seorang yang tidak akan
mengambil langkah tanpa tujuan, seorang yang tidak akan berlari tanpa tujuan. Aku tidak
mungkin bisa mencaci maki rasa yang aku tumbuhkan sendiri.
Sudah cukup untuk hari ini, waktunya tenaga diisi kembali. Aku harap kamu baik-baik saja
selama ini. Semoga selalu senantiasa begitu. Kususun kembali rasaku, untuk bermuara hanya
pada satu nama, bertualang hanya pada satu nama, satu orang semata.
Aku beranjak,
Sebuah suara terdengar,
Kotak surat itu terbuka, tidak lagi kosong…
Tidak benar-benar kosong. Kotak musikku masih berbunyi…
Kotak surat itu berbunyi, penyanyi dalam kotak musik masih bernyanyi…
Unlock your heart
Drop your guard
No one’s left to stop you now…..

Anda mungkin juga menyukai